PEDANG NAGA KEMALA
Daftar isi
JILID 01
"Teng-ko, sejak tadi engkau menghisap madat sampai rumah ini baunya seperti kebakaran. Darimana engkau memperoleh uang untuk membeli madat begitu banyak? Kemarinpun engkau sudah menghisap madat seharian, dan sekarang lagi. Dan aku melihat bungkusan berisi madat. Suamiku, bagaimana engkau bisa mendapatkan madat begitu banyak sedangkan barang-barang kita sudah habis kau jual?" Wanita itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya.
Biarpun pakaiannya bersahaja, wajahnya membayangkan kemiskinan, rambutnya kusut dan tubuhnya agak kurus, namun ia termasuk wanita yang cantik manis raut wajahnya, dan tubuhnya yang agak kurus itu padat semampai. Seorang wanita dengan daya tarik yang masih kuat. Akan tetapi kini wajahnya muram dan sinar matanya heran dan marah ketika ia menegur suaminya yang enak-enak duduk bersila sambil menghisap madat dari cangklong bambu yang besar itu. Disulutnya tembakau campur madat yang diselipkan di tempat tembakau yang nampaknya seperti cabang yang menonjol keluar di tengah pipa bambu, lalu disedotnya. Terdengar suara menderodot disertai suara gluk-gluk. Asap tembakau madat itu melalui air, terus masuk ke mulut, langsung menembus tenggorokan memenuhi paru-paru, dihisap oleh darah di tubuh yang tak berbaju itu.
Matanya terpejam dan dia seolah-olah tidak mendengar teguran istrinya, bahkan agaknya dia sudah lupa sama sekali akan dunia di sekitarnya, terbuai oleh pandangan khayal indah yang muncul karena pikiran dan syarafnya sudah dikuasai oleh racun madat. Pria itu bertubuh kurus, akan tetapi masih nampak bekasnya bahwa dahulunya dia tentu bertubuh tegap. masi nampak otot menonjol di balik kulit yang hampir tak berdaging lagi itu, dadanya bidang akan tetapi kini kedua pundaknya menurun. Wajahnya juga tidak boleh disebut buruk. Tidak, pria ini tadinya tentu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan gagah. Bahkan melihat keadaan buku-buku jarinya, pergelangan tangannya, nampak tulang-tulang menonjol dan kulit yang menebal, tanda bahwa dia banyak melakukan latihan ilmu silat yang mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar).
Memang demikianlah. Siauw Teng, nama pria itu, adalah seorang ahli silat yang tangguh, memahami ilmu silat Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan pernah menjadi guru silat di kampungnya. Usianya juga baru tiga puluh lima tahun. Akan tetapi semenjak dia menghisap madat, lima tahun yang lalu, dia menjadi pemadat yang sudah tidak ketulungan lagi. Dia malas bekerja dan kebutuhannya akan madat makin hari makin banyak sehingga barang-barangnya habis dijualnya hanya untuk membeli madat yang amat mahal harganya itu. Dia seolah-olah sudah lupa akan anak istrinya, tidak perduli akan keadaan sekitarnya dan dia hanya membiarkan dirinya terbuai di alam khayal yang timbul oleh asap madat.
"Teng-ko, jawablah aku!" Chin Hwa, istrinya, berteriak dengan hati kesal dan iapun memegang pundak suaminya yang telanjang itu dan mengguncangnya beberapa kali. Tubuh yang sedang dibuai asap madat itu terguncang dan kedua matanya dibuka perlahan, seperti mata orang yang hampir tidak kuat menahan kantuk. Hanya sedetik saja dia membuka mata memandang kepada istrinya dengan sinar mata tidak mengenal, lalu dipejamkannya lagi matanya. Akan tetapi kedua tangannya dengan cekatan dan otomatis sudah memilin-milin tembakau campur madat lagi untuk dipasang di tempat tembakau.
"Teng-ko! Dengarkan aku dan jawablah atau... akan kubuang pipamu ini!" Chin Hwa berteriak dan mengguncang pundak suaminya semakin kuat. Sekali ini Siauw Teng membuka matanya, dilebarkan seperti orang tidur yang terganggu dan terkejut.
"Aih, engkau? Ada apakah? Mengapa kau ganggu aku yang sedang menikmati madat?"
"Suamiku," Cin Hwa menahan kesabarannya.
"Kenapa engkau sekarang menjadi begini? Aku bertanya kepadamu, dari mana engkau memperoleh uang, kenapa tidak engkau beli lagi perabot-perabot rumah kita yang sudah kau habiskan? Kenapa tidak kau beli pakaian untuk kita, untuk anak kita? Dan beras?" Laki-laki itu dengan muka penuh kesabaran tersenyum, akan tetapi kedua tangannya kini sibuk mengisi lagi pipanya dengan tembakau madat.
"Aku mendapatkan madat ini dari sahabat baikku, Ciu Wan-gwe... heh-heh-heh, dia memberiku cukup banyak, cukup untuk persediaan satu bulan. Ha-ha-ha, aku beruntung sekali mempunyai sahabat seperti Ciu Wan-gwe..." Sepasang mata wanita itu terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat, matanya memandang wajah suaminya penuh selidik.
"Ciu... Ciu Lok Tai, pedagang madat itu? Mengapa dia memberi madat kepadamu... hayo ceritakan, apa maunya...!" Wanita itu teringat betapa hartawan itu pernah datang ke rumah mereka, bercakap-cakap dengan suaminya, akan tetapi matanya yang berminyak itu selalu ditujukan kepadanya secara kurang ajar sekali. Dan kini hartawan itu, yang ia dengar dari para tetangga nya merupakan seorang laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu anak istri orang dengan mempergunakan hartanya, telah memberi madat demikian banyaknya kepada suaminya.
"Heh-heh, dia seorang sahabat baik. Dia hanya minta agar engkau suka membantu membereskan rumahnya selama satu minggu..."
"Gila...!" Cin Hwa menjerit.
"Dan kau ... kau setuju?" Suami itu memandang dengan sikap heran
"Mengapa tidak? Engkau akan berada di rumah gedung mewah itu selama satu minggu, membantu istrinya membereskan rumah karena katanya dia mantu. Karena engkau pandai menjahit, maka engkau dimintai bantuan, dan aku setuju. Siapa tidak akan membantu seorang sahabat baik seperti dia?"
"Tapi aku tidak sudi! Aku tidak mau!" Tiba-tiba saja pria yang tadinya seperti lesu dan lemah itu membuka matanya dan sepasang mata itu memandang marah. Seketika lenyaplah kantuknya dan di dalam sinar mata itu terkandung ketajaman dan wibawa yang membuat Cin Hwa menunduk. Kini ia merasa seperti berhadapan dengan suaminya yang dulu sebelum menjadi hamba madat dan memang suaminya ini selalu dapat menguasainya dengan sikapnya yang tegas.
"Engkau istriku, bukan? Dan engkau hendak menjerumuskan aku sebagai seorang laki-laki yang menjilat ludah sendiri, yang melanggar janji sendiri? Lihat, madat itu sudah kuhisap selama dua hari. Tak mungkin kukembalikan dalam jumlah yang sama, dan aku sudah berjanji. Pula, apa salahnya membantu keluarga Ciu yang mempunyai kerja itu? Apa salahnya?"
"Akan tetapi... akan tetapi... Pandang matanya kurang ajar...?"
"Ha-ha, dia tidak akan berani berbuat kurang ajar kepadamu. Dia tahu siapa aku dan aku percaya kepadamu, istriku. Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku. Pula, siapa yang dikhawatirkan? Engkau di sana akan membantu istrinya. Tentang pandang mata, heh-heh, mata pria mana yang tidak akan berminyak memandang engkau yang cantik manis?" Laki-laki itu tertawa bergelak dan melanjutkan pekerjaannya mengisap madat. Cin Hwa tidak membantah lagi, akan tetapi ia masih mencoba.
"Suamiku, ingatlah, bagaimana aku dapat meninggalkan anak kita, Lian Hong, yang baru berusia lima tahun itu? Siapa akan merawatnya?"
"Ha-ha, istriku, apakah engkau sudah lupa lagi. Setiap kali engkau mencari penghasilan dengan membantu tukang cuci sehingga engkau seharian tidak pulang, siapakah yang merawat anak kita? Apa engkau tidak percaya lagi kepadaku?"
Cin Hwa tidak dapat membantah lagi, ingin dengan hatinya yang panas dan gelisah ia meneriakkan ketidakpercayaannya. Akan tetapi suaminya adalah seorang suami yang selama ini amat baik, amat mencintanya dan selama se puluh tahun ini ia tidak dapat mencela suaminya. Akan tetapi, semenjak suaminya menghisap madat, lima tahun yang lalu terjadilah perobahan perlahan-lahan. Memang mula-mula suaminya masih bekerja dan masih memperhatikannya. Akan tetapi, makin lama suaminya semakin tidak menaruh perhatian kepadanya. Dan hal itu terjadi semenjak anak satu-satunya mereka, Siauw Lian Hong, lahir. Kadang-kadang ia malah berpikir bahwa anaknya itulah yang mendatangkan kesialan, akan tetapi dengan ngeri ia cepat mengusir pikiran itu.
"Dan Ciu Wan-gwe akan datang, atau suruhan orang-orangnya, datang menjemputmu hari ini. Aku sudah janjikan hal itu, dua hari yang lalu." Chin Hwa semakin terkejut, akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, terdengar suara orang di luar rumah. Daun pintu terketuk dan masuklah dua orang sambil tersenyum menyeringai. Mereka adalah dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluhan, yang seorang gendut dan seorang lagi tinggi tegap. Si tinggi tegap ini membawa sebuah bungkusan besar yang diletakkannya di atas meja.
"Selamat siang, Siauw kau w-su! Aha, kulihat engkau sedang menikmati madat. Hemmm, alangkah sedap baunya!" Si gendut berkata sambil menyedot-nyedot hawa yang pengap dalam ruangan itu, dan matanya yang sipit melirik ke arah nyonya rumah yang memandang dengan muka pucat. Siau Teng sudah biasa disebut Siauw kau w-su (Guru Silat Siauw) dan mendengar ucapan itu, tampa menghentikan sedotannya, dia membuka mata memandang. Setelah dia menyedot habis semua asap dari pipa, kedua matanya dipejamkan dan dia menahan napas sekuatnya, untuk menahan asap itu selama mungkin di dalam dadanya. Baru setelah dia tidak kuat bertahan lagi, dia menghembuskan napas perlahan-lahan dan hanya sedikit sisa asap yang keluar dari mulut dan hidungnya. Sebagian besar sudah menempel pada dinding-dinding paru-parunya.
"Eehhhhh...!" Keluhnya penuh nikmat dan diapun membuka matanya lagi dan tersenyum kepada dua orang itu.
"Apakah kalian diutus oleh Ciu Wan-gwe?" tanyanya Si gendut itu mengangguk-angguk dan mengangkat kedua tangan di depan dada. Mulutnya menyeringai dan matanya menjadi semakin sipit, mukanya mirip seekor babi,
"Benar..., eh, betul, Siauw kau -su, kami diutus Ciu Wan-gwe untuk... eh, menjemput toanio" eh, membantu nyonya besar kami." Siauw Teng menoleh kepada istrinya yang memandang kepadanya penuh kegelisahan dan keraguan.
"Istriku, berangkatlah engkau bersama mereka ke rumah Ciu Wan-gwe dan lakukanlah pekerjaanmu sebaik mungkin."
"Tapi... tapi, Teng-ko...!" Istrinya membantah. Siauw Teng mengerutkan alisnya.
"Berangkatlah! bentaknya, lalu kepada dua orang itu dia berkata, "Silahkan, bawa dan antar istriku kepada keluarga Ciu." Dan diapun sudah mulai menghisap madat lagi.
"Teng-ko... aku tidak bisa meninggalkan anak kita Lian Hong...!" Cin Hwa mencoba untuk membantah.
"Aihh, toa-nio, kenapa membantah perintah suamimu yang sudah berhutang budi kepada Ciu Wan-gwe. Jangan khawatir, keluarga Ciu akan mengatur semuanya, engkau tidak perlu membawa pakaian, di sana sudah tersedia pakaian untukmu, toa-nio..." Si gendut membujuk dengan sikap halus.
"Tidak, aku tidak mau!" Cin Hwa berseru.
"Toa-nio, tidak baik bersikap begitu." Kini si tinggi besar melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Tidak..., bagaimana nanti anakku? Kami tidak mempunyai beras, aku harus mencarikan dulu untuk ditinggalkan, untuk makanan anakku..."
"Ha-ha-ha!" Si tinggi besar tertawa dan membuka buntalan yang dibawanya.
"lihat, semua telah tersedia!" Dan benar saja, buntalan itu berisi bahan makanan, lebih dari cukup untuk dimakan suami istri dan anaknya selama satu minggu. Kiranya mereka ini sudah mempersiapkan segalanya.
"Tapi... anakku... Lian Hong...!" Chin Hua masih berteriak, "Suamiku, benarkah engkau begini tega"?" Ia hendak lari menghampiri suaminya, akan tetapi lengan kanannya ditangkap oleh si laki-laki tinggi besar dan nyonya itu terkejut. Jari-jari tangan si tinggi besar itu mencengkeram kuat sekali sehingga ia meringis kesakitan dan tidak mampu meronta lagi.
"Ibu... ibu...!"tiba-tiba dari dalam muncul seorang anak perempuan berusia lima tahun. Anak itu terbelalak heran dan takut melihat kegaduhan itu, apa lagi melihat ibunya demikian pucat mukanya dan nampak bingung.
"Ibu, ada apakah dan... siapakah kedua paman ini?" Anak itu adalah Siauw Lian Hong, anak tunggal keluarga itu.
"Lian Hong... mintalah kepada Ayahmu agar aku tidak perlu ikut kedua orang paman ini..."
"Ibu... ada apakah...?"
"Hemm, anak baik, jangan ikut-ikut, nanti Ayahmu marah kepadamu." Si tinggi besar berkata. Suaranya halus, akan tetapi kedua matanya yang besar melotot, membuat anak itu terkejut dan mundur ketakutan, lalu ia lari menghampiri Ayahnya.
"Ayah..., Ayah..., ibuku itu..." Anak itu mengguncang-guncang lutut kiri Ayahnya. Akan tetapi Siauw Teng tidak memperdulikan anaknya, atau mungkin juga tidak mendengarnya, masih enak-enakan membiarkan dirinya melayang-layang bersama asap madat. Sementara itu, dua orang utusan Ciu Wan-gwe sudah tidak sabar lagi. Si tinggi besar memegang lengan nyonya itu dan menariknya, sedangkan si gendut sambil senyum-senyum mendorong kedua pundaknya dari belakang. Nyonya itu menoleh kea rah suaminya dengan air mata berlinang, mengepal kedua tangannya.
"Teng-ko...! Engkau suami pengecut, Ayah yang berhati kejam! Laki-laki tak bertanggung jawab!" Ia sendiri merasa heran mendengar suaranya yang mencaci maki suaminya. Selama menjadi istri Siauw Teng, baru sekarang ia berani memaki karena hatinya diliputi kegelisahan dan kemarahan. Akan tetapi dua orang utusan itu sudah menariknya keluar dari rumah. Si kecil menjadi bingung dan ketakutan melihat ibunya diseret dua orang itu.
"Ayah...! Ayaaah...!" Ia merengek.
"Diam kau ! Duduk!" Tiba-tiba Siauw Teng membentak tampa membuka matanya dan anak itu terkejut, lalu terduduk di atas lantai, mengangkat muka memandang kepada Ayahnya dengan mata terbelalak berlinang air mata. Tidak lama kemudian Siauw Teng berhenti menghisap madat. Ketika dia membuka mata dan melihat putrinya yang kecil masih duduk diatas lantai mengangkat muka, memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang dibuka lebar-lebar tampa berkedip, dia terkejut dan baru teringat betapa tadi dia membentak putrinya dan anak itu masih duduk sampai saat itu.
Diapun cepat turun dari atas balai-balai dan merasa menyesal atas sikapnya terhadap putrinya tadi. Hatinya gembira sekali rasanya, hal yang selalu dirasakannya setelah dia menghisap madat sepuasnya. Pikiran menjadi tenang dan ringan, tubuh rasanya seperti melayang di udara, segala sesuatu yang dilihatnya nampak indah, cerah berseri-seri, dan telinganya juga mendengar bunyibunyi yang menjadi merdu dan indah. Dunia di sekelilingnya nampak indah bukan main setelah badannya puas menerima racun madat. Tidak ada sedikitpun keresahan mengganggu pikirannya yang menjadi kosong dan bebas! Diangkatnya tubuh anaknya tinggi-tinggi dengan kedua tangannya yang menyangga di bawah ketiak anak itu.
"Ha-ha-ha, Lian Hong, engkau menangis? Ihh, kenapa anakku begini cengeng? Hapus air matamu dan senyumlah. Tidak ada apa-apa yang patut ditangisi di dunia ini, anakku!" Dan diapun menurunkan tubuh anaknya, diciumnya pipi anak itu dan dihapusnya air matanya yang tadi berlinang dan kini jatuh menjadi dua butir mutiara diatas kedua pipinya. Pandang mata gelisah dan duka seketika lenyap dari mata anak itu yang merangkul leher Ayahnya.
"Ayah, ibu tadi dibawa ke mana?" Siauw Teng membawa anaknya duduk di atas balai-balai, tersenyum membelai rambut anaknya yang dibagi menjadi dua sanggul kecil di kanan kiri kepalanya.
"Lian Hong, jangan khawatir. Ibumu hanya pergi bekerja membantu kesibukan keluarga Ciu yang akan menikahkan putrinya. Akan ada pesta besar di sana dan nanti kita datang ke pesta itu. Wah, ramai sekali, selain makanan yang enak-enak juga kita akan menonton pertunjukan tari-tarian."
"Aku ikut, Ayah!" Anak itu menjadi gembira kini, tidak khawatir lagi setelah melihat Ayahnya bersikap biasa. Hatinya muak dan tidak suka mencium bau merangsang dan aneh dari tubuh dan mulut Ayahnya, bau madat, akan tetapi ia tidak berani menegur karena anak ini sudah cukup tahu bahwa kesukaan Ayahnya adalah menghisap madat, kesukaan yang seringkali ia lihat menjadi sebab pertengkaran antara Ayah dan ibunya.
"Tentu saja engkau ikut! Aku, ibumu dan engkau. Kita akan mengenakan pakaian-pakaian baru dan..."
"Mana pakaian barunya, Ayah?" Anaknya memotong. Siauw Teng teringat, lalu merangkul anaknya sambil tertawa.
"Jangan khawatir, Ciu Wan-gwe yang baik hati akan memberi kepada kita." Diapun mencium lagi putrinya dan sekali ini Lian Hong tidak dapat menahan rasa tidak sukanya akan bau madat itu.
"Ayah menghisap madat lagi," pancingnya.
"Heh-heh, benar, dan Ayah gembira sekali."
"Bunya tidak enak!" Ayahnya tertawa.
"Tentu saja tidak enak bagimu yang biasa, akan tetapi enak sekali bagiku. Soalnya hanya kebiasaan, nak, kebiasaan..."
"Biarkan aku mencobanya, Ayah, mencoba menghisap madat." Anak ini tahu benar bahwa ia dilarang keras meniru Ayahnya, baik oleh Ayahnya maupun oleh ibunya. Kini ia sengaja memancing untuk menyatakan rasa tidak sukanya melihat Ayahnya menghisap madat.
"Kau? Ah, tidak boleh! Sama sekali tidak boleh, Lian Hong. Memegangpun tidak boleh, apa lagi menghisap!" Siauw Teng berkata keras.
"Akan tetapi mengapa Ayah boleh dan aku tidak?" Anak itu mendesak dengan suara mengandung penuh teguran dan penasaran. Tampa disadarinya, Siauw Teng merasa betapa perasaan hatinya tertusuk. Dia bukan seorang bodoh. Dan dia dahulu terkenal sebagai seorang gagah yang selalu menentang kejahatan dan ketidakadilan. Kini menghadapi pertanyaan-pertanyaan putrinya yang baru berusia lima tahun, tiba-tiba saja ia melihat betapa pada hakekatnya dia tahu akan berbahaya dan buruknya menghisap madat sehingga walaupun dia sendiri menikmatinya dan ketagihan, namun dengan amat keras dia melarang anaknya menyentuh madat!
"Ayah sudah tua dan engkau masih kanak-kanak. Anak kecil tentu saja tidak boleh menghisap madat." Dia menjawab juga.
"Tapi ibu, kenapa ia tidak menghisap madat?"
"Ibumu? Ah, ia tidak suka."
"Kalau aku sudah besar dan suka, apakah aku boleh menghisap madat, Ayah?" Siauw Teng mengepal tinju dan merasa terdesak.
"Tidak... tidak boleh, wanita tidak boleh menghisap madat. Sudahlah, Lian Hong, mari kita masak. Engkau bisa membantu Ayah memasak nasi, bukan?"
Setelah puas menghisap madat, kembalilah watak baik Siauw Teng dan sehari itu dia mengasuh putrinya dengan penuh kasih sayang. Dan malam itu, setelah Lian Hong tidur pulas, barulah Siauw Teng menghisap madat lagi. Malam itu dingin sekali. Hujan turun rintik-rintik. Dalam cuaca di luar buruk seperti itu dan hawa yang amat dingin, membuat Siauw Teng semakin keenakan menghisap madat. Setelah puas, dia duduk termangu-mangu di atas dipan, matanya meram-melek penuh kenikmatan dan tubuhnya kadang-kadang bergoyang-goyang. Dia merasa seperti terbang di alam yang amat indahnya. Mulutnya tersenyum penuh kepuasan. Tiba-tiba terdengar suara kilat menggelegar. Siauw Teng yang sedang dibuai nikmat racun madat itu membuka mata.
Tiba-tiba daun pintu rumahnya terbuka, didorong orang dari luar. Memang dia tidak mengunci daun pintu itu dari dalam. Di dalam rumah sudah tidak ada apa-apanya yang berharga, perlu apa dikunci? Api dua batang lilin di sudut ruangan itu bergoyang-goyang tertiup angin yang menyerbu masuk ketika daun pintu terbuka. Dan bersama angin dan air hujan, masuk pulalah sesosok tubuh dibarengi suara isak tertahan. Siauw Teng terbelalak memandang istrinya yang masuk secara luar biasa itu. Rambut istrinya awut-awutan, muka dan rambutnya basah oleh air hujan, pakaiannya robek-robek dan kusut, bahkan bagian lehernya terobek sehingga nampak kulit dada bagian atas yang putih mulus. Di ujung mulut ada bekas darah dan nampak pipinya membiru, juga mata kirinya. Tentu saja Siauw Teng terkejut sekali.
"Cin Hwa..., apa yang telah terjadi??" tanyanya sambil memandang dengan mata terbelalak, terlalu kaget sehingga dia tetap duduk di atas dipan itu. Sepasang mata itu menjadi jalang. Sepasang mata yang kemerahan, dan air mata bercucuran mengalir ke atas sepasang pipi yang sudah basah oleh air hujan, wanita itu mengangkat lengannya, telunjuk kanannya ditudingkan ke arah muka suaminya.
"Engkau... engkau laki-laki jahanam! Engkau... engkau menjual diriku? kau tukarkan diriku, kehormatanku, dengan madat? Engkau menjual diriku untuk dapat menghisap madat?" Siauw Teng terkejut sekali dan menjadi bingung.
"Istriku, apa maksudmu?" Melihat suaminya masih bertanya, Cin Hwa menyangka dia berpura-pura sehingga kemarahan dan kedukaannya memuncak.
"Mana anakku? Mana...?"
"Ia sudah tidur di kamar..." Cin Hwa lari memasuki kamar. Hanya untuk melihat putrinya sajalah ia lari pulang. Siauw Teng masih duduk terbelalak, tidak mengerti apa yang telah terjadi, tidak menduga sesuatu sehingga kata-kata dan sikap istrinya itu amat mengejutkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdebukan di dalam kamar seperti orang jatuh, disusul jerit anaknya.
"Ibuuuu...! Ibuuuu...!" Siauw Teng merasa betapa bulu tungkuknya meremang dan sekali loncat dia sudah turun dari atas dipan lalu lari menyerbu ke dalam kamar. Dia terbelalak sejenak melihat istrinya terlentang di atas lantai berlumuran darah. Sebatang golok menancap di dada istrinya, dan Lian Hong menangis ketakutan di atas tempat tidur kayu. Anak itu terbangun ketika dirangkul dan diciumi ibunya yang menangis, kemudian menjadi ketakutan melihat ibunya menusuk dada sendiri dengan golok.
"Chin Hwa...!!" Siauw Teng menjerit dan menubruk. Sepintas lalu dia melihat dan tahulah dia bahwa golok itu terlalu dalam menusuk dada istrinya sehingga dia tidak berani mencabutnya. Golok itu goloknya, dan kini senjatanya itu, yang setia dalam menghadapi para penjahat, kini menancap di dada istrinya sendiri.
"Istriku! Mengapa kau lakukan ini? Mengapa?" Dia memangku tubuh itu, mengguncangnya dan wanita itu membuka matanya yang masih berlinang air mata. Mereka memperkosaku... Ciu Wan-gwe... kemudian pembantupembantunya..."
"Apa...!!!" teriak Siauw Teng mengejutkan Cin Hwa dan juga putrinya. Barulah nyonya ini percaya bahwa agaknya suaminya memang tidak tahu akan hal itu. Akan tetapi ia sudah lemah dan kemarahan yang sejak tadi memenuhi batinnya kini menguasainya lagi.
"Kau... kau telah menjual diriku dengan madat itu... demikian kata mereka... aku... aku berhasil melarikan diri tapi... tapi apa artinya hidup bagiku yang telah ternoda... kau ... kau ... laki-laki tak bertanggung ja... wab..." tubuh itu terkulai, kehilangan tenaga dan nyawa.
"Cin Hwa...!" Siauw Teng mendekap tubuh istrinya. Setelah dia yakin bahwa istrinya sudah tewas, tiba-tiba dia menjadi beringas. Kedua matanya merah melotot, basah dengan air mata. Dicabutnya golok yang menancap di dada istrinya dan hanya sedikit darah yang keluar dari tubuh yang baru saja ditinggalkan nyawanya itu.
"Jahanam Ciu Lok Tai! kau ... kau menipuku...!" Dan dengan sigapnya Siauw Teng meloncat keluar dari kamar, terus berlarian keluar menerobos kegelapan malam dan hujan. Dia tidak mendengar lagi suara putrinya yang berteriak-teriak ketakutan memanggil-manggil dia dan istrinya. Malam itu gelap dan sunyi. Semua penghuni dusun Tung-kang di luar kota Kanton sudah menutup semua daun pintu dan jendela karena semenjak sore hujan turun terus, membuat hawa menjadi amat dingin dan cuaca amat gelap di luar rumah.
Hanya beberapa orang penjaja makanan yang masih nampak berjalan memikul barang dagangannya di tepi jalan raya meneriakkan dagangannya untuk menarik perhatian para penghuni rumah-rumah tertutup itu. Dan makanan yang panas-panas banyak dibutuhkan orang yang membeli. Akan tetapi, di malam gelap itu bayangan Siauw Teng berkelebat ketika dia berlari menuju ke rumah gedung milik hartawan Ciu. Ciu Wan-gwe adalah orang yang terkaya di dusun Tung-kang, memiliki dua buah toko di Kanton, juga di Kanton dia memiliki rumah besar. Rumah yang berada di Tun-kang adalah rumah istri mudanya yang nomor dua. Rumah besar itu nampak sudah dikapur bersih karena memang keluarga itu mengadakan persiapan pernikahan putri dari Ciu Lok Tai dan istri mudanya.
Dengan golok yang masih hangat oleh darah istrinya di tangan, Siauw Teng berlari menuju ke gedung itu dan ketika tiba di pintu gerbang itu terbuka secara kasar. Akan tetapi tiba-tiba nampak lima orang berlompatan dan mereka itu ternyata pengawal-pengawal yang memegang senjata seperti tombak dan golok, agaknya mereka sudah siap menanti di tempat itu. Kemudian muncullah si gendut yang tadi pagi datang menjemput Cin Hwa, ya"tu seorang di antara dua utusan Cin Wan-gwe. Orang gendut ini muncul dengan memakai payung hitam untuk melindungi dirinya dari hujan rintik-rintik. Penerangan yang terdapat di pintu gerbang itu, dua buah lentera minyak, cukup untuk membuat wajah seperti babi itu nampak jelas dan wajah itu menyeringai ketika pemiliknya menghadapi Siauw Teng dengan sikap congkak.
"Siauw kau w-su, ada keperluan apakah malam-malam begini engkau datang ke sini?"
"Aku mau bertemu dan bicara dengan jahanam she Ciu! Panggil dia keluar atau aku akan menyerbu ke dalam dan menyeretnya keluar!" Bentak Siauw Teng.
"Hemm, pemadatan, engkau sungguh tak tahu diri!" Si gendut mengejek dengan sikap merendahkan sekali.
"Apa kau bilang?" Siauw Teng melangkah maju, akan tetapi lima orang pengawal sudah menghadang di depannya. Dia berhenti, tidak ingin memusuhi orang-orang lain kecuali mereka yang telah menghina istrinya.
"Sebenarnya engkau mau apakah, orang she Siauw? Aku adalah orang yang diberi kuasa oleh Ciu Wan-gwe untuk menghadapimu. Nah, katakan saja kepadaku apa keperluanmu?" kata pula si gendut.
"Lok-Toako, perlu apa banyak cakap dengan pemadatan ini? Hajar saja!" Tiba-tiba terdengar bentakan orang dari sebelah dalam dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar dari samping bangunan. Kiranya dia adalah kawan si gendut yang pagi tadi ikut menjemput Cin Hwa. Siauw Teng memandang kepada dua orang ini. Istrinya berpesan sebelum mati bahwa yang memperkosanya adalah Ciu Wan-gwe dan pembantu-pembantunya. Besar sekali kemungkinannya kedua orang inilah, yang pagi tadi menjemput Cin Hwa sebagai utusan Cin Wan-gwe, yang ikut memperkosa istrinya.
"Hemm, akuilah secara laki-laki kalau kalian bukan pengecut-pengecut hina. Apakah Ciu Wan-gwe dan kalian berdua yang telah memperkosa istriku tadi?" Siauw Teng menahan gejolak hatinya yang mendorongnya untuk segera menyerbu dengan goloknya dan mengamuk. Akan tetapi dia ingin yakin lebih dahulu sebelum turun tangan.
"Siauw kau w-su, istrimu hanya membayar hutang-hutangmu. Bukankah engkau sudah menerima banyak sekali madat dan barang-barang lain dari Ciu Wan-gwe dan engkau sudah berjanji untuk menyerahkan istrimu untuk bekerja pada Ciu Wan-gwe selama satu minggu? Engkau berjanji bahwa istrimu akan melakukan semua pekerjaan yang diserahkan kepadanya? Apakah engkau hendak menjilat ludah sendiri dan mengingkari janji? Akan tetapi baru sehari, istrimu sudah melarikan diri. Ini saja sebenarnya sudah tidak pantas dan masih baik Ciu Wan-gwe tidak menuntutmu. Pulanglah dan pikirkan baik-baik." Tentu saja hati Siauw Teng menjadi semakin panas.
"Akan tetapi istriku dibutuhkan untuk membantu dengan jahitan-jahitan. Kenapa diperkosa?" bentaknya. Kini si tinggi besar yang sudah tidak sabar menjawab,
"Kalau ia menyerahkan diri dengan baik-baik, tentu kami tidak akan memperkosanya!" Si gendut memegang lengan kawannya yang kelepasan bicara, akan tetapi sudah terlanjur. Wajah Siauw Teng menjadi pucat saking marahnya.
"Keparat! Jadi benar kalian berdua dan hartawan Ciu yang memperkosa istriku?"
"Hanya membayar hutang," kata si gendut, merasa sudah kepalang karena kawannya sudah mengaku tadi.
"Dan kami hanya memperoleh bagian saja dari Ciu Wan-gwe sebagai imbalan jasa. Istrimu seperti kuda binal, atau kucing galak... hemm, tapi cukup menyenangkan..." Si gendut mengelus lehernya dan ternyata lehernya berdarah, ada guratan bekas cakaran kuku disitu. Agaknya ketika dia memperkosa Cin Hwa, wanita itu melawan dan berhasil mencakar lehernya. Mendengar ucapan itu, Siauw Teng tidak mampu menahan kesabarannya lebih lama lagi. Bagaikan seekor harimau yang haus darah, dia mengeluarkan suara menggereng dan tubuhnya yang tidak berbaju menerjang ke depan, goloknya membentuk sinar terang ketika meluncur dalam serangannya.
"Mampuslah kalian anjing-anjing busuk!" Akan tetapi, lima orang pengawal sudah menggerakkan senjata sehingga golok di tangan Siauw Teng tertangkis, bahkan ada tombak dan golok yang menyerangnya dari kanan kiri dan belakang. Ternyata, biarpun sejak lima tahun menjadi pemadatan, Siauw Teng masih menguasai ilmu silatnya dengan baik. Dia berloncatan kesana-sini, goloknya membentuk gulungan sinardan terdengarlah suara berdenting bertubi-tubi ketika dia berhasil menangkis semua senjata lawan. Kemudian dia menyerbu lagi dan begitu cepatnya golok itu berkelebat sehingga dua orang pengawal roboh sambil mengaduh kesakitan.
"Eh, kiranya macan pemadatan ompong ini masih bisa mencakar juga!" kata si tinggi besar dan diapun menerjang maju membantu para pengawal yang tinggal tiga orang itu. Si tinggi besar ini mempergunakan sebatang pedang dan ternyata sambaran pedangnya cepat sekali.
"Tranggg...!" Siauw Teng terkejut. Hampir saja dia menjadi mangsa pedang itu dan pada saat terakhir dia dapat menangkis, akan tetapi dia merasa betapa lengannya kesemutan.
"Pemadatan busuk!" Tiba-tiba si gendut memaki dan diapun menyerang maju dengan... payungnya! Kiranya si gendut ini lihai sekali dan senjatanya yang aneh itu merupakan pedang yang tersembunyi di dalam paying. Tahulah Siauw Teng bahwa dua orang utusan Ciu Wan-gwe itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Dia tidak gentar dan memutar goloknya dengan cepat, selalu mengarahkan senjatanya dengan maksud membunuh dua orang yang telah mencemarkan kehormatan istrinya ini.
Memang hanya itulah tujuannya. Membalaskan penghinaan terhadap istrinya, kalau mungkin membunuh tiga orang itu dan tidak melibatkan orang lain. Akan tetapi baru sekarang Siauw Teng sadar bahwa tubuhnya sudah dirusak oleh racun madat. Mungkin dia masih menguasai ilmu silatnya dengan baik, akan tetapi tenaganya menurun dengan hebatnya, dan terutama sekali pernapasannya amat mengganggunya. Paru-parunya sudah terlalu kotor oleh racun madat sehingga belum lewat lima puluh jurus dia dikeroyok napasnya sudah empas-empis hampir putus dan dia merasa betapa dadanya sakit kalau menarik napas. Dalam keadaan seperti itu tentu saja tenaganya makin berkurang, pandang matanya berkunang dan gerakannya menjadi lambat dan kacau.
"Crattt!" Ujung pedang di tangan si tinggi besar membabat siku kanannya dan seketika lengan kanannya menjadi lumpuh. Urat di sikunya putus dan berbareng dengan muncratnya darah, goloknyapun terlepas dari pegangan tangannya. Dia masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan bertubi-tubi tubuhnya menerima hantaman-hantaman senjata lawan. Lambungnya tertusuk, punggungnya dihantam gagang payung dengan kerasnya, kedua pahanya juga luka-luka oleh sabetan pedang dan diapun terguling roboh mandi darah.
"Cukup, jangan bunuh! Kita tidak perlu mendatangkan keributan!" Teriak si gendut mencegah teman-temannya melanjutkan pembantaian mereka terhadap Siauw Teng. Bekas guru silat ini merangkak, mencoba untuk melawan, akan tetapi baru sekali meloncat saja sudah jatu lagi. Dia mengangkat muka dan dengan muka beringas, penuh darah dan peluh, dia memandang kedua orang itu.
"Siapakah kalian berdua?" katanya dengan suara penuh kebencian. Si tinggi besar cepat menjawab, tampa memperdulikan isyarat temannya yang hendak mencegahnya.
"Takut apa mengaku nama. Engkau pemadatan mau bisa berbuat apakah terhadap kami? Dengar baik-baik. Aku bernama Gan Ki Bin dan temanku ini adalah Lok Hun, Nah mau apa lagi kau ?"
Siauw Teng merasa matanya berkunang dan dia mencatat dua nama itu dalam benaknya, lalu dengan sempoyongan dia pergi dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka. Tertatih-tatih dia berjalan setengah lari, lengan kanannya lumpuh, tangan kirinya mendekap luka di lambungnya. Di sepanjang jalan yang dilalunya, ada bintik-bintik darah yang menetes keluar dari tubuhnya yang penuh luka. Suara tangis putrinya masih terdengar di dalam rumahnya ketika dia tiba di situ. Akan tetapi suara tangis itu terlalu lirih untuk dapat menarik perhatian para tetangga. Malam gelap dan hujan, maka suara tangis kanak-kanak tentu saja tidak begitu dihiraukan oleh para tetangga yang menganggap anak itu sedang rewel atau tidak enak badan.
"Ayah...!" Lian Hong berteriak ketika melihat Ayahnya masuk terhuyunghuyung. Matanya terbelalak dan ia menjadi semakin ketakutan melihat keadaan Ayahmya, saking takut dan ngerinya. Lian Hong hanya melihat saya ketika Ayahnya terhuyung-huyung memasuki kamar dimana ibunya menggeletak pucat.
"Cin Hwa... istriku, aku berdosa padamu..." Siauw Teng meratap ketika dia berdiri dan menundukkan muka memandang tubuh istrinya. Tak dapat ditahannya lagi air matanya bercucuran dan jatuh menimpa leher istrinya yang berlepotan darah yang sudah mulai mengering kehitaman. Lalu dia mengepal tinju dan mukanya menjadi beringas ketika dia berteriak.
"Ciu Lok Tai, Gan Ki Bun, Lok Hun! Aku bersumpah untuk membalas penghinaan terhadap istriku, membalas kematian istriku kepada kalian bertiga!" Kemudian dengan beringas dia menoleh, melihat pipa tembakau madat dan bungkusan madatnya.
"Keparat! Inilah yang menjadi gara-gara! Madat jahanam, perusak hidupku, pembunuh istriku!" Dengan kemarahan meluap dia menggunakan tangan kirinya untuk membanting pipa tembakau madatnya sampai pecah berantakan. Dia masih belum puas, dan dibakarnya pecahan bambu pipa itu pada api lilin, lalu dibakarnya pula semua sisa madat. Api berkobar dalam kamar itu, Akan tetapi, Siauw Teng kehabisan tenaga dan tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap dan diapun roboh terpelanting di dekat istrinya. Bambu pipa yang tadi dipegangnya dan masih berkobar, mengeluarkan bau yang memuakkan karena madatnya juga terbakar, terlepas dari tangannya dan jatuh menimpa dipan bambu yang tentu saja segera terbakar dengan amat mudahnya.
"Ayaaahhh...! Ibuuuu...!" Lian Hong berteriak-teriak ketakutan. Akan tetapi Ayah dan ibunya rebah saling tindih di atas lantai dan sekarang api sudah berkobar besar membakar dipan dan segala yang berada di kamar itu. Lian Hong terbelalak. Bingung memanggil-manggil Ayah ibunya. Api menjalar cepat sekali dan rumah itupun mulai terbakar. Setelah rumah keluarga Siauw itu terbakar cukup besar, barulah tetangga terdekat mengetahuinya. Dia segera lari keluar dan berteriak-teriak.
"Kebakaran! Kebakaran!" Dusun itu menjadi gempar. Semua orang berteriak-teriak dan berlarian menuju ke rumah keluarga Siauw yang terbakar. Api sudah menjadi begitu besarnya sehingga tidak ada yang berani masuk untuk memeriksa apakah di dalam rumah masih ada orangnya. Mereka hanya menggunakan air untuk disiramkan ke arah api, akan tetapi apa artinya air berember-ember itu terhadap api yang sudah membesar? Celakanya, hujan gerimis sudah berhenti sehingga tidak membantu. Tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah terbakar itu,
"Ayaaaahhh...! Ibuuuu...!" Itulah suara Siauw Lian Hong. Anak itu tadi jatuh pingsan karena bau madat dan ketika ia siuman kembali, api telah mengurungnya dan ia tidak dapat lari ke manapun juga. Ia ketakutan dan melihat tubuh Ayah ibunya mulai dimakan api, iapun menjerit sekuat tenaga sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di luar rumah terbakar itu. Mendengar jerit ini, semua orang saling pandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Celaka! Si kecil itu agaknya berada di dalam rumah sendirian!"
"Tolong anak itu...!"
"Harus didobrak pintunya!"
"Api sudah membakar pintunya!"
"Api terlalu besar! Siapa berani masuk untuk menolongnya?"
"Tidak mungkin...!" Tiba-tiba semua suara terhenti dan semua mata melongo memandang ke arah pintu. Terdengar suara keras dan pintu depan itupun ambrol, dan tiba-tiba saja sesosok bayangan meluncur masuk dengan cepat sekali. Akan tetapi banyak orang mengenal bayangan itu, setidaknya dari pakaian, topi dan kipas butut di tangan orang itu karena sinar api memberi penerangan yang cukup.
"Dia si gila di pasar itu!"
"Kakek pembunuh lalat dengan kipasnya!" Semua orang terheran-heran. Baru kurang lebih sepekan pasar dusun itu kedatangan seorang Kakek aneh. Seorang Kakek kurus yang pakaiannya tambal-tambalan, topinya meruncing ke atas dan tangannya tiada hentinya menggerakkan sebuah kipasnya itu. Anak-anak suka menggodanya karena dia suka tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang geli mentertawakan sesuatu. Dan kini Kakek yang dianggap gila itu, secara luar biasa sekali, telah meloncat ke dalam sebuah rumah yang sedang terbakar hebat setelah terdengar jeritan kanak-kanak dari dalam rumah. Semua orang menahan napas, memandang ke arah pintu dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dinding samping rumah itu ambrol dan Kakek itu meloncat ke luar sambil memondong seorang anak perempuan.
Semua orang berteriak, lega, girang dan juga khawatir karena ada api berkobar mengikuti Kakek itu. Kiranya ujung jubahnya yang terbakar. Akan tetapi, Kakek itu berjingkrak dan kipasnya mengebut-ngebut. Padamlah api yang merupakan ekornya tadi. Semua orang bersorak, bertepuk dan tertawa girang karena merasa lucu dan lega. Akan tetapi tiba-tiba Kakek itu meloncat dan lenyap dalam kegelapan malam! Kini semua orang berusaha memadamkan api. Percuma. Rumah itu terbakar habis dan ketika para penduduk memeriksa puing kebakaran, mereka terkejut sekali menemukan mayat guru silat Siauw dan istrinya yang sudah gosong sehingga sukar untuk dikenal lagi. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tentulah dua mayat itu adalah mayat Siauw Teng dan istrinya.
Siapa lagi kalau bukan mereka yang mati terbakar dalam rumah mereka? Kembali gemparlah dusun itu. Semua orang bertanya-tanya ke mana perginya Kakek yang menolong Siauw Lian Hong. Dan mengapa pula rumah itu sampai terbakar habis, dan lebih aneh lagi, bagaimana suami istri Siauw itu sampai mati terbakar sedangkan anaknya masih sempat berteriak. Timbul bermacam dugaan. Akan tetapi yang dianggap paling tepat oleh para penduduk dusun itu adalah perbuatan bunuh diri suami istri itu. Tentu mereka bunuh diri dengan membakar rumah sendiri, demikian celoteh mereka. Dugaan ini bukan tak berdasar. Mereka semua sudah tahu belaka bahwa bekas guru silat Siauw Teng adalah seorang pemadat yang sudah mendarah daging, dan mereka seringkali melihat percekcokan terjadi antara suami istri itu.
Mereka tahu pula betapa suami istri itu sudah jatuh miskin, semua barang sudah dijual, bahkan meja kursipun dijual untuk ditukar dengan madat. Maka, kalu kini rumahnya terbakar, apa lagi kalau bukan bunuh diri karena putus harapan atau karena pertengkaran yang menghebat antara mereka? Sebetulnya apakah yang telah terjadi di dalam rumah kebakaran itu setelah Lian Hong menjerit sekuatnya dan Kakek yang membawa kipas itu meluncur masuk ke dalam rumah yang sedang berkobar itu? Lian Hong yang ketakutan setengah mati itu tiba-tiba melihat seorang Kakek tua berada di dalam ruangan yang terbakar itu, dan Kakek itu tahu-tahu sudah menyambar tubuhnya ke dalam pondongan. Kemudian Kakek itu memandang kepada jenazah yang sedang terbakar.
"Itu Ayah ibumu?" tanya Kakek itu sambil menuding ke arah dua jenazah dengan kipasnya. Lian Hong hanya mengangguk sambil menangis. Kakek itu lalu menggerakkan kipasnya ke kiri dan daun pintu kamar yang sedang terbakar itupun roboh. Ada kayu dari atas runtuh pula ke bawah menimpa mereka, akan tetapi dengan kebutan kipasnya, kayu yang terbakar itu tertangkis dan terpental. Kemudian Kakek itu meloncat melalui pintu yang roboh, mencari jalan keluar dan melihat betapa dinding disebelah barat masih belum terbakar, Kakek itu lalu menerjang dinding dengan tendangan kakinya. Dinding itu jebol dan diapun membawa Lian Hong meloncat keluar, tidak tahu bahwa ujung jubah di belakangnya ikut terbakar sehingga tergopoh-gopoh dia memadamkannya dengan kebutan kipasnya setelah berada di luar.
Melihat betapa semua orang bersorak dan memperhatikannya, Kakek itu lalu meloncat jauh ke dalam kegelapan malam. Lian Hong memejamkan kedua matanya dengan ngeri. Ia merasa betapa angin bertiup keras sekali dan betapa tubuhnya meluncur ke depan dengan amat cepatnya. Bayangan-bayangan pohon menghitam seperti raksasa mengancam itu nampak berlari-lari cepat di kanan kirinya ketika Kakek itu membawanya lari di jalan besar yang diapit-apit jajaran pohon-pohon di tempat yang gelap dan sunyi itu. Ia merangkul leher Kakek itu, takut terlepas dari pondongan dan jatuh. Akhirnya, saking lelahnya, lelah lahir bathin tertindih perasaan ngeri, takut, duka yang amat menghebat, Lian Hong tertidur pulas dalam pondongan Kakek itu, tidak tahu sama sekali bahwa ia dilarikan sampai jauh sekali dari dusun Tun-kang,
Bahkan Kakek itu baru berhenti setelah tiba di luar daerah Kan-ton, berhenti di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit, di tepi sebuah sungai. Kakek itu menggunakan sehelai kain bersih yang dicelup air sungai untuk membersihkan muka, leher, tangan dan kakinya, kemudian diapun mengusap muka Lian Hong yang kotor karena angus dan debu itu dengan kain basah. Lian Hong sadar dan membuka matanya. Begitu membuka mata, anak perempuan itu menjerit. Kakek itu merangkul dan mendekap anak yang hendak lari itu, akan tetapi Lian Hong meronta-ronta dan setelah Kakek itu mengusap belakang lehernya, barulah anak itu diam tak bergerak, akan tetapi memandang dengan sepasang mata terbelalak kepada Kakek itu yang masih memangkunya.
"Anak baik, siapakah namamu...?" Kakek itu bertanya sambil tersenyum. Wajah Kakek itu memang aneh. Wajah yang kurus, dengan tulang pipi menonjol dan matanya sipit panjang. Kumis dan jenggotnya sudah putih, tak terpelihara, akan tetapi baik rambutnya, kumis, jenggot dan kulit mukanya, bersih sekali. Dan matanya yang sipit itu mengeluarkan sinar aneh dan kadang-kadang mencorong. Pakaiannya tambal-tambalan dan kusut, akan tetapi juga bersih karena di dalam buntalan yang digendongnya terdapat beberapa stel pakaian pengganti dan dia setiap hari berganti pakaian. Lian Hong menggerakkan mulutnya. Bibirnya berkemak-kemik tak bersuara dan sepasang mata yang lebar itu memandang wajah si Kakek tampa kedip.
"Apa kau bilang, nak?" Kakek itu mendesak sambil tersenyum memberanikan.
"Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...! Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...!" hanya tiga nama itulah yang berulangkali keluar dari mulut anak perempuan itu, dan tiba-tiba pandang mata anak itu berobah penuh kebencian! Mendengar dan melihat ini, Kakek itu terkejut.
"Siancai..., batinmu tertekan hebat, nak." Bisiknya dan jari-jari tangannya meraba tengkuk Lian Hong. Anak itu memejamkan matanya dan pulas lagi, pulas oleh rabaan tangan yang melakukan penekanan pada urat sjarafnya. Setelah anak itu pulas, Kakek berkipas itu lalu merebahkan Lian Hong dan dengan amat teliti dia mengurut beberapa bagian di kepala anak itu. Setelah selesai diapun berkata halus,
"Tidurlah, nak. Tidurlah dengan tenang. Engkau sungguh patut dikasihani..." Dan Kakek itu sendiripun lalu duduk bersila di dekat Lian Hong, memejamkan mata, entah tidur entah tidak, akan tetapi napasnya panjang dan halus seperti orang tidur, sedikitpun tidak bergerak. Lebih dari tiga jam mereka tidak bergerak. Matahari telah mulai menerobos daun-daun pohon ketika tiba-tiba Lian Hong sadar dari pulasnya. Ia menggeliat dan membuka mata. Mulutnya segera berseru,
"Ayah...! Ibu...!" Dan iapun bangkit duduk. Kakek itupun sudah membuka matanya dan memandang penuh perhatian.
"Ayah...! Ibu...! Rumah terbakar...!" Kembali Lian Hong berkata, lalu anak itu menoleh dan memandang kepada Kakek itu. Kakek itu mengangguk.
"Benar, anak baik. Rumah orang tuamu kebakaran, engkau terkurung di dalamnya dan aku mengeluarkanmu dan membawamu ke sini." Anak itu seperti baru sadar. Mukanya pucat dan wajahnya terbelalak.
"Ahhh..., Ayah..., ibu...?" Sinar matanya memandang penuh selidik kepada Kakek itu menanti jawaban yang agaknya sudah diduganya. Kakek itu kembali mengangguk.
"Ayah ibumu tewas karena kebakaran itu." Mata itu makin melebar.
"Ayah... ibu... mati...?" Anak itu mewek-mewek akan tetapi tidak dapat menangis, dan sinar matanya sebentar menjadi layu sebentar lagi seperti berapi-api. Tahulah Kakek itu bahwa Lian Hong kembali terhimpit bermacam perasaan.
"Benar, Ayah ibumu telah mati dan engkau ditinggal sendiri saja di dunia ini. Engkau seorang diri saja, ditinggal aya ibumu, tidak ada siapa-siapa lagi disampingmu!" Tiba-tiba Kakek itu berkata dengan nada menekan dan kejam. Tiba-tiba saja Lian Hong menjerit.
"Ayaaahhh...! Ibuuuu...!" Dan iapun menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas tanah, memanggil Ayah ibunya dan tangisnya makin mengguguk.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi dia menggunakan punggung tangannya untuk mengusap dua butir air mata yang tiba-tiba saja berkumpul di pelupuk matanya. Dia berhasil memancing keluar tangis anak itu, hal yang amat diperlukan karena kalau tidak, anak itu berada dalam keadaan amat berbahaya, bisa menjadi gila atau bahkan mati. Kini rasa iba diri dalam batin anak itu yang menang, membuat ia merasa sengsara dan menangis merupakan obat mujarab untuk menghadapi pelbagai perasaan yang bergejolak di dalam hati. Dia hanya melihat dan biarpun anak itu menangis terisak-isak sampai hampir sukar bernapas, dia tersenyum gembira dan membiarkan anak itu menangis terus sepuasnya. Akhirnya tangis Lian Hong mereda. Tinggal terisak-isak saja dan ia sudah dapat mendengarkan ketika Kakek itu bicara perlahan-lahan kepadanya.
"Anak yang baik. Manusia tidak dapat terlepas dari pada kematian, dan kematian bisa saja datang kepada setiap orang pada suatu saat tertentu, tidak perduli orang itu sudah tua ataukah masih muda. Ayah ibumu sudah mati, dan hal itu tidak dapat dirobah oleh siapapun di dalam dunia ini. Setelah engkau sekarang sendirian saja di dalam dunia ini apakah engkau masih mempunyai sanak keluarga? Barangkali paman atau bibi?" Lian Hong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini"" Suaranya masih mengandung isak yang ditahannya.
"Bgus, engkau dapat menahan tangismu." tiba-tiba Kakek itu berkata sambil menyentuh pundak anak itu.
"Memang, tangis saja tidak dapat merobah keadaan. Jadi engkau benar-benar seorang diri saja di dunia ini? Tidak ada siapapun yang dapat kau datangi, yang dapat menampungmu?" Lian Hong memandang wajah Kakek itu dan kembali menggeleng kepala.
"Akupun hidup sebatangkara seperti engkau! Nah, kalau engkau mau ikut aku, bukankah berarti aku mempunyai seorang cucu dan engkau mempunyai seorang Kakek?" Kakek itu tertawa sendiri, gembira dengan usulnya, gembira membayangkan betapa mendadak saja dia memperoleh seorang cucu tampa mempunyai anak atau mantu!
"Kek, engkau siapakah? Dan kenapa engkau ingin menjadi Kakekku?" Kakek itu melongo. Anak yang masih begini kecil sudah pandai mengajukan pertanyaan dengan sikap demikian penuh selidik seperti seorang jaksa yang hendak memeriksa pesakitan saja! Dan pandang matanya begitu penuh curiga. Dia menjadi kikuk sendiri dan tersenyum masam.
"Eh, tidak kenapa-kenapa. Aku hanya merasa kasihan kepadamu. Sudah kuceritakan bahwa secara kebetulan saja aku berada di sana ketika rumahmu terbakar. Mendengar bahwa ada anak kecil di dalam rumahitu, aku lalu masuk dan berhasil membawamu keluar."
"Kek, apakah engkau seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi?" Kembali Kakek itu melongo dan merasa bulu tengkuknya meremang. Anak ini luar biasa sekali!
"Eh, bocah aneh! Bagaimana engkau menduga seperti itu?" dia balas bertanya.
"Semua orang dusun sudah berkumpul di depan rumah kami yang terbakar. Andaikata ada yang berani, tentu yang masuk menolongku seorang laki-laki muda dan kuat. Akan tetapi tidak ada yang berani dan hanya engkau, seorang Kakek tua yang dapat menolongku. Juga engkau dapat menghindarkan semua bahaya kebakaran, engkau mendobrak dinding. Ayahku sering bercerita tentang orang-orang sakti. Apakah engkau seorang sakti?"
"Ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang anak yang cerdik saja. Engkau cerdik dan tidak cengeng. Bagaimana, apa engkau mau menjadi cucuku dan ikut denganku? Kita akan cocok sekali!"
"Jawab dulu, apakah engkau pandai ilmu silat, kek? Kalau engkau pandai dan mau mengajarku ilmu silat tinggi, baru aku mau ikut denganmu."
"Kalau tidak?"
"Kalau tidak aku tidak mau. Tidak ada yang dapat kuharap dari seorang Kakek tua, juga aku akan menjadi bebanmu saja."
"Habis, kau mau apa? Mana bisa kau hidup sendiri? Dari mana engkau dapat memperoleh makan?"
"Aku bisa bekerja, aku bisa mengemis..." kata anak itu dengan tabah. Kakek itu tertawa bergelak, hatinya senang bukan main.
"Bgus! Engkau anak baik. Jangan khawatir, aku akan mengajarkan ilmu padamu. Setidaknya ilmu mencari makanan, seperti ini. Lihat!" Kakek itu menutup kipas bututnya dan tiba-tiba dia menyambitkan kipas yang tertutup itu ke atas pohon. Terdengar suara mencicit satu kali dan kipas itu jatuh lagi ke bawah pohon bersama seekor tupai putih yang telah mati karena lehernya tertusuk ujung gagang kipas. Lian Hong terbelalak girang dan iapun segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan Kakek yang duduk bersila itu.
"Aku mau menjadi cucumu, kek!" Kakek itu merangkulnya.
"Bgus sekali. Siapakah namamu, anak baik?"
"Namaku Siauw Lian Hong, kek."
"Lian Hong, nama yang bagus. Dan aku tidak punya nama, akan tetapi orang-orang ada yang mengenalku sebagai Bu-beng San-kai (Pengemis Berkipas Tampa Nama), ha-ha! Hong Hong, aku lebih suka menyebutmu Hong Hong, apakah kau pernah makan panggang daging tupai?"
"Belum, kek," jawab Lian Hong, memandang bangkai tupai yang seperti tikus berekor besar itu dengan ragu dan jijik.
"Nah, sekarang engkau akan merasakannya. Enak sekali! Mari kuberi pelajaran pertama, yaitu menguliti tupai dan memanggang dagingnya!" Karena sikap Kakek itu selalu gembira, sebentar saja Lian Hong yang masih kecil itu dapat melupakan kedukaannya. Akan tetapi setiap kali duduk termenung seorang diri, bibirnya komat-kamit dan Kakek itu dapat menduga apa yang diucapkan bibir kecil itu karena pernah dia mendengar cucunya mengigau di waktu tidur,
"Ciu Lok Tai, Gan Ki Bin, Lok Hun...!" Kematian Siauw Teng dan istrinya mungkin dianggap bunuh diri oleh para tetangga, dan urusan itupun segera mereka lupakan.
