PEMBERONTAKAN TAIPENG



silahkan baca Cerita Silat Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo lewat link dibawah ini :























JILID 01

Dua orang penunggang kuda itu amat gagah dan mengagumkan semua orang yang kebetulan bersimpang jalan dengan mereka. Dua ekor kuda tunggangan mereka juga merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan kuat. Kuda-kuda itu berlari congklang ketika mereka memasuki sebuah dusun. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, dan sikapnya anggun berwibawa seperti sikap yang biasa nampak pada diri seorang bangsawan tinggi, sikap seseorang yang merasa akan kebesaran dan kepentingan pribadinya. Mulut dan matanya selalu nampak tersenyum ramah, namun di balik sinar mata yang ramah itu kadang-kadang kelihatan sinar mencorong yang aneh. Dia menunggang kuda berbulu hitam yang nampak ganas dan liar, namun penurut di bawah kendali kedua tangannya yang kokoh kuat itu.

Adapun wanita yang menunggang kuda berbulu putih di sampingnya adalah sorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya masih seperti seorang gadis yangbaru berusia dua puluh tahunan saja, masih padat dengan pinggang yang ramping. Wajah wanita inipun masih cantik dan manis sekali dengan setitik tahi lalat di pipinya, dan seperti juga pria itu, ia menunggang kuda dengan tubuh yang tegak dan lemas, sikap seorang penunggang kuda yang mahir. Pakaian sepasang suami isteri yang anggun dan gagah ini cukup mewah, dan keduanya mengenakan sepatu kulit yang mengkilap, model sepatu boot yang biasa dipakai oleh orang-orang kulit putih, dan mereka melindungi tubuh dari hawa dingin dengan mantel tebal yang berkibar di belakang mereka. Suami isteri itu melewati sebuah kedai arak dan keduanya saling pandang.

"Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar sambil minum arak agar kuda kita tidak terlalu lelah?" tanya si wanita bertahi lalat itu kepada suaminya. Sang suami tidak menjawab, melainkan memandang ke arah dua ekor kuda yang mereka tunggangi. Memang kuda-kuda itu nampak lelah, penuh keringat karena mereka telah melakukan perjalanan jauh, sejak pagi adi dan kini sudah lewat tengah hari. Dia mengangguk dan keduanya lalu turun dari punggung kuda, menuntun kuda mereka menghampiri kedai arak, mengikat kendali kuda di depan kedai, lalu memasuki kedai itu, disambut oleh seorang pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat melihat datangnya dua orang berpakaian mewah itu.

"Selamat siang, tuan dan nyonya!" katanya penuh hormat,

"Silakan duduk dan kami akan menghidangkan masakan yang paling lezat. Arak kami paling terkenal di seluruh daerah ini!"

"Sediakan masakan dan arak yang terbaik untuk kami, dan sediakan pula air dan rumput yang baik untuk dua ekor kuda kami." Pelayan itu mengerutkan alisnya, memandang ke arah dua ekor kuda di luar.

"Akan tetapi, tuan... kami tidak biasa mencarikan makan minum untuk kuda..."

"Carikan saja, kami akan membayar berapa saja yang kau minta!" kata si wanita dan pelayan itu mengangguk-angguk dan tersenyum. Kesempatan baik untuk mendapatkan hasil tambahan, pikirnya.

"Baik, nyonya. Silakan duduk...!" pelayan itu mengantar mereka ke sebuah meja di ujung bagian dalam yang menghadap keluar. Suami isteri itu duduk menghadapi meja, saling berhadapan, yang pria menghadap keluar sedangkan yang wanita menghadap ke dalam. dengan demikian, keduanya dapat meneliti pintu luar dan pintu dalam. Dua buah buntalan yang tadi mereka turunkan dari punggung kuda dan mereka bawa masuk, mereka letakkan di atas meja. Tak lama kemudian mereka melihat seorang pelayan memberi rumput dan air kepada kuda mereka di luar, dan setelah pelayan datang membawa hidangan berupa masakan yang masih panas mengepul dan juga nasi dan arak, mereka lalu makan minum tanpa banyak cakap.

Selagi suami isteri ini makan dan minum di dalam kedai arak ang tidak berapa besar itu, dan tidak ada tamu lain kecuali mereka di siang hari itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dan banyak orang bergerak di sekeliling rumah makan. Para pelayan kelihatan ketakutan dan mereka lari keluar dari rumah makan, Hal ini tentu saja diketahui oleh suami isteri yang sedang makan, akan tetapi keduanya hanya saling pandang sejenak, kemudian melanjutkan makan minum seolah-olah mereka tidak tahu akan gerakan banyak orang yang mengepung rumah makan. Suasana yang tadinya hiruk pikuk menjadi hening, tanda bahwa orang-orang yang berada di luar itu telah mengepung dan siap siaga. Kini muncullah seorang laki-laki bertubuh gendut di ambang pintu depan, sikapnya berwibawa dan angkuh, dan dia memandang ke arah suami isteri itu sambil berseru dengan suara nyaring.

"Pemberontak Ong Siu Coan! Engkau telah dikepung, menyerahlah untuk kami tangkap!" Mendengar disebutnya nama ini, orang-orang yang tadinya nonton di luar rumah makan itu menjadi terkejut dan mereka lari ketakutan untuk bersembunyi.

Juga para tetangga yang tadi mengintai di balik jendela, terkejut dan tak seorangpun berani keluar dari pintu rumah. Nama Ong Siu Coan sudah terkenal sekali di daerah Nan-king itu. Dusun itu berada di sebelah selatan kota Nan-king dan siapakah yang tidak mengenal nama pemimpin dari pasukan pemberontak Tai Peng itu? Nama Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng amat terkenal sebagai seorang pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah Mancu, dan terkenal pula sebagai pelindung rakyat jelata. Kini orang-orang itu bukan takut terhadap Ong Siu Coan, melainkan mereka takut karena maklum bahwa yang mengepung rumah makan itu adalah pasukan pemerintah yang berpakaian preman dan karena yang dikepung adalah Ong Siu Coan, maka tentu akan terjadi pertempuran yang hebat di tempat itu.

Laki-laki tinggi besar yang gagah dan sedang makan di dalam kedai arak itu memang benar Ong Siu Coan, pemimpin pasukan Tai Peng yang tadinya memakai nama perkumpulan Pai Sang-ti Hwee (Perkumpulan Pemuja Tuhan), semacam perkumpulan agama yang berdasarkan Agama Kristen namun sudah tidak asli lagi, bercampur dengan Agama To dan pelajaran Khong Hu Cu. Perkumpulan itu makin lama menjadi semakin besar dan kuat, lalu membentuk balatentara yang disebut balatentara Tai Peng (Perdamaian Besar) yang bertujuan untuk menentang dan menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Gerakan yang bersifat perjuangan inilah, bukan agamanya, yang menarik banyak orang dari rakyat jelata untuk datang bergabung, terutama sekali kaum petani yang merasa tertindas oleh pemerintah Mancu.

Pria gagah itu adalah pemimpin Tai Peng. Namanya Ong Siu Coan, bukan hanya terkenal sebagai seorang pemimpin pejuang yang disegani dan dikagumi rakyat, namun terkenal pula di dunia persilatan sebagai seorang ahli silat yang pandai. Dia adalah murid seorang datuk sesat yang terkenal sekali, yaitu Thian-tok (Racun Langit), seorang di antara Empat Racun Dunia, tokoh-tokoh sesat yang amat terkenal diwaktu-waktu yang lalu. Adapun wanita cantik bertahi lalat di pipinya itu juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Tang Ki, dan ia adalah puteri tunggal dari Hai-Tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat Racun Dunia pula. Dalam hal imu silat kiranya tingkat kepandaian Tang Ki ini tidak kalah oleh suaminya, karena selain menerima gemblengan dari Ayahnya sendiri,

Juga wanita perkasa ini secara kebetulan telah menemukan sebuah kitab kuno ciptaan Tat Mo Couwsu yang terisi pelajaran ilmu silat tinggi berdasarkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Sudah kurang lebih dua belas tahun mereka menjadi suami isteri di luar kehendak dan pesetujuan Hai-Tok dan mereka berhasil menghimpun kekuatan untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu. (Baca Giok-Liong-Kiam bagian pertama). Ong Siu Coan bergasil membangun balatentara besar, bukan saja karena dia lihai, berilmu tinggi dan agama barunya menarik perhatian banyak orang, terutama sekali karena dia mempunyai banyak harta benda untuk membiayai perkumpulannya. Dialah yang berhasil menemukan harta pusaka yang tersembunyi dalam rahasia pedang pusaka ini dia berhasil membentuk balatentara dan sanggup membiayainya.

"Ong Siu Coan, meyerahlah sebelum kami terpaksa mempergunakan kekerasan!" Kembali perwira gendut yang berpakaian preman itu membentak. perwira ini dengan anak buahnya yang kini mengepung restoran, berjumlah kurang lebih tiga puluh orang, adalah pasukan penyelidik atau mata-mata pemerintah yang bertugas di sekitar Nan-king.

Sejak pagi tadi dia dan anak buahnya tahu akan munculnya pemimpin Tai-Peng di tempat umum, maka dia sudah mempersiapkan anak buahnya untuk menghadang di dusun itu. Kebetulan sekali suami isteri itu berhenti di rumah makan, memudahkan mereka untuk mengepung dalam usaha menangkap pemberontak itu. Akan tetapi Ong Siu Coan dan Tang Ki masih enak-enak makan, melanjutkan makan tanpa menghiraukan si gendut. Melihat sikap suami isteri itu, si gendut menjadi marah. Dia segera mencabut sebuah pistol yang tersembunyi di ikat pinggangnya, lalu melangkah maju, diikuti oleh tiga orang perwira pembantu yang mencabut pedang. Si gendut sambil menodongkan pistolnya maju menghampiri Ong Siu Coan dan Tang Ki, berseru kepada anak buahnya yang berada di luar rumah makan.

"Serbu dan tangkap mereka!" Pada saat itu, Ong Siu Coan dan Tang Ki saling pandang dan pria perkasa itu berbisik,

"Kuambil si gendut, yang lain untukmu!" Isterinya mengerti dan mengangguk. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar rumah makan itu dan ternyata dua puluh orang lebih yang menjadi anak buah si gendut dan tadi mulai bergerak hendak menyerbu, secara tiba-tiba diserang oleh belasan orang yang memiliki gerakan yang tangkas sehingga dalam gebrakan pertama saja beberapa orang anggauta pasukan itu telah roboh!

Peristiwa itu mengejutkan si gendut dan diapun cepat melangkah ke depan sambil menodongkan pistolnya kepada Ong Siu Coan, diikuti tiga orang pembantunya yang siap menyerang dengan pedang mereka. Pada saat itu, mendadak Ong Siu Coan menggerakkan sepasang sumpit yang tadi dipakai untuk makan dan meluncurlah dua sinar yang cepat buan main ke arah si gendut. Sebatang sumpit menancap di tangan yang menggenggam pistol, dan sumpit ke dua menghunjam ulu hati! Si gendut sama sekali tidak menyangka akan datangnya serangan itu, maka diapun terkejut dan pistol di tangannya meledak, akan tetapi karena pada saat itu dia sudah berada dalam keadaan sekarat oleh sumpit yang menembus jantungnya,

Peluru yang melincur keluar dari pistol itu hanya menembus langit-langit dan genteng dan tubuhnya lalu terjengkang dan terbanting lalu berkelojotan. Sementara itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tang Ki sudah menerjang dan menyambut tiga orang pembantu perwira yang berpedang. Wanita ini tiak bersenjata, namun gerakannya sedemikian cepatnya. Walaupun tiga orang perwira berusaha menyerangnya dengan pedang, namun bayangan tubuh wanita itu berkelebatan di antara tiga batang pedang dan kedua tangannya bergerak menampar. Tiga orang itupun menjerit kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit kembali karena Tang Ki telah melakukan tamparan-tamparan maut dengan kedua tangannya yang ampuh, dan yang dijadikan sasaran adalah pelipis kepala tiga orang itu!

Pertempuran yang terjadi di luar rumah makan itupun tidak berlangsung lama. Dua puluh orang lebih perajurit yang berpakaian preman itu bukanlah lawan seimbang bagi belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi itu dan dalam waktu singkat saja mereka semua telah roboh dan tewas! Dua orang pimpinan rombongan yang menyerbu para mata-mata pemerintah itu menerobos masuk dan memberi hormat kepada Ong Siu Coan dan Tang Ki. Kiranya mereka adalah anggauta pemberontak yang tersebar di mana-mana dan yang tadi melihat pimpinan mereka terancam lalu turun tangan membantu. Ong Siu Coan mengangguk acuh kepada dua orang itu dan isterinya yang menghadapi mereka.

"Terima kasih atas bantuan kalian," kata Tang Ki, mewakili suaminya yang kini telah menjadi seorang pemimpin tinggi sehingga suaminya merasa terlalu tinggi untuk berwawancara dengan anak buah tingkat rendahan seperti dua orang pemimpin rombongan pasukan kecil itu.

"Cepat singkirkan semua mayat dari dusun ini, lempar ke dalam hutan dan ajak semua pria dari dusun ini untuk menggabung agar mereka terbebas dari hukuman pemerintah." Dua orang itu mengangguk dan menyatakan mentaati perintah, lalu mengundurkan diri. Ong Siu Coan dan isterinya lalu meninggalkan dusun, menunggang kuda mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat keluar dari dusun itu.

Para anak buah pejuang itu telah mengumpulkan para penduduk dan menganjurkan agar para penghuni laki-laki bergabung dengan mereka karena peristiwa itu tentu akan berekor panjang. Pemerintah tentu akan mengirim pasukan besar untuk mengadakan pembersihan di dusun itu di mana perajurit pemerintah sebanyak kurang lebih tiga puluh orang telah tewas pada hari itu. Ong Siu Coan dan Tang Ki membalapkan kuda menuju ke sebuah dusun yang berada di luar kota Nan-king, sebuah dusun yang cukup besar dan mereka langsung menuju ke sebuah rumah yang nampak bersih dan rapi walaupun sederhana saja. Kedatangan mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang berpakaian sederhana sepeti para petani, dengan anak mereka, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sebelas tahun. Melihat siapa yang datang, suami isteri itu kelihatan terkejut dan heran, akan tetapi juga girang sekali.

"Aihhh, angin apakah yang meniup kalian datang ke sini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi keluarga kami yang sederhana menerima kunjungan pemimpin besar balatentara Tai Peng yang semakin terkenal itu!" seru tuan rumah dengan wajah berseri dan pandang mata penuh kagum. Sementara itu, nyonya rumah juga saling rangkul dengan Tang Ki seperti dua sahabat baik yang sudah lama tidak saling berjumpa.

"Tan Ci Kong, engkau mengangkatku terlalu tinggi dan menurunkan dirimu terlalu rendah!" kata Ong Siu Coan sambil tertawa setelah memberi hormat. kemudian memandang kepada anak laki-laki itu dan berseru,

"Ahh, apakah dia ini puteramu? Sungguh seorang anak yang berbakat baik sekali!"

"Benar, dia anak tunggal kami. Bun Hong, cepat beri hormat kepada paman Ong Siu Coan dan bibi Tang Ki. Mereka ini suami isteri yang amat lihai dan patut kau hormati!" Anak laki-laki yang bermata tajam itu cepat maju memberi hormat dan menyebut paman dan bibi.

"Marilah kita bicara di dalam," kata tuan rumah dan mereka lalu masuk ke dalam rumah sederhana yang nampak bersih dan rapi itu.

Suami isteri yang menjadi tuan rumah itupun bukan orang-orang sembarangan. Tan Ci Kong adalah seorang pendekar besar, seorang tokoh Siauw-Lim-Pai yang menerima gemblengan langsung dari Siauw-Bin-Hud. seorang datuk Siauw-Lim-Pai yang selalu bertapa dan mengasingkan diri, bahkan akhir-akhir ini bertapa sampai meninggal dunia, tak pernah lagi keluar dan mencampuri urusan dunia.Isterinya bernama Siauw Lian Hong, juga seorang wania sakti karena ia adalah murid terkasih dari San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga tingkat ilmu kepandaiannya seimbang dengan tingkat Ong Siu Coan dan isterinya. Dua pasang suami isteri ini sudah saling mengenal karena belasan tahun yang lalu mereka adalah teman-teman seperjuangan walaupun jalan hidup mereka bersimpang.

Kalau Ong Siu Coan dan isterinya merupakan sepasang suami isteri perkasa yang bercita-cita besar, bertekad untuk meggulingkan pemerintah penjajah Mancu, maka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang suka akan hidup sederhana, dan selama belasan tahun semenjak menikah tidak pernah menonjolkan diri di dunia persilatan maupun mencampuri urusan perjuangan, melainkan hidup tenteram di dusun itu mendidik putera mereka, Tan Bun Hong yang merupakan anak tunggal. Mereka sudah banyak mendengar akan sepak terjang Ong Siu Coan yang merupakan ancaman bagi pemerintah Mancu, dan diam-diam mereka berdua merasa kagum bukan main, oleh karena itu tentu saja mereka terkejut dan heran ketika secara tiba-tiba saja tokoh pimpinan yang amat terkenal itu muncul mengunjungi mereka. Empat orang pendekar sakti yang dulu pernah menjadi rekan-rekan seperjuangan itu kini duduk di ruangan dalam.

Tan Bun Hong, anak kecil itu oleh Ayah Ibunya disuruh bermain di luar dan dilarang untuk masuk ke dalam ruangan pertemuan. Setelah mereka duduk berhadapan, Ci Kong dan isterinya memandang dua orang tamunya dengan penuh perhatian, sebaliknya Ong Siu Coan dengan matanya yang bersinar aneh dan tajam juga mengamati dua orang bekas rekan seperjuangan itu penuh selidik. Dalam usinya yang tiga puluh enam tahun, Tan Ci Kong masih kelihatan muda. Tubuhnya nampak tegap dan kulitnya agak gelap sebagai tanda bahwa sebagai orang yang suka bekerja di ladang dia banyak tertimpa sinar matahari. pakaiannya tetap sederhana dan wajahnya yang jelas membayangkan kegagahan itu kelihatan penuh kesabaran dan penuh pengertian. Juga Siauw Lian Hong masih nampak cantik manis dengan mukanya yang berbentuk bulat dan matanya yang lebar jernih, lembut dan tajam.

"Ong-toako," kata Ci Kong dengan sikap hormat dan menyebut toako (kakak) kepada rekan yang lebih tua itu,

"Sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan pemimpin besar balatentara pejuang yang amat kuat. Kami kagum sekali dan merasa heran melihat toako berdua datang berkunjung dan merasa yakin bahwa kunjungan ini tentu mengandung maksud yang amat penting." Ong Siu Coan saling pandang dengan isterinya, kemudian melayangkan pandang matanya kepada tuan dan nyonya rumah, lalu menarik napas panjang.

"Sungguh menyenangkan sekali bicara dengan suami isteri yang gagah perkasa dan ucapanmu tadi langsung menyentuh persoalan yang sebenarnya, saudara Tan Ci Kong. Memang sesungguhnyalah, kedatangan kami ini mengandung maksud yang teramat penting yang mempunyai hubungan erat sekali dengan perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu." Tentu saja Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong menjadi tertarik sekali, akan tetapi Ci Kong yang menduga bahwa tentu Ong Siu Coan datang untuk menarik dia dan isterinya agar suka membantu gerakannya, mendahuluinya,

"Ong-toako, sebelumnya harap toako ketahui bahwa selama ini kami berdua hidup sebagai petani dan hidup tenteram di dusun ini, tidak pernah mencampuri urusan perjuangan bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Kami berdua ingin mendidik putera yang merupakan anak tunggal kami dan belum ingin melibatkan diri dengan perjuangan." Ucapan ini mengandung peringatan bahwa dia dan isterinya tidak akan mau ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan. Akan tetapi Ong Siu Coan menggeleng kepala.

"Membantu perjuangan dengan menerjunkan diri merupakan keputusan pribadi. Memang, sesungguhnya kami datang untuk mohon bantuanmu, saudara Ci Kong. Akan tetapi bukan minta bantuan tenaga." Lega rasa hati Ci Kong, akan tetapi dia pun heran. Kalau bukan bantuan tenaga, lalu bantuan apalagi?

"Bagaimana kami dapat membantumu, Ong-toako?"

"Tuhan sendiri yang telah memberi petunjuk kepadaku, saudara Tan Ci Kong. Tuhan sendiri yang telah memberi penerangan dan penglihatan kepadaku di waktu aku tidur beberapa hari yang lalu..."

"Maksudmu... engkau mimpi, Ong-toako?" tanya Ci Kong yang merasa heran dan tidak mengerti.

"Ah, tidak... tidak...! Aku berada dalam keadaan sadar dan aku mendengar sendiri suara Tuhan berbisik-bisik kepadaku, amat jelas bunyinya dan beginilah bisikan Tuhan itu kepadaku : Anakku Ong Siu Coan, perjuanganmu akan berhasil kalau engkau memegang Giok-Liong-Kiam di tanganmu karena pusaka itulah lambang kejatuhan kerajaan Mancu. Nah, demikianlah bisikan Tuhan kepadaku, saudara Ci Kong. Karena itulah, aku dan isteriku kini datang berkunjung untuk minta pertolongan kalian berdua, meminjam Giok-Liong-Kiam."

Siauw Lian Hong mengerutkan alisnya. Pedang pusaka Giok-Liong-Kiam pernah dijadikan rebutan di dunia persilatan. Pedang itu tadinya dicuri oleh seorang pencuri pandai dari gudang pusaka istana Kaisar, kemudian menjadikan rebutan banyak orang gagah di dunia persilatan. Pedang pusaka itu dahulu diperebutkan karena pedang itu mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka yang amat besar nilainya. Dan akhirnya dalam perebutan itu, ialah yang berhasil mendapatkan pedang pusaka Giok-Liong-Kiam. Akan tetapi usahanya bersama gurunya untuk memperoleh harta pusaka itu gagal karena setelah tempat penyimpanan rahasia itu ditemukan, ternyata harta pusaka itu telah lenyap didahului orang lain.

Setelah itu, tentu saja tidak ada lagi orang yang memperebutkan Giok-Liong-Kiam, sebatang pedang terbuat dari batu Giok berbentuk naga yang tidak dapat menjadi senjata yang ampuh walaupun memang merupakan barang mahal harganya. Giok-Liong-Kiam kini hanya menjadi semacam benda indah atau hiasan saja, dan ia telah menyerahkan kepada Tan Ci Kong, sebagai tanda cintanya sebelum mereka menikah dahulu. Bagi ia dan suaminya, Giok-Liong-Kiam merupakan tanda jalinan cinta kasih di antara mereka, maka, mana mungkin memberikannya kepada orang lain? Akan tetapi karena ia telah menyerahkan pusaka itu kepada suaminya, tentu saja benda itu telah menjadi hak suaminya dan hanya dialah yang berhak memutuskan dalam menghadapi permintaan Ong Siu Coan. Ci Kong memandang tamunya dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dia menjawab,

"Ong-toako, memang benar bahwa Giok-Liong-Kiam ada padaku, sebagai hadiah dari isteriku. Pusaka itu merupakan lambang cinta kasih antara kami dan kami simpan sebagai pusaka keluarga."

"Bagus sekali kalau begitu!" Ong Siu Coan berteriak girang dan mengangguk-angguk.

"Kalian berdua pejuang-pejuang yang gagah perkasa, patriot-patriot sejati yang sudah membuktikan setia baktinya kepada tanah air dengan perjuangan kalian di masa lalu. Kalau kini lambang cinta kasih antara kalian yang sudah menjadi suami isteri menjadi lambang perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah laknat yang menekan rakyat, bukankah pusaka itu menjadi semakin terhormat? Kami hanya meminjamnya saja, saudara Tan Ci Kong berdua. Kami hanya meminjam, bukan untuk kepentingan kami, melainkan untuk perjuangan. Dengan pusaka itu di tangan kami, tentu akan mendatangkan dukungan dari para pendekar dan mereka akan lebih suka membantu perjuangan kita. Kalau sudah berhasil perjuangan kita, pusaka itu akan kami kembalikan kepada kalian, karena untuk apakah pusaka itu bagi kami pribadi? Kami pribadi tidak membutuhkannya. dan kamipun datang karena petunjuk langsung dari Tuhan, saudara Ci Kong. Menolak perintah Tuhan merupakan dosa yang teramat besar, dan kalau perintah itu tidak dilaksanakan, tentu kita semua terkena hukumannya yang amat berat."

Ci Kong saling pandang dengan isterinya, dan keduanya merasa bimbang. Tentu saja pusaka itu sebenarnya tidaklah begitu penting sekali bagi mereka, hanya menjadi benda peringatan saja. Dan ucapan Siu Coan tadi terlampau berat menekan batin mereka, karena dihubungkan dengan perjuangan. Tentu saja di lubuk hati mereka, suami isteri pendekar ini condong untuk membantu Siu Coan menentang pemerintah penjajah Mancu yang mereka benci pula. Agaknya Ong Siu Coan yang pandai membaca isi hati orang melalui pandang mata dan sikapnya, maklum bahwa suami isteri itu biarpun masih ragu-ragu, namun condong membantunya.

"Kami harap saudara Ci Kong berdua dapat berpikir dengan adil dan mengingat akan asal-usul pusaka itu. Pusaka itu dicuri orang dari gudang pusaka istana, dan sebelum itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita semua. Lenyapnya pusaka itu dari istana merupakan lambang kejatuhan Kerajaan Mancu! Dan kini tidak diperebutkan orang lagi karena harta pusaka itu telah lenyap. Kiranya orang yang telah menemukan harta pusaka itulah yang lebih berjodoh dengan Giok-Liong-Kiam, tidaklah kalian berpendapat demikian?"

Ci Kong dan Lian Hong terpaksa mengangguk karena memang kenyataannya demikian. Pusaka Giok-Liong-Kiam berasal dari istana Kaisar dan benda itu keluar dari istana karena dicuri orang, kemudian diperebutkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw. Biarpun kini Giok-Liong-Kiam berada di tangan mereka, namun harus diakui bahwa sebetulnya merekapun tidak berhak, karena benda itu bukan pusaka yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, melainkan merupakan benda curian! Dan perebutan berakhir setelah harta pusaka yang disimpan rahasianya oleh Giok-Liong-Kiam ternyata telah diambil orang lain, maka memang tepatlah kalau dikatakan bahwa yang berhasil mendapatkan harta pusaka itu lebih berjodoh dengan Giok-Liong-Kiam.

"Akan tetapi siapakah yang telah mendapatkan harta pusaka itu?" tanya Siauw Lian Hong dan Ci Kong mengangguk karena pertanyaan yang sama mengaduk hatinya. Sepasang mata Ong Siu Coan bersinar-sinar aneh ketika dia menatap wajah kedua orang di depannya, dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa ketika dia bicara.

"Apakah kalian tidak dapat menduganya? Aku telah berhasil membangun balatentara yang amat besar jumlahnya, tidak kurang dari seratus ribu orang! Dari mana aku dapat membiayai semua itu? Dari mana aku dapat memberi makan kepada orang sebanyak itu, membelikan pakaian, senjata dan sebagainya? Saudara Ci Kong, bayangkan saja berapa banyak harta yang harus dipergunakan untuk semua itu, untuk menghimpun ratusan ribu orang?" Ci Kong dan Lian Hong saling pandang dan mata mereka terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan juga kekaguman.

"Jadi... kau maksudkan... engkaulah orangnya yang telah mengambil harta pusaka Giok-Liong-Kiam itu?" tanya Ci Kong. Siu Coan mengangguk dan tersenyum.

"Tidak sepenuhnya. hanya tinggal seperempat bagian saja, namun cukup besar untuk dapat membiayai balatentara yang ratusan ribu jumlahnya. Semua orang memperebutkan harta pusaka itu untuk kesenangan dan kepentingan pribadi, akan tetapi aku ingin mendapatkan harta itu bukan untuk kepentingan pribadiku, melainkan untuk kepentingan perjuangan. Karena itulah, Tuhan selalu memberi perlindungan dan bimbingan kepadaku sampai saat ini. Dan kami sungguh mengharapkan agar saudara Ci Kong berdua membantu pula pelaksanaan perintah dan kehendak Tuhan." Ci Kong dan Lian Hong kembali saling pandang. Orang ini telah mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan harta miliknya untuk perjuangan! Kalau sekarang, mereka menolak memberi pinjam Giok-Liong-Kiam, yang sebetulnya bukan milik mereka melainkan sebuah benda curian yang setelah perebutan terjatuh ke tangan mereka, sungguh hal ini amat berlawanan dengan jiwa kepatriotan mereka! Akan tetapi, biarpun Giok-Liong-Kiam itu telah diberikan oleh isterinya kepadanya, menjadi haknya, namun Ci Kong tidak mau melampaui isterinya, oleh karena itu dia lalu berkata kepada Ong Siu Coan.

"Ong-toako, perkenankan aku berunding lebih dulu dengan isteriku di dalam." Tanpa menanti jawaban, Ci Kong lalu bangkit dan mengajak isterinya meninggalkan ruangan itu untuk berunding empat mata di dalam kamar mereka. Ong Siu Coan hanya mengangguk sambil tersenyum.

Setelah berada di dalam kamar, Ci Kong lalu bertanya,

"Bagaimana pendapatmu, Hong-moi?" Lian Hong memandang suaminya.

"Dan engkau bagaimana?" Ci Kong yang sudah mengenal baik isterinya maklum bahwa dengan jawaban itu, isterinya sudah setuju walaupun masih meragu dan menantikan keputusannya. Kalau isterinya tidak setuju, tentu langsung saja isterinya mengatakan tidak setuju. Isterinya setuju, akan tetapi tidak berani lancang karena pusaka itu telah diberikan kepada suaminya.

"Aku tidak keberatan. Bagaimanapun juga, pusaka itu adalah benda curian dari kerajaan, dan pula, kalau hanya dipinjam untuk memeperkuat perjuangan dan menarik lebih banyak orang kuat membantu perjuangan, apa salahnya?"

"Akupun berpikir demikian," kata Lian Hong dengan hati lega.

"Kalau begitu, kita serahkan pusaka itu sekarang juga." Ci Kog lalu mengajak isterinya keluar sambil membawa Giok-Liong-Kiam yang dibungkus dalam kain kuning. Ong Siu Coan menyambut mereka dengan wajah berseri.


"Sungguh bijaksana sekali bahwa kalian telah menyetujui dan suka memenuhi permintaan kami," katanya, seolah-olah dia telah tahu lebih dulu bahwa suami isteri pendekar itu tentu akan memenuhi permintaannya. Ci Kong menyerahkan buntalan kain kuning itu dan berkata,

"Kami memang suka sekali menyerahkan pusaka Giok-Liong-Kiam untuk kau pinjam, Ong-toako, mengingat bahwa engkau meminjamnya untuk keperluan perjuangan. Mudah-mudahan saja dengan adanya Giok-Liong-Kiam, balatentaramu akan menjadi semakin besar dan kuat sehingga kekuasaan penjajah Mancu akan dapat segera dihancurkan." Ong Siu Coan menerima pusaka sambil tersenyum.

"Bukan hanya itu, juga kami mengharapkan agar kalian berdua sewaktu-waktu suka datang membantu mengulurkan tangan untuk menghancurkan penjajah yang menyiksa rakyat jelata." Diapun membuka buntalan dan bersama Tang-ki, dia mengagumi Giok-Liong-Kiam yang memang teramat indah itu. Ukiran batu halus sekali berbentuk naga itu indah bukan main, halus sekali sehingga benda itu merupakan sebuah pusaka yang tentu amat mahal harganya. Terutama sekali orang kulit putih yang haus akan benda-benda kuno, tentu akan membayar pusaka ini dengan harga yang luar biasa tingginya. Setelah mendapat kenyataan bahwa pusaka itu benar Giok-Liong-Kiam yang asli Ong Siu Coan membuntalnya lagi dengan kain kuning, lalu menyelipkannya di ikat pinggangnya.

"Mari kita berdoa mohon berkah Tuhan agar pusaka ini benar-benar akan membawa kita kepada kemenangan atas kaum penjajah Mancu." Mendengar ini, Kiki lalu merangkap kedua tangan, menundukkan muka dan meletakkan kedua tangan di meja, memejamkan kedua matanya. Ong Siu Coan sendiri bersedekap, menyilangkan kedua lengan di depan dadabdan menundukkan mata, kemudian terdengar dia berdoa dengan kata-kata yang bergetar penuh perasaan. Ci Kong dan Lian Hong hanya saling pandang, tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang suami isteri yang bersembahyang di depan mereka. Baru saja Siu Coan selesai bersembahyang, tiba-tiba terdengar suara bersuit lirih yang terdengar dari depan rumah itu. mendengar ini, Siu Coan lalu berkata kepada Ci Kong,

"Ada seorang pembantu kami memberi tanda di depan rumah, harap kau suka mengajaknya masuk, saudara Ci Kong. Tentu dia membawa berita penting sekali maka berani menggangguku di sini." Ci Kong bergegas keluar dan benar saja, di luar telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti petani, serba hitam. melihat Ci Kong, orang itu menjura dengan hormat.

"Tan-Taihiap, bolehkah saya bertemu dan menghadap Ong-bengcu (pemimpin rakyat Ong)?" katanya dengan sikap hormat. Diam-diam Ci Kong kagum. Anak buah Ong Siu Coan ini gagah dan juga telah mengenalnya.

"Engkau dipanggil untuk menghadapnya di dalam," kata Ci Kong dan tanpa banyak cakap orang itu lalu ikut bersama Ci Kong memasuki ruangan dalam rumah itu. begitu melihat Siu Coan, laki-laki itu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki seperti perajurit dan berkata dengan suara lantang.

"Lapor kepada bengcu bahwa pasukan besar anjing Mancu telah datang ke arah dusun ini. Agaknya ada mata-mata yang telah melaporkan tentang peristiwa di dusun sebelah tadi. Mohon petunjuk." Ong Siu Coan mengerutkan alisnya.

"Berapa jumlah mereka?"

"Menurut penyelidik, tidak kurang dari dua ratus orang."
"Dan kekuatan kita yang berada di sini?"

"Hanya ada dua puluh orang, bengcu. Semua penduduk yang bergabung dengan kita telah berangkat ke selatan."

"Ah, mereka belum terlatih. Dan dua puluh orang cukup untuk memancing musuh keluar dari dusun ini. dengar baik-baik. Dua orang dari kalian menyamar sebagai kami berdua, meggunakan dua ekor kuda kami dan pancing pasukan itu agar menuju ke hutan di sebelah timur. Setelah tiba di sana, tentu hari telah menjadi gelap. Kalian masuk hutan dan berpencar. Kalau mereka berani mengejar, kalian lanjutkan perjalanan dan meloloskan diri. Kami sendiri akan menggunakan kuda lain, sediakan kuda baru, dan mengambil jalan lain. Ingat, jangan memaksa suatu pertempuran dalam keadaan berat sebelah. Nah, laksanakan perintahku. Ambil kuda kami dan tukar dengan yang baru."

"Baik, bengcu!" Orang itu memberi hormat, juga memberi hormat kepada Ci Kong dan Lian Hong, lalu cepat keluar dari dalam rumah itu.

"Apakah yang telah terjadi?" tanya Ci Kong."Ketika kami menuju ke sini, di dusun sebelah kami diserbu oleh tiga puluh lebih pasukan pemerintah. Untung ada anak buahku yang bertugas di sini, dan kami telah membunuh seluruh pasukan pemerintah yang tiga puluh orang lebih itu. Mayat-mayat mereka telah dilempar ke dalam hutan dan semua laki-laki muda di dusun itu telah meninggalkan dusun dan bergabung dengan kami. Akan tetapi celakanya, agaknya ada mata-mata musuh yang berhasil lolos dan memeberi lapoan ke Nan-king dan kini datang pasukan dua ratus orang lebih dari Nan-king."

"Ah, celaka! Kalau begitu tentu mereka tahu bahwa kalian telah datang ke rumah kami, Ong-toako!" kata Ci Kong dan wajahnya berubah khawatir. Ong Siu Coan mengangguk, wajahnya tetap dingin.

"Itu sudah resiko pejuang, saudara Ci Kong. Maka, kukira sebaiknya kalau kalian bergabung saja dengan kami dan sekarang juga meninggalkan rumah ini."

"Tapi..." Ci Kong teringat akan puteranya. Bagi dia dan isterinya, tidak ada keberatan apapun kalau ikut berjuang, karena memang merekapun menghendaki agar tanah air mereka terbebas dari cengkeraman orang-orang Mancu. Akan tetapi lalu bagaimana dengan pendidikan putera mereka? Pada saat itu, Tan Bun Hong datang berlari memasuki ruangan itu, sepasang matanya yang lebar bening itu terbelalak dan memandang Ayahnya penuh ketegangan.

"Ayah, ada pasukan menyerbu dusun kita, membunuhi orang-orang dusun".

"Ah, begitu cepat mereka tiba!" Ong Siu Coan berseru dan seperti dikomando saja, mereka berempat, dua pasang suami isteri perkasa itu sudah berloncatan keluar rumah. Benar saja, di ujung dusun sebelah utara terdengar suara ribut-ribut dan teriakan-teriakan wanita ketakutan. Mereka cepat menyelinap dan melihat betapa perajurit-perajurit dari Nan-king itu membunuhi orang seenaknya sendiri, Ci Kong dan Lian Hong sudah siap untuk mengejar mereka. Akan tetapi Siu Coan mencegah dan berkata lirih.

"Jangan tergesa-gesa. Lihat, tentu anak buahku akan segera bergerak memancing mereka keluar dari sini." Benar saja, sepasukan orang lain yang menunggang kuda dan berpakaian petani secara tiba-tiba menyerbu. Tentu saja pasukan pemerintah itu menjadi marah dan cepat menyambut serangan balasan orang itu, yang dipimpin oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang menunggang dua ekor kuda besar hitam dan pitih, kuda-kuda tunggangan Ong Siu Coan dan isterinya tadi. bahkan pakaian yang dikenakan dua orang pemimpin pasukan kecil itupun serupa dengan pakaian yang dipakai Ong Siu Coan dan isterinya.

Melihat dua orang pemimpin pemberontak ini, komandan pasukan pemerintah berteriak-teriak untuk menangkap mereka yang dianggapnya adalah pemimpin besar kaum pemberontak Tai Peng dan isterinya. Pertempuran itu terjadi berat sebelah karena mana mungkin belasan orang pemberontak itu melawan dua ratus lebih pasukan dari Nan-king.Segera mereka melarikan diri ke timur, dikejar oleh pasukan karena komandan pasukan bernapsu sekali untuk menawan dua orang pemimpin besar pemberontak Tai Peng itu. Sudah terbayang olehnya hadiah yang amat besar dari istana kalau dia mampu menangkap Ong Siu Coan dan isterinya! Setelah pasukan besar itu mengejar belasan orang pemberontak yang melarikan diri ke timur, Siu Coan lalu keluar dari tempat prsembunyiannya. Segera dua orang anak buahnya yang tinggal di situ menghampirinya dan memberi hormat.

"Bujuk para peduduk untuk bergabung dengan kita," pesan Ong Siu Coan.

"Mereka harus cepat dibawa ke selatan agar tidak keburu dikejar oleh pasukan penj ajah."

Dua orang itu memberi hormat dan mereka segera menemui para penduduk, dan seperti juga penduduk dusun pertama, kini peduduk dusun inipun, terutama yang laki-laki dan masih muda, tidak ragu-ragu lagi untuk bergabung dengan para pejuang Tai Peng. Tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Kalau mereka pergi mengungsi begitu saja, akan mengungsi ke mana? Dan tentu akan dapat dikejar oleh pasukan pemerintah dan mereka tetap saja akan dibunuh sebagai pemberontak-pemberontak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah bergabung dengan pasukan Tai Peng, dan dengan demikian mereka bahkan dapat membalas dendam kepada pemerintah penjajah yang selama ini telah menekan keluarga mereka turun-temurun.

Demikian siasat yang dipergunakan oleh Ong Siu Coan, satu di antara siasat-siasatnya untuk mengumpulkan kekuatan dan memperbesar jumlah anggauta pasukannya! Kini diapun membujuk Ci Kong yang kebingungan. seperti para penghuni lainnya di dusun itu, Ci Kong juga maklum bahwa tidak mungkin lagi dia tinggal di dusun itu bersama keluarganya, tentu akan diancam oleh pasukan pemerintah. Apalagi dia adalah orang yang dikunjungi oleh pimpinan besar pasukan pemberontak Tai Peng! Tan Ci Kong cepat mengambil keputusan setelah berunding dengan isterinya. Dia akan bergabung dengan Ong Siu Coan, membantu perjuangan sambil melarikan diri dari dusun itu, sedangkan isterinya akan membawa putera mereka lari mengungsi ke pegunungan Wu-yi-san, yaitu ke puncak Pek-liong-kwi-san (Puncak Iblis Naga Putih), tempat kediaman gurunya, yaitu San-tok (Racun Gunung).

Kepada isterinya Ci Kong berjanji bahwa dalam waktu setahun dia akan menyusul ke puncak itu. Dengan tergesa-gesa, keluarga Tan itupun berkemas, membawa barang-barang yang berharga dan yang perlu saja, kemudian mereka saling berpisah. Ci Kong menunggang kuda bersama Ong Siu Coan dan TangKi, meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Siauw Lian Hong bersama puteranya Tan Bun Hong, juga menuju ke selatan, ke Pegunungan Wu-yi-san, berboncengan menunggang kuda pula. Berakhirlah sudah kehidupan penuh damai dan ketenteraman bagi keluarga Tan Ci Kong. Mereka mulai kehidupan baru penuh kekerasan dan tantangan, dan terpaksa pula suami isteri itu saling berpisah. Semua ini gara-gara Ong Siu Coan yang datang ke dusun mereka. Mereka mengira bahwa hal itu terjadi kebetulan saja,

Sama sekali tidak mengira bahwa memang Ong Siu Coan sudah memperhitungkan kemungkinan ini dan mengatur siasat yang menguntungkan pihaknya dalam segala kesempatan. Buktinya, peristiwa di kedua dusun itu amat menguntungkan dirinya, memperkuat pasukan Tai Peng dengan ratusan orang penduduk dusun, yang terutama sekali, selain memperoleh Giok-Liong-Kiam, juga memperoleh bantuan seorang pendekar yang boleh diandalkan, yaitu Tan Ci Kong! Dan perhitungan Ong Siu Coan memang tepat sekali. Setelah dia melalui orang-orangnya menyiarkan bahwa pusaka Giok-Liong-Kiam kini berada di tangannya dan menjadi lambang kekuatan Tai Peng juga lambang kehancuran pemerintah penjajah Mancu, banyak pendekar merasa tertarik. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa pendekar Tan Ci Kong, pendekar Siauw-Lim-Pai yang amat terkenal itu, kini bergabung dan bahkan menjadi pembantu utama Ong Siu Coan,

Berbondong-bondong kaum pendekar datang menggabungkan diri membantu perjuangan balatentara Tai Peng! Dan Ong Siu Coan-pun mulai bergerak menyerang ke utara. Tujuannya adalah merebut dan menduduki kota besar Wu-chang, kemudian Nan-king dan setelah menguasai wilayah lembah Yang-ce sampai ke muara, akan melanjutkan serangan menyerbu terus ke utara dan menduduki Peking, menggulingkan pusat pemerintahan Mancu. Demikianlah rencananya. gerakannya didukung oleh banyak petani dan pimpinan pasukan diserahkan ke tangan pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana alasan muluk yang dikemukakan orang yang kebetulan duduk di tingkat atas untuk membersihkan diri, tidak dapat disangkal lagi bahwa apa yang dinamakan pemerintah sesungguhnya hanyalah sekelompok orang yang sedang berkuasa pada saat itu.

Baik buruknya sebuah pemerintahan, kuat atau lemahnya, tergantung sepenuhnya kepada keadaan batin sekelompok orang yang sedang berkuasa itu, dan akibat daripada sebuah pemerintahan itu menyeret keadaan hidup rakyat banyak yang tunduk kepada pemerintahan itu. Di dalam sebuah kerajaan, kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar, sehingga kuat lemahnya kerajaan itu yang digantungi nasib rakyatnya dapat dilihat dari keadaan Kaisarnya. Pada waktu itu, yang menjadi Kaisar adalah Kaisar Sian Feng yang naik tahta dalam usia sembilan belas tahun (1851-1861). Jatuh bangunnya setiap dinasti tidak ada bedanya dengan jatuh bangunnya setiap orang manusia. Sebab seseorang terjatuh dari kedudukannya, hal itu disebabkan oleh ulah dirinya sendiri, dan jatuhnya sebuah negara disebabkan oleh pemimpinnya.

Akan tetapi kalau kita melihat sejarah, seolah-olah ada Kekuasaan Tertinggi yang sudah menentukan dan mengatur semua itu. Kalau sudah tiba saatnya seorang manusia harus mati, ada saja yang menjadi sebab-sebabnya pula. Kerajaan Mancu atau dinasti Ceng yang sepenuhnya menguasai daratan Cina dimulai dalam tahun 1663 dengan Kaisar pertamanya Kang Si, setelah mengalami masa jayanya yang gemilang selama kurang lebih dua ratus tahun lamanya, mulailah menyuram ketika Kaisar Sian Feng dinobatkan menjadi Kaisar. Kaisar muda Sian Feng ini berbeda jauh dibandingkan dengan Kaisar-Kaisar Mancu sebelumnya, bahkan amat jauh berbeda dari Kakek buyutnya yaitu Kaisar Kian Liong. Kaisar Sian Feng ini selalu mengejar kesenangan, terutama sekali kesenangan mengumbar nafsu berahi, bermain-main dengan wanita-wanita cantik.

Pengejaran kesenangan merupakan suatu penyakit yang akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan yang berakhir dengan kesengsaraan, bahkan awal dan akhirnyapun sudah berada dalam keadaan yang sengsara, tak puas, tak dapat menikmati keadaan hidup. Bukan berarti bahwa kita harus menjauhi kesenangan, harus menolak dan menghindari kesenangan. Kesenangan adalah suatu keadaan hati, dan sudah menjadi hak setiap orang manusia untuk dapat senang. namun, kalau kita sudah diperbudak, maka kita selalu mengejarnya dan pengejaran inilah yang jahat! Pengejaran inilah yang menyeret kita kepada segala macam perbuatan kemaksiatan dan kejahatan. Pengejaran terdorong oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang lebih banyak, lebih baik, dan lebih segalanya daripada keadaan yang sudah ada.

Pengejaran membuat mata kita selalu memandang ke depan, kepada khayan, kepada suatu keadaan atau kesenangan yang belum terdapat. Dengan demikian, yang nampak besar, indah dan menyenangkan hanyalah sesuatu yang kita kejar dan kita ingin dapatkan itu, dan dengan sendirinya, segala seuatu yang ada pada kita tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi menyenangkan! Dan di dalam pengejaran inilah terdapat bahaya penyelewengan, karena pengejaran membuat mata kita buta terhadap baik buruknya tindakan atau langkah kita. Kita terjang saja segala yang menjadi perintang atau penghalang dalam pengejaran kita, kita tendang, kita langkahi, kalau perlu kita injak! Semua demi memperoleh sesuatu yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan kepada kita.

Dan, sekiranya yang dikejar itu berhasil kita dapatkan, benarkah kita akan senang dan puas, seperti yang kita idamkan? Memang senang, memang puas, namun inipun biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat saja. Karena penyakit itu membuat mata kita mengejar lagi, mengejar sesuatu yang kita anggap lebih baik dan lebih menyenangkan daripada yang sudah terdapat itu! Yang sudah terdapat itu menjadi masa lalu dan kita ingin mendapatkan sesuatu yang masih berada di masa depan lagi. Hal begini akan terus menguasai kehidupan kita, menjadi lingkaran setan dari masa lampau dan masa depan, dan kita tidak pernah benar-benar hidup karena hidup adalah saat ini, sekarang ini. Masa lalu telah mati dan tidak perlu dikenang lagi, masa depan hanyalah khayal yang belum ada.

Kaisar Sian Feng hidup berenang didalam lautan kesenangan. Semenjak muda, dia memang tidak tertarik oleh pemerintahan, akan tetapi sejak remaja dia sudah mengenal kesenangan dengan wanita. Dia diangkat menjadi Kaisar dalam tahun 1851, di dalam masa keributan dan di waktu pemerintahan Mancu sedang kacau, baik menghadapi orang-orang kulit putih yang mulai menanam kuku-kukunya di daratan Cina, maupun menhadapi pemberontakan di dalam negeri. Kaisar Sian Feng tidak menghiraukan semua ini, menganggap ringan dan menganggap tak mungkin ada kekuatan yang akan mampu menghancurkan kekuasaannya. bahkan pemberontakan Tai Peng juga dianggap sepi saja oleh Kaisar muda ini. Urusan pemerintahan tidak ditangani langsung oleh Kaisar Sian Feng, melainkan diserahkan kepada Pangeran Kung dan para menteri. Kaisar sendiri sibuk mencari perempuan-perempuan baru,

Berpuluh selir yang muda-muda dan cantik-cantik berada di sekelilingnya setiap saat, namun dia masih belum juga merasa cukup atau puas. Kesukaannya mengejar kesenangan membuat dia menjadi mudah bosan. Dia bergairah dengan kaki kecil perempuan Han, maka seringkali Kaisar muda ini menyamar dengan pakaian biasa, dengan pengawalan rahasia, mengunjungi rumah-rumah pelacuran di Peking. Kelemahan seorang Kaisar tentu saja merupakan hal yang amat penting bagi para pembesar penjilat karena mereka dapat mempergunakan kelemahan Kaisar ini untuk kepentingan diri sendiri. melihat kesukaan Kaisar terhadap wanita-wanita Han ini, kepala thaikam (orang kebiri) yang menjabat sebagai kepala Taman Yuan-beng-gwan (Taman Terang Sempurna), yaitu taman musim panas, segera bertindak dengan cerdiknya.

Dia menghubungi Kaisar dan berjanji akan mencarikan gadis-gadis Han yang cantik dari selatan. Tentu saja Kaisar merasa gembira sekali dan menyetujuinya. Oleh karena pada masa itu terdapat peraturan istana yang melarang wanita bukan Bangsa Mancu dimasukkan istana maka gadis-gadis Bangsa Han itu ditaruh di dalam Taman Yuan-beng-gwan. Oleh pembesar thaikam itu, dicarikanlah gadis-gadis yang muda belia dan cantik jelita dari daerah Nan-king, Hang-couw dan So-chouw dan dibawalah mereka itu ke dalam taman yang amat indah itu. Taman Terang Sempurna merupakan istana taman musim panas yang amat indah berbau bangunan asing karena taman dan istana ini dibangun oleh seorang pendeta Italia bernama Castiglione di jaman Kaisar Kian Liong.

Bukan main gembiranya hati Kaisar muda itu. Setiap hari dia berada di taman musim panas, bersenang-senang dengan selir-selir baru Bangsa Han yang mengelilinginya dan lupa akan segala. Para pejabat yang mengelilinginya adalah penjilat-penjilat yang hanya berusaha menyenangkan hati Kaisar agar mereka memperoleh hadiah atau kenaikan pangkat. Atas petunjuk mereka, di taman musim panas itu dipelihara lebih dari tiga ratus ekor menjangan. Ramuan tanduk menjangan dan darah segar binatang itu menjadi obat kuat bagi sang Kaisar. Darah itu ditaruh dalam mangkok kemala sebagai minuman setiap hari untuk menjaga kekuatan Kaisar muda yang setiap hari dikeroyok oleh puluhan orang selir itu!

Nafsu memang tidak ada puasnya, seperti api yang makin diberi umpan semakin berkobar. Biarpun sudah mempunyai selir yang kini menjadi ratusan jumlahnya, masih saja Kaisar Siang Feng tidak mau melepaskan perempuan-perempuan baru yang belum pernah disentuhnya. Dayang-dayang istana yang terdiri dari gadis-gadis cantik, perawan-perawan jelita, banyak yang menjadi korban keganasan Kaisar ini. Kalau melihat seorang dayang cantik, bisa saja dia timbul gairah dengan tiba-tiba dan langsung diterkamnya gadis itu. Kaisar yang menjadi budak nafsu ini tidak segan-segan untuk menggauli seorang dayang di depan selir-selirnya, hanya sekedar memamerkan kekuatannya. Permaisuri Kaisar adalah seorang wanita cantik yang baik hati namun teramat lemah. Melihat keadaan suaminya, mulai timbul perasaan khawatir di dalam hati permaisuri,

Apalagi melihat betapa Kaisar mengumpulkan demikian banyak selir berbangsa Han di Taman Terang Sempurna. Lebih-lebih kalau ia mengingat bahwa Kaisar belum mempunyai keturunan putera yang akan menjadi pangeran mahkota. Maka ia lalu membujuk Kaisar untuk mengambil gadis-gadis Mancu tercantik untuk dijadikan dayang-dayang baru di dalam istana. Kaisar yang mata keranjang itu tak perlu ditanya kedua kalinya. Tentu saja dia tertawa dan menyatakan persetujuannya atas usul sang permaisuri. Ratusan orang perawan remaja didatangkan para petugas. Akan tetapi setelah dipilih oleh permaisuri, yang diterima sebagai calon hanya enam puluh empat orang perawan yang disuruh membersihkan diri, mengenakan pakaian-pakaian baru yang indah, diajar pula tata cara dan sopan santun istana.

Pendeknya, enam puluh empat orang gadis ini digembeng secara kilat agar menjadi dayang-dayang yang mengenal peraturan dan menyenangkan. Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah Kaisar bangun tidur dan dilayani para dayang untuk mandi dan bertukar pakaian, Kaisar menghadapi santapan pagi dengan pertunjukan istimewa yang sengaja diadakan oleh permaisuri. yaitu pertunjukan lomba kecantikan yang dilakukan oleh enam puluh empat orang perawan remaja yang pilihan! Gadis-gadis Mancu yang cantik-cantik itu berbaris melenggang di depan Kaisar, dengan bermacam gaya dan lagak, dan semua adalah wanita-wanita yang cantik sekali. Kaisar memandangi mereka satu demi satu dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai senang, seperti seorang anak kecil yang diberi mainan yang banyak dan menyenangkan hatinya.

Berulang-ulang keluar pujian dari mulut Kaisar terhadap gadis-gadis itu dan sukarlah baginya untuk memilih mana yang paling cantik dan siapa di antara mereka yang akan dipilihnya untukmelayaninya dan menemaninya malam hari itu. Akan tetapi tiba-tiba pertunjukan yang amat menggembirakan itu terganggu dengan pelaporan pengawal bahwa Pangeran Kung dan seorang panglima yang bertugas memimpin pasukan besar di selatan minta menghadap karena ada urusan penting sekali. Kaisar menggerakkan tangannya dengan hati tak senang, minta agar pertunjukan itu dilangsungkan sampai habis. Gadis-gadis itu terus melangkah satu demi satu, akan tetapi gangguan itu membuyarkan perhatian Kaisar sehingga dia hampir tidak melihat adanya seorang di antara para perawan itu, seorang gadis yang memiliki kecantikan yang khas dan pembawaan yang amat menarik.

Gadis ini nampak menyolok sekali dan jauh berbeda dari yang lain. Kalau gadis-gadis lain itu kelihatan takut-takut dan malu-malu, ia sama sekali tidak demikian. Dengan anggunnya ia lewat di depan Kaisar, bahkan di dalam setiap gerak-geriknya, lirikan matanya, lenggak-lenggoknya, senyumnya, ada pengendalian dan kepribadian yang khas. Akan tetapi Kaisar sudah merasa tak senang dengan gangguan tadi sehingga dia tidak lagi memperhatikan gadis-gadis itu. Akhirnya, setelah gadis terakhir lewat, Pangeran Kung dan panglima itu dipersilakan masuk.dengan wajah dingin Kaisar bertanya mengapa sang pangeran itu mengganggunya di waktu sepagi itu. Pangeran Kung sambil berlutut berkata dengan penuh hormat, dengan wajah mengandung kegelisahan dan keprihatinan besar.

"Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba yang berani mengganggu dengan menghadap tanpa dipanggil. Akan tetapi hamba membawa laporan berita yang amat buruk, Sri Baginda." Kerut di dahi Kaisar makin mendalam. Celaka, pikirnya, sudah mengganggu kesenangannya, masih membawa berita buruk lagi.

"Hemm, berita apakah? katakan!"

"Panglima Thung ini datang membawa laporan bahwa pasukan kerajaan yang berjaga di selatan telah dipukul mundur dan kini pemberontak Tai Peng telah menduduki Nan-king dan Wu-chang. Kekuatan mereka besar sekali, didukung oleh rakyat setempat dan dibantu oleh para petani, juga para pendekar." Berita itu tentu akan mengejutkan setiap orang, namun Kaisar yang hanya mementingkan pengejaran kesenangan itu hanya nampak kaget sebentar saja.

"Sungguh menyebalkan!" kata Kaisar tak senang.

"Kita sudah membuang banyak harta untuk membiayai pasukan-pasukan itu, akan tetapi sekarang menghadapi segerombolan pemberontak saja tidak becus membasminya!" Panglima Thung mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Sambil berlutut dan memberi hormat dia berkata,


JILID 02

"Ampun, Sri Baginda. hamba sekalian, seluruh pasukan yang berjaga di selatan, sudah mengerahkan tenaga dan mengorbankan banyak nyawa ketika menghadapi serbuan pemberontak Tai Peng. Akan tetapi kekuatan mereka amat besar, dan yang lebih menyulitkan lagi, rakyat membantu mereka, juga para pendekar yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, kalau hamba mendapatkan bala bantuan dari kota raja, dengan pasukan-pasukan pilihan dan perwira-perwira yang berilmu tinggi, hamba akan mencoba untuk merebut kembali Wu-chang dan Nan-king." Kaisar menoleh kepada Pangeran Kung.

"Bagaimana pendapatmu, pangeran?" Hal ini memang sudah diperhitungkan oleh Pangeran Kung.

"Sri Baginda, agaknya tidak akan menguntungkan kalau kita mengerahkan seluruh tenaga untuk menggempur pemberontak Tai Peng di selatan, karena kita harus pula berjaga-jaga terhadap pemberontakan dari utara dan barat, juga terhadap gerakan orang-orang kulit putih. Kalau kita mengerahkan tenaga ke selatan, tentu kedudukan kotaraja menjadi lemah, memudahkan lawan untuk menyerbu. sebaiknya kini kalau pasukan di selatan dikerahkan untuk menjada tapal batas saja agar pemberontak tidak dapat maju dan sementara kita biarkan mereka menduduki kedua kota itu sampai kita merasa kuat untuk merebutnya kembali. Hamba akan memerintahkan agar dibentuk pasukan-pasukan baru untuk memperkuat pertahanan kita." Kaisar mengerutkan alisnya dan menggerakkan kedua tangan dengan tidak sabar lagi. Kepalanya menjadi pening harus memikirkan urusan pemberontakan itu.

"Begitu juga baik, kau aturlah saja semua itu, pangeran, dan aku hanya menanti berita yang baik-baik saja darimu. Nah, kalian keluarlah dan laksanakan tugas sebaiknya." Dua orang pembesar itu tidak berani membantah lagi, keduanya keluar dan baru setelah mereka tiba di luar, keduanya saling pandang dan menggeleng kepala.

Tanpa bicarapun kedua orang pembesar ini memiliki pendapat dan pandangan yang sama terhadap Kaisar yang sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap urusan pemerintah, melainkan menenggelamkan diri ke dalam kesenangan pribadi belaka. Memang hebat sekali gerakan Tai Peng. Dalam tahun 1853, setahun saja setelah Ong Siu Coan memperoleh Giok-Liong-Kiam, pasukannya yang amat kuat itu menyerbu ke utara dan dengan kekuatan penuh menduduki Wu-chang dan Nan-king dan menguasai seluruh daerah sepanjang lembah Yang-ce bagian timur sampai ke muaranya! Akan tetapi, sudah menjadi ciri hampir seluruh pemimpin di dunia ini, bahkan menjadi ciri umum manusia, kemenangan selalu mendatangkan guncangan kepada batin, membuat pertimbangan menjadi miring dan orang yang merasa menjadi pemenang itu akan dihinggapi penyakit mabok atau gila kemenangan! Lupa diri!

Mabok kemenangan ini menimbulkan bermacam-macam sikap dan perbuatan. Ada yang lalu mengangkat diri setinggi-tingginya, ada yang memperkuat kedudukannya, ada pula yang berebutan kekuasaan seperti segerombolan serigala yang memperebutkan bangkai lembu yang mereka bunuh bersama, ada yang lalu berfoya-foya untuk berpesta pora atas kemenangannya, secara berlebihan dan tidak mengenal puas. Ada yang melampiaskan dendamnya dan dengan kekuasaan yang ada pada dirinya, membalas dendam dengan cara yang luar biasa kejamnya. Ong Siu Coan agaknya tidak terkecuali. Bahkan sebagai seorang pemenang yang berhasil baik, dia bukan hanya mabok, melainkan sudah menjadi gila dalam arti yang sedalam-dalamnya! Ong Siu Coan bahkan mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar dari Kerajaan Sorga yang didirikannya,

Bahkan dia mengaku secara resmi bahwa dia adalah putera Tuhan yang kedua, adik dari Yesus! Betapapun juga, harus diakui bahwa gerakan Tai Peng (Perdamaian Besar) yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu memperoleh sukses yang gemilang. Mula-mula, sepak terjang Tai Peng mendatangkan rasa suka dan memperoleh dukungan para pendekar karena gerakan itu membela kepentingan rakyat kecil. mengusahakan penghapusan kemiskinan para petani, mengangkat derajat kaum wanita dan menghapuskan peraturan-peraturan dan tradisi-tradisi yang merendahkan martabat wanita. Selain Tan Ci Kong yang menjadi orang kepercayaan dan pembantunya, juga banyak sekali orang-orang pandai dan pendekar-pendekar perkasa bergabung dengan Ong Siu Coan. ketika dia mula-mula memberi nama Kerajaan Sorga Tai Peng kepada balatentaranya,

Dia sudah dibantu oleh banyak orang pandai, di antara pemdekar-pendekar itu terdapat nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah seperti Lin Feng Siang, Li Kai Fang, Si Ta Kai, Wei Chang Hui, Yang Siu Cing, dan terutama sekali Li Siu Ceng dan Tan Yu Ceng. mereka ini tercatat di dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh yang memperkuat pimpinan Tai Peng dan menjadi pembantu-pembantu utama dari Ong Siu Coan. Ong Siu Coan berhasil menduduki Nan-king, lalu menyuruh dua orang pembantunya, yaitu Lin Feng Siang dan Li Kai Fang untuk memimpin pasukan menuju ke utara, mempersiapkan penyerbuan besar-besaran yang tujuannya adalah penyerbuan ke kotaraja Peking! Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat banyak pendekar merasa kecewa dengan gerakan Tai Peng. meraka melihat betapa Ong Siu Coan membuat pengakuan-pengakuan aneh,

Seperti "putera Tuhan" dan "adik Yesus" dan bahwa dia dapat membuat hubungan langsung dengan Tuhan, menerima petunjuk-petunjuk yang kesemuanya itu menuju ke arah ketidaknormalan. Yang lebih daripada segalanya adalah melihat betapa Ong Siu Coan membiarkan anak buah pasukannya melakukan segala macam perbuatan kejam, bukan hanya membunuhi orang-orang yang dicurigai tanpa diperiksa, akan tetapi juga merampok dan memperkosa wanita! Ong Siu Coan terlalu memanjakan anak buahnya, dan tentu saja di antara mereka terdapat banyak orang yang memang berwatak penjahat. Karena perbuatan-perbuatan kejam seperti memperkosa wanita dan merampok itu tidak dijatuhi hukuman, tentu saja yang lain-lain juga terseret karena perbuatan-perbuatan jahat yang menguntungkan dan menyenangkan diri sendiri mudah sekali menular dan dicontoh orang lain.

Melihat kenyataan-kenyataan pahit ini, mulailah para pendekar mengundurkan diri setelah mereka itu dengan gagah perkasa membantu penyerbuan Wu-chang dan Nan-king sampai kedua kota itu berhasil diduduki. Yang mengundurkan diri banyak sekali termasuk pula Tan Ci Kong. Akan tetapi karena sudah merasa berhasil dan kekuasaannya mulai nampak sebagai hasil perjuangannya, Ong Siu Coan tidak perduli. Masih banyak orang yang suka menjadi pembantunya, pikirnya, apalagi setelah kini dia mengangkat diri menjadi pemimpin besar, bahkan raja dari Kerajaan Sorga Tai Peng! Kalau saja Ong Siu Coan tidak berwatak sombong dan tinggi hati, kalau saja kesempatan yang amat baik setelah balatentaranya memperoleh kemenangan itu dia pergunakan sebaiknya dengan memperkuat pasukan,

Bersekutu dengan para pemberontak lain yang pada waktu itu juga bermunculan di utara dan barat, atau kalau saja dia mau bersekutu dan mempergunakan kekuatan orang-orang kulit putih yang agaknya akan suka membantunya mengingat bahwa dia mengaku sebagai penyiar Agama Kristen, agaknya sejarah akan membuat catatan lain dan mugkin sekali Tai Peng ini akan menguasai seluruh daratan dan berhasil pula menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Akan tetapi Ong Siu Coan terlalu tinggi hati dan mabok kemenangan, merasa bahwa balatenataranya tidak ada yang akan dapat mengalahkannya karena dia memperoleh bimbingan dari Tuhan sendiri! Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh balatentara Tai Peng membuat Ong Siu Coan tinggi hati dan lengah sehingga hampir saja kelengahannya itu menewaskannya pada malam hari itu.

Malam itu gelap dan sunyi. Karena merasa aman dan tidak mungkin ada orang yang berani mengganggunya, Ong Siu Coan dan isterinya tidur di dalam istana mereka tanpa pengawalan pribadi. Mereka mengambil istana di Nan-king yang merupakan istana tua namun megah menjadi tempat tinggal mereka, hidup bagaikan seorang raja, megah dan mewah. Karena tidak ada pasukan pengawal pribadi yang melakukan penjagaan, ketika suami isteri ini sudah tidur, tidak ada orang

dalam istana itu yang melihat berkelebatnya bayangan orang bergerak cepat sekali melayang turun dari atas genteng istana setelah tadi dia berlompatan seperti seekor burung terbang atau kucing saja. Para pelayan di istana itu terdiri dari orang-orang yang tidak berkepandaian silat, maka mereka tidak mendengar atau melihat sesuatu.

Bayangan itu menyelinap dan akhirnya mengintai dari jendela kamar di mana Ong Siu Coan tidur bersama Tang ki, isterinya. Sebagai seorang yang berasal dari sebuah dusun di Hwa-sian, propinsi Kuang-tung, yang baru saja mengangkat diri menjadi Kaisar, Ong Siu Coan belum dapat hidup sebagai layaknya seorang raja atau seorang pembesar tinggi. Dia masih belum mengerti dan masih hidup sebagai orang biasa, tidur sekamar dengan isterinya tanpa ada penjagaan ketat seperti yang biasa bagi seorang raja. Juga dia tidak memiliki selir. Hal ini bukan hanya karena dia mencinta isterinya, akan tetapi juga karena satu di antara peraturan agama barunya adalah melarang pria beristeri lebih dari seorang. Maka, di luar tempat tidurnya itu tidak nampak adanya pengawal dan hal ini membuat bayangan yang mengintai di luar kamar, mengeluarkan suara ketawa lirih mengejek.

Bayangan yang dapat bergerak seperti setan itu bertubuh sedang dan tegap, pakaiannya indah seperti pakaian seorang pelajar, rambutnya mengkilap terpelihara rapi, akan tetapi mukanya tertutup saputangan Sutera hitam sehingga tidak dapat dikenal, hanya sepasang matanya saja yang nampak dari dua buah lubang pada saputangan itu, sepasang mata yang tajam dan kadang-kadang mencorong! Pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan seorang pencuri biasa, melainkan seorang yang sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, tidak membutuhkan senjata lagi karena kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan senjata dari baja.

Atau juga menjadi petunjuk bahwa dia adalah seorang yang sombong dan menganggap kepandaian sendiri terlampau tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Ketika sepasang mata yang mencorong itu mengamati keadaan di dalam kamar yang remang-remang karena hanya diterangi lampu minyak yang dikerudungi kain hijau dan melihat benda yang dicarinya, sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. Benda itu adalah Giok-Liong-Kiam yang diletakkan berdiri di atas sebuah meja, bersandar pada dinding yang dihias indah dan di atas dinding terdapat gambar Yesus. Ada dua buah lilin kecil bernyala di kedua ujung meja yang diberi tilam Sutera putih yang dipinggirnya berenda. Giok-Liong-Kiam seolah-olah menjadi sebah benda keramat, benda pujaan di bawah gambar Yesus! Dan memang Ong Siu Coan selalu menonjolkan Pedang Naga Kemala itu sebagai benda keramat,

Sebagai pusaka dan lambang kejayaan Tai Peng. Senyum simpul agaknya menghias pada mulut yang tertutup saputangan itu karena matanya juga membayangkan kegembiraan ketika dia melihat pedang itu. Setelah meneliti beberapa saat lamanya dan merasa yakin bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan dari suara pernapasan di dalam kamar itu dia dapat mengetahui bahwa orang-orang yang tidur di balik kelambu itu tentu sudah pulas, orang itu lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka daun jendela. Daun jendela itu terkunci dari dalam dan terbuat dari papan kayu yang tebal dan terukir indah, karena daun jendela itu dipasang di kamar induk dari istana itu. Tidak akan mudah orang membongkarnya dari luar, karena engsel dan kunci jendela terbuat dari besi, buatannya kokoh bukan main.

Akan tetapi, dengan jari-jari tangannya yang amat kuat, orang itu dapat membuka daun jendela tanpa mengeluarkan banyak suara! Hal ini membuktikan bahwa orang berkedok ini memang benar lihai sekali. Setelah daun jendela terbuka, dia meloncat ke dalam kamar melalui lubang jendela, gerakannya tiada bedanya dengan gerakan seekor kucing meloncat, ketika kedua kakinya turun ke lantai kamar, sama sekali tidak terdengar suara berisik. Harus diingat bahwa dua orang yang tidur di balik kelambu tempat tidur itu adalah Ong Siu Coan dan Tang Ki, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, yang telah melatih diri sedemikian rupa sehingga panca indera mereka demikian pekanya dan biarpun tertidur nyenyak, kalau ada suara sedikit saja yang mencurigakan sudah cukup untuk menggugah mereka!

Akan tetapi sekali ini, mereka tidak mendengar sesuatu dan tetap tidur nyenyak, seperti dapat diketahui oleh orang itu dengan mendengarkan pernapasan mereka yang panjang dn halus tak terkendali. Hal ini kembali membuktikan kelihaian orang itu. Sesaat lamanya dia berdiri saja memandang ke arah kelambu, sambil mendengarkan pernapasan dan melihat kalau-kalau kelambu itu bergoyang. Akan tetapi semuanya tetap hening dan dia menganggu-angguk girang, melihat ke arah dua pasang sepatu di bawah pembaringan, sepasang sepatu pria dan sepasang sepatu wanita. Kemudian dia menoleh ke arah meja di mana terdapat Giok-Liong-Kiam yang berada dalam sarungnya. Dia melangkah maju, langkahnya juga lembut tanpa suara, dan dilain saat dia telah mengambil pedang pusaka itu,

Mencabutnya dari dalam sarung dan matanya kembali mencorong dan berkilauan ketika dia melihat bahwa benda itu benar Giok-Liong-Kiam yang dicarinya. Tak disangkanya bahwa benda itu akan dapat dia temukan sedemikian mudahnya! Dia lalu menyelipkan pedang itu ke balik jubahnya, di ikat pinggangnya, dan kakinya melangkah mendekati jendela. Akan tetapi, dia berhenti dan menoleh ke arah ranjang, lalu kakinya bergerak menghampiri. Agaknya timbul suatu keinginan yang membuatnya menghampiri ranjang, menggunakan tangan kiri menyingkap kelambu dan dia menjenguk ke dalam. Ong Siu Coan tidur miring membelakangi isterinya yang tidur terlentang. Keduanya tidur pulas. Orang itu berdiri memandangi wajah dan tubuh Tang Ki yang tertutup pakaian tidur yang tipis, dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar lembut.

Tangan kirinya masih menyingkap kelambu dan kini tangan kanannya bergerak ke depan, dengan lembut meraba dan mengusap kaki Tang Ki di bagian paha. Rabaan halus ini cukup bagi Tang Ki untuk merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam tidurnya. Ia membuka mata dan seketika ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat dan menerjang ke arah orang berkedok itu! Tang Ki adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan suaminya. Ia adalah puteri tunggal Hai-Tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, dan selain telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat dari Ayahnya, juga ia telah mewarisi ilmu meringankan tubuh yang istimewa ciptaan Tat Mo Couwsu yang ditemukan di dalam sebuah kitab yang bernama Hui-thian-yan-cu (Burung Walet terbang ke Angkasa)!

Maka, terjangannya tadi, biarpun dilakukan dalam keadaan baru saja terbangun dari tidur nyenyak, dan dari keadaan rebah terlentang, berlangsung cepat bukan main dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat naik, ke depan dan kedua tangannya telah melancarkan pukulan maut ke arah kepala dan dada orang berkedok! Orang itu sudah cepat meloncat ke belakang dia menghadapi terjangan Tang Ki dengan tenang saja! Padahal ketika tubuhnya melayang dan memukul, Tang Ki telah menggunakan Ilmu Pukulan Thai-lek Kim-kong-jiu, ilmu pukulan warisan dari Ayahnya yang mengandung tenaga bagaikan geledek menyambar. Akan tetapi orang itu menyambutnya dengan gerakan yang sama sehingga kedua tangannya bertemu dengan kedua tangan Tang Ki, saling bentur di udara dengan tenaga yang sama-sama kuat.

"Dessss...!" Akibat benturan tenaga dahsyat itu, tubuh Tang Ki terlempar kembali ke atas pembaringan, sedangkan orang berkedok itu mengeluarkan suara mengejek menyerupai tawa tertahan. Sementara itu, Siu Coan sudah terbangun oleh suara dan gerakan isterinya dan terkejutlah dia melihat seorang berkedok menyambut pukulan isterinya yang ampuh dan membuat isterinya terjengkang dan terbanting ke atas pembaringan.

"Maling hina yang sudah bosan hidup!" bentaknya dan diapun sudah meloncat turun dari atas pembaringan dan langsung menyerang orang berkedok itu.

Karena dia dapat menduga bahwa orang itu tentu lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan jurus dari ilmu silat yang paling diandalkan di antara ilmu-ilmu silat lain, yaitu Ngo-heng Kuan-hoan-kun yang dipelajari dari gurunya, yaitu Thian-tok (Racun Langit). Akan tetapi, dari balik kedok kain Sutera itu terdengar suara tawa mengejek dan orang itu menyambut serangannya dengan ilmu silat yang sama. Bahkan orang itu membalas serangan Siu Coan dengan jurus-jurus Ngo-heng Lian-hoan-kun pula! Demikian hebat serangan orang itu membuat Siu Coan terpaksa cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Karena kakinya tidak bersepatu, maka gerakannya menjadi terganggu. Kaki yang tidak biasa telanjang itu agak kaku ketika dipakai bersilat.

"Siapa kau...!" Dia membentak karena heran melihat betapa orang itu dapat bersilat dengan Ilmu Ngo-heng Lian-hoan-kun! Dialah satu-satunya murid Thian-tok sekarang. Kedua orang saudara seperguruannya, yaitu Koan Jit dan Gan Seng Bu sudah tewas. Rasanya tidak mungkin gurunya telah diam-diam mengambil murid lain sebelum gurunya itu mengambil dia sebagai murid. Akan tetapi orang berkedok itu hanya menjawab dengan suara ketawa bergelak kemudian sekali melompat, dia sudah menerobos keluar jendela dan melarikan diri.

"Tangkap penjahat!!" Siu Coan berteriak, juga Tang Ki yang tadi terkejut oleh kekuatan orang itu, berteriak-teriak. Keduanya tidak dapat langsung melakukan pengejaran karena harus mengenakan sepatu yang sebelum tidur mereka lepas, dan membereskan pakaian. Para pelayan datang berlarian dan di antara mereka ada yang melihat berkelebatnya orang berkedok itu. mereka menjerit-jerit dan datanglah perajurit pengawal yang berjaga di luar. Akan tetapi ketika Siu Coan dan Tang Ki keluar, penjahat itu sudah tidak nampak lagi bayangannya. Barulah Ong Siu Coan sadar bahwa dia lengah dan malam itu juga dia memerintahkan agar istananya dijaga ketat, baik di sebelah luar maupun di sebelah dalam. Kemudian dia kembali ke dalam kamar bersama isterinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Giok-Liong-Kiam telah lenyap dari atas meja! Baru dia mengerti apa yang dikehendaki penjahat tadi memasuki kamarnya. Mencuri Giok-Liong-Kiam! Betapa beraninya! Masuk ke dalam kamarnya mencuri Giok-Liong-Kiam! Dan berhasil pula. Ong Siu Coan mengepal tinju, marah sekali. Akan tetapi diapun maklum bahwa peristiwa ini tidak boleh tersiar karena tentu akan mengurangi semangat para pembantunya. Maka, diam-diam dia lalu menyuruh buat sebatang Giok-Liong-Kiam palsu, hanya meniru gagang dan sarungnya saja dan menaruh Giok-Liong-Kiam itu di atas meja untuk menggantikan yang hilang.

"Aku tahu siapa maling itu!" kata Tang Ki ketika mereka berdua membicarakannya. Suaminya memandang tajam.

"Engkau tahu? Siapa jahanam itu?"

"Menurut dugaanku, dia tentulah Lee Song Kim, bekas Suhengku itu!" Memang Ayahnya, Hai-Tok Tang Kok Bu, mempunyai seorang murid yang amat disayangnya, yang bernama Lee Song Kim, seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan luar biasa. Bahkan karena Lee Song Kim maka Tang Ki sampai jauh dari Ayahnya. Ayahnya menghendaki agar dia menikah dengan Song Kim, akan tetapi Tang Ki mencinta Ong Siu Coan dan tidak suka, bahkan benci kepada Song Kim. Hal ini membuat Ayahnya marah dan Ayahnya agaknya lebih suka kepada murid itu daripada kepada puterinya.

"Lee Song Kim?" Siu Coan mengerutkan alisnya.

"Bagaimana engkau dapat menyangka demikian?"

"Ketika aku menyerangnya, dia menangkis dengan gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek Kim-kong-jiu, dan siapa lagi kalau bukan dia yang pandai melakukan ilmu pukulan itu?"

"Ah, engkau juga?" Siu Coan berseru kaget.

"Akan tetapi ketika dia menghadapi seranganku, dia juga mempergunakan jurus dari ilmu silatku, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan-kun! Tak mungkin kalau Lee Song Kim dapat memainkan silat perguruanku itu. Yang dapat melakukannya selain Suhu dan aku, juga Gan Seng Bu dan Koan Jit. Akan tetapi, Gan Seng Bu telah mati dan Suheng Koan Jit... ahhh..." Tiba-tiba Siu Coan terbelalak, memandang isterinya seperti orang terkejut dan teringat akan sesuatu.

"Ada apakah?" tanya Tang Ki, hatinya merasa tidak enak.

"Suheng Koan Jit... jangan-jangan dia orangnya...

"Koan Jit?" Tang Ki bertanya, matanya terbelalak dan wajahnya berobah.

"Akan tetapi, bukankah dia telah tewas tertimpa batu-batu ketika ledakan itu membuat terowongan runtuh dan menimpa dirinya " Ia membayangkan peristiwa yang mengerikan itu.

Ketika itu, para pendekar muda, pejuang-pejuang yang menentang pemerintah Mancu, berusaha membebaskan para pimpinan pejuang dan tokoh-tokoh tua yang ditawan karena terjebak oleh tipu muslihat yang diatur Lee Song Kim. Di dalam usaha mereka itu, mereka tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terjebak dan terancam untuk tertawan, mati atau hidup, dan sudah tidak ada jalan keluar lagi ketika mereka terjebak dalam terowongan di bawah tanah yang menghubungkannya dengan tempat para pimpinan yang ditawan. Dalam keadaan tersudut dan tertodong senapan-senapan para perajurit kulit putih yang bersekongkol dengan pasukan pemerintah Mancu, tiba-tiba muncul Koan Jit yang dengan gagah perkasa menolong mereka dengan jalan menghadapi

para perajurit dengan alat-alat peledak di tangan! Dan Koan Jit meledakkan terowongan itu, membuat terowongan tertutup dan para serdadu tidak dapat mengejar mereka yang berhasil menyelamatkan diri, lolos bersama para pimpinan pejuang, akan tetapi Koan Jit sendiri tertimbun batu-batu terowongan yang runtuh menimpa dirinya. Benarkah Koan Jit teruruk batu-batu itu? Mereka tidak dapat melihatnya karena ketika ledakan-ledakan terjadi, debu dan asap menggelapkan tempat itu. Akan tetapi yang ditemukan hanyalah sebuah sepatu Koan Jit dan agaknya tubuh Koan Jit sudah hancur lebur atau mungkin juga tertimbun runtuhan batu-batu itu. Bagaimana mungkin sekarang Koan Jit dapat hidup kembali dan mencuri Giok-Liong-Kiam?

"Akan tetapi, andaikata benar dia Koan Jit, berapapun lihainya, bagaimana dia mampu menangkisku dengan Thai-lek Kim-kong-jiu?" Tang Ki membantah.

"Itulah yang membingungkan dan meragukan..." Siu Coan menggeleng kepalanya dengan heran.

"Bagaimanapun juga,kita harus mencari pusaka itu dan merampasnya kembali," kata Tang Ki.

"Tidak mungkin... kita berdua mana bisa pergi begitu saja seperti yang sudah-sudah? Aku adalah seorang raja dan engkau permaisuriku, tak mungkin pergi merantau untuk mencari pencuri pedang pusaka."

"Kita mempunyai banyak pembantu yang pandai, kita dapat mengerahkan anak buah, mengerahkan pasukan istimewa untuk mencarinya sampai dapat." Ong Siu Coan menggeleng kepala.

"Kita harus bertindak cerdik. Kita tidak membutuhkan Giok-Liong-Kiam, yang kita perlukan hanyalah namanya saja. dan sekarang Giok-Liong-Kiam bahkan tidak kita perlukan lagi. Bukankah pusaka itu telah berhasil menarik perhatian dan mengundang orang-orang gagah yang telah membantu gerakan kita sehingga berhasil? Kini kita tidak memerlukannya lagi. Biarlah saja ia dibawa pergi orang lain."

"Tapi... kita meminjamnya dari Ci Kong! Bagaimana kalau dia memintanya kembali?"

"Kalau dia datang memintanya kembali, barulah kepadanya kita berterus terang bahwa pusaka itu dicuri orang. Akan tetapi kita mendapatkan banyak pusaka rampasan dan kita boleh menggantinya dengan pusaka lain atau mengganti kerugian dengan benda berharga lainnya. Biarlah dia yang akan berusaha mencari kembali pusaka itu. Kita tidak membutuhkan Giok-Liong-Kiam lagi." Demikian Ong Siu Coan menyuruh isterinya menyimpan peristiwa pencurian Giok-Liong-Kiam itu sebagai suatu rahasia. Dia tidak ingin semua orang tahu bahwa Giok-Liong-Kiam yang dipandang sebagai lambang kejayaan Tai Peng itu dicuri orang! Biarlah semua orang mengira bahwa Giok-Liong-Kiam masih berada dengan aman di dalam istananya. Memang Ong Siu Coan ini amat cerdik dan selalu bertindak dengan penuh perhitungan demi keuntungan sendiri.

Gadis itu memang cantik sekali, cantik dan manis, dengan bentuk muka bulat telur, dagu meruncing, sepasang alis yang hitam tebal panjang seperti juga rambutnya, sepasang mata yang tajam dan bening, hidung kecil mancung dan mulut yang amat manis dengan bibir yang selalu merah basah dan menantang. Akan tetapi, kadang-kadang nampak sifat dingin dan kejam pada mulut itu. Untuk melengkapi keindahan tubuh gadis itu, bentuk tubuhnya juga amat menarik, dengan pinggang yang kecil ramping, tinggi semampai dan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Gadis berusia tujuh belas tahun ini memang amat cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar. pembawaannya lincah jenaka dan segala yang nampak di sekitarnya menjadi cerah menggembirakan. Dari bentuk pakaiannya mudah diketahui bahwa ia adalah seorang gadis berbangsa Mancu yang pada saat itu menjadi dayang istana Terang Sempurna di taman Yuan-beng-yuan,

Dan sebagai seorang di antara para dayang yang berada di situ, ia ditugaskan untuk menjaga dan mengurus sebuah pondok kecil di sudut taman. Gadis itu bernama Yehonala, sebuah nama Mancu yang berarti Anggrek Kecil. Ia adalah seorang di antara enam puluh empat orang perawan Mancu yang didatangkan oleh permaisuri Kaisar untuk menggantikan selir-selir berbangsa Han karena permaisuri khawatir bahwa kelak suaminya akan mempunyai keturunan putera dari bangsa Han. Akan tetapi biarpun Yehonala amat menonjol dalam kecantikan dan sikapnya di antara semua perawan yang dibawa ke istana, ketika Kaisar memeriksa gadis-gadis itu, datang berita yang amat tidak menyenangkan mengenai didudukinya Wu-cang dan Nan-king oleh pasukan pemberontak Tai Peng.

Maka perhatian Kaisar yang terpecah dan terganggu membuat Kaisar Sian feng tidak melihat Yehonala. Yehonala adalah puteri sulung seorang pejabat menengah berbangsa Mancu. Gadis ini sudah banyak mengunjungi banyak tempat, mengikuti Ayahnya ketika Ayahnya bertugas dan dipindah-pindahkan ke banyak kota. Hal ini membuat Yehonala lebih berpengalaman daripada gadis-gadis Mancu yang lain, dan ia memiliki banyak kelebihan. Bukan hanya kecantikan wajah dan kepadatan tubuhnya, juga ia pandai merias diri dan pandai pula menyanyi dengan suara merdu. Ia banyak mengenal lagu-lagu rakyat berbagai daerah dan pandai menyanyikannya dengan suara yang merdu. Selain itu, juga Yehonala berakal, cerdik dan pandangan luas dan jauh. Mula-mula ia memang merasa kecewa karena agaknya Kaisar mengacuhkannya dan tidak memilihnya menjadi selir,

Bahkan semenjak ia berada di taman itu, belum pernah satu kalipun Kaisar menaruh perhatian terhadap dirinya. Akan tetapi, ia menekan kekecewaannya dan kecerdikannya membuat ia berusaha sedapatnya untuk menarik perhatian Kaisar. Mula-mula, selama berbulan-bulan ia mengecat, menghias dan memperbaiki pondok kecil yang dijaganya. Ia melukis banyak bunga anggrek, bunga kesayangannya yang menjadi namanya, dan menggantungkan lukisan-lukisan itu di dalam pondoknya. Juga dengan uang saku yang ditabungnya, ia mulai menyuap thaikam (orang kebiri) yang bertugas menjaga taman dan istana Yuan-beng-yuan sehingga bersahabat baik dengan mereka. Dua tahun lamanya Yehonala bersabar dan berusaha. Sementara itu ia telah menjadi seorang gadis yang masak dan semakin cantik saja.

Hubungannya dengan para thaikam sudah semakin erat dan para thaikam itu suka membantunya, mencari kesempatan agar Kaisar dapat melihatnya. Kesempatan itu tiba pada suatu sore hari yang hawanya panas. Pada waktu itu, Kaisar Sian Feng duduk di dalam tandu yang dipikul oleh delapan orang thaikam. Kaisar sedang dalam perjalanan mengunjungi seorang selir bangsa Han yang menjadi kesayangannya. Para thaikam yang sudah mengadakan kontak dengan Yehonala, sengaja memikul tandu itu dengan berputar, lewat di bawah pohon-pohon wu-tung yang teduh dan melalui pondok yang didiami Yehonala. Pada saat itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Yehonala, Kaisar yang duduk melenggut oleh kantuk karena panasnya hawa, mendengar suara nyanyian merdu. Tentu saja dia tertarik sekali dan menyingkap tirai tandu di depannya.

"Berhenti...!" kata Kaisar, tertarik sekali karena begitu dia menyingkap tirai, dia melihat sebuah pondok yang dihias amat indah, dicat baru dan di depan pondok penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Sungguh merupakan sebuah pondok yang terbagus di antara pondok yang berada di taman itu.

"Ah, sungguh mungil sekali pondok ini," kata Kaisar dan dibantu oleh para thaikam, diapun turun dari atas tandu, lalu menghampiri pondok dan karena daun pintu pondok terbuka, Kaisar lalu masuk ke dalam. Setibanya di dalam pondok, kembali dia tertegun. Di dalam pondok tergantung lukisan-lukisan bunga anggrek beraneka bentuk dan warna, indah sekali dan perabot pondok itupun dicat dan diatur penuh dengan kerapian yang nyeni. Kaisar masih mendengar suara wanita bernyanyi, maka diapun menjenguk jendela belakang dan ia semakin terpesona. seorang gadis Mancu dengan baju Mancu Sutera merah muda sedang duduk di dekat kolam ikan kecil di belakang pondok.

Gadis itu sedang mengipasi tubuh yang kegerahan dengan kipas sambil menyanyikan sebuah lagu rakyat daerah Soo-chouw. Suaranya merdu sekali dan nyanyian itu adalah nyanyian rakyat tentang seorang gadis yang sedang menanti datangnya sang kekasih. Romantis sekali sehingga Kaisar merasa terharu, hanyut oleh nyanyian itu dan terpesona oleh kecantikan gadis itu. Heran dia mengapa selama ini dia tidak pernah melihat dayang yang manis dan mempesona ini? Setelah Yehonala berhenti bernyanyi, Kaisar Sian Feng lalu menghampiri gadis itu dari belakang. Tentu saja Yehonala sudah tahu akan kehadiran Kaisar, akan tetapi dengan cerdik ia berpura-pura terkejut, membalikkan tubuh dengan sikap semenarik mungkin. Ia nampak terkejut ketika melihat bahwa yang memujinya itu adalah Kaisar sendiri. cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar.

"Mohon Paduka sudi mengampuni hamba, karena tidak tahu akan kunjungan yang mulia Sri Baginda, maka hamba tidak menyambut dengan selayaknya." Suaranya penuh dengan kemerduan, dengan kata-kata yang teratur dan sopan sehingga Kaisar menjadi girang bukan main. Tak disangkanya di tempat yang indah itu dia akan bertemu dengan seorang gadis secantik dan sepintar ini. Dia tertawa bergelak.

"Nona manis, angkat mukamu dan biarkan aku melihatnya," katanya sambil tertawa. Yehonala tersipu malu sehinga wajahnya yang putih bersih, mulus dan cantik itu menjadi kemerahan, menambah kemanisan wajahnya. Dengan malu-malu, senyum dikulum ia mengangkat mukanya menengadah sambil berlutut dan Kaisar Sian Feng menjadi girang bukan main. Kini dia dapat melihat wajah itu dengan jelas dan memang sebuah wajah yang amat menggairahkan hatinya. Dia lalu menglur tangannya, membelai pipi dan leher yang berkulit halus dan hangat itu.

"Siapakah namamu?" Dengan sikap tersipu malu sehingga daya tariknya menjadi kuat, gadis itu menjawab lirih,

"Nama hamba Yehonala... sudah dua tahun hamba mengabdi di.."

"Dua tahun?" Kaisar Sian Feng terkejut dan memaki kebodohannya sendiri. Selama dua tahun dia membiarkan setangkai bunga yang demikian indahnya tanpa pernah menyentuhnya, apalagi memetiknya, melihatpun belum pernah.

"Yehonala, nama indah, seindah lukisan-likisanmu. Yehonala, hari amat panas dan aku merasa gerah sekali. Aku ingin mandi di dalam pondokmu..." Tentu saja Yehonala menjadi girang bukan main. Tidak sia-sia semua kesabaran selama ini, tidak sia-sia semua rencana yang telah dilakukannya. dengan girang ia lalu mempersilahkan Kaisar memasuki pondok, ia lalu mempersiapkan air harum untuk mandi junjungannya itu dan dengan sikap malu-malu seperti layaknya seorang anak perawan yang belum pernah berdekatan dengan pria, ia membantu Kaisar mandi di sore hari yang panas itu. Setelah merasa puas mandi, juga puas membelai dan menciumi dara itu, Kaisar mengenakan pakaiannya dan berbisik,

"Yehonala, bersiaplah engkau untuk melayani dan menemaniku malam nanti." Yehonala berlutut dan menyatakan kesanggupannya dengan sikap malu-malu, namun di dalam hatinya ia bersorak penuh kemenangan. Ia harus dapat menundukkan hati junjungannya ini, ia harus berhasil memenuhi cita-citanya, yaitu menjadi selir terkasih Kaisar,

Kalau mungkin menjadi Ibu dari putera Kaisar agar kelak ia dapat menjadi Ibu suri! Cita-citanya amat besar, dikandung semenjak ia dipilih untuk dibawa ke istana Kaisar. Karena pertemuannya dengan Yehonala, Kaisar tidak jadi mengunjungi selirnya dan langsung pulang ke istana. Dia telah menemukan seorang gadis baru yang amat mempesona dan dia harus mempersiapkan diri untuk bersenang-senang malam nanti dengan gadis itu. Diminumnya darah segar menjangan yang dicampur dengan tanduk menjangan dan ramuan lain untuk memperkuat tubuhnya. Sementara itu, setelah Kaisar meninggalkannya, Yehonala bersenandung dengan gembira, lalu ia pun mempersiapkan diri, mandi dengan air bunga yang harum, kemudian menggosok-gosokkan ramuan yang dapat membuat kulit tubuhnya menjadi halus lunak, bersih dan segar.

Ia sudah bersiap siaga ketika pada malam harinya muncul dua orang thaikam yang diutus Kaisar untuk menjemputnya. Pada jaman itu, terdapat peraturan istana yang luar biasa. Setiap orang selir atau wanita yang dipilih Kaisar untuk melayaninya, selalu akan dijemput oleh dua orang thaikam dan dibawa kepada Kaisar dalam keadaan telanjang dan digulung selimut, kemudian dipanggul ke kamar Kaisar. Hal ini terutama sekali untuk menjamin keamanan Kaisar karena di jaman dahulu pernah terjadi Kaisar dibunuh oleh seorang wanita yang dipaksa menjadi selirnya. Peraturan ini berlaku bagi semua selir atau dayang yang dipanggil Kaisar, kecuali, tentu saja, Permaisuri yang sudah mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari Kaisar, yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga tidak sepatutnya mengalami perlakuan yang merendahkan itu.

Yehonala juga diharuskan bertelanjang lalu digulung dalam selimut dan dipanggul oleh dua thaikam, dibawa ke kamar Kaisar dalam istana. Dan pada malam hari itu, Yehonala melayani Kaisar Sian Feng. Gadis ini memang cerdik bukan main. Walaupun ia seorang perawan yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan pria, namun ambisinya yang besar mendatangkan kecerdikan dan ia mampu membuat Kaisar merasa terbuai dalam kenikmatan yang belum pernah dialaminya sebelum ini. Dia sudah mulai merasa bosan dengan wanita-wanita Han yang menjadi selirnya karena wanita Han selalu bersikap lembut, malu-malu dan pasrah sebagaimana layaknya seorang wanita yang ingin disebut sopan. Akan tetapi Yehonala tidak demikan. Dalam usahanya untuk menyenangkan dan memuaskan hati junjungannya, ia mau dan sanggup melakukan apapun juga! Ia bagaikan seekor kuda yang binal dan liar, dan hal ini merupakan pengalaman baru bagi Kaisar.

Apalagi, hal yang amat diharapkannya terjadilah. Ia mulai mengandung dan yang lebih penting daripada segalanya, setelah kandungannya terlahir, ternyata seorang bayi laki-laki! Seorang putera Kaisar, calon putera mahkota! Tentu saja hal ini bukan hanya amat menggirangkan hati Yehonala, bahkan juga amat membesarkan hati Kaisar dan para keluarganya. Kelahiran putera ini sekaligus mengangkat derajat Yehonala yang tadinya hanya seorang dayang dan kemudian menjadi selir, kini otomatis menjadi seorang permaisuri kedua, dengan kekuasaan yang di bawah Sang Permaisuri sendiri. Agaknya sudah menjadi hal yang sukar untuk dibantah lagi bahwa di dalam cinta asmara antara pria dan wanita, terdapat perbedaan yang amat besar. Walaupun tidak berani pengarang mengatakan bahwa kenyataan ini berlaku bagi semua orang, namun kebanyakan terbukti bahwa cinta seorang pria terhadap seorang wanita banyak sekali dipengaruhi oleh nafsu berahi,

Sedangkan cinta seorang wanita terhadap pria banyak sekali dipengaruhi oleh kemuliaan harta benda. Karena cinta yang dipengaruhi oleh keinginan untuk bersenang ini, baik bagi pria melalui kepuasan berahi, dan wanita melalui kepuasan harta benda, namun jelaslah bahwa cinta kasih seperti ini hanya akan menimbulkan bermacam masalah dan pertentangan saja. Kepuasan nafsu berahi dan kepuasan harta benda erat hubungannya dengan kebosanan dan kekecewaan, dan kalau sudah demikian maka selalu akan terjadi pertentangan di mana cinta kasih dapat berbalik sama sekali menjadi kebencian! Adakah cinta kasih antara pria dan wanita yang tanpa pamrih sehingga benar-benar merupakan cinta kasih yang murni tanpa dikotori keinginan pribadi untuk bersenang-senang? Kalaupun ada, jarang sekali kita melihatnya dan hal ini sungguh patut disayangkan.

Kaisar Sian Feng terlalu sibuk dengan pengejaran kesenangan, terutama sekali kesenangan melalui pengumbaran nafsu berahi sehingga dia hampir tidak perduli sama sekali tentang pemerintahannya. Padahal, di waktu itu, pemberontakan terjadi di mana-mana. Bukan hanya pemberontakan-pemberontakan Tai Peng yang kini sudah menduduki Wu-cang, Nan-king dan lembah Sungai Yang-ce sampai ke muaranya, juga terdapat pemberontakan-pemberontakan lain yang cukup besar di sebelah utara dan barat. Pada waktu pasukan-pasukan pemberontak Tai Peng menyerbu dan menduduki Nan-king, yaitu pada tahun 1853, di utara terjadi pemberontakan Nian-fei, sedangkan di Kwei-cow barat terjadi pemberontakan Suku Bangsa Miau. Jelas nampak betapa kebesaran dan kejayaan Kerajaan Ceng-tiauw yang dikendalikan oleh Bangsa Mancu itu mulai menyuram,

Dan kelemahan dinasti itu bersumber kepada lemahnya orang yang menjadi Kaisar pada waktu itu. Desakan para pemberontak yang seolah-olah mengepung Peking, ditambah lagi dengan makin besarnya kekuasaan ang ditanam oleh orang kulit putih, benar-benar membuat Kerajaan Ceng terancam keruntuhan, hal yang diacuhkan saja agaknya oleh Kaisar Sian Feng. Dan pada jaman itu, para pembesar negeri berlomba untuk membesarkan perut, masing-masing dengan jalan korupsi, suap menyuap, dan hanya mementingkan diri sendiri dan kesenangan pribadi belaka, tentu saja mencontoh langkah yang diambil oleh Kaisar mereka. Bagaikan sebatang pohon, betapapun kokoh kuat dan besarnya pohon itu, kalau sudah dihinggapi penyakit sejak dari akarnya sampai ke ujung-ujung daunnya, maka tak lama kemudian pohon itu tentu akan menjadi rusak dan roboh juga.

Di lereng Pegunungan Luliang-san, di lembah Sungai Fen-ho yang sunyi, terdapat sebuah perkampungan yang tentu akan menarik perhatian orang yang kebetulan lewat di situ. Sejak dari pintu gerbang tembok pagar yang mengelilingi perkampungan itum sampai kepada bangunan rumah-rumah di dalamnya, nampak kemewahan yang tidak sesuai dengan kedaan di tempat sunyi terpencil itu. Pantas perkampungan itu berada di kota, dimiliki oleh orang-orang atau keluarga yang kaya raya. Sebuah bangunan besar seperti istana berada di tengah perkampungan, dikelilingi bangunan-bangunan yang lebih kecil dan di belakang bangunan besar itu terdapat sebuah taman yang luas dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah panggung beratap kayu yang besar dan luas, tanpa dinding. Bagi penduduk dusun-dusun di sekitar Pegunungan Luliang-san,

Pemilik atau majikan perkampungan itu mereka kenal sebagai Lee-Kongcu atau mereka cukup menyebutnya Kongcu (Tuan Muda) saja, karena di seluruh pedusunan tidak ada orang lain yang disebut Kongcu. Orang yang menjadi majikan pekampungan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih, dan orang-orang menyebutnya Kongcu hanya karena mereka tahu bahwa dia itu masih perjaka, dalam arti kata masih belum menikah. Namanya adalah Lee Song Kim! Orang ini memang memiliki banyak keunggulan. selain terkenal sebagai majikan kampung yang kaya raya, juga Lee Song Kim terkenal sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sehingga seluruh penghuni dusun-dusun di daerah pegunungan itu merasa takut kepadanya, juga segan dan hormat karena Lee Song Kim seringkali mengulurkan tangan membantu kepada para petani miskin. Wajahnya tampan pesolek dengan pakaian yang selalu indah dan mewah seperti seorang pelajar yang kaya raya.

Sikapnya selalu periang dan senyum simpul yang selalu menghias bibirnya itu mengandung ejekan dan pandangan meremehkan kepada semua orang. Tidak mengherankan kalau Lee Song Kim tinggi hati dan meremehkan orang lain karena memang dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Lee Song Kim adalah murid terkasih dari mendiang Hai-Tok Tang Kok Bu, seorang di antara Empat Racun Dunia, Ayah kandung dari Tang Ki yang kini menjadi "permaisuri" dari raja kecil Ong Siu Coan pemimpin pemberontak Tai Peng. Dari Suhunya, Lee Song Kim telah mewarisi seluruh ilmunya dan hal ini masih belum memuaskan hatinya. Sebagai seorang murid, juga anak angkat, juga kekasih yang amat dimanja oleh Hai-Tok, Lee Song Kim minta kepada gurunya itu untuk merampaskan dan mencurikan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi dari aliran-aliran dan perkumpulan-perkumpulan besar,

Sehingga ketika gurunya itu berusaha mencuri kitab di kuil Siauw-Lim-Pai, gurunya dikeroyok oleh pendeta-pendeta lihai dan tewas. Sebagai ahli waris Pulau Naga yang dimiliki Hai-Tok, Lee Song Kim menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi diapun maklum bahwa perbuatan gurunya mencuri kitab-kitab dari berbagai aliran persilatan telah ketahuan, maka diapun lalu menyelamatkan diri dari Pulau Naga membawa semua harta benda yang ditinggalkan gurunya, juga semua kitab yang telah dicuri oleh gurunya untuknya. Dia menyembunyikan diri dan menggembleng diri selama bertahun-tahun dengan ilmu-ilmu dari kitab-kitab curian itu sehingga tentu saja ilmu kepandaiannya menjadi semakin hebat. Kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah sedemikian majunya sehingga jelas melampaui tingkat mendiang gurunya sendiri!

Akhirnya, setelah merasa dirinya kuat, Lee Song Kim berani muncul kembali. Sebagai seorang yang mewarisi harta benda yang banyak, dia hidup sebagai seorang yang kaya raya, membangun perkampungan itu dan biarpun dia belum juga beristeri, namun sebagai seorang pria yang mata keranjang, di dalam gedungnya terdapat puluhan orang pelayan wanita muda-muda dan cantik-cantik yang selalu siap melayaninya karena mereka itu menjadi pelayan merangkap selir. Juga untuk memperkuat diri, Lee Song Kim mengumpulkan orang-orang muda yang memiliki ilmu silat, bahkan dididiknya, sebanyak tiga puluh orang lebih yang menjadi anak buahnya dan tinggal di dalam rumah-rumah yang mengelilingi gedungnya di dalam perkampungan itu. Lee Song Kim adalah seorang yang memiliki ambisi besar.

Pernah dicobanya belasan tahun yang lalu untuk mencari kedudukan dan kemuliaan melalui Kerajaan Ceng. Dia bahkan pernah mengabdikan dirinya kepada penjajah, mengkhianati para pejuang. Akan tetapi akhirnya ia gagal dan sebaliknya dikejar-kejar oleh pemerintah! Dia tidak sanggup lagi mencari kedudukan melalui pangkat, maka kini ambisinya mencari cara lain. Dia ingin menjadi seorang yang akan disebut Thian-He Te-It Bu-Hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Dunia)! Karena itu, dia menggembleng diri setiap hari dengan ilmu-ilmu dari semua aliran. Bahkan kitab-kitab yang telah dicuri gurunya untuk dirinya, dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Thian-He Te-It Bu-Hiap, Kun-Lun-Pai, Kong-tong-pai dan lain-lainnya, masih belum memuaskan hatinya. Dia berpikir bahwa untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia,

Dia harus menguasai semua ilmu silat dari aliran manapun juga agar dia dapat menghadapi dan menguasai jago-jago dari semua aliran silat yang ada! Dan diapun perlu menguji ilmu-ilmu yang sudah dipelajari dan dikuasainya itu, untuk melawan tokoh-tokoh dari aliran-aliran itu sendiri. Baru setelah dia memiliki secara lengkap ilmu berbagai aliran itu dan merasa yakin akan mampu mengalahkan semua tokohnya, dia akan mengumumkan bahwa dialah Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan untuk pengangkatan diri menjadi jagoan nomor satu di dunia itupun sudah dia dapatkan lambangnya, yaitu Giok-Liong-Kiam! Ya, tidak keliru dugaan Tang Ki. Lee Song Kim inilah pencuri Giok-Liong-Kiam! Setelah dia mendengar berita bahwa Giok-Liong-Kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng,

Dia lalu mengirim anak buahnya melakukan penyelidikan tentang Ong Siu Coan. Dan ketika dia mendengar laporan anak buahnya betapa istana Ong Siu Coan di Nan-king tidak terjaga dengan ketat, dia lalu turun tangan sendiri, pergi ke Nan-king dan berhasil mencuri Giok-Liong-Kiam dengan amat mudahnya. Akan tetapi dasar mata keranjang dan cabul, setelah berhasil mencuri pedang pusaka itu, dia tidak segera pergi melainkan menyingkap kelambu untuk melihat sepasang manusia yang tidur di balik kelambu. dan melihat wanita yang pernah menjadi sumoinya, yang pernah dicintanya, tidur terlentang dalam pakaian yang tipis, dia tidak dapat menahan diri dan meraba pahanya membuat wanita itu terbangun dan menyerangnya, juga membangunkan Ong Siu Coan yang menyerangnya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi, dia mampu meloloskan diri.

Kalau dia menghendaki, tentu saja dia akan mampu membunuh Ong Siu Coan dan Tang Ki selagi mereka masih tidur. Akan tetapi dia tidak mau melakukannya. Hal itu tentu akan menimbulkan geger besar dan kalau sampai dia dimusuhi oleh Tai Peng, celakalah dia! Dia cukup cerdik untuk menggunakan kedok sehingga suami isteri yang berhasil menjadi raja kaum Tai Peng itu tidak melihat bukti bahwa dia pencurinya. Sore hari itu, Lee Song Kim makan minum ditemani tiga orang pelayan wanita yang paling cantik dan yang menjadi tiga orang kesayangannya. Tiga orang wanita muda yang cantik-cantik ini seperti berlomba untuk mengambil hati Kongcu mereka, bersikap manis dan genit, menemaninya makan minum sambil bersenda gurau.

Lee Song Kim minta disediakan masakan-masakan yang serba istimewa karena dia hendak merayakan keberhasilannya mencuri Giok-Liong-Kiam, walaupun hal itu masih dirahasiakannya, baik terhadap anak buahnya sekalipun. Belum tiba saatnya untuk menyiarkan bahwa dia kini yang memiliki Giok-Liong-Kiam, karena hal itu selain akan memancing datangnya banyak tokoh yang tidak ditakutinya, namun juga memancing datangnya Ong Siu Coan dengan pasukannya yang sama sekali yidak boleh dipandang ringan. Selama beberapa bulan ini, dia sudah mengalahkan banyak ahli silat dari berbagai aliran, dengan mempergunakan ilmu silat dari aliran itu sendiri dan hal ini menambah kegembiraan hatinya. Hanya aliran-aliran silat yang besar-besar saja yang belum dicoba ilmu silatnya.

Setelah merasa kenyang, Lee Song Kim melanjutkan pestanya di dalam kamarnya, minum arak ditemani tiga orang kekasihnya. Dua orang memijit-mijit seluruh badannya, memilih otot-otot yang kalau dipijit dapat melenyapkan rasa lelah, sedangkan seorang pelayan lain duduk di atas pangkuannya, tertawa-tawa ketika dibelainya. Tiba-tiba daun pintu diketuk orang dari luar dan terdengar seorang anak buah minta diterima menghadap karena ada laporan penting. Pelayan wanita yang duduk di atas pangkuan Lee Song Kim segera meloncat turun dan atas isyarat majikannya ia membuka pintu, Lee Song Kim mengerutkan alisnya, memandang kepada anak buahnya itu dengan hati tak senang karena dia merasa terganggu selagi bersenang-senang dengan tiga orang kekasihnya.

"Ada urusan penting apakah yang mendorongmu untuk menemuiku?" tanyanya, siap untuk marah-marah kalau pemuda yang bermuka hitam itu tidak memiliki alasan yang kuat.

"Harap Kongcu suka memaafkan saya," kata pemuda itu.

"Akan tetapi mentaati perintah Kongcu, saya melapor bahwa di kaki bukit ada dua orang Tosu tua yang berjalan menuju perkampungan kita. Melihat sikap dan dandanan mereka, juga bahwa seorang dari mereka membawa pedang di punggung, saya dapat menduga bahwa mereka bukan Tosu-Tosu biasa, Karena itu saya cepat lari untuk melapor kepada Kongcu." Wajah yang tadinya membayangkan kemarahan kini berubah cerah gembira.

"Bagus, aku harus menemui mereka!" katanya dan diapun sudah meloncat turun dan membereskan sebatang pedang di balik jubahnya dan berkelebat keluar.

Gerakannya cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan ilmu terbang saja. Dua orang Tosu itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh kurus tinggi dan membiarkan rambutnya tergerai di kedua bahunya. Di punggungnya nampak sebatang pedang bersarung butut, dan jubah Tosu yang menutupi tubuhnya berwarna kuning lusuh. Wajahnya agak muram dan jarang senyum, wajah yang kurus nampak lonjong, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. Adapun Tosu kedua bertubuh gendut, tidak setinggi temannya, juga jubahnya kuning dengan bagian dada terbuka. Agaknya dia selalu kegerahan. tidak nampak dia membawa senjata dan wajahnya yang bundar itu selalu dihias senyum, sepasang matanya yang lebar bersinar dan berseri. Mereka melangkah tanpa berkata-kata.

Lee Song Kim memperhatikan mereka. Pengetahuannya tentang tokoh-tokoh berbagai aliran silat memang luas. Walaupun dia belum pernah bertemu sendiri dengan dua orang Tosu ini, namun menurut hasil penyelidikannya selama beberapa tahun ini, sejak dia masih hidup di Pulau Naga bersama Hai-Tok, membuat dia tahu bahwa dua orang ini adalah dua tokoh Kun-Lun-Pai tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Bukan main girang rasa hatinya. Terbuka kesempatan baginya untuk menguji ilmu silatnya yang didapat dari kitab pelajarannya! Diapun cepat keluar menghadang perjalanan dua orang Tosu itu. Ketika si tempat sunyi itu tiba-tiba muncul seorang laki-laki tampan yang berpakaian mewah seperti seorang pelajar kaya, dua orang Tosu itu memandang heran dan memperlambat langkah mereka karena laki-laki itu berdiri di tengah jalan, nampaknya sengaja menghadang mereka.

"Jiwi totiang (bapak pendeta berdua), harap perlahan dulu berjalan, karena saya ingin sekali bicara dengan jiwi (anda berdua)," kata Lee Song Kim dengan sikap sopan dan ramah. Tosu tinggi kurus yang berwajah muram itu diam saja, akan tetapi Tosu gendut tertawa ramah.

"Ha-ha, ada keperluan apakah si-cu (orang gagah) menahan perjalanan dua orang Tosu seperti kami?" Diam-diam Song Kim memuji ketajaman mata Tosu gendut ini. Begitu bertemu Tosu ini sudah dapat melihat bahwa dia bukan seorang pelajar biasa, melainkan pandai ilmu silat maka Tosu itu menyebut "sicu". Akan tetapi Song Kim memperlihatkan wajah biasa saja.

"Totiang, kalau saya tidak salah duga, ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh dari Kun-Lun-Pai, bukan?" Dua orang Tosu itu saling pandang dan kerut di antara kedua alis Tosu kurus menjadi semakin dalam. Akan tetapi Tosu gendut segera menjawab sambil tertawa,

"Siancai... pinto berdua hanyalah Tosu-Tosu perantau biasa saja..." Song Kim tersenyum.

"Totiang tidak perlu merendahkan diri. Bukankah totiang berjuluk Tiong Gi Tojin dan totiang yang kurus ini adalah Tiong Sin Tojin? Tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai tingkat tiga yang berilmu tinggi dan lihai sekali!" Dua orang Tosu itu kini nampak terkejut, bahkan Tosu gendut kehilangan senyumnya.

"Sicu, siapakah engkau dan apa kepeluanmu menghadang perjalanan kami, apalagi setelah engkau mengenal siapa adanya kami?" tanya Tosu gendut, wajahnya serius.

"Saya hanya seorang laki-laki biasa saja, orang menyebut saya Lee Kongcu dan saya paling suka dengan ilmu silat walaupun kepandaian saya masih rendah sekali. Sudah lama saya mendengar akan kelihaian ji-wi totiang, maka setelah sekarang ada jodoh untuk bertemu di sini, saya harap ji-wi tidak terlalu pelit untuk mempertunjukkan ilmu-ilmu ji-wi yang tinggi untuk membuka mata saya." Dua orang Tosu itu mengerutkan akisnya.

"Orang muda, kami hanyalah Tosu-Tosu yang selalu mendambakan kedamaian dan tidak suka berkelahi. Ilmu yang kami pelajari hanya untuk menjaga diri saja. Karena tidak ada urusan apapun di antara kita, bagaimana mungkin kami mengeluarkan ilmu silat? Kami bukan tukang jual obat di pasar yang suka memamerkan ilmu silat," kata pula Tosu gendut. Lee Song Kim menggeleng kepala.



JILID 03

"Jodoh sudah menentukan perjumpaan kita, maka ji-wi jangan menolak, harap keluarkan imu-ilmu simpanan ji-wi untuk saya lihat."

"Orang muda lancang!" Kini Tosu kurus yang bernama Tiong Sin Tojin membentak marah.

"Minggirlah dan biarkan kami melanjutkan perjalanan!" Kembali Song Kim menggeleng kepala.

"Tidak bisa, totiang. Sebelum ji-wi menunjukkan ilmu-ilmu simpanan ji-wi, jangan harap akan dapat melanjutkan perjalanan."

"Siapa yang berani melarang kami!" bentak Tosu tinggi kurus, kini menjadi marah sekali.

"Akulah yang melarang. Bagaimanapun juga, ji-wi harus melayani dulu aku barang seratus jurus!"

"Siancai, orang ini sungguh sombong dan kurang ajar, Suheng. Biar pinto menghajarnya!" kata Tosu kurus.

"Hati-hatilah, Sute. Agaknya dia memang sengaja mencari urusan," kata Tosu gendut. Tiong Sin Tojin, yang tinggi kurus, segera melangkah maju dan karena dia dapat menduga bahwa orang muda yang demikian sombong dan kurang ajar tentu memiliki kepandaian cukup tinggi, begitu menyerang dia mengeluarkan jurus serangan yang ampuh dan dahsyat. Kedua tangannya membentuk paruh burung yang meruncing dan paruh burung ini mematuk-matuk ke arah jalan darah yang berbahaya di kepala, leher dan dada secara bertubi-tubi.

"Hemm, Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih mematuk Ikan)...!" seru Lee Song Kim sambil mengelak ke sana-sini. karena dia sudah mengenal gerakan jurus ini, maka tidak sukarlah baginya untuk menghindarkan diri. Tiong Sin Tojin terkejut mendengar seruan pemuda itu yang telah mengenal jurus serangannya. Cepat dia merubah gerakan kaki tangannya dan kini dia menyerang dengan dua buah jari tangan kanan, yaitu telunjuk dan jari tengah, menusuk ke arah leher.

"Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan)... Kembali Song Kim berseru dan betapapun cepat dan dahsyatnya serangan maut itu, dengan mudah dia dapat menangkis sambil melangkah mundur dua langkah. serangan ini pun gagal.

"Tahan dulu!" bentak Tiong Sin Tojin,

"Siapakah engkau yang mengenal jurus-jurus Kun-Lun-Pai? Apakah engkau seorang murid Kun-Lun-Pai?" Song Kim menggeleng kepalanya.

"Bukan murid, akan tetapi aku suka sekali mempelajari jurus-jurus terlihai dari Kun-Lun-Pai, bukan seperti yang kau perlihatkan tadi, totiang." Tiong Sin Tojin menjadi marah.

"Sudahlah, pinto tidak mempunyai urusan dengan orang gila seperti engkau. Suheng, mari kita pergi."

"Ha, nanti dulu, totiang. Kalau engkau tidak mau menyerang, biarlah aku yang menyerangmu. Lihat ini Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi)!" bentak Song Kim dan diapun sudah menyerang dengan ganas sekali, menggunakan kaki tangannya dan serangan itu datang dari atas dan bawah, amat cepatnya. Melihat betapa pemuda itu menggunakan sebuah jurus Kun-Lun-Pai yang ampuh dan berbahaya, Tiong Sin Tojin terkejut dan cepat diapun menyambut dengan elakan dan tangkisan,

Dan merasa betapa lengannya tergetar setiap kali bertemu dengan lengan lawan. Yang membuat dia penasaran dan kaget sekali ketika melihat betapa lawan itu kini menyerangnya terus dengan jurus-jurus pilihan dari Kun-Lun-Pai! Terpaksa dia harus mengeluarkan jurus-jurus tandingan untuk memunahkan semua serangan itu dan memang inilah yang dikehendaki oleh Song Kim. Diam-diam otaknya yang cerdik itu mencatat semua gerakan lawan yang dapat mematahkan setiap serangannya sehingga dari pekelahian ini dia memperoleh tambahan jurus-jurus pilihan dari Kun-Lun-Pai. Karena merasa tidak dapat menandingi pemuda itu dengan tangan kosong, Tiong Sin Tojin meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Akan tetapi Suhengnya, Tiong Gi Tojin yang gendut, cepat mencegahnya sambil meloncat ke depan.

"Sute, barlah pinto yang maju." Dia tidak ingin Sutenya menggunakan senjata karena mereka berdua tidak bermusuhan dengan orang she Lee ini, Untuk apa menggunakan senjata? Pantang bagi orang-orang yang menjadi pendeta, apalagi pendeta Kun-Lun-Pai yang terpandang, untuk melukai, apalagi membunuh orang tanpa sebab. Kini, dengan mulut masih tersenyum menyeringai, Tosu gendut ini menghadapi Song Kim.

"Lee-Kongcu (tuan muda Lee), sesungguhnya pinto tidak mengerti mengapa Kongcu memaksa pinto berdua untuk bertanding silat denganmu. Lebih tidak mengerti lagi pinto melihat betapa engkau yang mengaku bukan murid Kun-Lun-Pai, demikian pandai bersilat dengan ilmu silat aliran kami!"

"Tiong Gi Tojin, terus terang saja, aku adalah orang yang paling suka belajar ilmu silat, karena itulah maka aku minta kepada ji-wi untuk memberi petunjuk kepadaku barang seatus jurus. Karena suka ilmu silat, aku mempelajari semua aliran, termasuk Kun-Lun-Pai. Sayang, sangat sedikit yang kupelajari, maka kuharap akan memperoleh barang beberapa jurus dari ji-wi totiang."

"Huh, kau hendak mencuri ilmu orang lain!" bentak Tiong Sin Tojin yang berdiri di pinggir sambil mengepal tinju dengan marah.

"Mencuri...!" Tiba-tiba Tiong Gi Tojin berteriak dan memandang kepada Song Kim dengan mata terbelalak.

"Kalau begitu, dia yang melakukan pencurian kitab Kun-Lun-Pai beberapa tahun yang lalu"

"Benar! Tentu dia inilah pencurinya!" teriak Tiong Sin Tojin, agaknya juga baru sadar dan teringat akan peristiwa menggemparkan tentang hilangnya beberapa buah kitab pusaka Kun-Lun-Pai.

"Pantas dia bukan murid Kun-Lun-Pai namun pandai ilmu silat Kun-Lun-Pai."

Dua orang Tosu itu kini langsung menerjang Song Kim dengan serangan maut karena mereka baru sadar bahwa tentu inilah orang yang telah mencuri kitab dari gudang pusaka Kun-Lun-Pai. Song Kim merasa gembira sekali dan menyambut mereka dengan cepat, memancing mereka untuk mengeluarkan ilmu-ilmu mereka yang paling hebat. Dua orang Tosu ini terpancing dan mereka memang menyerang dengan jurus-jurus pilihan, tidak tahu bahwa sama saja halnya mereka mengajarkan ilmu pukulan aliran mereka yang paling ampuh kepada laki-laki yang amat lihai ini. Dengan serangan dua orang itu, banyak jurus yang tadinya dipahami Song Kim secara teoritis saja, kini dia memperoleh petunjuk bagaimana harus memainkan jurus itu dengan tepat. Dia mempermainkan dua orang Tosu itu sampai lima puluh jurus lebih tanpa merobohkan mereka, hanya menyerang untuk memncing mereka mengeluarkan jurus pilihan aliran Kun-Lun-Pai.

"Tahan dulu!" bentak Tiong Gi Tojin yang melompat mundur diikuti Sutenya. Dia merasa penasaran sekali.

"Sebetulnya siapakah engkau, murid mana dan mengapa memusuhi kami orang Kun-Lun-Pai?" Karena melihat betapa lihainya lawan, Tiong Gi Tojin merasa perlu untuk tahu lebih banyak tentang lawan ini, sedangkan Tiong Sin Tojin kini mencabut pedangnya karena maklum bahwa ilmu silat tangan kosong mereka berdua agaknya tidak akan mampu mengalahkan lawan yang lihai itu. Sementara itu, Song Kim sudah merasa cukup menimba pengetahuan ilmu silat Kun-Lun-Pai dari meraka, dan melihat betapa mereka kini telah mempersiapkan senjata, dia maklum bahwa kalau dia main-main terus, salah-salah dirinya sendiri yang menjadi korban karena bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa dua orang Tosu itu amat tangguh. Maka, sambil tersenyum diapun menjawab,

"Mau tahu aku murid mana? Nah, ji-wi totiang (dua bapak pendeta), kiranya ji-wi (kalian berdua) belum buta dan dapat mengenal ilmu silatku!" Berkata demikian, Song Kim memasang kuda-kuda lalu menerjang ke depan, ke arah Tiong Gi Tojin dengan jurus dahsyat dari ilmu silat Houw-kun (Silat Harimau). Tiong Gi Tojin terkejut dan cepat mengelak sambil mencabut sebatang kebutan dari pinggangnya dan mengebut ke samping. Akan tetapi Song Kim sudah menubruk ke samping dan menyerang Tiong Sin Tojin dengan cakaran kedua tangannya, persis gerakan seekor harimau yang mencakar ke samping dengan amat kuatnya. Tiong Sin Tojin juga cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari terkaman itu dan kedua orang Tosu itu hampir berbareng berseru,

"Murid Siauw-Lim-Pai...??" Mereka berdua mengenal ilmu silat Siauw-Lim-Pai itu, yaitu Houw-kun (Silat harimau). satu di antara ilmu-ilmu silat Siauw-Lim-Pai yang meniru gerakan binatang-binatang buas. Akan tetapi sambil tertawa Song Kim menyerang terus dan biarpun kedua orang lawan itu memegang pedang dan kebutan, tetap saja dia dapat mendesak mereka dengan jurus-jurus maut dari Siauw-Lim-Pai.

Hal ini tidaklah aneh, sama sekali bukan karena dia terlalu mahir dengan ilmu silat Siauw-Lim-Pai, yang seperti juga dengan ilmu-ilmu silat berbagai aliran hasil curian mendiang gurunya, hanya dikuasai beberapa bagian saja yang tergolong tinggi tingkatnya, melainkan karena memang sebelum menguasai berbagai ilmu silat itu, dia sendiri sudah amat lihai sebagai murid Hai-Tok. ilmu silat Siauw-Lim-Pai itu dia pergunakan sebagai kulit luarnya saja, akan tetapi sebenarnya sinkang yang dipergunakan dibalik pukulan dan cengkeraman itu adalah sinkang yang diwarisinya dari Hai-Tok. Dan memang tingkatnya jauh lebih tinggi kalau dibandingkan dengan tingkat dua orang Tosu Kun-Lun-Pai tingkat tiga itu.

"Krrakkk...!" Tiba-tiba cengkeraman tangan kirinya tepat mengenai kepala Tosu itupun terpelanting, pedngnya terlempar dan diapun tidak mampu bergerak lagi. Tempurung kepalanya bagian pelipis kanan Tiong Sin Tojin retak dan tertekan masuk kedalam dan nampak kepala itu berlubang empat, bekas empat buah jari tangan Song Kim yang mencengkeram. Tiong Sin Tojin tewas seketika. Tiong Gi Tojin marah bukan main, menggerakkan kebutannya sehingga terdengar bercuitan dan gulungan putih menyambar-nyambar. Namun, dengan lincahnya Song Kim dapat menghindarkan diri, kemudian kembali tangannya yang ampuh bergerak, kini memukuldengan tangan terbuka ke depan.

"Desss...!" Dada kiri Tiong Gi Tojin terkena hantaman telapak tangn itu.

"Uhhhh!" Tiong Gi Tojin terhuyung, darah segar keluar dari mulutnya dan kebutannya terlempar lepas dari tangannya yang kini keduanya dipakai untuk menekan dadanya yang kena pukul tadi.

"Ha-ha-ha, kiranya tidak berapa hebat kepandaian Tosu tingkat tiga dari Kun-Lun-Pai. Sayang bukan tingkat pertama atau ketuanya sendiri yang dapat kuajak bertanding," kata Song Kim. Tiong Gi Tojin berdiri memandang kepada lawan itu dengan mata tajam dan penuh kemarahan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dia mengambil tubuh Sutenya yang sudah menjadi mayat, memanggulnya dan tanpa pamit diapun pergi diiringi senyum mengejek dari Lee Song Kim.

Begitu Tosu gendut itu memanggul tubuh Sutenya, Song Kim cepat memanggil dua orang pembantu atau juga muridnya untuk membayangi perjalanan Tiong Gi Tojin dan melihat perkembangan siasat yang telah dilaksanakan tadi, yaitu mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai. Dia tahu bahwa di antara aliran-aliran persilatan, dua partai persilatan itulah yang merupakan sumber ilmu silat tinggi. Siauw-Lim-Pai adalah gudang ilmu silat dari para hwesio sakti seperti mendiang Tat Mo Couwsu dan lain-lain, sedangkan Kun-Lun-Pai juga merupakan gudang ilmu silat dari para pertapa dan Tosu di Kun-lun-san, bahkan dari Himalaya. Kalau dia dapat menguasai ilmu-ilmu paling tinggi dari dua partai persilatan itu,

Dia tidak akan gentar lagi menghadapi jagoan-jagoan mereka dan dia akan lebih mudah mencapai cita-cita yaitu mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap (Jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Dengan menahan rasa nyeri pada luka di dadanya, Tiong Gi Tojin berlari sambil memanggul jenazah Sutenya. Tentu saja dia tidak mungkin dapat kembali ke Kun-Lun-Pai yang jauh, dan hanya pergi ke sebuah kuil yang menjadi cabang dari Kun-Lun-Pai. Pada malam harinya, tibalah dia di kuil yang dipimpin oleh seorang Sutenya, yaitu Tiong Le Tojin. Setibanya di pintu kuil, Tiong Gi Tojin tidak kuat lagi dan diapun roboh terguling bersama jenazah Tiong Sin Tojin. Tentu saja Tiong Le Tojin, ketua kuil Kun-Lun-Pai itu, terkejut sekali melihat kedua orang Suhengnya itu. Seorang telah menjadi mayat dan seorang lagi dalam keadaan terluka berat.

"Tiong Gi Suheng, apakah yang telah terjadi?" tanyanya sambil memangku kepala Suhengnya itu yang napasnya sudah empas-empis dan mukanya sudah menjadi pucat kebiruan.

"Orang she Lee... murid Siauw-Lim-Pai..." hanya demikian dia mampu mengeluarkan suara karena diapun terkulai dan tewas menyusul Sutenya. Tentu saja pesan terakhir ini membingungkan hati Tiong le Tojin. Murid Siauw-Lim-Pai she Lee. Agaknya orang she Lee itulah yang membunuh kedua orang Suhengnya.

Karena pentingnya urusan Tiong Le Tojin setelah mengurus kedua jenazah Suhengnya itu sebagaimana mestinya, lalu berangkat menuju ke pusat Kun-Lun-Pai untuk melaporkan tentang kematian dua orang Tosu Kun-Lun-Pai. Disebutnya Siauw-Lim-Pai merupakan hal gawat dan Tiong Le Tojin tidak berani lancang mengurusnya sendiri ke Siauw-Lim-Pai. Para pimpinan Kun-Lun-Pai terkejut mendengar bahwa dua orang tokoh mereka tewas di tangan seorang she Lee murid Siauw-Lim-Pai. Ada beberapa orang tokoh pimpinan yang berwatak keras dan segera menyatakan untuk menuntut balas kepada orang-orang Siauw-Lim-Pai, akan tetapi Tiong Tek Seng-jin, ketua Kun-Lun-Pai pusat yang usianya sudah tujuh puluh tahun dan terkenal bijaksana, sabar dan juga sakti itu, mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Siancai, siancai, siancai...! Perbuatan menurutkan nafsu amarah merupakan penyelewengan yang hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Sejak dahulu kita sudah mengenal Siauw-Lim-Pai dan tahu bahwa pusat Siauw-Lim-Pai pusat orang-orang gagah yang berjiwa patriot dan pendekar. Karena itu, kalau ada seorang murid Siauw-Lim-Pai melakukan penyelewengan misalnya, janganlah hendaknya kesalahan itu kita timpakan kepada seluruh anggauta Siauw-Lim-Pai! Yang tidak benar adalah oknumnya, bukan perkumpulannya. Mengingat akan persahabatan antara kita dan Siauw-Lim-Pai, biarlah kita sampaikan saja peristiwa ini kepada Siauw-Lim-Pai untuk menindak murid mereka yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang murid kita."

Mendengar ucapan yang halus dan mengandung penuh wibawa ini, semua pimpinan Kun-Lun-Pai menyadari dan mereka pun mentaati pesan itu. segera dikirim utusan ke pusat Siauw-Lim-Pai untuk melaporkan peristiwa pembunuhan atas diri dua orang Kun-Lun-Pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-Lim-Pai adalah Thian Tek Hwesio, menggantikan Suhengnya, Thian He Hwesio yang sudah meninggal dunia karena usia tua. Thian Tek Hwesio yang bertubuh pendek kecil itu berusia tujuh puluh tahun lebih dan dia dibantu oleh Thian Khi hwesio yang bertubuh sedang dan berusia tujuh puluh enam tahun. Tentu saja dua orang hwesio tua ini dibanru pula oleh beberapa orang murid-murid kepala. Ketika Thian Tek Hwesio dan Thian Khi hwesio menerima utusan Kun-Lun-Pai dan mendengar pelaporan mereka, keduanya terkejut dan saling pandang.

"Omitohud... pinceng merasa berduka sekali mendengar berita yang buruk ini. Ingin pinceng mengetahui, siapakah nama murid Siauw-Lim-Pai she Lee yang melakukan pembunuhan itu, di mana tempat tinggalnya dan apa pula sebabnya?" Utusan Kun-Lun-Pai memberi hormat dan dengan jelas dia lalu menceritakan bahwa dua orang itu tahu-tahu roboh di depan kuil Kun-Lun-Pai di tai-gu, dan bahwa mendiang Tiong Gi Tojin yang ketika itu masih hidup hanya meninggalkan pesan beberapa patah saja, yaitu : "orang she Lee... murid Siauw-Lim-Pai..."

"Omitohud, jadi pihak Kun-Lun-Pai tidak tahu siapa sebenarnya orang she Lee murid Siauw-Lim-Pai itu dan apa yang menjadi sebab maka dia sampai membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai?"

"Benar," jawab utusan itu,

"Ketua kami dengan hormat menyerahkan kepada kebijaksanaan locianpwe di Siauw-Lim-Pai untuk menyelidiki dan bertindak atas perbuatan muridnya, dan Kun-Lun-Pai tidak akan mencampuri."

"Sungguh bijaksana sekali ketuamu itu, to-yu. Akan tetapi bagaimana kami akan dapat bertindak dan
menghukum murid kami kalau kami tidak mengetahui siapa dia? Hendaknya diketahui bahwa murid Siauw-Lim-Pai yang berada di luar banyak sekali, dan tak terhitung junlah murid yang she Lee, bahkan mungkin ada cucu murid she Lee yang tidak pernah kami ketahui atau kenal sama sekali."

"Siancai... kami hanya utusan, locianpwe, dan kami sudah menyampaikan laporan dan pesan ketua kami. Kemudian terserah kepada kebijaksanaan Siauw-Lim-Pai. Kun-Lun-Pai hanya akan bertindak sebagai penonton untuk mengagumi keadilan dan ketegasan Siauw-Lim-Pai yang sejak ratusan tahun menjadi sahabat kami, demikian pesan ketua kami."

"Omitohud... betapa sukarnya tugas itu, akan tetapi pinceng akan mencobanya, melakukan penyelidikan itu. Harap sampaikan salam dan hormat kami semua kepada para pimpinan Kun-Lun-Pai." Utusan itupun pergi meninggalkan Siauw-Lim-Pai dan tak lama kemudian, Lee Song Kim juga mendengar akan segala laporan anak buahnya yang melakukan penyelidikan. Hatinya merasa agak kecewa bahwa api yang dinyalakannya antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai tidak jadi berkobar. Kiranya kedua pihak tidak dibakar perasaan marah, bahkan Kun-Lun-Pai menyerahkan penyelidikan tentang perisriwa itu kepada Siauw-Lim-Pai.

Cita-citanya untuk membakar kedua perkumpulan besar itu agar mereka saling serang sehingga dia akan dapat mempelajari gerakan-gerakan ilmu silat mereka yang sedang bertanding, gagal. Ang-Hong-Pai (Perkumpulan Tawon merah) merupakan sebuah perkumpulan sesat yang anggautanya seluruhnya terdiri dari wanita-wanita belaka. Biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan wanita, namun nama Ang-Hong-Pai terkenal di dunia hitam sebagai perkumpulan yang kuat karena para anggauta wanita yang jumlahnya mendekati seratus itu rata- rata memiliki ilmu silat tinggi, ahli pula tentang penggunaan racun dan rata-rata memiliki watak kejam dan buas, mudah membunuh dan tidak segan-segan menyiksa lawan yang tertawan. Juga banyak di antara mereka terkenal sebagai wanita-wanita yang haus akan pria,

Suka menangkapi pria-pria muda dan celakalah pria yang sudah menjadi tawanan mereka karena dia akan dibawa ke sarang Ang-Hong-Pai dan tak seorangpun tahu apa yang menjadi nasibnya karena dia takkan pernah muncul lagi di dunia ramai! Biarpun banyak di antara para anggauta Ang-Hong-Pai merupakan wanita-wanita muda yang berwajah cantik dan bersikap genit, namun kaum pria bergidik ngeri kalau mendengar disebutnya nama Ang-Hong-Pai. Terutama sekali mereka yang tinggal di daerah kota Nan-ping di Propinsi Hok-kian. Kalau ada seorang wanita, betapa cantikpun, mengenakan pakaian serba merah, sebagai tanda bahwa ia anggauta Ang-Hong-Pai, maka para pemuda yang tidak memiliki kepandaian segera cepat-cepat menyembunyikan diri, seperti anak-anak ayam melihat datangnya seekor musang.

Para hartawan di kota Nan-ping dan sekitarnya, tidak ada yang berani menolak untuk memberi sumbangan apabila ada wanita baju merah datang ke rumah mereka, sehingga kehidupan Ang-Hong-Pai terjamin oleh sumbangan-sumbangan itu, di samping hasil perampokan atau pencurian yang mereka lakukan di tempat-tempat yang jauh dari wilayah Nan-ping. Mereka tidak pernah mau mengganggu wilayah itu karena mereka memperoleh sumbangan dengan dalih "menjaga keamanan". Ada memang terjadi beberapa kali munculnya seorang jagoan yang menganggap dirinya cukup mampu utuk menjadi pendekar dan menentang Ang-Hong-Pai, akan tetapi akibatnya, jagoan itu yang tewas dan mayatnya tak pernah dilihat orang. Maka, nama Ang-Hong-Pai menjadi semakin tersohor dan kaum pendekar merasa lebih aman untuk mengambil jalan sendiri dan tidak mencari perkara dengan waita-wanita liar itu.