Akan tetapi tidak demikian bagi Tan Siucai, seorang sasterawan miskin yang hidup berdua saja dengan putera tunggalnya di dusun Tung-kang. Tan Siucai adalah sahabat baik mendiang Siauw Teng. Dia seorang sasterawan berusia sekitar lima puluh tahun yang hidup menduda setelah istrinya meninggal dunia, bersama puteranya yang berusia tujuh tahun. Sasterawan ini hidup sederhana. Penghasilannya hanyalah menuliskan surat-surat atau tulisan-tulisan indah untuk penduduk dusun itu yang membutuhkannya. Pekerjaannya setiap hari hanya menulis, kalau tidak ada pesanan orang tentu dia menulis, membaca buku, itulah pekerjaannya setiap hari. Putera tunggalnya, Tan Ci Kong, sejak kecil diajar membaca dan menulis sehingga dalam usia tujuh tahun anak itu sudah pandai menulis indah, bahkan membaca kitab-kitab kuno.
Terdapat kecocokan antara dia dan mendiang Siauw Teng. Sasterawan ini menghargai kegagahan dan kejujuran Siauw Teng, sebaliknya bekas guru silat itupun kagum akan kepandaian sasterawan itu menulis indah dan membuat sajak. Apa lagi di antara keduanya ada suatu ikatan batin, yaitu keduanya berjiwa patriot. Kematian Siauw Teng amat menyedihkan hati sahabat itu sehingga begitu mendengar akan musibah yang menimpa keluarga sahabatnya, siucai itu menghibur dirinya dengan minum arak sampai mabok dan tidak ingat apa-apa lagi. Tan siucai sudah tahu bahwa sahabatnya adalah seorang pemadat. Sudah berkali-kali dia menasihatkan, akan tetapi Siauw Teng yang juga pada hakekatnya sudah tahu
akan keburukan dan bahayanya menghisap madat, sudah tercengkeram dan tidak mungkin dapat melepaskannya lagi.
Akan tetapi Tan Siucai yang mengenal baik kegagahan temannya, tidak percaya bahwa temannya itu melakukan bunuh diri bersama istrinya. Juga dia merasa berduka sekali mendengar akan hilangnya Siauw Lian Hong, anak perempuan yang diam-diam diharapkannya kelak akan dapat dijodohkan dengan putera tunggalnya. Dia tidak percaya sahabatnya melakukan bunuh diri. Maka diapun merasa penasaran dan mulailah dia melakukan penyelidikan pada para tetangga sahabatnya itu. Dalam penyelidikannya ini, orang-orang yang menaruh rasa hormat kepada Tan Siucai menceritakan apa adanya. Seorang di antara mereka ada yang melihat ketika pada pagi hari sebelum terjadi musibah itu, istri Siauw kau w-su kelihatan berjalan diantar oleh dua orang petugas Ciu Wan-gwe.
"Saya sempat bertanya dan ia menjawab bahwa ia akan pergi membantu dengan pekerjaan menjahit di rumah keluarga Ciu yang akan mengadakan pesta pernikahan." Demikian seorang tetangga wanita menceritakan.
Cerita ini tentu saja tidak berarti bagi orang banyak, karena dianggap biasa. Akan tetapi tidak demikian dengan Tan Siucai, apa lagi ketika dia mendengar bahwa sahabatnya itu pernah menerima pemberian banyak madat oleh Ciu Wan-gwe. Timbul kecurigaannya. Mengapa pedagang madat yang kaya itu memberi madat kepada sahabatnya yang dia tahu tidak akan mampu membeli banyak madat? Dan kenapa pula istri sahabatnya harus membantu di rumah keluarga kaya itu? Dia sudah mendengar desas desus akan sifat mata keranjang Ciu Wan-gwe yang. Yang kabarnya sudah banyak mengganggu anak istri orang mengandalkan harta dan kekuasaannya. Akan tetapi apakah yang dapat dilakukan seorang Tan Siucai, sasterawan lemah miskin itu terhadap seorang Ciu Wan-gwe, yang kaya raya dan berpengaruh,
Bahkan menjadi sahabat dari para pembesar di kota Kanton? Juga dia tidak dapat membuktikan apa-apa. Akan tetapi terbukalah kesempatan bagi Tan Siucai untuk melampiskan rasa penasaran yang membakar hatinya sejak kematian sahabatnya yang kemudian disusul dengan hasil keterangan yang diperolehnya melalui penyelidikannya. Ciu Wan-gwe mengadakan pesta pernikahan puterinya secara besar-besaran. Sudah menjadi kebiasaan umum di pelosok dunia yang manapun, kalau ada orang kaya mempunyai kerja, orang-orang berlumba untuk mengirim sumbangan, bahkan sumbangan-sumbangan itupun dipilih yang paling berharga. Sebaliknya, kalau yang mempunyai kerja itu orang miskin, jarang ada yang mengirim sumbangan, kalaupun ada, maka sumbangan itupun tidak berharga.
JILID 02
Hal ini jelas membuktikan bahwa dibalik pemberian sumbangan itu, walaupun tidak diakui oleh para penyumbangnya, tersembunyi pamrih, mengharapkan imbalan yang besar dan menguntungkan pula. Betapa tidak? Memang sudah membudaya bagi kehidupan manusia di dunia ini untuk menyembunyikan pamrih di dalam setiap perbuatannya! Di antara mereka yang mengirim sumbangan, terdapat banyak orang yang mengirim sumbangan berupa tulisan-tulisan indah, pujian-pujian dan doa-doa yang ditulis dengan indahnya dan tentu saja Tan Siucai kebagian pekerjaan yang cukup banyak. Banyak orang yang memesan tulisan kepadanya untuk dijadikan sumbangan. Inilah kesempatan yang amat baik bagi Tan Siucai untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia menuliskan untuk seorang yang buta huruf, tulisan indah berupa doa restu untuk sepasang mempelai seperti ini.
"SELAMAT KEPADA SEPASANG MEMPELAI SEMOGA HIDUP PENUH BAHAGIA DAN DAMAI SEMOGA TIDAK RUSAK RUMAH TANGGA MEREKA OLEH MADAT SEPERTI SIAUW YANG SENGSARA!"
Tentu saja hati hartawan Ciu terkejut bukan main ketika dia membaca sajak itu dan cepatcepat dia menyuruh orang-orangnya menyingkirkan sajak itu agar tidak terbaca oleh para tamu. Dia mengutus orang-orangnya untuk mendatangi pemberi sumbangan dan tahulah dia bahwa pemberi sumbangan itu tidak dapat membaca dan bahwa sajak itu dipesan dari Tan Siucai. Jadi Tan Siucailah orangnya yang bertanggung jawab.
"Sasterawan jembel mau mampus!" Ciu Wan-gwe mengepal tinju dengan marah, akan tetapi karena dia sedang mempunyai kerja, tidak baik untuk melampiaskan kemarahannya di hari baik itu.
Apa lagi dia sedang sibuk menghadapi perayaan yang dihadiri oleh banyak orang besar, para pejabat dan para pedagang hartawan itu. Baru tiga hari kemudian setelah pesta pernikahan puterinya selesai, dia segera utsan orang memanggil Tan Siucai. Pada hari itu, masih ada tamu di dalam rumahnya, di antaranya adalah seorang komandan militer dari Kanton yang bernama Ma Cek Lung, seorang komandan pasukan kenamaan kota Kanton. Ma Cek Lung ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan tubuh yang kokoh kuat, wajah yang keras dan kejam menyeramkan. Ciu Wan-gwe sedang menjamu komandan Ma ini ketika pelayan melaporkan bahwa Tan Siucai yang dipanggil sudah datang.
"Suruh dia menunggu di luar sampai kami selesai Makan!" kata Ciu Wan-gwe dengan sikap congkak dan pelayannya dengan senang hati melaksanakan perintah itu dengan sikap yang lebih congkak lagi. Biasanya memang demikian. Untuk menyampaikan kekejaman atau kesombongan, bawahannya lebih hebat dari pada atasannya, makin ke bawah semakin menciut. Hukuman yang datang dari atas, makin ke bawah semakin berat dan menjadi bahan pemerasan atau perbuatan-perbuatan yang lebih kejam, sebaliknya sumbangan yang datang dari atas, makin ke bawah semakin berkurang sampai hampir habis. Pahit dan aneh tetapi nyata. Sambil bertolak pinggang, pelayan itu menghadapi Tan Siucai.
"Kamu diperintahkan untuk menunggu di sini dan tidak boleh pergi ke manapun sebelum majikan kami keluar menerimamu!" Lalu sambil mengangkat hidung pelayan itu pergi meninggalkan tamu itu di halaman depan! Tan Siucai tersenyum pahit. Dia tidak merasa heran. Sudah banyak ia melihat kenyataan seperti itu. Dia adalah seorang tamu yang diundang, akan tetapi diperlakukan seperti seorang pengemis saja.
Karena dalam undangan itu si pesuruh menyatakan bahwa Ciu Wan-gwe hendak memesan tulisan dan dia diharuskan membawa perabot menulis, maka kini dia menurunkan kotak berisi kertas dan alat-alat tulis, lalu duduklah dia di atas peti itu di halaman gedung sambil menyeka keringat dengan ujung lengan bajunya yang lebar, baju potongan khas sasterawan. Dia sudah siap menghadapi segala hal. Ketika menerima panggilan Ciu Wan-gwe, dia dapat menduga bahwa kemungkinan besar panggilan ini ada hubungannya dengan tulisan yang dia lakukan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya itu. Karena menduga hal yang buruk, maka ketika puteranya, Ci Kong, mau ikut, dia melarangnya. Dia tidak ingin puteranya hadir menyaksikan kalau sampai terjadi keributan. Setelah selesai makan, Ciu Lok Tai bersama tamunya keluar dan duduk di ruangan depan.
Seorang pengawal diutus untuk memanggil masuk Tan Siucai yang masih menanti di halaman. Sasterawan itupun memasuki ruangan dengan sikap tenang, membawa petinya dan dengan sikap sopan dia memberi hormat kepada dua orang yang duduk menanti kedatangannya itu. Diam-diam dia memperhatikan kedua orang itu dengan sudut matanya. Ciu Wan-gwe yang bernama Ciu Lok Tai adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tidak besar, akan tetapi gemuk sehingga muka dan lehernya kelihatan seperti membengkak. Matanya lebar dan hartawan yang terkenal mata keranjang itu adalah seorang pesolek. Kumisnya yang kecil dipelihara rapi, mukanya putih bersih, tentu dicukur setiap hari dan bahkan ada bekas-bekas bedak, seperti muka seorang thai-kam (pembesar kebiri) saja.
Dia mengenakan topi batok hitam dan kuncirnya kecil bergantungan di belakang kepala. Bajunya dari kain sutera yang mahal dan dia duduk dengan punggung yang agak membungkuk, mulutnya tersenyum mengejek dan matanya yang lebar itu memandang kepada Tan Siucai penuh selidik. Orang ke dua yang bertubuh tinggi besar tidak dikenalnya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang perwira, kentara dari bajunya dan juga dari sikapnya walaupun pakaiannyatidak seragam penuh. Dan memang orang itu adalah Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di Kanton yang galak. Melihat sikap komandan ini saja sudah mendatangkan rasa tidak suka dan juga khawatir di dalam hati Tan Siucai. Akan tetapi dengan sikap ramah buatan, Ciu Wan-gwe menegur ramah,
"Ah, kiranya Tan Siucai yang datang? Ma-Ciangkun, inilah Tan Siucai, sasterawan dan pembuat tulisan dan sajak paling pandai di Tung-kang, bahkan mungkin di seluruh Kanton." Dengan sikap acuh dan memandang rendah, kemudian menggumam,
"Benarkah? Hemm, hal itu masih perlu dibuktikan dulu." Tan Siucai menjura.
"Ciu Wan-gwe terlampau memuji!" katanya merendah.
"Ah, siapa yang tidak tahu akan keahlianmu, Tan Siucai? Di dalam ruangan perpustakaanku terdapat banyak hasil karyamu." Pujian-pujian ini semakin tidak mengenakkan, hati sasterawan itu. Pujian dari mulut seorang seperti Ciu Wan-gwe ini amat berbahaya, dan diapun dapat merasakan adanya sikap lain yang bertentangan dengan manisnya kata-kata ejekan itu. Maka diapun cepat bertanya,
"Ciu Wan-gwe memanggil saya, tidak tahu ada keperluan apakah?"
"Engkau adalah ahli menulis, apa lagi keperluannya kalau tidak ingin agar engkau membuatkan tulisan indah untukku? Dan aku ingin melihat sendiri cara engkau membuat tulisan
indah."
"Suruh dia membuatkan sajak yang baik, ingin aku melihatnya!" Tiba-tiba komandan gendut itu berkata.
"Bgus sekali! Nah, engkau sudah mendengar sendiri, Tan Siucai. Ma-Ciangkun minta agar engkau suka membuatkan sajak yang baik." Legalah hati Tan Siucai. Agaknya dia terlalu banyak prasangka dan hartawan ini bersama tamunya memang suka akan seni tulis dan sajak. Dia menurunkan petinya dan mempersiapkan alat-alat tulisnya. Seperti biasa, dia lebih suka menulis mempergunakan alatnya sendiri. Dia memasang bangku yang hanya merupakan papan di atas tiga kaki, dan dia sendiri duduk bersila di atas lantai. Dia mengeluarkan sehelai kertas kuning dan setelah menggosok tinta bak dan mengoles-oleskan pena bulu, dia mengangkat muka memandang kepada komandan gendut itu.
"Tidak tahu sajak yang bersifat bagaimana. Yang Ciangkun inginkan?"
"Sajak yang gagah, yang pantas bagi seorang perwira seperti aku tentunya!" kata komandan gendut itu sambil membusungkan dadanya, akan tetapi akibatnya hanya perutnya yang amat besar itu yang semakin maju.
"Baiklah, Ciangkun." Sasterawan itu lalu memejamkan kedua matanya sambil duduk bersila, kulit di antara alisnya berkerut dan dia mulai mengerahkan kemampuannya mengkhayal. Dan diapun melihat kesempatan yang amat baik untuk meneriakkan jerit hatinya, bukan hanya karena kematian sahabatnya, akan tetapi juga karena melihat kenyataan bagaimana hebat madat telah mencengkeram bangsanya.
Sekarang terbukalah jalan baginya untuk menuliskan jerit hatinya, juga untuk menyampaikan bahaya itu kepada pemerintah melalui seorang perwira tinggi! Dalam keadaan seperti itu, tidak pernah Tan Siucai teringat akan diri sendiri, tidak lagi dapat melihat adanya bahaya-bahaya dari hasil tulisannya. Mulailah dia menulis. Tan Siucai memang seorang ahli. Setelah dia membuka mata, jari-jari tangan kanannya seperti kemasukan aliran tenaga luar biasa, menjadi peka sekali dan kini jari-jari tangannya itu mulai mengoles-oleskan pena bulu dengan gerakan yang halus dan manis sekali di atas tinta bak dan setelah mengukur jarak di atas kertasnya, diapun mulai membuat coret-coretan yang mengandung penuh gaya dan keindahan.
Iblis hitam berasap menyerbu Negara
membasmi semangat gagah para pendekar
melumpuhkan kebijaksanaan para pembesar
membekukan kelembutan para dermawan.
Madat! racun yang membinasakan bangsa
sampai tinggal tulang belulang belaka!
Pendekar menjadi lemah
pembesar menjadi korup
dermawan menjadi kejam
sasterawan menjadi tumpul!
Hanya si kaya semakin kaya
madat sumber keuntungan mereka
basmi madat! basmi racun dunia!!
Setelah selesai menulis dengan gerakan cepat dan indah, Tan Siucai merasa seolah-olah dadanya lapang dan lega dan dengan wajah berseri-seri dia menyerahkan tulisan itu kepada Ma-Ciangkun sambil berkata,
"Ciangkun, tulisan ini walaupun buruk akan tetapi menyuarakan hati nurani rakyat kecil. Harap Ciangkun sudi menerimanya." Perwira gendut itu menerima tulisan di atas kertas itu dan dengan lagak seorang pandai dia membaca dengan suara lantang. Perwira itu membaca tampa reaksi apa-apa karena dia menganggap bunyi sajak itu memang cukup bersemangat dan gagah. Akan tetapi begitu Ciu Wan-gwe mendengarnya, wajahnya berobah merah dan lebih lagi ketika tiga baris terakhir terbaca, dia bangkit berdiri.
"Kurang ajar!" bentaknya marah.
"Sasterawan jembel busuk, engkau berani menghinaku?" Dengan marah Ciu Wan-gwe lalu menyambar sebuah kemocing (sapu bulu ayam) yang bergagang rotan, lalu dia menyerang sasterawan itu kalang kabut, memukuli kepala sasterawan itu kalang kabut, memukuli kepala sasterawan itu dengan gagang kemocing. Sudah biasa hartawan ini menghajar pelayan-pelayannya yang tidak menyenangkan hatinya dengan gagang kemocing. Tan Siucai berusaha melindungi kepalanya dengan kedua lengan sehingga lengannya babak belur kena hantaman rotan.
"Ciu Wan-gwe, saya tidak menghina seseorang."
"Jelas sudah isi tulisanmu! Engkau tahu bahwa aku adalah saudagar yang antara lain berdagang madat, akan tetapi engkau berani mengutuk madat dan menyindir aku. Ma-Ciangkun, bukankah tulisannya itu menghina sekali?" Baru Ma-Ciangkun kini sadar bahwa sahabatnya itu tersinggung.
"Huh, sajak busuk dan menghina!" Diapun berkata dan merobek kertas itu.
"Maaf, saya maksudkan pedagang madat pada umumnya, bukan pribadi dan saya hanya menggambarkan kenyataan..."
"Setan! Keparat sombong, engkau patut dihajar!" Kembali Ciu Wan-gwe menghujankan pukulan-pukulan rotan sehingga Tan Siucai terhuyung ke belakang dan bangku alat tulisnya berantakan.
"Dukk...!" Sebuah tendangan membuat sasterawan itu roboh ketika kaki kiri yang besar dari Ma-Ciangkun menyambar.
"Apakah engkau menghendaki aku menginjak mampus cacing ini? tanya Ma-Ciangkun kepada Ciu Wan-gwe dan kaki kirinya sudah menginjak punggung Tan Siucai yang roboh menelungkup di atas lantai.
"Jahanam kau , Tan Siucai. Berani engkau menulis kata-kata menghina melalui sumbangan seorang tamuku dan kini engkau malah terang-terangan menghinaku? Jangan bunuh dulu, Ma-Ciangkun, aku ingin menghajarnya sampai puas dan tidak baik membunuhnya di rumahku." Ma-Ciangkun melepaskan injakannya dan kembali Ciu Wan-gwe menghujankan hantaman rotan itu di atas tubuh belakang Tan Siucai yang mengeluh lirih. Biarpun tubuhnya terasa nyeri semua, namun sasterawan yang berjiwa gagah ini menahan diri agar tidak minta-minta ampun atau menjerit-jerit. Tiba-tiba terdengar teriakan,
"Ayaaaah...!" dan seorang anak laki-laki lari menerobos masuk dari luar halaman. Dia adalah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun, berpakaian sederhana dan bermata lebar.
"Ci Kong... pergilah... jangan ke sini...!" Tan Siucai mengeluh dengan penuh kegelisahan melihat puteranya yang datang itu. Akan tetapi Ci Kong, anak itu, cepat lari naik ke ruangan depan dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Ma-Ciangkun dan Ciu Wan-gwe.
"Harap tai-jin sudi mengampuni Ayahku...!" Dengan lagak congkak, Ma-Ciangkun kembali mengangkat kaki kiri menginjak punggung Tan Siucai, dan tangan kanannyayang besar itu menempel di kepala anak yang berlutut di depannya.
"Bocah setan, berani kau mencampuri? Sekali cengkeram, kepalamu akan dapat kuhancurkan!" Akan tetapi, Ci Kong yang amat mengkhawirkan keselamatan Ayahnya, agaknya tidak perduli akan keselamatan dirinya sendiri dan tidak menjadi takut oleh ancaman itu. Dia tetap berlutut dan merangkap kedua tangan yang diangkat tinggi-tinggi, dengan air mata berlinang dia berkata memohon,
"Harap ampuni Ayahku dan tai-jin boleh saja membunuhku. Akan tetapi harap lepaskan Ayahku...!"
"Setan cilik! Ayahmu ini kurang ajar, sudah menghinaku, dia pantas dihukum, bahkan patut dibunuh!" bentak Ciu Wan-gwe marah, menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Tan Siucai dan mengamankan gagang kemocing di tangan kanan.
"Ampun, tai-jin. Untuk kesalahan Ayah, biarlah aku yang menebus dosanya. Hukumlah aku, akan tetapi bebaskan Ayah..." Ci Kong meratap. Bukan main terharu rasa hati Tan Siucai.
"Anakku... aahhhh, engkau... jangan begitu... kau pergilah..."
"Pergilah, anak setan!" Ma-cingkun mendorongkan tangannya dan tubuh anak itu terpelanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, babak belur. Akan tetapi Ci Kong bangkit dan berlutut lagi.
"Ampunkan Ayahku, ampun..." ratapnya. Anak ini memiliki keberanian luar biasa seperti Ayahnya. Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi dia takut kehilangan Ayahnya. Pada saat itu, terdengar seruan nyaring,
"Ayah...!" dan muncullah seorang anak perempuan dari dalam gedung Ciu Wan-gwe. Anak itu berusia sekitar enam tahun, berwajah manis sekali dengan sepasang mata yang tajam da lebar. Pakaiannya indah dari sutera halus, rambutnya dikuncir dua yang bergantungan di kanan kiri. Anak itu berhenti berlari ketika melihat Tan Siucai masih rebah babak belur dan berlumuran darah. Ci Kong yang berlutut dan meratap mintakan ampun bagi Ayahnya. Setelah tertegun sejenak, anak perempuan itu lalu lari menghampiri Ciu Wan-gwe dan memegang tangan orang tua itu.
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa Ayah marah-marah dan siapa mereka ini? Apa yang telah mereka lakukan maka Ayah agaknya menghajar mereka?" Sungguh mengherankan sekali, Ciu Wan-gwe yang sedang marah-marah dan jengkel itu, begitu melihat anak perempuan ini, segera terjadi perobahan pada wajahnya. Kemarahannya seperti hilang dan dia memandang kepada anak perempuan itu dengan sinar mata penuh sayang, dan dibuangnya kemocing itu dan dirangkulnya pundak anaknya.
"Siapa yang tidak jengkel, anakku. Sasterawan jembel ini berani menghinaku dengan tulisannya."
"Tulisan apakah, Ayah? Boleh aku melihatnya?" Ciu Wan-gwe amat sayang kepada puteri bungsunya ini. Ciu Kui Eng, demikian nama anak itu, memang amat cerdas dan menyenangkan hati, selain jelita dan manis, juga biarpun disayang tidak menjadi manja. Yang mengagumkan hati Ayahnya adalah karena anak ini selalu bersikap berani dan tegas, bahkan bijaksana sekali.
"Dia mengejekku dan bersikap memberontak. Itu tulisannya." Ciu Wan-gwe menunjuk ke arah kertas yang sudah terobek menjadi dua potong. Kui Eng mengambil kertas itu dan dengan alis berkerut dibacanya sajak itu. Biarpun baru berusia enam tahun, anak ini memang cerdik dan sudah dapat menghafal banyak sekali kata-kata tulisan sehingga sajak itu tidak terlalu sukar baginya untuk dapat dibacanya dengan mengerti. Sehabis membaca sajak itu, ia lalu menghampiri Tan Siucai yang sudah bangkit duduk diatas lantai karena agaknya kemunculan anak perempuan itu membuat Ma-Ciangkun juga menyingkirkan injakan kakinya.
"Orang tua, tulisanmu bagus sekali, juga sajakmu bagus dan menggambarkan kenyataan. Akan tetapi engkau lancang sekali berani menulis sajak seperti ini di depan Ayah, padahal engkau tahu bahwa Ayah adalah seorang pedagang madat. Nah, pergilah! Dan dia itu siapa?" Ia menuding ke arah Ci Kong yang masih berlutut. Tan Siucai memandang anak perempuan itu dengan heran dan kagum, sungguh anak ini memiliki sikap yang penuh wibawa dan dari gerak gerik dan ucapannya, mudah diketahui bahwa ia seorang anak yang cerdik sekali.
"Dia adalah Ci Kong, anakku..." jawabnya lirih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali dada kanannya yang tadi terkena tendangan kaki Ma Cek Lung.
"Aku benci melihat anak laki-laki merengek dan meratap minta ampun!" Tiba-tiba Kui Eng berkata sambil memandang kepada Ci Kong. Ci Kong menoleh dan mereka saling pandang. Ci Kong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api.
"Aku mintakan ampun untuk Ayah, bukan untuk diriku sendiri!" katanya, seketus suara Ciu Kui Eng. Sejenak mereka saling panadang dan Kui Eng lalu membalikkan tubuh, menghampiri Ayahnya.
"Ayah, biarkan mereka pergi." Ciu Wan-gwe mengangguk dan berkata kepada Tan Siucai,
"Sasterawan jembel, bersyukurlah atas kemurahan hati anakku dan pergilah!" Ma Cek Lung menggerakkan kakinya dan kembali kakinya menendang rusuk Kakek itu. Terdengar suara "bukk!" dan tubuh sasterawan itu terlempar, terbanting dan dari mulutnya keluar darah. Tendangan itu saja sedikitnya meretakkan dua tiga batang tulang rusuknya.
"Engkau telah nenimbulkan kekacauan dan engkau kuanggap pemberontak. kau harus pergi meninggalkan dusun ini, atau kau akan kutangkap dan kumasukkan penjara!" kata Ma Cek Lung.
Ci Kong membantu Ayahnya bangkit berdiri, mengumpulkan alat-alat tulis dan sambil memapah Ayahnya, anak itu lalu mengajak cepat-cepat pergi meninggalkan halaman gedung keluarga Ciu. Setelah tiba di rumahnya, Tan Siucai jatuh sakit. Tabib yang memeriksanya mengatakan bahwa ada empat tulang rusuknya yang patah dan retak-retak dan selain itu Tan Siucai juga menderita luka dalam yang cukup parah dan yang mengharuskannya tinggal di atas pembaringan selama sedikitnya satu bulan! Tan Siucai teringat akan ancaman" Ma-Ciangkun. Dia harus pergi dari Tung-kang. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin dia dapat pergi? Berjalan kaki jauh. Tidak mungkin, menyewa kereta lebih tidak mungkin lagi karena dia tidak punya uang. Dipanggilnya putranya pada keesokan harinya setelah semalam suntuk dia tidak tidur dan mempertimbangkan masak-masak apa yang harus dilakukan.
"Ci Kong, dengarkan baik-baik dan engkau harus mentaati semua permintaanku. Kemaskan semua pakaianmu, jadikan satu buntalan dan hari ini juga engkau harus pergi ke barat, ke kota Nan-ning..."
"Nan-ning? Di mana itu, Ayah? Aku belum pernah mengetahuinya..."
"Dengar baik-baik. Kota Nan-ning terletak di sebelah barat, di seberang sungai Si-kiang. Engkau harus menyeberang sungai itu dan menuju ke barat. Dengan bertanya-tanya, tentu engkau akan bisa menemukan kota Nan-ning..."
"Tapi kenapa aku harus pergi ke sana sendiri saja, Ayah? Engkau sakit, aku harus merawatmu. Kalau Ayah takut akan ancaman perwira itu, mari aku antar Ayah pergi meninggalkan dusun ini."
"Tidak, anakku, dan jangan membantah. Semua sudah kupikirkan baik-baik. kau pergilah ke Nan-ning dan di sana engkau carilah rumah seorang saudara angkatku. Ayahmu ini hidup sebatangkara, hanya dengan engkau seorang, akan tetapi ada seorang saudara angkatku yang bernama Sie Kian. Dia membuka toko obat di kota Nan-ning dan kau carilah dia, serahkan surat ini kepadanya. Dia yang akan mengatur semuanya, menolong kita pergi dari sini kalau perlu dan... Dan dialah satu-satunya orang yang dapat kau harapkan bantuannya kalau aku... tidak dapat menolongmu seperti keadaanku sekarang. Nah, cepat kau berkemas , Ci Kong."
Ci kong tidak banyak membantah lagi. Dia tahu bahwa keputusan yang diambil Ayahnya itu tentulah yang terbaik untuk mereka. Dan dia dapat menduga bahwa keadaan memang gawat dan tentu Ayahnya sudah memperhitungkan segalanya, maka diapun tidak ragu-ragu lagi walaupun ada juga rasa bingung dalam hatinya menghadapi perjalanan jauh ke tempat yang selamanya belum pernah diketahuinya itu. Tidak banyak bekal yang dapat diberikan oleh Tan Siucai kepada puteranya, akan tetapi yang dia serahkan kepada Ci Kong adalah seluruh uang yang dimilikinya. Setelah siap, Ci Kong berlutut di dekat dipan Ayahnya dan sasterawan itu menahan keluarnya air matanya. Tidak, dia tidak boleh memperlihatkan kelemahan di depan puteranya yang menghadapi perjalanan sukar dan jauh. Dia mengulur tangan menyentuh kepala Ci Kong, dibelainya rambut di kepala itu.
"Anakku yang baik, aku menyesal sekali tidak mampu memberi kehidupan yang lebih baik untukmu, bahkan kini terpaksa engkau akan mengalami kesengsaraan dengan melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Akan tetapi aku yakin bahwa engkau anakku yang baik, pandai membawa diri dan berani menghadapi segala macam kesukaran. Pergilah, anakku, dan carilah Sie Kian sampai dapat. Dialah satu-satunya orang yang boleh kau harapkan, boleh kita harapkan dan jangan sampai hilang di jalan suratku untuknya itu."
"Baiklah, Ayah, akan kulaksanakan semua perintah Ayah. Harap Ayah pandai-pandai menjaga diri dan jangan lupa minum obat yang telah diberi oleh sinshe kemarin." Anak itu merasa bersedih dan terharu sekali harus meninggalkan Ayahnya dalam keadaan sakit seperti itu, namun dia mengeraskan hatinya dan menahan diri agar tidak menangis. Baru setelah dia meninggalkan rumah, sambil berjalan Ci Kong menangis, mengusapi air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu betapa pada saat itu, setelah dia pergi, Ayahnya juga mengusapi air mata dengan ujung lengan bajunya.
Tentu saja hati orang tua ini merasa hancur membayangkan betapa terpaksa anaknya yang masih begitu kecil harus melakukan perjalanan sukar seorang diri, bahkan mungkin anaknya mulai sekarang akan hidup sebatang kara di dunia yang kejamini. Dia sudah mengambil keputusan. Sakitnya takkan sembuh, ini dia dapat merasakan benar. Biarpun tabib itu hendak menyembunyikan kenyataan, dia sendiridapat merasakan. Apa lagi dia tidak mempunyai cukup uang untuk biaya pengobatan dirinya sampai sembuh, kalau hal itu mungkin. Dan diapun teringat akan ancaman Ma-Ciangkun yang dia tahu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Sekali waktu ancaman perwira gendut itu tentu akan dilaksanakan dan dia tidak ingin puteranya ikut tertangkap nanti.
Ci Kong harus bebas dan satu-satunya jalan hanyalah lebih dulu pergi secara diam-diam dari Tung-kang. Syukur kalau puteranya dapat bertemu dengan Sie Kian, saudara angkatnya di Nan-ning. Andaikata tidak dapat jumpa, setidaknya Ci Kong sudah pergi jauh dari Tung-kang dan aman dari ancaman malapetaka yang datang dari Ciu Wan-gwe dan Ma-Ciangkun. Kini keputusannya telah tetap. Dia tidak boleh mati konyol begitu saja. Sehari itu, juga pada malam harinya, Tan Siucai tiada hentinya menulis, dengan huruf besar-besar di atas kertas bertumpuk-tumpuk sampai habis kertas-kertasnya baru dia berhenti. Kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membawa kertas-kertas itu, berjalan terhuyung-huyung, menuju ke pasar yang berada di tengah-tengah dusun.
Kemudian, di tempat yang belum begitu ramai karena masih amat pagi itu, Tan Siucai menempel-nempelkan semua kertas yang sudah ditulisinya itu di atas papan-papan, pada dinding-dinding toko, pada batang-batang pohon. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang dan sebentar saja tempat-tempat itu penuh dengan kerumunan orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya semua orang ketika membaca tulisan-tulisan Tan Siucai. Mereka saling pandang dan saling bertanya-tanya apakah sasterawan yang mereka hormati dan kagumi tulisannya itu kini sudah menjadi gila! Tulisan-tulisan itu adalah protes-protes terhadap para pejabat, dan protes akan adanya madat yang meracuni bangsanya. Di antaranya terdapat kalimat keras,
"Para pendekar, di mana kegagahan kalian? Apakah kalian membiarkan saja bangsa kita menjadi pemadat-pemadat lemah yang mudah dihina orang?" dan ada lagi kecaman-kecaman keras terhadap para pejabat,
"Apakah para pembesar mengorbankan rakyat hanya untuk memenuhi kantong hasil perdagangan candu?" dan banyak macam lagi kata-kata yang mengejutkan semua orang karena kata-kata itu jelas merupakan protes keras dan dapat dianggap sebagai mengandung hasutan-hasutan pemberontakan! Banyak orang yang sudah mengenal Tan Siucai memberi nasihat agar sasterawan itu menyingkirkan semua tulisan itu. Akan tetapi hal ini membuat Tan Siucai marah dan dia berkata lantang,
"Kalau bangsa kita sudah begini pengecut, apa yang dapat diharapkan? Anak cucu kita akan menjadi hamba-hamba madat yang hina!" Makin siang, makin banyak orang berkerumun dan tak lama kemudian, tentu saja pembesar setempat mendengarnya dan Tan Siucai ditangkap!
Ketika Ciu Wan-gwe mendengar akan hal ini, cepat dia menghubungi Ma Cek Lung yang segera mengirim pasukan untuk mengambil alih tawanan dari dusun Tung-kang itu. Sebagai seorang tawanan berat, seorang yang dicap sebagai pemberontak, Tan Siucai lalu dibawa ke Kanton sebagai seorang tawanan yang diborgol kaki tangannya, diperlakukan kasar dan dijaga ketat seolah-olah dia seorang yang amat berbahaya! Padahal, napas sasterawan itu sudah empas empis dan sukar sekali dia menggerakkan tubuhnya karena tarikan-tarikan dan pukulan-pukulan, serta perlakuan kasar yang didapatnya dari para perajurit ketika dia diseret, membuat luka-luka di tubuhnya semakin parah. Dan apa yang diduga oleh kebanyakan orangpun terjadilah. Tan Siucai meninggal dunia di dalam tahanan tanpa memperoleh kesempatan membela diri di depan pengadilan!
Banyak orang tahu bahwa di balik kematian Tan Siucai ini tentu tersembunyi rahasia. Siapapun maklum akan kelihaian sasterawanitu dalam kesusasteraan dan andaikata sasterawan itu dihadapkan di pengadilan, tentu akan banyak yang dibicarakan, banyak yang akan dibongkarnya mengenai kebejatan-kebejatanyang terjadi. Dan hal itu amatlah berbahaya bagi para pejabat setempat. Lebih aman dan mudah kalau sasterawan yang memang sudah menderita luka dalam yang parah itu mati saja sebagai seorang tahanan. Pada waktu itu, yang menjadi Kaisar dari kerajaan Ceng-tiauw atau kerajaan Mancu adalah Kaisar Tao Kuang, seorang Kaisar yang tidak berhasil mempertahankan kejayaan Kerajaan Mancu yang selama puluhan tahun dibina oleh mendiang Kaisar Kian Liong sehingga menjadi besar dan kuat.
Semenjak Kaisar Kian Liong meninggal dan singgasana diserahkan kepada Kaisar Cia Cing (1796-1820) sampai kini diduduki Kaisar Tao Kuang, putera Kaisar Cia Cing, Kerajaan Ceng-tiauw terus merosot. Pemberontakan terjadi di mana-mana para pembesar mabok kekayaan dan kedudukan, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pembesar, dan penindasan kau m pembesar terhadap rakyat jelata untuk menambah isi gudang kekayaan mereka. Korupsi terjadi di mana-mana. Di bawah pemerintahan Kaisar Cia Cing setelah Kaisar Kian Liong meninggal, rakyat mulai mengenal madat. Mula-mula madat itu didatangkan oleh para pedagang dari India, karena memang dari sanalah datangnya madat itu. Setelah banyak orang mencobanya dan mulai ketagihan, perdagangan madat ini menjadi semakin subur.
Kebutuhan akan madat makin hebat, orang-orang yang ketagihan semakin banyak dan mulailah benda yang amat berbahaya itu mengalir dalam jumlah besar ke Cina. Pada permulaan abad ke sembilan belas itulah, Persatuan Dagang India Timur (East India Company) milik orang-orang Inggeris, melihat kesempatan untuk mengeduk keuntungan yang amat besar. Mereka lalu bersekutu dengan para pejabat pemerintah Ceng dan sebentar saja, dengan jalan penyuapan dan penyogokan, kau m pedagang Inggeris itu berhasil menguasai seluruh pejabat pemerintah di Kanton,dari gubernurnya sampai kepada perajurit-perajurit petugas keamanan. Pemerintah Kaisar Tao Kuang sama sekali tidak mengijinkan peredaran madat itu dan mereka sudah tahu akan bahayanya.
Akan tetapi, di Kanton terjadi penyelundupan-penyelundupan atau penyuapan-penyuapan dan dengan cara bagaimanapun juga, orang-orang berkulit putih itu berhasil memasukkan madat dalam jumlah yang luar biasa besarnya ke daratan Cina. Melalui madat, kau m kulit putih itu menghisap seluruh kekayaan Cina. Dan melihat sukses yang diperoleh orang-orang Inggeris, maka bangsa kulit putih lainnya seperti Amerika, Portugis dan Belanda, juga tidak mau tinggal diam dan merekapun mengharakan bagian sehingga perdagangan madat menjadi semakin ramai. Orang-orang kulit putih itu mengusap-usap perut gendut dan kantong padat, meninggalkan rakyat Cina menjadi kurus kering karena kehabisan kekayaan dan juga karena keracunan madat. Cerita ini terjadi pada jaman itu, selagi madat merajalela di Cina, dan pusatnya berada di Kanton di mana terdapat banyak kantor-kantor perdagangan orang kulit putih.
Tidaklah mengherankan kalau Ciu Lok Tai menjadi kaya raya karena dia merupakan seorang di antara para pedagang madat yang menerima madat dari orang-orang kulit putih. Dan tentu saja dia mempunyai hubungan erat dengan para pejabat, termasuk Ma Cek Lung yang menjadi komandan pasukan keamanan di Kanton. Dan tidak mengherankan pula kalau Tan Siucai mati di dalam kamar tahanan karena dia berani menyinggung masalah yang amat peka itu, soal peredaran madat yang tentu saja dianggap membahayakan kedudukan para pembesar yang menjadi makmur karena perdagangan madat. Pada waktu itu, orang-orang kulit putih tidak memperoleh kebebasan gerak di daratan Cina. Mereka hanya boleh datang di dua tempat saja.
Yaitu pertama di Makao yang menjadi pusat orang-orang portugis berpangkal, sedangkan kota ke dua adalah Kanton. Agaknya, setelah ribuan tahun lamanya mempunyai pemerintahan feudal dan keluarga Kaisar selalu menganggap derajatnya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari derajat manusia biasa, bahkan Kaisar menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, maka setelah bangsa kulit putih mulai mengadakan hubungan dengan Cina, Kaisarpun memandang mereka itu atau bangsa-bangsa asing pada umumnya sebagai bangsa biadab. Hal ini mungkin tadinya timbul karena di luar Cina banyak tinggal suku-suku bangsa yang liar dan yang selalu membikin kekacauan, menyerbu ke pedalaman sehingga timbul pandangan bahwa bangsa yang berada di luar Cina adalah bangsa liar atau bangsa biadab.
Pandangan yang besar sekali kemungkinan timbul karena kecongkakan pemerintahannya sebagai akibad sistim perbedaan kelas yang menyolok dari keluarga Kaisar ini kemudian menjalar ke seluruh rakyat sehingga timbul semacam penyakit dalam batin masyarakat Cina untuk menganggap bangsa apapun di luar Cina adalah bangsa biadab. Kecongkakan dan pemujaan diri sendiri yang berlebihan ini menghancurkan Cina sendiri. Karena congkak, mereka tidak mau tahu bahwa bangsa-bangsa biadab yang mereka pandang rendah itu telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan sama sekali tidak dapat dinamakan bangsa yang lebih bodoh, lebih sederhana, atau lebih rendah dari pada mereka.
Bahkan untuk mengurus bangsa asingpun oleh pemerintah dinamakan Kantor Urusan Bangsa-bangsa biadab! Kaisar keturunan Bangsa Mancu, yang sebelum menguasai Cina juga dianggap bangsa biadab oleh pribumi daratan Cina sendiri, agaknya sengaja mengangkat bangsanya agar terlupa bahwa mereka adalah suku bangsa di luar tapal batas Cina dan hendak melebur diri sendiri dengan pribumi. Pemerintah mengadakan peraturan yang amat menghina bangsa asing. Bangsa asing dari manapun juga yang hendak menghadap Kaisar harus tunggu berbulan lamanya dan diperlakukan sebagai utusan negara yang hendak menyataklan tunduk dan setia kepada Kaisar. Mereka diharuskan menjura dengan hormat kepada Kaisar. Kalau tidak mau melakukan penghormatan ini, mereka tidak akan diterima dan akibatnya mereka tidak boleh berdagang, apa lagi tinggal di Cina.
Pemerintah juga melarang orang-orang asing melakukan perdagangan langsung ke pasar-pasar, melainkan harus berhubungan dengan badan yang ditunjuk pemerintah khusus melayani mereka, dan badan atau orang ini disebut Co-hong. Akibatnya tentu saja ada persekutuan antara orang-orang asing dengan Cohong-cohong ini, yang meluas menjadi kerja sama dengan para pejabat yang menerima suapan. Pemberontakan yang merajalela di seluruh Tiongkok membuat pemerintah Kaisar Tao kuang menjadi semakin lemah. Sementara itu, orang-orang Eropa yang datang ke daratan Cina bukan lagi perantau-perantau seperti abad-abad yang lalu, melainkan orang-orang yang mewakili negara-negara yang mulai berkembang menjadi negara yang kuat.
Mereka tidak mau direndahkan dan menganggap diri mereka lebih tinggi. Merekalah yang menganggap Bangsa Cina masih terbelakang dan kuno, dan melihat negara dan bangsa itu merupakan makanan empuk dan merupakan pasar yang amat besar untuk menjual barang-barang dagangan mereka. Akan tetapi, pada permulaan abad ke sembilanbelas itu, Cina tidak membutuhkan barang-barang dari Eropa. Kemudian, setelah orang-orang kulit putih melihat kelemahan rakyat Cina yang mulai ketagihan candu, mereka melihat kesempatan baik sekali untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dan mulailah mereka memasukkan madat secara besar-besaran, madat yang mereka datangkan dari India. Dan madat ini, seperti yang digambarkan oleh Tan Siucai, memang benar-benar merupakan malapetaka bagi rakyat Cina.
Dalam waktu beberapa tahun saja, racun itu bukan saja terdapat dalam rumah-rumah madat umum di mana para pecandu boleh membeli dan menghisap madat, akan tetapi juga sudah menyusup ke rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, bahkan banyak sekali pendekar-pendekar gagah perkasa tunduk dan lumpuh oleh pengaruh madat, para pejabat juga menjadi hambanya. Demikianlah gambaran sekilas tentang keadaan di jaman itu dan mari kita ikuti perjalanan Tan Ci Kong, putera tunggal Tan Siucai yang bernasib malang itu. Pesan Ayahnya masih terngiang di telinganya ketika akhirnya dia tiba di tepi sungai Si-kiang, menyusuri tepi sungai sebelah utara menuju ke barat untuk mencari tempat penyeberangan. Air sungai itu penuh dan arusnya deras sekali dan tidak nampak ada perahu disitu.
Di antara pesan Ayahnya yang paling membingungkan adalah ""Jangan sekali-kali engkau kembali ke Tung-kang sebelum ada berita dariku. Kelak aku akan menyusulmu ke Nan-ning." Jadi aku tidak akan melihat dusun tempat kelahiranku lagi, pikir Ci Kong ketika dia berjalan dengan menyusuri sungai. Melakukan perjalanan di waktu itu tak dapat dibilang aman. Penduduk tidak boleh membawa senjata dan tampa senjata di tangan, tentu saja orang mudah menjadi korban keganasan perampok-perampok yang bersenjata. Akan tetapi, siapakah mau menganggu seorang anak laki-laki kecil, apa lagi kalau dia tidak memakai pakaian bagus dan tidak membekal uang? Setelah menemukan perahu yang suka membawanya ke seberang dan melanjutkan perjalanannya yang amat melelahkan, berulah seminggu kemudian Ci Kong tiba di kota Nan-ning.
Kota ini tidak begitu besar dan tidak sukar bagi Ci Kong untuk menemukan toko obat milik orang yang bernama Sie Kian. Dia tiba di toko itu setelah hari mulai gelap dan toko itu sudah tutup, hanya daun pintunya saja yang masih terbuka. Sebuah toko sederhana saja, tidak terlalu besar. Ketika Ci Kong mengetuk daun pintu perlahan, muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya seperti seorang pelajar dengan lengan baju yang lebar sekali. Biarpun usianya baru lima puluh tahun lebih, akan tetapi kepala orang itu sudah putih, semua rambutnya sudah menjadi uban. Wajahnya juga membayangkan bahwa hidupnya lebih banyak menderita dari pada bersuka ria. Pandang matanya sayu dan gerak geriknya halus.
"Anak baik, apakah engkau hendak membeli obat? Ataukah ada yang sakit?" Tanya Kakek itu denga sikap ramah. Ci Kong menggeleng kepala.
"Tidak, paman, saya mencari seorang paman yang bernama Sie Kian dan kata orang tinggal di toko obat ini." Ci Kong memandang penuh selidik karena dia sudah menduga bahwa agaknya orang inilah sahabat Ayahnya itu.
"Sie Kian? Ah, aku sendirilah orangnya. Engkau anak kecil ada urusan apakah mencari aku? Dan darimana engkau datang? Nampaknya kau lelah sekali." Bukan main girangnya hati Ci Kong ketika orang itu mengaku bernama Sie Kian, orang yang dicarinya. Segera dia menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan.
"Paman Sie Kian, saya datang diutus oleh Ayah saya yang bernama Tan Seng..." katanya dengan suara serak karena hatinya merasa terharu sekali. Orang itu terbelalak.
"Apa? kau maksudkan Tan Siucai... yang tinggal di Tungkang?"
"Benar, paman, dan ada surat dari Ayah untuk paman." Ci Kong menurunkan buntalan pakaiannya dan hendak membukanya. Akan tetapi Sie Kian menangkap lengannya.
"Mari masuk, nak. Kita bicara di dalam saja." Ci Kong menurut dan merekapun memasuki rumah itu. Sie Kian menutup daun pintunya dan setelah mereka memasuki rumah itu, baru Ci Kong tahu bahwa laki-laki itu tinggal seorang diri saja dalam rumah ini, bahkan pelayanpun tidak punya. Sie Kian mengajak anak itu duduk menghadapi sebuah meja dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu yang cukup besar.
"Duduklah. Taruh buntalanmu di atas meja dan keluarkan surat itu. Ingin sekali aku tahu apa isi surat Ayahmu," kata Sie Kian, masih terheran-heran melihat anak sekecil ini datang sendirian saja dari tempat yang begitu jauhnya. Hatinya merasa tidak enak. Apakah gerangan yang terjadi dengan diri kakak angkatnya itu? Sudah hampir se puluh tahun mereka tidak saling mengadakan hubungan dan dia tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan sasterawan itu. Setelah dia membaca surat Tan Siucai yang diterimanya dari Ci Kong, wajah orang she Sie itu berobah agak pucat.
"Ah... ahhh...!" berkali-kali dia mengeluh, kemudian dia menyimpan surat itu di saku jubahnya.
"Anak baik, namamu Tan Ci Kong?"
"Benar paman."
"Engkau tinggallah disini bersamaku, engkau bisa membantuku. Besok aku akan menyuruh seorang teman untuk pergi ke dusunmu dan menyelidiki tentang keadaan Ayahmu. Kalau mungkin, aku akan membawa Ayahmu itu ke sini agar dapat kurawat dia sampai sembuh." Tentu saja hati anak kecil itu menjadi girang sekali dan diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Kian.
"Terima kasih, paman, aku Tan Ci Kong selama hidup tidak akan lupa kepada budi paman ini." Sie Kian merangkul anak itu dengan hati terharu dan diam-diam dia merasa kagum. Anak kecil ini bukan hanya tabah dan pemberani sekali, tahan menderita dan dapat melakukan perjalanan demikian jauhnya sendirian saja, akan tetapi juga baik budi dan berkelakuan sopan. Mulai hari itu, Ci Kong membantu paman angkatnya yang tidak mempunyai pelayan.
Dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencari air, masak nasi dan air, juga belajar membuat masakan dari pamannya. Sementara itu Sie Kiam mengutus seorang teman untuk melakukan penyelidikan ke Tung-kang. Seminggu kemudian, teman itu datang kembali dan menyampaikan kabar yang amat mengejutkan hati Sie Kian, bahwa Tan Siucai telah tewas di dalam tahanan setelah ditangkap karena menempelkan tulisan-tulisan yang dianggap memberontak! Sie Kian segera menutup tokonya dan membawa Ci Kong ke dalam kamarnya. Di situ dia merangkul anak itu, tak mampu mengeluarkan kata-kata dan orang yang bertubuh agak gemuk pendek dan biasanya amat peramah dan halus budi ini menangis! Ci Kong adalah seorang anak yang amat cerdik. Melihat sikap pamannya, hatinya terasa perih seperti tertusuk.
"Paman Sie Kian, apakah yang telah terjadi dengan Ayahku?" Mendengar pertanyaan ini Sie Kian makin mengguguk tangisnya dan dia mendekap kepala anak itu di dadanya. Selama ini dia hidup menyepi seorang diri, tanpa sanak tanpa teman, dan segera tiba-tiba dia dipertemukan dengan anak kakak angkatnya ini, akan tetapi ternyata nasib anak ini demikian buruknya.
"Paman. Apakah Ayah... Ayah meninggal dunia?" Sie Kian terkejut dan memegang kedua pundak kecil itu, melalui air matanya dia memandang wajah itu dengan heran. Ci Kong tidak menangis, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata.
"Paman, ketika aku disuruh pergi oleh Ayah, dia terluka parah dan hatiku sudah tidak enak. Sikap Ayah seolah-olah kami tidak akan saling bertemu kembali. Benarkah Ayah meninggal dunia...?" Sie Kian menelan ludahnya dan mengangguk. Ci Kong menjatuhkan dirinya berlutut, tidak menangis hanya menundukkan mukanya dan hanya beberapa butir air mata yang menuruni kedua pipinya. Anak itu mengepalkedua tangannya yang kecil. Hening sejenak, yang terdengar hanya tarikan napas panjang berkali-kali dari Sie Kian. Kemudian terdengar suara Ci Kong, lirih dan agak gemetar.
"Paman Sie Kian, bagaimanakah meninggalnya Ayahku? Dan siapakah yang mengurus penguburannya?" Dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sie Kian lalu menceritakan apa yang telah didengarnya dari teman yang disuruhnya melakukan penyelidikan ke Tung-kang itu, betapa Ayah anak itu dalam keadaan sakit menempelkan tulisan-tulisan yang menentang madat dan mengutuk para pembesar dan pedagang madat, sehingga dia dianggap pemberontak, ditangkap dan karena keadaannya memang payah, dia meninggal dalam tahanan.
"Ayahmu sungguh keras hati dan nekat," Sie Kian berkata, "Dalam keadaan masih sakit berat, dia bahkan berani bertindak demikian jauh sehingga menimbulkan keributan. Mungkin ketika ditangkap, dia berada dalam keadaan yang sudah menghebat sakitnya akibat luka-lukanya dan dia meninggal di dalam kamar tahanan."
"Ayah hebat!" Tiba-tiba Ci Kong berkata sambil mengepal tinju.
"Biarpun lemah dan sakit, Ayah berani menentang apa yang dianggapnya tidak benar, kalau sudah besar, akupun ingin seperti Ayah!" Sie Kian memandang kagum dan tiba-tiba ada sebuah pikiran menyelinap di benaknya.
"Ci Kong, dengar baik-baik. Peristiwa kematian Ayahmu ini mendorongku untuk segera membawamu pergi ke suatu tempat. Engkau tidak bisa tinggal terus disini...!" Ci Kong mengerutkan alisnya, menatap wajah Sie Kian dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Apakah paman takut terlibat dan menerima akibat buruk dari urusan keluarga Ayah? Kalau begitu, biarlah aku pergi dari sini agar paman tidak sampai tersangkut." Sie Kian merangkul pundak anak itu.
"Jangan salah sangka, anak baik. Dengarlah. Ayahmu dimusuhi oleh pemerintah, dan dicap pemberontak. Hal ini amat berbahaya bagimu. Kalau mereka tahu bahwa Ayahmu mempunyai seorang putera, tentu mereka akan mencarimu dan kalau sampai ketahuan engkau disini, bagaimana aku akan dapat melindungimu? Karena itu, engkau harus disingkirkan dan diselamatkan, disembunyikan dari mereka. Dan ke dua, engkau tadi mengatakan bahwa engkau ingin segagah Ayahmu, bukan? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berhasil melakukan kegagahan kalau tubuhmu lemah seperti Ayahmu? Engkau harus menjadi seorang yang berbeda dengan Ayahmu yang hanya pandai menulis itu. Engkau harus menjadi seorang ahli silat yang pandai dan kuat." Ci Kong yang masih kecil itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan pamannya dan dia mengangguk-angguk.
"Lalu apa yang akan paman lakukan?"
"Aku akan mengantarmu ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang Hwesio tua yang berilmu tinggi. Aku mengenalnya dengan baik karena diantara kami terdapat kecocokan, yaitu kami sama-sama penentang pemerintah penjajah Mancu. Di sana engkau akan lebih terlindung, juga tersembunyi. Engkau dapat belajar ilmu dari Hwesio itu dan membantu pekerjaan di kuil. Setujukah engkau, Ci Kong?" Anak itu mengangguk. Dan pada hari itu juga Ci Kong dibawa oleh Sie Kian pergi ke sebuah kuil tua yang besar. Kuil itu berada di lereng dekat puncak sebuah bukit, di sebelah utara kota Nan-ning, dua hari perjalanan dari kota itu.
Dari bukit inilah mengalirnya sungai Si-kang ke timur. Ketua kuil itu bernama Nam San Losu, seorang penganut agama Budha yang taat, berusia enam puluh tahun lebih namun tubuhnya tinggi besar masih nampak kokoh kuat dan dengan wajahnya yang hitam dan kasar dia kelihatan seperti seorang yang berhati keras. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian karena Nam San Losu memiliki watak yang lembut, halus tutur sapanya dan halus gerak geriknya walaupun dalam setiap gerakannya itu tenaga yang amat kuat. Dengan sabar Nam San Losu mendengarkan penuturan Sie Kian yang sudah lama menjadi sahabatnya karena keduannya suka bertukar pikiran tentang ilmu pengobatan, dan setelah Sie Kian selesai bercerita, Kakek kepala gundul itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
"Omitohud...! Pinceng sendiri prihatin melihat betapa makin banyak rakyat yang menjadi korban madat. Kalau saja semua orang yang pandai memiliki kebijaksanaan seperti Tan Siucai, tentu pengaruh madat itu akan dapat ditentang dan ditolak." Kemudian dia bertanya kepada Ci Kong,
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Namaku Tan Ci Kong, losuhu."
"Engkau tidak lagi mempunyai sanak keluarga di dunia ini?"
"Tidak, kecuali paman Sie Kian seorang."
"Pamanmu hendak menitipkan engkau disini, apakah engkau suka?" Ci Kong mengangguk tampa menjawab, akan tetapi sinar matanya yang tajam berseri itu menunjukkan bahwa dia menyukai tempat sunyi yang berhawa sejuk itu.
🖐
"Ci Kong, tempat ini adalah sebuah kuil dan hanya orang-orang yang telah bersumpah mengabdikan dirinya kepada agama saja dan menjadi Hwesio yang tinggal disini. Pinceng tinggal disini bersama lima orang Hwesio yang menjadi murid pinceng. Akan tetapi kulihat engkau tidak mempunyai bakat untuk menjadi pendeta. Satu-satunya jalan agar engkau dapat tinggal disini untuk sementara waktu hanyalah menjadi muridku, bukan murid agama melainkan murid ilmu silat. Bagaimana?" Ci Kong memang cerdik. Sebelumnya dia sudah mendengar penuturan Sie Kian tentang Hwesio tua ini, maka mendengar ucapan itu diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hwesio itu.
"Teecu suka sekali menjadi murid Suhu dan akan mentaati segala petunjuk dan perintah suhu." Hwesio itu tersenyum dan saling bertukar pandang dengan Sie Kian yang menganggukangguk girang dan kagum.
"Selain mempelajari ilmu silat, karena kau putera seorang siucai, engkaupun harus mempelajari ilmu sastera dan pinceng akan memimpinmu sedapat mungkin. Akan tetapi, di waktu tidak belajar engkau harus bekerja keras membantu para suhengmu di kuil ini."
"Teecu akan mentaatinya!" Demikianlah, mulai hari itu, Sie Kian meninggalkan Ci Kong di kuil tua dan anak itu menjadi murid Nam San Losu, Hwesio tua yang hidup seperti pertapa di dekat puncak bukit sunyi itu.
Dia belajar ilmu silat dan sastera kepada Hwesio itu, dan bergaul dengan akrabnya dengan para suhengnya yang menjadi Hwesio -Hwesio berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Anak ini rajin sekali, tidak pernah bermalas-malasan sehingga bukan saja Nam San Losu suka kepadanya, juga lima orang Hwesio lainnya menjadi sayang kepadanya. Untunglah bagi Ci Kong karena Nam San Losu adalah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai dan betapapun beratnya gemblengan yang dilakukan Nam San Losu terhadap dirinya, dia terima dengan segala keikhlasan hati dan dia belajar tanpa mengenal lelah. Malam yang gelap di kota Kanton. Kota ini menjadi sebuah kota yang ramai dan mewah setelah kota itu ditentukan untuk menjadi kota perdagangan dengan orang-orang berkulit putih.