Yang menjadi ketua dari Ang-Hong-Pai ketika itu adalah seorang wanita berusia kurang lebih enam puluh tahun, akan tetapi melihat bentuk wajahnya yang masih manis, mukanya yang belum dinodai keriput, tubuhnya yang masih padat rampng, ia nampak seperti seorang wanita berusia tiga puluh tahun saja! Para anggauta atau murid Ang-Hong-Pai menyebutnya Theng Toanio dan nama sebenarnya adalah Theng Ci. Wanita ini masih nampak cantik dan pakaiannya selalu mewah, berwarna merah terbuat dari Sutera mahal dengan hiasan kuning emas dan garis biru. Theng Toanio ini melanjutkan kedudukan mendiang subonya (guru wanita) memimpin Ang-Hong-Pai dan karena ia nampak lebih pandai daripada mendiang subonya, maka anak buah Ang-Hong-Pai semua taat dan tunduk kepadanya.

Theng Toanio inilah yang mulai memungut sumbangan dari para hartawan, berbeda dengan mendiang subonya yang dahulu hanya mengandalkan kejahatan untuk membiayai perkumpulannya. Juga kini anggaua Ang-Hong-Pai mendekati seratus orang kesemuanya terdiri dari wanita-wanita cantik dengan usia tidak lebih dari tiga puluh tahun! Theng Toanio mengusir bekas anggauta yang usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun. Wanita ini memang lihai sekali, lihai permainan pedangnya dan juga amat pandai mempergunakan senjata rahasia jarum merah yang mengandung racun tawon yang amat kuat. Perlu diketahui bahwa diwaktu mudanya, Theng Ci ini pernah diperkosa oleh datuk sesat Thian-tok, dan agaknya pengalaman inilah membuat Thian-tok tidak melupakan wanita ini.

Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, datuk sesat Thian-tok, satu di antara Empat Racun Dunia yang menjadi guru Ong Siu Coan, mencari Theng Ci di sarang Ang-Hong-Pai. Mula-mula, melihat kedatangan datuk sesat yang pernah memperkosanya, Theng Ci menjadi marah dan mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi Thian-tok terlalu lihai baginya dan untuk kedua kalinya, wanita ini terpaksa menyerah, bahkan sekali ini ia melayani segala kehendak Thian-tok dengan sukarela karena Racun Dunia itu menjanjikan kepadanya untuk mengajarkan ilmunya yang paling hebat. Demikianlah, selama hampir satu tahun, Thian-tok hidup di antara para wanita di Ang-Hong-Pai, dan mengajarkan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan-kun-hoat kepada Theng Ci atau Theng Toanio, juga beberapa ilmu lain.

Setelah Thian-tok merasa bosan tinggal di situ dan pergi, Theng Toanio telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main, jauh lebih lihai daripada sebelum ia digembleng Thian-tok. Dan iapun melatih anak buahnya sehingga mereka juga memperoleh kemajuan pesat. Semakin ditakutilah Ang-Hong-Pai semenjak waktu itu. Ang-Hong-Pai berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat, di luar kota Nan-king dalam Propinsi Hok-kian. Dari jauh, perkampungan Ang-Hong-Pai tidak nampak saking lebatnya hutan di bukit itu. Akan tetapi, bukit yang diberi nama Ang-Hong-Pai atau Bukit Tawon Merah itu terkenal sebagai tempat berbahaya dan tidak ada seorangpun berani mencoba-coba untuk mendudukinya.

Di dalam hutan itu terdapat penuh binatang hutan yang buas, akan tetapi yang membuat orang merasa gentar adalah rombongan tawon-tawon yang bermacam-macam di tempat itu. Banyak di antara tawon- tawon ini berbisa. Sengatannya dapat mengakibatkan maut dalam waktu beberapa jam saja. Dan tentu saja, selain bahaya binatang buas dan tawon, bahaya terbesar yang mengancam mereka yang berani mendaki bukit itu adalah perkumpulan Ang-Hong-Pai sendiri. Pada waktu itu, Kaisar amat lemah dan berenang di dalam kesenangan pemuasan nafsu belaka. Kelemahan Kaisar tentu mengakibatkan kelemahan pemerintahan, pejabat-pejabat tidak terkendali sehingga mereka bagaikan kuda-kuda yang lepas dari kekangan, berubah menjadi raja-raja kecil yang tidak memperdulikan keadaan rakyat,

Melainkan berlomba untuk menumpuk kekayaan dan memperkuat kedudukan. Adanya gangguan kepada rakyat seperti perampok dan golongan hitam macam Ang-Hong-Pai, tidak diperdulikan oleh para pejabat daerah. Bagi mereka, asal kedudukan mereka tidak diganggu, sudahlah. bahkan banyak terjadi penjahat berkomplot dengan pejabat, keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu makmur dengan jalan menghisap darah rakyat jelata dan tidak saling menentang, Katakanlah bagi hasil! Theng Toanio tidak terkecuali. Iapun melihat kelemahan pemerintah, maka iapun segera mengadakan kontak dengan para pejabat daerah, mengirimkan barang-barang berharga sebagai tanda penghormatan dan hal ini membuat para pejabat segan untuk menentang Ang-Hong-Pai,

Asal perkumpulan itu tidak mengganggu alat-alat pemerintah. Demikianlah kedudukan Ang-Hong-Pai amat kuat di daerah itu, dan para pendekarpun segan untuk menentangnya. Namun, pada suatu pagi yang sunyi dan cerah, nampak sesosok bayangan mendaki bukit Ang-hong-san dengan lenggang seenaknya, seolah-olah dia sedang mendaki sebuah bukit yang indah untuk pergi bertamasya, bukan sedang mendaki bukit yang penuh dengan bahaya yang mengancam nyawanya. Bayangan itu adalah seorang laki-laki yang belum tua, usianya tiga puluh delapan kurang lebih, pakaiannya mewah, wajahnya tampan dan tubuhnya membayangkan kekuatan. Rambutnya tersisir licin dan mengkilap karena minyak, mulutnya tersenyum-senyum.

Seorang pria muda yang tampan menarik dan berpakaian mewah, pesolek dan senyumnya tentu mudah meruntuhkan benteng pertahanan hati wanita! Orang ini bukan lain adalah Lee Song Kim! Tidak mengherankan kalau orang seperti dia sudah tahu bahwa bukit itu adalah sarang Ang-Hong-Pai, karena dia adalah seorang yang amat lihai dan memang dia naik ke puncak bukit dengan maksud mengunjungi Ang-Hong-Pai. Lee Song Kim mendengar berita tentang Ang-Hong-Pai, tentang ketuanya yang masih nampak cantik biarpun usianya sudah setengah abad lebih, tentang para anggautanya yang berjumlah hampir seratus orang, semua wanita muda yang menarik. Timbul keinginan hatinya untuk berkunjung dengan dua macam niat di hatinya. Pertama, untuk menguji ilmu ketua Ang-Hong-Pai, kalau perlu menguasai ilmu silatnya,

Dan kedua, kalau memang benar bahwa anggauta Ang-Hong-Pai terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik, dia bermaksud menaklukkan perkumpulan itu. Pertama, agar Ang-Hong-Pai dapat memperkuat kedudukannya, dan kedua, wanita-wanita itu dapat menghibur hatinya dan memuaskan nafsunya. terutama sekali dia harus menyusun kekuatan, karena untuk mempunyai jagoan nomor satu, harus mempunyai kekuatan yang mendukung di belakangnya, untuk menghadapi lawan yang banyak jumlahnya. Ang-Hong-Pai bukanlah perkumpulan yang besar kalau kedatangan orang asing di bukit itu tidak mereka ketahui semenjak orang itu menginjakkan kaki di tanjakan pertama. Mereka selalu memasang penjaga di semua sudut, secara bergilir. Ketika para penjaga melihat munculnya seorang laki- laki yang demikian tampannya,

Jantung mereka sudah berdebar tidak karuan, merasa gembira dan tegang sekali, seperti sekumpulan serigala kelaparan melihat munculnya seekor domba yang gemuk dari dalam semak-semak. Tiga orang penjaga ini ingin sekali segera menubruk pria itu, diperebutkan. Akan tetapi mereka bukan orang-orang yang bodoh dan lancang. Mereka dapat melihat, dari sikap dan langkah pria itu, bahwa yang mendaki bukit ini bukanlah orang sembarangan. Mereka tidak berani sembrono. Sekali bertindak dan gagal, tentu mereka akan mendapat kemarahan ketua mereka. Padahal, kalau sudah marah, Theng Toanio kejam luar biasa. Mudah saja membuntungi lengan atau kaki, atau bahkan leher orang! Maka, sambil menahan getaran hati yang penuh dengan nafsu melihat pria yang demikian gantengnya, tiga orang ini lalu membagi tugas.

Seorang melapor kepada ketua di atas, yang lain tetap mengintai. mereka tidak khawatir pria itu akan dapat pergi dari bukit itu karena bukit itu, di antara pohon-pohon besar di dalam hutan, terdapat jebakan-jebakan dan perangkap-perangkap yang penuh rahasia. Sebelum tiba ditanjakan lereng pertengahan, tentu pria itu sudah akan masuk perangkap dan mudah saja mereka tawan! Demikian pikir mereka, sama sekali tidak mengetahui bahwa calon korban yang mereka sangka seekor domba gemuk yang lunak dagingnya itu ternyata adalah seekor harimau yang tidak akan mudah dikalahkan oleh pengeroyokan segerombolan serigala betina yang kelaparan! Bahkan mungkin segerombolan serigala betina itulah yang akan menjadi korban terkaman sang harimau. Lee Song Kim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.

Penglihatan dan pendengarannya, juga panca-indera yang lain, amatlah peka dan terlatih. Maka, diam-diam dia sudah mendengar dan melihat berkelebatnya tiga bayangan wanita di antara semak-semak belukar itu. Akan tetapi dia hanya tersenyum saja, tidak membuat gerakan mencurigakan, pura-pura tidak tahu saja. Namun dia sudah dapat menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah penjaga-penjaga yang sudah melihat di mendaki bukit dan tentu kini Ang-Hong-Pai telah membuat persiapan untuk menyambutnya. Mengingat akan hal ini, Song Kim tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dia terus melangkah maju dengan gagah, memasuki hutan lebat itu, mendaki tanjakan pertama yang penuh liku. Beberapa kali dia mendapatkan jalan buntu, terhalang jurang yang menganga lebar dan mengerikan.

Bagi orang biasa demikian, akan tetapi dengan mudah Song Kim melompati jurang-jurang itu! Beberapa buah perangkap yang tertutup daun-daun dapat diketahuinya karena sebelum melangkah, dia melemparkan batu-batu kecil dengan tenaga kuat ke atas tanah yang akan diinj aknya. Perangkap itu bekerja dan tebukalah lubang jebakan ketika terkena sambitan keras itu sehingga tidak sampai menjebak tubuhnya. Dari kauh, para anggauta Ang-Hong-Pai mengamati gerak-geriknya dan mereka semua terkejut melihat betapa laki-laki itu mampu melewati semua rintangan. Makin yakin hati mereka bahwa pria itu bukan orang bisa, melinkan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat ini, Theng Toanio cepat mempersiapkan anak buahnya untuk melakukan penghadangan secara bertahap.

Pasukan penghadang pertama muncul ketika Song Kim tiba di lereng pertama. Dia melihat munculnya lima orang gadis yang memegang tali hitam mengepungnya dari belakang batang-batang pohon. Dia melihat betapa lima orang itu mengikatkan ujung tali hitam panjang pada pinggang mereka, sedangkan tali itu mereka gulung dan dipegang di tangan mereka. Ujung lainnya berbentuk lasso dan mengertilah dia bahwa mereka itu adalah ahli-ahli melempar tali untuk menjerat binatang buas, dan kini agaknya pasukan lasso ini hendak menangkapnya dengan tali hitam itu. Dian-diam dia tersenyum dan pura-pura tidak melihat mereka. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba lima orang gadis itu menggerakkan tangan, dari lima jurusan yang mengepung Song Kim, dan nampaklah lima sinar hitam ketika tali-tali itu meluncur dengan mulut lasso terbuka lebar menyambar kepalanya.

Tentu saja dengan mudah Song Kim akan dapat melepaskan diri dari ancaman bahaya. Akan tetapi dia sengaja membiarkan tubuhnya, lasso-lasso itu dengan cepat memasuki kepalanya dan menjerat seluruh tubuh dari leher sampai ke kaki! Karena lima orang gadis itu tadi melempar tali melalui di atas cabang pohon di depan masing-masing, hal yang sudah diatur lebih dahulu, kini mereka menarik tali itu dengan harapan agar tubuh Song Kim tertarik dan tergantung di udara, di antara lima batang pohon. Akan tetapi, betapapun kuat mereka membetot dan menarik, tetap saja tubuh Song Kim tidak bergeming, tidak terangkat sedikitpun. Laki-laki itu malah tersenyum lebar dan menoleh ke sana-sini untuk melihat lima orang gadis yang bersitegang menarik tali masing-masing.

Dengan kedua tangannya, Song Kim mengumpulkan lima helai tali yang mengikat tubuhnya itu, mengerahkan tenaga dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring sambil terus menarik lima helai tali itu dan akibatnya, dengan sentakan yang mengejutkan, tubuh lima orang gadis iti kini tertarik ke atas dan tergantung kepada cabang pohon di depan masing-masing! Mereka meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan diri karena ikatan ujung tali pada ikat pinggang mereka, yang sengaja dibuat demikian agar lawan tidak dapat merampas tali, amatlah kuatnya. Song Kim kini melepaskan lasso-lasso itu dari tubuhnya. Dengan satu tangan saja dia menahan tubuh lima orang gadis itu dengan cara memegang ujung tali erat-erat, kemudian mengikat kelima ujung tali menjadi satu, mengikatnya pada sebatang pohon.

Sekarang tubuh lima orang gadis itu tergantung setinggi satu meter dari tanah, mereka masih meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, makin kuat saja tali mengikat pinggang mereka. Sambil tersenyum lebar Song Kim menghampiri mereka, mengamati mereka satu demi satu. Rata-rata mereka berusia dua puluh lima tahun, bertubuh padat kuat dan berwajah manis. Bagaikan orang memeriksa dan menilai ternak yang akan dibelinya, tangan Song Kim membelai tubuh gadis-gadis itu, mengelus dagu, pipi dan leher, menowel, mencolek dan mencubit sana-sini sambil tersenyum. Kemudian tangannya meraih dan terdengar bunyi kain robek ketika dia merenggutkan pakaian mereka itu terlepas dari tubuh mereka, satu demi satu sehingga kini lima orang gadis itu tergantung dalam keadaan telanjang bulat!

"Ha-ha-ha, inilah hukuman kalian yang telah berani mencoba untuk menghalangi perjalananku. Sekali lagi kalian berani menggangguku, bukan pakaianmu yang kurobek, melainkan kulitmu!" Setelah berkata demikian, Song Kim melanjutkan perjalanannya mendaki bukit. Melihat sepak terjang pria itu dari tempat persembunyiannya, Theng Toanio terkejut bukan main.

Apa yang diperlihatkan Song Kim tadi merupakan bukti bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka iapun tidak mau mengambil resiko dan cepat mengerahkan semua anak buahnya, langsung dipimpinnya sendiri melakukan penghadangan. Biasanya, untuk menghadapi lawan yang berani naik ke Ang-Hong-Pai, ada beberapa lapis pasukan yang makin ke atas semakin kuat penjagaannya. Akan tetapi sekali ini Theng Toanio tidak mau menyia-nyiakan waktu dan membiarkan anak buahnya terancam. Ia sendiri memimpin anak buahnya. Lebih dari lima puluh orang gadis dengan pedang di tangan berbaris di belakangnya, sedangkan selebihnya menyusun diri sebagai pengepung dan penjaga tempat-tempat lain karena khawatir kalau-kalau pria yang pandai itu mempunyai teman-teman yang menyerbu dari lain jurusan.

Ada pula beberapa orang yang menolong dan melepaskan lima orang rekan yang tergantung dalam keadaan telanjang tadi. Ketika Song Kim berjalan melalui lorong yang kecil, di kanan kirinya semak-semak belukar, dia bersikap waspada. Penciumannya menangkap bau yang asing, bau binatang buas! Tiba-tiba terdengan suara gerengan yang menggetarkan gunung itu dan Song Kim berhenti melangkah. Dari dalam semak-semak muncullah dua ekor harimau yang besar, sebesar anak sapi! Dia tidak tahu bahwa dua ekor harimau itu memang dikerahkan oleh Theng Toanio untuk menyerangnya. Inilah serangan pertama yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Theng Toanio. Melihat Song Kim, dua ekor harimau itu menggereng-gereng dan menghampiri Song Kim dari samping, mata mereka melirik dan penuh kemarahan.

Song Kim berdiri tegak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap karena dia tahu betapa kuat dan cepatnya binatang ini. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena yakin akan kekuatan sendiri. Tiba-tiba binatang yang berada di sebelah kirinya mengaum dan menubruk dengan terkaman yang tinggi. Song Kim mengelak dengan menyuruk ke samping sehingga tubrukan itu luput. Harimau yang berada di kanan mengikuti gerakan temannya, kini menerjang ke depan dengan cakar kanan kiri menyambar buas. Kembali Song Kim mengelak dengan loncatan ke belakang. Harimau pertama menubruk lagi. Song Kim memiringkan tubuh ke belakang, lalu ketika tubuh harimau itu melayang di sisinya, diapun menggerakkan tangan kanannya, memukul dengan jari terbuka ke arah dada binatang itu.

"Desss!!" Tubuh binatang itu kuat sekali, akan tetapi pukulan Song Kim juga dahsyat sekali sehingga tubuh binatang itu terlempar dan terbanting keras. Harimau kedua menubruk pula dari belakang. Song Kim mendengar sambaran angin dari belakang, lalu membalikkan tubuh sambil mengayun kaki kirinya.

"Bukkk...!" Sebuah tendangan yang amat kuat mengenai perut binatang itu, membuat tubuh binatang itu terlempar dan terbanting pula. Agaknya, pukulan dan tendangan ini membuat dua ekor harimau menjadi ketakutan dan juga kesakitan. Mereka mengeluarkan suara auman takut dan menyusup pergi, lenyap ditelan semak belukar. Lee Song Kim mengebut-ngebutkan jubahnya, berdiri tegak lalu berseru dengan suara melengking tinggi dan nyaring karena dia telah mengerahkan khikangnya sehingga suara itu melebihi getaran auman harimau tadi dan menggema di seluruh permukaan bukit.

"Ang-Hong-Pai...! Kalau masih ada lagi pertunjukanmu, keluarkanlah!"

Mendengar suara melengking ini, dan melihat betapa laki- laki itu dengan mudah mampu mengusir dua ekor harimaunya, Theng Toanio kembali terkejut. Akan tetapi ia memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya untuk melanjutkan serangan berikutnya, yaitu menggunakan alat yang paling di andalkan : lebah-lebah beracun! Lebah-lebah yang ratusan banyaknya berada di tabung- tabung bambu yang besar, dan di dalam tabung itulah tinggal ratu lebah dan semua telur yang telah menetas. Lebah-lebah itu buas dan menyerang siapa saja. Akan tetapi para anggauta Ang-Hong-Pai tidak takut karena mereka telah menggunakan semacam minyak yang terbuat dari daun putih. Bau minyak ini ditakuti lebah-lebah itu sehingga tidak seekorpun berani menganggu mereka. Kini tabung-tabung itu dibuka dan ribuan ekor lebah merah berterbangan.

Mula-mula mereka nampak marah dan berterbangan di atas kepala para anggauta Ang-Hong-Pai, akan tetapi karena binatang-binatabg itu mencium bau yang amat ditakutinya,mereka lalu terbang tinggi mencari mangsa lain, dan tentu saja mereka segera terbang menuju ke arah Song Kim yang tidak memakai minyak anti lebah itu! Ribuan lebah merah dengan mengeluarkan suara mendengung riuh kini menyerbu ke arah Song Kim yang berdiri tegak. Dia sudah mendengar akan keganasan lebah-lebah merah ini, maka sebelum naik ke bukit itu, dia sudah siap siaga untuk menghadapinya. Mula-mula dia mempergunakan jubahnya yang dilepas untuk diputar sedemikian rupa sehingga putaran jubah itu mendatangkan angin yang amat kuat. Lebah-lebah itu terseret oleh putaran arus angin yang dibuat oleh putaran jubah.

Mereka ikut pula terputar-putar dan begitu Song Kim mengebutkan jubahnya dengan kekuatan besar, lebah-lebah itupun tertiup sampai pergi jauh. Akan tetapi, lebah-lebah itu kembali lagi. mereka kebingungan dan marah karena tabung-tabung itu ditutup oleh para pembantu Theng Toanio. Mereka kehilangan tempat tinggal mereka. Dengan ditutupnya tabung, maka tidak ada tanda apa-apa lagi bagi mereka untuk menemukan sarang mereka, maka mereka menjadi marah dan kembali kepada Song Kim untuk menyerangnya. Song Kim maklum bahwa tidak baik membunuh lebah-lebah itu. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia akan membunuh semua lebah dengan sambaran jubahnya, akan tetapi dia sayang kepada binatang-binatang yang dapat dipergunakan sebagai senjata itu, dan juga dia tidak mau membuat kesan buruk terhadap Ang-Hong-Pai.

Akan tetapi, kalau hanya menggunakan jubah untuk mengusir mereka, tentu mereka akan datang kembali dan akhirnya dia yang akan menjadi lelah sekali, juga menghalangi dia untuk sampai di puncak bukit. Maka dipergunakanlah cara kedua yang sudah dipersiapkan. Setelah untuk kedua kalinya dengan jubah dia membuat lebah-lebah itu tertiup jatuh, dia cepat menyalakan api dan membakar beberapa batang hio biting yang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Dia membuat hio itu dari ramuan yang dicampur belerang. Terciumlah bau yang amat menyengat hidung dan nampak asap mengepul tebal berwarna putih kekuningan. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Song Kim, ketika lebah-lebah itu terbang kembali kepadanya, mereka tidak berani mendekatinya, hanya berterbangan saja mengelilingi di atasnya.

Bahkan ketika ada lebah-lebah yang terkena asap itu, mereka terbang kacau balau seperti mabok. Song Kim memegang dupa biting yang mengeluarkan asap itu dan dengan tenang melanjutkan langkahnya mendaki puncak. Lebah-lebah itu mengikutinya, akan tetapi karena asap menjadi semakin banyak, merekapun semakin menjauh. melihat ini, Theng Toanio menyuruh pembantunya untuk membuka tabung-tabung itu. Begitu tabung-tabung dibuka, tercium oleh lebah-lebah itu lalu ditutup kembali setelah semua lebah masuk tabung-tabung itu. Song Kim tiba di bawah puncak dan tiba-tiba muncullah Theng Toanio bersama puluhan orang anak buahnya. Melihat wanita yang gagah dan cantik itu, dikawal puluhan orang gadis yang manis-manis, Song Kim tersenyum dan memandang penuh perhatian dan kekaguman. Tidak salah berita yang didengarnya.

Wanita itu nampak masih muda dan menggairahkan. Wajahnya tetap cantik, kulitnya halus dan tubuhnya nampak padat. Sama sekali tidak dipercaya kalau wanita itu sudah berusia enam puluh tahun! Dan belasan orang wanita muda yang agaknya menjadi pembantu-pembantu utama ketua itu, nampak yang tercantik di antara semua anggauta. Pakaian mereka yang serba merah itu benar-benar mengagumkan, seolah-olah Song Kim merasa berhadapan dengan sekelompok bunga yang sedang mekar dengan indahnya! Di atas puncak, nampak dari situ, terdapat perkampungan dengan bangunan-bangunan yang mungil, cocok untuk menjadi rumah tempat tinggal para wanita manis itu. Song Kim tidak merasa rendah diri berhadapan dengan mereka, maka dengan sikap tenang diapun tersenyum dan menghadapi Theng Toanio.

"Kalau tidak salah duga, aku berhadapan dengan Theng Toanio, ketua Ang-Hong-Pai bersama para anggauta Ang-hong- pai yang cantik-cantik dan gagah perkasa," katanya. Dilihatnya betapa pandang mata para pembantu ketua itu berseri mendengar pujiannya. Akan tetapi Theng Toanio mengerutkan alisnya dan sinar matanya berkilat. Agaknya wanita ini masih merasa penasaran dan marah karena semua serangannya tadi digagalkan dengan mudah oleh pendatang ini.

"Benar dugaanmu, sobat. Akan tetapi siapakah engkau yang demikian berani mendaki bukit Ang-hong-san dan melanggar wilayah kami?"

"Aku bernama Lee Song Kim dan dikenal dengan sebutan Lee Kongcu. Aku sengaja datang ke sini karena mendengar kebesaran nama Ang-Hong-Pai, untuk berkenalan dan menjadi sahabat, juga ingin sekali menguji sampai di mana kelihaian Ang-Hong-Pai."

"Hemmm, dan bagaiaman pendapatmu tentang Ang-Hong-Pai kami?"

"Tempat yang indah, dengan perangkap-perangkap yang berbahaya, harimau buas, lebah-lebah berbahaya, anak buah yang manis-manis dan gagah. Akan tetapi biarpun semua itu cukup mengesankan, aku masih belum merasa puas kalau belum melihat sendiri sampai di mana kelihaian ketuanya!"

"Lee Kongcu, engkau menantangku?" tanya Theng Toanio, mulai tertarik karena pria ini ternyata tidak sombong dan tidak berniat buruk. Seorang pria yang menarik sekali dan selama ini ia sendiri hanya ditemani dan dilayani laki-laki yang lemah walaupun ia boleh memilih orang-orang yang ganteng. Belum pernah ia berdekatan dengan pria segagah ini, kecuali tentu saja ketika ia berada di samping Thian-tok. Akan tetapi Thian-tok hanya tinggi ilmunya saja, sebaliknya ia seorang Kakek tua yang bertubuh gendut tidak menarik sama sekali!

"Theng Toanio, aku hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu. Ketahuilah bahwa aku paling suka dengan ilmu silat, ingin aku mengenal semua orang yang dikabarkan berilmu tinggi, dan aku ingin menaklukkan mereka semua."

"Ehh? Menaklukkan mereka? Engkau juga ingin menaklukkan aku?"

"Maksudku mengalahkan mereka semua. Aku ingin disebut sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit)."

"Hemmm... engkau masih muda akan tetapi cita-citamu setinggi langit. baiklah, aku akan melayani barang beberapa jurus. Akan tetapi, bagaimana kalau sampai engkau kalah olehku?"

"Kalau aku kalah, biarlah engkau yang akan menentukan apa yang akan kaulakukan terhadap diriku."

"Dan kalau engkau menang?"

"Kalau aku menang, hal yang sudah pasti bagiku, maka Ang-Hong-Pai harus selalu mentaati perintahku dan menjadi taklukanku."

"Engkau ingin menjadi ketua di sini menggantikan aku?"

"Tidak, jangan salah mengerti, Theng Toanio. Aku hanya ingin agar Ang-Hong-Pai memandang aku sebagai sekutu dan setiap saat aku membutuhkan, Ang-Hong-Pai harus membantuku. Yang pertama, Ang-Hong-Pai harus mengakui aku sebagai ketua kehormatan dan tiga belas orang anggautanya akan kupilih untuk menemaniku di perkampunganku, selanjutnya setiap kali kuminta, mengganti tiga belas orang itu dengan orang-orang baru yang pilihan." Theng Toanio tersenyum mengejek, akan tetapi terdengar suara cekikikan karena para gadis itu merasa senang sekali dengan syarat ini. Agaknya mereka akan berebut untuk dapat dipilih karena siapa orangnya tidak akan senang menemani pria yang segagah dan seganteng ini?

"Baiklah, syaratmu itu dapat kuterima. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus tinggal di sini selama satu tahun untuk menjadi pelayan pribadiku." Song Kim tertawa.

"Ha-ha-ha, betapa senangnya menjadi pelayan pribadimu di sini, Toanio, di antara kembang-kembang merah yang begini cantik dan segar. Baik, kuterima syarat itu dan mari kita mulai."

"Bersenjata ataukah bertangan kosong?" tanya Theng Toanio yang masih memandang rendah lawannya. Biarpun, lawannya tadi sudah memperlihatkan kelihaiannya, namun ia merasa yakin bahwa kalau melawan ia dalam ilmu silat, ia tentu akan dapat mengalahkan laki-laki itu. Selama ini belum pernah ada yang mampu menandinginya setelah ia digembleng ilmu oleh Thian-tok. Song Kim memang ingin menguras ilmu dari manapun juga datangnya, maka mendengar tantangan wanita itu, dia tersenyum.

"Biarlah kita main-main dengan tangan kosong dulu, kalau engkau kewalahan, baru boleh engkau mengeluarkan senjatamu, Toanio." Mendengar ucapan yang memandang rendah ini, lenyap senyum simpul di bibir wanita itu dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

"Orang sombong, kalau tidak kau jaga mulutmu, aku khawatir sebelum aku mengeluarkan senjata, engkau telah lebih dulu roboh dan mungkin tewas!" Song Kim masih tersenyum.

"Tewas dalam pibu (adu ilmu silat) adalah hal yang lumrah, Toanio dan aku tidak akan merasa menyesal kalau aku tewas di tangan Toanio, walaupun aku menyesal karena tidak sempat bermesraan dengan nona-nona manis yang berada di sini."

"Cukup, tak perlu banyak cakap lagi, orang she Lee. majulah!" Theng Toanio berseru.

"Aku adalah seorang tamu, tidak pantas kalau bergerak lebih dulu. Engkaulah yang menyerang dulu, Toanio, aku hanya melayani saja," kata Song Kim dengan sikap tenang. Diam-diam Theng Toanio merasa kagum juga. Laki-laki ini memang gagah, dan dia merasa gembira sekali kalau dapat memiliki seorang kekasih seperti ini.

"Sambut seranganku!" Theng Toanio membentak dan ia sudah menyerang dengan ganasnya. Dengan gerakan yang amat cepat wanita itu sudah menotok jalan darah di kedua pundak, leher dan dada secara bertubi-tubi. Memang hebat gerakan wanita ini, karena selain cepat bukan main, juga tusukan jarinya yang menotok itu mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya tenaga yang mendorongnya. Diam-diam Lee Song Kim terkejut. Tak disangkanya bahwa ketua Ang-Hong-Pai begini lihainya. Dia lalu mengelak dengan gerakan indah sekali, dan ketika tangan lawan masih terus mengejarnya, dia menangkis dengan kibasan tangannya.

"Plak! Plak!" Dua kali tangannya bertemu dengan ketua Ang-Hong-Pai itu dan keduanya meloncat mundur karena merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari telapak tangan itu.

"Bagus, agaknya engkau memiliki juga sedikit kepandaian!" bentak Theng Toanio dan wanita ini tidak main-main lagi, maklum bahwa lawannya memang lihai, maka iapun lalu mengeluarkan ilmunya yang ia pelajari dari Thian-tok. Begitu ia menggerakkan kaki tangannya, kakinya bergerak-gerak dengan langkah mengandung perubahan ngo-heng (ilmu unsur), dan kedua tangannya menyerang dengan dahsyat, Song Kim cepat mengelak dan menangkis sambil berseru kaget.

"Heiii! Kiranya Toanio ada hubungan dengan Thain-tok!" kata Song Kim. Wajah Theng Toanio berobah merah. hatinya tidak senang dan ada perasaan malu ketika ia diingatkan akan hubungannya dengan Thian-tok, juga ia terkejut bagaimana laki-laki ini mengetahui akan hal itu, padahal merupakan rahasia dan tidak diketahui orang lain kecuali para anggauta Ang-Hong-Pai yang tak mungkin berani membuka rahasia itu.

"Hemmm, bagaimana engkau menduga demikian, Lee Kongcu?"

"Mudah saja! Bukankah engkau tadi menyerangku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat? Biarpun gerakanmu dahsyat dan ganas sekali, namun aku masih mengenal silat andalan Thian-tok itu." Lega rasa hati Theng Toanio. Orang she Lee ini tidak mengetahui rahasianya, hanya mengenal ilmu silat yang dipelajarinya dari Thian-tok, maka dengan cepat ia berkata,

"Mendiang Thian-tok adalah guruku."

"Ah, kiranya Toanio ini murid locianpwee itu? Pantas demikian lihai! Kalau begitu, Toanio masih saudara seperguruan dengan Ong Siu Coan?"

"Raja dari kerajaan Sorga di Nan-king itu? Ah, mana aku ada harga untuk menjadi saudara seperguruan orang besar seperti beliau itu? Aku hanya menerima pelajaran selama satu tahun saja dari mendiang Suhu, menjelang kematiannya."

"Akan tetapi ilmu kepandaanmu hebat, Toanio. Mari kita lanjutkan permainan kita." Theng Toanio yang ingin sekali mengalahkan laki-laki ini agar suka menjadi pelayan pribadinya, maju lagi menyerang. Ia mengeluarkan lagi Ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat untuk menyerang secara bertubi-tubi dan dahsyat.

Namun, tingkat kepandaian Song Kim jauh lebih tinggi sehingga dia mampu mengelak dan menangkis semua serangan itu, sambil mempelajari setiap jurus, mengamati untuk menemukan jurus yang ampuh dan pantas dikuasainya. Wanita itu terkejut setelah lewat lima puluh jurus, ia belum juga mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, menyentuh tubuhnya saj apun tak pernah karena semua pukulan dan tendangannya dapat dielakkan atau ditangkis. Sedangkan Lee Song Kim juga sudah merasa puas. Ada beberapa jurus yang penting dan sudah dicatat dalam benaknya. Ketika Theng Toanio menendang dari samping dengan gerakan memutar tubuh, dia sengaja diam saja menanti sampai kaki yang menendang itu menyambar dekat dan tiba-tiba saja dia telah menyambar kaki itu dan sepatu kaki itu telah copot dan berada di tangannya.

"Ihhh...!" Theng Toanio berseru kaget dan mukanya berobah merah sekali. Song Kim mengamati sepatu bersulam merah itu.

"Sungguh indah sekali sepatumu, Toanio," katanya sambil menyerahkan kembali benda itu. Dengan muka merah karena dirampasnya sepatu itu tentu saja menjadi bukti kekalahannya, Theng Toanio menerima sepatunya dan memakai kembali, kemudian ia berkata,

"Lee Kongcu, dalam ilmu silat tangan kosong, engkau lihai sekali dan aku mengaku kalah. Akan tetapi belum tentu aku kalah kalau kita mempergunakan senj ata." Lee Song Kim tersenyum.

"Tentu saja harus dicoba dulu, Toanio. Nah, kaukeluarkan senjatamu, akan kuhadapi dengan tangan kosong saja." Theng Toanio membelalakkan matanya. Orang ini terlalu sombong kalau akan menghadapi senjata-senjatanya dengan tangan kosong, pikirnya. Betapapun lihainya orang ini, bagaimana mungkin dapat melawan senjata-senjatanya? Karena merasa dipandang rendah, Theng Toanio menjadi marah.

"Bagus! Hendak kulihat bagaimana engkau menghadapi senjata-senjataku!" berkata demikian tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya telah berada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membuka kantung yang tergantung di pinggang.

Lee Song Kim memang sengaja hendak mencari kesan mendalam di perkumpulan ini, ingin memperlihatkan ilmunya agar mereka semua tunduk dan taat kepadanya. Dia bukan sekedar membual atau menyombongkan diri kalau hendak menghadapi Theng Toanio yang bersenjata dengan tangan kosong. Dia sudah tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian lawan. ketika tadi mereka bertanding tangan kosong. Dia sudah tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Ketika tadi mereka bertanding tangan kosong, dia sudah dapat mengukur dan dia merasa yakin bahwa biarpun lawan berpedang, dia sanggup dan akan dapat mengalahkannya. Kinipun dia tahu bahwa selain pedangnya, wanita itu mempersiapkan senjata rahasia dan melihat kantung di pinggang itu tempat penyimpanan senjata rahasia jarum merah beracun yang pernah didengarnya sebagai senjata rahasia andalan ketua Ang-Hong-Pai



JILID 04

"Aku sudah siap, Toanio, mulailah!" katanya sambil memasang kuda-kuda yang indah. Kaki kiri ditekuk sedikit, kaki kanan dilonjorkan ke depan dengan jari-jari kaki menghadap ke atas dan tumitnya terletak di atas tanah, tangan kiri tergantung agak ke depan dengan jari tangan terbuka dan Ibu jari ditekuk ke dalam, tangan kanan di pinggang dengan siku ditekuk ke belakang sedikit, juga jari tangan terbuka. Dengan kuda-kuda seperti ini dia menghadapi lawan sambil tersenyum. Melihat lawannya sudah siap, Theng Toanio yang mulai merasa penasaran itu segera menerjang sambil mengeluarkan teriakan dahsyat yang mengejutkan para anggauta Ang-Hong-Pai kerena teriakan itu membuat jantung mereka tergetar dan terguncang. Itulah teriakan yang disertai tenaga khikang yang disebut Sin-houw Ho-kang.

Theng Toanio hanya berlatih selama beberapa bulan saja, maka ilmunya ini masih belum matang, belum kuat benar, jauh berbeda dengan yang sudah dikuasai Thian-tok karena Kakek itu ketika masih hidup, dapat saja membunuh orang dengan teriakan ini tanpa menyentuhnya! Akan tetapi, karena teriakan ini dilakukan pada saat pedangnya menyambar, maka cukup berbahaya dan Song Kim cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Wanita itu cepat pula mengejar dan mengirim serangan berantai yang amat dahsyat. Perlu diketahui bahwa sebagai ketua Ang-Hong-Pai, perkumpulan yang ahli tentang racun lebah, pedang yang dipegang Theng Toanio inipun mengandung olesan racun tawon yang amat berbahaya. Sedikit saja tergores dan terluka, maka racun itu akan bekerja dan membuat luka itu melepuh seperti kena api.

Song Kim dapat menduga akan hal ini, maka dia selalu mengelak dan kalau menangkis, dia menggunakan kebutan lengan bajunya. Biarpun ujung lengan baju, namun kalau menangkis pedang membuat Theng Toanio terkejut sekali karena pedangnya selalu terpukul menyeleweng, bahkan ujung lengan baju itu menimbulkan angin yang keras, disusul pula oleh totokan jari tangan pria itu yang mengarah jalan darah di pergelangan tangan atau sikunya. Memang harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hai-Tok, guru Song Kim, dan Thian-tok, guruTheng Toanio, adalah seimbang. Akan tetapi Song Kim telah berguru kepada Hai-Tok sejak kecil, bahkan akhir-akhir ini sebelum gurunya meninggal dunia, dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Hai-Tok. Sebaliknya, Theng Toanio hanya setahun menjadi murid Thian-tok.

Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau kini Song Kim dapat mempermainkan seperti tingkat guru dengan murid saja. Lebih lagi karena Song Kim telah memperdalam ilmu-ilmunya dengan ilmu-ilmu aliran lain yang telah dicuri oleh gurunya untuk dia. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba Song Kim membentak dan totokannya pada pergelangan tangan kanan Theng Toanio tak mugkin dapat dielakkan lagi. Terdengar wanita itu memekik, pedangnya terlepas dari pegangan karena tangannya itu beberapa detik lamanya tiba-tiba lumpuh. Theng Toanio meloncat ke belakang, tangan kirinya bergerak dan begitu ia menyambit, sinar merah berkeredepan menyambar ke arah tubuh Song Kim. Song Kim mirngkan tubuhnya, beberapa batang jarum yang menyambar mukanya luput, akan tetapi banyak jarum menyambar ke tubuhnya dan diapun berteriak.

"Aduh...!" Tubuhnya terhuyung lalu roboh terlentang dengan muka pucat! Beberapa orang anggauta Ang-Hong-Pai dan Theng Toanio berseru kaget.

Theng Toanio sendiri juga khawatir kalau-kalau pria yang menarik hatinya itu tewas oleh jarum-jarumnya. Ia hanya cepat mengobatinya. setelah mengambil pedangnya yang tadi terlepas, Theng Toanio menghampiri tubuh Song Kim. Ketika ia membungkuk untuk memeriksa lebih teliti, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Theng Toanio hendak meloncat pergi, akan tetapi ia kalah cepat. Pedangnya sudah terampas lagi oleh Song Kim yang tiba-tiba saja bergerak melompat dan berbareng dia berhasil mencabut tusuk konde dari emas permata dari kepala Theng Toanio sehingga rambut yang digelung itu terlepas dan terurai ke atas kedua pundaknya! Tentu saja Theng Toanio terkejut bukan main dan mukanya menjadi merah sekali ketika ia memandang kepada Song Kim yang sudah berdiri di depannya sambil memegang pedang yang untuk kedua kali dirampasnya itu.

"Tapi... tapi... kau tadi terkena jarum-jarumku..." katanya agak bingung melihat hal yang tidak disangka-sangkanya ini. Song Kim menarik jubahnya dan memperlihatkan beberapa batang jarum yang menancap di jubahnya, akan tetapi tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang tadi sudah dilindunginya dengan ilmu kekebalan.

"Aih, engkau memang hebat, Lee Kongcu, aku mengaku kalah," kata Theng Toanio sambil mencabuti jarum-jarum itu, kemudian menerima kembali pedangnya dan ia mengajak tamunya yang amat menarik hati itu untuk naik ke puncak dan memasuki perkampungan Ang-Hong-Pai.

Para anggauta Ang-Hong-Pai menyambut kemenangan Lee Song Kim dengan gembira. Memang mereka sudah merasa kagum sekali, apalagi melihat betapa pria ini dengan amat mudahnya mengalahkan ketua dan guru mereka. Semua wanita kini memandang kepada Song Kim dengan senyum manis dan sinar mata memikat, wajah mereka semua cerah. sambil tertawa gembira Song Kim mengikuti ketua Ang-Hong-Pai dan mereka lalu mengadakan pesta di bangunan besar tempat tinggal Theng Toanio. Demikianlah, mulai hari itu, Song Kim telah menundukkan Ang-Hong-Pai dan perkumpulan ini telah menjadi anak buahnya yang setiap saat siap untuk mentaati perintahnya. Dia bukan menundukkan Ang-Hong-Pai dengan kepandaiannya, akan tetapi juga dengan daya tariknya sebagai seorang pria yang pandai memikat hati, tampan gagah dan juga berpengalaman.

Bahkan kini di perkampungannya di Lembah Fen-ho lereng Luliang-san, terdapat pelayan-pelayan baru yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi juga lihai karena mereka adalah belasan orang anggauta Ang-Hong-Pai yang dipilihnya untuk menjadi pelayan pribadinya dan juga pengawal-pengawalnya. Demikian tunduknya Theng Toanio kepada Song Kim sehingga ketika Song Kim memerintahkan untuk memindahkan Ang-Hong-Pai ke lereng Luliang-san, iapun mentaatinya dan semenjak itu, perkumpulan ini pindah dari Nan-ping untuk mendekati Song Kim dan hal ini memperkuat kedudukan Lee Song Kim yang mulai menyusun kekuatan untuk mengaku diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap. Beberapa bulan kemudian, pada suatu pagi, seorang hwesio tua renta berjalan seorang diri di kaki Pegunungan Luliang-san.

Hwesio ini sudah berusia lanjut, sudah hampir delapan puluh tahun, tubuhnya sedang dan masih tegak, dan wajahnya membayangkan ketenangan dan kedamaian. Tiba-tiba hwesio tua itu menahan langkahnya dan memandang ke kiri. Biarpun orangnya belum nampak, namun pendengarannya yang peka dan amat tajam sudah menangkap suara gerakan kaki yang menuju ke tempat dia berjalan. tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki yang rata-ratabberusia tiga puluh tahun, berwajah gagah dan berpakaian rapi, akan tetapi memiliki sinar mata yang beringas dan kejam. Di punggung mereka nampak senjata golok telanjang dan tiga orang ini langsung menghampiri hwesio tua yang berdiri memandang mereka. Dengan sikap kaku mereka menjura kepada hwesio itu yang cepat dibalas dengan ramah oleh hwesio tua.

"Kami diutus oleh Lee Kongcu untuk mengundang Thian Khi Hwesio ke perkampungan kami." Hwesio itu memang bernama Thian Khi Hwesio dan merupakan orang kedua dari pimpinan Siauw-Lim-Pai. bagaimana seorang tokoh tinggi dari Siauw-Lim-Pai dapat berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, peristiwa pembunuhan atas diri dua orang tokoh Kun-Lun-Pai cukup membuat para pimpinan Siauw-Lim-Pai menjadi pusing.

Yang dituduh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai menjadi pembunuh dua orang tokoh itu adalah seorang murid Siauw-Lim-Pai yang bermarga Lee. Tentu sukar bagi orang-orang Siauw-Lim-Pai untuk mencari siapa adanya murid yang membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai itu. Karena maklum betapa gawatnya urusan itu yang mengandung bahaya perpecahan atau bibit permusuhan antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai. Maka Thian Khi Hwesio sendiri lalu berangkat meninggalkan Siauw-Lim-Pai untuk mencari seorang murid Siauw-Lim-Pai yang bernama Tan Ci Kong. Biarpun termasuk orang yang masih muda, usianya masih kurang dari empat puluh tahun, namun Tan Ci Kong merupakan seorang tokoh Siauw-Lim-Pai yang berilmu tinggi. bahkan ilmu kepandaiannya masih lebih tinggi dari tingkat kepandaian para pimpinan Siauw-Lim-Pai sendiri,

Karena pendekar ini pernah digembleng oleh mendiang Siauw-Bin-Hud, seorang hwesio tua renta yang menjadi datuk dari Siauw-Lim-Pai. Setelah bertukar pikiran dengan Suhengnya, yaitu Thian Tek Hwesio ketua Siauw-Lim-Pai, Thian Khi Hwesio berangkat sendiri untuk mengunjungi Tan Ci Kong. Pendekar ini tinggal di dusun Tung-kang di luar kota Kan-ton. Setelah bertemu dengan pendekar itu dan minta bantuannya agar Tan Ci Kong suka melakukan penyelidikan dan menemukan siapa adanya murid Siauw-Lim-Pai she Lee yang telah membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai, Thian Khi Hwesio lalu meninggalkan Tung-kang dan kembali ke kuil Siauw-Lim-Pai. Di dalam perjalanan inilah dia tiba di kaki Pegunungan Luliang-san dan di hadang oleh tiga orang yang menyampaikan undangan kepadanya.

"Omitohud, sungguh Kongcu kalian itu amat baik hati sekali. Akan tetapi pinceng tidak pernah mengenal Lee Kongcu..." Tiba-tiba dia teringat. Orang she Lee? Jantungnya berdebar tegang.

"Lo-Suhu, harap diketahui bahwa Lee Kongcu kami adalah orang yang pemurah dan dermawan, menghargai orang-orang pandai. Ketika dia mengetahui bahwa loSuhu lewat di sini, dia mengutus kami untuk menjumpai lo-Suhu dan dengan hormat mempersilahkan lo-Suhu untuk singgah di perkampungan kami." Diam-diam Thian Khi Hwesio merasa heran sekali bagaimana orang she Lee itu dapat mengetahui namanya dan mengetahui pula bahwa dia lewat di tempat itu. dan nama marga Lee itu sungguh menarik hatinya dan menimbulkan keinginan tahu untuk mengenalnya.

"Omitohud... sungguh bahagia sekali menerima undangan seorang yang sedemikian baik budi seperti Lee Kongcu. Baiklah, sobat, pinceng memenuhi undangan itu." Ketika memasuki sebuah perkampungan yang bersih dan teratur rapi, diam-diam Thian Khi Hwesio menjadi heran dan kagum. Dia dapat menduga bahwa penghuni perkampungan terpencil di lereng bukit ini, jauh dari pedusunan lainnya,

Tentu merupakan anggauta sebuah perkumpulan dan mungkin sekali yang menjadi ketua atau kepalanya adalah orang yang disebut Lee Kongcu itu. Bangunan-bangunan rumah di situ seragam dan di tengah-tengah terdapat sebuah bangunan besar. Melihat keadaan rumah itu dari luar, orang tentu akan merasa kagum karena rumah yang demikian indah dan besar sepatutnya hanya berada di kota besar, dihuni oleh orang yang kaya raya. Makin tertariklah hati pendeta tua itu untuk mengenal Lee Kongcu yang mengundangnya. Ketika tiga orang itu mengantarnya sampai di depan pintu rumah besar, yang menyambut keluar adalah tiga orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, rapi dan gagah, gerakannya juga cekatan. Tiga orang pemuda itu memberi hormat kepada mereka dan berkata,

"Harap sampaikan kepada Kongcu bahwa kami telah berhasil mengundang Thian Khi Hwesio."

"Bagus, kalian telah melaksanakan tugas dengan baik." kata seorang di antara tiga gadis itu, yang bertahi lalat di dekat hidungnya, kemudian gadis itu menjura kepada Thian Khi Hwesio,

"Locianpwe, silakan masuk, Lee Kongcu telah menanti kedatangan locianpwe."

"Omitohud, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinceng," kata Thian Khi Hwesio sambil mengikuti tiga orang gadis itu. Dia makin heran. Agaknya orang-orang di sini telah mengenalnya, bukan hanya mengenal nama, akan tetapi juga agaknya mengenal bahwa dia adalah seorang tokoh persilatan sehingga gadis-gadis ini menyebut locianpwe. Dia tahu pula bahwa tiga orang gadis ini, yang menyambutnya, memiliki ilmu silat yang cukup baik, jauh lebih baik ketimbang tiga orang laki-laki yang menghadangnya di kaki bukit tadi.

Ketika dia diajak masuk ke ruangan dalam, hwesio itu mengagumi keindahan perabot rumah. Lukisan-lukisan indah dan kuno, tulisan-tulisan sajak berpasangan yang amat berharga bergantungan di dinding. Perabot-perabot rumahnya juga merupakan benda yang mahal dan biasanya mengisi gedung bangsawan yang kaya raya. Siapakah orang yang bernama Lee Kongcu ini, pikirnya. Tuan rumah itu telah menantinya di sebuah ruangan samping. seorang laki-laki yang berusia tiga puluh delapan tahun, berpakaian rapi dan mewah, melihat rambutnya yang licin dan mukanya yang tampan terawat memberi kesan pesolek, sepasang matanya mencorong dan mulutnya tersenyum. Laki-laki itu bangkit berdiri dari kursinya, memberi hormat dengan ramah kepada hwesio tua itu.

"Selamat datang, locianpwe! Sungguh bagaikan kejatuhan bulan purnama saja rasanya hati kami menerima kunjungan locianpwe, hal yang sudah lama sekali kami jadikan bunga mimpi di malam hari dan kenangan di siang hari. Agaknya para dewa mengabulkan permohonan kami dan sengaja menuntun locianpwe lewat di tempat kami ini. Silakan duduk, locianpwe." Hwesio tua itu memperhatikan laki-laki yang disebut Lee Kongcu ini. Dia mengamati dari kepala sampai ke kaki, namun merasa belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dia dapat menduga bahwa orang yang pesolek dan tampan ini tentu bukan orang sembarangan. Hanya apa maksud undangannya inilah yang membuat dia merasa heran dan tidak mengerti.

"Omitohud... pinceng (aku) adalah seorang yang sudah tua sekali dan mugkin pelupa. Agaknya Kongcu sudah mengenal pinceng akan tetapi sebaliknya pinceng lupa lagi siapakah Kongcu ini. Dan kapankah kita pernah saling bertemu, dan di mana?" Lee Song Kim tersenyum, bangga akan pengetahuannya yang luas sehingga dia mengenal hampir semua tokoh persilatan di dunia dan telah memberi tahu semua anak buahnya sehingga begitu melihat hwesio tua ini lewat, anak buahnya juga sudah mengenalnya. Dia memandang wajah hwesio tua yang sudah duduk di depannya sambil tersenyum.

"Siapkah yang tidak mengenal locianpwe? Locianpwe adalah Thian Khi Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. kalau locianpwe hendak mengenal saya, orang memanggil saya Lee Kongcu. Melihat locianpwe lewat di sini, timbul keinginan saya untuk mengundang makan locianpwe dan belajar kenal lebih dekat karena hendaknya locianpwe ketahui bahwa saya adalah orang yang amat kagum terhadap para tokoh dunia persilatan dan ingin mengenal mereka semua. Ah, mari silakan, locianpwe. Hidangan telah dipersiapkan. Jangan khawatir, semua hidangan ini dibuat istimewa untuk para hwesio dan pertapa yang tidak makan daging. Dan minumannya juga teh yang amat harum dan baik. Silahkan!" Lee Song Kim mengajak hwesio tua itu makan minum dan memang benar, masakan yang dihidangkan tanpa daging sedangkan munumannya air teh wangi, sesuai dengan pantangan seorang hwesio. Karena dia memang lelah dan merasa lapar, Thian Khi Hwesio tidak sungkan-sungkan atau ragu-ragu lagi, segera makan minum, apalagi melihat tuan rumah juga makan minum dari mangkok dan cawan dengan hidangan dan minuman yang sama pula. Setelah makan kenyang, Lee Kongcu mengajak Kakek itu ke lian-bu-thia.

"Marilah, locianpwe, pertunjukan akan segera dimulai dan locianpwe merupakan seorang tamu kehormatan kami di antara banyak tamu yang hadir."

"Eh? Apakah Kongcu sedang mengadakan sebuah pesta?" Laki-laki tampan itu tertawa.

"Boleh dinamakan pesta, ya memang pesta, pesta adu silat! Marilah, locianpwe akan menyaksikan sendiri," katanya sambil mengajak tanunya memasuki lian-bu-thia (ruangan bermain silat) yang amat luas dan bersih, di samping sebuah taman yang besar dan indah pula. Ketika memasuki ruangan terbuka ini, Thian Khi Hwesio terbelalak heran dan terkejut.

Ada belasan orang yang hadir di situ dan kesemuanya membayangkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia hanya mengenal dua orang saja di antara belasan orang itu. Yang seorang adalah seorang Kakek yang terkenal dengan nama Kam-Kauwsu (guru silat Kam), seorang tokoh persilatan aliran Thian-He Te-It Bu-Hiap yang terkenal gagah perkasa, menjadi guru silat bayaran tinggi di Thian-cin. Dia tahu bahwa Kam-Kauwsu ini memiliki ilmu silat yang tangguh, terkenal sebagai seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kekuatannya dibandingkan dengan kekuatan gajah! Adapun orang kedua yang dikenalnya adalah Tan-siucai (Mahasiswa Tan), seorang murid Pek-hwa-pai dari utara yang juga terkenal sekali sebagai seorang pendekar dari utara, dan ahli silat yang juga merupakan seorang ahli sastera yang selalu berpakaian sebagai seorang sasterawan.

Sasterawan tua ini amat terkenal dengan pedang tipisnya yang dapat digulung dan dipakai menjadi sabuk. Dua orang gagah inipun terkejut melihat munculnya tuan rumah dan seorang hwesio tua yang mereka kenal sebagai wakil ketua Siauw-Lim-Pai! Belasan orang lain juga memandang kepada hwesio tua itu dan mereka semua memandang kagum dan hormat ketika Lee Kongcu memperkenalkan Thian Khi Hwesio sebagai tamu agung dan wakil ketua Siauw-Lim-Pai. Kalau masih ada keraguan sedikit di hati para tamu ini, kini terhapus karena melihat betapa wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiripun hadir sebagai tamu dari orang she Lee yang aneh dan penuh rahasia ini. Mereka itu semua menerima undangan seperti halnya Thian Khi Hwesio, bahkan di antara mereka ada yang datang sebagai tawanan karena dipaksa!

Namun, setelah berada di rumah laki-laki kaya raya yang aneh itu, merekapun diberi kamar dan dibiarkan bebas sampai pada hari itu mereka semua diminta berkumpul di lian-bu-thia setelah semua orang mendapatkan hidangan mewah di kamar masing-masing! Ketika semua orang berkumpul di lian- bu-thia yang amat luas itu, baru mereka tahu bahwa di tempat ini berkumpul tokoh-tokoh pilihan dari aliran-aliran persilatan yang menjagoi di dunia kang-ouw. Apakah maksud Lee Kongcu, demikian nama tuan rumah seperti yang mereka kenal, mengundang dan mengumpulkan semua tokoh persilatan yang lihai ini? Thian Khi Hwesio memperoleh tempat duduk kehormatan di dekat tuan rumah dan setelah tuan rumah duduk, Lee Kongcu memberi tanda kepada para penjaga sambil berseru,

"Persilakan Kwa-Enghiong hadir!" Tempat itu terjaga oleh anak buah Lee Kongcu dan semua orang merasa kagum melihat betapa pemuda-pemuda yang tegap, gadis-gadis yang cantik, semua mengenakan pakaian serba indah dan seragam, berjaga di situ dengan sikap tegak dan gagah. Mendengar perintah Lee Kongcu, dua orang lalu memberi hormat dan masuk ke bagian belakang rumah gedung besar itu. Tak lama kemudian merekapun datang lagi bersama seorang laki-laki yang kusut sekali rambut dan pakaiannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar lima puluh tahun. Banyak di antara para tamu yang tidak mengenal laki- laki ini, akan tetapi Thian Khi Hwesio yang melihat orang ini, terkejut sekali.

"Omitohud...! Kiranya Huang-ho Sin-to (Golok Sakti dari Huang-ho) juga berada di sini!" Laki-laki yang kusut pakaian dan rambutnya itu menoleh dan ketika dia melihat Thian Khi Hwesio, dia mengerutkan alisnya.

"Eh? Thian Ki Lo-Suhu juga berada di tempat aneh ini? Tempat macam apakah ini dan orang-orang macam apakah yang menjadi penghuninya?"

"Kwa-Enghiong, silahkan duduk dan pertanyaanmu itu akan segera terjawab," kata Lee Song Kim dengan muka ramah. Kwa Ciok Le memandang kepada tuan rumah dan agaknya dia teringat akan sesuatu yang tidak menyenangkan, terbukti dari suaranya yang cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang,

"Hemm, sebaiknya segera terjawab sebelum kesabaranku habis dan terpaksa aku menggunakan kekerasan!"

"Kwa-Taihiap, silakan duduk dan mari kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata Thian Khi Hwesio yang khawatir kalau-kalau terjadi ketegangan karena dia mengenal watak keras dari pembasmi bajak dari Huang-ho ini. Mendengar penawaran Thian Khi Hwesio, tokoh Siauw-Lim-Pai yang dihormatinya itu, Kwa Ciok Le merasa tidak enak kalau bersikap kasar terus, maka dia mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu duduk di sebelah kiri hwesio tua itu.

Lee Song Kim sendiri lalu duduk di atas sebuah kursi gading dan di sebelahnya nampak seorang wanita yang berpakaian serba merah muda. Wanita itu kelihatannya berusia tiga puluh tahun, wajahnya masih nampak cantik bersemangat, tubuhnya masik padat dan ramping. Padahal, wanita ini adalah Theng Ci, ketua Ang-Hong-Pai yang telah menakluk kepada Lee Song Kim dan kini menjadi pembantu Lee Kongcu itu! Pasukan wanita yang nampak cantik-cantik dan gagah, yang kini berjaga bersama dengan pasukan pria anak buah Lee Kongcu, adalah bekas anak buah Ang-Hong-Pai. Di sebelah belakang Lee Kongcu, nampak duduk dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang juga kelihatan gagah perkasa. Mereka itu adalah pembantu-pembantu utama dari Lee Kongcu, yang juga merupakan murid-muridnya yang paling pandai.

"Di antara para tamu yang kami hormati sudah tahu apa sebabnya kami mengundang berkumpul demikian banyaknya tokoh-tokoh kang-ouw dan ahli-ahli persilatan yang berilmu tinggi. Akan tetapi kalau ada yang belum mengarti, baiklah, kami ingin menjelaskan. Kami adalah orang yang suka sekali melihat ilmu silat, suka sekali melihat tokoh-tokoh besar memperlihatkan ilmu silat simpanan masing-masing. kami amat menghormati ahli silat yang pandai, karena itu, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada cu-wi (anda sekalian) yang hadir sudilah memberi demostrasi ilmu silat simpanan masing-masing untuk memperkenalkan kelihaian dan untuk membuka mata kami dan memperluas pengetahuan kita bersama. Kami persilakan saudara yang gagah perkasa Tiat-Pi Kim-Wan (Lutung Emas Tangan Besi) untuk memperlihatkan kelihaiannya! Harap cu-wi suka menyambutnya dengan tepuk tangan untuk memberi selamat kepada pendekar perkasa Tiat-Pi Kim-Wan!"

Mendengar ini, sebagian dari para tamu bertepuk tangan dan seorang yang duduk di sebelah kiri bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya yang hitam memang pantas kalau berjuluk Lutung karena hidungnya pesek mulutnya lebar mirip monyet, sepasang matanya yang sipit itu mengeluarkan sinar jalang dan sejak tadi matanya jelilatan menyambar ke arah pasukan wanita yang cantik-cantik, dan mulutnya yang lebar menyeringai. Hati orang ini girang bukan main, karena julukannya yang keren itu, Lutung Emas Tangan besi, diperkenalkan, dan lebih bangga lagi dia disebut "pendekar perkasa", padahal, dia lebih pantas dinamakan tukang pukul dan jagoan di kotanya, yaitu Ta-tung.

Setelah bangkit, dengan melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, memberi hormat kepada Lee Kongcu, kemudian kepada semua yang hadir, keempat penjuru, diapun memberi hormat sambil bersoja. Sikapnya memang gagah seperti seorang pendekar tulen. Biarpun orang ini sombong, namun sesungguhnya harus diakui bahwa dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan namanya sudah terkenal di sebelah barat kota raja sebagai seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya. Entah sudah berapa banyak ahli silat yang jatuh di tangannya. Dia memiliki ilmu silat Kong-thong-pai dan Go-bi-pai, juga dia ahli gulat Mongol sehingga ilmu silatnya yang merupakan campuran tiga aliran ini membuat dia lihai bukan main. Kedua lengannya terkenal amat kuat sehingga dia dijuluki lengan Besi atau Tangan besi.
Kabarnya kedua lengan itu dapat bertahan menghadapi segala jenis senjata! Karena tertarik oleh nama besarnya, Lee Song Kim mengundangnya dan tidaklah sukar mengundang orang ini, apalagi kalau dalam undangan itu terdapat kiriman hadiah berupa perak! Begitu memasuki gedung Lee Kongcu, pada hari kemarin, kemudian mendapatkan perhatian dan pelayanan istimewa, dikelilingi gadis-gadis cantik, tanpa dimintapun segera hati orang ini condong untuk membantu dan bermuka-muka kepada Lee Kongcu yang dianggapnya sebagai seorang hartawan yang dermawan. Sambutan tepuk tangan membuat Tiat-Pi Kim-Wan merasa bangga. Hidungnya yang pesek itu berkembang kempis, merekah dan setelah memberi hormat, diapun membuat lompatan berputar ke tengah lapangan, memasang kuda-kuda, kembali bersoja ke empat penjuru.

"Maafkan ilmu silatku yang buruk!" katanya merendah, padahal ucapan merendah ini hanya menonjolkan ketinggian hatinya. Dan diapun mulai bersilat! Si Lutung Emas ini maklum bahwa mereka yang hadir menyaksikan demonstrasinya adalah ahli-ahli silat dari empat penjuru, mereka adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang lihai, maka tentu saja diapun tidak mau memperlihatkan kelemahannya.

Begitu menggerakkan ilmu silat simpanannya yang biasanya hanya dia keluarkan kalau dia terpaksa sekali, kalau dia terdesak atau menghadapi lawan tangguh. Dan memang hebat sekali gerakan-gerakan ilmu silat ini. Pantas dia dijuluki lutung, kiranya bukan hanya karena hidungnya yang pesek dan mukanya yang hitam, melainkan karena kini gerakan silatnya mengingatkan orang akan gerak-gerik seekor lutung. Mirip Kauw-kun (Silat Monyet) dari aliran Siauw-Lim-Pai dan aliran lain yang memperkembangkan silat macam ini, akan tetapi juga amat jauh bedanya. Ilmu silat ini hanya dalam hal gaya dan kecekatannya saja mirip lutung, namun di dalamnya menyembunyikan pukulan dan cengkeraman dahsyat, bahkan beberapa kali nampak tubuh itu bergulingan di atas lantai sambil tangannya mencengkeram ke bawah lalu disambitkan ke atas.

Kalau yang dicengkeram itu pasir atau batu lalu disambitkan sambil melompat ke atas, tentu saja amat berbahaya bagi musuh yang dapat terkena pasir matanya atau tersambit batu kepalanya. Dan kedua lengan itu kalau saling beradu, yang agaknya memang disengaja, mengeluarkan bunyi seperti dua potong besi diadu! Kalau semua orang mengagumi ilmu silat aneh ini yang merupakan gabungan dari silat Kong-thong-pai, Go-bi-pai dan gulat Mongol, sebaliknya dengan sepasang mata hampir terpejam, Lee Song Kim berusaha menangkap gerakan-gerakan yang dianggap paling ampuh! Dan diam-diam diapun sudah mencatat gerakan bergulingan sambil mencengkeram tanah dan menyambit tadi, juga gerakan tangan kiri memukul tangan kanan mencengkeram yang ternyata kedua serangan ini hanya gertak belaka.

Karena yang menjadi inti serangan sesungguhnya adalah sebuah tendangan pendek yang dilakukan tiba-tiba ke arah bawah pusar! Sungguh hebat sekali jurus ini, tidak tersangka datangnya dan amat berbahaya karena sekali mengenai sasaran, lawan dapat roboh tewas seketika, atau setidaknya tentu terluka parah dan tidak akan mampu bangkit kembali karena tertendang bagian yang paling berbahaya dari lawan kalau itu seorang pria! Kalau lawan seorang wanita, tendangan itu dapat lebih ke atas mengenai perut dan dapat merusak isi perut! Setelah Lutung Emas Tangan Besi ini selesai memperlihatkan kebolehannya, beberapa orang tamu bertepuk tangan memuji, termasuk tuan rumah dan para pembantunya. Biarpun dia telah mencatat beberapa gerakan yang dianggap penting dan menguntungkan, namun Song Kim masih belum merasa puas.

"Hebat sekali ilmu silatmu, Tiat-Pi Kim-Wan! Tak percuma anda memiliki nama besar di sepanjang perbatasan Ta-tung! Ah, mau aku bertaruh bahwa tentu sukar sekali mengalahkan anda. Kalau di antara sudara yang hadir di sini mampu menandingi dan mengalahkan ilmu silatmu, aku akan memberi hadiah seratus tael perak!" Melihat kegembiraan tuan rumah, beberapa orang tamu saling pandang. Seratus tail perak bukanlah jumlah yang sedikit! Dalam waktu tiga bulan belum tentu mereka dapat memperoleh hasil sebesar itu. Mereka itu sebagian besar adalah ahli-ahli silat yang tentu saja suka sekali berpibu (mengadu ilmu silat). Tanpa diberi hadiah saja mereka sudah tertarik, apalagi dengan hadiah besar itu.

"Ha-ha-ha, hargaku lumayan tingginya, Lee Kongcu. Akan tetapi bagaimana kalau yang melawanku kalah? mau diapakan yang seratus tael itu?" Song Kim tersenyum.

"Tentu saja untuk pemenangnya!" Mendengar ini, si Lutung Emas Tangan Besi menjadi girang. Dia bersoja ke empat penjuru.

"Adakah di antara cuwi yang demikian baik hati untuk memberi kesempatan padaku memperoleh hadiah seratus tael perak? Kalau ada tiga orang yang maju dan aku menang tiga kali,berarti tiga ratus! Lumayan juga!" Demikian sombongnya sikap si Lutung Emas ini sehingga dia seolah-olah membayangkan bahwa dia pasti menang menghadapi lawan yang manapun juga dan kalau ada yang maju, dia yakin akan menang dan mendapatkan hadiah itu. Uang sebanyak itu dan sikap si Lutung Emas yang tinggi hati menarik banyak orang. Gatal-gatal hati dan tangan mereka untuk menandinginya. Seorang tinggi besar yang mukanya merah seperti orang mabok bangkit dan melompat ke tengah lapangan, lalu menghadap Song Kim sambil memberi hormat,

"Lee Kongcu, aku bukan seorang yang kaya dan uang seratus tael bukan sedikit bagiku. Akan tetapi kalau aku maju ini bukan demi uang itu sendiri, melainkan ingin merasakan sampai di mana kebenaran nama julukan Tangan Besi dari Si Lutung Emas!" Melihat orang ini maju, hati Song Kim gembira sekali. Orang ini berjuluk Seng jiu Sin-touw (Malaikat Copet), seorang yang biarpun tubuhnya tinggi besar, memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Dia ahli dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan kecepatan tangannya membuat dia dijuluki Malaikat Copet. Memang dia merupakan raja copet dan maling di daerah barat,

Namun dia seringkali mengagulkan dirinya sebagai penjahat budiman, yang katanya mencuri untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Memang menggelikan sekali. Menolong orang miskin termasuk perbuatan baik, akan tetapi untuk dapat berbuat baik itu lebih dulu dia harus berbuat buruk, yaitu mencopet dan mencuri! Mungkinlah ini? Akan tetapi tidak ada yang sempat bertanya karena takut akan kelihaian si raja copet ini! Song Kim sudah banyak mendengar tentang tamunya yang seorang ini. Kabarnya, si raja copet ini memiliki ilmu silat yang bersumber kepada silat dari India, dan dia memperoleh ginkangnya dari seorang pertapa Himalaya yang mengajarkan tentang yoga kepadanya. Maka, gembiralah ia melihat majunya orang ini karena menurut taksiranya, tingkat Si Raja Copet ini tentu seimbang dengan tingkat Si Lutung Emas.

"Ji-wi, keluarkanlah ilmu simpanan masing-masing agar pibu ini menjadi tontonan yang patut ditonton oleh para locianpwe yang hadir, dan dengan hati rela dan gembira aku akan menghadiahkan seratus tael perak itu kepada sang pemenang," kata Song Kim, sikapnya seolah-olah seorang pecandu ilmu silat, walaupun sesungguhnya semua yang dilakukannya ini hanya mempunyai satu saja pamrih, yaitu ingin dia mengumpulkan ilmu-ilmu selihai dan sebanyak mungkin untuk bekal dan syarat baginya mengumumkan dirinya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (pendekar Silat Nomor Satu di kolong Langit)! Kini dua orang yang sama-sama jangkung itu sudah saling berhadapan. Si Lutung Emas diam-diam marah dan penasaran medengar ucapan Malaikat Copet. Dia belum pernah berkenalan dengan orang ini, apalagi mengenal ilmu silatnya, maka biarpun dia mendongkol, Si Lutung Emas bersikap hati-hati sekali.

"Siapakah orang gagah yang ingin pibu denganku?" tanyanya, sikapnya cukup sopan walaupun nada suaranya memandang rendah.

"Aku mengenalmu sebagai Tiat-Pi Kim-Wan, biarlah engkau mengenalku sebagai Seng-jiu Sin-touw saja. Kita hanya mengadu silat, bukan mengadu orang dan pribadinya," jawab Si Malaikat Copet. Mendengar bahwa lawannya adalah seorang Sin-touw atau Malaikat Copet, Si Lutung Emas tersenyum dan sengaja melucu agar tidak sampai kehilangan pendukung. Dia lalu sibuk memeriksa kantung-kantung jubahnya, mengeluarkan uang dan segala barang yang dianggap berharga, lalu menyerahkan kepada Song Kim sebagai tuan rumah.

"Tolong Kongcu simpan dulu semua milikku yang tak berharga ini, khawatir kalau-kalau nanti tahu-tahu lenyap dari kantungku setelah pibu. Bukankah kalau demikian, biar menang seratus tael, tetap saja kehilangan barang-barangku?" Tentu saja semua penonton tersenyum, ada pula yang tertawa geli mendengar ini dan mereka semua memandang kepada Malaikat Copet sambil tertawa. Si Malaikat Copet yang warna mukanya sudah merah itu kini warna itu menjadi kehitaman, tanda bahwa dia merasa marah dan malu. Song Kim tidak memberi komentar karena tidak mau berat sebelah, tidak pula tertawa, hanya menaruh barang-barang itu di atas meja di depannya.

"Lutung Emas, sambutlah seranganku!" bentak si Malaikat Copet dan diapun sudah menerjang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan yang bergerak itu sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kiri sudah menampar ke arah pelipis sedangkan tangan kanan menyelonong ke arah lambung lawan dengan totokan keras!

"Wah, cepatnya...!" teriak Si Lutung Emas dan diapun segera meloncat ke belakang dengan gaya seekor kera yang cekatan. Biarpun serangan kedua tangan yang cepat itu luput, tak urung Si Lutung Emas merasa betapa ada angin pukulan yang dingin lewat leher dan membuat bajunya di bagian perut berkibar. Maklumlah dia bahwa lawannya, selain memiliki kecepatan yang mengejutkan juga memiliki tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Dan dugaannya memang tepat. Baru saja dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan pertama, lawan sudah menerjang lagi dan tahu-tahu kedua tangan yang cepat sekali seolah-olah dua ekor ular yang ganas itu telah menghujankan serangan bertubi-tubi, setiap pukulan, tamparan atau cengkeraman mengandung tenaga yang amat kuat.

Seng jiu Sin-touw mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia melindungi tubuhnya dari serangan dengan jalan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis! Perkelahian itu berjalan dengan cepat sekali, akan tetapi karena penontonnya adalah ahli-ahli silat jagoan, mereka semua dapat mengikuti perkelahian itu dan merasa kagum. Sin-touw memang cepat bukan main, akan tetapi pertahanan Kim-wan (Lutung Emas) juga rapat sekali sehingga semua serangan dapat digagalkan. Tiba-tiba Si Lutung Emas yang menghadapi tendangan lawan, tiba-tiba terjengkang seolah-olah terkena tendangan, padahal dia sengaja melempar diri ke belakang untuk menghindar. tubuhnya terjengkang akan tetapi bigitu tiba di tanah, tubuh itu bergulingan dan ketika dia mengeluarkan teriakan nyaring, ada dua benda kecil menyambar ke arah mata Sin-touw!

"Heiiittt!!" Sin-touw berteriak dan cepat merendahkan tubuhnya. Kiranya karena lantai itu bersih, Lutung Emas tidak dapat mencengkeram pasir atau tanah atau kerikil, maka sebagai gantinya, dia telah merenggut lepas dua buah kancing bajunya dan dua buah benda kecil ini meluncur menuju ke mata lawan. Pada saat itu lawan merendahkan tubuh untuk mengelak, tubuhnya sendiri yang tadinya berada di atas lantai, tiba-tiba menerjang ke atas dan kedua tangannya yang kuat itu sudah menyambar, didahului oleh sebuah tendangan kakinya yang panjang! Si Malaikat Copet mengelak dari serangan kedua tangan, maka ketika kaki itu menendang, dia tidak sempat lagi mengelak lalu menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!" Hebat tendangan itu, akan tetapi tangkisan itupun mengandung tenaga yang kuat dan akibat benturan kedua tenaga itu, dua orang jagoan terdorong mundur sampai tiga langkah! Kini Lutung Emas sudah marah sekali. Sejak tadi dia didesak dan sekali membalas, kakinya tertangkis sampai rasanya nyeri. sambil mengeluarkan suara menggereng dengan amat cepatnya. Song Kim menanti-nanti sampai Lutung Emas mengeluarkan jurusnya yang ampuh tadi, yang dianggapnya sebagai jurus terbaik.

Akhirnya, apa yang diduganya terbukti. Kiranya memang jurus itu dipergunakan Lutung Emas untuk berusaha mengalahkan lawannya. Tangan kiri Si Lutung Emas menyambar dengan pukulan dahsyat dibarengi tangan kanan mencengkeram ke depan. Dua serangan ini memang hebat sekali nampaknya dan pasti dapat mengelabui lawan yang menyangka bahwa dua tangan itu merupakan inti serangan, atau setidaknya satu di antaranya. Maka lawan tentu akan mengerahkan tenaga dan perhatian menghadapi dua serangan ini. Demikian pula dilakukan oleh Malaikat Copet. Pukulan ke arah kepalanya dengan tangan kiri lawan itu dielakkan dengan miringkan kepala, dan cengkeraman tangan kanan lawan di sambutnya dengan tangkisan tangan kiri. Pada saat itulah tendangan pendek kaki Lutung Emas menyambar! Bukan main kagetnya Malaikat Copet.

Dia maklum bahwa untuk mengelak atau menangkis tendangan itu tidak keburu lagi, maka tangan kanannyapun memukul ke arah leher lawan untuk mengadu nyawa sedangkan kedua kakinya agak ditekuk untuk memberi kekuatan tambahan pada perut ke bawah yang sudah diisi tenaga sinkang untuk melindunginya. Si Lutung Emas tidak ingin membunuh lawan. Biarpun tubuh di bawah pusar itu sudah dilindungi sinkang, kalau terkena tendangannya pasti akan pecah dan lawan akan tewas. Dia tidak mau melakukan hal ini dan mengarahkan tendangannya ke lutut kiri lawan. Akan tetapi dia terkejut melihat betapa lawan menjadi nekat dan memukul dengan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan yang mengadu nyawa ini sungguh tak pernah disangkanya, dan datangnya demikian cepatnya! Maka, satu-satunya jalan hanya melempar tubuh ke samping untuk mengelak.

Dia tidak mugkin melempar tubuh ke belakang karena dalam posisi menendang sehingga kalau hal itu dilakukan, dia akan terbanting dan terjengkang! Tepat pada saat ujung sepatu Lutung Emas mengenai lutut kaki Malaikat Copet, pukulan tangan miring itu mengenai pundak Lutung Emas. Akibatnya, Malaikat Copet terjungkal karena lututnya terkena tendangan, akan tetapi sebaliknya lawannya juga terpelanting oleh pukulannya pada pundak. Diam-diam Song Kim yang melihat jelas gerakan mereka itu menjadi girang dan kagum. sekaligus dia telah menemukan dua gerakan yang sama-sama hebat! Cepat dia bangkit dan membantu keduanya untuk bangun. Kedua orang itu meringis kesakitan karena seperti sambungan lutut Malaikat Copet yang terlepas, ternyata sambungan tulang pundak Lutung Emas juga terlepas.

"Ji-wi sama-sama tangguh dan lihai, tidak ada yang kalah atau menang, biarlah hadiah dibagi berdua, baru adil." Semua orang menyatakan setuju dan kedua orang itupun kembali ke kursinya, membawa lima puluh tail perak. Si Malaikat Copet terpincang-pincang ketika menghampiri kursinya, sedangkan Si Lutung Emas juga miring-miring jalannya seperti layang-layang yang berat sebelah. Dengan sikapnya yang ramah dan sopan, sedikitpun tidak memperlihatkan pamrih aslinya, melainkan memberi kesan bahwa dia memang seorang penggemar silat seratus persen. Lee Song Kim berhasil membujuk para tamunya seorang demi seorang untuk mendemonstrasikan ilmu-ilmu simpanan masing-masing.

Para tamu itu, di bawah pengaruh arak yang baik, berusaha menonjolkan kepandaian silat masing-masing. Akan tetapi sudah tujuh orang yang maju mendemonstrasikan ilmu silatnya, Lee Song Kim diam-diam kecewa karena mereka ini tidak memiliki jurus-jurus ampuh seperti dua orang tamu terdahulu. Karena itu, dia tidak memberi komentar apa-apa dan tidak memancing adanya pibu. Kini hanya tinggal lima orang yang belum mendemonstrasikan ilmu silatnya. mereka itu adalah Kam-Kauwsu dari Thian-cin, Tan-siucai tokoh Pek-hwa-pai, Kwa Ciok Le jagoan Kun-Lun-Pai. Thian Khi Hwesio sendiri, dan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mukanya buruk dan di punggungnya terdapat sebatang pedang. Kini Lee Song Kim menunjuk kepada wanita itu dan memperkenalkan.

"Sekarang kami mohon kepada saudari Sin-Kiam Mo-Li untuk memberi petunjuk kepada kami akan kehebatan ilmu pedangnya. Silakan, Lihiap." Wanita itu bangkit berdiri, melangkah dengan tenang ke tengah ruangan dan menjura kepada Lee Kongcu, kemudian kepada semua orang yang memandang dengan hati tertarik. Beberapa orang di antara mereka termasuk Thian Khi Hwesio terkejut mendengar disebutnya nama Sin-Kiam Mo-Li (Iblis Betina Pedang Sakti) itu karena nama itu adalah nama seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan sakti, yang membuat nama besar di dunia selatan! Tak disangkanya bahwa tokoh sesat yang ditakuti itu ternyata hanya seorang wanita berusia empat puluh tahun dan kini bahkan hadir sebagai tamu Lee Kongcu!

"Lee Kongcu, ketahuilah bahwa aku tidak pernah memamerkan kepandaian, dan pedangku ini hanya dicabut kalau berhadapan dengan lawan. Entah sekarang ada yang mau menjadi lawanku atau tidak, terserah kepada yang hadir. Kalau tidak ada, sebaiknya aku pergi sekarang. Kalau ada, silakan maju, karena bagaimanapun juga, aku sudah menerima kebaikan Kongcu dan ingin sedikit menghibur dengan pertunjukan pibu. Akan tetapi, pedang tidak bermata, kalau sampai kesalahan tangan membunuh atau melukai lawan, harap jangan menjadi kecil hati." Setelah mengeluarkan ucapan itu, Sin-Kiam Mo-Li berdiri tegak, siap menanti munculnya seorang lawan! Empat orang tamu lain yang belum memperlihatkan ilmunya tidak ada yang mau menanggapi tantangan wanita itu.

Bukan takut, melainkan mereka sebagai jagoan-jagoan besar selain merasa tidak mau melayani iblis betina yang haus darah itu. Semua orang maklum bahwa ahli silat yang sudah tinggi ilmunya dapat menguasai senjata masing-masing. Biarpun senjata tidak bermata, namun si pemegang senjata bermata,bahkan awas sekali sehingga sulitlah dikatakan "kesalahan tangan" karena dalam keadaan bagaimanapun juga, seorang ahli silat tinggi dapat menguasai semua anggauta badannya. Lee Song Kim maklum bahwa di antara empat orang itu tentu tidak ada yang mau maju. Dia sendiri ingin maju menghadapi Sin-Kiam Mo-Li, akan tetapi dia merasa belum waktunya bagi dia untuk memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya. Kelak kalau sudah tiba saatnya, sekali memperlihatkan diri, dunia harus mengakuinya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap!

Maka diapun memberi isyarat kepada Theng Ci, pembantunya, untuk melayani wanita itu. Memang hanya Theng Ci yang dianggapnya tangguh dan dapat dipercaya akan mampu menandingi Sin-Kiam Mo-Li. Dua orang muridnya yang duduk di belakangnya, belum tentu akan mampu menandingi wanita berpedang sakti itu. Theng Ci dapat menangkap isyarat atasannya. Selama ini, sudah hampir satu tahun ia bersama anak buahnya tinggal di perkampungan yang dibangun Lee Song Kim, menjadi pembantunya yang dipercaya. Di antara murid-murid dan anak buahnya, banyak yang bertugas menghibur dan melayani Lee Kongcu, tentu saja mereka yang muda-muda dan cantik-cantik saja yang dipilih Song Kim. Kini Theng Ci bangkit dari tempat duduknya dan Song Kim juga bangkit, memperkenalkan.

"Karena tidak ada yang menyambut uluran tangan Sin-Kiam Mo-Li, untuk memeriahkan pesta ini, baiklah aku meyuruh pembantuku ini untuk mewakili aku, bermain-main sebentar dengan Mo-li agar mata kami semua terbuka menyaksikan ilmu pedang yang hebat dari Sin-Kiam Mo-Li."

Semua tamu bertepuk tangan gembira menyambut majunya Theng Ci karena mereka semua yang sudah mendengar nama besar Sin-Kiam Mo-Li ingin sekali melihat kehebatan ilmu pedang iblis betina itu. namun diam-diam mereka merasa khawatir. Bagaimana sih tuan rumah ini? Menyuruh seorang wanita yang nampak lemah itu untuk menghadapi Sin-Kiam Mo-Li? Padahal, bukankah tadi Sin-Kiam Mo-Li mengeluarkan ancaman bahaya pedangnya tak bermata, mungkin melukai bahkan membunuh lawan? Juga ada yang merasa heran, termasuk Thian Khi Hwesio. Tentu tuan rumah she Lee itu sudah maklum akan kelihaian Sin-Kiam Mo-Li, akan tetapi kenapa berani mengajukan wanita pembantunya itu? Jelaslah bahwa Lee Kongcu sudah tahu pula bahwa pembantunya akan mampu menandingi si Iblis Betina,

Kalau tidak demikian takkan disuruhnya maju. Dan kalau pembantunya saja berani menandingi Sin-Kiam Mo-Li, mudah diduga bahwa tentu majikan atau ketuanya lebih lihai lagi! Hati Thian Khi Hwesio semakin tertarik. Perkumpulannya juga sedang berurusan dengan seorang she Lee yang membunuh tokoh Kun-Lun-Pai dan yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai dan kini ada seorang she Lee yang begini aneh, penuh rahasia dan agaknya lihai sekali. Siapa tahu di antara keduanya itu masih ada hubungan! Sementara itu, Theng Ci sudah berhadapan dengan Sin-Kiam Mo-Li dan ketua Ang-Hong-Pai (Perkumpulan Tawon Merah) ini sudah pula mencabut pedangnya karena tadi ia mendengar bahwa Si Pedang Sakti ini hendak mempergunakan pedangnya. Sambil menyembunyikan pedang di bawah lengan, iapun maju dan memberi hormat kepada Sin-Kiam Mo-Li.

"Mentaati perintah Lee Kongcu, aku yang ingin melayanimu bermain pedang sebentar, Sin-Kiam Mo-Li." Sin-Kiam Mo-Li memandang tajam kepada wanita calon lawannya itu dan diam-diam ia terkejut. Wanita ini sudah tua, hal itu dapat dilihat dari sikap dan pandang matanya, jauh lebih tua darinya, akan tetapi wajah dan bentuk badan wanita ini bahkan nampak lebih muda darinya! Hal ini saja sudah membuatnya terheran dan dapat menduga bahwa yang dihadapi tentulah seorang wanita yang tak boleh dipandang ringan. Pada saat itu, tiba-tiba seorang di antara para tamu mengenal Theng Ci dan diapun berseru,

"Ah, bukankah ia ketua Ang-Hong-Pai di luar kota Nan-ping yang amat terkenal dengan tawon-tawon merah beracun? Mendengar ini, semua orang terkejut, termasuk Sin-Kiam Mo-Li. Ia belum pernah mengenal perkumpulan itu, akan tetapi sudah mendengar namanya dan seperti semua orang yang hadir, ia terkejut karena tidak mengerti bahwa ketua perkumpulan yang ditakuti banyak orang itu kini menjadi pembantu dan wakil pemuda hartawan yang aneh dan penuh rahasia itu!

"Ah, kiranya aku berhadapan dengan Ang-Hong-Pai-cu (ketua Ang-Hong-Pai) yang terkenal itu? Sungguh mengherankan, ketua perkumpulan yang ternama kini menjadi pembantu dan wakil Lee Kongcu yang hanya kaya raya dan penggemar ilmu silat." Mendengar ini, wajah Theng Ci berubah merah. Ucapan itu sama saja dengan meremehkannya, dan mengingatkan ia betapa perkumpulannya telah ditaklukkan oleh Lee Kongcu. Ia tidak mampu menjawab dan melihat ini, Lee Song Kim tertawa.

"Moli, kiranya bukan hanya pedangmu yang tajam, mulutmu lebih tajam lagi. Karena tidak ada yang berani menemanimu bermain pedang, aku lalu minta bantuan Ang-hong Pai-cu yang menjadi sahabat baikku, kenapa engkau memandang rendah kepadanya? Lebih baik engkau perlihatkan kepandaianmu dan mengalahkannya!"

"Baik, jangan dikira bahwa aku takut menghadapi siapapun juga. Nah, pai-cu, majulah!" Berkata demikian, Sin-Kiam Mo-Li menggerakkan tubuhnya ke depan dan nampak sinar berkelebat ketika ia mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar putih berkilauan.

"Aku di pihak tuan rumah, engkau tamu, sudah sepatutnya kalau tamu yang bergerak lebih dulu," kata Theng Ci. Mendengar ini, tiba-tiba Sin-Kiam Mo-Li mengeluarkan teriakan panjang dan pedangnya sudah membentuk sinar berkelebat menusuk ke arah dada ketua Ang-Hong-Pai itu. Serangannya cepat sekali dan juga menagandung tenaga kuat sehingga mengeluarkan suara berdesing. Theng Ci tidak memandang rendah lawannya dan ia sudah siap siaga, maka begitu lawan menyerang, iapun menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan sinkang.

"Cringgg! Trangggg...!" Dua kali pedang Sin-Kiam Mo-Li menyerang dan dua kali Theng Ci menangkis. Pertemuan antara kedua pedang itu selain menimbulkan suara nyaring, juga bunga api berpijar dan keduanya cepat menarik pedang masing-masing untuk memeriksa apakah pedang mereka rusak. ternyata tidak dan kini Theng Ci balas menyerang dan karena keduanya sama-sama tidak berani memandang ringan lawan, mereka telah mengeluarkan jurus-jurus serangan simpanan yang ampuh. Kalau orang-orang lain menonton perkelahian pedang itu dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran bahwa seorang di antara dua wanita itu akan roboh mandi darah, sebaliknya Lee Song Kim merasa girang bukan main.

Dia sudah hafal ilmu pedang Theng Ci, tahu bagian-bagian mana yang lemah dan kuat, maka melalui gerakan Theng Ci, dia dapat pula menilai gerakan lawan, mencatat gerakan-gerakan pedang dari Sin-Kiam Mo-Li yang dianggap lihai dan patut dipelajari. Dan memang ilmu pedang Sin-Kiam Mo-Li amat lihai, sehingga pantas kalau ia diberi julukan Iblis betina berpedang Sakti! Biarpun Theng Ci juga seorang ahli pedang yang amat lihai, namun setelah berkelahi selama lima puluh jurus, mulailah Theng Ci terdesak hebat! Dan kini watak kejam Sin-Kiam Mo-Li sehingga ia dijuluki Iblis Betina. Biarpun perkelahian itu hanya merupakan pibu belaka, tanpa didasari benci atau permusuhan pribadi, setelah melihat lawannya terdesak hebat, iblis betina itu sama sekali tidak memberi kelonggaran,

Bahkan menghujankan serangan-serangan mautnya dengan jurus-jurus yang paling lihai. Tentu saja Theng Ci menjadi kewalahan, selalu menangkis sambil mundur dan berusaha mengelak ke kanan kiri. Yang aneh adalah Song Kim. Orang ini melihat pembantu dan wakilnya terdesak dan terancam bahaya, dia malah kegirangan karena melihat iblis betina itu mengeluarkan jurus-jurus rahasia! Seolah-olah dia tidak perduli sama sekali melihat nyawa pembantunya terancam bahaya maut. Sesungguhnya tidak demikian. Song Kim memang kegirangan karena dapat melihat jurus-jurus pilihan dari ilmu pedang Sin-Kiam Mo-Li, dan kalau tidak mengkhawatirkan keadaan Theng Ci, bukan karena dia acuh, melainkan karena dia percaya penuh akan kemampuan pembantunya. Dia percaya bahwa Theng Ci mampu menjaga diri walaupun nampaknya sudah demikian kerepotan.

"Mampuslah!" Tiba-tiba Sin-Kiam Mo-Li membentak, tubuhnya membuat gerakan memutar setengah lingkaran, pedangnya meluncur ke belakang tubuhnya, akan tetapi secara aneh pedang itu membalik dan menyambar ke arah leher Theng Ci dengan kecepatan kilat! Ketua Ang-Hong-Pai ini terkejut setengah mati, tidak pernah menduga akan datangnya serangan aneh yang tak disangka-sangkanya itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk menangkis dan jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu hanyalah membuang tubuhnya ke belakang,

Bahkan terus melempar diri rebah terlentang ke atas tanah untuk kemudian berjungkir balik! Akan tetapi, terdengar suara ketawa mengejek dari mulut Sin-Kiam Mo-Li yang sudah memperhitungkan hal ini, maka begitu melihat lawan melempar tubuh ke belakang, pedangnya dengan membuat gulungan sinar telah mengejar dan menusuk ke arah leher dari tubuh lawan yang sudah rebah terlentang itu sebelum tubuh itu sempat meloncat lagi. Semua orang yang melihat peristiwa ini menahan napas karena agaknya tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri bagi ketua Ang hong-pai itu. Hanya Lee Song Kim saja yang masih melihat dengan senyum di bibirnya. Dia melihat betapa pembantunya itu sejak tadi telah siap dengan jarum merahnya, senjata rahasia halus yang amat berbahaya itu!

Theng Ci yang melihat sambaran pedang, hanya mampu memutar leher ke kiri dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar merah halus menyambut ke arah muka lawan. Sin-Kiam Mo-Li terkejut dan cepat ia menarik kepala ke belakang dan pada saat pedangnya yang dielakkan lawan itu menusuk pundak sebagai gantinya leher, ia sendiri merasa pahanya nyeri dan pedih sekali karena ketika ia menarik kepala ke belakang tadi, pedang di tangan Theng Ci menusuk pahanya! Dalam waktu yang hampir berbareng, dua orang wanita itu sama-sama menderita luka. Theng Ci terluka pundaknya dan Sin-Kiam Mo-Li terluka pahanya. Dengan marah sekali Sin-Kiam Mo-Li sudah meloncat maju lagi begitu melihat lawannya bangkit berdiri dan siap untuk menyerang. Akan tetapi pada saat itu Song Kim sudah berdiri menghadang dan menghalang di antara mereka.

"Cukup sudah, kedua pihak sama terluka, tidak ada yang kalah atau menang."

"Wuuuttt... tappp!" Tiba-tiba saja gerakan tusukan pedang itu terhenti karena pedang itu sudah dijepit oleh jari-j ari tangan kanan Lee Kongcu!

"Sin-Kiam Mo-Li, engkau sungguh lancang dan pedangmu ini berbahaya kalau tidak dipatahkan!" Berkata demikian, Lee Song Kim menyalurkan tenaga sinkang pada jari-jari tangan kanan yang menagkap pedang dan sekali jari tangannya menekuk, terdengar suara keras dan pedang itupun patah menjadi tiga potong! Yang dua potong jatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi berdenting, bagian ketiga masih tertinggal di gagang yang masih dipegang oleh tangan kanan Sin-Kiam Mo-Li. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Tak disangkanya bahwa orang yang dikenalnya sebagai Lee Kongcu ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan tingkat ilmu silatnya sendiri. Cara Lee Kongcu menangkap dan mematahkan pedangnya itu merupakan ilmu yang tinggi, mungkin tak dapat dilakukan oleh mendiang gurunya sendiri sekalipun! Maka, iapun tahu diri dan


JILID 05

"Saya telah menerima pelajaran!" Dan terpincang-pincang ia kembali ke kursinya dan mengambil obat luka untuk mengobati luka di pahanya. Theng Ci juga kembali ke kursinya dan mengobati luka di pundaknya, sedangkan Lee Song Kim tersenyum dan duduk lagi, tak mau menyinggung peristiwa tadi melainkan memandang empat orang tamu lainnya yang belum sempat memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Sambil tersenyum Lee Song Kim berkata kepada mereka.

"semua tamu yang gagah perkasa telah memperlihatkan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang hebat sehingga menambah meriahnya suasana pertemuan ini. Hanya su-wi yang terhormat, Kam-Kauwsu, Tan-siucai, Kwa-Enghiong dan Thian Khi LoSuhu yang belum sempat memperlihatkan kelihaiannya. Maka, kami mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Kam-Kauwsu dari Thian-cin dan Tan-siucai tokoh Pek-hwa-pai yang keduanya sudah amat terkenal namanya, menghangatkan suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat mereka." Kam-Kauwsu, guru silat dari Thian-cin itu adalah seorang yang cerdik.

Tadi dia melihat betapa lihainya tuan rumah yang penuh rahasia itu. Baru tingkat kepandaian Theng Ci, wanita yang menjadi pembantu Lee Kongcu itu saja sudah amat lihai dan agaknya tingkatnya sendiri tidak akan melebihi banyak. Maka, kalau sampai dia memancing bentrokan atau pibu dengan pihak tuan rumah, mungkin diapun akan mendapatkan malu. Juga dia tidak ingin mengadu ilmu dengan Tan-siucai. Dia dapat melihat betapa mereka yang ilmu silatnya biasa saja, tadi tidak dipedulikan oleh tuan rumah dan hanya mendemonstrasikan saja ilmu silatnya. Yang diadu dalam pibu hanyalah mereka yang ilmu kepandaiannya tinggi. Maka, begitu mendengar permintaan tuan rumah, dia mendahului Tan-siucai dan meloncat ke tengah ruangan itu, memberi hormat kepada Lee Kongcu dan para tamu sambil tersenyum lebar.

"Saya hanyalah seorang guru silat yang mengandalkan hidupnya dari penghasilan mengajarkan ilmu silat sekedarnya, ada apakah yang boleh diperlihatkan? Akan tetapi kalau untuk menghormati Lee Kongcu yang telah begitu baik hati untuk mengundang saya, maka biarlah saya ikut pula meramaikan pesta ini dengan permainan silat sedapat saya, harap cu-wi jangan mentertawakan."

Tanpa menanti tanggapan, cepat guru silat Kam ini sudah memainkan ilmu silatnya. Dia sengaja mengeluarkan tenaga sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan, gerakannya mantap dan penuh tenaga, pukulan dan tendangannya juga mengandung tenaga besar sehingga menimbulkan angin. Akan tetapi, Lee Song Kim yang menonton penuh perhatian, menjadi kecewa. kiranya nama besar guru silat dari Thian-cin ini hanya nama kosong belaka, seperti juga ilmu silatnya itu hanya indah dan gagah ditonton saja, akan tetapi sebetulnya tidak ada isinya yang menarik sama sekali. Gerakan silat biasa yang dapat dipelajari setiap orang. Tidak ada apa-apanya yang patut untuk dicatat dan dipetik.

Dalam waktu belasan jurus saja Theng Ci akan mampu merobohkan orang ini, pikirnya. Karena itu, diapun tidak merasa tertarik. Guru silat itu kelihatan bersemangat benar untuk memamerkan ilmu silatnya, mengerahkan tenaganya dan kecepatannya. Namun, tidak ada sejuruspun yang dianggap baik oleh Lee Song Kim, maka diapun diam saja dan tidak bernafsu untuk mengadu tamu ini dalam pibu untuk mengorek rahasia ilmu silatnya. inilah yang dikehendaki Kam-Kauwsu yang cerdik dan selmatlah dia dari kekalahan dalam pibu. Setelah dia selesai dalam bersilat, para tamu, demi kesopanan, bertepuk tangan memuji, bahkan Song Kim juga ikut bertepuk tangan memuji. Kam-Kauwsu menjura sambil merendahkan diri, lalu mundur dan duduk kembali di kursinya, di dalam hatinya merasa girang bahwa siasatnya berhasil.

"Sekarang kami mohon Tan-siucai untuk memperlihatkan kepandaiannya. Kami mendengar bahwa Tan-siucai memiliki pedang yang luar biasa, dengan sebatang pedang pusaka yang tipis dan lemas. Kami ingin mengagumi ilmu pedang itu." Tan-siucai sejak melihat Lee Song Kim tadi mematahkan pedang di tangan Sin-Kiam Mo-Li, sudah merasa curiga akan iktikad tuan rumah. Maka, dia sudah merasa enggan untuk ikut memamerkan kepandaian. ketika tuan rumah minta kepadanya untuk memperlihatkan kepandaian, dia bangkit dan menjura kepada Lee Song Kim.

"Harap Lee Kongcu suka memaafkan, akan tetapi hari ini saya tidak mempunyai semangat untuk bermain silat memperlihatkan kebodohan sendiri di depan para locianpwe. Biarlah saya menjadi penonton saja."

"Ah, mana bisa begitu. Tan-siucai? Jauh-jauh kami sengaja mendatangkan tokoh-tokoh persilatan di dunia kang-ouw, selain untuk menghormati mereka, juga untuk menikmati pertunjukan ilmu-ilmu yang tinggi. Kalau anda menolak untuk ikut menggembirakan suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat anda yang terkenal tinggi, sungguh hal itu amat mengecewakan hati kami dan para indangan yang terhormat!" Kini Lee Song Kim juga bangkit berdiri dan menghampiri jago silat yang berpakaian seperti seorang sasterawan itu. Mereka berhadapan dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata tajam. Tan-siucai kembali menjura,

"Terpaksa saya mengecewakan tuan rumah. Akan tetapi, saya memnuhi undangan tanpa mengetahui bahwa kami diundang untuk diadu seperti ayam-ayam aduan. Terpaksa saya mengecewakan dan biarlah budi kebaikan Lee Kongcu kelak dapat saya balas dengan undangan kehormatan pula. Sekarang, perkenankan saya mohon diri..." Akan tetapi Lee Kongcu menghadang di depannya.

"Nanti dulu, Tan-siucai. Aku tidak minta kau balas untuk beberapa cawan arakku dan beberapa mangkok sayuran hidanganku. Akan tetapi aku tidak dapat menerima kalau orang memandang rendah kepadaku, biarpun hal itu dilakukan oleh seorang ternama seperti engkau." Mendengar kata-kata keras dan sikap yang berubah kasar ini, Tan-siucai memandang wajah tuan rumah dengan alis mata berkerut.

"Lee Kongcu, apakah maksud ucapan Kongcu ini? Sungguh saya tidak mengerti," katanya, suaranya kinipun tegas.

"Sebagai tuan rumah yang menghormati tamu-tamunya, akupun ingin agar para tamuku menghormatiku. permintaanku kepada tamu yang hadir untuk sekedar memperlihatkan ilmu kepandaiannya merupakan penghormatan pula dan sudah sepatutnya kalau para tamu memenuhi permintaan itu. Kalau engkau menolak, berarti engkau tidak memperdulikan penghormatanku dan memandang rendah kepadaku. Memandang rendah berarti penghinaan dan aku tidak dapat menerimanya!" Mendengar ucapan keras dan sikap menantang ini, panaslah rasa hati Tan-siucai. Dia adalah seorang pendekar dari utara, seorang yang biarpun selalu mengalah dan rendah hati, namun jiwa kependekarannya bangkit kalau dia berhadapan dengan sikap sewenang-wenang. Melihat sikap tuan rumah itu, kecurigaannya terhadap Lee Kongcu yang berkesan buruk itu menjadi semakin tebal dan diapun memandang dengan wajah merah dan sinar mata tajam.

"Aku tidak mengenal Lee Kongcu dan aku datang ke sini adalah atas undanganmu sendiri. Aku hadir di sini sebagai tamu, bukan sebagai orang yang harus menjalankan semua perintahmu, kalau sikapku ini dianggap memandang rendah dan engkau tidak dapat menerimanya, lalu apa yang selanjutnya akan terjadi?" Biarpun halus, ucapan ini merupakan tantangan atau menerima tantangan yang dilontarkan Lee Song Kim tadi.

"Bagus! Kalau Tan-siucai merasa pintar sendiri dan benar sendiri, aku orang she Lee menantangmu untuk pibu agar disaksikan oleh para locianpwe yang hadir, asal saja Tan-siucai tidak mempergunakan lidahnya yang tajam melebihi pedangnya untuk mengelak karena takut menerima tantanganku!" kalimat terakhir itu dikeluarkan oleh Lee Song Kim sebagai penutup semua jalan keluar karena tentu saja pihak lawan tidak berani menolak. Menolak berarti mengaku takut! Tan-siucai mengerti bahwa dalam keanehan sikapnya, Lee Kongcu merupakan lawan tangguh yang berbahaya dan dia belum tahu sebetulnya yang berada di balik sikap menantang ini karena bagaimanapun juga, belum pernah dia merasa bermusuhan dengan orang ini.

"Bagaimana pibu ini akan dilaksanakan?" tanyanya, siap siaga karena dia maklum bahwa tak mungkin mundur dari tantangan tuan rumah. Sementaa itu, para tamu memandang penuh perhatian dan diam-diam Kam-Kauwsu merasa girang bahwa dengan kecerdikannya, dia tadi mampu lolos. Kwa Ciok Le yang sudah merasa tidak suka kepada tuan rumah, dan Thian Khi Hwesio yang merasa curiga, kini diam-diam memandang penuh perhatian.

"Tan-siucai terkenal dengan pedang tipisnya, ingin sekali aku membuktikan apakah pedang tipisnya itu sama tajamnya dengan lidahnya," kata Lee Song Kim yang sengaja memanaskan hati orang

"Srattt...!" Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tan-siucai telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan saking tajamnya. pedang itu diambilnya dari pinggang karena pedang itu tadi dipakai sebagai sabuk. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga seperti orang bermain sulap saja.

"Lee Kongcu, engkau sudah menantangku dan tidak baik kalau aku menolaknya. Nah, keluarkanlah senjatamu." Lee Song Kim tersenyum. dari anak buahnya yang melakukan penyelidikan, dia sudah banyak mendengar tentang jagoan ini dan biarpun belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, namun dia merasa yakin bahwa dengan tangan kosong dia masih sanggup mengatasinya.

"Aku tetap menghormati tamu, Tan-siucai. Engkau gerakkanlah pedangmu, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Ucapan ini mengejutkan yang hadir, bahkan Thian Khi-Hwesio juga terkejut. Dia sudah mendengar tentang Siucai ini dan maklum betapa lihai dan berbahayanya pedang tipis itu. Dia sendiri sebagai wakil ketua Siauw-Lim-Pai, agaknya masih belum begitu sembrono untuk menghadapi Tan-siucai dengan tangan kosong melawan pedang tipis itu. Kalau tuan rumah ini bersikap sedemikian angkuhnya, tentu benar-benar telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Maka dengan jantung berdebar, seperti yang lain, pendeta tua ini menonton dengan perhatian sepenuhnya. Maksud Lee Song Kim menghadapi lawan dengan tangan kosong bukan sekedar kesombongan belaka, melainkan mengandung maksud tertentu.

Dia mendengar akan kehebatan ilmu pedang orang ini maka dengan tangan kosong, dia mampu mengelak terus mengandalkan ginkangnya sambil memperhatikan gerakan lawan dan mencatat jurus-jurus terampuh untuk dipelajari dan dikuasainya. Song Kim memang sejak kecil memiliki ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dan mencatat di dalam benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya. Sementara itu, Tan-siucai merasa penasaran bukan main, diam-diam juga girang. Orang she Lee ini berbahaya dan sombong. Kini dia ditantang untuk maju menggunakan pedangnya melawan Lee Kongcu yang bertangan kosong. kebetulan sekali, pikirnya. Banyak yang menyaksikan dan kalau sampai pedangnya melukai atau membunuh tuan rumah sekalipun, orang-orang kang-ouw tidak akan menyalahkannya.

"Baik, kau sambutlah pedangku, Lee Kongcu!" Hebat bukan main memang gerakan pedang sasterawan itu, jauh lebih hebat dari pedang wanita yang berjuluk Iblis Betina Pedang Sakti tadi. Pedangnya yang tipis itu meluncur dan berubah menjadi sinar kebiruan menyambar-nyambar dan menciptakan gulungan sinar yang panjang.

Namun, Lee Song Kim berdiri dengan tenang saja dan baru tubuhnya bergerak mengelak kalau ada sinar mencuat dari gulungan sinar itu yang menunjukkan bahwa ada serangan mengarah dirinya. Dengan tepat dan mudah dia mengelak. Akan tetapi gerakan pedang di tangan Tan-siucai itu hebat bukan main. Begitu pedang luput mengenai sasaran, pedang itu membalik dan telah melakukan serangan susulan, dan terus susul menyusul seperti seekor burung walet yang sedang berpesta pora menyambari nyamuk-nyamuk dengan terbang hilir mudik dengan kecepatan yang membuat pedang itu mengeluarkan sinar menyilaukan mata. Dalam waktu beberapa detik saja, pedang itu telah hilir mudik mengirim serangan tidak kurang dari tiga belas kali! Namun, semua orang kini dibuat kagum oleh Lee Kongcu.

Dia bergerak seenaknya, namun tubuhnya sedemikian ringannya sehingga ke manapun sinar pedang menyambar, tubuhnya selalu sekelebatan lebih cepat mengelak, seolah-olah sebelum pedang tiba, angin pedang itu sudah membuat tubuh Lee Kongcu berpindah tempat. Hal ini membuat Tan-siucai menjadi penasaran, akan tetapi berbareng dia maklum pula bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan memiliki ginkang yang luar biasa. Maka, diapun lupa diri dan segera mengeluarkan jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh. Justeru inilah yang dikehendaki Lee Song Kim. Dia mengerahkan ginkangnya dan tubuhnya bagaikan terbang saja menyelinap di antara gulungan sinar pedang, sambil meneliti bagian-bagian ilmu pedang milik lawan yang dianggapnya menarik dan patut untuk dipelajarinya. Sementara itu, Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio sudah saling berbisik-bisik.

"Lo-Suhu, tuan rumah ini sungguh aneh mencurigakan. jelas, ilmunya tinggi sekali dan apa maksudnya dia mengumpulkan kita di sini?"

"Pinceng (aku) juga belum mengerti benar, akan tetapi pinceng sedang mengingat-ingat, barangkali dia ada hubungannya dengan urusan besar..."

"Pembunuhan atas diri tiong Gi Tojin dan Tiong Sin tojin, dua orang tokoh Kun-Lun-Pai itu?" Kwa Ciok Le melanjutkan.

"Sayapun sudah mendengar akan hal itu dan sebagai murid Kun-Lun-Pai saya pun berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan. Orang she Lee ini memang mencurigakan. ketika saya diundang oleh anak buahnya, saya tidak mau sehingga terjadi percekcokan, akan tetapi wanita pakaian merah yang bernama Theng Ci itu mengeluarkan ilmu siluman. ratusan ekor lebah beracun mengeroyokku dan selagi saya sibuk menyelamatkan diri, saya dirobohkannya dengan obat bius yang dikebutkan dengan saputangan merah. Nah, dalam keadaan pingsan saya digotong dan tahu-tahu tadi saya siuman dan dibawa ke tempat ini."

"Hemmm, sungguh mencurigakan. Pembunuh para tokoh Kun-Lun-Pai itu juga mengaku she Lee, akan tetapi dia mengaku murid Siauw-Lim-Pai."

"Tapi, harap loSuhu perhatikan. Ilmu silatnya demikian tinggi, dan saya melihat gerakan-gerakan yang aneh, bahkan kadang-kadang ada dasar gerakan Kun-Lun-Pai..." Hwesio tua itu memandang penuh perhatian. Tiba-tiba dia mengepal tinju karena pada sat itu, Lee Song Kim yang agaknya sudah merasa cukup mempermainkan lawan, menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Tan-siucai dapat mengelak dengan menarik tangannya, dengan gerakan mencengkeram yang dilakukan Song Kim itu memang mirip dengan Ilmu Silat Naga dari aliran Siauw-Lim-Pai, bahkan kedudukan kakinya juga sama.

"Omitohud... engkau benar, sicu. Apakah dia juga telah mempelajari ilmu silat Siauw-Lim-Pai?" Pada saat itu, Lee Song Kim membalas serangan-serangan lawan, dan begitu dia mengeluarkan kepandaiannya, Tan-siucai yang memegang pedang menjadi kewalahan! Ketika Tan-siucai masih berusaha menyerang lawan dengan tusukan pedangnya ke arah dada, Lee Song Kim membuat gerakan miring dan dari samping dia memukul siku kanan lawan.

"Plakk!" Lengan kanan itu tiba-tiba menjadi lumpuh dan di lain saat pedang tipis itu telah berpindah tangan! Song kim tidak berhenti sampai di situ saja, dia lalu menggerakkan pedang itu dengan satu di antara jurus-jurus penyerangan yang tadi dimainkan oleh Tan-sicai.

Jurus serangan ini mirip sekali, dan bahkan lebih dahsyat karena didorong oleh tenaga sinkang yang jauh lebih kuat. Melihat ini, Tan-siucai terbelalak, mencoba untuk mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. namun, sinar pedang itu mengejarnya terus dan tahu- tahu ujung pedang tipis telah menusuk dadanya dari samping. tanpa mengeluarkan teriakan Tan-siucai roboh dan tewas seketika karena pedang itu menembus jantungnya. Semua orang terbelalak, tak mengira bahwa seorang yang lihai seperti Tan-siucai dapat tewas semudah itu di tangan tuan rumah dan tidak mengira bahwa tuan rumah akan sekejam itu membunuh tamunya sendiri. Lee Song Kim yang menganggap Tan-siucai kelak akan dapat menjadi penghalang bagi cita- citanya, sudah membunuhnya dengan tangan dingin dan kini dia berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada semua tamunya.

"Tan-siucai tewas karena ulahnya sendiri. Cu-wi (anda sekalian) tadi melihat betapa dengan sungguh-sungguh dia berusaha membunuhku!" pada saat itu, Theng Ci menghampirinya dan dengan berbisik-bisik wanita ini menceritakan kepadanya apa yang didengarnya dari percakapan antara Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio!

"Mereka berdua tadi membicarakan Kongcu dan menyangka Kongcu pembunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai. mereka mempunyai niat buruk terhadap Kongcu." Mendengar ini, Lee Song Kim diam-diam terkejut, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum dan memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan mayat Tan-siucai dan membersihkan lantai yang penuh darah. Kemudian dia melangkah maju setelah mengikatkan pedang pada pinggangnya seperti yang dilakukan Tan-siucai tadi, menghampiri tempat di mana Thian Khi Hwesio duduk bersama Kwa Ciok Le. Lee Song Kim menjura kepada dua orang itu dan suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia berkata,

"Nah, sekarang tinggal ji-wi (anda berdua) yang belum memperlihatkan kelihaian. Harap Huang-ho Sin-to si pembasmi bajak Huang-ho dan Thian Khi Hwesio yang menjadi wakil ketua Siauw-Lim-Pai kini maju dan memperlihatkan kelihaian masing-masing. Ji-wi dapat bersilat sendiri-sendiri atau bersama-sama, terserah. Dan kami harap ji- wi tidak memandang rendah dan menolak permintaan tuan rumah seperti yang dilakukan oleh mendiang Tan-siucai tadi."

Sikapnya hormat, kata-katanya halus dihias senyum, namun di dalam ucapannya itu terkandung ancaman bahwa kalau kedua orang itu menolak seperti Tan-siucai, merekapun agaknya akan mengalami nasib seperti sasterawan berpedang itu. Suasana menjadi tegang dan para ahli silat yang hadir kini memandang dengan sinar mata penuh kekhawatiran. lenyaplah perasaan gembira seperti yang mereka rasakan dalam pesta tadi. Tak mereka sangka bahwa pesta pertemuan itu akan menjadi seperti ini. makin aneh saja kelakuan tuan rumah, dan makin penuh rahaia. mereka tidak mengerti mengapa Lee Kongcu bersikap seperti itu, bahkan sampai membunuh seorang di antara tamu-tamunya hanya karena tidak mau memenuhi permintaan tuan rumah, yaitu mendemonstrasikan ilmu silat!

Di samping perasaan heran ini, juga terdapat perasaan kagum dan takut karena baru sekarang mereka maklum bahwa Lee Kongcu ini sesungguhnya adalah seorang ahli silat yang amat pandai. Pantas saja, Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai yang demikian lihainya itu, mau menjadi pembantunya! Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio saling pandang. Tadi mereka telah bercakap-cakap dan mengambil keputusan untuk membuka rahasia Lee Kongcu ini, dan kalau perlu mereka akan maju bersama untuk menentangnya. Apalagi setelah melihat betapa Lee Kongcu membunuh Tan-siucai dengan cara demikian kejam, sengaja membunuhnya karena tadi Tan-siucai sudah kalah, keduanya mengambil keputusan untuk bangkit menentang orang she Lee ini.

"Lee Kongcu," kata Kwa Ciok Le dengan suara lantang,

"katakanlah terus terang, apakah engkau orang she Lee yang telah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai, yaitu Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin?"

"Dan juga orang she Lee yang setelah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai, lalu mengaku sebagai murid Siauw- lim-pai?" Thian Khi Hwesio menyambung sambil memandang tajam. Mendengar ini, para tamu lainnya terkejut dan maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar yang gawat. Akan tetapi Lee Song Kim bersikap tenang, bahkan dia menganggap sudah tiba waktunya untuk memperkenalkan diri. Dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk memperluaskan namanya ke seluruh pelosok agar semua orang tahu bahwa kini muncul seorang jagoan yang pantas diberi gelar Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan maksudnya mengumpulkan semua jagoan ini bukan sekedar mencuri jurus-jurus terampuh mereka, melainkan juga untuk mulai memperkenalkan diri dan kelihaiannya.

"Thian Khi Hwesio, Huang-ho Sin-to dan para orang gagah yang berada di sini! Aku tidak perlu mengaku atau menyangkal atas semua tuduhan itu. Yang penting, aku memeberitahukan bahwa siapapun orangnya yang berani menentang Thian-He Te-It Bu-Hiap, maka dia akan tewas!"

"Hemm, dan siapakah Thian-He Te-It Bu-Hiap itu?" tanya Kwa Ciok Le walaupun terkejut akan kesombongan orang itu dan dapat menduga bahwa tentu orang itu yang mengaku sebagai Orang Gagah Nomor Satu di Dunia.

"Siapa lagi kalau bukan aku?" Lee Song Kim berkata tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi, sambil hendak berkeruyuk.

"Akulah. Lee Kongcu, yang merupakan satu-satunya orang yang patut berjuluk Thian-He Te-It Bu-Hiap!"

"Omitohud...!" Thian Khi Hwesio berseru, kaget dan heran melihat kesombongan orang itu.

"Dan siapa kiranya yang mengaku dan mengesahkan Lee Kongcu sebagai Pendekar Silat Nomor satu di Dunia ini?" Lee Song Kim mengeluarkan sebuah benda dari balik jubahnya dan semua orang melihat bahwa benda itu adalah sebatang pedang terbuat dari batu kemala yang berbentuk naga.

"Giok-Liong-Kiam...!"

Hampir semua orang berseru kaget. Biarpun di antara mereka belum ada yang melihat bentuk pedang pusaka itu, namun mereka sudah mendengar tentang Giok-Liong-Kiam (Pedang Naga Kemala), yang pernah menggemparkan dunia persilatan karena dijadikan perebutan di antara para orang gagah. Pedang yang lenyap dari gudang pusaka istana itu pernah diperebutkan dan hampir semua orang kang-ouw tahu belaka tentang pedang itu, tahu pula bagaimana bentuk dan macamnya, walaupun hanya sedikit saja tokoh yang pernah menyaksikannya. Begitu Lee Song Kim mengeluarkan pedang itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, semua orangpun mengenalnya. Lee Song Kim tersenyum melihat betapa semua orang memandang kepada pedang pusaka itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Benar, ini adalah Giok-Liong-Kiam, lambang dari kegagahan! Dan siapa yang menjadi pemilik Giok-Liong-Kiam, dialah yang patut menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap! Aku sudah menguasai hampir seluruh ilmu silat dari semua aliran, dan aku pula yang menguasai Giok-Liong-Kiam, maka akulah yang berhak menjadi jagoan nomor satu di dunia ini. Kalau ada yang menyangkal, boleh maju untuk membuktikan sendiri!"

"Omitohud...! Bukankah Giok-Liong-Kiam tadinya dikuasai oleh Ong Siu Coan, pemimpin pasukan Tai Peng yang kini menjadi Kaisar dari Kerajaan Sorga yang dibentuknya? Karena Giok-Liong-Kiam maka banyak orang gagah yang membantu pasukannya sampai dia menjadi Kaisar di nan-king. Bagaimana kini bisa berada di tanganmu, Lee Kongcu?"

"Ha-ha, Ong Siu Coan itu hanya macan kertas! Mengandalkan balatentara yang besar jumlahnya dan bantuan para ahli silat! Licik namanya! Akan tetapi aku hanya mengandalkan tenaga sendiri. Kini Giok-Liong-Kiam berada padaku, maka akulah yang pantas menjadi jagoan nomor satu".

"Dan engkau membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai menggunakan nama Siauw-Lim-Pai untuk mengadu domba!" bentak Kwa Ciok Le marah.

"Omitohud... pinceng teringat akan pencurian-pencurian kitab ilmu silat dari partai-partai besar yang dilakukan oleh Hai-Tok sampai datuk sesat itu tewas ketika hendak mencuri kitab di Siauw-lim-si. Agaknya engkau pula yang berada di balik semua itu, Lee Kongcu!" Lee Song Kim tersenyum, merasa tak perlu menyangkal.

"Hai-Tok pernah mengajarkan ilmu silat padaku. Akan tetapi sekarang, biar Empat Racun Dunia bangkit lagi mengeroyok aku, aku tidak akan undur selangkahpun. Akulah Thian-He Te-It Bu-Hiap, ha-ha!"

"Keparat, engkau membunuh tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai yang tidak berdosa, aku sebagai murid Kun-Lun-Pai harus membalaskan dendam ini!" bentak Kwa Ciok Le sambil mencabut sebatang goloknya yang mengeluarkan sinar kehijauan saking tajamnya. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan goloknya, dan golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung diikuti suara mencicit ketika menyambar-nyambar. Namun Lee Song Kim dapat mengelak dengan amat mudahnya karena dia sudah mengenal ilmu golok dari Kun-Lun-Pai itu. Bahkan dia mengelak dengan gaya ilmu silat Kun-Lun-Pai pula, seperti yang pernah dipelajarinya melalui kitab yang dicuri oleh mendiang Hai-Tok. Melihat ini Kwa Ciok Le menjadi semakin marah dan goloknya menyambar-nyambar ganas.

"Omitohud, orang she Lee ini jahat, terpaksa pinceng turun tangan untuk membasminya!" Dan hwesio tua dari Siauw-Lim-Pai itupun menerjang maju membantu Kwa Ciok Le.

Dia hanya mempergunakan kedua lengan jubahnya yang lebar untuk menyerang. namun karena memang tingkat kepandaian Thian Khi Hwesio jauh lebih tinggi daripada tingkat orang she Kwa itu, biarpun hanya dua ujung lengan jubah, ternyata senjata istimewa ini jauh lebih berbahaya dibandingkan golok di tangan Si Golok Sakti dari Huang-ho itu. Lee Song Kim tentu saja maklum akan kelihaian wakil ketua Siauw-Lim-Pai, maka diapun cepat mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan bergerak cepat untuk menghindarkan diri dari sambaran golok dan ujung lengan jubah. Melihat betapa pemimpinnya dikeroyok dua orang lihai, Theng Ci memberi isyarat kepada anak buahnya, juga dua orang murid kepala dari Lee Song Kim telah bangkit dan mereka berloncatan ke tengah ruangan itu dalam sikap mengepung.

"Mundur semua!" Lee Song Kim berseru sambil mengelak ke sana-sini.

"Biarlah aku menghadapi pengeroyokan dua orang ini agar terbuka mata semua orang melhat kelihaianku!"

Mendengar ini, Theng Ci memberi isyarat agar semua anak buah mundur, akan tetapi tetap siaga dan mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan. Kini Song Kim yang menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu sudah neyimpan kembali Giok-Liong-Kiam dan sebagai gantinya dia melolos pedang tipis yang tadi dirampasnya dari tangan Tan-siucai, Orang ini memang lihai sekali, mampu memainkan segala macam senjata, apalagi pedang yang memang menjadi keahliannya. Segera tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya sehingga golok di tangan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le dan kedua ujung lengan jubah Thian Khi Hwesio tidak mampu menembus gulungan sinar pedang itu,

Bahkan sebaliknya kini Song Kim mulai membalas dan setiap kali ada sinar panjang mencuat keluar dari gulungan sinar, maka seorang di antara dua lawannya harus cepat-cepat mengelak atau menangkis karena sinar itu merupakan serangan maut yang amat dahsyat. Kini semua tamu yang lain menonton dengan hati penuh rasa kagum terhadap Lee Kongcu. Tak mereka sangka bahwa tuan rumah itu ternyata adalah seorang ahli silat yang amat tiggi ilmunya dan yang berambisi untuk menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan yang telah menguasai Giok-Liong-Kiam! Kini orang yang lihai itu bahkan berani menghadapi pengeroyokan dua orang tokoh Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai yang amat lihai itu, menolak bantuan dari anak buahnya.

Lee Song Kim bukanlah seorang bodoh yang tinggi hati dan sombong. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan segala tindakannya tidak ngawur, melainkan dilakukan setelah diperhitungkannya masak-masak terlebih dahulu. Kalu dia berani menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dan menolak bantuan anak buahnya, hal itu memang disengaja karena dia tahu benar bahwa dia mampu mengalahkan dua orang lawannya. Dan dia melakukan ini untuk mendatangkan kesan yang mendalam kepada orang-orang kang-ouw yang hadir di situ. Andaikata dia tidak yakin benar akan mampu mengalahkan dua orang lawannya, tentu dia mengandalkan anak buahnya untuk mengeroyok. Kini gulungan sinar pedang di tagan Lee Kongcu makin panjang dan melebar, sedangkan sinar golok Kwa Ciok Le menjadi semakin sempit,

Tanda bahwa pembasmi bajak dari Huang-ho ini sudah terdesak. Bahkan Kakek Thian Khi Hwesio juga terdesak hebat oleh sinar pedang bergulung-gulung yang amat dahsyat itu. Thian Khi Hwesio adalah wakil ketua Siauw- lim-pai, ilmu silatnya memang tinggi, akan tetapi dia tidak memiliki kesaktian seperti misalnya Siauw-Bin-Hud datuk Siauw-Lim-Pai itu. Memang, pemilihan ketua Siauw-Lim-Pai bukan berdasarkan ketinggian ilmu silatnya, melainkan kedalaman pengetahuannya tentang Agama Buddha karena Siauw-Lim-Pai bukanlah perkumpulan silat, melainkan perkumpulan agama. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terdapat murid-murid Siauw-Lim-Pai yang bukan hwesio dapat memiliki imu silat yang lebih lihai dibandingkan dengan para hwesio Siauw-Lim-Pai sendiri. Dan biarpun Thian Khi Hwesio sudah termasuk tokoh yang lihai dari Siauw-Lim-Pai,

Namun usianya yang tua juga cara berlatihnya yang kadang-kadang hanya kalau ada waktu senggang saja sebagai selingan ketekunannya memperdalam pelajaran agama, membuat dia kehabisan tenaga setelah terjun ke dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai seperti Lee Kongcu itu. Kini Lee Song Kim menghadapi lawan dengan sungguh-sungguh, bukan seperti tadi sambil mempelajari ilmu silat lawan. Kini dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan niat merobohkan mereka. Akan tetapi dasar dia memandang rendah lawan dan hendak memamerkan kelihaiannya, ketika dia merobohkan Kwa Ciok Le, dia sengaja menggunakan jurus pedang dari Kun-Lun-Pai! Pedang itu membabat pinggang dan ketika golok Kwa Ciok Le menangkis, tangkisan itu membuat pedang menusuk ke atas dan leher Huang-ho Sin-to tembus oleh pedang tipis yang runcing tajam itu.

Tubuh Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le terbanting roboh terjengkang dan berkelojotan karena lehernya hampir putus tertusuk pedang. Sebuah tendangan yang menyentuh dada membuat tubuh itu tidak berkutik lagi! Kini Thian Khi Hwesio harus menghadapi lawan lihai itu seorang diri saja! Hwesio ini melihat robohnya Kwa Ciok Le, mengeluarkan seruan keras dan memperhebat serangan kedua ujung lengan jubahnya. Namun, dua kali nampak sinar berkelebat dan dua ujung lengan jubah itupun terbabat putus! Thian Khi Hwesio terkejut bukan main. Tak disangkanya lawan memiliki sinkang sehebat itu, mampu membabat putus ujung lengan jubahnya yang telah disaluri hawa sinkangnya. Namun, dia tidak menjadi gentar dan menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cakar garuda.

Hebat bukan main serangan Kakek ini karena dua tangannya itu tidak boleh dipandang rendah, mampu mencengkeram batu karang sampai hancur, apalagi tubuh atau kepala lawan! Namun, Lee Song Kim sudah mengenal ilmu ini dan cepat tubuhnya mengelak ke samping, kemudian dengan kedudukan tubuh miring itu dia masih dapat mengirim tusukan yang menyerang dari samping, melalui pundaknya yang direndahkan dan pedang itu memasuki dada lawan melalui celah-celah iga kirinya, menembus jantung. Robohlah Kakek itu di samping mayat Kwa Ciok Le dan lantai itupun kini penuh dengan darah pula! Semua tamu berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, memandang kepada Lee Song Kim yang kini sudah berdiri dengan tegak, menyimpan pedangnya dan kembali mengeluarkan Giok-Liong-Kiam.

"Aku adalah Lee Kongcu, pemegang Giok-Liong-Kiam yang mulai saat ini memakai julukanThian-He Te-It Bu-Hiap! Siapakah di antara kalian yang merasa tidak setuju?" Para tamu memandang dengan wajah pucat. Mereka merasa gentar dan mereka yang merasa kagum segera menjura dengan hormat.

"Lee-Kongcu pantas menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap!" kata mereka.

"Hemm, menyatakan dengan mulut saja tidak ada gunyanya! Mulai saat ini kalian harus mentaati semua perintahku dan menganggapku sebagai seorang pemimpin di antara semua ahli silat, menjadi pemimpin dunia persilatan, dan Giok-Liong-Kiam menjadi lambang kedudukan pemimpin. Semua orang di dunia persilatan harus tunduk dan menghormat lambang suci ini. Siapa saja di antara kalian sekali kupanggil, betapa jauhpun kalian tinggal, harus cepat datang menghadap, dan tugas apapun yang kuminta, kalian harus melaksanakan sebaiknya. Akulah yang akan memimpin dunia persilatan, akan mempersatukan antara kita semua dan memperkuat dunia kita." sepasang mata Lee Song Kim mencorong penuh semangat dan kegembiraan ketika dia mengeluarkan kata-kata ini. Kam-Kauwsu yang diam-diam tadi merasa terkejut dan tidak senang melihat betapa Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio dibunuh, tiba-tiba bangkit berdiri menjura ke arah Lee- Kongcu sambil berkata,

"Saya orang she Kam sudah merasa tua dan tidak ingin lagi menghadapi kesibukan di hari tua. Saya harap Lee-Kongcu tidak mengikutkan saya, karena saya ingin mengundurkan diri dan tinggal di dusun untuk menggarap sawah ladang saja. Maafkan, saya akan pulang saja sekarang dan terima kasih atas segala kebaikan Kongcu." Dia lalu melangkah lebar pergi dari tempat itu setelah memberi hormat kepada tuan rumah. Lee Song Kim mengangkat Giok-Liong-Kiam tinggi-tinggi di atas kepala dan berseru kepada para tamu lainnya.

"Aku minta cuwi yang hadir menghalangi kepergian Kam-Kauwsu yang hendak memberontak!" Sepuluh orang tamu itu bangkit berdiri, termasuk Sin-Kiam Mo-Li yang terpincang-pincang dan mereka mengepung Kam-Kauwsu dengan sikap mengancam! Melihat ini, Lee Song Kim girang bukan main dan maklumlah dia bahwa mereka itu benar-benar telah dapat ditundukkan dan kini merupakan pembantu-pembantu yang boleh diandalkan! Sementara itu, melihat betapa para tamu tadi kini mengepungnya, Kam-Kauwsu merasa terkejut dan juga marah.

"Kalian ini orang-orang macam apakah? Sebelum datang ke sini, kalian adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa, akan tetapi apakah sekarang kalian berubah menjadi anjing-anjing penjilat yang tidak mempunyai kebebasan dan pendirian sendiri?" Sepuluh orang itu nampak ragu-ragu, akan tetapi mereka tetap mengepung. mereka merasa gentar sekali terhadap Lee-Kongcu yang demikian lihainya, dan kini mendengar ucapan Kam-Kauwsu yang mengejek mereka, bagaimanapun juga mereka merasa malu dan ragu-ragu dan mereka semua menoleh ke arah Lee-Kongcu untuk menanti apa yang selanjutnya akan dikehendaki oleh orang aneh yang membuat mereka semua gentar itu. Lee Song Kim adalah seorang yang cerdik bukan main. Dia tidak ingin mendesak lagi sepuluh orang yang baru saja takluk dan tunduk kepadanya itu, melainkan ingin membuat mereka menjadi semakin takut sehingga kelak akan taat selalu kepadanya.

"Kalian mingirlah, sahabat-sahabatku yang baik, dan lihatlah betapa aku menjatuhkan hukuman kepada orang yang berani menantangku!" kata Lee Song Kim dan dengan langkah-langkah perlahan dia mengampiri Kam-Kauwsu, pedang Giok-Liong-Kiam masih ditangan kanannya, diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya.

"Kam-Kauwsu, lihatlah Giok-Liong-Kiam, ini lambang kekuasaan persilatan! Berlututlah dan minta ampun atas sikapmu yang tidak taat, dan baru mungkin kami dapat mengampunimu," teriak Lee Song Kim dengan sikap penuh wibawa. Semua orang yang berada di situ diam-diam mengharapkan Kam-Kauwsu untuk mentaati perintah ini dan berlutut minta ampun, karena mereka semua yakin bahwa Lee-Kongcu yang mengangkat sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap itu bukan sekedar menggertak belaka. Akan tetapi, Kam-Kauwsu adalah orang yang keras hati. Dia seorang tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap dan biarpun dia yakin akan kelihaian Lee-Kongcu, namun dia masih memiliki harga diri yang diletakkan lebih tinggi daripada nyawa. Lebih baik mati daripada menerima penghinaan di depan banyak orang!

"Lee-Kongcu, boleh jadi engkau lihai dan aku tidak dapat melawanmu. Engkau mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap adalah hakmu, dan aku tidak mau mencampurinya. Akan tetapi kalau aku disuruh berlutut minta ampun, aku merasa keberatan. Aku bukan anak buahmu, juga bukan budakmu, bukan pula muridmu, bagaimana mungkin aku berlutut minta ampun kepadamu? Maaf, aku tak dapat melakukan itu dan biarkan aku pergi dari sini dan tidak mencampuri urusanmu!" berkata demikian, Kam-Kauwsu kembali melangkahkan kakinya hendak pergi dari situ.

"Orang she Kam, semua yang menentang kami harus mati!" Tiba-tiba Lee-Kongcu membentak dan diapun menerjang dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan tetap memegang Giok-Liong-Kiam di atas kepalanya. tangan kirinya itu menampar ke arah kepala dan biarpun kelihatannya perlahan saja, namun angin pukulan menyamabar terlebih dahulu sebelum tanagnnya sendiri tiba. Kam-Kauwsu maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka diapun mengambil keputusan untuk melawan sekuat tenaga.

"Lebih baik mati sebagai harimau daripada hidup sebagai anjing penjilat!" teriaknya dan dia mengerahkan tenaga pada tangan kanannya ketika menangkis tamparan itu. Kam-Kauwsu adalah seorang ahli tenaga gwakang (tenaga luar) yang sudah melatih lengan itu sampai berotot kuat bukan main seolah-olah lengannya itu berotot kawat bertulang besi, juga telapak tangannya sendiri telah dilatih memukuli pasir besi panas sehingga kulit tangan itu tebal dan kuat seperti baja. Tangkisannya itu dimaksudkan untuk mematahkan lengan lawan.

"Dukk!" Dua buah lengan bertemu, lengan yang besar berotot melawan lengan yang sedang saja dan berkulit halus, akan tetapi akibatnya Kam-Kauwsu terhuyung dan mengeluh karena lengannya terasa nyeri bukan main.Ternyata dengan sinkangnya yang sudah amat tinggi dan kuat, Lee-Kongcu telah meminjam tenaga luarnya untuk menghantamnya sendiri! Akan tetapi Kam-Kauwsu sudah nekat. Biarpun maklum betapa lihainya lawan itu, dia mengeluarkan suara gerengan dan menubruk lagi, kini menggunakan ilmu silat Thian-He Te-It Bu-Hiap, yaitu ilmu silat tangan kosong Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika),

Kedua lengannya bagaikan dua ekor naga yang bergerak cepat menyerang dari kanan kiri, atas bawah, dengan sasaran pelipis kiri dan lambung kanan lawan. Gerakan yang disertai tenaga sekuatnya ini membuat tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Melihat jurus yang dikeluarkan Kam-Kauwsu, diam-diam Lee Song Kim terkejut dan maklumlah dia bahwa tadi dia telah ditipu oleh guru silat ini ketika dia minta guru silat itu mendemonstrasikan ilmu silatnya. Tadi guru silat ini tidak bersungguh-sungguh mengeluarkan kepandaiannya dan baru sekaranglah, ketika menyerangnya, Kam-Kauwsu mengeluarkan jurus ampuhnya.Akan tetapu, mendiang Hai-Tok telah mencuri kitab ilmu silat Thian-He Te-It Bu-Hiap dan dia sudah mengenal dasar-dasarnya. Kini melihat serangan itu, dia berseru dengan nada suara mengejek.

"Hemm, inikah Ji-liong-jio-cu dari Thian-He Te-It Bu-Hiap?" Dengan mudah dia mengelak ke belakang sambil menangkis ke kanan kiri karena dia sudah tahu persis ke mana arah sasaran pukulan kedua tangan lawan. Kam-Kauwsu terkejut. Kiranya pemuda aneh ini mengenal pula jurus ampuh Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan tahu cara menghindarkannya. Kalau saja Song kim tidak marah melihat ada orang berani menentangnya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap, tentu dia akan suka sekali memancing agar guru silat itu mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Thian-He Te-It Bu-Hiap untuk dipelajari. Namun, dia sudah terlampau marah dan kini dia membentak keras.

"Jurus itu tidak ada gunanya di tanganmu. Nah, kau lihat, inilah jurus Ji-liong-jio-cu itu!" Tiba-tiba Song Kim membalas serangan lawan dengan jurus yang sama tadi! Akan tetapi jurus Ji-liong-jio-cu yang dipergunakan oleh Song Kim untuk menyerang, kecepatan dan tenaga yang mendorongnya sama sekali tidak dapat disamakan dengan serangan Kam-Kauwsu tadi. Kam-Kauwsu juga melihat serangan ini dan tentu saja dia mengenal jurus itu. Akan tetapi betapa kagetnya karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengelak lagi. Tahu-tahu kedua tangan lawan telah menyambar ke arah pelipis dan lambungnya. Tidak ada waktu lagi baginya untuk mengelak dan terpaksa dia menangkis dengan kedua lengannya, menyambut serangan ke arah pelipis dan lambungnya.

"Dukk! Desss...!" Tubuh Kam-Kauwsu terpental dan berkelojotan setelah terbanting jatuh, dari pelipisnya mengalir darah! Kiranya tangkisannya tadi tidak mampu menahan serangan lawan. Biarpun sudah ditangkis, ternyata sambaran jari tangan Song Kim ke arah pelipisnya masih meluncur dan memukul tangkisan tadi ke samping, maka pelipis kepalanya terkena jari tangan yang ampuh itu. Tentu saja semua orang menjadi semakin gentar menghadapi kelihaian seperti itu. Lee Song Kim mengebut-ngebutkan ujung pakaian dan membersihkan kedua telapak tangannya, dengan sikap tenang dia lalu mengeluarkan lagi Giok-Liong-Kiam mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.

"Semua orang harus menghormati Giok-Liong-Kiam ini sebagai lambang kebesaran seorang Thian-He Te-It Bu-Hiap. Berlututlah kalian!" Semua orang tidak ada yang membantah lagi dan merekapun menjatuhkan diri berlutut kepada Song Kim!bPemuda ini tersenyum penuh kemenangan

"Mulai saat ini, kalian menjadi pendukung dan pembantuku. Jangan khawatir, semua biaya akan kupikul. Kalian harus menyebar luaskan bahwa kini muncul Thian-He Te-It Bu-Hiap yang akan menjadi bengcu (pemimpin) di antara semua ahli silat."

"Maaf, Lee-Kongcu," Seng-jin Sin-to si malaikat Copet itu berkata.

"Bagi kami mudah saja mengangkat Kongcu sebagai bengcu karena kami sudah yakin akan kemampuan Kongcu. Dan kami juga dapat menyebarluaskan ini di antara golongan kami yang memang membutuhkan pimpinan yang pandai agar kami tidak mengalami penekanan dari pihak pemerintah dan para pendekar. Akan tetapi bagaimana terhadap para pendekar? Buktinya, yang tadi hadir di sini saja melakukan perlawanan sehingga terpaksa Kongcu membunuh mereka. Apakah para pendekar akan mau mengakui Kongcu sebagai bengcu? Hal ini kami merasa sangsi." Mendengar ucapan ini, Tiat-Pi Kim-Wan, Sin-Kiam Mo-Li dan beberapa orang yang hadir di situ mengangguk membenarkan. Lee Song Kim mengepal tinju.

"Aku harus menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap yang diakui oleh semua tokoh dunia persilatan, baik yang dinamakan para pendekar atau para tokoh kang-ouw. Kalau ada yang tidak mau mengakui dan berani menentangku, akan kuhancurkan! Akan kuundang mereka semua dan siapa berani menentang akan kurobohkan, akan kuperlihatkan kepada mereka semua bahwa akulah yang paling lihai."

"Maaf, Kongcu," kini Tiat-Pi Kim-Wan berkata.

"Para ahli silat yang berdiri bebas mungkin akan suka mengakui Kongcu kalau sudah melihat kesaktian Kongcu, akan tetapi bagaimana dengan partai-partai persilatan yang besar seperti Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai? Mereka mempunyai ketua-ketua sendiri, mana mungkin mengakui Kongcu sebagai bengcu mereka."

"Mereka harus mengakui dan aku akan kalahkan ketua-ketua mereka. memang mereka itu sombong dan besar kepala,mereka yang menamakan diri para pendekar itu. Kalau mereka tidak mau mengakui aku, aku akan memimpin kaum kang-ouw, meggantikan kedudukan Empat Racun Dunia! Sekarang, bantulah aku mengirim jenazah Thian Khi Hwesio ke kuil Siauw-Lim-Pai bersama jenazah Huang-ho Sin-to murid Kun-Lun-Pai ini."

"Untuk apa, Kongcu?" tanya mereka terkejut dan heran. Song Kim tertawa dan menceritakan siasatnya. Biarpun di dalam hati mereka merasa jerih, namun orang-orang yang sudah tunduk dan takluk itu tidak berani membantah dan mereka hanya dapat mengangguk dan siap melaksanakan siasat yang direncanakan Lee Song Kim.

Thian Tek Hwesio, ketua Siauw-Lim-Pai yang bertubuh pendek kecil itu berkali-kali menyebut nama Sang Buddha untuk memadamkan api kemarahan yang bergolak di dalam batinnya. Akan tetapi para hwesio pembantunya sudah tidak mampu menahan kemarahan mereka. Wajah mereka menjadi merah, mata mengeluarkan sinar berkilat dan mereka mengepal tinju. Siapa orangnya yang tidak akan marah ketika muncul lima orang kang-ouw itu, yang datang membawa jenazah Thian Khi Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai itu sambil memberitahu bahwa yang membunuhnya adalah para Tosu Kun-Lun-Pai? Menurut keterangan lima orang itu yang bukan lain adalah para pembantu baru dari Lee Song Kim, Thian Khi Hwesio terlibat dalam perkelahian dengan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le,

Jagoan murid Kun-Lun-Pai itu, yang marah-marah kepada wakil ketua Siauw-Lim-Pai itu karena kematian dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang kabarnya dibunuh orang Siauw-Lim-Pai. Dalam perkelahian itu, Kwa Ciok Le tewas di tangan Thian KhiHwesio. Kemudian muncul beberapa orang Tosu Kun-Lun-Pai yang mengeroyok hwesio itu sehingga Thian Khi Hwesio tewas. Demikianlah cerita anak buah Lee Song Kim kepada ketua Siauw-Lim-Pai dan para pembantunya. Tentu saja para pimpinan Siauw-Lim-Pai marah sekali. Kun-Lun-Pai telah bersikap keterlaluan, pikir mereka. Biarpun ada dua orang tokoh Kun-Lun-Pai yang terbunuh oleh orang yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai, namun belum ada bukti bahwa benar pembunuhnya orang Siauw-Lim-Pai, kenapa sekarang mereka membunuh wakil ketua Siauw-Lim-Pai?

"Kita harus membereskan hal ini dengan pimpinan Kun-Lun-Pai!" mereka menuntut ketua mereka.

Karena desakan para pembantunya, akhirnya Thian Tek Hwesio yang usianya sudah tujuhpuluh tahun itu berangkat, diiringkan para pembantunya dalam jumlah belasan orang menuju ke sebuah kuil Kun-Lun-Pai yang jaraknya hanya kurang lebih empat puluh li dari biara itu. Mereka hendak menuntut kepada para pimpinan kuil itu agar disampaikan protes mereka kepada ketua Kun-Lun-Pai atas peristiwa kematian Thian Khi Hwesio. Akan tetapi, baru belasan li mereka berjalan, serombongan Tosu Kun-Lun-Pai yang terdiri dari belasan orang pula, dipimpin oleh Tiong Tek Seng-jin, ketua cabang Kun-Lun-Pai itu, dan para Tosu itupun nampak marah sekali. Begitu kedua rombongan bertemu, keduanya saling pandang dengan melotot penuh kemarahan dan siap untuk saling hantam tanpa banyak cakap lagi! Akan tetapi, Thian Tek Hwesio yang lebih dapat menahan kemarahannya, maju dan menjura kepada Tiong Tek Seng-jin dan para pembantunya.

"Omitohud... pinceng dan sudara-saudara sedang hendak mengunjungi toyu (sobat) sekalian, kebetulan berjumpa di sini."

"Siancai, agaknya memang kita kedua pihak memiliki niat yang serupa," jawab Tiong Tek Seng-jin.

"Pinto dan saudara-saudara juga ingin berkunjung ke Siauw-Lim-Pai, kebetulan bertemu di dalam hutan ini. Cu-wi (kalian) adalah hwesio-hwesio, orang-orang beragama yang menjunjung kesucian, akan tetapi apa yang kalian lakukan sungguh terlalu sekali. Ketika adik-adik kami Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin dibunuh oleh murid Siauw-Lim-Pai, kami masih bersikap sabar dan menyerahkan kepada Siauw-Lim-Pai untuk mencari dan menghukum pembunuh itu. Akan tetapi, pembunuh itu belum juga dihukum, kini bahkan wakil ketua Siauw-Lim-Pai, Thian Khi Hwesio, membunuh pula seorang tokoh kami yaitu Kwa Ciok Le yang berjuluk Huang-ho Sin-to (Golok Sakti Huang-ho). Apakah Siauw-Lim-Pai sudah tidak memandang lagi kepada kami?" Thian Tek Hwesio membantah.

"Omitohud, kemarahan toyu tidak adil sekali. Katahuilah bahwa adik kami Thian Khi Hwesio sedang mencari dan berusaha untuk menemukan orang she Lee yang mengaku murid kami itu, akan tetapi di jalan bertemu dengan Huang-ho Sin-to yang menyerangnya. Terjadi perkelahian dan Huang-ho Sin-to tewas. Hal itu biasa saja dalam perkelahian, apalagi kalau murid Kun-Lun-Pai itu yang mendahuluinya. Dan kemudian adik pinceng itu dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai."

"Tidak mungkin!" kata para Tosu itu dengan marah.

"Sungguh itu fitnah dan bohong besar, bahkan fakta yang diputar-balikkan!" kata Tiong Tek Seng-jin sambil menggoyang tongkat panjangnya yang berwarna putih.

"Beberapa orang datang membawa jenazah Huang-ho Sin-to kepada pinto dan menceritakan betapa dia dibunuh oleh Thian Khi Hwesio! Di mana dia Thian Khi Hwesio? Seorang wakil ketua membunuh murid kami, sungguh tak tahu diri. Pintolah lawannya, bukan seorang murid seperti Huang-ho Sin-to!"

"Omitohud, tentu toyu yang mendapatkan keterangan keliru. Thian Khi Hwesio telah menjadi mayat ketika orang-orang mengantarkannya kepada kami dan menurut keterangan, dia tewas dikeroyok para Tosu Kun-Lun-Pai." Tiong Tek Seng-jin menjadi marah.

"Hai hwesio Siauw-Lim-Pai! Dengarlah baik-baik! Kami telah kehilangan tiga orang yang kesemuanya terbunuh oleh orang-orang Siauw-lim- pai dan kini kalian bahkan menuduh yang bukan-bukan kepada kami. Kami bukanlah pembunuh-pembunuh seperti orag-orang Siauw-Lim-Pai, akan tetapi kamipun bukan pengecut-pengecut yang tidak berani menghadapi kalian. Kita tua sama tua, majulah dan rasakan kelihaian tongkatku!" Berkata demikian, Tiong Tek Seng-jin melangkah maju dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.

"Tosu jahat!" seorang pembantu dari ketua Siauw-Lim-Pai itu memaki dan menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi terj angannya itu disambut oleh seorang Tosu lain. Melihat begini, tanpa diperintah lagi, Thian Tek Hwesio dan Tiong Tek Seng-jin sudah saling terjang pula. Tiong Tek Seng-jin menggunakan sebatang tongkat putih yang panjang, diputar cepat dan Thian Tek Hwesio, ketua cabang Siauw-Lim-Pai itu menggunakan seuntai tasbeh panjang di tangan kanan, dibantu ujung lengan kedua bajunya yang lebar dan panjang. Belasan orang Tosu dan hwesio kedua pihak juga sudah saling serang tanpa diperintah lagi dan terjadilah pertempuran antar belasan orang itu di tengah hutan!

Tak jauh dari tempat pertempuran itu, Lee Song Kim melakukan pengintaian dan ia tersenyum lebar, penuh kepuasan melihat betapa siasatnya telah berjalan dengan baik dan lancar. Kini dia mencurahkan perhatiannya kepada pertempuran itu, terutama sekali perkelahian antara Tiong Tek Seng-jin dan Thian Tek Hwesio. ketua dari kedua cabang perkumpulan besar itu yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian tertinggi di antara mereka. Dia memperhatikan dan mencatat dalam ingatannya gerakan yang mereka lakukan, untuk menambah perbendaharaan ilmu silatnya. Akan tetapi, belum sampai ada yang roboh dalam pertempuran itu, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring, suara yang mengandung tenaga khikang yang kuat sekali dan menggetarkan jantung,

"Cuwi harap mundur dan menghentikan pertempuran ini!" Semua orang tidak dapat melawan pengaruh seruan ini masing-masing menahan serangan lalu berloncatan mundur, menghentikan perkelahian dan semua orang memandang ke arah datangnya suara. Di bawah pohon, tak jauh dari situ, mereka melihat seorang laki-laki yang gagah perkasa, berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, berpakaian sederhana seperti seorang petani, namun wajahnya tampan gagah dan tubuhnya sedang namun tegap. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kelembutan, namun penuh wibawa. Melihat laki-laki ini, para hwesio Siauw-Lim-Pai menjadi girang dan Thian Tek Hwesio berseru,

"Tan-Taihiap...!" Laki-laki itu adalah Tan Ci Kong, seorang murid dan tokoh Siauw-Lim-Pai yang amat terkenal. Menurut tingkat, sebetulnya dia masih terhitung murid keponakan dari Thian Tek Hwesio,

Akan tetapi karena Ci Kong pernah digembleng sendiri oleh mendiang Siauw-Bin-Hud, yaitu tokoh sakti dari Siauw-Lim-Pai dan Kakek ini masih terhitung paman guru ketua Siauw-Lim-Pai itu, maka hubungan kekeluargaan antara mereka menjadi kacau. Karena tidak enak kalau memanggil pendekar ini sebagai murid keponakan, padahal tingkat kepandaian Ci Kong jauh lebih tinggi, maka Thian Tek Hwesio menyebutnya Tan- Taihiap (Pendekar Besar Tan). Juga para Tosu Kun-Lun-Pai mengenal siapa adanya tokoh ini. Mereka semua maklum bahwa Tan Ci Kong adalah seorang tokoh besar Siauw-Lim-Pai, akan tetapi juga seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Maka mereka mengharapkan keadilan dari pendekar besar ini yang dalam kegagahan dan keadilannya pasti tidak akan bertindak berat sebelah.

"Cuwi semua adalah dari satu golongan, mengapa kini bertempur sendiri? Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Tidak ada masalah yang timbul di antara dua kelompok bersahabat yang tak dapat diselesaikan dengan musyawarah."

"Thian Tek Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai...

" kata Thian Tek Hwesio. Ci Kong mengangkat kedua tangan.

"Harap susiok bersabar dan biarlah pihak Kun-Lun-Pai yang lebih dulu memberi keterangan agar jangan disangka bahwa saya berpihak kepada Siauw-Lim-Pai, Nah, totiang yang terhormat, apakah sebabnya terjadi pertentangan yang tidak semestinya antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai ini?" Thian Tek Hwesio tidak berkata-kata lagi dan melihat kebenaran ucapan pendekar itu. kini Tiong Tek Seng-jin yang melangkah maju menghadapi ci Kong.

"Tan-Taihiap, kami dari Kun-Lun-Pai bukanlah orang-orang yang suka mencari permusuhan, apalagi terhadap Siauw-Lim-Pai yang kami anggap sebagai saudara segolongan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya. baru-baru ini, dua orang anggauta kami, Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin, dibunuh oleh orang she Lee yang mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai. Hal ini masih kami terima dengan kesabaran dan kami mendatangi para pimpinan Siauw-Lim-Pai agar mereka menghukum murid itu. Akan tetapi, belum juga ada kabarnya tentang Siauw-Lim-Pai she Lee itu, terjadi lagi pembunuhan atas diri seorang murid kami, yaitu Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dibunuh oleh wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiri, yaitu Thian Khi Hwesio. Bagaimana kami harus bersabar lagi? Kami bermaksud mendatangi Siauw-Lim-Pai untuk menuntut keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu dengan rombongan pimpinan Siauw-Lim-Pai, dan mereka bahkan menjatuhkan fitnah kepada kami, mengatakan bahwa kami mengeroyok dan membunuh Thian Khi Hwesio. Apakah ini tidak mendatangkan penasaran besar?" Ci Kong mengerutkan alisnya.


JILID 06

"Lo-cianpwe, siapakah yang menyaksikan bahwa Huang-ho Sin-to terbunuh oleh susiok Thian Khi Hwesio?"

"Yang menyaksikan adalah orang-orang yang datang membawa mayatnya kepada kami di kuil kami."

"Siapakah mereka?"

"Pinto tidak mengenal mereka, akan tetapi mereka adalah orang-orang kang-ouw, mungkin kenalan Huang-ho Sin-to, yang menyerahkan mayat, mengatakan bahwa Thian Khi Hwesio yang membunuhnya lalu mereka pergi lagi."

"Karena penasaran dan marah, locianpwe dan para totiang lalu pergi mendatangi kuil Siauw-lim?"

"Benar, kami bermaksud untuk minta keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu dengan para hwesio Siauw-lim yang mengatakan kami telah membunuh Thian Khi Hwesio sehingga terjadi pertempuran." Kini Tan Ci Kong menghadapi Thian Tek Hwesio.

"Susiok, benarkah bahwa susiok Thian Khi Hwesio terbunuh?"

"Benar, ada beberapa orang mengantar jenazahnya ke kuil kami, dan mereka mengatakan bahwa Sute Thian Khi Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai. Kami lalu pergi hendak mendatangi kuil Kun-Lun-Pai, akan tetapi bertemu di sini dan mereka menuduh Thian Khi Hwesio membunuh seorang murid Kun-Lun-Pai, padahal menurut penuturan mereka yang membawa jenazahnya, Sute Thian Khi Hwesio yang lebih dulu diserang oleh Huang-ho Sin-to. Mereka berkelahi dan Huang-ho Sin-to tewas, akan tetapi Sute lalu dikeroyok dan tewas pula." Ci Kong mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.

"Harap cuwi bersabar dan dapat merenungkan baik-baik. Ternyata kedua peristiwa pembunuhan itu, baik atas diri Huang-ho Sin-to maupun atas diri susiok Thian Khi Hwesio, terjadi di luar pengetahuan kedua pihak. Kedua pihak hanya mendengar laporan dari orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ada hal-hal aneh di sini! Ketahuilah bahwa belum lama ini susiok Thian Khi Hwesio datang kepada saya dan minta kepada saya untuk melakukan penyelidikan terhadap orang she Lee yang telah membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai dan mengaku murid Siauw-Lim-Pai. Ketika dia datang, yang menerima hanya istri saya karena saya sedang berada di selatan. Ketika beberapa hari kemudian saya pulang dan mendengar akan peristiwa itu dari isteri saya, saya lalu langsung pergi lagi hendak mencari keterangan yang lebih jelas di Siauw-Lim-Pai. Tentu telah terjadi hal-hal yang aneh di balik semua ini. Pertama, kedua orang Tosu Kun-Lun-Pai terbunuh oleh seorang she Lee yang mengaku sebagai murid Siauw-Lim-Pai. Padahal tidak ada murid she Lee di Siauw-Lim-Pai yang kiranya memiliki ilmu kepandaian demikian tingginya sehingga mampu membunuh kedua orang tokoh Kun-Lun-Pai itu. Dan kemudian disusul kematian susiok Thian Khi Hwesio dan Huang-ho Sin-to. Tidak ada di antara kedua perkumpulan yang melihat sendiri pembunuhan itu, hanya mendengar dari penuturan orang luar yang bernada mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai. Aku yakin bahwa agaknya ada hubungannya antara pembunuhan terhadap dua orang Kun-Lun-Pai yang pertama dengan pembunuhan terakhir ini. Dan pembunuhnya hendak mengadu domba antara kedua golongan."

"Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa dugaanmu itu benar, Tan-Taihiap?" Tiong Tek Seng-jin membantah.

"Memang belum ada buktinya dan sayalah yang akan melakukan penyelidikan. baru-baru ini, susiok Thian Khi Hwesio telah datang mencari saya dan meninggalkan pesan agar saya melakukan penyelidikan tentang diri orang she Lee yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai dan telah membunuh dua orang tokoh Kun-Lun-Pai. Kini tugas saya bertambah, yaitu menyelidiki peristiwa pembunuhan diri susiok Thian Khi Hwesio dan juga Huang-ho Sin-to. Saya mempunyai dugaan bahwa pembunuhnya tentulah juga orang yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai itu. Jelas dia bermaksud mengadu domba. Saya harap cu-wi percaya kepada saya dan untuk sementara bersabar menanti hasil penyelidikan saya dan jangan sampai timbul timbul salah paham di antara kedua golongan." Para Tosu dan hwesio saling pandang lalu mengangguk-angguk.

"Keadaan negara sedang kacau seperti ini, sungguh amat merugikan rakyat kalau sampai di antara golongan kita sendiri terjadi permusuhan," demikian Ci Kong mengakhiri bujukannya yang diterima oleh kedua belah pihak dengan penuh pengertian.

Merekapun lalu saling berpisah, kembali ke kuil masing-masing, sedangkan Ci Kong melanjurkan perjalanannya untuk melakukan penyelidikan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mula-mula Ci Kong tertarik akan perjuangan yang dipimpin oleh Ong Siu Coan dan bersama banyak orang gagah diapun membantu perjuangan Ong Siu Coan pemimpin pasukan Tai Peng itu, sehingga pasukan Tai Peng berhasil menguasai beberapa daerah di selatan. Akan tetapi, setelah melihat sepak terjang Ong Siu Coan dan pasuikannya yang tidak berdisiplin, melihat betapa pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan seperti penjahat, Ci Kong dan banyak pendekar meninggalkan pasukan itu. Ong Siu Coan yang sudah memperoleh kemenangan itu tidak perduli dan melanjurkan penyerbuan pasukannya ke Peking.

Namun, akhirnya penyerbuan itu dipukul mundur dan dia lalu menjadi raja besar di Nan-king! Itulah sebabnya Ci Kong pulang menyusul isterinya yang telah pergi ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san. dan begitu tiba di sana, dia mendengar dari isterinya akan kunjungan Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-Lim-Pai yang minta bantuannya untuk membersihkan nama Siauw-Lim-Pai. Biarpun kini balatentara Tai Peng yang dipimpin Ong Siu Coan telah menduduki daerah selatan, namun keluarga Kaisar di istana agaknya sama sekali tidak merasa prihatin. Kaisar Hsian Feng masih saja mengejar kesenangan melalui wanita- wanita cantik sehingga dia sendiri tidak tahu betapa di istananya sendiripun terjadilah hal-hal yang amat memalukan dan mendatangkan aib bagi keluarga Kaisar.

Yehonala Si Anggrek Mungil, gadis cerdik dan cantik manis yang kini naik derajatnya dari selir baru menjadi permaisuri kedua karena setahun setelah berhasil digauli Kaisar lalu mengandung dan melahirkan seorang putera, makin lama semakin merasa tersiksa. Biarpun ia telah diangkat menjadi permaisuri kedua sebagai Ibu pangeran mahkota, dan ia hidup penuh dengan kemewahan dan kehormatan, namun wanita muda yang berdarah panas ini merasa kesepian! Makin jarang Kaisar bermalam di dalam kamarnya, dan kalau sekali waktu Kaisar berkunjung dan menggaulinya, ia tidak pernah dapat merasa puas. Biarpun Kaisar Hsian Feng masih muda belum tiga puluh tahun usianya, namun tubuhnya menjadi lemah sekali. Hal ini adalah akibat dari pengumbaran nafsu secara berlebihan,

Melebihi batas kemampuan dan kekuatannya sendiri dan selalu mengandalkan obat kuat dan obat perangsang yang diminumnya. Di dalam tubuh telah terdapat batas-batas, ukuran dan timbangan yang sempurna, yang mengatur pembagian kekuatan dalam tubuh. Kalau orang memaksa diri dengan bantuan obat perangsang, maka dia merugikan diri sendiri, bahkan membahayakan kesehatan dan kesempurnaan diri sendiri. Pertama dia akan menjadi kecanduan dan ketergantungannya kepada obat kuat dan obat perangsang merupakan racun bagi dirinya. Tanpa bantuan obat, dia akan kehilangan segala kekuatan dan kemampuannya. Kedua, pemaksaan dengan obat perangsang ini akan menyedot dengan paksa kekuatan yang sebetulnya harus mejadi cadangan, disedot habis dan tentu saja hal ini amat merusak kesehatan dan melemahkan tubuh.

Hidupnya akan tergantung kepada obat dan sekali obat itu ditinggalkan, dia akan menjadi mayat hidup yang tidak ada gunanya lagi. Dan betapapun baiknya obat, apalagi obat perangsang, kalau terlalu banyak dipakai tentu akan menimbulkan akibat-akibat sampingan yang buruk. Segala hal yang berlebihan dan tidak wajar tentu berakibat buruk. Gairah berkobar di dalam dirinya yang tak pernah dapat disalurkan makin bertumpuk dan membuat Yehonala menjadi pemarah dan pemurung. Sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis itu hampir selalu berkerut, sepasang matanya menjadi suram padahal biasanya bening dan amat tajam seperti mata burung Hong, senyumnya yang biasanya selalu menghias mulutnya yang mungil itupun menghilang. Wajahnya muram dan lesu, seperti setangkai bunga kurang siraman air dan menjadi kekeringan.

Li Lian Ying adalah seorang di antara para thaikam (orang kebiri) yang bertugas di dalam istana. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, bertubuh tegap gagah, namun wajahnya buruk, penuh bekas cacar, menjadi bopeng dan kehitaman. Namun, Li Lian Ying ini memiliki keahlian. Dia pandai sekali menata rambut, membuat sanggul dan meriasnya. Selain itu, diapun ahli dalam hal ilmu pijat sehingga dia merupakan seorang hamba yang disuka oleh Yehonala karena keahliannya itu. Dan biarpun ujud tubuh Li Lian Ying seorang pria, namun sebagai seorang thaikam, tentu saja Yehonala tidak malu-malu lagi terhadap pria yang sudah kehilangan kejantanannya ini, yang sudah menjadi manusia kepalang tanggung, pria bukan wanitapun bukan.

Li Lian Ying yang cerdik dan berwatak penjilat itu tentu saja maklum akan keadaan Yehonala yang selalu termenung dan muram. Karena Kaisar jarang datang berkunjung, pemaisuri kedua ini tidak berminat lagi untuk berdandan, padahal dahulu ketika masih menjadi kekasih Kaisar, setiap hari Li Lian Ying yang menata rambutnya, bahkan membantunya mandi, memijatinya dan memberi nasihat-nasihat untuk menjaga kecantikan wajah dan tubuhnya. Dia merasa kasihan, juga merasa rugi karena kalau dapat berjasa terhadap permaisuri kedua yang royal ini, banyak hadiah yang diterimanya. Kalau permaisuri kedua ini selalu berduka, diapun mengalami musim kering! Pada suatu senja, ketika dia melihat permaisuri muda itu duduk termenung dengan rambut kusut, tidak mau pergi mandi padahal tempat mandi yang mewah telah penuh dengan air bunga, Li Lian Ying dengan hati-hati menghampirinya.

"Sri Ratu, silakan mandi, hamba telah mempersiapkan air hangat bercampur air mawar yang harum," katanya dengan suara lembut dan penuh hormat. Dengan malas-malasan Yehonala menoleh dan alisnya berkerut.

"Untuk apa aku mandi dan bersolek diri? Aku tidak ingin mandi, Li Lian Ying. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri, biarkan aku duduk seorang diri." Beberapa orang dayang yang berada di situ juga ikut membujuk, namun puteri jelita itu bahkan sama sekali tidak menanggapi atau menjawab bujukan mereka sehingga mereka ketakutan dan tidak lagi berani bicara. Li Lian Ying yang disuruh pergi itu tidak beranjak dari tempat dia berlutut. Kemudin dengan suara halus ia berkata,

"Kenapa Paduka membiarkan diri tenggelam di dalam duka dan nelangsa? Bukankah semestinya Paduka hidup bersuka cita karena Paduka telah dikaruniai seorang putera yang menjadi pangeran mahkota? Harap Paduka ingat bahwa berduka menyesali nasib yang baik mengundang kemurkaan Tuhan..."

"Li Lian Ying, bagaimana aku dapat bergembira? Apa artinya semua kurnia ini? Aku tidak pernah dapat berdekatan dengan puteraku yang sejak lahir dibawa untuk dirawat oleh ahli-ahli perawat bayi dan pendidik-pendidik yang cerdik pandai! Dan aku hidup kesepian. Sri Baginda telah melupakan aku..." dan Yehonala tak dapat menahan lagi tangisnya. Thaikam ini membiarkan junjungannya menangis. setelah tangis itu mereda dan semua penyesalan telah keluar melalui air ata, barulah dia berkata dengan halus,

"Sri Ratu, hamba mohon Paduka dapat menenangkan diri. Harap Paduka ingat akan kata-kata orang bijaksana bahwa kalau dalam rumah penuh makanan lezat dan udaranya sejuk menyegarkan, suami takkan pernah kelaparan dan malas meninggalkan rumah. Demikian pula keadaan di sini. Kalau Paduka selalu berduka dan tidak mau merias diri, bagaimana kalau sewaktu-waktu Sri Baginda datang berkunjung? Apakah beliau akan merasa betah di sini, melihat Paduka tidak berias dan bermuram durja? Marilah, Sri Ratu yang mulia. Marilah, hamba sekalian membantu Paduka mandi, kemudian hamba akan memijiti tubuh Paduka dan mengusir semua kelelahan lahir batin. setelah itu, hamba akan membuat sanggul yang indah pada rambut Paduka." Mendengar ini, para dayang ikut pula membujuk dan akhirnya Yehonala mengangguk setuju.

Ia membiarkan Li Lian Ying memondong tubuhnya dibawa ke kamar mandi dan ratu inipun dilayani Li Lian Ying dan para dayang, mandi di air hangat yang harum menyegarkan itu. Setelah mandi air hangat harum dan tubuhnya digosok minyak wangi, ratu itu lalu minta dipijat oleh Li Lian Ying yang memberi isyarat kepada para dayang untuk mengundurkan diri. Para dayang tidak berani lagi mengganggu. Biasanya, kalau dipijat oleh thaikam itu, sang ratu lalu tertidur. Li Lian Ying mulai memijati tubuh yang indah itu. Akan tetapi sekali ini, caranya memijati tubuh itu lain daripada biasanya. Kalau biasanya, jari-jari tangannya yang ahli itu hanya melemaskan otot-otot yang kaku, membuka hambatan-hambatan pada jalan darah sehingga darah berjalan lancar kembali, Mengusir lelah dan ketegangan dengan mengendurkan urat-urat.

Akan tetapi sekali ini lain. Dia bukan hanya ingin mengusir lelah, melainkan ingin memberi kenikmatan kepada tubuh itu. Jari-jari tangannya membelai-belai penuh kemesraan, didorong oleh hatinya yang memang penuh dengan gairah yang tak terlaksana. Dia seolah-olah menggauli dan bermain cinta dengan wanita cantik itu melalui jari-jari tangannya! Dan Yehonala mula-mula terkejut, akan tetapi karena ia merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia diam saja, bahkan pura-pura tertidur membiarkan Li Lian Ying memainkan jari-jari tangannya yang luar biasa pandainya itu! Dan berhasillah Li Lian Ying mengusir kekecewaan Yehonala, bahkan memberi kepuasan dan kenikmatan kepada wanita muda itu sampai Yehonala tertidur pulas dengan senyum menghias bibirnya.

Keberhasilan Li Lian Ying ini membuat dia semenjak saat itu menjadi kekasih Yehonala! Dia menjadi hamba yang dikasihi dan kini tugas thaikam itu setiap malam adalah menghibur Yehonala dengan jari-jari tangannya dan diapun menerima banyak hadiah dari permaisuri muda yang kini mulai lagi bersolek dan berwajah gembira penuh semangat hidup. Dan selain menjadi kekasihnya, juga thaikam yang buruk rupa namun memiliki kedua tangan yang amat pandai dan lidah yang pandai pula merayu menjilat, menjadi orang yang paling dipercaya oleh Yehonala, menjadi tangan kanannya! Demikianlah, keadaan pemerintah Kerajaan Ceng mengalami kerusakan luar dalam! Perkembangan kekuasaan Tai Peng di selatan seolah-olah tidak diperdulikan oleh Kaisar yang lebih mementingkan kesenangan pribadi. Para pendatang kulit putih merasa gembira sekali melihat perkembangan pasukan Tai Peng yang menduduki wilayah selatan itu.

Inilah keadaan yang paling menguntungkan bagi mereka. Biarkan orang-orang pribumi itu saling hantam, itulah pendirian mereka. Dengan saling hantam, maka mereka akan menjadi lemah dan kalau mereka lemah, maka orang kulit putih yang dapat menarik keuntungan sebesarnya. Bermunculanlah di antara orang-orang kulit putih itu petualang-petualang yang memancing di air keruh, mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Mereka kini tidak hanya menyelundupkan candu, melainan juga menyelundupkan senjata! Senjata api yang amat dibutuhkan kedua belah pihak, baik pemerintah Mancu untuk membasmi pemberontak maupun pihak pemberontak itu sendiri. Dan tentu saja senjata-senjata itu dijual dengan mahal sekali, beberapa kali lipat harga belinya dari pabrik senjata di barat!

Orang-orang kulit putih menyebar mata-mata yang pandai, yang tugasnya untuk mengobarkan perang saudara, untuk memperbesar pertentangan di samping meneliti keadaan. Maka terjadilah perang sembunyi antara mata-mata ketiga pihak, yaitu para mata-mata orang kulit putih yang tidak selalu terdiri dari orang kulit putih, melainkan bayak pula mata-mata bangsa pribumi yang telah dapat dibeli oleh orang kulit putih, kemudian mata-mata pemberontak Tai Peng dan mata-mata pemerintah Mancu sendiri. Biarpun kini pasukan Tai Peng tetap bertahan di Nan-king dan daerahnya di selatan dan tidak pernah dapat menyerbu sampai lewat tapal batas, namun pertempuran masih terus menerus terjadi antara pasukan pemeritah maupun pasukan pemberontak. Yang celaka adalah dusun-dusun yang dilanda perang. Setiap dusun yang dimasuki pasukan, baik pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak,

Tentu terjadi korban perampokan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan. Pasukan pemerintah mengamuk di dusun-dusun dengan dalih melakukan pembersihan dan menuduh penghuni dusun sebagai anggauta pemberontak. Adapun pasukan pemberontak mengacau dusun-dusun itu karena memang hendak melampiaskan kebuasan mereka. Pada suatu senja, sekelompok pengungsi lari meninggalkan perkampungan mereka karena tempat itu dilanda perang antara sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng melawan pasukan pemerintah yang meronda. Para penghuni dusun itu menjadi panik dan merekapun berhamburan melarikan diri megungsi, tidak sempat lagi membawa barang-barang berharga karena kalau keadaan sudah seperti itu, yang teringat hanyalah menyelamatkan nyawa.

Di antara kurang lebih tiga puluh orang itu terdapat seorang wanita yang amat menarik perhatan. Pakaiannya biasa seperti pakaian para wanita petani lainnya, sederhana sekali. Akan tetapi yang membuat ia nampak aneh dan menonjol adalah warna rambut dan matanya. Rambutnya kuning keemasan dan matanya berwarna biru! Kulit tubuhnya, walaupun banyak terbakar sinar matahari seperti wanita petani lainnya yang berada dalam rombongan pengungsi itu masih nampak putih sekali. Jelaslah bahwa ia seorang wanita kulit putih yang tentu saja amat berbeda dari para wanita petani dalam kelompok itu. Wanita itu, yang usianya tiga puluh tahun lebih, nampak menggandeng seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun.

Anak laki-laki yang rambutnya hitam kulitnya kekuningan seperti anak-anak biasa, akan tetapi sepasang mata anak inipun biru, dan bentuk wajahnya tampan sekali. Siapakah wanita kulit putih ini? Ataukah ia seorang bule? Bukan, ia bukan bule, melainkan seorang kulit putih aseli. Namanya adalah Sheila. Belasan tahun yang lalu, sebelum Perang Madat terjadi, Sheila adalah puteri tunggal dari opsir Hellway, seorang opsir pembantu Kapten Elliot yang tinggal di Kanton. Ketika terjadi pemberontakan Perang Madat, dalam usahanya untuk melarikan diri bersama keluarganya, opsir Hellway dan keluarganya tewas, kecuali Sheila. Sheila dilarikan pemberontak dan nyaris diperkosa, ketika muncul seorang pendekar bernama Gan Seng Bu, Sute dari Ong Siu Coan yang kini menjadi raja kaum Tai Peng, dan pendekar ini menolongnya.

Akhirnya, terjadilah jalinan cinta kasih antara Sheila dan pendekar Gan Seng Bu ini. Mereka lalu menikah dan hidup di antara para pendekar yang memberontak terhadap kerajaan Mancu, hidup sderhana di antara penduduk dusun yang menjadi petani. Karena amat mencinta suaminya, Sheila rela merobah hidupnya, dari puteri opsir yang biasanya hidup mewah, dihormati dan dimanja, kini hidup sederhana. Setelah kandungannya terlahir, ia memberi nama Gan Han Le atau panggilannya sehari-hari menurut lidah Inggrisnya, Henry. Dengan penuh cinta kasih, Sheila merawat dan mendidik puteranya seorang diri saja. Sudah kerap kali datang lamaran dari bermacam pria, ada penduduk dusun, ada pula teman seperjuangan suaminya, pendekar-pendekar perkasa.

Namun semua pinangan ditolak dengan lembut oleh Sheila. Karena Gan Han Le atau Henry merupakan seorang anak laki- laki yang manis, banyak orang menyukainya, bahkan teman-teman seperjuangan mendiang Gan Seng Bu ada yang mengajarnya dengan ilmu silat. Kemudian, ketika Han Le berusia tiga belas tahun, dusun itupun dilanda pertempuran dan terpaksa Sheila mengajak puteranya untuk lari mengungsi bersama para penghuni lain. Kelompok mereka sejumlah tiga puluhan orang masuk keluar hutan dan naik turun gunung, dan pada senja hari itu, kelompok mereka yang kelelahan tiba di tepi sebuah hutan. Mereka bersepakat untuk memasuki hutan itu dan bersembunyi di situ sambil melewatkan malam melepaskan lelah untuk melanjutkan pelarian mereka besok pagi.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan dari dalam hutan itu bermunculan belasan orang laki-laki yang nampak buas-buas. Mereka mengenakan pakaian seragam dan memegang golok di tangan, dan melihat pakaian mereka, para pengungsi itu menggigil ketakutan karena tahu bahwa mereka adalah sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng.! Mereka sudah sering mendengar akan kekejaman pasukan ini, maka tentu saja para pengungsi itu ketakutan dan mereka berserabutan melarikan diri. Akan tetapi, gerombolan pasukan itu tertawa dan berteriak-teriak, dan dengan gerakan cepat mereka lari mengepung sehingga kelompok pengungsi itu terkepung dan tidak dapat melarikan diri lagi, kecuali bergerombol dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Sambil berteriak-teriak bagaikan segerombolan iblis atau binatang buas, belasan orang pasukan Tai Peng lalu menyerbu.

Golok mereka berkelebatan dibarengi suara teriakan dan ketawa mereka dan berjatuhanlah beberapa orang laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak di antara para pengungsi. Tentu saja keadaan menjadi geger, para pengungsi menjerit-jerit dibarengi suara ketawa orang-orang kejam itu. Tentu saja mereka hendak melakukan pesta pora seperti biasa, merampok barang bawaan para pengungsi, membunuhi pengungsi laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak, menawan dan memperkosa wanita-wanita mudanya. Segera Sheila menjadi pusat perhatian dan perebutan mereka. melihat seorang wanita berambut pirang bermata biru yang demikian cantiknya, bagaikan segerombolan harimau melihat sekor domba muda, mereka itu menyerang dan ingin menubruk. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring.

"Mundur semua! Yang ini untukku seorang, ha-ha-ha!" dan pemimpin gerombolan itu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bermuka hitam penuh brewok, meloncat maju. Anak buahnya tidak berani membantah dan mereka melanjutkan pembantaian mereka sambil bersorak-sorak. Sementara itu si brewok yang kagum melihat kecantikan Sheila, sudah menghampiri dengan muka menyeringai dan tiba-tiba saja dia menubruk wanita itu dengan kedua lengan dikembangkan seperti seekor biruang yang menyerang. Sheila merasa ngeri sekali dan berusaha mengelak dengan loncatan kesamping, namun tangan kanan orang itu masih berhasil menangkap tepi bajunya.

"Breetttt...!" Baju itupun robek dan terbukalah bagian dadanya. Melihat bukit dada yang membusung itu, si komandan pasukan Tai Peng terbelalak kagum dan dia menelan ludah yang masih segar.

"Ha-ha-ha-ha, cantik... cantik...!" kata si brewok itu yang melangkah maju menghampiri. Sheila mundur-mundur dengan muka pucat.

"Jangan ganggu Ibuku!" Tiba-tiba Han Le yang masih kecil, baru berusia tiga belas tahun itu, meloncat ke depan dan menggunakan kedua tangannya untuk mendorong perut si brewok, menghalanginya mendekati Ibunya.

"Minggir kau, setan cilik!" Si brewok membentak dan sekali dia menampar, pundak anak itu terpukul membuat dia terpelanting jatuh.

"Henry...!" Sheila menjerit. Akan tetapi Han Le bangkit lagi dan menyerang si brewok dengan marah. biarpun masih kecil, dia pernah belajar silat dan tubuhnya kuat, semangatnya juga besar apalagi melihat Ibunya teranvam. Namun, seorang anak berusia tiga bels tahun, mana mungkin dapat melawan komandan pasukan itu yang kuat dan pandai ilmu silat? Si Brewok yang marah itu mengelebatkan goloknya. Si kecil Han Le berusaha mengelak, namun kalah cepat dan robohlah dia dengan berlumuran darah karena pahanya kesabet golok sehingga celana, kulit dan dagingnya robek.

"Henry...!" Sheila menjerit dan menubruk puteranya. Akan tetapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dan tubuhnya sudah dipeluk ketat oleh si brewok yang tertawa bergelak. Sheila meronta ketika komandan itu hendak memaksanya menerima ciuman mulut yang lebar dan basah.

"Manusia jahat!" tiba-tiba terdengar bentakan dan tiba-tiba si brewok merasa betapa kedua lengannya yang memeluk tubuh hangat wanita kulit putih itu menjadi lemas, kemudian diapun terbanting roboh oleh sebuah tendangan.

Komandan brewok terkejut dan marah bukan main melihat ada orang berani menyerangnya dan melepaskan wanita itu. Dia cepat bergulingan lalu memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa penyerangnya tadi adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mukanya seperti setan yang amat mengerikan! Muka itu buruk sekali! Kulit muka itu pletat-pletot tidak karuan lagi bentuknya, Hidungnya menyerong ke samping, mulutnya juga perot, matanya besar sebelah karena yang sebuah seperti pernah terobek, kedua telinganyapun mengeriput kecil. Pendeknya, muka itu menyeramkan sekali, muka yang biasa digambarkan sebagai setan dan iblis dalam dongeng kanak-kanak! Bukan hanya mukanya yang buruk, juga bentuk tubuhnya agak bongkok, jalannya pincang dan lengan kirinya bengkok. Kini laki-laki itu menghampiri komandan brewok.

"Manusia jahat!" kembali terdengar suaranya. Komandan brewok itu cepat meloncat berdiri dan goloknya dibacokkan ke arah kepala orang itu. Si muka buruk itu tidak mengelak jauh, hanya miringkan kepala dan golok dengan kekuatan penuh menyambar ke arah lehernya! Si brewok menyeringai girang karena goloknya tentu akan memenggal leher si muka buruk itu.

"Takkk!" golok itu tepat mengenai leher, akan tetapi mental kembali dan pada saat si brewok terbelalak kaget, tiba-tiba si muka buruk menggerakkan tangan kiri tangan terbuka, menyambar ke arah dada lawan.

"Trrrakkkk...!" Tubuh si brewok terpelanting keras, dan dia roboh tak mampu bangkit kembali karena nyawanya sudah melayang ketika jari-jari tangan yang amat kuat itu membuat semua tulang iganya patah-patah dan jantungnya rontok!

Kini si muka buruk itu begerak ke sana-sini, mencegah gerombolan orang Tai Peng yang melakukan pembunuhan lebih lanjut dan ke manapun juga tubuhnya bergerak dan tangannya menyambar, tentu ada anggauta pasukan yang roboh. Demikian cepatnya dia bergerak, tidak perduli akan serangan golok para perajurit. Satu demi satu mereka roboh dan akhirnya belasan orang itu tewas semua terkena tamparan tangan si muka buruk yag luar biasa lihainya. Para pengungsi memandang dengan mata terbelalak, ada pula yang menangisi suami atau anak yang telah tewas dibacok pasukan Tai Peng tadi. Setelah semua lawan roboh dan tewas, si muka buruk lalu membalikkan tubuhnya hedak pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apapun. Akan tetapi tiba- tiba Sheila berlari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depannya.

"Taihiap, kasikanilah kami... tolonglah anakku yang terluka parah ini..." Di antara keremangan cuaca senja, si muka buruk memandang wajah Sheila dan dia nampak terkejut sekali, sampai melangkah mundur dua kali.

Kemudian dia menghampiri Han Le yang roboh pingsan. Melihat luka dipaha anak itu, dia cepat menekan jalan darah untuk menghentikan darah yang mengucur keluar, kemudian tanpa banyak cakap dia memanggul tubuh Han Le ke atas pundaknya, lalu melangkah pergi. Sheila bergegas mengikutinya. Para pengungsi lain lalu mengangkut mereka yang tewas dan terluka, lalu pergi memasuki hutan yang mulai gelap. Dua orang itu berkelebat bagaikan setan saja cepatnya, tahu-tahu mereka telah berada di tepi hutan di mana nampak belasan orang anggauta pasukan Tai Peng berserakan. Dua orang itu berdiri saling pandang dan nampaknya terkejut, apalagi melihat bahwa semua orang itu tewas tanpa ada tanda luka senjata tajam. Mereka lalu cepat menghampiri dan memeriksa mayat-mayat itu.

"Hemm, bekas tangan seorang yanglihai, Sute," kata orang yang mukanya merah dan bertubuh pendek besar, berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengenakan pakaian seorang ahli silat.

"Benar, Suheng. Akan tetapi lihat, dia itu agaknya belum tewas," kata orang kedua yang sebaya, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. keduanya cepat mengampiri perajurit Tai Peng yang nampaknya belum tewas seperti yang lain, masih menggerak-gerakkan kaki tangannya. Keduanya berlutut dan si muka merah lalu menotok beberapa jalan darah.

"Katakan, siapa yang melakukan pembunuhan ini?" tanya si muka pucat. Karena totokan itu agaknya perajurit yang sudah sekarat tadi mampu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan beberapa potong kata yang terputus-putus,

"Muka... setan... pengungsi..." Dia menuding ke arah hutan dan terkulai, tewas. Bagaikan kilat menyambar, kedua orang itu lalu berlompatan memasuki hutan yang sudah mulai gelap. Dua orang ini bukan orang sembarangan, menjadi pembantu-pembantu Ong Siu Coan dan merupakan tokoh-tokoh di antara para perwira pasukan Tai Peng. Mereka adalah kakak beradik seperguruan yang dikenal dengan julukan Tung-hai Siang-liong (sepasang Naga Lautan Timur). Berbeda dengan para pendekar seperti Tan Ci Kong dan yang lain-lain, biarpun tadinya membantu gerakan Tai Peng menyerbu dan bahkan menjatuhkan banyak kota, akan tetapi kemudian para pendekar itu mengundurkan diri dan meninggalkan Tai Peng melihat sepak terjang Ong Siu Coan dan pasukannya yang menyeleweng ke jalan sesat,

Masih banyak pedekar dan orang pandai yang tetap menjadi pembantu-pembantu setia dari Ong Siu Coan. Mereka adalah orang-orang yang berambisi memperoleh kedudukan tinggi, dan di antara mereka, termasuk Tung-hai Siang-liong. Mereka adalah dua orang yang memiliki ilmu silat campuran antara aliran Siauw-Lim-Pai dan Kong-thong-pai. Keduanya terkenal dengan Ilmu Pedang Khong-thong Kiam-sut yang cepat, dan memiliki dasar tenaga sinkang aliran Siauw-Lim-Pai. Karena kepandaian mereka yang tinggi, maka Ong Siu Coan mengangkat mereka menjadi pemimpin mata-mata yang bergerak di daerah perbatasan dan jasa mereka sudah banyak. Tidak mengherankan kalau kini mereka cepat dapat mengetahui hancur dan tewasnya pasukan kecil Tai Peng yang berjumlah empat belas orang itu.

Mudah bagi mereka menemukan sekelompok pengungsi yang berada di tengah hutan. Para pengungsi malam-malam itu mengubur jenazah-jenazah dan suasana di sekitar api unggun itu muram dan menyedihkan karena mereka berkabung. Banyak wanita yang menangis. Akan tetapi Tung-hai Siang-liong tidak perduli. Mereka muncul di dekat api unggun seperti setan dan si muka merah telah menyambar tengkuk seorang pengungsi pria, mengangkatnya tinggi-tinggi. Semua orang menjadi panik, terdengar jerit anak-anak dan para wanita yang masih belum kehilangan rasa takut dan ketegangan hati mereka sore tadi.

"Hayo katakan, siapa yang telah membunuh para perajurit itu? Di mana adanya si muka buruk?" bentak si muka merah. Pengungsi yang dicengkeram leher bajunya dan diangkat tinggi-tinggi itu menggigil ketakutan.

"Am... ampun... saya... saya tidak mengenalnya. Dia muncul... dan dia membunuhi para perajurit... kemudian bersama wanita kulit putih dan anaknya pergi ke barat sana..."

"Brukkk!" Si muka merah membanting tubuh pengungsi itu. Tubuh itu terbanting dan terguling ke dalam api unggun. Tentu saja dia berteriak-teriak kesakitan dan kepanasan. Dua orang itu sudah berkelebat lenyap dan kini para pengungsi baru berani menolong pengungsi yang kebakar pakaiannya itu sehingga dia dapat diselamatkan dari mati terbakar.

Sementara itu, si muka buruk yang bertubuh jangkung itu memanggul tubuh Han Le yang masih pingsan, melangkah menuju ke arah barat. Sheila mengikutinya dengan wajah tegang dan gelisah melihat betapa orang aneh yang berilmu tinggi itu tidak berkata apa-apa atau berbuat apa-apa terhadap puteranya yang masih terkulai di atas pundak orang itu. Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang berhati tabah sekali. Sejak gadis, ia telah mengalami banyak hal yang hebat, menghadapi ancaman-ancaman bahaya dan hidup di samping suaminya yang menjadi pejuang. Akan tetapi, melihat puteranya dalam bahaya, ia merasa takut bukan main dan seluruh tubuhnya terasa lemas, kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan karena ia membayangkan bagaimana kalau sampai puteranya itu, satu-satunya orang yang kini dimilikinya di dunia ini, tewas!

"Taihiap... Taihiap tunggulah dulu..." Akhirnya, tidak tahan melihat orang aneh itu diam saja, Sheila berkata dengan suara memohon. Laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya yang terpincang-pincang. Agaknya baru sekarang dia tahu atau ingat bahwa Ibu anak yang dipanggulnya itu sejak tadi mengikutinya. Bulan sudah mencul dan sinar bulan menimpa muka yang buruk itu. Sepasang mata yang besar sebelah itu mencorong. Sheila menahan rasa seramnya melihat wajah itu dan iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang yang mukanya seperti setan itu.

"Taihiap... tolonglah anakku... sembuhkanlah dia, aku khawatir sekali... sejak tadi dia diam saja..." Sheila menahan isaknya. Ingin ia menjerit menangis saking gelisah hatinya melihat puteranya.

"Hemmm..." laki-laki muka buruk itu kini duduk di atas batu dan menurunkan tubuh Han Le dari atas pundaknya, mulai memeriksa. Tentu saja sejak tadi diapun tahu bahwa anak itu hanya pingsan dan tidak berbahaya keadaannya. Akan tetapi kini dia merasa kasihan melihat Sheila dan diapun mulai mengurut beberapa jalan darah di tubuh anak itu. Dan diapun terkejut dan girang karena begitu mengurut-urut, dia mendapat kenyataan bahwa anak ini memiliki tulang yang baik sekali, tubuhnya memenuhi syarat untuk menjadi seorang calon pendekar! Dia memberi obat bubuk pada luka di paha itu, dan membalutnya dengan robekan kain putih yang bersih. Setelah menotok beberapa jalan darah, Han Le mengeluh, membuka matanya.

"Ibuuu..." keluhnya.

"Henry, anakku... Sheila cepat menghampiri dengan girang bukan main. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan menyambar ke arah mereka. Si muka buruk cepat mendorong tubuh Sheila dan Han Le yang sedang berangkulan itu sehingga Ibu dan anak itu terlempar dan terguling-guling, sedangkan si muka buruk sediri sudah meloncat ke samping.

"Darrr... Terdengar suara keras dan batu yang diduduki si muka buruk itupun pecah berantakan terkena hantaman tangan seorang laki-laki muka merah dan seorang laki-laki muka pucat. Dapat dibayangkan betapa lihainya dua orang mata-mata pembantu Ong Siu Coan ini yang sekali pukul dapat menghancurkan batu besar! Kalau pukulan mereka tadi mengenai tubuh, dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya, mungkin kini tubuh si muka buruk, Sheila dan puteranya sudah hancur dan tewas!

Kini si muka buruk sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, menghadapi dua orang itu. Setelah dia tidak melangkah dan tidak nampak pincangnya, dan cuaca yang remang-remang agak menyembunyikan keburukan wajahnya, si muka buruk nampak gagah perkasa ketika berdiri tegak dengan kaki terpentang menghadapi lawan itu. Mereka saling pandang, seperti ayam aduan tengah berlaga. Dua orang tokoh Tai Peng itu memandang penuh perhatian dan diam-diam mereka merasa heran sekali. Melihat betapa si muka buruk tadi mampu menghindar dari serangan mereka, jelaslah bahwa dia seorang yang berilmu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mengenal orang ini? Mereka sudah biasa malang melintang di dunia persilatan, namun belum pernah mereka melihat, bahkan mendengar tentang tokoh yang wajahnya seperti setan ini.

"Engkaukah yang telah membunuh empat belas orang tentara Tai Peng di luar hutan itu?" si muka pucat bertaya, suaranya dingin dan pandang matanya penuh ancaman. karena mukanya yang pucat dan putih, dia dijuluki Tung-hai Pek-liong (Naga Putih Laut Timur), sedangkan kawannya yang menjadi Suhengnya itu dijuluki Ang-liong (Naga Merah) karena mukanya yang kemerahan.

"Benar, akulah yang melakukannya. Kiranya Tung-hai Siang-liong sekarang juga menjadi anggauta perampok-perampok Tai-Peng!" jawab si muka buruk. Dua orang itu terkejut dan si muka merah melangkah maju untuk memandang lebih tajam, namun tetap saja dia tidak pernah bertemu dengan orang ini dan tak pernah mendengar tokoh kang-ouw dengan muka seperti ini.

"Kiranya engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau?"

"Sebut saja aku Bu Beng Kwi (Setan Tanpa Nama), aku tidak terkenal seperti kalian, akan tetapi juga tidak sesat seperti kalian yang membantu pasukan pemberontak."

"Bu Beng Kwi, manusia sombong! Tai Peng adalah balatentara yang akan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu! Tai Peng adalah pasukan para pejuang yang gagah perkasa, patriot-patriot yang mulia..."

"Hemm, sudah kubuktikan kegagahan mereka ketika mereka tadi merampok, membunuh dan mengganggu para pengungsi! Tai Peng telah diselewengkan, menjadi pasukan ganas yang jahat, dipimpin oleh Ong Siu Coan yang miring otaknya."

"Keparat! Apakah engkau mata-mata pemerintah, penjilat Bangsa Mancu?" bentak si muka putih.

"Ataukah barangkali engkau mata-mata orang kulit putih" tanya si muka merah sambil melirik ke arah Sheila.
"Aku tidak membantu siapa juga kecuali mereka yang lemah tertindas dan menantang mereka, yang jahat, siapapun juga adanya mereka."

"Keparat, orang macam setan ini masih berlagak menjadi pendekar! Suheng, tak perlu banyak cakap lagi, dia telah membunuh belasan orang perajurit kita, dia harus dibasmi!" kata Tung-hai Pek-liong. Mereka mencabut pedang dan menghampiri Bu Beng Kwi dari kanan dan kiri. Si muka setan itu berkata, suaranya lantang dan penuh wibawa,

"Tung-hai Siang-liong, aku tidak mau bermusuhan dengan siapapun juga dan di antara kita tidak terdapat permusuhan. Kuperingatkan kepada kalian, mundurlah dan jangan menggangu kami sebelum terlambat."

"Keparat Bu Beng Kwi, siapa takut kepada setan tanpa nama macam engkau?" bentak si muka merah dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul Sutenya yang juga menyerang dengan tusukan pedang ke arah dada, hampir bersamaan dengan datangnya bacokan pedang si muka merah ke arah leher Bu Beng Kwi. Namun, hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Tung-hai Siang-liong terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya karena lawan itu tahu-tahu telah berkelebat ke belakang mereka. Dan merekapun menyerang lagi dengan sepenuh tenaga karena merasa penasaran. Bu Beng Kwi membiarkan mereka berdua menyerang sampai belasan jurus, akan tetapi kedua pedang yang biasanya amat lihai dan sukar ditemukan tandingannya itu, kini seperti permainan kanak-kanak saja layaknya bagi si muka setan itu. Dia hanya meloncat dan menyusup ke sana-sini, namun kedua pedang itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuhnya.

"Tung-hai Siang-liong, sekali lagi dan untuk akhir kalinya kuperingatkan kalian. Pergilah dan jangan ganggu aku sebelum terlambat!" Akan tetapi, dua orang itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan mereka menyerang terus, lebih ganas lagi.

"Omitohud... ampunkan aku, terpaksa aku melawan..." terdengar Bu Beng Kwi mengeluh dan tiba-tiba kedua lengannya dipentang dan dia menyerbu ke depan, menyambut dua orang lawan yang menyerangnya dengan pedang mereka itu. Terdengar suara keras, dua batang pedang itu terpental, bahkan sebatang di antaranya patah-patah disusul terlemparnya tubuh Tung-hai Siang-liong sampai jauh ke belakang. Mereka terbanting dan tidak bangkit kembali! Bu Beng Kwi tidak memperdulikan lagi dua orang bekas musuh itu, melainkan menghadapi Sheila dan anaknya. Wanita ini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan penolongnya. Juga Han Le yang tadi nonton dengan mata terbelalak dan kagum, kini berlutut dan mengangkat mukanya memandang kepadanya. Sejenak Bu Beng Kwi menatap wajah anak itu, kemudian dia berkata,

"Anak baik, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Maukah engkau?"

"Tentu saja aku mau dan terima kasih banyak atas kebaikan locianpwe," jawab anak itu dan diam-diam si muka setan kagum melihat sikap sopan dan baik dari anak itu. seorang anak yang terdidik baik, pikirnya.

"Kalau begitu, engkau ikutlah denganku." berkata demikian, Bu Beng Kwi membalikkan tubuhnya dan terus melangkah pergi. Sampai beberapa lamanya dia melangkah, kemudian membalik dan menatap Ibu dan anak itu.

"Aku hanya mengajak anak ini untuk menjadi muridku." Mendengar ini Sheila dan Han Le kembali menjatuhkan diri berlutut.

"Taihiap, sampai matipun kami tidak dapat saling berpisah. Di dunia ini aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bagaimana mungkin Henry anakku akan dipisahkan dariku? Taihiap, kalau anakku kau ambil murid, aku berterima kasih sekali akan tetapi biarkanlah aku ikut pula..." Wajah yang buruk sekali itu nampak semakin buruk ketika dia mengerutkan alisnya.

"Akan tetapi... aku tidak membutuhkanmu..."

"Aku mengerti, Taihiap. Akan tetapi biarlah aku berdekatan dengan anakku, aku tidak akan mengganggumu, aku bahkan akan bekerja apa saja, menjadi pembantu rumah tanggamu, mengerjakan semua pekerjaan rumah... tapi jangan pisahkan aku dari anakku karena hal itu berarti membunuhku..."

"Suhu, kalau benar Suhu ingin mengambil teecu sebagai murid, teecu baru mau kalau Ibu juga diperbolehkan ikut serta. Ibu tidak mempunyai keluarga lain dan teecu sampai matipun tidak tega untuk meninggalkan ia hidup seorang diri saja." kata pula Han Le dengan sikap yang tegas. Kembali sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bu Beng Kwi. Seorang anak yang mencinta Ibunya, berbakti dan keras hati. diapun mengalihkan pandang matanya, menatap kepala berambut keemasan yang menunduk itu dan dia menarik napas panjang, wajahnya yang buruk itu tergores penuh penyesalan dan iba membayang di sinar matanya.

"Baiklah, asal engkau tahu saja bahwa aku adalah seorang yang hidup miskin dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, nyonya, perjalanan menuju ke tempat tinggalku terlampau jauh dan sulit kalau ditempuh dengan jalan kaki biasa. Karena itu maafkanlah kelancanganku!" Tiba-tiba saja Sheila dan Han Le merasa betapa tubuh mereka terangkat naik kemudian meluncur dengan amat cepatnya. Mula-mula, mereka terkejut bukan main dan terutama sekali Sheila yang merasa betapa tubuhnya dipanggul di pundak kanan orang itu. Melihat ke bawah, ternyata orang itu membawanya berlompatan jauh dan cepat sekali sehingga ia menjadi pening dan ngeri, cepat-cepat ia memejamkan kedua matanya. Akan tetapi Han Le yang mula-mula takut, kini tidak merasa takut lagi melihat dirinya dipanggul di pundak kiri. Dia malh membuka matanya lebar-lebar dan bersorak gembira.

"Wahhh, aku terbang! Suhu sungguh hebat, kelak harap ajarkan ilmu terbang ini kepada teecu!" Bu Beng Kwi memnggul tubuh Ibu dan anak itu dan kedua kakinya berlari amat cepatnya seperi terbang saja. Jurang- jurang diloncatinya dan dengan ilmu berlari cepat yang luar biasa ini, pada keesokan harinya tibalah dia di puncak sebuah bukit yang sunyi dan jauh dari dusun-dusun. Di puncak bukit itu, di antara pohon-pohon besar, nampak sebuah pondok sederhana terbuat dari kayu-kayu besar dengan kokoh kuat dan cukup luas, dikelilingi ladang yang penuh dengan tanaman sayur-mayur dan pohon-pohon buah. Bu Beng Kwi menurunkan Ibu dan anak itu dari pundaknya.

"Kita telah tiba di rumah." Ibu dan anak itu menggeliat karena tubuh mereka terasa penat-penat dan kaku setelah semalam suntuk dipanggul dan dibawa lari cepat. Akan tetapi Han Le sudah melupakan kelelahannya dan anak ini sudah berlari-lari di sekitar rumah itu, nampaknya gembira sekali. Di lain saat dia telah memanjat pohon buah per di mana bergantungan banyak buah yang sudah tua dan masak. Melihat ini,legalah hati Sheila dan wanita ini merasa bahwa ia dan puteranya kini berada di tempat aman, dan suasana di tempat itu tenang dan tenteram, juga indah sekali pemandangannya. Bu Beng Kwi memandang ke arah Han Le sambil tersenyum, kemudian dia menghadapi Sheila.

"Lihat, aku hidup di sini sendirian saja dan makan dari hasil ladang dan kebun. Bagaimana seorang seperti engkau dapat hidup di tempat seperti ini?" Sheila tersenyum, senyum yang manis sekali.

"Taihiap, aku adalah seorang wanita yang sudah banyak mengalami kehidupan yang serba pahit dan penuh dengan kekerasan dan kesulitan. Tempat ini indah, rumahmu juga cukup besar. Apalagi dengan kebun dan ladang sedemikian luasnya, apalagi yang dikehendaki? Andaikata tempat tinggalmu tidak sebaik ini sekalipun, aku akan hidup berbahagia." Bu Beng Kwi menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata yang kebiruan dan jernih itu. Teringat dia betapa tadi tubuh yang berkulit lembut, halus dan hangat itu dipanggulnya, betapa bau badan wanita itu semalam membuat dia harus mengerahkan tenaga batin untuk melawan rangsangan yang sudah bertahun-tahun tak pernah dirasakannya.

"Engkau... engkau seorang wanita yang tabah, dan puteramu adalah seorang anak yang baik, berbakti, mencinta Ibunya dan gagah perkasa."

"Tentu saja, Taihiap, karena mendiang Ayahnya juga seorang pendekar gagah perkasa, seorang pejuang yang berjiwa pahlawan," kata Sheila dengan suara mengandung kebanggaan ketika dia teringat kepada mendiang suaminya, yaitu pendekar Gan Seng Bu. Mendengar ini, Bu Beng Kwi memundukkan mukanya lebih dalam, lalu memutar tubuh membelakangi Sheila, agaknya hendak pergi, akan tetapi kakinya ditahannya dan dia berkata dengan suara lirih,

"Di dalam pondok terdapat dua buah kamar, kamar depan adalah kamarku, dan kamar belakang yang besar boleh kaupakai bersama puteramu. Di belakang terdapat dapur dan perabotnya yang lengkap. kau dan puteramu tentu sudah lapar, kalau hendak membuat makanan, di gudang dekat dapur terdapat semua bahan keperluannya."

"Terima kasih, Taihiap. Jangan khawatir, aku akan mengerjakan itu semua, dan aku akan membersihkan pondok ini, kelihatan agak tidak terawat," kata nyonya itu sambil menyambar sebuah sapu yang bersandar pada dinding tembok depan.

"Oh.. ya, siapa nama puteramu itu?" Tiba-tiba Bu Beng Kwi yang sudah melangkah masuk ke dalam rumah itu tiba-tiba bertanya tanpa menengok, hanya menahan langkahnya.

"Namanya Han Le, Taihiap, aku sendiri menyebutnya Henry,"

"Han Le, nama yang bagus!" kata Bu Beng Kwi sambil melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumahnya.

"Shenya Gan, Taihiap!" Sheila menambahkan.

"Hemmm...!" hanya itulah jawaban Bu Beng Kwi dan dia sudah menghilang ke dalam kamarnya. Demikianlah, mulai hari itu, Sheila dan Han Le tinggal di dalam rumah itu, dan Sheila segera bekerja keras untuk membersihkan rumah itu, mencuci, memasak dan semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan baik.

Rumah itu nampak bersih semenjak Sheila tinggal di situ, dan makin lama Sheila semakin betah tinggal di situ karena Bu Beng Kwi jarang sekali mengajak dia bicara, bahkan jarang bertemu dengannya. pendekar yang bermuka buruk itu hanya keluar untuk melatih ilmu silat kepada Han Le, dan tidak pernah mengganggu Sheila, bahkan seolah-olah Bu Beng Kwi menjauhkan diri dari Sheila, seperti orang yang takut! Hal ini membuat Sheila menjadi heran bukan main. setelah berbulan-bulan tinggal di rumah itu, biarpun berada di bawah satu atap, namun ia jarang sekali dapat bertemu tuan rumah. Bahkan kalau ia sengaja menemuinya untuk melaporkan bahwa makanan siang atau malam sudah sedia, Bu Beng Kwi nampak seperti orang gugup dan membuang muka! Sheila merasa amat kasihan kepada pria itu.

Apakah pria itu malu kepadanya karena mukanya yang demikian buruk? Namun, betapapun buruk wajahnya, seperti setan, orang itu jelas memiliki watak yang amat baik, pikir janda ini. Belum pernah selama hidupnya dikenalnya seorang pria seperti itu baik dan sopannya. dan selain memberi latihan-latihan dasar ilmu silat tinggi kepada Han Le, juga Bu Beng Kwi melatih ilmu membaca dan menulis kepada anak itu, di samping gemblengan moral melalui nasihat-nasihat tentang kehidupan, tentang baik dan buruk dan tentang sifat-sifat seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Waktu luangnya setelah memberi latihan kepada Han Le, masih dipergunakannya untuk bekerja di ladang dan kebun-kebun dengan amat rajinnya. Setiap hari betapapun paginya Sheila bangun tidur untuk menyapu dan memasak air,

Ia selalu melihat bahwa tuan rumah telah bangun terlebih dulu, dan telah sibuk di ladang belakang rumah! Kadang-kadang Sheila merasa terharu sekali melihat kehidupan Bu Beng Kwi ini. Ada rahasia yang tersembunyi di balik wajah yang buruk itu, pikirnya, rahasia yang tentu amat menyedihkan sekali. Sinar mata yang kadang-kadang mencorong itu seringkali nampak demikian penuh kepedihan hati, Bahkan penuh penyesalan, demikian sayu dan tidak bercahaya lagi. dan agaknya Bu Beng Kwi menanam diri dalam kesibukan sehari-hari, agaknya hendak melupakan ssuatu. dan jelas sekali menjauhkan diri darinya, seolah-olah takut berhadapan dengan dirinya. Semua ini merupakan teka-teki yang amat menarik bagi Sheila, membangkitkan gairahnya untuk menyelidiki rahasia apa gerangan yang tersembunyi di balik wajah yang amat buruk itu.

Ia merasa telah diselamatkan nyawanya, juga nyawa puteranya, dari ancaman maut dan bahkan mungkin lebih mengerikan daripada maut. Bukan hanya sampai di situ ia berhutang budi, bahkan Bu Beng Kwi telah memberi kehidupan yang lebih cemerlang dan tenteram kepada ia dan puteranya. Mendidik Han Le dengan ilmu tinggi, kesusasteraan dan pendidikan rohani. Hal ini ia ketahui semua karena setelah malam tiba dan puteranya rebah tak jauh darinya di dalam kamar itu, ia selalu mengorek keterangan dari puteranya tentang semua pelajaran yang diterimanya dari Bu Beng Kwi. Bahkan dari anak itu ia menanyakan semua kata-kata yang diucapkan Bu Beng Kwi pada siang harinya, dan apa saja yang ditanyakan penolong itu kepada anaknya.

Dari Han Le ia mendengar bahwa Bu Beng Kwi pernah bertanya kepada Han Le tentang semua pengalaman Han Le dan Ibunya semenjak ditinggal mati Ayahnya. Tentu saja Han Le hanya mampu menceritakan apa yang dapat diingatnya saja, karena semenjak lahir dia sudah tidak lagi dapat melihat Ayahnya. Ada sesuatu yang sangat menarik dalam pribadi Bu Beng Kwi bagi Sheila. Wajah yang amat buruk itu, tubuh yang cacat itu, kini sama sekali tidak lagi mendatangkan rasa serem, takut atau jijik bagi Sheila, bahkan mendatangkan perasaan iba yang mendalam. Ia merasa kasihan dan juga penasaran mengapa seorang manusia yang memiliki budi pekerti demikian baiknya menerima hukuman dari Tuhan dengan tubuh yang sedemikian penuh cacat dan keburukan. Bukan itu saja, ia juga dapat merasakan betapa penolongnya itu hidup dengan batin menderita, entah apa dan mengapa.

Pada suatu malam terang bulan Sheila tak dapat tidur. Han Le sudah sejak tadi tidur nyenyak. Anak itu agaknya lelah sekali karena selain harus berlatih silat, juga anak itu oleh Ibunya diharuskan membantu pekerjaan Bu Beng Kwi di ladang, Sheila gelisah tak dapat tidur walaupun sudah sejak tadi ia rebah di atas pembaringannya. Sudah setahun ia tinggal di situ bersama puteranya, namun ia masih merasa asing terhadap Bu Beng Kwi. Selama setahun itu, hanya beberapa kali saja ia sempat berhadapan dengan penolongnya, lebih jarang lagi bercakap-cakap karena kalau ia memancing percakapan, selalu Bu Beng Kwi menghindar. bahkan untuk makan siang atau malam pun, Bu Beng Kwi minta kepada Han Le untuk mengantar makanan ke dalam kamarnya.

Mengapa dia selalu menjauhkan diri dariku? Apakah dia tidak suka kepadaku? Jangan-jangan dia membenci aku karena aku seorang wanita kulit putih! Pikiran ini terus menerus menganggu hati Sheila, membuatnya gelisah bukan main. Ia sudah berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati Bu Beng Kwi, membersihkan pondok itu sehingga menjadi tempat yang enak ditinggali, menanam bunga-bunga indah di depan rumah dan di luar jendela kamar Bu Beng Kwi, mencuci bersih pakaian-pakaian serba putih dari orang itu, dan membuat masakan yang selezat mungkin. Bahkan kini, dengan bantuan puteranya yang cekatan, ia berhasil menangkapi kelinci dan membuat peternakan kelinci sehingga ia mampu menghidangkan masakan daging kelinci yang sedap, bukan sekedar sayuran saja seperti sebelum ia dan puteranya datang ke situ.

Aih, apakah kesalahanku kepadanya? Sheila merasa nelangsa dan rasanya ingin ia menangis! Gila, mengapa pula menangis? Ia cepat menghapus dua titik air mata yang sudah berkumpul di sudut matanya dan untuk mengusir kekesalan hatinya, ia turun dari pembaringannya lalu menghampiri jendela. Dibukanya tirai jendela dan nampaklah sinar bulan purnama di luar kamarnya. Betapa indahnya bulan purnama. Hijau kekuningan dan nampak sejuk dan damai hening di luar. Ia menutup kembali tirai jendela dan menurutkan dorongan hatinya ia melangkah keluar, menutupkan kembali pintu kamar dengan hati-hati agar Han Le jangan sampai kaget dan terbangun.



JILID 07

Ketika dengan langkah hati-hati ia keluar dari dalam pondok menuju ke belakang untuk memasuki kebun dan menikmati keindahan bulan purnama, tiba-tiba ia menahan langkahnya dan cepat bersembunyi di balik tiang rumah bagian belakang. Tiang itu terbuat dari batang pohon besar dan ia bersembunyi di balik tiang. mengintai ke dalam kebun. Di sana, di atas bangku panjang, ia melihat Bu Beng Kwi duduk seorang diri dan ia terbelalak memandang karena melihat betapa penolongnya itu menangis! Benar-benar menangis seperti anak kecil, dengan suara sesenggukan dan kedua pundak berguncang, kedua tangan menutupi mukanya! Dengan mata terbelalak, dan jantung berdebar kencang Sheila mengintai dan mendengar suara Bu Beng Kwi yang diulang-ulang, suara yang mengandung isak tangis, menggetar penuh penyesalan.

"Ya Tuhan, ampunilah saya, ampunilah saya, ampunilah saya..." Sambil menangis, orang aneh itu terus minta ampun kepada Tuhan, kadang-kadang menjambak-jambak rambutnya penuh penyesalan. Sheila terbelalak dan hatinya dipenuhi rasa haru. Ia tidak tahu mengapa orang sebaik itu kini menangis dan minta ampun kepada Tuhan, entah dosa apa yang penah dilakukannya, dosa yang kini membuatnya demikian penuh penyesalan. Melihat orang yang amat dikaguminya itu, orang yang dihormatinya dan dijunjungnya tinggi karena perbuatannya, karena sikapnya itu kini menangis dan minta-minta ampun kepada Tuhan seperti itu,

Sheila merasa demikian terharunya sehingga tanpa disadarinya, air matanya menetes turun di sepanjang pipinya. Ia seperti terpukau di tempat itu, tidak mampu bergerak. Hatinya ingin sekali menghampiri dan menanyakan, menghibur Bu Beng Kwi, namun kedua kakinya tidak dapat ia gerakkan. Juga ada perasaan segan dan takut untuk mengganggu orang yang sedang tenggelam dalam kedukaan yang amat besar itu. Berjam-jam Bu Beng Kwi menangis, meratap dan minta ampun kepada Tuhan. Berjam-jam pula Sheila berdiri di balik tiang melakukan pengintaian. Akhirnya, seperti orang kelelahan, Bu Beng Kwi menjatuhkan diri rebah di atas bangku panjang, masih menangis akan tetapi makin lama, tangisnya makin lirih dan akhirnya diapun tertidur di atas bangku panjang di dalam kebun itu!

Beberapa kali nampak tubuhnya terguncang oleh isak sebagai tangisnya, akan tetapi dari pernapasannya dapat diketahui bahwa dia benar-benar telah tidur nyenyak, agaknya terlau lelah oleh penyiksaan batinnya sendiri tadi. Sheila melangkah perlahan-lahan menghampiri dan dalam jarak dua meter ia berdiri mengamati orang itu. Tidur pulas dengan lengan kanan melintang di atas dahi, tangan kiri tertumpang di dada. Napasnya penjang-panjang halus, kadang-kadang masih terisak, kedua kakinya yang panjang itu tergantung di ujung bangku. Hawa udara dingin bukan main di malam terang bulan purnama itu. Sheila menggigil dan ia merasa kasihan sekali melihat Bu Beng Kwi yang tidur pulas di atas bangku itu, di dalam kebun dalam hawa dingin sepeti itu. Ia lalu kembali ke dalam rumah,

Mengambil sehelai selimut tebal dan dengan hati-hati ia menghampiri tubuh yang pulas itu dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki. Tubuh itu bergerak lemah akan tetapi tidak tergugah. Kalau saja tidak sedang tenggelam ke dalam kedukaan dan penyesalan sehebat itu sehingga membuat seluruh tubuhnya lemas dan hatinya lelah dan kepulasan telah menelannya bulat-bulat. Tentu Bu Beng Kwi yang memiliki tubuh terlatih itu sudah terbangun ketika diselimuti Sheila. Namun kedukaan membuat orang menjadi lemah sekali. tenaga yang dibuang sia-sia sewaktu berduka amatlah besarnya. Sheila lalu kembali ke kamarnya dan ia tidak tidur, teringat akan keadaan Bu Beng Kwi dan beberapa kali, setiap kali teringat ia menitikkan air matanya karena iba dan haru. Ah, ia mau melakukan apa saja demi untuk menghibur dan membahagiakan hati pria ini,

Pria yang demikian bijaksana dan budiman, yang telah memberi segala-galanya kepada ia dan puteranya tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apapun, bahkan yang selalu menghindar agar tidak menerima sikap manis dan berterima kasih darinya. Pada keesokan harinya, ketika Han Le sedang sibuk bekerja di ladang, ketika Sheila sedang membawa pakaian kotor untuk dicuci di pancuran air di sebelah kanan rumah, ia berpapasan dengan Bu Beng Kwi. Pria itu berhenti dan memandang kepadanya, sedangkan Sheila juga berhenti dan memandang penuh perhatian. Tidak nampak lagi tanda-tanda kedukaan yang hebat itu pada wajah yang tidak pernah dapat memperlihatkan perasaan hati itu, akan tetapi pandang mata itu tetap saja sayu dan bagaikan matahari tertutup awan hitam. Bu Beng Kwi mengeluarkan segulung selimut dan memberikannya kepada Sheila sambil berkata,

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, nyonya. Maaf, aku telah membikin repot saja. Harap lain kali jangan perdulikan diriku, karena seorang seperti aku ini tidak pantas menerima kebaikan dan penghormatan seperti itu." Begitu Sheila menerima gulungan selimut, Bu Beng Kwi membalikkan tubuh dan pergi.

"Taihiap... tunggu dulu...!" Sheila berlari mengejar, dan Bu Beng Kwi menghentikan langkahnya, menghadapi Sheila dengan muka ditundukkan. Kini mereka saling berhadapan dan Sheila memandang tajam, berusaha untuk menguak tirai yang menyembunyikan rahasia di balik wajah yang cacat itu.

"Taihiap... namaku adalah Sheila dan aku adalah pelayanmu, Ibu dari muridmu, tidak perlu engkau menyebutku nyonya. Dan mengapa Taihiap kelihatan membenciku? Harap Taihiap berterus terang agar aku dapat mengerti akan kesalahanku dan dapat memperbaikinya, dan Taihiap... mengapa demikian berduka...?"

"Nyonya, engkau adalah seorang wanita yang bijaksana, terhormat dan mulia, jauh bedanya dengan aku yang hina ini, dan tentang sikapku... ah, aku tidak apa-apa, harap nyonya jangan perdulikan aku lagi..." Dan diapun cepat melangkah pergi menuju ladang, meninggalkan Sheila yang berdiri melongo dengan hati penasaran. Penolongnya itu demikian merendahkan diri, dan kata-katanya demikian penuh keprihatinan. Apa saja yang membuat orang itu bersikap seperti itu? Apakah karena wajah dan tubuhnya menjadi penuh dengan cacat seperti itu lalu merasa rendah diri? Beberapa hari kemudian, ketika pagi-pagi sekali Sheila sedang menyapu lantai di pekarangan depan dan Bu Beng Kwi masih bersamadhi di dalam kamarnya setelah pagi-pagi tadi dia mengamati Han Le yang berlatih silat, muncul dua orang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian sederhana namun berwajah tampan dan bersikap gagah. Dua orang laki-laki muda itu demikian terkejut ketika melihat seorang wanita kulit putih berambut kuning keemasan dan bermata biru,

Mengenakan pakaian sederhana sedang menyapu di situ sehingga mereka berdua terbelalak dan terpukau, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri. Melihat dua orang pemuda itu seperti terkejut, bingung dan heran, Sheila lalu menghampiri mereka dengan sapu di tangan, dan menegur dengan sikap halus dan bahasa yang sopan. Dua orang muda itu saling pandang, dengan sinar mata bertanya-tanya siapa gerangan wanita kulit putih ini. Sheila juga memperhatikan mereka. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar dengan muka gagah berbentuk persegi empat dan mukanya yang masih muda itu mulai ditumbuhi brewok yang lebat, sepasang matanya lebar dan tajam. Orang kedua bertubuh tinggi kurus, mukanya putih seperti muka perempuan namun tampan dan sepasang alisnya tebal sekali, tebal dan hitam lebat.

"Kami adalah murid dari tuan rumah ini," kata pemuda tinggi besar.

"Siapakah engkau?" sambung pemuda tinggi kurus.

"Aih, kiranya ji-wi adalah murid-murid Taihiap!" Sheila berseru kaget dan girang.

"Aku bernama Sheila dan aku... aku pelayan dari Taihiap..."

"Apa? Suhu mempunyai pelayan seorang wanita kulit putih? Rasanya tidak mungkin!" kata pemuda tinggi besar. Pada saat itu terdengar suara nyaring dari sebelah dalam, suara yang keluar dari dalam kamar Bu Beng Kwi.

"Kok Han dan Hong Can, kalian baru datang?" Mendengar suara ini, dua orang pemuda gagah perkasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke dalam rumah dan berkata penuh hormat,

"Suhu..." Muncullah Bu Beng Kwi , diikuti oleh Han Le yang diajak latihan samadhi di dalam kamar gurunya itu. Sepasang mata orang aneh itu memancarkan sinar berseri ketika dia memandang kepada dua orang muda yang berlutut.

"Han Le dan kau, nyonya, ketahuilah bahwa yang baru datang ini adalah murid-muridku bernama Ceng Kok Han dan Li Hong Cang yang sudah hampir dua tahun turun gunung. Kok Han dan Hong Cang, anak ini adalah Gan Han Le, Sute kalian, dan wanita ini Ibunya, Gan Toanio (nyonya Gan).Bangkitlah dan beri hormat kepadanya," kata Bu Beng Kwi memperkenalkan. Diam-diam dua orang pemuda itu merasa heran. Guru mereka mengambil murid anak seorang wanita kulit putih dan biarpun Sute mereka yang masih kecil itu berwajah biasa, namun sepasang matanya yang bening tajam itu kebiruan seperti mata orang kulit putih! Mereka lalu menjura dengan hormat kepada wanita kulit putih yang pandai berbahasa daerah itu dan menyebutnya Gan Toanio. Sheila membalas penghormatan mereka selayaknya. Sebagai seorang anak yang terdidik baik, oleh gurunya dan oleh Ibunya, Han Le lalu menjura pula kepada mereka.

"Ji-wi Suheng (kakak seperguruan), aku Gan Han Le memberi hormat pada ji-wi dan mohon bimbingan ilmu silat." Ceng Kok Han dan Li Hong Cang memandang gembira. Kiranya Sute mereka itu, biar anak wanita kulit putih, biar masih kecil, namun nampak cerdik dan pandai membawa diri. Mereka merangkul dan mengelus rambut kepala Han Le dan merasa akrab dan sayang. Mereka semua kecuali Sheila yang merasa sungkan dan juga ia harus menyediakan minuman untuk dua orang muda yang baru tiba, segera masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian, Bu Beng Kwi sudah bercakap-cakap dengan serius bersama dua orang murid yang baru datang itu disaksikan oleh Han Le yang mendengarkan saja.

Mereka bicara tentang hal- hal yang belum dimengertinya benar, tentang perjuangan, pemberontakan, dan perang. Kiranya dua orang muda perkasa itu, atas persetujuan guru mereka, seperti para pendekar lain, telah pergi meninggalkan tempat perguruan dan ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan yang memimpin balatentara Tai Peng pada bulan-bulan terakhir sampai pasukan itu dapat menduduki Nan-king dan daerah selatan sungai. Akan tetapi, akhirnya mereka berdua menjadi muak melihat betapa pasukan-pasukan Tai Peng mulai melakukan penyelewengan dan kejahatan dan agaknya tingkah laku mereka itu dibiarkan saja oleh Ong Siu Coan. Seperti juga banyak para pendekar lainnya, dua orang murid Bu Beng Kwi ini meninggalkan Tai Peng dan pulang ke tempat tinggal guru mereka.

"Demikianlah, Suhu. Teecu berdua meninggalkan pasukan Tai Peng, melihat penyelewengan dan kejahatan yang dilakukan oleh pasukan itu. seperti para pendekar lain yang tadinya membantu pasukan Tai Peng sehingga gerakan itu berhasil, teecu berdua juga sudah berusaha untuk melakukan protes dan laporan kepada Ong-bengcu sebagai pimpinan. namun, semua laporan tidak diperhatikan, bahkan pernah Ong-bengcu mengatakan bahwa sudah sewajarnya kalau para perajurit mendapatkan sedikit kesenangan setelah semua jerih payah dan taruhan nyawa dalam perang." Ceng Kok Han menutup ceritanya. Bu Beng Kwi mengangguk-angguk.

"Sudah kuduga semua itu, Dan aku sudah mendengar desas-desus tentang sepak terjang mereka sehingga diam-diam aku mengkhawatirkan kalian. Apalagi ketika terjadi malapetaka yang menimpa para pengungsi yang diganggu oleh pasukan Tai Peng, termasuk Sutemu ini dan Ibunya, makin yakinlah aku bahwa Ong Siu Coan dan pasukannya bukanlah pejuang-pejuang yang dapat diharapkan akan mengangkat nasib rakyat jelata."

"Benar, Suhu. Para perajurit Tai Peng kemasukan banyak orang-orang jahat. Mereka memang mengaku sebagai tentara rakyat, dan mengaku bahwa mereka berjuang demi rakyat, untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Mereka mengatakan bahwa perjuangan mereka murni, namun nyatanya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat, merampok, membunuh dan memperkosa, tidak memiliki perikemanusiaan seperti binatang-binatang buas yang hanya mengenal hukum rimba. Kini jelas dapat dilihat betapa rakyat yang hidup di daerah kekuasaan Tai Peng bahkan menderita lebih hebat daripada sebelum daerah itu dibebaskan. Mereka menjadi penguasa-penguasa yang lebih kejam daripada penjajah Mancu sendiri!" kata pula Li Hong Cang. Percakapan mereka terhenti ketika Sheila masuk ke ruangan itu membawa hidangan minuman bagi mereka semua. Bu Beng Kwi sejenak memandang wanita itu dan setelah Sheila kembali ke dapur, dia berkata kepada Han Le,

"Han Le, engkau bantulah Ibumu. Kami akan membicarakan urusan penting yang tidak kau mengerti." Han Le mengangguk dan bangkit tanpa membantah. setelah tiba di dapur, dia dihujani pertanyaan oleh Ibunya. Han Le memberi keterangan sebisanya dan mendengar bahwa dua orang Suheng dari puteranya itu baru saja pulang berjuang membantu balatentara Tai Peng yang kini menduduki sebagian dari daerah selatan, Sheila menarik napas panjang.

"Negara ini dilanda perang saudara tiada hentinya. Aih, Henry, mendiang Ayahmu dahulu juga seorang pejuang yang amat gagah perkasa." Han Le mengerutkan alisnya.

"Ibu, apakah Ayah juga membantu pasukan Tai Peng menentang pasukan Mancu?"

"Ya, memang tujuan mereka sama, yaitu menghapuskan penjajah, akan tetapi Ayahmu tidak membantu Tai Peng."

"Tentu Ayah tidak seperti orang-orang Tai Peng yang jahat itu, Ibu. Kedua Suhengku itupun meninggalkan Tai Peng karena orang-orang Tai Peng berobah jahat sekali!"

"Kau benar, anakku. Engkau belajarlah baik-baik, agar kelak dapat menjadi seorang gagah perkasa, seorang pendekar yang menentang kejahatan."

"Seperti Ayah, Ibu?"

"Ya, seperti Ayahmu, seperti gurumu yang gagah perkasa dan budiman itu." Sementara itu, Bu Beng Kwi masih bercakap-cakap secara serius dengan kedua orang muridnya..

"Perjuangan seperti yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu tidaklah sehat lagi," kata Bu Beng Kwi.

"Perjuangan Tai Peng yang tadinya diharapkan untuk dapat membebaskan rakyat daripada cengkeraman penjajah, ternyata bahkan membuat rakyat menjadi semakin celaka, seperti terlepas dari mulut harimau masuk dalam cengkeraman serigala."

"Memang demikianlah, Suhu." kata Ceng Kok Han.

"Dan kini terjadi pemberontakan di selatan, Suku Bangsa Nien-fei, bahkan teecu mendengar bahwa suku Miau di Kwei-couw juga mulai bangkit dan memberontak. Kalau begini, berarti bangsa kita bahkan akan terpecah belah tidak karuan."

"Belum lagi diingat ancaman bangsa kulit putih dari pantai timur," kata pula Li Hong Cang.

"Suhu, kalau dibiarkan pemerintah dihantam dari kanan kiri dan keadaan menjadi semakin kacau, maka rakyatlah yang akan menderita hebat. Terutama sekali harus dicegah penberontakan Tai Peng itu sampai dapat menaklukkan semua daerah, karena bangsa kita akan mengalami nasib lebih mengerikan lagi di bawah memuasaan orang-orang yang kini memimpin Tai Peng, yang terdiri dari penjahat-penjahat yang bersembunyi di balik agama baru dan perjuangan." Bu Beng Kwi mengangguk-angguk.

"Para pendekar sudah meninggalkan Tai Peng, berarti bahwa mereka sudah melihat kenyataan akan kejahatan orang-orang Tai Peng dan tidak mau membantu gerakannya. Kiranya hanya para pendekar yang dapat bersatu dan bangkit menentang Tai Peng."

"Teecu kira hal itupun tidak mudah dilakukan, Suhu." kata Ceng Kok Han.

"Tai Peng telah merupakan balatentara yang amat besar dan kuat. Kalau para pendekar bersatu, berapa besar kekuatan mereka? Pula, karena mereka datang dari berbagai aliran yang mempunyai pendapat berbeda, kiranya tidak mudah mempersatukan mereka."

"Hemm, beralasan juga kata-katamu. Lalu, bagaimana baiknya? Orang-orang muda seperti kalian, tidak mungkin akan berpangku tangan saja melihat kelaliman Tai Peng."

"Teecu berdua Sute telah bersepakat untuk minta pendapat dan perkenan Suhu. Teecu berdua ingin mengajak kawan- kawan seperjuangan, antara para pendekar untuk bersama-sama membangkitkan semangat rakyat di pedesaan, perlahan-lahan menyusun kekuatan dengan mendirikan lascar yang kuat yang bertujuan menyelamatkan tanah air dan bangsa. Kalau perlu, laskar kami akan membantu pemerintah Mancu untuk memadamkan semua pemberontakan yang sifatnya hanya pengejaran ambisi tanpa mementingkan penderitaan rakyat, karena pemberontak-pemberontak macam Tai Peng dan lain- lain itu bahkan menjadi penghambat perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah."

"Membantu pemerintah Mancu, bekerja sama dengan pemerintah penjajah?" Bu Beng Kwi berseru kaget dan memandang dua orang muridnya itu.

"Maksud Suheng hanya untuk sementara, Suhu," kata Li Hong Cang.

"Untuk dapat menghancurkan kekuatan yang berbahaya seperti Tai Peng, dibutuhkan pasukan besar dan sukarlah membentuk laskar sekuat itu untuk menentang Tai Peng. Maka, untuk sementara, sebaiknya kalau menggunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk menghancurkan Tai Peng dan para pemberontak suku bangsa lain. Setelah itu, barulah kekuatan disusun sepenuhnya untuk menumbangkan kekuasaan penjajah dari tanah air." Bu Beng Kwi mengangguk-angguk,

"Mungkin kalian benar. Terserah kepada kalian. Yang penting bagi kita adalah bahwa sepak terjang kalian haruslah murni, tanpa pamrih demi keuntungan pribadi, sepenuhnya ditujukan demi menyelamatkan rakyat dan bangsa kita. Akan tetapi, kalau cita- cita kalian demikian besar, kalian perlu membelaj ari ilmu memimpin pasukan, ilmu perang, bukan sekedar ilmu silat. Dan agaknya aku masih menyimpan sebuah kitab kuno tentang ilmu perang, ilmu pusaka peninggalan Jenderal Gak Hui. Boleh kalian miliki dan pelajari bersama ilmu perang melalui kitab kuno itu." Bu Beng Kwi lalu masuk ke dalam kamarnya, mengambil sebuah kitab tebal yang sudah amat tua, menyerahkannya kepada dua orang muridnya yang menjadi gembira bukan main. Sejenak keduanya tenggelam ke dalam kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membaca beberapa bagian penuh kekaguman, Kemudian Ceng Kok Han menyimpannya.

"Maaf, Suhu. Teecu percaya semua tindakan Suhu tentu sudah dipertimbangkan semasaknya dan setiap perbuatan Suhu berdasarkan kebijaksanaan. Akan tetapi terus terang saja, teecu dan Sute tadi merasa terkejut dan terheran-heran melihat Suhu telah mengambil murid seorang anak dari wanita kulit putih. Teecu berdua ingin sekali mendengar sebab dan alasannya, kalau Suhu tidak keberatan." Bu Beng Kwi mencoba untuk tersenyum, namun wajahnya yang kaku itu agaknya sudah terlalu lama tidak tersenyum maka gerakan mulutnya tidak cukup untuk menunjukkan sebuah senyuman.

"Pertanyaan kalian memang pantas dan sudah sepatutnya aku memberi penjelasan. Ibu dan anak itu adalah pengungsi-pengungsi yang ketika pegi mengungsi bersama penduduk dusun, dicegat oleh pasukan kecil Tai Peng yang mengganggu mereka. Pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan perkosaan, maka aku turun tangan menyelamatkan para pengungsi dan membasmi para penjahat yang berkedok pejuang itu. Anak itu terluka dan pingsan. Ketika aku hendak mengobatinya, aku melihat bakat yang baik sekali pada tubuhnya, dan aku kasihan kepadanya. Ibunya tidak mau berpisah dari anaknya dan nekat untuk ikut ke sini, bekerja menjadi pelayan walaupun aku tidak menganggapnya sebagai pelayan. Sudah hampir setahun mereka di sini dan Han Le ternyata memang cerdik dan berbakat, sedangkan Ibunya juga seorang wanita yang amat rajin. Lihat saja, bukankah pondok kita ini menjadi bersih dan taman itu penuh dengan tanaman bunga yang indah?" Dua orang murid itu sudah cukup mengenal watak Suhu mereka. Biasanya, Suhu mereka sama sekali tidak perduli akan keadaan rumah, apalagi bunga dalam taman. Tentu ada sesuatu yang mendorong Suhunya menerima wanita kulit putih itu tinggal di situ. Mereka memandang dengan sinar mata bertanya-tanya dan agaknya Bu Beng Kwi dapat menduga bahwa kedua orang muridnya ini masih meragukan kehadiran Sheila dan keterangannya tadi belum memuaskan hati mereka.

"Baiklah kalian ketahui hal lain yang mendorong aku untuk menerima Ibu dan anak itu di sini. Ketahuilah bahwa mendiang Ayah dari anak itu bernama Gan Seng Bu, seorang pendekar dan pahlawan yang pernah berjuang bersama para pendekar untuk menentang penjajah dan juga orang kulit putih yang menjual madat."

"Gan Seng Bu...?" Li Hong Cang berseru.

"Ah, ketika teecu membantu Tai Peng bersama para pendekar, teecu pernah mendengar nama ini disebut-sebut dengan kekaguman. Kiranya Sute cilik itu puteranya? Dan wanita kulit putih..."

"Ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu. Pendekar itu pernah menyelamatkan wanita itu ketika ia masih gadis melarikan diri bersama orang tuanya dan diserbu oleh para pemberontak. Hampir ia menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ayah Ibunya tewas dan Gan Seng Bu menolongnya. Mereka saling jatuh cinta dan semenjak itu, ia hidup di dusun di antara para pejuang dan menikah dengan pendekar itu." Kini kedua orang murid itu mengerti dan merekapun maklum mengapa guru mereka menerima Ibu dan anak itu. Bahkan diam-diam merekapun merasa setuju sekali.

Bagaimanapun juga, biarpun rambutnya seperti benang emas dan matanya seperti warna lautan yang dalam, tidak seperti orang-orang kulit putih yang merusak hidup rakyat dengan penyebaran racun madat. Bahkan wanita itu telah hidup belasan tahun lamanya di antara para pejuang, hidup seperti orang dusun dan kini bahkan bekerja keras seperti seorang pelayan saja membersihkan pondok dan memperindah suasananya. Diam-diam mereka merasa kagum sekali. Setelah beberapa hari tinggal di situ, dua orang muda itu segera menjadi akrab sekali dengan Han Le dan mereka memberi bimbingan kepada anak itu dalam latihan ilmu silat. Han Le merasa girang sekali dan bangga mempunyai dua orang Suheng itu. Bukan hanya dengan Han Le, bahkan kedua orang muda itu bersikap manis terhadap Sheila.

Janda muda ini adalah sorang kulit putih, tentu saja iapun mudah menjadi akrab dengan mereka karena baginya tidak ada pantangan dalam keakraban pergaulan antara pria dan wanita. Apalagi melihat betapa dua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, seperti mendiang suaminya, dan mereka bersikap demikian baik terhadap puteranya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat Sheila merasa kurang enak hati. belum sampai sebulan dua orang muda itu berada di situ, akhir-akhir ini sinar mata mereka terhadap dirinya terasa lain olehnya. Biasanya hanya ada keramahan dan penghormatan, namun akhir-akhir ini ia dapat menangkap dengan naluri kewanitaannya betapa dalam sinar mata mereka terkandung kekaguman yang berlebihan dan mendekati kehangatan dan kemesraan. Pandang mata mereka penuh arti, juga senyum mereka tidak wajar lagi!

Sheila cukup berpengalaman sebagai seorang janda muda yang sering digoda orang untuk dapat menangkap perasaan kagum dan suka dalam hati kedua orang muda itu yang terpancar melalui sinar mata mereka. Tentu saja hal ini membuatnya merasa kurang enak, walaupun tentu saja ia tidak mau menyatakan sesuatu dan bersikap wajar saja di depan mereka. Lebih tidak menyenangkan hatinya lagi ketika ia mendapat menyataan bahwa sejak dua orang muridnya itu pulang, Bu Beng Kwi jarang sekali keluar dari dalam kamarnya sehingga ia jarang bertemu dengan penolongnya itu. Akan tetapi sebaliknya, ia sering bertemu dengan dua orang muda yang nampaknya kini makin suka mendekatinya. Pada suatu sore, ketika Sheila sedang membersihkan daun- daun kering dari taman di depan rumah, tiba-tiba muncul Ceng Kok Han yang tanpa banyak cakap lalu membantu pekerjaannya memunguti dan menyapu daun-daun kering itu.

"Aih, sudahlan, Ceng-sicu. Tidak perlu kaubantu, ini pekerjaanku sehari-hari, nanti tangan dan pakaianmu menjadi kotor saja." kata Sheila menolak dengan lembut dan tersenyum manis.

"Tidak mengapa, Toanio, aku suka membantumu karena aku merasa kasihan kepadamu," jawab Ceng Kok Han. Sheila menunda pekerjaannya dan memandang kepada pemuda itu sambil tertawa kecil.

"Engkau sungguh aneh, sicu. Kenapa kasihan kepadaku? Aku senang melakukan pekerjaan di sini."

"Toanio, orang cantik dan sepandai engkau ini sungguh tidak selayaknya hidup sederhana ini, bekerja keras seperti pelayan..."

"Harap jangan berkata demikian, sicu!" Sheila berkata cepat memotong dan suaranya mengandung penasaran.

"Ketahuilah bahwa selama bertahun-tahun ini, baru sekarang aku merasakan hidup penuh kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan. Aku suka sekali melakukan semua pekerjaan ini, jadi, kalau engkau merasa kasihan, hal itu tidak tepat bahkan lucu sekali."

"Toanio, engkau dahulu isteri seorang pendekar perkasa yang terkenal. Sekarang, selayaknya kalau engkau menjadi seorang isteri dan Ibu rumah tangga yang terhormat dan hidup serba kecukupan. Akan tetapi sebaliknya engkau malah hidup di tempat yang amat sunyi, jauh tetangga jauh masyarakat. Toanio, kenapa sejak suamimu meninggal dunia, sudah belasan tahun lamanya, engkau tidak... tidak menikah lagi?" Mendengar pertanyaan ini, wajah yang masih cantik dan nampak jauh lebih muda dari usianya yang sudah tiga puluh tahun lebih itu berubah kemerahan. Sheila yang sudah mengenal pemuda ini karena sering bercakap-cakap, tahu bahwa Ceng Kok Han adalah seorang pemuda yang gagah perkasa yang berwatak terbuka dan jujur, suka mengeluarkan isi hatinya melalui mulut tanpa sungkan lagi. Oleh karena itu, iapun tidak merasa tersinggung, lalu tersenyum lebar memandang pemuda itu.

"Wah, Ceng-sicu, engkau ini aneh-aneh saja. Siapakah orangnya yang suka dengan sungguh-sungguh mengawini aku? Seorang janda dengan seorang anak, perempuan kulit putih pula yang pada umumnya dianggap musuh. Kalau ada, mereka itu hanya berniat untuk mempermainkan aku saja. Karena itu aku tidak pernah menerima lamaran mereka, sicu. Aku harus menjaga kebahagiaan hidup anakku satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini."

"Engkau terlalu merendahkan diri, Toanio. Engkau seorang wanita yang biarpun berkulit putih, namun amat cantik, bijaksana dan tidak kalah dibandingkan dengan wanita pribumi yang manapun." Wajah itu menjadi semakin merah, dan hatinya terasa tidak enak karena pujian dari pemuda yang jujur itu semakin berlebihan.

"Sudahlah, sicu, harap jangan bicara tentang itu. Buktinya, sampai sekarang aku hidup berdua saja dengan anakku dan aku tidak pernah mengeluh."

"Akan tetapi, tanio, kalau sekiranya Toanio ingin merubah kehidupan yang penuh dengan kesepian ini, kalau saja Toanio sudi menerimanya, ada seorang pria yang dengan sepenuh hati, dengan sungguh-sungguh ingin membahagiakanmu, ingin mempersuntingmu sebagai isteri tercinta, bukan sekedar main-main seperti yang kukatakan tadi." Sepasang mata yang biru itu terbelalak memandang Ceng Kok Han penuh selidik.

"Sicu...! Apa... apa maksudmu...? Siapa siapa yang kau maksudkan itu?"

"Akulah pria itu, Toanio. Kalau sekiranya engkau sudi menerima, aku... aku meminangmu untuk menjadi isteriku." Sapu itu terlepas dari tangan Sheila. Matanya masih terbelalak memandang dan bibirnya yang setengah terbuka itu gemetar namun tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian ia memejamkan matanya, tidak tahu harus tertawa atau menangis karena hatinya ingin melakukan keduanya. Ia ingin tertawa karena geli hatinya bahwa seorang pemuda seperti Ceng Kok Han menyatakan cinta kepadanya melalui pinangan, dan ia ingin menangis karena merasa terharu mengetahui bahwa pemuda perkasa seperti Kok Han ini dapat dipercaya kata-katanya dan tentu sungguh-sungguh merasa suka dan kasihan kepadanya,

Bukan sekedar tertarik dan bermaksud mempermainkan terdorong oleh nafsu berahi semata. Akan tetapi ia cukup bijaksana untuk tidak melakukan keduanya, tidak menangis dan tidak tertawa, hanya memejamkan matanya sejenak dan menguatkan hatinya. Kemudian ia membuka matanya memandang. pemuda itu masih berdiri di depannya, tegak dan gagah, dengan sikap menanti penuh kesabaran, menanti jawabannya. Ah, terasa benar olehnya kasih sayang yang hangat terpancar keluar melalui sinat mata pemuda itu dan iapun tahu benar bahwa hidup sebagai isteri pemuda ini tentu membawa ketenangan dan ketenteraman, terlindung dengan baik. Akan tetapi satu hal ia tahu pasti, yaitu bahwa ia tidak memiliki cinta kasih terhadap pemuda perkasa ini, walaupun ia merasa kagum dan suka.

"Ceng-sicu, harap engkau maafkan aku. Aku adalah seorang wanita yang tidak muda lagi, usiaku sudah hampir tiga puluh lima tahun. sedangkan engkau baru berusia paling banyak dua puluh lima tahun. Bukan hanya selisih usia ini saja yang membuat aku tidak berani menerima pinanganmu, sicu, melainkan karena aku... aku..."

"Engkau telah menaruh hati kepada orang lain, mencinta orang lain?" Sungguh seorang laki-laki yang terbuka dan terus terang, pikir Sheila. Maka iapun mengangguk setelah mengamati hatinya sendiri. Benar, ia telah jatuh cinta kepada orang lain. Baru sekarang kenyataan ini nampak benar olehnya. Ia telah jatuh cinta kepada Bu Beng Kwi, kepada penolongnya, penyelamatnya, kepada pendekar besar yang buruk rupa dan cacat tubuhnya itu! Maka, dengan penuh keyakinan iapun mengangguk untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. Ceng Kok Han menerima pengakuan wanita itu dengan gagah. Dia memang merasa hatinya tertusuk kekecewaan, namun dia menerimanya tanpa mengeluh.

"Toanio, katakanlah, dia... dia berada di sini?" Karena ia berhadapan dengan seorang pria yang jujur dan gagah perkasa, Sheila meras tidak perlu menyembunyikan rahasianya dan iapun mengangguk.

"Apakah dia... Sute Li Hong Cang?" Sheila tersenyum lemah dan menggeleng kepala. Sejenak Ceng Kok Han tertegun dan terbelalak memandang wajah wanita itu, kemudian dia menundukkan mukanya dan pandang matanya berpancar kekaguman dan keharuan. Dia lalu menjura dengan dalam dan penuh dengan hormat.

"Ah, Toanio, aku semakin kagum kepadamu. sungguh engkau seorang wanita yang berbudi luhur, seorang wanita yang akan dapat menjadi cahaya terang dalam kehidupan seseorang dengan cinta kasihmu yang suci murni. Maafkan kelancanganku tadi, Toanio." Dia menjura lagi. Sheila membalas penghormatan itu dengan hati terharu.

"Engkaulah yang harus memaafkan aku, sicu, karena aku telah mengecewakan hatimu. Semoga engkau kelak dapat bertemu dengan jodohmu yang sepadan dengan kegagahan dan kebaikanmu." Pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan Sheila yang masih berdiri termenung. kemudian iapun melanjutkan pekerjaannya, diam-diam merasa kagum kepada murid tertua Bu Beng Kwi itu. Pengalaman yang menegangkan hati Sheila terulang kembali pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Ia baru saja mandi dan berganti pakaian, terus pergi membawa pakaian kotor menuju ke pancuran air di mana ia biasanya mencuci pakaian. baru saja ia mulai mencuci, terdengar suara lirih memanggil namanya.

"Sheila...!" Tentu saja ia merasa terkejut sekali karena selama berada di situ, belum pernah ada orang menyebut nama kecilnya begitu saja. Ia cepat menoleh dan terbelalak melihat bahwa yang memanggilnya adalah Li Hong Cang, murid kedua dari Bu Beng Kwi. Pemuda tinggi kurus dengan muka putih dan alis tebal itu telah berdiri di dekatnya dan memandang kepadanya dengan sinar mata memancarkan kekaguman.

"Eh, Li-sicu! Engkau mengejutkan orang saja!" kata Sheila sambil tersenyum cerah, memaksa diri untuk bersikap biasa dan menekan debar jantungnya.

"Engkau nakal sekali. Darimana engkau mengetahui nama kecilku, sicu?" Akan tetapi pancingannya untuk mencairkan suasana dengan senda gurau tidak ditanggapi oleh Hong Cang yang masih saja bersikap serius dan pandang matanya yang penuh kagum itu tidak berubah.

"Aku tahu dari anakmu. Sheila, engkau sungguh cantik jelita pagi ini, seperti dewi pagi yang gemilang. Alangkah indahnya rambutmu itu, seperti benang Sutera emas... Sheila merasa bulu tengkuknya meremang mendengar pujian ini. Ia tahu akan gawatnya suasana. Pemuda ini tidak main-main dan seperti juga apa yang dilakukan Ceng Kok Han kemarin, pemuda ini berterang memujinya dan memperlihatkan perasaan kagum dan cintanya! Karena tidak tahu harus berbuat apa, Sheila tetap saja bersikap sendau gurau.

"Ih, sicu, jangan memuji berlebihan. Aku hanyalah seorang perempuan tua. Anakku yang menjadi Sutemu itu sudah hampir dewasa!" Ucapannya ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyadarkan kembali Hong Cang dari maboknya. Akan tetapi agaknya pagi itu Li Hong Cang sudah mengambil keputusan, sudah nekat untuk mengaku cintanya kepada wanita yang membuatnya tergila-gila ini.

"Sheila... aku memujimu dari lubuk hatiku, setulus cintaku. Aku cinta padamu, Sheila, dan kalau engkau sudi meneimanya, aku ingin hidup bersamamu sebagai suamimu. Akan kuajak engkau tinggal di kota, hidup yang layak dan aku akan membahagiakanmu, Sheila. Sudikah engkau menerima cintaku?, Hampir saja Sheila tak dapat menahan ketawanya. ia merasa seperti berada di panggung saja, seperti sedang bermain sandiwara. Baru saja kemarin kok Han menyatakan keinginannya hendak meminang, kini hong cang menyatakan cintanya! Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mentertawakan pemuda yang nampaknya serius sekali itu. Maka iapun mengambil keputusan untuk menolaknya dengan halus namun tegas untuk membuyarkan khayal yang membuat pemuda itu bersikap demikian romantis.

"Li-sicu, maafkan aku dan harap jangan menyesal kalau aku terpaksa mengecewakan hatimu. Aku tidak mungkin membalas cintamu, tidak mungkin dapat menerima pinanganmu, pertama karena engkau jauh lebih muda dariku, kita tidak pantas menjadi suami isteri. Dan kedua karena aku sudah mencinta laki-laki lain. Nah, maafkanlah aku, sicu." Alis yang hitam tebal itu berkerut dan muka yang putih itu menjadi semakin pucat,

"Sheila, engkau... engkau memilih Suheng? jadi engkau mencinta Suheng Ceng Kok Han?" Sheila menggeleng kepala,

"Tidak, bukan dia yang kucinta." Sepasang mata pendekar itu terbelalak dan mukanya menjadi kemerahan. Tiba-tiba dia lalu menjura dengan sikap hormat,

"Toanio, maafkan kelancanganku... engkau sungguh seorang wanita yang luar biasa, Toanio." Li Hong Cang lalu memberi hormat lagi dan pergi meninggalkan Sheila.

Dua hari kemudian semenjak dua orang pemuda itu menyatakan cintanya, mereka pergi meninggalkan pondok itu. Mereka berpamit kepada Sheila dengan sikap hormat, seperti sikap mereka ketika pertama kali datang. Tidak nampak lagi tanda-tanda bahwa mereka pernah mengaku cinta, Sinar mata mereka kini sungkan dan hormat, dan sikap merekapun tetap ramah ketika mereka minta diri. Sheila pun besikap biasa dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka. Baru setelah mereka pergi, ia merasa kehilangan karena bagaimanapun juga, kehadiran dua orang muda itu sedikit banyak mendatangkan perubahan di tempat yang amat sunyi itu. Setelah mereka pergi, baru ia berani bertanya kepada Han Le ke mana mereka pergi dan apa yang hendak mereka lakukan.

"Kedua orang Suhengku itu berangkat ke kota besar untuk mulai dengan perjuangan mereka menentang pemberontak Tai Peng, Ibu. Kelak kalau aku sudah besar, akupun ingin mengikuti jejak mereka." kata Han Le dengan sikap gagah. Dan pada sore hari itu, ketika Sheila duduk di serambi belakang seorang diri, tiba-tiba muncul Bu Beng Kwi di depannya.

"Toanio, kenapa engkau menyia-nyiakan kesempatan baik dan rela mengubur dirimu di tempat sunyi ini?" Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan hati Sheila.

"Taihiap, maafkan aku, akan tetapi apa maksud pertanyaan Taihiap ini? Aku tak mengerti..."

"Engkau telah menolak cinta kasih dua orang muda seperti Ceng Kok Han dan Li Hong Cang!" Sheila memandang dengan mata terbelalak kaget.

"Taihiap... tahu akan hal itu?"

"Mereka mengaku kepadaku tentang cinta mereka kepadamu dan minta perkenanku untuk meminangmu. Aku memberi perkenan, akan tetapi mereka hari ini pergi dengan hati patah. Toanio, kenapa engkau tidak memilih seorang di antara mereka dan meninggalkan tempat yang sunyi ini, membangun kehidupan baru yang penuh bahagia dengan seorang di antara kedua muridku itu? Bukankah mereka itu adalah orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan akan sanggup melindungimu selamanya?" Baru sekali ini Sheila mendengar orang ini bicara demikian banyak, dan bicara dengan suara demikian bersemangat. Akan tetapi kata-kata yang panjang dan bersemangat ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bahkan baginya merupakan benda runcing yang menusuk perasaannya. Tak terasa lagi Sheila yang biasanya tabah itu kini menutupi mukanya untuk menyembunyikan air mata yang bercucuran keluar dari sepasang matanya yang biru. Namun, Bu Beng Kwi telah melihatnya dan dengan suara mengandung keheranan namun lembut dia bertanya.

"Toanio, kenapa engkau menangis?" Sheila menghapus air matanya. Lalu ia memandang kepada laki-laki itu. Hanya sebentar mereka bertatap pandang karena Bu Beng Kwi, seperti biasanya segera menundukkan mukanya.

"Taihiap, demikian bencikah Taihiap kepadaku?" Bu Beng Kwi terkejut, sejenak mengangkat muka, matanya mencorong memandang wajah Sheila akan tetapi lalu menunduk kembali.

"Apa maksudmu?"

"Taihiap selalu menjauhiku, dan sekarang dengan halus mengusirku. mengapa Taihiap membenciku? Apakah karena aku seorang perempuan kulit putih? Ataukah aku memberatkan penanggungan Taihiap di sini? Kalau benar demikian, katakanlah saja, Taihiap dan aku... aku akan pergi bersama anakku, aku... tidak ingin menyusahkan Taihiap yang sudah demikian baik kepada kami..."

"Aku tidak membencimu, Toanio. Jangan salah mengerti. Dua orang muridku itu tertarik dan jatuh cinta kepadamu. Mereka terus terang di depanku dan minta perkenan dariku untuk meminangmu. Tentu saja aku memperbolehkan karena aku lihat bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi isteri orang yang bagaimanapun juga. Akan tetapi engkau menolak mereka, memilih hidup bersunyi diri di sini? Mengapa?" Sheila merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Ingin mulutnya meneriakkan bahwa ia tidak mungkin dapat meninggalkan pria ini, bahwa ia tak mungkin berpisah dari tempat ini, dari Bu Beng Kwi. Akan tetapi tentu saja ia tidak seberani itu, karena Bu Beng Kwi sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda keramahan kepadanya, bersikap dingin, bahkan selalu menjauhkan diri. Malah orang yang diam-diam dipujanya, dijunjung tinggi dan dicintanya ini seperti menyuruh dua orang muridnya untuk meminangnya!

"Aku sudah merasa senang dan berbahagia sekali di sini, Taihiap. Aku tidak ingin pergi ke manapun juga. Bukankah anakku juga berada di sini? Kami merasa suka dan merasa aman tenteram hidup di sini, dan kesunyian di sini bahkan merupakan keheningan yang menyejukkan hati."

"Benarkah yang kau katakan itu, Toanio" Sheila memandang kepadanya dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri.

"Perlukah aku bersumpah, Taihap? Semenjak suamiku meninggal dunia, baru sekarang aku merasakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman, dan aku berbahagia sekali tinggal di sini, Taihiap. Kalau boleh, aku ingin tinggal di sini, selamanya, sampai aku mati." Kembali Bu Beng Kwi mengangkat muka memandang dengan sinar mata mencorong ketika mendengar ucapan ini, akan tetapi dia lalu membalikkan tubuhnya dan berkata,

"Aku girang sekali mendengar ini, Toanio". Dan seperti orang tergesa-gesa diapun pergi meninggalkan Sheila.

"Ya Tuhan, ampunkan semua dosaku... ya Tuhan, ampunilah saya..." Sheila tak berani bergerak dan kini kedua pipinya basah oleh air matanya yang mengalir turun. Sejak tadi ia mengintai dan timbul dugaannya bahwa tentu Bu Beng Kwi seringkali meratap dan menangis seorang diri seperti itu di waktu malam,

Walaupun baru dua kali ini ia mengintai dan melihatnya. Sekali ini, ratap tangis Bu Beng Kwi yang minta-minta ampun kepada Tuhan akan dosa-dosanya itu diseling doa-doa dalam bahasa yang tidak dimengertinya, doa yang biasanya diucapkan oleh para hwesio. Kiranya Bu Beng Kwi ini pandai pula berdoa seperti pendeta, pikirnya penuh keharuan. Dosa apa gerangan yang pernah dilakukan orang ini sehingga kini dia menyesali diri sedemikian rupa? Sukar untuk dipercaya bahwa seorang gagah perkasa dan budiman seperti Bu Beng Kwi ini pernah melakukan dosa yang membuat dia begitu menderita dalam penyesalan. Ingin sekali Sheila meloncat dan berlari keluar untuk merangkul dan menghibur, menyusuti air mata orang itu, akan tetapi tentu saja ia tidak berani.

"Akulah yang telah membunuh... akulah yang telah merusak kehidupannya, terkutuklah perbuatanku itu... ya Tuhan, ampunilah hambamu ini... aku sudah cukup menyiksa diri, menderita, namun hukuman ini masih belum cukup untuk menebus dosa-dosaku..." Bu Beng Kwi meratap dan menangis, bahkan menjambak rambutnya sendiri dan ketika dia menjatuhkan diri berlutut, dia membentur-benturkan kepalanya pada tanah sampai terdengar bunyi berdebukan yang mengerikan hati Sheila.

Akhirnya dengan suatu keluhan panjang, tubuh Bu Beng Kwi itu terguling roboh dan rebah terlentang tak bergerak lagi.Sheila memandang dengan bingung dan gelisah. Tertidurlah orang itu? Ataukah jatuh pingsan? Jangan-jangan dia jatuh sakit, pikirnya. Selagi ia merasa bimbang dan ragu, menghampiri ataukah tidak, dan merasa serba salah, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang laki-laki. Mula-mula Sheila mengira bahwa yang datang itu adalah Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, akan tetapi karena malam itu bulan hanya muncul sepotong dan cuaca remang-remang, ia tidak dapat melihat jelas. Baru setelah dua orang itu nampak menggerakkan tangan memukul tubuh Bu Beng Kwi, ia tahu bahwa mereka bukanlah dua orang muda itu dan iapun menjerit melihat Bu Beng Kwi dipukul.
"Desss...!." Jerit yang keluar dari mulut Sheila itulah yang menarik kembali Bu Beng Kwi ke dalam alam sadar, akan tetapi dia telah terkena pukulan yang keras sekali pada dadanya, yang membuat tubuhnya terbanting keras dan bergulingan. Sheila menggigil dan tak kuat berdiri, berlutut dan memandang dengan mata terbelalak penuh rasa gelisah. Akan tetapi, setelah menerima pukulan hebat pada dadanya dan disusul tendangan keras yang membuat tubuhnya terlempar, Bu Beng Kwi yang terkejut mendengar jeritan Sheila tadi, dapat meloncat bangun kembali. Tubuhnya yang tinggi itu nampak bergoyang-goyang sedikit ketika dua orang lawannya sudah berloncatan datang mendekat.

"Ha, lihat mukanya! Tentu dia ini orangnya!" terdengar seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut, berkata dengan suara parau dan dalam.

"Benar, Toako, tentu dia orangnya. Hei, benarkah engkau yang berjuluk Bu Beng Kwi?" kata yang bertubuh tinggi besar dan kedua lengannya panjang sepeti lengan orang hutan. Bu Beng Kwi menarik napas panjang, merasa betapa dadanya nyeri. Pukulan orang berlengan panjang tadi mengandung sinkang yang kuat dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka cukup parah di dalam dadanya. Bahkan mulutnya sudah merasakan darag! akan tetapi, Bu Beng Kwi bersikap tenang ketika dia melangkah maju menghampiri dua orang itu.

"Siapakah kalian ini, orang-orang pengecut yang tidak tahu malu menyerang orang yang tidak bersiaga?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa.

"Bu Beng Kwi, ingatkah engkau ketika engkau membunuh pasukan Tai Peng dan juga Tung-hai Siang-liong? Kami adalah rekan-rekannya, kami tokoh-tokoh Tai Peng yang datang untuk menghukummu. Berlututlah agar kamu menyerah dan kami bawa menghadap pimpinan kami di Nan-king," kata yang berperut gendut. Kini Bu Beng Kwi sudah dapat memulihkan tenaganya dan pandang matanya sudah terang kembali. Dia melihat bahwa dua orang itu ternyata mengenakan jubah pendeta, dan rambut mereka digelung seperti biasa para Tosu menggelung rambutnya. Akan tetapi, dia melihat gambar pat-kwa di dada mereka dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan dua orang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai pemberontak yang gigih dan memiliki banyak orang pandai.

"Hemm, kiranya dua orang Tosu Pat-kwa-pai!" katanya dengan senyum di kulum.

"Pantas Tai Peng melakukan penyelewengan, kiranya dibantu oleh orang-orang dari Pat-kwa-pai yang terkenal berkedok agama dan perjuangan untuk mengelabui rakyat jelata. Benar, aku telah membasmi pasukan kecil Tai Peng yang melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap para pengungsi, dan kemudian Tung-hai Siang-liong yang menyerangku juga roboh binasa. Lalu kalian mau apa?"

"Hemm, manusia sombong. engkau sudah terluka parah dan menghadapi maut, masih saja membuka mulut besar dan tidak cepat berlutut menyerahkan diri?" bentak si lengan panjang.

"Hiante, tak perlu banyak cakap, bunuh saja dia!" kata yang berperut gendut dan diapun cepat menerjang ke depan, mengirim tendangan ke arah perut Bu Beng Kwi. Si gendut ini agaknya memang ahli tendang yang amat lihai. Biarpun perutnya gendut sekali, namun kakinya dapat terangkat tinggi, cepat seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang kuat sekali ketika dia menendang. Tendangan ini tadi pernah membuat tubuh Bu Beng Kwi terlempar jauh. Akan tetapi sekali ini Bu Beng Kwi telah siap siaga. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih dan melihat datangnya tendangan, dia bukan mengelak bahkan melangkah maju menyambut tendangan itu. Dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, tahu-tahu dia telah menangkap tumit kaki yang menendang itu, terus mendorong kaki itu ke atas dengan kekuatan penuh, sedangkan tangan kanannya memukul ke arah perut gendut itu dengan tangan terbuka.

"Hukkk!!" Tubuh si gendut itu terlempar jauh ke belakang setelah perutnya dimasuki tangan itu. Tubuh yang gendut itu terbanting keras di atas tanah dan si gendut itu tidak dapat bangun, hanya mengaduh-aduh memegangi perutnya yang terasa mulas dan kepalanya yang benjol-benjol karena ketika terbanting tadi, kepalanya bertemu dengan batu yang keras. Si tinggi besar menyerang pada detik berikutnya, tidak mampu menolong temannya dan kedua lengannya yang panjang itu sudah menyambar, yang kiri mencengkeram ke arah kepala Bu Beng Kwi sedangkan yang kanan menghantam ke arah lambung. Serangannya dahsyat dan kuat bukan main sampai terdengar suara angin bercuitan ketika kedua lengan panjang itu bergerak.

Akan tetapi Bu Beng Kwi yang sudah marah bukan main itu tidak memberi kesempatan kepada lawan kedua ini. Sebetulnya, kalau saja Bu Beng Kwi tidak terluka karena serangan gelap ketika dia dalam keadaan tidak sadar tadi, mungkin dia tidak akan menurunkan tangan besi karena tingkat kepandaian dua orang itu masih jauh di bawah kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Begitu melihat lengan yang tadi memukulnya menyambar, dia memapaki dengan tangan kanannya, menangkap tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya. Dua tangan yang jari-jarinya terbuka itu saling bertemu dan saling cengkeram, sedangkan lengan kiri Bu Beng Kwi menagkis tangan yang menghantam lambung, dan meneruskan tangkisan itu dengan mendorong dada lawan dengan telapak tangan yang menangkis itu.

"Aughhhh...!" Si tinggi besar menjerit kesakitan karena lima buah jari yangan kirinya yang saling cengkeram dengan tangan kanan lawan itu terasa nyeri dan terdengar tulang-tulang lima jarinya patah-patah, kemudian setelah pukulannya pada lambung tertangkis, tiba-tiba telapak tangan Bu Beng Kwi sudah mengenai dadanya.

"Desss... Tubuhnya terlempar dan menimpa tubuh si gendut! Dua orang tokoh Pat-kwa-pai itu adalah orang-orang yang sudah cukup tinggi tingkatnya di perkumpulan mereka, karena mereka adalah tokoh tingkat tiga. Maka dapat dibayangkan betapa terkejut hati mereka ketika menghadapi Bu Beng Kwi, dalam segebrakan saja mereka telah menderita luka parah.

Mereka menjadi ketakutan dan sambil setengah merangkak dan saling bantu, keduanya bangkit melarikan diri tinggang langgang tanpa pamit lagi. Bu Beng Kwi tidak melakukan pengejaran, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, gagah dan menakutkan lawan. diam-diam Sheila yang nonton semua peristiwa itu, merasa kagum. Pahlawannya, penolongnya itu memang hebat bukan main! Akan tetapi, wanita ini menjerit ketika melihat betapa tiba-tiba tubuh yang jangkung itu terkulai dan roboh di atas tanah di dalam kebun itu! Sheila melupakan semua rasa sungkan dan takut, lalu ia berlari menghampiri. Melihat Bu Beng Kwi rebah miring, ia lalu berlutut dan memeriksa. ketia dalam cuaca remang-remang itu ia melihat wajah yang pucat itu, dan darah berlepotan mengalir keluar dari mulutnya, ia menjadi panik.

"Taihiap...!" Ia menubruk dan mengguncang-guncang pundak Bu Beng Kwi.

"Ahh, Taihiap... sadarlah...! Taihiap...!" Melihat betapa ketika diguncang itu Bu Beng Kwi sama sekali tidak bangun, bahkan kepalanya nampak lemas terkulai seolah-olah dia sudah tidak bernyawa lagi, Sheila menjadi khawatir sekali. Diguncang-guncang tubuh itu, didekapnya kepala itu, dipanggil- panggilnya, namun tetap saja Bu Beng Kwi tidak bergerak.

"Ibu, ada apakah, Ibu?"

"Ahh, Henry, cepat bantu aku. gurumu telah berkelahi dan dia terluka parah. Mari kita angkat tubuhnya ke dalam pondok," kata Sheila ketika melihat munculnya Han Le yang terkejut dan terbangun dari tidurnya mendengar jerit Ibunya tadi. Han Le terkejut, hampir tak dapat percaya bahwa gurunya dapat terluka patah dalam perkelahian. namun dia tidak bertanya lebih lanjut, membantu Ibunya dan dengan sudah payah mengangkut tubuh Bu Beng Kwi yang berat itu, setengah menyeret dan setengah mendukungnya, masuk ke dalam rumah dan erus k dalam kamar Bu Beng Kwi. Setelah tubuh itu direbahkan di atas pembaringan dan Sheila menyalakan lma batang lilin, ia semakin gelisah melihat betapa wajah yang buruk itu nampak sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hidup. Hanya ketika ia meraba dadanya, jantungnya masih berdetak dan napasnya, walaupun lambat, masih berjalan.


"Cepat, kau masakkan air, Henry!" kata Sheila. Anaknya itu tanpa bertanya apapun cepat melaksanakan perintah Ibunya. Sheila menyuruh Han Le karena ia sendiri tidak sampai hati meninggalkan Bu Beng Kwi. Ia mempergunakan kain putih yang dibasahi dengan arak yang menghapus darah yang berlepotan di mulut Bu Beng Kwi. Hati Sheila takut bukan main tajut bukan main, khawatir kalau-kalau penolongnya itu tewas. membayangkan betapa penolongnya itu tewas, tak terasa lagi air matanya bercucuran dan iapun menangus sambil merangkul leher yang kokoh kuat itu. Ia menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis.

Ketika Han Le masuk membawa air panas, dia melihat Ibunya menangis dalam keadaan seperti itu dan diam-diam anak ini merasa heran, juga terharu. Dia sendiri amat sayang kepada gurunya, akan tetapi tak pernah ia melihat Ibunya demikian dekat dengan gurunya. Diapun membantu Ibunya mencuci muka, kaki dan tangan gurunya dengan air panas, terutama sekali menggunakan kain yang direndam air panas untuk memebersihkan dada dan tubuh atas yang telah ditelanjangi karena ketika Sheila memeriksa, dia melihat tanda tapak tangan menghitam pada dada yang bidang itu. Bu Beng Kwi memang terluka parah dan kalau saja dia tidak memiliki tubuh yang terlatih dan amat kuat, tentu pukulan dahsyat yang dilakukan lawan ketika dia dalam keadaan tidak sadar itu sudah menewaskannya. Dia belum tewas, akan tetapi luka parah itu membuat dia tidak sadar selama tiga hari tiga malam!

Dan selama itu, Sheila tak pernah meninggalkannya lama-lama. Bahkan wanita ini hampir tidak makan, juga tidak pernah tidur walaupun puteranya membujuknya. Sheila merawat Bu Beng Kwi, menyuapkan air bubur encer ke dalam mulut yang masih mampu menelan dalam keadaan setengah sadar namun masih selalu memejamkan mata dan tak pernah mengeluarkan suara itu. Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Bu Beng Kwi menggerakkan pelupuk matanya, tubuhnya tergetar sedikit, dan diapun membuka kedua matanya. Dilihatnya Sheila tertidur sambil bersandar pada kursi di dekat pembaringan, sambil berlutut di bawah pembaringannya, Sedangkan Han Le duduk di tepi pembaringan. Anak itu tadinya melenggut karena kantuk, akan tetapi agaknya dia merasa bahwa gurunya bergerak, maka diapun cepat mendekatkan mukanya.



JILID 08

"Suhu...!" katanya lirih.

"Ssttt..." Bu Beng Kwi memberi tanda agar anak itu tidak berisik sambil melirik ke arah Sheila yang tidur pulas bersandarkan kursi.

"Jangan ribut, Ibumu sedang tidur." Sambil berbisik Han Le berkata,

"Benar, kasihan Ibu. sudah tiga hari dua malam ia tidak tidur dan baru malam ini saking lelahnya ia tertidur dan teecu menggantikannya menjaga Suhu." Bu Beng Kwi terkejut.

"Tiga hari tiga malam? Kau maksudkan aku pingsan selama itu...?"

"Benar, Suhu. Dan Ibu selama itu menjaga Suhu, menyuapkan air bubur, membersihkan tubuh Suhu..." katanya dengan bangga.

"Ahhh...!" Bu Beng Kwi membuang muka agar anak itu tidak melihat betapa kedua matanya menjadi basah. seringkali dia merasa heran mengapa semenjak bertemu dengan Sheila, seringkali dia tidak dapat menahan mengalirnya air matanya, bahkan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Padahal, dahulu dia tidak pernah mengenal tangis! Walaupun pernah dia menyesal secara mendalam, namun baru setelah dia bertemu Sheila saja dia banyak menangis. Hatinya diliputi keharuan yang mendalam dan iapun memejamkan matanya kembali, seperti hendak mengusir bayangan betapa wanita itu selama tiga hari tiga malam menjaganya tanpa tidur, mungkin tanpa makan, merawatnya penuh perhatian.

Bayangan ini seperti pedang berkarat yang menghunjam dan menembus jantungnya, membuat napasnya menjadi sesak dan kesehatannya yang belum pulih kembali itu tidak kuat menerimanya, membuat dia terkulai dan pingsan lagi. Han Le mengira Suhunya tertidur, maka dengan hati lega karena Suhunya sudah sadar dan bicara, diapun duduk melenggut dan akhirnya diapun terkulai dan tertidur di tepi pembaringan. Ketika Sheila terbangun, dilihatnya puteranya tertidur pulas di tepi pembaringan, dan Bu Beng Kwi masih seperti malam tadi, rebah seperti orang pulas atau pingsan. Akan tetapi dengan hati agak lega dilihatnya betapa tarikan napas Bu Beng Kwi sudah panjang-panjang dan lancar, juga ketika ia menyentuhnya, kaki tangannya sudah hangat dan merah, tidak pucat dingin seperti kemarin.

"Henry, bangunlah dan cepat masak air dan masak bubur," katanya menggugah puteranya. Han Le terbangun.

"Ibu, semalam Suhu telah sadar dan bicara sebentar denganku."

"Ah, benarkah? Atau engkau hanya bermimpi? Buktinya engkau tertidur pulas." Han Le menjadi ragu sendiri. Benarkah dia melihat Suhunya sadar? Ataukah hanya mimpi belaka? Diapun cepat turun dan pergi ke dapur, sementara Sheila pergi mencuci muka dan membersihkan badan. Ia melakukan hal itu cepat-cepat karena tidak tega meninggalkan Bu Beng Kwi terlalu lama. Ia sudah kembali berlutut di tepi pembaringan dan melihat betapa orang itu masih juga belum sadar, ia memegang tangan Bu Beng Kwi.

"Taihiap, sembuhlah, Taihiap. Kasihanilah aku, karena hanya engkau seoranglah gantungan harapanku, engkau seoranglah yang dapat membahagiakan hidupku, dapat membimbing dan mendidik puteraku. Taihiap, kasihanilah aku dan segera sembuhlah..." Dengan girang Sheila merasa betapa ada hawa panas menjalar dari telapak tangan yang lebar itu ke dalam tangannya, dan ia merasa pula betapa jari-jari yangan itu gemetar sedikit. ketika ia melihat perlahan-lahan Bu Beng Kwi lepaskan pegangannya, kemudian membuka matanya, Sheila girang bukan main.

"Taihiap...! Engkau telah sembuh, bukan?" Bu Beng Kwi membuka matanya, memandang kepada wajah Sheila sampai beberapa lamanya, kemudian dia menarik napas panjang dan bangkit duduk. Ketika Sheila hendak merangkulnya dan membantunya duduk, dengan tangannya dia menolak dan dia duduk sendiri.