Kota inilah, disamping kota Makao, yang menampung penyelundupan candu dan di kedua kota ini rakyat dapat melihat orang-orang berkulit putih yang kalau masuk ke pedalaman, tentu akan menimbulkan perasaan heran bukan main karena kulit mereka yang putih, rambut dan bola mata mereka yang berwarna. Malam itu gelap, kecuali rumah-rumah besar para pedagang kaya yang sekelilingnya digantungi lampu-lampu minyak yang besar dan yang sinarnya mendatangkan penerangan sekedarnya di jalan-jalan depan rumah-rumah gedung itu. Rumah berpintu merah itu amat dikenal oleh mereka yang suka melacur dan mereka yang suka menghisap madat. Di dalam rumah itu laki-laki iseng dapat menghamburkan uangnya untuk pelacur ataupun untuk menghisap madat. Memang dua kebiasaan ini berdekatan selalu. Kalau malam tiba, terdengar suara cekikikan ketawa wanita menyelinap keluar melalui jendela kamar-kamar itu bersama keluarnya asap tipis berbau madat yang memuakkan bagi mereka yang tidak biasa,
Akan tetapi merupakan asap ajaib yang dapat mendatangkan kenikmatan tanpa batas bagi mereka yang telah mencandu. Orang-orang yang tidak punya uang jangan harap dapat memasuki rumah berpintu merah ini, karena selain madat mahal harganya, juga para pelacur yang berkumpul disitu, yang jumlahnya belasan orang, terdiri dari pelacur-pelacur kelas mahal. Seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat kehijauan keluar dari dalam kamar yang bau pengap oleh asap madat dan dengan langkah terhuyung akan tetapi kedua kakinya bergerak ringan dia berjalan ke ruangan depan. Sebuah buntalan kuning digendongnya di belakang punggung dan wajah si muka kehijauan ini nampak senyum penuh kepuasan seperti biasa senyum laki-laki yang meninggalkan kamar madat itu.
"Hai, A-Ceng! kau hendak kemana? Malam belum larut dan kau sudah mau pergi?" Tegur seorang laki-laki gendut yang sedang memangku seorang pelacur dan bergurau dengan teman-temannya yang masing-masing dikawani seorang pelacur pula. Mereka, empat orang itu, duduk menghadapi arak mengelilingi sebuah meja bundar dan agaknya mereka ini lebih suka minum-minum di situ ditemani pelacur dari pada menghisap madat atau melacur di dalam kamar.
Atau mungkin juga mereka tadi sudah puas menghisap madat. Laki-laki kurus bermuka hijau itu menoleh dan tersenyum ketika melihat mereka berempat. Hanya si gendut itu saja yang dikenalnya, yang lainnya tidak. Kenalpun hanya selewat dengan si gendut karena si gendut itu adalah seorang tukang pukul yang melindungi tempat pelacuran dan pemadatan itu. Secara sambil lalu dia berkenalan dengan si gendut, bahkan secara sembarangan dia memperkenalkan diri dengan nama palsu A Ceng, dan si gendut itu memperkenalkan namanya pula yang tidak diingatnya lagi, akan tetapi dia teringat akan julukan yang diperkenalkan dengan bangga oleh si gendut, yaitu "Si Kaki Besi." Orang bermuka kehijauan yang mengaku bernama A Ceng itu melambaikan tangan sebagai balasan salam.
"Aku sudah puas menghisap, dan ada keperluan penting. Besok aku dating lagi!" A Ceng melanjutkan langkahnya keluar dari rumah berpintu merah itu. Si Kaki Besi memberi syarat kepada tiga orang kawannya. Merekapun segera meninggalkan pelacur-pelacur itu dan dengan berindap-indap mereka berempat keluar pula dari tempat itu melalui pintu samping, dengan sikap yang amat mencurigakan. Empat orang wanita pelacur itu saling pandang dengan heran akan tetapi seperti biasa, mereka tidak perduli dan segera memperbaiki muka dan rambut mereka dengan bedak, pemerah bibir dan sisir untuk menanti datangnya lain tamu iseng.
Malam masih terlalu panjang bagi mereka ini. A Ceng berjalan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan tiba-tiba dia berhenti di dekat tempat terbuka yang sunyi, memandang ke kanan kiri dan belakang karena dia seperti mendengar suara yang mencurigakan. Dari sikapnya yang penuh curiga dan waspada, dapat diduga bahwa dia tidak sedang berjalan-jalan biasa melainkan ada suatu urusan penting yang sedang dikerjakannya. Tiba-tiba nampak empat bayangan orang berloncatan dan si gendut yang berjuluk Si Kaki Besi, tukang pukul rumah pelacuran dan pemadatan Pintu Merah telah berada di depan A Ceng, bersama tiga orang kawannya yang tadi minum-minum dengannya. Melihat si gendut, wajah A Ceng yang tadinya terkejut nampak lega.
"Ah, kiranya engkau, Toako! Ada apakah menyusulku? Aku tidak meninggalkan hutang di rumah Pintu Merah." Si gendut menyeringai.
"Hemm, engkau membawa bungkusan dari rumah itu. Aku harus memeriksanya dulu, sobat, apa isi bungkusan itu." Wajah yang kehijauan itu berobah pucat dan matanya terbelalak.
"Aku tidak mengambil apa-apa, tidak mencuri apa-apa. Ini adalah barang ku sendiri!"
"Heh, mana aku tahu kalau belum kulihat isi buntalan itu?" hardik si gendut dan dengan sikap mengancam dia mendekati A Ceng, diikuti tiga orang temannya yang jelas memperlihatkan sikap mengurung dan mengancam.
"Toako, sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak mencuri apa-apa dan ketika memasuki rumah Pintu Merah aku sudah membawa barangku ini." Bantah pula orang yang mengaku bernama A Ceng.
"Ha-ha! kau kira kami orang-orang bodoh atau buta? Engkau bukan bernama A Ceng, melainkan she Phek, seorang buaya darat dari sebelah utara Kanton. Engkau mengaku bernama A Ceng dan engkau membawa barang yang selalu kau rahasiakan. Hayo buka dan perlihatkan kepada
kami!"
"Baiklah..., baiklah...!" kata A Ceng dan diapun menurunkan buntalannya dari gendongan dan meletakkannya di atas tanah. Ketika dia membuka buntalan itu perlahan Pedang lahan, empat orang itu membungkuk di sekelilingnya karena mereka ingin melihat lebih jelas apa isi bungkusan itu dan tempat itu hanya mendapat penerangan sedikit saja dari lampu yang tergantung di rumah agak jauh dari tempat itu.
Dengan perlahan-lahan dan sikap tenang sekali A Ceng membuka buntalan kain kuning itu dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya bergerak ke atas. Sinar-sinar hitam menyambar ke empat penjuru dan Si Kaki Besi bersama tiga orang kawannya berteriak kesakitan sambil menutupi kedua mata dengan tangan, menggosok-gosoknya karena mata mereka disambar pasir yang dilemparkan dengan tiba-tiba oleh A Ceng tadi. A Ceng tidak membuang waktu lagi. Melihat betapa empat orang itu kebingungan menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, diapun cepat meloncat berdiri dan membagi-bagi pukulan dan tendangan yang dilakukan penuh pengarahan tenaga sinkangnya.
JILID 03
"Bukk...! Dess...! Kekkk...!" Tiga orang teman Si Kaki Besi terjungkal ketika dua pukulan mengenai lambung dan sebuah tendangan mengenai selakangan. Mereka roboh dan munta darah, lalu pingsan. A Ceng mendesak terus, kini menyerang Si Kaki Besi dengan pukulan maut kea rah leher. Akan tetapi Si Kaki Besi agaknya lebih pandai dari pada kawan-kawannya. Dia dapat mendengar angin tendangan itu dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia mendengar gerakan A Ceng menyerbu ke depan, cepat dia menggerakkan kedua kakinya bergantian dan memang Si Kaki Besi ini tidak sia-sia saja mempunyai julukan itu. Kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang amat cepat dan amat kuat sehingga biarpun A Ceng yang menjadi kaget cepat mengelak ke samping, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya dan diapun roboh terguling.
Akan tetapi tendangan itu tidak tepat sekali dan A Ceng bergulingan menjauh sehingga tendangan-tendangan berikutnya yang dilakukan ngawur itu tidak mengenai sasaran. Sayang bagi Si Kaki Besi bahwa dia belum dapat membuka kedua matanya yang masih terasa pedas dan perih terkena pasir yang tadi disambitkan A Ceng. Maka kini dia hanya menyerang dengan ngawur, mengandalkan pendengarannya saja. Sementara itu A Ceng atau yang lebih tepat sebenarnya bernama Phek Kiat itu, sudah meloncat lagi dan menjadi marah sekali. Lawannya yang sudah tak mampu membuka mata itu masih dapat menendangnya sehingga hampir saja dia celaka. Dengan cepat dan kuat dia lalu menyerang dari samping. Si Kaki Besi mendengar angin serangan ini dan berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya luput dan sebuah pukulan yang keras mengenai lambungnya.
"Bukk...!" Tubuh yang gendut itu terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya dan kembali dia terjengkang. Phek Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepadanya dan menghujankan pukulan dan tendangan. Sebuah tendangan yang tepat mengenai tengkuk membuat Si Kaki Besi itu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi.
Melihat empat orang lawannya sudah menggeletak tak berkutik lagi, si muka hijau itu menyeringai puas dan kini nampaklah bentuk mukanya yang kejam, sinar matanya yang licik dan senyumnya yang menyeramkan. Diperbaiki lagi buntalannya dan diapun cepat meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu terjadi amat cepatnya, di tempat sunyi dan gelap sehingga terjadi tanpa diketahui orang lain. Akan tetapi agaknya tidak demikian. Ketika A Ceng atau Phek Kiat meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat dan ringan, sesosok bayangan berkelebat dan terus membayangi orang bermuka kehijauan itu. Bayangan ini memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan sehingga langkah kakinya ketika berlari tidak menimbulkan suara apapun. Namun, Phek Kiat agaknya merasa sesuatu yang tidak enak maka beberapa kali dia menoleh dengan tiba-tiba.
Hebat sekali gerakan bayangan itu. Begitu Phek Kiat menoleh, dia sudah menyelinap dengan kecepatan seperti terbang dan setiap kali Phek Kiat menengok, dia tidak melihat apa-apa karena bayangan itu telah bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah. Phek Kiat melanjutkan larinya menuju ke pinggir kota yang sepi dan di bagian ini tidak ada rumahnya karena daerahnya terdapat banyak rawa dan sawah. Phek Kiat tiba di atas sebuah jembatan yang tua. Sunyi dan gelap di tempat ini, hanya diterangi bintang-bintang yang memenuhi langit. Dan begitu tiba di tempat itu, Phek Kiat bersuit perlahan. Tak lama kemudian suitan itu dibalas orang dan muncullah seorang laki-laki dari bawah jembatan. Agaknya sejak tadi dia sudah menanti di situ dan seperti juga Phek Kiat, orang itu juga membawa sebuah buntalan hitam.
"Sin-touw (Maling Sakti), engkau sudah di sini pula? Bagus!" kata Phek Kiat dengan hati lega dan girang, apa lagi melihat betapa orang berpakaian hitam-hitam itu memondong sebuah buntalan hitam yang bentuknya persegi panjang.
"Phek Kiat, aku belum pernah melanggar janji. Engkau... sudah membawa... itu"?" tanya si baju hitam yang disebut Maling Sakti itu dengan suara agak gugup, lalu menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa takut kalau-kalau pembicaraan mereka dilihat atau didengar orang lain. Akan tetapi tempat itu sunyi, tidak nampak sesuatu selain berkelap-kelipnya bintang-bintang di langit dan tidak terdengar sesuatu kecuali kerik jengkerik di sawah-sawah kering.
"Ha, jangan khawatir, sobat. Akupun bukan orang yang suka melanggar janji. Nih, sudah kubawa, lengkap seperti yang kau minta. Tiga puluh kati, sedikitpun tidak kurang, barang murni tidak campuran pula." Phek Kiat menunjuk bungkusannya.
"Sobat Phek, tolong, beri aku sedikit dulu, sudah tiga hari aku tidak mengisap, badanku sakit semua rasanya, tolonglah... kau tentu membawa yang sudah dicampur tembakau, bukan?" Si baju hitam itu mengeluarkan sebuah pipa cangklong kecil dari balik bajunya, pipa yang biasanya dia pakai untuk menghisap madat. Kedua tangannya gemetar ketika dia mengeluarkan pipa itu. Melihat ini, Phek Kiat tersenyum dan matanya bersinar aneh.
"Tentu saja, Sin-touw. Akan tetapi sejak tadi sudah ingin sekali melihat benda itu. Berilah aku lihat sebentar saja, dan aku akan memberi madat sampai engkau dapat menghisap sepuasmu. Coba buka dan perlihatkan padaku benda itu," kata Phek Kiat sambil memandang ke arah buntalan kain hitam yang persegi panjang itu.
Maling Sakti itu agaknya sudah percaya benar kepada Phek Kiat, atau memang dia sudah amat ketagihan candu, maka diapun segera membuka buntalan kain hitam dan nampaklah sebuah peti hitam pula. Dibukanya tutup peti itu dengan sebuah kunci dan begitu tutup peti itu terbuka, nampaklah sebuah benda berkilauan, benda yang berwarna hijau kemerahan, berbentuk sebatang pedang kecil berukir tubuh naga dan benda itu terbuat dari batu giok yang luar biasa indahnya! Sepasang mata Phek Kiat terbelalak penuh kagum. Sungguh selama ini tidak pernah dia dapat membayangkan akan dapat melihat benda pusaka ini, bukan hanya melihatnya, bahkan sebentar lagi benda itu akan menjadi miliknya!
"Giok-liong-kiam...!" bisiknya.
"Ya, Giok-liong-kiam...!" kata pula Sin-touw dengan suara penuh kebanggaan. Siapa yang takkan merasa bangga telah berhasil mencuri sebuah benda keramat, pusaka yang dikagumi dan diinginkan oleh seluruh tokoh besar dunia persilatan? Hanya dialah yang mampu dan julukannya Sin-touw kiranya pantas diabadikan karena dia telah berhasil memiliki benda pusaka ini. Akan tetapi semenjak dia berhasil mencuri benda pusaka ini kurang lebih setengah tahun yang lalu, hidupnya menjadi sengsara! Dia harus melarikan diri terus dan selalu bersembunyi, tidak pernah berani muncul di siang hari.
Keselamatannya terancam karena banyak sekali orang pandai mencarinya, begitu terdengar berita di dunia kang-ouw bahwa pusaka Giok-liong-kiam lenyap dari ketua perkumpulan Thian-te-pai (Perkumpulan Langit Bumi)! Bukan hanya jagoan-jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu. Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala.
Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu. Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tiga puluh kati madat murni. Tiga puluh kati! Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tiga puluh kati itu sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu. Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu di mana adanya pusaka itu.
Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat? Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok liong-kiam tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri. Sin-touw menutupkan kembali peti hitam itu dan lenyaplah sinar berkilauan hijau tadi. Dan kembali dia menyodorkan pipa cangklong tembakau kepada Phek Kiat.
"Nah, sekarang isilah cangklong agar aku dapat menghisapnya dulu barang beberapa kali sedotan."
"Baiklah, sobat, baiklah," kata Phek Kiat yang segera mengeluarkan sebuah kantong dari saku bajunya. Kantong itu dibuka dan dia mengambil atau menjumput tembakau madat dengan tiga buah jari tangannya, lalu mengisi mulut pipa cangklong itu dengan tembakau sampai penuh padat. Akan tetapi, tiba-tiba sekali Sin-touw yang sejak tadi sudah menempelkan mulutnya pada ujung pipanya, mengerahkan tenaganya meniup.
"Srrrr...! " Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di bawah cangklong dan karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.
"Keparat...! kau ... kau ...!" Dia menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling. Phek Kiat bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras sehingga begitu tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan. Sin-touw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha..., baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!" Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti munculnya Phek Kiat di bawah jembatan.
Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat yang amat licin dan keji dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam. Bagaimana kalau kelak dia ditipunya? Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa kali lipat dari sekedar tiga puluh kati candu? Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah. Lebih baik mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan diapun mencari akal untuk membatalkan jual beli itu dengan membunuh Phek Kiat. Dan candu tiga puluh kati itu akan menjadi miliknya, dengan gratis karena pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
"Ha-ha-ha-ha!" Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia melihat candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang.
"Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap sepuasnya!" Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak bernyawa itu ke bawah jembatan.
Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu dan menggendongnya di punggung. Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat, dia lalu menyalakan tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia mengisap tembakau madat. Wajahnya berseri gembira dan matanya terpejam ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi paru-parunya. Terasa nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambung-menyambung. Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya dan diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling roboh dan muntah-muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya dan ditarik-tariknya bajunya sehingga robek-robek. Mukanya kini berobah kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
"Celaka...! Jahanam keparat...!" Dia memaki dan dengan marah dia menendang mayat Phek Kiat.
Akan tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan berkelojotan dan tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat. Kiranya tembakau madat yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah tembakau biasa, melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang jahat sekali. Baru menyedot satu kali saja sudah cukup untuk membunuh orang, apa lagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-kali sampai paru-parunya penuh! Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, mencullah sesosok bayangan hitam yang gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak berdiri memandang dua mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang.
"Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giol-liong-kiam?" Dia lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam persegi panjang itu sudah direngutnya dari punggung mayat Sin-touw. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka tutup peti, matanya bersinar-sinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu. Ditutupnya kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang khwatir. Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giok-liong-kiam?
Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan, baik dari golongan sesat maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari istana juga menginginkannya. Belum lagi diingat orang-orang dari Thian-te-pai yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan mereka. Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi lambang dari keunggulan seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya dan bahkan sebelum benda itu terjatuh ke tangan Thian-te-pay, pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi tanda kuasa seseorang Bu-Lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui oleh semua orang di dunia kang-ouw! Ada pula golongan sesat yang menginginkan benda itu bukan karena kekeramatannya, melainkan karena harganya.
Benda itu amat berharga karena selain batu kemala hijau kemerahan itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga ukir-ukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman ahala Tang, ahli ukir dari istana yang kenamaan, seribu tahun yang lalu. Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba membelinya dengan harga yang paling tinggi sekalipun! Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji semenjak orang tahu bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan yang ada kaitannya dengan Giok-liong-kiam. Mula-mula dengan matinya Si Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas tiga puluh kati madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang banyak itu.
Dan kini, si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan menggendong Giol-liong-kiam baik-baik dan merasa cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat karena madat sebanyak tiga puluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil menyeringai puas dan girang si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar dari bawah jembatan, setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan Sin- touw yang mengakibatkan keduanya tewas itu. Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia celingukan lagi dan makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling jembatan itu.
Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya. Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan Kanton. Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos dari kota dengan jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara. Tujuannya adalah ke kota Sau-koan di mana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai tolong agar membantunya menyembunyikan diri untuk sementara. Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang.
Kalau hanya menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apa lagi yang datang dari belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang kebetulan lewat saja. Karena itu, setelah mempererat gendongannya, dia melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya, muncullah seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya mendahului si baju hitam. Si gendut baju hitam ini melirik dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar pula. Seorang laki-laki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa. Akan tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang, Baju Kulit Harimau!
Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan) yang terkenal di Kanton, lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka adalah orang-orang kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan kepandaian silat mereka untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang-orang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas mereka adalah baju harimau mereka. Biar dalam musim panas sekalipun mereka tak pernah menanggalkan baju harimau mereka. Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju hitam. Dan kabarnya Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan mereka, dan andaikata benar orang ini seorang di antara Lima Harimau itu, takut apa? Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya. Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak mempunyai urusan apapun juga.
Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngo-houw mau mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa penunggang kuda itu membalap terus dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan dirinya. Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan dan pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan malam, diapun melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Saukoan tinggal belasan li saja lagi jauhnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dia mendengar suara auman harimau dari depan! Seekor harimau! Dia merasa heran sekali karena dia bukan seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu harimau. Akan tetapi auman itu jelas merupakan auman harimau.
Tiba-tiba dia terlonjak kaget ketika terdengar auman harimau lain lagi, kini datang dari arah belakangnya! Ketika terdengar lagi suara auman dari kanan kiri, keheranannya berobah menjadi kegelisahan dan mukanya berobah agak pucat. Tidak mungkin ada harimau demikian banyaknya tersesat di dalam hutan Ini! Harimau! Lima ekor banyaknya! Tiba-tiba wajah si gendut menjadi semakin pucat dan dia siap siaga menghadapi segala kemungkinan karena dia teringat akan penunggang kuda berjubah harimau semalam. Dan ketika tiba-tiba bermunculan lima orang berjubah harimau dari semua penjuru, si gendut jubah hitam itu tidak begitu kaget lagi karena memang dia sudah menduga bahwa tentu suara-suara harimau itu perbuatan Lam-hai Ngo-houw yang agaknya sengaja menghadangnya di tempat ini.
Tahulah dia sekarang bahwa penunggang kuda semalam itu hanya ingin memperoleh keyakinan bahwa dia memang memasuki hutan ini. Diam-diam dia merasa menyesal sekali atas kelengahannya sendiri. Kalau dia berhati-hati dan sudah menduga lebih dulu akan berurusan dengan Lam-hai Ngo-houw, tentu malam tadi diam-diam dia melarikan diri. Banyak terdapat kesempatan baginya untuk diam-diam merobah tujuan perjalanan semalam. Akan tetapi kini sudah terlanjur dan pula, andaikata dia merobah tujuan dan melarikan diri, siapa tahu lima orang jahanam ini sudah selalu mengintai dan membayanginya. Dia menabahkan hatinya dan berhenti melangkah, memandang kepada laki-laki tinggi besar berkumis tebal yang agaknya menjadi pemimpin dari lima orang berjubah harimau itu.
"Maafkan saya," katanya dengan sikap merendah.
"Saya adalah seorang perantau yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak pernah mengganggu orang. Ada keperluan apakah ngo-wi menghadang perjalanan saya?" Si kumis tebal menyeringai dan memandang tajam, bukan ke arah wajah si gendut, melainkan ke arah punggungnya. Hal ini saja membuat si gendut menjadi semakin gelisah dan dia sudah dapat menduga bahwa lima orang ini agaknya tahu akan isi kedua bungkusannya.
"Hemm, bukankah engkau yang berjuluk Tai-lek Hek-wan (Lutung Hitam Tenaga Besar) dari Nan-leng?" Si gendut yang dijuluki Lutung Hitam itu terkejut. Kiranya lima orang ini sudah mengenalnya! Maka diapun tidak mau berpura-pura lagi dan cepat menjura,
"Saya seorang perantau dari Nan-leng merasa gembira sekali dapat bertemu dengan Lam-hai Ngo-houw yang terkenal gagah perkasa!"
"Hemm, mengapa bergembira?" tanya si kumis tebal dengan suara bernada ejekan.
"Bertemu dengan orang-orang segolongan, berarti bertemu dengan saudara sendiri. Persatuan antara kita akan menciptakan kekuatan untuk menghadapi lawan kita bersama. Sebaliknya perpecahan di antara kita hanya akan mendatangkan kelemahan dan menguntungkan pihak lawan." Lima orang itu saling pandang.
"Siapakah lawan yang kau maksudkan, Hek-wan?" tanya si kumis tebal. Tai-lek Hek-wan menarik napas panjang.
"Bnyak sekali! Terutama sekali orang-orang yang berhati sombong selalu mengejarku dan kalau aku tidak bertemu dengan kalian berlima, tentu aku akan celaka. Aku minta bantuan kalian agar kita dapat bekerja sama, dan segala keuntungan yang kudapatkan, tidak akan kumakan sendiri. Buktinya, inilah kuberikan untuk kalian!" Dia lalu menurunkan buntalan madat dan melemparkannya kepada si kumis tebal. Orang tinggi besar ini menerima buntalan itu dan membukanya, diikuti oleh empat orang adiknya. Ketika mereka melihat isi buntalan yang ternyata adalah madat murni yang demikian banyaknya, mereka terbelalak.
"Madat...?" Si kumis tebal berseru.
"Dan ini masih murni...?" Si gendut tertawa, merasa menang dan berhasil mengambil hati mereka sebagai kawan. Untuk sementara ini dia harus mempergunakan akal menambah teman, bukan menambah musuh. Dia tidak takut menhadapi lima orang ini, akan tetapi selama Giok-liong-kiam belum dia simpan dan sembunyikan dengan baik, berbahayalah menentang mereka ini sambil membawa benda pusaka itu.
"Ha-ha, itu baru sebagian, Lam-hai Ngo-houw. Kalau kalian mau bersekutu dengan aku, masih banyak lagi kelak bagian kalian. Bagaimana? Ataukah kalian mau nekat menggangguku, belum tentu kalian menang dan kalian akan menghadapi semua pendekar yang melakukan pengejaran kepadaku?" Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang sudah biasa menerima pembayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan kekerasan. Kini ada orang yang memberi hadiah madat demikian banyaknya, tentu saja hati mereka senang sekali. Mereka bukan pemadatan, akan tetapi mereka yang menjadi penduduk Kanton tentu saja tahu betapa mahalnya benda itu.
"Dan... Giok-liong-kiam...?" Akhirnya si kumis tebal bertanya sambil memandang ke arah buntalan yang ke dua dan yang berada di punggung Tai-lek Hek-wan. Si Lutung Hitam ini tersenyum, namun hatinya mendongkol sekali. Kiranya lima orang kasar itu sudah tahu pula akan Giok-liong-kiam!
"Itulah yang menggelisahkan hatiku, kawan," katanya dengan sikap sebagai seorang atasan terhadap para pembantunya.
"Dengan kelihaianku, aku berhasil mendapatkannya. Akan tetapi betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkannya, dan bukan hanya orang-orang biasa. Karena itu, kita harus bersatu menghadapi mereka. Dan kelak, kalau aku berhasil menjualnya dengan harga tinggi, kita bagi bersama." Kembali lima orang itu saling pandang dan akhirnya si kumis tebal mengangguk-angguk.
"Baiklah, melihat pemberianmu ini kepada kami, kami menilai, bahwa engkau seorang kawan baik. Akan tetapi kelak jangan lupakan kami kalau benda itu sudah menjadi uang." Sebelum Hek-wan menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lirih namun jelas sekali seolah-olah suara itu berada di dekat telinga mereka berenam. Suara ketawa wanita yang tidak nampak orangnya, merdu dan juga halus menusuk anak telinga, seperti suara ketawa kuntilanak dalam dongeng. Tentu saja enam orang kasar itu, apa lagi setelah kini mereka bersatu, tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi menghadapi mahluk yang tidak nampak, hanya terdengar suara ketawanya saja yang demikian merdu, mereka terbelalak dan memandang ke kanan kiri tanpa hasil karena tidak nampak seorang wanita di sekeliling tempat itu.
"Hik-hik, tikus-tikus kecil mana ada harga untuk bicara tentang Giok-liong-kiam?" Tiba-tiba suara ketawa itu disusul kata-kata mengejek dan kini suara itu datangnya dari atas. Enam orang itu memandang ke atas dan tiba-tiba dari atas melayang turun bayangan merah yang menyambar ke arah Hek-wan. Tentu saja si Lutung Hitam terkejut sekali, maklum bahwa orang ini menyeranganya untuk merampas buntalan Giok-liong-kiam. Dia cepat mengelak dengan meloncat ke kiri sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah tubuh yang menyambar dari atas bagaikan seekor burung walet cepatnya itu.
"Plakkk...!" Kaki Hek-wan yang menendang bertemu dengan tangan yang dimiringkan dan akibatnya, tubuh Hek-wan terjengkang dan bergulingan.
Dia merasa ada angin menyambar ketika dia bergulingan dan cepat dia menggerakkan tangan untuk menangkis atau mencengkeram. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa buntalan di punggungnya terlepas dan ketika dia meloncat berdiri buntalan persegi panjang itu telah berada di tangan seorang wanita cantik berpakaian merah! Tentu saja si gendut ini menjadi terkejut dan marah sekali. Giok-liong-kiam telah dirampas orang sedemikian mudahnya. Dan kini wanita berpakaian serba merah itu, yang usianya sekitar tiga puluhan tahun, dengan amat tenang berdiri mengamat-amati peti hitam panjang lalu membuka tutupnya dan melihat isinya yang membuat matanya terbelalak lebar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum kagum dan wanita itu mengguman lirih,
"Giok-liong-kiam... Indah sekali..."
"Kembalikan barangku! " Hek-wan membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan cepatnya. Gerakan Tai-lek Hek-wan ini selain cepat juga amat kuat karena dia terkenal sekali memiliki tenaga yang besar. Dan kecepatan gerakannya inipun sesuai dengan julukannya Lutung Hitam, karena memang dia dapat bergerak cepat dan lincah seperti seekor monyet atau lutung.
"Wuuuttt!" Tubrukan Hek-wan untuk merampas pedang kemala dengan tangan kiri dan menyerang dengan tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala wanita itu hanya mengenai tempat kosong saja karena wanita itu tahu-tahu sudah menyingkir dengan gerak langkah kaki ringan dan aneh, tanpa menghentikan pekerjaannya mengagumi pedang itu! Kembali Hek-wan menubruk, akan tetapi sekali lagi serangannya dielakkan dengan amat mudahnya. Tahulah Tai-lek Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat pandai, maka untuk ketiga kalinya dia menyerang, sepenuhnya menyerang, bukan seperti tadi perhatiannya dipecah untuk merampas Giok-liong-kiam. Dan serangan seorang bertenaga besar seperti Tai-lek Hek-wan amatlah berbahaya dan agaknya hal inipun diketahui oleh wanita itu yang sudah mengalungkan bungkusan itu di lehernya. Wanita itu bukan hanya mengelak sekarang, melainkan menangkis dari samping.
"Heiiittt...!" Dan tangkisan tangan yang kecil lunak itu membuat Hek-wan terpelanting kehilangan keseimbangan badannya! Terkejutlah Hek-wan. Dia berhasil melompat bangun.
"Ngo-houw, bantulah!" teriaknya tanpa malu-malu lagi karena kini dia hampir yakin bahwa dia berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Lam-hai Ngo-houw yang dipimpin oleh si kumis tebal itupun cepat bergerak mengurung. Mereka melihat betapa Giok-liong-kiam sudah berpindah tangan, maka mereka harus turun tangan membantu Hek-wan untuk merampas benda berharga itu kembali dari tangan wanita berpakaian merah. Orang ke tiga dari Lam-hai Ngo-houw yang berusia tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-laki yang mata keranjang, Melihat kecantikan wanita berpakaian merah itu, sejak tadi dia sudah melongo penuh kagum. Kini, sambil mengepung bersama teman-temannya, diapun membujuk,
"Manis, mengapa seorang cantik seperti engkau membahayakan diri memperebutkan sebuah pedang kemala? Ikutlah aku, dan aku akan membelikan tusuk konde kemala dan barang-barang indah lain, juga engkau akan terlindung dan aman...!" Sungguh merupakan rayuan yang menggelikan karena pada saat itu, si wanita sedang dikepung dan diancam oleh enam orang laki-laki yang kuat-kuat. Wanita itu agaknya tidak marah mendengar rayuan itu. Melihat betapa lima orang Lam-hai Ngo-houw memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, sedangkan Tai-lek Hek-wan juga memasang kuda-kuda seperti ilmu Silat Monyet, iapun terkekeh dengan suara yang agak genit.
"Hi-hi-hik, seekor lutung dan lima ekor harimau! Tapi kalian bisa berbuat apa terhadap seekor burung bangau yang dapat terbang?" Tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat tinggi ke atas dan mulailah ia melancarkan serangan-serangan dari atas dengan kecepatan yang mengejutkan. Sebelum enam orang itu tahu apa yang terjadi, mereka melihat warna merah menyambar-nyambar dari atas dengan totokan-totokan jari tangan yang cepat sekali. Mereka berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi dua di antara Lam-hai Ngo-houw yang kurang cepat mengelak, terkena totokan pada ubun-ubun kepala mereka. Ubun-ubun kepala itu pecah berlubang dan merekapun roboh berkelojotan dan tewas seketika.! Tentu saja tiga orang Lam-hai Ngo-houw terkejut setengah mati melihat robohnya dua orang adik mereka dalam segebrakan saja itu.
Mereka berlima merupakan jagoan-jagoan di Kanton yang sudah terkenal dan ditakuti karena ilmu silat mereka yang tinggi. Tentu saja merekapun tahu bahwa banyak orang pandai di dunia ini dan mereka tidak berani mengaku yang paling pandai, akan tetapi dalam segebrakan saja harus kehilangan dua orang saudara yang roboh tewas, hal ini sungguh sukar untuk dapat mereka terima. Apa lagi kalau diingat bahwa mereka berlima, bahkan berenam dengan Tai-lek Hek-wan yang mereka tahu juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Biarpun mereka dapat menduga bahwa lawan yang satu ini memang lihai bukan main, namun kemarahan dan sakit hati membuat mereka kehilangan rasa gentar dan merekapun mengeluarkan suara gerengan-gerengan seperti harimau marah.
Gerakan mereka kini semakin ganas dan kedua tangan mereka membentuk cakar harimau dengan kuat sehingga tangan dan jari-jarinya itu seperti telah menjadi kaku dan keras. Si kumis tebal lebih hebat lagi. Ketika melihat Hek-wan menyerang ganas kepada wanita itu, dibantu oleh dua orang adiknya yang juga telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang, dia mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke atas dan menerkam punggung wanita itu, kedua tangannya yang membentuk cakar harimau itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Wanita itu terkejut bukan main. Ia sedang menghadapi terjangan Hek-wan dan dua orang Ngo-Houw yang lain, dan tiba-tiba ada angin keras sekali menyambar dari belakang atas!
"Heiiiittt!" Ia membentak dan mengelak, Tubrukan itu luput akan tetapi terdengar bunyi kain robek dan ternyata buntalan Giok-liong-kiam itu robek dan peti panjang itu terlepas dan jatuh dari pinggang si wanita. Dan sebelum wanita itu dapat mengambilnya kembali, tiga orang Ngo-houw sudah menerjangnya lagi dan melihat kesempatan ini, Hek-wan yang cerdik sudah bergulingan ke arah Giok-liong-kiam dan sudah berhasil menyambar peti itu! Cepat dia membungkusnya lagi dan menggantungkan di lehernya! Melihat ini, wanita baju merah itu tentu saja marah bukan main, akan tetapi dalam kemarahannya, ia malah tersenyum-senyum, agaknya sama sekali tidak khawatir akan kehilangan pusaka itu karena ia yakin akan mampu mengalahkan empat orang ini.
"Hemm, kalian masih belum mau menyerah?" bantak wanita baju merah itu sambil tersenyum mengejek, akan tetapi karena serangan tiga orang itu benar-benar amat berbahaya, wanita itupun kembali berloncatan ke atas dengan amat lincahnya. Melihat ini, diam-diam Tai-lek Hek-wan terkejut dan khawatir sekali. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan melihat tewasnya dua orang di antara Lam-hai Ngo-houw, diapun maklum bahwa wanita ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh dan amat berbahayalah kalau sampai dia melanjutkan perlawanan. Yang penting adalah menyelamatkan Giok-liong-kiam, pikirnya. Maka, begitu melihat tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah menyerang lagi dan sekali ini serangan mereka penuh dengan rasa dendam sehingga amat hebat, diapun mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri! Melihat ini, wanita itu berteriak,
"Eh, pengecut, hendak lari kemana engkau?" Tubuhnya bergerak hendak mengejar, akan tetapi karena tiga orang harimau itu menyerangnya dengan amat ganas, iapun tidak mudah melepaskan diri begitu saja.
"Tikus-tikus tolol, kau mau ditipu lutung itu yang melarikan pusaka sedangkan kalian dijadikan korban?" Wanita itu membentak. Bentakan ini agaknya menyadarkan tiga orang Lam-hai Ngo-houw itu.
Biarpun mereka mendendam kepada wanita ini untuk kematian dua orang saudara mereka, namun pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang berwatak jahat dan amat leba akan harta, maka merekapun seperti disadarkan akan kelicikan Tai-lek Hek-wan dan mereka mengendurkan kurungan mereka. Kesempatan ini dipergunakan oleh si wanita baju merah untuk meloncat, lolos dari kepungan dan mengejar Lutung Hitam. Tiga orang Lam-hai Ngo-houw itupun cepat melakukan pengejaran, mengejar Hek-wan akan tetapi juga mengejar wanita itu. Tai-lek Hek-wan sudah mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu ada bayangan merah berkelebat dan wanita itu sudah menghadang di depannya dengan senyum mengejek.
Marahlah Lutung Hitam ini, marah dan juga putus asa, maka dengan nekat diapun menubruk ke depan menyerang wanita yang menghadangnya. Seperti juga tadi, kecepatan gerakan Lutung Hitam itu tidak ada artinya bagi si wanita baju merah yang ternyata memiliki gerakan lebih cepat lagi. Wanita itu sudah mengelak ke kiri dan tiba-tiba kakinya mencuat dalam sebuah tendangan mengarah perut Hek-wan. Lutung Hitam itu terkejut dan hanya dengan bergulingan menjatuhkan dirinya dia dapat menyelamatkan perutnya dari ciuman sepatu yang akan membahayakan keselamatannya itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah tiba pula di situ dengan marah si kumis tebal menubruk ke arah tubuh Hek-wan yang bergulingan untuk merampas buntalan di punggungnya.
"Dukk...!" Hek-wan menangkis dan keduanya terpental.
"Sobat, kenapa berbalik menyerangku? Mari kita keroyok wanita iblis itu!" Tai-lek Hek-wan berseru kaget.
"Pengecut, tak perlu merayu!" bentak si kumis tebal yang terus saja menyerang lagi dengan marahnya, Sementara itu,dua orang adiknya sudah mengeroyok si baju merah yang melayani mereka sambil tersenyum simpul karena girang hati wanita itu sudah berhasil membakar hati si kumis tebal. Baginya sesungguhnya sama saja. Andaikata dikeroyok sekalipun, ia yakin akan dapat merobohkan mereka semua. Apa lagi sekarang si kumis tebal yang marah dan merupakan orang pertama paling lihai dari Lam-hai Ngo-houw telah menumpahkan kemarahannya kepada Tai-lek Hek-wan sehingga ia hanya menghadapi dua orang lawan, tentu dianggapnya amat ringan. Ternyata kekuatan antara si kumis tebal dan Tai-lek Hek-wan seimbang dan selisihnya hanya sedikit saja.
Kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya si kumis tebal tentu akan kalah. Sudah tiga kali dia terkena pukulan dan tendangan dari Lutung Hitam akan tetapi ternyata orang pertama dari Lam-hai Ngo-houw itu kuat sekali tubuhnya dan belum juga roboh. Sementara itu, dengan mudahnya wanita baju merah itu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya denga totokan-totokan yang membuat kedua lawan itu roboh dengan mata mendelik dan napas putus. Kini wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, geli dan juga gembira menonton Tai-lek Hek-wan dan ketua Lam-hai Ngo-houw saling gebuk. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah kedua orang itu, melainkan dua buah buntalan yang berada di punggung mereka. Melihat robohnya dua orang lagi, wajah Tai-lek Hek-wan berobah pucat. Sambil menangkis sebuah pukulan dari si kumis tebal, dia menghardik,
"Tolol! Dua orang adikmu sudah roboh pula, tinggal kita berdua yang terancam maut dan engkau masih menyerangku seperti orang gila?" Si kumis tebal menoleh dan barulah dia terkejut bukan main. Tadi dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang Hek-wan sehingga dia tidak memperhatikan dua orang adiknya dan kini dia melihat betapa dua orang adiknya telah menggeletak tak bernyawa lagi sedangkan wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek. Dapat dibayangkan betapa sedih dan marah hatinya. Empat orang adik-adiknya telah tewas semua di tangan wanita cantik ini.
"Aurrggghhh...! Gerengan seperti seekor harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun sudah terkena pukulan dan tendangan Hek-wan, si kumis tebal ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk kea rah wanita baju merah. Melihat ini, Hek-wan lalu membalikkan tubuhnya dan... Lari tunggang langgang sekuat tenaga!
"Hemm...!" Wanita baju merah itu melompat ke kiri dan tangannya menyambar ke samping "Plakk!" Tubuh si kumis tebal terpelanting dan roboh berkelojotan karena pelipisnya berlubang terkena tusukan dua jari tangan wanita itu. Tanpa menengok lagi kepada korbannya yang ia yakin tentu akan tewas, wanita itu sudah berloncatan dengan amat cepatnya mengejar Tai-lek Hek-wan! Si Lutung Hitam menjadi panik dan wajahnya sudah pucat sekali ketika untuk kedua kalinya wanita baju merah itu sudah menghadang di depannya sambil tersenyum manis, senyum yang baginya tidak manis lagi melainkan menyeramkan! Dia bukan orang nekat seperti Lam-hai-houw. Sebaliknya, si gendut ini cerdik bukan main.
Kecerdikannya sudah nampak ketika dia membiarkan Sin-touw dan Phek Kiat saling bunuh sehingga dia mampu memperoleh Giok-liong-kiam dan madat yang amat banyak tanpa mengeluarkan sedikitpun tenaga. Juga dia sudah mampu menggerakkan hati Lam-hai Ngo-houw sehingga lima orang itu mau bersekutu dengan dia. Sekarang, melihat betapa Lam-hai Ngo-houw sudah tewas semua, diapun tidak begitu bodoh untuk menjadi nekat. Betapapun besar harganya Giok-liong-kiam, tentu saja masih tidak melebihi nyawanya sendiri. Apa artinya Giok-liong-kiam kalau dia sudah tidak bernyawa seperti kelima orang Lam-hai Ngo-houw itu? Tanpa malu-malu lagi Tai-lek Hek-wan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita baju merah itu, berkali-kali menyentuh tanah dengan dahinya dan kedua tangannya segera menurunkan buntalan Giok-liong-kiam.
"Ampun..., harap Lihiap (pendekar wanita) sudi mengampunkan nyawa saya..., saya" mengaku kalah dan dengan rela menyerahkan Giok-liong-kiam kepada Lihiap..." Wanita cantik itu tersenyum mengejek, geli melihat betapa perut yang gendut itu menghalangi Hek-wan untuk dapat memberi hormat dengan baik. Perutnya mengganjal ketika orang itu berlutut menyembah-nyembah. Sikap Tai-lek Hek-wan yang ia tahu selain cukup lihai juga amat cerdik itu, yang kini menyembah-nyembah-nya dengan begitu merendahkan diri, dianggap cukup berharga untuk menebus nyawa orang itu.
"Hemm, baiklah, monyet. Aku mau mengampuni nyawamu. Coba buka peti itu dan perlihatkan aku Giok-liong-kiam." Wanita itu memang cerdik. Tadi ia sudah melihat Giok-liong-kiam dan tidak meragukan lagi keasliannya. Akan tetapi untuk beberapa saat lamanya pusaka itu telah dapat dirampas kembali oleh Hek-wan, maka ia tidak ingin tertipu dan hendak melihat lebih dahulu apakah benar itu barang yang aseli. Ia sudah cukup mengenal kelicikan orang seperti Tai-lek Hek-wan ini dan bisa saja penjahat itu memberinya peti yang isinya barang beracun yang akan menyerangnya kalau dibukanya.
Akan tetapi, Hek-wan tidak sempat melakukan hal itu dan memang bukan tidak mungkin hal itu dilakukannya, bahkan lebih hebat dari itu kalau saja dia berkesempatan. Kini tidak ada lain jalan baginya kecuali menyerahkan pusaka itu sebagai penukar nyawanya. Dibukanya buntalan dan dibukanya peti hitam itu. Dengan peti terbuka sehingga nampak isinya, dia menyerahkan benda itu dengan kedua tangannya. Wanita cantik itu menjadi girang, melihat bahwa isi peti memang Giok-liong-kiam yang tulen. Akan tetapi pada saat ia hendak menerimanya, tiba-tiba ada angin menyambar dan sinar putih menyambar ke arah peti di tangan Tai-lek Hek-wan. Sinar itu ternyata sebatang tali yang menyambar cepat, seperti ular hidup hendak merampas peti, dibarengi bunyi meledak nyaring.
Melihat ini, wanita baju merah itu terkejut dan marah. Tangannya dikibaskan ke bawah menangkis sambaran tali dan kakinya menendang tubuh Tai-lek Hek-wan sehingga si gendut ini terguling-guling bersama peti yang masih dipegangnya. Memang wanita itu ingin menyingkirkan Hek-wan agar peti itu tidak sampai terampas orang, kemudian ia membalik dan berhadapan dengan orang yang telah menggunakan tali hendak merampas peti itu. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, bermuka pucat dan tampan, pakaiannya pesolek dan dia tersenyum masam ketika talinya membalik terkena tangkisan si wanita baju merah. Sambil menggulung talinya kini dia berdiri saling pandang dengan si wanita baju merah dan dia tertawa.
"Ha-ha-ha, seorang tokoh Ang hong-pai yang lihai juga!" Wanita cantik baju merah itu cemberut dan memandang dengan sinar mata marah. Siapa takkan marah melihat daging sudah di mulut kini terancam lepas? Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka yang putih itu.
"Hemm, agaknya Pek bin Tiat-ciang yang muncul. Apakah sekarang tangan besimu sudah berkarat maka engkau mempergunakan tali untuk mencoba menjadi pencuri?" Wanita itu mengejek. Si muka putih itupun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, siapa yang menjadi pencuri? Monyet gendut inikah, atau engkau, ataukah aku?" Tai-lek Hek-wan masih berdiri sambil mendekap buntalan berisi peti panjang Giok-liong-kiam itu, mukanya pucat dan dia merasa betapa kedua kakinya menggigil. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memiliki nama besar yang amat terkenal di seluruh Negara. Kiranya wanita itu adalah seorang tokoh perkumpulan Ang-hong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) yang ditakuti dunia kang-ouw seperti orang menakuti gerombolan setan, sedangkan nama Pek-bin Tiat-ciang (Tangan Besi Bermuka Putih) juga tidak kalah terkenalnya, sebagai seorang petualang yang ringan tangan dan mudah saja membunuh orang.
Entah sudah berapa banyaknya orang, baik dari golongan sesat maupun kau m pendekar, yang tewas di tangan jagoan ini. Kedua orang ini termasuk tokoh-tokoh sesat yang lihai sekali. Matilah aku, karena dia maklum bahwa kepandaiannya jauh sekali berada dibawah kedua orang ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdikitu diputar mencari akal. Bagaimanapun juga, wanita baju merah itu tadi memperlihatkan sikap lunakdan mau mengampuninya, sedangkan laki-laki muka putih tampan menyeramkan ini belum tentu mau membiarkan dia hidup. Sementara itu, wanita tokoh Ang-hong-pai itu sudah menerjang dengan ganasnya, menggunakan pukulan-pukulan yang dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka, totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang mematikan.
"Heiiittt...!" bentaknya nyaring ketika kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat.
"Wah, ganas...!" laki-laki muka putih itupun menggeser kaki dan menangkis dengan cepat pula.
"Plak! Plakk!" laki-laki itu terkejut karena biarpun dia sendiri berjuluk Tiat-ciang (Tangan besi), akan tetapi ketika lengannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa seolah-olah bertemu dengan daging lunak tak bertulang.
Tahulah dia bahwa wanita lihai itu dalam menghadapi kekerasan tangannya telah mempergunakan ilmu Bian-kun atau tangan yang berobah menjadi kapas, mempergunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk melawan yang keras dengan yang lunak. Menghadapi tangan yang lunak itu, Pek-bin Tiat-ciang merasa seolah-olah tangannya seperti besi memukul kapas di udara, sama sekali tidak berbekas. Maka diapun bersilat dengan hati-hati sekali, maklum bahwa wanita itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sambil membentak marah, diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya, tidak lagi berani main-main atau senyum-senyum, melainkan menyerang dengan amat kuat. Angin pukulan bertiup dahsyat ketika Tiat-ciang melakukan serangannya. Akan tetapi wanita itu dengan gerakan indah dapat mengelak sambil mengibaskan tangan menangkis dari samping.
"Rasakan kau !" bentak Tiat-ciang sambil mengeraskan tangannya yang tertangkis karena sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya yang membuat tangan itu seolah-olah berobah menjadi baja.
"Dukkk...!" Wanita itu menyeringai menahan jeritnya karena tangannya terasa nyeri bukan main. Rasa nyeri seperti menusuk jantungnya, seolah-olah tulang-tulang tangannya menjadi remuk. Karena rasa nyeri ini, tubuhnya agak terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tiat-ciang untuk menubruk dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dari samping ada angin pukulan menyambar dan ternyata Tai-lek Hek-wan yang menyerangnya! Hek-wan yang cerdik tidak lama mengambil keputusan dan dia sudah maju membantu tokoh Ang-hong-pai. Dia merasa lebih aman kalau tokoh wanita itu yang menang, maka diapun membantu ketika melihat wanita itu terdesak.
"Plakkk!" tangkisan Tiat-ciang membuat tubuh Hek-wan terlempar dan diapun bergulingan sampai jauh. Baru dia berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Kiranya yang menahannya itu adalah mayat si kumis tebal, orang pertama Lam-hai Ngo-houw dan tanpa disengaja dia melihat buntalan madat. Teringatlah dia betapa banyaknya madat itu dan betapa benda itu juga merupakan harta yang amat besar. Mengapa tadi dia lupa sama sekali tentang buntalan madat ini? Cepat dia mengambil buntalan itu dan mengalungkannya ke leher. Ketika menengok, dia melihat betapa wanita itu kini mulai mendesak si muka putih! Dan melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan mati-matian, timbul pula niatnya yang terdorong ketamakan dan kecerdikan. Diam-diam diapun melarikan diri, kini membawa dua buntalan itu, buntalan madat dan buntalan Giok-liong-kiam!
"Keparat, kau hendak lari ke mana?" Tiba-tiba terdengar bentakan suara tokoh Ang-hong-pai itu. Hek-wan terkejut dan menengok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita baju merah dan laki-laki muka putih itu telah berloncatan mengejarnya. Kiranya mereka itu, biarpun sedang berkelahi, tidak pernah melepaskan perhatian mereka terhadap benda yang diperebutkan, yaitu Giok-liong-kiam!
Tadi, ketika Hek-wan membantu tokoh Ang-hong-pai menyerang Pek-bin Tiat-ciang, Si Tangan Besi itu terpaksa menghentikan serangannya terhadap lawannya yang tangguh dan menangkis serangan Hek-wan. Akan tetapi pada saat itu, si wanita yang memiliki gerakan amat cepatnya telah meloncat ke atas, seperti terbang ia turun menerjang dengan amat hebatnya, tangannya menyerang dengan totokan-totokan berbahaya. Tentu saja Pek-bin Tiat-ciang cepat mengelak dan menangkis akan tetapi sebuah tendangan kaki wanita itu yang dilakukan dari belakang, seperti seekor tawon menyengat, telah mengenai pangkal pahanya, membuat Tiat-ciang terhuyung dan selanjutnya wanita itu menyerangnya dengan bertubi-tubi, membuatnya nampak terdesak.
Pada saat itulah Hek-wan melarikan diri. Dua orang yang sedang berkelahi itu tentu saja tidak dapat membiarkan hal ini terjadi. Mereka berkelahi justeru untuk memperebutkan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Hek-wan. Kalau Hek-wan berhasil melarikan diri membawa Giok-liong-kiam, perlu apa mereka saling serang lagi? Demikianlah, bagaikan berlumba, keduanya kini melakukan pengejaran. Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Hek-wan melihat betapa dua orang itu kini mengejarnya! Baru melawan seorang di antara mereka saja dia tidak akan mampu menang, apa lagi kini dikejar oleh mereka berdua! Akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Otaknya bekerja dan tahulah dia bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan menahan pengejaran mereka aedalah memancing mereka dengan Giok-liong-kiam. Maka diapun lalu berseru keras,
"Lihiap, ini Giok-liong-kiam itu, terimalah!" Dan diapun melemparkan buntalan peti panjang berisi Giok-liong-kiam itu ke arah dua orang yang mengejar di belakangnya. Akalnya berhasil dengan baik. Melihat benda yang amat diinginkan itu kini dilemparkan, dua orang itu tentu saja lalu berlumba untuk lebih dahulu memperolehnya. Benda itu oleh Hek-wan dilemparkan ke arah tokoh Ang-hong-pai, maka wanita itulah yang lebih dulu menyambar peti.
"Brakkk...!" Si Tangan Besi menghantamkan tangannya ke arah peti dan peti itupun pecah, isinya, yaitu pedang naga kemala itu terlempar dari dalam peti dan jatuh ke atas tanah!
Keduanya kini berebutan, berlumba untuk menubruk, dan akibatnya mereka saling bertumbukan. Tentu saja keduanya marah dan tahu bahwa sebelum merobohkan lawan tak mungkin mereka bisa mendapatkan pedang pusaka itu, maka kini mereka membiarkan pedang itu menggeletak di atas tanah dan keduanya sudah saling terjang lagi dalam perkelahian mati-matian yang lebih sengit dari pada tadi. Dengan hati girang, Tai-lek Hek-wan melanjutkan larinya, membawa buntalan madat. Lumayan, pikirnya, tidak terlalu mengecewakanlah memperoleh modal kekayaan berupa tiga puluh kati madat ini walaupun gagal mendapatkan Giok-liong-kiam, pikirnya, yakin bahwa dua orang itu tentu lebih mementingkan Giok-liong-kiam yang diperebutkannya dari pada mengejar dia yang melarikan madat.
Dan dugaannya ini memang betul. Dua orang pandai itu sama sekali tidak memperdulikannya lagi karena kini mereka sudah saling serang mati-matian untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggeletak di atas tanah. Ketika dengan hati girang sekali Tai-lek Hek-wan yang melarikan diri itu hampir tiba di tepi hutan, mendadak ada angin dari kiri yang menerjangnya. Hek-wan terkejut dan cepat mengelak, namun percuma saja karena tiba-tiba saja ada tenaga raksasa yang membuatnya terpelanting. Dia berusaha bangkit, akan tetapi mendadakmuncul seorang laki-laki raksasa bermuka hitam yang tertawa-tawa dan kaki orang tinggi besar ini menyambar, Hek-wan melompat sambil menangkis dengan lengannya ketika kaki yang besar itu menendang ke arah tubuhnya.
"Dessss...!" Kembali dia terpelanting dan kini terbanting keras dan tiba-tiba saja terdengarkain robek ketika buntalan madat itu direngut secara paksa dari punggunggya!
"Ehhh...!" Tai-lek Hek-wan meloncat bangun dan memandang marah ketika dia melihat betapa buntalan madat itu kini berada di tangan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu mengenakan pakaian kasar, sikapnya kasar dan wajahnya yang penuh berewok itu menakutkan. Matanya lebar dan mulutnya menyeringai girang ketika dia membuka buntalan dan melihat isi buntalan.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau pemadatan besar! Pantas saja begini lemah, tertiup angin saja roboh. Itulah kalau terlalu banyak menghisap madat, hua-ha-ha!" Dia tertawa bergelak, perutnya bergoyang-goyang karena ketika tertawa dia menengadah dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Tai-lek Hek-wan melihat kesempatan yang amat baik ini dan diapun meloncat ke depan dan menendang ke arah perut yang bergoyang-goyang itu sekuat tenaganya.
"Klekk...!" Tendangannya tepat mengenai perut, akan tetapi bukan orang itu yang roboh, bahkan tubuhnya sendiri terjengkang dan dia terbanting untuk ke tiga kalinya dan tanpa malu-malu lagi dia mengaduh-aduh sambil memegang kaki kanannya karena tulang-tulang kakinya itu seperti remuk rasanya. Dia tadi seperti menendang sebuah gentong besi saja, keras dan amat kuat sehingga kakinya sendiri yang mengeluarkan bunyi seolah-olah semua tulangnya patah. Akan tetapi karena marah dan kecewa melihat hasil rampasannya kini di tangan orang, dia memaksa diri meloncat bangun lagi.
"Kembalikan barangku...!" Hampir dia menangis ketika mengeluarkan tuntutan ini. Akan tetapi orang tinggi besar itu masih terus tertawa.
JILID 04
"Ha-ha-ha, engkau tentu penyelundup candu, engkau meracuni banyak orang. Orang seperti engkau ini harus dihukum berat, akan tetapi aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurusmu. Engkau tidak mengaku dosa malah hendak minta kembali racun ini? Sungguh tak tahu diri!" Hek-wan mengerutkan alisnya dan memandang orang itu penuh perhatian. Orang ini berpakaian kasar, terlalu kasar, maka sepantasnya orang ini melakukan penyamaran. Sikapnya begitu angkuh dan pandang matanya berwibawa, pantasnya seorang pembesar militer. Apakah seorang perwira yang menyamar? Dia mendengar bahwa di antara orang-orang yang sibuk menyelidiki dan mencari Giok-liong-kiam terdapat pula jagoan-jagoan dari istana. Apakah orang ini juga seorang di antara mereka? Diam-diam dia bergidik dan menjadi ragu-ragu.
"Sudahlah, memang nasibku yang buruk...!" Dia mengeluh, maklum bahwa orang itu bukanlah lawannya, maka diapun menahan kemarahannya dan membalikkan tubuh untuk pergi dari situ.
"Nanti dulu!" Tiba-tiba raksasa itu membentak.
"Aku bilang tidak mempunyai waktu untuk mengurusmu bukan berarti melepaskanmu begitu saja. Orang macam engkau ini terlalu berbahaya dibiarkan terlepas begitu saja. Hayo ke sini kau !" Tai-lek Hek-wan membalik dan menghadapi orang itu dengan sinar mata marah.
"Brangku sudah kau rampas, mau apa lagi memanggil aku?" katanya ketus. Raksasa itu menuding ke arah sepatunya yang besar dan kotor.
"Aku sudah melakukan perjalanan jauh dan tidak mengajak para pengawalku untuk membersihkan sepatuku yang kotor. Hayo kau bersihkan sepatuku, baru aku akan membiarkanmu pergi." Wajah Lutung Hitam itu berobah semakin hitam. Dia bukan sembarang orang dan banyak orang yang takut dan taat kepadanya. Kini orang menghina sampai di luar batas!
"Kau... terlalu menghina...!" bentaknya marah, mengepal tinju.
"Ha-ha, orang macam engkau ini masih bisa bicara tentang kehormatan dan penghinaan? Hidupmu sudah di dalam lumpur kehinaan. Aku hanya ingin menukar nyawamu yang rendah itu dengan pekerjaan membersihkan sepatu dan kau banyak cakap lagi? Hayo bersihkan sepatuku atau aku mewakili pemerintah melaksanakan hukuman mampus kepadamu. Pilih saja!" Kini yakinlah hati Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang petugas pemerintah yang menyamar. Dan jelas pula bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia tidak akan mampu mengalahkannya. Di situ tidak terdapat orang lain, mengapa harus meributkan tentang kehormatan.
"Baiklah...!" Katanya dan diapun berlutut di depan orang itu, menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan kedua sepatu yang penuh debu itu. Kalau saja ada orang yang melihat peristiwa ini. Betapa akan malunya dan akan hancur nama besarnya. Dia terkenal sebagai orang yang paling ditakuti
di seluruh daerah Nan-leng, dan kini dia membersihkan sepatu orang, berlutut di depan orang itu. Kemarahannya tak dapat ditahannya lagi dan otaknya yang cerdik itu bekerja. Orang yang menghinanya berdiri begitu dekat, tidak ada yang akan dapat menghalanginya lagi. Diam-diam dia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba saja dia menghantam ke arah pusar orang itu, dari jarak yang amat dekat.
"Krakk... aughhhh...!" Tubuh Tai-lek Hek-wan terkulai dan dia roboh tewas dengan belakang kepala remuk karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, si tinggi besar itu telah lebih dahulu menghantam tengkuknya! Sekali ini Tai-lek Hek-wan yang biasanya cerdikitu salah perhitungan. Dia terlalu memandang rendah lawannya. Padahal begitu dia mengerahkan tenaga, si raksasa itu telah mengetahuinya sehingga dapat mendahuluinya, menghantam tengkuknya dari atas, sehingga bukan saja pukulan itu melumpuhkan semua gerakannya, juga membuat nyawanya melayang! Dengan sikap jijik, Kakek bertubuh raksasa itu lalu menendang mayat Hek-wan sampai terlempar jauh, kemudian diapun membuang buntalan madat itu ke dalam jurang tak jauh dari situ sambil mengomel,
"Candu ini harus dimusnahkan di seluruh dunia, membuat manusia menjadi boneka, menjadi mayat-mayat hidup, berbahaya sekali..."
Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan sejenak diam tak bergerak, samar-samar dia mendengar suara orang berkelahidan tak lama kemudian, raksasa ini sudah berlari dengan langkah lebar menuju ke tempat orang yang sedang berkelahi itu. Raksasa ini memang bukan orang sembarangan dan seperti dugaan Tai-lek Hek-wan, dia adalah seorang jagoan istana! Kaisar mengirim beberapa orang jagoan untuk melakukan penyelidikan dan kalau mungkin merampas pusaka Giok-liong-kiam yang demikian menghebohkan dunia persilatan. Bagi Kaisar, seluruh pusaka yang terdapat di negeri itu adalah hak dan milik istana! Karena itu, Giok-liong-kiam yang diperebutkan itupun adalah hak istana. Dan raksasa ini adalah seorang diantara para jagoan istana, namanya Tang Kui dan jabatannya adalah komandan pasukan pengawal di luar istana.
Karena namanya terkenal di kalangan para pengawal sebagai seorang komandan yang pandai, tegas dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar, maka dia terpilih sebagai seorang di antara para jagoan yang ditugaskan mencari dan merebut pusaka Giok-liong-kiam. Sebentar saja Tang Kui telah tiba di tempat dimana tokoh Ang-hong-pai itu masih berkelahi dengan hebatnya melawan Pek-bin Tiat-ciang. Dari jauh saja Tang Kui yang banyak mempelajari keadaan kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw, mengenal siapa mereka yang sedang berkelahi itu. Dia mengenal Theng Ci, murid kepala Ang-hong-pai yang lihai itu dan dia mengenal pula Pek-bin Tiat-ciang, pria pesolek tampan bermuka putih yang merupakan tokoh di antara kau m sesat itu.
Maka diapun cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekat. Pada saat itu perkelahian antara kedua orang ini sudah mencapai puncaknya. Pek-bin Tiat-ciang sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pecut panjang yang biasanya menjadi pengikat pinggangnya. Pecut panjang putih itu kini membentuk lingkaran-lingkaran dan menyerang si wanita cantik dari pelbagai jurusan. Akan tetapi, Theng Ci adalah murid kepala Ang-hong-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan terutama sekali gerakannya yang amat ringan itu membuat ia selalu dapat berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dari totokan ujung pecut. Nampaknya pemandangan yang amat indah dari perkelahian ini. Pecut putih itu menjadi sinar bergulung-gulung dan pakaian Theng Ci yang merah juga membuat gerakannya yang cepat membentuk bayangan merah.
Dari jauh nampak warna merah dan putih yang berselang-selang amat indahnya. Jangan dikira bahwa Theng Ci yang bertangan kosong itu terdesak. Sama sekali tidak karena wanita cantik ini kadang-kadang membalas serangan lawannya dengan sambitan jarum-jarum halusnya. Bukan sembarang jarum, melainkan jarum halus yang mengandung racun! Ang-hong-pai adalah perkumpulan para wanita yang lihai dan juga suka mempergunakan racun-racun binatang yang ampuh, terutama sekali racun-racun lebah, sesuai dengan nama perkumpulan itu, ialah Ang-hong-pai (Perkumpulan Lebah Merah). Karena jarum-jarum ini amat berbahaya, maka Pek-bin Tiat-ciang bersikap waspada dan gerakan pecutnya itu sebagian besar dipergunakan untuk melindungi tubuhnya dari ancaman jarum halus.
Hanya sebentar saja Tang Kui si komandan yang menyamar itu nonton perkelahian dan diam-diam dia juga kagum karena maklum bahwa baginya, dua orang itu masing-masing merupakan seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi pandang matanya segera tertarik oleh mengkilapnya sebuah benda yang menggeletak tak jauh dari sesosok mayat berkumis lebat. Benda itu adalah sebatang pedang kecil terbuat dari kayu giok berukirkan naga. Giok-liong-kiam...! Hatinya berdebar amat kerasnya karena biarpun selamanya dia belum pernah melihat sendiri bagaimana macamnya Giok-liong-kiam, namun dia sudah mendapatkan keterangan jelas mengenai benda pusaka itu sebelum dia menerima tugas mencarinya. Hampir dia tak percaya" Giok-liong-kiam berada di situ dan kini mengertilah dia mengapa dua orang tokoh sesat itu berkelahi.
Tentu mereka berdua itu sedang memperebutkan Giok-liong-kiam. Memang sudah beberapa hari lamanya dia menaruh curiga terhadap Then Ci, wanita tokoh Ang-hong-pai itu. Diam-diam dia membayangi Theng Ci dari jauh. Tidak disangkanya dia melihat Theng Ci berkelahi dengan Pek-bin Tiat-ciang dan di situ terdapat Giok-liong-kiam! Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, tiba-tiba Tang Kui meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan diapun lari ke arah pedang pusaka itu dan disambarnya benda itu. Ketika Theng Cid an Pek-bin Tiat-ciang berteriak kaget melihat munculnya orang yang menyambar Giok-liong-kiam sehingga mereka berdua secara otomatis menghentikan perkelahian, Tang Kui sudah meloncat jauh dan melarikan diri.
Tentu saja dua orang itu menjadi marah sekali dan mereka melakukan pengejaran secepatnya. Tang Kui lari ke selatan, ke bagian hutan yang lebih dalam. Agaknya sukar bagi dua orang yang sudah kelelahan karena sejak tadi berkelahi itu untuk dapat menyusul Tang Kui. Dan mereka sudah hampir kehilangan jejak raksasa itu ketika tiba-tiba mereka melihat ada seorang yang tinggi kurus tiba-tiba muncul dan menyerang Tang Kui. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dan biarpun Tang Kui berhasil menangkis, akan tetapi posisi kakinya membuat dia terpelanting, dan hal ini saja menunjukkan betapa lihainya penyerang yang bertubuh jangkung itu. Si jangkung itu menyusulkan tendangan, bukan menendang bagian tubuh yang berbahaya melainkan menendang tangan Tang Kui yang memegang Giok-liong-kiam.
"Dukkk!" Tendangan itu mengenai tepat pergelangan tangan itu karena Tang Kui sedang terpelanting dan pedang pusaka itupun terlempar jauh ke kiri!
"Wuuuuttt...!" Tiba-tiba muncul pula seorang laki-laki yang berpakaian serba putih dan dengan sigapnya laki-laki itu meloncat dan menyambar Giok-liong-kiam dengan tangan kirinya, lalu berdiri mengamati pusaka itu dengan penuh kagum.
"Hemm, inilah Giok-liong-kiam..." guman laki-laki berpakaian putih. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang berusia kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana serba putih dan melihat orang yang telah merampas Giok-liong-kiam, Tang Kui segera mengenalnya. Orang itu adalah Kam Hong Tek, seorang pendekar yang namanya terkenal juga di daerah selatan.
"Kembalikan Giok-liong-kiam kami kepadaku!" Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berseru dan dengan beberapa langkah dia mendekati Kam Hong Tek. Pendekar Kam ini mengangkat muka memandang, laki-laki tinggi kurus itu berusia empat puluh tahun lebih, selain tubuhnya yang tinggi kurus itu merupakan hal yang tidak wajar, juga bajunya disulam di bagian dada dengan gambar bundar yang menggambarkan Im-Yang. Melihat gambar ini Kam Hong Tek dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang Thian-te-pai. Agaknya orang tinggi kurus itupun mengenal Kam Hong Tek dari pakaiannya dan sikapnya, maka dia menjura dengan hormat.
"Kalau saya tidak salah, saya berhadapan dengan pendekar Kam Hong Tek dari pegunungan selatan. Benarkah?" Pendekar Kam Hong mengangguk.
"Dan saudara tentulah seorang tokoh Thian-te-pai, bukan?"
"Benar, saya hanya seorang murid saja, menerima perintah ketua kami untuk mencari pusaka kami yang hilang dicuri orang. Nama saya Lui Siok Ek, harap saudara sudi memandang nama perkumpulan kami dan suka mengembalikan pusaka perkumpulan kami."
"Semua pusaka di tanah air ini adalah hak milik Sri Baginda Kaisar!" Tiba-tiba Tang Kui berseru dan dengan langkah lebar dia mendekat pula.
"Aku Tang Kui adalah komandan pasukan pengawal yang bertugas mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Serahkan itu kepadaku!" Kam Hong Tek dan murid Thian-te-pai itu mengangkat muka memandang kepada raksasa itu. Mereka terkejut juga mendengar bahwa orang tinggi besar yang pakaiannya seperti seorang petani ini mengaku sebagai seorang komandan pasukan pengawal dari istana Kaisar! Akan tetapi Kam Hong Tek lalu tersenyum dan sudah menggerakkan bibir untuk bicara ketika tiba-tiba terdengar teriakan wanita dengan suara lantang.
"Kembalikan pusaka itu kepadaku!" Dan muncullah Theng Ci yang diikuti pula oleh Pek-bin Tiat-ciang. Akan tetapi dua orang inipun terheran-heran melihat bahwa di situ terdapat tiga orang dan pedang pusaka itu tidak lagi dipegang oleh si raksasa, melainkan oleh seorang berpakaian putih-putih yang mereka kenal sebagai pendekar Kam Hong Tek yang tidak asing lagi namanya! Kam Hong Tek tertawa.
"Ha-ha-ha, sekarang menjadi ramai! Kulihat nona adalah seorang anggauta Ang-hong-pai, dan saudara ini tentulah Pek-bin Tiat-ciang yang terkenal. Ada murid Thian-te-pai dan ada pula utusan istana. Kita semua tahu bahwa semua orang di dunia persilatan memperebutkan Giok-liong-kiam. Akan tetapi, kitapun tahu akan adanya nasib dan tanpa kusengaja, Giok-liong-kiam melayang ke arah diriku dan berhasil kutangkap. Bukankah ini namanya nasib dan memang pusaka ini berjodoh dengan diriku? Harap Cu-wi (anda sekalian) dapat memaklumi hal ini dan tidak menentang nasib!"
"Nasib tahi anjing!" Pek-bin Tiat-ciang membentak marah.
"Pusaka itu adalah milikku. Kembalikan!" Dan si muka putih ini dengan marah lalu menerjang pendekar Kam Hong Tek. Melihat serangan yang ganas dan berbahaya itu Kam Hong Tek cepat meloncat ke samping dan mengibaskan tangan kanannya menangkis, sedangkan pusaka itu dipegangnya dengan erat-erat di tangan kiri.
"Atas nama pemerintah, berikan kepadaku!" Tang Kui membentak dan diapun menerjang maju untuk merampas pedang itu dengan pukulan ke arah leher Kam Hong Tek. Pendekar ini terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.
"Dukk...!" Keduanya terdorong mundur dan hal ini saja membuat mereka maklum bahwa tenaga mereka berimbang. Akan tetapi Lui Siok Ek, murid Thian-te-pai itu, tanpa banyak cakap lagi sudah menerjang pula ke depan dan gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tahu-tahu tangan kirinya sudah dapat menangkap ujung Giok-liong-kiam pada saat Kam Hong Tek miringkan tubuhnya karena kembali Pek-bin Tiat-ciang menyerangnya. Kan Hong Tek terkejut dan mencoba untuk menarik pedang batu kemala itu, namun murid Lui Siok Ek itu mempertahankannya. Terjadilah betot-membetot, tarik-menarik dan pada saat itu, Theng Ci, wanita baju merah itu mengirim tendangan kilat yang ditujukan ke arah pergelangan tangan Kam Hong Tek.
Pada saat yang sama pula, seperti sudah direncanakan saja, Pek-bin Tiat-ciang juga mengirim tendangan, ditujukan ke arah pergelangan tangan murid Thian-te-pai. Dua tendangan kilat itu amat kuat dan berbahaya dan mereka yang sedang bersitegang memperebutkan pedang pusaka itu maklum akan hal ini dan terpaksa mereka lalu melepaskan pegangan dan melontarkan pedang pusaka itu ke atas, kemudian tangan mereka membalik dan menangkis tendangan. Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu dilontarkan oleh gabungan dua tenaga, terlempar jauh dan tinggi ke udara. Lima orang yang sedang memperebutkanpedang pusaka itu memandang ke atas dan mereka sudah siap untuk meloncat dan berlumba memperoleh pusaka itu lebih dahulu,
Walaupun masing-masing maklum bahwa empat orang yang lain pasti akan menghalanginya atau akan merampasnya kembali. Setiap jalur urat syaraf di tubuh lima orang itu sudah menegang dan masing-masing sudah siap untuk meloncat ke atas ketika benda yang berkilauan hijau itu melayang turun dari atas. Akan tetapi, ketika benda itu sudah meluncur turun sampai kira-kira lima tombak dan semua orang sudah siap meloncat, tiba-tiba saja benda itu menyeleweng ke arah barat dan lenyap di antara daun-daun pohon, menimbulkan suara berkerosakan ketika benda itu menerjang daun-daun pohon yang lebat. Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan heran, akan tetapi juga penuh kekhawatiran karena benda itu tiba-tiba saja lenyap.
Seperti dikomando saja, lima orang itu lalu berloncatan dan lari ke arah pohon besar di sebelah barat itu. Dan merekapun berdiri tertegun ketika melihat seorang Kakek berjubah pendeta, bertubuh gendut sekali sehingga kelihatannya bulat. Kepalanya yang nampak kecil karena tubuh yang gendut itu juga bulat, dan Kakek itu nampak lucu karena kepalanya gundul licin tanpa penutup kepala. Dia duduk bersila di atas batu hitam, sama sekali tidak bergerak, dan kedua matanya terpejam, kedua tangan dirangkap di depan dada. Jubah kuningnya sudah kumal dan warnanya hampir keputihan, kedua kakinya yang bersilang itu memakai sepatu kain yang bawahnya dilapis besi. Sukar menaksir usia Kakek ini karena kepalanya gundul dan mukanya kelimis, bisa saja dia baru lima puluh tahun akan tetapi juga mungkin usianya sudah tujuh- puluh tahun lebih.
Alisnya yang tebal dan masih hitam itu menambah bingung bagi penaksir usianya. Lima orang itu memandang penuh perhatian, terutama sekali dengan sinar mata mereka mencari-cari apakah di situ terdapat pedang Giok-liong-kiam. Akan tetapi, Kakek gundul yang gendut itu sedang bersemadhi, hanya pernapasannya saja yang membuat perut gendutnya bergerak perlahan turun naik. Jelas bahwa Kakek itu tidak memegang Giok-liong-kiam, juga di dekatnya tidak nampak benda pusaka itu. Lima orang itu celingukan akan tetapi tidak nampak ada orang lain di sekitar tempat itu dan pusaka itupun lenyap tanpa bekas. Siapa lagi kalau bukan Kakek ini yang menyebabkan pusaka yang sedang melayang turun itu tiba-tiba menyeleweng dan lenyap.
Bukankah ke arah sini tadi terbangnya pedang kemala itu? Lima orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup maklum bahwa orang seperti Kakek tua ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan sangat boleh jadi sekali Kakek ini adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai walaupun tak seorang di antara mereka merasa pernah mengenalnya. Tidak ada pula ciri-ciri yang mengingatkan mereka akan seorang datuk persilatan, baik dari para pendekar maupun kau m sesat. Karena itu, mereka tidak berani sembarangan mengganggu Kakek itu. Akan tetapi, karena mereka ingin sekali memiliki Giok-liong-kiam dank arena mereka melihat sendiri betapa pedang pusaka itu tadi melayang ke arah sini, tetap saja terdapat kecurigaan besar dalam hati mereka bahwa tentu Kakek ini yang main-main tadi, mempergunakan semacam ilmu yang amat luar biasa.
Yang membuat mereka ragu-ragu adalah karena mereka tidak melihat Giok-liong-kiam di situ. Entah kalau disembunyikan di balik jubah kuning yang longgar itu, demikian mereka menduga-duga dan lima pasang mata menunjukkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah jubah kuning yang menutupi tubuh si Kakek gendut. Lui Siok Ek yang merasa paling berhak atas pusaka itu, pusaka Thian-te-pai yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu, memberanikan hatinya dan diapun melangkah maju. Akan tetapi begitu dia melangkah maju, empat orang lainnyapun ikut pula melangkah maju, sejengkalpun tidak membiarkan tokoh Thian-te-pai itu lebih dekat dengan Kakek itu dari mereka! Lui Siok Ek tidak perduli dan diapun menjura dengan sikap hormat kepada Kakek gundul yang masih duduk bersila sambil memejamkan mata itu.
"Harap Locianpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan. Saya Lui Siok Ek..." tiba-tiba saja tokoh Thian-te-pai itu menghentikan kata-katanya karena mendadak Kakek itu membuka kedua matanya dan sepasang mata itu mengeluarkan cahaya begitu mencorong membuat dia tertegun.
"Ha-ha-ha!" Tiba-tiba Hwesio gendut itu tertawa bergelak-gelak dan seluruh tubuhnya yang gendut itu berguncang. Suara ketawanya sambung-menyambung dan semua orang yang berada di situ terkejut bukan main dan cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan diri karena suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang membuat isi perut mereka terguncang pula! Hwesio itu menghentikan suara ketawanya, sejenak memandang kepada mereka bergantian seolah-olah diapun merasa agak heran melihat betapa lima orang itu kuat menghadapi suara ketawanya. Lalu dia memandang pula kepada Lui Siok Ek dan berkata, suaranya parau,
"Engkau tentu seorang murid Thian-te-pai, ada keperluan apakah kalian mengganggu tidurku?" Lui Siok Ek cepat menjura.
"Harap Locianpwe sudi memaafkan saya. Saya kehilangan pusaka perkumpulan kami yang disebut Giok-liong-kiam dan tadi pusaka itu melayang ke arah sini. Kalau Locianpwe mengetahui, mohon dapat memberi petunjuk agar saya dapat membawanya kembali ke perkumpulan kami."
"Ha-ha-ha-ha...!" Kembali Kakek gendut itu tertawa dan sekali ini suara ketawanya lebih hebat dari pada tadi. Agaknya dia telah menambah khikang dalam suara ketawanya.
Dan lima orang itu merasa betapa kaki mereka gemetar dan isi perut mereka terguncang hebat! Mau tidak mau mereka terpaksa segera menjatuhkan diri bersila dan mengerahkan sinkang untuk melindungi diri mereka karena kalau dilanjutkan tanpa pertahanan sinkang, tentu mereka akan dapat menderita luka dalam oleh serangan suara itu! Suara ketawa itu susul-menyusul bagaikan gelombang, semakin lama semakin hebat! Lima orang itu kini memejamkan kedua mata, memusatkan seluruh kekuatan sinkang mereka untuk menahan gelombang suara yang seolah-olah menembus telinga mereka dan menusuk-nusuk jantung mereka. Tubuh mereka tergetar hebat dan keringat sebesar kedele mulai membasahi muka dan leher mereka. Mereka terkejut dan gelisah sekali. Mereka seperti terperosok ke dalam jurang yang berbahaya.
Untuk keluar tidak mungkin karena sudah terlanjur. Menghentikan sebentar saja pemusatan sinkang mereka, tentu mereka akan terluka. Melanjutkanpun sampai kapan? Mereka sudah hampir tidak kuat dan terpaksa mereka menahan napas untuk membantu kekuatan mereka. Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan lima orang itu terseret oleh perobahan tiba-tiba ini dan tanpa dapat bertahan lagi, kelimanya lalu muntah darah segar! Mereka semua menderita luka dalam tubuh, walaupun tidak berbahaya sekali namun cukup membuat mereka terkejut dan maklum bahwa Kakek ini tidak berniat baik terhadap mereka. Begitu membuka mata, mereka lalu bangkit dan melangkah mundur untuk mengatur jarak agar tidak terlampau dekat dan agar mereka dapat berjaga diri. Dengan mulut masih menyeringai lebar, Kakek itu lalu berkata,
"Omitohud...! manusia saling bermusuhan hanya untuk memperebutkan benda mati! Mana mungkin kehidupan ini menjadi aman tenteram dan penuh kedamaian kalau manusia saling hantam hanya untuk memperebutkan benda mati? Ha-ha-ha" Kini lima orang itu sudah siap untuk berjaga diri, akan tetapi suara ketawanya sekali ini tidak mengandung tenaga khikang yang menyerang.
Akan tetapi, melihat wajah gundul yang tertawa-tawa dan menyeringai lebar itu, melihat jubah kuning dan kepala gundul yang menunjukkan bahwa Kakek itu seorang Hwesio , lima orang itu lalu teringat akan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang namanya amat terkenal akan tetapi menurut kabar tidak pernah keluar dari dalam kamarnya di mana dia bersamadhi dan bertapa sampai belasan tahun lamanya! Hwesio tokoh Siaw-lim-pai itupun hanya dikenal julukannya saja, yaitu Siauw-bin-hud (Buddha Bermuka Tertawa)! Kam Hong Tek, pendekar selatan yang pernah selama beberapa tahun berguru kepada seorang Hwesio Siauw-lim-pai perantau, memberanikan diri untuk maju memberi hormat dan bertanya,
"Harap Locianpwe sudi memaafkan kelancangan saya. Apakah saya yang bodoh berhadapan dengan Locianpwe Siauw-bin-hud?" Mendengar ini, empat orang lain memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi juga merasa gentar karena mereka semua sudah mendengar bahwa pertapa yang disebut Siauw-bin-hud adalah seorang Locianpwe yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan merupakan angkatan tua yang dihormati. Kembali Kakek itu tertawa, ketawa biasa tanpa pengerahan khikang yang menyerang seperti tadi. Karena mulutnya lebar, maka ketawanya yang menyeringai itu membuat mukanya seperti terbelah dua atau retak lebar di tengah-tengah.
"Ha-ha-ha, dan engkau yang berpakaian putih ini apakah bukan bernama Kam Hong Tek?" Kam Hong Tek terkejut, akan tetapi kekagetannya disusul oleh rasa kaget mereka semua ketika Kakek itu melanjutkan,
"Dan nona tentulah yang bernama Theng Ci murid kepala Ang-hong-pai, bukan? Dan engkau yang tampan ini siapa lagi kalau bukan Pek-bin Tiat-ciang? Dan engkau yang tinggi besar dan gagah ini, pinceng kira tentu seorang perwira pengawal istana yang menyamar. Bukankah engkau yang bernama Tang Kui?"
Tentu saja semua orang terkejut. Kakek ini selain memiliki khikang yang luar biasa kuatnya, ternyata memiliki pula pemandangan yang amat luas sehingga begitu berjumpa sudah dapat mengenal mereka semua! Padahal, Kakek ini dikabarkan selalu menyenbunyikan diri dalam sebuah ruang pertapaan di kuil Siauw-lim-si! Apakah Kakek ini memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia? Tang Kui yang menjadi besar hatinya karena Kakek itu mengenalnya sebagai seorang komandan pengawal istana, hendak mempergunakan kedudukannya dan kewibawaan Kaisar untuk mencari keuntungan. Dia menjura dengan sikap gagah seorang perwira tinggi tulen kepada Kakek itu.
"Locianpwe sungguh bijaksana dapat mengenal saya dalam penyamaran. Saya yakin Locianpwe mempunyai kebijaksanaan pula untuk mengingat bahwa saya adalah seorang utusan sri baginda Kaisar untuk mencari dan membawa pusaka Giok-liong-kiam ke istana." Kembali Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tang-Ciangkun. Apa hubungannya tugasmu dengan pinceng (aku)?"
"Maaf, Locianpwe. Karena tadi saya melihat Giok-liong-kiam melayang ke arah tempat ini, saya mohon petunjuk Locianpwe apakah Locianpwe tahu di mana adanya pusaka itu."
"Kalian berlima siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam! Kalau pinceng tidak tahu di mana adanya pusaka itu, tentu pinceng tidak dapat memberi tahu kalian. Sebaliknya kalau pinceng tahu di mana, pinceng juga tidak dapat memberi tahu kalian karena kalian tentu akan saling bunuh. Lebih baik pinceng simpan sendiri saja. Sudahlah, pinceng sedang beristirahat dan tidak mau diganggu lagi. Kalian harap pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Kakek itu kembali memejamkan kedua matanya dan merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti tadi, sedikitpun tidak bergerak lagi! Lima orang itu menjadi ragu-ragu, bahkan saling pandang seperti hendak saling bertanya dan minta pendapat, lupa bahwa mereka itu masing-masing pernah bermusuhan dan siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam! Memang lucu dan aneh, akan tetapi merupakan kenyataan yang dapat kita lihat sehari-hari dalam kehidupan di sekeliling kita betapa harta dapat mempermainkan kita manusia, akan tetapi juga dapat mempersatukan manusia dengan manusia lain kalau memang kepentingan mereka bersama menguntungkan!
Maka sesungguhnya bukanlah harta yang berkuasa dan mempermainkan manusia melainkan batin sendiri yang dicengkeram oleh ke aku-an dan nafsu ingin memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesarnya,. Demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri inilah, kawan dapat menjadi lawan dan sebaliknya, lawan dapat berubah menjadi kawan. Hal seperti ini menjadi landasan dari setiap peristiwa antara manusia di dunia, bahkan dapat meluas menjadi antar kelompok dan antar bangsa dan Negara! Saling memperebutkan keuntungan inilah yang menyebabkan terjadinya perang antara dua bangsa yang bersahabat, sebaliknya dapat menyebabkan terjadinya persahabatan antara kedua bangsa yang tadinya bermusuhan.
Kita tinggal membuka mata melihat saja semua ini terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiripun demikian karena keadaan dunia tidaklah berbeda dari keadaan di dalam batin kita sendiri. Dari batin manusia peroranganlah tercetusnya konflik yang dapat melebar dan meluas menjadi konflik antara manusia dan konflik antara bangsa. Lima orang itu hampir merasa yakin kini bahwa Giok-liong-kiam tentu berada di tangan Kakek ini, mungkin disembunyikan di balik jubahnya yang lebar dan longgar. Akan tetapi, mereka tidak berani bertanya lagi dan pula, apa yang dapat mereka lakukan terhadap Kakek ini? Baru diserang oleh suara ketawa saja, mereka sudah muntah darah dan sampai sekarangpun dada mereka masih terasa nyeri. Kalau kini mereka mempergunakan kekerasan untuk memaksa Kakek itu mengaku dan menyerahkan Giok-liong-kiam, sama saja dengan mati konyol atau bunuh diri.
"Sudahlah!" teriak Tang Kui yang sudah meloncat mundur dan pergi dari situ. Empat orang tokoh lain juga pergi dan isi hati mereka sama semua. Bagaimanapun juga, mereka kini tahu dimana adanya Giok-liong-kiam, yaitu di tangan Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang aneh itu! Dan hal ini saja sudah dapat menghibur hati mereka karena mereka dapat melaporkan kepada atasan mereka, atau dapat menyusun kekuatan untuk kelak mencoba merampas pusaka yang sudah mereka ketahui berada di mana. Akan tetapi, semenjak peristiwa itu terjadi, Giok-liong-kiam dianggap hilang oleh dunia kang-ouw walaupun mereka tahu bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai.
Bahkan Kaisar sendiri mendapat nasihat dari para penasihatnya agar tidak mempergunakan kekerasan terhadap Siauw-lim-si hanya karena urusan pedang yang memang tadinya bukan pusaka istana. Istana hanya mengutus serombongan pembesar untuk meminta keterangan kepada Siauw-lim-si tentang pedang Giok-liong-kiam, dan ketua kuil memberi jawaban dengan pasti bahwa Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali tentang Giok-liong-kiam, dan bahwa selama puluhan tahun ini Hwesio tua yang bernama Siauw-bin-hud tidak pernah meninggalkan ruangan di mana dia mengurung diri dan bertapa! Tentu saja jawaban ini dianggap sebagai pengingkaran untuk tetap menguasai pedang pusaka itu, namun Kaisar menghabiskan urusan itu sampai di situ saja.
Negara sudah menghadapi terlalu banyak pemberontakan, dan urusan menghadapi orang-orang asing berkulit putih juga sudah mendatangkan banyak kepusingan, maka sungguh amat merugikan kalau pemerintah harus bersikap kasar dan memancing permusuhan baru dengan pihak Siauw-lim-pai. Lui Siok Ek juga melapor kepada ketua Thian-te-pai yang merasa terkejut sekali mendengar bahwa Giok-liong-kiam kini berada di tangan orang Siauw-lim-pai. Karena antara Thian-te-pai dan Siauw-lim-pai tidak ada hubungan apa-apa, walaupun tidak pernah terjadi permusuhan, maka ketua Thian-te-pai hanya mengirim murid-murid kepala untuk menyerahkan surat kepada ketua Siauw-lim-pai, di mana dia bertanya dengan hormat apakah Siauw-lim-pai mendengar atau tahu tentang di mana adanya Giok-liong-kiam, pusaka perkumpulan mereka yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu.
Ketua Siauw-lim-pai menjawab bahwa Siauw-lim-pai sungguh tidak tahu sama sekali dan kalau tahu tentu dengan senang hati membantu Thian-te-pai menemukan kembali pusakanya! Jawaban ini membuat hati para tokoh Thian-te-pai mendongkol. Sudah jelas Siauw-bin-hud yang menguasai pusaka itu dan pihak Siauw-lim-si masih pura-pura tidak tahu. Akan tetapi merekapun tidak dapat berbuat sesuatu karena tentu saja tidak mau menanam permusuhan dengan perkumpulan yang sekuat Siauw-lim-pai. Biarpun tidak ada yang berani menuntut kepada Siauw-lim-pai, akan tetapi dari lima orang itu tersiarlah berita di seluruh dunia kang-ouw bahwa Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu kini berada di tangan Siauw-bin-hud tokoh Siauw-lim-pai. Dan enam tahun lewat tanpa ada suatu peristiwa terjadi sehubungan dengan pedang pusaka Giok-liong-kiam.
Orang di dunia persilatan seolah-olah sudah melupakan peristiwa perebutan Giok-liong-kiam itu. Dan memang perebutan pusaka itu hanya terjadi dan timbul setelah tersiar kabar bahwa pusaka itu dicuri orang dari Thian-te-pai. Ketika pusaka itu masih menjadi pusaka Thian-te-pai, tidak ada orang atau golongan yang begitu gatal tangan untuk mencoba merampasnya dari tangan Thian-te-pai, sebuah perkumpulan yang amat kuat, apa lagi karena Thian-te-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu dank arena itu dihormati oleh semua golongan. Kini, setelah pusaka itu berada di tangan Siauw-lim-pai, tentu saja orang menjadi semakin segan untuk mencoba merampasnya. Akan tetapi, secara diam-diam tentu saja banyak orang yang masih menginginkan pusaka itu, hanya tidak berani menyatakan secara berterang.
Bahkan ada pihak-pihak yang menyusun kekuatan dan bersikap hati-hati, tidak berani sembarangan turun tangan terhadap perkumpulan seperti Siauw-lim-pai sebelum merasa yakin akan kekuatan sendiri. Enam tahun telah berlalu sejak pedang pusaka Giok-liong-kiam lenyap dan dunia kangouw mengetahui bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud, seorang tokoh tua Siauw-lim-pai. Selama enam tahun itu tidak pernah terjadi sesuatu di Siauw-lim-si, dan dunia kang-ouw seolah-olah melupakan pusaka itu, karena memang negara berada dalam kekacauan. Pemberontakan-pemberontakan kecil berkobar di mana-mana, dan makin banyaklah rakyat dikuasai asap madat. Bahkan madat mulai menyusup ke dalam gedung-gedung para pembesar sehingga banyaklah pembesar mulai kecanduan.
Makin banyak madat dimasukkan ke Tiongkok, makin banyak pula kekayaan negara dikuras. Yang puas mengelus perut gendut karena memperoleh untung yang luar biasa banyaknya adalah orang-orang kulit putih, terutama Bangsa Inggeris, dan juga orang-orang India yang menyediakan madat itu. Suatu pagi yang cerah. Kecerahan pagi itu terasa sekali nikmatnya di sebuah puncak bukit kecil. Sinar matahari yang cerah menjadi semakin segar dan hangat karena sejuknya hawa udara yang jernih di bukit itu. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang agak kemerahan bercampur kuning menjadi keemasan. Masih lembut, belum keras panas seperti sinar di tengah hari. Cahaya keemasan lembut itu memandikan seluruh permukaan bukit, rata dan tidak pilih kasih. Cahaya yang indah itu menggugah bumi dari pada kelelapan malam gelap.
Tanah menguap tipis, hangat dan sedap baunya, menghalau kabut pagi yang agaknya masih bermalasan untuk meninggalkan bumi yang sedap. Bunga-bunga yang sudah mekar menjadi berseri, masih basah oleh embun, menerima cahaya matahari dengan penuh kebahagiaan. Embun yang tadinya dingin menyelimuti kelopak-kelopak bunga, kini terasa menyegarkan dan indah bergantungan di kelopak daun, berkilauan dan tersenyum-senyum. Daun-daun juga bangkit menghijau, segar dan menyambut cahaya matahari pagi sebagai sesuatu yang baru, yang sama sekali terlepas dan tiada kaitannya dengan malam tadi, dengan siang kemarin. Rumput-rumput hijau juga berseri-seri, pucuk-pucuk rumput kekuningan bersemi dan seperti anak-anak yang tiada mengenal susah, bergembira menyambut dan memasuki hidup.
Burung-burung berkicau bersuka ria, kegembiraan yang spontan dan tidak dibuat-buat, lincah berloncatan dari dahan ke dahan, saling tegur dengan salam manis kepada teman-temannya, siap untuk bersama-sama menghadapi hari baru yang cerah. Sukarlah menggambarkan keindahan pagi. Keindahan yang hanya dapat dinikmati dengan penghayatan, dengan rasa, bukan untuk digambarkan atau diceritakan. Keindahan dan kebahagiaan yang dapat dinikmati setiap orang manusia. Sayang seribu sayang, jarang sekali ada orang dapat lagi menikmati keindahan yang membahagiakan itu. Pikiran kita terlalu sibuk dengan urusan lahiriah, mencari uang, menuntut ilmu, sosial, politik, agama, pengejaran kesenangan, pelarian dari kesusahan dan sebagainya.
Cobalah sekali-kali, makin sering semakin baik, kita melepaskan diri dari semua itu, kita tinggalkan semua itu agar batin kita kosong sama sekali dari pada segala macam konflik dan masalah kehidupan, lalu kita masuki pagi yang baru ini, kita biarkan diri seperti sehelai rumput yang menikmati embun dan cahaya keemasan. Pagi itu terasa amat sunyi di kuil Siauw-lim-si yang terletak di puncak bukit kecil itu. Sunyi yang mengamankan hati, sunyi penuh keriangan dan kebahagiaan yang bukan timbul karena senang akan sesuatu. Namun, sejak matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang mendahuluinya, para Hwesio di kuil itu sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pekerjaan yang merupakan tugas sehari-hari, pekerjaan yang diulang-ulang sehingga tidak ada artinya lagi bagi si pekerja.
Menyapu pekarangan, memikul air, menyalakan api di dapur, membersihkan meja sembahyang, ataupun membaca liam-keng atau doa sambil mengetuk-ngetuk kayu. Semua ini dilakukan seperti otomatis, tanpa gairah lagi, seperti kalau kita pergi ke kantor, ke sekolah, ke pasar atau sibuk di dapur. Dan tahu-tahu usia telah menjadi tua oleh pekerjaan yang telah menjadi gerakan kebiasaan tanpa isi ini. Dapatkah kita menikmati segala hal yang kita lakukan, termasuk pergi sekolah, belajar, bekerja di kantor, berbelanja di pasar, masak di dapur, segala sesuatu itu? Dapatkah? Hal ini hanya kita sendiri yang mampu menyelidiki, mampu mempelajari dan mampu menjawabnya! Mari kita mengguncang diri, seperti anjing kalau mengguncang tubuh mengeringkan diri dari air atau melemparkan kutu-kutu dari badan, mari kita melepaskan belenggu dari semua ikatan kebiasaan itu!
Dan mari kita melakukan APA SAJA, ketika bekerja, ketika mandi, ketika makan, ketika kita bicara, bahkan ketika kita termenung, apa saja yang kita lakukan, pernapasan kita, gerakan kaki tangan kita, GERAKAN PIKIRAN kita, mari kita lakukan semua gerakan lahir batin itu dengan penuh KESADARAN, bukan gerakan robot atau otomatis, melainkan gerakan dilakukan dengan penuh PENGAMATAN, dengan penuh kewaspadaan dan penuh kesadaran, penuh perhatian. Mari kita buka mata dan lihat, kita amati setiap gerak badan dan batin KITA SENDIRI, dan mari hentikan mengamati orang lain. Kita MASUK dengan seluruh jiwa raga ke dalam sesuatu yang kita lakukan! Sejak bangun tidur sampai pulas, dan bahkan pengamatan itu masih hidup selagi kita tidur. Mau coba? Marilah! Sudah menjadi kebiasaan para Hwesio untuk bangun pagi-pagi sekali. Kebiasaan yang amat baik karena hal ini menyehatkan badan dan pikiran. Kuil Siauw-lim-pai tidaklah sebesar ratusan tahun yang lalu.
Bentrokan-bentrokan dengan pemerintah, terutama pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa, selama ratusan tahun membuat Siauw-lim-pai terpecah belah dan mengalami kemunduran. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja Siauw-lim-si merupakan satu di antara kuil-kuil terbesar di seluruh negeri. Dan Siauw-lim-pai, yaitu perkumpulan yang terdiri dari murid-murid Siauw-lim-si di bidang ilmu silat, tetap saja merupakan partai persilatan terbesar. Haruslah diakui bahwa ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat tertua, bahkan merupakan sumber dari hampir semua ilmu silat yang kemudian bertumbuhan dan bermunculan di dunia persilatan. Ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat murni, yang diciptakan oleh orang-orang suci, oleh para cerdik pandai yang berbatin bersih.
Ilmu silat yang diperkembangkan untuk keuletan badan, kebesaran jiwa dan ketenangan batin, yang dirangkai dengan ilmu batin yang tinggi berdasarkan agama. Oleh karena aliran ini masih aseli maka cara berlatihnya juga amat berat. Bukan seperti ilmu-ilmu silat yang sengaja dipelajari dengan pamrih untuk berkelahi, mudah dipelajari dan mudah dipraktekkan untuk perkelahian, namun sama sekali tidak ada manfaatnya untuk kemajuan batin. Tidak kurang dari lima puluh orang Hwesio tinggal di kuil Siauw-lim-si yang besar dan luas itu. Kuil itu memang amat luas dan merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi tembok tinggi. Dahulu, pernah di masa jayanya kuil ini menampung penghuni sebanyak hampir dua ratus orang. Yang menjadi ketua bernama Thian He Hwesio , seorang Kakek tinggi kurus yang usianya enam puluh tahun lebih, dibantu oleh beberapa sute (adik seperguruan) yang bertugas sebagai kepala bagian.
Sebagai ketua, Thian He Hwesio hanya menangani pelajaran agama, mengepalai upacara-upacara sembahyang dan menentukan peraturan-peraturan serta mengambil keputusan akan segala masalah yang timbul di antara mereka. Para sute-sutenya adalah Thian Kong Hwesio yang bertugas sebagai pelatih ilmu silat kepada para murid, Thian Tek Hwesio bertugas sebagai kepala rumah tangga, dan Thian Khi Hwesio bertugas mengatur semua urusan yang berhubungan dengan luar kuil. Mereka semua ini adalah Hwesio -Hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi dan nama mereka disegani di seluruh dunia persilatan, bukan hanya karena kepandaian mereka, akan tetapi juga karena sepak terjang para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan juga karena para Hwesio ini tidak pernah mau mencampuri urusan di luar linkungan mereka sendiri.
Di pagi yang cerah itu, semua Hwesio melaksanakan tugas masing-masing seperti biasa. Hanya ada sedikit perobahan terjadi di dalam kuil itu dan setiap perobahan tentu disambut dengan penuh kegembiraan oleh mereka. Kebiasaan yang dilakukan setiap hari tanpa ada perobahan menimbulkan jemu. Akan tetapi sedikit perobahan itu hanya dianggap baru selama dua tiga hari saja dan sesudah itupun tenggelam lagi dan hampir terlupa oleh mereka. Perobahan itu adalah keluarnya seorang Kakek Hwesio dari dalam ruangan pertapaannya di mana dia tinggal selama hampir dua puluh tahun. Hwesio ini adalah seorang Hwesio gendut yang dikenal sebagai Siauw-bin-hud! Hwesio tua ini adalah paman guru dari Thian He Hwesio dan tiga orang sutenya yang menjadi pimpinan kuil. Merupakan satu-satunya Hwesio yang masih hidup dari tingkatannya.
Menurut perkiraan para ketua itu, tentu usia susiok (paman guru) mereka itu tidak kurang dari delapan puluh tahun. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, seminggu yang lalu, paman mereka itu tahu-tahu sudah duduk bersila di ruangan belakang dan kepada Hwesio yang bertugas di situ minta agar disediakan air hangat untuk mencuci muka dan bubur untuk sarapan pagi. Mereka semua segera berkumpul dan memberi hormat kepada susiok mereka. Kemudian Siauw-bin-hud ini memang mengejutkan sekali. Biasanya, para murid Siauw-lim-pai hanya tahu bahwa di sebuah ruangan tertutup terdapat seorang Hwesio tua yang duduk bertapa. Ruangan ini terkunci dan tak seorangpun boleh memasukinya, kecuali petugas yang setiap hari meninggalkan makanan dan air minum ke dalam ruangan itu.
Yang kelihatan hanya punggung Kakek itu yang menghadap dinding. Dan kini, setelah dua puluh tahun bertapa di dalam ruangan itu, Siauw-bin-hud keluar dari tempat pertapaannya dan yang amat mengherankan, tubuhnya masih gendut bulat, padahal makannya hanya sekedarnya saja. Dan senyumnya yang ramah itu masih tak pernah meninggalkan mukanya yang bulat. Tentu saja berita aneh ini bocor keluar dinding kuil, dari mulut para Hwesio yang sedang bertugas di luar dan bertemu dengan penduduk di luar kuil. Dan secara luar biasa sekali, berita tentang munculnya Siauw-bin-hud yang sudah dua puluh tahun bertapa itu dengan amat cepatnya tersiar ke dunia kang-ouw. Dan pada pagi hari itu, hanya sepekan kemudian, nampak beberapa orang datang menuju ke kuil Siauw-lim-si, mendaki bukit dari berbagai jurusan.
Seperti sudah dijanjikan lebih dulu saja, pada waktu yang bersamaan, di pekarangan luar pintu gerbang kuil Siauw-lim-si kini berkumpul beberapa orang yang terdiri dari beberapa rombongan. Rombongan pertama adalah Nam San Losu, ketua kuil dekat puncak bukit mata air Sikiang atau yang dikenal pula dengan nama Sungai Mutiara. Kakek tinggi besar muka hitam ini walaupun sudah berusia enam puluh enam tahun, masih dapat melakukan perjalanan cepat dan dapat mendaki bukit menuju ke puncak kuil Siauw-lim-si tanpa banyak kesukaran. Dia ditemani oleh seorang sutenya dan juga oleh seorang anak laki-laki berusia tigabelas tahun. Seorang anak laki-laki yang berpakaian sederhana seperti anak petani, wajahnya membayangkan kegagahan dan keberanian, tubuhnya tegap dan sikapnya gagah.
Terutama sekali sepasang mata yang tajam itu, dengan hiasan alis yang tajam tebal, membuat anak ini walaupun sederhana dan seperti anak petani, namun nampak bukan anak sembarangan. Anak ini adalah Tan Ci Kong. Seperti kita ketahui, enam tahun yang lalu Tan Ci Kong, putera tunggal mendiang Tan Seng atau Tan Siucai, oleh paman angkatnya, Sie Kian yang tinggal di Nan-ning, diantar kepada Nam San Losu dan diterima sebagai murid oleh ketua kuil itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Nam San Losu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi ketua kuil Budha di bukit mata air Si-kiang itu. Rombongan ke dua adalah seorang Kakek kurus berbaju tambal-tambalan seperti seorang pengemis, akan tetapi pakaiannya yang penuh tambalan itu bersih, juga mukanya yang penuh cambang bauk itu nampak bersih.
Dengan matanya yang sipit dan mulutnya yang selalu senyum-senyum, Kakek ini nampak lucu. Dia ditemani oleh seorang anak perempuan yang berusia sebelas tahun, seorang anak yang bermata lebar dan tajam penuh keberanian memandang ke sekelilingnya. Anak perempuan ini adalah Siauw Lian Hong dan Kakek itu bukan lain adalah Bubeng San-kai, Kakek yang telah menolongnya dari kebakaran dan yang kemudian menjadi Kakeknya, juga gurunya, juga satu-satunya orang di dunia ini yang dekat dengan anak yatim piatu itu. Rombongan ke tiga terdiri dari lima orang, dipimpin oleh seorang Kakek berusia enam puluh tahun, yang tinggi kurus dan gagah perkasa akan tetapi agak angkuh sikapnya, bersama empat orang yang usianya beberapa tahun lebih muda darinya.
Lima orang laki-laki ini semua bersikap gagah dan di dada mereka nampak lukisan gambar Im-yang, yaitu bulatan yang terbagi dua dengan warna hitam dan putih sebagai tanda Im-yang, dua sifat yang saling bertentangan, juga saling berkaitan, dua sifat yang menggerakkan, menciptakan dan mengadakan segala yang ada di dunia ini. Dari pakaiannya ini mudah diduga siapa mereka, yaitu tokoh-tokoh perkumpulan Thian-te-pai yang terkenal. Di antara mereka terdapat pula Lui Siok Ek, murid kepala Thian-te-pai yang pernah memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu. Rombongan ke empat adalah tiga orang yang berpakaian perwira tinggi, di antara mereka nampak Tang Kui, raksasa yang pernah menyamar sebagai petani dan yang pada enam tahun yang lalu pernah pula memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam.
Dua orang yang lain adalah dua perwira yang kedudukannya lebih tinggi dan ilmu silatnya jauh lebih lihai dari pada Tang Kui, terutama sekali Kakek yang bertubuh kecil pendek itu, yang berjenggot panjang dan baju seragamnya agak kebesaran dan kedodoran. Kelihatannya lucu dan tidak ada apa-apanya, akan tetapi dialah Pouw Ciangkun, seorang komandan pengawal pribadi Kaisar yang amat tangguh dan terkenal karena ilmu kepandaiannya yang tinggi. Rombongan ke lima terdiri dari seorang Kakek tinggi besar bermuka merah yang pakaiannya mewah sekali, bersikap angkuh, yang diikuti oleh tujuh orang pemuda antara berusia dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Tujuh orang pemuda ini rata-rata bermuka tampan. Bahkan pesolek seperti wanita, dengan pakaian yang indah-indah. Biarpun Kakek itu hanya seperti seorang hartawan besar,
Akan tetapi rombongan lain yang melihatnya nampak terkejut dan gelisah. Hal ini tidaklah mengherankan karena Kakek bermuka merah ini terkenal sekali sebagai seorang datuk kau m sesat yang amat ditakuti orang. Kakek ini pernah merajalela di dunia persilatan sebagai seorang tokoh sesat dan akhirnya setelah berhasil menjadi orang yang amat kaya raya, lalu mengundurkan diri dan kabarnya tinggal di sebuah pulau di Lautan Kuning, dinamakan Pulau Layar karena bentuknya dari jauh seperti layar sebuah perahu. Di pulau inilah dia tinggal sebagai seorang raja, bersama para pelayan dan pembantunya, juga murid-muridnya. Akan tetapi semenjak tinggal di pulau itu, Tang Kok Bu ini dijuluki orang Hai-tok (Racun Lautan), tidak pernah muncul di dunia kang-ouw walaupun kau m sesat masih menganggapnya sebagai seorang datuk mereka yang ditakuti.
Lima rombongan ini hanya saling pandang dengan heran karena tanpa berjanji mereka pada pagi hari itu berkumpul di depan pintu gerbang Siauw-lim-si. Biarpun tidak saling bicara, mereka semua diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka itu mengandung maksud yang sama, yaitu tentu ada hubungannya dengan keluarnya Siauw-bin-hud dari tempat pertapaannya seperti yang menjadi berita hangat di dunia kang-ouw, dan ada hubungannya dengan Giok-liong-kiam! Akan tetapi agaknya maksud kedatangan Nam San Losu, sutenya dan muridnya tidak sama dengan maksud kedatangan rombongan lain. Nam San Losu bersama sutenya dan Tan Ci Kong sudah berlutut di depan pintu gerbang dan Kakek itu berseru dengan suara halus namun mengandung tenaga khikang sehingga menggema ke dalam pintu gerbang.
"Murid Nam San datang berkunjung untuk memberi hormat kepada para Suhu!" Mendengar seruan ini, tak lama kemudian beberapa orang Hwesio membuka pintu gerbang. Tentu saja sebagai ahli-ahli silat pandai, para Hwesio di dalam kuil sudah tahu akan kedatangan banyak orang di depan pintu gerbang itu. Dua orang Hwesio menyambut Nam San Losu dengan sikap hormat.
"Kiranya Nam San suheng dan Nam Thi suheng yang datang berkunjung!" kata dua orang Hwesio tua yang membuka pintu gerbang itu.
"Kami mendengar bahwa susiok Siauw-bin-hud telah keluar dari tempat pertapaannya, dan kami mohon dapat menghadap beliau," kata pula Nam San Losu. Mendengar ini, dua orang Hwesio penyambut itu lalu mempersilahkannya masuk. Pada saat itu muncullah seorang Hwesio yang pendek kecil berusia enam puluh lima tahun lebih, dari dalam dan melihat Hwesio yang pendek kecil dan kelihatan lemah ini, Nam San Losu cepat menjura dengan sikap hormat.
"Thian Tek suheng, terimalah hormat pinceng." Si pendek kecil itu membalas penghormatan tamu dari selatan itu.
"Ah, kiranya Nam San sute yang datang berkunjung. Silahkan, sute, toa-suheng dan juga susiok berada di ruangan belakang." Setelah mempersilahkan tamu yang masih keluarga Siauw-lim-si sendiri itu masuk, Thian Tek Hwesio lalu keluar dan berdiri di ambang pintu gerbang menghadapi para rombongan lain. Nam San Losu diikuti oleh Nam Thi Hwesio , juga Ci Kong, lalu masuk ke dalam. Ci Kong membuka mata lebar-lebar untuk memperhatikan segala yang nampakdi dalam kuil besar ini. Sudah banyak dia mendengar penuturan gurunya tentang kuil Siauw-lim-si, dan kini dia melihat kenyataan betapa kuil itu memang jauh lebih luas dan besar dibandingkan kuil di selatan, di mana dia hidup selama enam tahun mempelajari ilmu-ilmu dari gurunya.
Juga dia mendengar penuturan gurunya dan para paman gurunya tentang Kakek Siauw-bin-hud yang amat mengagumkan hatinya. Bukan hanya karena Kakek itu baru saja keluar setelah bertapa selama dua puluh tahun lebih, juga bahwa menurut Suhunya Kakek itu memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi juga dia kagum mendengar betapa Kakek itu namanya telah menggemparkan seluruh dunia persilatan karena dikabarkan telah merampas Giok-liong-kiam yang menjadi barang pusaka yang diperebutkan oleh para tokoh persilatan. Karena itu, hatinya girang sekali ketika gurunya mengajak dia untuk pergi mengunjungi Siauw-lim-si. Ketika mereka memasuki kuil, para Hwesio di kuil itu yang semua mengenal Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio , menyambut mereka dengan ramah dan seorang di antara mereka mengantar tiga orang tamu itu ke ruangan belakang yang lebar.
Di dalam ruangan itu telah duduk seorang Hwesio yang tua dan gendut sekali, demikian gendutnya sampai nampak bulat. Jubahnya kuning menutupi semua tubuh dan sepatunya dari kain, juga sudah agak butut seperti jubahnya. Yang menarik para Hwesio ini adalah wajahnya yang selalu tersenyum itu sehingga wajah itu nampak demikian ramah dan mencerminkan watak yang halus dan budiman. Sinar matanya juga lembut dan sinar mata itu begitu penuh pengertian dan agaknya tidak ada apapun yang akan Kakek ini merasa heran. Sukarlah mengira-ngirakan berapa usia Kakek ini, karena walaupun sikapnya memperlihatkan usia yang sudah amat tua, namun wajahnya yang bulat itu tidak dihiasi keriput karena gendutnya.
Di depan Kakek gendut ini duduk bersila pula tiga orang Hwesio , yaitu Thian He Hwesio , Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio , tiga di antara empat orang pengurus atau ketua Siauw-lim-si di waktu itu karena orang ketiga, Thian Tek Hwesio , sedang keluar menyambut para tamu. Begitu melihat Hwesio gendut itu, diam-diam Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio merasa kagum dan terheran-heran. Dua puluh tahun lebih yang lalu, mereka pernah bertemu dengan paman guru mereka ini, dan sekarang, setelah dua puluh tahun lebih lewat, agaknya Kakek gendut itu masih sama saja, sedikitpun tidak nampak perobahan! Setelah tiba di ruangan itu, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Kakek gendut, diikuti pula dari belakang oleh Ci Kong.
"Susiok, terimalah hormat dari teecu" kata Nam San Losu dengan sikap hormat.
"Susiok...!" Nam Thi Hwesio juga memberi hormat dengan berlutut. Ci Kong hanya berlutut saja tanpa mengeluarkan suara, hatinya gentar dan juga kagum. Hwesio gendut itu menoleh dan senyumnya melebar ketika dia melihat dua orang Hwesio itu.
"Aha, bukankah kalian ini Nam San dan Nam Thi? Bagus sekali! Bagaimana kabarnya di selatan? baik-baik sajakah?" Dua orang Hwesio dari selatan itu menghaturkan terima kasih, kemudian barulah mereka memberi hormat kepada tiga orang suheng mereka sebagai tuan rumah. Thian He Hwesio membalas penghormatan itu.
"Sute, jauh-jauh sute datang dari selatan, apakah ada keperluan khusus untuk dibicarakan?"
"Suheng, pertama-tama karena sudah lama kami tidak berkunjung dan merasa rindu, maka kesempatan ini kami pergunakan untuk berkunjung ke Siauw-lim-si. Kedua kalinya, karena mendengar berita bahwa susiok telah keluar dari tempat pertapaan, maka kami ingin sekali menghadap dan mohon petunjuk, dan ketiga kalinya, kamipun mendengar berita ribut-ribut tentang Giok-liong-kiam, maka kami ingin sekali mendengar bagaimana sebenarnya hal yang telah terjadi karena ini menyangkut nama Siauw-lim-pai."
"Ahhh...!" Thian He Hwesio menarik napas panjang.
"Justeru urusan itulah yang kini sedang kita bicarakan. Sudah selama enam tahun kami di Siauw-lim-si selalu didatangi orang yang secara halus maupun kasar menyindirkan bahwa Giok-liong-kiam kita rampas dan kita sembunyikan. Karena pada waktu itu susiok masih bertapa, kami tidak berani menganggu. Dan sekarang, menurut susiok, beliau sama sekali tidak tahu akan pedang Giok-liong-kiam itu. Bukankah ini membuat orang merasa menyesal bukan main?"
JILID 05
"Ha-ha-ha-ha...!" Kakek gendut itu tertawa bergelak sampai seluruh tubuhnya bergoyang-goyang. Diam-diam Ci Kong mengangkat mukanya memandang dengan heran. Kakekitu tertawa begitu polos, tidak dibuat-buat seperti orang yang merasa geli mendengarkan sesuatu yang lucu. Padahal, dia sendiri tidak melihat atau mendengar sesuatu yang lucu menggelikan. Apa sih yang ditertawakan oleh Kakek gendut aneh itu, pikirnya heran. Akan tetapi lima orang Hwesio tua yang berlutut di situ tidak merasa heran dan mereka hanya menanti saja dengan sabar sampai susiok mereka menghentikan ketawanya.