"Gan, Toanio, lukaku parah juga, perlu pengobatan. Akan tetapi aku sudah mampu megobati diri sendiri sekarang, dan banyak terima kasih atas kebaikanmu selama aku sakit, Toanio. Sekarang, beristirahatlah dan biarkan muridku Han Le yang melayaniku. Keluarlah, Toanio." Tentu saja ada perasaan kecewa di hati wanita itu yang ingin terus melayani sampai orang itu sembuh benar. Akan tetapi, mendengar suara yang berwibawa itu, yang bersungguh- sungguh, dan sinar mata yang mulai mencorong itu, iapun tidak berani membantah. Pula, ia harus bertukar pakaian dan membersihkan diri benar-benar karena selama beberapa hari ini ia tidak sempat. Juga makan. Ia harus makan kalau tidak ingin jatuh sakit.

"Baiklah, Taihiap, semoga engkau lekas sembuh."

"Terima kasih Toanio." Setelah sekali lagi menatap wajah buruk itu dengan sinar mata penuh kebahagiaan karena kini orang itu sudah sadar, dan wajahnya juga agak pucat karena kurang makan dan tidur itu berseri, Sheila meninggalkan kamar itu. Ia segera menuju dapur terlebih dahulu untuk membantu puteranya memasak bubur encer dan air teh, kemudian menyuruh puteranya melayani Bu Beng Kwi sebaik mungkin.

"Layanilah dia baik-baik, anakku. Dia telah sadar dan tentu akan sembuh kembali. Ingat, kalau ada apa-apa cepat beritahu aku. Aku ingin sekali melihat dia sembuh kembali seperti sediakala."

"Ibu, susah benarkah hatimu ketika Suhu sakit?" Han Le tiba-tiba bertanya, tangan kanan memegang panci bubur dan tangan kiri cerek teh.

"Tentu saja, bukankah kasihan melihat dia menderita?"

"Ibu sangat mencinta Suhu, ya? Seperti juga aku."

"Tentu, Henry. Dia orang baik."

"Dia orang baik, Ibu. Apakah Ayah dulu juga sebaik Suhu? Suhu selalu bercerita bahwa Ayahku adalah orang yang paling baik dan paling gagah di dunia ini, dan selalu berpesan kepadaku agar aku kelak menjadi orang gagah seperti Ayahku." Sheila menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.

"Ayahmu juga orang baik sekali, akan tetapi, gurumu juga tidak kalah baik. Engkau boleh menjadi seperti Ayahmu kelak, atau seperti gurumu. Sama saja. Mereka berdualah orang-orang yang paling baik di dunia ini bagiku."

"Ibu, berapakah usia Ayah ketika dia meninggal dunia?" Sheila menatap wajah anaknya dengan alis berkerut, tidak tahu apa yang terkandung di hati puteranya dengan pertanyaan itu, namun ia menjawab juga,

"Masih muda sekali, Henry, baru dua puluh tahun lebih..." Anak itu memandang Ibunya dengan sinar mata tajam yang mengandung penasaran dan keheranan.

"Ayah masih begitu muda kenapa meninggal? Ibu hanya mengatakan bahwa Ayah tewas sebagai pahlawan, seorang pejuang yang gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana matinya, Ibu? Apakah dalam pertempuran?"

Ibu muda itu menggeleng kepala. memang ia belum menceritakan tentang kematian suaminya kepada Han Le, akan tetapi diam-diam, janda ini tidak pernah dapat melupakan orang yang telah membunuh suaminya secara kejam. Koan Jit! Nama itu tak pernah dapat terlepas dari ingatannya, nama yang berlumuran darah suaminya, yang diingat dengan kebencian yang sedalam lautan dan setinggi langit. Koan Jit pembunuh suaminya yang tercinta, Koan Jit manusia yang dianggapnya paling keji dan paling jahat di dunia ini. Walaupun ia mendengar betapa kemudian Koan J it tewas dalam perjuangan sebagai seorang gagah perkasa yang mengorbankan nyawa demi keselamatan para pimpinan pejuang yang ditawan musuh, seperti yang didengarnya dibicarakan oleh para pejuang rakyat, namun kebenciannya tak pernah dapat terhapus dari dalam hatinya.

Semula memang ia bercita-cita untuk mengusahakan agar puteranya belajar ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi agar dapat membalaskan kematian Ayahnya dan agar puteranya itu kelak dapat membunuh Koan Jit yang jahat. Akan tetapi setelah mendengar kematian Koan Jit, iapun merasa kecewa dan menyesal, dan mengambil keputusan untuk tidak bercerita tentang musuh besar yang sudah tewas itu kepada anaknya. Kini cita-citanya berubah dengan sendirinya, dan ia hanya mengharapkan puteranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, seorang pendekar dan pahlawan bagi rakyatnya. Akan tetapi kini, tiba-tiba saja puteranya bertanya tentang Ayahnya. Ia tidak mungkin menyembunyikan lagi dan memang merupakan hak mutlak puteranya untuk tahu akan keadaan mendiang Ayahnya yang belum pernah dilihatnya itu karena Ayahnya tewas selagi Henry berada dalam kandungan.

"Tidak, anakku. Ayahmu tidak tewas dalam pertempuran dan hal ini memang membuat hatiku penasaran bukan main. Kalau Ayahmu tewas dalam perjuangan, selagi bertempur dengan musuh, maka kematiannya itu akan mengharumkan namanya. Akan tetapi tidak, Ayahmu tewas karena perbuatan seorang manusia iblis yang amat jahat, seorang manusia yang berhati kejam melebihi iblis, yang dengan curang telah membunuh Ayahmu."

"Siapakah orang itu, Ibu?"

"Namanya Koan Jit, dan dia sebetulnya adalah Suheng dari Ayahmu sendiri."

"Ah! Ah, kenapa Suheng membunuh Sutenya? Di mana orang kejam itu sekarang, Ibu?" Wanita itu menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.

"Dia telah mati, anakku."

"Ahh! Bagaimana dia sampai membunuh Ayah, Ibu? Aku ingin sekali mendengarnya." Sheila lalu menceritakan tentang Gan Seng Bu, Ayah puteranya yang menjadi seorang pendekar dan pejuang yang gagah perkasa.

Thian-tok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, mempunyai tiga orang murid. Murid pertama adalah Koan Jit yang menjadi amat lihai dan mewarisi kejahatan gurunya, menjadi seorang tokoh yang ditakuti seperti iblis saking jahat, cerdik dan lihainya. Murid kedua adalah Ong Siu Coan yang sekarang menjadi pemimpin barisan pemberontak Tai Peng yang amat terkenal dan telah menguasai seluruh Nan-king dan daerahnya itu. Murid ketiga adalah Gan Seng Bu. ternyata tiga orang murid itu mempunyai watak yang berbeda-beda. Koan Jit menjadi seorang yang jahat dan palsu di samping kelihaiannya. Ong Siu Coan menjadi seorang yang memiliki.ambisi besar ingin menjadi Kaisar. Gan Seng Bu berwatak sederhana dan gagah perkasa.

Biarpun gurunya seorang datuk sesat, namun dia sendiri menentang kejahatan dan menjadi seorang pendekar, bahkan pejuang yang gagah perkasa. di dalam perjuangannya ini, dia menyelamatkan Sheila yang kemudian menjadi isterinya. Ketika Koan Jit menyusup dan mengekor kepada bangsa asing kulit putih, menjadi seorang perwira dari orang barat, dia menggunakan muslihat untuk mendatangkan Gan Seng Bu dan Sheila yang sedang mengandung ke markas pasukan barat. Di sini Gan Seng Bu ditangkap dan dibujuk oleh orang kulit putih untuk membantu mereka seperti Koan Jit. Namun Gan Seng Bu tidak sudi dan akhirnya dia oleh orang kulit putih diserahkan kepada Koan Jit. Koan Jit mengajak Sutenya itu mengadu kepandaian, Gan Seng Bu melawan, namun ketika Koan J it terdesak, dia mempergunakan pistol dan tewaslah Gan Seng Bu di tangan Koan Jit yang licik itu.

"Demikianlah, anakku. Aku membawa jenazah Ayahmu ke dusun dan engkau sudah melihat kuburannya," kata Sheila menghentikan ceritanya. Han Le mengangguk-angguk. Kuburan itu sudah dikenalnya dengan baik, Kuburan Ayahnya dan dalam benaknya, kalau dia mengingat tentang Ayahnya, yang nampak hanyalah gundukan tanah itu saja.

"Lalu bagaimana matinya Koan Jit manusia jahanam itu, Ibu?" tanyanya dengan suara mengandung kebencian. Sheila menarik napas panjang.

"Tuhan agaknya tidak menghendaki agar kita membalas dendam kematian Ayahmu, Henry. Entah apa sebabnya, aku mendengar berita bahwa manusia jahanam itu telah berubah sama sekali. Dia bahkan membantu para pejuang, dan demi menyelamatkan para pimpinan pejuang yang tertawan, dia rela mengorbankan nyawanya. Dia tewas dalam usahanya yang berhasil, yaitu membebaskan para pimpinan pejuang yang tertawan musuh."

"Jadi kalau begitu, di antara tiga orang murid dari Kakek Thian-tok itu, yang dua orang telah tewas dan tinggal seorang lagi yang bernama Ong Siu Coan itu, Ibu? Kalau begitu, dia adalah paman guruku. Kaukatakan tadi bahwa dia telah menjadi pemimpin pasukan besar yang berhasil?"

"Dia juga jahat sekali!" Sheila berkata.

"Tahukah engkau siapa pasukan yang telah membuat kita lari mengungsi, bahkan yang hampir mencelakakan kita pada waktu kita lari mengungsi itu? Dan siapa pula orang-orang yang telah menyerang gurumu sehingga terluka? Mereka itu adalah pasukan Tai Peng, dan orang-orang yang menyerang gurumu itu adalah tokoh-tokoh Tai Peng, anak buah dari Ong Siu Coan itulah!"

"Ahhh...!" Anak itu tebelalak, merasa kecewa sekali.

"Kalau begitu, dua orang Suheng dari mendiang Ayah itu jahat semua, yang baik hanya Ayah seorang, sayang dia telah meninggal dunia."

"Benar, anakku. Akan tetapi, sekarang ada Suhumu, dia seorang yang berilmu tinggi dan berwatak baik sekali, Henry. Jadikanlah dia sebagai contoh, baik dalam belajar ilmu silat maupun wataknya. Bukankah kedua orang Suhengmu itu juga menjadi pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang gagah perkasa? Engkau bahkan harus dapat melebihi mereka, anakku, maka belajarlah yang giat dan taati semua perintah gurumu."

"Tentu saja, Ibu, karena di dalam dunia ini hanya ada dua orang yang kutaati dan kucinta sepenuh hatiku, yaitu Ibu sendiri dan Suhu. Bagiku, Suhu merupakan pengganti Ayah dan aku selalu mentaatinya." Sheila diam saja akan tetapi merasa betapa ada kebahagiaan menyelinap di dalam hatinya karena penyataan anaknya ini. Menjadi pengganti Ayahnya! Dan iapun memejamkan kedua matanya, melamun dan membiarkan semangatnya melayang-layang. Langit di barat itu merah sekali. Mugkin inilah yang menyebabkan bukit di mana tinggal Bu Beng Kwi itu olehnya diberi nama Bukit Awan Merah. Setiap senja, langit di barat menjadi merah seperti terbakar, membentuk segala macam bentuk aneh-aneh, dan warna merah itu dihias warna perak dan kebiruan di sana-sini, membat pemandangan yang luar biasa indahnya.

Bu Beng Kwi seringkali menikmati senja di puncak uang amat sunyi, dimana terdapat lapangan rumput dihias batu-batu hitam menonjol di sana-sini. seperti biasa, dia duduk di atas sebuah batu yang halus dan datar, menghadap ke barat. Akan tetpi sekali ini, dia tidak menikmati keindahan matahari terbenam seperti biasanya, melainkan duduk melamun. telinganya masih berdengung dan suara Sheila dan puteranya masih bergema di dalam telinganya, yaitu percakapan yang dilakukan Ibu dan anak iru beberapa hari yang lalu. Dan sejak mendengar percakapan itu, Bu Beng Kwi lebih banyak termenung di puncak ini, seperti orang kehilangan semangat. dan seperti juga hari-hari kenarin, setiap kali duduk termenung seorang diri di tempat itu, dia seperti orang linglung, bicara sendiri dan kadang-kadang mengepal tinju dan memukul tanah di depannya!

"Harus, aku harus!" Dia menggumam.

"Soalnya hanya ada dua, hidup atau mati! Hasil atau gagal! Aku tidak boleh menjadi seorang pengecut selama hidupku!" Demikianlah, Bu Beng Kwi bicara seorang diri, tanpa memperhatikan pemandaangan yang amat indahnya di kaki langit sebelah barat saja. Akan tetapi ketika ada bayangan orang mendaki buki menghampirinya, dia dapat melihatnya dan seketika sikapnya berobah. Dia cepat membereskan pakaiannya, duduk di atas batu bersila dan bersikap biasa, walaupun dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sehingga terdengar nyaring berdegup di telinganya.

"Taihiap, kenapa masih di sini? Sejak tadi makanan malam telah saya persiapkan, juga kemarin malam dan kemarin dulu malam, akan tetapi tauhiap selalu tidak menyentuh makanan itu. Sudah beberapa hari tauhiap tidak pernah makan. kenapakah, tauhiap? Apakah engkau masih sakit?"

"Tidak, nyonya. Saya sudah sembuh." Sheila datang mendekat, dan duduk di atas batu yang lebih rendah tak jauh dari batu yang diduduki Bu Beng Kwi. Sejenak wanita itu nampak canggung dan ragu, akan tetapi ia selalu menelan ludah dan memaksa diri menyatakan isi hatinya.

"Taihiap, maafkan kelancanganku, akan tetapi... aku merasa seolah-olah Taihiap selalu menjauhkan diri dariku. Karena itu, timbul keraguan di hatiku, timbul perasaan takut kalau-kalau aku telah melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatimu. Taihiap, katakanlah terus terang, apakah kehadiranku di tempat ini sebetulnya tidak kaukehendaki? Apakah... apakah sebetulnya Taihiap membenci aku? Katakanlah terus terang, kebetulan kita mendapat kesempatan untuk bicara berdua di sini." Semua ini memang sudah lama berkecamuk di dalam hati Sheila dan baru sekarang ua kemukakan karena ia merasa tidak tahan tersiksa oleh dugaan-digaan ini.

"Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan tidak senang, apalagi benci terhadap dirimu, Gan-Toanio."

"Kalau begitu, kenapa engkau selalu menjauhkan diri dariku, seperti... seperti orang yang tidak suka bertemu denganku, Taihiap? Padahal aku... aku... selalu berusaha untuk menyenangkan hatimu..." Bu Beng Kwi turun dari atas batu itu dan diapun duduk berhadapan dengan Sheila, di atas batu yang rendah dan lebat. sepasang matanya yang mencorong sinarnya itu menatap wajah Sheila penuh selidik, akn tetapi Sheila juga memandang kepadanya, tanpa ragu-ragu dan tidak menundukkan pandang matanya. sejenak mereka saling pandang dan terdengar Bu Beng Kwi berkata, suaranya gemetar.

"Gan-Toanio, harap engkau suka berterus terang kepadaku. kenapa engkau... demikian baik kepadaku? Engkau bukan saja menyerahkn anakmu dengan tulus ikhlas, akan tetapi engkaupun bekerja mati-matian di sini untuk menyenangkan hatiku. bahkan ketika aku erluka, engkau... ah, tidakkuat aku menerima semua kebaikan itu. Kenapakah, Toanio? Kenapa engkau lakukan semua kebaikan itu? Kenapa engkau begini baik terhadap diriku?" Sheila menghadapi pertanyaan ini dengan tabah dan iapun memandang dengan senyum dan wajah berseri,

"Taihiap, mula-mula aku sendiripun tidak mengerti. Mula-mula karena aku berterima kasih kepadamu bahwa engkau telah menyelamatkan kami dari orang-orang Tai Peng itu. Kemudian, setelah berada di sini, aku merasa berterima kasih dan kagum kepadamu, dan akupun mersa amat iba kepadamu, Taihiap. Rasa iba ini yang membuat aku mau melakukan apa saja untukmu karena aku... aku sayang kepadamu, aku suka kepadamu, aku kasihan kepadamu dan aku cinta kepadamu, Taihiap." Sebagai seorang wanita barat, walaupun merasa kikuk, Sheila tentu saja jauh lebih terbuka daripada wanita umumnya, dan dalam hal cinta mencinta, ia merasa berhak pula mengemukakan isi hatinya dengan terus terang. Ucapan terakhir itu seperti pukulan yang menghantam kepala Bu Beng Kwi. Dia tersentak dan kepalanya terdorong ke belakang, kedua matanya dipejamkan dan ada rintihan halus keluar dari dadanya, tertahan di kerongkongannya. sejenak dia memejamkan mata dan tidak menjawab. Sheila memandangnya dan wanita ini merasa terharu.

"Taihiap, aku adalah seorang wanita asing, berkulit putih dan myngkin engkau berjiwa pejuang benci kepada kulit putih. Akan tetapi, kasihanilah aku karena di tempat ini aku menemukan kebahagiaan yang selama ini tak pernah kurasakan semenjak suamiku tewas. Aku merasa bahwa di sinilah tempatku, di sisimu, dan aku ingin melayani semua kebutuhanmu selama hidupku, Taihiap. Hanya engkau seorang yang dapat kegantungi nasib kami, aku merasa aman tenteram, bahagia dan tidak kekurangan sesuatu." Terdengar Bu Beng Kwi menarik napas panjang dan bibirnya berbisik,

"Ya Tuhan, godaan dan siksaan apalagi yang harus hamba derita sebagai hukuman dosa hamba...?" Karena bisikannya lirih sekali dan tidak terdengar oleh Sheila, wanita ini bertanya,

"Taihiap, apa yang kau katakan?" Inilah saatnya, pikir Bu Beng Kwi. selama beberapa hari ini, bahkan lebih lama lagi, dia tersiksa oleh keputusan yang harus diambilnya. memang membutuhkan keberanian yang amat besar, dan bahkan mungkin akan mengorbankan seluruh sisa hidupnya, mengorbankan harapannya, kebahagiaannya dan segala-galanya. Ini putusan untuk membukanya sekarang juga.

"Sheila..." Panggilan yang baru pertama kali keluar dari mulutnya itu kaku dan asing, namun terdengar merdu bagi Sheila yang memandang dengan wajah berseri. betapa ia sudah lama mengharapkan pendekar itu akan menyebut namanya begitu saja, bukan nyonya atau Gan-Toanio seperti biasanya, dengan sikap hormat dan dingin sekali.

"Ya, Taihiap...?" jawabnya dengan suara gemetar pula penuh harap cemas.

"Selama hidupku, aku bergelimang dengan dosa, bahkan aku tidak pernah mengerti, tidak pernah dapat merasakan apa artinya cinta. Yang ada padaku selama itu hanyalah nafsu semata, kejahatan, kebencian dan kekejaman. Akan tetapi sekarang, setelah aku menjadi tua, setelah aku menjadi buruk, menjadi cacat, aku... aku telah jatuh cinta... kepadamu ahhh..." Akan tetapi Sheila tersenyum dan iapun mendekat, memegang tangan pendekar itu.

"Taihiap! Betapa bahagianya hatiku mendengar itu, Taihiap! Apa salahnya kalau orang yang semulia engkau ini jatuh cinta?"

"Akan tetapi aku sudah tua, usiaku sudah setengah abad".

"Cinta tidak mengenal usia, Taihiap, cinta itu kekal dan suci

"Tapi, aku yang begini buruk, seperti setan... siapapun merasa jijik melihatku, apalagi seorang wanita sehalus dan selembut engkau..."

"Tidak, Taihiap! Engkau seorang laki-laki sempurna, engkau mulia dan cacatmu hanyalah cacat lahiriah belaka, hanya sedalam kulit. Siapa jijik kepadamu? Aku tidak! Aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu... siapa bilang jijik...?" Dan dalam kebahagiaannya mendengar bahwa pria yang dipujanya ini ternyata juga mencintanya, hal yang sama sekali tak pernah dibayangkannya,

Bahkan agak mengejutkan karena tadinya ia mengira bahwa pria itu benci kepadanya, Sheila lalu merangkul dan mencium bibir Bu Beng Kwi dengan penuh perasaan cintanya! Sedu sedan keluar dari dalam dada Bu Beng Kwi, tertahan di tenggorokannya dan menjadi rintihan ketika dia merasakan bibir yang lembut dan hangat wanita itu menyentuh bibirnya. Ingin dia meronta dan menolak, namun seluruh badannya seperti lumpuh dan dia tidak dapat menahan kedua lengannya yang penuh gairah merangkul dan mendekap, kemudian menekan muka wanita itu ke dadanya, seolah-olah dia ingin menyimpan tubuh wnita itu seluruhnya ke dalam hatinya. Akan tetapi, dia sadar dan dengan cepat, namun lembut, dia melepaskan rangkulannya, bahkan melepaskan diri dari rangkulan Sheila, bangkit berdiri dan melangkah mundur lima langkah.

"Sheila, jangan... jangan lagi sentuh diriku... ah, aku mohon padamu, jangan engkau siksa hatiku lagi... lebih baik engkau bunuh aku sekarang juga, Sheila..." Dan tiba-tiba Bu Beng Kwi menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, menyerahkan pedang itu kepada Sheila, mengulurkan gagangnya ke arah wanita itu. Sheila juga bangkit berdiri dan memandang terbelalak, mukanya pucat dan iapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.

"Taihiap, apa artinya ini...?" tanyanya, penuh tuntutan karena ia sama sekali tidak mengerti akan sikap pria itu.

"Sheila, aku seorang laki-laki yang buruk rupa, cacat, dan usiaku sudah lenjut, sudah setengah abad lebih dan engkau masih muda, baru tiga puluh tahun lebih, dan engkau cantik jelita. Aku tidak berhak menyeretmu ke dalam ketuaan dan keburukan. Dan engkau berbudi agung dan mulia, sebaliknya aku... ah, engkau tidak tahu orang macam apa aku ini..."

"Aku tahu, Taihiap. Engkau adalah seorang pria yang mulia, yang gagah perkasa, dan dibalik kecacatanmu itu engkau menyembunykan cinta kasih yang suci, engkau sorang berilmu tinggi, penentang kejahatan. Aku memujimu, Taihiap, aku mengagumimu dan aku mencintaimu..."

"Tidak...! Tunggu dulu, Sheila. buka matamu baik-baik dan lihatlah siapa aku...!"

Suara itu menggetar dan tidak jelas, dan tangan kiri Bu Beng Kwi meraba mukanya, kemudian jari-jari tangannya mengupas atau menarik kulit muka itu dan... muka itu berobah. Kiranya muka yang seperi setan itu, yang buruk sekali pletat-pletot, yang matanya besar sebelah, hidungnya nyerong dan mulutnya miring, telinganya kecil, semua itu hanyalah semacam topeng yang amat tipis, seperti kulit dan kini setelah topeng itu dilepas, nampaklah wajah yang tidak dapat dibilang buruk, tidak cacat, dengan kulit muka agak gelap. Begitu melihat muka ini, sepasang mata yang sudah lebar dari Sheila itu terbellak menjadi semakin lebar, mukanya menjadi pucat seperti tidak ada darahnya lagi, bapasnya terhenti dan bibirnya berkemak-kemik,

"... kau... kau... Koan... Koan... Koan Jit...!" tiba-tiba ia menjerit nyaring sekali dan tubuhnya terkulai.

"Ibuuuu... Ibuuuu...!" dari jauh terdengar suara Han Le memanggil. Karena tidak meliht Ibunya dan gurunya, anak ini mencari-cari dan akhirnya dia tiba di kaki bukit dan memanggil-manggil. Bu Beng Kwi mengenakan lagi topengnya, lalu mengurut tengkuk dan punggung Sheila yang tadi disambarnya dengan tangan sehingga wanita itu tidak sampai jatuh terbanting ketika terkulai pingsan. Begitu siuman, Sheila terisak dan teringat, lalu menutupi mulut yang hendak menjerit lagi, kini terbelalak melangkah mundur sambil menatap wajah yang sudah mengenakan topeng setan itu lagi.

"Mimpi... mimpikah aku...? Taihiap... kau... kau"?"

"Engkau tidak mimpi, aku bukanlah pendekar budiman seperti yang kau sangka, Sheila. Aku adalah manusia terkutuk pembunuh suamimu, perusak kebahagiaan hidupmu, akulah manusia iblis yang amat kejam dan jahat itu. Nah, tusuklah dada ini dengan pedang, terimalah pedang ini dan balaslah kematian suamimu agar lega hatimu, lega pula hatiku. Aku siap menerima hukuman di tanganmu..."

Kini tanpa ragu-ragu lagi Sheila menerima pedang itu, digenggamnya erat-erat. Wajahnya masih pucat dan di dalam keremangan malam yang mulai tiba karena matahari sudah sejak tadi tenggelam, ia siap menusukkan pedang itu. Ia mengangkat muka memandang wajah itu, wajah yang amat buruk, wajah yang mendatangkan rasa iba dan kasih sayangnya, dan tiba-tiba tangan yang memegang pedang itu gemetar. Akan tetapi ia menguatkan hatinya, mengingat bahwa di balik wajah itu yang hanya sehelai topeng terdapat wajah musuh besarnya, wajah yang amat dibencinya, wajah Koan Jit pembunuh suaminya. Tangannya menjadi kuat

"Ibuuuu...!" Tiba-tiba terdengar teriakan Han Le tak jauh di belakangnya, dan seketika tangan itu menjadi lemas kembali. Hampir saja ia membunuh orang yang menjadi penolongnya, penolong puteranya, guru puteranya, dan laki-laki yang dicintanya! Kembali Sheila mengeluarkan suara menjerit, suara yang melengking karena keluar dari dalam hatinya, suara lengkingan yang mengandung rasa nyeri bukan main, pedih perih dan duka, dan dibuangnya pedang itu seperti membuang seekor ular yang menjijikkan. Kemudian, sambil terisak ia membalik.

"Ibu...! Ada apakah...?" Han Le sudah tiba di situ dan memegang tangan Ibunya.

"Henry... Oohhh... Henry anakku...!" Sheila merangkul anaknya dan menangis tersedu-sedu.

"Ibu, Ibu... ada apakah...?" Han Le mengguncang tangan Ibunya dan menjadi bingung, juga penuh kekahawatiran. Dia melihat gurunya hanya berdiri sambil menundukkan mukanya, seperti patung.

"Suhu ada apakah?" Akan tetapi Suhunya tidak menjawab.

"Henry, mari kita pergi dari sini. sekarang juga!" Tiba-tiba Sheila, sambil masih terisak, memegang lengan anaknya dan ditariknya anaknya, diajaknya lari menuruni bukit itu.

"Bu, pergi ke mana? Ada apa? Mengapa?"

"Diam! Kau taati saja kata-kataku. Kita pergi sekarang juga!" Dan sambil berlari-lari Sheila menarik tangan puteranya, diajak pergi dari situ, pergi meninggalkan pegunungan itu, tanpa tujuan tertentu, kemana saja asal pergi jauh meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bu Beng Kwi. Dan di sepanjang perjalanan yang semalam suntuk tanpa pernah mau berhenti, Sheila terus menerus menangis, membuat Han Le menjadi bingung dan khawatir sekali. Berulang kali dia bertanya kepada Ibunya.

"Ibu, apakah yang telah terjadi? Kenapa kita harus pergi meninggalkan Suhu seperti ini? Begini tiba-tiba dan kita meninggalkan semua pakaian kita?" Ibunya diam saja, hanya terisak sambil berjalan terus, tersaruk-saruk.

"Ibu, kita hendak pergi ke manakah?" Kembali tidak ada jawaban.

"Apakah Ibu bertengkar dengan Suhu? Apakah Suhu melakukan sesuatu yang membuat Ibu marah? Ibu, kenapa Ibu memisahkan aku dari Suhu? Aku sayang kepadanya, aku ingin belajar silar darinya. Ibu, kenapakah, Ibu? Apa yang telah terjadi?" Namun Ibunya diam dalam seribu bahasa, hanya menangis dan terus menarik tangannya. hal ini membuat hati kecil Han Le menjadi penasaran sekali. Dia berhenti melangkah.

"Ibu, berhentilah. Aku tidak ingin pergi, Ibu, aku tidak mau meninggalkan Suhu." Melihat ini, Sheila berhenti dan menahan isaknya, Di malam yang diterangi bintang-bintang sejuta di langit itu, hatinya masih penuh dengan perasaan marah dan kecewa, bingung dan gelisah. Sikap anaknya menambah perasaan marahnya.

"Henry, dengarkan baik-baik. Engkau boleh pilih, ikut aku atau gurumu. Kalau engkau berat kepada gurumu, kembalilah dan biarkan aku pergi sendiri, biarkan aku hidup atau mati sendiri..."

"Ibu...!" Henry menubruk dan merangkul pinggang Ibunya sedangkan wanita itu menangis lagi.

"Ibu, tentu saja aku akan ikut engkau. Akan tetapi setidaknya, katakanlah mengapa kita harus pergi malam-malam begini, dengan mendadak, meninggalkan Suhu? Apakah Ibu bertengkar dengan Suhu"

"Ya..."

"Apa sebabnya?"

"Engkau... engkau anak kecil, tidak boleh tahu dan tidak mengerti. Jangan tanyakan sebabnya. Mari, kita lanjutkan perjalanan." Melihat kenekatan Ibunya, Han Le tidak berani membantah lagi, namun diam-diam hatinya penuh dengan rasa penasaran. Sambil melangkah, setelah mereka berdiam diri dan terus berjalan sampai lama sekali, dia akhirnya mengeluarkan isi hatinya yang ditahan-tahan sejak tadi, dengan hati-hati.

"Ibu, begitu besarkah kesalahan Suhu sehingga Ibu tidak dapat memaafkannya?"

"Aku tidak dapat memaafkannya."

"Kenapa?"

"Jangan tanyakan itu."

"Tapi, kata Ibu, Suhu adalah seorang yang paling mulia di dunia ini..."

"Henry!" Sheila setengah menjerit.

"Jangan bicarakan akan hal itu lagi, jangan sebut-sebut dia didepanku!" Han Le tidak berani bicara lagi dan mereka melanjutkan perjalanan, dan fajar telah mulai nampak di ufuk timur. Sementara itu, setelah Sheila dan Han Le pergi meninggalkannya, Bu Beng Kwi merasa seolah-olah seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Dia roboh berlutut dan menangis seperti anak kecil, sesenggukan dan sama sekali dia tidak mampu mengendalikan perasaannya. Segala hal yang terjadi di masa lalu, terbayanglah dan membuat hatinya semakin tertusuk dan perih. Sudah lama sekali dia menyesali diri, sudah lama sekali dia kembali ke jalan benar, berubah sama sekali dari jalan hidupnya yang lalu. Namun, belum pernah kejahatannya di masa lalu membuat dia demikian menyesal seperti saat ini!

Belasan tahun yang lalu, dia terkenal sebagai Hek-eng-mo (Iblis Bayangan Hitam), ketika namanya masih Koan Jit, murid pertama dari datuk sesat Thian-tok. Dia tidak mau kalah oleh gurunya dalam kesesatan. kejahatannya membuat dia ditakuti dan disegani orang. Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukannya. Sampai akhirnya dia menghambakan diri kepada orang kulit putih untuk mencari kedudukan. Dia diangkat menjadi perwira dan memperoleh kepercayaan dan kamuliaan. Kemudian dia membunuh Gan Seng Bu, Sutenya sendiri yang dianggap sebagai orang berbahaya baginya. Dibunuhnya dengan curang ketika dia tidak mampu mengalahkannya, yaitu dalam perkelahian dan dia mempergunakan pistolnya. Akan tetapi akhirnya, semua cita-citanya gagal. Dia kehilangan harta bendanya yang diambil oleh gurunya sendiri bersama Ong Siu Coan, kehilangan semua pusaka termasuk Giok-Liong-Kiam.

Bahkan dia kehilangan kedudukannya, dan dalam keadaan putus asa ini, dia bertemu dengan Siauw-Bin-Hud, Kakek sakti tokoh besar Siauw-Lim-Pai, dan Kakek inilah yang menyadarkannya, memberinya sebuah ilmu silat yang berdasarkan ayat-ayat suci dari kitab suci Agama Buddha. Dan dalam menghafal isi ayat-ayat inilah dia tersadar dan seluruh kehidupannya berubah sama sekali. Dia menyadari semua dosanya, menyesal dan bertaubat. bahkan dia lalu turun tangan menolong ketika para pimpinan pejuang ditawan oleh pasukan pemerintah Ceng dan pasukan kulit putih. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan para pimpinan pejuang itu, membiarkan jalan terowongan menuju ke tempat tahanan itu runtuh menimpa dirinya untuk menutup terowongan itu sehingga pasukan musuh tidak mampu melakkan pengejaran terhadap para pimpinan pejuang yang meloloskan diri.

Dia masih teringat akan semua peristiwa itu. Tentu orang-orang, baik dari pihak para pendekar pejuang maupun dari pasukan musuh, merasa yakin bahwa dia sudah tewas, tubuhnya hancur dan rusak teruruk terowongan yang runtuh itu. Akan tetapi, agaknya Tuhan belum ingin mencabut nyawanya. Ledakan alat peledak itu entah bagaimana, tidak membuat di mati, juga ketika terowongan itu runtuh, ada batu- batu besar yang runtuh terlebih dahulu dan batu-batu inilah yang menyelamatkannya karena batu-batu ini menahan semua reruntuhan dari atas. Biarpun tubuhnya luka-luka, lengannya patah-patah sehingga menjadi bengkok dan kakinya juga patah-patah sehingga kini dia terpincang-pincang, namun akhirnya dia dapat lolos dan membuat lubang keluar dari tumpukan batu-batu itu dan membebaskan diri! Sampai berbulan-bulan dia rebah kesakitan, menderita antara mati dan hidup.

Namun akhirnya diapun sembuh. Lengan kirinya bengkok-bengkok, kakinya pincang sebelah dan punggungnya bongkok. Untung bahwa mukanya tidak cacat, akan tetapi dia tidak mau lagi dunia mengetahui bahwa orang yang bernama Koan Jit masih hidup. Diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia tidak mati saja. Terpaksa dia lalu mempergunakan sebuah topeng yang tipis dan seperti kulit, untuk menutupi mukanya dan muncullah tokoh Bu Beng Kwim sedangkan tokoh Koan Jit sudah dianggap tidak ada kagi di dunia ini. Bahkan ketika dia mengambil dua orang murid yang berbakat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dia adalah Bu Beng Kwi dan dua orang murid inipun tidak pernah melihat wajah Suhu mereka sebagai Koan Jit! Dia sudah mengambil keputusan yang tetap, bahwa dia akan mati sebagai Bu Beng Kwi dan selamanya tidak akan pernah membuka kedoknya.

Namun, agaknya Tuhan menhendaki lain! Secara kebetulan sekali, hari itu dia melihat pasukan Tai Peng menganggu para pengungsi. Dia turun tangan dan dia dihadapkan dengan Sheila dan puteranya! Tentu saja dia mengenal Sheila dan sudah ingin meninggalkannya. Akan tetapi kembali Tuhan menghendaki lain. Putera Sheila itu terluka dan wanita itu mohon kepadanya untuk mengobatinya. Terpaksa dia tidak dapat menolaknya, mengobati Han Le dan melihat bakat baik pada diri Han Le, timbul keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi murid. Bagaimanapun juga, anak itu adalah keponakannya sendiri. Bukankah anak itu putera dari Sutenya, Gan Seng Bu, yang mati di tangannya sendiri? Biarlah dia menebus dosanya dengan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Han Le!

Demikanlah maksudnya, dan tidak ada maksud lain. Bahkan ketika terpaksa menerima Sheila yang tidak dapat terpisah dari puteranya, dia tidak mempunyai niat lain. Biarkan Ibu itu menemani puteranya dan setelah tamat belajar, Han Le tentu akan pergi bersama Ibunya. Itu kehendaknya. Namun, Tuhan menghendaki lain! Tanpa diduganya sama sekali, dia telah jatuh cinta kepada Sheila! Dahulu sekali, ketika Sheila menjadi isteri dari Sutenya, yaitu Gan Seng Bu, pernah dia memandang wanita itu dengan kagum. Namun, ketika itu, yang timbul dalam perasaannya hanyalah nafsu saja, nafsu berahi seperti kalau dia melihat wanita cantik lainnya. Akan tetapi sekarang lain lagi! Dia benar-benar jatuh cinta! Dia merasa kasihan, kagum dan juga berdosa terhadap wanita itu, yang kehilangan kebahagiaannya karena dia!

Dan dia melihat betapa wanita itu sungguh memiliki watak yang amat halus, mulia dan membuat dia merasa tergila-gila. Namun, semua ini ditahannya dan dia rela tersiksa oleh cintanya ini sampai hampir setiap malam dia menangisi dirinya, gelisah dan rindu seorang diri! Dia berniat untuk mempertahankan diri, merahasiakan cintanya dan tidak akan mengaku, tidak akan mengganggu Sheila. Akan tetapi, hal yang sama sekali tak pernah disangka atau diimpikannyapun terjadilah. Sheila jatuh cinta pula kepadanya! Sheila, wanita yang demikian cantik jelita, yang demikian halus budi pekertinya, wanita yang semulia-mulianya wanita, masih muda dan cantik, dapat jatuh cinta kepada seorang manusia berwajah setan seperti dia! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercaya, tidak dapat diterimanya.

Namun, dia melihat buktinya ketika dia dalam keadaan sakit. Betapa Sheila menjaga dan merawatnya tanpa memperdulikan kesehatan dirinya sendiri. tidak makan tidak tidur sampai tiga hari. dan seringkali menangisinya, mengira dia pingsan dan tidak menduga bahwa dia mendengar semua ucapan Sheila yang jelas menyatakan harapan dan cintanya. Hal inilah yang amat menyiksa hatinya. Dia jatuh cinta kepada Sheila, hal ini masih belum hebat dan kiranya dia akan dapat menahan perasaannya, diam-diam membiarkan hatinya yang menderita siksaan penuh rindu dendam, penuh rasa cinta yang tak dapat disampaikannya. Akan tetapi, sungguh merupakan hal yang luar bisa hebatnya, yang amat menyiksa hatinya ketika dia mendapat kenyataannya bahwa Sheila juga mencinta dirinya, mencinta dengan tulus ikhlas, cinta yang murni.

Cinta mereka berdua bukan sekedar cinta nafsu belaka, bukan karena dorongan berahi. Cinta mereka digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam lagi, membuat mereka masing-masing merasa betapa mereka saling membutuhkan dan agaknya tidak akan dapat hidup bahagia kalau tidak hidup bersama. Dia harus mengakhiri siksa keraguan ini dengan kenyataan. Sheila amat membenci kepada Koan Jit dan menaruh dendam setinggi langit. Akan tetapi, Sheila juga mencinta Bu Beng Kwi! Maka, dia harus membiarkan wanita ini memilih satu di antara dua. Benci atau cinta, walaupun hal itu berarti mati atau hidup baginya. Dia harus membuka kedoknya, memperkenalkan diri, membuka rahasianya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit. Hal ini membutuhkan keberanian yang luar biasa. Belum pernah selama hidupnya dia dihadapkan dengan rasa takut dan khawatir seperti itu.

Dan dia tetap melakukannya. Dan Sheila telah memilih. Sheila tetap membenci Koan Jit dan karena ternyata oleh wanita itu bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, maka Sheila telah mengambil keputusan. Pergi meninggalkannya. Pergi begitu saja, membawa puteranya, muridnya yang amat disayangnya! Habislah sudah! Bahkan Sheila masih menambahkan penderitaannya, yaitu bahwa wanita itu tidak mau membunuhnya! Membiarkan dia hidup untuk menderita siksa batin yang lebih hebat dan lebih lama lagi. Kalau saja Sheila tadi menusukkan pedang itu, dia tentu sudah mati dan siksaan itupun sudah habis. Kini dia menangis seorang diri, mulai disiksa oleh perasaan sesal, kecewa, duka yang amat mendalam, merasa betapa hidupnya kosong dan sunyi, membuat dia kesepian ditinggalkan dua orang yang paling disayangnya dalam hidupnya. Apa bedanya ini dengan mati?

Tiba-tiba Bu Beng Kwi menghentikan tangisnya, duduk bersila sambil termenung. Perlahan-lahan mulutnya membentuk senyum, biarpun senyum yang menyedihkan, senyum mengandung duka. Dia tidak takut mati, kenapa takut siksaan ini? Bukankah dia selalu mengharapkan hukuman bagi dosa-dosanya? Dan kini hukuman itu tiba, hukuman dari satu di antara kejahatannya. Mengapa dia harus menerimanya dengan keluh kesah? Biarlah, selamat datang hukuman, datanglah dan siksalah diriku lahir batin, biar lunas hutangku, demikian pikiran ini menenangkan batinnya. Diapun lalu bangkit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari puncak bukit itu. Setelah berjalan dengan susah payah, semalam suntuk, pada pagi harinya, Sheila dan Han Le berhenti di tepi sebuah hutan karena sudah tidak kuat lagi bagi Sheila untuk melanjutkan gerakan kakinya. Ia jatuh terduduk dan mengeluh sambil memijit-mijit kedua kakinya.

"Ibu lelah...?" Han Le mendekat dan anak ini mengurut-urut betis Ibunya. Sheila merasa terharu dan merangkul anaknya sambil menangis. Sudah mendesak di ujung lidah Han Le untuk bertanya lagi kepada Ibunya tentang kepergian mereka, namun dia teringat bahwa Ibunya tidak suka mendengar pertanyaan itu, maka diapun diam saja.

"Aku lelah dan ingin beristirahat sebentar, anakku." Melihat Ibunya merebahkan diri begitu saja di atas rumput, Han Le merasa kasihan sekali dan dia teringat betapa mereka tidak membawa apapun. Andaikata ada selimut, atau setidaknya baju mantel panjang, tentu dia dapat menyelimuti tubuh Ibunya yang nampak kedinginan karena hawa udara di pagi hari itu amatlah dinginnya. Melihat betapa sebentar saja Ibunya sudah pulas, Han Le yang juga merasa lelah itu rebah di dekat Ibunya dan tak lama kemudian diapun sudah tidur pulas. Matahari telah naik tinggi ketika Sheila terbangun dari tidurnya, Ia merasa tubuhnya hangat dan ketika ia melihat ke bawah, ternyata tubuhnya telah tertutup selimut. Juga tubuh Han Le yang masih pulas itu tertutup selimut tebal dan ia mengenal selimut mereka sendiri yang mereka tinggalkan di dalam kamar mereka.

"Ehh...?" Sheila merasa terkejut dan terheran, apalagi ketika ia melihat dua buntalan pakaian berada di dekatnya. Ketika ia memeriksanya, ternyata dua buntalan itu terisi pakaiannya dan pakaian Han Le!

"Henry...!" katanya mengguncang-guncang kaki Han Le. Anak itu terbangun dan cepat duduk.

"Ada apakah, Ibu?"

"Apakah semalam engkau mengambil selimut dan pakaian ini?" tanyanya. Han Le memandang selimut yang telah menyelimuti dirinya dan buntalan pakaian itu, menggeleng kepala dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan matanya, mencari penuh harapan. Sheila mengerti maksudnya dan iapun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi keadaan di situ sunyi saja, tidak nampak seorang pun manusia. Seperti juga Han Le, ia dapat menduga bahwa tentu yang menyelimuti mereka dan mengantar buntalan pakaian adalah Bu Beng Kwi. Kalau bukan dia siapa lagi? dan iapun merasa marah, menyepak selimut itu dari tubuhnya.

"Ibu, tentu Suhu yang mengantar ini semua!" Ibunya mengangguk dengan mulut cemberut, lalu mendorong buntalan pakaiannya itu dari dekatnya.

"Ibu, ini adalah pakaian kita sendiri, dan selimut kita sendiri..."

"Hemmm..." Sheila tetap cemberut. Melihat Ibunya bersungut-sungut dan nampak marah, Han Le tidak mau bicara lagi tentang Suhunya dan tanpa bicara dia lalu melipat selimutnya dan selimut Ibunya, memasukkan ke dalam buntalan masing-masing. Hatinya merasa sedih bukan main. Semalam dia masih mengharapkan Ibunya akan mereda kemarahannya dan akan kembali ke Bukit Awan Merah. Akan tetapi sekarang, Suhunya tidak mengharapkan mereka untuk kembali ke sana? Bukankah pengiriman buntalan pakaian itu sama dengan mengusir secara halus? Tak terasa lagi, dua titik air mata turun ke atas pipinya. cepat dua butir air mata itu dihapusnya dengan ujung lengan baju, akan tetapi Sheila masih sempat melihatnya.

"Henry, engkau menangis?" Anak itu memandang Ibunya, menggeleng kepala.

"Aku... aku lapar, Ibu, biar aku akan mencari kelinci atau ayam didalam hutan."



Setelah berkata demikian, Henry lalu lari ke dalam hutan, meninggalkan Ibunya. Sheila duduk termenung, tidak melihat kecerahan matahari pagi yang sudah naik tinggi itu. Hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan, sekelilingnya nampak buruk dan mengganggu. Ia merasa seperti baru saja direnggutkan dari surga dan dicampakkan ke dalam neraka. dan semua ini gara-gara Koan Jit, si jahanam itu! Makin bencilah ia kalau teringat kepda KoanJit. Anehnya, hatinya tidak dapat membenci Bu Beng Kwi si muka buruk itu! Padahal, bukankah Bu Beng Kwi adalah Koan Jit pula? Tidak, ia tidak dapat menerima hal ini, tidak dapat percaya. Bagaikan mimpi saja semua itu! Bagaimana mungkin Koan Jit si muka iblis itu, yang teramat jahatnya, sama orangnya dengan Bu Beng Kwi yang demikian budiman dan mulia?

"Sudahlah, aku tidak mau lagi mengingatnya." Ia menaik napas panjang. Habislah sudah riwayat bersama Bu Beng Kwi itu, habislah sudah harapannya, habislah sudah hidup tenang tenteram penuh damai dan bahagia di Bukit Ayam Merah. Ia tidak perlu menceritakan hal itu kepada Henry. Anak itu masih terlalu kecil untuk menderita kecewa dan menyesal seperti yang dideritanya.

Ia tahu betapa puteranya itu mencinta gurunya. Akan merupakan pukulan batin yang amat hebat kalau ia memberitahu anaknya bahwa Suhunya itu sebetulnya bukan lain adalah Koan Jit, musuh besar mereka yang tadinya disangka tewas akan tetapi ternyata masih hidup itu. Tidak, Henry tidak boleh tahu, Kelak, kalau anak itu sudah dewasa dan memiliki kepandaian tinggi, baru akan diberitahu dan kalau mungkin, biar anak itu yang akan membunuh Koan Jit, membalaskan kematian Ayah kandungnya. Akan tetapi, harapan untuk menjadikan Henry seorang pendekar perkasa juga kini telah lenyap. Siapa lagi yang akan mampu mendidik Henry seperti Bu Beng Kwi? Sheila tersentak dari lamunannya ketika muncul Han Le yang membawa seekor kelinci gemuk dan seekor ayam hutan gemuk. Kedua binatang itu telah mati!

"Lihat, Ibu! Hanya dengan sambitan batu saja aku dapat membunuh dua ekor binatang ini. Dagingnya tentu lunak dan sedap. Dan lihat apa yang kudapatkan di jalan tadi. Seguci garam! Tentu ditinggalkan seorang pemburu. Sungguh untung sekali. Dengan garam ini kita dapat makan daging yang lezat!" Anak itu tertawa gembira dan Sheila ikut pula tersenyum, menahan lidahnya yang hendak bergerak mengatakan dugaannya bahwa agaknya yang membantu anak itu mendapatkan kelinci, ayam dan garam, tentu sama orangnya dengan yang memberi selimut dan buntalan pakaian pagi tadi! Karena tahu bahwa puteranya lapar dan perutnya sendiripun lapar, tanpa banyak cakap lagi Sheila membersihkan kelinci dan ayam itu, dibantu puteranya, dan mereka lalu memanggang daging kelinci dan ayam itu, setelah diberi garam. Mereka makan dengan lahap dan setelah kenyang dan munum air sumber yang berada di dalam hutan, mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan.

"Ke mana kita akan pergi sekarang, Ibu?" kata Henry sambil menggendong dua buntalan pakaian itu di atas punggungnya. Sheila memandang puteranya dengan hati penuh iba. Ia sendiri tidak tahu kemana harus pergi dan ia tahu benar bahwa kepergiannya meninggalkan tempat yang aman tenteram bersama Bu Beng Kwi itu berarti memulai suatu perjalanan dan petualangan yang penuh dengan kekurangan, kesengsaraan, bahkan bahaya.

"Kemana saja, anakku, asal bisa bertemu sebuah dusun. Kita akan hidup baru, aku akan bekerja dan kita hidup di dusun seperti dulu sebelum kita terpaksa lari mengungsi."

Han Le adalah seorang anak yang cerdik. Melihat betapa wajah Ibunya pucat dan lesu, sinar matanya
layu, dia tidak mendesak karena maklum bahwa pertanyaannya hanya akan membuat hati Ibunya menjadi semakin berduka. Mereka berjalan terus menuju ke selatan, melalui jalan setapak, jalan liar yang membawa mereka menuju ke sebuah gunung yang nampak dari jauh menjulang tinggi sehingga puncaknya tidak nampak karena tertutup oleh awan putih. Ketika mereka mulai mendaki kaki gunung itu, dari bawah nampaklah sekelompok bangunan di lereng gunung. Giranglah rasa hati Sheila dan dengan penuh harapan baru ia berkata kepada puteranya sambil menuding ke arah kelompok bangunan itu,

"Kita pergi kesana, Henry!" Ketika itu matahari mulai condong ke barat dan melihat jaraknya, mungkin pada senja hari itu mereka baru akan dapat tiba di perkampungan yang berada di lereng gunung itu. Akan tetapi baru kurang lebih satu jam mereka mendaki kaki gunung, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan muncul tiga orang laki-laki yang usianya rata-rata tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang serba ringkas, mereka itu bukanlah petani, kalau bukan pemburu tentu orang-orang dari kalangan persilatan.

Apalagi melihat gagang golok nampak tersembul di balik pundak mereka. Diam-diam Sheila merasa terkejut dan khawatir, karena selama ini ia sudah banyak bertemu dengan orang-orang dan dapat menduga bahwa tiga orang itu adalah orang yang biasa mempergunakan kekerasan. Ia menggandeng tangan anaknya, digenggamnya erat-erat dan sambil menundukkan muka, ia berjalan terus sambil menundukkan muka, ia berjalan terus sambil mepet ke pinggir, dengan harapan agar jangan menarik perhatian tiga orang itu. Namun usahanya itu sia-sia belaka. Biarpun ia sudah mencoba untuk menutupi rambutnya, tetap saja nampak segumpal rambut kuning keemasan terjuntai keluar, dan kulit tangannya yang putih itu menarik perhatian tiga orang itu yang segera berhenti dan menghadang di depannya.

"Siapakah kalian dan hendak ke manakah?" terdengar seorang di antara mereka, yang mulutnya tersenyum genit, matanya agak juling, menegur. Sheila mengangkat muka memandang dan ia terkejut. Sebuah wajah yang membayangkan kekejaman, pikirnya. Dan ketika ia mengangkat muka, tiga orang pria itu mengeluarkan seruan kagum. Kiranya wanita yang mereka jumpai adalah seorang wanita kulit putih yang amat cantik! Matanya kebiruan, hidungnya mancung dan bibirnya kemerahan segar.

"Kami Ibu dan anak hendak pergi ke dusun di atas sana," jawab Sheila dengan suara lirih.

"Wah, ia tentu mata-mata Tai Peng yang mengadakan kontak dengan orang kulit putih!" kata orang kedua yang mukanya hitam.

"Atau ia mata-mata bangsa kulit putih yang mengadakan persekongkolan dengan pemberontak Tai Peng!" kata orang ketiga. Mendengar ucapan tiga orang itu, Han Le yang sejak tadi memandang mereka penuh perhatian, segera maju membela Ibunya,

"Ibu bukan mata-mata Tai Peng, juga bukan mata-mata pasukan kulit putih!"

"Anakku berkata benar. Kami adalah rakyat biasa yang terlunta-lunta karena perang dan kami pergi mengungsi, mencari tempat tinggal baru. Kami hendak pergi ke dusun di atas itu." Tiga orang itu saling pandang lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, manis, siapa dapat kau tipu? Engkau seorang wanita kulit putih, mengaku rakyat? Ketahuilah, kami bertiga adalah perwira-perwira pemerintah yang melakukan penyelidikan. Kau dan anakmu kami tangkap untuk pemeriksaan lebih lanjut." berkata demikian, si mata juling sudah menyodorkan tangannya untuk menangkap lengan tangan Sheila. Wanita itu melangkah mundur.

"Jangan ganggu kami, kami tidak bersalah apa-apa!" kata Sheila dengan ketus, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir sekali. Baru sehari saja meninggalkan Bukit Ayam merah, sudah bertemu gangguan. Ah, betapa aman tenteramnya tinggal di Bukit Ayam Merah!

"Eh, engkau hendak melawan perwira pasukan pemerintah? Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa ke markas, daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata orang bermata juling, suaranya mengancam dan kini kembali dia melangkah maju untuk menangkap lengan Sheila.

"Jangan ganggu Ibuku!" Han Le sudah meloncat ke depan Ibunya dan menjaga Ibunya dengan sikap gagah. Biarpun baru kurang dari setahun dia belajar silat kepada Bu Beng Kwi, namun dia sudah dapat melihat gerakan si juling tadi yang jelas hendak menangkap lengan Ibunya dan sikapnya juga kurang ajar sekali. Melihat ini, si juling tertawa,

"Ha-ha, anak setan, minggirlah engkau!" katanya dan diapun menampar ke arah kepala Han Le. Akan tetapi dengan gesit, Han Le yang usianya baru hampir empat belas tahun itu mampu mengelak ke samping. Si mata juling tidak memperdulikan lagi kepada Han Le, melainkan menubruk ke arah Sheila. Ingin dia menangkap dan memeluk wanita kulit putih yang cantik itu, karena sejak melihatnya, sudah timbul berahinya. Akan tetapi, tiba-tiba Han Le meloncat ke depan dan dengan gerakan cepat, kakinya menendang sekuat tenaga ke arah sambungan lutut kiri si mata juling.

"Tukk...! Aduhh...!" Si mata juling juga terkejut dan sambungan lutut kirinya yang kena tendang itu tiba-tiba menjadi lumpuh sehingga dia jatuh berlutut dengan kaki kirinya, dan pada saat itu, tangan Han Le sudah memukul dengan jari terkepal ke arah dadanya.

"Dukk...!" Dan tubuh si mata juling itupun terjengkang dan terbanting! Namun, si mata juling itu termasuk seorang perwira Kerajaan Ceng yang cukup tangguh dan memang harus diakui bahwa kekuatan Han Le belum begitu besar. Maka, pukulan itu hanya mendatangkan rasa nyeri dan pengap saja. Si mata juling sudah meloncat bangun dan melotot marah kepada Han Le. mata yang juling kalau dipakai melotot nampak lucu karena bukan Han Le yang dipandangnya, akan tetapi matanya itu melirik ke kanan.

"Bocah keparat, engkau kepingin mampus!" bentaknya.

"Bunuh dia, biar aku tangkap Ibunya!" katanya kepada dua orang temannya. Karena si juling itu ternyata merupakan pimpinan, Kedua orang itupun mentaati perintahnya dan mereka berdua sudah menerjang maju dengan tangan dikepal. Mereka menyerang Han Le dengan keyakinan bahwa sekali terjang dan sekali pukul saja, kepala dan dada anak itu akan remuk dan tewas di saat itu juga. Akan tetapi mereke kecelik.



JILID 09


"Wuuutt! Wuuutt!" Pukulan-pukulan mereka yang dilakukan amat kerasnya itu mengenai angin kosong belaka! Han Le amat lincah dan gesit, dapat mengelak dengan geseran-geseran kaki kanan kiri. Sementara itu si mata juling sudah menubruk Sheila dengan penuh nafsu. Sheila menjerit melihat puteranya dikeroyok dua. Ia lebih mengkhawatirkan anaknya daripada dirinya sendiri dan karena ia memperhatikan puteranya, dengan mudah si mata juling dapat merangkul dan memeluknya, kemudian mencoba untuk menciumnya penuh nafsu. Sementara itu, Han Le yang dapat mengelak beberapa kali itu, berhasil pula menyelinap dan meloncat melalui bawah ketiak si muka hitam dan melihat Ibunya meronta-ronta dalam pelukan si mata juling yang belum juga berhasil menciumnya, Han Le menjadi marah sekali.

"Desss...!" dari belakang, Han Le memukul punggung si mata juling.

"Hekkk...!" Si mata juling terkejut dan untuk sejenak napasnya menjadi sesak. Terpaksa dia melepaskan rangkulannya dari tubuh Sheila, membalik dan marah bukan main.

"Apakah kalian tidak mampu membunuh binatang cilik itu?" bentaknya kepada dua orang pembantunya. Dua orang itu menjadi malu, juga penasaran maka mereka berdua mencabut golok dan menghampiri Han Le dari kanan kiri.

"Henry, larilah...!" Sheila menjerit ketika melihat puteranya diancam dengan golok oleh dua orang itu. Akan tetapi, si juling sudah menubruknya lagi. Kini Sheila dapat meloncat ke belakang dan lari ke belakang sebatang pohon, dikejar oleh si mata juling. Pada saat dua orang yang mengepung Han Le menggerakkan golok, tiba-tiba mereka menjerit kesakitan dan golok mereka terlepas dari tangan! Tangan kanan mereka terasa nyeri dan kaku, seperti terkena tototkan. mereka tidak melihat datangnya batu kerikil yang tadi menyambar dan mengenai lengan mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika si mata juling berhasil menangkap kembali lengan Sheila,

Tiba-tiba diapun menjerit dan melepaskan kembali lengan itu karena tangan kanan yang menangkap itu menjadi kaku dan nyeri seperti ditotok! Sesaat dia dan dua orang kawannya terkejut, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, si mata juling kembali mengulang terjangannya menubruk Sheila, sedangkan dua orang pembantunya sudah mengambil kembali golok mereka dan siap menyerang dan membunuh Han Le. Pada saat itu, secara beruntun menyambar sinar-snar hitam kecil ke arah tiga orang itu dan merekapun berteriak kesakitan. Topi mereka terjatuh dan di kepala mereka tiba-tiba saja muncul benjolan-benjolan sebesar telur ayam yang matang biru! Rasa nyeri yang hebat membuat mereka memegangi kepala sambil mengaduh-aduh, tidak tahu apa yang menyebabkan kepala mereka terasa demikian nyeri sehingga benjol-benjol, tidak tahu,

Saking cepatnya betapa ada batu-batu kerikil secara beruntun menyambar dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata dan mengenai kepala mereka. Rasanya bagaikan disengat lebah besar sehingga kepala mereka berdenyut-denyut, pening dan badan menjadi panas dingin, pandang mata menjadi kabur berkunang. Tiga orang itu maklum bahwa kalau bukan Ibu dan anak itu yang sesungguhnya merupakan orang-orang lihai, juga tentu ada orang pandai yang secara sembunyi melindungi mereka, maka tiga orang itupun lari tunggang langgang. Mereka berada di daerah musuh, maka mereka tidak berani banyak tingkah lagi. Melihat betapa tiga orang itu melarikan diri, Sheila dan Han Le menjadi lega dan girang. Han Le memandang ke kanan kiri, lalu tiba-tiba berseru nyaring.

"Suhu...! Suhu!!" Namun, hanya gema suaranya saja yang sahut menyahut, dan tidak nampak seorangpun manusia. Keadaan sunyi, tidak ada yang bergerak kecuali rumput dan daun-daun pohon yang bergoyang tertiup angin. Sheila Juga memandang ke kanan kiri, mengerutkan alisnya ketika ia baru sadar bahwa besar sekali kemungkinan mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Bu Beng Kwi. Benarkah orang itu yang melindungi mereka, seperti juga yang mengirim selimut dan buntalan pakaian? Kelinci dan ayam hutan yang demikian mudah dirobohkan puteranya? Dan garam itu? Hatinya merasa tidak enak. Sungguh tidak menyenangkan dilimpahi budi oleh Koan J it, musuh besarnya!

"Sudahlah, mari kita lanjutkan pergi ke dusun di sana itu, khawatir kalau keburu malam," katanya sambil menggandeng tangan puteranya. Han Le masih memandang ke kanan kiri penuh harapan, namun dia tidak membantah ketika Ibunya mengajaknya mendaki pegunungan itu, menuju ke dusun yang nampak dari bawah tadi. Ibu dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka telah memasuki daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dan daerah yang sebelah utara masih dalam kekuasaan pemerintah Mancu. Juga mereka tidak mengira bahwa daerah itu merupakan semacam medan laga antara tiga kelompok mata-mata, yaitu mata-mata pemerintah Mancu, mata-mata pasukan Tai Peng, bahkan mata-mata yang disebar oleh pasukan asing kulit putih!

Seringkali di sekitar daerah itu terjadi pertempuran-pertempuran, penculikan-penculikan atau pembunuhan yang penuh rahasia karena para mata-mata itu tentu saja merupakan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan semua tindakan mereka mengandung rahasia. Pada waktu itu, kekuasaan Tai Peng masih besar dan menguasai daerah Nan-king dan sekitarnya. Pemerintah Ceng atau Mancu tidak kuasa untuk mengusirnya, melainkan hanya berjaga-jaga di tapal batas. Akan tetapi sebaliknya, balatentara Tai Peng tidak dapat maju ke utara. Sementara itu, pihak asing kulit putih masih menarik keuntungan sebesarnya dari konflik itu dengan menyelundupkan senjata gelap, dan candu. Membantu sana-sini untuk membuat perang semakin berkobar karena dari perang saudara,

Yang mendapat keuntungan terbanyak adalah orang asing kulit putih. Perang saudara membuat bangsa itu menjadi lemah, akhirnya mereka tinggal mudah menundukkan pihak yang menang namun yang sudah penuh dengan luka parah itu. Maka mata-mata yang dikirim oleh pasukan asing ke daerah pergolakan itu bertugas selain untuk menyelidiki keadaan kedua pihak, juga untuk mengadakan hubungan perdagangan senjata api, membantu sana-sini dan berusaha untuk memperhebat perang saudara. Dengan tergesa-gesa, karena selain khawatir malam keburu tiba dan juga khawatir kalau-kalau ada orang jahat mengejar mereka Sheila dan Han Le mendaki gunung itu. Senja telah mendatang ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang perkampungan itu. Tiba-tiba terdengar bentakan orang dari belakang mereka.

"Heii, berhenti! Siapa kalian berani berkeliaran di sini?" Sheila dan Han Le berhenti dan memutar tubuh. Mereka melihat dua orang berdiri tegak dengan pedang di tangan, dan sikap mereka mengancam. Akan tetapi ketika mereka berdua itu melihat bahwa yang mereka bentak adalah seorang wanita cantik kulit putih dan seorang anak laki-laki, pedang mereka yang tadi menodong itu diturunkan dan keduanya saling pandang.

"Heii, perempuan kulit putih! Engkau mata-mata dari pasukan orang asing kulit putih, ya?" tanya seorang di antara mereka dengan sikap hati-hati. Bagaimanapun juga. dia dan kawan-kawannya belum mengenal siapa wanita kulit putih itubdan sudah sering orang kulit putih mengadakan kontak dengan kawanan mereka, untuk menjual senjata api. Dengan sikap tenang namun ada kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa dua orang ini, seperti tiga orang yang menyerangnya tadi, jelas bukanlah orang-orang dusun, bukan petani-petani sederhana yang jujur, Sheila menjawab.

"Kami adalah Ibu dan anak yang sedang perhi mengungsi karena perang, mencari tempat baru yang aman. Kami sama sekali bukanlah mata-mata, kami adalah rakyat biasa."

"Ha-ha, kami bukanlah anak-anak kecil yang mudah dibohongi. Di mana ada wanita kulit putih berkeliaran sebagai rakyat biasa? Engkau dan anak ini menyerahlah untuk kami bawa menghadap komnadan kami. hayo masuk!" Mereka berdua kembali menodongkan pedang mereka ke arah Sheila dan Han Le dan mendorong mereka memasuki pintu gerbang. Ibu dan anak itu tidak berdaya lagi. Sheila menggandeng tangan puteranya, menariknya agar ikut masuk karena melawanpun tidak ada gunanya. Ternyata ia telah salah masuk, pikirnya. Ini bukan perkampungan orang dusun! Rumah-rumah itu baru dan nampak sunyi, tidak ada keluarga petani, dan di sana-sini ada beberapa orang laki-laki yang sama kasarnya dengan dua orang yang menangkap mereka. Ketika mereka digiring masuk, para pria itu bangkit dan memandang, ada yang bersuit, ada yang memuji kecantikannya secara kurang ajar.

"Heii, Cun-ko, darimana kau mendapatkan mawar putih itu? Berikan saja padaku, biar kubeli dengan satu bulan gaji!"kata seorang di antara mereka yang mukanya brewok. Teman-
temannya tertawa.

"Hushh, jangan main-main. Siapa tahu ia ini mata-mata pasukan kulit putih. Biar komandan kita yang memutuskan nanti!" kata seorang di antara mereka yang menangkap Sheila dan Han Le. Ibu dan anak itu digiring terus memasuki sebuah bangunan yang paling besar yang berada di situ. Di dalam rumah itu telah dipasang lampu-lampu yang cukup terang. Akan tetapi rumah inipun nampak kosong, perabot-perabotnya kasar dan agaknya baru saja dibuat. Di dalam ruangan yang besar, mereka dihadapkan kepada seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, perawakannya gagah, wajahnya bengis dan matanya lebar melotot kini menatap wajah Sheila penuh perhatian.

"Hemm, darimana kalian mendapatkan wanita ini?" komandan itu bertanya kepada dua orang anak buahnya tanpa memandang kepada mereka.

"Lai-Ciangkun, kami melihat mereka ini berkeliaran di luar secara mencurigakan sekali, maka kami menangkap mereka dan menghadapkan mereka kepadamu," jawab dua orang itu. Orang yang disebut Lai-Ciangkun (perwira Lai) itu mengangguk-angguk senang. Semetara itu, wajah Sheila berobah pucat. Seorang Ciangkun? Seorang perwira? Kalau begitu, orang-orang ini adalah anggauta-anggauta pasukan! Dan segera ia sadar bahwa ia dan puteranya telah jatuh ke tangan pasukan Tai Peng yang tidak mengenakan pakaian seragam! Ia sudah pernah mendengar bahwa pasukan Tai Peng yang tidak berseragam adalah pasukan mata-mata yang lihai dan yang kejamnya melebihi pasukannya yang seragam! Celaka, pikirnya, akan tetapi ia berusaha untuk menenangkan hatinya.

"Eh, perempuan kulit putih, siapakah namamu dan siapa pula anak laki-laki ini?" tanya si tinggi besar yang matanya lebar.

"Namaku Sheila dan ini anakku bernama Gan Han Le. Ciangkun, harap bebaskan kami kembali karena seperti yang telah kuberitahukan kepada dua orang anak buahmu, kami adalah rakyat biasa yang sedang mencari tempat tinggal baru setelah kami lari mengungsi dari perang. Kami bukan orang jahat dan tidak mempunyai kesalahan apapun."

"Ha-ha-ha-ha," komandan itu tertawa, bukan tawa ramah melainkan tawa mengejek.

"Mudah saja engkau minta dibebaskan. Engkau amat mencurigakan, seorang perempuan kulit putih berkeliaran sampai di sini. Katakan, apakah engkau utusan pasukan kulit putih yang harus menghubungi kami untuk menawarkan senjata api?" Sheila menggeleng kepala.

"Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak mempunyai hubungan dengan pasukan kulit putih, bahkan tidak tahu siapa kalian dan pasukan apa!"

"Hemm, ketahuilah bahwa kami adalah pasukan rahasia Tai Peng yang besar dan gagah perkasa! Hayo kau mengaku saja daripada harus kami siksa, apa maksudmu berkeliaran di sini? Siapa mengutusmu? Lebih baik mengaku terus terang. Aku tidak ingin menyiksa seorang wanita cantik seperti engkau."

"Heh-heh, Lai-Ciangkun, serahkan saja perempuan ini kepadaku. Tanggung ia akan mengakui semuanya, ha-ha!" kata seorang di antara dua perajurit tadi.

"Tidak, kepadaku saja, Ciangkun. aku lebih pandai menjinakkan wanita!" kata orang kedua.

"Hemm, diam kalian, mata keranjang! Ia terlalu penting untuk diurus oleh orang-orang mata keranjang macam kalian!" Lai-Ciangkun itu membentak dan bentakan ini melegakan hati Sheila. Kiranya si raksasa ini bukan seorang laki-laki yang suka menggagahi wanita seperti banyak pria lain di dunia yang kejam ini.

"Sesungguhnya, Ciangkun. Aku sama sekali tidak berbohong. Aku memang seorang wanita kulit putih, akan tetapi aku menikah dengan seorang laki-laki Han, dan ini anak kami. Aku hidup sebagai seorang wanita dusun biasa, dan terpaksa kami berdua melarikan diri ketika terjadi perang, Kani pengungsi-pengungsi yang tidak berdosa, Ciangkun. Harap suka bebaskan kami."

"Ha-ha, tidak begitu mudah. Engkau harus kami tahan dulu dan akan kulaporkan kepada atasanku. Terserah kepada atasan kami bagaimana keputusan mereka tentang dirimu. Engkau bukan orang biasa, engkau seorang wanita kulit putih. Hei, kalian berdua, bawa ia ke dalam kamar tahanan. Akan tetapi awas, ia tawanan penting, tak seorangpun boleh mengganggunya. Ia harus diperlakukan dengan baik sampai aku menerima keputusan dan jawaban dari atasan. mengerti?"

"Baik, Ciangkun!" kata dua orang itu yang tadi sudah kena dihardik sehingga mereka tidak berani bersikap sembarangan lagi. Tiba-tiba Han Le yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata dengan suara lantang.

"kalian tidak boleh menawan kami! Kalian adalah orang-orang Tai Peng, bukan? Ketahuilah bahwa kami masih ada hubungan keluarga dengan pemimpin kalian! pemimpin kalian yang bernama Ong Siu Coan itu masih keluarga dekat dengan mendiang Ayahku!" Sheila hendak mencegah anaknya bicara namun sudah terlambat, maka iapun hanya dapat menanti dengan jantung berdebar sambil memandang kepada raksasa itu dengan mata terbelalak.

"Tunggu dulu perwira Lai yang tinggi besar itu membentak dua orang anak buahnya yang hendak menangkap lengan Ibu dan anak itu, dan mereka berdua mundur lagi karena merekapun terkejut mendengar ucapan anak itu tadi.

"Eh, bocah, apa artinya kata-katamu tadi?" Dia membentak sambil melotot kepada Han Le. Anak ini sama sekali tidak merasa takut.

"Bukankah pemimpin pasukan Tai Peng bernama Ong Siu Coan? Nah, dia itu adalah uwa seperguruanku! Karena itu, jangan kalian menganggu aku dan Ibuku, karena pemimpin kalian tentu akan marah dan menghukum kalian kalau mendengarnya." Perwira raksasa itu menoleh kepada Sheila.

"Benarkah apa yang dikatakan oleh anakmu ini? Coba jelaskan kepadaku." Karena sudah terlanjur, terpaksa Sheila mengaku, dan iapun mengharapkan bahwa nama Ong Siu Coan akan membuat mereka takut untuk mengganggu ia dan anaknya.

"Memang benar apa yang dikatakannya. Mendiang suamiku bernama Gan Seng Bu, seorang pejuang besar yang pernah menentang pemerintah penjajah Mancu sampai dia tewas. Tentu kalian pernah mendengar nama Gan Seng Bu, kalau belum ketahuilah bahwa mendiang suamiku itu adalah adik seperguruan dari pemimpin kalian, yaitu Ong Siu Coan. Laporkan saja kepadanya dan dia akan tahu."

Mendengar keterangan yang dilakukan dengan sikap tenang ini, si raksasa tertegun. Memang dia pernah mendengar nama besar Gan Seng Bu, seorang pejuang walaupun tidak pernah bekerja sama dengan Tai Peng. Keluarga seperguruan dari pemimpinnya yang kini menjadi Maharaja di Nan-king! Perwira Lai ini bukan seorang yang haus wanita, tidak memiliki kebiasaan memperkosa wanita. Akan tetapi menengar bahwa Ibu dan anak ini keluarga dekat dengan pemimpinnya, timbul suatu keinginan yang amat baik menurut anggapannya. Kalau dia dapat memperisteri wanita ini, berarti dia memiliki hubungan dekat dengan pemimpin yang kini menjadi raja besar itu dan tentu pangkatnya akan naik dengan cepat dan mudah! Dia lalu memberi isyarat kepada kedua orang anak buahnya.

"Kalian keluarlah dulu, biar aku menangani sendiri urusan Ibu dan anak ini." Dua orang anak buahnya saling pandang, akan tetapi tidak berani membantah dan merekapun keluarlah. Setelah daun pintu ditutup dan dia berada bertiga saja dengan Sheila dan Han Le, si komandan tinggi besar merubah sikap. Dia bangkit dari tempat duduknya dan dengan mempersilahkan Ibu dan anak itu duduk diatas bangku di depannya.

"Maaf, karena tidak tahu bahwa engkau adalah Gan-Toanio, maka kami bersikap kurang hormat dan anak buah kami menangkap Toanio dan anakmu." Lega dan girang rasa hati Sheila. Bagaimanapun juga, pengakuan Han le itu telah untuk sementara menolong mereka. walaupun ia tidak dapat membayangkan bagaimana sikap Ong Siu Coan kalau sampai bertemu dengan mereka. Iapun sudah mendengar bahwa Suheng dari mendiang suaminya itu kini telah menjadi seorang raja besar. Ia mengajak puteranya duduk menghadapi raksasa itu yang kii tidak lagi nampak menakutkan, melainkan ramah dan mendatangkan harapan

"Nyonya, aku merasa kasihan sekali kepadamu. Aku sudah mendengar akan kebesaran nama Gan Seng Bu sebagai seorang pendekar dan pejuang yang amat gagah perkasa. Dan betapa nyonya telah menderita sejak dia tewas. Dapat kubayangkan betapa banyak bahaya yang mengancam diri nyonya sebagai seorang janda muda yang cantik. Bahkan sekarangpun nyonya masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Siapa dapat menjamin bahwa di dalam hati para anak buahku tidak terdapat niat yang buruk terhadap diri nyonya yang cantik?"

"Kami percaya akan ketulusan dan kebaikan hati Ciangkun yang tentu akan melarang anak buahnya untuk berbuat jahat terhadap kami," kata Sheila. Komandan itu tersenyum. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya yang besar itu membuat dia nampak gagah walaupun berpakaian preman.

"Nyonya tidak tahu. Mereka adalah pria-pria yang sudah terbiasa hidup dalam kesukaran, kekerasan dan bahaya. Semua itu membuat mereka menjadi keras. Mereka meninggalkan keluarga dan siapapun tidak akan dapat menyalahkan mereka kalau mereka menjadi haus dan buas kalau melihat wanita, apalagi wanita cantik." Sheila mengerutkan alisnya. Teringat ia betapa setahun yang lalu, sepasukan orang Tai Peng membasmi serombongan pengungsi dan kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi, iapun tentu sudah menjadi korban kebuasan mereka terhadap wanita itu.

"Ah, kami hanya dapat mengharapkan pertolongan Ciangkun." Perwira itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar-besar, lalu dia menatap wajah yang cantik itu.

"Kiranya tidak mungkin kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun, Toanio. Mereka tentu bahkan akan mencurigai aku, menganggap aku melindungi orang kulit putih. Satu-satunya jalan adalah kalau Toanio mau menjadi isteriku dengan sah. Nah, sebagai suamimu dan Ayah tiri anakmu ini, tentu saja tidak ada seorangpun yang akan berani menganggu isteri dan anakku."

"Ahh...!" Sheila terbelalak dan memandang dengan wajah pucat. Kiranya raksasa inipun bukan baik dengan sewajarnya, melainkan baik karena mengandung pamrih. dan pamrihnya sama saja dengan laki-laki lain yang hendak mendapatkan dirinya. hanya bedanya, Lai-Ciangkun ini menggunakan cara halus, memperisterinya! Memperisteri dengan ancaman bahwa kalau tidak, maka sang perwira tidak dapat melindunginya. Sheila bangkit berdiri dan menggandeng tangan puteranya.

"Terima kasih atas kebaikanmu dan maakan aku, Ciangkun. Akan tetapi terpaksa aku tidak dapat menerima usulmu itu. Biarlah kami pergi saja dari sini, karena tadinya kami datang ke sini mengira bahwa di sini merupakan sebuah dusun di mana kami dapat tinggal dan hidup sebagai petani biasa. ijinkan kami pergi dengan aman dari tempat ini." Wajah perwira itu berubah merah. Dia merasa malu karena ditolak pinangannya dan juga merasa kecewa dan marah.Sepasang mata yang lebar itu melotot seperti hendak melompat keluar dari pelupuk matanya.

"Toanio, apakah engkau tidak tahu bahwa begitu engkau keluar dari pintu gerbang perumahan kami, engkau tentu akan disergap dan diperkosa orang? Anakmu akan dibunuh dan engkaupun akan mati akhirnya?"

"Hemm, aku tidak percaya bahwa orang-orang yang menamakan dirinya pejuang akan melakukan perbuatan terkutuk sepeti itu, dan aku yakin bahwa Ciangkun juga tidak akan membiarkannya saja. Ingat, pemimpin kalian yang kini menjadi raja itu tentu tidak akan tinggal diam karena kami adalah keluarga Sutenya!" Sheila hendak menggunakan nama Ong Siu Coan untuk mengancam. Akan tetapi, kalau tadi nama Ong Siu Coan yang disebutnya membuat sikap perwira itu berubah, kini raksasa itu malah tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha! Apa artinya kalian menjadi keluarga raja kami kalau beliau tidak tahu tentang kalian di sini? Semua orang yang berada di perkampungan ini adalah anak buahku, dan kalian akan lenyap seperti ditelan bumi. dan berita tentang kalian takkan diketahui orang luar sama sekali." Sheila merasa ngeri. Celaka, pikirnya, ia dan puteranya terjatuh ke tangan orang-orang yang tidak kalah jahat dan buasnya dibandingkan tiga orang pasukan pemerintah yang mengganggunya tadi. Orang-orang Tai Peng ini memang jahat dan kalau ia teringat akan gerombolan orang Tai Peng yang pernah dibasmi Bu Beng Kwi, ia bergidik. Ia seperti terlepas dari mulut serigala memasuki guha harimau.

"Lai-Ciangkun, kasihanilah kami Ibu dan anak yang tidak berdosa. Kami hanya ingin dibebaskan dan jangan diganggu, dan kami akan mengambil jalan kami sendiri." Ia memohon dan memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan. Namun, raksasa itu adalah seorang yang sudah mengeras batinnya. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanyalah terdorong nafsu, dan semua ini, nafsu untuk memperoleh keuntungan sebesarnya dengan adanya Sheila, menutup semua pertimbangan lain.

"Nyonya, hanya ada dua pilihan bagimu. memenuhi permintaanku, menjadi isteriku dengan sah dan kelak memperkenalkan aku kepada raja kami sebagai suamimu, atau kalau engkau menolak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku. Ingat, anak buahku di sini tidak kurang dari dua puluh orang, mereka semua seperti harimau-harimau kelaparan dan engkau tentu akan diperebutkan, dagingmu dirobek-robek dan engkau akan mati dalam keadaan yang menyedihkan, dan lebih dulu anakmu akan mereka bunuh di depan matamu. Bagaimana, engkau pilih yang mana?"

"Engkau... engkau manusia jahat!" Tiba-tiba Han Le membentak marah sekali melihat Ibunya hanya terbelalak dengan muka pucat, dan anak ini sudah menerjang maju dan menggunakan kepalan tangannya untuk memukul dada perwira yang tinggi besar itu.

"Bukkk!" Pukulan itu tidak ditangkis dan mengenai dada sang perwira, akan tetapi Han Le seperti memukul dinding yang kokoh kuat, bahkan kepalan tangannya yang terasa nyeri.

"Ha-ha-ha, engkau setan cilik, pergilah!" Dan tangan raksasa itu menampar mengenai pundak Han Le sehingga anak itu terbanting roboh.

"Henry..." Sheila menubruk anaknya.

"Sekali lagi, pertimbangkan baik-baik. Pilih menjadi isteriku dan hidup mulia ataukah mampus di tangan anak buahku!" bentak sang perwira dengan sikap galak kepada wanita yang kini berlutut sambil memeluk puteranya itu.

Sheila tidak takut mati. kehidupan demikian pahit baginya setelah melihat kenyataan bahwa Bu Beng Kwi, pria yang dipuja dan dicintanya itu, bukan lain adalah Koan Jit, pria yang dibencinya setengah mati. Baginya, kematian merupakan pelepasan dari derita batinnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak takut mati, ia takut menghadapi kematian puteranya! Agaknya tidak ada pilihan lain baginya untuk menuruti permintaan Lai-Ciangkun. Agaknya hanya kalau ia mau menjadi isteri Lai-Ciangkun, puteranya akan dapat diselamatkan. Akan tetapi, betapa mungkin ia melakukan hal itu? Baginya, lebih baik mati daripada disentuh pria lain! Saking bingungnya, Sheila kini hanya bisa menangis sambil merangkul puteranya.

"Ibu, jangan mau, jangan sudi, aku tidak takut mati!" Han Le berkata, agaknya mengerti akan kebingungan hati Ibunya. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut dan kaki kuda di luar rumah itu disusul suara kaki bersepatu yang berat dan ketika tiba di depan pintu rumah itu, terdengar suara nyaring.

"Hemm, di mana adanya Lai Hok?" Mendengar suara ini, Lai-Ciangkun nampak terkejut dan dia terbelalak, memandang ke arah pintu.

"Saya... saya berada di sini..." Akan tetapi daun pintu sudah didorong keras dari luar dan nampaklah seorang laki-laki yang bertubuh jangkung dan bermuka kekuningan. Usianya kurang lebih lima puluh tahun dan orang ini mengenakan pakaian tebal dengan sepatu kulit yang berat. Pembawaannya penuh wibawa dan melihat orang ini, Lai-Ciangkun yang tadinya bersikap garang itu kelihatan takut-takut, berdiri dengan penuh hormat.

"Lai Hok, apa saja yang kau kerjakan di sini? Kami menanti-nanti pengiriman senjata api yang telah dijanjikan itu dan sampai sekarang belum juga muncul. Dan... eh, siapa ini?" Orang itu agaknya baru melihat Sheila yang berlutut sambil merangkul puteranya.

"Tai-Ciangkun, ia... ia adalah seorang tawanan yang sedang saya periksa." Lai-Ciangkun lalu bertepuk tangan dan dua orang pengawal masuk.

"Bawa dua orang ini ke dalam kamar tahanan dan jaga baik-baik jangan sampai mereka lolos!"

"Baik, Ciangkun!" kata dua orang itu, akan tetapi sebelum mereka menyeret tubuh Sheila dan Han Le, perwira yang baru tiba itu menggerakkan tangannya.

"Nanti dulu!" Dan dia menghampiri Sheila, memandang penuh perhatian.

"Bukankah ia... ia seorang wanita kulit putih? Bagaimana kalian menawan seorang wanita kulit putih?" Perwira she Tang itu terkejut sekali memandang kepada Lai-Ciangkun dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia adalah seorang di antara tangan kanan Ong Siu Coan, bahkan dia memperoleh kepercayaan untuk mengepalai pasukan yang mengurus pembelian senjata-senjata api dari orang kulit putih, juga mengepalai barisan mata-mata yang disebar di daerah timur. Melihat betapa tawanan anak buahnya itu seorang wanita kulit putih, tentu saja ia terkejut dan heran, maklum betapa gawatnya menawan seorang kulit putih!

"Tang-Ciangkun, kami dapatkan ia berkeliaran di luar perkampungan kita, dan anak buahku menangkapnya. Saya sedang memeriksanya ketika Ciangkun tiba, dan kami khawatir bahwa ia adalah seorang mata-mata yang melakukan penyelidikan terhadap keadaan kita." Dalam percakapan mereka itu, Sheila maklum bahwa orang yang baru tiba ini adalah atasan Lai-Ciangkun, maka kembali ia memperoleh harapan.

"Dia bohong!" katanya sambil bangkit berdiri dan menggandeng tangan anaknya.

"Aku bersama anakku adalah rakyat biasa yang melarikan diri dari perang, pergi mengungsi, kemudian ditangkapnya dan dia mengancam agar aku menjadi isterinya, kalau tidak, aku akan diserahkan kepada anak buahnya dan anakku ini akan dibunuh!" Perwira tinggi yang baru tiba itu kini menghadapi Lai-Ciangkun dengan alis dikerutkan. Tentu saja dia mengenal watak anak buahnya dan hal inilah yang selalu merisaukan hatinya. Dia adalah seorang pendekar yang bersama para pendekar lain membantu perjuangan Tai Peng. Kalau para pendekar banyak yang pergi meninggalkan Tai Peng setelah pasukan itu berhasil menguasai Nangking, karena melihat kegilaan dan kejahatan para pasukan Tai Peng yang dibiarkan oleh Ong Siu Coan, Tang Ci yang merupakan pendekar dari utara ini, tetap tinggal.

Dia memang tidak senang melihat ulah para pasukan Tai Peng, juga tidak suka melihat sikap Ong Siu Coan yang kini menjadi raja besar yang seperti orang gila, mengaku putera Tuhan dan kakak Yesus. Akan tetapi karena dia merasa berhak memperoleh pangkat dan kemuliaan setelah ikut berjuang, dia menekan saja rasa tidak sukanya dan tetap menjadi tangan kanan Ong Siu Coan. Apalagi karena raja baru itu bersikap baik kepadanya, melimpahkan anugerah bahkan memberi kedudukan tinggi. Maka, mendengar teriakan Sheila yang melaporkan ulah Lai-Ciangkun itu, dia percaya dan tidak merasa heran. Sebaliknya, dia merasa heran melihat seorang wanita kulit putih begini pandai bicara dalam bahasa daerah, dan anaknya itu jelas tidak seperti anak kulit putih, kecuali matanya yang agak biru.

"Engkau, siapakah, nyonya? Dan mengapa pula seorang wanita kulit putih seperti engkau berada di daerah ini?Ceritakan dengan jelas, dan percayalah, tak seorangpun akan kubiarkan mengganggumu dan engkau akan memperoleh perlakuan patut dan adil. Aku adalah Tang Ci yang datang dari kotaraja Nan-king dan menjadi kepercayaan Sri Baginda Kaisar di Nan-king." Mendengar bahwa perwira tinggi yang baru datang ini adalah seorang kepercayaan Kaisar Nan-king, Han Le segera berseru,

"Ah, kebetulan sekali kalau begitu. Bukankah Kaisar itu bernama Ong Siu Coan?" Tang Ci memandang anak itu dengan kaget.

"Benar sekali, bagaimana engkau bisa tahu?"

"Karena dia adalah supekku (uwa guruku)! Mendiang Ayahku adalah Sutenya!"

"Eh? Siapakah engkau? Siapakah kalian?" Sheila menarik tangan puteranya lalu menghadapi perwira itu, setelah ia bangkit berdiri. Sejenak mereka saling pandang.

Diam-diam Tang Ci harus mengakui bahwa wanita kulit putih yang rambutnya keemasan dan matanya biru ini, yang mengenakan pakaian daerah sederhana dan mukanya tanpa riasan, rambutnya juga kusut, adalah seorang wanita yang amat cantik. Sebaliknya, Sheila juga memperhatikan pria itu. Seorang yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, wajahnya lonjong dengan sepasang mata yang amat ajam. Wajah itu cerah dan amat berwibawa, wajah seorang yang berkedudukan tinggi dan yang yakin akan kepentingan dirinya dan kekuasaannya. Munculnya orang ini mendatangkan harapan baru, setidaknya menolongnya lepas dari cengkeraman Lai-Ciangkun dan anak buahnya, walaupun ia tidak tahu orang macam apa perwira tinggi yang baru tiba ini. Maka iapun bercerita dengan terus terang, seperti yang dilakukannya kepada Lai-Ciangkun tadi.

"Namaku Sheila dan ini anakku Gan Han Le. mendiang suamiku adalah pendekar pejuang Gan Seng Bu..."

"Ahhh...! Aku mengenal mendiang Gan-Taihiap. Kiranya nyonya adalah isterinya? Sungguh luar biasa sekali. Aku mendengar betapa Gan-Taihiap tewas, isterinya yang sedang mengandung membawa jenazahnya ke pedusunan dan isterinya hidup di antara rakyat petani. Nyonya Gan, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini? Dan inikah puteramu, putera Gan- Taihiap?" kata Tang Ci penuh kagum dan juga girang. Memang pernah dia bertemu dengan pejuang itu yang pernah berjuang bersama para pendekar lainnya menentang pemerintah penjajah. Sheila menghapus dua butir air matanya. Ia merasa terharu bertemu dengan orang yang telah mengenal suaminya.

"Kami tinggal di dusun sampai suatu hari kami terpaksa pergi mengungsi karena adanya perang. Ini hari kami tiba di sini, dari bawah gunung kami melihat perkampungan ini, mengira ini sebuah dusun para petani maka kami datang ke sini. Kami mohon kebaikan hati Ciangkun, mengingat bahwa Ciangkun pernah mengenal mendiang suamiku, agar suka membebaskan kami dan mengijinkan kami pergi dari sini."

"Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi, Toanio? Daerah ini berbahaya sekali, menjadi medan pertempurn antara tiga pasukan, yaitu pasukan Tai Peng, pasukan Mancu, dan kaki tangan pasukan asing. Engkau akan menemui bahaya."

"Saya sudah usulkan...

"Diam kau!" bentak Tang Ci kepada raksasa itu.

"Apakah matamu sudah buta maka engkau berani sekali bersikap kurang ajar terhadap Gan-Toanio? Kalau Sri Baginda mengetahui kekurangajaranmu, engkau akan dihukum cincang tubuhmu!"

"Ampun, Tang-Ciangkun..." Raksasa itu berkata dengan muka pucat.

"Sesungguhnya saya tadi tidak percaya akan keterangannya maka..."

"Tutup mulutmu! Untung aku mengenal watak kalian yang busuk sehingga tidak merasa heran mendengar akan perbuatan kalian yang kotor. Cepat sediakan sebuah kereta dengan empat ekor kuda terbaik untuk Gan-Toanio dan puteranya, dan persiapkan dua belas orang pasukan yang kuat untuk menjadi pengawal. Juga tukar kudaku yang sudah lelah. Aku sendiri yang akan mengawal Gan-tonio."

"Baik, Ciangkun, baik...!" Perwira tinggi besar itu lalu pergi meninggalkan pondok itu untuk melaksanakan perintah atasannya.

"Tapi... tapi, Ciangkun... kami hendak dibawa ke manakah?" Sheila bertanya setelah perwira raksasa itu keluar. Si tinggi kurus itu menarik napas panjang.

"Toanio, kalau aku membiarkan engkau dan puteramu pergi, belum sampai dua li jauhnya, kalian tentu sudah akan menemui bahaya. Anak buah Tai Peng amat jahat, demikian pula anak buah pasukan Mancu yang banyak berkeliaran di sini. satu-satunya tempat yang aman bagi engkau dan puteramu adalah istana di Nan-king

"Ahhh...! Ke istana Kaisar baru Nan-king...?"

"Ke istana Ong-supek?" Han Le juga berseru, kaget, girangan juga bingung, karena belum pernah dia membayangkan akan pergi berkunjung kepada supeknya yang telah menjadi Kaisar itu.

"Ya, satu-satunya tempat yang aman dan tepat bagi kalian adalah di istana Kaisar. Toanio adalah isteri Sute dari Sri Baginda, berarti masih ipar seperguruan Sri Baginda Kaisar sendiri, sudah sepatutnya kalau Toanio juga memperoleh kemuliaan di sana. Apalagi mengingat betapa mendiang Gan-Taihiap sudah banyak jasanya dalam perjuangan."

"Tapi... tapi kami tidak ingin pergi ke sana, kmi ingin menjadi rakyat biasa, hidup sebagai petani di dusun..."

"Ibu, kenpa kita tidak ke sana saja? bukankah Ibu menghendaki tempat yang aman? Dan kabarnya, ilmu kepandaian supek amat tinggi. Tentu beliau akan suka mengajarkan ilmu silat kepadaku," kata Han Le yang masih merasa kehilangan Suhunya yang amat disayanginya dan yang diharapkan akan menurunkan ilmu slat tinggi kepadanya.

"Ah, Henry, supekmu itu kini bukan orang biasa, melainkan seorang Kaisar! Mana mungkin mengajar silat kepadamu? Pula, datang begitu saja ke sana tanpa diundang, aku merasa seperti orang yang mengganggu...

"Toanio, harap jangan berpendapat demikian. Ketahuilah, bahwa pernah Sri Baginda berbincang-bincang tentang diri Toanio dan mengharapkan agar kami dapat menemukan Toanio dan mengundangnya ke istana! Adapun tentang ilmu silat, kalau puteramu ingin belajar, di istana banyak terdapat jagoan- jagoan silat yang amat lihai. Dia dapat belajar sepuasnya!" Sheila kehilangan alasan lagi untuk menolak. Dan pula, mengapa ia harus menolak? Apalagi yang diharapkan hidup di pegunungan, di dalam dusun? Siapa yang dipandang dan siapa yang diharapkan? Apakah ia akan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda dusun yang bodoh? Memang, terdapat bahaya bahwa sikap Ong Siu Coan tidak akan baik terhadap dirinya dan puteranya, akan tetapi setidaknya, ia dan puteranya terlepas lebih dahulu dari ancaman anak buah Tai Peng yang jahat-jahat ini. Soal nanti akan dihadapinya nanti saja, dan pada saatnya ia akan menetukan sikap dan mengambil tindakan yang dianggap baik.

"Baiklah, tidak ada pilihan lain karena kami berada dalam kekuasaan Ciangkun dan pasukan Ciangkun. Aku menyerah dan suka ikut," akhirnya ia berkata dan Han Le merangkul Ibunya dengan girang. Sheila terharu. Anak ini membutuhkan kesenangan, membutuhkan pendidikan. Anak ini berhak memperoleh pendidikan yang baik, berhak hidup dalam kemuliaan, bukan selalu hidup serba kekurangan dan dalam kesukaran.

Tak lama kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda dikawal oleh Tang Ci sendiri bersama selosin pasukan berkuda, meninggalkan bukit itu menuju ke Nan-king. Tak jauh dari situ, sesosok tubuh manusia yang mengintai dari balik batang pohon besar, menarik napas dalam. Dia bukan lain adalah Bu Beng Kwi, semenjak Ibu dan anak itu pergi selalu mengikuti dan membayangi dengan diam-diam, bahkan telah menolong mereka secara diam-diam pula dari ancaman tiga orang perajurit pemerintah Mancu. Kini, melihat Ibu dan anak itu pergi dalam sebuah kereta besar, dia menghela napas. Dia telah menggunakan kepandaiannya mengintai dan mengikuti semua peristiwa, sejak Sheila diperiksa oleh perwira Lai yang tinggi besar, sampai munculnya Tang Ci. Dia sudah siap untuk menolong dan membebaskan Sheila ketika diperiksa Lai-Ciangkun.

Akan tetapi mendengar penawaran Tang Ci yang akan membawa Ibu dan anak itu ke istana Kaisar dari Kerajaan Sorga, yaitu Ong Siu Coan, dan melihat kesediaan Sheila, diapun hanya berdiam diri. Apapun yang akan diputuskan dan dilakukan oleh Sheila, dia tidak akan menghalanginya. Dia hanya berkewajiban untuk melindungi Ibu dan anak itu, hal inipun dilakukan diam-diam dan jangan sampai kelihatan oleh mereka. Setelah kereta pergi jauh, barulah dia menggunakan ilmunya berlari cepat, membayangi kereta itu dari jauh. Wajahnya pucat, matanya cekung dan sayu, membayangkan kekosongan hatinya, kosong dan sunyi, kehidupan seperti sudah mati baginya setelah Ibu dan anak itu meninggalkannya. Kini, satu-satunya keinginan yang bernyala di dalam hatinya, yang memberinya semangat untuk tinggal hidup,

Hanyalah melindungi Sheila dan Han Le, menjaga mereka agar mereka itu hidup dengan aman dan selamat, agar mereka itu dapat menemukan bahagia. Dia akan menjaga mereka dengan diam-diam, menggunakan seluruh kekuatan dan kepandaiannya, kalau perlu siap berkorban nyawa untuk mereka! Biarpun pada waktu itu, negara sedang kacau, kehidupan rakyatpun selalu diganggu oleh keadaan perang, namun peristiwa yang terjadi di dunia persilatan itu amat menarik perhatian para tokoh persilatan, baik para pendekar maupun para tokoh kang-ouw. Siapa orangnya tidak akan tertarik menerima undangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari seseorang yang mengundang semua tokoh persilatan untuk menjadi saksi pengangkatan diri orang itu sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (Jago silat Nomor Satu di Kolong Langit)? Peristiwa yang sungguh luar biasa sekali.

Belum pernah ada orang, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, yang berani mengangkat diri sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dan orang itu memakai nama Lee-Kongcu! Orangpun bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh yang demikian sombong dan tinggi hati, yang berani mengundang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan dia mengangkat diri seperti itu? Dia menantang seluruh tokoh persilatan yang ada, karena pengangkatan itu sama dengan pengumuman bahwa tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu menandinginya! Betapa takaburnya! Dan pesta pengangkatan diri itu diadakan di sebuah bukit di lembah Yang-ce-kiang, di sebelah utara sungai itu, di sebuah dusun yang bernama Cu-sian, tak jauh dari Nan-king, hanya dibatasi Sungai Yang-ce-kiang dan beberapa belas li saja di lembah Yang-ce!

Dan tempat inipun merupakan daerah perbatasan antara wilayah yang diduduki tentara Tai Peng dan yang masih dikuasai pemerintah Mancu, dan daerah itu terkenal sebagai daerah di mana seringkali terjadi pertempuran, baik antara pasukan Tai Peng dan Mancu, maupun antara mata-mata dari kedua pihak! Sungguh berani sekali orang yang menyebut dirinya Lee-Kongcu itu! Lebih gila lagi, Lee-Kongcu juga mengundang pembesar-pembesar dari Kerajaan Ceng, terutama sekali pembesar militer, seolah-olah dia mengharapkan pengakuan dari pemerintah bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia! Apa gerangan keinginan orang itu, demikian banyak tokoh kang-ouw berpikir, merasa tertarik sekali sehingga ketika hari yang ditentukan tiba, banyaklah orang datang membanjiri lembah Yang-ce bagian utra itu.

Memang ada tokoh-tokoh besar dunia persilatan, seperti ketua-ketua partai persilatan besar, tidak sudi melayani undangan orang yang mereka anggap gila itu, dan tidak datang sendiri. Namun, karena merekapun tertarik dan ingin mengetahui siapa gerangan orang itu, mereka mengirim juga utusan untuk sekedar meninjau dan mencatat peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan itu. Bermacam-macam reaksi yang timbul akibat undangan yang disebar oleh Lee-Kongcu itu. Partai-partau persilatan besar mengadakan rapat-rapat memperbincangkan soal itu, dan ramailah nama Lee-Kongcu menjadi bahan percakaan setiap pertemuan antara orang kang-ouw menjelang pesta itu. Dan pada saat hari itu tiba, tidak mengherankan kalau daerah lembah Sungai Yang-ce-kiang itu menjadi ramai sekali, didatangi orang bermacam bentuk, baik sikap maupun pakaian mereka.

Orang-orang aneh, bahkan pendeta-pendeta Agama To, juga hwesio-hwesio tua, orang-orang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis, dan banyak pula orang-orang yang sikapnya bengis dan kasar, tanda bahwa mereka itu jelas sekali datang dari golongan hitam atau penjahat-penjahat. Ada pula orang-orang yang berpakaian pendekar, halus dan bersih, yang pria tampan dan wanita cantik jelita, namun mereka itu membayangkan sikap yang gagah perkasa sehingga membuat orang merasa segan dan tidak ada yang berani mencari perkara. Mencari perkara di tempat berkumpulnya semua orang gagah dari empat penjuru itu sama dengan mengundang penyakit untuk diri sendiri. Peristiwa itu ada juga segi yang mendatangkan kegembiraannya, yaitu bagi mereka yang bertemu dengan wajah-wajah lama para sahabat.

Karena keadaan negara yang dilanda perang, maka banyak di antara para tokoh persilatan itu tidak saling bertemu selama bertahun-tahun. Kini, karena sama-sama tertarik oleh ulah Lee-Kongcu, mereka dapat bertemu di tempat itu. Maka terjadilah petemuan-pertemuan yang menggembirakan di lembah yang subur itu. Lee-Kongcu mengundang pembesar-pembesar militer penting, juga ketua-ketua perkumpulan silat yang besar-besar dan tidak lupa mengirim undangan pribadi kepada murid para datuk sesat yang sudah tidak ada, yaitu murid-murid dari Empat Racun Dunia karena dia menganggap mereka itu sebagai wakil dari dua golongan. Guru-guru mereka adalah orang-orang golongan sesat, akan tetapi mereka sendiri, yang menjadi murid-muridnya, terkenal sebagai orang-orang gagah dan pejuang-pejuang perkasa.

Maka tidaklah mengherankan kalau di tempat itu muncul pendekar-pendekar perkasa seperti murid dari Tee-tok (Racun Tanah) bersama suaminya yang juga seorang pendekar bernama Thio Ki putera ketua Kang-Sim-Pang. Suami isteri pendekar ini pernah pula membantu Ong Siu Coan seperti para pendekar lain ketika tentara Tai Peng mulai bergerak, akan tetapi merekapun meninggalkan Ong Siu Coan ketika melihat kegilaan orang itu dan kejahatan pasukan Tai Peng. Pasangan ini sudah berusia tiga puluh delapan tahun dan tiga puluh enam tahun, dan mereka mmempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia kurang lebih sebelas tahun dan bernama Thio Eng Hui. Thio Ki kini melanjutkan pimpinan perkumpulan Kang-Sim-Pang (Hati Baja) yang cukup terkenal.

Mereka datang berdua saja, meninggalkan puteri mereka di rumah karena mereka khawatir kalau-kalau di tempat pesta itu akan terjadi hal-hal yang akan membahayakan keselamatan puteri yang baru berusia sebelas tahun itu. Selain pasangan ini, datang pula pasangan yang dihormati banyak orang karena mereka datang dari kota raja dan kalau isterinya merupakan seorang wanita bangsawan yang lihai ilmu silatnya, suaminya juga seorang bangsawan yang memiliki kedudukan tinggi. Mereka ini bukan lain adalah Ceng Hiang, puteri seorang pangeran yang bernama Ceng Tiu Ong, juga murid keturunan keluarga Pulau Es yang ilmu silatnya tinggi sekali.Suaminya adalah Yu-kiang, seorang bangsawan tinggi di istana yang juga menerima undangan pribadi dari Lee-Kongcu yang kita ketahui bukan lain adalah Lee Song Kim.

Suami isteri yang usianya juga sudah mendekati empat puluh tahun itu mempunyai pula seorang anak perempuan yang usianya sudah sepuluh tahun, bernama Yu Bwee. Seperti juga pasangan pertama tadi, Yu-kiang dan Ceng Hiang meninggalkan puteri mereka. Mereka datang naik kereta dan dikawal oleh pasukan pengawal istana yang berpakaian indah sebanyak dua losin orang sehingga kedatangan mereka itu menarik perhatian. Masih ada lagi pasangan suami isteri yang tidak kalah menariknya, karena sepasang suami isteri ini pernah menggegerkan duna persilatan dengan sepak terjang mereka yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Seperti kita ketahui, mereka ini telah mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Tan Bun Hong, berusia dua belas tahun.

Ketika Tan Ci Kong membantu perjuangan Tai Peng, isterinya, Siauw Lian Hong, tidak ikut berjuang melainkan mengajak puteranya untuk menyingkir di puncak Naga Putih karena rumah mereka telah terancam oleh pasukan pemerintah akibat kunjungan Ong Siu Coan yang menjadi buronan pemerintah. Ketika Tan Ci Kong meninggalkan Ong Siu Coan karena melihat penyelewengan Tai Peng, dia juga menyusul isterinya ke puncak itu dan selanjutnya mereka tinggal di tempat itu, hidup sebagai petani dan pemburu. Hidup di antara penduduk gunung yang sederhana itu mereka merasa tenteram dan semenjak meninggalkan perjuangan, baru Ci Kong turun gunung ketika dia dikunjungi oleh Thian Khi Hwesio, dimintai bantuannya untuk menyelidiki tentang pembunuhan terhadap orang-orang Kun-Lun-Pai yang didesas-desuskan dilakukan oleh orang Siauw-Lim-Pai.

Kemudian Tan Ci Kong berhasil melerai dan menggagalkan perkelahian yang hampir saja terjadi antara tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, karena adu domba yang dilakukan oleh Lee Song Kim. Kemudian, dia pulang ke puncak Naga Putih karena maklum bahwa dalam pelaksanaan tugasnya kali ini, dia perlu dibantu oleh isterinya yang juga lihai sekali. Mereka berdua meninggalkan putera mereka dan berangkat turun gunung karena pada waktu Ci Kong tiba di rumah, telah lebih dulu tiba undangan dari Lee-Kongcu itu. Suami isteri inipun tertarik sekali dan merekapun langsung saja menuju ke lembah Yang-ce-kiang dan di situ mereka bertemu dengan kawan-kawan lama sehingga terjadilah pertemuan yang amat menggembirakan.

"Siapakah sebenarnya orang yang menamakan dirinya Lee-Kongcu ini?" tanya Ciu Kui Eng. Mereka berenam duduk di tepi anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir ke arah Sungai Yang-ce-kiang yang besar.

"Akupun ingin sekali tahu siapa dia. berani sekali dia mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan agaknya dia mengundang semua orang gagah di dunia. Bahkan ada beberapa orang jenderal dia undang. Sungguh orang yang memiliki kebernian besar sekali!" kata Ceng Hiang. Ci Kong dan isterinya saling pandang. Mereka berdua sudah menduga siapa adanya orang yang dibicarakan itu. Ci Kong lalu bertanya,

"Agaknya kalian akan lebih heran lagi kalau tahu siapa dia. Akupun baru menduga saja, akan tetapi agaknya tidak akan meleset dugaanku ini. Dia itu tentulah Lee Song Kim!"

"Eh? Si keparat yang berhati palsu itu? Dia pernah mengkhanati para pimpinan pejuang sehingga mereka semua ditawan oleh pemerintah Ceng! Dan kini dia berani membuat ulah seperti ini? Sungguh tak tahu diri!" kata Thio Ki kaget dan heran.

"Hemm, kulihat kepandaiannya biasa saja, paling tinggi hanya setingkat dengan aku! Bagaimana dia berani bertingkah mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia?" kata pula Ciu Kui Eng merasa penasaran.

"Hemm, diapun menjadi buronan pemerintah. Kini dia berani mengundang para tokoh militer, apakah dia sudah bosan hidup?" Yu-kiang bernata.

"Harap kalian jangan memandang rendah orang ini," kata Siauw Lian Hong yang sudah mnerima keterangan dari suaminya tentang dugaan suaminya bahwa Lee Song Kim inilah orangnya yang telah mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, bahkan membunuh tokoh-tokoh pandai dari Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai.

"Kita mengenal Lee Song Kim, murid Hai-Tok yang amat licik itu. Kita semua tahu betapa liciknya dia, sehingga mudah saja dia mengkhianati dan menjebak para pucuk pimpinan para pejuang. dan murid-murid Hai-Tok memang hebat. Lihat saja Kiki, nukankah gadis yang dulu kekanak-kanakan itu sekarang telah pula menjadi permaisuri seorang Kaisar? Kurasa, kalau Lee Song Kim sekarang berani mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, tentu dia memiliki andalan yang kuat."

"Benar, kita tidak boleh memandang rendah orang bernama Lee-Kongcu yang aku yakin tentu Lee Song Kim itu. Sebelum mengangkat dirinya menjadi jagoan nomor satu di dunia dengan mengundang banyak tokoh persilatan, orang yang bernama Lee-Kongcu itu telah membuat kegemparan. Bayangkan saja, dia telah mengadu domba antara Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai sehingga hampir saja tokoh-tokoh kedua perkumpulan besar itu saling hantam sendiri karena saling menyangka lain pihak membunuh tokoh-tokoh mereka. Dan yang membunuhnya bukanlain adalah Lee-Kongcu itulah. Dia telah membunuh orang-orang terkenal Kun-Lun-Pai seperti tiong Gi Tojin, Tiong Sin Tojin, dan juga Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dan dia telah membunuh pula Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-Lim-Pai."

"Ahhh...!" Semua orang berseru kaget.

"Agaknya dia telah mempelajari ilmu-ilmu tinggi selama belasan tahun ni, dan siap tahu kita jauh ketinggalan dari dia," kata Ceng Hiang sambil mengepal tinju. Ia pribadi mempunyai kenangan pahit dengan Lee Song Kim, dan orang itu merupakan seorang di antara musuh yang dibencinya.

"Semua itu hanya dugaan saja dari suamiku," kata Lian Hong,

"walaupun dugaan itu agaknya pasti benar. sebaiknya kita tunggu saja sampai saatnya tiba."

Demikianlah, dengan hati tegang enam orang itu lalu ikut bersama rombongan tamu memasuki perkampungan baru yang dibangun oleh Lee-Kongcu untuk keperluan pesta itu. Pesta diadakan pada pertengahan musim semi sehingga udaranya cerah dan pemandangan indah sekali, pohon-pohon penuh daun dan bunga, dan air anak sungai mengalir jernih. Di tempat terbuka yang merupakan kebun, di bawah pohon-pohon besar, terdapat meja kursi yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga mengitari sebuah panggung di mana diatur pula meja kursi untuk tamu kehormatan. Anak buah Lee-Kongcu yang berpakaian rapi dan seragam biru putih, menyambut para tamu dengan penuh kehormatan, dan agaknya memang sudah diatur sebelumnya oleh Lee-Kongcu. Tanpa ragu-ragu para penyambut ini mengiringkan orang-orang penting, di antaranya para panglima dari kota besar dan kota raja,

Termasuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga para kepala perkumpulan besar dan orang-orang golongan tua yang pantas dihormati karena usia dan kedudukannya, menuju ke panggung kehormatan. Tan Ci Kong, Siauw Lian Hong, Thio Ki dan Ciu Kui Eng yang tidak dipersilahkan ke panggung kehormatan, mengambil tempat duduk tak jauh dari panggung agar mereka dapat menyaksikan dari dekat ulah dari tuan rumah yang belum memperlihatkan diri itu. Dua pasang pendekar ini duduk diam saja, akan tetpi mereka memasang mata dan memperhatikan siapa yang datang berkunjung. Diam-diam mereka merasa kagum juga melihat betapa para tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh pesilatan yang penting, ketua atau wakil partai-partai besar, bahkan banyak pula terdapat pembesar penting dari daerah dan dari kota raja!

Mereka kagum karena ternyata orang she Lee yang menamakan diri Lee-Kongcu dan mereka duga tentu Lee Song Kim itu ternyata memiliki keberanian besar dengan mengundang demikian banyak tokoh penting. Banyak di antara para tamu yang tidak mereka kenal. Mereka tidak tahu bahwa di antara banyak tamu yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang itu, terdapat beberapa orang mata-mata, baik dari pemerintah Mancu, dari Tai Peng, maupun mereka yang bekerja untuk orang

kulit putih. Para mata-mata itu memperoleh kesempatan baik untuk menyusup sebagai tamu. Dengan pandang mata mereka yang tajam dan pengalaman mereka berkecimpung dalam dunia kang-ouw selama belasan tahun, dua pasang pendekar ini dapat melihat bahwa kalau dibuat perbandingan, di antara yang hadir itu jauh lebih banyak golongan sesatnya daripada golongan pendekar, sehingga diam-diam mereka waspada.

Bahkan di antara para penyambut yang mewakili Lee-Kongcu, Ci Kong melihat seorang wanita cantik yang nampak berusia tiga puluh tahun lebih, anggun dan berwibawa, Dia merasa heran sekali, karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Theng Ci, tokoh dari Ang-Hong-Pai! Pernah dia bersama gurunya, yaitu Kakek sakti Siauw-Bin-Hud, mendatangi perkumpulan Ang-Hong-Pai untuk menemui Theng Ci, tokoh perkumpulan itu. Ketika itu gurunya, yaitu Kakek sakti Siauw-Bin-Hud, mencari perampas pedang pusaka Giok-Liong-Kiam karena dialah yang disangka perampasnya. Theng Ci merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan pedang pusaka itu dan yang mengenal perampasnya. Biarpun belasan tahun telah terlewat, ternyata wanita itu masih nampak sehat dan muda, padahal usianya sudah mendekati enam puluh tahun.

Kalau orang she Lee itu mempuyai pembantu seperti Theng Ci, tentulah dia bukan orang baik-baik, pikir Ci Kong. Akhirnya tamu terakhir datang dan hampir semua bangku di kebun itu telah diduduki tamu yang merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah panggung di mana duduk kurang lebih dua puluh orang tamu kehormatan. sejak tadi, serombongan pemain musik meramaikan suasana, dan beberapa orang gadis penyanyi membuka mulut menyanyikan lagu-lagu merdu sehingga ada semacam kegembiraan seperti yang biasa terdapat dalam sebuah pesta. Tiba-tiba suara musik dan nyanyian itu menjadi lirih dan akhirnya berhenti. Lalu rombongan pemusik itu memukul kembali alat musik mereka, kini dengan nyaring dan di antara suara tambur dan canang itu terdengarlah teriakan orang.



JILID 10

"Yang terhormat Lee-Kongcu akan keluar untuk menyambut para tamu!" Semua orang memandang dan dari lorong yang menuju ke panggung itu muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan. Laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, wajahnya tampan dan pesolek, mulutnya dihias senyum, kumis dan jenggotnya teratur rapi, pakaiannya dari Sutera yang mahal dengan potongan seperti seorang terpelajar atau bangsawan. Akan tetapi gagang emas sepasang belati di pinggang dan sebatang pedang di punggung menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang pelajar yang lemah. Langkahnya tegap dan dia naik ke atas panggung sambil tersenyum dan mengangguk ke kanan kiri, lagaknya seperti seorang pembesar atau bahkan raja yang kedatangannya sudah dinanti oleh banyak orang!

Biarpun kini wajahnya yang tampan menjadi semakin gagah oleh kumis dan jenggot yang terpelihara baik, para pendekar yang hadir di situ masih mengenal bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Lee Song Kim, murid datuk sesat Hai-Tok Tang Kok Bu! Siauw Lian Hong mengepal tinju, juga Ciu Kui Eng, karena kedua orang wanita itu membenci Lee Song Kim. Tidak salah dugaan Ci Kong dan pendekar ini memandang tajam. Kalau Lee Song Kim sudah berani mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, maka tentu dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hal ini sudah dibuktikan dengan pembunuhan terhadap para tokoh Kun-Lun-Pai, bahkan wakil ketua Siauw-Lim-Pai juga dibunuhnya! Kini dia melihat bahwa Lee Song Kim yang berambisi untuk menjadi jago nomor satu di dunia itu sengaja melakukan pembunuhan-pembunuhan dengan maksud mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai.

Kalau kedua partai persilatan besar itu sampai bermusuhan, maka tentu akan menjadi lemah dengan sndirinya dan dialah yang akan mendapat keuntungan, karena akan lebih lancar jalannya menuju ke arah kedudukan yang dicita-citakan yaitu sebagai bengcu (pemimpin rakyat) di antara tokoh-tokoh persilatan, menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan! Melihat sinar mencorong keluar dari sepasang mata Lee Song Kim, Ci Kong dapat menduga bahwa orang ini sekarang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, dan tentu selama belasan tahun ini telah menggembleng dirinya. Teringatlah dia akan kematian Hai-Tok di tangan para tokoh Siauw-Lim-Pai ketika datuk sesat itu tertangkap basah mencuri kitab-kitab Siauw-Lim-Pai,

Dan diapun telah mendengar akan lenyapnya kitab-kitab pelajaran silat rahasia dari perkumpulan perkumpulan besar. Tak salah lagi, pikirnya. tentu Lee Song Kim dan gurunya, mendiang Hai-Tok, yang telah melakukan pencurian-pencurian itu, dan agaknya semua kitab itu telah dipelajari dan dilatih dengan baik oleh Song Kim. Dia dapat menjadi seorang lawan yang amat berbahaya, pikirnya. Sementara itu, Song Kim yang memandang ke sana-sini sambil tersenyum, tentu saja mengenal wajah-wajah mereka yang pernah menjadi musuhnya, akan tapi dia bersikap biasa, seolah-olah belum penah melihat mereka. Kemudian dia melangkah ke tepi panggung, menghadapi semua tamu dan berkali-kali dia memberi hormat dengan bersoja ke kanan kiri dan depan, terutama kepada para tamu kehormatan yang duduk di atas panggung.

"Selamat datang, cuwi yang mulia! Selamat datang dan terima kasih atas kunjungan cuwi memenuhi undangan kami. Sebelum membicarakan urusan penting yang menjadi maksud undangan kami, kami persilakan cuwi menikmati hidangan sekedarnya!" Setelah berkata demikian Lee Song Kim lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan untuknya dan para pelayan wanita yang kesemuanya adalah anggauta Ang-Hong-Pai, segera sibuk mengeluarkan hidangan yang masih panas. Yang oleh Lee Song Kim, dinamakan hidangan sekedarnya itu ternyata merupakan hidangan yang serba mahal dan lezat.

Sebentar saja meja-meja itu penuh hidangan, dan terciumlah di antara bau yang sedap dan gurih itu, bau arak yang keras dan harum. Tamupun tidak sungkan-sungkan lagi, menyerbu hidangan dan mereka makan minum dengan gembira. Bahkan para pembesar militer dari kota raja diam-diam merasa kagum melihat hidangan yang disuguhkan itu tidak kalah royalnya dibandingkan dengan hidangan yang keluar dalam pesta seorang bangsawan besar. Memang Lee Song Kim sengaja mengadakan pesta besar untuk mendapatkan kesan baik dari para tamunya. Setelah para tamu makan minum secukupnya, Lee Song Kim kembali bangkit berdiri di tepi panggung dan memberi hormat kepada para tamunya. Semua tamu maklum bahwa kini tuan rumah tentu akan mengumumkan maksud undangannya, maka semua orang memandang penuh perhatian.

"Cuwi yang mulia!" katanya yang suaranya lantang, didorong oleh Tenaga khikang yang kuat, wajahnya serius namun senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya.

"sekarang tiba saatnya bagi kami untuk membicarakan urusan penting, yaitu maksud dari undangan yang kami kirimkan dan sebarkan untuk cuwi. Kita semua mengetahui bahwa dewasa ini, kehidupan rakyat terancam oleh perang yang terjadi di mana-mana. negara mempunyai banyak musuh. dalam keadaan sekacau ini, sudah sepatutnyalah kalau kita, orang-orang kaum persilatan, bangkit untuk mengamankan keadaan dan membantu pemerintah mengatasi keadaan. Bagaimana pendapat cuwi? Tidak benarkah apa yang telah saya kemukakan tadi?"

"Akur, akur!"

"Setuju sekali!" Teriakan-teriakan menyambut ini dipelopori oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Song Kim, dan diturut oleh sebagian besar golongan sesat. Dan karena apa yang diucapkan Song Kim memang tak dapat dibantah kebenarannya, para pendekar juga banyak yang mengangguk menyatakan setuju. Song Kim dengan wajah berseri mengangkat kedua tangan ke atas memberi tanda kepada semua tamu agar tenang.

"Cuwi yang mulia. Biarpun kita kaum persilatan harus bangkit, namun kalau kebangkitan itu dilakukan secara liar dan sendiri-sendiri, tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan dan persaingan. Oleh karena itu, perlu kiranya kalau kita bersatu dan untuk dapat terlaksananya persatuan di antara para tokoh dunia persilatan, sudah semestinya kalau perlu adanya seorang bengcu yang akan memimpin kaum kang-ouw. Tentu saja seorang pemimpin haruslah memiliki ilmu silat tertinggi. Setujukah cuwi?" Kembali sambutan dipelopori kaki tangan Song Kim dan diturut oleh sebagian besar para tamu. Akan tetapi banyak di antara para pendekar yang diam saja. Kembali Song Kim mengangkat kedua tangan minta tenang.

"Cuwi tentu telah mengetahui bahwa belasan tahun yang lalu, pernah terjadi geger ketika semua orang memperebutkan pusaka Giok-Liong-Kiam dan pusaka itu dianggap sebagai lambang keunggulan. Siapa yang memiliki pusaka itu dianggap memiliki kepandaian tinggi dan pantas menjadi seorang bengcu! Pemilik Giok-Liong-Kiam boleh diangkat menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan dingkat menjadi bengcu, karena kalau dia sudah berhasil memiliki Giok-Liong-Kiam, maka berarti bahwa dia tentu berkepandaian tinggi! Setujukah cuwi kalau kita memilih orang yang telah memiliki Giok-Liong-Kiam menjadi bengcu?"

"Setuju...!" Kembali anak buahnya memelopori dan diturut oleh beberapa orang golongan sesat.

"Nanti dulu...!" Tiba-tiba Yu Kiang, suami Ceng Hiang yang duduk dikursi kehormatan, berseru. Semua orang memandang kepadanya, juga Song Kim membalik menghadapi orang itu.

"Kami mendengar bahwa Giok-Liong-Kiam berada di tangan pemimpin pemberontak Tai Peng yang kini mengangkat diri menjadi raja, yaitu Ong Siu Coan. Apakah ini berarti bahwa kita harus mengangkat pemimpin pemberontak itu menjadi bengcu sehingga kita semua akan menjadi pengkhianat dan pemberontak?"

Para pendekar juga saling pandang dengan heran. Mereka yang pernah membantu gerakan Tai Peng sebelum mereka kemudian meninggalkan Tai Peng yang melakukan penyelewengan, tahu belaka bahwa Giok-Liong-Kiam memang berada di tangan Ong Siu Coan. Apalagi Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar ini tentu saja tahu dengan jelas tentang Giok-Liong-Kiam, karena merekalah yang memberikan Giok-Liong-Kiam kepada Ong Siu Coan yang datang berkunjung kepada mereka yang meminjamnya. Bagimana kini Song Kim berani mengatakan bahwa para tamu harus memilih pemegang Giok-Liong-Kiam menjadi bengcu? Bukankah hal itu berarti bahwa orang itu mengusulkan agar mereka semua memilih Ong Siu Coan menjadi pemimpin dunia persilatan? Akan tetapi Song Kim tidak menjadi gugup mendengar semua pertanyaan itu. Dia bahkan tersenyum cerah.

"Justeru karena Giok-Liong-Kiam pernah dimiliki oleh pemimpin besar Tai Peng, maka siapa yang mampu mengambilnya dari istananya di Nan-king, berarti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan pantaslah kalau menjadi pimpinan atau bengcu. Saya yang tanggung bahwa Giok-Liong-Kiam bukan berada di tangan pemimpin Tai Peng itu, melainkan di tangan seorang yang ilmu kepandaiannya melebihi Ong Siu Coan! Pantaskah pemilik Giok-Liong-Kiam itu diangkat menjadi bengcu?"

"Pantas! Pantas!"

"Setuju! Setuju!" kembali kaki tangannya berteriak dan diikuti oleh banyak tamu dari golongan sesat.

"Akan tetapi siapakah yang kini menjadi pemilik Giok-Liong-Kiam?" teriak Siauw Lian Hong yang tidak sabar lagi menanti, melihat sikap Song Kim yang dianggap sombong dan menyebalkan. Lee Song Kim memandang kepadanya lalu menjura.

"Pertanyaan pendekar wanita Siauw Lian Hong itu memang tepat, dan agaknya menjadi pertanyaan dari cuwi yang hadir, maka baiklah saya jawab. Giok-Liong-Kiam kini berada di tangan Thian-He Te-It Bu-Hiap. Inilah dia!" Dan diapun mengeluarkan pedang Giok-Liong-Kiam itu dari balik jubahnya. Diangkatnya pedang pusaka itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Pedang kecil berukir tubuh naga dan terbuat dari batu giok (kemala) hujau kemerahan itu nampak mengkilap dan indah sekali ketika dicabut dari rangkanya. Semua orang memandang kagum dengan mata terbelalak dan Lian Hong hendak bangkit berdiri. Mukanya merah, matanya bernyala dan penuh kemarahan.

"Pencuri keparat...!" desisnya, akan tetapi suaranya tenggelam ke dalam kegaduhan yang terjadi setelah semua tamu melihat Giok-Liong-Kiam itu. Suaminya, Tan Ci Kong segera memegang lengannya dan menariknya dengan halus agar duduk kembali.

"Tenanglah, di sini kita tidak bisa mengaku pernah membantu Ong Siu Coan," bisiknya. Lian Hong mengangguk dan biarpun mukanya masih kemerahan dan matanya bersinar marah, ia diam saja. memang, tidak mungkin di tempat terbuka seperti itu, di mana hadir pula beberapa orang pembesar militer Kerajaan Ceng, mereka mengaku bahwa merekalah yang meminjamkna pedng Giok-Liong-Kiam kepada Ong Siu Coan, pemimpin pemberontak Tai Peng itu.

"Pedang itu palsu!" teriak seorang tamu.

"Semua orang tahu pedang Giok-Liong-Kiam yang aseli berada di tangan raja Tai Peng di Nan-king!" Mendengar teriakan ini, banyak pasang mata memandang ke arah pedang itu di tangan Song Kim itu dengan penuh keraguan. Akan tetapi, Ci Kong dan Lian Hong mengenal pedang itu dan mereka berdua merasa yakin bahwa pedang yang dipegang Song Kim itu memang Giok-Liong-Kiam aseli. Song Kim tertawa sopan mendengar pedang itu disangka palsu. Dia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.

"Cuwi, lihatlah baik-baik. Pedang Giok-Liong-Kiam ini aseli! Tanya saja kepada para pendekar yang pernah memperebutkannya belasan tahun yang lalu. Kalau palsu, tentu mereka akan menyangkalnya. Pedang ini aseli dan kalau ada Giok-Liong-Kiam lain, baik yang berada di tangan pemimpin Tai Peng sekalipun, maka pedang itu jelas palsu! Yang aseli berada di tangan Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan siapa yang menyangkal, berarti tidak percaya kepada Thian-He Te-It Bu-Hiap, dan tidak percaya sama dengan penghinaan. Nah, cuwi yang mulia. pemegang Giok-Liong-Kiam adalah jagoan nomor satu, dan pantas untuk menjadi bengcu. Apakah cuwi setuju?" Sorak-sorai menyambut kata-kata ini, tentu saja yang menjadi pelopor adalah orang-orang yang sudah takluk kepada Lee Song Kim, diikuti oleh mereka yang menjadi golongan sesat dan merasa kagum kepada orang she Lee itu.

"Terima kasih, cuwi. Akan tetapi, saya kira di antara para pendekar yang hadir, ada yang tidak setuju dan siapa yang merasa lebih pandai dari Thian-He Te-It Bu-Hiap dan hendak menguji kepandaiannya agar dapat percaya, silakan maju." Ini merupakan tantangan secara berterang! Diam-diam Ci Kong terkejut. Kalau Song Kim sudah berani mengajukan tantangan tanpa pandang bulu seperti itu, jelas bahwa orang ini sudah merasa bahwa dia tidak mempunyai tandingan lagi! Betapa sombongnya! Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar meloncat ke atas panggung. Panggung itu sampai mengeluarkan bunyi dan agak bergoyang ketika tubuhnya yang berat dan kokoh kuat itu meloncat naik.

"Aku Yauw Kang mewakili Thian-He Te-It Bu-Hiap untuk menguji kelihaian orang yang berani memakai julukan Thian-He Te-It Bu-Hiap sebelum kami mengakuimu sebagai bengcu, orang she Lee!" katanya dan suaranya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, karena suara ini nyaring dan besar. Lee Song Kim menyimpan kembali Giok-Liong-Kiam di balik jubahnya, lalu melangkah maju menghadapi raksasa bernama Yauw Kang itu, senyumnya melebar dan sikapnya tenang sekali, bahkan jelas memandang rendah.

"Saudara Yauw adalah seorang tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap? Akan tetapi, apakah tidak ada tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap lain yang lebih tinggi tingkatnya untuk maju agar para tamu yang terhormat dapat mengagumi ilmu kepandaiannya? Harap saudara Yauw mundur dan biarkan tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap yang paling lihai maju agar tidak membuang waktu." Ucapan itu dikeluarkan dengan suara hormat dan manis, namun sesungguhnya merupakan tamparan keras karena jelas bahwa Song Kim memandang rendah kepada laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh tahun itu.

"Lee-Kongcu terlalu memandang rendah Thian-He Te-It Bu-Hiap!" bentak Yauw Kang.

"Ketahuilah bahwa aku ditugaskan mewakili Thian-He Te-It Bu-Hiap dan aku adalah murid kepala pertama yang mewakili Suhu menggembleng para murid tingkat tinggi

"Bagus sekali kalau begitu," kata Song Kim tanpa melepas senyumnya.

"Saudara Yauw adalah tokoh tingkat dua dari Thian-He Te-It Bu-Hiap? Dan ingin menguji kepandaian Thian-He Te-It Bu-Hiap? Baik, majulah!" Yauw Kang yang sudah marah itu memasang kuda-kuda. Tubuhnya nampak kokoh kuat dan otot-ototnya mengembung. Tubuh yang tertutup pakaian itu seolah-olah membesar dan matanya mengeluarkan sinar.

"Lee-Kongcu, bersiaplah dan jaga seranganku!" Yauw Kang menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali, kedua telapak tangannya bertemu di udara mengeluarkan suara ledakan keras dan kedua tangan itu kini melancarkan pukulan, yang atas menghantam ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan telapak tangan, sedangkan yang bawah menyodok ke arah ulu hati. Cepat dan dahsyat serangan ini.

"Hemm, Cun-lui-tong-thian (Guntur Musim Semi Menggetarkan Langit)!" kata Lee Song Kim dan seperti yang sudah hafal akan jurus ini, kedua tangannya sudah menyambut dengan tangkisan perlahan. Kedua tangan Yauw Kang yang menyerang itu terpental dan kini Song Kim mengajukan kakinya, kemudian kedua tangannya menyerang dengan jurus yang persis sama!

"Uhhh...!" Tentu saja Yauw Kang kaget dua kali. Pertama kali ketika dia tadi mendengar jurus serangannya disebut dan ditangkis secara tepat oleh lawan dan kedua kali ketika lawan menyerangnya dengan jurus Cun-lui-tong-thian pula, dengan gerakan yang cukup cepat, kuat dan sempurna. Karena jurus itu amat berbahaya, sekaligus mengancam dua daerah berbahaya, yaitu ulu hati dan ubun-ubun kepala, maka cepat diapun menangkis pula seperti yang dilakukan oleh Song Kim radi. Akan tetapi, tiba-tiba saja lutut kirinya tercium ujung sepatu kanan Song Kim dan seketika itu menjadi lumpuh dan diapun jatuh berlutut dengan sebelah kaki! Song Kim tidak melanjutkan serangannya, melainkan membungkuk seperti membalas penghormatan orang.

"Saudara Yauw dari Thian-He Te-It Bu-Hiap tidak perlu sungkan- sungkan. berdirilah!" katanya, seolah-olah menolak penghormatan dengan berlutut! Tentu saja wajah Yauw Kang menjadi merah sekali. Dia merasa heran bukan main. Tuan rumah ini bukan saja dapat memainkan jurus ampuh dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan dapat menambah jurus itu dengan tendangan kaki ke arah lutut! Maklumlah dia bahwa orang yang mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu dan menjadi bengcu ini memang amat lihai dan dia bukanlah lawannya. Akan tetapi dia tetap merasa penasaran bagaimana orang yang bukan murid Thian-He Te-It Bu-Hiap mampu mengenal dan memainkan jurus simpanan radi. Dia bangkit dan terpincang, menjura,

"Lee-Kongcu memang lihai. Aku mengaku kalah." katanya jujur.

"Akan tetapi dari mana engkau bisa mendapatkan jurus ilmu silat kami tadi?"

"Dia mencuri dari kita!" tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan Kun-Lun-Pai. Song Kim tersenyum dan menoleh ke arah rombongan itu.

"Aku Lee Song Kim bukan tukang curi. Aku tidak mencuri jurus dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, tidak pernah!"

"Hai-Tok, hurunya, yang mencuri!" Tiba-tiba terdengar Kui Eng berteriak marah. Seperti juga Lian Hong, sejak tadi wanita itu marah-marah dan kalau tidak disegah suaminya, tentu ia sudah maju dan menyerang Lee Song Kim. Kembali Song Kim tersenyum.

"Itu bukan urusanku, yang penting aku tidak mencuri. Tentu saja sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap, aku harus melengkapi pengetahuanku mengenai ilmu silat. Nah, siapa yang masih merasa penasaran dan hendak menguji ilmuku, silakan maju."

Sementara itu, kaum sesat yang memang sudah merasa kagum, ditambah semangat mereka oleh adanya Giok-liong- kiam di tangan Lee-Kongcu, kini menjadi semakin kagum dan gembira melihat betapa orang yang hendak mereka angkat mejadi pimpinan itu dalam segebrakan saja mampu mengalahkan tokoh kuat dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan dengan menggunakan jurus Thian-He Te-It Bu-Hiap pula! Hebat! Para ketua dan wakil partai-partai tadinya seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai dan lain-lain tidak ada yang mau maju. Mereka menganggap bahwa tidak perlu melayani seorang yang gila kehormatan seperti Lee Song Kim itu. Pula, mereka tidak memperebutkan sesuatu. biarlah orang ini menjadi bengcu, mereka toh tidak akan mengakui dan hanya golongan sesat saja yang agaknya mengakuinya. Maka,yang dinamakan "bengcu" ini sama sekali bukan pemimpin rakyat, bukan pemimpin para tokoh dunia persilatan,

Melainkan memimpin orang-orang jahat dari golongan hitam! Akan tetapi, karena tidak terikat oleh suatu aliran persilatan tertentu, dan karena merasa penasaran akan kesombongan orang she Lee yang mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan bengcu, masih ada dua orang ahli silat dari dunia persilatan yang bebas, berturut-turut maju dan menghadapi Lee Song Kim. Tingkat kepandaian dua orang ini tidak lemah, bahkan masih lebih lihai dibandingkan Yauw Kang tadi. Namun, mereka itupun bukan lawan tangguh bagi Lee Song Kim dan dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh Song Kim. Mereka tidak menderita luka parah, karena Song Kim yang cerdik dan sedang mencari dukungan itu tidak mau membuat orang membencinya dengan membuat lawan luka parah, apalagi tewas.

"Masih adakah di antara cuwi yang merasa bahwa aku tidak pantas menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menjadi bengcu? Kalau masih ada yang ragu-ragu dan ingin menguji kepandaian, silakan maju sebelum pertemuan ini dibubarkan."

"Manusia sombong!" Kui Eng membentak. Biarpun bentakan itu bercampur dengan kegaduhan orang-orang yang memuji-muji Song Kim yang dengan amat mudahnya telah mengalahkan tiga orang lawan yang lihai itu, namun agaknya Song Kim dapat mendengarnya dan diapun menoleh ke arah Kui Eng. Memang terdapat perasaan suka dalam hati Song Kim terhadap Ciu Kui Eng ini.

Belasan tahun yang lalu, ketika Kui Eng masih seorang gadis cantik jelita, pernah ia bersama Lian Hong dan Ci Kong menyamar untuk melakukan penyelidikan ke kota raja. Mereka bertemu dengan Lee Song Kim yang jatuh cinta kepada Kui Eng dan melamarnya! Kui Eng tentu saja menolaknya dan Ci Kong yang marah-marah membuat penyamaran mereka terbuka dan mereka nyaris celaka. Kini, melihat wanita yang pernah dicintanya itu, diam-dim Song Kim tertarik. Dia sudah mendengar bahwa Ciu Kui Eng, murid Tee-tok itu, telah menikah dengan orang yang kini menjadi ketua Kang-Sim-Pang dan biarpun dia belum mengenalnya, namun dia dapat menduga bahwa pria yang gagah dan duduk di dekat Kui Eng itu tentulah ketua Kang-Sim-Pang yang menjadi suami Kui Eng itu. Dia tersenyum dan sengaja memandang kepada mereka ketika mengeluarkan kata-kata yang lantang.

"Benarkah tidak ada lagi orang gagah yang meragukan keunggulanku? Tidak ada lagi yang hendak menguji kepandaianku? Apakah karena tidak berani? Kami pernah mendengar bahwa perkumpulan Kang-Sim-Pang memiliki banyak orang gagah perkasa. Apakah tidak ada wakilnya di sini? Sudah lama sekali aku ingin bertemu, berkenalan dan membuktikan apakah kaki tangan mereka sama kerasnya dengan hati mereka!" Dengan ucapan ini Song Kim menyindir nama perkumpulan itu karena Kang-Sim-Pang berarti Perkumpulan Hati Baja! mendengar tantangn ini, tentu saja betapapun sabarnya, wajah Thio Ki menjadi merah sekali.

Dialah yang ditantang dan dia tidak percaya apakah Lee Song Kim mengeluarkan kata-kata itu hanya kebetulan saja, agaknya memang sengaja melontarkan kata-kata itu untuk menantangnya? Dialah orang Kang-Sim-Pang, bahkan ketuanya! Akan tetapi ada orang yang lebih panas hatinya dan lebih marah dari[ada dia ketika mendengar ucapan Song Kim itu. Orang itu adalah isterinya sendiri, Ciu Kui Eng! Memang sejak tadi Ku Eng sudahmarah kepada Song Kim. Apalagi ketika mendengar tantangan yang jelas ditujukan kepada suaminya itu. Ia mendahului suaminya, karena melihat kelihaian Song Kim, ia masih ragu apakah suaminya akan mampu menandingi manusia sombong itu. Song Kim adalah murid mendiang Hai-Tok, maka ialah tandingannya, ia murid Tee-tok sehingga dapat dibilang bahwa ia setingkat dengan Song Kim. maka, melihat sikap suaminya yang menjadi marah, ia segera bangkit dan berseru nyaring.

"Lee Song Kim, manusia sombong, akulah lawanmu!" dan iapun hendak meloncat ke atas panggung. Akan tetapi Thio Ki sudah memegang lengan isterinya danmencegah.

"Aku yang ditantang, biarlah aku yang akan menghadapinya!" kata Thio Ki.

"Tidak perlu engkau maju sendiri, akupun cukup untuk menghajarnya!" kata Kui Eng keras dan ia melepaskan pegangan tangan suaminya. thio Ki melepaskan tangan isterinya karena pada saat itu, banyak mata ditukukan kepada mereka. thio ki maklum bahwa icapan isterinya tadi sengaja untuk mengangkat dirinya karena banyak orang melihat dan mendengarnya.

Isterinya sengaja mengatakan bahwa tidak perlu dia maju sendiri, biar isterinya yang maju menghajar Lee Song Kim. dengan ucapan itu seolah-olah isterinya hendak mengakui bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat isterinya. Padahal, di balik itu agaknya isterinya khawatir kalau-kalau dia tidak akan mampu menandingi song Kim! Kalau sampai dia kalah, tentu akan turun nama besar Kang-Sim-Pang! Dia tahu benar bahwa isterinya lebih lihai darinya dan kalau sampai isterinya tidak mampu mengalahkan Song Kim, apalagi dia! Kekalahan isteinya, andaikata sampai kalah, tidak akan mengganggu kebesaran nama Kang-Sim-Pang, tidak seperti kalau dia sendiri sebagai ketuanya yang kalah. Maka. dengan terharu dan khawatir, dengan kedua tangan terkepal, dia duduk kembali dan melihat saja ketika isterinya meloncat naik ke atas panggung.

Ciu Kui Eng adalah murid tunggal dari Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang menjadi datuk-datuk kaum sesat. Di antara ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, juga Tee-tok amat terkenal oleh kehebatan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa. Ketika Tee-tok tertarik kepada Kui Eng yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, dan bermaksud mengambil gadis itu sebagai muridnya, Ayah Kui Eng, yaitu mendiang Ciu Lok Tai hartawan di Tung-kang, menguji Tee-tok dengan senjata api. Diserang dengan senjata api, Tee-tok dapat menyelamatkan diri, menghindar dengan ginkangnya yang luar biasa sehingga dia seolah-olah segesit burung walet yang sukar untuk ditembak!

Karena telah mewarisi ilmu dari gurunya, ketika melompat ke atas panggung, gaya lompatan Kui Eng bagaikan seekor burung walet melayang saja, demikian ringan dan cepatnya tubuh itu melayang ke atas lalu menyambar turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara seolah-olah bukan tubuh manusia melainkan seekor burung yang hinggap di atas panggung, di depan Lee Song Kim! Semua orang terkejut dan kagum, bahkan di antara para pendekar yang sudah mengenalnya, bertepuk tangan dengan penuh harapan. Mereka mengenal siapa Ciu Kui Eng karena gadis perkasa ini pernah menjadi pemimpin pasukan pejuang yang terdiri dari pekerja- pekerja pelabuhan. Bahkan Thio Ki, yang kini menjadi suaminya, ketika itu menjadi pembantunya yang paling tangguh.

"Hidup Ciu-Lihiap!" terdengar beberapa orang berteriak gembira. Akan tetapi Song Kim tersenyum dan sejenak menatap wajah wanita itu dengan senyum yang khas, senyum memikat, juga sinis karena diapun memandang rendah kepandaian wanita ini. Karena dia hendak mengambil hati banyak orang, maka dia menahan diri, ridak mau mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap sopan dan ramah.

"Maaf, nyonya. tidak kelirukah ini? Suamimu berada di sana, dan dia adalah ketua Kang-Sim-Pang, kenapa tidak dia yang maju? Apakah engkau hendak mewakili dia karena engkau takut dia terluka? Ataukah engkau maju karena sebagai murid Tee-tok engkau hendak memperlihatkan kepandaian?" Ucapan itu dikeluarkan dengan halus dan ramah, namun bagi Kui Eng tajam bagaikan pisau menyayat perasaannya. Mukanya menjadi semakin merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi tanda bahwa ia menjadi marah sekali.

"Lee Song Kim, sejak dahulu engkau memang seorang manusia yang sombong, besar kepala, licik, curang. Aku yang naik kesini untuk mencoba kepandaianmu, mengapa engkau menyebut-nyebut suamiku? Kalau engkau takut menghadapi aku, katakan saja, jangan memakai banyak alasan!" Ucapan Kui Eng inipun tajam dan mengandung sindiran.

"Aku? Takut? Ha-ha-ha, Thian-He Te-It Bu-Hiap tidak perlu takut menghadapi siapapun juga, apalagi hanya seorang wanita seperti engkau, nyonya." kata Song Kim sambil tertawa menutupi persaan tidak enak di hatinya. Tentu saja dia tidak takut melawan Kui Eng, akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk mengalahkan sumai wanita ini dan untuk memamerkan kepandaiannya kepada wanita yang pernah dicintanya ini, bukan untuk bertanding melawan Kui Eng! Dia tidak takut, sama sekali tidak. Dulupun dia tidak takut melawan murid Tee- tok ini, apalagi sekarang!

"Tak perlu banyak membual, nah, sambutlah seranganku ini!" bentak Kui Eng dan iapun sudah menerjang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berkelebat ketika ia melakukan serangan ke arah Lee Song Kim. Song Kim tentu saja tahu akan lihainya wanita murid Tee-tok ini, maka diapun tidak berani main-main dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan keua tangannya menangkis dan balas menyerang. terjadilag serang menyerang yang seru dan sedemikain cepatnya sehingga hanya mereka yang memiliki ilmu tinggi saja dapat megikuti semua gerakan kedua orang itu. Ci Kong dan Lian Hong, juga Ceng Hiang, dan tentu saja Thio Ki, mengikuti jalannya petandingan itu dengan penuh perhatian. hati mereka terasa tegang karena memang perkelahian di atas panggung itu hebat sekalim berbeda sama sekali dengan ketika Song Kim melawan lawan-lawan yang tadi.

Ilmu silat Kui Eng sungguh tak boleh dipandang ringan, karena selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari Tee-tok, juga wanita ini telah mendapatkan banyak pengalaman ketika ia aktip dalam perjuangan melawan pemerintah. Dengan ginkangnya yang memang luar biasa, Kui Eng berusaha mendesak lawannya. Ia mengeluarkan jurus-jurus pilihan dari Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun yang dipelajarinya dari Tee-tok. Ilmu silat ini merupakan ilmu silat andalan dari Tee-tok, gerakan-gerakannya amat dahsyat dan dimainkan mengandalkan kecepatan kilat disertai tenaga sinkang yang khusus dilatih untuk Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun (Silat Sakti Pengejar Nyawa). Namun, biar dia tidak pernah mendapat kesempatan mempelajari ilmu simpanan dari Tee-tok itu, Song Kim selalu dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan.

Harus diakuinya biarpun ia sudah menggembleng diri secara hebat selama ini, namun untuk dapat mengimbangi kecepatan dan keringanan tubuh Kui Eng, dia masih kalah setingkat. Namun, kekalahan dalam hal ginkang ini tertutup oleh kelengkapan ilmu silatnya yang beraneka ragam dan terutama tenaga sinkangnya yang lebih kuat daripada Kui Eng. Karena itu, semua serangan Kui Eng yang betapapun cepatnya, semua kandas oleh elakan danntangkisannya, bahkan ketika Song Kim mulai merobah-robah ilmu silatnya yang aneh-aneh dan serba tinggi, Kui Eng mulai terdesak. Wanita ini mengerahkan semua tenaga danmengeluarkan semua jurus simpanan, namun tetap saja ia sukar dapat membendung datangnya serangan yang serba aneh dan lihai itu.

"Lee Song Kim, lihat tongkatku!" tiba-tiba Kui Eng membentak dan nampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sebatang tongkat seperti sepotong ranting saja yang panjangnya kurang lebih tiga kaki, dan begitunia menggerakkan ranting hitam ini, terdengar bunyi suara mengaung dan Song Kim terkejut. Namun dia segera dapat menguasai dirinya dan mengelak ke sana sini, bahkan berusaha menangkap tongkat itu dengan tangannya yang kebal. Dia tentu saja sudah tahu bahwa keistimewaan Tee-tok adalah ilmu tongkat hitam yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dan agaknya dalam keadaan terdesak, Kui Eng kini mempergunakan ilmu tongkat itu.

Namun, Song Kim tidak menjadi gentar. Selama ini dia telah banyak mempelajari ilmu tongkat bahkan berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Siauw-Lim-Pai yang terkenal tangguh, maka melihat permainan Kui Eng, diapun tahu bahwa ilmu yang dimainkan oleh Kui Eng mempergunakan sebatang ranting hitam itu adalah gabungan dari ilmu pedang dan ilmu tongkat pendek. Dan dengan tenang diapun menghadapi serangan lawan dengan kedua tangan kosong saja! Biarpun dinpinggangnya terselip sepasang belati dan di punggungnya tergantung sebatang pedang, namun dia sengaja menghadapi lawan bersenjata ini dengan tangan kosong. Selain dia tidak ingin melukai wanita yang pernah dicintanya ini, juga dalam kesempatan ini dia dapat memamerkan kelihaiannya!

Dan memang dia hebat sekali. Ci Kong sampai bengong menonton perkelahian itu. Dia tahu betapa lihainya tongkat di tangan Kui Eng, namun tenyata Song Kim mampu menghadapin Kui Eng dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak nampak terancam atau terdesak! Diam-diam dia membuat ukuran dan harus diakuinya bahwa dia sendiripun belum tentu akan mampu mengalahkan Song Kim dalam keadaannya sepeti sekarang ini. Laki-laki itu ternyata telah menggembleng diri dan memperoleh kemajuan yang hebat sekali, bahkan jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Hai-Tok sendiri. Apa yang dikhawaturkan Ci Kong menjadi kenyataan. Belum sampai tiga puluh jurus sejak Kui Eng mempergunakan tongkatnya menghadapi Song Kim,

Tiba-tiba Song Kim mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanan mencengkeram ke arah leher wanita itu, disusul tangan kiri merampas tongkat dan kaki kanan menendang ke arah perut. Hebat bukan main serangan ini, dilakukan dengan cepat dan dengan tenaga sinkang yang kuat. Kui Eng terkejut. Kalau ia menghindarkan diri dari serangan cengkeraman dan tendangan yang beruntun, tongkatnya akan terampas. Kalau dipertahankannya tongkatnya, ia mungkin akan terkena oleh satu di antara serangan itu. Akan tetapi untuk melepaskan tongkatnya, merupakan pantangan baginya. Terampas senjata tongkat yang diandalkannya sama saja dengan menyerah kalah! Maka, ia mengelak dengan menarik tongkatnya ke belakang, tangan kirinya menangkis cengkeraman, dan agar jangan sampai terkena tendangan, terpaksa ia menyambut tendangan itu dengan kakinya pula.

"Desss...!" Akibat adu tendangan ini, tubuh Kui Eng terlempar keluar dari atas panggung dan hanya dengan ginkangnya yang istimewa ini dapat berjungkir balik membuat salto sampai tiga kali maka ia tidak sampai terbanting dan dapat turun dengan kaki lebih dulu ke bawah panggung! terdengar sorak sorai menyambut kemenangan Song Kim ini. Kui Eng merasa penasaran dan hendak meloncat naik lagi, akan tetapi tiba-tiba suaminya sudah ada di dekatnya, menggandengnya dan mengajaknya kembali duduk ke tempat semula. Lee Song Kim merasa gembira akan kemenangan itu, apalagi ketika melihat betapa makin banyak di antara tamu yang ikut menyambut kemenangannya. Biarpun demikian, dia melihat betapa banyak pula pendekar yang memandang kepadanya dengan alis berkerut. Juga Ceng Hiang berbisik- bisik dengan para panglima, lalu bangkit bersama suaminya.

"Karena pesta telah bubar dan kami tidak banyak waktu untuk menonton pameran kepandaian dan petandingan, kami akan pulang lebih dahulu," katanya sambil menjura kepada Lee Song Kim. Tuan rumah ini hanya tersenyum dan membalas dengan ucapan terima kasih. Perbuatan Ceng Hiang dan suaminya ini diturut oleh panglima lainnya, juga para pendekar yang tidak suka melihat kecongkakan Lee Song Kim, kini bangkit dan berpamit. Tak ketinggalan pula Ci Kong, Lian Hong, Kui Eng, Thio Ki, dan banyak lagi pendekar yang tidak mau mengakui orang seperti Lee Song Kim menjadi pemimpin kaum persilatan. Akan tetapi yang masih tinggal di situ cukup banyak, lebih dari dua ratus orang tamu! Mereka ini adalah orang-orang yang termasuk golongan hitam.

Mereka sudah lama haus akan pimpinan seorang datuk yang lihai, semenjak mundurnya Empat Racun Dunia dari dunia persilatan. Mereka kini melihat sepak terjang Lee Song Kim, melihat betapa mudahnya Song Kim mengalahkan beberapa orang pendekar, bahkan telah mengalahkan pula pendekar Ciu Kui Eng yang terkenal amat lihai sebahai murid Tee-tok, mengalahkan dengan mudah pula, menghadapi pendekar wanita itu yang memegang senjata tongkat andalannya dengan tangan kosong saja. Timbullah kekaguman dan harapan dalam hati golongan hitam untuk mengangkat Thian-He Te-It Bu-Hiap itu sebagai pengganti para datuk, menjadi pemimpin dari kaum sesat sehingga golongan mereka akan menjadi jaya kembali. Melihat ini, Lee Song Kim kembali mengeluarkan Giok-Liong-Kiam dari balik jubahnya.

"Saudara-saudara, kalau kalian benar mengakui aku sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menjadi bengcu yang akan memimpin kalian, maka kalian harus memandang Giok-Liong-Kiam ini sebagai lambang kedudukanku, dan menghormati Giok-Liong-Kiam seperti menghormati diriku sendiri. Apakah kalian setuju?" Dengan suara gemuruh, semua orang yang hadir di situ berseru,

"Setujuu!!"

"Kalau kalian setuju, mulai sekarang, setiap kali Giok-Liong-Kiam ini nampak, kalian harus memberi hormat dengan berlutut!" kata pula Song Kim.

"Siapa yang tidak setuju, boleh pergi dari sini atau boleh menentangku dan naik ke panggung ini. Yang setuju agar cepat berlutut, dan aku akan memimpin kalian membangkitkan kembali golongan kita seperti yang belum pernah terjadi selama ini!" Seratus orang lebih itu lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap kepada Lee Song Kim, yang mengangkat Giok-Liong-Kiam tinggi-tinggi di atas kepalanya. Melihat ini, Song Kim tersenyum gembira. Tercapailah apa yang diidam-idamkannya. Dia telah diakui menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan diakui pula sebagai bengcu,

Biarpun masih ada para pendekar yang tidak atau belum mengakuinya, namun dia tadi telah memperlihatkan kepandaiannya dan buktinya tida ada lagi pendekar yang berani menentangnya. Andaikata kelak dia menghadapi tantangan mereka, dengan anak buah yang demikian banyak, dengan para tokoh golongan hitam di belakangnya, dia akan membasmi mereka semua! Pada sat itu, melihat orang-orang yang berkepandaian tinggi dari golongan hitam menjatuhkan diri berlutut kepadanya, dia merasa seperti menjadi seorang raja besar yang menerima kehormatan dari semua anak buahnya! Dengan hati penuh kebanggaan Song Kim menyompan kembali Giok-Liong-Kiam dengan hati-hati ke dalam jubahnya. Benda itu junu merupakan lambang kekuasaannya dan dia harus menjaganya dengan hati-hati.

"Bangkitlah kalian dan duduklah kembali. Kita lanjutkan pesta ini sampai semalam suntuk." Semua orang bangkit dan bersorak kegirangan, apalagi ketika Song Kim memerintahkan para anggauta Ang- hong-pai untuk melayani para tamu, juga mengeluarkan gadis- gadis penyanyi dan penghibur sehingga suasana pesta berbeda dari tadi. Kini pesta itu penuh kegembiraan di mana beberapa orang tamu yang sudah mabok tidak mali-malu untuk menggoda anggauta Ang-Hong-Pai yang masih muda-muda dan berparas lumayan itu. Para tamu dari golongan sesat itu rata-rata adalah golongan kasar dan menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri, golongan yang suka mengejar kesenangan melalui cara apapun juga.

"Aih, kenapa engkau mencegah aku melanjutkan pertandingan itu? Biar dia memang lihai sekali, akan tetapi aku tidak takut dan aku belum roboh!" Kui Eng menegur suaminya ketika mereka berada di kaki bukit bersama Ci Kong dan Lian Hong.

"Thio-pangcu benar," kata Ci Kong kepada Kui Eng.

"Dia sengaja hendak menimbulkan kesan dan memamerkan kepandaiannya. tidak baik kalau tadi kita berkeras karena pertandingan yang diadakan hanya untuk menguji kepandaian saja, bukan untuk berkelahi mati-matian. jugaa, di sana terdapat banyak panglima dan pembesar, dan kulihat Song Kim mempunyai banyak sekali anak buah. bahkan sebagian besar para tamu adalah golongan sesat yang berpihak kepadanya."

"Akan tetapi, sudah gatal-gatal pula tanganku hendak menghajar jahanam sombong itu!" kaya pula Lian Hong yang sama keras jatinya dengan Kui Eng.

"Apakah kita harus pergi begitu saja membiarkan dia menjadi bengcu dan menjadi seorang yang berani berjuluk Thian-He Te-It Bu-Hiap?" Ditegur oleh isterinya, Ci Kong tersenyum. Dia mengenal watak isterinya yang keras dan membenci kejahatan, juga mengenal watak Ciu Kui Eng yang kini menjadi isteri Thio Ki, pangcu (ketua) dari Kang-Sim-Pang itu.

"Tentang dia mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, dan menjadi bengcu, biarkanlah saja. Dia boleh berjuluk apa saja, hal itu setiap orang mempunyai kebebasan, dan semakin tinggi dia menggunakan julukan, semakin nyeri kalau dia jatuh kelak. Juga dia boleh saja menjadi bengcu, karena hanya merupakan bengcu dari golongan hitam, bukan dalam arti kata pemimpin takyat yang sebenarnya. Akan tetapi ada dua hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pertama, dia telah menguasai Giok-Liong-Kiam..."

"Hemm, bukankah pedang pusaka itu dulu milik kalian?" Kui Eng bertanya.

"Benar sejak dahulu pedang itu milik kami dan berada pada kami. Akan tetapi, pada suatu hari muncul Ong Siu Coan, beberapa tahun yang lalu. Dia meminjam pedang pusaka itu dan diberikan oleh suamiku," kata Lian Hong, kini merasa menyesal mengapa pedang pusaka itu dipinjamkan kepada Ong Siu Coan.

"Kalianpun mengerti mengapa aku memberikan pedang itu kepadanya ketika dia meminjamnya," kata Ci Kong kepada Thio Ki dan Kui Eng.

"Ketika itu, dia bercita-cita untuk berjuang menumbangkan kekuasaan Pemerintah Mancu. Bukan hanya pedang pusaka Giok-Liong-Kiam kami pinjamkan untuk menarik bantuan para pendekar, bahkan kita semua juga ikut pula menyumbangkan tenaga, bukan? Baru setelah kita melihat penyelewengan pasukan Tai Peng, yang dibiarkan saja oleh Ong Siu Coan yang mulai menjadi gila kekuasaan, kita mengundurkan diri. Pedang itu masih ada padanya. Maka, sungguh mengherankan bagaimana Giok-Liong-Kiam dapat berada di tangan Lee Song Kim!"

"Dia mengatakan bahwa yang berada di tangan Ong Siu Coan itu palsu! Agaknya yang berada di tangannya itulah yang palsu," kata Thio Ki. Ci Kong menggeleng kepala.

"Tidak, keduanya salah. Yang berada di tangan Ong Siu Coan jelas yang aseli karena dia menerimanya dari kami sendiri. dan yang berada di tangan Song Kim tadipun bukan palsu!"

"Kalau begitu dia telah mencurinya dari Ong Siu Coan!" kata Kui Eng.

"Kurasa bukan begitu," kata Lian Hong.

"Lebih banyak kemungkinannya bahwa Song Kim diberi pinjam oleh Ong Siu
Coan..."

"Mana mungkin? Bukankah antara Song Kim dan Kiki, bekas sumoinya itu, terdapat permusuhan?" Kui Eng membantah.

"Siapa tahu apa yang telah terjadi antara mereka? Mereka adalah orang-orang jahat dan tidak akan mengherankan kalau terjadi kerja sama antara Ong Siu Coan dan Lee Song Kim." jawab Lian Hong.

"Bagaimanpun juga, kita harus merampas kembali Giok-Liong-Kiam. Selain itu, ada satu hal lagi yang harus kuselesaikan. Jelaslah kini bahwa orang she Lee yang melakukan pembunuhan atas diri orang-orang Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, yang melakukan hal itu untuk mengadu domba antara kedua perkumpulan persilatan besar itu, bukan lain adalah Lee Song Kim. Aku tidak dapat membiarkan saja kejahatannya itu"

"Kalau begitu kalian hendak menentangnya? Kami akan membantu kalian!" kata Kui Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk, setuju dengan pernyataan isterinya. Ci Kong menarik napas panjang.

"Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian adalah sahabat-sahabat baik kami sejak dahulu! Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Lee Song Kim sekarang bukanlah yang dahulu. Dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan beraneka ragam. Melihat perkelahian tadi saja, aku sendiri meragukan apakah akan mampu menandinginya."

"Aku tidak takut!" Lian Hong penasaran.

"Kalau kita maju berdua, apalagi berempat, tentu dia akan mampus!"

"Kita tidak boleh sembrono menurutkan perasaan marah," kata pula Ci Kong.

"Ingat bahwa dia mempunyai banyak anak buah, dan aku melihat Theng Ci di sana. Dan mengingat bahwa Theng Ci adalah tokoh besar Ang-Hong-Pai, melihat pula gerak-gerik para pelayan wanita yang gesit-gesit, maka aku menduga bahwa merekapun adalah para anggauta Ang-hong- pai. Agaknya Song Kim telah bekerja sama dengan Ang-Hong-Pai, atau kalau melihat sikapnya, boleh jadi dia telah menguasai Ang-Hong-Pai Dan para anggauta itu menjadi anak buahnya. Nah, sekarang dia dibantu lagi oleh banyak orang sesat yang lihai, bagaimana kita boleh sembarangan saja? Kita harus menanti saat yang baik, untuk merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan kalau mungkin membasminya." Mereka lalu berunding dan mengatur siasat, akan tetapi belum juga mendapatkan cara terbaik untuk menyerbu tempat tinggal sementara Lee Song Kim yang penuh dengan orang-orang golongan hitam itu. Mereka dapat menduga bahwa tempat itu hanya merupakan tempat sementara saja dan mereka belum tahu di mana letaknya sarang yang sesungguhnya dari Lee Song Kim. Selagi mereka berunding nampak bayangan berkelebat.

Empat orang pendekar itu berloncatan, siap siaga menghadapi musuh. Akan tetapi ternyata yang muncul adalah seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah. Wanita yang sudah mereka kenal baik karena ia adalah Ceng Hiang, puteri pangeran yang menjadi isteri Yu Kiang itu. Mereka merasa lega dan gembira. Biarpun ia keluarga bangsawan tinggi yang tinggal di kota raja, namun Ceng Hiang merupakan seorang kenalan lama yang mereka kagumi. Ceng Hiang ini merupakan satu-satunya orang yang mewarisi beberapa macam ilmu keluarga Pulau Es yang mereka kenal, dan di luar pengetahuan mereka, Ayah wanita inipun telah menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang kemudian dipelajari dan dilatih oleh Ceng Hiang, yaitu kitab yang berisikan Ilmu Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang).

"Ah, kiranya kalian sedang berbincang-bincang di sini!" kata Ceng Hiang.

"Pantas aku menanti kalian di bawah sana tetap juga belum muncul. Agaknya urusan amat penting yang kalian bicarakan di sini!" Ci Kong dan lain-lain saling pandang dan melalui pandang mata, mereka mufakat untuk membuka rahasia mereka kepada wanita yang mereka hormati ini.

"Kami sedang bicara tentang jahanam Lee Song Kim itu!" kata Lian Hong.

"Tentang pedang Giok-Liong-Kiam yang berada di tangannya?" tanya Ceng Hiang dan kini ci Kong yang menjawab.

"Bukan hanya tentang pedang itu, akan tetapi juga tentang perbuatannya membunuh orang-orang Kun-Lun-Pai dan Siauw- lim-pai untuk mengadu domba. Kami sedang mencari siasat untuk dapat menyerbu ke tempatnya, merampas kembali pedang dan membasmi manusia jahat itu."

"Aih, kalau begitu sungguh kebetulan sekali!" Ceng Hiang berseru gembira sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah.

"Mari kita duduk dan berunding. Aku memang mencari kalian untuk minta bantuan kalian menghadapi Lee Song Kim!"

"Ehhh?" Kui Eng berseru.

"Apa maksudmu?"

"Duduklah, dan dengarkan rencana kami." semua orang duduk dan memandang wajah yang cantik jelita itu ketika Ceng Hiang mulai bercerita.

"Tadi ketika meninggalkan tempat pesta, aku dan suamiku mengajak para panglima berunding dan kami bersepakat untuk mencurigai Lee Song Kim sebagai sekutu Tai Peng. Aku sudah mendengar bahwa Giok-Liong-Kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan, dan kini melihat kenyataan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Lee Song Kim, maka kami merasa yakin bahwa dia tentu bersekongkol dengan Ong Siu Coan. Agaknya orang gila itu menugaskan Lee Song Kim untuk menarik para tokoh dunia persilatan agarndapat membantu gerakan Tai Peng yang kini macet sampai di selatan Sungai Yang-ce-kiang saja setelah ditinggalkan oleh para pendekar yang pernah membantunya." Sampai di sini, Ceng Hiang memandang kepada mereka dan empat orang pendekar itu merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, mereka pernah juga membantu Ong Siu Coan dan ucapan Ceng Hiang itu seperti menyindir mereka.

"Aku tahu bahwa para pendekar telah tertipu oleh Ong Siu Coan," sambung Ceng Hiang yang agaknya mengerti akan isi hati mereka.

"Dan karena ditinggal oleh para pendekar, Ong Siu Coan agaknya hendak mengumpulkan kekuatan dengan perantaraan Lee Song Kim." Thio Ki mengangguk-angguk.

"Agaknya dugaan itu memang memiliki kemungkinan besar sekali." Yang lain-lain juga mengangguk.

"Lalu apa maksudnya bantuan kami dibutuhkan?" tanya Ci Kong meragu.

"Kami telah bersepakat dengan para panglima bahwa Lee Song Kim harus dibasmi, agar kekuatan Tai Peng tidak bangkit kembali. Malam ini kami akan menyerbu dengan menggunakan pasukan besar, dan kuharap kalian suka membantu kami, mengingat betapa lihainya Lee Song Kim dan dia mempunyai banyak pembantu yang berilmu tinggi."

"Akan tetapi... bagaimana mungkin kami harus membantu pasukan pemerintah...?" Kui Eng berseru.

"Maaf, engkau tentu mengerti kedudukan kami," katanya sambil memandang kepada puteri yang cantik itu. Cheng Hiang tersenyum manis.

"Engkaupun tentu tahu pula bagaimana pandanganku tentang penjajahan dan perjuangan rakyat yang gagah, kalau tidak begitu, bagaimana kita dapat menjadi sahabat? Akan tetapi, aku bukan minta kalian untuk membantu pasukan pemerintah, melainkan untuk bekerja sama karena bukankah kita mempunyai kepentingan masing-masing? Kalian hendak merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan membasmi orang jahat, sedangkan pasukan pemerintah hendak melumpuhkan Tai Peng yang kalian juga tahu bukan merupakan pasukan pejuang rakyat yang bersih. Nah, dua kepentingan yang berbeda ini, apa salahnya kalau mendekatkan kedua pihak untuk menghadapi lawan yang tangguh?" Empat orang itu saling pandang, kemudian Ci Kong yang mengangguk.

"Kurasa ada benarnya pendapat itu. Kalau kita bergerak bersama pasukan pemerintah menyerbu malam ini, bukan berarti kita membantu pasukan pemerintah, melainkan kita menghadapi Lee Song Kim. Kita tidak bekerja sama melainkan kebetulan saja mempunyai kepentingan masing-masing untuk menentang Lee Song Kim. Aku setuju, terserah kepada yang lain." Lian Hong, Kui Eng, dan Thio Ki akhirnya menyetujui juga. Mereka tadi sedang kebingungan, belum mendapatkan siasat yang tepat untuk menghadapi Lee Song Kim dan anak buahnya yang banyak, dan kini tiba-tiba saja mereka seperti mendapat bantuan yang amat kuat, yaitu pasukan besar tentara, bahkan tentu saja dibantu oleh Ceng Hiang yang mereka tahu amat lihai ilmu silatnya!

"Akan tetapi kenapa harus malam nanti? Tidakkah lebih baik sekarang saja kita menyerbu?" Kui Eng mengajukan usul.

"Para panglima kini sedang mempersiapkan pasukan. Tanpa pasukan, kita kalah kuat karena menurut penyelidikan yang kusuruh lakukan, sekarang ini sisa para tamu, lebih dari seratus orang, masih berada di sana dan mereka itu adalah golongan hitam yang telah setuju mengangkat orang she Lee itu menjadi pemimpin mereka." Terpaksa Kui Eng dan yang lain-lain bersabar, dengan kekuatan mereka saja, biar ditambah oleh Ceng Hiang sekalipun, mana mungkin menghadapi Lee Song Kim yang sudah mempunyai anak buah yang kuat, kini ditambah lagi orang-orang golongan hitam yang seratus orang lebih jumlahnya?

"Mengingat akan kekuatan pihak lawan, kami akan mengerahkan sedikitnya lima ratus orang. Pasukan itu akan menyerbu, sedangkan kita akan menghadapi Lee Song Kim bersama para pembantunya," kata pula Ceng Hiang.

"Nah, sekarang aku harus kembali dulu untuk membantu para panglima mengatur pasukan, dan mengabarkan bahwa kalian sudah siap untuk membantu..."

"Eh... nyonya Yu, maafkan," kata Ci Kong.

"Harap jangan katakan apa-apa kepada para penglima. Kami akan menentang Lee Song Kim, akan tetapi bukan berarti membantu pasukan Ceng, maka biarlah kami bersiap-siap di dekat sarang musuh dan menanti tibanya penyerbuan, baru kami akan bertindak." Ceng Hiang tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Kalian tidak mau dikatakan membantu pasukan pemerintah. Aku mengerti dan baiklah. Sampai jumpa malam nanti, di tempat pertempuran." Wanita cantik itu lalu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon. Setelah Ceng Hiang pergi, dua pasang suami isteri itu lalu mendaki bukit dan menyusup-nyusup di antara semak-semak belukar dan pohon-pohon agar jangan sampai kelihatan dari atas.

"Harap ingat baik-baik, kita sama sekali tidak boleh membantu perajurit pasukan kerajaan Ceng, dan kita hanya menyerang Song Kim dan mereka yang membantunya, berusaha merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan kalau dapat membunuh orang jahat itu. Sebelum dia mati, tentu ada saja ulahnya untuk mendatangkan kekacauan di dunia ini," pesan Ci Kong kepada yang lain. Setelah tiba di luar perkampungan itu, mereka bersembunyi sambil mengintai, menanti sampai pasukan pemerintah datang menyerbu. Sampai lama mereka menanti, dan setelah cuaca menjadi gelap benar, pendengarn mereka yang tajam mulai menangkap pergerakan dari bawah bukit. Gerakan itu datang dari empat penjuru dan diam-diam mereka merasa girang.

Sekali ini Lee Song Kim pasti tidak akan dapat lolos lagi karena tempat itu telah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan yang amat besar jumlahnya, sedikitnya lima ratus orang menurut pemberitahuan Ceng Hiang tadi. Mereka menanti dan makin mendekati pintu gerbang karena mereka ingin cepat-cepat menyerbu dan mencari Lee Song Kim. Dari luar pintu gerbang masih terdengar suara alat musik mengiringi nyanyian suara gadis-gadis penyanyi, diseling suara ketawa dan jerit-jerit kecil suara wanita, tanda bahwa pesta itu mulai kasar dan banyak yang sudah mabok bersikap terlalu bebas dengan para pelayan wanita. Mendengar jerit-jerit wanita dan suara ketawa-ketawa itu, Lian Hong dan Kui Eng saling pandang dengan muka merah dan mereka merasa semakin marah kepada Lee Song Kim. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Lee Song Kim bukan orang sekasar itu,

Bahkan tidak suka mabok-mabokan dan menggoda wanita di depan umum seperti yang dilakukan para tamu yang kini menjadi anak buahnya itu. Namun, dia hendak menyenangkan hati orang-orang itu, maka diapun tidak melarang, hanya mengundurkan diri ke dalam kamarnya dan membiarkan mereka bersenang-senang sesuka hatinya semalam suntuk. Selagi dia duduk termenung, menikmati keberhasilannya hari itu, tiba-tiba dia mendengar suara dari luar jendela kamarnya. Jendela itu diketuk orang. Diam-diam dia terkejut. Kalau ada orang mampu mendekati jendela kamarnya tanpa dia mendengarnya sejak tadi, jelas bahwa orang itu memiliki ginkang yang cukup hebat. Dia menghampiri jendela, akan tetapi menahan diri untuk membuka daun jendela. Jangan- jangan seorang musuh yang datang pikirnya.


JILID 11

"Siapa di luar jendela?" tanyanya perlahan. Sejenak tidak ada jawaban, lalu terdengan suara yang parau namun terdengar jelas dari dalam kamar,

"Apakah Lee-Kongcu yang berada di dalam? Aku ingin bicara dengan Lee-Kongcu, penting sekali, karena Lee-Kongcu berada dalam bahaya maut. Song Kim terkejut, akan tetapi dia lalu mengeluarkan suara ketawa.

"Hemmm, siapa engkau? Jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku! Hayo jawab, siapa engkau?"

"Aku she Lui, Kongcu tidak mengenalku, akan tetapi aku mengenalmu, Lee-Kongcu. Aku adalah satu di antara tangan kanan dan kepercayaan Sri Baginda Raja Yang Mahabesar di
Nan-king."

"Tai Peng...??" Song Kim bertanya heran dan kaget. Mau apa orang Tai Peng malam-malam begini menyusup ke sini? Dia lalu teringat akan Giok-Liong-Kiam dan otomatis tangannya meraba benda pusaka yang berada di balik jubahnya itu. Tentu Ong Siu Coan mengutus orang pandai untuk mencoba merampas kembali pusaka itu, tentu mata-mata Tai Peng melihatnya dan kini Tai Peng mulai bertindak. Akan tetapi dia tidak takut.

"Benar, Kongcu. Aku she Lui adalah seorang perwira tinggi Tai Peng yang memimpin pasukan mata-mata Tai Peng. Aku menjadi utusan pribadi Sri Baginda dan perlu sekali bicara denganmu, sebelum terlambat. Biarkan aku masuk!"

"Hemm, takut apa?" Timbul kecongkakan hati Song Kim dan diapun berkata.

"Kalau engkau berkepandaian tentu dapat masuk sendiri. Aku menanti di dalam kamar ini!" Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara tadi berkata.

"Baiklah, Lee-Kongcu. Maafkan aku!" Tiba-tiba saja daun pintu itu terdorong dari luar dengan amat mudah, tahu-tahu terbuka dan sesosok bayangan berkelebat loncat ke dalam kamar. Begitu bayangan itu tiba di tengah kamar, sebatang pedang sudah menodong lambungnya dari samping. Orang itu sama sekali tidak bergerak, juga tidak menoleh kepada Song Kim yang telah menodongkan pedangnya itu, melainkan berkata,

"Ah, aku datang untuk menyelamatkan nyawa Lee- Kongcu, akan tetapi malah disambut dengan menodongkan pedang!" Song Kim melihat orang itu masuk tanpa memegang senjata dan tidak mencurigakan sama sekali, maka diapun menarik kembali pedangnya. Akan tetapi dia belum menyarungkan pedangnya ketika berkata,

"Maaf, aku tidak mengenalmu dan engkau datang begini mengejutkan dan tiba- tiba. Tentu saja aku menjadi curiga.

" Dia lalu menuding ke arah sebuah kursi dan orang itupun duduk berhadapan dengan tuan rumah yang duduk pula di atas kursi. Mereka berhadapan dan Song Kim melihat bahwa orang itu usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya tajam bersinar-sinar, didahinya terdapat bekas luka memanjang dan melintang.

"Nah, ceritakan, engkau she Lui dan menjadi utusan Sri Baginda Raja di Nan-king, Maksudmu utusan Ong Siu Coan pemimpin balatentara Tai Peng?"

"Benar, Lee-Kongcu."

"Nah, katakan ada keperluan apa?"

"Kongcu, Sri Baginda sendiri yang memerintahkan aku untuk cepat menolong Kongcu dan semua tamunya, akan tetapi dengan syarat bahwa kalau Kongcu dan para tamu dapat diselamatkan, terutama Kongcu sendiri, Kongcu harus ikut dengan kami menghadap Sri Baginda Raja di Nan-king. Beliau ingin sekali bertemu dengan Thian-He Te-It Bu-Hiap yang menjadi bengcu baru!" Song Kim
tersenyum dan membayangkan wajah Ong Siu Coan. Seorang yang hebat, dapat mengangkat diri sedemikian tingginya sampai menjadi raja besar! Dan terbayang pula wajah Tang Ki atau Kiki, sumoinya yang manis itu, dan senyumnya melebar.

"Akan tetapi sebelum aku menerima syarat itu, perlu aku mengetahui lebih dahulu, bahaya apa yang mengancam diriku dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan aku?" Song Kim masih tidak percaya dan mengira banwa tentu Ong Siu Coan hendak menipunya!

"Kongcu, tidak ada banyak waktu. Ketahuilah bahwa tempat ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu!"

"Apa...!" Song Kim meloncat dan mendekati jendela untuk menjenguk keluar.

"kami akan melawan...

"Jangan tergesa-gesa, Kongcu. Yang dikepung adalah bukit ini dan sebanyak paling sedikit lima ratus orang perajurit mengepung dari empat penjuru. Berapa banyaknya anak buah Kongcu? Paling banyak seratus orang lebih! Bagaimana akan mampu menahan serbuan ratusan, mungkin mendekati seribu orang pasukan yang sudah terlatih perang? Dan jangan lupa, ada pendekar-pedekar sakti yang ikut membantu, dan pasukan itu sendiri dipimpin oleh Nyonya Yu Kiang yang sudah terkenal kelihaiannya!"

"Ceng Hiang...!"

"Benar, Kongcu."

"Aku tidak percaya!" Akan tetapi tiba-tiba terdengar lapat- lapat bunyi terompet dan wajah Song Kim berubah pucat.

"Nah, agaknya tidak banyak waktu pula untuk mengadakan pemilihan, Kongcu. Kalau Kongcu menerima syarat itu, aku akan mengerahkan pasukan mata-mata Tai Peng yang sudah siap untuk membantu sampai Kongcu dapat meloloskan diri, kalau tidak, aku akan meninggalkan Kongcu dan teman-teman dibasmi oleh pasukan Mancu, Bagaimana?" Memang tidak ada pilihan lain bagi Song Kim. Dia tahu benar. Tentu saja dia merasa sungkan dan khawatir untuk dibawa menghadap Ong Siu Coan yang kini telah menjadi seorang raja besar, akan tetapi dia adalah seorang yang amat cerdik. Kalau Ong Siu Coan sampai mau bersusah payah mengirim orang-orangnya untuk menolongnya dari ancaman bahaya ini, tidak mungkin raja itu mengandung niat jahat terhadap dirinya. Tidak ada lain pilihan.

"Baik. aku menerima syarat itu, lalu bagaimana sekarang? Bagaimana engkau akan dapat menolongku?"

"Biarkan para tamu yang rata-rata memiliki kepandaian itu mengadakan perlawanan dari dalam. Padamkan semua api dan penerangan dan melakukan pertempuran dengan berpencar agar kekuatan musuh yang lebih besar menjadi kacau. Ingat bahwa kekuatan kamipun hanya seratus orang lebih pasukan kita melawan musuh yang tiga empat kali lebih banyak. Kami akan menyerang dari luar sehingga kita menjepit pasukan musuh. Kongcu sendiri agar menyamar dan menyusup ke arah barat. Dengan kepandaian Kongcu, hal itu tidak akan sukar kalau saja Kongcu tidak dikenal. Di bawah bukit, kami akan menyiapkan kuda untuk Kongcu pakai. Ada apalagi yang ingin Kongcu tanyakan?" Suara pasukan musuh kini makin terdengar gemuruh dan keadaan para tamu mulai panik karena merekapun mendengar suara itu.

"Tidak ada apa-apa lagi," kata Song Kim.

"Ingat, kalau Kongcu melarikan diri lalu tidak memenuhi janji, pasti Sri Baginda tidak akan berhenti sebelum dapat menangkap Kongcu dan menjatuhkan hukuman!" Setelah berkata demikian, orang tinggi kurus itu meloncat keluar jendela dan lenyap. Daun pintu diketuk orang dari luar, Song Kim cepat membuka daun pintu dan Theng Ci sudah berada di depan pintu bersama beberapa orang pembantunya, yaitu Tiat-pi Kim- wan, Seng-jin Sin-Touw, dan Sin-Kiam Mo-Li, juga beberapa orang tamu. mereka nampak gelisah.

"Kongcu, menurut penyelidikan kami, kita telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu yang jumlahnya besar sekali, dikepung dari empat penjuru dan mereka kini sedang mendaki, sudah sampai di lereng terakhir," kata Theng Ci. Setelah daun pintu terbuka, nampak oleh Song Kim betapa semua tamu sudah bangkit berdiri dengan wajah tegang, suara musik dan nyanyian sudah terhenti. Para gadis penyanyi berjongkok dan berkumpul dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Akan tetapi, para anggauta Ang-Hong-Pai nampak tetap tenang dan tabah, demikian pula para tamu walaupun wajah mereka membayangkan ketegangan. Song Kim mengangguk.

"Tenanglah, aku sudah tahu!" katanya dan diapun cepat keluar, berdiri di atas meja menghadapi para tamunya dan anak buahnya.

"Pasukan pemerintah mengepung tempat ini. Jangan khawatir, walaupun jumlah mereka lebih banyak, kita tidak perlu takut. Bahkan kita akan memperlihatkan tindakan kita pertama kali sejak kalian mengangkat aku menjadi bencu! Kita tidak akan kalah, karena kita akan dibantu oleh pasukan sahabat yang akan bergerak dari luar. Kalau pertempuran sudah berlangsung, selanjutnya kalian harap bergabung dengan pasukan pembantu dan bersama mereka melawan pasukan Mancu. Dan kalian harus mentaati siasat yang diperintahkan oleh komandan pasukan pembantu. Sekarang, padamkan semua penerangan dan api, kemudian menyebarlah. bersembunyi dan menyerang secara tiba-tiba jika ada tentara musuh mendekat. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat melakukan penyerbuan terarah. Sudah mengerti semua?" Semua orang mengangguk.

"Akan tetapi, dalam pertempuran berpencaran, bagaimana kami dapat menghubungi Kongcu?" Theng Ci bertanya khawatir.

"Ikuti saja petunjuk komandan pasukan pembantu dan kita akan bertemu lagi setelah lolos dari ancaman bahaya. Nah, lakukanlah perintahku sekarang juga, mereka sudah dekat!" Theng Ci dan para pembantu lainnya, juga para tamu, cepat memadamkan api dan lampu penerangan, sedangkan Lee Song Kim cepat lari ke dalam untuk mengumpulkan barang-barang yang perlu dibawa. Akan tetapi karena tempat itu hanya merupakan tempat sementara yang dipakainya untuk mengadakan pertemuan, tidak banyak yang dibawanya.

Pedang Giok-Liong-Kiam disembunyikan di balik jubahnya yang kini ditutup oleh jubah lain yang agak tua sehingga pakaiannya yang serba indah tertutup. Juga dia menanggalkan hiasan rambut dari emas permata, lalu mengikat rambutnya dengan pita biasa, bahkan menyembunyikan sepasang belati dan pedangnya agar dia tidak dikenal orang. Setelah itu, dia memadamkan lampu di dalam rumah itu dan menyelinap keluar. Ternyata di luar sudah mulai terjadi pertempuran! Para perajurit Kerajaan Ceng menjadi terkejut juga menghadapi penyambutan yang gigih itu. Karena orang-orang yang mereka serbu itu berpencar dan tidak bergerombol, bahkan menyerang mereka dari tempat-tempat tersembunyi, pasukan itu terkejut dan banyak di antara mereka yang menjadi korban serangan mendadak dari tempat tersembunyi. Apalagi keadaan amat gelap sehingga sukarlah mengenal mana kawan mana lawan.

Menghadapi perlawanan musuh, Ceng Hiang dan para panglima segera memberi aba-aba kepada para perajurit yang berada di belakang untuk menyalakan obor. Keadaan menjadi terang dan kini mulailah terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Segera setiap orang dari golongan hitam yang menjadi anak buah Lee Song Kim, dikepung oleh tiga empat orang dan terjadi perkelahian mati-matian di bawah sinar ratusan buah obor. Ci Kong, Lian Hong, Thio Ki dan Kui Eng tidak mempedulikan pertempuran antara pasukan pemerintah melawan orang-orang golongan hitam itu. Mereka tidak mau membantu, bahkan cepat berloncatan masuk ke dalam perkampungan itu untuk mencari Song Kim. Setelah mereka tiba di depan rumah, di taman mana tadi diadakan pesta, rumah yang gelap, Ci Kong membentak,

"Lee Song Kim, keluarlah, dan kembalikan Giok-Liong-Kiam kepadaku!" Sunyi saja di rumah yang gelap itu. Thio Ki menyambar sebatang obor dari tangan seorang perajurit dan berkata,

"Mari kita serbu!" Dia berada di belakang membawa obor agar tidak diserang secara mendadak dari dalam rumah. Ci Kong menendang daun pintu depan dan mereka berempat menyerbu masuk. Akan tetapi, rumah itu kosong. Mereka cepat mencari keluar, di antara mereka yang berkelahi, namun tidak nampak bayangan Song Kim! Sementara itu, pasukan pemerintah menjadi kacau ketika mendadak mereka mengalami penyerbuan dari bawah puncak bukit, dan pertempuran menjadi semakin seru.

"Ah, jahanam itu tidak ada lagi!" kata Ci Kong dengan heran, penasaran dan juga kecewa.

"Si licik pengecut itu tentu sudah tahu akan bahaya dan telah melarikan diri," kata Lian Hong.

"Bedebah!" Kui Eng memaki dengan kecewa. Mereka berempat masih terus berputar-putar mencari, sama sekali tidak mau mencampuri pertempuran, akan tetapi seperti yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak nampak bayangan Lee Song Kim. Ketika mereka melihat bahwa dari luar datang pasukan orang-orang lihai menyerbu, dan biarpun mereka yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu tidak berpakaian perajurit, dari cara merela melakukan penyerangan dengan teratur menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah pasukan yang terlatih dan teratur.

"Hemm, agaknya mereka adalah pasukan mata-mata Tai Peng," kata Thio Ki dan yang lain menyetujui.

"Kita tidak perlu terlibat dalam pertempuran di antara mereka. Mari kita pergi, turun bukit dan mencari jahanam she Lee itu," kata Ci Kong. mereka lalu berlari turun gunung merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalangi mereka, baik perajurit Tai Peng maupun perajurit pemerintah. Akan tetapi, usaha mereka mencari Lee Song Kim sia-sia. Orang itu sudah hilang entah ke mana, mereka sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, Ci Kong mendekati kenyataan ketika dia berkata kepada tiga orang lainnya.

"Sungguh aneh sekali munculnya pasukan Tai Peng itu. Mereka membantu Lee Song Kim dan anak buahnya! Agaknya dugaan Ceng Hiang memang tepat. Lee Song Kim tentu telah bersekongkol atau menjadi pembantu Ong Siu Coan yang sengaja meminjamkan Giok-Liong-Kiam kepadanya untuk dapat menarik tenaga bantuan golongan hitam yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau begitu halnya, agaknya dia melarikan diri ke Nan-king!"

"Wah, kalau dia sudah berada di istana raja baru itu, mana mungkin kita dapat menyusulnya?" kata Thio Ki. Ci Kong mengepal tinju.

"Sungguh merupakan kebodohan besar bagiku yang dulu percaya kepada Ong Siu Coan dan menyerahkan Giok-Liong-Kiam untuk dipinjamnya. Bagaimanapun juga, aku harus dapat merampas kembali pedang pusaka itu, entah dengan cara bagaimana!"

"Kita tidak perlu datang ke sana, karena orang seperti dia berhati palsu. Kalau kita datang berkunjung dan meminta kembali pedang itu dari Ong Siu Coan, tentu kita akan ditangkap. Dan diistananya, kita tidak akan mampu berbuat apapun," kata Lian Hong yang merasa khawatir kalau-kalau suaminya akan nekat mengejar ke Nan-king.

"Aku mendengar bahwa kini terdapat gerakan baru dari rakyat jelata yang menentang Kerajaan Tai Peng karena ternyata pasukan-pasukan Tai Peng banyak menyengsarakan rakyat dengan perbuatan mereka yang tiada ubahnya seperti para perampok biasa." kata Kui Eng. Ci Kong menarik napas panjang.

"Sungguh menyedihkan sekali nasib rakyat jelata. Sudah dihisap oleh pemerintah Mancu yang menjajah, dirongrong dan diracun pula orang-orang kulit putih dari barat, kini bahkan ditambah lagi dengan penindasan perampok-perampok Tai Peng. Begitu banyaknya penindasan yang diderita rakyat. Bangkit dan berjuangpun amatlah beratnya karena hanya menghadapi tiga kekuatan yang besar dan menekan itu." thio ki menarik napas panjang.

"memang berat sekali. Kalau rakyat bangkit berarti ada empat kekuatan yang saling serang, dan akibatnya, rakyat sendirilah yang paling menderita. Orang kulit putih yang paling beruntung, menjual senjata je kanan kiri, membiarkan bangsa kita terpecah belah dan saling bunuh. Ah, kita hanya dapat mengharapkan munculnya seorang pemimpin besar yang ditunjuk oleh Thian untuk dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan yang bertumpuk." Dengan hati kecewa dan menyesal empat orang itu akhirnya saling berpisah, pulang ke tempat tinggal masing- masing setelah berjanji untuk bertemu lagi kalau tiba saatnya di mana tenaga mereka dapat disumbangkan untuk perjuangan membela rakyat. Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah Ceng melawan pasukan Tai Peng yang kini bergabung dengan anak buah Lee Song Kim, berlangsung dengan serunya. Biarpun para pembantu Lee Song Kim rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi,

Namun di pihak pasukan pemerintah terdapat Ceng Hiang yang mengamuk bagaikan seekor naga betina, dan jumlah pasukan pemerintah kurang lebih tiga empat kali lipat banyaknya, akhirnya pasukan Tai Peng bersama golongan sesat terpaksa melarikan diri meninggalkan lebih dari sepertiga bagian orang mereka yang tewas dan terluka parah. Juga di pihak pasukan pemerintah banyak korban jatuh dalam pertempuran hampir setengah malam lamanya itu. Pasukan Tai Peng melarikan diri ke selatan dan setelah tiba di perbatasan, pasukan Kerajaan Ceng yang melakukan pengejaran terpaksa mundur kembali karena di perbatasan terdapat penjagaan pasukan Tai Peng yang kuat. Bagaikan seorang dusun yang baru pertama kali memasuki kota, Sheila dan Han Le yang dikawal oleh Tang Ciangkun memasuki istana di Nan-king itu.

Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang tenu saja sudah sering melihat gedung-gedung mewah, bahkan di waktu gadisnya ia tinggal di rumah orang tuanya yang cukup mewah. Namun, begitu memasuki istana ini, ia takjub bukan main. segala benda yang berada di dalam istana ini demikian antik dan tentu berharga mahal sekali. Guci-guci bergambar yang kuno dan indah, tempat-tempat bunga dan patung-patung dari batu kemala, dinding berukir dan ada pula dari marmer berkembang mengkilap, cerrnin-cermin besar, lukisan-lukisn kuno dan tulisan-tulisan sajak berpasangan yang amat indah. Lantainya dari marmer yang dapat dipakai bercermin saking mengkilapnya, gantungan kain- kain Sutera beraneka warna dan tirai-tirai yang halus menambah semaraknya ukiran-ukiran pada jendela, pintu, bahkan langit-langit.

Para pengawal yang berjaga di situpun mengenakan pakaian seragam yang indah dan mewah, rata-rata memiliki tubuh tegap dan wajah tampan, sedangkan di bagian dalam nampak pelayan-pelayan wanita yang canti-cantik. Sungguh merupakan sebuah istana besar yang megah, mewah dan indah. Sheila dan Han Le harus menanti sampai beberapa lamanya di ruangan tunggu untuk para tamu sebelum akhirnya mereka di ijinkan masuk dikawal oleh Tang Ciangkun dan beberapa orang pengawal istana mengiringkan mereka memasuki ruangan besar di mana Sri Baginda Kaisar dari kerajaan Sorga sudah menanti mereka! hal ini diumumkan oleh pengawal yang memberitahu kepada mereka di kamar tunggu tadi. Kaisar dari Kerajaan Sorga! Sheila tersenyum di dalam hatinya. Betapa sombongnya orang yang pernah menjadi Suheng mendiang suaminya itu.

Ketika mereka bertiga, dikawal oleh empat orang pengawal, memasuki ruangan itu, Sheila merasa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana juga, suasana mewah gemerlapan di dalam ruangan itu sungguh menegangkan dan amat berwibawa. Han Le nampak gembira sekali, memandang ke kanan kiri penuh kagum. Melihat betapa empat orang pengawal dan Tang Ciangkun menjatuhkan diri berlutut begitu mereka melangkahi ambang pintu, Sheila yang sudah mempelajari adat istiadat dan sopan santun, cepat memegang tangan puteranya dan diajaknya berlutut pula. Dengan suara sopan dan lantang, kepala pengawal melapor kepada raja Tai Peng itu bahwa Tang Ciangkun datang membawa dua orang tamu yang bernama Nyonya Gan Seng Bu dan puteranya, Gan Han Le. Sheila segera mengenal pria yang duduk setengah rebah di atas kursi panjang berkasur dan berbantal itu. Dia mengenal Ong Siu Coan,

Walaupun sudah belasan tahun berpisah dan kini Ong Siu Coan telah menjadi seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, mengenakan pakaian raja yang gemerlapan, dan mukanya yang dulu licin kini dipenuhi cambang, jenggot dan kumis sehingga berwibawa dan menakutkan walaupun masih menarik dan tampan. Mendengar laporan itu, Ong Siu Coan bangkit duduk dan dengan alis berkerut memandang ke arah Sheila dengan penuh perhatian, kemudian kepada Han Le hanya sekelebatan saja, dan mengangguk, memberi isyarat dengan tangan dan empat orang pengawal itupun mengundurkan diri, keluar dari ruangan itu dan menutupkan daun pintu. Dua orang pengawal pribadi yang berdiri di sudut ruangan itu, di belakang sang raja, diam saja tak bergerak bagaikan patung, namun semua urat syaraf mereka siap siaga untuk bergerak melindungi junjungan mereka.

"Tang Ciangkun, mendekatlah dan ajak mereka, lalu ceritakan apa artinya semua ini," terdengar Ong Siu Coan berkata, dan walaupun dia masih ingat kepada wanita kulit putih yang menjadi isteri Sutenya ini, namun dia merasa acuh saja. Dia merasa terlalu tinggi untuk berurusan dengan segala macam wanita, walaupun berkulit putih dan bermata biru sekalipun!

"Ampunkan hamba, Sri Baginda. Hamba melihat Ibu dan anak ini tertawan oleh pasukan kita dan disangka menjadi mata-mata orang asing kulit putih. Akan tetapi mereka mengaku sebagai isteri dan putera mendiang pendekar pejuang Gan Seng Bu dan karena hamba mengetahui bahwa mendiang pendekar itu berada di bawah naungan kemuliaan Paduka, maka hamba membawa mereka untuk menghadap Paduka. Terserah kebijaksanaan Paduka untuk memutuskan tentang diri mereka." Hening sejenak dan Ong Siu Coan menatap ke arah wajah Sheila yang sejak tadi menundukkan mukanya saja. Laporan Tang Ciangkun dengan suara demikian merendah menambah kewibawaan raja itu, mengingatkan Sheila bahwa yang berada di depannya bukanlah seorang Suheng dari mendiang suaminya seperti dahulu lagi, melainkan seorang raja yang berkuasa dan ia merasa menyesal telah datang ke sini karena merasa terasing dan demikian rendah diri terhadap segala kebesaran ini.

"Hemm, aku ingat sekarang. Engkau isteri Seng Bu yang bernama... bernama... eh, siapa lagi aku lupa..."

"Nama saya Sheila, Sri Baginda," kata Sheila merendah.

"Oya, Sheila! Hemm, apakah tak pernah kubaca dalam Kitab Suci nama wanita seperti itu? Hemm, ada Delila, hampir sama akan tetapi berbeda. Dan ini anakmu? Anak Seng Bu?"

"Benar, Sri Baginda. Dia ini anak hamba bernama Gan Han Le? Kini Ong Siu Coan memandang kepada Han Le.

"Gan Han Le? Hemm anak muda, coba angkat mukamu agar aku dapat melihatmu."

"Baik, supek...

"

"Henry...!" Sheila berseru lirih.

"Jangan menyebut seperti itu, beliau adalah Sri Baginda Kaisar! Sebut Sri Baginda." Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia suka akan keberanian dan kejujuran anak itu, akan tetapi sebagai seorang Kaisar, dia harus memperlihatkan kewibawaannya.

"Gan Han Le, mukamu memang seperti muka Seng Bu, kecuali matamu yang kebiruan. Sheila, setelah engkau menghadap kami, apa yang kau kehendaki sekarang ini?" Dalam keadaan seperti itu, ketika Kaisar berkenan menawarkan apa yang dikehendaki orang yang menghadapnya, tentu biasanya orang-orang akan mengajukan permintaan-permintaan mereka. Akan tetapi tidak demikian dengan Sheila.

"Ampun, Sri Baginda. Bukan maksud hamba berdua anak hamba untuk mengganggu Paduka. Hamba berdua tidak mohon sesuatu, dan hamba akan merasa berbahagia kalau anak hamba ini dapat mempelajari ilmu di kotaraja ini, agar kelak dia dapat menjunjung nama mendiang Ayahnya sebagai seorang pendekar seperti Ayahnya."

Ong Siu Coan tersenyum. Ketika berkata-kata, Sheila nampak cantik menarik, kecantikan yang aneh. Dia sudah jemu dengan kecantikan para selir dan dayang yang tidak sah karena Kiki tidak mengijinkan dia memiliki isteri lain. Dan kecantikan wanita ini memang luar biasa. Mata yang biru itu, rambut yang seperti benang Sutera emas! Pada sat itu, muncullah seorang wanita dari pintu belakang. Seorang wanita yang usianya sebaya dengan Sheila, hanya satu dua tahun lebih tua, dan melihat pakaiannya yang demikian mewah dan penuh dengan tanda kebesaran, dapat diduga bahwa ia adalah sang permaisuri sendiri. Berbeda dengan para puteri bangsawan yang kelihatan lemah lembut dan kalau melangkah perlahan-lahan seperti langkah tarian yang diatur,

Wanita ini melangkah dengan gerakan yang gesit tegap. Wajahnya manis, dengan tahi lalat di pipi. Inilah Tang Ki atau yang lebih dikenal dengan nama Kiki, puteri mendiang Hai-Tok Tang Kok Bu, seorang di antara empat datuk besar, yaitu Empat Racun Dunia. Kiki adalah pembantu paling setia dari Ong Siu Coan ketika berjuang, dan kemudian menjadi isterinya dan kini menjadi permaisuri dari Kerajaan Sorga! Wanita itu memang Kiki, yang kini menjadi permaisuri. Akan tetapi, sikapnya terhadap suaminya masih biasa saja, tidak seperti sikap permaisuri terhadap raja. Tanpa banyak peraturan, ia duduk di dekat suaminya di atas kursi panjang itu, tanpa mengabaikan penghormatan Tang Ciangkun yag ditujukan kepadanya. Ong Siu Coan juga bersikap biasa saja, bahan tersenyum memperkenalkan Sheila kepada permaisurinya.

"Lihat, ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu! Namanya Sheila! Cantik, ya? cantik seperti Delila! Tahukah engkau siapa Delila? Wanita cantik jelita yang sudah meruntuhkan iman dan semangat seorang laki-laki gagah perkasa seperti Samson! Ha-ha-ha!" Kiki cemberut. Sudah lama ia merasa jemu dan tidak suka kepara pria yang menjadi suaminya dan menjadi raja ini. Suaminya ini sekarang jarang mendekatinya, bahkan jarang memperhatikan seolah-olah ia hanya satu di antara perabot kamar saja. Suaminya mabok kemenangan dan mabok kedudukan, gila hormat dan berambisi, Kini melihat betapa suaminya menaruh perhatian akan kecantikan seorang wanita lain di depannya, tentu saja hatinya menjadi panas.

"Hemmm, mudah-mudahan ia tidak menjadi Delila baru dan Paduka Samsonnya!" kata Kiki dengan senyum mengejek. Kalau tidak ada orang lain di situ, ia tidak pernah menyebut Paduka, hanya engkau biasa saja! Suami isteri ini memang tidak pernah merubah sikap terhadap masng-masing biarpun mereka telah menjadi raja dan permaisurinya, kecuali di depan orang lain. Ong Siu Coan memandang isterinya dengan mata terbelalak.

"Apa? Gilakah engkau? Aku bukan Samson, melainkan putera Tuhan yang bungsu! Engkau tahu bahwa aku adalah adik Yesus yang lebih berkuasa daripada segala macam tokoh dan nabi seperti Samson!" Kiki menarik napas panjang, merasa tidak ada gunanya dan hanya akan memalukan saja berdebat soal yang kuno itu di depan orang lain. Suaminya selalu bersikap sungguh-sungguh dan marah-marah kalau sampai disangkal bahwa dia bukan putera Tuhan, bukan adik Yesus.

"Sudahlah, mau apa wanita ini datang ke sini?" tanyanya sambil lalu, jelas memandang rendah dan membayangkan sikap tidak suka kepada Sheila.

"Biar ia di sini menjadi dayang, dan anaknya diperbolehkan belajar sastera dan silat agar kelak dapat menjadi seorang yang tangguh dan berguna bagi kerajaan kita. Tang Ciangkun, bawalah Ibu dan anak ini dan serahkan kepada kepala bagian rumah tangga, sampaikan perintahku agar Sheila diajari semua pekerjaan agar ia dapat menjadi dayang dan pelayan dalam yang baik, dan Gan Han Le ini serahkan kepada bagian pendidikan agar dia dapat belajar surat dan silat." Ketika Tang Ciangkun memberi hormat menerima perintah, raja itu menambahkan, teringat bahwa tentu bukan tanpa pamrih pembantunya yang setia dan baik ini datang menghadapkan Ibu dan anak itu kepadanya.

"Oya, dan sebagai hadiah, engkau kuangkat menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas di utara, menggantikan panglima yang akan kutarik kembali ke kota raja dan kunaikkan pangkatmu menjadi panglima muda, Besok akan kukirim surat keputusan dan pengangkatanku itu!" katanya sambil melambaikan tangan mengusir mereka pergi dari hadapannya. Tang Ciangkun tentu saja menjadi girang bukan main. Selama ini, dia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi, bukan hanya karena ilmu silatnya yang cukup tangguh dan kesetiannya membantu perjuangan Tai Peng sampai pemimpin itu menjadi raja, juga karena dia masih bersamaan she (nama keturunan) dengan permaisuri, walaupun tidak ada hubungan keluarga apapun. Dan kini, mendadak dia menjadi seorang pamglima muda, seorang jenderal, komandan pasukan penjaga tapal batas utara!

Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih, lalu dengan wajah berseri mengundurkan diri mengiringkan Sheila dan Han Le. Akan tetapi, sikap Ong Siu Coan yang ramah dan manis terhadap Sheila, yang memuji kecantikannya, telah mendatangkan perasaan cemburu dan panas di dalam hati Kiki. Diam-diam ia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengusahakan agar Sheila jangan diberi tugas sebagai dayang di dalam istana melayani keluarga raja, melainkan diberi tugas di dapur dan di bagian belakang yang tidak mungkin wanita berkulit putih itu memperlihatkan diri di depan Kaisar. Tentu saja perintah rahasia ini tidak ada yang berani membantah karena semua orang tahu belaka betapa keras dan kejamnya tangan permaisuri itu. Hal ini bahkan melegakan hati Sheila.

Baginya, yang paling penting adalah kemajuan dan pendidikan puteranya. setelah anaknya kehilangan gurunya, guru yang paling baik di dunia ini pikirnya dengan hati duka, maka Henry perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Dia kelak harus menjadi seorang yang pandai. Dirinya sendiri tidak dipikirkannya. Biar ia dipekerjakan di dapur atau di kebun, bekerja berat sekalipun ia tidak akan mengeluh asal saja puteranya memperoleh pendidikan yang baik seperti yang diharapkan. Dan hal ini mungkin dilakukan karena bantuan perwira Tang yang kini menjadi panglima muda dengan kedudukan komandan di perbatasan. Tang Ciangkun itu merasa gembira sekali dengan kenaikan pangkatnya, dan ketika dia mengundurkan diri keluar dari ruangan di mana mereka diterima raja tadi, dia mendengar Sheila mengeluh.

"Tang Ciangkun, aku merasa menyesal sekali telah ikut bersamamu ke sini. Engkau melihat dan mendengar sendiri tadi, kehadiranku bahkan mendatangkan suasana tidak enak saja kepada Sri Baginda dan Permaisuri. Aku sendiri tidak perduli akan keadaan diriku, akan tetapi aku amat mengkhawatirkan keadaan puteraku. Ciangkun, aku akan berterima kasih sekali kepadamu kalau engkau suka membantu sehingga anakku akan dapat belajar bun dan bu (sastera dan silat) seperti yang kami citakan." Tang Ciangkun yang merasa gembira dan berterima kasih karena Ibu dan anak ini mendatangkan keuntungan besar dan kenaikan pangkat kepadanya, segera berkata,

"Baik, jangan khawatir, Toanio, Kebetulan sekali kepala pengawal istana adalah sahabat baikku, Dia memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dariku, dan dia dapat mengajarkan ilmu silat kepada puteramu. Adapun tentang pelajaran sastera, dia tentu akan bisa mendapatkan seorang guru di antara para karyawan di istana ini." Demikianlah, berkat bantuan Tang Ciangkun, kepala pengawal yang bernama Giam Ci, mencarikan guru sastera dan dia sendiri melatih ilmu silat kepada Han Le.

Melihat ini, Sheila merasa lega sekali, apalagi karena ia jarang atau hampir tidak pernah diperintah ke bagian dalam istana berhadapan dengan raja dan permaisuri seperti yang dikhawatirkan. Sudah satu bulan ia berada di situ dan belum juga ia bertemu dengan raja dan permaisuri. Akan tetapi, pada suatu hari, ia terkejut sekali ketika ada petugas datang ke bagian belakang dan pengawal ini menyampaikan perintah Raja bahwa ia diharuskan menghadap sekarang juga! Dengan hati gelisah dan jantung berdebar Sheila memasuki ruangan di mana Raja Ong Siu Coan sudah menanti. Begitu melihat Sheila, Ong Siu Coan bangkit dan menyuruh pengawal itu mundur. Akan tetapi seperti biasa, dua orang pengawal pribadi yang seperti patung itu tetap berdiri di sudut kamar.

"Aih, kenapa sejak berada di sini, sudah satu bulan aku tidak pernah melihatmu? Aku sampai lupa bahwa engkau berada di sini!" Sheila berlutut dan memberi hormat.

"Hamba sibuk bekerja di dapur selama ini."

"Ah, engkau mana pantas bekerja di dapur?" Dengan hati khawatir sekali Sheila berkata,

"Akan tetapi hamba sudah merasa suka sekali dengan pekerjaan hamba dan hamba berterima kasih kepada Paduka."

"Hemm, kalau begitu bolehlah. Akan tetapi sewktu-waktu kalau kupanggil engkau harus datang. Aku butuh sekali bantuanmu, Sheila." Kembali Sheila menahan jantungnya yang berdebar keras.

"Apakah yang dapat hamba lakukan untuk Paduka, Sri Baginda?"

"Aku ingin lebih mendalami isi Alkitab, dan karena bahasa Inggrisku masih dangkal, amat sukar aku mengerti benar isinya. Tejemahan yang ada dalam bahasa daerah juga tidak lengkap. Kau bangkitlah dan duduklah di kursi di dekatku sini. Engkau harus membantu aku memahami isi Alkitab." Sheila tidak berani membantah, bangkit dan menghampiri kursi lalu duduk tak jauh dari Ong Siu Coan yang sudah mengeluarkn sebuah kitab, yaitu Alkitab yang sudah lusuh dan usang. Tiba-tiba Sheila mendapat suatu kekuatan yang keluar dari dalam lubuk hatinya. Raja ini seperti orang gila saja, menganggap dirinya sebagai putera Allah dan sebagai adik Yesus. Jelaslah bahwa raja ini mempelajari Alkitab dengan keliru dan menyeleweng daripada kebenaran, Kalau hanya menterjemahkan dan mengajarkan isi Alkitab saja, tanpa lebih dahulu mengubah pandangannya yang menyeleweng tentang dirinya sendiri, kiranya tidak akan ada gunanya.

"Ampunkan hamba, Sri Baginda. Sebelum mempelajari Alkitab, hamba mohon bertanya, apakah Paduka ini pemeluk Agama Kristen?"

"Tentu saja! Kau pikir bagaimana? Bukan saja beragama Kristen, bahkan aku adalah utusan Tuhan untuk mengamankan dunia dan mendatangkan berkah bagi manusia, aku adalah putera Tuhan yang diturunkan terakhir, aku adik bungsu dari Yesus sendiri! Karena itu aku harus mempelajari isi Alkitab dengan sempurna!" Kata-kata yang kacau, pikir Sheila. Orang ini mabok dalam kemenangan dan kemuliaan, memandang diri sendiri sedemikan tingginya sehingga terdengar mengerikan!

"Akan tetapi, yang mulia Sri Baginda. Umat Kristen dalam kepercayaannya mendasarkan isi Alkitab. Bagaimana Paduka dapat mengharapkan agar semua orang percaya akan keadaan Paduka kalau tidak terdapat di dalam Alkitab?"

"Aha, ternyata engkau masih bodoh! Tentu saja ada di dalam Alkitab! Nanti kuperlihatkan kepadamu, sejak dahulu sudah terlihat tanda-tanda dan ramalan-ramalan bahwa aku akan turun ke dunia, walaupun tidak disebut sebagai putera Tuhan dan adik Yesus. Akulah yang akan mengubah seluruh dunia dengan kekuasaanku, membasmi yang lalim dan mengangkat yang percaya ke dalam surga!" Sheila merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang yang miring otaknya, seorang gila yang amat berbahaya. Dengan sekuat keberaniannya iapun mencoba untuk menyadarkan.

"Maaf, yang mulia. Agama Kristen adalah agama yang berdasarkan Cinta Kasih, yang tidak akan mempergunakan kekerasan, apalagi membasmi..."

"Kau keliru! Yesus sendiri marah-marah melihat kelaliman. Dan kau kira Tuhan tidak akan marah melihat kelaliman manusia? Lihat saja di dalam Alkitab dan ingat akan peistiwa Nabi Nuh ketika banjir besar membasmi semua manusia yang lalim, ingat pula kota Sodom dan Gomorah yang hancur lebur dan semua orang yang lalim binasa terbasmi habis oleh kemurkaan Tuhan. Akupun menjadi putera utusan Tuhan yang menjalankan perintah Tuhan, membasmi penjajah Mancu yang lalim, dan membasmi semua orang lalim di dunia ini! Lihat betapa Tuhan marah dan menjatuhkan berbagai penyakit kepada manusia, bencana alam, kesengsaraan. Semua itu untuk menghukum orang-orang yang lalim dan jahat!" Dia berhenti sebentar untuk mengambil napas dan memandang ke atas, seolah-olah menanti "ilham" yang datang dari atas dan melanjutkan.

"Tuhan pendendam dan pemarah, dan semua orang akan digilas oleh kemarahanNya dan akan dihancur-binasakan kalau tidak cepat bertaubat dan percaya kepada Tuhan melalui aku puteraNya!" Gila, pikir Sheila. Ia mencoba lagi untuk meluruskan yang bengkok,

"Ampun beribu ampun, Sri Baginda. Bukan hamba membantah atau tidak percaya, akan tetapi karena hamba Paduka panggil untuk bicara soal agama, maka hamba berani mengajukan pendapat hamba untuk bahan pertimbangan Paduka dalam mempelajari Agama Kristen. Hamba berpendapat bahwa Tuhan bersifat Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Pengampun. Seperti telah disebutkan di dalam kitab, demikian Maha Kasih dan Maha Pemurah sehingga Dia menurunkan puteranya ke dalam dunia untuk membimbing semua umat manusia, untuk mencuci dosa manusia dengan darahNya..."

"Memang benar! Akan tetapi sampai kini manusia tidak mau bertaubat. Karena itu, sekarang Tuhan menurunkan aku sebagai putera kedua, untuk melanjutkan perjuangan kakakku Yesus, menyelamatkan umat manusia, membasmi sumber kesengsaraan manusia, membasmi yang berdosa!" Ong Siu Coan memotong. Wah, semakin menjadi gilanya, pikir Sheila. Sejak memasuki ruangan yang khas di sebelah dalam ini tadi, ia sudah merasa ngeri dan bergidik. Ruangan itu dibuat seperti keadaan bukan di bumi lagi, seperti yang pernah ia baca digambarkan dalam kitab Wahyu. Tempat duduk raja itu terbuat dari emas permata, dan raja sendiri mengenakan sebuah mahkota tipis dari emas yang gemerlapan dengan taburan batu permata. Di belakangnya nampak dinding yang dilukisi awan sedemikian indah seolah-olah hidup dan bergerak, sehingga raja itu nampak seperti duduk di atas awan!

Yang hebat, singgasana raja itu diukir dengan amat indah, berbentuk seekor binatang yang berkepala tujuh. Binatang itu menyerupai ki-lin atau semacamnya, tubuh dan kepalanya seperti seekor harimau, kakinya seperti kaki beruang dan mulutnya seperti mulut singa! Teringatlah Sheila akan bunyi sebuah nubuat atau ramalan di dalam kitab Wahyu tentang seekor binatang yang keluar dari dalam laut, keadaannya seperti yang terukir pada singgasana yang diduduki raja itu. Betapa kemudian binatang yang disebut juga naga itu memerangi dan mengalahkan orang-orang kudus dan menjadi berkuasa disembah oleh setiap bangsa di dunia! Teringat akan ini dan mendengar ucapan raja itu, diam- diam timbul rasa takut di dalam hati Sheila. Apalagi ketika Ong Siu Coan mengambil sebuah pedang yang berada di atas meja sembahyang, pedang aneh bentuknya ketika dicabutnya dari sarungnya, karena pedang itu terbuat dari batu giok dan berbentuk Naga.

"Lihat ini, Sheila. Inilah pengganti sabit seperti yang disebutkan di dalam ayat suci. Bukalah Alkitab itu dan cari dalam kitab Wahyu, yaitu ramalan yang diberikan kepada Yohanes, dan carilah Wahyu 14 ayat 14 sampai dengan 16." Dengan jari agak gemetar Sheila membuka kitab suci itu dan mencari bagian yang disebutkan Ong Siu Coan.

"Coba baca dan terjemahkan!" kata pula raja itu dengan nada memerintah, wajahnya berseri, sepasang matanya mencorong dan dia nampak gembira sekali. Sheila mencoba untuk menenangkan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar walaupun ia merasa serem seperti kalau orang berhadapan dengan seorang gila yang sukar dimengerti. Iapun membaca sambil menterjemahkan.

"Dan aku melihat dengan sesungguhnya, ada awan putih dan di atas awan putih itu duduklah seorang seperti anak manusia dengan sebuah mahkota emas di atas kepalanya dan sebuah sabit tajam di dalam tangannya, Maka keluarlah seorang malaikat lain dari Bait Suci, dan dia berseru dengan suara nyaring kepada dia yang duduk di atas awan itu : Ayunkanlah sabitmu dan tuailah, karena sudah saatnya untuk menuai, karena tuaian di bumi sudah masak. Dan dia yang duduk di atas awan itu, mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan bumipun dituailah!" Sheila berhenti membaca, mengangkat muka memandang kepada raja itu dengan mata terbelalak, tengkuknya terasa dingin. Ong Siu Coan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, dan akulah anak Allah. Akulah dia yang duduk di atas awan putih itu, dan naga berkepala tujuh itu sudah kutaklukkan, dan akulah yang akan melaksanakan perintah Bapakku, akulah yang akan membabat semua yang bersalah, dan melalui akulah semua manusia akan memperoleh keselamatan, termasuk engkau, Sheila!" Dan kini berubahlah sikap Ong Siu Coan. Dia sudah meletakkan kembali pedang Giok-Liong-Kiam, tentu saja yang palsu karena yang aseli telah dicuri oleh Lee Song Kim, dan dengan muka kemerahan dan mulut menyeringai dia mendekati Sheila, lalu merangkulnya. Tentu saja Sheila terkejut bukan main karena hal ini tak disangkanya. Iapun meronta ketika kedua tangan raja itu bergerak dengan kasar dan hendak menanggalkan pakaiannya, sedangkan muka raja itu mendekatinya hendak menciumnya.

"Ah, Sri Baginda! Ingatlah, hamba adalah isteri Sute Paduka sendiri!" Sheila memperingatkan sambil meronta dengan sia-sia dari kedua tangan yang amat kuat kokoh itu.

"Heh-heh, karena itulah engkau harus melayaniku, Sheila. Sute telah tidak ada lagi, dan engkau begini cantik, matamu begini biru, rambutmu seperti benang emas, aahhh...!"

"Lepaskan, Sri Baginda, kalau tidak hamba akan menjerit!" kata pula Sheila ketika pipinya telah diciumi walaupun ia sudah berusaha untuk menjauhkan mukanya, dan kancing-kancing baju atasnya sudah terlepas.

"Ha-ha-ha, engkau telah dipilih oleh putera Tuhan sendiri, mengapa engkau menolak? Dan siapa yang akan berani menentang aku kalau aku menghendaki dirimu?" Ong Siu Coan kini semakin nekat. Pada saat itu muncullah sang permaisuri, Tang Ki! Wanita ini muncul dari sebuah pintu belakang dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa suaminya sedang berusaha menggauli Sheila dengan paksa.

"Hemmm, bagus sekali!" katanya, suaranya lirih namun mengandung desis kemarahan. Mendengar suara ini, Ong Siu Coan terkejut dan cepat melepaskan Sheila dan bangkit lalu undur ke belakang. Sheila sendiri juga bangkit dan cepat membereskan pakaiannya yang sudah separuh terbuka, mengusap air matanya dengan ujung lengan baju tanpa mengeluarkan suara tangis.

"Bagaimana engkau berani masuk begitu saja menggangguku?" bentak Ong Siu Coan marah. Akan tetapi isterinya tidak menjawab, melainkan memandang kepada Sheila dan membentak.

"Engkau tidak lekas kembali ke dapur?" Dan telunjuknya menuding ke arah pintu. Sheila menjura dengan wajah penuh duka dan segera meninggalkan ruangan itu. Setelah tiba di luar, ia cepat berlari menuju ke kamarnya di bagian belakang. Setelah Sheila pergi, barulah Tang Ki membalikkan tubuhnya menghadapi suaminya dengan muka merah dan sikap marah.

"Hemm, begini ya kalau engkau berada di belakangku? Sudah berani menghinaku dengan bermain perempuan di tempat ini!" Kalau mendengar dan melihat sikap permaisuri itu, tentu para menteri dan hulubalang akan menjadi terkejut dan heran sekali.

Memang Tang Ki tidak pernah bersikap hormat kepada suaminya ini kalau tidak hadir orang ketiga. Biarpun Ong Siu Coan telah menjadi raja, namun bagi Tang Ki, dia hanyalah laki-laki yang telah dibantunya, sejak dari manusia biasa sampai kini terangkat menjadi seorang raja besar di daerah selatan Sungai Yang-ce. Ong Siu Coan diam saja, hanya memandang kepada isterinya dengan cemberut. Dia dapat berlagak di depan orang lain, mengaku sebagai putera Allah, adik Yesus dan sebagainya, namun di depan Kiki atau Tang Ki, dia mati kutu. Isterinya itu telah mengetahui akan semua rahasianya, mengalami pahit getirnya semenjak mereka berjuang dan Kiki selalu menjadi isterinya, pembantu setia, dan tangan kanannya.

"Kenapa diam saja? Katakan saja bahwa engkau sudah bosan padaku!" Tang Ki sambil menjatuhkan diri duduk di atas kursi di dekat singgasana suaminya. Ong Siu Coan juga duduk di atas singgasana itu. perlahan-lahan, nafsu berahi yang tadi menguasai dirinya, menjadi surut dan dia memandang kepada isterinya dengan alis berkerut.

"Aku ataukah engkau yang bosan? Yang jelas, aku merasa bosan karena sampai sekarangpun engkau belum mempunyai keturunan! Siapa kelak yang akan menggantikan aku menjadi raja kalau engkau tidak melahirkan seorang putera? Dan engkau tidak membolehkan aku mengambil isteri lain untuk menyambung keturunan!" Seperti biasa, kalau Ong Siu Coan sudah menyinggung soal keturunan dan isteri muda, terjadilah percekcokan. Sebetulnya, diam-diam Kiki sudah merasa jemu dan tidak suka kepada suami ini, yang dianggapnya seperti orang yang telah menjadi gila dan ingin menganggapnya sebagai hamba sahaya saja. Akan tetapi bagaimanapun harus diakuinya bahwa kini iapun terangkat naik ke dalam kemuliaan, menjadi seorang permaisuri yang disembah-sembah oleh rakyat jelata!

"Hemm, tak perlu merengek. Kalau memang engkau membutuhkan wanita lain agar memperoleh keturunan, akupun tidak akan menghalangi. Akan tetapi bukan perempuan bule itu. Aku yang akan memilihkan, berapa saja kau suka. Akupun sudah bosan kepadamu!" Biarpun ucapan itu amat menusuk perasaan, karena di situ tidak ada orang lain dan isterinya menjanjikan untuk membolehkan dia mengambil selir-selir, Ong Siu Coan tidak menjadi marah, bahkan merasa gembira sekali. Akan tetapi, percakapan mereka atau lebih tepat percekcokan mereka itu terhenti seketika dengan munculnya seorang pengawal yang melaporkan bahwa Lui-Ciangkun, seorang kepercayaan Ong Siu Coan yang bertugas sebagai seorang di antara komandan-komandan pasukan mata-mata yang banyak disebarkan di perbatasan utara, mohon menghadap.

Ong Siu Coan merasa lega karena kemunculan perwira itu berarti menyudahi kedaan tidak enak itu, apalagi dia teringat bahwa Lui-Ciangkun pernah mengirim laporan tentang Lee Song Kim dan dia memerintahkan agar Lee Song Kim dihubungi dan kalau mungkin dihadapkan kepadanya karena dia ingin menarik orang lihai ini sebagai pembantunya. Apalagi ketika mendengar dari pengawal yang datang melapor bahwa Lui-Ciangkun datang dan mohon menghadap bersama seorang yang bernama Lee Song Kim, raja itu menjadi gembira sekali. Tang Ki yang mendengar disebutnya nama Lee Song Kim, juga menjadi tegang, gembira dan penuh perhatian. Suhengnya datang! Dan biarpun ia pernah bermusuhan dengan Suhengnya itu, namun ada sesuatu yang amat menarik pada diri Suhengnya,

Dan hal itu sekarang semakin terasa olehnya semenjak timbul perasaan tidak suka kepada suaminya. Raja dan permaisuri ini lalu membereskan pakaian mereka, mengatur sikap seanggun-anggun dan seagung-agungnya ketika mereka menanti munculnya Lui-Ciangkun dan Lee Song Kim. Dengan cerdik Ong Siu Coan tidak meneima tamunya di ruangan di mana tersimpan Giok-Liong-Kiam itu, melainkan di ruangan di mana dia biasa menerima para tamu dan para menterinya. Pedang pusaka Giok-Liong-Kiam biasanya kalau malam disimpan di meja sembahyang yang berada di kamar tidurnya, sedangkan kalau siang disimpan di ruangan yang disebutnya Ruangan Awan Putih itu. Lee Song Kim semdiri merasa heran akan tetapi juga lega ketika melihat sikap raja dan permaisurinya itu. Mereka nampak sama sekali tidak marah, dan tidak kelihatan seperti orang yang membencinya.

Bahkan jantungnya berdebar ketika dia melihat sinar mata Kiki yang masih cantik jelita seperti dulu, memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh baginya karena dia melihat kekaguman membayang dalam sinar mata itu! Dan raja itupun nampak ramah dan tersenyum dengan wajah berseri ketika melihatnya. Seperti juga Lui-Ciangkun, Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan raja dan permaisuri itu. Lui-Ciangkun dengan singkat namun jelas melaporkan kepada raja tentang peristiwa pertemuan di mana Lee Song Kim mengangkat diri menjadi bengcu dengan julukan Thian-He Te-It Bu-Hiap, betapa banyak tokoh persilatan menerimanya dengan gembira. Kemudian betapa pertemuan itu ditinggalkan sebagian para tamu yang agaknya tidak menerima Song Kim sebagai bengcu dan kemudian penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan besar pemerintah Mancu.

"Sayang bahwa kekuatan pasukan yang hamba pimpin hanya kurang lebih seratus orang, sedangkan kekuatan musuh sedikitnya lima ratus orang, dipimpin oleh orang pandai, sehingga hamba hanya berhasil menyelamatkan sebagian saja dari anak buah Lee-Kongcu yang kini telah berada di markas." Lui-Ciangkun menutup lapornnya. Ong Siu Coan mengangguk-angguk,

"Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Lui-Ciangkun. sekarang mundurlah dan biarkan kami bercakap-cakp dengan Thian-He Te-It Bu-Hiap." Lee Song Kim mengangkat muka memandang, ingin melihat apakah dalam menyebutkan julukan itu sang raja hendak mengejeknya, namun dia melihat raja itu mengedipkan sebelah matanya kepadanya.

Song Kim menunduk dan merasa lega, juga kagum karena Ong Siu Coan ternyata masih merupakan seorang yang cerdik dan berbahaya, walaupun sudah menjadi raja. diapun cepat memutar otaknya untuk mengatur siasat, siap menghadapi segala pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang tepat sambil menduga-duga apa yang tersembunyi di balik sikap yang bersahabat dari raja ini, padahal dia pernah datang dan mencuri Giok-Liong-Kiam dari kamar raja. Lui-Ciangkun mengundurkan diri dan raja lalu memerintahkan semua pengawal, juga para pengawal pribadinya, untuk mundur. Akhirnya hanya dia, permaisuri dan Lee Song Kim saja yang tinggal di ruangan itu. Pintu-pintu ruangan itu telah ditutup rapat dari luar oleh para pengawal atas perintah raja. Setelah mereka tinggal bertiga saja, raja dan permaisuri seoah-olah baru melepaskan kedok mereka.

"Lee Song Kim, sungguh engkau berani mati sekali muncul di sini! Tahukah kau bahwa sekali aku memberi aba-aba, seratus orang pengawal akan mengepungmu dan menghancurkan seluruh tubuhmu sekarang juga?" Permaisuri itu membentak sambil bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Kim. Akan tetapi, Lee Song Kim merasa heran melihat betapa wajah yang cantik itu sama sekali tidak cocok dengan suaranya. Suaranya seperti orang marah dan benci, akan tetapi wajah itu, sinar mata itu! Maka diapun maklum. Dia adalah seorang laki-laki yang berpengalaman, dan melihat sikap sang permaisuri ini, diapun tersenyum dan dalam keadaan masih berlutut diapun berkata dengan suara halus.

"Hamba telah berada di sini, dan hamba telah menyerahkan jiwa raga hamba di dalam kekuasaan Paduka. Kalau memang Paduka tega untuk membunuh hamba, silakan, hamba akan mati dengan rela dan mata terpejam di bawah tangan Paduka." Mendengar ucapan itu, dan melihat sikap itu, sang permaisuri menjadi merah mukanya dan ia tersenyum.

"Mengingat engkau dahulu adalah Suhengku, biarlah sekali ini kuampuni kau. Akan tetapi awas kalau lain kali berani kurang ajar lagi!" Diam-diam Song Kim tersenyum. Bekas sumoinya itu tentu menyindir perbuatannya mengusap paha ketika malam-malam datang mencuri pedang itu. Heran! Kenapa bekas sumoi yang dahulu membencinya itu tidak marah dan agaknya tidak mengatakan hal itu kepada suaminya?

"Lee Song Kim, kami mengajakmu bicara tanpa dihadiri para pengawal karena aku hendak bertanya kepadamu. Engkaukah yang malam-malam itu datang mencuri Giok-liong- kiam dari kamar kami?" Tadi ketika berhadapan untuk pertama kali dengan raja dan permaisuri ini, Song Kim telah mempersiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaan dan pertanyaan yang kini diajukan oleh raja termasuk pertanyaan pertama yang telah dia persiapkan jawabannya. Maka begitu ditanya, dia tidak nampak terkejut atau khawatir, melainkan menjawab dengan suara lantang dan lancar, sedikitpun tidak kelihatan gugup.

"Sebelumnya saya harap dapatkah kiranya Paduka memberi ampun kepada hamba atas kelancangan hamba. Sesungguhnya sejak dahulu hamba merasa kagum sekali atas kemajuan yang dicapai oleh pasukan Tai Peng dan hamba bercita-cita untuk membantu gerakan yang Paduka pimpin. akan tetapi, hamba belum memperoleh kesempatan dan timbul gagasan dalam hati hamba untuk mengumpulkan orang-orang pandai di dunia persilatan. kalau hamba telah nerhasil menjadi bengcu, memimpin tokoh persilatan, maka baru hamba akan menghambakan diri kepada pasuka berikut anak buah hamba. Untuk keperluan menghimpun orang-orang di seluruh dunia persilatan dan kang-ouw, hamba membutuhkan Giok-Liong-Kiam. Kalau hamba terang-terangan minta pinjam kepada Paduka, tentu Paduka tidak akan percaya kepada hamba. Oleh karena itu, mohon ampun sebelumnya, hamba telah berani berlancang tangan mencuri Giok-Liong-Kiam untuk hamba pinjam sebentar, yaitu untuk mempengaruhi para tokoh kang- ouw. semua ini hamba lakukan secara terpaksa, semata-mata untuk dpat mengumpulkan orang-orang pandai dan kemudian menghambakan diri, membantu Paduka." Song Kim berhenti sebentar, mencuri pandang ke arah wajah raja dan permaisuri itu. Melihat betapa Ong Siu Coan tersenyum dan tetap tidak memperlihatkan kemaraha, bahkan wajahnya berseri cerah, dia menjadi lega dan melanjutkan.

"Sekarang hamba telah berhasil menghimpun tokoh-tokoh kang-ouw dan hamba bermaksud menghambakan diri bersama kawan-kawan ke hadapan kaki Paduka, dan hamba tidak lagi memerlukan Giok-Liong-Kiam. Oleh karena itu, hamba telah membawa Giok-Liong-Kiam bersama hamba, hendak hamba kembalikan kepada Paduka dengan terima kasih yang sedalam- dalamnya dan maaf yang sebesar-besarnya." Lee Song Kim mengeluarkan Giok-Liong-Kiam dari balik jubahnya dan menyerahkan pedang itu dengan gagang terlebih dahulu kepada Ong Siu Coan. Raja ini sambil tersenyum menerima pedang Giok-Liong-Kiam, mencabutnya untuk memeriksa sejenak. Dia merasa yakin bahwa iu adalah pedang yang aseli, maka disarungkannya kembali pedang itu.



JILID 12

"Engkau tidak tahu bahwa pusaka ini adalah pusaka yang telah dikaruniakan dan diperuntukkan aku oleh Tuhan sendiri, sebagai lambang kekuasaanku untuk menyelamatkan dunia dan manusianya, Lee Song Kim. Akan tetapi karena engkau telah mengambilnya dengan niat baik, biarlah aku memaafkanmu. dan sebagai gantinya, engkau boleh memiliki pusaka tiruannya, dan engkau boleh menyatakan kepada dunia kang-ouw bahwa itu adalah Giok-Liong-Kiam aseli agar engkau tetap menjadi bengcu. Jadilah bengcu, kumpulkan orang-orang kang-ouw dan bawa mereka kepadaku untuk membantu gerakan Tai Peng, dan engkau akan menjadi pembantuku yang paling baik. Engkau akan kuberi kedudukan tinggi dan kemuliaan. Bagaimanapun juga, engkau adalah Suheng dari permaisuri kami."

Lee Song Kim menjadi girang bukan main. Biarpun dahulu ia menganggap Ong Siu Coan orang biasa, rekan di dunia kang-ouw, bahkan saingannya, namun kini dia tidak boleh memandangnya sebagai orang setingkat. Ong Siu Coan telah menjadi seorang raja besar dengan kekuasaan pula, hidup bergelimang kekuasaan, kemuliaan dan kemewahan. Tentu saja dia tidaklah begitu bodoh untuk menentang seorang seperti Ong Siu Coan, dan kalau saja dia dapat menjadi orang kepercayaannya, tentu dia akan ikut pula hidup dalam kemuliaan. Selain itu, di situ terdapat pula Kiki yang masih demikian menggairahkan, dengan senyum manis dan lirikan mata yang demikian penuh rahasia dan tantangan! Dengan sikap hormat dan berterima kasih, Song Kim menerima penawaran raja itu dan mulai hari itu diapun menjadi orang kepercayaan Ong Siu Coan.

Tugasnya hanyalah melanjutkan kedudukannya sebagai bengcu di antara kaum kang-ouw, lalu mengumpulkan orang-orang kang-ouw membujuk mereka agar suka menjadi para anggauta pasukan istimewa yang membantu gerakan pasukan Tai Peng yang masih berniat untuk melakukan penyerangan ke utara dan menundukkan seluruh kekuasaan Kerajaan Mancu yang mulai lemah. Song Kim memperoleh tempat tinggal di kompleks istana yang megah itu, dan hidup sebagai seorang panglima muda atau juga pengawal pribadi raja yang memiliki kekuasaan besar. Bahkan dia dapat keluar masuk istana, di bagian manapun, tanpa larangan dan tidak ada pengawal istana yang berani melarangnya karena dia telah memperoleh ijin dan tanda kuasa sendiri oleh raja!

Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh Lee Song Kim untuk memasuki istana di bagian paling dalam, mencari dayang-dayang yang paling cantik, merayunya dan karena hal ini tidak dilarang pula oleh Ong Siu Coan yang memanjakan pembantu ini, maka banyaklah sudah dayang yang jatuh ke dalam pelukan Lee Song Kim! Beberapa hari kemudian, ketika Lee Song Kim seperti biasa berjalan-jalan di seluruh kompleks istana, tibalah dia di dapur istana yang secara kebetulan dia melihat Sheila bekerja di sana. Dia terkejut, terheran, lalu kagum melihat wanita kulit putih yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik jelita dan bahkan sudah masak menggairahkan. Hatinya segera tertarik sekali dan diapun mendekati Sheila, mengajaknya bicara.

"Aih, sungguh mati, kukira di sini aku telah bertemu dengan seorang bidadari! Nona, engkau tentu seorang bidadari dari sorga, bukan?" demikian Song Kim menegur Sheila yang sedang berada di luar dapur. Sheila bukan seorang wanita yang kaku atau pemalu. Ia sudah mendengar akan munculnya seorang panglima yang tampan dan pandai merayu wanita sehingga banyak dayang yang jatuh hati kepada pria itu. Kini di depannya berdiri pria yang disohorkan itu, dan harus diakuinya bahwa pria itu memang ganteng dan gagah dan pandai pula merayu hati wanita.

"Bagaimana Ciangkun dapat menduga bahwa aku seorang bidadari sorga?" tanyanya dengan suara biasa, tidak nampak genit.

"Tentu saja karena aku sudah mendengar sendiri dari Sri Baginda bahwa para bidadari itu bermata biru dan berambut kuning emas!"

"Tidak, Ciangkun. aku adalah seorang pelayan biasa yang bertugas di dalam dapur. Dan maafkan, aku bukan gadis remaja lagi, melainkan seorang Ibu dari anak yang usianya sudah belasan tahun. Maaf, banyak pekerjaan menumpuk yang harus kubereskan." dan iapun masuk ke dalam dapur, meninggalkan Lee Song Kim yang terlongong dan merasa hatinya copot dan keluar dari rongga dadanya, berloncatan mengikuti bayangan wanita bermata biru berambut kuning keemasan. Song Kim tidak mau berhenti sampai di situ saja. Dia lalu bertanya-tanya, mulai melakukan penyelidikan tentang diri wanita kulit putih yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Tentu saja dia menjadi semakin tertarik dan kagum ketika mendengar bahwa wanita itu adalah janda pendekar Gan Seng Bu, adik seperguruan Ong Siu Coan sendiri! Bahkan wanita itu adalah janda yang selama belasan tahun dapat mempertahankan diri, hidup menjanda bersama seorang puteranya, dan akhirnya dapat ditemukan oleh seorang kepercayaan raja, dan dibawa ke istana itu. Karena wanita kulit putih itu ternyata masih mempunyai hubungan dengan raja, yaitu merupakan adik ipar seperguruan, Song Kim bersikap hati-hati dan tidak berani lancang mempergunakan kekerasan. Kalau dia mempergunakan kekerasan, tentu akan membuat raja merasa tersinggung. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa wanita kulit putih tidak terlalu dianggap keluarga oleh raja. Buktinya hanya dipekerjakan sebagai seorang pelayan dapur.

Kalau dia memintanya kepada raja, tentu akan diserahkan kepadanya dengan baik. Dalam keadaan dimabok cinta, akhirnya Song Kim menyatakan isi hatinya ketika pada suatu hari dia berkesempatan menghadap raja dan permaisuri seorang diri saja. Mendengar pernyataan Song Kim bahwa dia suka kepada dayang bernama Sheila dan mohon perkenan raja untuk dapat mengambil janda itu senagai isteri. Ong Siu Coan terbelalak lalu tertawa bergelak. Dia sendiri pernah tergila-gila kepada Sheila, akan tetapi bukan mencintanya, hanya sekedar terangsang berahinya melihat wanita berkulit putih bermata biru berambut emas itu. Akan tetapi setelah Kiki mempergokinya dan marah-marah, dan melihat betapa Sheila menolaknya, berahinya memadam. kini mendengar bahwa seorang kepercayaannya itupun tergila-gila, dia merasa geli dan juga girang.

"Bagus sekali kalau engkau hendak menikah dengan Sheila!" kata raja sambil tertawa.

"Dia adalah janda Suteku, kini pantaslah kalau menjadi isterimu, Lee Song Kim. Aku setuju sekali!"

"Aku tidak setuju!" Tiba-tiba sang permaisuri berkata, suaranya ketus dan tajam sehingga Ong Siu Coan dan Lee Song Kim menengok, memandang kepada wanita cantik itu.

"Aku tidak perduli dan sama sekali bukan urusanku kalau Lee Song Kim hendak mengambil isteri wanita yang mana saja. Akan tetapi jangan Sheila! Ingatlah bahwa ia adalah seorang wanita kulit putih! Padahal, Lee Song Kim bertugas sebagai bengcu dan menarik sebanyak mungkin orang-orang dari dunia kang-ouw untuk membantu kita. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kesan buruk terhadap para orang kang-ouw kalau dia mengambil isteri seorang wanita bule?"

"Hamba tidak ada kesan buruk itu, bahkan membanggakan! Dan tentang bagaimana sikap orang-orang kang-ouw, hal ini hamba sanggup untuk menghadapi dan mengatasinya," kata Lee Song Kim dengan alis berkerut. Akan tetapi Ong Siu Coan sudah mengangguk-angguk, agaknya membenarkan pendapat permaisurinya, dan diapun menjadi bimbang. Biarpun dia ingin menyenangkan hati pembantu yang amat berharga ini, namun tentu saja yang paling penting adalah memikirkan akibat yang akan menimpa kekuatan Tai Peng. Kalau benar pendapat permaisurinya, berarti pernikahan itu hanya akan merugikan Tai Peng, merugikan kerajaannya, merugikan dia!

"Hemm, hal ini memang perlu dipikirkan dengan panjang lebar, Lee Song Kim. Urusan jodoh bukanlah urusan sehari dua hari yang diputuskan dengan terburu dan tergesa-gesa. Kita tunda dulu dan kita pikirkan bersama baik-buruknya, untung ruginya. Setelah sebulan kemudian, baru kita akan bicarakan kembali." Tentu saja Song Kim tidak berani membantah atau memperlihatkan sikap kecewa walaupun diam-diam dia merasa kecewa dan marah kepada bekas sumoinya itu. Terpaksa dia bersikap sabar menanti sampai raja menyetujuinya, hal yang tadinya dia sudah merasa yakin sekali. Dua hari kemudian, Sri Baginda Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan mendadak dengan para penasihatnya di bidang kemiliteran, terutama sekali panglima yang menangani masalah senjata api. Pada waktu itu, seperti juga pasukan pemerintah Mancu, pasukan Tai Peng juga melihat kegunaan senjata api dalam peperangan,

Maka mereka seperti berlomba untuk mendapatkan senjata api dari orang-orang kulit putih yang menyelundupkannya, seperti halnya dengan candu. Dengan harga mahal sekali kedua pemerintahan ini berani membeli senjata api dari orang-orang kulit putih. Tentu saja yang menjual senjata api kepada mereka adalah penyelundup-penyelundup kulit putih, petualang-petualang yang berani melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya demi memperoleh keuntungan besar. Bahkan hal ini agaknya dilihat dengan mata setengah dipicingkan oleh pasukan orang kulit putih karena mereka ini mempunyai siasat untuk mengadu domba antara pasukan Mancu dan pasukan Tai Peng! Sudah barang tentu hanya senjata api yang mereka anggap ringan dan kuno saja yang boleh diselundupkan dan dijual kepada kedua pihak yang bermusuhan itu.

Persidangan yang dilakukan oleh Sri Baginda Raja Ong Siu Coan itu sehubungan dengan adanya kontak antara mata-mata yang bertugas mencari dan membeli senjata gelap ini dengn seorang mata-mata kaki tangan orang kulit putih. Mata-mata orang kulit putih ini menawarkan sebanyak dua ratus batang senjata api bedil kepada pihak Tai Peng, bukan dijual dengan harga tinggi, melainkan untuk ditukar dengan wanita kulit putih bernama Sheila yang berada di istana Nan-king itu! Menurut mata-mata pasukan kulit putih itu, Nyonya Sheila dicari-cari oleh keluarganya yang menjadi bangsawan orang kulit putih, dan setelah pihak kulit putih mendengar dari mata-mata mereka bahwa Nyonya Sheila itu berada di istana Nan-king, maka mereka lalu menawarkan penukaran dua ratus pucuk senjata api itu dengan diri Nyonya Sheila yang harus dikirimkan kepada pihak kulit putih!

Mendengar pelaporan mata-mata ini, Raja Ong Siu Coan lalu mengadakan sidang itu untuk minta pendapat para penasihatnya. tentu saja para penasihat itu merasa setuju sekali.

"Adanya wanita
kulit putih di dalam istana, hamba kira tidak mendatangkan keuntungan apapun, baik kepada pasukan kita terutama sekali kepada Paduka. Kalau Paduka memenuhi permintaan pihak orang kulit putih, terdapat dua keuntungan. Pertama, tentu saja dua ratus pucuk senjata api itu akan memperkuat persenjataan pasukan kita, dan kedua, pihak kulit putih akan berterima kasih kepada Paduka dan selanjutnya akan lebih mudah bagi kita untuk membeli senjata api dari mereka," demikian para penasihatnya berpendapat. Bahkan permaisuri sendiripun mendesak raja sehingga akhirnya, sidang dibubarkan dengan keputusan bahwa Sheila akan diserahkan kepada mata-mata pihak kulit putih, ditukarkan dengan dua ratus pucuk senjata api! Setelah bubaran dan berada di dalam kamar mereka sendiri, Ong Siu Coan berkata kepada isterinya,

"Satu hal yang tidak enak, yaitu Lee Song Kim. Dia tentu akan merasa kecewa sekali kalau mendengar bahwa Sheila yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya itu tahu-tahu telah lenyap, ditukar dengan senjata api. Bagaimana kalau engkau sendiri yang pergi menemuinya dan membujuknya agar dia dengan rela melepaskan Sheila demi kepentingan kerajaan, dan untuk menjadi calon isterinya dia boleh memilih puteri mana yang disukainya? Bujuk dia baik-baik agar tidak berkurang kesetiannya kepada kita."

Permaisuri Tang Ki mangangguk setuju dan malam itu juga ia lalu pergi mengunjungi Lee Song Kim di gedung tempat tinggalnya yang berada di kompleks istana itu, di ujung timur. Tentu saja Lee Song Kim tergopoh menerima kunjungan tamu agung ini yang hanya di antar oleh dua orang pelayan wanita. Tak lama kemudian, Lee Song Kim menerima tamu agung itu di dalam ruangan tamu, dan mereka berdua duduk berhadapan di ruangan yang kosong itu, karena baik Song Kim maupun Tang Ki menyuruh pelayan-pelayan mereka untuk keluar dari dalam ruangan itu. Sejenak mereka duduk berhadapan, saling pandang dan Song Kim yang lebih dahulu menundukkan pandang matanya. Bagaimanapun juga, dia teringat bahwa yang dihadapinya ini adalah permaisuri, isteri dari Raja yang menjadi junjungannya, walaupun wanita ini adalah sumoinya sendiri.

"Kalau boleh hamba bertanya, kepentingan apakah yang membawa Paduka Sri Baginda ratu memberi kehormatan besar kepada hamba dengan kunjungan ini?" akhirnya Song Kim bertanya. Hening sejenak tiada jawaban, dan ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat betapa wanita cantik di depannya itu tersenyum geli, kemudian malah melepaskan suara ketawa kecil.

"Hi-hik, Lee-Suheng. Sungguh mati, aku tak dapat menahan rasa geli hatiku melihat sikapmu yang begini menghormat kepadaku. Tahukah engkau setiap kali kita bertemu dan engkau bersikap seperti itu, aku selalu merasa bahwa seolah-olah kita sedang menjadi anak wayang dan bermain sandiwara di atas panggung, hi-hi-hik!" Lee Song Kim juga tersenyum, akan tetapi dia masih belum berani bersikap demikian terbuka dan biasa seperti yang dilakukan oleh Tang Ki. Dia menarik napas panjang.

"Memang benar pendapat Paduka, karena sesungguhnya, hidup di atas dunia ini tiada bedanya dengan bersandiwara di atas panggung, menjadi anak wayang dan memegang peran masing-masing. Karena peran kita masing-masinglah dalam kehidupan ini maka kini Paduka menjadi seorang permaisuri dan hamba menjadi pembantu dan hamba sahaya Paduka."

"Hushh, jangan lanjutkan itu, Suheng. Di sini tidak ada orang lain, tidak enak bicara kalau engkau bersikap hormat-hormatan seperti itu!" Song Kim menjadi heran, akan tetapi ia masih belum berani mengubah sikapnya. Wanita ini, biarpun dahulu bermusuhan dengannya, kini adalah seorang junjungannya. Kalau dia menuruti kemauannya dan mengubah sikap, bagaimana kalau kata-kata Tang Ki itu hanya merupakan pancingan belaka untuk menjebaknya? Tentu dia akan celaka!

"Habis, bagaimana hamba akan bersikap?" tanyanya, hati-hati.

"Sudahlah, Suheng, tanggalkan saja semua topeng sopan santun yang kadang-kadang amat membosankan hatiku itu. Anggap saja aku ini masih Kiki, sumoimu sendiri. Ini merupakan permintaanku, juga perintah. Kalau kita berada berdua saja, bersikaplah biasa seperti Suheng dan sumoi."

"Baiklah... sumoi."

"Nah, begini baru enak kita bicara. Suheng, aku datang untuk bicara denganmu mengenai maksudmu untuk menikah dengan Sheila, perempuan bule itu. suamiku dan aku sudah sepakat untuk tidak menyetujui terjadinya hal itu, Suheng." Mendengar ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan memandang kepada wajah permaisuri itu dengan tajam penuh selidik.

"Akan tetapi... bukankah... Sri Baginda Raja memberi waktu sebulan untuk memikirkan hal itu secara mendalam? Bagaimana sekarang tiba-tiba..."

"Tenanglah, Suheng," kata wanita itu sambil menyentuh punggung tangan Song Kim.

"Kami sudah mempertimbangkan untung ruginya maka berani mengambil kesimpulan dan tidak menyetujui pernikahan itu. Ingatlah bahwa engkau mempunyai kedudukan penting di sini. Kalau engkau memperisteri seorang wanita kulit putih, hal itu akan mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kewibawaan Sri Baginda sendiri. Pula, engkau melihat apa sih pada diri Sheila sehingga engkau jatuh cinta kepada wanita bule itu? Masih banyak wanita cantik di dunia ini, dan engkau boleh memilih, asal jangan perempuan bule itu."

"Aku... aku amat tertarik kepadanya, sumoi. Ia cantik dan lembut, dan terutama mata dan rambutnya..."

"Hemm, tidak kau lihat betapa kulitnya biarpun amat putih akan tetapi tidak sehalus kulitku? Hemm, apakah... apakah ia itu kau anggap lebih cantik dari aku, Suheng? Sudahlah, kaulupakan saja Sheila dan kau boleh memilih seorang wanita cantik yang mana saja, tentu akan bisa kaudapatkan. Kami bahkan akan membantu engkau sampai wanita yang kau kehendaki dapat kau miliki." Tiba-tiba suatu pikiran menyelinap ke dalam kepala Song Kim. Sumoinya ini bersikap begini menantang! Dan kalau sampai dia dapat mendekati sumoinya ini, hemmm... siapa tahu dia akan dapat merampas singgasana dan menggantikan kedudukan Ong Siu Coan!

"Tentu saja kecantikan Sheila tidak dapat dibandingkan dengan engkau, sumoi. Akan tetapi..., satu-satunya wanita di dunia ini yang amat kucinta, sejak dahulu, kini telah menjadi milik orang lain, dan aku hanya mampu memandangnya dengan penuh kerinduan. Kalau aku tidak boleh menikah dengan Sheila, kiranya tidak ada wanita lain di dunia ini yang dapat kucinta, karena cintaku telah terbawa oleh wanita pertama itu. Engkau sendiri tahu betapa sampai sekarang dalam usia hampir empat puluh tahun, aku masih belum mau menikah, sumoi." Mendengar ucapan yang keluar dengan suara mengandung getaran mengharukan itu, Tang Ki memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia mendekatkan tubuhnya ke arah Song Kim sambil bertanya,

"Siapakah wanita itu, Suheng? Kenapa engkau membiarkan ia dimiliki orang lain?" Ia mengira bahwa tentu Suhengnya pernah jatuh cinta mati-matian dan gagal, maka ia ingin sekali mendengar siapa gerangan wanita yang membuat Suhengnya tidak mau menikah dengan wanita lain itu. Song Kim mengangkat muka memandang wajah yang cantik manis itu. Tahi lalat yang menghias pipinya itu membuat wajahnya nampak manis bukan main dan karena wanita itu duduk dekat sekali dengannya, dia dapat mencium baubsemerbak mengharum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.

"Sumoi, apakah engkau tidak tahu? Siapa lagi wanita yang telah kucinta sejak belasan tahun yang lalu, sejak kita bersama tinggal di Pulau Layar? Siapa lagi kalau bukan... engkau seorang...? Maafkan aku, sumoi..."

"Aihh...!" Tang Ki memandang dengan muka berubah merah sekali, bukan karena marah melainkan karena terkejut dan juga malu dan senang! Ia memang tahu bahwa Suhengnya pernah tergila-gila kepadanya, bahkan Suhengnya sudah pernah mencoba untuk memperkosanya dan hampir saja berhasil. Malah akhir-akhir ini, ketika Song Kim mencuri pedang, dia telah meraba pahanya, hal ini menandakan bahwa perasaan mesra yang dahulu itu masih ada. dan sekarang, Suhengnya malah berani mengaku terus terang. Song Kim melihat sikap ini dan dia bukan seorang laki-laki bodoh, diapun cepat menangkap tangan yang terletak di atas meja di dekatnya itu, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan penuh kehangatan dan kemesraan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tang Ki tanpa melepaskan tangan wanita itu sambil meratap.

"Sumoi... maafkan aku... sejak dahulu aku tergila-gila kepadamu. Hanya untuk dapat berdekatan dengan engkau sajalah maka aku sekarang mau menghambakan diri kepada suamimu.." Tang Ki yang oleh suaminya diberi tugas untuk membujuk Song kim agar suka mengurungkan niatnya menikahi Sheila, kini bahkan sebaliknya jatuh oleh bujuk rayu Song Kim yang amat ahli dalam hal itu. jantugnya berdebar-debar, mulutnya tersenyum kecil, matanya bersinar-sinar.

"Benarkah... benarkah itu, Suheng?" katanya dengan suara berbisik dan pandang mata sayu. Semua ini dapat dilihat oleh Song Kim dan dapat dimengertinya dengan baik. Diam-diam dia merasa heran mengapa kini, setelah menjadi seorang pemaisuri, sumoinya ini agaknya malah bersedia untuk melayani hasratnya! Dia tidak tahu bahwa semua itu terjadi karena memang ada perubahan terjadi di dalam hati Tang Ki, setelah ia merasa tidak suka kepada suaminya yang dianggapnya gila dan tidak lagi mencintanya, apalagi ketika ia melihat suaminya hendak menggagahi Sheila. Terjadi perubahan di dalam hati Tang Ki dan kini ia memandang pria yang memang lebih ganteng dibanding suaminya itu dengan gairah membayang pada sepasang matanya yang indah.

"Engkau... engkau masih belum percaya kepadaku, sumoi...?" kata Song Kim tanpa melepas tangan yang kecil mungil itu dari genggamannya. Tang Ki tersnyum manis.

"Mana percaya kalau hanya kata-kata saja dan tidak ada buktinya?" Mendengar jawaban ini, Song Kim tidak ragu-ragu lagi. Diapun bangkit dan merangkul.

Tang Ki yang bagaikan setangkai pohon bunga yang kekeringan dan haus siraman air kasih sayang seorang pria, balas memeluk dan keduanya saling rangkul, saling cium dan saling belai penuh kerinduan. Berahi merupakan satu di antara nafsu yang amat kuat. sekali orang berada dalam cengkeraman nafsu berahi, dia akan lupa segala. Yang teringat hanyalah penyaluran dan pemuasannya. Demikian pula dengan Song Kim dan Tang Ki. Mereka lupa bahwa mereka adalah seorang permaisuri dan seorang hambanya! Mereka bahkan lupa akan bahaya kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Sri Baginda. Namun, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga mereka dapat berkencan dan melakukan perjinahan tanpa diketahui orang lain! Dan sejak saat itu, terjadilah hubungan gelap antara bekas Suheng dan sumoi ini dan keduanya merasa cocok sekali.

Tentu saja Sheila merasa terkejut dan khawatir ketika ia bersama puteranya pada sore hari itu dipanggil oleh pengawal untuk menghadap Sri Baginda Raja dan Ratu yang telah menanti di ruangan dalam. Sheila cepat mengajak puteranya, Gan Han Le, menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.

"Sheila," terdengar Sri Baginda Raja Ong Siu Coan berkata dengan suara ramah.

"Tahukah engkau dan puteramu mengapa saat ini kami panggil menghadap?" Tanpa mengangkat mukanya, Sheila menjawab,

"Hamba berdua tidak tahu, Sri Baginda."

"Ketahuilah bahwa keadaanmu di istana ini telah diketahui oleh bangsamu, dan kini datang utusan mereka untuk minta agar engkau dan puteramu dikirim kepada mereka. Ada keluarga orang tuamu yang menuntut agar engkau kembali kepada mereka. Karena itu, malam ini juga kalian berdua akan kami serahkan kepada seorang mata-mata pasukan kulit putih agar dibawa dengan kereta ke pelabuhan di mana telah menanti kapal bangsamu." Mendengar ini, Sheila merasa terkejut bukan main. Sama sekali ia tidak pernah membayangkan akan kembali kepada bangsanya. Pernah ia kembali bersama mendiang suaminya, belasan tahun yang lalu karena ada undangan bangsanya. Akan tetapi kembalinya itulah yang mencelakakan suaminya.

Suaminya tewas dan hatinya menjadi demikian sakitnya segingga ia rela meninggalkan bangsanya dan rela hidup di antara rakyat di dusun-dusun bersama puteranya. Akan tetapi, yang mengirimnya sekarang adalah raja! Dan ia sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Dan iapun tidak akan menolak. Memang ia sudah ingin sekali melepaskan diri dari istana raja yang pernah menjadi Suheng mendiang suaminya ini, apalagi setelah peristiwa di malam itu, setelah sang raja mencoba untuk menggaulinya dengan paksa. Diam-diam ia bahkan merasa girang bahwa ia dan puteranya akan dapat lolos dari tempat ini. Ia akan menghadapi komandan pasukan bangsanya, dan kelak saja kalau sudah berhadapan dengan mereka dan melihat sikap mereka, ia akan dapat mengambil keputusan apa yang selanjutnya akan dilakukannya.

"Hamba hanya mentaati perintah Paduka, Sri Baginda." jawabnya tenang. Sementara itu, jauh di luar tembok kota raja Nan-king, di dalam bayangan tembok benteng yang agak gelap dan sunyi, tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki yang bertubuh jangkung,

Pakaiannya sederhana serba putih, usianya sekitar lima puluh lima tahun, mukanya buruk sekali, dengan kulit muka yang rusak seperti bekas terbakar, matanya juga besar sebelah, hidungnya menceng, mulutnya juga nyerong, telinganya mengecil, punggungnya bongkok dan lengan kirinya bengkok. Semua keburukan ini ditambah lagi dengan jalannya yang terpincang-pincang. Orang ini bukan lain adalah Bu Beng Kwi yang telah kita kenal! Bagaimana secara tiba-tiba saja Bu Beng Kwi dapat muncul di luar kota raja Nan-king dan mengadakan pertemuan dengan tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan? Seperti telah kita ketahui, ketika Sheila mengajak Han Le pergi meninggalkannya, hati Bu Beng Kwi hancur lebur. Dia merasa seolah-olah semangatnya terbang melayang dibawa pergi Sheila,

Seluruh kebahagiaannya lenyap terbawa pergi dan yang ada hanyalah sesosok tubuh yang terasa lemah dan lelah, sepi dan sunyi tanpa semangat lagi. Ingin rasanya mati saja. Dia tahu betapa hancur pula rasa hati Sheila, wanita yang dikasihinya itu, setelah Sheila melihat kenyataan bahwa dia adalah Koan Jit, pembunuh suami wanita itu, musuh besarnya! Dan dia tidak menyalahkan Sheila, bahkan merasa terharu dan kasihan sekali. Biarpun dia merasa hidupnya hampa dan tidak ada artinya lagi, namun dia sadar bahwa Sheila dan puteranya tentu akan menghadapi banyak tantangan dalam hidup, bahkan tentu akan mengalami banyak rintangan dan ancaman bahaya. Oleh karena itulah, kekhawatiran dan keselamatan Sheila dan anaknya itu menggugahnya, menghidupkan kembali tubuhnya yang lunglai dan diapun cepat membayangi kepergian Ibu dan anak itu.

Dialah yang memberikan buntalan pakaian Ibu dan anak itu, dia pula yang menyelimuti mereka, membantu Han Le mendapatkan kelinci dan ayam hutan, bahkan memberi bungkusan garam. Ketika ketiga orang laki-laki kurang ajar mengganggu Sheila, Bu Beng Kwi pula yang diam-diam mengusir tiga orang laki-laki itu. Diapun terus membayangi ketika Sheila dan Han Le dibawa pergi oleh Tan-Ciangkun menuju ke Nan-king, dibawa masuk ke dalam istana raja Ong Siu Coan! Biarpun Sheila dan Han Le telah berada di dalam istana, tetap saja Bu Beng Kwi membayangi. Tentu saja amat sukar untuk menyelundup ke dalam istana. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, diapun pada malam harinya berhasil menyusup masuk kompleks istana dan bersmbunyi.

Dia melihat pula betapa Sheila diterima dengan baik oleh Ong Siu Coan, akan tetapi dia melihat bahaya mengancam diri Sheila ketika melihat betapa raja itu agaknya mulai tergila-gila kepada Sheila. Untung ada Tang Ki yang mencegah terjadinya pemaksaan yang akan dilakukan raja itu terhadap diri Sheila sehingga pemerkosaan dapat dicegah. Andaikata tidak muncul Tang Ki, tentu Bu Beng Kwi akan nekat muncul dan melindungi Sheila pada malam hari itu. Semenjak terjadinya hal itu dan dia melihat bahaya yang mengancam diri Sheila, Bu Beng Kwi lalu mencari akal untuk dapat mengeluarkan Sheila dan anaknya dari istana itu. Kebetulan sekali pada suatu hari dia melihat sebuah kereta yang memuat beberapa peti besar, dikawal oleh tiga orang berikut kusir. karena sikap mereka bertiga itu mencurigakan,

Dengan gerak-gerik mereka yang jelas membayangkan kekuatan dan kepandaian silat, diam-diam Bu Beng Kwi yang telah keluar dari istana untuk mencari jalan mengeluarkan Sheila dan anaknya, membayangi dan pada malam harinya, ketika tiga orang itu berhenti dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menurunkan peti-peti yang jumlahnya delapan buah itu ke dalam kamar, diapun melakukan pengintaian. Dengan kepandaiannya yang tinggi, akhirnya Bu Beng Kwi dapat membuka sebuah di antara peti-peti itu di luar tahu pemiliknya dan terkejutlah dia melihat bahwa setiap peti terisi dua puluh lima pucuk senjata api! Kemudian, pengintaiannya membuat dia maklum bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan orang kulit putih yang menyelundupkan dua ratus buah senjata api untuk dijual kepada pihak pemerintah baru di Nan-king.

Tanpa banyak kesukaran, Bu Beng Kwi dapat menyingkirkan dan membunuh tiga orang itu, yang dianggapnya sebagai pengkhianat-penghianat yang menjual diri kepada orang kulit putih. Dia merampas kereta berikut delapan peti berisi dua ratus pucuk senjata api itu, dan dialah yang melanjutkan perjalanan menuju keluar kota Nan-king seperti yang telah didengarnya dari percakapan antara tiga orang mata-mata itu. Dan tepat seperti yang sudah didengarnya, kedatangannya disambut oleh mata-mata Tai Peng. Akan tetapi, untuk dua ratus pucuk senjata api itu, dia tidak minta uang. Menyamar sebagai mata-mata pihak kulit putih, dia mengatakan bahwa dia diperintah oleh para komandan kulit putih untuk menukar dua ratus pucuk senapan itu dengan diri nyonya Sheila, wanita kulit putih yang berada di istana Nan-king.

Demikianlah, yang menjadi mata-mata itu adalah Bu Beng Kwi, dan Raja Ong Siu Coan telah menyetujui penukaran itu. Dan malam itu, seperti telah dijanjikan, dengan keretanya, Bu Beng Kwi menanti di tempat gelap, siap untuk menukarkan delapan peti yang masih disembunyikan dengan diri Sheila dan puteranya. Setelah menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akhirnya yang dinanti-nantikannya datanglah. Ibu dan anak itu datang dikawal oleh pasukan pengawal, naik kuda dan begitu tiba di situ, Sheila dan Han Le langsung saja naik ke dalam kereta tanpa bertanya lagi. Mereka memang sudah diberitahu bahwa mereka akan dijemput oleh mata-mata orang kulit putih yang akan membawanya pergi.

Dengan pasrah, karena maklum betapa bahayanya kalau ia tetap berada di istana, Sheila menggandeng tangan puteranya dan naik ke dalam kereta, Karena cuaca di situ gelap, iapun tidak melihat siapapun juga, kecuali bayangan beberapa orang di bawah pohon tidak jauh dari kereta itu. Belum nampak ada kusir yang duduk di depan kereta. Setelah melihat bahwa Sheila dan Han Le memasuki kereta, barulah Bu Beng Kwi mengambil delapan peti terisi senjata api. Para mata-mata dan pengawal memeriksa dan menghitung. Setelah mendapat kenyataan bahwa dua ratus pucuk bedil itu lengkap jumlahnya, mereka mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi Bu Beng Kwi lalu naik ke tempat duduk kusir di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang menariknya. Keretapun berjalan meninggalkan tempat itu melalui jalan yang gelap.

"Ibu, kita hendak ke manakah?" beberapa kali Han Le mengajukan pertanyaan ini kepada Ibunya. Ada sedikit kekecewaan di dalam hati anak ini. Dia sudah dipisahkan oleh Ibunya dari gurunya yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu Bu Beng Kwi. Kemudian, dia mendapatkan guru baru di istana, dan dia mulai belajar silat dan juga ilmu baca tulis, akan tetapi kembali dia diajak pergi oleh Ibunya! Beberapa kali Sheila hanya menjawab,

"Diam dan tenanglah, Henry, dan tidur sajalah. Besok engkau akan tahu sendiri ke mana kita pergi." Sheila agak ragu-ragu untuk memberi tahu kepada puteranya bahwa mereka akan pergi ke bangsa kulit putih. Ia dapat membayangkan betapa puteranya, yang hanya warna matanya saja menurun kepadanya dari darah kulit putih, akan merasa asing di antara bangsa kulit putih. Apalagi Han Le tidak begitu lancar berbahasa Inggris walaupun sejak kecil ia sudah mengajarnya. Han Le tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang lain kecuali dengan Ibunya. Karena itu, maka ditangguhkannya keterangan yang sebenarnya kepada anak itu, agar anaknya tidak gelisah dan dapat tidur di dalam kereta itu.

"Ibu, kenapa Ibu tidak memberitahu sekarang saja? Aku akan gelisah dan tidak dapat tidur, menduga-duga ke mana kita akan pergi. Kemanakah kita pergi, Ibu?" kembali Han Le mendesak.

"Aku sendiri belum tahu, Henry."

"Belum tahu? Kalau begitu, kenapa kita pergi?"

"Sri Baginda yang memerintahkan. Kita harus pergi dari istana, malam ini juga. Kita menurut saja kepada kusir kereta ini, kemana kita akan dibawa pergi."

"Heii, pak kusir! Ke manakah kami akan kaubawa pergi? Ke mana?" Han Le berteriak ke arah punggung kusir. Akan tetapi, kusir itu tidak menjawab, duduk diam seperti arca yang hanya nampak punggungnya yang lebar. Beberapa kali Han Le berteriak dan bertanya, namun tidak ada jawaban. Akhirnya anak itu mengomel.

"Ibu, sungguh jahat sekali raja yang menjadi Suheng dari mendiang Ayah itu, ya? Dia mengusir kita tanpa memberi tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Sungguh aku tidak senang mempunyai supek macam dia, walaupun dia telah menjadi raja"

"Husshh, Henry, tidurlah dan jangan banyak cakap lagi." Sheila berkata dalam bahasa Inggris kepada puteranya sambil menuding ke arah punggung kusir, seperti memberi tahu agar puteranya tidak bicara lagi yang bukan-bukan karena ada kusir itu yang mendengarkan. Han Le bersungut-sungut, akan tetapi diapun lalu merebahkan diri miring di atas tempat duduk, berusaha untuk tidur. Sheila juga menyandarkan tubuhnya dan berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, tidak mungkin ia dapat tidur menghadapi keadaan seperti itu.

Nasibnya belum dapat ditentukan akan menjadi bagaimana. Ia tidak begitu perduli akan dirinya sendiri. Setelah apa yang dideritanya, kehancuran hatinya melihat kenyataan bahwa pria yang dipujanya, yang bahkan dicintanya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besar, yaitu Koan Jit orang yang paling dibencinya, iapun tidak perduli lagi akan apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan rasanya kalau tidak melihat puteranya, ia ingin mati saja menyusul suaminya. Akan tetapi di sampingnya ada Henry, puteranya. Tidak, ia tidak ingin mati lebih dulu. Ia harus mendidik Henry, yang penting adalah nasib Henry, bukan nasib dirinya. Karena itu ia akan melihat bagaimana nanti keadaan di antara bangsanya sendiri. Kalau Henry merasa tidak berbahagia berada di antara bangsa kulit putih, ia akan mengajak Henry pergi lagi, entah ke mana, asal Henry dapat hidup berbahagia.

Terbayanglah di depan matanya peristiwa pembukaan rahasia diri Bu Beng Kwi yang sudah sering terbayang olehnya. Dan seperti biasa, tak dapat ia menahan membasahnya kedua matanya. Ia tahu benar betapa besar rasa cintanya kepada Bu Beng Kwi. Teringat ia betapa laki-laki itu seringkali menangis dan menyesali diri sendiri, dan iapun merasa terharu Tak mungkin ia dapat membenci Bu Beng Kwi. Ia merasa kasihan, terharu dan juga kagum yang membangkitkan cinta kasih yang besar. Akan tetapi kalau ia teringat akan wajah Koan Jit, setelah topeng Bu Beng Kwi dilepas, ia segera teringat kepada mendiang suaminya dan iapun merasa benci sekali kepada Koan Jit. Dan ternyata bahwa Koan Jit adalah Bu Beng Kwi, bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit!

Ia terjepit di antara kasih sayang dan kebencian. namun yang jelas, ia amat berduka dan merasa kehilangan, kehilangan pria yang dikasihinya, Bu Beng Kwi! Kalau ia masih berada di dekat Bu Beng Kwi, tidak akan begini nasibnya. Ia tentu masih hidup berbahagia di Bukit Ayam Merah, melayani segala keperluan Bu Beng Kwi. Mencuci untuknya, memasak untuknya, membersihkan rumahnya, melakukan segala pekerjaan yang amat disukanya karena dengan pekerjaan itu ia memperlihatkan rasa cintanya kepada pria itu. Dan kini ia merasa menyesal mengapa Bu Beng Kwi membuka rahasianya? Kenapa Bu Beng Kwi menghidupkan lagi Koan Jit sehingga menghidupkan pula dendam dan kebenciannya? Mengapa? Air matanya mengalir turun di kedua pipinya. Tiba-tiba kereta berhenti. Han Le yang tadinya sudah pulas itu terbangun.

"Ibu, kenapa kereta berhenti? Sudah sampaikah kita?" tanyanya.

"Ssttt, diam saja kau," kata Sheila dalam bahasa Inggris, berbisik lirih karena ia melihat bayangan orang menghadang di depan kereta dan mendengar orang membentak-bentak di depan kereta itu, agaknya ditujukan kepada kusir kereta.

"Turunlah kalau engkau mau selamat!" terdengan suara kasar membentak.

"Kereta ini dan seisinya untuk kami! Kalau kau membantah, kami akan menyeret dan membunuhmu lebih dulu!"

"Kalian siapakah? Tidak tahukah bahwa aku melaksanakan perintah Sri Baginda Raja di Nan-king?" terdengar suara berat dari kusir itu.

"Ha-ha-ha, kami pemungut pajak di jalan tidak mengenal utusan Kaisar atau utusan siapa saja. Harus tunduk kepada perintah kami. Hayo menggelinding turun kau, atau engkau sudah bosan hidup?" terdengar suara pertama membentak. Terdengar suara pecut meledak-ledak dan kereta itu berguncang. Sheila yang membayangkan bahwa kusir itu tentu dikeroyok oleh para perampok itu, memeluk puteranya dan menanti dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran.

"Tenanglah, Ibu. aku akan melindungimu..." terdengar Han Le berbisik dan biarpun kata-kata ini menggelikan, namun cukup mengharukan hati Sheila yang memeluk lebih keras lagi. Terdengar teriakan-teriakan perkelahian di luar kereta. Kusir itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi, tadi mendengar percakapan antara Sheila dan Han Le dengan hati terharu. Diapun kagum melihat betapa Sheila tetap tabah dalam keadaan apapun juga. Dia tidak ingin memperlihatkan diri dan hanya akan membawa Ibu dan anak itu sejauh mungkin dari jangkauan tangan Ong Siu Coan dan anak buahnya, kemudian akan meninggalkan mereka. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat sunyi di luar hutan yang berada di kaki sebuah bukit itu keretanya akan dihadang oleh perampok yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

Bu Beng Kwi menjadi marah dan tentu saja dia tidak sudi menyerahkan kereta dan isinya. Dia tadi menggunakan cambuknya merobohkan perampok yang mengancamnya, akan tetapi dia terkejut melihat betapa perampok itu dapat meloncat bangun kembali. Dia lalu meloncat turun dari kereta. Belasan orang, atau mungkin juga dua puluh itu, kini mengepungnya dan ketika mereka bergerak menyerang, tahulah Bu Beng Kwi bahwa mereka bukanlah perampok sembarangan saja. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi! Dan mereka mempergunakan golok atau pedang yang baik! Diam-diam dia terkejut sekali. Tidak dapat dia menduga siapa yang mengirim pasukan pilihan ini untuk menghadang keretanya.

Dugaannya memang tepat. Dua puluh empat orang itu bukanlah perampok biasa saja, melainkan dua lusin perajurit pilihan yang dikirim oleh permaisuri untuk menghadang kereta dan membunuh Sheila dan Han Le! Melihat betapa Sheila telah membuat Ong Siu Coan, kemudian bahkan Lee Song Kim, jatuh cinta, timbul perasaan tidak senang, bahkan kebencian dan iri hati di dalam dada permaisuri itu. Oleh karena itu, diam-diam ia mempersiapkan dua losin perajurit pengawal pilihan dan mengutus mereka untuk menghadang kereta itu dan menyamar sebagai perampok-perampok, membunuh Ibu dan anak itu, juga kusirnya yang didengarnya adalah seorang mata-mata bangsa kulit putih. Betapapun lihai dua losin perajurit itu namun mereka terkejut bukan main menghadapi kusir itu. Sinar bulan tua memberi penerangan yang cukup sehingga para pengeroyok itu dapat melihat wajah orang yang mereka keroyok. Dan mereka terkejut setengah mati.

Wajah itu sepeti wajah setan! Lebih lagi rasa kaget mereka ketika melihat betapa kusir itu berkelebat dan dalam waktu beberapa gebrakan saja, empat orang di antara mereka telah roboh tak dapat bangun kembali! Si wajah setan ini ternyata lihai bukan main, pikir mereka. Tadinya mereka mentertawakan perintah permaisuri. Untuk membunuh seorang kusir, seorang wanita kulit putih dan anaknya saja permaisuri telah mengutus sebanyak dua losin perajurit pilihan! Akan tetapi kini mereka terkejut dan mereka memperketat pengepungan, mempercepat dan memperkuat gerakan senjata mereka. Tak mungkin seorang kusir bertangan kosong mampu mengalahkan mereka yang jumlahnya dua losin dan semua bersenjata lengkap! Akan tetapi, kembali empat orang roboh berturut-turut dan tidak mampu bangun kembali tercium kedua tangan dan kaki kusir itu!