"Ha-ha-ha, Thian He, apakah sampai sekarang engkau masih juga berpikiran seperti kanak-kanak? Segala macam urusan yang terjadi di dunia ini, baik yang menyerempet diri kita maupun yang bukan, adalah peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang tak dapat dibantah lagi, dan bagaimanapun juga, semua itu sumbernya terletak pada diri sendiri. Menyesal atau tidak menghadapinya, terserah kepada kita. Apakah hanya dengan penyesalan saja segala urusan dapat diselesaikan? Tidak, sebaliknya malah. Penyesalan mendatangkan kemarahan dan dendam, dan semua itu malah mengacaukan urusan karena mengeruhkan batin. Jelaslah bahwa ada orang yang memalsukan namaku untuk merampas pedang pusaka. Buakankah demikian persoalannya?"
"Benar, susiok. Enam tahun yang lalu, pedang pusaka Giok-liong-kiam yang tadinya disimpan oleh Thian-te-pai sebagai pedang pusaka, lenyap dicuri orang. Dunia kang-ouw menjadi gempar dan semua orang merasa berhak untuk mencari dan memiliki pedang yang sudah terlepas dari tangan Thian-te-pai itu dan terjadilah perebutan. Kemudian, berita terakhir mengatakan bahwa susiok yang telah merampas pedang itu. Nah, bukankah hal ini amat membuat hati penasaran, apa lagi kalau susiok sendiri telah mengatakan bahwa susiok sama sekali tidak tahu tentang pedang itu, apa lagi merampasnya? Orang memalsu nama susiok, mana hal itu dapat dikatakan bersumber pada diri kita sendiri?" Thian He Hwesio , ketua Siauw-lim-si itu membantah sambil mengerutkan alisnya, bagaimanapun juga merasa tidak enak dikatakan masih kekanak-kanakan oleh susioknya di depan para sutenya.
"Ha-ha-ha, mari kita diam sejenak menjernihkan batin agar kita dapat menghadapi kenyataan dengan waspada dan tidak dipengaruhi oleh nafsu-nafsu yang mengeruhkan hati," kata Kakek gendut itu yang lalu memejamkan kedua matanya. Lima orang Hwesio itupun lalu bersila dan memejamkan mata, memangku kedua tangan. Ci Kong yang melihat ini maklum bahwa Suhunya dan yang lain-lain sedang bersamadhi agar batin menjadi kosong. Dia duduk bersila dan memandang semua itu dengan heran. Tak lama kemudian Kakek gendut membuka matanya dan tertawa, membuat yang lain juga membuka mata.
"kalian renungkan baik-baik. Andaikata di dunia ini tidak ada Siauw-bin-hud, andaikata Siauw-lim-pai bukan merupakan partai persilatan yang dianggap kuat, apakah ada orang yang mau jahil memalsu namaku dan Siauw-lim-pai? Nah, sumber semua peristiwa ini didasari keadaanku dan keadaan Siauw-lim-pai, bukan? Jadi sumbernya berada dalam diri sendiri. Berbahagialah orang yang sama sekali tidak ada nama dan tidak dikenal, berbahagialah orang-orang yang berada di tempat paling bawah sehingga tidak nampak menonjol."
"Omitohud, baru sekarang teecu dapat melihat kebenaran ucapan susiok. Memang, dengan penyesalan dan kemarahan kita tidak akan dapat mengatasi masalah, bahkan mengeruhkan batin. Akan tetapi, maaf, susiok, apakah dengan berdiam diri saja masalahnya juga dapat teratasi? Semua orang kang-ouw tentu akan menuduh kita yang menyembunyikan pedang pusaka itu," kata pula Thian He Hwesio .
"Bhkan kini di luar telah datang banyak orang yang menurut dugaan teecu sudah pasti ada urusannya dengan Giok-liong-kiam," sambung Thian Ki Hwesio yang lebih mengenal keadaan dunia luar kuil karena dialah yang menjadi ketua yang bertugas menghadapi semua urusan di luar kuil. Dengan wajah masih tersenyum ramah dan pandang mata sama sekali tidak memancarkan emosi batin, Kakek gendut itu berkata,
"Menghadapi urusan dengan nafsu amatlah tidak benar, akan tetapi menghadapinya dengan acuh juga tidak dapat membereskan urusan. Kita harus menghadapi segala macam peristiwa dengan waspada dan dengan kewaspadaan akan timbul kebijaksanaan dalam bertindak. Omitohud..." Kakek itu kini memandang ke arah Ci Kong dengan sinar mata berseri penuh kagum. Anak itu sedang memandang kepada Siauw-bin-hud dengan sinar mata mencorong seperti mata anak harimau, dan ketika Kakek itu menerima pandang matanya, mereka saling tatap sejenak dan terkagumlah hati Kakek itu.
"Siapakah anak itu?" tanya Siauw-bin-hud tanpa melepaskan pandang matanya ke arah Ci Kong.
"Maaf, susiok, teecu tadi sampai lupa melaporkan. Anak ini bernama Tan Ci Kong dan sejak kurang lebih enam tahun yang lalu menjadi murid teecu. Dia sudah yatim piatu dan Ayahnya seorang siucai yang tewas karena madat..."
"Hemm, demikian hebatkah benda beracun itu kini merajalela?" Kakek gendut bertanya dan masih terus memandang ke arah Ci Kong.
"Ayahnya bukan seorang pemadatan, susiok. Sebaliknya malah, Ayahnya seorang siucai yang gagah perkasa dan menentang peredaran madat. Dia menentangnya dengan tulisan-tulisan sehingga menyeretnya ke dalam kesukaran. Akan tetapi sampai saat terakhir, sebelum tewas dalam tahanan, Tan siucai masih menyebar tulisan-tulisan yang menentang madat, mengecam pemerintah dan memperingatkan rakyat akan bahayanya menghisap madat. Dia tewas dan karena putera tunggalnya ini tidak lagi mempunyai sanak keluarga, teecu lalu mengambilnya sebagai murid dan berdiam di kuil teecu."
"Hebat... hebat...!" Kakek gendut itu mengusap perutnya dan memandang dengan kagum. Entah siapa yang dipujinya, mendiang Tan Siucai ataukah puteranya itu. Akan tetapi, pandang matanya yang tadinya lembut itu kini mencorong tajam dan dia menemukan bahan yang amat baik pada diri anak berusia tigabelas tahun itu. Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kuil dan seorang Hwesio tergesa-gesa masuk ke ruangan itu dan melaporkan bahwa di luar banyak tamu secara paksa minta bertemu dengan Siauw-bin-hud. Thian Tek Hwesio berusaha mencegah mereka, akan tetapi mereka menjadi ribut dan hendak memaksa masuk.
"Hemm, sungguh tak tahu diri mereka itu!" kata Thian He Hwesio dan sekali menggerakkan tubuh, dia sudah berkelebat keluar dari ruangan itu diikuti pula oleh Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio . Siauw-bin-hud agaknya tidak memperdulikan semua itu dan dia melambaikan tangan kepada Ci Kong yang tidak ikut keluar. Di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua saja. Melihat betapa Kakek itu melambaikan tangan, Ci Kong lalu bangkit dan menghampiri Kakek itu lalu duduk bersila di depannya, menatap wajah Kakek itu tanpa takut-takut. Siapa akan merasa takut terhadap seorang Kakek gendut yang tersenyum-senyum begitu ramahnya. Siauw-bin-hud tidak bicara apa-apa, akan tetapi kedua tangannya meraba-raba tubuh Ci Kong, dari ujung kepala sampai ke kaki, memijat-mijat dan menekan-nekan dan tiada hentinya dia mengeluarkan suara ketawa kecil.
"Aha, sudah kuduga... hmmm, hebat memang..." Ci Kong tidak tahu apa yang dimaksudkan Kakek itu, akan tetapi dia telah mempelajari ilmu silat selama enam tahun dan diapun dapat menduga bahwa rabaan-rabaan itu tentulah merupakan semacam ujian bagi Kakek itu untuk mengetahui kemajuan dalam hal latihan silat. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Thian He Hwesio , ketua Siauw-lim-pai. Biasanya Kakek ini kalau bicara halus biarpun tegas, akan tetapi sekali ini suaranya keras dan agak kasar tanda bahwa dia sedang dilanda kemarahan.
"Cu-wi (anda sekalian) adalah orang-orang terhormat, mengapa bersikap begini kerdil? Sudah pinceng katakan bahwa susiok masih perlu beristirahat dan belum siap menerima kunjungan tamu, mengapa Cu-
wi memaksa? Sekali lagi kami tekankan bahwa susiok dan kami semua tidak tahu menahu tentang Giok-liong-kiam dan Cu-wi harus tahu bahwa Siauw-lim-pai tidak pernah membohong!" Kini terdengar suara-suara "Duk-duk-duk!" seperti ada benda yang amat berat dipukul-pukul di atas tanah, lalu disambung suara yang mengandung kekuatan khikang yang hebat.
"Hemm aku datang untuk bertemu dengan Siauw-bin-hud seorang, dan tidak ingin berurusan dengan Siauw-lim-pai. Siauw-bin-hud sudah keluar dari tempat persembunyiannya, apakah dia masih takut bertemu orang?" Mendengar suara ini, tiba-tiba Siauw-bin-hud yang masih meraba-raba kepala Ci Kong, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, apakah itu bukan suara Hai-tok yang terdengar begitu keras?" Suaranya lirih saja, akan tetapi agaknya terdengar dari luar karena suara di luar tiba-tiba terhenti dan sunyi. Kemudian terdengar kembali suara Hai-tok, sekali ini suaranya mengandung kehalusan, seperti orang menghormat.
"Siauw-bin-hud, aku orang she Tang memang ingin bertemu denganmu. Silahkan keluar!" Mendengar ini, kembali Siauw-bin-hud tertawa dan diapun bangkit sambil menggandeng tangan Ci Kong.
"Mari, anak baik... eh, siapa namamu tadi?"
"Nama saya Tan Ci Kong, Susiok-Couw!" kata Ci Kong dengan sikap hormat. Memang selama enam tahun tinggal di kuil bersama Nam San Losu, dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu sastera sehingga dia mengenal tata susila seperti seorang terpelajar.
Kini Kakek gendut dan anak laki-laki itu bergandengan tangan berjalan keluar, menyusul lima orang Hwesio yang tadi keluar untuk menemui para tamu. Sebagai saudara-saudara seperguruan, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio tadi juga ikut keluar menyusul tiga orang suheng mereka. Empat orang Hwesio itu segera minggir memberi jalan ketika mereka melihat susiok mereka muncul keluar, menuntun Ci Kong. Dan semua mata para tamu itupun kini ditujukan kepada Hwesio gendut itu yang tersenyum-senyum ramah, menyapu semua tamu dengan pandang matanya. Setelah berhadapan dengan mereka, Hwesio gendut itu tertawa, suara ketawanya lepas dan tidak terkendali, keluar dari perutnya dan terdengar ramah menyenangkan, seperti suara ketawa orang yang kegirangan.
"Heh-Heh-heh, setelah dua puluh tahun lebih menyendiri, tetap saja tidak dapat bebas dari urusan dengan orang-orang lain. Ha-ha, jelaslah kini bahwa tidak mungkin hidup sendirian saja, hidup berarti antar hubungan, baik dengan manusia lain, dengan mahluk lain, dengan benda maupun pikiran sendiri... Tak salah... Tak salah..." Dia pasang mata menatap Kakek gendut itu penuh perhatian, penuh selidik. Mereka adalah Tang Kui, perwira istana yang bertubuh tinggi besar itu dan Lui Siok Ek, tokoh Thian-te-pai.
Dua orang inilah yang pada enam tahun yang lalu pernah ikut memperebutkan Giok-liong-kiam dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa pedang pusaka itu lenyap bersama munculnya Kakek gendut yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud. Dan mereka berdua berani bersumpah bahwa orang yang mereka temui enam tahun yang lalu adalah Kakek gendut yang kini berhadapan dengan mereka walaupun tokoh Thian-te-pai Lui Siok Ek melihat sesuatu yang diam-diam membuat dia meragu. Ada perbedaan dalam sinar mata Kakek ini dengan Kakek enam tahun yang lalu. Dia melihat sinar mata mencorong hebat dari Kakek yang dahulu, sedangkan sinar mata Kakek ini demikian lembut dan penuh pengertian. Betapapun juga, kecuali perbedaan pada sinar mata ini, hampir segalanya Kakek ini tiada bedanya dengan Kakek yang muncul dalam perebutan Giok-liong-kiam enam tahun yang lalu.
Gundulnya, gendut bulatnya, jubah kuning sampai sepatunya... dan kembali Lui Siok Ek tertegun. Sepatunya memang sama, sepatu kain, akan tetapi telapak sepatu Kakek yang dahulu itu berlapis besi. Ini dia ingat benar, sedangkan telapak sepatu Kakek ini tetap dari kain lunak. Akan tetapi, sinar mata yang berbeda itu mungkin saja menunjukkan kemajuan batin Kakek itu selama enam tahun ini, dan tentang telapak sepatu, ah, bisa saja Kakek itu kini tidak membubuhkan lapisan besi karena tidak sedang melakukan perjalanan jauh. Dia bisa keliru akan tetapi tetap saja ada keraguan dalam hatinya. Akan tetapi perwira Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu dan begitu melihat Siauw-bin-hud muncul, langsung saja dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Kakek gundul itu dan berkata dengan suara lantang,
"Dia inilah yang dahulu merampas Giok-liong-kiam!" Siauw-bin-hud memandang kepada Tang Kui sambil tersenyum. Pandang matanya sama sekali tidak marah, melainkan penuh kesabaran seperti seorang Kakek yang baik melihat kenakalan cucunya.
"Si-cu (orang gagah), apakah engkau melihat sendiri pinceng merampas pusaka itu?" tanyanya halus. Tang kui cemberut dan mukanya menjadi merah karena marah. Dia adalah seorang yang jujur dan kasar, dan tidak suka berpura-pura.
"Locianpwe adalah seorang pendeta yang dihormati, mengapa masih berpura-pura seperti anak kecil? Enam tahun yang lalu, begitu bertemu Locinpwe sudah mengenal aku sebagai Tang Kui, perwira pengawal istana!" Kakek itu tersenyum lebar, juga matanya lebar.
"Ahhh, betapa anehnya. Bahkan dalam mimpipun pinceng belum pernah jumpa dengan Ciangkun, sama tidak pernahnya pinceng mendengar apa lagi melihat pusaka yang bernama Giok-liong-kiam."
"Aku belum gila untuk menuduh Locianpwe yang bukan-bukan. Akan tetapi dia itu dahulupun pernah menjadi saksi!" Tang Kui menunjuk ke arah Lui Siok Ek dan kini semua mata memandang ke arah tokoh Thian-te-pai itu. Lui Siok Ek sedang berdiri bingung. Memang dia melihat perbedaan, dan juga suara ketawa Kakek gendut ini sama sekali tidak mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantung seperti Kakek enam tahun yang lalu, walaupun dalam suara Kakek ini terasa pula adanya tenaga yang amat kuat. Kini, dituding secara tiba-tiba oleh Tang Kui, dia menjadi gugup dan melihat betapa semua orang memandang kepadanya, diapun mengangguk.
"Memang benar, Locianpwe Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai yang telah mengambil Giok-liong-kiam ketika terjadi perebutan di antara kami."
"Aha, sudah dua orang yang menjadi saksi mata! Wah, ini berat jadinya untukku!" kata Kakek gendut.
"Kalau saja pinceng tidak yakin benar bahwa pinceng selama dua puluh tahun bertapa dalam ruangan, tentu pinceng mulai tidak yakin kepada diri sendiri! Akan tetapi, pinceng sudah menyelidiki diri sendiri dan tidak pernah pinceng meninggalkan ruangan, jadi, tidak mungkin mengambil pusaka. Eh, apakah jiwi-sicu melihat sendiri pinceng mengambil pedang itu?" Lui Siok Ek mengerutkan alisnya. Seperti juga Tang Kui, ketika enam tahun yang lalu dia berhadapan dengan Siauw-bin-hud, Kakek ini sudah mengenalnya, akan tetapi kini agaknya tidak mengenalnya.
"Kami tidak melihat sendiri. Kami berlima sedang memperebutkan pusaka itu. Giok-liong-kiam terlempar ke udara dan meleset ke arah di mana kami menemukan Locianpwe duduk bersamadhi. Siapa lagi kalau bukan Locianpwe yang mengambilnya?"
"Duk-duk-dukk!" Semua orang kembali terkejut karena ketika Kakek tinggi besar muka merah itu menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah, maka tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar dan terdengar suara keras seperti benda berat yang dipukul-pukulkan itu, bukan ujung sebatang tongkat emas yang tidak begitu besar. Dari ketukan tongkat ini saja sudah dapat dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di dalam lengan tangan yang besar itu. Dan memang nama Hai-tok (racun lautan) Tang Kok Bu sudah terkenal di seluruh dunia persilatan, maka semua orang memandang kepadanya dengan agak gentar.
"Aku tahu bahwa Siauw-bin-hud bukanlah seorang pengecut, melainkan seorang datuk persilatan yang besar namanya. Tidak perlu banyak cakap lagi tentang urusan tetek bengek. Yang jelas, Siauw-bin-hud telah memiliki Giok-liong-kiam melalui ilmu kepandaiannya yang hebat sehingga dia mampu mengambil pusaka itu tanpa diketahui orang lain. Dalam dunia persilatan memang ada peraturan bahwa siapa menang, dia berhak meraih pahalanya. Enam tahun yang lalu dia menang, dan kini setelah dia keluar, aku orang she Tang mohon diberi kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang telah menguasai Giok-liong-kiam. Kalau aku kalah, sudahlah, aku tidak akan banyak ribut lagi tentang pusaka itu."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud berkata lirih akan tetapi masih tersenyum lebar dan sabar.
"Hai-tok makin tua semakin keras saja. Apakah orang seperti engkau ini tidak mau menerima penjelasan orang seperti aku bahwa pinceng sungguh tidak pernah melihat Giok-liong-kiam, apa lagi memilikinya?"
"Aku tidak pernah menuduh, hanya mendengarkan berita di luaran dan kini ada dua orang saksi mata. Mungkin mereka benar, mungkin pula engkau yang benar, siapa tahu akan kebenaran yang sesungguhnya? Yang penting, mari kita menguji kepandaian. Kalau aku kalah, sudahlah, aku akan minta maaf dan akan pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan Giok-liong-kiam kepadaku."
"Wah, wah, wah, tulang-tulangku sudah tua ini bernasib sial hendak menerima gebukan orang Hai-tok, bagaimana kalau aku kalah akan tetapi aku tidak memiliki pusaka itu untuk dapat diserahkan kepadamu?"
"Dunia kang-ouw mempunyai bukti-bukti bahwa engkau yang merampasnya, maka engkau harus dapat pula membuktikan bahwa bukan engkau perampasnya!"
"Ha-ha-ha, dengan lain kata, engkau menghendaki aku mencari perampasnya yang agaknya mempergunakan namaku?"
"Begitulah dan bersiaplah, Siauw-bin-hud!"
"Nanti dulu. Tamulu bukan hanya engkau seorang, melainkan masih ada beberapa orang lagi. kau tunda dulu niatmu, Hai-tok, aku ingin bertanya kepada yang lain-lain." Lalu Kakek gendut itu dengan sikap tenang, sabar dan peramah memalingkan mukanya kepada rombongan perwira istana yang dipimpin oleh Pouw Gun atau Pouw Ciangkun itu.
"Cu-wi sekalian ini apa juga datang untuk urusan pusaka yang hilang itu?" Pouw Gun menjura dengan sikap tegas dan hormat. Sebagai seorang perwira tinggi, sikapnya tegas dan berwibawa, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi diapun menghormati angkatan yang lebih tua seperti Siauw-bin-hud.
"Locianpwe, saya Pouw Gun bersama beberapa orang teman datang sebagai utusan Sri Baginda Kaisar. Karena seorang di antara saudara muda kami, yaitu Tang Kui, pernah mendapatkan Giok-liong-kiam yang kemudian dirampas oleh Locianpwe, maka kami atas nama Sri Baginda Kaisar mohon dengan hormat agar Locianpwe menyerahkannya kepada kami."
"Heh-heh, semua orang minta pusaka itu dariku. Aneh! Ciangkun, kalau Cu-wi menjunjung perintah Sri Baginda Kaisar, tentu membawa surat perintah." Wajah panglima yang bertubuh kecil itu menjadi merah.
"Maaf, Locianpwe, selama enam tahun ini, Siauw-lim-pai tidak mengakui tentang Giok-liong-kiam, oleh karena itu, urusan ini menjadi urusan pribadi. Kami ditugaskan untuk mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Andaikata kami harus berurusan dengan Siauw-lim-si, tentu kami akan membawa surat perintah. Akan tetapi karena Siauw-lim-si tidak mengakui, dank arena ada saudara kami yang melihat sendiri bahwa pusaka itu... oleh Locianpwe..."
"Ha-ha, Pouw-Ciangkun, jelaskan saja apa yang hendak kau lakukan sekarang," Kakek gendut itu memotong dengan suara kasihan melihat kegugupan perwira itu.
"Seperti saya katakan tadi, kami mohon dengan hormat agar Locianpwe suka menyerahkan pusaka itu kepada kami, demi nama Sri Baginda Kaisar."
"Kalau pinceng tidak dapat memberikannya bagaimana Ciangkun?"
"Terpaksa saya melupakan kebodohan sendiri mohon petunjuk dari Locianpwe."
"Aha! Menantang lagi! Kiranya engkau tidak sendirian dalam hal berkeras kepala untuk memukuli badanku yang sudah tua, Hai-tok. Baiklah, kau tunggu dulu, Ciangkun, aku akan bertanya kepada rombongan lain." Kakek itu tanpa menanti jawaban lalu menghadapi rombongan Thian-te-pai yang berdiri berbaris dengan sikap gagah.
"Cu-wi tentu utusan perkumpulan Thian-te-pai," katanya ramah sambil memandang ke arah dada orang-orang itu.
"Lalu apa kehendak Cu-wi datang mencari aku orang tua?" Coa Bhok yang gagah dan angkuh melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud.
"Saya Coa Bhok sebagai wakil ketua Thian-te-pai, mewakili perkumpulan kami untuk memohon kebijaksanaan Locianpwe Siauw-bin-hud. Pusaka Giok-liong-kiam sejak dahulu menjadi pusaka perkumpulan kami, bahkan menjadi lambang kebesaran perkumpulan Thian-te-pai kami. Enam tahun lebih yang lalu, pusaka kami itu lenyap dicuri orang dan setelah itu timbullah perebutan di antara orang-orang kang-ouw untuk mencari dan merampasnya. Sute kami Lui Siok Ek ini pada enam tahun yang lalu hampir berhasil merebut kembali pusaka kami itu, akan tetapi menurut keterangannya tadi, pusaka itu oleh Locianpwe dirampas. Karena selama enam tahun ini Locianpwe berada dalam pertapaan, kami segan untuk berurusan dengan Siauw-lim-si dan mendengar Locianpwe telah keluar, kami memberanikan diri untuk datang menghadap dan minta kembali pusaka yang disimpankan oleh Locianpwe itu.?" Ucapan wakil ketua Thian-te-pai ini tegas, jelas dan menghormat. Biarpun mulutnya masih tersenyum, akan tetapi Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Sayang sekali, andaikata pinceng benar-benar menemukan pusaka yang hilang itu, dengan hati senang dan rela tentu akan pinceng serahkan kepada Cu-wi. Akan tetapi bagaimana kalau pinceng tidak tahu tentang pusaka itu?"
"Karena ada saksi-saksi mata, ke mana kami harus mencari kecuali pada Locianpwe? Dan andaikata benar ada yang memalsukan nama Locianpwe, hal itu adalah urusan Locianpwe pribadi dengan pemalsu itu."
"Aha, dengan arti lain, Cu-wi hendak memaksaku untuk mendapatkan pusaka itu dan mengembalikan kepada Thia-te-pai?"
"Begitulah!"
"Wah-wah-wah, runyam sekali ini!" Siauw-bin-hud mengelus kepala Ci Kong yang masih berdiri di dekatnya. Dia heran melihat anak itu mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar marah.
"Eh, kau kenapa, anak baik?"
"Susiok-Couw, orang-orang ini sungguh tidak memiliki rasa keadilan sama sekali, mau menangnya sendiri saja dan mendesak susiok "couw secara sewenang-wenang!" Ci Kong berseru dengan suara nyaring. Kakek gendut itu tertawa bergelak dan mengelus kepala Ci Kong dengan halus.
"Wah-wah, kalau engkau begini keras, lalu apa bedanya dengan mereka yang keras juga? Tenanglah, anak baik dan kita lihat saja perkembangannya."
"Heh-Heh-heh-heh, banyak lalat dan hawanya panas, sungguh tidak nyaman...!" tiba-tiba terdengar suara orang mengomel. Semua orang menoleh dan ternyata yang mengomel itu adalah Bu-beng San-kai yang duduk agak jauh dari orang-orang lain, duduk sembarangan saja di atas rumput sambil mengipasi tubuhnya seolah-olah dia benar-benar merasa gerah padahal hawa di puncak bukit itu tentu saja sejuk! Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang cantik mungil, bermata lebar dan bersikap pendiam duduk di belakangnya, hanya sepasang matanya yang lebar itu saja bergerak memandangi semua orang akan tetapi mulutnya yang kecil merah itu tak pernah dibukanya.
"Jembel badut!" tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu mengejek.
"Agaknya yang kau maki lalat itu termasuk dirimu sendiri, kalau tidak demikian, mau apa engkau muncul di sini!" Siauw-bin-hud memandang Kakek kurus yang bajunya tambal-tambalan itu dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya ada pula Bu-beng San-kai di sini! Wah-wah, San-kai, apakah benar dugaan Hai-tok bahwa engkaupun datang untuk memperebutkan Giok-liong-kiam?" Semua orang, kecuali Hai-tok, terkejut bukan main dan kini mereka memandang ke arah pengemis tua itu dengan mata terbelalak. Bu-beng San-kai? Sebuah nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan, dan tak seorangpun di antara mereka, kecuali Hai-tok dan Siauw-bin-hud, menyangka bahwa Kakek jembel yang nampaknya tidak ada apa-apanya itu ternyata adalah Bu-beng San-kai! Kalau disebut San-tok (Racun Gunung) tentu semua orang akan lebih kaget lagi tadi. Akan tetapi nama Bu-beng San-kai (Pengemis Berkipas Tak Bernama) atau San-tok (Racun Gunung) juga sama saja. Di dunia persilatan, pernah muncul empat orang tokoh yang amat hebat, yang dinamakan Racun-racun Dunia.
Mereka adalah San-tok (Racun Gunung) yaitu yang berjuluk pula Bu-beng San-kai, lalu Hai-tok (Racun Lautan) yang kini menjadi orang kaya di Pulau Layar. Masih ada dua orang lagi, yaitu Thian-tok (Racun Langit) dan Tee-tok (Racun Bumi) yang tidak pernah didengar orang pula, entah berada di mana. Kalau orang-orang seperti Hai-tok dan San-tok kini muncul, dapat dibayangkan betapa penting dan berharganya Giok-liong-kiam! Kalau Tang Kok Bu, seperti julukannya, Hai-tok, dahulunya adalah datuk para bajak laut, sebaliknya San-tok adalah datuk para perampok di pegunungan dan hutan-hutan. Akan tetapi, berbeda dengan Hai-tok yang kini nampaknya menjadi orang kaya raya, San-tok masih kelihatan miskin, bahkan pakaiannya seperti seorang pengemis. Bu-beng San-kai atau San-tok terkekeh mendengar ucapan Hai-tok dan Siauw-bin-hud dan diapun menjawab,
"Siauw-bin-hud, engkau tahu bahwa aku bukan seorang yang mata duitan atau haus akan harta. Aku datang hanya untuk menonton keramaian, dan apa salahnya setelah sama tuanya kita saling membuktikan siapa yang menjadi loyo lebih dahulu di antara kita semua tua bangka-tua bangka ini? Ha-ha-ha!" Dan diapun mengebutkan kipasnya semakin cepat. Kipas itu butut saja, akan tetapi begitu dikebut dengan cepat, semua orang yang berada di situ hampir menggigil karena hawa menjadi semakin dingin seperti ada angin besar yang lewat! Siauw-bin-hud mengenal empat racun dunia sejak masih muda, bahkan mereka itu boleh dibilang merupakan saingan-sainganya dalam dunia persilatan. Sejak dahulu, ilmu kenpaian antara para Racun Dunia itu sebanding, dan masing-masing di antara mereka juga hampir dapat menandingi tingkat kepandaian Siauw-bin-hud sendiri yang ketika itu masih menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang disegani.
Hanya selisih sedikit saja kepandaian tokoh Racun Dunia ini dengan kepandaian para Racun Dunia itu. Kini, melihat munculnya dua orang ini, diam-diam Siauw-bin-hud maklum bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata mencari pedang pusaka karena haus akan harta, melainkan dalam usia tua itu agaknya hendak melanjutkan persaingan waktu dahulu untuk menjadi orang nomor satu. Atau mungkin juga mereka itu masih memiliki keinginan untuk menjadi Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Rimba Persilatan) yang disegani dan dihormati seluruh dunia persilatan! Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba saja Ci Kong sudah melompat ke depan dan dengan membusungkan dada dia menghadapi para tamu itu, memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong.
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tamu-tamu tak diundang datang mengganggu Susiok-Couw, seorang tua yang tidak berdosa. Apakah kalian tidak malu? Kalau memang kalian berhati kejam, biarlah aku yang maju mewakili Susiok-Couw, kalian boleh bunuh atau siksa aku untuk memuaskan hati kalian yang kotor dan jahat!" Tentu saja sikap dan ucapan Ci Kong itu sama sekali tidak terduga-duga dan semua orang menjadi tertegun.
Bahkan Nam Sam Losu sendiri terkejut, tidak mengira bahwa muridnya akan seberani dan selancang itu. Mukanya sudah menjadi pucat karena marah dan malu. Dia sebagai gurunya harus bertanggung jawab atas kelancangan muridnya itu, apa lagi mengingat nama Siaw-lim-pai yang dapat tercemar karena sikap anak itu. Juga para tamu menjadi kaget dan heran, apa lagi mendengar bahwa anak itu menyebut Susiok-Couw (paman Kakek guru) kepada Siauw-bin-hud! Seorang anak kecil, dua belas tahun, dengan tingkat yang serendah itu dari Siaw-lim-pai, berani menantang mereka yang terdiri dari orang-orang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bahkan dua di antara mereka adalah San-tok dan Hai-tok!! Akan tetapi sebelum Nam San Losu sempat memarahi muridnya, Siauw-bin-hud sudah tertawa geli.
"Ha-ha-ha, orang-orang tua memang sudah penuh dengan kepalsuan, kemurkaan, loba tamak dan menjadi hamba dari pada kesenangan, kehilangan kewajaran dan kehilangan perikemanusiaan. San-tok dan Hai-tok, kalian kalau dibandingkan dengan bocah ini" wah, kalah jauh sekali!"
"Huh!" Hai-tok mendengus.
"Dibandingkan anakku yang di rumah, dia itu bukan apa-apa, Siauw-bin-hud!"
"Heh-heh, benarkah dia begitu hebat. Siauw-bin-hud? Aku tidak percaya!" berkata demikian, San-tok atau Bu-beng San-kai lalu menggerakkan kakinya dan dalam keadaan duduk tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan dan dia sudah berdiri di depan Ci Kong sambil tersenyum-senyum. Ci Kong sama sekali tidak menjadi gentar dan memandang Kakek berpakaian jembel itu dengan sepasang mata mencorong.
"Bocah bernyali besar, kalau engkau tidak membolehkan aku mengganggu Susiok-Couwmu, lalu kau mau apa? Apa kau berani melawan aku?" Sikap dan ucapan ini membuat Ci Kong marah bukan main.
"Apa lagi engkau, biar raja iblis sekalipun akan kulawan kalau dia jahat dan hendak mengganggu kami!" bentaknya.
"Wah-wah, agaknya engkau memang memiliki ilmu yang lihai maka kecil-kecil berani menantang aku. Nah, coba kulihat, apakah engkau berani memukul perutku ini?"
Kakek itu mencoba untuk membusungkan perutnya yang kempis. Ditantang begitu, Ci Kong menjadi marah dan hatinya terasa panas. Sudah enam tahun lamanya dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si, dipimpin langsung oleh Nam San Losu. Dia mengenal jenis pukulan-pukulan berbahaya, apa lagi pukulan yang ditujukan kea rah perut. Dia mengenal pukulan yang menggetarkan jantung, pukulan yang merusak isi perut. Akan tetapi karena di samping mempelajari ilmu silat diapun mempelajari ilmu budi pekerti dan ilmu batin, hatinya penuh welas asih dan betapapun marahnya, dia tidak tega untuk melakukan pemukulan yang berbahaya bagi seorang Kakek yang sudah tua itu. Hanya tantangan itu saja yang memaksanya untuk memukul.
"Baik, aku akan memukulmu seperti yang kau tantang itu. Bersiaplah!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
"Ha-ha, kau wakili Susiok-Couwmu memukulku, dan kerahkan semua tenagamu!" Kakek kurus itu menantang. Ci Kong tidak tahu betapa Nam-San-Losu, gurunya, sudah bergerak hendak mencegahnya akan tetapi tiba-tiba gurunya terkejut karena tubuhnya seperti disedot angina dari belakang yang membuatnya tidak mampu bergerak.
Ketika Suhunya menengok, ternyata Siauw-bin-hud sudah mengulurkan tangannya dan kini Kakek itu tersenyum lebar dan memberi isyarat agar dia tidak melakukan sesuatu terhadap anak itu. Legalah hati Nam San Losu karena dia maklum bahwa susioknya itu tentu tidak akan membiarkan muridnya celaka, hanya dia merasa heran mengapa susioknya itu seperti mendukung sikap dan perbuatan Ci Kong yang dianggapnya kurang ajar terhadap tingkatan yang tua. Ngeri dia membayangkan apa akan menjadi akibatnya kalau muridnya itu memukul tubuh San-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia itu! Dia sudah mendengar nama ini dan agaknya tingkat kepandaian susioknya, Siauw-bin-hud sajalah yang dapat mengimbangi kepandaian Empat Racun Dunia. Bahkan para suhengnya sendiri yang kini menjadi para pemimpin Siauw-lim-pai juga tidak akan mampu menandingi San-tok!
"Hyaaaattt...!" Ci Kong yang sudah melihat Kakek itu bersiap diri, lalu menerjang ke depan, tangan kanannya dikepal dan memukul ke arah perut. Menurut yang sudah dipelajarinya, memukul bagian lunak dari tubuh lawan sebaiknya memutar kepalan tangan karena hasilnya akan lebih baik, sehingga tangan membuat gerakan seolah-olah membor perut lawan. Akan tetapi karena dia tidak berniat mencelakai lawan, hanya sekedar "menghajar" saja untuk memperlihatkan bahwa dia benar-benar berani menentang siapa saja yang hendak mengganggu Susiok-Couwnya, dia memukul biasa saja kea rah perut kecil itu.
"Bukkk...!" Pukulan itu tepat mengenai perut bawah Kakek kurus itu, akan tetapi sedikitpun Kakek itu tidak menangkis atau mengelak, juga tidak bergoyang sedikitpun oleh pukulan si anak kecil. Ci Kong yang merasa betapa kepalan tangannya memasuki daging lunak sekali, menjadi terkejut dan cepat menarik kembali tangannya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kepalan tangannya memasuki perut itu tidak dapat ditarik kembali, bahkan kepalannya tidak dapat dibuka! Dia mengangkat muka memandang, dan melihat betapa wajah San-tok masih menyeringai biasa, dan sepasang mata Kakek itu memancarkan sinar aneh. Kembali dia berusaha membetot tangannya, namun tiba-tiba tubuhnya malah terasa lemas kehilangan semua tenaga dan kepalan tangannya terasa hangat, lalu semakin lama menjadi semakin panas!
"Heh-Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau benar. Anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, dan aku kagum sekali!" Melihat keadaan muridnya yang nampak lemas dan tidak mampu menarik kembali tangannya dari perut San-tok, tentu saja Nam-San-Losu menjadi terkejut sekali. Dia maklum bahwa nyawa muridnya terancam maut, maka dengan nekat diapun bangkit dan melangkah maju untuk menolongnya. Akan tetapi kembali tubuhnya tersedot ke belakang dan Siauw-bin-hud memberi isyarat dengan pandang matanya agar dia tidak sembarangan bergerak. Nam-San-Losu mentaatinya karena Kakek inipun maklum bahwa keadaan muridnya itu seperti telah ditolong. Sedikit saja dia bergerak dengan mudah San-tok akan dapat membunuh anak itu.
"Ha-ha-ha, San-tok. Jelas dia jauh lebih baik, tidak seperti engkau yang tanpa malumalu memperdayakan seorang anak kecil. Apa kehendakmu?" Siauw-bin-hud berkata, dengan sikap masih tenang. Diapun maklum betapa licik dan jahatnya Empat Racun Dunia, akan tetapi dia menghadapi kelicikan San-tok yang kini mengancam nyawa cucu muridnya itu dengan tenang dan sikap yang masih ramah tanpa dibuat-buat. Bagi seorang yang tingkat kebatinannya seperti Siau-bin-hud, sudah tidak mengenal lagi rasa dendam atau khawatir, juga tidak dipengaruhi lagi oleh emosi. Dan kewajaran ini seperti kembali kepada sifat kanak-kanak yang bersih dan polos, namun matang dan tidak menjadi permainan emosi sehingga tenang dan jernih bagaikan air telaga dalam yang tenang.
"Ha-ha, apa lagi, Siauw-bin-hud, kalau bukan Giok-liong-kiam yang ingin kulihat? Aku ingin sekali melihat macamnya benda yang diperebutkan itu."
"Dan untuk itu kau akan membebaskan anak itu?"
"Heh-heh, seperti kau katanan tadi, anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, mana aku mau merusak bahan sebaik ini? Tentu dia kubebaskan."
"Ha-ha-ha, Racun Gunung, kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk tetap menyangka bahwa aku menyembunyikan pusaka itu, bukan? Pusaka itu tidak ada padaku."
"Aku percaya padamu dan kiranya ada orang lain yang mempergunakan namamu untuk merampas pusaka itu. Akan tetapi, seperti dikatakan orang Thian-te-pai itu, penggunaan namamu oleh orang lain itu adalah urusanmu. Aku minta agar engkau mencari pemalsu itu, merampas kembali Giok-liong-kiam kemudian memberikan kepadaku!"
"San-tok!" Tiba-tiba Hai-tok membentak marah.
"Enak saja kau memaki orang lain tadi, kini engkau sendiri yang hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan pusaka kepadamu! Tak tahu malu!"
"Heh-heh, siapa tak tahu malu?" kata Kakek kurus.
"Aku hanya ingin melihat, kemudian akan kuputuskan siapa yang berhak menyimpan pusaka itu kelak. Nah, Siauw-bin-hud, bagaimana?" Siauw-bin-hud tersenyum lebar.
"Heh-heh, tanpa kau minta sekalipun, aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk mencari pusaka itu. Pusaka itu sudah lenyap selama enam tahun dan kalian tidak mampu mendapatkannya kembali. Karena itu, sudah adillah kiranya kalau kalian memberi waktu enam tahun juga kepada pinceng untuk mencarinya. Enam tahun lagi, pada hari dan bulan yang sama, pinceng harap Cu-wi suka datang kesini dan kita lihat saja apakah pinceng berhasil mendapatkannya kembali."
"Setuju...!" San-tok atau Bu-beng San-kai berseru, mendahului orang lain yang masih ragu-ragu dan memandang dengan alis berkerut.
"Nah, terimalah kembali cucu muridmu, Siauw-bin-hud!"
Semua orang memandang ke arah Ci Kong yang masih bergantung pada perut Kakek itu dengan tangan kanannya menancap di perut itu sampai di pergelangan tangan. Anak itu sudah lemas dan kini kulit muka dan tangannya nampak kehijauan! Begitu Kakek kurus itu menggerakkan perutnya, anak yang sudah pingsan itu terlempar ke belakang, ke arah Siauw-bin-hud yang cepat menangkapnya lalu merebahkan anak itu di atas tanah. Melihat betapa kulit muridnya menjadi kehijauan dan anak itu pingsan, Nam San Losu menjadi terkejut dan gelisah sekali. Akan tetapi diapun seorang Kakek yang berpengetahuan luas Dan dia tidak berani sembarangan bergerak, menyerahkan segalanya kepada susioknya. Sungguh heran dia melihat betapa susioknya setelah meletakkan telapak tangannya ke dada Ci Kong, lalu tertawa girang, dan memandang ke arah San-tok lalu berkata,
"Ha-ha-ha, San-tok. Agaknya selama ini engkau telah memperoleh banyak kemajuan, lahir batin. Terima kasih!" Tiba-tiba, terdengar bentakan halus,
"Kakek berwatak keji!" Dan tahu-tahu anak perempuan yang sejak tadi berada di belakang Bu-beng San-kai atau San-tok dan hanya menjadi penonton saja seperti yang lain, tiba-tiba meloncat ke depan dan sudah menghadap Siauw-bin-hud sambil mengeluarkan suara celaan setengah memaki itu. Siauw-bin-hud mengangkat muka memandang. Dia masih bersila ketika memeriksa tubuh Ci Kong dan melihat anak perempuan yang berdiri di depannya, dia tersenyum ramah lalu menoleh ke arah San-tok yang hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
"Nona kecil, mengapa engkau datang-datang memaki aku?" tanya Siauw-bin-hud. Anak perempuan itu adalah Lian Hong.
Sejak tadi anak ini mengikuti jalannya peristiwa dan melihat betapa anak laki-laki yang pemberani itu menjadi korban karena membela Kakek gendut, hatinya merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat sikap Kakek gendut yang menerima cucu muridnya yang pingsan itu sambil tertawa-tawa, bahkan mengucapkan terima kasih kepada gurunya, hatinya memberontak. Ia mengenal gurunya sebagai seorang Kakek yang wataknya aneh luar biasa, maka iapun tidak dapat mengerti apa arti perbuatan gurunya itu. Karena itu, melihat betapa gurunya tadi menerima pukulan anak laki-laki dan membuat anak laki-laki pingsan dengan kulit kehijauan, ia tahu bahwa anak itu keracunan akan tetapi ia tidak berani menegur gurunya yang juga menjadi Kakeknya itu. Kemarahannya karena merasa kasihan dan penasaran melihat anak laki-laki itu menjadi korban, kini ditimpakan kepada Siauw-bin-hud yang dianggapnya menjadi gara-gara.
"Engkau ini orang tua yang keji dan tak tahu diri! Semua urusan pusaka ini adalah garagaramu, akan tetapi engkau tidak mau maju sendiri, malah membiarkan seorang anak kecil maju mewakilimu sehingga terluka. Patutkah itu?"
"Hemmm, anak perempuan licik!" Tiba-tiba Hai-tok mengejek.
"Gurumu yang mencelakai anak itu, dan engkau malah memaki Siauw-bin-hud!" Hati Kakek yang menjadi Racun Lautan ini sudah mendongkol sekali melihat permainan antara Siauw-bin-hud dan San-tok sehingga dia sendiri terdesak. Dua orang itu sudah membuat janji-janji dan menganggap orang-orang lain yang hadir di situ seolah-olah tidak ada dan tidak memiliki hak suara untuk menentukan tentang urusan Giok-liong-kiam. Lian Hong menoleh ke arah Kakek pesolek itu.
"Kakekku dipukul dan hanya membela diri!" teriaknya membela Kakeknya.
"Heh-Heh-heh, jadi engkau cucu San-tok, ya? Bagus, memang cocok sekali menjadi cucu si Racun Gunung. Nona cilik, kalau benar pinceng membiarkan cucu muridku ini mewakili pinceng memukul Kakekmu, habis engkau mau apa terhadap diri pinceng?"
"Cucu muridmu telah mewakili engkau memukul Kakekku, maka akupun kini mewakili Kakekku untuk membalas memukulmu. Ada pepatah mengatakan bahwa satu pukulan layak dibalas dua pukulan, akan tetapi melihat engkau sudah terlalu tua, lebih tua dari Kakekku, biar aku membalas dengan satu pukulan pula."
"Ha-ha-ha, San-tok, cucumu ini hebat sekali, sama hebatnya dengan cucu muridku. Nah, baiklah, kau pukullah aku, nona cilik!"
"Bersiaplah kau , Kakek tua!" Lian Hong memasang kuda-kuda dan kini iapun menerjang kedepan, mengirim tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kea rah kepala Kakek yang masih duduk bersila itu. Tamparannya ini hebat sekali, karena biarpun ia baru berusia sebelas tahun, selama enam tahun ini Lian Hong menerima gemblengan yang keras dari Kakeknya atau gurunya.
"Wah, bagus...!" Siauw-bin-hud memuji dan sama sekali tidak mengelak.
"Plakkk!" Telapak tangan itu tepat mengenai kepala yang gundul dan hal ini tentu saja dianggap amat kurang ajar oleh para Hwesio Siauw-lim-pai yang memandang dengan mata mendelik.
Ingin mereka memukul anak perempuan yang berani menampar kepala susiok mereka itu. Akan tetapi, Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar dan kini terulanglah peristiwa seperti yang terjadi pada diri Ci Kong tadi. Lian Hong merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat lunak dan dingin seperti es! Ketika ia hendak menarik kembali tangannya, ternyata telapak tangan itu melekat pada batok kepala yang halus itu. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya kembali, akan tetapi makin dibetot makin melekat dan semakin dingin sehingga ia menggigil dan kehabisan tenaga untuk meronta. Dan sebentar saja iapun pingsan dengan tangan masih menempel pada kepala Kakek itu! Terdengar Hai-tok terkekeh.
"Ha-ha-ha, ternyata Siauw-bin-hud setelah bertapa dua puluh tahun, tidak berobah menjadi dewa. Sama saja dengan San-tok!" Mendengar ejekan ini, Siauw-bin-hud tertawa lalu dia menggerakkan kepalanya sambil berkata,
"San-tok, kau terimalah cucumu yang baik ini!" Dan tubuh anak perempuan yang pingsan itupun terlempar ke arah Bu-beng San-kai yang cepat menyambutnya. Ternyata Lian Hong pingsan dengan muka kebiruan seperti orang yang menderita kedinginan hebat! San-tok meletakkan telapak tangannya ke punggung cucunya, lalu tertawa girang.
"Ha-ha-ha, agaknya engkau bukan orang yang suka berhutang, Siauw-bin-hud. Terima kasih!" Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran. Jelas bahwa San-tok tadi melukai Ci Kong, akan tetapi Siauw-bin-hud malah berterima kasih, dan sekarang, Siauw-bin-hud melukai Lian Hong akan tetapi San-tok juga berterima kasih! Hanya Hai-tok yang ilmunya paling tinggi di antara mereka yang lain, diam-diam merasa mendongkol sekali. Dia dapat menduga bahwa dua orang Kakek itu bukan melukai untuk mencelakakan, melainkan masing-masing telah menyalurkan tenaga ke dalam tubuh dua orang anak itu sehingga dua orang anak itu bukannya dirugikan, malah menerima tenaga yang hebat. Dua orang Kakek itu telah saling menukar kebaikan!
"Cukuplah semua permainan sandiwara dan badut ini!" Hai-tok berkata dan diapun melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud.
"Siauw-bin-hud, mari kita main-main sebentar saja untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemilik Giok-liong-kiam, baik sekarang maupun kelak." Kakek ini sudah mengangkat tongkatnya ke atas. Tongkat itu panjangnya lima kaki, berlapis emas dan terhias batu permata sehingga nampak indah dan berkilauan ketika diangkatnya di depan dada.
"Wah-wah, Racun Lautan ini hendak menjual lagak di sini? Kita sama-sama menjadi tamu di Siauw-lim-si, sungguh tidak enak kalau aku membiarkan saja engkau mengacau. Pergilah dan jangan membikin malu aku sebagai sama-sama tamu Siauw-lim-si!" Tiba-tiba Bubeng San-kai atau San-tok sudah melompat ke depan, menghadapi Hai-tok dengan kipas bututnya di tangan. Dua orang Kakek itu, dua di antara Empat Racun Dunia, kini saling berhadapan dengan mata melotot seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak saling bertempur mati-matian. Entah sudah berapa puluh kali dua orang ini dahulu saling mengukur kepandaian dan belum pernah di antara mereka ada yang menang atau kalah. Di antara empat orang Racun Dunia, memang tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah.
Mereka masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan karena maklum bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menjagoi, maka merekapun dapat bekerja sama kalau menghadapi lawan. Tentu saja untuk membela kepentingan sendiri, para tokoh sesat ini seringkali saling gempur sendiri. Dan sekarangpun, setelah belasan tahun tidak saling jumpa dan berhubungan, kini sekali bertemu mereka sudah siap untuk saling gebuk lagi! Tentu saja semua orang memandang dengan hati tegang sekali. Sudah belasan tahun mereka mendengar nama besar Empat Racun Dunia dan baru sekarang berkesempatan melihat orangnya, dua diantara mereka, bahkan kini dua orang itu siap untuk saling serang. Tentu saja mereka merasa tegang dan juga gembira karena berkesempatan menyaksikan kehebatan dua orang yang dianggap sakti dan jahat seperti iblis itu.
🖐
"Bgus!" Hai-tok Tang Kok Bu membentak marah.
"Biarkan kita membuat perhitungan di sini dan lihat, siapa yang lebih pantas menjadi pemilik Giok-liong-kiam!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Pouw Gun atau Pauw-Ciangkun, perwira tinggi dari istana itu melangkah maju, "Ji-wi Locianpwe tidak berhak menentukan sebagai calon pemilik Giok-liong-kiam. Hendaknya ji-wi ketahui bahwa Sri Baginda Kaisar telah mengutus kami untuk mencari dan membawa pusaka itu ke istana!"
"Tidak! Kamilah yang paling berhak karena pusaka itu adalah pusaka perkumpulan kami yang hilang dicuri orang!" kata Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai yang merasa penasaran melihat orang-orang membicarakan Giok-liong-kiam tanpa memperdulikan mereka yang merasa paling berhak atas pusaka itu.
Dua orang Kakek yang tadi sudah saling berhadapan untuk berkelahi itu, kini tiba-tiba saling pandang dan tersenyum. Dari pandang mata yang saling tatap itu, keduanya mengalami kegembiraan di jaman dahulu dan seolah-olah pandang mata mereka menjadi isyarat bagi mereka untuk bersatu, walaupun hanya untuk sementara, guna menghadapi lawan yang datang dari luar menentang mereka! Secara otomatis, keduanya lalu membalikkan tubuh, membagi tugas! Karena dia seorang yang hidup sebagai seorang hartawan kaya raya, agaknya Hai-tok masih merasa sungkan untuk berurusan dengan orang pemerintah, maka dia memilih berhadapan dengan orang-orang Thian-te-pai! Sambil tersenyum mengejek dan melintangkan tongkat emasnya di depan dada, dia menghadapi Coa Bhok wakil ketua Thian-te-pai dan empat orang adik seperguruannya.
"Hemm, Kalian ini anak-anak kecil, sudah tidak becus menjaga Giok-liong-kiam, juga tidak becus menemukannya kembali selama enam tahun ini, sekarang hendak berlagak mencampuri urusan dan perjanjian orang-orang tua? Pergilah dan jangan kalian mengganggu kami!" Karena Hai-tok sudah memilih lawan, terpaksa San-tok menghadapi Pouw Gun dan dua orang temannya. Tentu saja Kakek yang hidup sebagai seorang perantau miskin dan jembel ini tidak takut berurusan dengan para pengawal istana.
"Heh-Heh-heh, biasanya, utusan lebih sombong dari pada yang mengutusnya. Kalian hanya utusan, kalau tidak berhasil menemukan Giok-liong-kiam, laporkan saja ke atasan bahwa kalian tidak berhasil. Kenapa hendak mencampuri urusan kami orang-orang tua?" Tentu saja orang-orang dari dua rombongan itu menjadi marah mendengar ucapan dua orang Kakek yang memandang rendah itu. Terutama sekali Pouw-Ciangkun dan dua orang temannya. Mereka adalah perwira-perwira pengawal dari istana, dan di istana dikenal sebagai jagoan, terutama sekali Pouw Gun, dan sekarang mereka sama sekali tidak dipandang mata oleh seorang Kakek jembel. Biarpun Pouw Gun pernah mendengar akan nama Bu-beng San-kai, akan tetapi dia tidak takut, didukung oleh kedudukannya dan oleh dua orang temannya yang sudah siap untuk membantunya.
"Bgus, kau orang-orang tua hendak memberontak terhadap petugas istana?" Bentaknya dan dia sudah mengeluarkan pedangnya, diikuti pula oleh si raksasa Tang Kui dan seorang temannya lagi yang kedudukannya lebih tinggi dari pada Tang Kui dan memiliki ilmu silat lebih tinggi pula. Sebagai perwira-perwira istana, tentu saja mereka tidak dilarang membawa senjata dan masing-masing kini sudah mencabut golok mereka, berdiri di kanan kiri Pouw Gun yang memegang pedang. Meluhat ini, San-tok terkekeh.
"Majulah, majulah... heh-heh, sudah lama kipasku tidak menepuk lalat-lalat hijau!" Jelas bahwa ucapannya ini merupakan ejekan, mengejek para perajurit Mancu yang oleh sebagian orang patriot diejek sebagai lalat-lalat hijau.
Pouw Gun dan dua orang temannya sudah membuat gerakan mengurung dan membentuk barisan segi tiga, seorang di belakang, dan dua orang di depan kanan kiri. Yang di belakang adalah Pouw Gun sedangkan dua orang temannya yang bergolok siap di depan Kakek kurus yang memegang kipas dan nampak enak-enakan mengipasi tubuhnya yang kurus. Sementara itu, Coa Bhok dan empat orang saudaranya juga sudah mengepung Kakek tinggi besar bermuka merah itu. Coa Bhok maklum akan kelihaian Hai-tok, maka diapun tidak malu-malu untuk maju bersama empat orang sutenya. Mengapa mesti malu? Urusan ini adalah urusan perkumpulan, untuk merebut kembali pusaka perkumpulan, bukan urusan pribadi sehingga boleh saja mereka maju bersama. Apa lagi mereka menghadapi seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga pengeroyokan mereka tidak akan ditertawakan orang kang-ouw.
Karena pada zaman itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan keras bagi siapa saja untuk membawa senjata tajam, apa lagi akhir-akhir ini setelah timbul banyak pemberontakan kecil di mana-mana, maka Thian-te pai juga melarang murid-muridnya membawa senjata. Bahkan perkumpulan itu kini lebih mengutamakan ilmu silat tangan kosong dan semua murid memperdalam ilmu silat tangan kosong mereka. Mereka bahkan menciptakan ilmu silat khas mereka yang diberi nama Thian-te-kun, yang sesungguhnya hanya merupakan ilmu silat tangan kosong yang diperbarui dan dikembangkan dari Im-yang-kun, namun dimasuki gerakan-gerakan dan langkah-langkah khas dari ilmu silat Thian-te-pai. Kini, dalam menghadapi Hai-tok, mereka berlima yang mengepung ini juga tidak memegang senjata tajam.
Melihat ini, Hai-tok lalu sengaja menyelipkan tongkat emasnya, senjatanya yang paling ampuh, di pinggangnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, sama sekali tidak mengacuhkan pengepungan lima orang itu, sikapnya sama benar dengan sikap San-tok! Seperti dikomando saja, tiga orang perwira tinggi yang mengeroyok San-tok dan lima orang Thian-te-pai yang mengeroyok Hai-tok itu bergerak dan melakukan penyerangan. Tiga orang perwira tinggi yang dipimpin oleh Pouw Gun itu melakukan penyerangan dengan teratur sekali. Tang Kui dan temannya yang memegang golok menyerang dari kanan kiri, menggunakan golok mereka, yang seorang membacok kepala dan yang kedua membabat pinggang. Serangan ini disusul dengan selisih beberapa detik saja oleh Pouw Gun yang menusukkan pedangnya ke punggung Kakek kurus itu dan kemudian pedang itu dikelebatkan untuk mencegat semua jalan keluar!
Sungguh merupakan serangan gabungan yang susul-menyusul, bahkan saling bersambungan dan berbahaya sekali. Akan tetapi, apa yang terjadi? Kakek kurus yang memegang kipas itu, yang berdiri seenaknya dengan kipas dikebutkebutkan mengipasi tubuhnya, sama sekali tidak menggeser kakinya, sama sekali tidak mengelak, hanya kebutan kipasnya yang tadi mengebuti tubuhnya saja yang berobah gerakannya. Kipas itu berkelebatan ke kanan kiri lalu ke belakang dan terdengar suara nyaring tiga kali yang akibatnya membuat tiga orang perwira tinggi itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat. Juga Pouw Gun meloncat ke belakang dan menatap pedangnya sendiri dengan muka pucat karena tadi, tangkisan kipas butut itu membuat lengannya tergetar hebat, bahkan hampir lumpuh!
Kiranya, gagang kipas yang hanya terbuat dari bambu itu, ketika menangkis tiga buah senjata itu, menimbulkan suara nyaring seolah-olah senjata mereka bertemu dengan baja, dan yang luar biasa sekali, setiap kali terbentur senjata tajam, gagang kipas itu langsung melesat dan ujung gagang itu menotok pergelangan tangan. Begitu tepat totokannya sehingga lengan itu seketika menjadi hampir lumpuh! Sementara itu, Hai-tok juga sudah menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh Thian-te pai. Karena ilmu silat Thian-te-kun yang mereka pergunakan itu merupakan penggabungan tenaga lemas dan kasar, lima orang itu menyerang dengan berselang-seling, ada yang melakukan pemukulan dengan amat kuat, ada pula yang menampar dengan lembut namun mengandung tenaga singkang yang berbahaya.