Delapan orang telah tewas dan kini para pengeroyok menjadi marah, penasaran, akan tetapi juga agak gentar. Bahkan tiga orang di antara mereka, yang menjadi pemimpin pasukan dan dua orang pembantunya, diam-diam meninggalkan teman-teman yang mengeroyok dan merekapun menghampiri kereta. Mereka, bagaimanapun juga, harus dapat melaksanakan tugas yang diperintahkan permaisuri, karena kalau sampai gagal, mereka tentu akan dihukum mati! Ketika mereka menyingkap tirai pintu kereta, mereka melihat seorang wanita sedang berpelukan dengan anaknya, seorang laki-laki belasan tahun. melihat munculnya tiga orang yang memegang pedang, Han Le terkejut dan marah. Apalagi ketika seorang di antara mereka menangkap lengan Ibunya dan menyeretnya turun dari kereta.

"Jangan ganggu Ibuku!" bentak Han Le sambil memukul. Akan tetapi, sebuah tamparan membuat dia terpelanting keluar kereta. Tiga orang itu lalu menangkap Sheila, memondongnya dan merekapun melarikan diri menghilang ke dalam gelap, ke arah hutan yang berada di kaki bukit. Han Le tidak perduli akan kepeningan kepalanya dan diapun lari mengejar.

"Lepaskan Ibuku...!" bentaknya sambil mengejar. Akan tetapi tiga orang itu berlari cepat ke dalam hutan yang gelap. Han Le nekat, terus mengejar ke dalam hutan secepat mungkin.

Sementara itu, mendengar teriakan Han Le, Bu Beng Kwi terkejut sekali. Teriakan itu berarti bahwa Sheila telah ditangkap orang, pikirnya. Hal ini membuat dia marah sekali. Dari dalam dadanya keluar suara menggereng hebat. Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang jumlahnya itu, terkejut dan gentar. Gerengan itu seperti mengguncang jantung mereka dan di antaranya ada yang seketika menjadi lumpuh seperti anak kambing mendengar harimau mengaum. Memang gerengan yang dikeluarkan Bu Beng Kwi itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Bu Beng Kwi mengamuk. kaki tangannya menyambar-nyambar dan demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berkaki enam dan bertangan enam. Dalam waktu sebentar saja, tiga belas orang itu telah roboh semua. Di tempat itu berserakan tubuh dua puluh satu orang yang agaknya telah tewas semua!

Sekali loncat, Bu Beng Kwi telah mendekati kereta dan ketika dia menjenguk ke dalam tidak melihat Sheila dan Han Le, dia mengeluarkan keluhan dalam dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap meninggalkan kereta itu Dan nampak bayangan putih berkelebat ke dalam hutan, ke arah dari mana dia mendengar suara Han Le tadi. Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan putih itu berkelebatan ke sana-sini di dalam hutan, dan akhirnya Bu Beng Kwi yang sudah merasa gelisah sekali melakukan pengejaran ke atas bukit, keluar dari hutan itu. Dan di luar hutan, nampaklah olehnya Han Le sedang menangis di bawah pohon, dengan pakaian robek-robek dan tubuh lecet-lecet. Tanpa terasa waktu itu malam telah hampir lewat, fajar telah menyingsing dan kegelapan telah berobah menjadi keremangan fajar.

"Han Le, mana Ibumu?" Bu Beng Kwi berseru sambil cepat memondong tubuh anak itu. Bagaikan mimpi rasanya, Han Le terbelalak memandang wajah orang yang memondongnya, kemudian dengan bercampurnya tangis dan tawa dia menuding ke atas bukit,

"Ibu dilarikan mereka ke sana, Suhu..." Tanpa membuang waktu lagi Bu Beng Kwi melompat dan mendaki bukit itu seperti terbang cepatnya sambil memondong tubuh Han Le yang masih bengong terlongong karena kaget, heran dan juga girang sekali mengatasi rasa khawatirnya akan nasib Ibunya.

Gurunya telah muncul, itu berarti bahwa Ibunya pasti dapat tertolong. Sebuah kuil tua bobrok yang berdiri miring di lereng bukit itu menarik perhatian Bu Beng Kwi. Apalagi ketika mendengar jerit tertahan dari tempat itu, disusul suara ketawa yang parau. Bagaikan terbang dia lari ke arah kuil tua itu. Ternyata sebuah kuil yang sudah tidak terpakai lagi. Nampak pintu reyot tertutup dan sekali tendang, daun pintu itu roboh dan apa yang nampak di dalam membuat sepasang mata Bu Beng Kwi seperti mengeluarkan api. Sheila sedang dipegangi tiga orang laki-laki dan sudah tertawa-tawa sedang menelanjanginya dan sudah berhasil merobek hampir seluruh pakaian wanita itu yang meronta-ronta. Agaknya tadi mulut yang mendekap mulut Sheila pernah terlepas maka terdengar jeritnya yang tertahan.

"Ibuuu...!" Han Le berteriak. Bu Beng Kwi melepaskan tubuh Han Le di luar ruangan itu dan tubuhnya sendiri sudah menerjang ke dalam. Tiga orang laki-laki itu tadi terkejut mendengar hiruk-pikuknya daun pintu jebol dan mereka menjadi pucat melihat bahwa yang menjebol pintu adalah si muka setan yang tadi mereka keroyok. Akan tetapi, kekagetan mereka masih terbayang pada wajah mereka ketika nyawa mereka melayang.

Demikian cepatnya Bu Beng Kwi menerjang dan tiga kali tamparan kedua tangannya berturut-turut membuat tubuh tiga orang itu terpental dalam keadaan tidak bernyawa lagi, mati tanpa menderita luka yang kelihatan. Sheila terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menolong adalah Bu Beng Kwi, ia mengeluh panjang dan tubuhnya terkulai, jatuh pingsan. Tadi, sekuat tenaga ia mempertahankan diri sehingga tidak sampai pingsan, dan sekarang, begitu terbebas dari malapetaka yang mengerikan, apalagi melihat munculnya Bu Beng Kwi yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya sedetikpun, perasaannya terguncang hebat dan iapun roboh pingsan. Bu Beng Kwi cepat memondong tubuh Sheila dengan penuh kasih sayang. diselimutinya tubuh itu dengan pakaian yang sudah compang-camping, dan dibawanya keluar,

"Ibu...!" Han Le berseru, khawatir sekali.

"Tenanglah, Han Le. Ibumu tidak apa-apa, hanya pingsan karena cemas dan lelah. Mari kau naik ke punggungku dan kita cepat kembali ke kereta kita." Han Le mentaati perintah gurunya dan ketika Suhunya berjongkok, diapun naik ke gendongan punggung Suhunya. Bu Beng Kwi menggendong Han Le dan memondong tubuh Sheila, lalu berlari cepat ke tempat di mana dia meninggalkan kereta tadi, di seberang hutan. Han Le bergidik melihat mayat-mayat yang berserakan, akan tetapi gurunya segera membawa dia ke dalam kereta, lalu merebahkan tubuh Sheila ke atas bangku kereta pula.

"Kau jaga Ibumu baik-baik agar jangan sampai jatuh. Kita harus segera pergi dari tempat ini." katanya dan Han Le mengangguk, lalu berlutut dan merangkul tubuh Ibunya. Keretapun bergerak, dikusiri Bu Beng Kwi, meninggalkan tempat itu. Setelah mereka meninggalkan bukit itu dan jauh dari sana, matahari sudah naik tinggi dan Bu Beng Kwi menghentikan keretanya di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu sunyi. Ketika dia menjenguk ke dalam kereta, ternyata Sheila masih pingsan, dijaga puteranya yang kelihatan khawatir.

"Suhu, Ibu belum juga sadar," kata Han Le dengan muka cemas.

"Tenangkan hatimu. Ibumu mendapat guncangan batin yang cukup hebat. Sekarang pergilah engkau mencari air dalam panci ini, kemudian buatlah api unggun dan masak air itu sampai mendidih." Melihat sikap Suhunya yang tenang, giranglah hati Han Le yang tadinya amat mengkhawatirkan keadaan Ibunya.

"Baik, Suhu," katanya sambil melompat turun dan membawa panci itu, mencari air. Bu Beng Kwi naik ke dalam kereta dan memeriksa denyut jantung Sheila melalui urat nadi tangannya. Denyut itu lemah dan tidak teratur. Wajah wanita itu pucat sekali dan melihat wajah itu, keharuan menusuk perasaan Bu Beng Kwi. Betapa besarnya dosa yang ditanggungnya terhadap wanita ini, pikirnya. Dia menghela napas panjang dan mengeluh di dalam batinnya. Mula-mula, dia sebagai Koan Jit telah membunuh suami wanita ini. Kemudin sebagai Koan Jit pula dia telah membunuh Bu Beng Kwi, laki-laki yang dicinta olehwanita ini dengan hati murni.

"Hemm, Koan Jit, engkau harus menerima hukuman yang bagaimana beratnya untuk menebus dosa-dosamu," demikian suara hatinya mengeluh. Dan hukuman terberat yang pernah dirasakan selama dia mengubah jalan hidupnya adalah sekarang ini! Hukuman ini jauh lebih berat daripada hukuman yang bagaimanapun juga,

Bahkan dianggapnya lebih berat dari siksa yang membawa mati sekalipun. Dia mencinta wanita ini, dan mencinta puteranya. Dia mencinta mereka berdua dengan sepenuh jiwanya, ingin membahagiakan mereka. Namun, wanita yang dicintanya itu membencinya, menjauhinya. Padahal, wanita ini sesungguhnya juga mencintanya, hanya karena perbuatannya yang lalu maka cinta itu berubah menjadi kebencian yang amat mendalam. Dan kenyataan ini amat menyiksa batinnya, mendatangkan penyesalan yang agaknya tidak akan mereda walaupun ditebus dengan nyawa sekalipun. Ada dua macam penyesalan. pertama adalah penyesalan karena menyadari akan dosa yang telah dilakukan, penyesalan yang dapat membuat si pelaku bertaubat dan tidak akan melakukan dosa itu untuk kedua kalinya.

Penyesalan kedua adalah penyesalan yang timbul karena akibat buruk menimpa diri sebagai akibat perbuatan dosanya itu. Penyesalan yang kedua ini tidak akan menimbulkan kesadaran dan tidak membuat orang bertaubat. Bu Beng Kwi menyesal karena keduanya. Dia telah menyadari dosa-dosanya semenjak bertemu dengan pendeta sakti Siauw-Bin-Hud dan seketika kesadaran itu merobah jalan hidupnya. Dia meninggalkan kehidupan bergelimang dosa sehingga sinar cinta kasih dan keadilan yang berada di dalam batin setiap manusia, kini bersinar terang dan tidak tertutup oleh debu-debu kekotoran. Namun, siksa batin yang dideritanya sebagai akibat dosa- dosanya, ketika dia bertemu dengan Sheila dan puteranya, mendatangkan pula penyesalan yang amat hebat, membuat dia kehilangan gairah hidup.

Bagaimanapun macamnya, penyesalan tidak ada gunanya sama sekali. hanya permainan pikiran saja yang mengingat- ingat masa lalu, dan ingatan akan masa lalu ini hanya membuahkan penyesalan, duka, dendam, kemarahan dan sebagainya lagi. Kalau kita mau waspada setiap saat, sehingga setiap gerak-gerik kita lahir maupun batin selalu berada di bawah pengamatan, maka kebijaksanaan akan selalu menyertai kita sehingga kita tidak akan salah langkah. Namun, betapapun saktinya, Bu Beng Kwi alias Koan Jit hanyalah seorang manusia biasa. Diapun menginginkan kesenangan, antara lain kesenangan agar selalu dapat berdekatan dengan Sheila dan Han Le, dua orang yang dicintanya, keinginan agar cintanya terhadap mereka dibalas tanpa halangan apapun. Dan keinginan, dalam bentuk apapun juga, tak terpisahkan dari suka.

Keinginan selalu melahirkan duka, karena keinginan tak ada batasnya, makin mekar dan sekali waktu pasti keinginan takkan terpenuhi dan timbullah kecewa, timbullah duka. Lenyapnya keinginan adalah apabila kita hidup saat demi saat, menikmati yang ada karena keinginan adalah pengejaran hal yang belum ada. Kalau kita selalu hidup di saat ini, tanpa ikatan dengan masa lalu, tanpa harapan untuk masa depan, hidup sepenuhnya saat demi saat, maka dalam keadaan apapun juga kita akan selalu waspada. Waspada dan sadar dalam arti kata tidak tebuai masa lalu dan tidak terseret keinginan masa depan. Hanya dengan beginilah kita dapat hidup sesungguhnya, menikmati apa yang ada hidup bahagia saat demi saat, bagaimanapun keadaan hidup kita di saat-saat itu. Kebahagiaan hanya terdapat di saat ini, bukan kemarin atau esok, karena hidup adalah saat ini pula, saat demi saat di mana kita harus sepenuhnya sebagai seorang manusia.

Sayang, sungguh sayang. Kita membiarkan sebagian besar kehidupan kita menjadi permainan pikiran, dikuasai sepenuhnya oleh pikiran yang selalu sibuk berceloteh sehingga batin melahirkan emosi. Pikiran menciptakan kemarahan, kekhawatiran, rasa takut, kebencian, prasangka, iri hati. dan sebagainya lagi. Pikiran mejadi debu kotoran yang menutupi sehingga cahaya kebahagiaan tidak nampak lagi. Kita dapat melihatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa hidup ini hanya dipenuhi oleh permainan pikiran yang menciptakan si aku. Aku ingin ini, aku ingin itu, aku senang lalu bosan, aku kecewa karena tak terpenuhi keinginanku, aku marah karena terganggu, karena aku dirugikan, aku takut karena aku terancam, karena ada bahaya aku dipisahkan dari orang atau benda milikku yang kusayang.

Setiap hari kita diombang-ambingkan dari saat ke saat oleh segala macam emosi. dan semua ini timbul hanya karena kesadaran kita dirampas dan diduduki oleh pikiran yang selalu mempermainkan masa lalu, masa ini, dan masa mendatang. Dapatkah kita hidup berbahagia? Dapatkah kita hidup di saat ini? Kalau pertanyaan ini timbul dari keinginan si aku pula yang mengejar kesenangan dan kenikmatan, mempergunakan cara"hidup berbahagia saat ini" sebagai suatu cara untuk memperoleh kenikmatan, maka kita anak terseret dalam lingkaran setan. Itu masih ulah pikiran yang selalu mengejar kesenangan belaka. Akan tetapi mari kia buang segala ikatan, kita buang segala kekotoran, kita buang segala gambaran-gambaran tentang diri pribadi yang diciptakan si aku dan kita akan waspada setiap saat,

Dan baru ada arti dalam kehidupan ini, karena kita benar-benar HIDUP, bukan sekedar seonggok daging yang dipermainkan oleh nafsu-nafsu keinginan! Tuhan Maha Kasih! Segala isi mayapada, yang nampak maupun yang tidak nampak, dilimpahkan kepada kita dengan penuh kerelaan, dengan penuh kasih. Kalau kita tidak dapat menikmatinya, tidak dapat menerimanya sebagai suatu berkah dari saat ke saat, dan kita membiarkan diri, diseret suara setan dan iblis yang selalu tidak mengenal puas, bukankah itu merupakan suatu kebodohan? Mari kita nikmati denyut jantung kita. Kita nikmati setiap hirupan hawa melalui napas kita. Kita nikmati segala keindahan yang nampak oleh mata kita. Kita nikmati segala kemerduan yang terdengar oleh telinga kita,



JILID 13
Segala keharuman yang tercium oleh hidung kita, segala kelezatan yang termakan oleh mulut kita. Dan kalau sudah begitu, yang memenuhi batin kita hanyalah perasaan syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih, perasaan berbahagia yang keluar masuk dalam batin kita melalui pernapasan kita. Kalau sudah begitu, kita bebas dari ikatan duniawi yang bagaimanapun juga. Kalau sudah begitu segala peristiwa yang kita anggap baik maupun buruk hanya merupakan hembusan angin saja yang wajar, karena segala akibat tentu ada sebabnya walaupun sering kita tidak mengetahui adanya sebab itu, karena kita sudah buta oleh pengejaran keinginan. Setelah memeriksa keadaan Sheila dan maklum bahwa wanita itu telah mengalami pukulan batin yang hebat, Bu Beng Kwi tidak berani menyadarkan cepat-cepat.

Keadaan pingsan ini bahkan merupakan penyelamatan diri Sheila sendiri, pekerjaan kekuasaan yang ada dalam tubuh Sheila. Karena pingsan, maka untuk sementara ia terbebas dari rasa ngeri, kaget, marah, kemudian keharuan melihat Bu Beng Kwi, dan selamatlah ia. Kalau tidak pingsan, hantaman batin yang mengguncangkan itu bisa saja membuatnya Sheila menjadi gila, bahkan mati. Karena itu, Bu Beng Kwi membiarkan saja Sheila dalam keadaan pingsan, hanya menotok beberapa jalan darah untuk melapangkan pernapasannya dan membantu kekuatan jantung saja. Ketika Han Le selesai menyediakan air mendidih, dia menggunakan kain yang dibasahi air mendidih itu untuk mencuci muka dan leher Sheila. kemudian, melihat betapa ada tanda-tanda Sheila akan siuman, dia cepat meninggalkan kereta.

"Siapkan pakaian Ibumu, kalau ia siuman agar berganti pakaian dan kau beri minuman air hangat-hangat. Ibumu sedang marah kepadaku, aku tidak mau ia melihatku di sini kalau ia siuman."

"Tapi, Suhu, kenapakah? Mengapa Ibu marah kepada Suhu?" Justeru hal inilah yang ingin sekali diketahui Han Le semenjak dia diajak Ibunya pergi meninggalkan Suhunya itu. Akan tetapi, seperti juga Ibunya, Bu Beng Kwi menggeleng kepala dan tidak menjawab, melainkan pergi meninggalkan kereta. Han Le melanjutkan pekerjaan gurunya tadi, menggunakan kain hangat basah untuk membersihkan tubuh Ibunya. Dengan hati iba dia melihat bekas-bekas tangan tiga orang biadab tadi di lengan dan kaki Ibunya, tanda lembam kebiruan dan bekas jari tangan. Untung Suhunya datang tepat pada saat yang amat berbahaya itu, pikir Han Le. Sheila bergerak lemah, mengeluh panjang dan membuka kedua matanya. Ketika membuka dan melihat Han Le, ia segera bangkit dan merangkul puteranya.

"Henry, apa yang terjadi? Kita di mana?" Ia terbelalak memandang ke kanan kiri dan agaknya heran melihat bahwa ia berada dalam kereta bersama puteranya.

"Tenangkan hatimu, Ibu. Kita telah selamat terhindar dari pasukan jahat itu, mereka telah mati semua dan kita telah selamat. Engkau jatuh pingsan dan baru sekarang siuman, Ibu. Engkau bergantilah pakaian dan minumlah air hangat ini." Karena masih merasa bingung dan belum sadar betul, Sheila menurut saja dan minum air hangat. kesadarannya pulih dan kini ia memandang kepada pakaiannya yang robek-robek, kulit kaki tangannya yang terasa nyeri dan terdapat bekas- bekas tangan membiru dan teringatlah ia akan peristiwa mengerikan yang dialaminya semalam. matanya terbelalak dan kembali ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia menubruk puteranya sambil menangis.

"Ahhh... aku teringat sekarang... Henry... Henry, di manakah dia...?" Sheila teringat betapa ia diseret oleh tiga orang dan ia melawan mati-matian ketika tiga orang itu hendak memperkosanya di dalam sebuah kuil tua. Kemudian ia melihat munculnya Bu Beng Kwi yang mengamuk dan menyerang tiga orang itu.

"Siapakah yang Ibu maksudkan?" Han Le bertanya, pura- pura tidak mengerti siapa yang dimaksudkan Ibunya.

"Dia... Suhumu, bukankah dia yang menyelamatkan kita?"

"Benar, Ibu. Akan tetapi mau apa Ibu kini mencari Suhu? Bukankah Ibu marah dan membenci Suhu?"

"Henry...!" Sheila menangis makin mengguguk sambil merangkul anaknya. Biarpun tadinya dia merasa tidak senang karena Ibunya marah dan membenci Suhunya yang demikian baiknya, bahkan kemudian memaksanya pergi meninggalkan gurunya itu, kini melihat Ibunya menangis demikian sedihnya, hati Han Le menjadi lunak dan merasa kasihan. seperti menghibur adiknya saja, dia mengusap rambut di kepala Ibunya, rambut yang seperti benang Sutera emas dan yang selalu dikaguminya itu.

"Ibu, jangan menangis, Ibu. Kita telah selamat dari malapetaka berkat pertolongan Suhu. Ibu, setelah apa yang dilakukan Suhu, setelah dia bersikap demikian baiknya kepada kita, dahulu dia menyelamatkan kita dari serangan pasukan Tai Peng, sekarang dia menyelamatkan kita pula dari perampok- perampok jahat. Setelah semua itu, Ibu, betapapun marahnya engkau, apakah engkau tidak dapat memaafkan Suhu? Ibu, engkau seorang wanita yang berhati mulia, aku tidak percaya bahwa engkau tidak dapat memberi ampun kepada Suhu, apapun kesalahannya kepadamu, Ibu... Kalau perlu, biarlah aku yang memintakan ampun untuknya kepadamu, Ibu." dan tiba- tiba Han Le berlutut di depan kaki Ibunya, berkali-kali menyentuh kaki Ibunya dengan dahi.

Melihat ini, Sheila mengeluarkan rintihan kecil dan merangkul anaknya, diangkatnya bangun anak itu dan ia pun menangis tersedu-sedu di pundak Han le yang juga ikut menangis, bingung melihat kedukaan demikian hebat dari Ibunya. Memang, Sheila merasa betapa hatinya seperti disayat-sayat mendengar kata-kata anaknya dan melihat betapa Han Le berlutut memohonkan ampun bagi gurunya! Haruskah ia memberi tahu puteranya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan J it, pembunuh Ayah kandung anak itu? Bahwa Bu Beng Kwi yang kini dianggap orang paling mulia oleh anaknya itu sesungguhnya adalah musuh besar mereka? Ah, ia tidak tega memberitahukan hal itu kepada Han Le. Ia sendiri mengalami kehancuran hati karena mengetahui rahasia itu, dan ia merasa yakin bahwa Han Le juga akan merasa kecewa dan berduka sekali. Setelah tangisnya mereda, Sheila bertanya dengan suara lirih,

"Henry, di manakah dia sekarang?"

"Dia tadi meninggalkan kereta setelah melihat Ibu tidak apa-apa. Dia bilang... dia bilang bahwa lebih baik ketika siuman Ibu tidak melihat dia karena... dia bilang bahwa Ibu sedang marah kepadanya." Sheila menarik napas panjang. Ia dapat membayangkan betapa tersiksa hati Bu Beng Kwi, mungkin lebih tersiksa darinya. Ia sendiri hanya kecewa melihat kenyataan pahit bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya. Akan tetapi Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu bukan hanya kecewa, melainkan menyesal setengah mati. sebelum membuka rahasianya saja, ia sendiri melihat betapa Bu Beng Kwi menangis semalaman seperti anak kecil, dan hal ini seringkali dilakukannya.

"Dia berada di bawah?" tanyanya sambil berganti pakaian utuh.

"Mungkin, aku tidak tahu pasti, Ibu." Setelah membereskan pakaiannya, Sheila lalu turun dari atas kereta, dibimbing oleh puteranya. Ketika mereka sudah berada di bawah dan memandang ke kanan kiri, di situ sunyi saja. Tidak nampak bayangan Bu Beng Kwi. Dua ekor kuda penarik kereta dilepas dari kendali dan ditambatkan pada batang pohon, dan dua ekor kuda itu kini makan rumput dengan tenangnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa di dekat situ ada Bu Beng Kwi atau orang lain. Hanya mereka berdua dan kuda-kuda itu, selebihnya sunyi.

"Dia... dia tidak ada..." kata Sheila suaranya hampa dan ringan. Han Le merasa penasaran. Baru saja Suhunya masih berada di situ. Dia lalu berteriak-teriak memanggil.

"Suhuuu...! Suhuuuuu...!" Berulang kali Han Le memanggil, menghadap ke empat penjuru, namun tidak terdengar jawaban, juga tidak muncul orang yang dipanggilnya itu.

"Dia... sudah pergi lagi..." kata pula Sheila, suaranya lirih dan seperti orang kehilangan semangat atau putus asa. Konflik yang terjadi di dalam batin Sheila membuatnya menjadi lemah sekali, seperti orang kehilangan semangat.

Kita selalu hidup dengan konflik batin yang tiada hentinya. Konflik antara apa yang ada dengan apa yang kita inginkan. Keadaan dan kenyataannya begini, kita ingin begitu. Kita susah, kita ingin melenyapkan kesusahan itu, kalau kita marah, kita ingin tidak marah dan kita ingin sabar. Kita membenci, demikian kenyataannya, namun kita ingin tidak membenci. Kita melihat betapa kita dengki dan iri, akan tetapi kita ingin agar tidak demikian, dan masih banyak lagi pertentangan yang terjadi setiap saat di dalam batin kita. Konflik itu menghamburkan kekuatan batin, konflik itu membuat kita lemah. Bahkan konflik ini memperkuat hal yang buruk itu. Kalau kita marah dan kita ingin agar tidak marah dan bersabar, maka keingian itu sendiri menjadi minyak yang akan menghidupkan terus kemarahan itu!

Kita tidak melihat bahwa marah dan keinginan sabar itu sama saja, timbul dari si aku juga, si aku yang selalu ingin enak, ingin senang. Aku marah karena aku meresa dirugikan, dan aku melihat betapa merugikan marah itu, maka aku ingin tidak marah dan ingin sabar, tentu saja dengan pengertian bahwa sabar itu baik dan menguntungkan! Dalam keadaan marah, mana mungkin sabar? Kalau toh kemarahan itu mereda, hal itu hanya karena pemaksaan diri. Pemaksaan macam ini tidak melenyapkan api kemarahan, melainkan hanya menutupinya saja untuk sementara. Nampaknya saja lenyap, namun api kemarahan itu belum padam, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu akan menyala lagi bahkan lebih besar dan kuat! Kenapa kita tidak mau hidup dan menghayati apa adanya, saat demi saat?

Kalau kita marah, kenapa kita tidak membiarkannya saja sewajarnya dan kita mengamatinya, mempelajarinya, merasakannya, dengan penuh perhatian dan kewaspadaan? Kenapa harus lari dari padanya? Kemarahan adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Pelarian bukanlah untuk mengatasi kemarahan. Akan tetapi kalau ada pengamatan terhadap diri sendiri di waktu marah, maka pengamatan inilah yang akan melenyapkan api kemarahan, lenyap bukan dipaksa lenyap atau ditutupi, melainkan lenyap sama sekali. Dan kalau sudah tidak ada lagi api kemarahan di dalam batin, apakah kita perlu untuk bersabar lagi? Yang penting adalah lenyapnya kemarahan dari sumbernya, bukan menutupinya dengan kesabaran yang dipaksakan. Demikanlah pula dengan duka, takut dan sebagainya.

Sumber semua perasaan itu berada di dalam diri sendiri, oleh karena itu penyembuhannya dalam diri sendiri, bukan diusahakan dari luar. Siapakah yang menyuruh kita takut, susah, marah dan sebagainya? Tidak ada bukan? Jelas,rahasia sumbernya berada di dalam diri sendiri dan karena itu, untuk mempelajarinya dan mengatasinya, penyelidikan harus ditujukan ke dalam diri sendiri pula. Kita yang susah, kita yang marah, kita yang takut, jadi kitalah yang harus diselidiki! Dengan pengamatan setiap saat, pada saat kita marah, pada saat kita susah, pada saat kita takut dan seterusnya. Setiap saat! Demikianlah pula dengan keadaan Sheila. Kenyataan adalah bahwa ia mencinta Bu Beng Kwi. Akan tetapi ia tidak ingin mencinta, ia ingin agar ia membenci Bu Beng Kwi, karena Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya, pembunuh suaminya. Ia harus membenci! Ia tidak mencinta musuh itu.

Demikian, terjadilah konflik yang terus menerus antara kenyataan yang ada dan keinginan hati yang diciptakan oleh jalan pikirannya. Teringatlah Sheila betapa begitu ia dan puteranya meninggalkan Bu Beng Kwi maka kesukaran dan ancaman bermunculan, dan semua bahaya itu baru dapat terhalau setelah Bu Beng Kwi muncul. Agaknya,... ia tidak akan dapat hidup aman dan bahagia lagi tanpa Bu Beng Kwi. Dan kini pendekar itu telah pergi meninggalkannya. Tak terasa lagi air matanya turun menetes-netes walaupun ia tidak ingin menangis kehilangan Bu Beng Kwi. Han Le juga merasa penasaran ketika teriakan-teriakannya memanggil Suhunya tidak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin gurunya meninggalkan mereka begitu saja! Dia teringat betapa Suhunya tidak berani bertemu dengan Ibunya karena Ibunya sedang marah kepadanya. Mendadak timbul sebuah akal.

"Ibu, katakanlah, apakah Ibu mau memaafkan Suhu?" tiba-tiba dia bertanya dengan suara nyaring. Sheila memandang puteranya dengan linangan air mata, kemudian ia mengangguk.

"Ibu, katakanlah dengan jelas agar hatiku menjadi yakin. Apakah Ibu mau memaafkan Suhu, mengampuni semua kesalahan Suhu kepada Ibu?" Dengan bibir gemetar Sheila berkata,

"Aku... aku maafkan dia..."

"Dan apakah Ibu tidak marah lagi kepadanya?" kembali Han Le bertanya, suatanya nyaring. Sambil menggeleng, Sheila menjawab,

"Aku tidak marah kepadanya lagi." Dengan suara girang Han Le lalu berteriak, membentuk corong dengan kedua tangan di kanan kiri mulutnya.

"Suhuuu! Harap Suhu suka ke sini! Ibu tidak marah lagi kepada Suhu!" Dan tiba-tiba saja nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Bu Beng Kwi sudah berdiri di situ, di depan mereka!

"Suhu...!" Han Le berseru dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut menghadap gurunya. Akan tetapi Sheila hanya berdiri dengan tubuh terasa lunglai, dan hanya sebentar ia mengangkat muka memandang kepada Bu Beng Kwi dengan sepasang mata berlinang air mata, kemudian ia menunduk dan air matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat. Bu Beng Kwi tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia tadi merasa seolah-olah hidup kembali ketika mendengar suara Sheila yang selain menyatakan bahwa wanita itu telah memaafkannya, juga tidak marah lagi kepadanya. Kini, melihat wanita yang dicinta sepenuh jiwanya itu berdiri dalam keadaan demikian menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa iba dan sayang diapun cepat melangkah maju lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sheila!

"Benarkah engkau dapat mengampuni semua kesalahan dan dosaku, Sheila? Ya Tuhan, betapa mulia hatimu, Sheila, dan betapa jahat dan hinanya diriku ini..." Suara Bu Beng Kwi meng etar penuh perasaan. Bagaikan tiba-tiba lumpuh kedua lututnya, Sheila juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis.

"Taihiap..." Mereka bertiga berlutut dan kini Bu Beng Kwi menggunakan kedua lengannya untuk merangkul Sheila dan Han Le. Berkali-kali dia berdongak ke atas, seolah-olah hendak menyatakan terima kasihnya kepada Tuhan dan berkali-kali mulutnya berkata lirih.

"Sheila... Han Le... betapa aku cinta kepada kalian. hanya kalianlah yang kumiliki di dunia ini..." Didekapnya Ibu dan anak itu, rapat-rapat di dadanya seolah-olah dia tidak ingin berpisah lagi dan ingin memasukkan kedua orang itu ke dalam rongga dadanya. Sampai beberapa lamanya mereka berada dalam keadaan yang amat mengharukan itu. Akhirnya Bu Beng Kwi berkata kepada Han Le, lirih,

"Han Le, bagaimana pendapatmu kalau mulai sekarang engkau bukan hanya menjadi muridku, melainkan menjadi anakku?" Han Le mengangkat muka memandang wajah yang buruk namun amat disayangnya itu. Ucapan itu tadi membuat dia bingung, walaupun amat menggirangkan hatinya.

"Suhu, apa... apakah maksud Suhu...?" Akan tetapi Suhunya tidak menjawab, melainkan berkata kepada Ibunya,

"Sheila, sudikah engkau? Kita bukan anak kecil lagi, juga Han Le sudah besar, oleh karena itu biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk melamarmu, Sheila. Bolehkah aku menjadi Ayah Han Le? Maukah engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?" Han Le terbelalak dan wajahnya berseri gembira. Ingin dia meneriakkan sebutan Ayah kepada gurunya, akan tetapi dia merasa malu dan juga takut kepada Ibunya yang belum menjawab. Sampai lama Sheila hanya menunduk, kemudian menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara halus.

"Marilah kita pulang dulu, kita bicarakan urusan ini dirumah." Bu Beng Kwi menarik mereka bangkit berdiri dan diapun tertawa.

"Ha-ha, sungguh aku orang yang kasar dan tidak memakai aturan. Meminang orang di tengah jalan! Mari kita pulang, Sheila! Han Le! Mari kita pulang!" Betapa indahnya kata"pulang" itu bagi Sheila di saat itu. Betapa ia selama meninggalkan Bukit Awan Merah merasa amat rindu kepada rumah tempat tinggal mereka itu, rindu akan "pulang."

Sheila mendapatkan banyak waktu untuk merenungkan pinangan Bu Beng Kwi. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar mencinta Bu Beng Kwi, dan iapun melihat kenyataan bahwa orang yang bernama Koan Jit itu telah benar-benar berubah. Bukan baru sekarang berubah, bukan berubah karena kini bertemu dengannya dan jatuh cinta. Bukan berubah karena ingin mengambilnya sebagai isteri. melainkan sudah lama sekali Koan Jit telah berubah menjadi seorang manusia lain yang telah mengubah jalan hidupnya. Sebelum bertemu dengannya, jauh sebelum itu, Koan Jit telah menjadi seorang pendekar budiman yang mengorbankan nyawa demi menolong para pimpinan pejuang yang tertawan.

Dunia menganggapnya sudah tewas dan karena Koan Jit selalu merasa menyesal akan dirinya, akan dosanya, dia sendiri membiarkan dunia menganggap Koan Jit telah mati. Dia bahkan lalu meniadakan Koan Jit, memakai topeng buruk dan menjadi Bu Beng Kwi. Hal ini telah dilakukan jauh sebelum berjumpa dengannya. Kemudian, setelah bertemu dengannya dan saling mencinta, barulah

Bu Beng Kwi membuka topengnya. Hal ini menunjukkan bahwa Koan Jit adalah seorang manusia yang kini telah berubah sama sekali, memiliki kejujuran. Kalau tidak begitu, tentu dia akan diam saja, tidak mau membuka rahasianya yang ditutupnya terhadap dunia umum. Akan tetapi tidak, dia tidak mau menipu Sheila. Dia memperlihatkan diri sebagai musuh besar yang dibencinya, dengan mempertaruhkan kebahagiaan dirinya, kehilangan cintanya!

Mempertimbangkan semua ini, dan bertanya kepada batin sendiri, Sheila mendapatkan jawaban. Ia mencinta Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang sekarang ini. dan ia pun merasa yakin bahwa mendiang suaminya juga tidak akan dapat membenci bekas toa-Suheng ini, yang telah berubah menjadi seorang manusia yang berhati mulia. Maka diterimalah pinangan itu! Mereka menikah secara sederhana sekali, hanya disaksikan beberapa orang penduduk dusun yang berdekatan. Para penduduk merasa terheran-heran melihat seorang wanita kulit putih yang demikian cantiknya mau menjadi isteri seorang laki-laki tua yang berwajah seperti setan! Namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Yang paling bergembira adalah Han Le. Dengan sepenuh hati, Bu Beng Kwi minta kepada Sheila agar keadaan dirinya sebagai Koan Jit dirahasiakan lebih dulu dari Han Le.

"Jangan mengganggu ketenangan perasaannya," demikian dia berkata.

"Biarkan dia hidup tenang dan menganggap aku sebagai gurunya dan Ayahnya, agar dia belajar dengan baik. Kelak, kalau dia sudah tamat belajar dan sesudah dewasa, aku sendiri yang akan membuka rahasia ini. Aku tidak akan mengelak dari tanggung jawab, Sheila. Aku hanya menjaga agar jangan sampai terguncang perasaannya dan hal itu akan mengganggu dia belajar." Sheila merasa semakin kagum dan hormat kepada bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu. Ternyata di balik topeng buruk itu ia menemukan seorang laki-laki yang jantan, yang lembut, yang penuh cinta kasih, bijaksana dan berhati mulia. Dan ia tidak merasa enyesal dengan keputusannya menerima pria ini sebagai suaminya. Ia merasa yakin benar bahwa demi kebahagaian puteranya, ia telah mengambil langkah yang benar. Ia tahu bahwa di bawah asuhan Bu Beng Kwi, puteranya akan menjadi seorang laki-laki yang berjiwa pendekar dan menjadi seorang manusia yang berguna bagi dunia.

Keadaan negara menjadi semakin kalut. Pemerintah Mancu menjadi semakin lemah dengan adanya pemberontkan Tai Peng. Hanya berkat kegigihan menteri-menteri dan panglima-panglima setia saja maka gerakan Tai Peng terhenti, akan tetapi daerah yang luas di sebelah selatan Sungai Yang-ce telah dikuasai "Kerajaan Sorga", yaitu kerajaan yang didirikan oleh pemberontak Tai Peng di bawah pimpinan Ong Siu Coan itu. Selain rongrongan dari pemberontak Tai Peng, juga pemerintah Mancu selalu dirongrong oleh pasukan orang kulit putih. Kekalahan pemerintah Mancu dalam perang candu membuat orang-orang kulit putih menjadi semakin berani. Mereka makin melebarkan sayap untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari negeri yang luas,

Rakyatnya yang banyak akan tetapi yang lemah karena adanya perang saudara yang terus menerus di sebelah dalam. Dari menyebaran candu, orang kulit putih mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan mengorbankan rakyat yang menjadi pecandu-pecandu yang tidak ketolongan lagi. Juga orang kulit putih mengeduk keuntungan besar dari pembelian rempah-rempah, teh, Sutera dan barang-barang lain dari pedalaman. Bahkan adanya pemberontakan Tai Peng yang menimbulkan perang saudara besar itupun menjadi sumber penghasilan dan keuntungan bagi orang kulit putih, dengan jalan menjual senjata ke kanan kiri. Pemberontakan Tai Peng yang melemahkan pemerintah Ceng (Mancu), juga menimbulkan pemberontakan daerah-daerah lain yang tentu saja merasa tertarik dan mempergunakan kesempatan selagi pemerintahan menjadi lemah,

Mereka memberontak terhadap pemerintah Mancu. Suku bangsa Nien-fei memberontak dalam tahun 1853, juga disusul suku Miauw di Kwei-couw Barat yang memberontak dalam tahun 1854. Payahlah pemerintah menghadapi pemberontakan-pemberontakan ini. Mereka harus membagi-bagi pasukan untuk memadamkan pemberontakan di sana-sini dan karena kekuatan mereka terpecah, mereka menjadi semakin lemah dan sukar untuk dapat memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu. Dalam keadaan yang semakin lemah itu, pihak orang kulit putih menjadi semakin berani. Pada suatu hari dalam tahun 1856, terjadilah peristiwa yang akan mengobarkan perang baru antara pemerintah Mancu dengan pasukan kulit putih. Banyak candu diselundupkan ke dalam daerah yang masih dikuasai oleh pemerintah Mancu,

Karena daerah selatan tidak aman bagi penyelundupan candu. Pemerintah baru dari Tai Peng melarang keras perdagangan candu dan sukarlah menyelundupkan candu di daerah yang dikuasai Kerajaan Sorga itu. Pada suatu pagi, sebuah kapal berlabuh di pantai timur. Kapal itu memakai bendera Inggris dan bernama Kapal Arrow (Anak Panah). Sebetulnya kapal itu milik kongsi pelayaran Cina, segolongan orang yang rela menjadi kaki tangan orang asing demi memperoleh keuntungan besar. Anak buah kapal Arrow itu, kesemuanya orang pribumi, tidak tahu bahwa gerak-gerik kapal mereka itu diamati dengan seksama oleh para penjaga pantai. Ketika kapal itu sudah berlabuh dan berhenti, sepasukan penjaga pantai menyerbu naik kapal. Anak buah kapal tidak berani mengadakan perlawanan dan ketika kapal diperiksa, ternyata membawa barang selundupan, candu dan senapan!

Tentu saja anak buah kapal ditangkap dan kapal itu ditahan di pelabuhan, dan barang selundupan disita. Peristiwa seperti ini sebetulnya biasa saja dan sudah wajar. Kapal ditahan dan anak buahnya ditangkap, barang-barang selundupan disita karena memang perbuatan itu melanggar. Akan tetapi, orang-orang asing kulit putih yang memang selalu menanti kesempatan itu, mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan mereka untuk bergerak! Orang Inggris menganggap bahwa penangkapan ini merupakan penghinaan pemerintah Mancu terhadap mereka karena kapal itu berbendera Inggris.Alasan ini cukup bagi mereka untuk"menghukum" pemerintah Mancu! Tentu saja hal ini terjadi karena keadaan pemerintah Mancu yang mulai lemah. Pasukan Inggris mengadakan persekutuan dengan orang- orang asing lainnya, yaitu terutama sekali perancis, Rusia, dan Amerika.

Mereka berempat menggabungkan pasukan mereka dan menyerbu Kan-ton. Kota ini berhasil direbut dan diduduki. Perang yang baru muncul semenjak Perang Madat ini tentu saja menggegerkan Kerajaan Mancu yang sudah dirongrong banyak pemberontakan. Para pejuang rakyat menjadi gelisah dan bingung, merasa serba salah. Mereka itu adalah kaum patriot yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu dan berusaha menggulingkannya, akan tetapi tentu saja mereka sama sekali tidak ingin melihat tanah air mereka terjatuh ke dalam cengkeraman bangsa lain yang lebih asing lagi, yaitu orang-orang kulit putih. Perang yang dikobarkan oleh orang kulit putih ini membuat semua perhatian dicurahkan kepada mereka karena memang kekuatan orang kulit putih yang bersenjata lengkap itu sukar dilawan. Tai Peng tidak diperhatikan lagi.

Kalau saja pihak Tai Peng pada suatu saat itu bergerak, mempergunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke utara, tentu dengan mudah Tai Peng akan mampu menguasai seluruh daratan Cina. Akan tetapi, agaknya Ong Siu Coan sudah keenakan menjadi raja di selatan sehingga dia seolah-olah tidak perduli akan gerakan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih itu. Padahal, sepatutnya dia melihat bahaya besar berkembangnya kekuasaan kulit putih ini yang akan mencengkeram tanah air dan bangsanya. Betapa banyaknya sudah tercatat dalam sejarah tentang perjuangan yang dipimpin oleh orang-orang yang menamakan dirinya pahlawan bangsa, patriot dan pejuang. Selagi mereka ini memimpin perjuangan, merebut kekuasaan, mereka mempergunakan slogan-slogan yang muluk untuk membangkitkan semangat rakyat jelata yang menjadi kekuatan mereka.

Segala sepak terjang mereka selalu demi rakyat, demi negara, demi bangsa dan sebagainya. Dan rakyat terbius oleh kata-kata muluk, terbakar semangat mereka oleh slogan-slogan sehingga rakyat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, bergerak mendukung dan terjun membantu gerakan yang dinamakan perjuangan itu. Itu awalnya. Bagaimana akhirnya? Bagaimana kalau perjuangan itu akhirnya berhasil? Yang pasti, para pimpinan rakyat itu setelah perjuangan berhasil, saling memperebutkan kedudukan! Mereka menjadi penguasa- penguasa baru dan hidup bergelimang dalam kemuliaan, kehormatan dan kemewahan. Bagaimana dengan slogan-slogan yang mereka pergunakan untuk membangkitkan rakyat? Yang mengatakan bahwa perjuangan itu dilakukan demi rakyat, menolong rakyat dari penindasan, medatangkan kemakmuran kepada rakyat?

Begitulah! Slogan tinggal slogan dan rakyat tetap dilupakan. Penindasan tetap ada, walaupun kini berganti bentuk dan berganti orang yang menjadi penindasnya. Ong Siu Coan menjadi satu di antara pemimpin-pemimpin semacam itu. Mula-mula memang perjuangannya didengung-dengungkan sebagai perjuangan untuk rakyat. Akan tetapi setelah dia berhasil menjadi raja? Rakyat tetap saja sengsara. Yang makmur jelas dia yang menjadi raja dan teman-temannya, kaki tangannya yang merupakan sekelompok penguasa baru, menggantikan yang telah mereka kalahkan dengan bantuan darah dan keringat rakyat dalam prjuangan. Masih untunglah bagi pemerintah Mancu bahwa pada waktu itu, kekuatan pasukan Inggris terpecah karena adanya pemberontakan kaum Sepoy di India, negara besar yang mulai dicengkeram penjajah Inggris.

Karena ini, maka pasukan Inggris tidak dapat menyerbu dengan kekuatan penuh sehingga terhenti setelah menduduki Kanton dan daerahnya ke barat dan utara. Padahal waktu itu, keadaan pmerintah Mancu sudah lemah sekali. Di utara dan barat terdapat pemberontakan kaum Nien-fei dan suku Bangsa Miauw, dari selatan ada pemberontakan Tai Peng, dan dari timur, dari arah laut, terdapat ancaman orang kulit putih! Kelemahan pemerintah Mancu bukan hanya karena timbulnya banyak pemberontakan, akan tetapi terutama sekali bersumber dari keadaan di dalam istana sendiri. Kaisar yang sejak muda hanya menjadi seorang pengejar kesenangan itu tidak ada perhatian sama sekali atau acuh saja terhadap keadaan negara. Dia seperti telah buta oleh kesenangan, dan tubuhnya menjadi semakin lemah.

Bahkan dia tidak tahu betapa diam-diam selirnya tercinta, Yehonala yang kini telah menjadi permaisuri kedua, bermain gila dengan thaikam (orang kebiri) Li Lian Ying, merupakan perhubungan jina yang tidak wajar. Kaisar tidak tahu akan hal itu, tidak tahu pula bahwa kerajaannya mengalami ancaman akan runtuh. Dia hanya terus mengejar kesenangan biarpun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah, dan dia harus mempergunakan banyak obat kuat untuk membangkitkan kembali kegairahannya, tidak tahu bahwa hal ini semakin merusaknya lahir batin. Didalam keadaan negara kacau seperti ini, biasanya menurut sejarah negara di seluruh dunia, selalu ada saja orang gagah sejati yang tampil menjadi pemimpin rakyat. Demikian pula, dalam keadaan kacau itu, muncul dua orang pendekar muda yang berkepandaian tinggi,

Memimpin rakyat petani yang sudah kehilangan segala-galanya karena dusun mereka dilanda perang, membentuk pasukan-pasukan dan melatih pasukan ini dengan ilmu berperang dan bekelahi sehingga mereka berdua berhasil membentuk pasukan rakyat yang makin lama menjadi semakin kuat. Apalagi ketika para pendekar merasa cocok dan suka melihat gerakan ini lalu mendukung dan menggabungkan diri, pasukan rakyat yang dipimpin dua orang tu menjadi semakin kuat. Siapakah mereka itu? Mereka bukan lain adalah Ceng kok Han dan Li Hong Cang, dua orang murid Bu Beng Kwi yang sudah kita kenal! Akan tetapi, pasukan mereka belum bergerak karena mereka, dibantu oleh para pendekar, sedang membangun dan memperkuat pasukan mereka, dan menggembleng para anak buah pasukan.

Mereka baru akan bergerak kalau sudah memiliki pasukan besar yang kuat dan boleh diandalkan. Sementara itu, di Kerajaan Sorga yang dipimpin oleh Ong Siu Coan, juga terjadi kemunduran. Ong Siu Coan yang kini sudah menjadi seorang raja yang hidupnya mulia dan penuh kemewahan, agaknya menjadi semakin gila saja dengan pikiran-pikirannya yang aneh. Dia diganggu oleh pikirannya sendiri, yang menghubungkan isi Alkitab dengan dirinya sendiri. Dia semakin acuh, bahkan dia seperti tidak perduli lagi melihat betapa permaisurinya, Tang Ki, kini terlibat dalam hubungan gelap bersama Lee Song Kim yang menjadi orang kepercayaannya. Satu di antara nafsu yang amat kuat dan besar kekuasaannya terhadap diri manusia adalah nafsu berahi. Tang Ki tadinya merupakan seorang isteri yang mencinta dan setia dari Ong Siu Coan,

Yang sama sekali tidak pernah mempunyai sedikitpun pikiran untuk menyeleweng dan suka menyerahkan dirinya kepada pria lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia hanyalah seorang wanita biasa saja. Setelah memperoleh kedudukan sebagai raja, tercapainya ambisi dan cita-citanya, Ong Siu Coan mulai kurang memperhatikan isterinya. Apalagi karena Tang Ki tidak dapat memberinya keturunan, kemesraannya terhadap Kiki atau Tang Ki berkurang bahkan hubungan di antara mereka menjadi agak renggang. Dalam keadaan haus akan rayuan dan belaian pria inilah muncul Lee Song Kim, seorang laki-laki yang berpengalaman dan pandai sekali merayu wanita, juga tampan dan gagah. Biarpun dahulu pernah Kiki membenci Suhengnya ini, namun pertemuannya kembali dengan Suhengnya itu membawa perubahan.

Ia sedang haus cinta kasih dan kemesraan seorang pria sebagai pengganti suaminya yang bersikap acuh dan Lee Song Kim yang ahli tentu saja dapat memenuhi kebutuhan ini. Bahkan ternyata bahwa Suhengnya itu dapat memberinya kesenangan dan kepuasan yang jauh melampaui apa yang didapatkannya dari Ong Siu Coan. Song Kim melimpahkan rayuan dan kemesraan pada wanita yang sedang kering kehausan itu. Anehkah kalau Kiki lalu melekat kepadanya? Semenjak dahulu, wanita adalah mahluk yang selalu mendambakan sanjungan, pujian dan cinta kasih pria. Karena itulah maka pada umumnya wanita amat lemah terhadap pujian dan rayuan, dua hal yang memang amat didambakannya. Apalagi kalau yang merayu itu pria yang berkenan di hati mereka. Akan mudah saja jatuh dan lupa diri kalau menghadapi rayuan seorang pria yang menarik dan pandai.

Tahun 1859. Biarpun tadinya terhalang oleh pemberontakan di India yang membuat pasukan kulit putih terhambat penyerbuan mereka dan hanya dapat menduduki Kanton dan sekitarnya, namun kurang dari dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1858, setelah berhasil memadamkan pemberontakan di India, pasukan Inggris yang bergabung dengan pasukan kulit putih Perancis, Rusia dan Amerika, untuk kedua kalinya melakukan penyerbuan kembali. Dengan tenaga sepenuhnya, tentara kulit putih gabungan itu menyerbu lewat teluk Po-hai, menyerbu dan menduduki Tien-cin setelah terjadi perang selama berbulan-bulan. Dan kini mereka bersiap-siap menyerbu ke Peking! Tentu saja keadaan menjadi geger dan kacau. Pemerintah Mancu sudah bersiap-siap mempertahankan Peking dari serbuan pasukan kulit putih.

Pada suatu hari, di sebuah kuil Agama To di luar kota Pao-ting, diadakan pertemuan antara para pendekar yang merasa perlu untuk berunding dan bergerak menyaksikan kekacauan yang timbul karena penyerbuan pasukan kulit putih itu. Nampak di antara mereka pendekar Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar itu kini tidak muda lagi. Ci Kong sudah berusia empat puluh empat tahun sedangkan isterinya, Lian Hong sudah berusia empat puluh satu tahun. hadir pula suami isteri thio Ki dan Ciu Kui Eng yang usianya sebaya dengan suami isteri pendekar pertama.

Tidak kurang dari dua puluh orang pendekar yang berdatangan di kuil itu, atas prakaesa dan undangan Tan Ci Kong yang merasa delisah menyaksikan keadaan yang kacau akibat penyerbuan pasukan kulit putih. Para Tosu yang berada di kuil itu adalah sahabat Ci Kong, dan merekapun prihatin akan keadaan negara, maka mereka membantu dan memperbolehkan kuil mereka dijadikan tempat pertemuan para pendekar itu. Berkumpullah para pendekar itu di ruangan belakang kuil, di tempat yang tersembunyi dan tidak akan terlihat atau terdengar oleh mereka yang datang berkunjung ke kuil untuk bersembahyang. Pertemuan itu dipimpin oleh Ci Kong. Setelah mereka semua saling memberi hormat dan mengambil tempat duduk mengelilingi meja, Tan Ci Kong lalu bangkit berdiri.

"Selamat datang, Cuwi Enghiong (para pendekar sekalian), selamat bertemu kembali. Cuwi (kalian) tentu dapat menduga mengapa kita harus berkumpul lagi di sini. Semua orang gelisah melihat perkembangan di negara kita. Pasukan kulit putih yang amat kuat menyerbu dan mengancam Peking, sedangkan pemberontak Tai Peng tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerbu pula ke utara. Bagaimana pendapat cuwi dan apa yang harus kita lakukan?" Para pendekar itu menjadi gaduh, saling bicara sendiri dan Ci Kong terpaksa minta agar mereka tenang.

"Apabila di antara cuwi ada yang mempunyai usul, harap suka bicara seorang demi seorang agar dapat kita pertimbangkan bersama." Seorang di antara mereka yang berpakaian tamal-tambalan, seorang tokoh dari perkumpulan Tiat-Pi Kai-Pang (Perkumpulan Pengemis Lengan besi) yang muncul selama beberapa tahun ini sebagai tokoh jembel yang berjiwa pendekar dan patriot, bangkit berdiri dan bicara dengan suaranya yang parau.

"Dahulu kita membantu gerakan Tai Peng, kemudian kita bersama meninggalkannya karena Tai Peng menyeleweng. Apalagi sekarang. Orang she Lee itu telah mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menghimpun orang-orang golongan sesat untuk membantu Tai Peng. Jelas kita tidak dapat membantu Tai Peng lagi, bahkan harus menentangnya." Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju.

"Memang benar demikian, dan kita yang selalu memikirkan kepentingan rakyat jelata yang tertindas, sekarang menjadi serba salah. Jelas tidak dapat membantu Tai Peng, juga tidak mungkin membantu orang kulit putih, dan sejak dahulu kita bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Kini Thio Ki yang telah menjadi ketua Kang-Sim-Pang, bangkit berdiri.

"Dengan penyerbuan orang kulit putih, keadaan menjadi kacau dan rakyat pula yang mengalami pnderitaan. Bagaimanapun juga, orang kulit putih dapat menjadi penjajah yang lebih kejam daripada orang Mancu. Oleh karena itu, untuk sementara kita harus menentang orang kulit putih..."

"Kalau begitu apakah kita harus membantu pemerintah penjajah Mancu?" tanya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Dia adalah seorang murid Kun-Lun-Pai yang lihai.

"Tidak ada pilihan lain dan kita mau tidak mau harus menyetujui pendapat Thio pangcu dari Kang-Sim-Pang itu." Ci Kong membenarkan.

"Tak mungkin dalam keadaan sekarang kita menentang keduanya. menghadapi dua orang lawan, bahkan tiga orang dengan Tai Peng, kita harus bersikap cerdik. Lebih dulu menghalau lawan yang paling berbahaya, dalam hal ini orang kulit putih dan Tai Peng. Kalau keduanya sudah tidak ada, kiranya tidak sukar merobohkan kekuasaan penjajah Mancu yang sudah semakin lemah itu." Ciu Kui Eng yang juga terkenal di antara para pendekar sebagai seorang pendekar wanita yang pernah memimpin perjuangan, bangkit dan dengan suara lantang ia berkata,

"Kita boleh saja membantu pemerintah Mancu untuk menyelamatkan rakyat dari serbuan orang kulit putih, akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan menjadi kaki tangan Mancu! Apakah cuwi belum mendengar akan munculnya pemimpin rakyat yang baru, yang kini telah menghimpun pasukan yang cukup kuat dan didukung oleh banyak pendekar?" Ci Kong mengangguk-angguk.

"Kami juga sudah mendengar, akan tetapi belum jelas benar."

"Aku sudah bertemu dengan mereka dan harus kuakui bahwa dua orang pemimpin itu agaknya akan menjadi pemimpin besar yang gagah perkasa dan tanpa pamrih. Pasukan mereka kini sudah berjumlah puluhan ribu orang, dari para petani dan pengungsi, juga dibantu oleh golongan pendekar. Mereka adalah dua orang pendekar yang muncul begitu saja, entah dari perguruan mana, akan tetapi aku tahu bahwa mereka lihai sekali. Usia mereka sekitar tiga puluh tahun, yang seorang bernama Ceng Kok Han dan yang kedua bernama Li Hong Cang. Mereka telah berhasil menghimpun kekuatan dan sudah mulai merongrong pemerintah Tai Peng di selatan dan bentrokan-bentrokan sering terjadi yang merugikan pihak Tai Peng."

Semua pendekar mendengarkan dengan kagum. Merekapun mendengar akan munculnya dua orang yang memimpin pasukan rakyat baru, akan tetapi para pendekar itu tadinya tidak mengambil perhatian karena pada waktu itu memang banyak sekali orang yang mengangkat diri menjadi"bengcu" (pemimpin rakyat) dan menggerakkan rakyat jelata untuk menjadi anak buahnya, akan tetpi sebagian besar di antara mereka hanyalah orang-orang petualang yang bermaksud memperalat kekuatan rakyat demi kepentingan diri sendiri. banyak di antara para kelompok itu kemudian bahkan hanya menjadi perampok-perampok. Kini mendengar cerita Ciu Kui Eng yang mereka sudah kenal baik sebagai seorang pendekar wanita yang berjiwa pahlawan.mereka merasa kagum dan tertarik.

"Kalau begitu, kiranya tidak keliru kalau kita mengumpulkan teman-teman sehaluan untuk membantu gerkan Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu." kata Ci Kong. Semua orang merasa setuju, akan tetapi Tiat-Pi Kai-Pang tadi segera berkata,

"Akan tetapi bagaimana kita dapat begitu saja membantu pasukan baru itu sebelum mengetahui benar tujuan dari gerakan mereka?"

"Aku dapat menerangkan itu, karena aku sudah bicara panjang lebar dengan kedua orang itu. Mereka tidak hanya pandai sekali ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas," kata Ciu Kui Eng.

"Mereka menjelaskan bahwa sebagai langkah pertama, pasukan mereka akan membantu pemerintah menenteramkan keadaan, menentang Tai Peng dan membantu untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di utara dan barat. Baru setelah keadaan tidak kacau lagi, ketika pemerintah penjajah sedang beristirahat dari perang yang melelahkan, selagi mereka lengah, maka pasukan kita akan menyerbu dan menggulingkan kekuasaan Mancu untuk selamanya!"

"Kalau begitu kita berarti akan membantu pemerintah penjajah Mancu!" teriak tokoh Tiat-Pi Kai-Pang itu.

"Hanya nampaknya saja begitu dan hanya untuk sementara saja." Ci Kong berkata.

"Itulah satu-satunya jalan. Membantu pemerintah penjajah untuk menenteramkan keadaan, juga membantu menghadapi orang kulit putih. Setelah itu, tibalah saatnya yang tepat, selagi penjajah lengah, kita bergerak dan menjatuhkan mereka. Bukan berarti kita untuk selamanya menjadi kaki tangan mereka. Ini hanya merupakan siasat belaka. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin kita dapat berhasil kalau sekaligus kita harus menghadapi dan menentang Tai Peng, orang kulit putih, pemerintah Mancu, dan para pemberontak lain itu? Kita tidak akan kuat dan sebelum maju jauh, kita sudah akan tergencet dan dihancurkan oleh musuh yang terlalu banyak dan terlalu kuat." Akhirnya semua orang meyatakan persetujuan mereka setelah mengerti benar akansiasat yang akan dijalankan oleh pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Semua orang bangkit berdiri dan bersiap-siaga, memandang ke luar pintu masuk ke ruangan belakang itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda yang mengempit tubuh seorang laki-laki setengah tua, kemudian pemuda itu melemparkan tubuh orang yang dikempitnya ke atas lantai. Orang itu mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak, tanda bahwa jalan darahnya tertotok sehingga untuk sementara dia menjadi lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya. Semua orang memandang kepada pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik dan kedurigaan. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, berusia paling banyak delapan belas tahun, dengan wajah berbentuk bulat putih bersih, alisnya tebal menghitam dan sepasang mata mencorong namun lembut, pakaiannya sederhana akan tetapi bersih.

"Bun Hong, apa yang kau lakukan ini? Siapa dia?" tiba-tiba Siauw Lian Hong bertanya kepada pemuda itu.

"Ibu, dia ini seorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng atau pemerintah atau kulit putih, akan tetapi dia mata-mata!" jawab pemuda itu tenang. Tan Ci Kong yang juga sudah bangkit, memperkenalkan pemuda itu kepada semua orang.

"Cuwi, harap diketahui bahwa pemuda ini adalah anak tunggal kami bernama Tan Bun Hong. Harap cuwi maafkan penampilannya dan suka duduk kembali. Nah, Bun Hong, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan siapa orang ini."

Tan Bun Hong mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir, barulah dia bercerita kepada Ayah Ibunya. Memang pemuda ini ikut orang tuanya turun gunung dan mengadakan pertemuan di dalam kuil luar kota Pao-ting. Baru pertama kali itulah dia turun gunung setelah kedua orang tuanya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup untuk dapat dipakai membela diri karena Bun Hong mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi Ayah dan Ibunya. Bahkan ketika tiba di kuil, Ci Kong yang hendak menggembleng puteranya itu, memberinya tugas yang cukup penting, yaitu agar pemuda itu mengamati dari luar kuil kalau-kalau ada musuh tersembunyi yang hendak mencelakakan para tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan pertemuan di dalam kuil. Maksud Ci Kong, kalau tidak terjadi sesuatu, setelah pertemuan itu selesai, barulah dia akan memperkenalkan puteranya kepada mereka.

Ketika Bun Hong melakukan pengintaian dan pengamatan di kuar kuil, dengan penuh perhatian dia mengamati orang-orang yang berdatangan ke kuil itu untuk bersembahyang. Tidak banyak orang yang bersembahyang. Sejak pagi tadi, hanya ada belasan saja yang datang dan pergi lagi. Dia melihat serombongan keluarga membawa alat-alat sembahyang memasuki kuil, diterima oleh Tosu penjaga di pintu depan. Keluarga ini terdiri dari seorang Ayah, Ibu, nenek dan seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang pucat dan nampak baru sembuh dari sakit. Dari percakapan antara keluarga itu dengan Tosu penjaga kuil dia tahu bahwa keluarga itu datang membayar kaul, dan menghaturkan terima kasih kepada kuil karena putera mereka yang tadinya sakit keras kini telah sembuh kembali. Ada beberapa orang lagi memasuki kuil dan di antara mereka, yang menarik perhatian adalah seorang anak perempuan, seorang gadis remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun.

Bun Hong memandang penuh perhatian, bukan bercuriga melainkan tertarik karena belum pernah dia melihat seorang gadis remaja yang demikian menarik seperti gadis itu. seorang gadis yang jelita dan manis, wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu merincing yang manis sekali karena di sudut bawah dagu itu terdapat sebuah tahi lalat merah yang kecil. Mulutnya indah dan selalu nampak tersenyum, membuat wajah itu nampak cerah selalu, dan terutama sekali sepasang mata yang bening dan taham itu juga selalu bergembira. Pakaiannya ringkas dan rapi. karena tidak ada lagi lain orang kecuali keluarga tadi, tiga orang laki-laki yang datang tidak berbareng, dan gadis remaja itu, Bun Hong yang merasa tertarik, keluar dari tempat dia mengintai dan memasuki kuil itu seperti seorang pelancong. Dia melihat gadis itu bicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap sopan.

"Apakah nona hendak bersembahyang?" terdengar laki-laki itu bertanya. Gadis remaja itu tersenyum dan nampak kilatan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara dijajarkan.

"Ah, tidak, aku hanya melihat-lihat saja. Aku seorang pelancong."

"Aih, engkau seorang pelancong, nona? Kalau begitu engkau belum mengenal kuil ini, sebuah kuil yang amat keramat dan manjur sekali! Sudah banyak orang yang tertolong diobati penyakitnya, diperbesar rejekinya, memperoleh kemujuran, naik pangkat, bahkan ringan jodoh! Kenapa nona tidak mencoba-coba bersembahyang? Meramalkan nasib di Kuil Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) inipun baik sekali!" kata orang itu dengan ramah.

"Kalau nona belum biasa, aku mau memberi petunjuk kepadamu." Gadis remaja itu tetap tersenyum menatap wajah laki-laki itu.

"Terima kasih, paman. Eh, kenapa paman begini baik kepadaku? Apakah paman termasuk orang yang menjadi pengurus kuil ini?"

"Tidak, tidak, pengurusnya adalah para Tosu itu. Aku juga seorang tamu yang ingin bersembahyang. Akan tetapi ketika melihat nona masuk seorang diri ke dalam kuil, hatiku tertarik dan mengira nona tentu berada dalam kesukaran. Ketahuilah, terus terang saja, nona, engkau mirip sekali dengan keponakanku, anak enciku yang tinggal jauh di utara. Aku sudah amat rindu kepada keponakanku itu, sudah bertahun- tahun tidak jumpa dan melihat engkau begini mirip dengannya, kalau sekiranya bisa, aku akan suka sekali menolongmu dalam suatu hal..."

"Ah, begitukah? Terima kasih, engkau sungguh baik, paman. Akan tetapi, aku tidak mau bersembahyang, aku hanya mau melihat-lihat, Kalau paman mempunyai keperluan bersembahyang, silakan."

"Kalau begitu, maafkan aku," orang itu lalu menjura dan meninggalkan gadis itu, masuk ke dalam kuil.

Sejenak Bun Hong mengamati dari jauh dan mendengar percakapan itu, timbul curiga dalam hatinya terhadap laki-laki tadi. Seorang laki-laki berani menegur dan mengajak bercakap-cakap seorang gadis remaja yang tidak dikenalnya, bahkan menawarkan jasa-jasa baiknya, sungguh patut dicurigai karena biasanya, sikap baik itu tentu mengandung pamrih! Dan diapun melihat gadis itu menyelinap masuk ke dalam kuil dengan gerakan cepat. Hal ini mengejutkan Bun Hong. Gerakan seperti itu cepatnya bukan gerakan orang biasa, pikirnya dan diapun cepat meloncat dan menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang kuil. Ketika tiba di dalam, ternyata beranda depan kuil itu luas sekali dan begitu memasuki pintu gerbang, hidungnya disambut bau dupa yang memenuhi tempat sembahyang di sebelah dalam dari beranda itu.

Dia celingukan ke sana-sini dan merasa heran. Baik laki-laki tinggi kurus tadi maupun si gadis remaja, tidak nampak bayangannya. Betapa cepat gerakan mereka, terutama gadis itu. Baru saja menyelinap masuk dan diapun sudah mengejar secepatnya, Bagaimana mungkin gadis itu sudah lenyap? Kecurigaannya makin menjadi-jadi, Akan tetapi agaknya di beranda itu tidak pernah terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Buktinya, beberapa orang yang sedang melakukan sembahyang di situ nampak tenang-tenang saja, demikian pula beberapa orang Tosu yang melayani tamu dan yang melaksanakan pekerjaan mereka. Tidak nampak seorangpun di antara mereka itu seperti pernah melihat kejadian yang tidak wajar. Lalu, kemana menghilangnya gadis remaja tadi, dan orang tinggi kurus tadi?

Bun Hong melakukan penyelidikan dengan cepat dan diapun dapat melihat adanya sebuah pintu kecil di samping beranda, agak jauh dan tertutup oleh tanaman bunga-bunga yang lebat daunnya. Kalau orang menyelinap melalui pintu itu, dengan gerakan secepat yang dilakukan oleh gadis remaja tadi, tentu tidak akan nampak oleh orang lain. Ke sanakah gerangan mereka tadi? Jantungnya berdebar penuh keregangan. Di belakang itu, di dalam ruangan belakang, Ayah dan Ibunya sedang mengadakan pertemuan dengan para pendekar lain untuk membicarakan urusan negara. Jangan-jangan dua orang yang mencurigakan tadi menyelinap masuk untuk memata-matai pertemuan itu! Sangat boleh jadi si tinggi kurus tadiseorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng, mata-mata orang kulit putih, atau mata-mata pemerintah Mancu. Akantetapi gadis remaja tadi? Tidak mungkin juga mata-mata!

Akan tetapi, kenapa gerakannya demikian cepat dan ke mana ia sekarang pergi? Agaknya seorang mata-mata pula, akan tetapi berbeda dengan si tinggi kurus! Dengan gerakan cepat, mempergunakan ilmunya, Bun Hong menyelinap ke samping beranda dan melihat betapa pintu pagar taman yang tidak berapa tinggi, diapun lalu meloncat ke atas pintu itu dan melihat betapa di balik pintu itu benar merupakan sebuah taman yang luas, diapun meloncat lagi turun ke sebelah dalam. Dengan berindap-indap diapun mencari-cari. Tempat itu sunyi. Sebelah kiri menuju ke taman dan kebun sayur, dan sebelah kanan menuju ke ruangan terbuka dari bagian tengah kuil. Bun Hong meloncat ke dalam ruangan ini dan menyelinap di antara pot-pot bunga, menuju ke dalam melalui sebuah pintu yang sudah terbuka daunnya.

Setelah melalui dua ruangan, tiba-tiba dia berhenti dan bersembunyi di balik tiang. Dia melihat si tinggi kurus tadi keluar dari sebuah tikungan dan menyeret seorang Tosu tua yang agaknya sudah lemas tubuhnya, entah pingsan ataukah tertotok jalan darahnya. Dengan cepat si kurus itu menyeret tubuh Tosu itu ke balik meja di sudut, mengikat kaki tangannya dengan pakaian Tosu itu sendiri dan mengikat pula mulutnya, lalu meninggalkan Tosu itu menggeletak di balik meja itu, tersembunyi dan tidak mudah nampak dari luar. Kini Bun Hong tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa orang itu adalah seorang mata-mata, atau penjahat dan setidak-tidaknya tentu orang yang tidak mempuyai iktikad baik terhadap para Tosu atau para pendekar yang tengah mengadakan pertemuan di ruangan belakang kuil itu.

"Berhenti, siapa engkau?" Bun Hong membentak sambil meloncat keluar, dan tubuhnya sudah berdiri di depan laki-laki tinggi kurus itu. Orang itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa perbuatannya diketahui orang. Lebih lagi kagetnya melihat bahwa yang muncul bukan sorang di antara para Tosu kuil itu, melainkan pemuda remaja tampan. Dia memandang rendah dan tersenyum mengejek.

"Bocah setan, mampuslah!" bentaknya dan dia menyerang dengan kecepatan kilat, jari tangan kirinya menotok ke arah jalan darah di pundak sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan-serangan itu hebat bukan main dan amat berbahaya. Namun, pada waktu itu, Bun Hong telah mewarisi ilmu kepandaian Ayah bundaya dan dia memang seorang pemuda yang berbakat baik sekali, memiliki gerakan yang tenang namun cepat. Dengan mudah dia mengelak dengan melangkah mudur, dan cepat tubuhnya memutar ke kanan lalu mengirim serangan balasan, yaitu tendangan ke arah lutut lawan dan tangannya menyusul dengan cengkeraman ke arah pundak.

"Ehhh...?" Orang itu nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang dipandang rendah itu bukan saja dapat menghindarkan diri dari serangannya, bahkan dapat membalas dengan cepat sekali sehingga hampir saja lutut kakinya terkena tendangan.

Dia meloncat ke belakang, lalu menyerang lagi, kini karena tahu bahwa lawannya lihai, dia mengerahkan tenaga dan kecepatannya untuk melumpuhkan pemuda yang telah memergokinya itu. Namun dia kecele. Pemuda itu mampu menangkis dan membalas dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru. makin kaget dan gentarlah hati si tinggi kurus dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Akan tetapi betapa kagetnya melihat pemuda itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan dia kehilangan jalan untuk lari karena terus terdesak oleh pemuda itu. Akhirnya, memang karena kalah tingkatnya dan bingung, jari tangan pemuda itu berhasil menotok pundaknya dan diapun roboh terkulai dalam keadaan lumpuh kaki tangannya. Pada saat itu ada bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan halus.



JILID 14


"Engkau orang jahat!" Tahu-tahu gadis remaja yang berbaju biru, yang tadi menarik perhatian Bun Hong, telah datang dan menyambar ke arah Bun Hong dengan cepat sekali, menyerang dengan tamparan ke arah kepala Bun Hong dan tusukan jari tangan yang lain ke arah dada.

"Ehhh...?" Bun Hong mengelak. Aka tetapi, serangan pertama yang luput itu disusul oleh tonjokan tangan ke arah lambung Bun Hong, cepat dan keras bukan main serangan susulan ini sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Bun Hong untuk mengelak. Dia terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk...!" Dua lengan bertemu dan gadis itu mengeluarkan jerit tertahan karena lengannya terasa nyeri. Ia meloncat ke belakang dengan muka merah karena marah sedangkan Bun Hong sendiri juga harus mengakui betapa lengan yang kecil berkulit halus itu mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, Bun Hong juga merasa penasaran dan kini timbul dugaannya bahwa gadis remaja yang lihai itu tentulah seorang mata-mata pula,

Agaknya sahabat dari orang yang telah dirobohkannya. Mungkin saja percakapan antara mereka di luar kuil tadi hanya sandiwara belaka, atau dalam percakapan tadi mengandung kata-kata rahasia yang hanya diketahui mereka berdua saja. Pikiran ini membuat Bun Hong penasaran dan ketika gadis remaja itu menyerangnya lagi, dia mengerahkan tenaga menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga gadis itu terkejut, terdorong ke belakang dan terpaksa gadis itu meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan susulan. Agaknya gadis inipun baru sekarang yakin akan kelihaian Bun Hong. Akan tetapi serangan susulan itu tidak datang karena Bun Hong sudah menyambar tubuh orang yang dirobohkannya tadi, mengempitnya dan membawanya meloncat dan lari ke belakang

"Demikianlah, Ayah." Bun Hong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh Ayah Ibunya dan para pendekar.

"Aku membawa mata-mata ini ke sini, aku yakin dia memata-matai pertemuan ini." Pada saat itu, terdengar bentakan halus dan nampak bayangan biru berkelebat masuk,

"Penjahat busuk, engkau hendak lari ke mana?" Dan muncullah gadis remaja yang tadi dan tanpa memperdulikan banyak orang yang berada di situ ia langsung saja menyerang Bun Hong. Melihat gadis remaja ini Bun Hong menjadi marah. Dia menangkis dan balas menyerang sehingga mereka berdua segera bekelahi dan saling serang dengan seru dan ternyata bahwa gadis itu memang lihai dan dapat bergerak cepat sekali. Tiba-tiba Ciu Kui Eng sudah meloncat dan menengahi kedua orang muda yang sedang berkelahi itu sambil membentak.

"Eng Hui, kiranya engkau gadis remaja itu!" Gadis itu terkejut ketika melihat Ibunya tahu-tahu menahan serangannya.

"Ibu...!" Kemudian ia melihat Thio Ki hadir di antara semua orang gagah yang berada di situ.

"Ayah...!" Suami isteri pendekar ini tentu saja merasa heran bukan main melihat puteri tunggal mereka. tadi mereka mendengar cerita putera dari sahabat mereka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong tentang gadis remaja yang disangkanya sahabat mata- mata, sama sekali mereka tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata adalah Thio Eng Hui, puteri mereka sendiri.

"Ayah! Ibu! Orang ini jahat sekali, membunuh orang tak berdosa!" teriak gadis itu.

"Nah, inilah gadis yang menjadi mata-mata itu!" Bun Hong yang balas berteriak dan keduanya sudah saling pandang dengan mata melotot lagi.

"Eng Hui, diam kau!" Ciu Kui Eng membentak puterinya, kemudian menghadapi para pendekar yang masih memandang bingung dan memperkenalkan.

"Cuwi, gadis ini adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal kami. Agaknya terjadi kesalah pahaman di antara ia dan pemuda ini. Kita sudah mendengar cerita pemuda ini. Dan biarlah kini giliran anak kami yang bercerita. Eng Hui, hayo ceritakan mengapa engkau sampai datang ke sini dan tiba-tiba menyerang pemuda ini?" Eng Hui sejenak memandang Bun Hong, kemudian ke arah orang kurus yang masih rebah di atas lantai dengan muka pucat dan memandang dengan mata mengandung ketakutan.

"Ayah dan Ibu, setelah kalian pergi, aku merasa tidak betah di rumah, maka aku memberi tahu kepada para murid di rumah untuk menjaga rumah dan aku sendiri pergi menyusul Ayah dan Ibu. Tadi, ketika aku tiba di depan kuil, aku bertemu dengan orang kurus itu yang mengajak bicara dan dia amat ramah dan baik. Karena aku hendak menyelidiki apakah Ayah dan Ibu benar berada di kuil ini, diam-diam aku menyelinap masuk. Ketika sedang mencari-cari di dalam, aku melihat betapa pemuda ini memukul roboh orang kurus yang ramah itu, maka akupun segera turun tangan membelanya. Pemuda itu membawa si kurus lari ke belakang dan aku mengejar sampai sini." Mendengar penjelasan ini, semua pendekar tersenyum. Memang telah terjadi kesalah-pahaman di antara dua orang muda itu. Ciu Kui Eng sendiri tertawa dengan hati lega karena ternyata puterinya tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keributan. Hanya kesalah-pahaman biasa saja. Siauw Lian Hong juga girang mendengar penuturan puteri sahabatnya itu, maka iapun lalu menghampiri puteranya.

"Bun Hong, ketahuilah bahwa gadis manis ini adalah puteri dari sahabat kami. Ayahnya adalah Thio Ki atau Thio-pangcu ketua Kang-Sim-Pang, sedangkan Ibunya adalah Ciu Kui Eng yang sudah seringkali kaudengar namanya. Ternyata Thio Eng Hui ini menyangka engkau seorang penjahat maka menyerangmu." Bun Hong memandang kepada Eng Hui dengan muka merah. Sementara itu Kui Eng juga berkata kepada puterinya.

"Pemuda itu Tan Bun Hong, putera dari Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong, dua orang sahabat kami yang paling baik dan yang sudah sering kaudengar namanya. Dia menangkap orang ini karena orang ini agaknya seorang mata-mata yang menyelundup dan kini kami akan memeriksanya."

"Ah, begitukah?" Eng Hui juga menjadi merah mukanya dan tidak berani lagi memandang langsung kepada pemuda itu.

"Eng Hui, engkau yang bersalah dalam hal ini. Lekas minta maaf kepada kakakmu Tan Bun Hong. Bagaimanapun juga, engkau lebih muda dan engkau yang kurang teliti."

"Nanti dulu, Ibu," kata Eng Hui penasaran.

"Orang kurus itu belum diperiksa dan belum ternyata bahwa dia memang bersalah, jadi masih belum terbukti bahwa dia yang benar dan aku yang bersalah. Kita tunggu sampai orang ini diperiksa." lalu ia melirik ke arah Bun Hong.

"Kalau kemudian ternyata aku memang bersalah, biarlah aku akan minta maaf." Bun Hong merasa tidak enak.

"Sudahlah, bibi. Sebaiknya urusan ini tidak diperpanjang karena kesalah-pahaman bukanlah suatu kesalahan, tidak perlu minta maaf. Ayah, sebaiknya orang ini segera diperiksa," sambungnya kepada Ayahnya. Tan Ci Kong mengangguk, lalu menghampiri orang yang rebah di lantai itu dan diapun berjongkok di dekatnya.

"Nah, sobat. lebih baik engkau mengaku sekarang, apa artinya perbuatanmu yang mencurigakan itu? Engkau menyelinap masuk ke dalam kuil seperti seorang pencuri, dan engkau bahkan telah menotok roboh seorang Tosu. Siapa engkau dan apa maksud perbuatanmu yang mencurigakan itu?" Orang kurus itu kini sudah mulai dapat menggerakkan kaki tangannya dan dengan agak sukar dia bangkit duduk di atas lantai, sepasang matanya memandang ke kanan kiri dan melihat betapa dia berada di tengan kerumunan para pendekar dia merasa gentar sekali. Akan tetapi mendengar perkataan Ci Kong tadi, dia mendapatkan harapan dan segera berpegang kepada harapan itu.

"Benar Taihiap, saya... saya memang pencuri, saya masuk ke dalam kuil ini karena mendengar bahwa di dalam kuil terdapat banyak harta yang disimpan para Tosu. Karena ketahuan seorang Tosu, saya merobohkannya, akan tetapi... sial, perbuatan saya diketahui oleh orang muda ini..."

"Cukup!" Ci Kong membentak, karena sebagai seorang pendekar yang sudah seringkali menghadapi mata-mata dan sudah banyak kali terjun dalam perjuangan, dia sudah berpengalaman sehingga tidak mudah dibohongi begitu saja.

"Mengaku saja terus terang bahwa engkau sudah tahu akan pertemuan kami ini dan datang untuk memata-matai kami. Hayo katakan, kau mata-mata pihak mana dan siapa yang mengutusmu, dan apa saja tugasmu?"

"Saya... saya betul pencuri, akan tetapi belum mencuri apa-apa, harap Taihiap suka memberi ampun dan membebaskan saya..."

"Ah, aku ingat sekarang!" Tiba-tiba seorang di antara para pendekar itu berseru dan dia bukan lain adalah tokoh Tiat-Pi Kai-Pang tadi.

"Bukankah engkau ini yang berjuluk Pek-ci Sin-to (Maling Sakti Tikus Putih) yang terkenal di kota Pao-ting? Tan-Taihiap, dia ini jelas mata-mata pemerintah Mancu! Sudah lama aku mendengar betapa maling hina ini menghambakan diri kepada pemerintah Mancu dan menjadi mata-mata!" Tan Ci Kong mencengkeram rambut orang itu dan mengguncangnya.

"Nah, sekarang telah kelihatan belangmu! Hayo mengaku saja apa yang kaulakukan di sini!" Orang kurus itu kelihatan semakin ketakutan, apalagi ketika dia merasa betapa kuatnya cenkeraman tangan Tan Ci Kong. Para pendekar ini tentu akan memaksa dan kalau perlu menyiksanya agar dia mengaku, pikirnya. Tiba-tiba dia berusaha meronta dan memandang kepada seorang di antara pendekar itu sambil berseru,

"Toako, kenapa kau diam saja? Tolonglah aku... aughhhh..." Semua orang, termasuk Ci Kong terkejut bukan main karena tiba-tiba saja seorang di antara para pendekar menggerakkan tangannya dan sebuah piauw (senjata rahasia runcing) telah menyambar dan menancap di ulu hati tawanan itu. Selagi semua orang terkejut, orang tinggi besar itu telah melompat dan keluar dari ruangan itu. Semua orang yang terkejut dan bingung itu disadarkan oleh Bun Hong yang berteriak.

"Dia tentu pemimpinnya. Kejar...!" Semua orang baru sadar bahwa tentu si tinggi besar yang mereka kenal sebagai Ciang Koai, seorang pendekar yang dulu pernah berjuang bersama mereka membantu Tai Peng, kini menjadi kaki tangan pemerintah Mancu dan tentu dia membunuh pembantunya, si kurus itu, agar si kurus tidak membuka rahasia.

Maka, semua orang lalu berserabutan mengejar keluar kuil. Akan tetapi ketika semua orang tiba di luar kuil, ternyata kuil itu telah dikepung oleh sedikitnya seratus orang tentara kerajaan! Ternyata gerakan si kurus tadi memang sengaja dilakukan untuk memancing kalau-kalau ada penjaga pihak para pendekar di luar kuil itu tanpa diketahui para pendekar! Melihat hal ini, Ci Kong mengepal tinju. Baru saja para pendekar mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bukan untuk melawan pemerintah Mancu melinkan untuk menenteramkan keadaan dengan menghadapi Tai Peng dan para pemberontak lain, dan kini mereka malah dikepung oleh pasukan pemerintah!

"Kita berpencar dan lari mencari jalan masing-masing! Ingat akan keputusan rapat pertemuan kita!" teriaknya dan mereka lalu berpencaran. Ci Kong bersama Lian Hong dan putera mereka, Bun Hong, segera menyerbu ke arah kiri. Mereka disambut oleh tombak-tombak para perajurit, akan tetapi mereka mengamuk dan menerjang terus, merobohkan siapa saja yang menghalang jalan keluar mereka. Para pendekar yang lain juga menyerbu ke semua jurusa. Thio Ki juga disertai Kui Eng, dan puteri mereka Eng Hui, menerjang ke arah kanan dan mmerekapun mengamuk untuk membuka jalan keluar. terjadilah pertempuran yang sengit di luar kuil. Para Tosu dan para tamu kuil itu menjadi ketakutan dan berjongkok di belakang meja-meja sembahyang untuk bersembunyi.

Biarpun jumlah para pendekar itu hanya kurang lebih dua puluh orang sedangkan para perajurit ada seratus orang, namun tidak mudah bagi pasukan itu untuk menangkap para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi itu. Setelah terjadi pertempuran yang tidak terlalu memakan waktu lama, sebagian besar dari para pendekar itu dapat lolos, hanya meninggalkan tiga orang yang tewas dan beberapa orang di antara mereka membawa lari luka, akan tetapi di pihak pasukan perajurit Mancu, tidak kurang dari lima puluh orang roboh dan terluka, bahkan ada beberapa orang yang tewas pula! Karena para pendekar itu melarikan diri berpencar, sukar bagi para perajurit yang sudah merasa jerih untuk melakukan pengejaran. Mereka hanya menyerbu kuil, menangkapi para Tosu, bahkan para tamu yang datang hanya untuk bersembahyang, ikut pula ditangkap!

"Han Le, muridku dan juga anakku yang baik, duduklah di sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang amat penting denganmu."

Han Le tersenyum. semenjak gurunya ini menjadi suami Ibunya, selalu gurunya menyebutnya murid dan anak, dan kasih sayang gurunya menjadi semakin jelas dilimpahkan kepadanya. Kini dia sudah berusia sembilan belas tahun dan selama ini dia menerima gemblengan yang tak mengenal lelah dari Bu Beng Kwi. Menurut keterangan Suhunya, hampir semua ilmu silat yang dimiliki Suhunya telah dia kuasai dengan baik. Dan dia amat sayang kepada Suhunya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa terdapat cinta kasih yang besar antara gurunya atau Ayah tirinya dan Ibunya.. Dia melihat betapa Ibunya hidup berbahagia sebagai isteri Suhunya, nampak dari wajah Ibunya yang selalu berseri cerah penuh kebahagiaan, bagaikan setangkai bunga yang terpelihara baik dan tak pernah haus dari siraman air yang menghidupkan dan menyegarkan.

Untuk Ibunya itu saja dia sudah amat berterima kasih kepada Suhunya dan diam-diam dia kagum kepada Ibunya, yang demikian waspada dan bijaksana, tidak keliru memilih walaupun pada lahirnya, Ibunya amat cantik dan Suhunya amat buruk rupa. Dia yakin benar bahwa Suhunya adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang sukar dicari keduanya. bahkan kini kedua orang Suhengnyapun telah menjadi pemimpin-pemimpin rakyat yang gagah perkasa, pejuang-pejuang kenamaan dan patriot-patriot yang membela kepentingan rakyat. Diapun berniat untuk mengikuti jejak kedua orang Suhengnya yang bercerita banyak tentang perjuangan ketka dua tahun yang lalu berkunjung ke tempat itu.

"Suhu, bagiku, Suhu merupakan guru dan Ayah yang amat baik dan setiap yang dibicarakan Suhu selalu penting bagiku. Sekarang ada kepentingan apakah yang membuat Suhu bersikap demikian sungguh-sugguh?" katanya sambil duduk di atas bangku depan Suhunya, terhalang sebuah meja di mana terdapat minuman air teh yang tadi dihidangkan Ibunya untuk orang tua itu. Bu Beng Kwi memandang kepada murid yang juga menjadi anak tirinya itu dengan sepasang mata yang mencorong penuh kasih sayang, juga penuh perhatian. Anak itu kini telah menjadi seorang dewasa, pikirnya puas, seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dalam hal ilmu silat, murid ini sudah melampaui tingkat Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang muridnya yang kini telah menjadi pejuang-pejuang kenamaan.

Muridnya ini telah berusia sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi besar, tingginya sama dengan dia, dengan dada yang bidang dan perawakan yang gagah sekali. Bangga dia mempunyai murid seperti Gan Han Le ini. Dan bukan saja Han Le pandai ilmu silat tinggi, bahkan oleh Ibunya dia diajari ilmu mempergunakan senjata api, yaitu sebuah pistol. Isterinya itu, Sheila, adalah seorang wanita kulit putih yang pernah mempelajari cara menembak dan ia sendiri yang melatih puteranya itu menjadi seorang penembak mahir! Bu Beng Kwi berhasil mendapatkan sebuah pistol dan senjata inilah yang dipergunakan oleh Han Le untuk belajar menembak sehingga dia menjadi seorang penembak mahir yang amat jitu tembakannya. Dan pistol itu kini tersimpan oleh Han Le, kadang-kadang diselipkan di pinggang tertutup baju, dan dengan adanya senjata api ini, tentu saja Han Le menjadi seorang ahli silat yang amat hebat dan berbahaya bagi lawannya.

"Han Le, ada suatu rahasia besar yang selama ini kusembunyikan darimu, dan aku sengaja menanti sampai engkau menjadi dewasa baru rahasia itu kubuka dan kuberitahukan padamu. Akan tetapi sebelum hal itu kulakukan, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui apa yang akan kau lakukan sekarang, setelah kunyatakan bahwa sudah habis waktunya engkau mempelajari ilmu dariku. Engkau telah dewasa, telah matang dan cukup kuat untuk membela diri, untuk menentukan langkah hidupmu nanti, Nah, apakah yang akan kau lakukan, anakku?"

"Suhu, aku ingin sekali pergi turun gunung dan ikut dalam perjuangan membela rakyat jelata agar segala yang pernah kupelajari dari Suhu tidak akan tersia-sia." jawabnya dengan tegas dan sungguh-sungguh.

"Apa yang mendorongmu untuk berjuang?"

"Suhu, aku... tertarik untuk mengikuti jejak kedua Suheng, dan... bahkan mendiang Ayah kandungku juga seorang pejuang, bukankah begitu? Jadi, sudah selayaknyalah kalau akupun menjadi seorang pejuang. Bukankah Suhu akan menyetujuinya?" Bu Beng Kwi mengangguk-angguk,

"Tentu saja, tentu saja aku setuju. Akan tetapi, apakah tidak ada lain cita-cita lagi dalam hidupmu, hal yang amat ingin kaulakukan?" Bu Beng Kwi ingin mengetahui semua isi hati muridnya ini, karena sebelum dia membuka rahasia yang mungkin akan menghabisi hidupnya, dan dia sudah siap siaga menghadapi hal ini, dia ingin lebih dahulu memberi pengarahan kepada muridnya untuk melakukan apa yang diinginkannya. Han Le mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, lalu dia menggeleng kepala perlahan.

"Kiranya tidak ada lagi, Suhu. Aku hanya mempunyai Ibu dan Suhu, dan kini Ibu telah hidup berbahagia bersama Suhu di sini. Dulu, di waktu aku belum mengetahuinya, ada cita-cita di hatiku untuk membalas kematian Ayah! Akan tetapi setelah Ibu memberi tahu bahwa yang membunuh Ayah ternyata sudah tewas pula, padamlah cita-cita itu... eh, kenapa Suhu? Kenapa Suhu memandangku seperti itu?" Han Le terkejut ketika melihat perubahan pada pandang mata Suhunya. Sepasang mata yang besar sebelah yang biasanya mencorong itu kini tiba-tiba saja seperti lampu kehabisan minyak, dan pandang mata Suhunya itu aneh sekali.

"Han Le, tahukah engkau siapa nama Ayahmu?"

"Tentu saja! Ayah bernama Gan Seng Bu."

"Tahukah engkau siapa pembunuh Ayahmu, yang masih Suheng dari Ayahmu sendiri?" Han Le merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga.

"Ibu pernah memberi tahu. Pembunuh Ayah itu adalah Suhengnya sendiri yang bernama Koan Jit, akan tetapi ada apakah...?"

"Gan Han Le, apakah engkau ingin melihat bagaimana wajah Koan Jit, pembunuh Ayah kandungmu itu?" Han Le tekejut sampai bangkit berdiri, memandang kepada Suhunya dengan mata terbelalak penuh selidik, alisnya berkerut. Apakah gurunya hendak main-main dengan dia? Kalau bermain-main, keterlaluan sekali permainan ini!

"Suhu, apa artinya ini? Bukankah di sudah meninggal dunia?" Bu Beng Kwi menggeleng kepala, meraba mukanya dan berkata.

"Dia masih hidup, sayang sekali, dan kau boleh memandang wajahnya dengan baik-baik. Inilah orangnya!" Tangannya bergerak cepat dan tiba-tiba saja wajah buruk Bu Beng Kwi itu berobah sama sekali! Bukan lagi wajah seorang Kakek yang mukanya pletat-pletot, matanya besar sebelah, hidungnya menyerong dan mulutnya mencong telinganya kecil. Sama sekali bukan, melainkan wajah seorang laki-laki yang dapat dibilang tampan, dengan muka penuh kerut-merut dan membayangkan kedukaan, kulit mukanya agak kehitaman dan sepasang matanya yang tajam itu kini diliputi kedukaan besar.

"Inilah wajah Koan Jit, pembunuh Ayahmu itu!" Sampai beberapa amanya Han Le berdiri terbelalak,wajahnya berubah pucat sekali, tak mampu mengeluarkan kata- kata. kemudian dia berteriak,

"Suhu! Harap jangan main-main!" Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu tersenyum sedih dan menggeleng kepalanya.

"Gan Han Le, aku tidak main-main. Aku adalah Koan Jit, pembunuh Ayah kandungmu, dan aku sudah siap untuk menerima pembalasan dendam darimu, aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Nah, balaslah kematian Ayahmu itu dan bunuhlah aku!" Dengan kakinya, Bu Beng Kwi menendang meja yang menghalangi mereka ke samping sehingga kini mereka berhadapan. Bu Beng Kwi masih duduk di atas kursinya dan Han Le sudah berdiri sejak tadi.

"Tapi... tapi... bagaimana ini? Apa artinya ini? Mengapa Suhu melakukan semua itu? Mengapa? Ah, Suhu... aku tidak percaya! Jangan permainkan aku, jangan membikin bingung aku... dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suhunya.

"Bangkitlah, Han Le, dan hadapi kenyataan. Engkau bukan mimpi dan aku tidak berbohong. Dahulu aku bernama Koan Jit dan aku pernah membunuh Suteku yang bernama Gan Seng Bu. Kemudian, karena malu akan sepak terjangku sendiri aku mematikan nama Koan Jit dan aku berubah menjadi Bu Beng Kwi. Akhirnya aku berjumpa dengan Ibumu, jatuh cinta dan... engkau tahu sendiri. Aku sengaja menunggu sampai engkau dewasa, baru memberi tahu akan hal ini agar engkau dapat mengambil keputusan secara dewasa pula. Nah, aku sudah siap. Akulah Koan Jit pembunuh Ayahmu dan engkau boleh melakukan apa saja!" Sambil mendengarkan keterangan Suhunya, Han Le menangis dan tiba-tiba dia meloncat berdiri tegak, memandang wajah orang di depannya itu dengan muka beringas dan sepasang mata berkilat. Air matanya masih mengalir turun membasahi kedua pipinya ketika dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Kwi.

"Kau...! Engkau telah membunuh Ayahku, kemudian... engkau menggunakan muslihat... engkau pergunakan kelemahan hati Ibuku dan engkau malah mengawininya! Engkau sungguh kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan!... Engkau bunuh Ayahku dan menipu Ibuku!" Han Le mengepal tinju dan napasnya tersengal-sengal saking marahnya.

"Dan engkau menipu aku, menjadikan aku muridmu... kau kira dengan kebaikan-kebaikan berselubung itu kau sudah menebus dosamu terhadap Ayahku? Kau keji, kau kejam"

"Aku siap menerima hukuman, Gan Han Le..." kata Koan Jit dan suaranya lirih sekali, mukanya kini tunduk dan kedua matanya basah. Bukan main sakitnya rasa hati dimaki-maki oleh anak yang dicintanya, disayangnya seperti anak sendiri. Akan tetapi dia merasa bahwa memang sudah semestinya demikian, dan hal ini sudah seingkali dibayangkannya selama bertahun-tahun ini, bahkan seringkali membuat dia tidak mampu tidur. Dengan kedua tangan terkepal Han Le memandang wajah laki-laki tua di depannya itu, penuh kebencian.

"Memang! Engkau harus mampus. Engkau binatang berwajah manusia, engkau iblis busuk, jahanam keparat, pembunuh Ayahku, penipu Ibuku...!"

Kedua tangannya sudah menggetar, penuh terisi tenaga sinkang karena Han Le sudah siap untuk menerjang dan mengirim pukulan maut kepada orang di depannya itu. Dia lupa bahwa orang itu adalah gurunya. Lupa karena memang wajah orang itu berbeda, dan yang teringat hanyalah bahwa orang itu pembunuh Ayahnya dan penipu Ibunya yang patut dibunuh! Diapun menerjang ke depan dan mengirim pukulan ke arah dada orang tua itu. Akan tetapi detik terakhir, pakaian serba putih seperti yang biasa dipakai Bu Beng Kwi, seperti mengingatkan Han Le bahwa orang ini adalah Bu Beng Kwi, gurunya, maka ditahannya gerakan pukulannya dan dikurangi tenaganya. namun pukulan itu sudah mengenai dada Bu Beng Kwi alias Koan Jit.

"Bruukkk...!" Koan Jit terkena pukulan, akan tetapi pukulan keras dari tenaga otot saja, bukan pukulan sinkang sehingga dia tidak terluka parah, hanya terengah saja dan dia masih bangkit berdiri, diam-diam dia merasa heran mengapa muridnya yang marah sekali itu memukul seperti itu, bukan pukulan maut yang sekali saja akan dapat mengantar nyawanya ke alam baka. Dia berdiri dengan terhuyung dan menghampiri lagi muridnya yang berdiri bingung.

"Hukum dan bunuhlah aku, jangan kepalang tanggung, Gan Han Le," katanya.

"Baik, aku akan, membunuhmu! Sebagai Koan Jit, engkau telah membunuh Ayahku! Sebagai Bu Beng Kwi, engkau telah menipu Ibuku, menodai Ibuku!" Sekali ini Han Le sudah mengambil keputusan untuk membunuh orang di depannya itu. Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap menerjang, akan tetapi pada saat itu dia tersentak kaget karena jeritan Ibunya.

"Henry!!" Ibunya datang berlari dan menubruk Koan Jit yang berdiri limbung sambil mengusap darah dari ujung mulutnya.

"Henry, apa yang kau telah lakukan? Dan apa yang akan kau lakukan ini?" Ibunya membentak sambil menghadapi puteranya. Tentu saja Han Le merasa heran bukan main melihat Ibunya menubruk Koan Jit dan tidak heran melihat bahwa Bu Beng Kwi telah berubah menjadi Koan Jit.

"Ibu, tidak tahukah Ibu siapa dia ini? Dia ini Koan Jit, pembunuh Ayahku, pembunuh suami Ibu! Dan dia menyamar sebagai Bu Beng Kwi, menipu kita, bahkan menodai Ibu dan mengawini Ibu!"

"Ahhh, ini semua gara-gara engkau tidak membiarkan aku memberi tahu anakku sejak dulu, menanti sampai dia dewasa dan engkau sendiri yang memberi tahu keadaanmu." Sheila menegur Bu Beng Kwi yang kini duduk kembali dengan kepala ditundukkan seperti anak kecil yang merasa bersalah.

"Henry, dengarlah. memang dia ini Koan Jit. Ingatkah engkau ketika engkau kuajak pergi meninggalkan Bu Beng Kwi? Nah, ketika itulah akupun mengajakmu meninggalkannya. Akan tetapi...engkau tahu sendiri... betapa baiknya dia, dan aku... Ibumu ini, maafkan aku, nak, aku telah jatuh cinta kepadanya, kepada pembunuh Ayahmu. Akan tetapi, engkau sendiri mengenal siapa adanya Bu Beng Kwi, orang macam apa. Koan Jit memang telah mati, yang hidup adalah tubuhnya, akan tetapi hatinya, namanya telah menjadi Bu Beng Kwi. Bu Beng Kwi telah membunuh Koan Jit, maka engkau tidak boleh membunuh Bu Beng Kwi, anakku, karena dia gurumu, dia Ayah tirimu, dia mencinta kita berdua dengan sepenuh jiwa raganya"

"Tidak, Ibu! Tidak boleh begitu! Ah, mengapa Ibu begitu keji? Mau saja menikah dengan pembunuh Ayah? Ibu tidak cinta padaku, Ibu... kejam dan mengkhianati Ayah kandungku...! Aku harus bunuh dia, Ibu. harus!" Dengan tubuh menggigil Sheila menghadang di depan puteranya.

"Jangan, Henry! Engkau dilatih silat sejak kecil, apakah dengan kepandaian yang kau peroleh dari dia itu kini hendak kau pergunakan untuk membunuh dia, orang yang selama ini melatihmu, mengasihimu?"

"Baik, aku tidak mempergunakan ilmu silat yang dia ajarkan kepadaku. persetan dengan ilmu-ilmunya itu! Aku akan membunuh dengan ini, tanpa kepandaian yang kuperoleh darinya!" Dan Henry mencabut pistol jenis revolver itu dari balik bajunya dan menodongkannya ke arah Bu Beng Kwi yang masih diam saja sambil memandang kepada Ibu dan anak itu.

"Henryyyy...!" Sheila menjerit dan mendekat sehingga ujung pistol itu menempel di dadanya sendiri.

"Engkau tidak boleh lakukan itu! Tidak, dia adalah suamiku yang kucinta, kalau engaku berkeras hendak membunuhnya, engkau harus lebih dulu membunuhku!!" Mendengar ucapan Ibunya ini, terbelalak mata Han Le dan dia melangkah mundur, pistolnya menunduk, mukanya pucat
sekali.

"Ibu... Ibu bahkan membelanya, melindunginya? Padahal dia... dia pembunuh Ayahku...! Ibu... Ibu sungguh tidak patut... ahhhh...!" Han Le meloncat keluar dan melarikan diri pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

"Henry...! Henry...!" Sheila mengejar, akan tetapi puteranya itu telah berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Sheila yang terus mengejar, akhirnya terpelanting jatuh ketika kakinya tersentuh batu dan pada saat tubuhnya roboh, kedua lengan Bu Beng Kwi yang kokoh kuat menyambarnya dan tubuh yang terkulai pingsan itu lalu dipondongnya masuk kembali ke dalam rumah.

"Henry... ahh, Henry...!" Sheila mengeluh ketika ia siuman kembali dan melihat suaminya duduk di tepi pembaringan dengan wajah sedih, wajah Koan Jit tanpa topeng. Sheila menangis sesenggukan. Koan Jit mengelus rambut kepala isterinya penuh kasih sayang.

"Kita harus berani menghadapi semua ini, isteriku. Sudah kubayangkan akan begini jadinya. bagaimanapun juga, dia tidak akan tega membunuhku."

"Tapi dia... dia pergi dan lari dari sini... ah, bagaimana kalau aku kehilangan anakku lahir batin...?" Koan Jit menggeleng kepala sambil tersenyum, lalu menarik bangun isterinya yang menyandarkan kepala sambil menangis di dadanya.

"Jangan khawatir. Biarkan dia mengambil keputusan sendiri. Biar peristiwa hebat ini menambah kematangan jiwanya, meupakan gemblengan baginya. Tidak, dia tidak mungkin membencimu, Sheila. Dia hanya merasa bingung, seperti yang kaurasakan dahulu itu. Biarkan dia melihat kenyataan dan memutuskan langkahnya sendiri. Aku sudah rela, apapun yang akan dilakukannya. Kita tunggu saja..."

"Tapi... bagaimana kalau dia tidak kembali ke sini? Aku... aku akan merana dan sengsara memikirkan dia. Kalau kepergiannya untuk berjuang dan untuk suatu tujuan tertentu, aku sudah rela karena dia sudah dewasa. Akan tetapi kalau dia pergi meninggalkan aku dengan hati mengandung penasaran dan kebencian, ahhh..." Sheila tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis lagi dengan sedihnya.

"Baiklah, kita tunggu sampai satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum kembali, biar kita juga pergi mencarinya sampai berjumpa dan dia harus mengambil keputusan tentang diriku, sebagai laki-laki seperti yang selalu kuajarkan kepadanya." Dengan janji ini, legalah hati Sheila. Ngeri ia memikirkan bahwa puteranya itu pergi untuk selama-lamanya dari sisinya, pergi dengan perasaan benci terhadap dirinya. Mencinta kalau diuntungkan, membenci kalau dirugikan! Beginilah selalu yang terjadi. Cinta dan benci saling berganti tempat, sebagai akibat untung dan rugi yang selalu datang silih berganti. Segala perbuatan seperti itu selalu palsu dan hanya mendatangkan duka belaka.

Selama ada si aku yang menimbang-nimbang untung rugi sehingga menimbulkan cinta atau benci, maka batin akan selalu diguncang konflik. Kalau sudah tidak ada pamrih, tidak ada perasaan diuntungkan dan dirugikan, maka perbuatan akan dituntun oleh cinta kasih, bukan "cinta" yang menjadi kebalikan dari "benci", karena cinta seperti itu bukan lain hanyalah nafsu ingin menyenangkan diri sendiri belaka. Dan justeru keinginan untuk senang inilah yang membawa kita kepada kecewa, bosan, dan duka. Sekali ini pasukan kulit putih yang menyerbu ke arah Peking terdiri dari pasukan Inggris dan Perancis yang amat kuat. Perang terjadi di sepanjang jalan dan karena pasukan kulit putih memiliki persenjataan yang lengkap, dengan senjata api, maka pertahanan balatentara kerajaan Mancu mengalami kekalahan di mana-mana.

Apalagi ketika itu pasukan-pasukan kerajaan sudah menjadi lemah dengan adanya pergolakan sejak Tai Peng memberontak. Dengan cepatnya pasukan kulit putih yang mendarat di teluk Pohai dan menyerbu ke barat itu telah mengepung kota besar di Tian-cin. Pasukan Kerajaan Mancu mempertahankan diri sekuatnya. Setelah terjadi pertempuran berpekan-pekan lamanya, di mana pasukan kulit putih menghujani kota Tian-cin dengan peluru meriam dan senapan, akhirnya bobollah pertahanan pasukan kerajaan Mancu. Tian-cin diduduki dengan mengambil korban yang tidak sedikit, terutama sekali rakyat jelata. Seperti ulah semua anak buah pasukan yang memperoleh kemenangan, pasukan kulit putih itupun tidak terkecuali, melakukan pembunuhan, perampokan, pembakaran dan perkosaan yang semena-mena terhadap rakyat kecil.

Sisa pasukan kerajaan sendiri dapat melarikan diri, mundur dan membuat pertahanan baru di kota Wu-cing yang menjadi benteng pertama dari pertahanan di kotaraja Peking. Keadaan pasukan kerajaan Mancu amatlah lemahnya, bukan hanya karena pada waktu ini terjadi banyak pemberontakan yang didahului oleh pemberontakan Tai Peng, akan tetapi juga terutama sekali karena pasukan pemerintah penjajah ini sama sekali tidak memperoleh dukungan dari rakyat jelata. Dan pasukan yang tidak memperoleh dukungan rakyat tentu menjadi lemah. Pada waktu itu, rakyat sudah cukup menderita karena kekorupan para pejabat pemerintah penjajah sehingga diam-diam tertanam perasaan benci yang mendalam dalam hati rakyat terhadap penjajah. Oleh karena itu, ketika pasukan asing kulit putih melakukan penyerbuan, rakyat sama sekali tidak mau membantu melainkan lari cerai berai dan mengungsi.

Pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, yang mendapat bantuan banyak sekali pendekar yang pandai, tidak dapat membantu pasukan pemerintah yang terus didesak mundur oleh pasukan kulit putih, karena pasukan rakyat ini sedang sibuk membendung pasukan Tai Peng yang tadinya berniat pula menyerbu ke utara mempergunakan kesempatan selagi pemerintah Mancu terancam pasukan kulit putih itu. Terjadilah perang yang seru antara laskar rakyat ini dengan pasukan Tai Peng yang juga dibantu oleh orang-orang pandai dari golongan sesat yang diketuai oleh Lee Song Kim. Dengan dipelopori pasukan gabungan Inggris dan Perancis, pasukan-pasukan asing itu mendesak terus ke utara, benteng demi benteng dibobolkan, dan akhirnya dalam tahun 1860, pasukan orang kulit putih itu, dibantu banyak mata-mata pribumi yang menerima upah besar, berhasil membobolkan benteng pertahanan terakhir di kotaraja dan mereka menyerbu Peking! Bagaikan perampok-perampok ganas,

Pasukan itu menyerbu istana, bahkan mereka merampok Taman Terang Sempurna yang indah, membakarnya dan merampok harta benda istana-istana yang terdapat di situ, membunuh banyak pengawal, menculik dan memperkosa banyak wanita dayang dan puteri! Harta benda yang amat luar biasa, yang bahkan belum pernah dilihat oleh orang-orang kulit putih itu sendiri, dirampok habis-habisan, istana dirusak dan dibakar. Kaisar Hsian Feng terpaksa melarikan diri bersama dua orang permaisurinya dan juga pangeran mahkota yang masih kecil, dalam tiga buah kereta besar, membawa harta benda dan dikawal oleh sepasukan perajurit pengawal. Rombongan ini keluar dari pintu gerbang sebelah barat ketika pasukan asing mulai menyerbu kotaraja. Tujuan rombongan Kaisar ini adalah Yehol di mana Kaisar memiliki sebuah istana perburuan yang besar.

Akan tetapi ketika rombongan pengungsi ini tiba di tepi sebuah hutan, mereka tersusul oleh pasukan kulit putih dan mata-mata mereka yang telah mengetahui akan pengungsian ini dan melakukan pengejaran cepat. Terjadilah pertempuran sengit di tepi hutan itu. Kaisar dan keluarganya bersembunyi dan berlindung di dalam kereta-kereta itu, takut kalau terkena peluru nyasar. Biarpun pasukan asing yang mengejar itu hanya terdiri dari dua puluh empat orang saja, namun lima puluh orang perajurit pengawal Kaisar merasa kewalahan melawannya. Para pengawal ini membawa senjata api, namun senjata api mereka itu kuno sekali kalu dibandingkan dengan senapan dan pistol yang dipergunakan pasuka kulit putih yang lebih modern dan dapat memuntahkan peluru lebih gencar dan tepat. Hal ini tidaklah aneh, karena senjata api yang dimiliki oleh sebagian keadaan pasukan-pasukan pengawal Kaisar itu adalah senjata yang dapat dibeli dari orang kulit putih,

Dan orang kulit putih yang cerdik itu memang sengaja menjual senjata api dari mutu yang rendah saja! Dalam waktu sebentar saja, dua ekor kuda penarik kereta roboh, dan sedikitnya lima belas orang perajurit pengawal roboh, tewas atau terluka, sedangkan di pihak orang kulit putih belum seorangpun yang terkena! Selagi keadaan pasukan pengawal itu terancam bahaya yang dapat mengakibatkan celakanya Kaisar dan keluarganya, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat. Bayangan putih dari seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Sejak tadi, tidak ada perajurit pengawal Kaisar yang berani meloncat keluar. Mereka berlindung di balik pohon-pohon, karena begitu keluar sedikit saja mereka tentu menjadi makanan peluru yang diberondongkan oleh pihak musuh.

Kini, melihat ada bayangan putih berani keluar bahkan mendekati tempat mereka bertiarap dan berlindung, senapan-senapan dan pistol-pistol memberondongkan peluru panas ke arah bayangan itu. Akan tetapi bayangan putih itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya. Dia menyelinap ke balik pohon, berloncatan tinggi dan kadang-kadang bertiarap sehingga sukar sekali dijadikan sasaran peluru dan bayangan itu makin dekat saja. Ketika dua orang serdadu kulit putih yang merasa penasaran bangkit berlutut dan membidikkan senapan mereka lebih seksama ke arah bayangan itu, tiba-tiba terdengar letusan dua kali dan nampak api berpijar di tangan bayangan putih itu, disusul teriakan kesakitan dan robohnya dua orang serdadu itu yang ternyata roboh karena tembakan pistol yang dilepas oleh bayangan putih!

Terkejutlah para serdadu itu. Kiranya bayangan itu adalah sorang yang mahir sekali mempergunakan pistol dan begitu muncul telah merobohkan dua orang di antara mereka! Sementara itu, para perajurit pengawal Kaisar ketika melihat munculnya si baju putih yang telah merobohkan dua orang lawan, dan kini masih berloncatan di antara hujan peluru musuh, menjadi girang dan bangkit kembali semangat mereka. Merekapun kini menggunakan kesempatan selagi pihak musuh memberondongkan senjata mereka ke arah si baju putih, merekapun menyergap dan menghujankan peluru senapan-senapan mereka ke arah musuh. Dua orang kulit putih roboh lagi oleh sergapan ini. Akan tetapi berondongan mereka yang kini ditujukan kepada pasukan pengawal membuat pasukan itu kembali harus bersembunyi.

Bayangan putih itu lenyap pula di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda disusul kutukan para serdadu kulit putih karena tiba-tiba saja semua kuda tunggangan mereka yang tadi ditambatkan pada batang pohon, tahu-tahu telah terlepas semua dan lari ketakutan! Kiranya ini perbuatan si bayangan putih tadi yang nampak lagi menyelinap berloncatan di antara pohon-pohon! Kadang-kadang nampak wajah orang itu dan pasukan kedua pihak dapat melihat bahwa bayangan putih itu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berwajah tampan. Memang gerakannya hebat bukan main, cepat seperti seekor burung sehingga dia seperti mampu mengelak dari sambaran peluru-peluru yang berdesingan!

Bahkan kini kembali dia telah berloncatan mendekati pasukan asing itu dan setiap kali pistol di tangannya meledak, tentu ada seorang sedadu kulit putih yang roboh dan tewas! Ternyata kemahirannya menembak cepat amat mengejutkan dan juga menggentarkan hati para serdadu yang masih terus berusaha memberondongkan peluru mereka ke arah si baju putih itu. Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya si baju putih itu. Dia adalah Gan Han Le atau Henry! Setelah melarikan diri dari Bukit Awan Merah, dari gurunya dan Ibunya, Henry melakukan perantauan dan petualangannya. Hatinya masih penuh luka. Dia merasa bingung. Harus diakuinya bahwa tidak mungkin baginya untuk membenci Bu Beng Kwi yang buruk rupa itu. Sudah terlalu banyak kebaikan dan kasih sayang dia terima dari Kakek buruk rupa itu.

Akan tetapi, melihat Koan Jit, mengingat bahwa Koan Jit ini musuh besar yang telah membunuh Ayahnya, dia merasa benci sekali. Dan melihat betapa Ibunya mnjadi isteri dari musuh besar itu, hatinya kecewa, penasaran dan juga malu. Tadinya dia memang berniat untuk mencari kedua orang Suhengnya, ingin membantu perjuangan mereka melawan pasukan Tai Peng. Akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa kedua orang Suhengnya itu adalah murid-murid dari Koan Jit, musuh besarnya timbul pula perasaan tidak suka kepada kedua orang Suheng itu dan diapun tidak jadi mencari mereka. Diapun merantau sampai ke kotaraja dan ketika terjadi penyerbuan pasukan asing kulit putih ke kotaraj a, kebetulan dia berada di kotaraja. Dari gurunya, Bu Beng Kwi, Han Le banyak mendengar tentang tujuan perjuangan rakyat.

Tidak suka kepada pemberontak Tai Peng yang ternyata banyak menindas rakyat dan bersekongkol dengan golongan sesat, juga menentang orang kulit putih yang menyelundupkan candu dan jelas hendak menguasai bandar-bandar besar, dan tentu saja menentang pemerintah penjajah Mancu. Oleh karena itu, melihat penyerbuan pasukan kulit putih ke kotaraja, diapun bersikap dingin saja. Dia tidak membantu orang kulit putih, juga tidak membantu pemerintah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat sepak terjang para serdadu kulit putih, membakari rumah dan istana, membunuh orang, merampok barang-barang dan bahkan memperkosa wanita, jiwa pendekarnya memberontak! Diapun lalu bergerak dan setiap kali melihat serdadu melakukan kejahatan, dia turun tangan membunuhnya!

Demikianlah, ketika dia melihat istana dirampok dan dibakar, kemudian keluarga Kaisar melarikan diri, diam-diam diapun membayangi. Bagaimanapun juga, dia merasa kasihan kepada keluarga Kaisar yang terancam bahaya. Ketika ada pasukan kulit putih mengejar dan terjadi pertempuran, dia hanya menonton saja, karena di situ terdapat lima puluh orang pengawal Kaisar. Akan tetapi, ketika melihat betapa pasukan pengawal itu tidak mampu menang bahkan terdesak dan keadaan keluarga Kaisar terancam, Han Le turun tangan dan memperlihatkan kemahirannya bermain dengan pistolnya untuk menghadapi pasukan yang bersenjata api dengan lengkap itu. Han Le mengamuk dengan pistolnya dan sedikitnya tiga belas orang serdadu kulit putih roboh terkena peluru pistolnya dan peluru yang diberondongkan pasukan pengawal.

Sisanya menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri melalui hutan, berlindung pada pohon-pohon. Han Le mengejar dan masih merobohkan dua orang lagi sebelum dia kembali ke tempat pertempuran. Sementara itu, permaisuri kedua, Cu Si atau Yehonala, sejak tadi mengintai dan menonton pertempuran itu dengan hati gelisah. Akan tetapi ia sempat melihat bayangan putih yang dengan gagah berani membantu pasukan pengawal sehingga akhirnya pihak musuh dapat dihalau pergi dan sebagian roboh. Setelah keadaan aman, ia lalu memanggil pengawal terdekat dan memerintah agar orang berpakaian putih itu dihadapkan kepadanya di dalam kereta. Ketika Han Le keluar dari hutan setelah melakukan pengejaran, komandan pasukan pengawal yang bermuka brewokan telah menantinya dan cepat komandan ini memberi hormat kepadanya.

"Terima kasih atas bantuan Taihiap kepada kami," katanya agak heran ketika melihat betapa pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah ini memiliki sepasang mata yang mencorong akan tetapi agak kebiruan seperti mata orang kulit putih!

"Tidak perlu menghaturkan terima kasih," jawab Han Le dengan sikap dingin saja karena memang dia tidak ingin bersahabat dengan pasukan pengawal Kerajaan Mancu.

"Sekarang sudah aman, harap lanjutkan perjalanan." Berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

"Nanti dulu, Taihiap!" tiba-tiba komandan itu berseru. Han Le mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuh menghadapinya.

"Taihiap, saya diutus oleh Sang Permaisuri Kedua untuk memanggil Taihiap menghadap, beliau ingin bicara dengan Taihiap." Makin dalam kerut di antara alis mata Han Le. Dia memandang ke arah kereta dan pada saat itu, tirai kereta tersingkap dan nampak wajah seorang wanita yang amat cantik tersembul dari balik tirai, sepasang mata yang jeli dan berwibawa memandang kepadanya.

"Baiklah," katanya, tertarik karena dia ingin sekali tahu apa yang hendak dibicarakan seorang permaisuri kepadanya. Dengan langkah gagah diapun mengikuti komandan itu dan ternyata dia dihadapkan kepada wanita yang tadi memandang kepadanya dari balik tirai! Ketika pintu kereta dibuka dan dia berhadapan dengan wanita itu, dia mendapat kenyataan bahwa wanita itu memang cantik sekali, dengan pakaian yang mewah, dan usianya kurang dari tiga puluh tahun, cantik dengan senyum dan pandang mata memikat.

"Paduka memanggil hamba ada keperluan apakah?" tanya Han Le sambil memberi hormat tanpa berlutut. Dia tidak berpengalaman, namun di samping ilmu silat tinggi, dia juga diberi pelajaran baca tulis dan tata cara sopan santun oleh gurunya. Akan tetapi, di depan seorang permaisuri Mancu, tentu saja dia tidak mau berlutut walaupun kata-katanya cukup sopan sebagai seorang rakyat terhadap isteri Kaisar! Sepasang mata Cu Si bersinar-sinar dan seperti menggerayangi tubuh pemuda yang berdiri di depannya. Kalau saja bukan pemuda yang tampan dan gagah perkasa, yang sudah menyelamatkan keluarganya, yang menghadapinya dengan sikap seperti itu, kurang hormat dan tidak berlutut, tentu ia akan marah. Akan tetapi ia teringat bahwa saat itu, biarpun masih menjadi permaisuri kedua, ia hanyalah seorang pengungsi, keluarga Kaisar yang sedang kalah dan melarikan diri!

"Orang muda yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan kami sekeluarga Sri Baginda Kaisar dari malapetaka. Harap jangan kepalang tanggung menolong kami, kawallah kami sampai selamat tiba di Yehol. Untuk itu kami akan memberi hadiah besar kepadamu." Karena yang minta pertolongan kepadanya seorang wanita yang demikian cantiknya, juga dengan suara yang memohon, bukan memerintah seperti layaknya seorang permaisuri, Han Le merasa tidak enak kalau menolak. Pula, setelah pasukan pengawal itu kehilangan banyak anak buah, memang berbahaya sekali bagi keselamatan Kaisar itu melanjutkan perjalanan tanpa pengawalan yang kuat.

"Lihatlah, Sri Baginda sedang sakit dan lemah, harap kau suka mengasihani kami, orang muda yang gagah." kata pula Cu Si dengan suara merayu. Han Le melihat seorang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah Kaisar sendiri, duduk bersandar dengan tubuh lemah, muka pucat dan mata terpejam. Mereka sekarang hanyalah keluarga lemah yang membutuhkan bantuan, bukan keluarga Kaisar penjajah yang lalim, pikir Han Le.

"Baiklah, hamba akan mengawal sampai ke Yehol," katanya memberi hormat. Cu Si girang sekali, meneriaki pengawal agar memberi kuda terbaik kepada pemuda itu dan membiarkan pemuda itu menjalankan kudanya di dekat kereta yang ditumpangi keluarga Kaisar. Ketika malam tiba, terpaksa keluarga Kaisar itu menghentikan perjalanan di luar sebuah hutan, karena selain kuda mereka sudah lelah, juga jalan di sepanjang hutan itu buruk sekali, apalagi sehabis hujan kemarin,

Jalan itu berlumpur dan melakukan perjalanan melalui jalan seburuk itu pada malam hari berbahaya sekali. Kereta bisa terperosok, bahkan terguling kalau salah memilih jalan. Ketika para pengawal sedang mengaso dan membuat api unggun, mengelilingi kereta yang ditumpangi keluarga Kaisar, juga para pelayan dan dayang yang berkumpul di dekat kereta, banyak di antara para pengawal saling mengobati luka yang mereka derita, Han Le duduk menyendiri di luar kurungan perajurit pengawal. Dia membuat api unggun sendiri dan menerima pembagian ransum, makan dengan sunyi sambil melamun. Betapa nasib manusia tidak tentu, seperti hari yang sebentar terang sebantar gelap, sebentar hujan sebentar cerah. Lihat saja nasib Kaisar dan keluarganya, pikirnya. Biasanya mereka itu hidup bergelimang kemewahan, kemuliaan dan kehormatan.

Akan tetapi sekarang mereka melarikan diri, seperti pengungsi-pengungsi yang melarikan diri dari bahaya, mencari keselamatan, melewatkan malam di dalam kereta yang sempit, di tepi hutan yang gelap gulita dan banyak nyamuknya! Nasibnya sendiripun telah mengalami perubahan hebat sekali. Dia mengenang Ibunya, juga gurunya. Sukar dia membayangkan bagaimana keadaan mereka, apa yang mereka lakukan semenjak dia meninggalkan mereka. Dia merasa amat kasihan kepada Ibunya, akan tetapi belum juga dia dapat mengerti mengapa Ibunya mau saja diperisteri musuh besar yang dulu membunuh Ayahnya! Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan tempat itu telah dikepung oleh banyak sekali orang yang semua memegang senjata tajam. Ada yang memegang golok, pedang, ruyung atau tombak dan sikap mereka itu kasar-kasar.

"Bunuh keluarga Kaisar Mancu!"

"Permaisuri untuk aku, ha-ha!"

"Barang-barangnya tentu banyak!"

"Bunuh semua anjing-anjing pengawalnya!" Dari ucapan dan melihat sikap mereka, mudah diduga bahwa mereka itu adalah segerombolan perampok yang jumlahnya banyak, sedikitnya ada lima puluh orang! Memang pada waktu itu, banyak gerombolan perampok yang menamakn diri mereka pejuang dan menentang pemerintah Mancu. Akan tetapi tujuan mereka sesungguhnya bukan demi memebela kepentingan rakyat, melainkan kepentingan diri pribadi. Dengan menamakan diri "pejuang" penentang penjajah, mereka dapat mengangkat diri, bukan seperti gerombolan perampok!

Mereka mendengar bahwa keluarga Kaisar melarikan diri dari kotaraja dan mereka dapat menduga bahwa keluarga Kaisar melarikan diri itu tentu membawa banyak sekali barang berharga, juga puteri-puteri cantik jelita! Karena itu, malam itu mereka nekat menyerbu. mereka bukanlah gerombolan perampok biasa, kalau demikian halnya tak mungkin mereka berani menyerang keluarga Kaisar yang dilindungi pasukan pengawal. Mereka itu dipimpin oleh Yan-san Ngo-coa (Lima Ular Gunung Yan), lima orang kakak beradik seperguruan yang terkenal sekali sebagai perampok yang malang melintang di sebelah utara kotaraja Peking, memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan mereka telah berhasil menghimpun anak buah mereka yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Para perajurit tentu saja terkejut bukan main. Mereka masih lelah dan kini diserbu secara tiba-tiba, di malam gelap yang hanya diterangi oleh beberapa buah api unggun di sana-sini.

"Kurung kereta dan pertahankan! Jangan pergunakan senapan, lindungi Kaisar dengan golok!" bentak komandan pasukan yang merasa khawatir kalau anak buahnya menggunakan senapan. Selain akan terlambat karena perampok sudah menyerbu, juga peluru bisa kesasar mengenai teman sendiri. Terjadilah pertempuran hebat dan segera terdengar suara senjata tajam saling beradu, menimbulkan suara nyaring mengerikan. Apalagi para perampok itu banyak yang mengeluarkan suara ketawa mengejek, menyerankan dan memang segera dapat dilihat bahwa dalam adu senjata tajam, para pengawal itu agaknya bukanlah tandingan para anggauta perampok.

"Keparat, perampok busuk!" Han Le memaki dan diapun cepat menerjang ke arah para perampok. Terjangan Han Le hebat sekali. Biarpun dia bertangan kosong, namun setiap kali tangannya menampar, tentu ada seorang anggauta perampok yang berteriak dan terguling roboh. Akan tetapi, para perajurit pengawal juga terdesak hebat dan banyak di antara mereka yang roboh sehingga Han Le terpaksa harus berloncatan ke sana-sini untuk membantu perajurit yang kewalahan. Han Le teringat akan keselamatan keluarga Kaisar yang berada di dalam kereta. Yang terpenting harus melindungi mereka, pikirnya dan diapun mulai membuka jalan menghampiri kereta yang oleh pasukan pengawal secara mati-matian coba dipertahankan. Akan tetapi agaknya para perampok lebih kuat dan mereka mulai mendekati kereta sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak.

Pintu kereta-kereta itu tertutup rapat dan Han Le dapat membayangkan betapa panik dan takutnya keluarga Kaisar yang berada di dalam kereta-kereta itu. Hatinya merasa lega melihat bahwa tiga buah kereta itu belum terjamah oleh para perampok, akan tetapi diapun dapat melihat betapa akan repotnya kalau dia sendiri harus melindungi tiga kereta itu yang dapat diserang dari semua jurusan. ketika telah tiba dekat, dia terkejut dan tertarik sekali melihat perkelahian hebat yang terjadi di dekat kereta antara seorang gadis melawan pengeroyokan lima orang perampok yang memiliki gerakan lihai bukan main. Lima orang perampok ini masing-masing memegang sepasang golok besar, sedangkan gadis itu, yang melihat bentuk tubuhnya, hanya seorang gadis remaja, memegang sebatang pedang tipis.

Akan tetapi, Han Le merasa kagum bukan main melihat cara gadis itu menggerakkan pedang melawan para pengeroyoknya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata tertimpa sinar api unggun yang masih bernyala terang tak jauh dari situ. Siapakah gadis lihai ini, pikirnya, dan kenapa tadi tidak nampak? Dan siapa pula lima orang perampok yang lihai itu? Dia tidak sempat menyelidiki untuk menjawab kedua pertanyaan itu, melainkan cepat turun tangan, terjun ke dalam perkelahian karena bagaimanapun lihainya, gadis itu agaknya mulai kewalahan juga menghadapi pengeroyokan lima orang yang merupakan lawan tangguh. Sepuluh gulung sinar golok itu mulai menekan dan mengepung dan gadis itu terpaksa harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan ancaman bacokan golok.

"Penjahat-penjahat curang!" bentak Han Le dan diapun menerjang masuk sambil memainkan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang gerakannya cepat, berubah-ubah dan amat kuat itu. Apalagi dia telah melindungi kedua lengannya dengan kekebalan sehingga kalau perlu dia berani menangkis golok lawan dengan lengan tanpa khawatir lengannya akan terluka. Begitu dia menyerbu masuk, buyarlah kepungan terhadap gadis itu, karena tamparan tangan dan tendangan kaki Han Le sedemikian cepat dan kuatnya sehingga lima orang perampok itu terkejut sekali karena hampir saja menjadi korban pukulan dan tendangan, mereka mencelat mundur dan kini maju lagi terpecah menjadi dua. Dua orang mengeroyok gadis remaja itu, sedangkan yang tiga lagi mengeroyok Han Le yang bertangan kosong.


JILID 15

Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi. Setelah kini hanya dikeroyok oleh dua orang lawan, pedang gadis itu mulai beraksi, menyambar-nyambar dengan cepat, indah dan kuatnya sehingga dalam waktu belasan jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang memegang empat batang golok itu menjadi terdesak hebat dan mereka lebih banyak memutar golok melindungi diri dari sambaran sinar pedang yang demikian lihainya. Han Le maklum bahwa tiga orang pengeroyoknya tidak boleh disamakan dengan para anggauta perampok lainnya yang telah dilawan dan dirobohkannya tadi. Mereka bertiga itu bermain golok dengan baik sekali, dan tiga orang itu membentuk semacam barisan segitiga yang saling bantu dan rapi sekali.

Tahulah dia bahwa mereka ini bukan orang sembarangan dan agaknya menjadi pemimpin gerombolan perampok itu. Memang duagaannya benar. Dua orang yang mengeroyok gadis itu dan kini bersama tiga orang yang mengeroyoknya, adalah Yan-san Ngo-coa sendiri, yang memimpin gerombolan perampok terdiri dari lima puluh orang itu. Karena merasa yakin bahwa orang-orang mereka tentu akan dapat menang dan menumpas para perajurit pengawal yang jumlahnya lebih kecil dan kelihatan sudah lelah dan lemah, Yan-san Ngo-coa lalu menerjang masuk dan menghampiri tiga buah kereta untuk menyerbu keluarga Kaisar dan berpesta pora dengan mereka dan harta mereka.

Akan tetapi, terdengar bentakan nyaring dan entah darimana datangnya, tiba-tiba saja sudah muncul gadis remaja itu yang memutar sebatang pedang tipis menahan mereka! Mula-mula Yan-san Ngo-coa memandang rendah dan seorang di antara mereka maju untuk menangkap gadis itu, bukan untuk membunuhnya melainkan untuk menangkapnya karena gadis remaja itu cantik manis dan tentu saja mereka merasa sayang untuk membunuhnya. Akan tetapi hampir saja yang seorang itu celaka karena pedang gadis itu ternyata lihai bukan main. Seorang lagi maju, tetap saja terdesak sehingga akhirnya mereka berlima maju semua mengeroyok dan pada saat gadis itu terdesak, mucul Han Le membantu. Siapakah gadis remaja yang lihai itu? Tidak mengherankan kalau gadis remaja itu lihai, karena ia adalah puteri tunggal dari Yu Kiang dan Ceng Hiang!

Ayah gadis itu, Yu Kiang, adalah seorang bangsawan tinggi yang ahli dalam hal sastera, akan tetapi dapat dikata tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi isterinya, Ceng Hiang, adalah seorang puteri pangeran yang memiliki ilmu silat hebat! Sebagai puteri pangeran yang menjadi keluarga kerajaan, Ceng Hiang beruntung sekali mewarisi ilmu-ilmu silat yang istimewa, yaitu beberapa ilmu silat tinggi peninggalan keluarga Pendekar Pulau Es! Dan lebih dari itu, secara kebetulan sekali ia menemukan sebuah kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang bernama Pek-seng Sin-pouw, yang mengajarkan langkah-langkah ajaib. Karena Ibunya seorang ahli silat tingkat tinggi, tidaklah mengherankan kalau gadis remaja yang menjadi puteri tunggal itu mewarisi ilmu silat yang lihai dari Ibunya. Gadis itu bernama Yu Bwee, berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan memiliki bakat yang amat baik.

Biarpun masih berdarah bangsawan dan dekat dengan keluarga kerajaan, namun sejak dahulu keluarga Yu Kiang dan Ceng Hiang tidak setuju dengan sikap Kaisar Hsian Feng yang amat lemah dan yang tidak memperhatikan urusan pemerintahan sehingga kebanyakan di antara pejabat pemerintah merupakan orang-orang korup yang menindas kehidupan rakyat. Bahkan diam-diam keluarga ini menaruh penghargaan kepada para pejuang yang berjuang untuk memebebaskan rakyat dari penindasan kaum penjajah. Akan tetapi, tentu saja merekapun tidak mau menjadi pengkhianat, tidak mau mengkhianati kerajaan dan walaupun mereka tidak langsung membantu pemerintah, namun mereka masih mempunyai perasaan setia terhadap kerajaan dan tidak mau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pemerintah.

Ayah Ceng Hiang, yaitu Pangeran Tiu Ong, juga hanya mau menjabat kedudukan sebagai pengurus perpustakaan istana dan sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemerintahan, apalagi yang menyangkut urusan rakyat. Bahkan Yu Kiang sendiripun tidak mau menjabat kedudukan, melainkan hanya menjadi seorang guru besar sastera saja. Ketika terjadi penyerbuan orang kulit putih ke kotaraja, tentu saja Ceng Hiang tidak mau tinggal diam. Ia mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk membantu para perwira mempertahankan kota, dan suaminya, Yu Kiang, juga sibuk membantu pertahanan kotaraja dengan siasat perang yang kesemuanya sia-sia belaka karena pihak musuh jauh lebih kuat perrsenjataannya. Yu Kiang merupakan seorang di antara mereka yang membujuk Kaisar agar suka pergi melarikan diri dan mengungsi ke Yehol bersama keluarganya. Ceng Hiang lalu mengutus puterinya, Yu Bwee, untuk menyusul dan kalau perlu melindungi Kaisar.

"Anakku, Yu Bwee, sekaranglah tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaian yang selama ini kuajarkan kepadamu. Kejarlah rombongan Sri Baginda ke Yehol dan lindungilah keluarga itu dalam perjalanan sampai ke Yehol. Engkau tinggallah di sana untuk sementara waktu, melindungi keluarga Sri Baginda Kaisar sampai aku datang menyusul ke sana."

Demikianlah pesan Ceng Hiang kepada puterinya. Sebetulnya, bukan hanya karena ingin agar puterinya bersetia dan membela keluarga Kaisar saja maka Ceng Hiang menyuruh puterinya yang masih muda itu melakukan pekerjaan berbahaya itu, juga karena ia ingin menyingkirkan puterinya dari kotaraja! Puteri bangsawan yang lihai ini maklum bahwa kotaraja tidak dapat dipertahankan lagi dan sebagai kota yang kalah dan diduduki musuh, tentu kota itu akan mengalami kekacauan, akan dirampok dan mungkin dibakar, dan amat berbahaya bagi para wanita, terutama yang muda dan cantik, untuk tetap tinggal di sebuah kota yang diduduki musuh. Inilah sebabnya mengapa ia ingin agar puterinya itu tidak berada di kotaraja apabila kota itu terjatuh ke tangan pasukan kulit putih.

Yu Bwee menunggang kuda dan melakukan pengejaran. Baru malam itu ia berhasil menyusul rombongan Kaisar yang tiba di tepi hutan, dan tepat sekali ketika ia tiba di situ, rombongan pengungsi itu sedang dikepung perampok. Ia segera meloncat turun, mencabut pedangnya dan menyerbu, melindungi tiga buah kereta dari serbuan lima orang pimpinan perampok itu sampai muncul Han Le yang membantunya. Setelah menghadapi dua orang pengeroyok saja, Yu Bwee yang merasa lega karena tiba-tiba muncul bantuan yang demikian lihai, mempercepat gerakan pedangnya. Dua orang itu payah mencoba untuk mendesaknya, karena gerakan kaki gadis itu melangkah secara aneh dan selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran empat batang golok itu.

Gadis ini ternyata telah menggunakan Langkah Ajaib Pek-seng Sin-pouw yang dipelajarinya dari Ibunya. Tubuhnya menjadi ringan sekali dan tubuh itu kadang-kadang dapat berputar sedemikan rupa sehingga semua bacokan dan tusukan hanya mengenai tempat kosong belaka walaupun tadinya kelihatan sudah tepat pada sasarannya. Dan sebagai balasan, pedang ditangan gadis itu menyambar-nyambar dengan cepatnya. Akhirnya, dua orang itu tak mungkin dapat menghindar lagi ketika dengan kecepatan kilat, setelah kaki kirinya berhasil menendang roboh seorang pengeroyok, pedang di tangan Yu Bwee menyambar dan merobohkan orang kedua dengan sabetan yang mengenai leher, kemudan dilanjutkan dengan tusukan yang mengenai dada orang pertama yang roboh oleh tendangannya.

Ketika Yu Bwee mengangkat muka menendang ke kanan untuk membantu orang berpakaian putih yang tadi menolongnya, ternyata orang itupun sudah selesai dengan merobohkan tiga orang pengeroyoknya, hanya dengan tangan kosong saja! Orang ketiga baru saja dirobohkannya dengan sebuah tamparan keras, hampir berbareng dengan robohnya dua orang pengeroyoknya. Yu Bwee memandang kagum. Ia sendiri hanya dapat memenangkan pengeroyokan dua orang dengan sebatang pedang di tangan, akan tetapi pemuda berpakaian serba putih itu merobohkan tiga orang pengeroyok dengan tangan kosong saja! Para perampok menjadi terkejut bukan main ketika melihat robohnya lima orang pemimpin mereka.

Terbanglah nyali mereka melihat ini, maka ketika Yu Bwee dan Han Le seperti orang berlumba menerjang para perampok yang berani mendekat, merekapun menjadi panik dan larilah sisa para perampok itu ke dalam hutan! Sekali ini kerugian yang diderita pasukan pengawal amat parah, lebih dari setengah jumlah mereka roboh dan sisanya hanya tinggal dua puluh orang lebih saja. Yu Bwee sendiri cepat menghadap Kaisar dan dua orang permaisurinya. Kaisar masih lemah dan sakit, maka Yu Bwee hanya dapat menghadap permaisuri Cu An dan permaisuri Cu Si saja. Dua orang permaisuri itu tadi melihat sepak terjang Yu Bwee dan mereka kagum, juga senang sekali, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Baru setelah Yu Bwee memperkenalkan diri sebagai puteri guru sastera Yu Kiang dan cucu dari Pangeran Ceng Tiu Ong, dua orang permaisuri itu girang dan Cu An berkata halus.

"Yu Bwee, engkau naiklah ke dalam kereta ini dan temanilah kami. Dengan adanya engkau di samping kami, baru kami merasa aman." Cu Si juga membenarkan permintaan ini dan terpaksa walaupun hatinya tidak merasa suka, Yu Bwee tinggal di dalam kereta menemani dan menjaga mereka. Melihat keadaan para pasukan pengawal, han Le merasa khawatir sekali. kalau terjadi serangan lagi, tentu akan berbahaya keadaan mereka. di Yehol memang ada pasukan besar, akan tetapi karena kekacauan itu, agaknya tidak ada hubungan kepada pemimpin mereka sehingga mereka itu hanya menjaga dan menanti di yehol. han Le lalu menemui komandan dan pasukan pengawal yang juga sudah terluka pangkal lengan kirinya yang kini dibalut.

"Ciangkun, sebaiknya kalau pejalanan dilanjutkan saja agar cepat dapat tiba di Yehol sebelum ada serangan lain dari musuh." Komandan merasa setuju, dan enam orang disuruh menyalakan obor besar sebagai penunjuk jalan yang kini dijalankan lagi melalui jalan-jalan yang rusak, becek bahkan berlumpur. Biarpun amat sukar perjalanan itu, namun akhirnya sampai juga mereka ke perbatasan Yehol dan disambut oleh pasukan penjaga.

Selamatlah keluarga Kaisar sampai di tempat tujuan dan tentu saja keluarga itu amat bersyukur dan berterima kasih kepada Gan Han Le dan juga kepada Yu Bwee karena dua orang muda gagah perkasa inilah yang telah menyelamatkan perjalanan keluarga Kaisar setelah pasukan pengawal terancam oleh musuh yang hampir saja mencelakakan keluarga besar itu. Yu Bwee yang masih berdarah bangsawan kerajaan itu segera digandeng dan diajak masuk ke dalam istana Yehol oleh permaisuri Cu An, sedangkan Han Le cepat dipesan oleh Cu Si untuk masuk dan menghadapnya. Sebenarnya Han Le tidak bermaksud untuk lama tinggal di Yehol. Setelah keluarga Kaisar dapat dengan selamat mencapai Yehol, dia merasa bahwa kewajibannya selesai dan dia ingin pergi saja. Akan tetapi, komandan yang menemuinya mengatakan bahwa itu adalah perintah permaisuri dan siapapun tidak dapat menentang atau membangkang terhadap perintah permaisuri.

Pemuda itu dapat ditangkap dengan tuduhan melawan permaisuri kalau tidak mau menghadap. Karena tidak ingin mendatangkan keributan, Han Le terpaksa masuk ke dalam taman yang luas dari istana itu di mana dia diharuskan pergi menghadap permaisuri kedua itu. Ruangan di tepi taman itu indah bukan main. Lantainya dari marmer biru dan perabot-perabot rungan itu serba indah, Tirai-tirai Sutera beraneka warna membuat suasana di ruangan itu semakin cerah. Bunga-bunga di taman menyiarkan keharuman sampai ke dalam ruangan, ditambah lagi dengan bau dupa harum membuat Han Le seolah-olah memasuki ruangan di kahyangan, merasa seperti mimpi karena selama hidupnya belum pernah dia melihat tempat seindah dan semewah itu. Akan tetapi, sunyi saja di tempat indah itu ketika dia bersama komandan memasukinya. Ketika mereka masuk ruangan, yang nampak hanyalah permaisuri kedua Cu Si bersama tiga orang dayang.

Nampak beberapa orang pengawal yang berjaga di luar ruangan. Ketika komandan itu datang bersama Han Le, mereka disambut oleh seorang thaikam yang bermuka buruk yang bukan lain adalah Li Lian Ying, thaikam (manusia kebiri) yang menjadi kepercayan Cu Si. Thaikam inilah yang membawa mereka menghadap majikannya dan melihat mereka muncul, Cu Si bangkit berdiri dari tempat duduknya, dengan mata bersinar dan wajah berseri ia memandang kepada Han Le. Komandan itu mengajak Han Le untuk menghadap sambil berlutut, dan terdengar Li Lian Ying melaporkan bahwa komandan telah datang membawa pemuda Gan Han Le seperti yang diperintahkan permaisuri itu. Cu Si tersenyum, jantungnya berdebar tegang dan gembira melihat pemuda yang membuatnya tergila-gila itu.

"Terima kasih, Ciangkun," katanya kepada komandan pasukan pengawal,

"Engkau boleh pergi sekarang." Komandan itu mengundurkan diri, meninggalkan Han Le bersama thaikam buruk rupa itu yang masih menghadap permaisuri. Cu Si memberi isyarat kepada Li Lian Ying dan tiga orang dayang yang tanpa berkata-kata lagi lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam. Kini tinggallah Han Le berdua saja dengan Cu Si. Setelah tidak ada orang lain di situ kecuali para pengawal yang berjaga di luar ruangan itu seperti patung, menghadap keluar.

Kembali Cu Si tersenyum melihat pemuda itu masih berlutut sambil menundukkan mukanya. Betapa tampannya pemuda ini, pikirnya. Tampan dan gagah perkasa! Berbeda jauh dengan Kaisar yang lemah dan sakit-sakitan itu. Bahkan perjalanan melarikan diri itupun telah membuat Kaisar jatuh sakit. Han Le sendiri mengerutkan alis ketika menundukkan mukanya. Dia melihat betapa semua orang pergi, tinggal dia sendiri yang belum disuruh mundur oleh permaisuri dan dia merasa tidak enak sekali. Tidak wajar ini, pikirnya dan dia mengharapkan permaisuri itu akan segera menyelesaikan urusannya dan menyuruhnya pergi. Suara wanita itu demikian halus merdu dan penuh wibawa ketika menyuruh komandan tadi pergi. Tiba-tiba terdengar suara itu lagi, merdu dan halus.

"Pendekar muda yang perkasa, siapakah namamu?" Tanpa mengangkat muka, Han Le menjawab,

"Nama hamba Gan Han Le."

"Gan Han Le, bangkitlah dan duduklah di kursi depanku ini, agar lebih enak kita bicara dan angkatlah mukamu agar aku dapat melihat wajahmu." Berdebar keras rasa jantung Han Le mendengar perintah yang dikeluarkan dengan suara lembut ini. Dia meragu, akan tetapi tidak berani membantah dan diapun bangkit dan duduk berhadapan dengan permaisuri itu, lalu mengangkat mukanya. Cantik sekali wanita di depannya itu, masih muda dan memiliki pandang mata tajam menantang. Bibirnya yang tipis merah itu mengulum senyum. melihat betapa mulut dan mata itu seperti hendak melumatnya, Han Le cepat menundukkan lagi mukanya. Diam-diam Cu Si tersenyum lebar dan berahinya semakin berkobar. Kini, Cu An dan para keluarga sedang sibuk mengurusi Kaisar yang jatuh sakit, bahkan tadi sampai pingsan.

Semua orang sibuk di dalam sehingga ia memperoleh kesempatan baik untuk berbuat apa saja di situ tanpa ada yang tahu. Ia tadi hanya mengatakan kepada Cu An bahwa ia hendak memberi hadiah kepada pendekar baju putih yang telah menyelamatkan rombongan keluarga Kaisar di tengah jalan dan tentu saja alasannya yang amat kuat ini menjauhkan kecurigaan siapapun juga. Melihat wajah Han Le ketika memandangnya tadi, hampir tidak kuat ia menahan gairah hatinya. Kalau menurutkan dorongan gairahnya, ingin ia segera menubruk dan merebahkan dirinya di dalam pelukan pemuda yang ganteng itu. Akan tetapi tentu saja ia menahan diri karena mereka berada di ruangan terbuka, dan walaupun di situ tidak ada orang lain kecuali para pengawal yang berjaga seperti patung, akan tetapi tempat itu mudah dilihat orang dari luar.

"Han Le...," suaranya sudah menjadi lain, seperti bisikan, seperti rintihan,

"Kami sekeluarga amat berterima kasih kepadamu..." ia berhenti sebentar untuk menekan guncangan hatinya,

"...dan aku ingin memberi hadiah kepadamu sebagai tanda terima kasih..."

"Hamba mohon Paduka tidak usah repot memeikirkan hal itu, karena hamba melakukannya sebagai suatu kewajiban..."

"Biarpun demikian, kami berhutang budi dan nyawa kepadamu, Han Le. Marilah, kau mengikuti aku ke dalam untuk menerima hadiah itu." Ia bangkit dengan tergesa-gesa dan meninggalkan kursinya. Biarpun hatinya penuh keraguan dan kekhawatiran, namun melihat permaisuri yang telah mengeluarkan perintah itu melangkah masuk, mau tidak mau Han Le juga bangkit berdiri dan mengikuti dari belakang. Nampak olehnya betapa sepasang bukit pinggul itu menari-nari ketika kedua kaki yang kecil itu berlenggang di depannya, pinggang yang ramping itu meliuk ke kanan kiri demikian indahnya.

Makin tegang rasa hati Han Le ketika permaisuri itu mengajaknya memasuki sebuah kamar! Dan dua orang dayang yang tadinya membersihkan kamar itu, segera keluar dan pergi setelah mendapat isyarat dari sang permaisuri. Begitu mereka masuk ke dalam kamar, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Cu Si lalu menutupkan tirai tebal yang menutup pintu kamar! Dan sebelum Han Le dapat menenangkan perasaannya yang terguncang, tiba-tiba saja permaisuri itu membalik dan menghadapinya, dekat sekali, lalu tiba-tiba kedua lengan yang kecil halus itu melingkari lehernya seperti dua ekor ular dan hidungnya mencium keharuman yang keluar dari dada dan rambut permaisuri itu.

"Han Le, pondonglah aku ke pembaringan itu, cintailah aku dan engkau akan kuberi hadiah apa saja yang kau inginkan..." bisik permaisuri itu dengan suara gemetar karena gejolak berahinya. Tentu saja Han Le terkejut bukan main. hal ini sama sekali tak pernah disangkanya! hatinya memberontak dan kalau saja dia tidak menguasai perasaannya yang terguncang hebat, tentu dia telah menggerakkan tangan memukul wanita itu! Akan tetapi, untung bahwa dia masih ingat bahwa wanita itu adalah permaisuri dan akan terjadi geger kalau sampai dia membunuhnya. maka, dengan lembut dia melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur.

"Tidak! Paduka tidak boleh begitu. Hamba pergi sekarang!" tanpa menanti jawaban diapun melompat keluar dari dalam kamar itu dengan langkah lebar dan cepat diapun keluar dari bagian istana di samping dekat taman itu. Sejenak Cu Si tertegun. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu akan menolaknya! Bagaimana seorang laki-laki berani menolaknya? Wajahnya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali melihat betapa pemuda itu keluar dengan cepat. Ia lalu bertepuk tangan dan isyarat itu mengundang datangnya lima orang pengawal yang berada paling dekat.

"Kejar orang muda itu, tangkap dia!" bentaknya. Lima orang pengawal itu berserabutan keluar untuk melakukan pengejaran, akan tetapi di dalam hati mereka amat gentar. Sudah mereka ketahui betapa pemuda itu dengan gagah beraninya telah menggagalkan usaha banyak perampok yang menghadang pelarian keluarga Kaisar! Menurut berita yang mereka dengar dari sisa para perajurit pengawal, pemuda itu memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, dan sekarang mereka diutus untuk menangkap pemuda lihai itu! Sementara itu, dengan menahan tangisnya, Cu Si memanggil Li Lian Ying yang merasa heran melihat majikannya duduk lesu dan mata basah air mata.

"Jahanam itu berani menolakku dan agaknya para pengawal jerih untuk menangkapnya. Aih, hatiku sakit hati sekali, Lian Ying!" Cu Si membanting-banting kakinya yang kecil di atas lantai.

"Sungguh kurang ajar sekali, berani dia menolak Paduka!" Li Lian Ying juga berseru sambil mengepal tinju.

"Tentu saja para perajurit yang tolol itu takut kepadanya karena memang dia lihai. Akan tetapi ada satu orang yang akan berani melawannya, agaknya Paduka lupa kepada nona Yu Bwee. Kalau mengutus nona Yu Bwee yang mengejar, tentu orang itu akan dapat ditangkap dan diseret kembali menerima hukuman"

"Aih, engkau benar, Lian Ying. Kenapa aku melupakan gadis itu? Panggil ia ke sini!" Li Lian Ying lari ke dalam istana dan tak lama kemudian, Yu Bwee sudah menghadap permaisuri kedua itu.

"Yu Bwee, pemuda bernama Gan Han Le yang membantu kami di perjalanan itu, setelah tiba di sini berani sekali kurang ajar kepadaku! Kini dia melarikan diri dan kiranya hanya engkau sajalah yang akan mampu mengejar dan menangkapnya! Tangkap dia dan seret di ke sini agar kami dapat memberi hukuman atas kekurang-aj arannya!" Yu Bwee merasa heran dan terkejut, akan tetapi tidak berani mendesak untuk bertanya kekurang-ajaran yang bagaimana telah dilakukan pemuda itu. Ia menyanggupi lalu keluar dari istana, menerima petunjuk para penjaga ke arah mana larinya pemuda berpakaian putih itu dan iapun melakukan pengejaran dengan cepat. Setelah Yu Bwee berangkat, Cu Si masih merasa gelisah. ia ingin menangkap Han Le, bukan hanya karena merasa malu dan sakit hati ditolak pemuda itu, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda itu akan bercerita di luaran akan rayuannya yang gagal. Karena itu Han Le harus dapat ditangkap, harus dibunuh!

Munculnya seorang dayang yang melapor sambil menangis bahwa keadaan Kaisar menjadi semakin parah, membuyarkan lamunan Cu Si dan iapun bergegas masuk ke dalam istana, menuju ke kamar di mana Kaisar menderita sakit parah, dirubung oleh para selir dan dayang dan ditangisi oleh Cu An,permaisuri pertamanya. Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Yu Bwee akhirnya dapat menyusul Han Le setelah matahari condong ke barat. Pemuda itu sedang mendaki lereng sebuah bukit dan nampak dari jauh oleh Yu Bwee karena pakaiannya yang serba putih itu mudah dilihat dari jauh. Gadis inipun cepat berlari mendaki bukit dan akhirnya dapat menyusul di puncak bukit yang memiliki tanah datar penuh rumput hijau.

"Sobat yang berada di depan, perlahan dulu!" Yu Bwee berteriak dari belakang dan Han Le menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuh. Dia tersenyum mengejek karena sejak tadi diapun tahu bahwa ada orang berlari cepat mendaki bukit, agaknya hendak mengejarnya. Akan tetapi di balik senyumnya, diapun merasa heran mendapat kenyataan bahwa yag mengejarnya adalah gadis perkasa yang pernah membantunya melindungi keluarga Kaisar, gadis yang amat lihai permainan pedangnya itu!

"Ah, kiranya engkau yang melakukan pengejaran, nona. Kita tidak saling kenal dan tidak mempunyai urusan, oleh karena itu, apakah kepentingan yang mendorongmu untuk mengejarku?" Dua pasang mata bertemu dan sejenak, mereka saling berpandangan, penuh selidik. Pemuda ini sungguh tampan, dengan mata yang agak membiru sehingga nampak aneh, pikir Yu Bwee. Ia masih belum mengerti apa yang telah dilakukan pemuda ini maka permaisuri demikian marahnya, mengatakannya kurang ajar dan ingin menghukumnya. Kurang ajar sikapnya, ataukah... hanya ada semacam kekurang- ajaran seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, apalagi kalau perempuan itu demikian cantik jelita dan menarik seperti permaisuri Cu Si!

"Bukankah engkau yang pernah melindungi keluarga Kaisar, dan baru pagi tadi meninggalkan istana Yehol?" tanya Yu Bwee, ingin kepastian.

"Benar, dan engkau adalah gadis berpedang yang ikut pula melindungi keluarga Kaisar," jawab Han Le.

"Aku diutus oleh Permaisuri Cu Si untuk menangkapmu dan membawamu kembali ke istana! Karena itu, menyerahlah dengan baik daripada aku harus mempergunakan kekerasan!" kata Yu Bwee, tidak ingin mencampuri urusan antara pemuda itu dengan permaisuri, juga tidak ingin tahu. Tugasnya hanyalah menangkap dan habis perkara. Han Le mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya dia merasa marah bukan main. Permaisuri yang tak tahu malu itu kini bukan sadar dan menyesal akan kelakuannya yang hina dan tidak pantas, malah menyuruh orang untuk menangkapnya! Dan mengapa gadis yang gagah perkasa ini mau saja diperintah untuk menangkapnya? Dan tiba-tiba dia merasa jantungnya seperti ditikam oleh kekecewaan. Apakah gadis yang dikaguminya ini juga seorang wanita semacam permaisuri itu? Alangkah sayangnya kalau benar begitu.

"Nanti dulu, nona. Aku akan mau saja ditangkap dan tidak akan melawan kalau aku mengetahui mengapa aku kau tangkap, dan apa kesalahanku maka engkau mengejarku untuk menangkap." Yu Bwee memandang dengan tajam.

"Permaisuri kedua memerintahku untuk mengejar dan menangkapmu, membawamu kembali ke istana karena engkau telah berani kurang ajar kepada beliau!" Makin mengkal rasa hati Han Le mendengar tuduhan ini. Jelas bahwa permaisuri yang tak tahu malu itu telah memutarbalikkan kenyataan, atau jangan-jangan gadis ini memang jahat seperti majikannya dan menganggap bahwa penolakannya terhadap ajakan permaisuri itu merupakan kekurang-ajaran.

"Nona, tahukah engkau apa yang telah terjadi antara aku dan sang permaisuri?" Wajah Yu Bwee berubah merah dan ia memandang marah,

"Aku tidak tahu dan tidak perduli apa urusannya! Pendeknya, tugasku hanyalah menangkapmu dan habis perkara!" Mendengar ini, legalah hati Han Le. Kalau begitu, gadis ni memang tidak tahu dan bukan membela permaisuri yang jahat, melainkan hanya melaksanakan perintah saja tanpa mengetahui sebabnya.

"Nona, aku melihat bahwa engkau adalah seorang gadis perkasa, seorang pendekar yang tentu akan dapat mempertimbangkan dengan adil setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Nah, aku akan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi dan kemudian terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan. Maukah engkau mendengar keteranganku?" Sejak semula hati Yu Bwee memang sudah tertarik dan kagum kepada pemuda berpakaian serba putih itu, dan iapun dapat menduga bahwa pemuda itu seorang pendekar yang berilmu tinggi. Dan sebagai puteri seorang bangsawan yang sejak kecil tinggal di kotaraja, tentu saja iapun pernah mendengar celotehan orang tentang Yehonala, selir Kaisar yang kini setelah melahirkan seorang putera lalu diangkat menjadi permaisuri kedua Cu Si. Ia pernah mendengar kabar yang buruk tentang permaisuri ini, oleh karena itu, mendengar kata-kata Han Le, ia menjadi bimbang, tidak menjawab, tidak mengangguk akan tetapi juga tidak menggeleng, hanya menanti.

"Sesungguhnya beginilah peristiwanya, nona. Ketika menyelamatkan rombongan dari ancaman para perampok, keluarga Kaisar minta kepadaku untuk terus mengawal, dan hal itu kulakukan sampai mereka selamat tiba di Yehol. Ketika aku hendak meninggalkan Yehol karena tugas itu telah selesai, permaisuri kedua memanggilku menghadap. Kemudian ia menyuruh pergi semua orang, dan mengajakku ke dalam kamar dengan maksud memberi hadiah atas jasaku. Biarpun aku sama sekali tidak mengharapkan hadiah, aku tidak berani menolak dan mengikutinya masuk ke dalam kamar. Akan tetapi apa yang terjadi? Ah, sungguh memalukan sekali kalau diceritakan! Ia bersikap tidak wajar bahkan... tidak tahu malu, membujuk aku melakukan hal-hal yang tidak sopan. Aku menolak dengan marah dan aku menggunakan kekerasan untuk melarikan diri! Nah, begitulah peristiwanya dan kini tahu-tahu ia telah mengutusmu untuk mengejar, menangkap aku dan membawa kembali ke istana!" Wajah Yu Bwee menjadi merah. Sebagai seorang gadis, ia merasa malu sekali mendengar betapa permaisuri membujuk pemuda ini untuk melakukan hal yang tidak sopan. Tanpa dijelaskanpun ia dapat membayangkan apa yang dilakukan oleh permaisuri Cu Si. Hatinya menjadi bimbang dan ragu ketika ia menatap wajah pemuda itu. Sepasang mata yang warnanya seperti warna lautan itu menyinarkan kesungguhan dan kejujuran.

"Hemm, bagaimana aku bisa tahu apakah ceritamu itu benar ataukah bohong? Siapa tahu engkau memutarbalikkan kenyataan?" tanyanya dengan alis berkerut.

"Terserah kepadamu untuk percaya atau tidak, nona. Akan tetapi kalau aku memutarbalikkan kenyataan, kalau aku memiliki niat buruk itu, dengan kepandaianku, perlukah aku melarikan diri dan dapatkah sang permaisuri lolos dariku setelah aku diajaknya ke dalam kamarnya?" Kembali sepasang pipi Yu Bwee menjadi merah sekali. memang tak dapat dibantah kebenaran kata-kata pemuda ini. pemuda ini lihai sekali. Kalau memang mempunyai niat buruk terhadap permaisuri itu, apa sukarnya? Dan mengapa pula pemuda itu melarikan diri? Akan tetapi, biarpun ia mulai percaya akan kebersihan pemuda ini, ia masih belum melepaskannya. Di samping tugas yang dibawanya dari Yehol untuk menangkap pemuda ini, juga ada keinginan pribadi yang timbul, yaitu ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda yang menarik hatinya itu.

"Percaya atau tidak bagi sang permaisuri tidak ada pilihan lain. Aku harus menangkapmu!"

"Hemm, kalau engkau tidak mau melihat kenyataan dan berkukuh hendak melaksanakan perintah sang permaisuri, berarti engkau membantu yang salah, nona. Dan tentu saja akupun tidak sudi kalau harus kembali kepada siluman betina itu!"

"Tidak perlu memaki! Aku memang ingin melihat sampai di mana kelihaianmu!" Berkata demikian, Yu Bwee memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang. han Le melihat dan hatinya senang. gadis itu tidak mencabut pedang, melainkan hendak mempergunakan tangan kosong dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa gadis itu memang hanya ingin menguji kepandaian, bukan mengajak berkelahi! Walaupun dia tidak gentar andaikata gadis itu menggunakan pedang sekalipun. Akan tetapi kalau terjadi demikian, dia akan kecewa dan menyesal. Dia tidak ingin bermusuhan dengan gadis yang amat jelita ini, bahkan ingin bersahabat dengannya.

"Baiklah kalau memaksa, akupun ingin menguji kepandaianmu, nona," katanya dan baru saja dia berhenti bicara, gadis itu telah menerjangnya dengan dahsyat. Kedua tangan gadis itu mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka seperti orang mendorong, akan tetapi dari kedua telapak tangan itu timbul kekuatan dahsyat yang berhawa dingin.

"Bagus!" seru Han Le yang mengerti bahwa gadis itu sengaja mengeluarkan tenaga sinkang dan diapun ingin menguji kekuatan gadis itu dan dia menyambut kedua telapak tangan itu dengan kedua tangannya sendiri.

"Plak! Pakk!" Tubuh Yu Bwee terdorong mundur, akan tetapi dengan terkejut sekali Han Le merasakan betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam tubuhnya melalui telapak tangan yang bertemu dengan telapak tangan gadis tadi. Cepat dia mengerahkan tenaga sinkang dan membendung aliran tenaga dalam yang berhawa dingin itu agar tidak sampai melukainya. Keduanya merasa kagum, karena Yu Bwee tadi merasa betapa dorongannya bertemu dengan kekuatan seperti benteng baja yang membuat ia terdorong mundur. Yu Bwee lalu menyerang lagi, kini tubuhnya bergerak cepat, kaki tangannya mengirim serangan bertubi-tubi dan setiap serangan mengandung tenaga yang amat kuat. Diam-diam Han Le kagum bukan main,

Akan tetapi pemjiliduda ini mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Dia selalu mengalah dan jarang membalas karena memang dia tidak ingin merobohkan
gadis itu. Yu Bwee telah mewarisi ilmu dari Ibunya dan Ceng Hiang adalah seorang wanita yang beruntung sekali mewarisi ilmu- ilmu dari keturunan keluarga Para Pendekar Pulau Es! Akan tetapi, karena ia bukan keturunan langsung, maka ilmu-ilmu dari Pulau Es yang diwarisinya itu hanya merupakan sisa-sisa saja dari ilmu-ilmu aselinya. Bagikan air yang sudah mengalir jauh, tentu saja tidak dapat disamakan dengan air yang baru keluar dari sumbernya. Kepandaian yang dimilikinya dari Ibunya itu tentu saja belum ada sepuluh prosen dari ilmu-ilmu Pulau Es! Namun cukup membuat Ibunya menjadi seorang wanita yang amat lihai,

Bahkan ia sendiripun menjadi seorang gadis yang sukar dikalahkan oleh ahli silat sembarangan saja. Baru tenaga sinkang yang dipergunakannya tadi saja, yang berhawa dingin, adalah sinkang yang amat hebat, yang dinamakan Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) yang merupakan ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi tentu tidak sedahsyat aselinya. Di lain pihak, Han Le mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang menjadi murid pertama dari mendiang Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang sakti. Ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang telah dikuasainya dengan baik membuat pemuda berpakaian putih ini lihai sekali. Ketika tiba giliran Han Le untuk mengeluarkan ilmunya dan membalas, bukan dengan maksud merobohkan, hanya untuk menguji dan mendesak,

Pemuda ini kaget dan kagum ketika tubuh lawan itu selalu dapat mengelak dan gadis itu mempergunakan langkah-langkah aneh yang selalu membuat tubuhnya berada di luar jangkauan serangannya! Itulah Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang) yang dimainkan oleh Yu Bwee dari Ibunya, yang secara kebetulan menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang mengajarkan ilmu langkah ajaib itu. Mereka saling serang sampai seratus jurus dan Yu Bwee mulai berkeringat. Belum pernah ia dapat menyentuh tubuh lawan walaupun lawannya juga belum pernah dapat menyentuhnya. Yu Bwee tidak tahu bahwa sesungguhnya pemuda berpakaian putih itu selalu mengalah. Walaupun ia memiliki Pek-seng Sin-pouw, kalau Han Le menyerang dengan sepenuh kemauan, walaupun ia dapat bertahan tidak urung ia akan dapat dirobohkan oleh pemuda itu.

Han Le sudah merasa cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu dan dia merasa kagum bukan main, juga semakin tertarik, karena gadis itu selain memiliki kecantikan yang luar biasa, ternyata memiliki ilmu silat yang aneh-aneh dan lihai bukan main. Juga gadis ini bukan seorang yang ganas, buktinya biarpun tidak mampu mengalahkannya, belum juga gadis itu mau mencabut pedang. Padahal ketika menghadapi perampok, begitu terjun ia sudah mengeluarkan pedangnya dan sungguh amat berbahaya. Ketika tangan kanan Yu Bwee meluncur dan mencengkeram ke arah dadanya, Han Le sengaja memperlambat gerakan mengelak, akan tetapi diam-diam dia melindungi kulit dadanya dengan ilmu kebal Kim-ciong-ko sehingga jari-jari tangan gadis itu meleset dari kulitnya yang menjadi keras dan licin, dan yang kena dicengkeram hanyalah bajunya saja.

"Bretttt...!" baju di bagian dadanya itupun terobek selebar tangan! Keduanya melompat mundur dan Yu Bwee masih memegang kain robekan baju putih sambil tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa girang dan bangga karena bukankah dengan robeknya baju di bagian dada itu membuktikan bahwa ia lebih unggul? Han Le yang meloncat ke belakang itu lalu menjura.

"Nona, sungguh lihai sekali, aku mengaku kalah." Giranglah hati Yu Bwee. Pemuda ini meupakan lawan yang amat tangguh, dan rendah hati sehingga mudah mengaku kalah begitu saja, padahal ketika tangannya mencengkeram dada tadi, ia merasa betapa dada itu keras seperti baja dan licin sekali sehingga tangannya hanya berhasil merobek baju. Ia menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu kekebalan yang hebat. Sikap ini mendatangkan rasa suka di hatinya dan ia semakin ragu apakah ia harus memaksa pemuda ini untuk kembali ke istana.

"Sudahlah, tidak mudah mengalahkanmu. Sesungguhnya, benarkah apa yang kau ceritakan tentang sikap sang permaisuri tadi?"

"Aku Gan Han Le bukanlah orang yang suka berbohong," kata Han Le

"Namamu Gan Han Le? Aku bernama Yu Bwee..." Otomatis gadis itu memperkenalkan diri.

"Aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, nona Yu Bwee. Sungguh mengherankan sekali melihat seorang gadis berbangsa Mancu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya."

"Aku tidak sepenuhnya keturunan Mancu. Dalam darah Ayahku mengalir pula darah Han. Aku hanya seorang peranakan. Dan engkau? Kulihat engkau berbeda dengan pemuda Han yang biasa. sepasang matamiu itu..."

"Agak kebiruan?" Han Le berkata dan merasa sebal dengan dirinya sendiri.

"Memang, akupun seorang peranakan. Ayahku seorang Han aseli, akan tetapi Ibuku seorang kulit putih..."

"Ahhh...!"

"Hemm, engkau heran dan...memandang rendah? Tidak aneh karena semua orang membenci orang kulit putih, akan tetapi biarpun ia seorang wanita kulit putih, Ibuku bijaksana dan membantu perjuangan rakyat, Ayahku yang sudah tiada juga seorang pendekar dan pahlawan rakyat pejuang..."

"Aih, kalau begitu benar! Ayahmu tentu Gan Seng Bu!" Han Le terkejut. Tadi dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu terkejut bukan karena mendengar Ibunya berkulit putih, melainkan terkejut karena agaknya dapat menduga siapa adanya Ayahnya yang menikah dengan wanita kulit putih. Rasa bangga menyelinap di dalam hatinya.

"Engkau mengenal Ayahku?" Yu Bwee menggeleng kepala.

"Tidak mengenal orangnya, hanya mendengar namanya dari cerita Ibu. Ibupun, walaupun puteri seorang pangeran Mancu, amat akrab dengan para pendekar pejuang dan sering bercerita tentang para pendekar sehingga ketika engkau mengatakan bahwa Ibumu seorang kulit putih, aku teringat akan pendekar Gan Seng Bu yang menikah dengan wanita kulit putih." Yu Bwee berhenti sebentar dan mereka kini saling pandang, dengan sinar mata lain, penuh kagum.

"Aku tahu bahwa Ayahmu telah gugur, akan tetapi di mana Ibumu?" Pertanyaan ini bagaikan sebatang pedang menusuk jantungnya. Han Le menjadi agak pucat dan diapun menarik napas panjang, teringat betapa Ibunya telah menjadi isteri Koan Jit, musuh besar yang telah membunuh Ayahnya! Ibunya telah berkhianat.

"Ibu juga sudah meninggal dunia," jawabnya singkat.

"Ah, kasihan sekali engkau, Han Le. Sekarang, setelah mengenal siapa adanya dirimu, aku percaya padamu. Memang, sudah banyak kabar desas-desus yang kudengar tentang permaisuri kedua itu. Biarlah, akan kukatakan bahwa aku tidak berhasil menyusulmu."

"Terima kasih, Yu Bwee, aku tahu bahwa engkau memang baik sekali dan seorang gadis berjiwa pendekar yang gagah perkasa." Yu Bwee memandang robekan kain putih yang masih berada di tangannya dan sadar bahwa sejak tadi ia memeganginya, ia lalu melepaskannya sehingga kain putih itu melayang jatuh ke atas tanah, dan iapun memandang ke arah baju di bagian dada berlubang itu.

"Maafkan, aku tadi telah merobek bajumu..." katanya.

"Tidak mengapa, Yu Bwee, masih untung bahwa engkau hanya merobek baju, bukan kulit dagingku." Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan,

"Gan Han Le, menyerahlah sebelum kami terpaksa menembakmu! Menyerah untuk menjadi tawanan kami!" dan tiba-tiba saja muncul dari balik semak-semak dua orang perwira tentara kerajaan yang menodongkan dua buah senapan ke arah Han Le!

"Nona Yu, minggirlah dan jauhi pemuda itu!" kata orang kedua. Yu Bwee mengenal mereka sebagai dua orang perwira pengawal yang tentu diutus pula oleh permaisuri Cu Si untuk melakukan pengejaran dan mereka membawa senjata senapan! Sungguh berbahaya, pikir Yu Bwee. Ia sudah tahu akan hebatnya senjata api itu, yang dalam jarak jauh amat sulit dilawan dengan ilmu silat, lebih berbahaya dari senjata rahasia apapun juga karena amat tepat dan mematikan. Ia tidak mau mundur, akan tetapi bahkan Han Le yang melangkah mendekati dua orang itu sampai jarak antara mereka hanya kurang lebih lima belas meter. Pemuda itu bersikap tenang sekali, bahkan mulutnya tersenyum ketika dia berkata dengan nada menentang. Dia menjaga agar gadis itu tidak berada di belakangnya.

"Kalau aku tidak menyerah, lalu kalian mau berbuat apakah?"

"Kami akan menembakmu mampus!" bentak mereka bergantian dan moncong bedil mereka telah ditodongkan ke arah dada Han Le.

"Han Le, menyerah sajalah, terlalu berbahaya melawan mereka yang memegang senapan!" kata Yu Bwee dengan khawatir sekali melihat sikap Han Le yang agaknya tidak mau menyerah itu.

"Tidak! Aku tidak sudi menyerah!" Tiba-tiba Han Le menerjang ke depan dan begitu moncong sebatang senjata api memuntahkan api, tubuhnya sudah bergulingan.

"Darr...!" peluru itu berdesingan lewat di atas tubuh yang masih bergulingan dan sambil bergulingan, Han Le sudah mencabut pistol kecil dari pinggangnya.

"Klek-klek!" Dia membuka kuncinya, lalu menembak.

"Darr...!" Penembak pertama tadi terjungkal roboh.

"Darr...!" orang kedua menembak, akan tetapi kembali Han Le sudah bergulingan dan membuka kunci pistol membuang tempat peluru pertama dan ketika lawannya sedang sibuk mengisi peluru dia sudah melompat bangkit dan kembali pistolnya meledak.

"Darr...!" dan perwira kedua itupun terjungkal. Keduanya tewas seketika karena peluru pistol yang ditembakkan Han Le tepat mengenai kepala sampai tembus!

Han Le tidak memperdulikan mereka, melainkan memandang ke sekeliling untuk melihat kalau-kalau masih ada musuh. Akan tetapi sunyi saja di puncak bukit itu, agaknya hanya mereka berdualah yang tadi datang. Dia lalu melangkah kembali menghadapi Yu Bwee yang memandang kepadanya denga kagum. Pemuda ini selain lihai ilmu silatnya, juga amat pandai mempergunakan senjata api. Untung bahwa sejak semula ia sudah merasa kagum, tertarik dan suka kepada Han Le sehingga ketika ia hendak menangkapnya tadi, ia tidak mencabut pedangnya. kalau sampai mereka bermusuhan dan Han Le mencabut pistolnya, tentu ia akan tewas pula dengan amat mudahnya seperti kedua orang perwira itu.

"Terpaksa aku mendahului mereka, kalau tidak... tentu aku yang menjadi korban," katanya seolah-olah minta maaf kepada Yu Bwee.

"Engkau tahu bahwa bagaimanapun juga, aku tidak sudi kembali ke istana Yehol." Yu Bwee hanya mengangguk dan matanya mengamati wajah pemuda itu penuh kekaguman.

"Yu Bwee, aku pergi sekarang, senang sekali telah dapat berkenalan denganmu. Selamat tinggal, Yu Bwee."

"Selamat jalan..." Pemuda itu membalikkan tubuh, akan tetapi baru melangkah tiga langkah, dia berhenti dan membalik kembali menghadapi Yu Bwee.

"Yu Bwee, aku... aku ingin sekali menyimpan benda milikmu untuk menjadi kenangan dan peringatan pertemuan ini... relakah engkau memberikan kepadaku...?" Sejenak Yu Bwee bingung, tidak tahu apa yang dimaksudkan, akan tetapi wajahnya menjadi kemerahan ketika ia dapat menyelami maksudnya. Ia menjadi bingung tak tahu harus menjawab bagaimana.

"Benda... benda apa maksudmu."

"Tusuk kondemu yang kiri..." Yu Bwee meraba kepalanya dan matanya terbelalak. Rambutnya digelung ke belakang dan dua batang tusuk konde dari emas di situ, akan tetapi kini tusuk konde yang kiri sudah lenyap!

"Tusuk kondeku lenyap...!" katanya. Han Le mengeluarkan tusuk konde itu dari saku bajunya.

"Inilah benda itu, Yu Bwee. Maaf, sudah kuambil ketika kita bertanding tadi dan tadinya hendak kusimpan, akan tetapi aku tidak ingin menjadi pencuri, maka aku minta dengan terang-terangan. Kalau engkau keberatan, benda ini akan kukembalikan kepadamu, kalau boleh, akan kusimpan sebagai kenangan." Berdebar rasa jantung Yu Bwee dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Betapa bodohnya menganggap diri lebih pandai dalam ilmu silat daripada Han Le! Kiranya diam-diam pemuda itu telah berhasil mencabut tusuk konde tanpa ia mengetahui. Padahal, tusuk konde itu dekat dengan tengkuknya, dan kalau pemuda itu menghendaki, bukan tusuk konde yang dicabut, melainkan nyawanya melalui totokan pada tenkuk! Dan pemuda perkasa ini ingin menyimpannya sebagai tanda mata, sebagai kenangan! Ia berusaha mejawab, akan tetapi lehernya seperti tersumbat rasanya dan ia hanya dapat mengangguk dan mengeluarkan suara lirih,

"... simpanlah!"

"Terima kasih, Yu Bwee, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, selamat tinggal!"

"Selamat berpisah..."

Sekali dua kali meloncat saja tubuh itu berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan lenyap ke bawah puncak. Sejenak Yu Bwee berdiri termenung, dan ia merasa heran sekali mengapa tiba-tiba saja hidup ini terasa begini sunyi dan kosong, Ia merasa seperti kehilangan dan kesepian. Ketika ia menunduk, nampak robekan kain putih itu dan seperti di luar kesadarannya sendiri ia membungkuk dan menjumput kain itu, sejenak diamatinya kain putih itu dan sambil menarik napas panjang, robekan kain selebar tangan itupun dimasukkannya ke dalam saku bajunya! Iapun pergi meninggalkan puncak dengan cepat, menuju ke Yehol untuk membuat laporan palsu kepada permaisuri Cu Si. Kalau kedua orang perwira bersenjata api tadi tidak tewas, entah apa yang harus dilaporkan.

Akan tetapi sekarang ia dapat melapor bahwa usahaya mencari Han Le gagal dan bahwa ia... tidak bertemu dengan pemuda itu. Kemalangan yang bertubi-tubi menimpa Kerajaan Ceng dan hampir saja menghancurkan Kerajaan Mancu itu. Peking diserbu dan diduduki musuh, yaitu orang-orang kulit putih. Kaisar Hsian Feng yang usianya baru tiga puluh tahun lebih itu, setelah berhasil mengungsi ke Yehol, jatuh sakit berat yang membawa kematiannya! Kaisar Hsian Feng meninggal dunia dalam usia muda dan di dalam pengungsian di Yehol. Tentu saja hal ini menggegerkan, akan tetapi keluarga Kaisar dan para pembesar dapat merahasiakan hal ini agar tidak membuat kedaan menjadi semakin kacau dan lemah. Pangeran Kung ditugaskan oleh para pembesar yang mewakili pemerintah untuk membuat perjanjian pedamaian dengan orang-orang kulit putih.

Dalam hal ini, sebagai negara yang kalah, tentu saja pemerintah Mancu menerima syarat-syarat yang disodorkan oleh orang kulit putih. Perdamaian yang berat sebelah dan menguntungkan bangsa kulit putih yang diperbolehkan membuka kantor perdagangan di manapun juga! Bahkan Peking yang sejak berabad lamanya menjadi kota terlarang, kini harus dibuka untuk para duta negeri Eropa untuk bertempat tinggal, dengan dasar persamaan hak. Banyak sekali daerah yang tadinya tunduk untuk menjadi bagian kekuasaan pemerintah Ceng, kini terjatuh ke tangan orang kulit putih. Dalam tahun 1862 Bangsa Perancis memperoleh Cochin Cina, kemudian tahun 1863 menguasai Kamboja dan tahun 1867 menguasai Annam Macao juga resmi menjadi milik Portugal. Birma menjadi jajahan Inggris.

Bukan hanya negara-negara selatan yang dicaplok oleh orang-orang kulit putih, akan tetapi semua kota pelabuhan di sepanjang pesisir selatan dan timur harus dibuka untuk mendaratkan kapal-kapal dagang mereka. Dalam perjanjian yang diadakan setelah Peking jatuh dalam tahun 1860-1861 itu, Pangeran Kung berjasa besar. Pangeran Kung adalah adik mendiang Kaisar Hsian Feng, yang memimpin pasukan kerajaan. Ketika mengetahui bahwa ajalnya akan tiba Kaisar Hsian Feng lalu mengumpulkan para pembantunya. Tiga orang Menteri dan lima orang Jenderal yang ikut pula mengungsi ke Yehol untuk mengatur upacara pengangkatan putera mahkota sebagai pengganti Kaisar. Putera mahkota itu adalah Pangeran Cai Chun, yaitu putera dari Yehonala atau Cu Si, satu-satunya putera Kaisar Hsian Feng, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun!

Cai Chun diangkat menjadi Kaisar dengan julukan Kaisar Chi Hsiang, dan delapan orang pembesar itu oleh Kaisar yang telah berada di ambang kematian itu diangkat menjadi wakil Kaisar yang akan mengatur pemerintahan atas nama Kaisar cilik yang tentu saja belum mengerti apa-apa itu. Di antara delapan orang pembesar tinggi yang diangkat menjadi wakil Kaisar cilik itu adalah Su Shun, seorang pembesar yang cerdik, berambisi besar dan menjadi pucuk pimpinan di antara mereka yang delapan orang itu. Namanya sudah terkenal sebagai seorang pembesar yang licik, berkuasa dan banyak sudah dia mengangkat orang-orang Han menjadi pembesar, asal mampu memeberi sogokan yang besar. Dia terkenal sebagai seorang pembessr yang korup, namun karena cerdik dan berkuasa besar, tidak ada yang berani menentangnya.

Sungguh sama sekali tidak disangka oleh Su Shun, pembesar yang sudah berpengalaman dan cerdik ini, bahwa dia akan medapatkan penentang dan musuh yang sama sekali tak disangka-sangkanya, dan yang dalam hal kecerdikan bahkan mengatasinya! Musuh itu bukan lain adalah Yehonala atau permaisuri Cu Si yang kini, setelah puteranya diangkat menjadi Kaisar, otomatis menjadi Ibu Suri Cu Si! Su Shun tidak megira bahwa dalam kepala cantik yang masih muda itu, terdapat ambisi yang jauh lebih besar daripada ambisinya, dan terdapat kecerdikan yang lebih lihai! Niuhulu atau permaisuri pertama Cu An yang kini menjadi Ibu Suri Pertama, sebagai permaisuri pertama tentu saja memiliki kekuasaan besar. Dengan cerdiknya, Cu Si minta persetujuan para pembesar bahwa ia dan Ibu Suri Cu An diangkat menjadi wakil Kaisar yang masih kecil itu pula, mewakili Kaisar dalam mengambil keputusan yang diajukan oleh Delapan Wakil Kaisar yag menjalankan roda pemerintahan.

Dengan demikian, tentu saja seolah-olah Cu Si menempatkan dirinya dan Ibu Suri Cu An di tempat yang lebih tinggi kekuasaannya daripada delapan pembesar tinggi itu. Hal ini ditentang oleh Su Shun dan teman-temannya, dengan alasan bahwa tidak terdapat peraturan seperti itu semenjak Kerajaan Ceng berdiri. Ibu Suri Cu An sendiri, seorang yang lemah dan tidak berambisi, tidak perduli akan itu semua. Akan tetapi tidak demikian dengan Ibu Suri Cu Si. Ia segera bertindak, membujuk Cu An bahwa delapan orang pembesar itu tidak setia dan dapat mencelakakan Kaisar dan keluarganya. Bahkan ia berhasil membujuk Ibu Suri Cu An untuk mengirim surat kepada Pangeran Kung yang menguasai balatentara untuk datang ke Yehol dan merundingkan bagaimana untuk meghadapi Su Shun dan kawan-kawannya.

Su Shun juga tidak tinggal diam. Disebarnya mata-mata dan dilakukanlah segala usaha untuk memisahkan dua orang Ibu Suri itu dengan Pangeran Kung, yang pertama tetap di Yehol dan yang kedua di Peking dan tidak memberi jalan kepada mereka untuk saling bertemu. Segala jalan dilakukan untuk menghalangi pertemuan atau hubungan di antara mereka. Su Shun dan kawan-kawannya menyatakan bahwa tidak pantas bagi Pangeran Kung untuk menemui ipar-ipar perempuan dan tidak baik meninggalkan tugasnya di Peking yang masih dalam keadaan gawat, dan sebagainya. Karena malu hati, Pangeran Kung juga tidak berani berterang dan menghubungi dua orang kakak iparnya itu.

Perasaan malu ini oleh Su Shun dan kawan- kawannya dianggap sebagai perasaan takut dan mereka memandang rendah kepada kekuasaan Pangeran Kung yang mengepalai balatentara dan yang mendapatkan kesan baik di mata pasukan kulit putih, karena berhasilnya perjanjian perdamaian itu. Juga pihak Ibu suri, terutama sekali Ibu Suri Cu Si, tidak tinggal diam. Ia berusaha keras untuk menjatuhkan delapan orang yang dianggap menjadi saingannya itu. Cai Chun yang kini menjadi Kaisar Chi Hsiang adalah anaknya! Seharusnya ialah yang menjadi wali dan wakil Kaisar selagi Kaisar masih bocah, bukan delapan orang pejabat tinggi itu. Dalam usaha Cu Si untuk berhubungan dengan Pangeran Kung di kotaraja, Yu Bwee berjasa sekali. Gadis perkasa inilah yang menjadi jembatan dan dengan kepandaiannya yang tinggi,

Yu Bwee dalam melakukan perjalanan bolak-balik dari Kotaraja ke Yehol dan sebaliknya, membawa pesan-pesan dan surat-surat antara Ibu Suri Cu Si dan Pangeran Kung! Tugas ini bukan tidak berbahaya. Beberapa kali Yu Bwee dihadang dan diserang oleh mata-mata yang disebar oleh Su Shun dan kawan-kawanya, namun gadis perkasa itu berhasil mengalahkan mereka semua dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya, kedua pihak dapat mengadakan perundingan lewat perantaraan Yu Bwee dan Pangean Kung dapat menghadap Kaisar di Yehol, bahkan Kaisar bocah ini, diwakili oleh Ibu Suri, mengangkat Pangeran Kung menjadi perdana menteri yang bekuasa penuh. Ketika Kaisar dan kedua Ibu Suri kembali ke kotaraja Peking, delapan pejabat tinggi yang dituduh berkhianat itupun ditangkap!

Su Shun yang melarikan diri dapat dikejar dan ditangkap, dihukum mati, ada pula yang dihukum minum racun, dipenjara selama hidup atau dibuang. pendeknya, semua lawan dan kaki tangan mereka tidak ada yang diampuni oleh Ibu Suri Cu Si dan semenjak itu, Ibu Suri Cu Si seolah-olah memegang kendali pemerintahan mewakili puteranya! Memang benar di sampingnya masih ada Ibu Suri Cu An yang kedudukannya lebih tinggi, namun Ibu Suri ini lemah dan tidak pernah mau mencampuri urusan pemerintahan, berbeda dengan Cu Si yang gila kekuasaan dan mulailah wanita ini menguasai kerajaan sampai hampir lima puluh tahun lamanya! Namun, di samping ambisinya yang berkobar-kobar untuk menjadi orang yang paling berkuasa di seluruh negeri, Ibu Suri Cu Si juga merupakan seorang wanita yang panas, yang besar sekali nafsu berahinya.

Semenjak gadis ia diperisteri mendiang Kaisar Hsian Feng yang lemah karena terlalu bayak pelesir, apalagi ia ditinggal mati dalam usia yang amat muda, bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya, sedang haus-hausnya akan kepuasan batin. Oleh karena itu, kembali ia merasa kesepian, merana dan hiburan yang ia dapatkan dari Li Lian Ying, thaikam kepercayaannya itu, tidak lagi mampu memuaskan dahaga yang menyiksanya. Dan melihat junjungannya seperti cacing kepanasan atau ikan di daratan, kembali Li Lian Ying yang cerdik itu yang datang menolong. Thaikam ini mengetahui rahasia seorang thaikam lain yang bernama An Tek Hai, seorang laki-laki tinggi besar yang bertubuh kuat. Rekannya ini sudah dikebiri seperti dia juga, akan tetapi pengebirian terhadap An Tek Hai belum sempurna benar sehingga thaikam yang satu ini tidak sepenuhnya mati kejantanannya.



JILID 16

Melihat ini, dengan tujuan menyenangkan junjungannya, Li Lian Ying mulai mendekati An Tek Hai dan memberi obat-obat ramuan dari Tibet yang dahulu dipergunakan Kaisar Hsian Feng untuk memperkuat dirinya. Setelah minum obat itu, terjadilah hal yang luar biasa. An Tek Hai menemukan kembali kejantanan sepenuhnya, bahkan jauh lebih kuat daripada sebelum di dikebiri! Dengan janji akan membalas budi Li Lian Ying, diperkenalkanlah keadaan An Tek Hai ini oleh Li Lian Ying kepada Ibu Suri Cu Si. Tentu saja Cu Si menjadi girang sekali. An Tek Hai adalah seoang laki-laki yang termasuk tampan, tidak seperi Li Lian Ying dan tubuhnya begitu kokoh kuat dan jantan. Apalagi ketika An Tek Hai mulai melayaninya, Cu Si merasa girang bukan main. bagaikan orang yang sedang kehausan, ia dapat minum sepuasnya sekarang.

Bagaikan tumbuhan bunga yang kekeringan, kini ia memperoleh siraman sehingga bunga, daun sampai ke akar-akarnya menjadi basah dan segar kembali. Mulailah hubungan gelap yang dilakukan siang malam antara Cu Si dan An Tek Hai, dan karena An Tek Hai adalah seorang"kebiri" yang boleh saja keluar masuk di semua ruangan dalam istana, tidak ada seorangpun yang mencurigai. Dengan leluasa Cu Si dapat saja memanggil An Tek Hai ke kamarnya setiap kali timbul seleranya. Betapapun juga, para dayang merasa curiga, namun desas-desus di kalangan mereka itu sama sekali tidak diperdulikan Cu Si dan Tek Hai yang sedang dimabok nafsu. Kaisar bocah yang ketika masih pangeran bernama Cai Chun, kemudian ketika diangkat Kaisar di Yehol bernama Kaisar Chi Hsiang, kini setelah menjadi Kaisar di kotaraja mendapat nama lain, yaitu Kaisar Tung Chi.

Kaisar ini biarpun masih amat muda, sudah mendengar pula akan desas-desus bahwa Ibu Suri Cu Si bermain gila dengan seorang thaikam yang bernama An Tek Hai. Dia merasa malu dan marah sekali. Memang sejak kecil Kaisar ini tidak terlalu dekat dengan Ibu kandungnya yang dianggapnya berwatak buruk, keras dan galak, tidak seperti watak Ibu Suri Cu An yang lemah lembut dan bijaksana. Biarpun Ibu Suri Cu Si Ibu kandungnya, namun sejak kecil dia merasa lebih dekat dengan Ibu Suri Cu An! Mendengar akan hubungan gelap itu, dibantu oleh para pengawal thaikam, pada suatu pagi dia menyuruh tangkap An Tek Hai yang baru saja keluar dari kamar Ibu Suri Cu Si! An Tek Hai hanya tertawa, mengira bahwa Kaisar yang masih bocah itu main-main. Akan tetapi dengan sikap bengis Kaisar bocah itu memerintahkan orang-orangnya untuk menelanjangi An Tek Hai.

"Kalau dia benar thaikam palsu dan kejantanannya masih belum mati, pukul saja dia sampai mampus!" kata Kaisar Tung Chi kepada para pengawalnya. Dia berpikir bahwa kalau An Tek Hai ternyata masih memiliki kejantanan, berarti dia thaikam palsu dan desas-desus tentang Ibu Suri kedua itu mungkin benar. Sebaliknya, kalau kejantanan thaikam An Tek Hai itu benar-benar sudah mati, berarti bahwa desas-desus itu hanya fitnah belaka. An Tek Hai ketakutan setengah mati, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat, hampir dia tidak mampu berdiri saking takutnya dan dia hanya berlutut sambil mendekam dan hampir terkencing di celana. ketika para pengawal itu memaksanya menelanjanginya untuk memeriksa, tentu saja orang yang ketakutan setengah mati ini kehilangan kejantanannya sama sekali!

Untunglah bagi An Tek Hai, karena hal ini menghilangkan kecurigaan Kaisar Tung Chi dan An Tek Hai dibebaskan. Ketika Ibu Suri Cu Si mendengar laporan An Tek Hai tentang peristiwa itu, ia marah sekali, akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu terhadap puteranya sendiri yang sudah menjadi Kaisar, bahkan ia merasa khawatir dan diam-diam ia menyuruh An Tek Hai untuk meloloskan diri pergi ke Hang-cow, dengan memberi banyak bekal. Maksudnya agar kekasihnya itu untuk sementara waktu tidak memperlihatkan diri agar tidak membangkitkan kecurigaan. Akan tetapi, ternyata An Tek Hai bernasib malang, dan desas-desus tentang dirinya sudah menarik banyak orang yang menjadi pembencinya. Kepergiannya diketahui dan diapun ditangkap dengan tuduhan pengkhianat yang hendak meninggalkan kotaraja untuk menjadi mata-mata musuh. Dia dijatuhi hukuman mati!

Ibu Suri Cu Si diam-diam menangis sampai beberapa hari lamanya, menangisi kekasihnya yang telah tiada. Semua hiburan Li Lian Ying tidak dapat mengobati kerinduannya, dan Li Lian Ying, thaikam yang cerdik ini tahu penyakit apa yang diderita oleh junjungannya. Ia mendengar bahwa di waktu masih gadis remaja. sebelum dingkat menjadi selir Kaisar, Cu Si pernah saling mencinta dengan pamannya sendiri, yaitu adik Ibunya yang usianya tidak berselisih banyak dengannya. Hubungan cinta itu terputus ketika Yehonala menjadi selir Kaisar, dan kini pamannya itu, yang bernama Yung Lu, telah menjadi seorang pejabat pertengahan di Peking. Setelah melakukan penyelidikan melalui kaki tangannya, Li Lian Ying lalu mengajukan usul kepada junjungannya.

"Hamba merasa bersedih sekali melihat Paduka setiap hari tenggelam dalam kedukaan. Hamba kira, pertemuan dengan seorang anggota lama akan dapat menggembirakan Paduka, tentu saja kalau Paduka menyetujui." Cu Si dengan malas-malasan memandang pelayan yang amat setia itu.

"Hemm, Lian Ying, siapa yang kau maksudkan itu?" Tanyanya dengan suara agak kurang senang. Bagaimanapun juga, sanak keluarganya adalah orang-orang biasa, dan tidak senang hatinya kalau diingatkan akan keluarganya, sama dengan mengingatkan bahwa ia adalah keturunan orang-orang biasa!

"Baru-baru ini hamba bertemu dengan seorang sahabat yang menceritakan bahwa paman Paduka yang bernama Yung Lu menjadi seorang pejabat pertengahan di kotaraja. Lupakah Paduka kepada paman Paduka itu?" Wajah Ibu Suri Cu Si berseri mendengar disebutnya nama ini. Tentu saja ia masih ingat kepada Yung Lu, pamannya itu. Ketika maih remaja, ia pernah jatuh cinta kepada pamannya itu, dan biarpun hanya merupakan cinta monyet, namun masih menjadi kenangan manis. Mendengar nama Yung Lu kini berada di kotaraja, terbayanglah wajah yang tampan itu dan iapun ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi ia melihat kesulitan untuk dapat bertemu dengan pamannya itu dan hal ini ia katakan kepada Li Lian Ying.

"Harap Paduka jangan khawatir," kata Li Lian Ying.

"Kalau Paduka berkenan, pertemuan itu dapat hamba atur. Bukankah dia merupakan paman Paduka sendiri? Tidak akan ada salahnya kalau Paduka memanggil dia menghadap untuk dimintai nasihat tentang urusan pemerintahan. Takkan ada yang mencurigai kehadiran seorang paman yang mengunjungi Paduka." Cu Si girang sekali dan cepat ia menuliskan surat panggilan itu. Tentu saja Yung Lu merasa tegang dan dengan jantung berdebar-debar menanti di ruangan tamu yang mewah dan indah itu. Selama hidupnya, baru sekali ini dia memasuki bagian istana yang demikian indahnya. Sejak keponakannya menjadi selir Kaisar dan kemudian bahkan menjadi permaisuri kedua dan akhir-akhir ini menjadi Ibu Suri, dia tidak pernah bertemu dengan Yehonala. Dan kedudukan keponakannya itu bukan tidak ada manfaatnya baginya.

Dia seorang yang tidak berpendidikan tinggi, akan tetapi kini dapat menduduki jabatan tinggi pertengahan. Semua itu adalah karena dia dikenal sebagai paman dari Ibu Suri Cu Si! Dan kini, keponakannya itu memanggilnya! Li Lian Ying muncul dan tanpa banyak cakap lagi, thaikam ini mengajak Yung Lu masuk ke dalam dan diantarnya orang itu ke dalam kamar Ibu Suri Cu Si di Istana barat. Di dalam ruangan kamar yang luas itu, Yung Lu melihat seorang wanita cantik duduk di atas dipan, dan sukar baginya untuk mengenal wajah gadis remaja Yehonala yang pernah saling mencinta dengannya. Yang duduk di dipan itu adalah seorang wanita cantik jelita dan agung, wanita yang sudah matang, dengan pandang mata tajam berwibawa dan mulut yang kecil tersenyum manis. Dia hendak menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi dengan tangannya, Ibu Suri Cu Si melarangnya.

"Paman Yung Lu, tidak perlu berlutut...!" kataya. pada saat itu, dengan sopan Li Lian Ying lalu keluar dari kamar, menutupkan tirai Sutera berlapis-lapis untuk menutupi keadaan di dalam kamar itu dari penglihatan orang di luar kamar dan diapun duduk berjaga di luar kamar.

"Paman Yung Lu, engkau duduklah di sini, di dekatku. Aku sungguh rindu sekali kepadamu. Lupakah engkau kepada Yehonalamu?" Dengan tubuh gemetar Yung Lu duduk di atas dipan, di dekat wanita itu dan bagaikan seekor harimau betina yang kelaparan, Ibu Suri Cu Si segera merangkulnya dan menjatuhkan dirinya di atas pangkuan Yung Lu.

"Ah, Yung Lu, aku kesepian, aku rindu padamu..." keluhnya. Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka-sangka oleh Yung Lu. membayangkan saja dia tidak berani bahwa bekas kekasihnya di waktu remaja itu, yang kini telah menjadi orang paling berkuasa di seluruh negeri, ternyata masih teringat kepadanya, bahkan masih mencintanya! Dia heran mengapa semalam tidak mimpi kejatuhan bulan! Dan tentu saja dia menyambut ajakan wanita cantik itu dengan gembira karena Yung Lu termasuk seorang laki-laki yang mata keranjang dan nafsu berahi merupakan kesenangan yang selalu dikejarnya. Akan tetapi dia masih merasa khawatir dan ragu-ragu, takut kalau sampai ketahuan orang lain. Hal ini dirasakan oleh Cu Si yang tertawa genit.

"Laki-laki tolol, kenapa begini takut-takut? Siapa orangnya yang berani masuk ke sini tanpa kupanggil?" katanya sambil merangkul. Yung Lu merasa bagaikan dalam mimpi. Kini tanpa disangkanya, dia mendapatkan segalanya dari wanita ini, padahal dahulu ketika mereka masih remaja, biarpun mereka saling mencinta, dia tidak pernah mendapatkannya. Kini wanita itu menyerahkan segalanya dengan rela dan tentu saja dia merasa seperti melayang ke langit ke tujuh.

Demikianlah, mulai hari itu, Yung Lu menjadi kekasih baru Ibu Suri Cu Si. Dan untuk memudahkan dua orang ini mengadakan hubungan setiap saat yang mereka kehendaki dengan leluasa, kembali Li Lian Ying yang mengajukan usul-usul yang amat cerdik. Kebetulan waktu itu, jabatan pengawas Urusan Rumah Tangga Istana sedang kosong dan jabatan ini lalu diberikan kepada Yung Lu. Semenjak itu, sebagai pejabat dalam istana, dengan leluasa Yung Lu mengadakan pertemuan dengan Cu Si. kehadirannya tidak mendatangkan kecurigaan, karena pertama, dia adalah paman sendiri dari Cu Si, dan kedua, dia adalah pejabat baru yang mengurus semua persoalan di dalam rumah tangga istana. Dan kini wajah Cu Si nampak berseri, tubuhnya nampak segar dan sehat. Dia menemukan kekasih yang hebat dalam diri pamannya itu, jauh lebih hebat dibandingkan dengan mendiang Kaisar Hsian Feng, atau dengan An Tek Hai sekalipun!

Ibu Suri Cu Si dapat melakukan segala perbuatan yang disukainya dengan bebas dan leluasa karena Ibu Suri Cu An yang lebih suka membaca kitab-kitab agama di dalam kamarnya, menyerahkan segala urusan kepada madunya itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi di dunia ini, kesenangan tidak pernah meninggalkan saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Hubungan mesra antara paman dan keponakan itu baru beberapa bulan saja sudah membuat Ibu Suri Cu Si mengandung! Bingunglah wanita ini. Hanya Li Lian Ying orang yang dipercayainya, di samping Yung Lu tentunya, akan tetapi kedua orang itu tidak berhasil menggugurkan kandungan dengan obat-obat yang mereka bawa. Untuk mempergunakan obat yang terlalu keras, mereka tidak berani, takut kalau akibatnya malah berbahaya bagi nyawa Ibu Suri Cu Si.

Dan mengundang tabib pun tidak mugkin karena tentu rahasia itu akan bocor. Akhirnya Cu Si teringat kepada isteri Pangeran Chun yang merupakan saudara perempuannya yang boleh dipercaya. Antara mereka memang ada hubungan yang akrab walaupun tentu saja isteri pangeran itu selalu merasa rendah diri terhadap Ibu Suri Cu Si. Diam-diam Cu Si memanggil isteri Pangeran Chun dan setelah saudara perempuan ini datang, Cu Si cepat metangkulnya dan mengajaknya bicara bisik-bisik di dalam kamarnya, berdua saja. Di situ Cu Si menceritakan keadaan dirinya yang mengandung! Adiknya mendengarkan dengan mata terbelalak, lalu duduk diam seperti patung karena tidak tahu harus bicara apa. Barulah ia terkejut ketika Cu Si menyatakan maksudnya mengundang saudara perempuan itu.

"Hanya engkaulah yang dapat menolongku dan mengeluarkan aku dari kesulitan ini, saudaraku." kata Cu Si dan selanjutnya, dengan bisik-bisik Cu Si menyatakan rencana siasatnya.

Adiknya itu, isteri Pangeran Chun, diperintahkan untuk mengaku kepada suaminya bahwa ia mengandung, berpura-pura mengandung! Dan adiknya itu akan tinggal di situ bersamanya, dengan alasan agar mendapat perawatan yang baik di samping menemani Ibu Suri Cu Si. Hari itu juga, Cu Si mengutus Li Lian Ying untuk berkunjung kepada Pangeran Chun dan menyampaikan kabar itu! Tentu saja Pangeran Chun terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa isterinya mengandung. Akan tetapi dia percaya dan tidak perduli lagi karena memang dia mempunyai banyak selir sehingga dia lupa lagi kapan terakhir kalinya dia menggauli isterinya. dan karena isterinya itu merupakan saudara yang amat akrab dengan Ibu Suri Cu Si, diapun tidak heran bahwa isterinya lebih suka menceritakan tentang kandungannya kepada saudaranya itu.

Demikianlah, rahasia ini ditutup rapat dan setelah kandungan itu tiba saatnya untuk dilahirkan, Ibu Suri Cu Si dan isterinya Pangeran Chun tak pernah berpisah dari satu kamar. Dua orang bidan dipanggil ketika malam itu Ibu Suri Cu Si melahirkan. Pada keesokan harinya, diumumkan bahwa isteri Pangeran Chun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat! Adapun kedua orang bidan yang membantu kelahiran itu, lenyap tak ada yang tahu ke mana perginya. Mereka itu diam-diam telah dibunuh oleh kaki tangan Li Lian Ying agar mereka tidak membocorkan rahasia tenang kelahiran anak itu. Setelah "melahirkan" dan kesehatannya pulih, isteri Pangeran Chun membawa puteranya pulang, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga Pangeran Chun. Dan anak inilah, anak kandung Ibu Suri Cu Si, yang kelak setelah Kaisar Tung Ci meninggal,

Oleh Ibu Suri Cu Si yang memegang tampuk kekuasaan, diangkat menjadi Kaisar pula! Memang hebat sekali Ibu Suri Cu Si ini, seperti tercatat dalam sejarah. Ia seorang wanita yang keras hati, ambisius, dan cerdik bukan main. dari keluarga bersahaja ia dapat naik menjadi permaisuri dan kemudian Ibu Suri yang memerintah negara besar itu selama kurang lebih lima puluh tahun! Dan di samping kekuasaannya yang mutlak, keputusan-keputusan yang keras dan penting, di sebelah dalam istana tersimpan pula rahasianya, yaitu selalu dirundung kesepian sehingga ia melakukan hubungan gelap dengan banyak pria, dan ini merupakan kelemahannya, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri. Demikianlah sekedar gambaran awal keruntuhan Kerajaan Mancu, didahului dengan kekacauan dan lemahnya keluarga kerajaan itu sendiri.

Setelah berpisah dari Yu Bwee, gadis yang menarik perhatiannya itu, yang mendatangkan kesan mendalam, Gan Han Le melanjutkan perjalanannya. Dia telah melihat keadaan kotaraja, melihat kekacauan yang terjadi, bahkan melihat penyerbuan pasukan kulit putih yang telah menduduki kotaraja dan yang memaksa Kaisar sekeluarganya melarikan diri ke Yehol. Semua yang telah dialaminya itu membuat dia lebih bingung lagi. Semenjak dia lari meninggalkan Ibunya dan gurunya, Han Le merasa bingung dan hatinya penuh dengan dendam yang bertumpuk, Akan tetapi dia sendiri tidak tahu kepada siapa dendam itu harus ditumpahkan, kepada gurunya? Kepada Ibunya? Ah, tidak mungkin. gurunya kini telah menjadi Ayah tirinya!

Akan tetapi, kenyataan bahwa gurunya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besarnya juga, Koan Jit pembunuh Ayah kandungnya, telah menghancurkan bayangan tentang diri seorang guru yang dicintanya dan dikaguminya. Kini rasa cinta dan hormatnya berbalik menjadi kebencian. Bahkan diapun kehilangan perasaan suka kepada kedua orang Suhengnya yang menjadi pimpinan rakyat. Tidak, dia tidak akan mencari mereka, tidak akan membantu mereka! Membantu kedua orang Suhengnya itu sama saja dengan membantu gurunya! Dalam keadaan bingung ini Han Le meninggalkan Yehol dan diapun teringat kepada raja baru di Nan-king, pemimpin pasukan Tai Peng, yaitu Ong Siu Coan! Bukankah Ong Siu Coan itu Suheng dari Ayah kandungnya? Dan selama dia dan Ibunya berada di sana, di Nan-king, merasa diperlakukan dengan amat baik oleh Ong Siu Coan.

Bahkan mungkin dia dan Ibunya masih tinggal di sana dalam keadaan terhormat, kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi yang membawa mereka lari. Dia bahkan pernah belajar ilmu silat dari seorang kepala pengawal bernama Giam Ci, seorang sahabat dari Tang-Ciangkun. Di sana dia diperlakukan oleh siapa saja dengan sikap hormat karena dia adalah sanak dari Kaisar, putera dari saudara seperguruan Kaisar Ong Siu Coan sendiri. Kenangan ini menarik hati Han Le untuk pergi berkunjung ke Nan-king! Dia akan mengunjungi supeknya yang menjadi Kaisar itu, dan melihat perkembangannya nanti. Kalau keadaan di sana cocok dengan hatinya, mengapa dia tidak membantu saja gerakan supeknya itu, gerakan Tai Peng karena bukankah gerakan itu juga bermaksud menumbangkan penjajah Mancu?

Pada suatu sore dia tiba di sebuah kota yang letaknya di sebelah utara lembah Sungai Yang-ce, dan merupakan perbatasan kekuasaan Tai Peng dan kekuasaan pemerintah Kerajaan Mancu. Kota ini bernama Cu-sian dan karena terletak di perbatasan, maka kota ini selalu berada dalam keadaan gawat dan di situ berkeliaran mata-mata dari pihak Tai Peng, dari Kerajaan Mancu, dari golongan-golongan kang-ouw dan bahkan ada mata-mata yang bekerja untuk kepentingan orang kulit putih. Betapapun juga, perdagangan selalu ramai di kota ini, karena tempat inipun terkenal sebagai tempat penyelundupan candu dan senjata api gelap. Kota Cu-sian ini sudah berada dalam kekuasaan Tai Peng dan karena itu, di mana-mana terdapat penjagaan pasukan Tai Peng yang selalu mencurigai siapa saja yang memasuki kota.

Han Le juga tidak terkecuali. Begitu memasuki pintu gerbang, dia sudah dihadang oleh belasan orang tentara Tai Peng yang melakukan penggeledahan. Akan tetapi Han Le sudah siap siaga sebelumnya sehingga dia menyembunyikan pistol kecilnya di dalam celana, diikat dengan betis kirinya. Buntalan pakaiannya tidak terdapat barang mencurigakan kecuali pakaian, maka diapun lolos dan dibiarkan masuk kota yang ramai itu. Tidak mudah mendapatkan kamar di kota yang ramai itu, akan tetapi akhirnya dia bisa mendapatkan sebuah kamar di losmen kecil dan kotor yang berada di ujung kota. Di belakang losmen itu mengalir sebuah sungai kecil yang airnya kotor karena menampung semua sampah orang-orang yang tinggal di kota itu.

Biarpun dia mendapatkan kamar terakhir yang paling kecil dan paling kotor, Han Le mersa lega karena akhirnya dia mendapatkan sebuah tempat untuk beristirahat. Setelah membayar kamar itu, dia lalu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan losmen untuk mencari rumah makan karena sejak pagi tadi dia belum makan. Hampir saja kakinya tersaruk sebatang tongkat yang melintang di ambang pintu losmen itu. Dia terkejut karena tongkat itu tadinya tidak ada dan tiba-tiba saja meluncur dari samping. Ketika dia menoleh dengan marah, siap menegur orang yang agakya sengaja melintangkan tongkat, dia melihat seorang pengemis bermata buta dan kemarahannyapun lenyap. Dia tadi dapat meloncati tongkat itu dan tidak sampai tersaruk, dan pengemis yang buta matanya ini sudah pasti melakukan hal itu tanpa sengaja.

"Lopek (Paman tua), berhati-hatilah dengan tongkatmu, jangan sampai membikin jatuh orang lewat," kata Han Le, menegur halus memperingatkan si buta itu. Pengemis itu lalu menodongkan tangannya minta sumbangan,

"Yang buta tak melihat, yang bermata harus berhati-hati, tuan yang datang dari kotaraja harap bermurah hati terhadap seorang pengemis buta." Han Le mengeluarkan dua potong uang kecil dan meletakkannya di telapak tangan orang itu, akan tetapi alisnya berkerut dan dia bertanya,

"Bagaimana engkau bisa tahu aku datang dari kotaraja?" Biarpun kebetulan di situ tidak terdapat orang lain, pengemis itu menjawab berbisik,

"Suaramu asing, tentu menarik perhatian. Satu petanyaan lagi, apakah pakaianmu putih?" Han Le menjadi semakin heran.

"bagaimana engkau bisa tahu? memang pakaianku putih." Akan tetapi pengemis buta itu tidak menjawab, melainkan bangkit berdiri dan melangkah pergi, menggunakan tongkatnya yang panjang untk meraba-raba ke atas jalan. Han Le merasa penasaran dan cepat mengejar. Akan tetapi dia enjadi semakin terkejut dan heran. Biarpun orang itu buta dan berjalan dengan meraba-raba, namun gerakannya cepat bukan main sehingga diapun harus melakukan ilmu berjalan cepat untuk menyusulnya! Dan ternyata orang itu erhenti di belakang rumah kampung yang sepi karena senja telah larut, dan menantinya.

"Tuan, berhati-hatilah. Nanti malam tepat tengah malam jam dua belas, pergilah ke kuil tua di luar pintu gerbang sebelah timur. Kami semua berkumpul di sana dan kedatanganmu amat dinantikan." tanpa menanti jawaban, pengemis buta itu meloncat dan agaknya dia sudah hafal dengan jalan di sini karena kini dia berlari cepat.

Han Le menjadi semakin penasaran dan hendak mengejar. Akan tetapi dia teringat akan pesan orang itu dan diapun menghentikan niatnya untuk melakukan pengejaran. Orang pengemis buta itu agaknya telah mengenalnya dan tahu bahwa dia datang dari kotaraja. Akan tetapi kenapa dia disuruh datang tengah malam nanti di kuil tua sebelah timur pintu gerbang? Siapakah pengemis buta itu? Dari gerakannya ketika meninggalkannya, dia dapat menduga bahwa pengemis itu bukan orang sembarangan, atau mungkin juga hanya pura-pura buta saja. Apakah dia seorang mata-mata kerajaan yang mengenalnya sebagai pemuda yang pernah menolong keluarga Kaisar? Ataukah seorang utusan dari Permaisuri kedua yang hendak menjebaknya? Apapun yang terjadi, dia harus menghadiri pertemuan pada tengah malam itu.

Dia sudah tertarik sekali karena tahu bahwa dia menghadapi pengalaman yang menegangkan, mungkin berbahaya. Han Le bersikap tenang saja dan dia melanjutkan keinginannya untuk makan di rumah makan. Banyak rumah makan di kota itu, dan dia memasuki rumah makan yang lezat hidangannya. Setelah makan kenyang dia kembali ke losmen. Malam itu dia beristirahat tanpa meninggalkan kewaspadaannya, dalam keadaan siap siaga, bahkan tanpa melepas sepatu dan pakaian luarnya. Sebelum tiba saat tengah malam, Han Le sudah meloncat keluar dari kamarnya dan meninggalkan losmen secara diam- diam. Tidak sukar baginya untuk pergi ke gerbang timur tanpa kelihatan orang. Malam sudah larut dan sunyi. Hanya beberapa orang laki-laki mabok saja yang berjalan sempoyongan menuju pulang dan rumah-rumah makan yang paling lambat baru saja ditutup.

Han Le mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon, karena dia dapat menduga bahwa di tempat itu tentu berkeliaran banyak orang pandai. Dia langsung menuju ke pintu gerbang timur dan memilih bagian tembok yang tidak terjaga dan gelap untuk melompatinya dan keluar dari tembok kota. Malam itu gelap sekali. Menguntungkan bagi Han Le yang bergerak dengan hati-hati mendekati kuil tua terpencil yang berdiri di lereng bukit itu. Biarpun kuil itu merupakan sebuah kuil kuno yang sudah kosong, namun temboknya masih nampak kokoh kuat, dan malam ini ada sinar penerangan yang menyorot keluar dari dalam kuil, tanda bahwa di situ terdapat orang. Kuil ini memang kadang-kadang dipergunakan orang untuk melewatkan malam,

Tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai uang untuk bermalam dengan menyewa kamar losmen. Dilihatnya beberapa sosok tubuh orang berjaga di depan dan di belakang kuil secara sembunyi. Hal ini sudah diduganya. Pengemis buta itu mengatakan bahwa "mereka" akan menanti kehadirannya, berarti di situ akan terdapat banyak orang dan tentu akan membicarakan urusan penting, maka tentu tempat itu dijaga. Diapun mempelajari keadaan. Kuil itupun cukup besar, merupakan bangunan induk dan bangunan-bangunan kecil di sekelilingnya. Beberapa orang penjaga itu hanya mengawasi bagian depan dan belakang kuil, hanya kadang-kadang saja meronda melewati kedua bagian pinggir. Ketika melihat tiga orang penjaga lewat meronda Han Le cepat menyusup dan begitu mereka lewat,

Diapun meloncat naik ke atas genteng kuil sampai dari pinggir. Gerakannya cepat dan sudah diperhitungkannya sehingga di dalam kegelapan malam itu, tidak kelihatan apa-apa dan kakinyapun tidak menimbulkan suara ketika menginjak genteng.Pakaiannya yang serba putih itu kini sudah tertututp sehelai mantel biru yang tadi sengaja dipakaianya untuk menutupi pakaiannya yang putih. Han Le merayap di atas genteng kuno yang tebal itu, menuju ke bangunan induk dari mana menyorot sinar penerangan yang cukup besar. Dengan hati-hati dia membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata ruangan di bawah itu cukup luas dan agaknya sudah dibersihkan untuk keperluan ini. Tidak ada meja kursi di situ, dan di lantai telah dihamparkan tikar yang menutupi lantai dari ujung ke ujung.

Ada lima orang duduk di dalam ruangan itu, dan satu di antaranya segera dikenal oleh Han Le, yaitu si pengemis buta! Dan dia merasa malu terhadap diri sendiri yang tadi pernah mengira bahwa pengemis buta itu hanya pura-pura buta, karena kini ternyata bahwa orang itu memang buta! Kedua matanya yang hampa nampak putihnya saja itu kelihatan jelas tersorot sinar lampu yang ada empat buah bergantungan di ruangan itu. Kini nampak si buta itu mengetuk-ngetuk lantai bertilamkan tikar dengan tongkatnya, seperti ingin minta perhatian. Empat orang kawannya itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, sikap mereka gagah, dengan pakaian sederhana, ada yang menyamar seperti petani, ada pula yang seperti saudagar, akan tetapi mereka semua memiliki sinar mata yang mencorong penuh semangat.

"Sudah kukatakan, aku tidak akan keliru. Menurut penyelidikan teman-teman kita, orang itu berpakaian serba putih dan dia mempunyai sepasang mata yang biru! Bukti apalagi yang lebih meyakinkan? Tentu dialah orangnya yang kita tunggu, dan ketika aku mencoba dengan tongkatku, dia mudah saja menghindar. Karena itulah dia kuundang." Berdebar rasa jantung dalam dada Han Le, mereka sedang membicarakan diriya! Kiranya dia disangka orang lain!

"Akan tetapi, Lo-Kai (pengemis tua), aku masih merasa heran bagaimana orang kulit putih mau membantu kita? Benar-benarkah mereka itu, ataukah hanya tipu muslihat belaka?"

"Hemm, kurasa mereka bersungguh-sungguh. Setelah mereka menang perang dan mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Ceng, mereka memperoleh banyak keuntungan, mendapat kebebasan berdagang di mana saja. Tai Peng merupakan ancaman bagi pemerintah kerajaan Ceng, yang berarti juga mengancam kedudukan mereka. Karena itu, setiap usaha untuk menghancurkan Tai Peng, kini tentu akan dibantu oleh orang kulit putih!

"Akan tetapi, Lo-Kai," kata orang kedua sangsi.

"Aku mendengar bahwa hubungan antara kulit putih dan Tai Peng baik sekali, karena mereka itu memiliki agama yang sama."

"Benar," kata orang ketiga,

"Aku pernah menyelundup ke Nan-king dan melihat banyak orang kulit putih berkeliaran di sana. Sudah lama Tai Peng bersahabat dengan orang kulit putih."

"Sekarang sudah pasti tidak demikian," kata Kakek buta dengan suara yakin.

"Ingat saja tentang candu. Tai Peng melarang candu masuk ke wilayah kekuasaan mereka. Hal ini saja mendatangkan kerugian besar bagi orang kulit putih. Pula, kesamaan agama mereka hanya namanya saja, akan tetapi orang kulit putih juga tahu bahwa agama mereka itu telah dirobah oleh Kaisar Tai Peng, dan menjadi alat untuk mengelabui rakyat, bukan agama yang aseli. Lebih menguntungkan bagi orang kulit putih kini untuk bersahabat dengan Kerajaan Ceng daripada dengan Tai Peng yang mulai nampak belangnya." Diam-diam Han Le mendengarkan percakapan itu dan dia kagum terhadap si buta yang nampaknya demikian mengenal keadaan pemerintahan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menelan begitu saja keterangan pengemis buta itu yang membenci Tai Peng dan agaknya orang-orang ini mau bersekutu dengan orang kulit putih untuk menentang Tai Peng! Dan agaknya di situ akan diadakan untuk membicarakan urus an politik.

"Akan tetapi, Lo-Kai. Kalau gerakan kita tidak menentang pemerintah Mancu, bahkan membantu pemerintah Mancu menentang Tai Peng, dan bekerja sama dengan orang kulit putih, bukankah berarti kita ini lalu menjadi kaki tangan pemerintah penjajah? Bagaimanapun juga, Tai Peng adalah gerakan rakyat yang berhasil menduduki sebagian tanah air dan merampasnya dari cengkeraman penjajah Mancu!" kata orang keempat. Tiga orang temannya mengangguk-angguk setuju. Pengemis buta itu menarik napas panjang.

"Pertanyaan itu merupakan hal yang selalu diragukan oleh para pendekar yang membantu perjuangan rakyat. Akan tetapi, kalian belum tahu akan seluk beluknya politik dan ilmu perang. Tidak bisa disamakan dengan ilmu silat bela diri. Dalam ilmu perang banyak lika-likunya. bahkan kalau perlu, golongan yang kemarin dimusuhi, hari ini dirangkul sebagai sahabat, walaupun mungkin besok sudah kita pukul lagi sebagai musuh! Kita takkan berhasil kalau haya memeperlihatkan kepahlawanan saja, mencoba utuk membersihkan tanah air dari musuh-musuh sekaligus! Bagaimana mungkin kita mengusir sekaligus penjajah Mancu, penjahat-penjahat Tai Peng, dan pasukan kulit putih? Tidak mungkin sama sekali! Karena itu , kita harus menghancurkan yang terpenting lebih dulu, dan menggandeng kekuatan lain untuk membantu kita. Karena itu, tujuan kita sekarang adalah menghancurkan Tai Peng, dan untuk itu, kita mengulurkan tangan kepada orang kulit putih, juga kepada pemerintah Kerajaan Ceng. Setelah kelak Tai Peng hancur, barulah kita mengalihkan sasaran kepada Kerajaan Mancu, atau kepada orang kulit putih, tentu saja sesuai dengan keadaannya nanti. Mengertikah kalian?" Empat orang itu saling pandang, akan tetapi mereka masih belum mengerti benar. Mereka adalah orang-orang gagah yang telah digembleng untuk bersikap gagah, tidak suka akan siasat-siasat dan muslihat licik. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa mereka menghadapi urusan yang terlalu besar dan berat bagi mereka, bahwa mereka hanyalah pelaksana-pelaksana, merekapun mengangguk saja. Tiba-tiba terdengar suara penjaga dari luar berteriak akan datangnya tamu dari kotaraja!

"Silakan dia masuk!" kata pengemis buta. Dari pintu ruangan itu yang kini menjadi lebar sekali karena separuh dinding bagian itu telah bobol, muncul tiga orang laki-laki yang usianya mendekati lima puluh tahun. Mereka masuk dengan langkah gagah, kemudian mereka menghadapi lima orang yang duduk bersila itu, seorang di antara mereka berkata,

"Kami diutus oleh Pangeran Kung untuk memenuhi undangan cu-wi (anda sekalian)."

"Bolehkah kami melihat surat perintah dari Pangeran Kung?" tanya si buta. ketika laki-laki tinggi besar yang mewakili dua orang temannya itu megeluarkan tanda perintah dari Pangeran Kung yang ada capnya sang pangeran, tentu saja bukan si buta yang menerimanya melainkan empat orang temannya yang mengembalikannya kepada tamu itu setelah menelitinya.

"Kami masih belum melupakan sekap pemerintah terhadap teman-teman kami seperjuangan," kata pengemis buta itu dengan suara yang angkuh,"dan hanya karena kami percaya kepada Pangeran Kung maka kami mengirim undangan agar ada wakil dari kotaraja yang menyaksikan pertemuan penting ini. Kami hanya mengharapkan persetujuan dari pemerintah tanpa campur tangan dan tanpa menghalangi gerakan kami untuk memukul Tai Peng."

"Kami mengerti dan kamipun datang sebagai penonton dan pendengar belaka," kata orang tinggi besar. Mereka dipersilakan duduk dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang gadis di ruangan itu. Tiga orang wakil pemerintah kerajaan itu terkejut, akan tetapi lima orang itu tidak memperlihatkan rasa kaget.

"Aih, Thio-Siocia (nona Thio)! Mana Ayah Ibumu?" tanya seorang di antara teman-teman si pengemis buta. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan tadi Han Le yang melakuan pengintaian, terkejut dan kagum bukan main melihat betapa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepatnya. Kini, dia dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas di bawah sinar empat buah lampu besar. Wajah yang lonjong dengan dagu meruncing manis, hidungnya agak berjungkat ke atas menambah kemanisan wajahnya.

Wajah yang ayu itu selalu berseri dan cerah, mulutnya seperti selalu menghias senyum, matanya berkilauan dan pakaiannya rapi. Tahi lalat merah di sudut bawah dagu menambah daya tariknya. Seorang gadis yang cantik jelita, dengan bentuk tubuh yang ramping indah! Gadis itu bukan lain adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng. seperti telah diceritakan di bagian depan, keluarga ini ikut pula terjun ke dalam perjuangan, dan semuda itu, Eng Hui sudah pula membantu orang tuanya. Mereka bertiga kini menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin oleh Li Hong Cang, dan ikut membantu pemimpin rakyat itu untuk melatih perajurit yang terdiri dari rakyat jelata. Seperti juga Ceng Kok Han yang membuat persiapan menghimpun tentara atau bekas laskar rakyat di sebelah barat, Li Hong Cang juga menghimpun laskar rakyat di sebelah timur.

"Ayah dan Ibu sibuk, dan akulah yang ditunjuk oleh Li-bengcu (ketua Li) untuk menghadiri pertemuan ini. Li-bengcu, juga Ayah dan Ibu, mengirim salam kepada Pek-Gan Lo-Kai dan kawan-kawan di sini!" Tiba-tiba Kakek pengemis buta itu tertawa gembira.

"Ha-ha-ha, biarpun wanita, anak naga tentu akan menjadi naga perkasa pula! Nona yang baik, siapakah namamu?"

"Aku bernama Thio Eng Hui, Lo-Kai."

"Bagus, nona Eng Hui, aku terima salam dari Li-bengcu yang kuhormati, dan orang tuamu yang kukagumi. Silakan duduk, nona," dan kepada tiga orang tamu pertama, Kakek pengemis buta itu memperkenalkan,

"Nona ini merupakan utusan dari Li-bengcu, dan nona Eng Hui, mereka bertiga itu adalah utusan dari pangeran Kung, yang datang sebagai peninjau saja." Sambil duduk di atas lantai, tiga orang laki-laki itu memberi hormat kepada gadis muda itu, yang dibalas dengan sikap dingin oleh Eng Hui. Sejak kecil, oleh Ayah Ibunya, gadis ini dididik untuk membenci pemerintah Kerajaan Mancu, maka, kini berhadapan dengan tiga orang utusan Pangeran Kung, tentu saja ia merasa tidak senang, walaupun ia juga tahu bahwa sasaran perjuangan kali ini adalah menentang Tai Peng.

"Di mana wakil dari pasukan kulit putih?" Ia menoleh ke kanan kiri untuk mengalihkan percakapan agar tidak perlu bicara dengan wakil istana Mancu itu.

"Apakah dia belum datang"

"Jangan khawatir, nona Eng Hui, dia pasti datang," kata Pek-Gan Lo-Kai. pengemis tua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di daerah selatan dan biarpun matanya buta, namun dia memiliki kepandaian yang lihai sekali. Julukannya, Pek-Gan Lo-Kai (Pengemis Tua Mata Putih) merupakan nama poyokan, akan tetapi kau m kang-ouw menghormatinya karena dia berjiwa gagah perkasa, dan biarpun hidup sebagai pengemis, namun dia selalu menentang kejahatan. Matanya yang putih itu memang tidak dapat melihat, akan tetapi Tuhan Maha Adil, dan sebagai pengganti matanya, dia mendapat kepekaan yang luar biasa dalam alat tubuh lainnya, pendengarannya, penciumannya, perasaan dan rabaan tangannya,

Semua amat peka melebihi manusia biasa sehingga semua itu dapat menutup kebutuhan hidup yang terganggu oleh butanya mata. Karena lihai ilmunya, dalam pengetahuannya dan banyak pemgalamannya, maka semua tokoh kang-ouw setuju mengangkatnya menjadi pemimpin kelompok laskar rakyat yang berada di sepanjang sungai dan di perbatasan antara daerah Tai Peng dan daerah Kerajaan Ceng. Juga Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang pemimpin besar yang menghimpun laskar rakyat, percaya kepadanya untuk memimpin rencana penyerbuan terhadap kota Cu-sian, yang merupakan benteng pertama sebelah utara sungai dari pasukan Tai Peng. Malam itu diadaan pertemuan untuk merundingkan urusan besar itu dan tanpa di sengaja, Han Le menjadi saksi peristiwa yang amat penting ini, yang merupakan sumbu pertama yang menyulut api peperangan antara laskar rakyat melawan Tai Peng.

"Dia? Apakah mereka tidak datang semua?" Eng Hui bertanya.

"Mereka? Aku hanya bertemu dengan seorang saja. Bukankah dia berpakaian serba putih?"

"Benar, akan tetapi dua orang pembantunya berpakaian bisa, seperti pakaian kuli yang memikul barang-barangnya. Dia menyamar sebagai seorang pelancong. kebetulan saja aku bertemu dengan mereka di luar pintu gerbang kotaraja."

"Sebentar lagi tentu dia akan datang," kata pula Pek-Gan Lo-Kai. Mendengar ini Han Le yang merasa semakin tertarik, tahu bahwa saatnya telah tiba untuk muncul. Dia dengan hati- hati merangkak kembali ke atas wuwungan bangunan samping kuil itu, dan meloncat keluar dari tembok kuil dan dengan jalan memutar dia mengampiri pintu depan. Tiba-tiba bermunculan empat orang penjaga yang meghadangnya.

"Siapa engkau?" bentak mereka. Han Le tersenyum mengejek.

"Kalian tentu siapa aku," jawabnya."Katakan saja kepada Pek-Gan Lo-Kai bahwa aku si baju putih telah datang memenuhi undangannya." Seorang di antara para penjaga segera melapor dan setelah
mendapat jawaban dari Pek-Gan Lo-Kai yang mempersilakan tamunya masuk, Han Le diperbolehkan masuk dan dikawal oleh para penjaga menuju ke ruangan di bangunan induk. Sepasang mata Han Le menjadi agak silau ketika penerangan lampu menyambutnya di ruangan itu. Sembilan pasang mata dari mereka yang hadir di dalam ruangan itu menyambutnya dan memandangnya penuh perhatian. Tiba-tiba Eng Hui meloncat dari atas tikar, berdiri menghadapi Han Le dan berseru dengan suara galak.

"Lo-Kai, dia ini bukanlah si pakaian putih yang menjadi wakil orang kulit putih itu!" Mendengar ucapan Eng Hui, semua orang terkejut, terutama sekali lima orang yang menjadi tuan rumah. seorang yang mukanya hitam, teman Pek-Gan Lo-Kai yang berjuluk harimau Muka Hitam, sudah meloncat dan enghadapi Han Le, siap untuk menyerang, hanya tinggal menunggu komando di pengemis buta. Pek-Gan Lo-Kai juga bangkit berdiri dan menudingkan tongkatnya kepada Han Le.

"Engkau berpakaian putih dan datang dari kotaraja?" pertanyaan yang pernah diajukan ini diulang kembali sehingga Han Le merasa geli.

"Benar, akan tetapi engkau buta bagaimana bisa tahu?"

"Dan engkau mata-mata dari orang kulit putih yang dikirim ke sini?"

"Siapa bilang aku mata-mata. Ingat, orang tua, kita saling bertemu di pintu gerbang losmen dan engkau yang mengundangku ke sini, dan aku..."

"Celaka, dia tentu mata-mata Tai Peng!" Eng Hui yang sejak tadi merasa curiga, membentak marah. Han Le merasa mendongkol.

"Aku bukan mata-mata siapapun juga..." Akan tetapi Harimau Muka Hitam yang berada dekat di depannya, membentak,

"Orang muda, menyerahlah engkau!" Dan tangannya yang berjari besar dan membentuk cakar harimau itu telah menambar ke arah pundak Han Le untuk mencengkeram dan menangkap. tentu saja Han Le tidak sudi ditangkap, dan dengan sedikit miringkan tubuhnya saja dia sudah dapat menghindarkan terkaman itu.

"Tempat gila apa sih ini? Tanpa dosa tanpa perkara, aku diundang ke sini tengah malam, dan begitu muncul, aku hendak ditangkap. Enak saja!" Han Le mengomel walaupun dia tahu bahwa dia dicurigai sebagai mata-mata Tai Peng. Agaknya percuma saja dia menyangkal dan mestinya dia melarikan diri saja dan tidak mencampuri urusan mereka. Akan tetapi melihat orang-orang ini, terutama munculnya Thio Eng Hui, membuat hatinya tertarik dan orang-orang ini tentu memiliki ilmu silat tinggi, maka diapun ingin sekali menguji kepandaian mereka.

"Tak perlu bersandiwara, engkau tentu mata-mata Tai Peng!" Si muka hitam kini menerjang lagi, lebih hebat dari tadi karena dia merasa penasaran betapa mudahnya pemuda itu tadi mengelak dari sambaran cengkeraman tangannya.

Kini dia memajukan kaki kanan yang masih membentuk cakar harimau, mencakar ke arah muka Han Le sedangkan tangan kiri menyusul dengan tusukan jari terbuka ke arah perut pemuda itu. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang amat berbahaya bagi Han Le. Namun, pemuda ini bersikap tenang saja, hanya nampak kedua tangannya bergerak cepat bukan main dan tiba-tiba Si Harimau Muka Hitam itu mengeluarkan seruan kaget, kedua lenganya lumpuh karena di sambar jari-j ari tangan yang menotok jalan darah di atas siku dan selagi kedua lengannya tergantung lemah tak berdaya, Han Le mengirim tendangan dan tubuh yang tinggi besar itupun terbanting roboh! Melihat ini, tiga orang yang lain terkejut dan mereka sudah berloncatan bangun, akan tetapi tiba-tiba Pek-Gan Lo-Kai membentak.

"Mundur! Biar aku yang menghadapinya!" Biarpun matanya buta, namun sekali menggerakkan kaki, pengemis buta itu telah berada di depan Han Le. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Kakek ini dan Han Lepun tidak berani memandang ringan.

"Orang muda, siapakah sebenarnya engkau? Kalau benar gagah, mengakulah saja bahwa engkau mata-mata Tai Peng!" Han Le menarik napas panjang, hatinya kesal.

"Pek-Gan Lo-Kai, engkau seorang tua yang sudah buta, sebetulnya harus dikasihani, akan tetapi sikapmu malah membikin orang jengkel. Tanpa dosa, ketika keluar dari losmen, engkau mencoba untuk menjegal kakiku, kemudian engkau bertanya apakah aku berpakaian putih dan datang dari kotaraja. Karena memang pakaianku putih dan datang dari kotaraja, tentu saja aku benarkan. Dan engkau mengundang aku datang di tengah malam begini di sini, akan tetapi hanya disambut serangan!"

"Hemm, siapa percaya omonganmu? Engkau mencurigakan dan lihai. Siapakah engkau sebenarnya?"

"Aku seorang perantau biasa, namaku Gan Han Le..."

"Dia tentu mata-mata Tai Peng!" Tiba-tiba seorang di antara tiga utusan Pangeran Kung berseru.

"Kami pernah mendengar tentang dia! Dia pernah menyelamatkan keluarga Kaisar ketika melarikan diri ke Yehol, akan tetapi kemudian dia kurang ajar dan kabarnya hendak membunuh Ibu Suri kedua. Dia buronan kami dan tentu mata-mata Tai Peng.

"Bagus, menyerahlah, orang muda!" kata Pek-Gan Lo-Kai. Kakek ini yang pada saat ini terpaksa harus berbaik dengan orang kulit putih dan kerajaan, mendengar betapa pemuda ini pelarian dan buruan tentara kerajaan, hendak mendatangkan kesan baik dengan ikut menangkapnya.

"Aku tidak sudi menyerah kepada siapapun!" Han Le balas membentak, marah sudah. Diapun ingin menguji kepandaian Kakek buta yang agaknya amat berkuasa di antara para tokoh yang hadir.

"Kalau begitu, sambutlah tongkatku!" Pek-Gan Lo-Kai menyerang.

Tongkatnya yang butut dan tidak berapa besar itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara angin bersiutan! Namun, Han Le dapat cepat mengelak. Ketika tongkat itu membalik dan menyambar lagi bertubi-tubi sampai tujuh kali, Han Le tetap mengelak ke sana-sini. Namun, tongkat itu menyambar terus. Ketika tongkat menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, Han Le tidak lagi mengelak melainkan menangkis dengan totokan ke arah pundak kanan dengan maksud agar Kakek it melepaskan tongkatnya. Akan tetapi dia terkejut. Kakek itu tidak mengelak dan ketika totokannya mengenai pundak, ujung jarinya bertemu dengan daging yang demikian keras dan licin sehingga totokannya meleset dan pada saat itu tongkat sudah menyambar lagi, menghantam ke arah kepalanya! Han Le melompat ke belakang dan kini dia tidak berani main-main lagi.

Kakek ini ternyata lihai bukan main dan ketika dia balas menyerang, Kakek itu seperti memiliki mata yang awas saja, tahu ke arah mana lawan mengirim serangan sehingga dia dapat mengelak atau menangkis dengan totokannya. Han Le mulai merasa khawatir, Dia telah memasuki guha harimau yang penuh dengan harimau-harimau yang galak dan berbahaya. baru Kakek buta ini saja demikian lihainya, kalau mereka semua maju mengeroyok, dia bisa celaka. Maka, diapun tidak ingin memperpanjang perkelahian itu. Ketika Kakek itu menghantamkan lagi tongkatnya, Han Le menanti sambil mengerahkan tenaga khikangnya, lalu menyambut tongkat itu dengan dorongan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan nyaring, menggunakan Ilmu Sin-houw Ho-kang, yaitu semacam ilmu serangan melalui suara yang dapat mengguncangkan jantung lawan!

"Dessss...!" Kakek buta itu terpental ke belakang, tubuhnya tergetar oleh suara melengking yang dikeluarkan oleh Han Le dan tangkisan pemuda itu amat kuat. Melihat ini, Thio Eng Hui sudah menerjang ke depan dan tangannya menampar ke arah leher Han Le. Melihat tamparan yang demikian cepat dan mendatangkan angin pukulan berat, Han Le menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mengundurkan lawan yang kelihatannya juga amat lihai ini.

"Dukk...!" Keduanya terkejut dan keduanya terdorong ke belakang! Han Le terbelalak memandang. kiranya gadis ini lebih kuat sinkangnya dibandingkan Kakek buta! Sungguh seorang lawan yang berat! Kini tahu-tahu gadis itu telah memegang tongkat pendek seperti pedang, kemudian menyerangnya kalang kabut dengan kecepatan yang membuat Han Le menahan napas! Diapun mengerahkan ginkangnya, untuk mengimbangi kecepatan gerakan gadis itu. Orang-orang lain termasuk Kakek buta yang mengikuti perkelahian itu dengan telinganya, mejadi kagum. Sungguh kedua orang muda itu merupakan lawan yang amat cepat gerakannya dan seimbang kekuatannya! Mereka semua tidak tahu bahwa kedua orang muda itu adalah cucu-cucu murid dari dua diantara Empat Racun Dunia.

Han Le memainkan ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoat yang menjadi ilmu dari Thian-tok, sedangkan Eng Hui memainkan tongkatnya dengan Ilmu Tongkat Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dari Tee-tok! Melihat betapa gadis yang mereka andalkan agaknya tidak dapat dengan cepat merobohkan pemuda baju putih itu, Pek-Gan Lo-Kai menggerakkan tongkatnya kembali membantu Eng Hui. bahkan empat orang kawannnya juga siap-siap melakukan pengeroyokan, sedangkan tiga orang utusan dari Pangeran Kung sudah gatal tangan pula untuk ikut terjun dan membantu menangkap mata-mata Tai Peng yang lihai itu! Ketika Pek-Gan Lo-Kai maju dengan tongkat panjangnya, Han Le masih mampu memepertahankan diri menghadapi pengeroyokan gadis dan Kakek itu. Akan tetapi ketika empat orang pembantu Pek-Gan Lo-Kai maju,

Sedangkan tiga orang utusan kotaraja siap-siap pula dan dari luar berdatangan belasan orang anak buah Pek-Gan Lo-Kai yang tadi melakukan penjagaan, Han Le mulai merasa terkepung ketat dan keadaannya berbahaya. Dia tidak melihat lubang untuk meloloskan diri kecuali membela diri mati-matian sambil mencari kesempatan untuk membalas serangan lawan. Keadaan Han Le sungguh terancam bahaya. Biarpun dia seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi, namun para pengeroyoknya juga orang-orang yang amat lihai. Baru tingkat kepandaian Eng Hui saja sudah hampir mengimbanginya, apalagi di situ terdapat Pek-Gan Lo-Kai yang juga tangguh sekali dan para pembantunya yang cukup lihai. Kalau keadaannya sudah mengancam benar dan tidak ada jalan keluar lagi, terpaksa dia akan mencabut pistolnya dan mempergunakan senjata itu untuk meloloskan diri, pikirnya.

"Dar! Dar! Dar!..." Tiba-tiba terdengar ledakan keras tiga kali dan nampak asap di luar ruangan. Tiga orang penjaga roboh tewas seketika dan semua orang menghentikan perkelahian, terkejut memandang keluar dan ternyata ruangan itu telah terkepung oleh puluhan orang pasukan Tai Peng yang diantaranya ada yang memegang bedil! Pasukan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Seorang tinggi kurus bermuka pucat, dan yang seorang lagi tinggi besar bermuka merah. Mereka ini bukan lain adalah Tiat-Pi Kim-Wan (Lutung Emas Berlengan Besi) dan Seng-jin Sin-touw (Maling Sakti Dewa), dua di antara tokoh-tokoh sesat yang menjadi pembantu kanan Ong Siu Coan, raja dari Tai Peng!

"Orang muda, engkau hebat juga," kata Tiat-Pi Kim-Wan kepada Han Le, senang melihat pemuda itu tadi dikeroyok oleh orang-orang yang dia tahu adalah pimpinan laskar rakyat yang memusuhi Tai Peng. Akan tetapi Han Le mengerutkan alisnya dan tidak menjawab, walaupun kedatangan orang-orang Tai Peng itu telah menyelamatkannya.

"Ha-ha, Pek-Gan Lo-Kai, engkau jembel tua bangka berani mengadakan pertemuan di sini untuk menentang Tai Peng, ya? Dan kalian bersekutu dengan orang-orang bule yang berhati palsu itu untuk mengeroyok kami? Ha-ha, tentu kalian sedang menanti datangnya mereka ini, bukan?" Dia memberi isyarat dan anak buahnya mendorong tiga orang yang terjatuh ke lantai ruangan itu, seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang berpakaian serba putih, dan dua orang berpakaian sebagai kuli.

"Mereka ini mata-mata orang kulit putih yang kalian tunggu-tunggu? Ha-ha-ha! Orang-orang kulit putih telah mengkhianati kami. Lihat, inilah hukuman bagi mereka dan kalianpun seorang demi seorang, kecuali si baju putih ini yang tidak memusuhi kami, akan menerima hukuman yang sama!" Dia memberi isyarat lagi ke belakang.

"Dar! Dar! Dar!" Tiga kali bunyi tembakan, asap mengepul menggelapkan ruangan itu dan tiga orang mata-mata orang kulit putih itupun roboh mandi darah, menggelepar sekarat.

Kesempatan selagi ruangan penuh asap itu dipergunakan oleh yang memutar tongkatnya, merobohkan empat orang anggauta pasukan Tai Peng di sebelah kiri dan meloncat keluar dari ruangan. Juga Pek-Gan Lo-Kai dan teman-temannya memutar senjata menghadapi pasukan Tai Peng, mengamuk untuk meloloskan diri. Tiga orang utusan dari kota raja juga terpaksa membela diri dan mencari jalan keluar. Terjadilah pertempuran yang kacau di dalam ruangan itu. Han Le hanya berdiri di pojok, merasa ragu karena dia tidak tahu harus membantu siapa. Dia tahu bahwa Pek-Gan Lo-Kai dan teman-temannya itu adalah para pejuang rakyat yang hendak menentang Tai Peng, sedangkan gadis yang tadi disebut nona Thio Eng Hui oleh si pengemis buta jelas adalah utusan dari Suhengnya,

Yaitu Li Hong Cang yang sekarang telah menjadi bengcu atau pemimpin rakyat yang berjuang. Tiga orang itu adalah utusan dari Kerajaan Mancu. Dia tidak mau membantu kedua pihak, juga dia merasa ragu-ragu untuk membantu orang-orang Tai Peng, sebelum kedudukannya jelas di dalam kerajaan baru yang dipimpin oleh Ong Siu Coan, bekas Suheng mendiang Ayahnya itu. Maka diapun tidak mencampuri perkelahian itu. Perkelahian itu berjalan dengan seru dan Kakek pengemis buta itu memang lihai bukan main. Demikian pula tiga orang utusan dari kotaraja itupun lihai sehingga banyak pula anak buah Tai Peng yang roboh oleh mereka. dalam perkelahian yang campur aduk itu, di mana pengeroyokan dilakukan secara kacau, tidak mungkin lagi bagi para pemegang bedil untuk mempergunakan senjata api mereka,

Karena kalau hal ini dilakukan, banyak sekali bahaya akan mengenai tubuh teman sendiri. Akan tetapi, pasukan Tai Peng itu terlalu banyak jumlahnya, dan dua orang yang memimpin pasukan itu, yaitu Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw, juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai dan banyak pengalaman. Akhirnya, Pek-Gan Lo-Kai berhasil lolos keluar bersama seorang pembantunya, sedangkan tiga orang pembantunya yang lain tewas. Di pihak tiga orang utusan kotaraja, juga hanya dua orang saja lolos sambil membawa luka, sedangkan seorang lagi roboh dan tewas. Thio Eng Hui sudah lolos lebih dahulu sejak tadi. Setelah pertempuran berhenti, Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw lalu menghadapi Han Le dan Tiat-Pi Kim-Wan yang tadi sudah melihat kelihaian pemuda ini dan memujinya, kini bertanya dengan alis berkerut.

"Orang muda, tadi engkau dimusuhi mereka, dikeroyok dan hendak dibunuh. Mengapa setelah kami muncul membantumu engkau malah diam saja dan tidak mau membantu kami merobohkan mereka? Lihat, di antara anak buah kami banyak yang tewas dan terluka, sedangkan mereka banyak yang lolos." Han Le memandang kepada orang tinggi kurus itu dengan sikap acuh, lalu menjawab seenaknya.

"Aku tidak mengenal kalian, mengapa aku harus membantu dalam pekelahian itu?"


JILID 17

"Akan tetapi kau dimusuhi mereka?"

"Benar, karena aku disangka mata-mata Tai Peng."

"Dan kami adalah tokoh-tokoh pimpinan pasukan Tai Peng. Kenapa engkau yang kami tolong malah tidak mau membantu kami?" kini Seng-jin Sin-touw mencela. Han Le memandang orang tinggi besar itu penuh perhatian beberapa saat lamanya sebelum dia menjawab.

"Kalian bukan menolongku. Kalian adalah orang-orang Tai Peng dan tentu saja kalian memusuhi mereka yang menentang Tai Peng. Akan tetapi aku? Aku mereka serang karena mereka menyangka aku seorang mata-mata Tai Peng. Padahal aku bukan mata-mata Tai Peng. Kalau sudah jelas kedudukanku di Tai Peng, tanpa diminta lagi tentu tadi aku sudah membasmi mereka!" Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw saling pandang. Orang muda ini lihai, hal itu dapat mereka saksikan tadi ketika pemuda ini dapat bertahan dikeroyok oleh demikian banyaknya orang lihai. Namun, mengeluarkan kata-kata bahwa dia mampu membasmi mereka, sungguh amat sombong. Pek-Gan Lo-Kai dan kawan-kawannya tadi amat lihai, dan pemuda itu dikeroyok banyak orang tentu hanya mampu membela diri saja, mana mungkin membasmi mereka? Dapat meloloskan diripun sudah untung.

"Hemm, orang muda. Musuh-musuhmu tadi amat lihai, bagaimana engkau seorang diri, kalau tidak ada petolongan kami, akan mampu membasmi mereka" tanya Tiat-Pi Kim-Wan sambil tersenyum mengejek.

"Dengan kedua tanganku, kalau aku mau, aku dapat membasmi mereka tadi," hawab Han Le sejujurnya, bukan dengan maksud untuk menyombongkan diri. Jawaban ini membuat Tiat-Pi Kim-Wan menjadi penasaran sekali.

"Orang muda, engkau boleh jadi memiliki ilmu slat yang tinggi, akan tetapi tidak mungkin dapat membasmi banyak orang pandai yang mengepung dan mengeroyokmu demikian ketat. Andaikata kami ini musuh-musuhmu dan kini mengepungmu, bagaimana mungkin engkau dapat membasmi kami?" Tiat-Pi Kim-Wan memberi isyarat dan dua puluh orang pasukan telah mengepungnya, di antara mereka ada pula yang menodongkan bedil! Dua orang anak buah Lee Song Kim itupun sudah menodongkan senjata maisng-masing dengan sikap mengeroyok Han Le. Akan tetapi mereka tersenyum dan tahulah Han Le bahwa mereka memang hanya main-main atau ingin mengujinya saja. Diapun tersenyum,

"Tidak benar sama sekali!" katanya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia telah berada di belakang tubuh Tiat-Pi Kim-Wan, mencengkeram leher bajunya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan menekankan mulut pistol kecilnya di lambung pemimpin pasukan Tai Peng itu.

"Semua lempar senjata atau pimpinan kalian ini akan mati di ujung pistolku lebih dulu!" bentaknya. Semua anak buah Tai Peng terbelalak. Mereka tidak berani menyerang karena tubuh pemuda itu terlindung oleh tubuh Tiat-Pi Kim-Wan, sedangkan perwira tinggi kurus inipun terbelalak karena sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan pemuda baju putih, bahkan tidak melihat bagaimana pemuda itu tahu-tahu telah mencabut sebuah pistol. Pasukan itu masih ragu-ragu, dan tiba-tiba Han Le berkata lagi.

"Kalian masih belum yakin akan kemahiranku menembak pistol kecil ini? Lihat dua ekor cecak di atas itu." dan diapun cepat sekali menggerakkan tangan kanannya yang memegang pistol.

"Dar! Dar!" Semua orang memandang dan mereka terkejut dan kagum bukan main melihat jatuhnya dua buah kepala cecak yang tubuhnya sudah hancur dilanggar pistol! Han Le melepaskan cengkeramannya pada leher baju Tiat-Pi Kim-Wan, dan pistolnya telah lenyap lagi seperti disulap saja dan kini dia menghadapi dua orang tokoh Tai Peng itu dengan sikap tenang,sama sekali tidak memperlihatkan kebanggaan karena perbuatannya tadi bukan untuk membanggakan kepandaian melainkan untuk medatangkan kesan agar terpandang oleh orang-orang Tai Peng. Dua orang itu sejenak terbelalak, kemudian bertepuk tangan memuji, diikuti oleh para anggauta pasukan mereka yang merasa kagum sekali.

"Bukan main! Orang muda perkasa, engkau bukan hanya pandai ilmu silat, bahkan ahli memainkan senjata api pula! Siapakah namamu, orang muda?"

"Namaku Gan Han Le..."

"Ah, benar! Tadi aku merasa sudah mengenalnya. Dia adalah murid keponakan dari raja kita!" terdengar teriakan seorang perajurit yang usianya sudah empat puluh tahun. Perajurit ini pernah menjadi perajurit pengawal dan dia pernah melihat Han Le ketika dia bersama Ibunya tinggal di istana Ong Siu Coan. Mendengar ini, terkejutlah dua orang perwira itu. mereka mengenal akan kekerasan hati Raja Ong Siu Coan terhadap anak buah yang bersalah dan mereka tadi bersikap kurang hormat kepada murid keponakan raja itu!

"Benarkah... engkau murid keponakan raja kami?" tanya Tiat-Pi Kim-Wan. Han Le mengangguk.

"Benar, mendiang Ayahku adalah Sute dari Sri Baginda Raja Ong Siu Coan." Dua orang itu segera memberi hormat dengan sikap merendah, diikuti pula oleh anak buah mereka.

"Harap Gan-Taihiap sudi memaafkan kami yang tidak tahu dan tidak mengenal Taihiap. Marilah kami mengiringkan Taihiap untuk menghadap Sri Baginda di istana."

Han le mengangguk. Memang dia berniat untuk menghadap supeknya yang kini telah menjadi raja itu. Dahulu supeknya bersikap baik terhadap dia dan Ibunya, dan kini, selagi dia kehilangan pegangan, sebaiknya kalau dia menghambakan diri kepada raja Tai Peng itu. Bukankah dengan membantu Tai Peng meruntuhkan kekuasaan penjajah Mancu, sama saja dengan garis tujuan yang pernah diperjuangkan mendiang Ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu? Untuk apa dia membantu kedua Suhengnya yang kini menjadi pimpinan rakyat itu? Mereka agaknya telah menyeleweng, melakukan persekutuan dengan Pemerintah Mancu! Kaki tangan Lee Song Kim yang merupakan pasukan rahasia. Walaupun Lee Song Kim dan kaki tangannya bekerja membantu pemerintah Tai Peng, bahkan Lee Song Kim kini menjadi kaki tangan Ong Siu Coan,

Dan kekasih dari Kiki atau Tang Ki permaisuri dari raja Tai Peng itu, namun Lee Song Kim dan kaki tangannya merupakan kelompok rahasia tersendiri yang memiliki gerakan cepat, penuh rahasia, dan teratur sekali. Oleh karena itu, walaupun mereka mengajak Han Le sebagai seorang tamu kehormatan pergi ke istana menghadap Sri Baginda Raja, namun diam-diam Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw tekah mengutus seorang kepercayaan untuk lebih dulu pulang ke Nan-king dan menyampaikan laporan kepada Lee Song Kim tentang peristiwa yang terjadi di kota Cu-sian di perbatasan itu, dan tentu saja tentang Gan Han Le yang kini ikut bersama pasukan untuk pergi mengadap Sri Baginda. Mendengar laporan itu, Lee Song Kim langsung saja pergi menghadap Raja Ong Siu Coan, dan bersama permaisuri tang Ki mereka lalu membicarakan pemuda itu.

"Tidak disangka bahwa anak itu kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai," kata Ong Siu Coan.

"Sungguh menguntungkan sekali kalau dia mau menyumbangkan tenaga membantu kita. Dia harus diterima denga baik, disenangkan hatinya dan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan kepandaiannya."

"Akan tetapi, walaupun pendapat Paduka itu benar sekali, namun hamba kira sebaiknya kalau Paduka lebih dahulu menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya, dan apakah dia memang cukup lihai untuk diangkat menjadi pembantu Paduka yang boleh diandalkan," kata Lee Song Kim, bagaimanapun juga sudah memandang pemuda itu sebagai calon saingannya. Raja Ong Siu Coan tersenyum lebar, sepasang matanya yang mempunyai sinar aneh itu mencorong, wajahnya berseri menunjukkan bahwa hatinya bergembira saat itu.

"Tentu saja dia pandai sekarang. Anak itu memang berbakat, dan lupakah engkau kepada si muka buruk yang mengaku mata-mata orang kulit putih dan yang telah menukar Han Le dan Ibunya dengan dua ratus pucuk bedil itu? Ha, dia itu ternyata telah merampas senjata-senjata itu dari mata-mata yang sesungguhnya, dan dia itu lihai sekali. Agaknya Han Le menerima ilmu silat dari orang rahasia itu."

"Betapapun juga, kita harus berhati-hati," kata Tang Ki.

"Kita ingat siapa orang tua anak itu. Ayahnya adalah seorang pemberontak yang gigih, dan siapa tahu diapun condong untuk bersekutu dengan para pemberontak yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han itu. Dan ingat pula siapa Ibunya. Seorang wanita kulit putih. Tidak akan mengherankan kalau diam-diam kini dipergunakan oleh orang kulit putih untuk mengamat-amati kita,

Raja itu mengangguk-angguk. Dia merasa girang mendengar usul-usul dari permaisurinya dan tangan kanannya itu, dan makin yakinlah hatinya bahwa mereka berdua inilah sesungguhnya pembantu-pembantunya yangpalig setia dan boleh diandalkan. Ong Siu Coan bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu apa yang telah terjadi antara kedua orang ini, apa yang mereka lakukan di belakang punggungnya. Biarlah, pikirnya. Dia tidak membutuhkan lagi Tang Ki sebgai isteri atau kekasih, untuk itu dia dapat meguasai setiap orang wanita muda cantik yang disukainya. Dia membutuhkan Tang Ki sebagai sekutu, sebagai pembantu dan dia melihat bahwa Tang Ki amat berguna untuk mengikat Lee Song Kim! Biarlah mereka itu berjina sesuka hati mereka, sepuas hati mereka, karena hal ini merupakan kelemahan mereka yang menjadi senjata baginya untuk menundukkan mereka berdua!

"Selama ada kalian berdua membantuku, hatiku akan selalu tenang. Sebaiknya kalian berdua rundingkan bagaimana untuk menghadapinya, Lee-Ciangkun, engkau bertugas untuk menguji kepandaian Gan Han Le itu, dan kalian berdua atur saja siasat untuk menguji kesetiaannya. Nah, tinggalkanlah aku sendiri, aku hendak bersembahyang dan menghadap Bapa di Surga untuk memohon petunjuk-Nya." Tang Ki dan Lee Song Kim saling lirik, kemudian mengundurkan diri karena raja itu selalu mempergunakan alasan yang sama kalau hendak menyendiri, dan untuk melakukan apa saja di luar tahu permaisurinya atau orang lain, kecuali yang dikehendakinya. Ketika mereka keluar dari dalam ruangan itu, Lee Song Kim berbisik,

"Apakah dia tahu akan hubungan antara kita" Tang Ki tersenyum.

"Kau kira dia bodoh? Tentu saja dia tahu..."

"Aihhh...!" Wajak Song Kim berubah agak pucat. Tang Ki menggandeng tangannya dan menariknya memasuki sebuah di antara kamanya pribadi. setibanya di dalam, ia menutup daun pintu dan merangkul leher kekasihnya itu.

"Jangan khawatir! Dia sudah tidak membutuhkan aku sebagai isteri atau kekasih lagi. Masa itu sudah lama berlalu. Dia hanya membutuhkan aku sebagai sekutu dan pembantu yang setia." Mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan di dalam kamar itu, mencurahkan kasih sayang masing-masing menurutkan gairah nafsu mereka yang tak kunjung kering dan puas itu. Setelah itu, mereka lalu duduk di tepi pembaringan, seperti dua orang sahabat yang sedang berbincang-bincang, membicarakan tentang Han Le dan mengatur siasat untuk menghadapi pemuda itu. Begitulah, ketika Gan Han Le dibawa menghadap raja oleh dua orang perwira pembantu Lee Song Kim itu, dia diterima oleh Raja Ong Siu Coan dengan gembira, namun tidak terlalu lama.

"Ah, engkau tentu Gan Han Le, putera Sheila dan mendiang Gan-Sute itu!" kata Ong Siu Coan sambil tersenyum memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.

"Selama ini, engkau telah menuntut ilmu silat, kepada siapa saja engkau berguru, Han Le?" Han Le tidak ingin menyebut-nyebut nama gurunya yang kini amat dibencinya itu, dan pula, gurunya ternyata adalah Koan Jit, Suheng dari raja ini sendiri yang tadinya sudah disangka mati, tentu kalau dia mengaku, hal itu akan mengejutkan raja dan membuat dia repot saja.

"Harap Paduka sudi mengampuni hamba yang selama ini hamba tidak ada kesempatan untuk datang menghadap. Selama ini hamba merantau dan hamba belajar silat di mana-mana, dari siapa saja tanpa guru tertentu. Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Dia seorang yang cerdik dan diapun tahu bahwa orang muda ini hendak menyembunyikan nama gurunya. Tentu ada alasannya yang kuat, maka diapun tidak mau mendesak.

"Bagaimana dengan Ibumu? Di mana Ibumu sekarang?" Ditanya tentang Ibunya, Han Le menjadi semakin berduka, akan tetapi ditahannya agar dia tidak terbayang pada wajahnya.

"Ibu... Ibu telah meninggal dunia..." Suaranya mengandung haru dan kesedihan, sedih karena dia harus membohong dan mengatakan bahwa Ibunya telah mati, atau lebih baik mati saja daripada hidup menjadi isteri dari musuh besar yang membunuh Ayah kandungnya! Keharuan dan kedukan Han Le itu diterima sebagai pengakuan yang sebenarnya oleh Ong Siu Coan.

"Ah, engkau anak yang malang," katanya.

"Jangan berduka, Tuhan mencinta orang-orang yang malang."

"Terima kasih, Sri Baginda."

"Gan Han Le, menurut laporan orang-orangku, engkau bertemu dengan mereka ketika engkau berkelahi melawan orang-orang yang memusuhi Tai Peng. Dan engkau sekarang datang menghadap padaku, sesungguhnya, apa yang kau kehendaki?"

"Kalau Paduka sudi menerima, hamba ingin mengabdi kepada Paduka." Dia berhenti sejenak lalu cepat menyambung kembali.

"Hamba ingin seperti mendiang Ayah, ingin memebela tanah air dan bangsa, mengusir penjajah Mancu!"

"Bagus!" Ong Siu Coan tertawa girang.

"Engkau tepat sekali datang kepadaku kalau ingin menjadi seorang patriot. Mari kita hancurkan penjajah Mancu! Dan engkau akan kuangkat menjadi panglima sesuai dengan kepandaianmu. Untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaianmu, engkau harus menghadap Lee-Ciangkun yang bertugas untuk menguji para perwira baru. Bawa dia menghadap Lee-Ciangkun!" kata raja itu kepada Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw yang mengantar Han Le menghadap. Han Le menghaturkan terima kasih dan pergi bersama dua orang itu ke tempat tinggal Lee Song Kim yang berada di bangunan sayap kiri.

Dia disambut dalam sebuah ruangan yang luas di mana dia melihat seorang wanita berusia empat puluhan tahun yang masih nampak cantik jelita, dengan tahi lalat di pipi, pakaian yang amat mewah dan indah walaupun nampak ringkas dan agaknya ia merupakan orang yang paling dihormati di situ. Kursinya paling tinggi, dan belasan orang yang berpakaian panglima dan perwira duduk di kanan kiri dan belakangnya, nampak bersikap hormat terhadap wanita itu, dan terhadap seorang panglima yang duduk di sebelah kiri wanita itu. Sekali pandang saja Han Le mengenal mereka. Wanita itu adalah Panglima Lee Song Kim, seorang panglima baru yang datang belum lama setelah dia dan Ibunya berada di istana itu. kiranya panglima itu kini telah menjadi seorang panglima besar yang tentu tinggi kedudukannya, kalau tidak, tidak duduk sejajar dengan Permaisuri.

Karena di situ terdapat Sang Permaisuri, melihat betapa dua orang pengantarnya memberi hormat sambil berlutut, diapun memjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Tang Ki sebagai seorang permaisuri. Sepasang mata wanita ini berkilat. Ia membenci Ibu anak ini karena Ibu itu terlalu cantik sehingga menjatuhkan hati suaminya, bahkan juga menjatuhkan hati Lee Song Kim yang kini menjadi kekasihnya. Akan tetapi, ia tidak membenci anak ini. Seorang pemuda yang memiliki ketampanan yang aneh, dengan sepasang matanya yang kebiruan dan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap gagah. Apalagi kalau pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan dapat membantu Tai Peng, tentu saja ia tidak membencinya. Ia tahu bahwa Han Le memberi hormat dengan berlutut untuk menghormatinya, maka hatinya merasa senang.

"Bangkitlah, orang muda dan duduklah di kursi yang kosong itu. Engkau berada di antara tokoh-tokoh pimpinan pasukan, tidak perlu terlalu banyak penghormatan seperti di dalam istana."

Setelah menghaturkan terima kasih, Han Le lalu duduk, ikut menghadapi sebuah meja besar dan dia berhadapan dengan Lee Song Kim dan Tang Ki. Dengan pandang matanya Han Le menyapu mereka yang hadir dan ternyata ada tiga belas orang berpakaian perwira tinggi duduk di situ, jadi ada lima belas orang dengan Lee Song Kim dan Permaisuri. Dan ruangan itu dijaga ketat oleh kepungan pengawal, baik yang nampak terang-terangan maupun yang bersembunyi. Yang terakhir sekali, pandang mata Han Le bertemu dengan wajah Lee Song Kim dan mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang memiliki sepasang mata mencorong tajam dan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, pikir Han Le. Dia harus berhati-hati terhadap orang seperti ini.

"Gan Han Le, kami mendapat tugas dari Sri Baginda untuk mengenal dirimu lebih baik," kata Lee Song Kim dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik.

"Oleh karena itu, harap semua pertanyaan akan kau jawab dengan sejujurnya. Engkau datang untuk menghambakan diri kepada Kerajaan Sorga dari pasukan besar Tai Peng, benarkah?" Han Le mengangguk, tanpa menjawab.

"Apa yang mendorongmu bekerja membantu kami di sini?"

"Saya ingin membantu gerakan Tai Peng yang hendak menghancurkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu, dan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah," kata Han Le dengan jujur, tanpa ragu sedikitpun.

"Hemm, tahukah engkau siapa Ayahmu, orang macam apa dia?" tanya pula Lee Song Kim. pertanyaan-pertanyaan ini memang sudah diatur sebelumnya, dirundingkan dengan Tang Ki.

"Mendiang Ayah adalah seorang pahlawan, seorang pendekar dan patriot sejati!" jawab Han Le dengan suara lantang.

"Benar sekali, siapa yang tidak pernah mendengar nama pendekar dan pahlawan Gan Seng Bu semenjak Perang Madat? Kalau engkau ingin melanjutkan perjuangan mendiang Ayahmu, mengapa engkau tidak mengikuti gerakan mereka yang enamakan diri pejuang takyat, yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dan diikuti pula oeh banyak pendekar?" Pertanyaan ini merupakan pancingan yang berbahaya sekali. Kalau saja Han Le tidak merasa begitu membenci gurunya otomatis juga membenci kedua orang Suhengnya itu, dan kalau saja dia disangka wakil pihak kulit putih sehingga dia melihat bahwa kelompok pejuang rakyat itu kini bersekongkol dengan pemerintah Mancu dan orang kulit putih, tentu dia akan terjebak oleh pertanyaan Lee Song Kim itu.

"Tidak!" jawabnya tegas.

"Kelompok pejuang itu telah menyeleweng, bahkan kini bekerja sama dengan penjajah Mancu, dan dengan orang kulit putih. Saya lebih setuju dengan perjuangan Tai Peng yang jelas menentang penjajah Mancu." Lee Song Kim dan Tang Ki saling lirik, nampaknya puas dengan jawaban itu. Lee Song Kim malah tertawa.

"Ha-ha-ha, engkau memang benar sekali, Gan Han Le. Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu sesungguhnya hanyalah pengkhianat-pengkhianat bangsa yang menjadi anjing penjilat bangsa Mancu. mereka bergerak membantu penjajah untuk menentang kami, dengan dalih perjuangan untuk membohongi dan memikat rakyat. Akan tetapi, Han Le, engkau tentu ingat bahwa Ibumu adalah seorang wanita berkulit putih..."

"Saya harap Ciangkun tidak bicara tentang Ibuku yang sudah... sudah meninggal...". kata Han Le tak senang.

"Maaf, bukan maksudku untuk mengingatkan engkau kepada Ibumu yang telah tiada, hanya... karena engkau berdarah orang barat, bahkan melihat warna matamu juga mudah dilihat bahwa di dalam tubuhmu ada darah orang kulit putih, apakah engkau tidak mempunyai pikiran untuk mengabdi kepada pasukan kulit putih yang kini berkuasa di seluruh bandar pelabuhan?" Pertanyaan yang memikat dan juga menjemukan hati Han Le. Dia paling tidak suka diingatkan bahwa matanya biru, bahwa ada darah campuran mengalir di tubuhnya.

"Saya terlahir di atas tanah ini, minum air dari tanah ini, biarpun Ibuku sorang wanita kulit putih, namun beliau juga tidak suka kepada penjajah Mancu. Tanah airku adalah di sini, dan saya bersedia membelanya dengan taruhan nyawa." Tang Ki mengangguk-angguk.

"Akan tetapi Gan Han Le, ketahuilah bahwa semua tokoh pasukan Tai Peng, para panglima yang kini berada di sini, semua memiliki kelebihan dalam kepandaian khas mereka masing-masing. Untuk menjadi seorang perwira yang memimpin ribuan orang tentara, dia harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat ataupun dalam ilmu perang. Dia harus gagah perkasa dan berani mati. bersediakah engkau untuk diuji kepandaianmu dalam suatu pertandingan? Akan tetapi ingat, pertandingan silat dapat saja berakibat luka parah atau kematian!" Han Le sudah menduga bahwa tentu dia akan diuji kalau hendak mengabdi kepada seorang raja.

"Hamba bersedia," jawabnya singkat. Kini Lee Song Kim yang bicara,

"Gan Han Le, di antara perwira tinggi, ada tiga tingkat yang biasanya diuji di sini, dan di sini pula diputuskan tingkat mana yang dapat menerimanya. Tingkat ketiga diuji menandingi seorang perwira tinggi dan harus dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Ujian tingkat kedua dihadapkan kepada dua orang perwira tinggi dan dia harus dapat bertahan sampai lima puluh jurus pula, sedangkan untuk tingkat pertama, dia harus bertahan selama lima puluh jurus menghadapi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi. Tidak tahu tingkat mana yang akan kau tempuh?" Kalau memang akan menjadi perwira, harus yang tingkat pertama, pikir Han Le. Pula, di sini dahulu Ibunya hanya menjadi seorang pekerja di dapur. bagaimanapun juga, dia harus mengangkat nama Ibunya, dan Ayahnya pula! Dan agaknya tidak percuma selama ini dia digembleng mati-matian oleh gurunya, juga Ayah tirinya, juga musuh besarnya!

"Saya ingin mengikuti ujian untuk tingkat pertama!" jawabnya dengan suara tegas.

Tiga belas orang perwira tinggi itu, yang rata-rata memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada para pembantu Lee Song Kim, saling pandang dan tersenyum mengejek. Orang muda itu terlalu sombong, pikir mereka. melawan seorang di antara mereka saja mana mungkin bisa menang? Apalagi harus dkeroyok tiga! Di antara mereka semua, mungkin hanya Sang Raja, Sang Permaisuri, dan Lee-Ciangkun saja yang akan mampu menang menghadapi pengeroyokan tiga orang di antara mereka! Juga Lee Song Kim dan Tang Ki terkejut mendengar keberanian Han Le itu. Mereka sudah mendengar bahwa pemuda ini memang lihai, bahkan lihai memainkan pistol, tetapi menghadapi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi? Sukar untuk dapat menang! Akan tetapi Lee Song Kim sudah berkata kepada tiga orang di antara tiga belas perwira tinggi itu.

"Kok-Ciangkun, Song-Ciangkun, dan Bhe-Ciangkun, harap kalian bertiga menguji Gan Han Le ini selama lima puluh jurus!" Tiga orang perwira tinggi itu bangkit dan senyum mengejek membayang di wajah mereka. Perwira she Kok bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan kepala botak, kedua lengannya panjang dan besar, dia kelihatan seperti seekor biruang ketika bangkit berdiri. Song-Ciangkun bertubuh tinggi kurus, mukanya kuning, kumisnya hanya beberapa lembar berjuntai ke kanan kiri mulutnya, matanya sipit dan mukanya meruncing model muka tikus, mulutnya tersenyum mengejek buruk sekali. Perwira ketiga, Bhe-Ciangkun, bertubuh tegap dengan lengan dan leher dilingkari otot-otot yang besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang.

"Orang muda, marilah kita main-main sebentar," kata Kok-Ciangkun dan mendengar ini, Han Le bangkit berdiri dan mengikuti mereka ke tengah ruangan. Para perwira yang lain pindah ke kursi lain untuk menonton pertandingan ujian itu. Tang Ki dan Lee Song Kim, sebagai dua orang yang berilmu tinggi, keduanya telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari Hai-Tok, menonton denga mata bersinar-sinar penuh perhatian. Ingin mereka mengenal ilmu silat yang akan diperlihatkan oleh pemuda ini. dari ilmu silatnya, mereka berdua tentu akan dapat mengetahui diapa gerangan guru pemuda ini, atau dari perguruan dan cabang persilatan mana dia memperoleh kepandaiannya. Kini Han Le sudah berdiri di tengah dan tiga orang pengujinya itu berdiri di depan, dan kanan kiri agak ke belakang, membentuk kepungan segi tiga. Tiba-tiba Lee Song Kim teringat akan sesuatu dan dia berkata,

"Gan Han Le, dalam pertandingan ini boleh dipergunakan senjata, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempergunakan senjata api!" Han Le tersenyum memandang kepada tiga orang yang telah mengepungnya dan diapun menjawab,

"Pistol saya tidak akan saya pergunakan selama mereka inipun tidak mempergunakan senjata rahasia, Ciangkun." Kepada tiga orang pembantunya, Lee Song Kim memperingatkan,

"Sam-wi (kalian bertiga) harap jangan mempergunakan am-gi (senjata gelap), karena dia memiliki pistol yang tak dapat dilawan oleh senjata gelap apapun. Jangan sam-wi mencari kematian konyol." Tiga orang perwira itu tersenyum, bahkan Kok-Ciangkun tertawa.