Serangan mereka juga bertubi dan saling susul, karena mereka itu memasang bentuk barisan Ngo-heng-tin dan mengepung dari lima jurusan. Akan tetapi, sikap Kakek tinggi besar berpakaian mewah ini tidak kalah anehnya dari sikap San-tok. Dia membuat gerakan seperti menari, kedua lengannya bergerak ke kanan kiri muka belakang dan dari kedua ujung lengan bajunya menyambar angin yang amat kuat dan... empat orang sute dari Coa Bhok terpental, sedangkan Coa Bhok sendiri terhuyung ke belakang! Padahal wakil ketua Thian-te-pai ini memiliki tenaga singkang yang cukup kuat! Sukar untuk dapat dipercaya betapa hanya dengan angin pukulan saja, Hai-tok membuat lima orang lawan yang tangguh itu terpelanting.
Tentu saja wajah Coa Bhok berubah merah sekali. Sebagai wakil ketua Thian-te-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, akan tetapi kenapa menghadapi Kakek ini, padahal dibantu empat orang sutenya, mereka berlima dibuat tidak berdaya seperti lima orang anak kecil saja! Dia menjadi penasaran dan bersama empat orang sutenya mengepung lagi, seperti juga tiga orang perwira tinggi sekarang sudah mengepung tubuh San-tok yang masih berdiri tegak. Tiga orang perwira tinggi itu sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, kini secara berbareng karena mereka maklum bahwa lawan terlalu tangguh untuk diserang secara bergantian. Tiga batang senjata tajam itu menyerang dari tiga jurusan dalam detik yang sama. Akan tetapi, tiba-tiba mata tiga orang itu menjadi gelap ketika kipas itu mengebut dan berkelebatan di depan muka mereka.
Hawa dingin dari angin kipas membuat mereka tidak dapat membuka mata dan tahu-tahu dua orang teman Pouw Gun terpukul gagang kipas, perlahan saja di pundak mereka namun cukup membuat mereka terpelanting dengan golok terlepas dari tangan karena tubuh mereka kehilangan tenaga dan pundak terasa nyeri bukan main. Adapun Pouw Gun yang lebih lihai dan bertindak hati-hati, dapat mengelak dari sambaran kipas dan tahu-tahu pedangnya sudah menusuk dari samping ke arah lambung San-tok. Kakek ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan Pouw Gun yang terpaksa melepaskan pedangnya karena dia merasa seolah-olah pergelangan tangannya itu patah-patah. Di lain detik, tengkuknya sudah dicengkeram oleh tangan kiri San-tok dan tidak mampu berkutik lagi! Di lain bagian dengan amat mudahnya Hai-tok juga sudah membuat para pengeroyoknya Kocar kacir.
JILID 06
Serangan-serangan lima orang itu yang dilakukan lebih cepat dan kuat disambutnya Dengan totokan-totokan kedua ujung lengan bajunya sehingga dalam segebrakan saja, empat orang sute dari Coa Bhok sudah roboh oleh totokan. Coa Bhok dapat menangkis totokan ujung lengan baju, akan tetapi pada saat itu tangan kanan Hai-tok sudah bergerak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Coa bhok terkejut sekali dan dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, cengkeraman itu hanya gertak saja, atau berfungsi sebagai gertakan kalau dielakkan, karena secepat ular mematuk, ujung lengan baju dari tangan yang mencengkeram itu telah mencuat ke depan dan tahu-tahu sudah menotok dan mengenai jalan darah di pundak Coa Bhok, seketika tubuh wakil ketua Thian-te-pai ini menjadi lemas dan Hai-tok telah mencengkeram tengkuknya!
"Hai-tok, terimalah ini!" terdengar San-tok berseru sambil melontarkan tubuh Pouw Gun yang dicengkeramnya tadi.
"Nih, untukmu!" Hai-tok juga berteriak. Keduanya sama-sama melontarkan tubuh orang yang dicengkeram tengkuknya, dengan maksud untuk saling menyerang karena setelah kini tidak ada lagi yang menjadi penghalang, dua orang Racun Dunia ini telah teringat kembali akan persaingan mereka! Dua batang tubuh yang sudah tidak mampu bergerak itu melayang ke udara dan saling bertumbukan di udara. Sungguh sial bagi mereka, tubuh mereka yang melayang itu tepat sekali saling hantam muka sama muka.
"Dukkk...!" Darah muncrat dari hidung dua orang itu yang sama sekali tidak berdaya untuk mengelakkan tubrukan antar hidung itu dan tubuh mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan!
Dua orang perwira yang maklum bahwa mereka tidak mampu menang menghadapi San-tok, segera menolong Pouw-Gun, memanggulnya dan membawanya pergi tanpa pamit. Juga empat orang tokoh Thian-te-pai menolong wakil ketua mereka dan menggotongnya pergi tanpa pamit. Terlalu hebat peristiwa yang menimpa dua golongan ini. Pouw Gun adalah jagoan pengawal istana yang biasanya amat ditakuti, juga Coa Bhok adalah wakil ketua Thian-te-pai yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini, dua orang itu hanya menjadi barang permainan yang sama sekali tidak berdaya di tangan dua orang Racun Dunia. Kini dua orang Kakek itu sudah saling berhadapan lagi, seperti lupa akan perkelahian yang baru saja terjadi. Dalam perkelahian tadipun mereka bersaing, tidak mau kalah dan memang mereka menyelesaikan perkelahian itu dalam dua gebrakan saja!
"San-tok, kalau aku dapat mengantarmu ke alam baka sekarang, matipun aku akan dapat terpejam!" kata Hai-tok.
"Ha-ha-ha, aku yang akan membuat engkau mampus dengan mata melek, Racun Lautan!" balas Bu-beng San-kai. Belum habis ucapan ini Hai-tok sudah menerjang maju didahului oleh sinar kuning emas karena menghadapi lawan berat ini, Si Racun Lautan sudah mencabut tongkat emasnya dan menyerang dengan dahsyat. Tongkat emas itu berobah menjadi sinar berkeredepan menyambar bagaikan kilat cepatnya. Si Racun Gunung tidak mau kalah. Kipas bututnya mengebut dengan tangkisan yang amat kuat.
"Cringgg...!" Bunga api berpijar dan keduanya menarik kembali senjata mereka, lalu saling serang lagi dengan cepat dan bertenaga kuat.
Angin sambaran senjata mereka bersiutan, kadang-kadang berdesing saking cepat dan kuatnya. Makin cepat gerakan mereka, makin kabur lagi pandang mata mereka yang nonton perkelahian itu. Bayangan tubuh mereka segera diselubungi gulungan dua sinar, putih dan kuning emas. Para Hwesio Siauw-lim-pai memandang dengan sinar mata penuh kagum, bahkan mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, tak dapat mengikuti gerakan dua orang tokoh sakti itu dengan jelas. Kini hampir seluruh Hwesio Siauw-lim-pai berada di luar dan sejak tadi nonton peristiwa hebat yang terjadi di luar pintu gerbang kuil mereka. Yang dapat mengikuti perkelahian antara dua orang itu dengan jelas hanyalah Siauw-bin-hud seorang. Kakek ini juga merasa kagum dan maklum bahwa dua orang itu memang memiliki ilmu silat yang kiranya sukar dicari bandingannya pada jaman itu.
Betapa sukarnya kedua orang itu mengumpulkan semua ilmu kepandaian itu, betapa lamanya mereka melatih dan mencari ilmu-ilmu itu. Timbullah rasa sayang dalam hati Hwesio gendut ini. Dua orang itu sudah tua, tidak perlu bertanding untuk saling membunuhpun akan berapa lama lagi mereka dapat mempertahankan hidup masing-masing? ia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, biarpun akan makan waktu yang lama, tentu seorang di antara mereka akan tewas, atau setidaknya keduanya akan menderita luka yang amat parah. Usia mereka sudah terlalu tua untuk dapat bertahan dalam perkelahian seperti itu. Dia dapat melihat dengan jelas betapa Hai-tok menang kuat dan tongkatnya itu lihai bukan main, akan tetapi di lain pihak, San-tok menang cepat dan agaknya menang daya tahannya, menang kuat napasnya.
"Omitohud, belum cukupkah main-main ini? Ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil berebut kembang gula saja!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba nampak tubuh yang gendut itu bergerak maju seperti sebuah bola besar dan tahu-tahu Kakek tua renta gendut itu sudah masuk di antara dua gulungan sinar. Terdengar dua orang Racun Dunia itu berseru kaget dan dua gulungan sinar itupun lenyap. San-tok dan Hai-tok masing-masing meloncat ke belakang dan mereka memandang kepada Siauw-bin-hud dengan mata terbelalak penuh kagum.
Ketika mereka sedang berkelahi dengan penuh semangat tadi, tentu saja mereka melihat masuknya Hwesio tua ini. Mereka menganggap kebetulan karena mereka memperoleh kesempatan untuk menguji Hwesio ini yang sejak dahulu memang belum pernah dapat mereka kalahkan. Dengan menambah kecepatan gerakan dan besarnya tenaga, mereka mengharapkan untuk dapat membuat Siauw-bin-hud tidak mampu memisahkan mereka, bahkan membahayakan keadaan Hwesio tua itu sendiri. Akan tetapi, begitu tubuh gendut itu masuk dan kedua tangannya mendorong, ada hawa pukulan yang demikian kuatnya sehingga keduanya tidak sanggup bertahan lagi, masing-masing terdorong ke belakang dan tentu akan terhuyung kalau saja mereka tidak cepat melompat ke belakang untuk melenyapkan tenaga dorong yang amat hebat itu! San-tok lebih dulu dapat menguasai dirinya.
"Ha-ha, memang hanya Siauw-bin-hud yang kiranya mampu menguasai Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu dan Siauw-bin-hud pula yang kini akan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan kembali Giok-liong-kiam."
Dia lalu melangkah mundur sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Perkelahian melawan Hai-tok tadi menyadarkannya bahwa dia sudah tua dan bahwa Hai-tok merupakan lawan yang masih seperti dulu, tangguh dan sukar dikalahkan. Diam-diam Hai-tok masih merasa penasaran terhadap San-tok. Akan tetapi, melihat munculnya Siauw-bin-hud, diapun merasa tidak enak untuk mendesak. Perbuatan Siauw-bin-hud yang melerai tadi saja sudah membayangkan bahwa Hwesio tua ini merupakan lawan yang lebih berat dibandingkan San-tok, padahal Racun Gunung itupun masih cukup berat baginya dan dia tidak terlalu yakin akan dapat mengalahkan Kakek kurus itu. Maka diapun menyimpan tongkatnya, menarik napas panjang.
"Sudahlah, akupun harus tahu diri. Enam tahun lagi, kalau aku masih hidup, aku ingin melihat engkau memenuhi janjimu, Siauw-bin-hud. Atau kalau tidak, tentu ada yang mewakili aku!" Setelah berkata demikian, dia mendengus dan memberi isyarat kepada tujuh orang pemuda yang mengiringkannya. Tujuh orang pemuda itu adalah anak buahnya, atau lebih tepat lagi pelayan-pelayan dan juga kekasih-kekasihnya, karena Kakek majikan Pulau Layar ini memang suka sekali dengan pemuda-pemuda remaja yang tampan halus.
Semenjak intrinya meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia kurang lebih sebelas tahun, Kakek ini mulai dengan pemuda-pemuda tampan! Kesukaan memelihara pemudapemuda tampan sebagai pengganti selir-selir wanita ini memang banyak dimiliki oleh hartawan-hartawan atau bahkan pejabat-pejabat tinggi di jaman itu. Setelah rombongan dari Pulau Layar ini pergi, San-tok lalu berlutut dekat murid atau cucu angkatnya yang masih pingsan. Kini wajah Lian Hong tidak begitu kebiruan lagi, mulai putih, dan pernapasannya juga mulai longgar. Beberapa kali dia mengurut
leher dan punggung gadis cilik itu dan akhirnya Lian Hong siuman. Ketika Kakek ini mengangkat muka, dia melihat betapa Siauw-bin-hud melakukan hal yang sama terhadap diri Ci Kong dan pemuda cilik itu siuman lebih dahulu.
"Ha-ha-ha, anak baik, sungguh engkau menerima keuntungan besar sekali. Hayo cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu-beng San-kai!" kata Siauw-bin-hud kepada Ci Kong. Tentu saja anak ini mengerutkan alisnya dengan penasaran. Jelas bahwa Kakek itu tadi mencelakakannya melalui penyaluran tenaga dalam, bagaimana sekarang Susiok-Couwnya bahkan menyuruh dia menghaturkan terima kasih?
"Hong Hong, cepat kau haturkan terima kasih kepada Siauw-bin-hud yang telah memberi petunjuk padamu!" Mendengar ini, Lian Hong cemberut, akan tetapi ia tahu bahwa Kakeknya yang suka senyum-senyum itu berwatak aneh dan tidak mau dibantah, maka biarpun dengan hati panas, terpaksa iapun melangkah maju dan hampir saja ia bertabrakan dengan Ci Kong yang juga melangkah maju untuk memenuhi perintah Susiok-Couwnya. Lian Hong tidak mau minggir, dan Ci Kong yang mengalah dan mengelak ke pinggir. Gadis cilik itu agaknya menanti dan sengaja bersikap lambat.
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe dan maafkan kelancangan saya tadi." Ci Kong menambah kalimatnya karena anak yang cerdik ini maklum bahwa Susiok-Couwnya tidak mungkin menyuruhnya berterima kasih kalau tidak ada sesuatu yang menguntungkan dirinya. Karena itulah, di samping menghaturkan terima kasih, sekalian dia minta maaf mengingat betapa tadi dia bersikap lancang dan berani memukul perut Kakek itu. Melihat betapa pemuda cilik itu telah memberi hormat sambil berterima kasih kepada Kakek angkatnya, Lian Hong juga memaksa dirinya menjura kepada Siauw-bin-hud, akan tetapi suaranya masih terdengar ketus ketika berkata,
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih." Hanya dua orang Kakek itu yang tahu akan perbuatan masing-masing.
Siauw-bin-hud tadi dengan cepat mengetahui bahwa biarpun kulit tubuh cucu muridnya kehijauan, namun keracunan itu bukan membahayakan. Sebaliknya malah, Kakek kurus yang dijuluki Racun Gunung itu telah mengoperkan tenaga singkang yang hebat kepada Ci Kong, melalui tangan pemuda itu yang tadi menempel di perutnya. Tahulah dia bahwa San-tok juga merasa kagum kepada Ci Kong dan telah berkenan menghadiahi anak itu. Hal ini saja membuktikan bahwa San-tok kini telah memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dan juga perbuatan itu menunjukkan iktikad baik terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itulah, begitu melihat kesempatan terbuka ketika Lian Hong memukulnya, diapun membalas dengan mengoperkan tenaga sakti ke dalam tubuh anak perempuan itu yang dia tahu juga memiliki bakat yang baik sekali.
"Bgus begitu, Hong Hong. Mari kita pergi dari sini. Siauw-bin-hud, enam tahun lagi aku datang menagih janji!" kata San-tok sambil menggandeng tangan Lian Hong dan merekapun pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Sunyi kembali depan kuil itu setelah semua tamu yang aneh itu pergi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, para Hwesio lalu kembali melakukan tugas harian mereka masing-masing, akan tetapi semua peristiwa yang terjadi pagi tadi sungguh akan melekat di dalam hati mereka dan sampai lama akan menjadi bahan percakapan mereka di waktu sebelum tidur. Siauw-bin-hud lalu mengumpulkan keempat orang pimpinan Siauw-lim-si, juga Nam San Lo-su, Nam Thi Hwesio , dan Ci Kong diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana Kakek gendut itu bicara dengan suara sungguh-sungguh walaupun sikapnya masih ramah dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang bulat.
"Kalian semua tentu tahu bahwa munculnya urusan Giok-liong-kiam ini mengikatkan pinceng pada sebuah tugas, hal yang sama sekali tak pernah pinceng duga-duga. Akan tetapi, segala sesuatu memang sudah digariskan dan kita hanya tinggal melaksanakannya saja. Ada orang mempergunakan nama pinceng untuk merampas pusaka itu. Jelaslah bahwa maksudnya, selain mengalihkan perhatian agar dia dapat menyimpan pusaka itu dengan aman, juga dia meminjam nama Siauw-lim-pai dengan maksud mencari keamanan dan juga mungkin saja untuk mengadu domba. Nah, tidak ada lain pilihan lagi, pinceng sendiri harus pergi mencari benda yang menimbulkan keributan itu."
"Maaf, susiok. Apakah tidak lebih baik kalau susiok mengutus murid-murid saja untuk melakukan penyelidikan, mencari dan merampas kembali pusaka itu?" Siauw-bin-hud tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya.
"Pinceng dapat menduga bahwa orang yang merampas pedang itu tentu seorang yang lihai sekali. Buktinya, orang-orang pandai seperti San-tok dan Hai-tok saja tidak mampu mencarinya dan dapat ditipu sehingga mereka mencari ke sini. Tidak, harus pinceng sendiri yang mencarinya. Bukankah dia memakai nama pinceng untuk perbuatannya itu? Pinceng sendiri yang akan pergi dan pinceng hanya minta ditemani oleh Ci Kong ini saja." Nam San Losu terkejut, akan tetapi juga girang. Hal itu berarti bahwa muridnya itu akan memperoleh kemajuan yang luar biasa. Di bawah bimbingan susioknya sendiri yang demikian sakti!
"Akan tetapi, dia masih kanak-kanak, apakah tidak hanya akan menjadi beban dan gangguan bagi susiok?" katanya.
"Justru karena dia masih kanak-kanak maka akan cocok untuk pergi menemani pinceng. Ci Kong, maukah engkau menemani pinceng untuk mencari pusaka yang diperebutkan itu?" Tentu saja Ci Kong merasa girang bukan main. Dia sudah maklum bahwa Susiok-Couwnya ini memiliki kesaktian luar biasa, maka kalau dia boleh menemani Kakek itu berarti dia akan dapat memperoleh banyak petunjuk dalam ilmu silat tinggi. Dia cepat berlutut di depan Kakek itu.
"Teecu akan merasa girang dapat melayani Susiok-Couw."
"Ha-ha-ha, anak cerdik. Kalau begitu bersiaplah, sekarang juga kita berangkat." Semua orang terkejut mendengar rencana pemberangkatannya yang tiba-tiba ini, akan tetapi karena mereka semua sudah tahu akan watak yang luar biasa anehnya dari Siauw-bin-hud, mereka tidak berani membantah.
Dan tak lama kemudian Siauw-bin-hud nampak berjalan keluar dari kuil Siauw-lim-si, menggandeng tangan Ci Kong yang menggendong buntalan besar berisi pakaiannya sendiri dan pakaian Hwesio itu, diantar oleh para Hwesio sampai di lereng bukit. Kota Kan-cou di Propinsi Kiang-si merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena kota itu juga menjadi kota pelabuhan perahu-perahu yang melayari Sungai Kan-kiang. Karena Sungai Kan-kiang itu mengalir ke utara, maka banyaklah tukang perahu sibuk melayarkan para pedagang yang mengirim barang-barang ke daerah pedalaman, ke kota-kota besar di bagian utara. Memang pada waktu itu, sarana pengangkutan barang maupun orang yang paling cepat, praktis dan murah adalah melalui sungai.
Juga kota Kan-cou menjadi semakin ramai dan penuh manusia karena kebanjiran pengungsi dari barat ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan di Hunan, baik pengungsi orang-orang kaya yang menyelamatkan harta benda mereka maupun pengungsi-pengungsi miskin yang menyelamatkan nyawa mereka. Bertambahnya toko-toko yang dibuka oleh para pengungsi kaya, makin meramaikan kota itu, akan tetapi, bertambah pula pengemis dan gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai pekerjaan pula. Orang-orang berebutan mencari pekerjaan, dan karena banyaknya pengangguran, tak dapat dihindarkan lagi banyak pula terjadi kejahatan-kejahatan. Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari keadaan yang dicengkeram kemiskinan.
Orang-orang yang sudah tersudut karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa puas dengan keadaannya, condong untruk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-pelaku kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan kejahatan. Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian. Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan sebagainya.
Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara persyaratan untuk hidup bahagia dan mencari uang bahkan merupakan suatu kaharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat berbahaya. Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat, merugikan orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang lain berada di depannya, dianggap penghalang dan dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan apapun juga bentuknya di dunia ini kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya, tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan kesadaran. Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang melenyapkan kesenangan yang ada pada saat ini.
Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita. Pada hari itu sudah ramai di pusat kota Kan-cou. Apa lagi di pasar-pasar, para pedagang sudah memamerkan dagangannya dan para pembelanja sudah hilir-mudik mencari-cari barang-barang yang dibutuhkan. Ramai suara para pedagang menawarkan dagangannya, memuji barang-barang dagangannya dan berusaha menarik orang-orang yang berlalu lalang agar berbelanja di tempatnya. Ada pula pengemis-pengemis tua muda yang berjalan-jalan, menggunakan segala cara untuk menarik perhatian dan kasihan orang, minta-minta dengan tangan diulurkan, dengan suara yang memelas.
Lucunya, ada pula yang pura-pura timpang, pura-pura buta. Ada pula anak-anak, dari usia lima tahun sampai yang remaja berusia belasan tahun, berkeliaran, minta-minta atau mencari barang-barang yang dapat dimakan, di tempat-tempat sampah, kadang-kadang berebutan dengan anjing-anjing yang banyak pula berkeliaran di situ. Bau sayur busuk, ikan dan tanah lumpur menyesakkan hidung, akan tetapi agaknya bau campur aduk seperti ini terasa sedap oleh mereka yang sudah terbiasa. Seorang anak laki-laki remaja, berusia kurang lebih tigabelas tahun, dengan baju tambal-tambalan, berdiri di depan seorang penjual bakpao. Anak itu bertubuh sedang dan melihat betapa urat-urat tubuhnya menonjol, dapat diduga bahwa anak ini sejak kecil biasa dengan pekerjaan kasar dan keras.
Mukanya agak pucat dan muka itu tampan gagah, juga menunjukkan kekerasan. Sepasang matanya tajam dan berani, akan tetapi pada saat itu matanya memandang ke arah tumpukan bakpao mengepul panas dengan gairah besar. Beberapa kali dia menelan ludah sendiri dan perutnya yang sejak kemarin tidak diisi itu terasa semakin perih. Sudah sebulan dia terseret arus pengungsi memasuki kota Kan-cou dan biarpun setiap hari dia mencari dan melamar pekerjaan, namun tidak ada yang dapat menerimanya. Pekerjaan terlalu sedikit dan yang membutuhkan terlalu banyak. Anak seusia dia itu dianggap masih kepalang tanggung, disebut anak-anak bukan, dewasapun belum. Anak ini bernama Gan Seng Bu, berusia tigabelas tahun. Sejak kecil dia ikut Ayah bundanya yang bekerja sebagai pemburu dan selalu berpindah-pindah.
Akan tetapi, ketika terjadi pemberontakan di barat, Ayah bundanya menjadi korban dan tewas di tangan gerombolan pemberontak. Dia sendiri berhasil melarikan diri dan demikianlah, dia hidup seorang diri sebagai gelandangan, tak bersanak kadang tanpa pekerjaan dan satu-satunya miliknya hanyalah pakaian dan sepatu yang menempel di tubuhnya, yang kini sudah menjadi penuh tambalan dan butut. Seng Bu merasa betapa perutnya lapar bukan main. Kalau saja dia bisa memperoleh bakpao itu, sebuah saja! Akan tetapi dia tidak mempunyai uang dan tadi dia sudah memberanikan diri minta dari pedagang bakpao. Yang diterimanya hanya makian sehingga dia terpaksa menjauhkan diri dan memandang ke arah tumpukan bakpao itu seperti seekor harimau kelaparan memandang seekor kelinci gemuk yang diintainya.
Tidak, dia tidak mau mencuri, atau melakukan kekerasan mengambil bakpao lalu melarikan diri. Dia sudah melihat betapa ada pencuri disiksa orang banyak sampai mati, pernah pula melihat pencuri disiksa oleh petugas keamanan sampai lumpuh kaki tangannya. Dia tidak akan senekad itu. Pula, sejak kecil dia digembleng oleh Ayahnya yang keras untuk menjadi orang gagah yang pantang mencuri, demikian satu di antara pelajaran yang diterima dari Ayahnya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan seorang pemuda remaja lain. Pemuda remaja itu bertubuh jangkung, dan usianya sebaya dengan dia, mukanya kurus pula akan tetapi matanya jelilatan. Seperti dia pula, pemuda itu pakaiannya penuh tambalan dan pemuda itu mendekati tempat penjualan bakpao dari belakang.
Pada saat si pedagang bakpao sibuk melayani beberapa orang pembeli yang merubungnya, tiba-tiba saja pemuda jangkung itu menyambar dua buah bakpao dari tumpukan di belakang tanpa diketahui oleh si pedagang atau para pembelinya. Akan tetapi Seng Bu melihatnya! Engkau harus selalu menentang kejahatan, demikian pelajaran yang diterima dari Ayahnya. Biarpun si pedagang bakpao tadi menghardiknya, akan tetapi kini bakpaonya dicuri orang dan dia melihatnya. Dia harus mencegahnya, kalau tidak berarti dia menjadi pembantu pencuri, demikian pelajaran yang diingatnya. Tanpa ragu lagi diapun lalu lari mengejar pemuda remaja yang melarikan dua buah bakpao itu. Setelah tiba di luar pasar, barulah Seng Bu berhasil menyusul pencuri itu dan dia segera mencengkeram pundak pemuda remaja tinggi kurus itu dari belakang.
"Eh, mau apa kau ?" bentak pemuda itu dengan marah sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Seng Bu, matanya yang tajam itu memancarkan kemarahan.
"Kau telah mencuri bakpao!" bentak Seng Bu marah, apa lagi melihat bahwa bakpao yang sebuah tinggal separo, agaknya telah dimakan oleh pencuri itu sambil lari tadi. Pemuda jangkung itu memandang dengan senyum mengejek.
"Apakah engkau pemilik bakpao itu? jelas bukan, engkau tentu seorang pemuda gelandangan. Habis kau mau apa?"
"Kembalikan bakpao itu kepada pemiliknya!"
"Aha, engkau seperti petugas keamanan saja. Engkau kurus dan pucat. Nih, kuberi separuh. Makanlah!" Seng Bu memandang kepada bakpao yang tinggal separuh itu. Nampak daging di dalamnya dan kembali perutnya merintih. Akan tetapi dia teringat akan pelajaran Ayahnya dan betapa hinanya menerima sogokan seorang pencuri!
"Aku tidak sudi makan barang curian. Hayo kembalikan atau aku akan menyeretmu ke sana!" Sepasang mata yang tadi memandang dengan ejekan itu menjadi tajam karena kemarahan.
"Kau mau menyeretku? Setan buruk, kau kira aku takut kepadamu?" Pemuda jangkung itu menantang sambil mengantongi bakpaonya.
"Kau pencuri yang perlu dihajar!" Seng Bu berseru dan diapun lalu menyerang dengan pukulan tangannya. Pemuda remaja jangkung itu menangkis dan balas memukul. Terjadilah perkelahian dan terdengar suara bak-bik-buk ketika keduanya saling pukul. Dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa keduanya tidak mempergunakan ilmu silat melainkan berkelahi dengan kasar dan liar. Akan tetapi keduanya memiliki tenaga besar dan tubuh yang kuat sehingga beberapa pukulan yang mereka terima tidak membuat mereka roboh atau mengaku kalah.
Perkelahian ini segera menarik perhatian orang dan mereka dirubung banyak orang yang menjadi gembira nonton perkelahian yang seruini. Tak seorangpun melerai, bahkan ada suara-suara berpihak, memilih jago masing-masing. Perkerlahian antara dua orang remaja yang tidak paham ilmu silat tentu saja lebih ramai dan menegangkan dari pada perkelahian antara ahli-ahli silat. Seorang ahli silat pantang terkena pukulan dan memiliki kepandaian untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dua orang pemuda remaja itu membagi-bagi pukulan yang diterima oleh badanmereka sehingga nampaknya lebih ramai. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ketawanya bebas lepas dan terbahak-bahak, dan nampaklah seorang Kakek gendut bulat memasuki tempat perkelahian itu. Kakek itu nampak sekali.
Melihat kepalanya yang botak hampir gundul, dengan rambut di bagian belakangnya dikuncir pendek dan tebal, jelas bahwa dia bukan seorang Hwesio . Akan tetapi tubuh dan kesederhanaannya itu membayangkan dia seorang pendeta. Kepalanya seperti bola bulat, telinga, mata, mulut dan hidungnya juga serba bulat. Dia tidak berjenggot, alis dan kumisnya pendek akan tetapi tebal dan berdiri seperti sikat kaku. Bajunya longgar akan tetapi kancingnya tidak dapat ditutup karena perutnya yang amat besar itu mengganjal. Baju itu terbuka sehingga nampak dada dan perut, dihiasi bulu sepanjang tengah dada menurun sampai ke pusarnya yang besar. Celananya dari kain tebal dan kuat, sedangkan sepatunya juga masih baru. Di pinggaangnya tergantung sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan sebuah mangkok butut tersembul dari kantongnya.
"Ha-ha-ha-ha, kalian dua jagoan kecil. Bukan di sini tempat berkelahi. Mari ikut aku ke tempat yang lebih enak!" Berkata demikian, Kakek itu melangkah maju melerai dan menyentuh pundak dekat tengkuk kedua orang anak remaja yang sedang berkelahi itu.
Tiba-tiba saja keduanya menghentikan perkelahian, memandang kepada Kakek gendut itu dan tanpa bersuara lagi, seperti dua ekor anak kerbau, mereka mengikuti Kakek itu yang meninggalkan tempat itu. Penonton juga bubaran, melanjutkan pekerjaan masing-masing dan sebentar saja perkelahian antara dua orang anak gelandangan itupun dilupakan orang. Tak seorangpun tahu mengapa dua orang anak yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja menurut dan taat kepada Kakek yang melerai dan mengajak pergi mereka. Padahal, keduanya belum mengenal siapa Kakek itu. Hanya dua orang anak itu yang tahu. Ketika Kakek itu melerai dan menyentuh pundak mereka, tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Tentu saja mereka berdua menjadi kaget bukan main, dan ketika Kakek itu mengajak mereka, keduanya tidak berani membantah. Kedua lengan mereka tidak dapat mereka gerakkan, tergantung lepas dan lumpuh, hal ini saja sudah membuat mereka menjadi takut dan khawatir. Hanya Kakek itu yang akan dapat memulihkan kedua lengan mereka, maka merekapun menurut saja ketika diajak pergi. Seng Bu sendiri dapat menduga bahwa Kakek ini tentu seorang sakti. Biarpun Ayahnya tidak pandai silat, hanya memiliki tubuh kekar sebagai seorang pemburu, namun Ayahnya banyak bercerita tentang pendekar-pendekar dan orang-orang sakti. Pemuda jangkung itupun memiliki nasib yang tidak jauh bedanya dengan Seng Bu. Pemuda itu bernama Ong Siu Coan, berusia tigabelas tahun dan dari keluarga petani.
Ayahnya pernah menjadi seorang petani yang cukup keadaannya sehingga Ong Siu Coan sempat pula bersekolah. Akan tetapi ketika terjadi pemberontakan, Ayahnya ikut pula memberontak karena Ayahnya membenci pemerintah penjajah Mancu. Pemberontakan itu dapat dipadamkan dan seluruh keluarga Ong Siu Coan binasa, harta bendanya ludas dirampok pasukan pemerintah. Untung baginya bahwa dia sendiri masih dapat menyelamatkan dirinya dan arus pengungsi membawanya sampai ke kota Kan-cou. Dia melakukan perjalanan dari utara sampai berbulan-bulan sebelum tiba di Kan-cou. Seperti juga Seng Bu, sukar sekali baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Baginya lebih sukar lagi karena ada sedikit keangkuhan dalam dirinya, merasa bahwa dia pernah menjadi anak sekolah sehingga dia enggan bekerja kasar.
Akan tetapi, berbeda dengan Seng Bu, agaknya dia tidak mengharamkan mencuri makanan kalau perutnya sudah tidak tahan lagi. Betapapun juga, di dalam dadanya bernyala api perjuangan menentang pemerintah penjajah. Pemuda remaja ini memiliki kegagahan, patriot, juga cerdik sekali, selain itu juga ada keanehan-keanehan pada wataknya. Siapakah Kakek gendut itu? Orang-orang kang-ouw biasa saja tidak akan mengenalnya, akan tetapi kau m tua di dunia kang-ouw tentu akan terkejut melihat munculnya orang yang sudah belasan tahun lamanya tidak pernah lagi nampak di dunia ramai itu. Orang ini terkenal sekali puluhan tahun yang lalu karena dia adalah seorang di antara Empat Racun Dunia! Inilah yang dijuluki orang Thian-tok (Racun Langit) yang memiliki kesaktian setingkat dengan San-tok atau Hai-tok!
Seperti juga San-tok, dia selama belasan tahun bertapa di gunung-gunung dan baru sekarang nampak muncul di dunia ramai, dan dalam keadaan sederhana, tidak seperti Hai-tok yang menjadi seorang kaya raya. Ketika Kakek ini dalam perantauannya tiba di luar pasar dan melihat dua orang pemuda remaja saling gebuk dengan ramainya, diam-diam dia memperhatikan dari jauh. Dan giranglah hatinya. Dia melihat bakat yang amat baik pada diri dua orang muda itu maka dia sengaja membawa dua orang muda itu ke tempat sunyi setelah membuat mereka tidak berdaya dengan semacam ilmu totok jalan darah yang amat halus. Thian-tok membawa mereka berdua ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil kosong yang kotor dan rusak. Tempat inilah yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini dan dia berjalan terus memasuki kuil tua sampai tiba di sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
"Nah, di sini kalian boleh melanjutkan perkelahian sampai ada yang kalah atau menang!" katanya sambil menepuk pundak kedua orang anak itu yang seketika merasa betapa mereka mampu menggerakkan lagi kedua lengan mereka. Dua orang anak ini saling pandang. Kemarahan sudah lenyap dari mereka, terganti rasa heran dan kagum akan kesaktian Kakek itu. Dan tiba-tiba ada suatu pikiran menyelinap di dalam benak mereka. Jelaslah bahwa Kakek ini hendak menguji mereka! Dan siapa tahu, yang menang akan diambil murid! Betapa akan gembiranya kalau sampai bisa menjadi murid orang sakti ini, pikir mereka dan kini mereka sudah saling pandang lagi dengan sikap bermusuh karena mereka hendak bersaing dan berebutan menjadi murid Kakek sakti.
"Ha-ha, nanti dulu!" kata Thian-tok melihat sinar mata mereka.
"Sebelum dimulai, aku ingin mengetahui dulu siapa kalian."
"Namaku Ong Siu Coan," kata pemuda jangkung.
"Namaku Gan Seng Bu," kata pula pemuda tegap.
"Bgus, bagus! Nama-nama yang bagus dan gagah. Nah, Siu Coan dan Seng Bu, sekarang buka baju kalian. Baju kalian sudah robek-robek dan akan menjadi hancur kalau tidak dibuka. Apa lagi kalau kalian tidak mempunyai pengganti." Baru teringatlah dua orang muda remaja itu akan pakaian mereka dan masing-masing menunduk dan memandang baju mereka yang robek-robek dengan muka sedih. Lalu merekapun menanggalkan baju mereka, menaruh di sudut ruangan itu. Kini mereka hanya memakai celana dan sepatu saja, tanpa baju. Mengingat akan baju mereka yang robek-robek, kemarahan kembali memenuhi dada mereka ketika mereka berdiri saling berhadapan.
"Ha-ha-ha, bagus, sekarang kalian mulailah saling hantam. Ingin aku melihat siapa yang menang," kata Kakek itu dambil naik ke atas tembok rendah. Bersila dan menurunkan tempat arak dari pinggang, juga mengambil mangkoknya. Ucapan itu merupakan komando bagi kedua orang pemuda remaja itu.
Keduanya sudah saling terjang dan saling pukul, melanjutkan perkelahian mereka di depan pasar tadi. Hanya sekarang mereka bukan sekedar melampiaskan kemarahan, melainkan berusaha untuk menang karena mereka menduga bahwa pemenangnya tentu akan diberi pelajaran silat dan diambil murid oleh Kakek gendut yang sakti ini. Terdengar lagi suara bak-bik-buk ketika mereka saling pukul sekenanya, dan Kakek itu menjadi kegirangan. Sambil menuangkan arak ke dalam mangkok dan diminumnya perlahan-lahan, dia menonton perkelahian sambil tertawa-tawa girang. Tubuh kedua orang pemuda remaja itu memang amat kuat dan keduanya tahan uji benarbenar. Muka mereka sudah matang biru oleh pukulan, hidung mereka sudah mengeluarkan darah terkena pukulan, akan tetapi keduanya tidak mau undur selangkahpun. Melihat ini, Kakek itu menjadi semakin girang dan tertawa-tawa senang.
"Bgus! Siu Coan, pukul saja dia! Seng bu, jangan mau kalah kau !" Teriaknya berulang-ulang, memberi hati kepada keduanya sehingga dua orang anak itu menjadi semakin sengit untuk saling mengalahkan. Akan tetapi agaknya Siu Coan lebih cerdik dari pada Seng Bu, walaupun dalam hal tenaga dan keuletan mereka seimbang. Karena dia lebih jangkung, Siu Coan mulai dengan gencar menyerang kepala Seng Bu dari atas. Hal ini membuat Seng Bu kewalahan, apa lagi setiap kali ada pukulan mengenai ubun-ubun kepalanya, dia merasa pening.
"Ho-ho... Seng Bu, jegal kakinya dan hantam lehernya!" Tiba-tiba Kakek itu memberi nasihat ketika melihat Seng Bu mulai terdesak. Seng Bu mentaati pesan ini dengan otomatis, kakinya menyapu ke arah kaki Siu Coan dan tangannya menghantam leher.
"Plak... Dukkk...!" Tubuh Siu Coan terpelanting karena dia selalu memperhatikan atas dan ketika kakinya ditendang dan lehernya dihantam, diapun tidak mampu bertahan dan terguling.
"Siu Coan, pegang kuncirnya! Ha-ha-ha!" Kembali si gendut memberi nasihat dan Siu Coan yang sedang terpelanting itu cepat menggunakan tangan kiri mencengkeram kuncir Seng Bu sehingga pemuda remaja inipun ikut pula tertarik dan mereka berdua terbanting jatuh bergulingan. Dan mereka lalu melanjutkan perkelahian dengan bergulat di atas lantai. Thian-tok yang berwatak aneh itu menjadi semakin gembira. Dia selalu memberi nasihat kepada yang terdesak sehingga dari keadaan terdesak, berbalik menjadi menang, akan tetapi hanya sebentar karena si gendut itu berbalik pula memberi nasihat kepada yang kalah sehingga keadaan kembali berobah. Sampai hampir dua jam mereka berhantam, bergulat dan akhirnya keduanya menggeletak kelelahan, terengah-engah hampir putus napasnya dan tidak mampu melanjutkan, hanya mendeprok di atas lantai dan saling pandang melalui mata yang bengkakbengkak membiru!
"Ha-ha-ha, istirahatlah sebentar. Nih, kuberi arak biar segar!" Kakek itu lalu menyemburkan arak dari mulutnya dan dua orang pemuda remaja itupun kehujanan arak yang amat halus dan mereka merasa terkejut bukan main karena arak itu seperti ratusan buah jarum yang menusuk-nusuk kulit mereka! Akan tetapi rasanya memang segar mengenai kulit dan biarpun begitu terkena arak bekas-bekas pukulan lawan itu terasa perih, akan tetapi lambat laun rasa linu dan nyeri berkurang banyak.
"Nah, sekarang mulailah lagi, atau seorang di antara kalian harus mengaku kalah!" Tentu saja dua orang remaja ini tidak mau mengaku kalah dan biarpun semua tulang dalam tubuh terasa patah-patah saking lelahnya, mereka bangkit berdiri lagi dan mulailah mereka berkelahi lagi. Ong Siu Coan mulai menyerang, akan tetapi karena dia mempergunakan semua sisa tenaganya dan pukulan itu luput, tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Akan tetapi Gan Seng Bu tidak mempergunakan kesempatan ini, hanya berdiri memandang lawannya yang terhuyung.
"Heh-heh, Siu Coan, salahmu sendiri. Bukan begitu caranya menyerang lawan. Nih, begini, tirulah gerakan ini!" Kakek gendut itu sudah bangkit berdiri di atas tembokan rendah dan dengan lambat namun jelas memberi contoh sejurus pukulan kepada Siu Coan. Pemuda ini cerdik sekali, memperhatikan kedudukan kaki dan gerakan tangan ketika Kakek itu memberi contoh. Setelah merasa paham betul, dia lalu menghampiri Seng Bu dan segera menyerang dengan gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek gendut. Seng Bu juga melihat gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, maka dengan ngawur saja diapun mencoba untuk menangkis.
"Dess...!" Akibatnya, tubuhnya tiba-tiba terpelanting dan jatuh terbanting cukup keras, membuat kepalanya menjadi pening.
"Ha-ha-ha, diserang orang bukan melawannya dengan jatuh bangun dan membiarkan diri dipukul!" Tiba-tiba Kakek itu berseru lagi.
"Seng Bu, beginilah kalau engkau menghadapi serangan jurus Burung Bangau Menyambar Katak tadi, perhatikan baik-baik." Kakek itu memberi contoh, kedua tangannya membentuk cakar dan lengannya bergerak seperti gerakan dua kaki depan harimau, kedua kakinya membuat kuda-kuda yang kokoh kuat. Seng Bu mencontohnya dan merasa dapat memahaminya.
"Nah, kalian lanjutkan sekarang!" kata si Kakek gendut. Siu Coan yang merasa bangga dengan jurusnya yang berhasil baik tadi menjadi penasaran. Tak mungkin Seng Bu dapat menahan serangannya seperti tadi, pikirnya. Dia pun maju lagi dan menyerang dengan jurus tadi, yang oleh si Kakek gendut dinamakan Burung Bangau Menyambar Katak. Seng Bu menyambutnya dengan jurus seperti yang diajarkan si Kakek, tangan kanannya berhasil menangkis patukan burung yang dilakukan oleh tangan lawan, kemudian dengan cepat tangan kirinya yang membentuk cakar itu menyambar muka lawan. Siu Coan terkejut dan menarik muka ke belakang, akan tetapi cakaran tangan kanan menyusul dan diapun terjengkang ke belakang dan terbanting jatuh!
"Ha-ha-ha! Itulah jurus Harimau Mencakar Batang Pohon! Engkau harus berhatihati, Siu Coan dan jangan terlalu mengandalkan sebuah seranganmu, melainkan membagi perhatian untuk berjaga diri."
Dengan gembira sekali Kakek itu lalu memberi petunjuk kepada kedua orang muda remaja itu, mengajarkan jurus baru kepada yang kalah sehingga yang kalah berbalik menang, dan yang menang itu berbalik kalah. Persis seperti tadi, akan tetapi kalau tadi dia hanya memberi petunjuk-petunjuk gerakan tertentu, kini dia memberi petunjuk jurus-jurus silat sehingga dua orang muda itu berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus ilmu silat.
Dua orang pemuda remaja itupun makin lama makin genbira mempelajari jurus-jurus itu. Lenyaplah semua permusuhan di antara mereka dan kini mereka menganggap lawan menjadi teman berlatih silat! Akan tetapi tenaga mereka terbatas dan akhirnya kembali mereka mendeprok di atas lantai. Mereka saling pandang dan jantung mereka berdebar keras karena dalam sinar mata mereka ketika saling pandang itu, keduanya merasa seolah-olah mereka saling memberi isyarat yang mereka mengerti, yaitu bahwa keduanya merasa girang dapat saling berkenalan, bahwa terdapat kecocokan yang hangat karena mereka saling serang dan sama-sama berlatih silat tadi, dan bahwa mereka berdua sama-sama ingin menjadi murid Kakek gendut sakti itu! Ong Siu Coan berkedip memberi isyarat, lalu dia bangkit duduk, berlutut menghadap Kakek gendut.
"Kakek yang baik, kami berdua mohon agar dapat menjadi muridmu." Kakek itu membuka matanya dan sinar mencorong menyambar ke arah Siu Coan.
"Heh-heh-heh!" Dia hanya tertawa. Akan tetapi Seng Bu juga sudah bangkit duduk, lalu berlutut di samping kiri Siu Coan sambil berkata,
"Benar, Locianpwe, kami berdua mohon dapat menjadi murid Locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha, bukankah kalian tadi berkelahi dan saling bermusuhan?" Siu Coan dan Seng Bu menoleh dan saling pandang. Tidak ada sedikitpun rasa permusuhan dalam hati mereka terhadap satu sama lain, dan keduanya tersenyum.
"Sekarang kami tidak lagi bermusuhan," kata Siu Coan.
"Kami malah merasa cocok dan suka, Locianpwe," kata Seng Bu.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu. Ong Siu Coan, coba jawab terus terang, mengapa engkau ingin menjadi muridku?" Tanpa ragu-ragu Siu Coan menjawab lantang,
"Saya ingin dapat menjadi seorang pandai yang dapat berjuang untuk bangsa, menjadi seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari tanah air!" Sepasang mata Kakek gendut itu terbelalak. Memang aneh sekali mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel yang tadi mati-matian berkelahi memperebutkan sepotong roti! Dan dia tertawa bergelak. Agaknya Kakek ini memang suka sekali tertawa, suara ketawa yang bebas dan lepas akan tetapi nadanya selalu mengejek.
"Ha-ha-ha, cita-cita yang terlalu tinggi, lebih tinggi dari pada cita-citaku, Ha-ha-ha! Dan kau , Gan Seng Bu, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Saya melihat Locianpwe seorang sakti, maka saya ingin menjadi murid Locianpwe agar memiliki kepandaian untuk menolong orang-orang lemah. Dunia begini kejam dan banyak orang menderita sengsara, saya mau mempergunakan kepandaian untuk menentang gerombolan yang mengganggu rakyat!" Tentu saja jawaban Seng Bu ini terdorong oleh pengalaman keluarganya yang binasa oleh gerombolan pemberontak yang di samping memberontak terhadap pemerintah, sebagian besar juga melakukan perampokan-perampokan dan mengganggu rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
"Ha-ha-ha, maksudmu gerombolan pemberontak?" Seng Bu teringat akan gerombolan yang membasmi keluarganya dan dia mengangguk.
"Wah, kalau begitu kelak kalian tentu akan bermusuhan lagi. Siu Coan ingin menjadi pemimpin pemberontak dan engkau akan menjadi penentang pemberontak. Bagaimana ini?"
"Locianpwe, saya ingin memberontak terhadap penjajah Mancu, bukan pengganggu rakyat jelata!" Siu Coan berkata dengan tegas dan penuh semangat kegagahan.
"Dan saya tidak membela pemerintah, melainkan membela rakyat yang tertindas!" kata pula Seng Bu.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus. Aku suka menjadi guru kalian..."
"Suhu...!" kata Siu Coan dan Seng Bu hampir berbareng, berlutut di depan kaki Kakek gendut itu. Si Kakek gendut tertawa bergelak beberapa lamanya, lalu tiba-tiba dia berhenti ketawa dan bersikap sungguh-sungguh.
"Kalian gigit lengan kiri sendiri sampai keluar darah!" Tiba-tiba dia berkata, sekali ini tidak tertawa lagi, bahkan suaranya terdengar galak. Dua orang anak itu hanya sebentar saja kelihatan kaget, akan tetapi tanpa menoleh ke sana-sini, Siu Coan lalu membawa lengan kirinya ke mulut dan menggigit lengan dekat pergelangan sampai kulit terobek dan darah mengalir keluar. Seng Bu juga melakukan hal yang sama walaupun tidak secepat Siu Coan.
"Mendekatlah!" Siu Coan san Seng Bu merangkak dekat, dan Kakek itu lalu menarik lengan mereka, menekan dan beberapa tetes darah keluar dari luka itu, ditadahnya dengan mangkok. Setelah menadahi beberapa tetes darah dari kedua orang pemuda remaja itu di dalam mangkok, dia lalu menuangkan arak ke dalam mangkok.
"Kalian benar-benar ingin menjadi muridku?" Dua orang anak laki-laki itu mengangguk.
"Kalau begitu bersumpahlah kepada darahmu sendiri bahwa kalian berdua sejak sekarang menjadi saudara seperguruan dan tidak boleh bermusuhan satu sama lain, dan ke dua kalian harus mentaati apa saja yang kuperintahkan tanpa ragu-ragu dan tanpa bertanya-tanya."
"Baik, Suhu." Atas petunjuk Thian-tok, kedua orang anak itu lalu berlutut delapan kali dan mengucapkan sumpah itu, dan atas permintaan Thian-tok menambahkan bahwa kalau mereka melanggar sumpah, mereka akan mati mandi darah. Kakek itu lalu minum sedikit arak bercampur darah itu, kemudian minta kepada Siu Coan dan Seng Bu untuk minum pula, seorang separuh. Dua orang pemuda remaja itu tanpa ragu-ragu minum arak bercampur darah mereka dan barulah Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, selama hidupku baru satu kali aku mempunyai murid, akan tetapi dia sudah mengecewakan hatiku. Sekarang tiba-tiba aku mendapatkan dua orang murid yang menyenangkan. Eh, Siu Coan dan Seng Bu, tahukah kalian siapa yang menjadi guru kalian ini?"
Dua orang anak itu mengangkat muka memandang wajah gurunya dan baru sekarang mereka teringat bahwa mereka itu sama sekali tidak mengenal Kakek yang telah menjadi guru mereka ini, dan betapa aneh pertemuan antara mereka dengan guru mereka itu. Mereka menggeleng kepala dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan. Kakek gendut itu tertawa. Perutnya yang besar itu bergerak-gerak seperti ada apa-apanya yang hidup di sebelah dalamnya dan matanya mengeluarkan sinar mencorong yang membuat kedua orang anak itu merasa serem dan takut. Ada sesuatu pada diri Kakek peramah ini yang amat menyeramkan dan menakutkan.
"Ha-ha-ha, ketahuilah bahwa gurumu ini bukan orang sembarangan, bahkan pada waktu ini dapat dibilang menduduki tempat nomor satu dan paling tinggi di dunia persilatan!" Tentu saja dua orang pemuda remaja itu terkejut dan girang, akan tetapi juga merasa ragu-ragu. Apakah Kakek yang menjadi guru mereka ini tidak terlalu sombong, pikir mereka.
"Orang menjuluki aku Thian-tok, Racun Langit! Ha-ha-ha, Racun Langit, seorang di antara empat Racun Dunia, akan tetapi jelas bahwa akulah yang paling hebat, ha-ha!" Dua orang pemuda remaja itu menoleh dan saling pandang. Jangan-jangan Kakek gendut ini telah miring otaknya, pikir mereka. Mereka berdua sama sekali tidak pernah mendengar julukan dengan segala Racun itu.
"Heh-heh, tentu saja kalian tidak pernah mendengar nama itu. Kalian bukan dari keluarga kang-ouw, bahkan orang-orang kang-ouw yang kepalang tanggung saja tidak akan mengenalku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kalian akan kujadikan jagoan-jagoan yang paling unggul di dunia ini."
"Terima kasih, Suhu," kata dua orang anak itu, masih agak ragu-ragu walaupun girang. Demikianlah, mulai hari itu, Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu menjadi murid-murid Thian-tok dan dua orang pemuda remaja ini mengikuti Kakek itu merantau. Makin lama mereka menjadi murid Kakek itu, mereka menjadi semakin kaget, heran dan takut di samping perasaan girang karena Kakek itu memang benar sakti sekali dan mengajarkan ilmu-ilmu yang amat tinggi kepada mereka. Yang membuat mereka merasa serem adalah setelah makin lama mereka makin mengenal watak Kakek itu.
Watak yang aneh, mendekati gila, dan kadang-kadang dapat bersikap kejam bukan main,membunuh orang sambil tertawa-tawa saja, tidak pantang pula mencuri dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya. Akan tetapi semua perbuatan itu dilakukan sambil tertawa dan dengan mempergunakan ilmu yang mengagumkan hati dua orang pemuda remaja itu. Ong Siu Coan yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan aneh, di samping kecerdikan luar biasa, agaknya suka dan cocok sekali dengan watak gurunya yang aneh itu, bahkan dia dapat ikut tertawa-tawa kalau gurunya menyiksa atau membunuh orang. Adapun Gan Seng Bu yang melihat semua ini, diam-diam merasa tidak suka. Akan tetapi karena Kakek itu sayang kepadanya dan menurunkan pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, diapun menahan diri dan berlatih dengan giatnya.
Diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan suhengnya, Siu Coan yang agak lebih tua menjadi suheng dan dia menjadi sute, karena suhengnya ini kadang-kadang juga aneh seperti orang gila. Banyak tempat mereka jelajahi dan kadang-kadang Kakek itu mengajak mereka "Pulang" yaitu ke sebuah guha besar di puncak Tai-yun-san di mana Thian-tok suka bertapa dan bersembunyi di dunia ramai. Dan dalam guha besar yang banyak rahasianya inilah Thian-tok menyimpan barang-barangnya yang ternyata amat banyak dan cukup membuat orang menjadi kaya raya, yaitu benda-benda hasil pengumpulannya ketika dia masih menjadi datuk sesat dan tumpukan benda itu masih terus ditambah dari hasil pencuriannya di gedung-gedung besar milik para hartawan atau bangsawan.
Semenjak terjadi peristiwa antara dia dengan mendiang guru silat Siauw Teng yang kemudian disusul pula dengan peristiwa dengan Tan Siucai, hati hartawan Ciu Lok Tai merasa tidak enak dan selalu terancam. Dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya banyak terdapat orang-orang seperti mereka itu, dan bahwa tulisan-tulisan Tan Siucai menghasut orang-orang yang mungkin kini memandang kepadanya dengan penuh kebencian. Orang-orang yang tidak setuju adanya candu yang beredar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dia lalu memanggil Jagoan-jagoan dari seluruh Kanton untuk menjadi pengawal-pengawalnya. Akan tetapidia selalu kurang puas dengan mereka ini. Dari hubungan dagangnya dengan orang barat, dia berhasil memperoleh sebuah senjata api yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi.
Bahkan di waktu tidur sekalipun senjata api itu disimpan di bawah bantalnya. Saking khawatirnya akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya yang timbul dari perasaan banyak dimusuhi orang, Ciu Wan-gwe atau Ciu Lok Tai selalu merasa tidak puas dengan jagoan-jagoan yang mengawalnya dan setiap ada jagoan baru yang datang untuk bekerja padanya, dia mengujinya dengan pistolnya! Setiap orang calon harus mampu menghadapi serangan pistolnya dalam jarak tiga tombak sebanyak tiga kali tembakan! Dan sampai beberapa tahun lamanya, hasilnya tidak memuaskan entah sudah berapa banyaknya jagoan yang roboh tertembus peluru, ada yang tewas dan banyak yang luka-luka. Tentu saja mereka tidak diterima, hanya diberi uang sekedar biaya berobat atau mengurus penguburannya saja.
Dan makin jarang yang berani datang melamar pekerjaan kepala pengawal itu. Terpaksa Ciu Wan-gwe harus mengandalkan keselamatannya pada pengawalan hampir seratus orang pengawal yang selalu mengepung gedungnya, hal yang amat tidak enak dirasakannya. Dia menghendaki satu dua orang saja pengawal yang benar-benar tangguh, yang mampu menghadapi musuh yang datang menyerang dengan senjata api! Dan sesungguhnya bukan karena ingin mempunyai pengawal yang tangguh saja dia mencari orang yang mampu menandingi pistolnya, akan tetapi selain itu juga dia ingin mencarikan seorang guru untuk putrinya yang terkasih. Ciu Wan-gwe mempunyai banyak istri, akan tetapi hanya dari seorang selirnya yang paling disayangnya sajalah dia memperoleh keturunan, seorang anak perempuan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila dia dan sekeluarganya amat sayang kepada Ciu Kui Eng, puterinya itu. Puterinya itu sejak kecil suka sekali dengan ilmu silat dan sejak kecil telah disuruhnya para pengawal yang memiliki ilmu silat yang lihai untuk memberi gemblengan kepada puterinya. Namun semua usahanya itu sia-sia. Agaknya tidak ada ahli silat yang berani lagi mencoba ujian dengan pistol itu. Tentu saja, di dunia persilatan banyak yang akan mampu menandingi lawan yang berpistol, akan tetapi para pendekar yang berjiwa patriot mana sudi menghambakan diri kepada seorang hartawan yang membantu penyebaran racun madat kepada rakyat jelata? Itulah sebabnya mengapa sampai lewat enam tahun setelah terjadi peristiwa dengan Tan Siucai, Ciu Wan-gwe belum juga mendapatkan seorang jagoan yang mampu menandingi pistolnya.
Dan selama enam tahun itu, terpaksa pula Kui Eng hanya belajar ilmu silat dari guru-guru biasa yang menjadi pengawal-pengawal Ayahnya. Pada suatu pagi, Kui Eng berlatih ilmu silat di pekarangan depan gedungnya, dipimpin oleh tiga orang guru silat sekaligus. Guru-guru silat ini merupakan kepala-kepala pengawal di gedung Ciu Wan-gwe. Anak ini memang manja, karena dimanja oleh keluarga orang tuanya. Kalau berlatih kadang-kadang ia minta dilakukan di pekarangan depan. Hal ini adalah karena kemanjaannya, untuk pamer karena kalau ia berlatih di pekarangan itu, orang-orang di luar gedung dapat melihatnya melalui pintu besi terbuka. Ia senang sekali mendengar seruan kagum dari orang-orang yang lewat, dan pandang mata mereka yang penuh kagum.
Ia tidak perduli apakah mereka itu sungguh-sungguh mengagumi kelincahannya bersilat, atau kecantikannya, atau juga hanya sekedar mengeluarkan seruan kagum untuk menyenangkan hatinya sebagai puteri orang terkaya di Tungkang! Ia tidak perduli. Pokoknya, ia ingin dipuji dan disanjung orang. Memang menyenangkan sekali nonton gadis cilik itu bersilat. Pada waktu itu, Kui Eng telah berusia dua belas tahun, seorang gadis remaja yang sudah mulai nampak kecantikannya walaupun masih kekanak-kanakan. Wajahnya manis sekali, sinar matanya tajam dan pakaiannya indah. Gerakan-gerakannya juga indah dan manis gemelai, seperti orang menari saja dan tiga orang guru silat yang melatihnya memandang sambil kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala dengan hati bangga. Ketika orang-orang di luar pintu gerbang berkerumun ikut nonton, hati tiga orang guru silat ini semakin besar. Kamilah gurunya, demikian hati mereka bersorak.