"Ha-ha-ha, menghadapi seorang muda yang pantas menjadi anak atau murid kami, kami sudah maju bertiga, bagaimana kami sampai hati menggunakan senjata gelap? Orang muda, bersiaplah dan jaga serangan kami!"

Mula-mula Bhe-Ciangkun yang menyerang dari samping kiri. Pukulan perwira yang tubuhnya kokoh kuat ini cepat dan terutama sekali kuat bukan main. Terdengar bunyi berkerotokan dari otot-ototnya ketika lengannya meluncur dengan tangan membentuk cakar, mencengkeram ke arah pundak Han Le dan serangan ini mendatangkan angin yang mengeluarkan suara mengiuk. Tahulah Han Le bahwa dia menghadapi sorang ahli tenaga luar, tenaga otot yang terlatih baik dan dia dapat menduga betapa jari-jari tangan itu dapat menjadi keras seperti baja! Maka dengan lincah dan dengan gerakan tubuh yang ringan dia melakukan langkah pat-kwa seperti yang dipelajarinya dari Bu Beng Kwi dan dengan mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu, tubuhnya berputar ke kanan dan kini dia disambut oleh jotosan dari depan yang dilakukan oleh Song-Ciangkun.

Sungguh berbeda sekali serangan Song-Ciangkun yang tinggi kurus ini. Tangannya juga terbuka, akan tetapi tidak mencengkeram melainkan menampar, akan tetapi walaupun nampaknya saja lengan kecil panjang itu bergerak perlahan dan tangan itupun melakukan tamparan yang tidak keras ke arah kepalanya, namun Han Le terkejut karena dia melihat betapa telapak tangan orang tinggi kurus ini mengeluarkan warna menghijau, tanda bahwa perwira tinggi yang seorang ini menguasai ilmu pukulan beracun yang sudah terkandung di dalam telapak tangannya! Diapun tidak berani sembrono menerima atau menangkis tamparan itu, melainkan membuat langkah Pat-kwa-pouw dan diapun lolos dari tamparan ini dengan mudah.

"Sambutlah...!" Tiba-tiba menyambar angin keras dan kini Kok-Ciangkun sudah menyambut dengan totokan yang keras dilakukan dengan kedua tangan susul-menyusul. Kok-Ciangkun tadi melihat betapa pemuda itu telah berhasil menghindar dengan mudah dari serangan kedua orang rekannya, berarti telah melewati dua jurus,

Maka diapun maklum bahwa pemuda itu memang lihai, dan diapun segera maju menerjang dengan totokan-totokan bertubi. Dalam sejurus saja dia telah menyerang ke arah lima jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Han Le! Pemuda itu masih melanjutkan langkah pat-kwa, dan dengan lincahnya diapun berhasil mnghindarkan diri dari totokan-totokan itu. Akan tetapi, kini Song-Ciangkun dan Bhe-Ciangkun menyambutnya dari dua jurusan dengan serangan yang lebih berbahaya lagi. Song-Ciangkun melakukan tendangan ke arah lutut Han Le yang dihindarkan oleh Han Le degan loncatan, akan tetapi Bhe-Ciangkun yang memiliki lengan keras seperti baja itu telah menyambutnya dari belakang dengan pukulan beruntun ke arah punggung dan lambung. Terpaksa Han Le kini menggerakkan tangan menangkis.

"Duk! Dukk!" Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh Han Le terpental saking kuatnya tenaga lawan, akan tetapi tubuh Bhe-Ciangkun tergetar hebat oleh tenaga sinkang yang terkandung dalam sepasang lengan Han Le. Perwira ini seperti menggigil, kemudian menggoyang tubuhnya memulihkan keadaan tubuhnya, lalu menyerbu lagi lebih hati- hati. Kok-Ciangkun si perut gendut sudah akan menyerang lagi dengan totokannya yang berbahaya. Orang she Kok ini memang terkenal sebagai ahli totok yang lihai. Setiap totokannya dengan cepat dan tepatnya mengarah jalan darah yang melumpuhkan.

Namun, dengan kelincahan gerakannya, Han Le selalu dapat mengelak atau menangkis biarpun totokan-totokan dari Kok-Ciangkun itu masih dibantu oleh cengkeraman Bhe-Ciangkun dan tamparan-tamparan Song-Ciangkun. Dikeroyok tiga orang perwira tinggi yang memiliki tiga macam serangan yang berbeda-beda gayanya itu, Han Le tidak menjadi gugup. Dia mengandalkan kelincahan gerakannya, kecepatan dan juga ketenangannya sehingga dia selalu dapat menghindarkan dirinya. Sampai tiga puluh jurus dia hanya membela diri, kemudian mulailah dia mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya bergerak lebih cepat lagi, kini dia mulai membalas! Dan begitu dia membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, mereka menjadi repot! Tang Ki memandang heran dan kagum, berbisik kepada Lee Song Kim,

"Gerakannya mirip gerakan suamiku!" Lee Song Kim mengangguk-angguk.

"Tentu saja, bukankah Ayahnya masih Sute dari suamimu?"

"Akan tetapi Ayahnya telah mati ketika dia dalam kandungan!" bisik pula Tang Ki.

Song Kim teringat akan hal ini dan diapun memandang heran. Kalau Ayah anak itu telah mati ketika dia berada dalam kandungan, jelas bukan Ayah itu yang mengajarkan ilmu silatnya. lalu siapa? Satu-satunya saudara seperguruan yang tinggal hanyalah Sri Baginda Raja! Thian-tok sendiri, guru Gan Seng Bu dan Ong Siu Coan, telah lama meninggal dunia. Lalu dari mana anak itu belajar ilmu silat aliran itu? Agaknya, satu-satunya orang yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu itu hanyalah Sri Baginda. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Han Le memperoleh semua ilmu silatnya dari Bu Beng Kwi. Adapun Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, murid pertama dari mendiang Thian-tok yang tentu saja memiliki dasar ilmu aliran dari datuk persilatan ini. Hanya bedanya, setelah Koan Jit sadar dari kesesatannya semenjak menjadi murid Siauw-Bin-Hud,

Dan dia berganti nama menjadi, semua ilmu silatnya telah berubah sifatnya, tidak lagi mengandung kelicikan dan kekejaman seperti aslinya. Bu Beng Kwi telah memperhalus ilmu-ilmu silatnya sehingga biarpun dasarnya masih saja merupakan ilmu silat yang diajarkan oleh Thian-tok, namun memiliki perkembangan lain dan sifatnya lebih halus dan indah. Karana dasarnya masih sama, maka tentu saja Tang Ki yang sudah mengenal benar ilmu silat suaminya, segera melihat persamaan itu. Tiga orang pengeroyok itu kini menjadi kewalahan dan biarpun mereka mengeroyok, namun desakan-desakan Han Le yang membagi-bagi serangan membuat mereka lebih banyak menangkis daripada menyerang. Han Le menggunakan akal yang membuat dia terlepas dari kepungan ketat. Begitu ada yang menyerang, dia tidak menanti sampai dua orang yang lain juga ikut menyerang,

Melainkan dia membuat gerakan cepat menyambut penyerang itu dan meloncat ke belakang si penyerang yang terpaksa membalikkan tubuh dan dengan sendirinya, dua orang kawannya juga berada di belakangnya dan Han Le mendesak satu orang saja tanpa yang dua orang lagi dapat membantu. Kalau kemudian mereka mengejar dan datang membantu, dia melompat ke belakang pengeroyok lain dan mendesak orang ini dan dengan demikian, dia tidak pernah dikurung dan tidak pernah harus menghadapi tiga orang pengeroyok sekaligus. Dia berloncatan dari satu ke lain orang, mendesaknya dan dengan cara ini, tiga orang perwira tinggi itu menjadi repot sekali dan setelah lewat lima puluh jurus, mereka bertiga sudah mandi keringat dan baju di bagian dada masing- masing telah dapat terobek oleh jari tangan Han Le.

"Cukup lima puluh jurus!" teriak Tang Ki yang menghitung dan pertandingan itu memang sudah ada enam puluh jurus lebih. Para perajurit pengawal yang berjaga di luar, ikut pula menonton dan mereka itu terheran-heran dan kagum bukan main melihat betapa orang muda itu mampu menandingi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi! Dan tiga orang perwira inipun, melihat terobeknya baju di dada, melihat pula betapa setelah pertandingan dihentikan mereka mandi keringat dan napas mereka terengah-engah sedangkan pemuda itu masih nampak enak-enak saja, maklum bahwa mereka bertemu dengan lawan yang amat angguh!

"Gan Han Le, engkau lulus dan kami akan memilihkan kedudukan yang tepat untukmu. Yang jelas mulai saat ini engkau adalah seorang panglima kami!" kata Tang Ki dengan suara gembira memeperoleh seorang pembantu yang demikian lihainya.

"Kionghi (selamat), Gan-Ciangkun!" kata Lee Song Kim langsung saja menyebut Ciangkun kepada Han Le.

"Kalau boleh aku bertanya, dari siapakah engkau mempelajari ilmu- ilmu silat yang tinggi itu? Apakah pernah engkau dilatih secara diam-diam oleh Sri Baginda sendiri?"

Han Le terkejut mendengar pertanyaan ini walaupun dia harus berpikir keras menghadapi pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dia tahu bahwa bagaimanapun juga, ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Beng Kwi, sudah pasti mirip atau banyak persamaan, bahkan sama dasarnya dengan ilmu silat yang dimiliki oleh Sri Baginda Ong Siu Coan. Ayahnya sendiri telah meninggal dunia, juga Koan Jit dikabarkan telah tewas, jadi dalam perguruan itu yang tinggal hanya Ong Siu Coan. Dari siapa lagi dia dapat mempelajari ilmu silat itu kalau bukan dari Sri Baginda? Dia tidak mau membuka rahasia Koan Jit, musuh besar yang menjadi gurunya itu. Dia cerdik dan dapat mencari jawaban tepat dalam waktu sebentar saja.

"Saya tidak pernah dilatih oleh yang mulia Sri Baginda. Ilmu silat yang saya miliki adalah peninggalan mendiang Ayah kandung saya. Ibu telah menyimpan kitab-kitab pelajaran yang ditulis Ayah, dan setelah saya besar, saya mempelajari kitab-kitab itu di bawah petunjuk guru-guru silat yang saya hubungi. Saya belajar sendiri dengan tekun, Ciangkun!" Lee Song Kim mengerutkan alisnya, tidak puas dengan jawaban itu. belajar sendiri dari kitab, mana mungkin dapat menguasai sedemikian baiknya? pula, ilmu silat dari Thian-tok, mana mungkin dapat dimengerti secara baik oleh segala guru silat biasa saja? Akan tetapi, diapun tidak mendesak karena Tang Ki sudah bicara lagi.

"Ciangkun, untuk menjadi seorang perwira tinggi seorang panglima yang baik dan dapat dipercaya, bukan hanya bermodalkan ilmu kepandaian silat tinggi. Yang terutama bagi kami adalah kesetiaan. Oleh karena itu, sebelum engkau membuktikan kesetiaanmu, tentu saja kami belum dapat menentukan kedudukan apa yang akan kami serahkan kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau masih murid keponakan sendiri dari yang mulia Sri Baginda, hal itu sudah banyak menjamin. Karena itu, kami memberi tugas kepadamu untuk melakukan pembersihan tehadap para mata-mata pihak musuh, baik mata-mata Kerajaan Mancu, mata-mata para pemberontak yang menentang kami, dan mata-mata pihak kulit putih, yang beraksi di sepanjang perbatasan di utara. Bagian itu perlu dibersihkan untuk memperlancar gerakan kita menyerang ke utara. Bagaimana, sanggupkah engkau? Kami akan memberi pasukan secukupnya untuk keperluan itu."

"Saya sanggup!" kata Han Le.

"Hanya hamba minta agar pasukan itu dipilihkan pasukan istimewa, tidak perlu terlampau banyak, dan mengenakan pakaian preman."

Demikianlah, mulai hari tu, Gan Han Le diterima sebagai seorang panglima muda oleh Raja Ong Siu Coan, bekerja di bawah Tang Ki dan Lee Song Kim, dan diberi tugas untuk membersihkan mata-mata musuh yang bergerak di bawah tanah di daerah perbatasan utara. Semenjak Han Le melakukan tugas ini, banyak mata-mata yang dapat dibunuh atau ditangkap, dan dalam waktu beberapa bulan saja daeah perbatasan itu menjadi bersih. Nama Gan Han Le dikenal oleh kalangan mata-mata, baik dari Kerajaan Mancu, dari para pejuang rakyat, maupun dari pasukan kulit putih dan dia ditakuti. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Tang Ki dan Lee Song Kim, karena selain mereka memeproleh seorang pembantu yang cakap, juga Raja Ong Siu Coan menjadi girang dan puas.

Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya ini, jelas sikap keras tanpa ampun terhadap mata-mata Kerajaan Mancu, akan tetapi dia lunak terhadap mata-mata orang kulit putih atau mata-mata para pejuang rakyat. Bahkan kalau ada mata-mata pejuang rakyat yang tertawan, dia membujuk agar mereka itu sadar dan maklum bahwa Tai Peng adalah rekan seperjuangan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, bukan musuh atau saingan. Dan dia agak lunak terhadap mata-mata orang kulit putih mengingat bahwa Ibunya adalah bangsa kulit putih pula. Yang menjadi sasaran utamanya adalah Kerajaan Mancu. Banyak orang, di antara mereka bahwa orang-orang bangsa Mancu sndiri, apalagi orang-orang Han yang merasa terjajah, merasa muak dengan kehidupan yang diisi dengan cara-cara yang tak tahu malu oleh Ibu Suri Cu Si. tak dapat disangkal bahwa ia adalah seorang wanita yang penuh ambisi, keras hati, cerdik, berani dan pandai.

Untuk mempertahankan kedududannya sebagai orang nomor satu yang mewakili Kaisar bocah, puteranya sendiri, ia tidak segan-segan menyingkirkan satu demi satu lawannya secara kejam dan tak mengenal ampun. Kedudukannya menonjol dan semua pejabat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, tahu belaka bahwa bagi mereka, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati segala perintah yang dikeluarkan oleh Ibu Suri Cu Si sebagai wakil Kaisar. Tidak taat berarti dipecat atau bahkan mungkin saja dihukum berat. Ada kabar yang bocor dari istana bahwa karena dalam suatu permainan catur, seorang abdi berani mengalahkan Ibu Suri Cu Si, langsung saja dia dihukum penggal kepala! Dosanya adalah meremehkan, merendahkan dan menghina Ibu Suri Cu Si! Dan ini sama pula dengan menghina Kaisar karena Ibu Suri Cu Si adalah Ibu kandung Kaisar!

Akan tetapi yang membuat Yu Bwee merasa muak dan tidak betah lagi tinggal di kotaraja, apalagi di dalam istana, adalah melihat cara Ibu Suri Cu Si mengejar kesenangan, memuaskan nafsu berahinya! Melihat betapa wanita ini tidak malu-malu untuk berjina dengan seorang thaikam, kemudian berhubungan gelap dengan pamannya sendiri, Yu Bwee tidak betah lagi dan iapun meninggalkan kotaraja dan pulang ke rumah orang tuanya. Ayah Ibunya menyambut pulangnya sang puteri dengan gembira dan mendengarkan semua cerita dari pengalaman Yu Bwee. Ketika Yu Bwee menceritakan tentang peristiwa di dalam perjalanan melarikan diri keluarga Kaisar ke Yehol, dan pertemuannya dengan seorang pemuda yang bernama Gan Han Le. kedua orang tuanya saling pandang dan mengerutkan alisnya. dari ucapan Yu Bwee, Ayah Ibunya ini dapat menduga bahwa puteri mereka tertarik kepada pemuda itu.

"Hemmm, engkau belum tahu benar akan keadaan pemuda itu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang pendekar perkasa yang lihai sekali?"tanya Ceng Hiang kepada puterinya.

"Ah, tentu saja aku tahu bahwa dia lihai bukan main, Ibu. Ketika rombongan keluarga Kaisar dihadang perampok, dialah yang menyelamatkan keluarga itu dan aku hanya membantu setelah dia hampir selesai membasmi perampok. Kemudian dia diminta oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengawal rombongan."

"Dan sampai sekarang dia masih mengabdi kepada Ibu Suri?" tanya Ceng Hiang yang sudah mengenal benar watak para pendekar. Kalau benar pemuda itu seorang pendekar, tentu dia tidak sudi mengabdi kepada Ibu Suri Cu Si yang akhir-akhir ini ia dengar pula berita busuk tentang dirinya.

"Tidak, dia terkena fitnah, Ibu, dan hampir saja aku bentrok dengan dia."

"Hemm, apakah yang telah terjadi, Yu Bwee?" tanya Yu Kiang, Ayahnya. Dengan panjang lebar Yu Bwee lalu menceritakan betapa pada suatu hari, ia diutus oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengejar dan menangkap atau membunuh Gan Han Le karena pemuda itu berani kurang ajar terhadap Ibu Suri. Tentu saja ia tidak berani membantah dan iapun lalu melakukan pengejaran sampai akhirnya ia dapat berhadapan dengan pemuda itu.

"Dan engkau tentu berhasil menangkap pemuda yang kurang aj ar itu, bukan?" tanya Ayahnya.

"Tidak, Ayah. Dia tidak bersalah. Bukan dia yang kurang ajar, bahkan dia melarikan diri karena Ibu Suri Cu Si marah kepadanya setelah dia menolak kehendak Ibu Suri terhadap dirinya."

"Kehendak Ibu Suri? Apa kehendaknya?" tanya Ceng Hiang, belum mengerti. Dengan kedua pipi berubah merah Yu Bwee berkata,

"Ia... ia mengajak pemuda itu berbuat yang tidak sopan. Dia menolak dan Ibu Suri Cu Si marah, memerintahkan pengawal menangkapnya akan tetapi dia dapat meloloskan diri."

"Hemmm, sungguh tidak tahu malu...!" Ceng Hiang berkata dan kedua pipinya juga menjadi merah.

"Akan tetapi, anakku. Bagaimana kalau pemuda itu berbohong? Siapa tahu kalau dia memutar-balikkan kenyataan?"

"Akupun sudah menduga demikian dan dia menyatakan bahwa kalau dia yang mempunyai niat busuk itu, apa sukarnya bagi dia untuk memaksa Ibu Suri? Aku percaya, Ibu, karena memang dia lihai sekali, maka alasannya itu memang tepat. Selain itu, diapun bukan orang sembarangan, dia putera seorang pendekar dan pahlawan yang terkenal."

"Siapa namanya tadi?" tanya pula Ceng Hiang, tidak enak hatinya melihat betapa puterinya nampaknya benar-benar tertarik.

"Namanya Gan Han Le dan dia adalah putera tunggal dari mendiang pendekar Gan seng Bu..."

"Ahhh...!" Ceng Hiang berseru kaget "Yang isterinya orang kulit putih itu...?"

"Benar, Ibu. Ibu kandung Gan Han Le adalah seorang kulit putih."

"Hemmm, jangan engkau lupa betapa jahatnya orang-orang kulit putih, Yu Bwee. Lihat betapa mereka telah menyerbu kotaraja dan merampok istana, membunuh banyak orang, selain merampok juga memperkosa wanita, dan kini mereka menguasai pelabuhan-pelabuhan di negara kita. Mereka jahat sekali, menyebar candu kepada rakyat..."

"Aku mengerti, Ibu. Akan tetapi Ibu sendiri pernah berkata bahwa kebusukan suatu pemerintahan sama sekali tidak mencerminkan watak bangsanya. Pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, dan rakyat tidak bertanggung jawab akan segala hal yang dilakukan oleh beberapa orang yang bertanggung jawab itu. Kurasa Ibu dari Gan Han Le tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan pasukan kulit putih, buktinya ia menikah dengan seorang pendekar pribumi." Ibu dan Ayahnya saling pandang dan Ceng Hiang menarik napas panjang.

"Betapapun juga, aku selalu tidak suka dan curiga kepada orang kulit putih bule..."

"Han Le tidak bule, Ibu."
"Dan matanya yang biru..."

"Memang matanya agak kebiruan." Makin tidak enak rasa hati Ceng Hiang dan suaminya. Jelaslah bahwa puteri mereka amat tertarik kepada pemuda peranakan yang matanya kebiruan itu.

"Akan tetapi, benarkah dia lihai sekali,? Bagaimana kalau dibandingkan dengan kepandaianmu?"

"Aku kalah, Ibu."

"Ehhh?" Ceng Hiang terkejut. Ia tahu bahwa puterinya ini lihai, hampir seluruh ilmu kepandaiannya telah diwarisinya.

"Apakah engkau sudah bertanding melawannya?" Yu Bwee mengangguk.

"Biarpun aku percaya kepadanya atas semua keterangannya, aku ingin menguji kepandaiannya, Ibu. Maka aku memaksanya untuk bertanding." Yu Kiang mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang ahli silat sepeti isterinya, dan berdarah bangsawan, maka mendengar akan ulah puterinya itu, tentu saja dia terkejut dan tidak senang. Tak patut seorang gadis, puteri berdarah bangsawan pula, menantang berkelahi seorang pemuda begitu saja, padahal pemuda itu tidak bersalah!


"Bagus sekali perbuatanmu, ya?" bentaknya. Akan tetapi Ceng Hiang tidak melihat sesuatu yang buruk dalam kelakuan anaknya itu.

"Ayah, aku hanya ingin menguji sampai di mana kelihaiannya, karena aku tertarik sekali melihat dia mengamuk ketika dia menyelamatkan keluarga Kaisar yang dirampok itu. Kami bertanding, dan agaknya kami seimbang, Ibu. Akan tetapi akhirnya aku berhasil merobek bajunya di bagian dada."

"Hemm, kalau begitu dia tidak berapa hebat! Perbuatanmu itu merupakan tanda bahwa engkau masih menang setingkat, karena kalau kau kehendaki, tentu bukan bajunya yang robek dan dia akan terluka parah." Yu Bwee tersenyum dan memandang Ibunya dengan sinar mata nakal.

"Akupun tadinya berpendapat seperti itu, Ibu, akan tetapi ternyata pedapatku seperti itu keliru dan dia jauh lebih lihai dariku."

"Eh? Maksudmu...?" tanya Ceng Hiang heran.

"Tanpa kuketahui, dia telah berhasil mengambil tusuk sanggulku!"

"Wah...!"

"Dan dia minta kepadaku untuk diperbolehkan menyimpan tusuk sanggul itu sebagai tanda peringatan..."

"Dan kau perbolehkan?"

"Tentu, Ibu. Dia lihai dan baik sekali. Dalam adu ilmu ini, ternyata dia sengaja mengalah." Kembali Ceng Hiang dan suaminya saling pandang dan diam-diam mereka merasa khawatir. Tidak kelirukah pilihan hati puteri mereka itu? Gadis itu telah berusia tujuh belas tahun, cukup dewasa. Bagaimanapun juga, hubungan antara puteri mereka dan pemuda peranakan itu masih belum terlalu mendalam, dan merekapun sudah bersiap untuk meninggalkan kotaraja.

"Yu Bwee, ada hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu." kata Ceng Hiang.

"Ayah dan Ibumu telah mengambil keputusan yang mungkin akan mengejutkan hatimu." Yu Bwee memandang kepada kedua orang tuanya itu dengan sinar mata penuh prtanyaan.

"Ada urusan apakah, Ibu?"

"Begini, sesuai dengan rencana kami berdua, Ayahmu telah mengundurkan diri dari pekerjaannya kepada pemerintah." Hal ini memang mengejutkan dan mengherankan hati Yu Bwee.

"Ah, apa sebabnya dan bagaimana selanjutnya?"

"Kami melihat betapa pemerintah semakin lemah, bukan saja karena ulah Ibu Suri seperti yang kau lihat sendiri, akan tetapi juga di istana selalu terjadi perebutan kekuasaan karena Kaisar masih bocah. Sungguh tidak enak menjadi seorang pejabat di bawah pemerintah seperti sekarang ini. yang setia dan jujur akan hancur, sedangkan yang dapat hidup hanya mereka yang penjilat dan korup. Melihat beberapa orang sahabat dan rekannya yang jujur dijatuhi gukuman karena ingin meluruskan keadaan, maka Ayahmu mengambil keputusan untuk mengundurkan diri saja. Kita semua akan meninggalkan kotaraja dan untuk sementara waktu, selagi keadaan pemerintah masih begini kacau, kita akan hidup sebagai petani yang sederhana di dusun. Ayahmu memiliki sebidang tanah yang cukup luas untuk dijadikan pertanian dan peternakan, di selatan." Yu Bwee mengangguk.

"Aku juga ikut girang, Ayah dan Ibu. Aku pun muak melihat keadaan kehidupan yang bobrok dan busuk di dalam istana." Demikianlah, beberapa hari kemudian, keluarga ini meninggalkan kotaraja, dalam sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor kuda. Yu Kiang menjual semua barang-barang berharga yang besar, dan hanya membawa barang-barang berharga yang kecil saja, dan hasil penjualan barang-barang miliknya itu dijadikan emas dan perak dan dibawanya pergi, menggunakan peti-peti yang ditaruh di dalam kereta.

Tidak seperti bangsawan atau hartawan lain, yang kalau pergi keluar kota tentu mempergunakan pengawalan pasukan ataupun pengawalan para petugas perusahaan pengawalan, keluarga ini tidak mempergunakan pengawal. Apa perlunya pengawal kalau Ceng Hiang dan Yu Bwee, Ibu dan anak itu sendiri merupakan dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi? Mereka berdua saja lebih kuat dibandingkan dengan sepasukan pengawal yang besar jumlahnya! Akan tetapi karena pada waktu itu, negara berada dalam keadaan kacau, pemberontakan terjadi di mana-mana dan kedudukan pemerintah Mancu menjadi lemah sekali dengan penyerbuan pasukan orang kulit putih yang lalu dan kekuasaan Tai Peng di selatan, maka di mana-mana bermunculan gerombolan-gerombolan pengacau dan penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi pemerintah dalam keadaan lemah itu untuk merajalela.

Ketika kereta yang mereka tumpangi, yang dikendalikan oleh seorang kusir tua, kusir mereka yang sudah menjadi pembantu mereka sejak Ceng Hiang masih kanak-kanak, baru saja meninggalkan kotaraja, semua orang mengenal nyonya Yu Kiang yang berilmu tinggi, juga puterinya yang lihai, maka tidak ada yang berani mncoba untuk mengganggu kereta mereka. Akan tetapi, setelah mereka meninggalkan kotaraja beberapa hari lamanya dan kini sudah jauh dari daerah kotaraja, mulailah terjadi gangguan-gangguan terhadap kereta mereka. Sebelum terjadi gangguan, Ceng Hiang maklum bahwa perjalanan yang cukup jauh itu tentu akan mendatangkan gangguan yang cukup banyak, apalagi kalau diketahui oleh para penjahat bahwa keluarganya membawa cukup banyak emas dan perak.

"Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan orang kang-ouw," katanya kepada puterinya.

"Oleh karena itu kalau ada gerombolan yang hendak mengganggu, lebih dulu kita menawarkan sumbangan. kalau mereka tidak mau dan memaksa hendak merampok, barulah kita turun tangan melawan mereka. Akan tetapi, jagalah agar jangan sampai engkau melukai terlalu berat, apalagi membunuh. Cukup kalau membuat meeka ketakutan dan tidak mengganggu lagi."

"Akan tetapi, Ibu. Kenapa kita harus bersikap halus terhadap penjahat yang kejam?" Yu Bwee membantah.

"Perjalanan kita masih panjang, Yu Bwee. Tidak baik kalau menanam bibit permusuhan sehingga perjalanan kita selanjutnya akan terus mengalami gangguan." Setiap kali mereka bermalam di kota atau dusun, mereka tentu menurunkan barang-barang berharga dari atas kereta dan membawanya ke dalam kamar, sehingga kereta itu kosong dan cukup dijaga oleh kusir. Pada suatu malam, ketika mereka beristirahat dalam sebuah rumah penginapan, datanglah gangguan yang pertama. Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar, sebuah untuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan sebuah lagi, dekat dengan kamar mereka, untuk Yu Bwee. Peti-peti berisi emas dan barang-barang berharga ditumpuk di kamar Yu Kiang.

Malam itu, menjelang tengah malam, Yu Bwee terbangun dari tidurnya karena ia mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng kamarnya. Cepat ia turun dari pembaringan, di dalam gelap meraba-raba dan mencari sepatunya, mengenakan pakaian luar, kemudian iapun keluar dari dalam kamarnya itu melalui jendela kamar yang ia buka perlahan-lahan. Kemudian, ia berindap-indap naik ke atas genteng. Ketika ia mengintai, ia melihat dua bayangan hitam sedang berjongkok di atas kamar orang tuanya, agaknya sedang mengintai dari genteng yang mereka buka. Yu Bwee marah dan ingin turun tangan memberi hajaran, akan tetapi ia teringat akan pesan Ibunya dan iapun tersenyum nakal. Tangannya mencengkeram genteng dan menghancurkannya, lalu menggunakan pecahan kecil dari genteng itu untuk menyambit dua kali. Dua butir benda kecil menyambar dengan amat kencangnya.

"Tuk! Tuk!"

"Aduhh...!" Dua orang itu memegang belakang kepala mereka dan menahan pekik kesakitan, lalu menengok ke belakang dan kanan kiri.

"Apa yang mengenai kepalaku?" tanya yang seorang sambil mengelus belakang kepalanya yang benjol sebesar kacang tanah.

"Aku juga! Apakah ada yang menyambit?"

"Ah, tidak ada orang... tentu semacam lebah yang menyengat kita." Mereka mengintai lagi, tangan mereka masih terus mengelus bagian kepala yang kena sambit tadi, yang terasa cukup neyeri. Kemudian mereka dengan hati-hati sekali berloncatan turun, lalu menghampiri jendela kamar Yu Kiang dan isterinya.

"Peti-peti itu tertumpuk di dalam..." kata yang seorang.

"Kita congkel jendela, engkau yang mencari dan mengambil peti yang paling berharga, aku menjaga sumai isteri itu, kalau ada yang terbangun akan kubacok mampus sebelum sempat berteriak," kata orang kedua yang agaknya menjadi pemimpin. Temannya mengangguk dan mereka lalu menggunakan golok yang sejak tadi mereka bawa untuk mencongkel daun jendela.

"Tak! Tak!"

"Aduuhhh...!" Kini seruan itu lebih kuat daripada tadi, dan mereka berdua meraba kepala bagian kanan dan di situ nampak benjolan sebesar telur ayam.

"Ada yang menyambit kita!" bisik yang seorang dan mereka berdua sudah meloncat berdiri, golok di tangan.

"Tidak ada orang! Apa setan yang mengganggu...?" kata yang kedua.

Mereka berloncatan menuju pekarangan belakang dari mana tadi tentu ada benda yang menyambar dan mengenai kepala mereka karena mendengar jatuhnya benda-benda kecil itu ke atas lantai setelah mengenai kepala mereka. Mereka memandang ke dalam kebun itu, namun gelap dan tidak nampak bayangan manusia lain. Tiba-tiba, seorang di antara mereka menunjuk dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar. Temannya menengok dan keduanya kini berdiri menggigil, muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat ujud yang menakutkan sekali, mahluk yang berkerudung putih, tidak nampak mukanya atau kedua lengannya, karena tertutup kain putih dan mahluk itu melayang menuju ke arah mereka!

"Celaka... se... setan...!" kata yang seorang. Akan tetapi, orang kedua yang menjadi pemimpin, agaknya lebih tabah.

"Setan atau bukan, kalau mengganggu akan kubunuh!" dan diapun menyambut dengan tusukan goloknya ke arah dada "setan" itu.


JILID 18

"Tranggg...!" Golok itupun terlepas dan jatuh ke atas lantai, dan sebuah tangan mencengkeram tengkuk si penyerang. Tangan yang dingin seperti es!

"Hiiihhhh...!" Orang itu hampir pingsan saking ngerinya dan diapun lalu meloncat, menyusul temannya yang sudah lari terlebih dahulu. Mereka lari jatuh bangun dan babak bundas menabrak pohon, tersandung batu, bangun lagi, lari sambil merangkak dan menghilang di dalam gelap. Yu Bwee melepaskan kain putih yang ternyata adalah alas tempat tidurnya, dan tertawa. Daun jendela kamar Ibunya terbuka dan Ibunya juga tertawa.

"Bagus, begitu caranya agar mereka ketakutan dan tidak berani lagi mengganggu," kata Ceng Hiang yang ternyata sudah siap karena tadi pun ia sudah mendengar gerakan di atas genteng. Ibu dan anak yang gagah itupun tidur lagi. Yu Kiang tidak tahu sama sekali akan peristiwa itu dan tentu saja dua orang penjahat itu menceritakan kepada teman-temannya betapa keluarga itu dilindungi oleh setan yang amat menakutkan. Mereka memperlihatkan dua benjolan di kepala mereka untuk meyakinkan teman-teman mereka. Dan selamatlah rombongan keluarga itu keluar dari kota dan melanjutkan perjalanan.

Masih dua kali mereka mengalami gangguan di jalan. Yang pertama dapat dihindarkan oleh Ceng Hiang yang memberikan lima puluh tael perak kepada gerombolan perampok yang jumlahnya belasan orang. Mereka mau menerima sumbangan itu dan pergi meninggalkan kereta tanpa mengganggu lagi. Akan tetapi, pencegatan kedua di dalam hutan di lereng sebuah bukit, tidak dapat dihindarkan dengan sumbangan. Ketika Ceng Hiang bersama Yu Bwee keluar dari kereta dan Ceng Hiang menawarkan lima puluh tael perak sebagai sumbangan, mereka hanya terkekeh-kekeh mentertawakan Ibu dan anak itu. Jumlah para perampok itu ada lima belas orang dan tentu saja mereka memandang rendah kepada dua orang wanita itu, seorang kusir tua dan seorang bangsawan yang agaknya membiarkan dua orang wanita menghadapi perampok sedangkan dia sendiri tinggal di dalam kereta. Memang Ceng Hiang membujuk suaminya agar tinggal saja di dalam kereta.

"Ha-ha-ha, nyonya yang cantik dan nona yang mungil! Apa kalian mengira bahwa kami adalah anak-anak kecil yang merengek minta uang jajan? Ha-ha-ha, kami sudah lama menanti kalian di sini! kami akan membunuh laki-laki yang berada di dalam kereta, juga Kakek kusir itu, kemudian kami mengambil semua barang yang berada di dalam kereta, dan.kalian berdua... hemmm, buah yang masak dan buah yang ranum segar. Yang sebutir sudah masak manis, yang kedua ranum dan renyah! Ha-ha-ha, kalian akan menjadi penghibur kami!"

Bukan main marahnya Yu Bwee mendengar ucapan itu. Baru kalimat pertama dan kedua saja sampai pada kata-kata bahwa orang itu mau membunuh Ayahnya, sudah membuat mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ucapan selanjutnya membuat ia tidak mampu menahan kemarahannya dan sekali tubuhnya begerak, ia telah meloncat ke depan dan menggerakkan tangan menampar muka kepala perampok itu. Kepala perampok yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu melihat gerakan orang, akan tetapi tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata karena tubuh gadis itu seperti terbang saja. Dia masih berusaha menggerakkan kedua tangan, untuk menangkis dan sekaligus menyambar dan menangkap.

"Plakkk!" Tamparan itu tiba tanpa dapat dihindarkan lagi, bukan main kerasnya sehingga kepala perampok itu mengeluarkan seruan keras saking nyerinya, merasa seolah- olah kepalanya di sambar pertir dan tubuhnya terpelanting, lalu terjungkal dan tidak mampu bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak berputaran, mulutnya mengeluarkan suara mengorok. Kiranya tamparan itu telah membuat tulang rahangnya patah-patah, berikut giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah. Darah muncrat keluar dari bibir yang pecah dan lidah yang terluka oleh hancurnya gigi dan tulang rahang!

Para perampok terkejut setengah mati. Muka kepala perampok itu seperti dihantam dengan sebuah kapak saja, bukan ditampar oleh tangan yang demikian kecil dan lembut! Akan tetapi, dasar perampok-perampok kasar yang biasanya hanya mengganggu orang lemah, suka mempergunakan kekerasan, mereka tidak mengenal keadaan dan kini beramai- ramai mereka menyerbu, ada yang hendak menangkap Yu Bwee yang jelita, ada yang hendak menubruk Ceng Hiang yang demikian cantik manis, ada yang hendak membunuh kusir dan menyerang ke dalam kereta, untuk membunuh laki-laki yang berada di kereta, dan ada pula yang hendak memperebutkan harta benda yang berada di dalam kereta.

"Bwee-ji (anak Bwee), jangan membunuh orang!" Ceng Hiang berseru mendahului puterinya yang ia tahu amat marah sehingga telah menampar sedemikian kerasnya sehingga membuat kepala perampok terluka parah. Akan tetapi, kemarahan Yu Bwee hanyalah kepada kepala perampok itu, karena ucapannya tadi. setelah menampar seperti itu, kemarahannya mereda dan iapun tersenyum kepada Ibunya,

"jangan khawatir, Ibu. mari kita hajar anjing-anjing tak tahu diri ini!" Dua tubuh wanita itu berkelebatan dan kini belasan orang perampok itu merasa seperti sedang mimpi buruk sekali. Mereka tidak sempat melihat bagaimana dua orang wanita itu bergerak. Tahu-tahu mereka itu merasa seperti disambar petir dan belasan orang itupun roboh satu demi satu sebelum mereka.sempat melakukan apa ya dikehendaki mereka tadi. Ada yang tiba-tiba pening kepalanya dengan pandang mata berpusing,

Ada yang tiba-tiba saja menerima hantaman yang membuat tulang pundak mereka terlepas, tulang lengan patah dan tulang kaki retak. Dalam waktu beberapa detik saja, mereka semua telah roboh dan mengaduh-aduh, ada yang memegangi kepala, kaki, pundak dan lengan, merangkak bangun dan memandang seperti orang bodoh ke arah kereta yang kini sudah bergerak lagi melanjutkan perjalanan! Keluarga itu melanjutkan perjalanan, terus ke selatan. masih tiga kali lagi mereka mengalami gangguan dan hadangan para perampok, namun Ceng Hiang dan Yu Bwee dapat mengatasi gangguan itu. Sepak terjang mereka membuat para perampok lari ketakutan atau roboh tak berdaya dan walaupun tidak pernah ada yang tewas, namun mereka yang pernah menerima hajaran, sama sekali tiak berani lagi mencoba untuk melakukan pengejaran.

Dusun yang dimaksudkan oleh Ceng Hiang ketika memberi tahu puterinya, yaitu dusun di mana terdapat tanah pertanian luas yang telah dibeli suaminya, berada jauh di selatan, di dekat perbatasan yang menjadi daerah kekuasaan pasukan Tai Peng! Tanah itu memang subur karena termasuk lembah Sungai Yang-ce-kiang. Terletak di lereng sebuah bukit yang hijau dan begitu tiba ti tempat itu, Yu Bwee merasa suka sekali. Tempat itu memang indah, selain tanahnya subur, juga pemandangan alamnya amat indah, banyak pula terdapat pedusunan yang melihat keadaan rumah-rumahnya merupakan pedusunan yang cukup makmur. Merek tiba di dusun itu di suatu sore dan seorang Kakek petani yang bertubuh tinggi kurus menyambut kereta itu dengan gembira sekali. Di belakangnya nampak berlari-lari beberapa orang penduduk dusun.

"Yu-Taijin (pembesar Yu) datang... Yu-Taijin datang!" teiak Kakek itu dengan gembira. Yu Kiang tersenyum melihat Kakek itu, juga Ceng Hiang dan Yu Bwee mengenalnya. Kakek itu pernah bekerja kepada mereka di kotaraja, merupakan seorang pegawai yang sudah lama bekerja di dalam keluarga mereka sebagai seorang tukang kebun. Kakek inilah yang mengatur pembelian tanah di pedusunan itu. Bahkan kusir tua itupun mengenal baik Kakek dan mereka saling menyapa dengan gembira.

"Ciu-lopek, bagaimana kabarnya? Jangan sebut aku Taijin lagi, karena aku sudah bukan seorang pembesar lagi sekarang. Bukankah engkau juga sudah mendengar akan hal itu?" kata Yu Kiang smbil turun dari kereta, disusul oleh Ceng Hiang dan Yu Bwee. Penat juga melakukan perjalanan hari itu, karena sejak pagi sekali mereka berkereta, sampai senja itu baru berhenti. Akan tetapi Kakek Ciu tetap saja menyebut Yu Kiang dengan sebutan Taijin, karena memang sudah terbiasa. ceng Hiang disebutnya Toanio (nyonya besar) dan Yu Bwee dia panggil Siocia (nona).

"Yu-Taijin, syukurlah kalau Taijin bertiga dapat tiba di sini dalam keadaan selamat. Hati saya sudah merasa tidak enak sekali karena suasana sekarang begini kacau dan banyak perampokan. Bahkan dusun-dusun kini tidak aman lagi, Taijin. Dusun kita inipun selalu terancam dan kami penduduknya hidup dalam keadaan gelisah. Semoga setelah Taijin sekeluarga berada di sini, dusun ini menjadi aman." Mereka lalu memasuki rumah ang sederhana namun cukup bersih dan besar, rumah yang sdah dibeli oleh Yu Kiang dengan perantaraan Kakek Ciu, dan yang selama ini dijaga dan dibersihkan oleh pelayan yang setia itu. Ada tiga kamar besar di dalam, sebuah untuk Yu Kiang dan isterinya, sebah untuk Yu Bwee dan sebuah lagi untuk kamar tamu, dan di belakang terdapat pula kamar-kamar untuk pelayan.

"Paman Ciu, apakah yang telah terjadi? Apakah dusun ini pernah dirampok?" setelah mereka tiba di dalam rumah dan telah memeriksa keadaan rumah baru mereka itu, Ceng Hiang bertanya kepada Kakek Ciu.

"Dusun ini belum, Toanio. Akan tetapi dusun-dusun di sekitar sini sudah pernah dirampok. kami semua berada dalam keadaan ketakutan."

"Akan tetapi, apakah tidak ada pasukan keamanan yang membasmi perampok itu?"

"Aih, sudah lama di sini tidak ada lagi pasukan keamanan, Toanio. Benteng pertahanan dari pasukan pemerintah agak jauh dari sini, dan mereka itu tentu tidak memperdulikan nasib orang-orang dusun seperti kami."

"Kenapa orang-orang dusun tidak bersatu dan melawan perampok-perampok itu?" Yu Bwee bertanya sambil mengerutkan alis. Ia benci terhadap para perampok yang sudah pernah pula mengganggu perjalanan orang tuanya.

"Siocia, siapakah yang berani menentang mereka? Mereka bukan perampok biasa..."

"Bukan perampok biasa? Apa maksudmu? Siapakah mereka itu?" Yu Bwee menjadi penasaran. Kakek itu memandang ke arah jendela dan pintu, seolah-olah ketakutan untuk menjawab, lalu berkata lirih,

"Mereka adalah pasukan Tai Peng..."

"Hemmm, pasukan Tai Peng" Ceng Hiang bertanya dengan alis berkerut.

"Bukankah dusun ini masih termasuk wilayah kekuasaan pemerintah kita?"

"Benar, Toanio, akan tetapi mereka kini semakin berani selama beberapa bulan akhir-akhir ini. Dengan dalih pembersihan dan mencari mata-mata, mereka menyerbu dusun- dusun, merampok, membunuh dengan kejam..."

"Keparat!" Yu Bwee mengepal tinju.

"Kalau mereka berani menganggu dusun ini, aku yang akan menghajar mereka"

"Tentu saja Kakek Ciu sudah tahu akan kelihaian nyonya majikan dan puterinya, maka diapun memnadang dengan wajah berseri.

"Dengan adanya keluarga Taijin di dusun ini, kami merasa lega."

Akan tetapi Ceng Hiang dan Yu Bwee tidak tahu bahwa di setiap dusun di sekitar perbatasan itu tentu ada mata-mata Tai Peng sehingga kedatangan keluarga yang membawa barang-barang berharga itu telah diketahui oleh para perajurit Tai Peng. Juga Ibu dan anak ini sama sekali tidak menyangka bahwa pasukan Tai Peng yang suka merampok itu selain amat banyak jumlahnya, juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan cara mereka menyerbu dusun seperti kalau menyerbu musuh dan mempergunakan siasat perang! Beberapa hari kemudian, para penduduk dusun merasa lega karena tidak terjadi apa-apa dan mereka percaya kepada Kakek Ciu bahwa keluarga bangsawan yang baru saja pindah dari kotaraja itu merupakan orang-orang pandai yang tentu ditakuti para perampok.

Malam itu terang bulan dan Yu Bwee bersama Ibunya, yang selama beberapa hari ini berjaga-jaga diwaktu malam, siap menghadapi segala kemungkinan, malam ini tidak lagi merasa tegang. mereka berdua menganggap bahwa Kakek Ciu dan penduduk dusun itu terlalu ketakutan karena buktinya, tidak pernah terjadi gangguan selama mereka tiba di situ. Akan tetapi lewat tengah malam, ketika Ceng Hiang, suaminya, dan juga Yu Bwee sedang tidur nyenyak, mereka dikejutkan oleh suara gaduh yang makin lama semakin ribut. Teriakan-teriakan "kebakaran" dan "rampok" mengejutkan mereka. Apalagi ketika Yu Bwee sudah mengetuk pintu kamar orang tuanya dan ketika Ibu dan Ayahnya keluar, ia berkata dengan suara gugup,

"Wah, mereka telah datang menyerang dan membakari rumah-rumah di sekitar dusun!"

"Keparat!" Ceng Hiang berseru.

"Kita harus basmi mereka." Akan tetapi ketika ia dan puterinya hendak keluar, ia teringat kepada suaminya dan menjadi khawatir. Mungkin sekali para perampok itu akan menyerbu rumah mereka!

"Sebaiknya engkau bersembunyi saja dan mengenakan pakaian seperti penduduk biasa," katanya dan pada saat itu, Kakek Ciu datang berlari-lari dari belakang dengan tubuh gemetar.

"Paman Ciu, jangan khawatir. sekarang lebih baik engkau membawa suamiku pergi bersembunyi di kebun belakang. kami berdua akan membasmi para perampok kurang ajar itu!"

Melihat Ceng Hiang dan Yu Bwee berpakaian ringkas dan memegang pedang, kelihatan demikian tenang dan gagah, hati Kakek Ciu menjadi lega dan diapun cepat mengajak Yu Kiang untuk berembunyi di dalam kebun yang gelap karena di situ terdapat banyak pohon-pohon dan semak-semak. Ceng Hiang dan Yu Bwee lalu berloncatan keluar dan melihat keadaan di dusun itu, mereka berdua menjadi marah sekali! Ternyata para perampok itu sebelum menyerbu dusun, lebih dahulu membakari rumah-rumah penduduk. Melihat ini, terpaksa Ceng Hiang dan Yu Bwee berpencaran dan mereka lalu menyerbu para perampok yang sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa melakukan kekejaman yang luar biasa. Membunuhi orang-orang lelaki, merampok barang-barang, ada pula yang memanggul wanita yang menjerit-jerit minta tolong.

"Jahanam busuk!" bentak Yu Bwee dan pedangnya berkelebat, menusuk dada seorang perampok yang memanggul seorang gadis remaja. perampok itu mengeluh dan roboh, sedangkan gadis remaja itu sudah disambar oleh tangan kiri Yu Bwee.

"Bersembunyilah!" kata Yu Bwee melepaskan gadis itu yang lari sambil menangis ketakutan. Melihat betapa ada kawannya yang roboh tewas, dua orang perampok menjadi marah dan dengan golok di tangan mereka menyerang Yu Bwee.

"Perampok-perampok busuk!" Yu Bwee membentak, pedangnya berkelebat menangkis dan begitu pedangnya bergerak, terdengar suara nyaring dua kali dan dua orang itupun roboh mandi darah! Kiranya sambil menangkis, gadis perkasa ini mengelebatkan pedangnya dan sekali sambar saja, pedangnya sudah membabat batang leher kedua orang perampok. Gegerlah para perampok melihat ini. Di bagian lain, para perampok juga menjadi terkejut melihat betapa seorang wanita cantik, dengan pedangnya, juga mengamuk dan merobohkan beberapa orang perampok.

Segera mereka memberi tanda dengan suitan-suitan dan kini muncul lebih banyak perampok, dipimpin oleh para perwiranya yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Yang menerjang Yu Bwee kini adalah seorang perwira yang bermuka hitam, dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Perwira muka hitam itu memainkan siang kiam (sepasang pedang) dan melihat gerakannya, jelaslah bahwa dia seorang ahli silat yang cukup lihai. Pantas perampok-perampok Tai Peng ini berani mengganas, pikir Yu Bwee. selain jumlahnya banyak, terlatih, juga dipimpin oleh perwira yang lihai. Akan tetapi, begitu ia memutar pedangnya, perwira yang bermuka hitam itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja lengan kanannya terbabat pedang gadis itu. Lengan bajunya robek dicium ujung pedang!

Dia lalu berseru kepada anak buahnya dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang yang menghujankan senjata kepadanya. Namun ia tidak takut dan pedangnya diputar dengan cepat dan kuat sehingga banyak senjata para pengeroyok yang patah, dan ada pula beberapa orang yang roboh oleh tendangannya. Ceng Hiang juga menghadapi pengeroyokan banyak orang. Bahkan ada dua orang perwira yang mengeroyoknya, dua orang yang lihai sekali, yang seorang bersenjata cambuk baja dan yang kedua bersenjata sebuah tombak gagang pendek. Selain dua orang perwira yang lihai ini, masih ada belasan orang mengeroyoknya, namun seperti juga Yu Bwee, nyonya perkasa ini mengamuk dan sinar pedangnya merobohkan beberapa orang pengeroyok. Kini hanya dua orang wanita itulah yang menjadi pusat perhatian para perampok yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu.

Mereka mengerahkan tenaga untuk merobohkan Ibu dan anak itu, namun makin didesak, makin banyak anak buah mereka roboh sehingga akhirnya mereka menjadi gentar juga. Perwira muka hitam yang mengeroyok Yu Bwee maklum bahwa kalau diteruskan, tentu anak buahnya akan habis dibasmi gadis perkasa itu, dan diapun meloncat keluar kalangan, membiarkan anak buahnya mengepung ketat dan diapun lari untuk mencari teman-temannya yang boleh diandalkan. Akan tetapi, dia terkejut melihat betapa tak jauh dari situ, seorang wanita lain mengamuk, dikepung oleh kawan-kawannya bersama anak buah yang sama banyaknya. Juga keadaan kawan-kawannya di situ menderita kerugian besar. Dia lalu mengeluarkan sempritan dan meniupnya berkali-kali, memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur.

Apalagi dia melihat kawan-kawan lain sudah banyak yang membawa lari barang rampokan dan ada pula yang menculik gadis dusun. Mendengar ditiupnya isyarat untuk mundur ini, legalah hati para pengeroyok Ibu dan anak yang amat lihai itu. Mereka memang sudah merasa jerih terhadap wanita sakti yang mereka keroyok, maka begitu mendengar suara sempritan, mereka lalu berloncatan pergi, didahului oleh para perwira yang memimpin pengeroyokan. Baik Ceng Hiang maupun Yu Bwee tidak mau membiarkan mereka lari begitu saja dan kembali ada beberapa orang perampok yang roboh oleh pedang mereka! Akan tetapi segera terdengar derap kaki kuda dan mengertilah Ceng Hiang dan Yu Bwee bahwa perampok itu datang dengan menunggang kuda yang agaknya mereka tambatkan di luar dusun.

Kini mereka melarikan diri dengan berkuda, dan tidak ada gunanya lagi dikejar. Yang terpenting adalah membantu para penduduk memadamkan rumah-rumah yang terbakar. Ceng Hiang dan Yu Bwee teringat akan rumah mereka maka merekapun cepat berlari pulang. terkejutlah mereka melihat betapa keadaan rumah merekapun morat-marit, tanda bahwa rumah itupun tadi diserbu penjahat! Dan ketika mereka memasuki rumah, mereka melihat Kakek Ciu memapah Yu Kiang yang terluka. tentu saja mereka terkejut dan cepat memeriksa keadaan Yu Kiang. Untunglah bahwa luka itu tidak parah, hanya bacokan pada pundak yang melukai daging pangkal lengan, tidak membikin putus otot atau mematahkan tulang.

"Bagaimana dapat terjadi?" tanya Ceng Hiang kepada suaminya sambil mengobati luka itu dan membalut pundak. Yu Kiang yang kesakitan itu sukar menjawab, dan Kakek Ciu yang menjawab dan memberi keterangan.

"Kami bersembunyi di kebun. Ketika Taijin mendengar bahwa rumah diserbu, dia memaksa untuk kembali ke rumah. Saya sudah mencegahnya sehingga terjadi ketegangan dan pada saat itu, nampak seorang perampok lari menyeret seorang gadis tetangga. melihat ini, Yu-Taijin menjadi marah dan membentak. Perampok itu membacok dengan golok dan Yu- Taijin roboh. Untung bahwa perampok itu sibuk dengan gadis yang meronta-ronta, maka dia tidak menyerang lagi dan cepat menyeret gadis itu pergi." Ketika mereka memasuki rumah dan memeriksa, ternyata sebagian besar dari harta mereka, sebuah peti berisi emas dan perak yang mereka bawa dari kota raja sebagai hasil penjualan barang-barang dan rumah mereka, telah lenyap!

"Jahanam!" bentak Yu Bwee.

"Berani melukai Ayahku dan merampok barang kita! Aku harus menghajar mereka dan merampas kembali barang kita!" berkata demikian, Yu Bwee lalu meloncat keluar dari dalam rumahnya.

"Bwee-ji, jangan...!" teriak Ibunya akan tetapi karena ia sedang merawat suaminya, ia tidak mengejar dan tak lama kemudian terdengar derap kaki seekor kuda membalap keluar dari dusun. Yu Bwee melakukan pengejaran sambil menunggang kuda.

Ceng Hiang tidak setuju dengan perbuatan Yu Bwee. Melawan perampok tidak berbahaya, akan tetapi karena perampok itu adalah pasukan Tai Peng, maka mengejar mereka sungguh amat berbahaya. Bagaimanapun juga, Ibu ini percaya akan kepandaian Yu Bwee yang tentu akan mampu menjaga diri sendiri. Gadis itu sudah cukup berpengalaman. Bukankah pernah ia suruh melindungi keluarga Kaisar dan berhasil baik? Yu Bwee tidak dapat melakukan pengejaran dengan cepat karena ia harus meneliti jejak para perampok yang melarikan diri tadi, di tengah malam pula. Untung baginya bahwa ada sinar bulan sehingga ia dapat mencari jejak kaki banyak kuda yang lari ke selatan. Ia melakukan pengejaran terus. Sayang bahwa ia telah ketinggalan jauh, karena tadi ia membuang banyak waktu untuk pulang ke rumah. Andaikata ia tadi langsung melakukan pengejaran, tentu ia sudah dapat menyusul mereka!

Akan tetapi sampai sinar matahari subuh mulai menerangi bumi mendahului sang matahari sendiri, ia belum berhasil menyusul para perampok. Yu Bwee berhenti di tepi sebuah hutan, membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri lalu masuk ke dalam hutan, encari-cari jejak kaki kuda di situ, bersimpang siur. Apakah ia salah jalan? Tiba-tiba ia menyelinap di balik sebatang pohon. dari jauh ia melihat dua orang laki-laki berjalan setengah berlari, tertatih-tatih keberatan karena mereka meggendong bungkusan- bungkusan besar yang kelihatan berat. mereka adalah dua orang laki-laki tinggi besar bermuka brewokan dan kasar, dan mereka lewat tak jauh dari pohon di balik mana Yu Bwee bersembunyi. Terengah-engah mereka lewat, dan mereka berhenti sebentar hanya untuk menyeka keringat dari leher dan muka, menggunakan lengan baju mereka,

Kemudian mereka melanjutkan langkah memasuki hutan. Selagi Yu Bwee mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang yang menurut pakaiannya adalah anggauta pasukan Tai Peng yang semalam menyerbu dusun, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan iapun mengurungkan niatnya untuk keluar dan bersembunyi lagi. Seorang penunggang kuda yang berpakaian serba putih datang dari arah lain. Dua orang itu, yang belum begitu jauh dari tempat Yu Bwee bersembunyi sehingga ia dapat melihat mereka, nampak terkejut dan berhenti sehingga sebentar saja penunggang kuda berpakaian putih dapat menyusul mereka dan kini si penunggang kuda menghentikan kudanya di depan mereka. Dua orang itu yang tadinya terkejut, kini menyeringai.

"Heh-heh, kiranya Gan-Ciangkun. kami sampai terkejut!" kata mereka dengan sikap menghormat. Yu Bwee terbelalak. tentu saja ia mengenal pemuda yang berpakaian serba putih itu. Gan Han Le! Biarpun masih putih, akan tetapi bentuk pakaian itu adalah pakaian seorang perwira, dan pemuda itu disebut Gan-Ciangkun (perwira Gan) oleh dua orang anggauta pasukan Tai Peng yang semalam merampok dusun! Akan tetapi, agaknya sikap Han Le berlawanan dengan sikap dia orang perajurit Tai Peng yang menyeringai gembira itu. Sikapnya dingin, dan sepasang matanya yang kebiruan itu
menyinarkan kemarahan.

"Dari mana kalian dan kenapa kalian tidak bersama pasukan?" Seorang di antara perajurit itu, yang matanya melotot lebar, sambil menyeringai menjawab,

"Ciangkun, kami baru saja kembali dari penyerbuan sebuah dusun untuk membersihkan tempat itu dari persembunyian mata-mata. Kami mendapat perlawanan sehingga pasukan tercecer dan kami tertinggal. Karena tidak kebagian kuda kami terpaksa menyusul pasukan dengan jalan kaki..."

"Hemmm... dan barang-barang apa yang kalian bawa itu?, Dua orang itu saling pandang sambil menyeringai.

"Bukan apa-apa... Gan-Ciangkun. Tahu sendirilah, ini barang-barang rampasan dari para mata-mata musuh..."

"Tar-tar...!" Tangan Han Le bergerak dan cambuk kudanya menyambar, mengenai muka kedua orang itu. Dua orang itu tersentak kaget dan tepekik kesakitan, buntalan yang mereka bawa di atas punggung tadi terlepas jatuh, bungkusannya terbuka dan isinya berserakan. ternyata barang- barang rumah yang berharga, yang terbuat dari perak, gulungan kain dan sebagainya lagi. Muka kedua orang itu lecet berdarah dan mereka kini memandang dengan mata terbelalak, terkejut, heran dan juga ketakutan.

"Kalian tadi malam melakukan permpokan dalam sebuah dusun dengan alasan aksi pembersihan terhadap mata-mata musuh! Kalian membunuh, merampok, dan memperkosa wanita! hayo mengaku!" Dua orang itu saling pandang dan mereka kini menjadi semakin takut.

"Tapi, tapi... kami hanya melaksanakan perintah atasan, Ciangkun..."

"Kalian perampok-perampok dan penjahat-penjahat yang berpakaian prajurit! Sungguh hanya mengotori nama perjuangan saja!" Kembali Han Le menggerakkan cambuknya dan orang itu berteriak-teriak kesakitan, leher dan muka mereka lecet-lecet berdarah terkena cambuk dan mereka lalu berlutut.

"Ampun, Gan-Ciangkun, kami hanya melaksanakan perintah atasan kami, dan para perwira itupun hanya melaksanakan perintah dari Lee-Ciangkun..."

"Tarrr!" cambuk itu menampar mulut sehingga bibir itu pecah.

"Cukup! Aku sudah muak mendengarnya. Hayo angkat barang-barang itu dan ikuti aku!" Dua orang perampok yang menjadi anggauta pasukan Tai Peng itu tidak berani membantah, tidak berani melawan karena berdua cukup mengenal siapa adanya Gan Han Le, seorang panglima baru yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi sehingga tiga orang perwira tinggi yang mengeroyoknya dalam ujian tidak mampu menang terhadapnya. Mereka lalu dengan susah payah karena tubuh mereka yang sudah kelelahan itu kini ditambah lagi oleh penderitaan cambukan, mereka mengangkat dua buah buntalan setelah membetulkan bungkusan itu, dan berjalan di belakang kuda yang dijalankan perlahan oleh Han Le, memasuki hutan.

Tentu saja Yu Bwee menjadi bengong keheranan. tadinya ia terkejut dan heran melihat betapa Han Le kini telah menjadi perwira Tai Peng, akan tetapi ia menjadi semakin terkejut dan heran pula melihat sikap Han Le terhadap dua orang anggauta Tai Peng itu. Sikap inilah yang melegakan hatinya, yang tadi khawatir sekali melihat pemuda yag tak pernah dapat dilupakannya itu menjadi perwira Tai Peng, dan kini diam-diam ia membayangi dari jauh karena ia maklum akan keliahaian Han Le dan tidak ingin pemuda itu melihatnya sekarang, Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Han Le selanjutnya, dan ingin melihat apa rahasia pemuda itu. Han Le berhenti di tengah hutan di mana terdapat petak rumput di mana bertumpuk barang-barang rampokan, termasuk sebuah peti milik Ayahnya! barang-barang itu tertumpuk malang melintang.

"Taruh kedua buntalan itu disitu!" bentak Han Le kepada dua orang anak buah pasukan yang tidak berani membantah. Melihat banyaknya barang rampasan yang berkumpul disitu, tahulah dua orang anak buah ini bahwa bukan hanya mereka berdua yang tertangkap basah oleh Gan-Ciangkun dan dipaksa menaruh barang rampasan itu di disitu. Mereka adalah dua orang anak buah tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan Lee Song Kim, mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan, maka melihat barang-barang itu, mereka lalu mengira bahwa tentu Gan-Ciangkun merampas barang-barang itu untuk dirinya sendiri. Maka, sambil menyeringai, si muka hitam berkata setelah bersama temannya melempar buntalan itu di atas tumpukan barang-barang itu.

"Gan-Ciangkun, kasihanilah kami yang sudah kelelahan. Ciangkun memperoleh begini banyak, apakah berkeberatan untuk membagi sedikit saja kepada kami berdua?"

"Benar, Ciangkun. Berilah bagian kepada kami dan kami tidak akan melapor kepada Lee-Ciangkun!" kata orang kedua dengan nada memeras.

"Tar-tar!" Cambuk itu melecut-lecut sehingga kedua orang itu kini jatuh terguling-guling, hampir terinjak kaki kuda yang ditunggangi Han Le. Setelah puas menghajar Han Le membentak.

"Nah, pergilah kalian sekarang dari sini! Lebih lama sedikit saja aku melihat muka kalian, tentu aku akan membunuh kalian!" Mendengar ini, dua orang yang kesakitan itu lalu melarikan diri tunggang langgang. Sejenak Han Le duduk tegak di atas punggung kudanya memandang ke arah larinya dua orang itu, dan tiba-tiba dia menggebrak kudanya lari ke utara dengan cepat sekali.

Yu Bwee terkejut, hendak mengejar akan tetapi maklum bahwa selain sukar mengejar kuda yang dibalapkan itu, juga tidak ingin kelihatan oleh Han Le. Biarlah ia akan menanti di sini, pikirnya. Bagaimanapun juga, Han Le tentu tidak akan meninggalkan barang-barang ini begitu saja, tentu akan kembali karena tak mungkin dia merampas barang-barang itu tanpa ada kelanjutannya. Dugaannya benar. Tak lama kemudian ia mendengar suara derap kaki kuda tunggal datang dari jauh dan segera muncul Gan Han Le menunggang kuda, memboncengkan seorang penduduk dusun yang sudah tua. Orang tua itu kelihatan ketakutan dan ketika Han Le melompat turun dari kudanya sambil membawa tubuh orang tua itu turun, dia segera berlutut.

"Ampunkan saya... jangan bunuh saya..." Han Le mengerutkan alisnya.

"Jangan takut, paman. Aku membawa paman ke sini bukan untuk membunuhmu, melainkan untuk memberi tahu bahwa sebagian barang milik penduduk dusun yang malam tadi dirampok, berada di sini. Sayang aku tidak dapat mengembalikan semuanya. Beritahukan kepada para penduduk bahwa sebagian barang itu berada di sni dan suruh mereka mengambilnya kembali."

"Ahhh...!" Petani itu kelihatan terkejut dan girang, lalu memandang tumpukan barang itu, lalu berlari menghampiri dan mengambil sebuah keranjang berisi pakaian dan barang- barang lain.

"Ini milik kami..."

"Kalau milikmu ambillah kembali, paman, akan tetapi harap cepat pergi ke dusun memberi tahu kepada mereka yang kehilangan barang agar cepat mengambilnya ke sini."

"Baik, baik... Taihiap... ah, terima kasih, Taihiap..." kata orang itu memberi hormat, lalu pergi dengan cepat sambil memanggul kembali keranjang yag terisi pakaian keluarganya yang tadi dirampok.

Sejenak Gan Han Le mengikuti kepergian orang itu, kemudian menoleh ke arah tumpukan barang-barang, dan menarik napas panjang, Pada saat itu Yu Bwee yang tidak ingin melihat Han Le pergi lagi sebelum bertemu dengannya, meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berlari cepat menghampiri. Han Le terkejut bukan main melihat munculnya orang secara tiba-tiba itu, akan tetapi ketika dia mengenal siapa gadis itu, dia makin terkejut dan terheran, akan tetapi juga girang sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan memandang wajah gadis itu dengan mata bersinar-sinar dan senyum berseri. Gadis yang selama ini tak pernah meninggalkan ingatannya itu kini tiba-tiba saja berdiri di depannya!

"Gan... Ciangkun...!" kata Yu Bwee sambil menjura, kata terakhir terdengar penuh nada mengejek. Wajah Han Le menjadi kemerahan ketika dia membalas penghormatan itu.

"Ah,... nona Yu, harap jangan menyebutku seperti itu. Aku masih tetap Gan Han Le seperti dahulu..."

"Benar, akan tetapi dengan kedudukan sebagai seorang panglima yang ditakuti dari pasukan Tai Peng yang...merampok, bukan?" Wajah itu semakin merah.

"Nona, agaknya engkau telah sejak tadi mengintai, maka tentu engkau tahu bagaimana sikapku terhadap perampok-perampok tak tahu malu itu. Sayang aku hanya dapat mengumpulkan barang-barang rampasan sebegini saja, karena aku tahu setelah terlambat. Tak kusangka bahwa pasukan pilihan dari Tai Peng melakukan perampokan, dan aku akan menuntut Lee-Ciangkun mengenai perbuatan yang memalukan ini! Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba saja berada di sini, nona? Bukankah engkau masih berada di Yehol, ataukah sudah kembali ke kotaraja?"

"Baru beberapa hari aku sekeluarga tinggal di dalam dusun yang dirampok oleh anak buahmu, Ciangkun. Kami melawan dan berhasil mengusir para perampok, akan tetapi Ayah terluka dan barang kami ada yang dilarikan. Aku mengejar sampai di sini, dan bertemu dengan engkau yang ternyata telah menjadi seorang perwira Tai Peng, perwira dari pasukan yang merampok dusun kami! Gan-Ciangkun, aku minta pertanggung-jawabanmu atas malapetaka yang meimpa dusun kami, atas tewasnya beberapa orang dan terlukanya banyakorang termasuk Ayahku, juga atas terculiknya beberapa orang gadis, dan perampokan atas barang-barang penduduk dusun. Kami berhadapan sebagai musuh!" Han Le kelihatan terpukul dan sedih sekali.

"Dengarlah dulu, nona. Sungguh mati aku tidak tahu sama sekali bahwa pasukan Tai Peng suka melakukan kejahatan seperti ini, dan baru malam ini aku menhetahuinya. belum lama aku diterima menjadi panglima oleh raja di Nan-king dan aku menghambakan diri kepada pasukan Tai Peng yang kuanggap sebagai pasukan kau m patriot yang hendak membebaskan bangsa dari penjajah. Aku mendapat tugas melakukan pembersihan di perbatasan utara, menagkap dan membasmi para mata-mata musuh yang mempersiapkan pemberontakan mengepung Nan-king. Nah, agaknya aku selalu nampak buruk di depanmu, nona, seperti juga dahulu ketika aku difitnah di yehol. maukah engkau percaya kepadaku, nona Yu?" Mereka saling pandang dan tentu saja Yu Bwee percaya kepada pemuda ini. Tadipun ia sudah dapat meduga apa yang terjadi, dan sikap Han Le terhadap para perampok sudah jelas menunjukkan bahwa dalam hal perampokan-perampokan itu, pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan tidak tahu-menahu.

"Aku percaya kepadamu. Akan tetapi apa artinya kepercayaan itu? Kalau engkau tidak keluar dari pasukan yang suka merampok itu, bagaimana aku dapat mempercayaimu lagi selanjutnya?" Han Le mengepal tinju.

"Andaikata aku tidak berjumpa denganmupun, aku pasti akan mengurus hal ini, akan kutuntut kepada Lee-Ciangkun! Aku bukanlah orang yang suka menjadi perampok, nona. Aku akan tuntut dia, dan aku akan keluar dari pasukan Tai Peng kalau ternyata pasukannya melakukan kejahatan!"

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras. Han Le dan Yu Bwee terkejut sekali dan Han Le sudah meloncat ke dekat Yu Bwee, siap untuk saling melindungi dengan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan muncullah seorang panglima yang bukan lain adalah Lee Song Kim! Dialah yang tertawa tadi dan di belakangnya ampak para pembantunya, antara lain Tiat-Pi Kim-Wan, Seng-jin Sin-touw, juga dua orang wanita pembantunya yang setia, yaitu Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai, dan Sing-kiam Moli serta beberapa orangtokoh kang-ouw lagi. Akan tetapi, Han Le tidak merasa takut melihat munculnya panglima yang sebetulnya merupakan atasannya itu.

"Kebetulan sekali engkau datang, Lee-Ciangkun!" katanya dengan suara lantang.

"Memang aku ingin sekali pergi menghadapmu dan ingin mengajukan tuntutan atas sepak terjang anak buahmu yang memimpin pasukan untuk merampoki dusun-dusun!" Kembali Lee Song Kim tertawa dan sepasang mataya yang tajam dan genit itu kini mengamati Yu Bwee yang cantik manis.

"Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kuragukan kesetiaanmu, orang she Gan. Ternyata sekarang terbuktilah bahwa engkau hanyalah seorang pengkhianat yang berpihak kepada mata-mata pihak musuh! Kiranya engkau telah menjadi mata-mata musuh yang diselundupkan ke dalam pasukan kami!"

"Itu bohong!" benak Han Le.

"Bohong? Pasukan kami membasmi para mata-mata musuh yang bersembunyi di dalam dusun-dusun, merampas barang-barang musuh, akan tetapi engkau malah membela musuh, memukuli para perajurit sendiri, merampas barang-barang untuk dikembalikan kepada para mata-mata musuh! Dan lebih hebat lagi, sekarang engkau berada di sini dengan seorang mata-mata Kerajaan Mancu! Bukankah itu sudah menjadi bukti yang cukup?"

"Bohong lagi! Nona ini bukan mata-mata Mancu..."

"Ha-ha-ha, pengkhianat Gan, kau kira kami ini orang-orang bodoh yang dapat kau bohongi begitu saja? Kami tahu siapa perempuan ini. Ia mata-mata dari Kerajaan Mancu, seorang puteri bangsawan she Yu."

"Lee-Ciangkun, kiranya tidak perlu banyak perbantahan dengan pengkhianat ini, biar kami yang menangkap mereka!" kata Tiat-Pi Kim-Wan yang sudah menerjang maju,

Diikuti Seng-jin Sin-touw, juga Theng Ci dan Sin-kiam Moli menerjang dan mengeroyok Han Le dan Yu Bwee dengan pedang mereka. Lee Song Kim sendiripun cepat menerjang dan menyerang Han Le dengan pedangnya sehingga senjata menyambar ke arah tubuh Han Le dan Yu Bwee. Namun, dua orang muda ini sudah siap siaga menghadapi pengeroyokan ini, maka mereka sudah cepat saling membelakangi karena dengan cara demikian mereka dapat saling melindungi kawan sambil melakukan perlawanan. Han Le mencabut pedangnya, pedang sebagai tanda kedudukannya dalam pasukan Tai Peng, sedangkan Yu Bwee juga mengeluarkan pedangnya, mengamuklah dua orang muda ini menghadapi para pengeroyoknya yang terdiri dari banyak orang pandai itu.

Yu Bwee dikeroyok oleh dua orang wanita yang amat lihai, yaitu Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai dan Sin-kiam Moli. Dua orang wanita ini adalah para pembantu Lee Song Kim yang setia dan lihai bukan main, keduanya merupakan ahli-ahli pedang yang berpengalaman. Sedangkan Yu Bwee adalah seorang gadis remaja yang usianya baru menjelang delapan belas tahun, dibandingkan dua orang wanita pengeroyoknya tentu saja kalah jauh dalam hal pengalaman dan kematangan ilmu silat. Akan tetapi ia adalah puteri Ibunya Ceng Hiang, seorang wanita sakti yang mewarisi beberapa macam ilmu kesaktian dari Keluarga Pendekar Pulau Es. Biarpun pengeroyoknya dua orang wanita itu berbahaya sekali,

Namun dengan Ilmu Pek-seng Sin-pouw yang membuat ia dapat mengatur langkah-langkah ajaib sehingga mudah menghindarkan diri dari ancaman pedang kedua orang pengeroyoknya, dan dengan ilmu pedangnya yang amat cepat gerakannya, Yu Bwee dapat mengimbangi mereka, dapat membalas dengan tak kalah dahsyatnya pula. Han Le sendiri juga repot menghadapi Lee Song Kim yang amat lihai karena Song Kim masih dibantu oleh orang- orangnya yang berilmu tinggi, terutama sekali Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw. Akan tetapi, pemuda perkasa ini mengamuk dengan hebatnya, mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan mengerahkan seluruh tenaganya. Sukarlah bagi Song Kim untuk merobohkannya, bahkan banyak sudah mengeroyoknya yang kurang tinggi ilmunya roboh oleh Han Le, juga oleh amukan Yu Bwee.

Yang lebih repot lagi adalah Yu Bwee. Dua orang lawan utamanya, yaitu Theng-Toanio atau Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai dan Sin-kiam Moli amatlah tangguhnya, apalagi dua orang wanita ini masih dibantu oleh belasan orang perwira, seperti halnya mereka yang mengeroyok Han Le, Yu Bwee sudah merasa lelah sekali, gerakan pedangnya mulai mengendur dan benar-benar terancam bahaya maut. Pada saat itu, datang pula pasukan yang dipimpin oleh Tang Ki, Sang Pemaisuri! Kiranya permaisuri ini sedang menemani Kaisar yang berburu di hutan tak jauh dari situ dan begitu mendengar keterangan pasukan bahwa Gan Han Le memberontak dan kini sedang diserang oleh Lee Song Kim dan para pembantunya, iapun cepat datang ke tempat itu.

Dilihatnya Gan Han Le dan seorang gadis cantik sedang mengamuk dan dikepung. Ia marah sekali dan cepat ia menyerbu dan begitu ia meloncat, tubuhnya seperti terbang saja berada di atas Yu Bwee dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dari atas, ia telah mempergunakan ginkang dari Ilmu Hui-thian Yan-cu yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Tat-mo Couw-su itu. Memang ginkang dari permaisuri ini hebat sekali. Yu Bwee terkejut. Biarpun ia cepat mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menangkis, tetap saja pundaknya tercium ujung pedang Tang Ki, bajunya robek dan pundaknya terluka. Walaupun tidak parah luka itu, namun membuat Yu Bwee menjadi semakin terdesak dan repot, apalagi kini Tang Ki membantu dua orang wanita lihai mengeroyoknya. Lewat belasan jurus lagi, sebuah tendanga kaki Sin-kiam Moli mengenai lambung Yu Bwee.

Gadis ini sudah melindungi lambung yang tertendang dengan sinkang sehingga ia tidak menderita luka dalam yang parah, namun tetap saja ia terpelanting roboh! Kesempatan ini dipergunakan oleh Tang Ki untuk menyerangnya dengan pedang. Yu Bwee bergulingan menyelamatkan diri sambil menangkis, akan tetapi keselamatannya terancam hebat ketika TangKi terus emngejar dan menyerangnya bertubi-tubi. Akhirnya Yu Bwee berhasil meloncart bangun akan tetapi tetap saja pangkal lengan kirinya terserempet pedang dan kembali darah mengucur dari lukanya. tang Ki menyusulkan tendangan dan tubuh Yu Bwee terguling lagi, sekali ini agak payah karena tendangan yang mengenai atas lututnya itu membuat sebelah kaki terasa nyeri dan kaku. Tang Ki tidak emberi kesempatan lagi dan menubruk dengan pedangnya.

"Tarrr...!" Tiba-tiba terdengar letusan dan nampak asap mengepul dari sebuah pistol kecil yang dipegang oleh Han Le. Tang Ki mengeluarkan jerit tetahan dan roboh terjungkal! Peristiwa ini amat mengejutkan semua orang, terutama Lee Song Kim yang sama sekali tidak menyangka bahwa Han Le akan mempergunakan pistolnya menyerang permaisuri sehingga permaisuri itu roboh.

"Pasukan bersenapan, tangkap dia!" teriaknya dengan penuh penyesalan karena baru sekarang dia teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api untuk menghadapi dua orang muda itu. Tadi, dia sudah merasa yakin akan dapat merobohkan Han Le dan Yu Bwee dengan pengeroyokan itu, maka dia tidak sedikitpun teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api, Kini, penggunaan pistol oleh Han Le seperti mengingatkannya. Terdengar tembakan-tembakan ke atas sebagai ancaman dan kini belasan orang yang memegang senjata api menodongkan moncong senjata mereka kepada Han Le dan Yu Bwee.

"Kalian berdua menyerah, lempar senjata, atau kami tembak!" bentak Lee Song Kim, Han Le tidak melihat jalan lain kecuali menyerah. Tadi dia terpaksa mempergunakan pistolnya untuk menolong Yu Bwee yang terancam bahaya maut, jatuh dan diserang oleh Tang Ki. Kini, melihat belasan orang menodong dia dan Yu Bwee, dia maklum bahwa pemainannya telah selesai dan kalau dia lanjutkan, sama saja dengan membunuh diri dan membunuh Yu Bwee. Maka diapun melepaskan pistol dan berbisik,

"Tidak ada jalan lain, kita harus menyerah." Sebetulnya Yu Bwee tidak ingin menyerah karena menyerahpun besar sekali kemungkinannya mereka akan dibunuh, lebih keji lagi. Akan tetapi melihat betapa Han Le telah menyerah, iapaun tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan pedangnya, akan tetapi pandang matanya terhadap Han Le berubah menjadi penuh keraguan. Pemuda itu aneh sekali. Jelas ia melihat pemuda itu tadi mengamuk, membunuh banyak orang, bahkan telah menembak tewas permaisuri Raja Tai Peng.

Ia sudah banyak mendengar tentang permaisuri ini dari Ibunya, maka ketika tadi Tang Ki terjun ke dalam pertempuran dan melihat akan sikap semua orang pihak lawan demikian menghormatinya, iapun dapat menduga bahwa wanita itu tentulah sang permaisuri yang menurut Ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai, bahkan pemaisuri itu dahulu di waktu masih gadis dan belum menjadi pemaisuri raja pemberontak Tai Peng, pernah bersahabat erat sekali dengan Ibunya. Akan tetapi sekarang, setelah tertodong senjata api pihak lawan, pemuda ini tidak melanjutkan amukannya, bahkan tiba-tiba saja menyerah! Ia sama sekali tidak tahu bahwa Han Le menyerah bukan karena takut, melainkan karena ingin menyelamatkan Yu Bwee. Baru ia tahu akan hal ini ketika Han Le berkata kepada Lee Song Kim dengan suara lantang.

"Lee Song Kim, dengarlah baik-baik. Nona ini bernama Yu Bwee dan ia sama sekali bukan mata-mata Kerajaan Mancu. Ia adalah seorang di antara penghuni dusun yang dirampok oleh pasukan yang menyeleweng dan ia melakukan pengejaran sampai kesini. Aku sudah memberontak terhadap Tai Peng karena melihat sepak terjang Tai Peng yang menyeleweng dari kebenaran, dan aku pula yang telah menembak mati sang permaisuri. Oleh karena itu, aku menyerahkan diri dan berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku. Akan tetapi nona Yu Bwee tini tidak bersalah, maka harap dibebaskan sekarang juga!" Lee Song Kim yang tadi terkejut bukan main, kemudian marah sekali melihat betapa Tang Ki, permaisuri yang menjadi kekasihnya itu, mati tertembak oleh Han Le, mendengar ucapan Han Le tertawa mengejek.

"Membebaskan? Tidak begitu mudah, pengkhianat! Tangkap mereka dan belenggu!" teriaknya dan para anak buahnya lalu membelenggu kedua tangan Han Le dan Yu Bwee, diikat di belakang tubuh mereka.

Lee Song Kim maju menotok pundak mereka dua kali kanan kiri, membuat Han Le dan Yu Bwee tidak mampu lagi mengerahkan tenaga menggerakkan kedua lengan mereka. Dengan kemarahan yang meluap, Song Kim yang merasa sakit hati sekali kepada mereka, menyeret sendiri dua orang tawanan yang sudah tidak berdaya itu, memasuki sebuah tenda besar yang didirikan anak buahnya tak jauh dari situ. Dia menyeret kedua orang tawanan itu masuk ke dalam tenda, lalau melemparkan tubuh Yu Bwee ke atas sebuah pembaringan darurat sedangkan tubuh Han Le dia kemparkan ke atas lantai. Dua orang muda itu tidak mampu melawan karena tubuh mereka lemas tertotok, tidak dapat mereka mengerahkan sinkang mereka. Mereka melihat betapa wajah Lee Song Kim menjadi beringas merah sekali, sepasang matanya mendelik menakutkan.

"Keparat busuk engkau Gan Han Le! Engkau telah menembak mati pemaisuri, dosamu sungguh tak terukur besarnya."

"Hemm, engkau merasa kehilangan seorang kekasih gelap, bukan seorang atasan," kata Han Le,
sikapnya masih tenang.

"Plakkk!" Sebuah tendangan mengenai pipi Han Le dan darah mengucur dari bibir yang pecah. Kalau saja Lee Song Kim tidak begitu marah sehingga dia tidak ingin membunuh Han Le secara mudah, tentu tendangannya itu akan dapat mematikan. Akan tetapi tidak. Dia menendang hanya untuk menyiksa, bukan untuk membunuh maka tendangannya hanya mengandung tenaga kaki biasa, cukup untuk membuat pipi Han Le menjadi biru lembam dan bibirnya pecah. tidak, dia tidak akan membunuhnya demikian mudah!

"Benar! Permaisuri Tang Ki adalah kekasihku! Dan engkau telah membunuhnya! Sekarang, aku ingin membuka matamu melihat betapa kekasihmu juga kusiksa lahir batinnya!" Berkata demikian, dengan senyum kejam Lee Song Kim mulai menanggalkan baju luarnya. Melihat ini, seketika wajah Han Le menjadi pucat sekali karena dia dapat menduga apa yang akan dilakukan manusia iblis itu terhadap Yu Bwee yang terlentang tak berdaya di atas pembaringan.

"Ha-ha-ha, engkau boleh lakukan apa yang kau suka!" Dia sengaja tertawa mengejek.

"Kau kira akan dapat menyakitkan hatiku karena melihat ia kau siksa? Ia bukan kekasihku! Aku hanya ingin melihat ia tidak tersangkut dalam urusanku denganmu. Ia bukan apa-apaku, percuma saja engkau akan menyiksanya di depan mataku!"

"Cukup!" Song Kim membentak.

"Kau kira aku bodoh dan dapat kau tipu dengan kata-katamu ini? Aku tahu kalian saling mencinta, mudah dilihat ketika kalian dikeroyok dan saling melindungi tadi. Bahkan engkau tadi menembak permaisuri sampai tewas untuk melindungi gadis ini! Engkau telah membunuh wanita yang kucinta, sekarang aku akan memperkosa gadis yang kau cinta di depan matamu!" Berkata demikian, dengan hanya mengenakan pakaian dalam, dengan sikap beringas Song Kim menghampiri pembaringan.

"Lee Song Kim, nanti dulu!" teriak Han Le, kini tak dapat lagi berpura-pura karena ternyata ucapannya tadi tidak dipercaya Song Kim.

"Ingat, engkau adalah pembantu utama dari Raja Ong Siu Coan, alangkah hina dan rendahnya kalau engkau hendak melakukan perbuatan terkutuk itu! Lepaskan nona Yu Bwee dan engkau boleh menyiksa aku sampai mati! Lepaskan nona itu!" Akan tetapi Song Kim tertawa gembira.

"Ha-ha, tidak ada siksaan yang lebih hebat bagimu daripada melihat wanita yang kau kasihi diperkosa orang di depan matamu tanpa engkau mampu berbuat sesuatu! Aku akan memperkosanya dan membunuhnya, dan engkau... bagianmu akan ditentukan oleh Sri Baginda sendiri!" Kini tangan Song Kim meraih ke arah tubuh Yu Bwee.


"Lee Song Kim..." Han Le berteriak dan berusaha melepaskan belenggu kedua tangannya dengan sia-sia.

"Brettt...!" Baju luar Yu Bwee terobek dalam cengkeraman tangan Song Kim dan gadis itu mengeluarkan jerit ketakutan. Ia menghadapi ancaman bahaya yang amat mengerikan hatinya. Padahal, ancaman maut tidak akan membat gadis ini berkedip mata. Pada saat yang amat gawat dan berbahaya bagi Yu Bwee itu, tiba-tiba kain tenda terobek dari belakang dan berkelebat bayangan dua orang memasuki tenda. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu dengan sigapnya lalu menyerang Song Kim dengan sebuah senjata aneh, yaitu senjata kipas yang gagangnya runcing terbuat dari baja. Serangannya cepat dan kuat sekali. Han Le tidak lupa kepada gadis itu, karena pernah dia bertemu dengannya, bahkan pernah pula dia bertanding melawan gadis cantik yang wajahnya berseri cerah itu.

Akan tetapi kini dia tertarik melihat betapa pemuda bersenjata kipas itu menyerang Lee Song Kim yang sudah membalas serangan dengan pedangnya sambil bersuit mengeluarkan tanda bahaya, memanggil para pembantunya. Gadis manis yang mempunyai tahi lalat merah di dagunya bagian bawah itu segera meloncat ke dekat pembaringan, lalu menggunakan jari tangannya membebaskan totokan yang membuat Yu Bwee tak mampu bergerak tadi. Begitu ia dapat menggerakkan lagi kaki tangannya, Yu Bwee lalu mengerahkan sinkangnya dan belenggu kedua tangannya dapat dibikin putus dengan tidak sukar lagi. Yu Bwee tidak sempat mengucapkan terima kasih karena gadis itu kini sudah menarik sebatang tongkat dari ikat pinggangnya dan kini ia membantu pemuda yang mainkan kipasnya,

Lee Song Kim terkejut dan terhuyung ke belakang. tentu saja dia mengenal ilmu kedua orang lawannya ini. Ilmu kipas itu jelas adalah ilmu kipas dari mendiang San-tok, sedangkan ilmu tongkat yang dimainkan gadis manis ini tentu ilmu dari Tee-tok yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam pengejar Nyawa)! Karena maklum akan kelihaian lawan, apalagi melihat Yu Bwee telah terlepas, diapun cepat meloncat keluar dari tenda itu, dikejar oleh pemuda dan gadis yang perkasa itu. Dugaan Lee Song Kim tidak keliru. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Bun Hong. Seperti kita ketahui, Tan Bun Hong adalah putera dari pasangan Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong dan telah mewarisi ilmu-ilmu San-tok, termasuk ilmu mempergunakan kipas sebagai snjata itu. Adapun gadis itu adalah Thio Eng Hui, puteri dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng.

Ayahnya, Thio Ki adalah ketua Kang-Sim-Pang, seorang ahli pedang yang lihai, sedangkan Ibunya adalah murid tersayang dari Tee-tok. Tentu saja Eng Hui mewarisi ilmu tongkat Cui-beng Hek-pang yang menjadi andalan Ibunya. Muda-mudi ini membantu perjuangan rakyat, dan para pendekar telah bergabung dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han. Seperti diketahui, gerakan rakyat yang dipimpin oleh dua orang gagah ini sekarang mencurahkan segenap perhatian dan kekuatan mereka untuk menghadapi pemerintah Tai Peng. Bun Hong dan Eng Hui ditugaskan untuk melakukan penyelidikan di sepanjang perbatasan dan kebetulan saja mereka melihat dari tempat pengintaian mereka ketika Han Le dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Lee Song Kim.

Bahkan mereka melihat sendiri betapa Han Le membunuh Permaisuri Tang Ki dengan pistolnya dan hal ini saja sudah meyakinkan hati mereka bahwa Han Le dan Yu Bwee adalah orang-orang yang boleh digolongkan sebagai kawan karena telah bertempur melawan orang-orang Tai Peng. Apalagi sudah berjasa membunuh permaisuri! Biarpun hati Eng Hui diliputi keheranan besar tentu saja. Ia pernah bertemu dengan pemuda bermata biru itu, bahkan pernah bertanding dengannya karena ia dan kawan-kawannya menganggap pemuda itu mata-mata Tai Peng. Dan sekarang, ternyata pemuda itu malah membunuh permaisuri dari Raja Tai Peng! Tentu saja ia dan Bun Hong tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelidiki keanehan ini dan melihat betapa Yu Bwee terancam bahaya perkosaan oleh Lee Song Kim,

Jiwa pendekar mereka memberontak dan merekapun segera turun tangan mencegah perbuatan terkutuk itu! Ketika Lee Song Kim meloncat keluar dikejar oleh Bun Hong dan Eng Hui, Yu Bwee cepat membebaskan Han Le dan mereka berduapun segera memburu keluar untuk membantu dua orang muda yang telah menyelamatkan mereka tadi. Akan tetapi, setelah tiba di luar, mereka melihat betapa keadaan di situ kacau balau dan pertempuran terjadi antara pasukan Tai Peng melawan pasukan yang datang menyerbu! Melihat betapa pemuda dan gadis yang tadi menolong mereka kini dikeroyok oleh banyak orang, Han Le dan Yu Bwee segera terjun ke dalam pertempuran. Dengan mudah mereka merobohkan beberapa orang anggauta pasukan Tai Peng dan merampas senjata mereka.


JILID 19
Han Le juga merampas sebatang pedang dan ketika hendak keluar dari dalam tenda, dia telah mengambil kembali pistolnya yang tadi dibawa oleh Song Kim dan diletakkan di atas bangku di sudut tenda. Kini pistol kecil kesayangannya itu telah diselipkan di pinggang dan dia mengamuk besama Yu Bwee, dikeroyok banyak orang. Kemana perginya Lee Song Kim? Ketika dia meloncat keluar dari dalam tendanya, dia terkejut sekali mendengar ribut-ribut di luar seperti terjadi penyerbuan. Dia cepat meneriaki para pebantunya yang datang berlarian dan segera para pembantunya itu mengepung dan mengeroyok Bun Hong dan Eng Hui, sedangkan Lee Song Kim sendiri cepat lari keluar setelah mendengar bahwa memang terjadi penyerbuan dari tentara rakyat, dipimpin oleh seorang Kakek bermuka buruk yang lihai sekali.

Ketika dia tiba di tempat di mana pasukan rakyat itu menyerbu, benar saja dia melihat seorang Kakek bertubuh jangkung yang pakaiannya sederhana serba putih, mukanya penuh cacat dan buruk sekali, tubuhnya agak bongkok, sedang mengamuk! Kakek itu memimpin pasukan rakyat yang juga mengamuk dan menyerbu pasukan Tai Peng, dan sepak terjang Kakek itu sungguh menggiriskan sekali. Belum pernah Song Kim melihat sepak terjang oang seperti Kakek buruk rupa itu. dengan kedua tangan kosong, Kakek itu menyambut datangnya hujan senjata dan setiap kali ada senjata bertemu dengan kedua tangannya, maka senjata itu akan terlepas dari tangan pemegangnya dan Kakek itu menangkap-nangkapi orang seperti orang mencabut rumput saja, melempar-lemparkannya dengan ringan sekali!

Diam-diam Lee Song Kim terkejut dan juga gentar. Mudah sekali diketahui bahwa Kakek itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang wanita di belakang Kakek itu dan jantungnya berdebar keras. Sheila! Itulah Sheila! Ibu dari Gan Han Le yang kini mungkin telah bebas dan ikut mengamuk lagi bersama Yu Bwee dan dua orang anak muda yang baru datang menyelamatkan mereka. Tahulah Song Kim bahwa keadaannya amat berbahaya. Kakek ini harus dilenyapkan lebih dulu, kalau tidak, akan celakalah pasukannya menghadapi amukan seorang Kakek yang kekuatannya tidak lumrah manusia itu. Diapun segera membari isyarat kepada pasukan senjata api yang sudah siap. Pasukan ini tadi tidak dapat mempergunakan senapan, karena hal ini akan membahayakan teman-teman sendiri.

"Tembak mampus Kakek itu!" teriak Lee Song Kim kepada pasukan senapan yang hanya belasan orang jumlahnya itu. kini sia merasa menyesal mengapa dia tidak embawa pasukan senapan yang lebih besar.

"Tapi... Ciangkun, berbahaya sekali, bisa mengenai teman sendiri..." kata komandan pasukan kecil itu.

"Tidak perduli! Yang penting, Kakek itu harus memapus! Tembak dia!" bentak Lee Song Kim yang merasa semakin gentar melihat betapa Kakek itu sudah merobohkan lagi empat orang dengan beberapa gerakan saja.

Kakek itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi! Dia terpaksa memenuhi permintaan Sheila yang telah menjadi isterinya, untuk pergi mencari Han Le yang telah melarikan diri meninggalkan mereka karena marah dan menyesal melihat betapa Ibunya telah menjadi isteri dari musuh besar keluarga mereka. Bu Beng Kwi mengajak isterinya mencari Han Le dan mereka berdua dapat menduga bahwa tentu Han Le telah pergi ke tempat di mana terdapat pertempuran karena mereka maklum bahwa pemuda itu bercita-cita untuk mengikuti jejak Ayah kandungnya, menjadi seorang pejuang dan pendekar. Akan tetapi usaha mereka selalu menemui kegagalan dan sampai sekian lamanya mereka belum juga dapat menemukan jejak Han Le. Akhirnya, Bu Beng Kwi mengajak isterinya mengunjungi dua orang muridnya yang kini telah menjadi pemimpin-pemimpin rakyat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong
Cang.

Dua orang pemimpin pasukan pejuang ini girang menerima kunjungan guru mereka walaupun mereka merasa agak canggung ketika melihat betapa Sheila, wanita kulit putih yang pernah membuat mereka berdua tergila-gila ketika mereka masih merupakan pemuda-pemuda romantis itu, kini telah menjadi isteri guru mereka. Di tempat inipun Bu Beng Kwi tidak menemukan Han Le, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa ada mata-mata pejuang yang mendengar bahwa kini Gan Han Le telah menjadi seorang panglima di pasukan Tai Peng! Mata-mata tu menderitakan pula betapa kini panglima Gan Han Le membawa pasukan dan mengadakan pembersihan di sekitar perbatasan dan betapa banyak mata-mata pasukan pejuang dan pasukan pemerintah dibasmi oleh gerakan pembersihan yang dilakukan oleh Gan Han Le.

"Celaka!" teriak Bu Beng Kwi.

"Hal ini harus dicegah! Dia telah menyeleweng. Aku sendiri yang akan menyadarkannya!"

"Aku akan ikut, aku akan dapat menyadarkannya!:" kata Sheila. Sebetulnya Bu Beng Kwi agak keberatan. Dia akan memimpin pasukan untuk mencari muridnya itu di perbatasan yang berbahaya di mana banyak terjadi pertempuran. Akan tetapi Sheila tidak mau dibantah dan akhirnya diapun membiarkan isterinya ikut bersamanya, dan kedua orang muridnya itu menyerahkan sepasukan pejuang pilihan untuk menyertai guru mereka. Demikianlah Bu Beng Kwi, Sheila dan pasukan itu berangkat ke perbatasan dan dari mata-mata pejuang dia mendengar bahwa kini pasukan Gan Han Le sedang mengadakan pembersihan di mana mereka melakukan pembunuhan dan perampokan terhadap rakyat yang tidak berdosa.

Mendengar ini, Bu Beng Kwi dan Sheila cepat membawa pasukan ke tempat itu dan di tengah hutan itulah mereka melihat pasukan yang sedang mengeroyok Bun Hong dan Eng Hui. Bu Beng Kwi yang mendengar dari anggauta pasukan bahwa dua orang itu adalah dua di antara para pendekar yang bergabung dengan pasukan pejuang rakyat dan menjadi mata-mata bagi pasukan rakyat, tanpa ragu lagi segera memerintahkan pasukan untuk menyerbu pasukan Tai Peng dan membantu dua orang pendekar itu. Sedangkan dia sendiri ikut mengamuk sambil melindungi Sheila yang berada di belakangnya. Pada saat Bu Beng Kwi mengamuk sambil melindungi isterinya, tiba-tiba terdengar letusan dahsyat beruntun. Api menyambar dari asap moncong belasan buah senapan yang semuanya dibidikkan ke arah tubuh Bu Beng Kwi!

Akan tetapi, ketangkasan ilmu silat telah mendarah daging dalam diri Kakek ini, sehingga begitu telinganya mendengar letusan, otomatis tubuhnya melesat dengan cepatnya seperti burung walet saja dan semua peluru yang menyambar tubuhnya itu tidak ada yang mengenainya. Akan tetapi, para perajurit yang memegang senjata api itu terus memberondongkan senjata mereka ke arah bayangan putih yang berkelebatan. Bu Beng Kwi terus berloncatan sambil mendekati penembaknya dan dia berhasil melemparkan dua buah golok yang dirampasnya. Dua buah golok itu terbang dan menembus dada dua orang di antara para penembak! Tembakan terus berbunyi gencar dan banyak pula para pengeroyok Kakek itu yang terkena tembakan kawan-kawan sendiri! Ketika Bu Beng Kwi hendak melanjutkan amukannya, tiba-tiba terdengar suara rintihan isterinya.

"Sheila...!" Seketika tubuh Bu Beng Kwi lemas ketika dia melihat betapa isterinya telah menggeletak dengan baju bagian dada penuh darah.

"Sheila...!" Dia menubruk dan cepat memeriksa kedaan isterinya. Dua butir peluru memasuki dada isterinya dan keadaannya amat parah.

"Sheila... kau... kau..."

"Dar...!" Letusan pistol kecil dari moncong pistol di tangan Lee Song Kim tepat mengenai punggung Bu Beng Kwi.

Kakek itu tidak roboh, hanya tersentak kaget, sedikitpun tidak menoleh, masih berlutut dan memangku tubuh isterinya. Sebelum Lee Song Kim sempat menembakkan pistolnya lagi, sebuah tendangan mengenai tangannya dan pistol itupun terlepas dan terlempar. Song Kim cepat membalikkan tubuhnya dan dia berhadapan dengan Han Le! Ketika Han Le dan Yu Bwee berloncatan keluar dari tenda dan melihat pertempuran, Yu Bwee langsung saja membantu pemuda dan gadis yang tadi menolongnya tanpa banyak cakap lagi, sedangkan Han Le segera membawa pedang rampasannya mencari Lee Song Kim! Dia harus menemukan panglima yang jahat itu dan membunuhnya, sebagai hukuman atas apa yang telah dilakukannya tadi terhadap Yu Bwee, hampir memperkosa gadis itu di depan matanya.

Ketika dia mendengar suara tembakan berkali-kali dengan gencar, dia cepat berlari ke tempat itu dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat Ibunya dan gurunya berada di situ, betapa Ibunya telah roboh mandi darah dan gurunya memangku Ibunya. Dia melihat pula betapa Lee Song Kim dengan amat curang menembak gurunya dari belakang, maka dengan kemarahan berkobar di dalam dadanya, dia melompat dan tepat dapat menendang tangan Lee Song Kim yang sudah siap menembakkan pistolnya lagi. Pistol itu terlempar dan kalau dia menghendaki, dengan mudah saja Han Le dapat membunuh Song Kim dengan pistolnya. Akan tetapi dia tidak mau melakukan kecurangan seperti itu dan kini dia menghadapi Song Kim dengan mata mendelik penuh kemarahan. Mengingat betapa orang ini telah menembak gurunya dan betapa Ibunya juga tertembak dan mungkin sudah tewas, kedua mata Han Le menjadi basah dan dia marah bukan main.

"Jahanam busuk!" Bentaknya dan dia segera menyerang dengan pedangnya.

Song Kim yang kehilangan pistol, menyambut dengan pedangnya pula dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian antara kedua orang itu. Dalam kemarahannya, Han Le mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mendesak dan menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Namun, Lee Song Kim memang amat lihai, jauh lebih berpengalaman dan orang yang suka mencuri dan mempelajari berbagai macam ilmu silat aliran lain ini terlalu tangguh untk dapat dirobohkan, bahkan sukar bagi Han Le untuk mendesaknya, dan segera dia sendiripun mulai terdesak oleh permainan pedang Song Kim yang berubah-ubah secara aneh dan lihai bukan main. Bu Beng Kwi yang merangkul isterinya, malihat munculnya Han Le yang kini seorang diri melawan Song Kim, merasa terharu sekali.

"Sheila..." bisiknya.

" Lihat, itu anak kita..." Sheila belum tewas walaupun keadaannya sudah payah. Ia membuka mata memandang dan ketika ia melihat Han Le, Sheila tersenyum, akan tetapi hanya sebentar karena ia segera merasa khawatir. Karena keadaannya sudah payah, ia tidak mampu lagi bersuara. Akan tetapi pada saat itu, Sheila dan Bu Beng Kwi melihat seorang gadis yang menerjang maju membantu Han Le sambil berkata,

"Toako, mari kita bunuh manusia iblis ini!" Melihat munculnya Yu Bwee, giranglah hati Han Le. Bukan hanya girang karena memeperoleh bantuan menghadapi lawan yang amat tangguh ini, melainkan terutama sekali girang melihat gadis itu dalam keadaan selamat dan mau membantunya.

"Yu-Siocia, kita basmi orang jahat ini!" katanya dan Yu Bwee segera menerjang Song Kim dengan pedangnya. Song Kim menyambutnya dengan tangkisan yang dilanjutkan serangan balasan yang amat dahsyat. Namun, Han Le sudah menerjang dari samping sehingga terpaksa Song Kim menarik kembali serangannya terhadap Yu Bwee. Demikianlah, dua orang muda itu mengeroyok Lee Song Kim. Namun, orang she Lee ini memang lihai bukan main. Biarpun dikeroyok oleh dua orang muda yang berkepandaian tinggi, tetap saja dia tidak merasa gentar, tidak terdesak, bahkan dia mengubah ilmu pedangnya menjadi dahsyat sekali dan mampu membendung serangan Yu Bwee dan Han Le dengan baiknya, mampu pula membalas dengan tidak kalah hebatnya.

Melihat betapa muridnya dan gadis cantik itu tdak mampu mendesak Song Kim, Bu Beng Kwi merasa penasaran. Dia dapat melihat betapa lihainya Lee Song Kim dan tahulah dia bahwa murid pertama dari mendiang Hai-Tok cu agaknya telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Agaknya, biarpun mengeroyok dua, muridnya dan nona itu tidak akan mampu memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Padahal mereka berada di daerah yang dikuasai musuh, amatlah berbahaya kalau muncul pasukan Tai Peng yang lebih besar jumlahnya, padahal dia sendiri sudah luka parah. Sebutir peluru memasuki punggungnya dan bersarang di dalam tubuhnya. maka, diapun dengan lembut merebahkan isterinya sambil berbisik,

"Aku harus membantu anak kita." Sheila mengangguk dan Bu Beng Kwi sejenak mengamati jalannya perkelahian itu, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang, lalu tubuhnya sudah melayang ke arah Lee Song Kim!

Orang ini terkejut bukan main. Dia tahu betapa lihainya Kakek buruk rupa itu, maka begitu melihat Kakek itu menubruk dari atas, dia menyambutnya dengan tusukan pedang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bu Beng Kwi menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, menangkis dengan tangan diputar bagian siku, dan tangan kirinya tetap melanjutkan serangan dengan tamparan ke arah kepala Lee Song Kim. Lee Song Kim terkejut merasa betapa pedangnya bertemu dengan tangan yang kerasnya seperti baja dan dia tahu akan dahsyatnya tamparan itu, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dengan maksud hendak bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi, Han Le yang melihat serangan gurunya, segera siap siaga dan melihat Lee Song Kim melempar tubuh ke belakang, dia menyambutnya dngan tendangan.

"Dukkk!" Biarpun Lee Song Kim yang tidak sempat mengelak lagi telah melindungi pahanya yang tertendang dengan tenaga sinkang, tetap saja tubuhnya terlempar dan terbanting keras, Dia menjadi marah sekali dan begitu dia meloncat bangun, dia sudah menodongkan sebuah pistol kepada Han Le! Dia menyeringai beringas.

"Pengkhianat, mampuslah!" dan diapun menarik pelatuk pistolnya.

"Darrr! Darrr!" Dua kali pistolnya meletus, akan tetapi Han Le sudah melempar tubuh ke atas tanah dan bergulingan, dan sebelum Lee Song Kim sempat menembak lagi, pistol di tangan Han Le yang dicabut cepat sekali telah memuntahkan peluru panas dengan suara ledakan keras. Lee Song Kim terhuyung dan saat itu Yu Bwee menusukkan pedangnya, pertama mengenai pergelangan tangan kanannya sehingga pistolnya terlepas, kemudian pedang itu menusuk lambung. Robohlah Lee Song Kim karena dadanya sudah ditembusi peluru, ditambah lagi dengan tusukan pedang di lambungnya. Orang yang selama ini malang melintang dan menjagoi akhirnya roboh berkelojotan dan tewas.

"Ibuuuu... Han Le lari menghampiri Ibunya dan dia melihat gurunya sudah pula berlutut dekat tubuh Ibunya. Gurunya juga terluka parah, tertembus punggungnya dan kini gurunya nampak menggigil ketika berlutut di dekat tubuh Sheila yang suda terengah-engah.

Tiba-tiba terdengar suara terompet dan tambur, dan pasukan pejuang mundur dengan gentar melhat datangnya pasukan besar Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Raja Ong Siu Coan! Kiranya raja ini yang sedang berburu binatang di hutan-hutan daerah itu, mendengar laporan komandan pasukan tentang pasukan yang dipimpin oleh Lee Song Kim terlibat pertempuran dengan pasukan rakyat pejuang, bahkan sang permaisuri juga sudah membawa pasukan membantu Lee Song Kim. mendengar ini, Raja Ong Siu Coan cepat mengerahkan semua pasukan yang ada utuk mengejar ke tempat pertempuran. Dia marah sekali mendengar berita bahwa isterinya, sang permaisuri, telah tewas tertembak oleh panglima Gan Han Le yang memberontak.

Pasukan pengawal Raja Tai Peng ini tentu saja merupakan pasukan pilihan, dan raja ini memiliki wibawa yang besar sehingga begitu pasukannya menyerbu, pasukan rakyat pejuang menjadi gentar. Serbuan pasukan yang dipimpin Raja Ong Siu Coan ini melegakan hati para sisa pasukan Lee Song Kim. Mereka tadi sudah ketakutan melihat tewasnya para pembantu Lee Song Kim yang lihai, seperti Tiat-Pi Kim-Wan, Seng-jin Sin-touw, Sin-kiam Moli, dan Theng Ci di tangan orang-orang muda yang lihai bukan main. Empat orang pembantu ini tewas ketika tadi mereka berhadapan dengan Tan Bun Hong, Thio Eng Hui, dan Yu Bwee sebelum Yu Bwee mencari dan embantu Han Le menghadapi Lee Song Kim.

"Gan Han Le, pengkhianat dan pemberontak jahat! Menyerahlah engkau!" bentak Ong Siu Coan sendiri sambil mengamangkan pedangnya dengan sikap marah. Raja ini duduk di atas seekor kuda yang tinggi besar, sikapnya gagah bukan main, di kanan kirinya terdapat beberapa orang yang menodogkan senapan ke arah Han Le dan yang lain-lain. Akan tetapi pada saat itu, Bu Beng Kwi mengeluarkan teriakan nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke arah raja itu. para pengawal yang memegang senapan tidak sempat menembak, demikian cepat gerakan Bu Beng Kwi dan dia telah mencengkeram ke arah kepala raja itu. Ong Siu Coan bukan seorang yang lemah.melihat ada orang menyerangnya seperti seekor burung rajawali dari angkasa, dia menambut dengan tusukan pedangnya.

"Trakkk!" Pedang itu ditangkis tangan Kakek itu dan sebelum Ong Siu Coan melanjutkan serangannya, Kakek itu telah menyambar tengkuknya. Raja itu terlempardari atas kuda, tengkuknya masih dicengkeram dan mereka bergumul di atas tanah. Akan tetapi, tubuh Ong Siu Coan seketika lemas karena dia telah ditotok dan kini Bu Beng Kwi memeluknya sambil bersru nyaring.

"Mundur semua, kalau ada yang menyerang dengan senjata api, akan kubunuh lebih dulu raja kalian ini!" Pasukan pengawal raja itu menjadi pucat dan tentu saja mereka tidak berani menyerang, melihat betapa jari-jari tangan yang besar itu sudah siap untuk berkata dengan nada penuh ancaman di dekat telinga Ong Siu Coan.

"Ong Siu Coan, suruh mundur semua pasukanmu, atau demi Tuhan, akan kuhancurkan kepalamu!" Raja ini terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah berada dalam kekuasaan Kakek buruk rupa yang amat lihai itu. Dia juga merasa heran bukan main karena dia mengenal semua gerakan Kakek itu dan ketika Kakek itu menotoknya,

Lalu mencengkeram dan mengancam dengan cengkeraman pada pelipisnya, maklumlah dia bahwa Kakek ini memiliki ilmu yang sama sumbernya dengan ilmu silatnya sendiri. Maklum betapa Kakek ini tidak menggertak kosong saja dan bahwa nyawanya berada dalam taruhan, diapun lalu berseru nyaring, menyuruh pasukannya menghentikan serangan dan mundur! Legalah hati Bu Beng Kwi melihat mudurnya pasukan Tai Peng dan diapun mengendurkan pelukannya, bahkan kini dia melepaskan pegangannya dan berdiri menghadapi raja yang masih lemas tertotok itu. Raja Ong Siu Coan mengamati Kakek itu. Teringatlah dia akan pelaporan bawahannya tentang mata-mata orang kulit putih yang menukarkan dua ratus pucuk senjata untuk menebus Sheila dan puteranya. Mata-mata itu juga seorang Kakek yang amat buruk!

"Siapakah engkau...?" tanyanya, penasaran karena dia seorang raja dan seorang ahli silat tingkat tinggi, dapat dibuat tidak berdaya hanya oleh seorang Kakek buruk rupa yang tidak terkenal. Bu Beng Kwi meraba mukanya sambil berkata,

"Sute, lupakah engkau kepadaku?" Begitu topeng kulit tipis itu dibuka, Ong Siu Coan terbelalak dan mukanya berubah pucat.

"Toa-Suheng Koan Jit...!"

Dia terbelalak seperti melihat setan saja.

"Suheng bukankah engkau... engkau..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Dahulu, belasan tahun yang lalu, sebelum dia menjadi raja, dia melihat dengan mata sendiri betapa Suhengnya ini mengorbankan dirinya untuk menolong para pemimpin pejuang rakyat, betapa kakak seperguruannya ini tewas, bahkan lenyap teruruk lorong bawah tanah yang runtuh akibat alat peledak yang diledakkan oleh Koan Jit untuk menutup lorong itu sehingga para pimpinan pejuang rakyat dapat meloloskan diri. Dia melihatnya sendiri. Walaupun tidak dapat melihat mayat Kakek seperguruannya yang teruruk reruntuhan tanah dan batu, namun dia sempat menemukan sepatunya dan menangisi sepatu Suhengnya itu. dan kini, Suhengnya, muncul! Tentu saja dia tidak mau percaya ini benar Suhengnya.

"Memang, Sute. Koan Jit telah mati, namanya saja yang mati. Agaknya Tuhan masih membiarkan tubuhnya hidup dan dia hidup kembali sebagai Bu Beng Kwi, yaitu aku ini. Dan engkau... engkau telah menjadi raja... akan tetapi engkau membiarkan pasukanmu menyeleweng! Engkau menjadi raja yang menyeleweng, lalim dan gila!"

"Suheng...!"

"Sudahlah. sekarang berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengerahkan pasukanmu menyerang kami dan membiarkan kami semua pergi dari sini dengan aman. Engkau boleh membawa jenazah isterimu, juga para panglimamu. berjanjilah, biar didengarkan oleh semua orang. Aku masih percaya akan janji seorang bekas Suteku, biar dia sekarang telah menjadi raja sekalipun. Berjanjilah, atau demi Tuhan, aku terpaksa akan membunuhmu!" Wajah Ong Siu Coan sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa terkejut, heran, terharu, akan tetapi juga marah. Permaisurinya, yang merupakan pembantu utamanya, tewas, demikian pula Lee Song Kim yang merupakan pembantu berharga pula. Dan kini dia harus berjanji untuk membebaskan mereka semua. Akan tetapi, nyawanya lebih berharga daripada nyawa semua orang itu.

"Baiklah, aku berjanji takkan mengganggu kalian dan membiarkan kalian pergi. Akan tetapi, kelak kalau kalian sampai terjatuh ke dalam tanganku lagi, aku tidak akan memberi ampun, terutama sekali Gan Han Le!" setelah berkata demikan, dia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menarik mundur semua pasukan dan menghentikan pertempuran.

"Aku percaya padamu, Sute. Nah, kuharap saja mudah-mudahan engkau akan dapat mengubah jalan hidupmu dan menjadi seorang pimpinan patriot yang benar-benar membela rakyat dan mengusir penjajah." Koan Jit atau Bu Beng Kwi lalu membebaskan totokan pada tubuh Ong Siu Coan yang segera pergi menunggangi kudanya dengan muka ditundukkan. Orang-orangnya lalu mengusung jenazah Tang Ki, Lee Song Kim, dan yang lain-lain sehingga pasukan itu sibuk mengangkuti jenazah teman-teman mereka. Setelah Ong Siu Coan pergi menunggangi kudanya, Bu Beng Kwi terhuyung dan tentu dia sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh Han Le.

"Suhu...!" Koan Jit memandang wajah Han Le dan dia tersenyum.

"Aku... aku terluka tembakan... Han Le..." Diapun merangkul dan kedua matanya menjadi basah. Han Le juga mengedipkan matanya untuk mengusir air mata yang membuat pandangannya kabur.

"Suhu..." hanya demikian dia dapat bicara karena keharuan mencekik leher pemuda ini. Sampai sedemikian rupa Suhunya ini membelanya, membela Ibunya, dan kini mengorbankan dirinya lagi, untuk kedua kalinya, demi keselamatan orang lain. Betapa mulia hati Suhunya ini, agaknya untuk menebus semua penyelewengannya yang pernah dilakukan di waktu mudanya. Tidak mengherankan kalau Ibunya jatuh cinta kepada orang ini. Teringat akan Ibunya, dia menoleh dan mengeluh,

"Ibuuu...!"

"Han Le, bawa aku kepada Ibumu..." kini napas Kakek itu terengah-engah. Semua pengerahan tenaga yang dilakukannya tadi menambah parah lukanya, sehingga kini untuk bernapaspun amat sukar rasanya. Han Le membawanya ke dekat Ibunya yang juga sudah empas-empis napasnya. Bu Beng Kwi rebah miring setengah duduk memandang isterinya dan Sheila lalu memandang Han Le dengan kedua mata penuh air mata.

"Henry... engkau... engkau maafkan Ibumu dan gurumu... Henry..." katanya dalam Bahasa Inggris.

"Ibuuuu...!" Han Le atau Henry menubruk dan menciumi wajah Ibunya, membasahinya dengan air matanya sendiri.

"Aku... akulah yang mohon ampun padamu, Ibu..." Ibu dan anak itu saling rangkul sambil menangis. Pada saat itu, Yu Bwee juga ikut berlutut di dekat Han Le. melihat gadis ini, Han Le lalu berbisik kepada Ibunya dalam bahasa Inggris.

"Ibu, nona ini Yu Bwee, seorang puteri bangsawan peranakan Mancu, akan tetapi ia berjiwa pendekar dan aku... aku amat cinta padanya, Ibu." Sheila membelalakkan matanya, menatap wajah Yu Bwee yang cantik dan iapun tersenyum di balik air matanya. Tangannya bergerak dan ia memegang tangan Yu Bwee.

"Nona..." katanya, suaranya lirih sekali namun cukup untuk dapat ditangkap dan dimengerti oleh gadis yang diajaknya bicara,

"Anakku Han Le... mencintaimu... maukah engkau... menjadi jodohnya...?"

Yu Bwee mengangkat muka memandang wajah yang pucat dan amat cantik itu. Mata yang sudah sayu itu masih nampak biru bening dan rambut yang sudah mulai bercampur putih itu seperti benang-benang Sutera emas dan perak. Pandang mata wanita itu demikian penuh permohonan, penuh harapan sehingga biarpun ia merasa malu dan tidak pantas dalam keadaan seperti itu membicarakan urusan jodoh, merasa tidak tega untuk menolak. Ia melirik ke arah Han Le yang masih merangkul Ibunya dan air matanya bercucuran, dan iapun menarik napas panjang lalu memandang lagi kepada wanita itu dan mengangguk!

"Ah, terima kasih, nona... terima kasih anakku, mantuku..." Ibu itu kini menoleh kepada Han Le, napasnya memburu,

"Han Le... berbahagalah... kalian..." dan tubuhnya terkulai, akan tetapi pada saat itu Bu Beng Kwi mencengkeram pundaknya dan mengguncangnya.

"Sheila...! Tunggu...!" Aneh sekali. wanita yang sudah di ambang kematian itu membuka lagi matanya, memandang kepada Koan Jit dan berbisik,

"Marilah... marilah... suamiku..." Dan kembali ia terkulai dan napasnya terhenti.

"Sheila... tunggu aku...!" Koan Jit berteriak dan dia muntah darah, lalu terkulai dan tewas seketika.

"Ibuuu...! Suhuuu...!" Han Le merangkul mereka dan pemuda inipun tak sadarkan diri. Dia merasa menyesal bukan main mengingat betapa kematian dua orang yang disayang dan dihormatinya ini disebabkan oleh dia! Kalau saja dia tidak minggat meninggalkan mereka! Kalau saja dia tidak menjadi panglima Tai Peng. Belum tentu Ibu dan gurunya tewas.

Ketika Han Le sadar kembali, Yu Bwee yang menghiburnya. Hanya gadis ini yang berhasil mengajaknya melepaskan kedua jenazah itu dari tempat berbahaya itu. Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui juga merasa terharu dan mereka pun berkenalan dengan Han Le dan Yu Bwee, menjadi sahabat karib. Ong Siu Coan memegang janjinya. Para pendekar itu bersama sisa pasukan rakyat tidak diganggu sampai mereka mengangkut semua mayat dari teman-teman mereka keluar dari daerah itu. Setelah selesai mengubur jenazah Ibunya dan gurunya, Han Le lalu bersama Yu Bwee ikut Bun Hong dan Eng Hui, menghadap kedua orang Suhengnya, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang. Dua orang pemimpin pejuang itu merasa berduka mendengar berita dari Sute mereka bahwa Suhu mereka telah tewas dalam pertempuran.

"Ibuku juga tewas tertembak, dan Suhu meninggal dunia dalam keadaan gagah perkasa. Beliau mengorbankan nyawanya demi keselamatan kami berempat yang sudah terancam bahaya maut," kata Han Le kepada dua orang Suhengnya.

"Sute, syukurlah kalau engkau telah sadar akan penyelewengan Tai Peng dan melihat betapa gagah perkasanya mendiang Suhu, kami yakin bahwa engkaupun tentu akan mengikuti jejaknya. Maukah engkau, seperti para pendekar lainnya, bergabung dengan kami untuk menghadapi Tai Peng dan menghancurkannya?" tanya Ceng Kok Han kepada pemuda itu.

"Tentu saja, Ceng-Suheng. Memang sejak dahulu aku bercita-cita untuk menjadi pejuang, seperti mendiang Ayahku, seperti mendiang guruku. Setelah mengalami sendiri, baru aku yakin bahwa Tai Peng telah menyeleweng menjadi penjahat-penjahat yang bukan membela rakyat, melainkan menindas rakyat jelata dengan kedok perjuangan. Akan tetapi aku masih mempunyai suatu urusan pribadi yang akan kuselesaikan lebih dulu, Suheng. Setelah itu pasti aku akan datang untuk membantu gerakan Suheng dan para pendekar pembela rakyat."

Setelah memenuhi upacara berkabung karena kematian Suhunya dan Ibunya, Han Le pergi bersama Yu Bwee, mengunjungi rumah orang tua Yu Bwee seperti yang diminta gadis itu kepadanya. Yu Kiang dan Ceng Hiang tentu saja menjadi girang bukan main ketika mereka melihat pulangnya Yu Bwee, akan tetapi mereka merasa terheran melihat puteri mereka itu pulang bersama seorang pemuda tampan. Ketika melihat pemuda itu, Ceng Hiang dan suaminya sudah dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda yang pernah diceritakan oleh puteri mereka sebagai putera mendiang Gan Seng Bu itu. Diam-diam mereka mereka merasa tidak senang bagaimana puteri mereka, seorang gadis, berani mengajak pulang seorang pemuda! Akan tetapi mereka menahan sabar dan membalas penghormatan Han Le yang bersama Yu Bwee menghadap mereka dengan sikap hormat.

"Ayah dan Ibu, inilah saudara Gan Han Le yang bersama aku baru saja mengalami peristiwa hebat dan baru saja lolos dari maut karena mengalami hal yang amat hebat, Ayah dan Ibu. Bahkan dalam peristiwa ini, Gan-toako berhasil menewaskan sang permaisuri raja Tai Peng, dan kami semua kemudian berhasil membunuh Lee Song Kim. Akan tetapi Gan-toako juga kehilangan Ibu kandungnya dan gurunya yang tewas dalam pertempuan itu." Mendengar ucapan ini, Ceng Hiang dan Yu Kiang terkejut bukan main. mereka tidak menduga akan terjadi hal yang sedemikian hebatnya.

"Aih, telah terjadi peristiwa yang demikian hebatnya?" tanya Ceng Hiang sambil memandang Han Le.

"Kami telah mendapatkan kembali barang-barang yang dirampok pasukan Tai Peng, dan menurut penuturan seorang penduduk, yang mengembalikan adalah seorang perwira muda Tai Peng berpakaian putih. Engkaukah orangnya yang melakukan itu, orang muda?" Han Le merasa malu untuk menjawab dan untung terasa olehnya bahwa Yu Bwee segera menjawab pertanyaan Ibunya itu.

"Benar sekali, Ibu. Gan-toako inilah yang mengembalikan barang-barang rampokan itu. Gan-toako menjadi panglima pasukan Tai Peng karena tertipu. Dia ingin berjuang dan dia mengira bahwa Tai Peng merupakan pasukan pejuang yang gagah. Baru setelah dia melihat sepak terjang anak buah Lee Song Kim, dia menyadari dan dia lalu membalik dan menentang Lee Song Kim sehingga dikeroyok. Aku membantunya dan kami lalu ditangkap." gadis itu dengan panjang lebar lalu menceritakan segala yang telah terjadi, betapa mereka ditawan, ia hampir diperkosa akan tetepi tertolong oleh munculnya dua orang pendekar muda, yaitu Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui. Betapa kemudian di pihak Tai Peng muncul sang permaisuri dengan pasukannya sehingga mereka terkepung dan terancam bahaya. Akan tetapi Han Le telah berhasil menewaskan sang permaisuri dan membebaskannya dari ancaman maut. Kemudian ia mencritakan tentang munculnya guru dan Ibu Han Le yang membawa pasukan pejuang sehingga terjadi pertempuran yang menewaskan Lee Song Kim, akan tetapi Ibu dan guru Han Le terluka parah.

"Kemudian muncul Raja Tai Peng sendiri, Ibu! Dia membawa pasukan besar dan kami semua tentu celaka, terbunuh atau setidaknya tertawan kalau saja tidak terjadi hal yang amat luar biasa!"

"Hemm, apakah yang telah terjadi?" tanya Ceng Hiang dan Yu Kiang dengan hati tertarik dan tegang. Pengalaman puteri mereka memang amat menegangkan dan berbahaya dan kini mereka memandang kepada Han Le dengan sinar mata kagum dan suka.

"Locianpwe yang menjadi guru Gan-toako itu, yang telah terkena tembakan dan terluka parah, tiba-tiba saja dapat menerjang dan menawan Raja Tai Peng, mengancamnya dan mengundurkan semua pasukan Tai Peng. Dan ternyata locianpwe itu dapat menguasai Raja Tai Peng yang kelihatan terkejut dan sudah mengenalnya baik-baik, bahkan memenuhi permintaannya sehingga kami semua dibebaskan!"

"Ah, Gan Han Le, siapakah gurumu itu dan apa hubungannya dengan Raja Ong Siu Coan?" Han Le menjawab,

"Suhu bernama Koan Jit dan beliau adalah Suheng dari Raja Tai Peng."

"Ahhh...!" Ceng Hiang tekejut bukan main.

"Aku mendengar bahwa tokoh yang bernama Koan Jit telah meninggal dunia, ketika dia menyelamatkan para pendekar pemimpin pejuang..." Suami isteri itu mengangguk-angguk.

"Jadi engkau bahkan telah membunuh permaisuri Raja Tai Peng? Ia bernama Tang Ki dan dahulu pernah menjadi sahabat baikku, bahkan kami seperti saudara saja..."

"Ibu! Ia jahat sekali, juga amat lihai. Aku dikeroyoknya bersama dua orang wanita lainnya yang juga lihai. Aku sudah terluka dan tentu tewas di tangan permaisuri itu kalau saja Gan- toako tidak cepat merobohkannya dengan tembakan pistolnya. Ceng Hiang mengangguk-angguk.

"Aku sudah mendengar betapa ia kini menjadi permaisuri Raja Tai Peng dan membantu suaminya yang telah menyeleweng. Engkau berhutang budi kepada pemuda ini..."

"Bukan hanya sekali, Ibu."

"Hemm, dan apa maksudmu mengajak dia datang menghadap kami?" Wajah kedua orang muda itu menjadi merah.

"Ibu, kami berdua telah bertemu muka dengan kedua bengcu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang yang menjadi Suheng dari Gan-toako." Kembali Ceng Hiang tercengang, tak disangkanya bahwa pemuda yang jelas menarik hati puterinya ini adalah Sute dari dua orang pemimpin rakyat yang amat terkenal itu, terkenal pula di kalangan pemerintahan karena dua orang pendekar itu melakukan gerakan menentang Tai Peng dan tidak segan-segan bekerja sama dengan pemerintah. Dua orang itu bagi pemerintah bukan merupakan pemberontak, melainkan pendekar-pendekar yang bahkan dianggap menguntungkan pemerintah. Rasa suka dan kagumnya terhadap Han Le bertambah.

"Lalu, apa maksud dia ikut menghadap kami?" desaknya pula.

"Ibu, kami berdua sudah bersepakat untuk membantu perjuangan rakyat menentang pemberontak Tai Peng yang jahat itu. Sebelum itu, aku ingin pulang dan memberitahukan kepada Ibu dan Ayah, dan... dan... Gan-toako ikut karena... karena" Gadis itu merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya. melihat ini, Han Le merasa kasihan dan diapun menyambung dengan suara yang halus dan hati-hati.

"Harap paman dan bibi memaafkan saya, sesungguhnya, saya ikut menghadap ke sini sehubungan dengan pesan terakhir dari Ibu saya sebelum beliau meninggal dunia."

"Pesan terakhir Ibumu? Lalu apa pesan itu?" Ceng Hiang bertanya. Kini Han Le yang tidak dapat melanjutkan keterangannya karena dia merasa sungkan sekali. Dan Yu Bwee yang kini menolongnya.

"Ibu, sebelum Ibu kandung Gan-toako meninggal dunia, beliau menjodohkan kami dan... dan saya sudah menyetujuinya. Saya tidak tega untuk menolak permintaannya terakhir itu..." gadis itu menundukkan muka yang menjadi merah. Ceng Hiang mengerutkan alisnya, diam-diam ia merasa geli menyaksikan tingkah polah kedua orang muda itu.

"Bwee-ji (anak Bwee), jadi engkau mau menjadi jodoh Gan Han Le ini hanya karena ingin memenuhi permintaan terakhir dari Ibunya? Tidak ada alasan lain?"

"Sungguh aneh dan tidak baik sekali kalau perjodohan dilakukan hanya karena tidak tega menolak permintaanseorang yang mau meninggal dunia. Apakah engkau ingin mengorbankan seluruh kehidupanmu hanya untuk itu?" kata pula Yu Kiang.

"Ibu, Ayah, tentu saja bukan hanya untuk itu, akan tetapi kami... kami berdua... telah saling setuju..."

"Paman dan bibi, saya telah berani lancang jatuh cinta kepada adik Yu Bwee, harap ji-wi (kalian) sudi memaafkan saya." Gan Le menyambung, tidak ingin melihat Yu Bwee sendirian saja menghadapi keadaan yang membuat mereka merasa kikuk dan rikuh itu. Suamii isteri itu saling pandang dan merekapun tersenyum. melihat ini, Yu Bwee lalu merangkul Ibunya.

"Ibu dan Ayah... setuju, bukan?"

"Tentu saja kami setuju kalau kalian berdua sudah saling mencinta," kata Yu Kiang.

"Akan tetapi kami berdua tidak akan menikah sebelum Tai Peng dapat dihancurkan!" kata Yu Bwee dan Han Le mengangguk tegas menyetujui.

"Baiklah, akan tetapi, Han Le. Kami setuju dengan satu syarat, yaitu kalian boleh membantu gerakan pasukan rakyat untuk menghancurkan Tai Peng. Setelah itu, kalau timbul perang antara para pejuang dengan pemerintah, kalian tidak boleh mencampuri. Tentu engkau dapat memaklumi perasaan kami," kata Ceng Hiang.

Han Le mengangguk. Dia mengerti. Bagaimanapun juga, Ibu gadis yang dicintanya ini adalah keturunan Mancu sehingga tentu amat tidak enak kalau kelak dia sebagai mantunya ikut memusuhi Bangsa Mancu! Setelah tinggal di dusun itu selama tiga hari, Han Le dan Yu Bwee berangkat, kembali ke perbatasan untuk membantu perjuangan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bergabung dengan para pendekar, di bawah pimpian Ceng Kok Han. Pasukan rakyat yang dipimpin Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dibantu oleh para pendekar, makin lama menjadi semakin kuat karena para petani banyak yang membantu dan masuk menjadi sukarelawan. Makin hebat pasukan ini menyerang kedudukan Tai Peng dari segala penjuru.

Sebaliknya, setelah kematian permaisurinya, Tang Ki, dan panglimanya, Lee Song Kim dan anak buahnya, kedudukan Tai Peng menjadi lemah. Ong Siu Coan semakin aneh-aneh tindakannya, semakin gila dan tidak mampu lagi mempertahankan kekuatannya yang dahulu. Apalagi para perwiranya melakukan penyelewengan-penyelewengan, hanya mengejar kesenangan sendiri saja dan tidak setia lagi kepada Tai Peng. Oleh karena itu, hantaman-hantaman yang dilakukan oleh pasukan rakyat itu membuat pasukan Tai Peng mundur terus dan kedudukan mereka menjadi semakin lemah. sedikit demi sedikit, daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dapat direbut oleh pasukan pejuang rakyat, dan pasukan itu terpaksa mengundurkan diri ke Nan-king, kotaraja mereka.

Akhirnya, Nan-king dikepung oleh pasukan pejuang rakyat yang semakin kuat itu karena kepercayaan rakyat menjadi semakin besar terhadap pasukan ini. Harga diri rakyat diangkat, kebanggan mereka bangkit karena yang kini menyerang Tai Peng bukan pasukan Kerajaan Mancu, melainkan pasukan rakyat jelata. Melihat ini, orang-orang Barat tidak tinggal diam pula. Mereka memang waspada dan cerdik, dan dapat mempergunakan setiap kesempatan demi keuntungan mereka. Mereka melihat betapa lemahnya Tai Peng, oleh karena itu, untuk menyenangkan hati pemerintah Mancu dan juga rakyat, mereka lalu membantu gerakan pasukan rakyat itu. Seorang jenderal mereka, Jenderak Gordon, terjun menjadi penasihat dan pelatih pasukan sejata api yang disumbangkan oleh orang kulit putih kepada pasukan rakyat pejuang.

Akhirnya, pasukan Tai Peng dapat dihancurkan dan pada tahun 1864, kotaraja Nan-king dikepung. Sebelum kotaraja ini jatuh, lebih dahulu terjadi peristiwa yang semakin melemahkan perlawanan Tai Peng, yaitu matinya Raja Ong Siu Coan! Raja gila ini akhirnya mati membunuh diri karena putus harapan.Setelah dia meninggal dunia karena membunuh diri, pertahanan kotaraja menjadi kacau dan lemah, semangat para pasukannya hampir padam dan dengan mudah kotaraja Nan-king diduduki pasukan rakyat pejuang. Habislah sudah riwayat Tai Peng yang cukup menggemparkan itu. Menurut catatan sejarah, pasukan rakyat yang dipimpin oleh dua orang pemimpin rakyat ini, bukan hanya berhasil menghancurkan Tai Peng, melainkan memadamkan pemberontakan-pemberontakan lainnya, di antaranya pemberontakan Nian-fei yang dipadamkan pada tahun 1867, bahkan pemberontakan bangsa Turki yang dipimpin Yakub Beg juga dapat dihancurkan dalam tahun 1877.

Akan tetapi, setelah semua pemberontakan dapat dihancurkan, terjadi perbedaan pendapat antara Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, Ceng Kok Han tidak mau melanjutkan perjuangan dan tidak mau mengganggu pemerintah Ceng (Mancu) lagi. Ceng Kok Han membubarkan pasukannya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Li Hong Cang. Pendekar ini mempetahankan pasukannya, bahkan kelak pasukannya akan memegang peranan penting dalam sejarah Cina, bahkan memiliki saham besar sekali dalam pendirian negara republik dan jatuhnya Kerajaan Mancu kelak. Setelah Tai Peng jatuh, para pendekar banyak yang mengundurkan diri, termasuk Han Le dan Yu Bwee. Juga Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui, Dua pasangan ini mengundurkan diri lalu menikah dan selanjutnya hidup dengan tenteram tanpa mencampuri lagi urusan perang.

Bagaimana dengan Ibu Suri Cu Si? Janda ini sungguh luar biasa sekali. Biarpun dahulu ia hanya seorang selir, akan tetapi kini ia menjadi seorang yang paling berkuasa di dalam Kerajaan Mancu dan dengan hati membaja dan otak yang amat cerdik, ia mampu mempertahankan kedudukannya itu sampai matinya! Setelah Tai Peng jatuh, ia masih tetap memegang kendali Kerajaan Mancu selama empat puluh tahun lagi karena ia meninggal dalam tahun 1908! Bagaimana tercela sekalipun jalan hidupnya, namun tak seorangpin dapat menyangkal bahwa Cu Si merupkan seorang wanita luar biasa sekali, menguasai negara yang sedemikian besarnya dengan rakyat sedemikian banyaknya, selama hampir setengah abad, atau kurang lebih empat puluh tujuh tahun ia menjadi orang nomor satu di negaranya!

Demikianlah, cerita ini berakhir sampai di sini dengan catatan pengarang bahwa betapapun mulianya sebuah perjuangan dimulai, kalau kelanjutannya meninggalkan jalan kebenaran dan keadilan, seperti yang dilakukan Tai Peng, akhirnya akan mengalami kehancuran pula. Berbahagialah bangsa yang dipimpin oleh patriot-patriot yang dengan murni memegang teguh jalan kebenaran dan keadilan seperti yang dicita-citakan pada awal perjuangan.Semoga ada manfaatnya, di samping sebagai bacaan hiburan di kala senggang.

TAMAT








Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDANG NAGA KEMALA