"Heiiiittt...!!" Kui Eng mengakhiri gerakan silatnya dengan sebuah pukulan mematikan kepada lawan yang hanya dibayangkannya saja, kemudian ia berdiri tegak ke arah pintu gerbang sambil tersenyum manis, menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir rambutnya yang hitam panjang itu ke belakang. Terdengarlah tepuk tangan dan sorakan memuji dari luar pintu gerbang dan seperti seorang pemain panggung yang menerima pujian para penontonnya, Kui Eng mengangguk-angguk ke arah mereka sambil memperlebar senyumnya. Akan tetapi, dari penonton itu muncul seorang Kakek yang pakaiannya jubah pendeta atau tosu. Kakek ini sukar ditaksir usianya, tentu sudah sekali usianya. Tubuhnya pendek kecil, kepalanya botak hampir gundul. Alis, kumis dan jenggotnya panjang dan sudah putih semua, dan tangan kirinya memegang tasbeh hitam, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam butut.
JILID 07
"Heh-heh, nona cilik. Engkau tadi menari ataukah bersilat? Uhhh, bukan begitulah orang bersilat!" Wajah gadis cilik yang tadinya berseri-seri itu berubah, sepasang alisnya yang hitam berkerut dan sepasang matanya yang tajam itu memandang marah.
"Kau... Kakek lancang mulut! Siapakah kau ?" bentaknya sambil membanting kaki kanannya karena jengkel dicela oleh Kakek itu yang dianggapnya sebagai penghinaan dan mengusir semua rasa bangga dari hatinya.
"Heh-heh, kalau engkau haus pujian seperti itu, sampai kapanpun engkau tidak akan bisa menguasai ilmu silat yang sesungguhnya, kecuali ilmu tari-tarian yang nampak indah saja. Lebih baik belajar menari saja, nona." Melihat munculnya Kakek itu yang mencela ilmu silat murid mereka, tentu saja tiga orang guru silat yang juga menjadi kepala pengawal itu menjadi marah sekali. Mereka maju menghadapi Kakek itu dan memandang dengan penuh perhatian, ingin tahu siapa gerangan Kakek yang lancang dan berani mencela murid mereka itu. Akan tetapi, mereka merasa belum pernah mengenal Kakek ini, juga tidak pernah mendengar adanya seorang tokoh persilatan seperti Kakek ini. Seorang Kakek pendek kecil, ditiup saja rasanya sudah akan terjungkal! Pada saat itu, terdengar suara pertanyaan yang nyaring,
"Ada apakah? Kenapa ribut-ribut?" Melihat munculnya Ayahnya dari dalam, Kui Eng yang manja lalu lari dan merangkul pinggang Ayahnya.
"Ayah, Kakek itu kurang ajar sekali, berani mencela ilmu silatku, mengatakan agar aku belajar menari saja karena ilmu silatku seperti orang menari." Sementara itu tiga orang guru silat ketika melihat majikan mereka keluar, menjadi semakin galak, seperti anjing-anjing peliharaan yang mengibaskan ekor melihat majikannya dan ingin menjilat dan mencari muka.
"Kakek tua bangka tak tahu diri, berani engkau lancang mulut mencela permainan murid kami?" Seorang di antara tiga kepala pengawal itu membentak.
"Kalau tidak melihat engkau sudah tua mau mati, tentu aku sudah menghajarmu!" teriak pula orang ke dua.
"Engkau ini Kakek busuk yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, besar mulut sekali berani menilai!" bentak orang ke tiga.
"Tahan dulu!" Ciu Wan-gwe berseru melihat betapa tiga orang kepala pengawalnya mulai bergerak hendak menghajar Kakek itu dan belasan orang pengawal yang tertarik oleh keributan itupun sudah keluar dan siap untuk mengeroyok. Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja menahan gerakan mereka ketika mendengar teriakan majikan mereka. Ciu Wan-gwe lalu duduk di atas sebuah kursi yang diseret datang oleh seorang pengwalnya, kemudian dia memandang Kakek yang masih berada di perkarangan itu. Sejenak ia memandang keadaan Kakek itu penuh perhatian, mengharapkan akan bertemu dengan seorang aneh yang sakti. Akan tetapi hatinya kecewa. Kakek setua itu, dengan tubuh begitu kerempeng, mana mungkin sakti? jalannya saja sudah dibantu tongkat hitam butut, dan kerjanya tentu hanya berdoa dan menghitung biji tasbeh!
"Ayah, dia kurang ajar, berani menghinaku," puterinya yang berdiri di sisinya berkata penasaran. Ayahnya mengangguk, lalu berkata kepada Kakek itu,
"Kakek tua, sungguh kami tidak mengerti mengapa engkau begitu usil untuk mencela permainan silat anakku. Anakku ini selama bertahun-tahun dilatih ilmu silat oleh mereka bertiga, bagaimana sekarang engkau berani mencela permainan anakku? Dengan demikian berarti engkau mencela ilmu silat mereka bertiga. Apakah menurut pendapatmu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka bertiga itu?" Kakek itu sambil menyeringai lebar, memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi, memandang sejenak kepada Ciu Wan-gwe, kemudian menoleh kepada tiga orang kepala pengawal itu dan berkata,
"Mereka bertiga ini seperti anjing-anjing yang pandai menggonggong saja akan tetapi tidak mampu menggigit!" Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu menjadi marah bukan main, apa lagi ketika mereka melihat betapa pandang mata semua orang berseri seolah-olah mentertawakan mereka, walaupun tidak ada suara ketawa yang terdengar. Akan tetapi, di depan majikan mereka, tidak berani mereka bertindak lancang.
"Taiya (tuan besar), Kakek tua bangka ini terlalu menghina kami, bolehkah kami menghajarnya?" seorang di antara mereka minta perkenan. Ciu Wan-gwe kembali memandang Kakek itu.
"Kakek tua, beranikah engkau melawan tiga orang kepala pengawal kami ini?" Lalu disambungnya, "Kalau kau tidak berani, cepat berlutut dan minta ampun kepada puteriku, juga kepada tiga orang kepala pengawalku!"
"Ho-ho, jangankan baru tiga ekor anjing penjilat ini, biar ditambah tiga puluh lagi, tongkatku masih sanggup mengusir mereka!" Kakek itu mengacung-acungkan tongkat hitamnya seolah-olah bersikap hendak mengusir anjing-anjing yang berani mengganggunya. Tentu saja ucapan dan sikapnya ini dianggap keterlaluan dan mulailah orang-orang menganggap bahwa Kakek itu tentu seorang yang miring otaknya. Ciu Wan-gwe juga menduga demikian, maka diapun merasa tidak enak kalau tiga orang kepala pengawalnya sampai mengeroyok seorang Kakek tua renta yang gila.
"Seret orang tua gila ini keluar pintu dan lemparkan dia di jalanan!" bentak Ciu Wan-gwe kepada tiga orang kepala pengawalnya. Tiga orang kepala pengawal yang tadinya marah sekali itu kinipun saling pandang. Mereka juga menduga bahwa Kakek ini tentu orang gila, maka tidak enaklah hati mereka kalau harus menghajar, apa lagi mengeroyok seorang Kakek gila yang sekali dorong saja akan roboh dan mungkin tewas. Mereka tidak mau mencari perkara dan biarlah mereka akan menyeret saja Kakek itu dan melemparnya keluar pintu seperti yang diperintahkan majikan mereka.
"Kakek gila, minggatlah dari sini!" teriak mereka dan tiga orang kuat itu lalu mencengkeram tubuh si Kakek. Seorang memegang lengan kiri, seorang memegang lengan kiri, seorang lengan kanan dan orang ke tiga mencengkeram tengkuk Kakek itu.
Mereka bermaksud untuk menyeretnya dan melemparkannya keluar. Akan tetapi kini terjadi keanehan yang membuat semua orang terbelalak. Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja adalah orang-orang yang bertenaga besar, berusia kurang dari lima puluh tahun dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Akan tetapi kini mereka bertiga itu nampak terkejut karena ternyata mereka tidak kuat dan tidak mampu menarik tubuh si Kakek tua! Biarpun mereka telah mengerahkan tenaga membetot-betot, namun sedikitpun tubuh Kakek itu tidak bergeming! Kakek itu berdiri tegak dan hanya tersenyum menyeringai, akan tetapi tiga orang kepala pengawal itu seperti tiga ekor monyet yang berusaha mencabut sebatang pohon yang akarnya mencengkeram tanah amat kuatnya! Tiga orang itu tentu saja bukan hanya terkejut dan heran, akan tetapi juga penasaran sekali.
"Uhhh! Hehhh! Uhhh!" Mereka mengerahkan tenaga sekuatnya, tidak percaya bahwa mereka tidak akan mampu menyeret tubuh tua yang ringkih itu.
"Prooott...!" Tanpa disangka-sangka, dan tidak dapat ditahan-tahan, seorang di antara tiga kepala pengawal itu yang pagi tadi terlalu banyak makan bubur gandum, mengeluarkan gas yang memberobot dari belakang. Agaknya pengerahan tenaga sekuatnya itu membuat bendungan belakangnya jebol.
"Uwahhhh... bau kentut busuk...!" Kakek itu menutupi hidungnya dengan sikap jijik dan memandang kepada Ciu Wan-gwe.
"Wan-gwe lihat, betapa sia-sianya memberi makan enak kepada mereka ini, hanya menjadi kentut busuk saja!" Terdengar suara ketawa karena mereka yang nonton di luar pintu gerbang tak dapat menahan rasa geli di dalam hati mereka melihat peristiwa lucu itu. Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu selain terkejut dan heran, juga marah dan penasaran sekali. Kini merekapun dapat menduga bahwa Kakek ini seorang pandai, akan tetapi karena Kakek itu mereka anggap terlalu menghina dan juga merendahkan mereka dalam pandangan Ciu Wan-gwe, berarti membahayakan kedudukan mereka, maka merekapun menjadi nekat.
"Tua bangka, engkau menggunakan ilmu siluman!" teriak mereka dan kini mereka tidak hanya berusaha menyeret, melainkan menggerakkan tangan untuk memukul tubuh Kakek kecil kurus itu dengan pengerahan tenaga yang kuat. Tiga buah tangan yang dikepal kuat menghantam ke arah punggung, dada dan kepala Kakek itu yang agaknya sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis. Melihat ini, semua orang merasa khawatir, bahkan Ciu Wan-gwe sendiri mengerutkan alisnya.
Kakek itu tentu akan tewas dan dia tidak suka melihat tiga orang kepala pengawal itu membunuh orang di rumahnya tanpa perintah darinya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika tiga kepalan tangan itu menimpa sasarannya. Akan tetapi terjadilah keajaiban. Bukan tubuh kecil kurus itu yang ringsek, melainkan tubuh tiga orang kepala pengawal itulah yang terpental, terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah! Tiga orang kepala pengawal itu tidak terluka parah, hanya benjut-benjut saja karena terbanting. Mereka terpental oleh tenaga sendiri yang membalik secara aneh. Andaikata mereka tadi memukul dengan tenaga kecil, tentu mereka tidak akan menderita apa-apa, dan mungkin hanya pukulan itu membalik. Akan tetapi mereka menggunakan tenaga besar dan ketika tenaga mereka membalik, mereka seperti terpukul oleh tenaga sendiri yang membuat mereka terpental dan terjengkang.
"Kakek iblis!" Teriak mereka dan kini mereka sudah menyambar golok mereka.
Tiga orang ini adalah kepala pengawal Ciu Wan-gwe yang berpengaruh di antara para pejabat daerah, oleh karena itu mereka berani mempergunakan senjata tajam walaupun ada peraturan resmi dari pemerintah yang melarang orang memiliki dan membawa senjata tajam. Dengan kemarahan meluap, tiga orang itu sudah menerjang Kakek kecil kurus dan pendek itu tanpa banyak cakap lagi. Ciu Wan-gwe hendak mencegah, akan tetapi tiba-tiba diapun tertarik sekali. Siapa tahu Kakek pendek kecil ini seorang yang sakti dan dia amat membutuhkan orang sakti, terutama sekali yang akan mampu menandingi pistolnya! Dia membutuhkan seorang pengawal sakti, bukan hanya untuk menjaga keselamatan keluarganya, juga terutama sekali untuk dapat menjadi guru Kui Eng. Maka, dia membiarkan tiga orang kepala pengawalnya itu untuk menyerang Kakek itu untuk mengujinya.
Semua orang memandang dengan mata terpentang lebar-lebar untuk mengikuti gerakan mereka yang berkelahi. Tiga orang kepala pengawal itu menyerang si Kakek kecil dari tiga jurusan dan Kakek itu agaknya tidak akan berpindah dari tempat dia berdiri. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika tiga orang penyerang itu telah tiba dekat dan golok mereka itu sudah menyambar, hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari tubuh Kakek itu, tiba-tiba mereka bertiga mengeluarkan teriakan kaget dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri, padahal Kakek itu hanya memutar tasbehnya satu kali saja dan tidak
kelihatan tasbeh itu mengenai tubuh mereka. Sekali ini, tiga orang Kakek itu terbanting keras sekali dan golok mereka terlepas, dan sekali ini tidak mudah bagi mereka untuk meloncat bangun, melainkan mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak bangun.
Kini mereka telah sampai di batas yang tidak mungkin untuk mundur lagi. Mereka jelas telah mendapat malu dari Kakek itu, bukan hanya di depan majikan mereka, bahkan di depan banyak orang yang berkerumun di depan pintu. Mereka akan menjadi bahan ejekan, nama mereka akan merosot dan jatuh. Tidak ada lain jalan kecuali nekat mengadu nyawa dengan orang yang mendatangkan malapetaka bagi mereka itu. Biarpun tubuh mereka terasa sakit-sakit, dan biarpun mereka kini sudah tahu bahwa Kakek itu sungguh seorang yang amat lihai, mereka yang sudah nekat itu lalu berhasil bangkit kembali, mengambil golok mereka dan dengan sikap mengancam kini mengurung Kakek itu yang hanya tersenyum menyeringai dengan sikap mengejek dan memandang rendah.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar bentakan Ciu Wan-gwe kepada tiga orang kepala pengawalnya.
"Mundurlah kalian dan biarkan aku bicara dengan Kakek itu!" Mendengar perintah majikan mereka, tiga orang itu menyimpan golok dan mundur, dengan hati yang agak lega karena mereka kini dapat menghentikan perkelahian itu bukan karena kalah, melainkan karena dilerai dan dilarang oleh majikan mereka. Semua orang dapat melihat bahwa walaupun sudah dua kali roboh, mereka masih belum menyerah dan akan menyerang lagi, berarti mereka belum kalah! Mereka kini berani mengangkat dada sambil mundur mendekati nona majikan, juga murid mereka yang kini bersama Ayahnya sudah turun dari atas undakundakan.
"Orang tua yang gagah," kata Ciu Wan-gwe ketika berhadapan dengan Kakek itu.
"Sudah lama sekali kami mencari seorang pengawal yang memiliki kesaktian. Akan tetapi usaha kami itu selalu gagal karena semua pelamar tidak mampu lulus dalam ujian yang kami adakan. Melihat kehebatanmu yang mampu melawan tiga orang kepala pengawalku, agaknya engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Maukah engkau menjadi pengawal keluarga kami? Berapa saja upah yang kau minta, tentu akan kami penuhi!" Sejenak mata Kakek itu memandang Ciu Wan-gwe dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia tertawa.
"Heh-heh, semua orang di dunia ini gila akan uang, dari kecil sampai tua dan mati. Akan tetapi apakah artinya uang bagi seorang tua renta macam aku ini? Tidak, Wan-gwe, aku tidak gila harta. Aku mau tinggal di sini dan menjadi pengawal keluargamu, bukan untuk uang, melainkan untuk anak itu!" Kakek kecil pendek itu menudingkan tongkat hitamnya ke arah Kui Eng yang sejak tadi berdiri nonton dengan sepasang mata bersinar-sinar. Mendengar ucapan itu, Ciu Wan-gwe mengerutkan alisnya dan sudah siap mengerahkan seluruh pengawalnya kalau Kakek kecil itu hendak berbuat yang tidak sepatutnya.
"Orang tua yang aneh, apa artinya kata-katamu yang menyangkut puteri kami ini?" tanyanya dengan suara setengah membentak karena dia menyangka bahwa Kakek itu mempunyai niat yang tidak baik.
"Heh-heh, kalau bukan karena puterimu itu, perlu apa aku datang ke tempat ini? Kakek itu balas bertanya.
"Tadi aku telah melihat gerak-geriknya dan aku berpendapat bahwa baru sekaranglah aku menemukan calon murid yang sudah lama kucari-cari." Mendengar ini, bukan main girangnya rasa hati Ciu Wan-gwe.
"Kakek yang sakti, tidak mudah menjadi guru puteriku dan pengawal pribadi keluargaku. Engkau harus melalui sebuah ujian dariku..."
"Heh-heh, kau terlalu mengandalkan dan membanggakan senjata apimu itu, Wan-gwe. Orang lain boleh jadi takut menghadapinya, akan tetapi aku tidak!" Mendengar jawaban ini, hati Ciu Wan-gwe menjadi semakin girang. Baru sekaranglah timbul harapan di dalam hatinya yang ingin menemukan seorang yang demikian saktinya sehingga bukan saja berilmu tinggi, akan tetapi juga mampu mengalahkan lawan yang mempergunakan senjata api. Ketika dia melihat bahwa banyak orang berkerumun di depan pintu gerbang, Ciu Wan-gwe lalu menyuruh para pengawal mengusir orang-orang itu dan menutupkan daun pintu gerbang, kemudian dia mempersilahkan Kakek itu dengan sikap hormat.
"Orang tua yang gagah, sebelum kita bicara tentang pengangkatanmu sebagai pengawal keluarga dan guru puteriku, marilah lebih dahulu buktikan bahwa engkau mampu menandingi orang yang mempergunakan senjata api. Bagaimana?" Berkata demikian, hartawan itu lalu mengeluarkan sebuah pistolnya, senjata yang amat diandalkan, dan yang ditakuti oleh semua orang, termasuk para pengawalnya. Entah sudah berapa banyak orang berkepandaian tewas atau luka-luka oleh senjata ini ketika mereka diuji untuk menjadi pengawal keluarga Ciu. Kakek itu terkekeh.
"Heh-heh, boleh saja, boleh sekali. Bagaimana caranya, Wan-gwe?"
"Seperti yang pernah saya lakukan kepada para pelamar pekerjaan pengawal keluarga kami. Engkau berdiri dalam jarak tiga tombak dan menghadapi serangan pistolku sebanyak tiga kali. Kalau engkau tidak roboh oleh tiga kali tembakan, berarti kau lulus. Akan tetapi kalau merasa gentar, sebaliknya batalkan saja karena sudah banyak orang yang terluka bahkan tewas oleh peluru-peluru pistol ini." Berkata demikian, Ciu Wan-gwe mengelus pistolnya yang dipelihara baik-baik sampai mengkilap. Kakek itu terkekeh.
"Heh-Heh-heh, jarak tiga tombak cukup dekat bagiku untuk merobohkan orang yang akan menembakku. Mungkin sebelum menembak dia sudah jatuh olehku. Akan tetapi kalau engkau hendak mengujiku dengan tiga tembakan, silahkan, Wan-gwe. Tembakan pertama akan kutangkis. Tembakan ke dua akan kuelakkan dan tembakan ke tiga sebelum meletus, pistol itu sudah akan pindah ke tanganku!" Semua orang terbelalak dan menganggap Kakek itu benar-benar sudah gila, atau memang orangnya sombong setengah mati. Mana ada orang mampu menangkis peluru? Mengelakkan mungkin bisa walaupun hal ini amat sukar dan berbahaya. Dan merampas peluru sebelum ditembakkan juga rasanya tidak mungkin. Akan tetapi Ciu Wan-gwe mempunyai penilaian tinggi terhadap Kakek kecil pendek ini dan diapun mengajak Kakek itu untuk pergi ke ruangan belakang.
"Kami mempunyai ruangan yang khusus untuk ujian itu, agar peluru tidak sampai nyasar membahayakan orang lain." Sambil tersenyum-senyum Kakek itu lalu mengikuti Ciu Wan-gwe dan para pengawal yang semua segera tertarik untuk menyaksikan kelihaian Kakek ini. Kui Eng sendiri sejak tadi sudah merasa kagum kepada Kakek yang mampu mengalahkan tiga orang gurunya hanya dalam dua gebrakan saja, maka iapun tidak mau ketinggalan dan ikut ke ruangan itu dengan wajah berseri dan pandang mata bersinar-sinar. Suasana amat menegangkan ketika Kakek itu dengan kedua tangan masih memegang tongkat dan tasbeh, berdiri dengan sikap amat tenangnya di depan Ciu Wan-gwe, hanya dalam jarak tiga tombak saja, kurang lebih lima meter!
"Sebelum aku menembakkan pistolku, aku ingin mengetahui siapakah sebetulnya Locianpwe ini, datang dari mana dan mengapa tiba-tiba saja mengunjungi kami?" Ciu Wan-gwe bertanya sambil menimang-nimang pistolnya yang sudah diisi enam peluru baru. Karena dia sendiri tidak pandai ilmu silat dan untuk mempelajarinya memakan waktu lama dan dia tidak tekun, maka dia mempelajari ilmu menembakkan pistol itu dan dalam hal ini Ciu Wan-gwe dapat dibilang mahir juga. Tidak enak rasanya menembak orang yang belum diketahuinya siapa karena mungkin saja Kakek ini akan tewas oleh peluru pistolnya.
"Ciu Wan-gwe, begitu memasuki Tung-kang, aku sudah mendengar bahwa engkau mencari seorang pengawal keluarga dengan ujian pistol. kau ingin mengetahui namaku? Heh-heh, aku tidak punya nama, akan tetapi aku pernah dikenal orang dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), heh-heh! Dan tempat tinggalku adalah di dunia ini, di mana saja aku berada di situlah tempat tinggalku. Nah, aku sudah siap, Ciu Wan-gwe." Nama ini sama sekali tidak dikenal oleh Ciu Wan-gwe maupun para pengawalnya yang saling pandang. Akan tetapi sikap Kakek itu sungguh mengesankan hati semua orang dan kini timbul kepercayaan di hati hartawan itu bahwa Kakek inilah yang kiranya akan mampu lulus ujian pistolnya.
"Baik, Locianpwe, aku akan menghitung sampai tiga baru akan kutembakkan peluru pertama yang disusul peluru ke dua dan ke tiga tanpa hitungan lagi. Awas, tembakanku cepat dan tepat, Locianpwe."
"Ha-ha-ha, aku sudah siap sejak tadi, mulailah!"
"Satu... dua... tiga... Dorrr...! Tringgg...!"
Ketika Ciu Wan-gwe tadi menghitung sampai tiga, Kakek itu tiba-tiba memutar tongkatnya dan nampaklah gulungan sinar hitam lebar menutupi tubuhnya di bagian depan seperti sebuah perisai lebar sehingga ketika tembakan pertama dilakukan, peluru itu tertangkis perisai istimewa itu dan pelurunya terpental entah kemana. Ciu Wan-gwe terkejut dan sudah siap menembakkan peluru ke dua. Pada jaman itu, pistol yang dipergunakan besar dan berat, memiliki daya tendang yang kuat sehingga untuk menembakkannya orang harus mengerahkan tenaga dan membanting ke depan. Hal ini tentu saja memperlambat gerakan menembak dan begitu pistol itu meledak dan asap mengepul sebagai tembakan ke dua, tubuh Kakek kecil pendek itu sudah lenyap karena dia sudah melempar tubuh ke atas tanah, beberapa detik saja dari lewatnya peluru yang mengenai dinding tebal di belakangnya!
Ternyata Kakek itu mampu menghindarkandiri dari peluru ke dua dengan cara mengelak seperti yang dijanjikannya tadi. Ciu Wan-gwe melihat tubuh kecil itu bergulingan. Dia teringat bahwa Kakek tadi berjanji akan merampas pistol sebelum tembakan ke tiga kalinya dilakukan. Biarpun dia kagum terhadap Kakek yang mampu menghindarkan diri dari dua kali tembakan, namun rasa harga dirinya dan kebanggaannya tersinggung kalau dia dikalahkan, maka dia sengaja memegang pistolnya erat-erat dan cepat-cepat hendak menembakkan peluru ke tiga ke arah tubuh yang bergulingan sebelum pistolnya terampas sehingga andaikata dia luput menembak juga, tetap saja pistol itu berada di tangannya dan tidak terampas.
Dengan demikian, walaupun si Kakek lulus, akan tetapi tidak mampu merampas pistolnya! Akan tetapi tubuh itu bergulingan dengan amat cepatnya sehingga sukarlah dia menentukan bidikannya. Sasaran yang bergerak demikian cepatnya memang sukar ditembak. Tiba-tiba nampak sinar hitam kecil berkelebat, disusul teriakan Ciu Wan-gwe dan pistol itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya yang mendadak menjadi lumpuh karena pergelangan tangannya tadi disambar sebutir biji tasbeh yang tepat mengenai jalan darahnya! Sebelum dia mampu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja tubuh yang bergulingan itu berkelebat dan pistol yang jatuh ke atas tanah itu telah disambar oleh tangan si Kakek kecil yang kini sudah berdiri lagi sambil memegang pistol yang masih mengepulkan asap itu, menimangnya dengan alis mata berkerut dan hidung diangkat mencemoohkan!
"Bgus..., bagus...!" Kui Eng bersorak dan bertepuk tangan dan perbuatan ini segera diturut oleh para pengawal yang merasa kagum bukan main. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentu mereka tidak akan percaya bahwa ada orang bukan hanya berhasil menghadapi serangan tiga kali tembakan dari jarak dekat, bahkan sebelumnya telah menentukan cara penghindaran diri dengan menangkis, mengelak lalu merampas pistol! Setelah kehilangan rasa kagetnya, Ciu Wan-gwe yang ternyata tidak mengalami cedera, hanya kaget karena tangannya tiba-tiba lumpuh, kini ikut pula bertepuk tangan memuji. Dia tersenyum girang ketika Kakek itu tanpa berkata-kata mengembalikan pistolnya yang cepat disimpannya. Sebagai orang yang pandai mengambil hati pembantu yang berguna, Ciu Wan-gwe lalu menjura ke arah Tee-tok dan berkata,
"Ah, sungguh Thian telah mengirimkan seorang sahabat dan seorang pandai yang sakti kepada keluarga kami. Locianpwe, mulai hari ini, Locianpwe adalah penyelamat keluarga kami dan murid anak tunggal kami. Kui Eng, cepat beri hormat kepada Suhumu!" Kui Eng adalah seorang anak perempuan yang cerdik sekali. Biarpun ia pernah dilatih oleh para pengawal Ayahnya, akan tetapi ia tidak pernah menganggap mereka itu guru-gurunya apa lagi karena merupakan nona majikan mereka. Kini, berhadapan dengan seorang Kakek yang begitu sakti, tanpa ragu-ragu lagi iapun menjatuhkan diri berlutut memberi hormat delapan kali kepadanya.
"Suhu, terimalah hormat teecu Ciu Kui Eng!"
"Ha-ha-ha, namamu Ciu Kui Eng? Bagus, mulai sekarang engkau menjadi muridku. Kui Eng, engkau tidak tahu bahwa mulai detik ini, engkau telah mengangkat dirimu sendiri menjadi calon wanita paling lihai di dunia ini!" Semua orang yang mendengar ucapan ini menganggap bahwa Kakek itu memang sombong sekali.
Akan tetapi Kui Eng tidak berpendapat demikian. Ia percaya penuh akan ucapan Suhunya dan ia menganggap bahwa Suhunya adalah orang yang paling pandai di dunia persilatan. Dugaannya memang tidak meleset jauh karena pada jaman itu, orang yang dapat manandingi Tee-tok memang hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja. Mulai hari itu, Tee-tok tinggal bersama keluarga hartawan Ciu Lok Tai. Biarpun dianggap pengawal pribadi keluarga Ciu, namun dia tidak pernah bekerja sebagai pengawal dan semenjak dia berada di situ, tidak pernah ada orang seperti mendiang Tan Siucai yang berani mati, apa lagi sekarang setelah tersiar berita bahwa pengawal keluarga itu adalah seorang yang demikian saktinya sehingga mampu melawan musuh yang mempergunakan senjata api!
Dan biasanya, berita itu selalu dibesar-besarkan, semut menjadi gajah, sehingga nama Tee-tok menjadi semakin terkenal dan ditakuti orang. Yang merasa beruntung adalah Kui Eng. Anak perempuan ini memang sejak kecil amat suka mempelajari ilmu silat dan ia memiliki bakat yang amat baik. Kini, di bawah bimbingan seorang guru yang amat pandai, tentu saja ia memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga gurunya sendiripun merasa senang kepadanya. Ia berkemauan keras dan tidak mengenal lelah, berlatih dengan tekunnya di samping kecerdikannya sehingga setiap jurus ilmu silat yang diajarkan gurunya, betapapun sukarnya, dipelajari dan dilatihnya sampai sempurna benar baru ia mau berhenti latihan. Setelah menjadi murid Tee-tok yang berwatak aneh dan tidak perdulian, watak Kui Eng menjadi semakin keras, angkuh dan manja, akan tetapi iapun amat menghargai kegagahan dan tidak mau bersikap rendah.
Sang Waktu melesat dengan kecepatan kilat, dan hal ini terbukti apa bila kita mengenang kembali masa lampau. Demikian cepatnya sang waktu berkelebat sehingga tahun-tahun beterbangan seperti detik-detik saja. Seorang Kakek-kakek akan teringat masa kanak-kanaknya seperti baru kemarin saja dan agaknya sukar untuk percaya bahwa waktu kanak-kanak itu telah ditinggalkannya selama puluhan tahun lamanya! Sebaliknya, kalau kita mengamati dan memperhatikan, waktu merayap seperti siput, perlahan-lahan dan seperti tidak pernah maju. Sang Waktu nampak diam namun bergerak, dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas, seperti juga Tanah. Waktu menelan dan melahap semuanya, apa saja yang nampak, apa saja yang hidup. Bahkan segala macam perasaanpun ditelannya habis-habis. Kesenangan, kedukaan, apa saja, akan lenyap ditelan waktu, seperti juga Tanah yang akhirnya menelan segala sesuatu di dalam perutnya.
Waktu melesat dengan cepat dan hampir enam tahun lewat semenjak Siauw-bin-hud berjanji kepada para tokoh yang memperebutkan pedang pusaka Giok-liong-kiam, untuk mencari pusaka itu. Selama waktu itu, Siauw-bin-hud mengajak Ci Kong merantau sambil melakukan penyelidikan. Anak itu sendiri tidak tahu bagaimana cara Kakek itu melakukan penyelidikan, akan tetapi sering kali di waktu malam, Kakek itu lenyap. Pada suatu pagi, nampak seorang Kakek gendut berjalan memasuki kota Nan-ping di Propinsi Hokkian, ditemani seorang pemuda yang berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan nampaknya seperti seorang pemuda petani biasa. Wajah pemuda ini tampan dan sikapnya gagah walaupun dari gerak-geriknya terbayang kesederhanaan dan kerendahan hati. Usianya kurang lebih sembilanbelas tahun. Kakek gendut itu kepalanya gundul bulat seperti juga perutnya.
Wajahnya periang, matanya berseri lembut dan mulutnya tersenyum-senyum, usianya sukar ditaksir karena wajahnya yang berseri itu masih nampak segar. Dia bisa saja berusia delapan puluh tahun, akan tetapi mungkin juga kurang dari enam puluh tahun. Jubahnya dan kepalanya gundul menandakan bahwa Kakek itu seorang Hwesio . Jubahnya berwarna kuning longgar. Kakek itu bukan lain adalah Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang hampir enam tahun yang lalu keluar dari ruangan pertapaannya, hanya untuk dihadapkan sebuah tugas yang amat sulit, yaitu mencari sebuah pusaka yang dirampas oleh seorang yang agaknya menyamar sebagai dirinya. Tanpa mengetahui siapa orang itu, di mana tempat tinggalnya, bahkan selamanya belum pernah dia melihat Giok-liong-kiam, tentu saja mencari perampas itu tidaklah mudah.
Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat selama hampir enam tahun dan barulah dia menduga-duga siapa adanya orang yang telah memalsukan dirinya itu. Namun, dia masih belum yakin benar dan karena itu, pada pagi hari ini dia bersama cucu muridnya, Tan Ci Kong, berada di kota Nan-ping. Selama itu, sambil merantau melakukan penyelidikan mencari jejak perampas Giok-liong-kiam, Kakek ini setiap hari melakukan penggemblengan atas diri cucu muridnya. Tan Ci Kong adalah seorang pemuda yang berbakat baik sekali dan berkemauan keras. Kini, menerima gemblengan seorang sakti seperti Siauw-bin-hud, tentu saja dia memperoleh kemajuan yang hebat! Kakek itu hanya menurunkan ilmu-ilmu yang amat tinggi dan lewat hampir enam tahun itu, kini Ci Kong telah menjadi seorang pemuda berusia sembilanbelas tahun yang sakti! Kalau melihat orangnya, begitu pendiam dan sederhana, seperti seorang pemuda tani saja.
Takkan ada orang dapat menyangka bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersembunyi ilmu kepandaian dan tenaga yang sukar ditandingi. Setelah memasuki kota Nan-ping, Siauw-bin-hud mengajak cucu muridnya terus keluar lagi dari kota itu melaui pintu gerbang utara, kemudian berjalan mendaki sebuah bukit yang nampak hitam kehijauan. Dari bawah, nampak tembok bangunan di puncak bukit, samar-samar nampak di antara pohon-pohon di hutan puncak. Ci Kong yang selalu mengikuti paman Kakek gurunya itu, diam-diam merasa prihatin karena walaupun Kakek itu tidak pernah mengeluh, dia tahu betapa Kakeknya belum juga berhasil menemukan perampas Giok-liong-kiam yang dicarinya selama ini. Kini, melihat bahwa Kakek itu jelas menuju ke puncak bukit, hatinya yang merasa kasihan kepada Kakek yang telah menjadi gurunya itu dan dia tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.
"Susiok-Couw, tempat apakah yang akan kita kunjungi di puncak bukit itu?" Seperti biasa kalau bicara, Siauw-bin-hud mendahuluinya dengan senyum cerah, lalu dia berkata,
"Yang di puncak bukit itu adalah pusat dari perkumpulan Ang-hong-pai." Biarpun dia sendiri tidak pernah dimintai bantuan atau disuruh melakukan sesuatu oleh Kakek itu dalam urusan mencari jejak pembawa Giok-liong-kiam,
Akan tetapi Ci Kong sudah mendengar akan semua hal mengenai Giok-liong-kiam, semenjak dicuri orang dari Thian-te-pai sampai menjadi perebutan dan akhirnya terampas oleh orang yang memalsukan nama Siauw-bin-hud. Oleh karena itu, diapun sudah mendengar akan nama Ang-hong-pai, bahkan ketika terjadi keributan di depan kuil Siauw-lim-si, diapun melihat sendiri sepak terjang orang-orang yang hendak memperebutkan Giok-liong-kiam. Dari gurunya, Nam Sam Losu, diapun mendengar banyak tentang Ang-hong-pai sebagai satu di antara pihak yang ingin memiliki pusaka yang diperebutkan itu. Dia teringat akan cerita bahwa dalam perebutan pertama, muncul seorang tokoh Ang-hong-pai yang tidak berhasil pula merampas pusaka itu. Sejak itu, tidak terdengar lagi tentang orang-orang Ang-hong-pai, juga mereka tidak datang mengganggu Siauw-lim-si.
"Tentu Susiok-Couw hendak mencari tokoh Ang-hong-pai yang pernah bertemu dengan perampas Giok-liong-kiam itu, bukan?" tanyanya hati-hati. Kakek itu tersenyum dan mengangguk.
"Sudah banyak keterangan kuperoleh, akan tetapi hatiku masih belum puas dan belum yakin benar. Keterangan terackhir yang akan meyakinkan hatiku kuharapkan dapat diberikan oleh tokoh Ang-hong-pai itu."
"Akan tetapi mereka itu tidak pernah muncul lagi."
"Itulah yang menarik," kata Siauw-bin-hud.
"Ketika terjadi perampasan pusaka itu oleh orang yang memalsukan diriku, terdapat lima orang tokoh kang-ouw, yaitu Tang Kui si perwira istana, Lui Siok Ek tokoh Thian-te-pai, Kam Hong Tek seorang pendekar selatan, Pek-bin Tiatciang seorang tokoh sesat dan Theng Ci tokoh Ang-hong-pai. Dari kelima orang itu, yang muncul pada enam tahun yang lalu hanya Tang Kui dan Lui Siok Ek. Pendekar Kam Hong Tek tidak muncul, hal ini tidaklah mengherankan karena bagaimanapun juga, dia pernah menjadi murid Siauw-lim-pai sehingga tentu tidak berani mengganggu Siauw-lim-si. Tinggal dua orang lagi, yaitu Theng Ci dan Pek-bin Tiat-ciang, keduanya adalah golongan sesat. Mengapa mereka tidak muncul di Siauw-lim-si? Kiranya dari kedua orang inilah dapat diharapkan keterangan-keterangan yang menarik dan pinceng sengaja mendatangi Ang-hong-pai karena lebih mudah dikunjungi dari pada mencari Pek-bin Tiat-ciang yang tidak keruan tempat tinggalnya itu. Pula, biasanya kau m wanita lebih tajam pandangannya dan lebih kuat ingatannya mengenal seseorang."
"Teecu harap mudah-mudahan Susiok-Couw berhasil." Kakek itu tertawa, menghentikan langkahnya dan menatap wajah pemuda itu penuh perhatian.
"Mengapa, Ci Kong? Mengapa engkau mengharapkan aku berhasil?" Kini pemuda itu yang balas memandang dengan heran.
"Bukankah... Bukankah Susiok-Couw mengharapkan berhasil dalam penyelidikan selama enam tahun ini?"
"Pinceng? Ha-ha-ha, pinceng tidak mengharapkan apa-apa, Ci Kong!" Pemuda itu semakin heran. Kakek ini memang seringkali bicara yang aneh-aneh dan tidak sama bahkan kadang-kadang bertentangan dengan pendapat umum. Dan kalau sudah demikian, dia akan mendengarkan banyak kenyataan-kenyataan hidup yang tadinya belum pernah didengarnya dan banyak sudah ucapan Kakek ini yang membuka batinnya dan membuat dia dapat memandang dengan waspada dan bijaksana. Akan tetapi sekali ini dia merasa heran sekali.
"Maaf, Susiok-Couw, akan tetapi bukankah dalam setiap pekerjaan, setiap perbuatan terkandung harapan untuk berhasil?" Kembali Kakek itu tertawa dan aneh sekali, begitu timbul kegembiraannya untuk bicara, dia lalu duduk di tepi jalan, bersila di atas rumput-rumput hijau. Ci Kong yang tahu akan kesukaan gurunya, yaitu bicara dengan santai dan seenaknya, lalu duduk pula di depan gurunya. Jalan liar ke puncak bukit itu memang sunyi sekali, tidak nampak orang lain kecuali mereka dan hawa udara amat sejuk, sinar matahari pagi amat cerah.
"Ci Kong, karena adanya harapan untuk mencapai hasil inilah maka timbul segala macam konflik di dalam batin. Adanya harapan untuk mencapai hasil ini membuat gerak perbuatan itu sendiri menjadi palsu, setengah-setengah, tidak sepenuhnya dan membuat perbuatan itu kehilangan gairahnya, kehilangan mutu dan nikmatnya. Sebaliknya, kalau setiap perbuatan itu hidup, barulah kita dapat menikmati setiap perbuatan kita, barulah perbuatan itu benar dan bersih."
Ci Kong mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang cerdik, diapun maklum apa yang dimaksudkan oleh Kakek itu. Memang, pengejaran akan hasil baik, dan biasanya hasil baik ini berlandaskan kepentingan dan kesenangan diri pribadi, membuat apa yang dilakukan itu seringkali menjadi berobah sifatnya, dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dan kejahatan dalam pelaksanaannya. Perbuatan yang ditunggangi pamrih mencapai sesuatu selalu condong untuk menyeleweng, terdorong oleh keinginan mencapai hasil yang menyenangkan diri sendiri itu, kalau perlu boleh saja menyusahkan orang lain. Akan tetapi Ci Kong masih merasa penasaran.
"Maaf, Susiok-Couw. Kalau dalam setiap perbuatan tidak membutuhkan harapan akan hasil yang menjadi pendorong perbuatan itu, lalu apakah yang mendorong Susiok-Couw bersusah payah, selama enam tahun menyelidiki dan mencari pusaka yang hilang itu?" Kembali Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, senang mendengar pertanyaan yang mengandung kecerdikan itu.
"Pinceng melihat bahwa perampasan mempergunakan nama pinceng itu harus dibikin terang karena kalau tidak, hal itu akan menimbulkan banyak sekali kekacauan, bahkan mungkin permusuhan. Karena melihat pentingnya pencarian itu, maka pincengpun keluar dan mengerjakannya. Dalam minat karena melihat kepentingannya inilah timbul gairah dan pinceng sepenuhnya dapat menikmati pekerjaan ini karena tidak dirongrong oleh keinginan mencapai hasil."
"Kalau begitu, apakah artinya hasil bagi Susiok-Couw? Apakah artinya bagi Susiok-Couw berhasil atau tidaknya usaha Susiok-Couw mencari pusaka itu?" Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala perlahan.
"Jelas tidak ada bedanya bagiku pribadi, Ci Kong. Bagi orang yang tidak menyembunyikan pamrih dalam setiap perbuatannya, maka hasil hanya merupakan suatu akibat saja dari pada suatu pekerjaan yang dilakukan. Berhasil ataukah tidak, sama saja dan tentu kita bertindak selanjutnya sesuai dengan akibat itu yang berupa berhasil ataukah gagal. Maksud pinceng, kata gagal itu hanyalah kata yang dipakai oleh umum untuk menyatakan kekecewaannya bahwa harapannya tidak terpenuhi. Akan tetapi bagi pinceng sendiri, tidak ada kata gagal itu. Yang ada hanyalah akibat dari suatu perbuatan, dan akibat ini berkaitan dengan perbuatannya, dan tidak mungkin dapat dirobah lagi kalau sudah tiba, seperti buah tidak terpisah dari keadaan pohonnya, dan keadaan buah itu tidak dapat dirobah kalau sudah terjadi. Hanya dengan merobah perbuatan saja, yang bersumber dari batin sendiri, maka buah itupun akan berubah. Mengertikah engkau, Ci Kong?" Pemuda itu mengangguk. Banyak yang harus direnungkan dari hasil percakapan singkat itu.
"Nah, marilah kita lanjutkan pendakian kita. Lihat, kedatangan kita sudah diketahui orang," kata Kakek itu sambil bangkit berdiri. Ci Kong juga bangkit dan melihat ke arah puncak. Dan dia tertegun penuh kagum. Dari atas puncak nampak pasukan berpakaian merah dan belasan orang yang berbaris rapi itu berlari-larian turun dengan ringan dan cepat sekali, juga selalu berbareng dan amat indah dilihat dari bawah. Karena Kakek itu melanjutkan langkahnya, kini dengan cepat mendaki ke atas, diapun mengikuti dari belakang, diam-diam jantungnya berdebar tegang karena dia sudah mendengar bahwa Ang-hong-pai adalah sebuah perkumpulan yang para anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang lihai, dan perkumpulan itu termasuk perkumpulan kau m sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Setelah mereka tiba di tanah datar yang ditumbuhi rumput tebal, barulah Ci Kong mengerti mengapa Kakek itu tadi mengerahkan kepandaian untuk berlari cepat ke atas menyambut turunnya pasukan merah itu. Kiranya Suhunya memilih tempat yang lapang ini untuk menghadapi mereka. Kakek itu berhenti menanti dengan sikap tenang dan wajah berseri, didampingi Ci Kong yang juga berdiri dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Selama ini dia sudah mengikuti Kakek itu mengunjungi Thian-te-pai, bahkan menemui perwira Tang Kui di Kota Raja. Dan selama ini, belum pernah Kakek itu bentrok atau terlibat dalam sebuah perkelahian. Jangan memancing perkelahian, demikian antara lain Kakek itu memberi nasihat kepadanya, dan bersikaplah sabar dan mengalah.
Ilmu silat hanya untuk berjaga diri, bukan untuk mencelakai orang. Akan tetapi karena kini menghadapi perkumpulan kau m sesat yang kabarnya amat lihai dan jahat, agaknya Kakek itupun bersikap hati-hati. Tak lama kemudian muncullah dua belas orang wanita berpakaian serba merah, kemunculan merekapun rapi, dengan teratur mereka berloncatan dan tahu-tahu mereka telah membuat gerakan melingkar di depan Kakek dan pemuda itu. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan rata-rata berwajah manis, dengan wajah terpelihara dan pakaian rapi bersih seperti serombongan penari karena pakaian itu seragam. Seorang di antara mereka, seorang wanita cantik yang mempunyai tahi lalat di dahi, tepat di tengah-tengah, berkata dengan suara lantang.
"Pai-cu kami mengutus kami untuk menyambut Locianpwe Siauw-bin-hud!" Kakek iyu terkekeh dan Ci Kong kagum akan ketajaman penglihatan orang-orang Ang-hong-pai ini. Baru saja tiba di lereng, mereka sudah tahu akan kedatangan Susiok-Couwnya!
"Omitohud...! Terima kasih, nona. Pai-cu kalian sungguh baik sekali," kata Siauw-bin-hud dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Pai-cu menghaturkan hormat, kemudian Pai-cu mengutus kami agar minta kepada Locianpwe, berdua dengan enghiong ini, untuk segera turun bukit kembali meninggalkan wilayah kami." Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar.
"Pinceng datang bukan untuk mengunjungi Ang-hong-pai atau berurusan dengan Pai-cu kalian, melainkan ingin bertemu sebentar dengan seorang anggauta atau murid Ang-hong-pai yang bernama Theng Ci."
"Tidak bisa," kata wanita itu.
"Toa-suci sedang berlatih dengan ketua kami dan mereka tidak mau diganggu. Harap ji-wi segera pergi saja." Ci Kong merasa penasaran dan diapun cepat berkata,
"Susiok-Couw hanya ingin bicara sebentar dengan orang yang bernama Theng Ci, setelah bicara kami akan segera pergi tidak akan mengganggu Ang-hong-pai. Kami datang bukan dengan niat jahat, mengapa Ang-hong-pai menyambut tidak semestinya dan dengan sikap bermusuh?" Wanita itu melirik kepada Ci Kong, akan tetapi lalu menghadapi Siauw-bin-hud lagi ketika bicara, seolah-olah merasa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda itu.
"Selama ini, Ang-hong-pai tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai, bahkan ketika banyak orang ramai-ramai mendatangi Siauw-lim-pai enam tahun yang lalu, Ang-hong-pai juga tidak ikut-ikut. Oleh karena itu, tidak ada urusan apa-apa lagi antara kedua perkumpulan, maka Pai-cu kini tidak bermaksud menerima kunjungan Locianpwe untuk mengadakan urusan apapun."
"Pai-cu kalian sungguh tidak adil!" Ci Kong berkata.
"Kunjungan orang-orang ke Siauw-lim-pai mempunyai pamrih buruk, sedangkan sebaliknya, Susiok-Couw mengunjungi Ang-hong-pai dengan hati bersih dan penuh persahabatan. Mengapa Pai-cu kalian menolak? Kalau begitu, harap saudari Theng-Ci yang datang ke sini menemui kami agar Susiok-Couw bisa bicara dengannya!" Kini wanita itu menghadapi Ci Kong dengan alis berkerut.
"Pai-cu kami berpesan bahwa siapa saja yang hendak naik ke puncak, harus dapat melalui Cap-ji-kiam (Dua belas Pedang)!" Ci Kong tertegun.
"Cap-ji-kiam...?"
"Sing-sing-sing...!" Nampak sinar berkilauan susul-menyusul dan ketika Ci Kong memandang, ternyata dua belas orang wanita berpakaian merah itu telah mencabut keluar sebatang pedang dan berdiri dengan berbaris rapi! Mengertilah dia bahwa yang dimaksud adalah barisan terdiri dari dua belas orang berpedang! Dia menoleh kepada Susiok-Couwnya. Kakek ini mengangguk sambil tersenyum dan berkata lirih,
"Hati-hatilah terhadap racun mereka, Ci Kong" Ucapan ini merupakan isyarat bagi Ci Kong bahwa Susiok-Couwnya memperbolehkan dia menghadapi dua belas orang wanita itu. Akan tetapi dia merasa heran mengapa Kakek itu memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap racun mereka. Apakah pedang mereka itu mengandung racun? Mungkin saja. Dan pandang matanya yang tajam akhirnya dapat menangkap kantong-kantong kecil yang tergantung di pinggang dua belas orang wanita itu. Mengertilah dia. Agaknya para anggauta Ang-hong-pai ini memang ahli mempergunakan racun-racun dan tentu mereka biasa mempergunakan senjata gelap beracun. Diapun mengangguk kepada Susiok-Couwnya yang sudah mundur dan duduk bersila di atas rumput, lalu dia melangkah maju menghampiri dua belas orang wanita itu.
"Saudara adalah murid Siauw-lim-pai, dan adalah saudara sendiri yang hendak melawan kami, bukan kami yang memaksa saudara mati dibawah ujung senjata Cap-ji-kiam. Hal ini disaksikan sendiri oleh Locianpwe Siauw-bin-hud!" kata wanita bertahi lalat di dahi itu dengan sikap tegas. Jelaslah bahwa ia dan teman-temannya memandang rendah kepada pemuda itu. Kalau pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, apa yang harus ditakuti? Mereka lebih merasa sungkan kalau sampai membunuh seorang murid Siauw-lim-pai, maka sebelum hal itu terjadi, mereka ingin Kakek itu menjadi saksi bahwa pemuda itulah yang mendahului perkelahian itu.
"Cici yang gagah tak usah khawatir. Kalau sampai aku mati di dalam pertandingan ini, biarlah aku sendiri yang tanggung, tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai atau Susiok-Couw," kata Ci Kong dengan sikap tenang. Sementara itu, dua belas orang wanita itu sudah bergerak mengepungnya. Mereka melangkah mengitari pemuda itu, dengan pedang di depan dada dan tangan kanan diangkat ke atas kepala. Melihat langkah-langkah mereka yang teratur rapi itu, mengertilah Ci Kong bahwa dia berhadapan dengan semacam kiam-tin (barisan pedang) yang tidak boleh dipandang ringan, karena berbeda dengan pengeroyokan yang liar dan kacau, barisan merupakan gerakan teratur dari banyak orang sehingga kini dia seperti juga menghadapi seorang lawan dengan satu pikiran akan tetapi dengan dua belas badan!
"Silahkan!" katanya sambil berdiri tegak dan memasang semua kepekaan mata dan telinga untuk mengikuti gerak-gerik para pengepungnya dengan teliti.
"Si-cu, ingat, engkau yang menentang, bukan kami. Silahkan!" terdengar wanita yang memimpin barisan pedang itu memperingatkan dari belakangnya. Ci Kong maklum bahwa barisan itu berlaku hati-hati. Bagaimanapun juga, Susiok-Couwnya tentu tidak setuju kalau dia sampai melukai seorang di antara para pengeroyoknya. Tidak ada permusuhan apapun antara mereka, dan wanita-wanita itupun hanya melaksanakan tugasnya saja mentaati perintah ketuanya. Maka, dia akan mencoba untuk merampas pedang mereka, satu demi satu dengan menggunakan penyerangan yang sukar dielakkan lawan.
"Baiklah, lihat serangan!" bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan, bukan ke depan melainkan ke belakang, ke arah suara wanita bertahi lalat yang memimpin barisan itu. Akan tetapi, barisan itu masih terus bergerak sehingga kedudukan wanita pemimpin itu sudah berobah dan dengan demikian, yang diserang oleh Ci Kong adalah seorang wanita lain. Serangannya cepat dan tangannya sudah hampir dapat mencengkeram pergelangan tangan wanita yang memegang pedang dalam usahanya merampas pedang. Akan tetapi terdengar aba-aba pemimpin itu dan kini pedang datang bertubi-tubi menyerangnya dari belakang, kanan dan kiri. Walaupun kalau dilanjutkan dia akan berhasil merampas pedang dari wanita yang diserangnya, namun sebaliknya dia terancam oleh tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan pedang yang lain!
Terpaksa Ci Kong membatalkan niatnya merampas pedang dan dia segera mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, barisan Cap-ji-kiam itu memang hebat sekali. Dengan gerakan susul-menyusul, serangan itu terus dilakukan tak pernah berhenti, sambung-menyambung sehingga ke manapun dia mengelak, Ci Kong sudah disambut oleh serangan pedang berikutnya. Dia meloncat keluar dari kepungan, akan tetapi wanita bertahi lalat itu terus-menerus mengeluarkan aba-aba dan kembali dia sudah terkepung. Gerakan mereka cepat dan teratur. Diam-diam Ci Kong mengatur siasat sambil terus mengelak, mengandalkan gingkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya secara sempurna dari susiol-couwnya.
Tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar pedang berkilauan dan betapapun cepatnya para wanita itu menggerakkan pedang, atau kadang-kadang dengan kebutan telapak tangannya, dia bahkan mampu menangkis pedang yang tajam itu. Pemuda ini amat berhati-hati karena dia menduga bahwa tentu pedang-pedang itu beracun. Sekali saja tergores dan terluka, mungkin dia akan keracunan. Setelah memutar otaknya, tiba-tiba dia mendapat gagasan yang baik sekali. Cap-ji-kiam ini bergerak secara otomatis, teratur seolah-olah dua belas orang itu merupakan alat-alat yang digerakkan oleh satu pusat. Dan diapun kini teringat bahwa pusatnya ada pada wanita bertahi lalat di dahinya itu. Pusat inilah yang harus dilumpuhkannya terlebih dahulu agar kerja sama mereka menjadi kacau.
"Heeeehhhh...!" Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang dikeluarkan mengandung kekuatan khikang yang menyerang lawan. Rencananya berhasil karena lengkingan itu mengejutkan para pengepungnya, membuat mereka selama dua tiga detik tertegun dan kesempatan ini cukuplah bagi Ci Kong.
Begitu mereka berhenti bergerak, dia dapat mencurahkan perhatian kepada wanita pemimpin barisan dan tiba-tiba dia menyuruk ke arah wanita itu, tangan kirinya menotok dan tangan kanannya merampas pedang. Sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, pedangnya telah terampas! Ia menjerit dan memperingatkan teman-temannya. Akan tetapi Ci Kong tidak menghentikan gerakan-gerakannya. Dengan pedang rampasan di tangan dia mengamuk. Setiap serangan lawan ditangkisnya dan begitu terkena tangkisannya yang dilakukan denga pengerahan tenaga singkang, pedang lawan terlempar dan terlepas dari pegangan, bahkan ada yang patah! Terdengar suara berdencing dan berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, akhirnya Ci Kong meloncat jauh ke belakang dengan dua pedang rampasan di kedua tangan sedangkan dua belas orang wanita itu kehilangan semua senjata mereka!
Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa pemuda itu demikian lihainya, menyerang mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti dan setiap kali beradu pedang, pedang mereka patah atau terlepas karena pemuda itu mempergunakan tenaga yang luar biasa kuatnya. Yang membuat mereka kagum dan heran, betapa dalam waktu singkat pemuda itu mampu melucuti senjata mereka tanpa melukai mereka sedikitpun juga! Bahkan totokan yang dipergunakan juga hanya membuat lengan kanan lumpuh selama beberapa detik saja, cukup untuk membuat pedang mereka terlepas, terlempar atau terampas. Tiba-tiba wanita bertahi lalat itu mengeluarkan aba-aba, suaranya nyaring melengking dan mereka semua menggerakkan tangan dengan cepat.
Bintik-bintik merah beterbangan menyambar ke arah Ci Kong! Akan tetapi pemuda ini memang sudah waspada dan siap siaga. Begitu melihat wanita-wanita itu menggerakkan tangan diapun cepat memutar dua batang pedang yang dirampasnya. puluhan batang jarum halus berwarna merah yang mengandung racun itu terpental dan runtuh semua ketika menerjang gulungan sinar yang dibuat oleh pedang yang diputar cepat. Kiam-tin atau barisan pedang itu walaupun sudah kehilangan pedang, agaknya memiliki cadangan karena kini mereka sudah mencabut sebatang pisau belati dari pinggang mereka! Dan mereka agaknya hendak nekat melanjutkan perkelahian. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, terdengar bentakan halus yang datangnya dari jauh,
"Kalian mundurlah!" Mendengar bentakan halus yang datang dari jauh ini, dua belas orang wanita berpakaian merah lalu berloncatan pergi tanpa menghiraukan lagi pedang mereka yang berserakan di atas tanah. Ci Kong tersenyum lega dan diapun membuang sepasang pedang rampasan itu. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bisikan Susiok-Couwnya.
"Lebah-lebah itu berbahaya sekali, sengatannya beracun mematikan!" Ci Kong juga mendengar suara berdengung itu, makin lama semakin kuat dan tak lama kemudian diapun melihat serombongan lebah berwarna merah yang terbang berkelompok ke arah dia berdiri! Dia merasa heran dan kagum sekali. Binatang itu warnanya sungguh merah cerah, seperti warna pakaian para wanita tadi!
Dan kalau saja tidak mendapat peringatan Susiok-Couwnya, dia tidak akan percaya bahwa binatang kecil mungil yang indah warnanya itu dapat membunuh manusia dengan sengatannya. Kini lebah-lebah itu sudah datang dekat dan tiba-tiba, seperti dikomando saja, mereka menyerbu ke arah Ci Kong! Pemuda itu melompat jauh menghindarkan diri, akan tetapi betapapun cepatnya gerakan tubuh pemuda itu, mana mungkin dia dapat mengalahkan lebah-lebah itu dalam hal kecepatan gerakan? Ci Kong mulai kewalahan karena ke manapun dia melompat, lebah-lebah itupun mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan dan suara mereka berdengung itu, ditambah lagi dengan pengetahuan bahwa sengatan mereka mematikan, makin membuat hatinya merasa serem dan ngeri. Dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mulailah dia mengebut ke sana-sini, ke arah lebah-lebah yang menyerangnya.
Memang hebat kebutan kedua tangan Ci Kong. Gerakan tangannya mengandung tenaga pukulan yang mematikan dan lebah-lebah yang terkena sambaran angin pukulan telapak tangannya, terlempar atau terbanting dan tewas seketika. Akan tetapi, lebah-lebah itu terlalu banyak dan menyerangnya dari atas kepala sampai ke kaki, mana mungkin dia dapat menyambut mereka semua dengan kedua tangannya. Dia bergidik ketika merasa ada benda menyentuh leher bagian tengkuk dan cepat tangannya bergerak menangkis. Lebah yang berhasil menyusup itu tidak keburu menyengatnya, sudah mati terpukul tangan Ci Kong. Akan tetapi pengalaman ini membuat Ci Kong maklum bahwa hanya dengan kedua tangannya saja, dia tidak akan mampu menyelamatkan diri. Maka dia lalu menanggalkan bajunya dan memutar bajunya itu.
Lebah-lebah itu tentu saja terdorong oleh angin yang ditimbulkan oleh pemutaran baju itu dan mereka menjadi kacau balau. Akan tetapi, hal ini agaknya tidak membuat mereka menjadi jerih, bahkan mereka menjadi marah, menyerang makin liar. Begitu hebatnya serangan mereka sampai ada beberapa bagian baju Ci Kong berlubang ketika mereka terjang! Ci Kong melihat betapa hanya angin kebutan baju itu yang mampu mendorong lebahlebah itu, maka ia menggunakan akal. Dia tidak memukul dengan bajunya, melainkan memutar bajunya sedemikian rupa sehingga timbullah angin berputar yang menggulung lebah-lebah itu. Sekali masuk ke dalam putaran angin yang ditimbulkan oleh putaran baju, lebah-lebah itu tidak lagi mampu menguasai diri sendiri dan tergulung atau terlibat ke dalam putaran angin hanya terbang berputaran dengan kacau.
Ci Kong bermaksud menggulung mereka sedemikian rupa, lalu membungkus dengan bajunya. Usahanya berhasil. Makin cepat dia memutar bajunya, angin putaran itu semakin kuat dan lebah-lebah itu semakin cepat pula terputar dan akhirnya, begitu Ci Kong menggerakkan baju menelungkup ke arah kelompok lebah, binatang-binatang itu kena ditangkapnya di dalam gulungan bajunya! Beberapa ekor lebah yang luput dan berada di luar gulungan baju, karena tiba-tiba kehilangan semua kawannya, menjadi bingung dan ketakutan, lalu terbang pergi. Suara berdengung di dalam gulungan baju itu nyaring sekali, dan Ci Kong sudah tersenyum. Kini sekali banting saja bajunya ke atas tanah, lebah-lebah di dalamnya akan mati semua.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus ketika dia sudah mengangkat bajunya yang berisi lebah-lebah itu ke atas. Ci Kong menahan gerakannya, menoleh dan melihat seorang wanita yang diikuti oleh dua belas orang wanita Cap-ji-kiam tadi.
"Si-cu, Pai-cu kami minta agar engkau suka mengampuni lebah-lebah itu," kata wanita bertahi lalat di dahinya.
JILID 08
"Hemm, bagaimana aku dapat melepaskan lebah-lebah jahat ini? Begitu dilepas dia akan menyerangku dan mungkin mencelakai orang lain." Wanita cantik itu juga memakai pakaian serba merah akan tetapi berbeda dengan yang lain, pakaiannya lebih indah, terbuat dari sutera mahal dan nampak ia anggun dan berwibawa sekali."Lepaskan dan aku tanggung mereka tidak akan menyerang siapapun juga," katanya. Diapun mengeluarkan sebuah bumbung bambu dan mengangkatnya ke atas. Ci Kong yang mendengar bahwa wanita ini adalah ketua Ang-hong-pai, mempercaya kata-katanya dan diapun mengebutkan bajunya. Baju terbuka dan lebah-lebah merah itupun terpental keluar. Sejenak mereka beterbangan kacau, lalu berkumpul lagi di udara dan tiba-tiba mereka terbang cepat ke arah bumbung bambu yang dipegang oleh ketua Ang-hong-pai. Seperti sekelompok kanak-kanak yang pulang sehabis bermain-main, mereka berebutan memasuki lubang di bumbung itu. Wanita baju merah itu lalu menutup bumbung dengan kayu berlubanglubang kecil dan menyerahkan bumbung itu kepada wanita bertahi lalat di dahi. Kemudian ia menoleh dan menghadapi Ci Kong sambil berkata,
"Murid Siauw-lim-pai, biarpun masih muda akan tetapi sungguh lihai." Kemudian ia melangkah ke arah Siauw-bin-hud dan memberi hormat dengan sikap sopan.
"Locianpwe, maafkan kelancangan kami tadi." Sejak tadi, Siauw-bin-hud hanya menonton saja cucu muridnya berjuang melawan Cap-jikiam, kemudian melawan rombongan lebah merah, sambil tersenyum girang karena dia melihat kegagahan dan kecerdikan pemuda itu. Ketika muncul ketua Ang-hong-pai, dia sudah siap untuk menjaga keselamatan cucu muridnya. Dia sudah mengenal ketua ini, seorang wanita yang amat lihai dan berbahaya. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak bermaksud buruk. Sambil tertawa diapun bangkit berdiri dan membalas penghormatan ketua Ang-hong-pai itu.
"Aha, ketua dari Ang-hong-pai sungguh lihai, dapat mengalahkan usia agaknya! Sudah lewat puluhan tahun masih nampak muda saja," kata Siauw-bin-hud. Memang mengagumkan sekali ketua Ang-hong-pai itu. Usianya kini ada enam puluhan tahun, akan tetapi masih tetap cantik, ramping dan orang akan menyangka bahwa usianya paling banyak tiga puluh tahun saja! Pai-cu itu tersenyum manis.
"Dan Siauw-bin-hud tetap seorang Locianpwe yang tidak pernah susah agaknya. Dibandingkan dengan aku, Siauw-bin-hud jauh lebih muda dan selalu bergembira lahir batin, sedangkan aku... ah, hanya lahirnya saja nampak muda, akan tetapi batinnya sudah tua sekali!" Siauw-bin-hud tertawa dan lebih berhati-hati. Wanita ini, setelah kurang lebih tiga puluh tahun tidak dijumpainya, ternyata semakin cerdik dan berbahaya saja. Kata-katanya sudah matang dan siapa yang dapat menduga isi hati wanita ini?
"Pai-cu, engkaupun maafkanlah cucu muridku yang telah berani menentang hadangan Cap-ji-kiam dan tawon-tawon merahmu."
"Sudahlah," wanita itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
"Orang-orang macam kita yang sudah berkecimpung di dalam dunia persilatan, kalau tidak bertanding dulu mana dapat saling mengenal? Karena tadi yang maju pemuda ini, maka murid-muridku dan lebah-lebahku berani keluar mencoba-coba. Kalau engkau yang keluar, Locianpwe, siapa sih yang akan berani kurang ajar? Sesungguhnya, apakah maksud kedatangan Locianpwe ke tempat kami yang buruk?"
"Omitohud... tempat ini indah, semua tempat di seluruh pelosok dunia ini indah sekali, sayang dibikin buruk oleh perbuatan-perbuatan manusia. Pai-cu, seperti sudah kami katakan kepada murid-muridmu tadi, pinceng berkunjung bukan bermaksud buruk, melainkan ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Theng Ci, karena pinceng ingin menanyakan sesuatu darinya."
"Theng Ci...? Murid kepala di sini?" Wanita itu mengangguk-angguk.
"Ia sedang berlatih dan mungkin dalam waktu dua atau tiga jam lagi selesai. Mari, Locianpwe, dan engkau orang muda silahkan naik dan menanti di tempat kami. Ji-wi (kalian berdua) menjadi tamu-tamu Ang-hong-pai yang terhormat."
"Omitohud..., engkau terlalu baik, Pai-cu, kami sama sekali tidak menduga akan hal ini. Bagaimana kalau kami menanti saja di sini sampai murid kepala Ang-hong-pai itu selesai latihan dan keluar menemui kami di sini?"
"Aihh, Locianpwe, apa akan kata orang di dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa Ang-hong-pai menyambut tokoh besar Siauw-lim-pai di lapangan rumput saja? Ke mana mukaku yang buruk ini akan kusembunyikan? Marilah, mari, tamu-tamuku yang terhormat, mari ikut dengan kami."
Ci Kong memandang kepada Susiok-Couwnya yang mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, akan tetapi Ci Kong melihat betapa sepasang mata yang lembut dari Susiok-Couwnya itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya aneh. Diapun dapat menduga bahwa tentu ada sesuatubyang menarik, akan tetapi karena dia melihat Kakek itu sudah melangkah mengikuti rombongan orang Ang-hong-pai, diapun terpaksa mengikuti Kakek itu dari belakang. Ketika memasuki pintu gerbang tembok yang mengelilingi perkampungan Ang-hong-pai, kemudian diajak masuk ke dalam ruangan dari bangunan terbesar, Ci Kong merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa di puncak bukit sunyi itu, terdapat perkampungan yang amat indah,
Penuh dengan bangunan-bangunan mungil dan taman-taman bunga yang amat indah teratur, dan terutama sekali setelah memasuki ruangan gedung tempat tinggal ketua Ang-hong-pai, dia menjadi bengong karena ruangan itu amat hebat! Layaknya menjadi ruangan di dalam istana puteri-puteri dalam dongeng saja. Jelaslah bahwa Ang-hong-pai amat kaya raya. Lantainya licin seperti kaca, ruangannya terhias perabot yang serba mahal dan indah, sutera-sutera halus bergantungan, periuk-periuk kuno yang serba aneh dan indah, hiasan-hiasan batu giok yang mahal, lukisan-lukisan yang pilihan. Akan tetapi dia melihat betapa Susiok-Couwnya memasuki ruangan itu seperti memasuki sebuah ruangan kuil atau sebuah guha belaka, sama sekali tidak nampak heran atau kagum, masih tetap tersenyum-senyum seperti biasa.
"Silahkan duduk, silahkan...!" kata wanita itu dengan ramah.
"Sambil menanti selesainya Theng Ci, kita ngobrol sambil menikmati hidangan sekedarnya."
"Omitohud, engkau terlalu sungkan, terlalu menghormat, sehingga kami merasa tidak enak hati dan mengganggu saja, Pai-cu." Siauw-bin-hud berkata sambil tersenum lebar.
"Ah, tidak, Locianpwe, dan jangan khawatir, aku tahu bahwa Locianpwe dan cucu muridnya ini tentu tidak makan barang berjiwa, juga tidak minum arak. Kami akan menghidangkan makanan dan minuman yang bersih." Tanpa menanti jawaban tamu-tamunya, ketua ini lalu menyembunyikan sebuah genta yang terbuat dari pada emas sehingga terdengar amat gemercing nyaring. Bukan main, pikir Ci Kong. Genta kecil itu saja sudah merupakan benda yang luar biasa mahalnya! Tak lama kemudian, beriringan datanglah lima orang wanita berpakaian merah yang membawa baki-baki terisi masakan masakan. Bau gurih sedap memenuhi ruangan itu. Seorang di antara mereka membawa baki terisi guci-guci kecil terbuat dari pada batu giok! Mangkok-mangkok besar terisi masakan sayuran-sayuran yang beraneka warna memenuhi meja di hadapan mereka.
"Lihat, Locianpwe, semua masakan sayur-sayuran, daun-daunan, akar-akaran dan buahbuahan. Sedikitpun tidak ada barang berjiwa, tidak ada secuwilpun daging, tidak ada setetespun gajih. Semua bersih dan dimasak oleh ahli-ahli masak kami yang berpengalaman!"
Nyonya rumah itu dengan ramah sekali mempersilahkan dua orang tamunya makan,menemani mereka makan. Agaknya ia sengaja meyakinkan hati dua orang tamunya bahwa masakan-masakan itu tidak mengandung barang berbahaya, karena semua masakan dicicipinya dengan sepasang sumpit gadingnya! Siauw-bin-hud tertawa-tawa dan makan dengan lahapnya, sedikitpun tidak menaruh curiga. Melihat ini, Ci Kong yang sudah lapar pula perutnya, juga makan dengan lahap. Memang enak bukan main masakan-masakan itu, walaupun hanya dari barang-barang tak berjiwa. Ci Kong tidak pantang barang berjiwa, tidak seperti Siauw-bin-hud, karena dia bukanlah seorang calon pendeta. Akan tetapi belum pernah dia makan masakan selezat ini. Ketua Ang-hong-pai membuka tutup guci yang terbuat dari batu giok itu.
"Dan ini bukan minum-minuman keras melainkan madu! Bukan madu lebah, melainkan madu bunga, sari bunga yang rasanya manis dan harum. Jangan khawatir, Locianpwe, saya tidak berani menghidangkan makanan atau minuman yang kotor terhadap seorang suci, seperti Locianpwe."
"Ha-ha-ha, kalau orang seperti pinceng ini kau namakan suci, aha, alangkah mudahnya menjadi orang suci," kata Siauw-bin-hud sambil melihat wanita itu menuangkan madu yang berwarna kuning kemerahan ke dalam cawannya, cawan Ci Kong dan cawan wanita itu sendiri. Semua terjadi dengan wajar, dan tidak ada yang mencurigakan.
"Nah, terimalah hormatku, Locianpwe, dan engkau juga, orang muda perkasa!" kata nyonya itu yang membawa cawan ke bibirnya. Melihat Susiok-Couwnya juga siap minum madu itu, Ci Kong juga mengikutinya. Madu itu memang madu manis dan harum, enak sekali.
Tiga kali nyonya itu mengisi cawan dan tiga kali ia mengajak tamu-tamunya minum, yang pertama sebagai penghormatan, yang ke dua sebagai permintaan maaf atas penyambutan tadi, dan ke tiga sebagai ucapan terima kasih atas kunjungan Siauw-bin-hud. Ci Kong sudah banyak mendengar, baik dari Nam San Losu maupun para Hwesio lain penghuni kuil di puncak bukit mata air Si-kiang bahwa di dalam dunia kang-ouw terdapat banyak kau m sesat yang berwatak curang, tidak segan-segan mempergunakan siasat yang licik untuk menjatuhkan lawan. Juga dia sudah mendengar banyak tentang penggunaan racun. Dia sudah tahu bahwa saat itu dia berada di dalam sarang golongan hitam atau kau m sesat dan andaikata dia hanya sendirian saja di situ, tentu dia tidak akan berani menerima hidangan-hidangan dari seorang seperti ketua Ang-hong-pai.
Akan tetapi dia datang bersama Susiok-Couwnya dan tentu saja dia percaya penuh akan kesaktian Susiok-Couwnya itu, maka, melihat betapa Kakek itu menerima hidangan, baik masakan maupun minuman madu, diapun tidak ragu-ragu lagi untuk menerima hidangan madu sampai tiga cawan. Setelah kedua orang tamunya minum cawan madu yang ke tiga, ketua Ang-hong-pai itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati Ci Kong. Tiba-tiba ada rasa curiga yang amat besar menyelinap di dalam hati pemuda itu, dan dia hendak berdiri untuk memberi peringatan kepada Susiok-Couwnya, akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya menjadi gelap.
"Susiok-Couw... Celaka...!" keluhnya dan dia mencoba untuk menahan napas dan mengerahkan sinkangnya, akan tetapi ketika dia melihat dengan remang-remang betapa tubuh Kakek itupun menjadi lemas dan Kakek itu meletakkan kepala di atas meja, kekhawatiran membuat peningnya datang kembali dan diapun tidak mampu mempertahankan lagi. Ci Kong seperti juga Siauw-bin-hud, telah pulas atau pingsan di atas kursinya, dengan kepala di atas meja!
"Hi-hi-hi-hik! Orang-orang Siauw-lim-pai! Kalian manusia-manusia sombong, sekarang baru tahu kelihaian Ang-hong-pai!" Ia bangkit berdiri dan bertepuk tangan tiga kali. Dari segala penjuru berloncatan wanita-wanita berpakaian merah, dipimpin oleh Theng Ci, murid kepala yang tadi dikatakan sedang berlatih itu.
"Jebloskan mereka dalam tahanan, belenggu kaki tangan mereka dan masukkan dalam kamar tahanan yang paling kuat, dan di luar kamar perketat penjagaan, jangan biarkan mereka lolos. Hati-hati, mereka ini lihai sekali, terutama Kakek ini. Selama tiga jam mereka tidak akan siuman dan sebelum tiga jam, aku akan memberi mereka pembius lagi," kata ketua itu dengan senyum mengejek memandang ke arah dua orang tamunya yang masih pulas di atas meja.
"Akan tetapi, subo. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bunuh saja mereka sekarang? Mereka terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup!" kata Theng Ci dengan sinar mata kejam.
"Aih, betapa bodohnya engkau! Mereka ini, terutama Siauw-bin-hud, adalah tokoh penting Siauw-lim-pai dan kalau kita memberi kabar ke Siauw-lim-pai bahwa mereka berada di tangan kita minta tukar dengan Giok-liong-kiam, bukankah hal itu menguntungkan kita?"
"Akan tetapi, bagaimana kalau kelak mereka datang membuat perhitungan? Apakah subo merasa mampu menghadapi Siauw-lim-pai?"
"Anak bodoh kau ini," kata si ketua sambil terkekeh. Karena Theng Ci itu muridnya, maka wanita ini terbiasa menyebutnya anak, padahal murid kepala itu usianya sudah empat puluh tahun lebih.
"Coba kau pertimbangkan baik-baik. Kalau kita membunuh mereka, apa untungnya bagi kita? Yang jelas saja, kerugian ada karena siapa tahu Siauw-lim-pai akhirnya akan tahu dan kalau mereka memusuhi kita, akan celakalah kita. Mereka begitu lihai dan mungkin saja mereka dapat mengetahuinya. Sekarang sebaliknya, kalau kita membiarkan mereka hidup dan minta tukar nyawa mereka dengan Giok-liong-kiam..."
"Akan tetapi Giok-liong-kiam tidak berada pada mereka...!"
"Karena itulah! Selain Siauw-lim-pai, siapa lagi yang akan mampu mencari dan mendapatkan pusaka itu? Dan dengan tertawannya Siauw-bin-hud, tentu mereka akan terpaksa pergi mencari pusaka itu sampai dapat."
"Akan tetapi bagaimana kalau kelak mereka membuat perhitungan dan merampas kembali pusaka?"
"Heh-heh, Theng Ci, apakah engkau tidak tahu siapa Siauw-lim-pai? Sekali berjanji, orang-orang yang terikat oleh janji itu tidak akan mau mengganggu kita. Sudahlah, jebloskan mereka dalam tahanan!" Para murid Ang-hong-pai itu mentaati perintah guru mereka dan tak lama kemudian, Siauw-bin-hud dan Ci Kong sudah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang amat kuat,
Sebuah kamar di bawah tanah yang dindingnya berlapis baja, pintunya juga dari baja kuat sekali, dengan hanya ada jeruji-jeruji besi. Tangan kaki mereka terbelenggu rantai baja yang panjang, dan di luar pintu kamar tahanan itu, dua belas orang Cap-ji-kiam berjaga dengan ketat! Akan tetapi, baru saja mereka meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya, Kakek itu sudah bergerak dan membuka mata sambil tersenyum lebar. Bagaikan tukang sulap saja, Kakek itu dengan mudah menarik dan meloloskan kedua tangan kakinya dari belenggu. Kaki tangan itu seperti berobah menjadi belut yang amat licin dan tak mungkin dapat ditahan dengan belenggu-belenggu itu. Kemudian, setelah melihat bahwa tidak ada orang melihatnya, dia menghampiri Ci Kong yang menggeletak terlentang di atas lantai.
Dia menempelkan telapak tangannya di kepala dan dada pemuda itu dan tak lama kemudian pemuda itupun membuka mata dan menggerakkan bibirnya. Siauw-bin-hud cepat menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara. Ci Kong segera teringat akan peristiwa tadi dan dia mengangguk, tanda bahwa dia sudah mengerti. Dengan isyarat, Kakek itu minta kepada Ci Kong agar membebaskan diri dengan ilmu Sia-kut-hoat seperti yang pernah dipelajarinya. Ci Kong segera mengumpulkan hawa murni, mengerahkan singkangnya dan dengan perlahan dia menarik lengan tangannya lolos dari belenggu, seperti yang dilakukan Kakek tadi. Ilmu Sia-kut-hoat adalah ilmu melepaskan tulang melemaskan diri. Dengan ilmu ini tubuh dapat ditekuk-tekuk dan kaki lengan bisa lemas seperti belut.
"Mari kita duduk bersandar dan biarkan belenggu-belenggu itu menempel di kaki tangan seolah-olah kita masih terbelenggu. Nanti kalau pintu dibuka, kita bergerak dan keluar," Kakek itu berbisik dengan suara mengandung khikang sehingga yang terdengar suaranya hanyalah pemuda itu saja, seolah-olah dia berbisik di dekat telinga Ci Kong. Ci Kong mengangguk dan keduanya lalu duduk bersandar dinding, dengan rantai belenggu masih menempel di kaki tangan mereka. Ci Kong melirik ke arah susiok-couwnya dan melihat Kakek itu tersenyum-senyum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, dia mengerutkan alisnya dan tidak dapat menahan hatinya lagi untuk tidak bertanya. Diapun mengerahkan khikang sehingga suaranya hanya terdengar sebagai bisikan di dekat telinga Kakek itu.
"Susiok-couw tadi tidak terpengaruh oleh madu itu?" Kakek itu tersenyum lebar tanpa suara, lalu menggeleng kepala.
"Pinceng tidak minum madu, bagaimana bisa terpengaruh? Sebagai orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah makan daging, sekali cium saja pinceng tahu bahwa madu itu bukanlah madu kembang yang murni, melainkan ada bau amis yang menunjukkan bahwa ada sesuatu pada madu itu. Maka, pinceng hanya pura-pura minum, akan tetapi membuang madu itu."
"Akan tetapi mengapa susiok-couw membiarkan teecu meminumnya dan bahkan pura-pura pingsan?"
"Pinceng ingin melihat apa maksud mereka membius kita. Bukankah kita sedang melakukan penyelidikan? Dalam keadaan pingsan tentu mereka akan bicara dengan leluasa." Diam-diam Ci Kong merasa kagum. Kakek ini cerdik dan juga amat tabah, berani mengambil resiko terjatuh ke tangan iblis-iblis itu.
"Dan bagaimana hasilnya, susiok-couw?" Kakek itu menggeleng kepala.
"Mereka agaknya tidak tahu di mana adanya pusaka itu, malah menawan kita untuk memaksa Siauw-lim-pai mencari pusaka itu dan ditukar dengan nyawa kita." Mereka menghentikan percakapan bisik-bisik yang hanya dapat mereka dengar sendiri itu ketika terdengar suara orang di luar kamar tahanan mereka. Suara ketua Ang-hong-pai dan Theng Ci!
"Untuk apa racun itu, subo?" terdengar suara Theng Ci. Jawaban ketua Ang-hong-pai didahului dengan suara ketawanya yang halus akan tetapi mengandung kekejaman.
"Hi-hik, pembius di dalam madu itu mana kuat mempengaruhi Siauw-bin-hud untuk waktu lama? Orang biasa akan terbius selama tiga jam, akan tetapi aku khawatir Kakek gendut itu akan cepat sadar. Maka, aku akan memaksakan racun ini agar mereka lumpuh selama tiga hari tiga malam. Dengan demikian, selain lebih aman, kalian tidak akan diperlukan menjaga terlampau ketat. Buka pintunya." Nampak kepala dua orang wanita itu di luar jeruji pintu. Mereka menjenguk ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanannya masih pulas atau pingsan.
Kakek itu bersandar dinding seperti tadi dan Ci Kong menggeletak terlentang Pemuda yang cerdik ini cepat sudah merobah kedudukannya. Dia teringat bahwa ketika pertama kali sadar, dia berada dalam keadaan rebah terlentang, maka kalau kini dia duduk seperti susiok couwnya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Hal yang kecil tapi penting ini agaknya tidak teringat oleh susiok-couwnya tadi! Daun pintu terbuka dan masuklah ketua Ang-hong-pai yang membawa sebuah guci kecil, sedangkan Theng Ci mengawal di belakang gurunya sambil memegang sebatang pedang, agaknya kesaktian Kakek itu membuat orang-orang Ang-hong-pai ini berhati-hati sekali. Begitu ketua Ang-hong-pai itu menghampiri Kakek Siauw-bin-hud, tiba-tiba saja Kakek itu membuka matanya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Wajah ketua Ang-hong-pai seketika menjadi pucat sekali. Baru pertama kali itulah iblis betina ini mengalami guncangan batin yang hebat, bukan hanya karena peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangkanya, seperti melihat orang mati hidup kembali secara mendadak, akan tetapi juga suara ketawa Kakek itu membuat tubuhnya menggigil dan guci itupun terlepas dari tangannya.
"Prakkk...!" Guci itu pecah dan tercium bau yang harum-harum amis memuakkan. Selagi guru dan murid ini terbelalak dengan muka pucat, tiba-tiba tubuh Ci Kong melesat ke daun pintu dan diapun sudah menutupkan daun pintu itu dan menguncinya dari dalam! Setelah itu, dia berdiri dengan keadaan siap siaga, menanti tindakan susiok-couwnya. Tanpa perintah Kakek itu, dia tentu saja tidak berani sembarangan bergerak. Sementara itu, Kakek Siauw-bin-hud sudah bangkit berdiri dan wajahnya tetap cerah dan ramah penuh senyum lebar.
"Pang-cu, engkau sungguh sungkan sekali. Sudah menjamu kami sampai kekenyangan dan tertidur, kini masih hendak kau tambah lagi? Apakah itu? Madu pelumpuh badan?"
"Siauw-bin-hud...!" kini ketua Ang-hong-pai itu nampak bulunya yang aseli dan sikapnya tidak manis dan menghormat lagi seperti tadi.
"Bagaimana... bagaimana kalian..." Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking herannya melihat ada orang mampu sadar dari pengaruh obat biusnya sedemikian cepatnya.
"Iktikad baik, pai-cu, iktikad baik, batin bersih dan hidup bersih. Pinceng datang dengan maksud baik, hanya ingin menanyakan sesuatu kepada muridmu Theng Ci, setelah itu kami akan pergi dengan aman..." Tiba-tiba ketua Ang-hong-pai itu tersenyum.
"Aih, kalau begitu aku telah membuat kesalahan terhadap Siauw-bin-hud, harap suka memaafkan aku..." Berkata demikian, wanita ini menjura dengan hormat, akan tetapi tiba-tiba saja dari kedua tangannya yang memberi hormat itu menyambar sinar-sinar merah ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Siauw-bin-hud! Penyerangan itu dilakukan dalam jarak yang amat dekat, hanya dua meter jaraknya, begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga, apa lagi jarum-jarum itu meluncur dengan kecepatan kilat. Agaknya Kakek gendut itu sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengelak atau menangkis, maka tujuh batang jarum merah beracun itu tahu-tahu sudah menancap, dua di pundak kanan kiri, satu di tenggorokan, satu di ulu hati, satu di pusar, dan dua lagi di kedua selangkangan!
Karena tertutup pakaian, maka di bagian lain jarum-jarum itu tidak nampak, hanya yang amat jelas sebatang jarum yang menancap di tenggorokan itu, telah menancap sampai tinggal seperempatnya saja! Tentu saja ketua Ang-hong-pai menjadi girang bukan main, kegirangan yang dinyatakan dengan senyum lebar. Akan tetapi, senyum itu segera berobah menjadi melongo dan terbelalak, perasaan girang itu berobah menjadi kekagetan yang membuat wajahnya kembali menjadi pucat sekali. Kakek yang sudah tertusuk tujuh jarum merah beracun yang amat berbahaya itu, masih berdiri biasa saja sambil terkekeh gembira, seolah-olah tujuh jarum itu tidak pernah menyentuhnya! Kemudian dia menarik napas panjang.
"Aihhh, jarum-jarum bernasib malang. Engkau tidak dipergunakan untuk menjahit sehingga berjasa, sebaliknya malah dipergunakan untuk membunuh orang. Sialan! Pai-cu, kukembalikan jarum-jarummu. Terimalah!" Dan tiba-tiba saja jarum-jarum yang tadinya menancap di tujuh tempat bagian tubuh depan Siauw-bin-hud, meluncur dengan cepat sekali ke depan.
Ketua Ang-hong-pai itu bukan seorang lemah, akan tetapi karena ia masih dalam keadaan terpesona dan terkejut, apa lagi jarum-jarum itu meluncur dengan kecepatan dua kali lipat dari pada kecepatan serangannya tadi, tahu-tahu tujuh batang jarum itu telah menusuk gelung rambut di atas kepalanya! Ia merasa betapa gelung rambut kepalanya tergetar dan ketika ia meraba, matanya terbelalak mendapat kenyataan bahwa tujuh batang jarumnya telah menghias sanggul rambutnya dengan rapi! Pada saat itu, Theng Ci yang melihat subonya tidak berhasil, menggunakan pedangnya menyerang Ci Kong. Tusukannya cepat dan kuat sekali ketika dari samping ia menusuk ke arah lambung pemuda yang sedang nonton gurunya menghadapi ketua Ang-hong-pai.
Akan tetapi, pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia dapat mendengar suara angin serangan, juga matanya yang amat tajam dapat menangkap berkelebatnya pedang. Dengan tenang sekali dia memutar tubuh sehingga pedang itu meluncur lewat dekat pinggangnya, hanya dalam jarak beberapa sentimeter saja. Dan sebelum Theng Ci sempat menarik kembali pedangnya, tiba-tiba saja jari tangan Ci Kong melayang dan tubuh wanita baju merah itupun terguling dalam keadaan lumpuh tertotok! Totokan yang amat hebat dari Ci Kong itu adalah totokan yang diberi nama It-ci-san, totokan sebuah jari telunjuk yang amat cepat dan tepat. Ketua Ang-hong-pai yang sedang meraba sanggulnya, menoleh ketika mendengar suara gedebrukan. Ketika ia melihat bahwa murid kepala itu roboh dan tak dapat berkutik, ia cemberut.
"Bocah tolol, kau mencari penyakit!" Ia memaki jengkel dan dengan ujung sepatunya ketua Ang-hong-pai ini menendang ke arah tengkuk muridnya dan Theng Ci mengeluh lalu dapat bangun kembali, memungut pedangnya dan mundur, berdiri mepet dinding dengan muka merah, kadang-kadang melirik ke arah Ci Kong yang masih berdiri tenang saja. Ketua Ang-hong-pai menghela napas dan nampak uring-uringan, lalu memandang kepada Siauw-bin-hud. Suaranya tidak lagi manis, bahkan ketus dan kasar.
"Siauw-bin-hud, engkau adalah seorang pendeta yang katanya suci, mengapa engkau dan cucu muridmu ini datang ke sini untuk menghina orang? Patutkah perbuatanmu ini?"
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud mengeluh dengan muka masih tertawa cerah.
"Maafkanlah pinceng, seribu kali maaf, pai-cu, kalau engkau merasa terhina. Akan tetapi sesungguhnya kami datang bukan untuk mengganggu atau menghina orang, melainkan untuk bertemu dengan muridmu yang bernama Theng Ci dan untuk menanyakan sesuatu. Hanya itulah, sayang bahwa kalian membesar-besarkan urusan sehingga berlarut-larut." Karena terdesak dan merasa tidak akan mampu menandingi Kakek ini dan cucu muridnya yang lihai, ketua itu akhirnya mengalah. Ia sendiri bersama murid kepala Ang-hong-pai telah terjebak ke dalam ruangan itu sehingga mengerahkan anak buahnyapun sia-sia belaka, bahkan ia tentu akan menderita lebih banyak malu lagi.
"Ia ini muridku yang bernama Theng Ci!" katanya ketus. Mendengar ucapan subonya, Theng Ci melangkah maju menghadapi Kakek gendut itu.
"Aku yang bernama Theng Ci , ada keperluan apakah Locianpwe dengan aku?" Siauw-bin-hud dan Ci Kong memandang tajam ke arah wanita yang mengaku bernama Theng Ci itu. Seorang wanita yang usianya empat puluhan tahun, masih nampak cantik akan tetapi matanya membayangkan kekerasan, pakaiannya ringkas serba merah dan biarpun mukanya terawat baik-baik, garis-garis duka nampak di ujung mulut dan mata. Seorang wanita yang banyak menderita dan keras hati.
"Omitohud, kiranya engkau yang bernama Theng Ci? Apakah engkau yang hadir sebagai wakil Ang-hong-pai ketika terjadi perebutan Giok-liong-kiam di luar kota Kanton, dan engkau menjadi saksi pula ketika pusaka itu dirampas oleh orang yang mengaku bernama Siauwbin-hud dari Siauw-lim-pai?" Theng Ci mengerutkan alisnya dan membuang mukanya yang menjadi merah sekali.
"Semua orang sudah tahu, kenapa Locianpwe bertanya kepadaku?"
"Begini, nona. Yang ingin pinceng tanyakan, apakah engkau yakin benar bahwa orang itu adalah pinceng sendiri! Ataukah orang lain yang menyamar sebagai pinceng?" Wanita itu meragu.
"Aku... Aku tidak tahu!"
"Nona, sebenarnya pinceng sudah memperoleh banyak keterangan akan tetapi pinceng masih belum yakin benar. Oleh karena itu pinceng sengaja mencarimu untuk minta bantuanmu. Engkau seorang wanita, tentu lebih mudah mengingat keadaan seseorang. Apakah ada sesuatu pada diri orang itu yang merupakan ciri khasnya?" Tiba-tiba Theng Ci mengangkat muka memandang wajah Siauw-bin-hud itu dan sinar kebencian memenuhi matanya.
"Tua bangka tak tahu malu! Masikah engkau berpura-pura lagi seperti tidak mengenal aku? Sungguh biadab!" Ci Kong terkejut bukan main dan marah. Susiok-couwnya adalah seorang alim, juga seorang terhormat, kini dimaki dengan kata-kata kotor oleh perempuan ini. Akan tetapi, Kakek itu hanya tersenyum lebar seolah-olah makian itu hanya lewat saja tanpa meninggalkan bekas kepadanya, lahir maupun batin.
"Aha, sikapmu ini menarik sekali, nona. Tentu ada terjadi sesuatu antara engkau dan aku, maksudku, orang yang merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam itu sehingga engkau kini bersikap begini marah dan penuh kebencian. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk mengingat kembali peristiwa lama. Karena itu, nona, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini membenci pinceng? Apakah yang telah terjadi antara kita enam tahun yang lalu itu?" Dengan muka sebentar pucat sebentar merah, wanita itu melotot ketika memandang kepada Siauw-bin-hud dan suaranya tegas dan nyaring,
"Masih berpura-pura lagi! Engkau... Tua bangka binatang jahat, engkau telah memperkosaku!" Jawaban ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah Ci Kong berobah merah sekali. Gilakah wanita ini? Dan dia memandang kepada wajah susiok-couwnya dan wajah Kakek itu hanya tersenyum lebar, sama sekali tidak kelihatan kaget walaupun sebenarnya berita inipun tidak kalah hebatnya bagi Kakek itu sendiri.
"Ha-ha-ha, alangkah aneh dan lucunya. Pinceng selama dua puluh tahun tidak pernah meninggalkan ruangan bertapa di Siauw-lim-si dan tahu-tahu kini muncul tuduhan-tuduhan aneh, bukan hanya merampas Giok-liong-kiam, akan tetapi juga memperkosa wanita. Hemm, nona Theng Ci, menurut penuturan mereka yang ikut memperebutkan pusaka itu, setelah pusaka dirampas orang yang seperti pinceng, mereka semua, termasuk engkau menuduh bahwa pinceng... eh, orang itu, melakukan perkosaan?"
"Huh, engkau atau bukan, pokoknya orangnya persis engkau ini, tidak ada bedanya sedikitpun juga! Aku memang pergi seperti yang lain karena tidak berani berbuat sesuatu terhadap Siauw-bin-hud, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, apalagi karena lenyapnya pusaka itu tidak ada buktinya diambil oleh Siauw-bin-hud. Akan tetapi ketika aku pergi, malamnya tiba di hutan. Aku membuat api unggun dan tiba-tiba muncul... engkau yang mempergunakan kepandaian menaklukkan aku dan... semalam itu engkau mempermainkan aku, memperkosa, menghina... uhhhh..."
"Theng Ci, kenapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku?" tiba-tiba gurunya membentak.
Theng Ci menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menahan tangisnya.
"Subo, maafkan aku. Hal yang begitu menghancurkan hatiku, bagaimana mungkin aku menceritakan kepada subo atau kepada siapapun juga? Hanya karena terpaksa dengan munculnya tua bangka ini, terpaksa aku bercerita..."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud mengeluh walaupun mukanya masih penuh senyum.
"Tenanglah, nona dan cobalah nona lihat baik-baik kepadaku. Benarkah pinceng yang melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap dirimu? Tidak salah lagikah?" Melalui mata yang basah, Theng Ci memandang wajah Kakek itu, lalu sinar matanya menjelajahi tubuh Kakek itu dari kepalanya yang gundul sampai ke sepatunya yang terbuat dari kain.
Dan terbayanglah semua pengalamannya yang membuat hati yang alim. Sama sekali tidak. Entah sudah berapa puluh pria yang digaulinya, yang menjadi kekasihnya. Ia mudah bosan dan tentu saja ia selalu memilih pria yang ganteng dan tampan. Dengan pengaruhnya, dengan kepandaiannya mudah saja baginya untuk memilih pria yang disukainya. Bahkan dengan kekejamannya, ia seringkali menaklukkan pria dengan paksaan dan ancaman sehingga pria itu karena takut mati terpaksa memenuhi hasrat dan nafsunya. Akan tetapi, pengalamannya ketika ia berada di dalam hutan itu sungguh membuat ia merasa muak, terhina dan sakit hati sekali. Ketika itu, hatinya sudah dipenuhi kekecewaan mengingat betapa pusaka Giok-liongkiam lepas dari tangannya.
Padahal, tadinya ia sudah amat mengharapkan pusaka itu dapat dirampasnya. Pusaka itu sudah berada di tangannya! Akan tetapi, sungguh tak disangkanya akan muncul demikian banyaknya orang pandai yang ikut memperebutkan pusaka itu. Apa lagi setelah muncul Siauw-bin-hud, harapannyapun lenyaplah. Ia tahu diri dan seperti yang lain, tidak berani mengganggu Kakek gendut itu, pertama karena iapun sudah mendengar akan kesaktian Kakek ini yang mengatasi kelihaian Empat Racun Dunia. Ke dua, siapa berani sembarangan mengganggu seorang tokoh besar Siauw-lim-pai? Dan ke tiga, tak seorangpun melihat bahwa Kakek ini yang merampas pusaka yang sedang diperebutkan itu. Karena hatinya kesal, biarpun tubuhnya lelah sekali dan matanya mengantuk, ia tidak dapat tidur.
Padahal, ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana terdapat rumput hijau yang tebal dan ia sudah menghamparkan tikar di situ. Ia lalu duduk termenung di depan api unggun besar yang mengusir nyamuk dan hawa dingin. Tiba-tiba terkejutlah ia ketika mendengar suara terkekeh dan tahu-tahu Siauw-bin-hud telah berdiri di depannya. Kakek gendut itu nampak menyeramkan sekali berdiri di dekat api unggun itu, dan perutnya yang tertutup jubah kuning itu bergerak-gerak ketika dia tertawa. Melihat munculnya Kakek itu, timbul harapan di hati Theng Ci. Apa maksud kedatangannya? Apakah... Apakah hendak menyerahkan pusaka itu kepadanya? Karena itu, Theng Ci lalu bersikap hormat, bangkit dan memberi hormat kepada Kakek gendut itu sambil tersenyum ramah, hal yang jarang sekali dilakukannya.
"Locianpwe, petunjuk apakah yang akan Locianpwe berikan kepada saya maka Locianpwe datang menemui saya?" tanyanya dengan suara lembut.
"Ha-ha-ha-ha-ha, nona manis. Coba kau terka keperluan apa yang kubawa maka aku mencarimu, ha-ha-ha!"
"Bukankah Locianpwe hendak menganugerahi saya dengan pusaka Giok-liong-kiam itu? Locianpwe, saya merasa berterima kasih sekali dan akan suka mencium kaki Locianpwe kalau saya diberi pusaka itu!" katanya penuh harap.
"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara! Pinceng lewat di sini dan kedinginan, lalu melihatmu. Maka pinceng mengambil keputusan untuk mengajakmu menemani pinceng untuk mengusir hawa dingin. Aahhhh, ada tikar di sini? Bagus, enak untuk tidur. Ke sinilah nona..." Kakek gendut itu lalu merebahkan dirinya begitu saja di atas tikar. Tubuhnya yang bulat itu menggelinding seperti bola ke atas tikar, terlentang dan dengan kedua tangan dikembangkan, dia mengapai ke arah Theng Ci! Tentu saja Theng Ci menjadi marah bukan main. Kakek yang tua bangka itu, dan tubuhnya yang gendut bulat, perutnya yang begitu besar, mengajak ia bermain cinta? Tentu saja ia tidak sudi! Banyak pria muda tampan siap melayani dan memuaskannya kalau ia mau.
"Locianpwe, harap jangan main-main!" tegurnya, suaranya mulai ketus.
"Siapa main-main, manis?" Dan tiba-tiba lengan itu dapat memanjang dan tahu-tahu sudah merangkul leher Theng Ci. Wanita ini terkejut dan meronta, akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan dan iapun terkulai lemas. Selanjutnya... ah, sukar baginya untuk dapat mengenang peristiwa memalukan itu.
Ia diperkosa, dihina, dipermainkan semalam suntuk oleh Kakek gendut itu tanpa mampu menolak atau meronta sedikitpun. Dan pada keesokan harinya, Kakek gendut itu meninggalkannya sambil tertawa-tawa mengejek! Dengan sepasang mata yang merah dan basah, Theng Ci kini memandang kepada Siauwbin-hud. Memang ada keraguan di dalam hatinya. Memang ia telah merasa curiga pada malam hari sial itu juga. Mungkinkah Siauw-bin-hud, yang terkenal sebagai seorang tokoh besar Siauwlim-pai, sebagai seorang Hwesio Siauw-lim-si yang alim, mau melakukan perbuatan begini biadab? Dan tingkah laku Kakek gendut itu ketika mempermainkannya, lebih pantas dilakukan oleh seorang manusia liar, manusia hutan atau binatang, sama sekali tidak nampak lagi bekas-bekas seorang Hwesio !
"Aku... Aku tidak tahu... Memang aku meragukan bahwa orang itu adalah Locianpwe Siauw-bin-hud, seorang Hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal alim dan sakti... Akan tetapi... bagaimana aku bisa tahu aseli ataukah palsunya? Wajahnya, tubuhnya, pakaiannya, ketawanya, semua memang serupa... Katanya agak bingung.
"Nona Theng Ci, ingatlah baik-baik, apakah tidak ada suatu tanda yang dapat membedakan antara kami? Ingatlah..." Tiba-tiba sepasang mata Theng Ci mengeluarkan sinar aneh.
"Locianpwe, harap kau suka membuka jubahmu!" Kembali Ci Kong mengerutkan alisnya dan tentu dia sudah marah dan menegur wanita tak tahu malu itu kalau saja dia tidak melihat betapa susiok-couwnya dengan sungguh-sungguh lalu membuka jubahnya yang lebar, bahkan menanggalkan jubah itu, kemudian berdiri dengan tubuh atas telanjang di depan Theng Ci! Nampaklah perut yang bulat itu, kulitnya yang kuning halus mulus karena tak pernah terkena sinar matahari, kulit yang halus seperti kulit anak bayi! Terdengar Theng Ci mengeluarkan seruan kecil, lalu ia mengelilingi tubuh Kakek itu dan memeriksa dengan teliti.
"Ah, bukan kau ..., bukan kau ...! Kulitnya tidak sehalus ini, dan dadanya berbulu, dan... dan... di lambung kirinya terdapat tanda hitam sebesar telapak tangan. Bukan kau , Locianpwe, orang itu... ah, sudah kuragukan sejak dulu...!" Dan Theng Ci menangis sesenggukan, menutupi mukanya.
"Diam kau !!" Ketua Ang-hong-pai membentak muridnya yang segera menghentikan tangisnya. Lalu ia menghadapi Siauw-bin-hud.
"Apa sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu, Siauw-bin-hud? Kalau sudah, harap segera meninggalkan tempat ini. Sudah cukup kau mendatangkan kekacauan di sini."
"Omitohud... Cukup, lebih dari cukup. Marilah Ci Kong, kita pergi." Kakek itu lalu menjura ke arah dua orang wanita itu.
"Dan terima kasih atas kebaikan budi kalian yang telah membantu kami." Siauw-bin-hud diiringkan oleh Ci Kong keluar dari dalam kamar itu, lalu mereka berdua dengan sikap tenang meninggalkan perkampungan Ang-hong-pai tanpa ada seorangpun yang berani coba mengganggu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di pintu gerbang, ketua Ang-hong-pai yang mengikuti mereka lalu bertanya,
"Siauw-bin-hud, apakah engkau sudah tahu siapa orang yang memalsu dirimu itu?"
"Ha-ha-ha, mungkin sekali aku tahu, mungkin juga keliru. Selamat tinggal, pai-cu," kata Kakek itu yang segera melangkah lebar meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti oleh Ci Kong. Setelah dua orang tamu yang lihai itu pergi, ketua Ang-hong-pai mengomeli Theng Ci,
"Sialan kau ini! Dengan kebocoran mulutmu, tentu kini dia telah mengetahui di mana adanya pusaka itu dan akan merampasnya kembali. Sungguh tolol kau ini. Dulu engkau diam saja tidak menceritakan kepadaku tentang perampas pusaka yang memperkosamu, dan sekarang engkau malah bocor mulut sejadi-jadinya!"
"Ah, apakah subo tahu siapa orang itu?" "Bodoh kau . Kalau dari dulu engkau bercerita, tentu aku dapat menduganya dan kita dapat lebih dulu berusaha merampasnya. Orang itu siapa lagi kalau bukan Thian-tok?" Sepasang mata Theng Ci terbelalak dan mukanya berobah pucat.
"Thian-tok...? Wah, kalau benar dia, siapa akan mampu merampas dari tangannya?" Setelah kini mendengar bahwa yang menghinanya adalah satu di antara datuk-datuk iblis itu, makin habislah semangatnya untuk dapat membalas dendam. Kini ia tidak merasa heran.
Kalau orang itu benar Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, ia masih boleh mengucap syukur karena ia tidak mati konyol, atau tersiksa lebih hebat lagi dan dapat lolos dari maut mengerikan dalam waktu semalam saja! Sungguh aneh sekali wanita ini. Begitu mendengar bahwa pemerkosanuya adalah Thian-tok, lenyaplah rasa penasaran di hatinya, bahkan ada rasa bangga yang luar biasa bahwa ia telah dipilih oleh Thian-tok, datuk iblis itu! Patut diketahui bahwa Theng Ci adalah seorang wanita yang tergolong kau m sesat. Perkumpulan Ang-hong-pai juga perkumpulan sesat. Oleh karena itu, walaupun Ang-hong-pai tidak dapat dikatakan menjadi anak buah atau pengikut Empat Racun Dunia,
Akan tetapi kedudukan Thian-tok yang tinggi membuat dia dipandang dengan rasa takut, kagum dan hormat oleh para anggauta kau m sesat, seperti pandangan seorang tahyul terhadap iblis atau dewa. Maka, mendengar bahwa dirinya dipilih oleh Thian-tok, timbul rasa bangga dalam hati wanita ini. Puncak Tai-yun-san merupakan puncak yang indah dan masih liar karena jarang dikunjungi manusia. Memang tidak ada gunanya bagi orang biasa, kecuali hanya untuk melancong, datang ke puncak itu. Selain amat terjal dan sukar dicapai, penuh dengan hutan liar di mana terdapat banyak binatang buas, juga hawanya terlalu dingin. Akan tetapi semenjak beberapa tahun ini, di puncak itu terdapat tiga orang, yaitu Thian-tok, dan dua orang muridnya yang baru, yaitu Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu.
Dua orang muda itu digembleng dengan sungguh-sungguh oleh Thian-tok sehingga selama enam tahun mereka telah menerima ilmu-ilmu kesaktian dari datuk iblis itu. Kini mereka berdua sudah mengenal benar watak guru mereka yang luar biasa, aneh, dan kadang-kadang mengerikan. Di dalam perantauannya, Thian-tok mengajak dua orang muridnya itu bertualang dan dengan terang-terangan dia melakukan pencurian, bahkan penculikan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis cantik. Dua orang muridnya tertegun, cemas dan ngeri, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri. Mereka bergidik melihat betapa guru mereka itu sambil tertawa bergelak-gelak memperkosa wanita, dan sambil tersenyum-senyum membunuh wanita itu pada keesokan harinya!
Bahkan pernah Kakek gendut itu merobek dada seorang korbannya, mengeluarkan jantung yang masih berdenyut dan mengganyangnya mentah-mentah. Dua orang pemuda itu hampir muntah menyaksikan hal ini, akan tetapi guru mereka mengatakan bahwa jantung yang hidup itu merupakan obat kuat yang tiada taranya! Kadang-kadang, kalau sedang berdua saja, Seng Bu menyatakan kecewa dan penyesalannya kepada suhengnya, yaitu Siu Coan, tentang watak gurunya. Dia mengatakan bahwa kalau melihat watak suhunya, dia ingin minggat saja, tidak sudi menjadi murid seorang yang demikian jahatnya. Akan tetapi, Siu Coan membantahnya dan mengingatkan bahwa guru mereka adalah seorang yang luar biasa saktinya. Mencari di ujung dunia sekalipun belum tentu akan bisa mendapatkan seorang guru selihai Thian-tok.
"Pula, apa hubungannya semua perbuatannya dengan kita?" demikian Ong Siu Coan berkata, membujuk sutenya.
"Dia adalah seorang sakti, dan semua orang sakti di dunia ini memang aneh. Bahkan ada yang mendekati gila. Siapa bisa mengikuti jalan pikirannya? Mungkin saja ada sebab-sebab rahasia yang mendorong semua perbuatannya yang kelihatannya jahat dan mengerikan itu."
"Hemm, apa yang mendorong kecuali nafsu buruk?" Seng Bu berkata.
"Memperkosa gadis, lalu membunuh gadis yang tak berdosa itu! Bayangkan saja! Dia mencuri barang-barang berharga dari dalam gedung orang. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa suhu yang sudah setua itu masih mau mengganggu wanita, dan untuk apa pula barang-barang berharga itu." Akan tetapi setelah mereka tiba di dalam guha di puncak Pegunungan Tai-yun-san, barulah terjawab pertanyaan kedua dari Seng Bu.
Di dalam guha besar itu terdapat terowongan dan kamar-kamar dalam tanah dan di dalam sebuah di antara kamar-kamar itulah disimpannya banyak sekali barang-barang berharga yang langka! Pusaka-pusaka, emas permata, batu giok dan bertumpuklah barang-barang itu seperti dalam guha harta karun saja! Dan kadang-kadang Thian-tok bermain-main di dalam kamar itu seperti anaj kecil, menimang-nimang semua benda-benda itu sambil tertawa-tawa seorang diri! Kalau Seng Bu merasa tidak cocok dengan watak gurunya dan hanya memaksa diri bertahan untuk mengganggu ilmu kesaktian dari Kakek itu, sebaliknya diam-diam Ong-Siu Coan merasa kagum bukan main terhadap gurunya! Bahkan ada perasaan puas di lubuk hatinya melihat betapa gurunya melakukan semua kekejaman yang sadis itu.
Hanya anak ini menyadari bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak benar, maka diapun memaksa hatinya sendiri untuk memerangi perasaan puas itu sehingga di luarnya, dia nampak halus budi dan pandai menyimpan gejolak hatinya. Seng Bu sendiripun tidak dapat menyelami batin suhengnya yang baginya dianggap seorang yang cerdik, pandai dan juga tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Sikap suhengnya yang pendiam, serius, dan gagah sekali, terutama kalau bicara tentang perjuangan menentang penjajah Mancu, benar-benar amat mengagumkan hati Seng Bu. Dia sendiri berwatak jujur, terbuka dan agak bodoh walaupun dia memiliki jiwa yang gagah perkasa dan berani. Demikianlah, dalam asuhan orang aneh seperti Thian-tok, dua orang pemuda remaja itu tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang gagah perkasa.
Dalam usia sembilanbelas tahun, Siu Coan merupakan seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah sekali, sepasang matanya mencorong, kadang-kadang nampak aneh, sikapnya pendiam dan serius, pandang matanya penuh selidik dan membayangkan kecerdikan. Gan Seng Bu yang usianya hanya beberapa bulan saja lebih muda dari suhengnya, bertubuh sedang namun bentuknya kokoh dan kuat sekali, dengan otot-otot yang menonjol. Wajahnya tidak begitu tampan, akan tetapi wajahnya jantan dan membayangkan kegagahan. Sinar matanya terbuka dan dari situ berpancar cahaya mata yang jujur dan terang. Sudah hampir enam tahun mereka menjadi murid Thian-tok dan boleh dibilang hampir semua ilmu-ilmu pilihan dari Kakek itu telah diajarkan kepada mereka. Terutama sekali ilmu-ilmu andalan Thian-tok.
Di antaranya adalah Ilmu Sin-houw Ho-kang, yaitu ilmu yang berdasarkan penggunaan tenaga khikang pada suara sehingga kalau ilmu ini dipergunakan, maka auman yang dikeluarkan itu demikian hebatnya sehingga mampu merobohkan lawan tanpa menyentuhnya melainkan menyerang jantung dan isi perut melalui pendengaran dan getaran suara! Ada lagi ilmu yang diberi nama Kim-ciong-ko. Dengan mengandalkan ilmu ini, kalau dikuasai dengan sempurna dan kalau pelakunya sudah memiliki tenaga singkang yang sempurna, maka tubuh akan menjadi kebal terhadap senjata tajam dan kedua lengan dapat dipergunakan sebagai senjata, kuat menahan senjata tajam sekalipun! Adapun ilmu silat tangan kosong yang diandalkan oleh Thian-tok adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang berdasarkan gerakan Ngo-heng atau Lima Unsur yang saling berkaitan, saling menolong saling menghidupkan dan membunuh.
Kalau dibuat perbandingan antara Siu Coan dan Seng Bu. Maka Siu Coan yang cerdik lebih mahir dalam ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekuatan, dia masih tidak mampu menandingi sutenya yang kokoh kuat seperti pagoda besi itu. Pagi hari itu, dua orang pemuda yang sudah dewasa ini sedang berlatih silat di depan guha kecil di mana terdapat sumber mata airnya. Guha kecil ini letaknya agak jauh dari guha tempat tinggal mereka dan guru mereka, dan mereka setiap pagi kalau hendak mengambil air, mandi atau bercuci muka, tentu berlatih silat di depan guha kecil itu. Melihat dua orang pemuda itu berlatih silat dengan bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang dan sepatu, amat mengagumkan. Sungguh jauh bedanya dengan perkelahian yang mereka lakukan pada enam tahun yang lalu di depan Thian-tok ketika Kakek ini mengadu mereka di kuil tua.
Dulu mereka berkelahi secara liar, pukul-memukul, tendang-menendang dan jambak-menyambak sehingga hujan pukulan mengenai badan masing-masing dan terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mengenai badan. Akan tetapi sekarang, tidak terdengar sesuatu dalam gerakan mereka. Demikian ringannya kaki mereka bergeser dan kaki tangan itu namun sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya kalau pukulan mereka meluncur saja terdengar angin bersiut, dan kadang-kadang terdengar bentakan mereka untuk menambah daya serangdalam pukulan atau tendangan mereka. Akan tetapi sekali ini, tidak ada satu kalipun pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan. Betapapun cepat dan kerasnya mereka menyerang, pihak lawan tentu mampu mengelak atau menangkisnya dengan baik sekali.
Mereka sedang melatih ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang menjadi andalan guru mereka. Selagi mereka asyik berlatih, tiba-tiba terdengar suara orang mendengus dan nampaklah bayangan hitam berkelebat dan terasa oleh dua orang muda itu angin pukulan menyambar dengan dahsyatnya ke arah mereka! Tentu saja mereka terkejut bukan main, karena mereka tahu bahwa mereka diserang secara hebat sekali oleh orang yang berilmu tinggi dan yang memiliki tenaga singkang yang amat kuat. Orang itu bertubuh tinggi kurus bermuka hitam dengan sepasang mata mencorong kehijauan seperti mata kucing, pakaiannya serba hitam pula dan dengan dua pukulan yang ganas sekali dia telah menyerang Siu Coan dan Seng Bu, dengan tamparan ke arah leher Siu Coan dan tonjokan ke arah dada Seng Bu.
"Haiiiittt...!" Siu Coan berteriak sambil melakukan penangkisan dengan tangan kirinya.
"Heiiiittt...!" Seng Bu yang kaget itupun cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan menyampok tonjokan itu dengan lengan kanannya.
"Dukk! Dukk!" Dua orang pemuda itu semakin kaget karena ketika lengan mereka yang menangkis itu terbentur dengan lengan lawan, mereka merasa seolah-olah menangkis besi panas, dan juga tenaga lengan lawan itu sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka tergetar hebat!
🖐
"Siu Coan Juga lawan itu memiliki gerakan cepat bukan main. Begitu serangan pertama dapat mereka hindarkan, serangan-serangan selanjutnya menyusul sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu mereka telah diserang secara bergantian dan bertubi-tubi sampai tiga kali! Namun, mereka kini telah menguasai banyak ilmu silat tinggi dan tubuh mereka sudah mampu bergerak secara otomatis menghadapi ancaman serangan itu, selain itu mereka yang tahu bahwa penyerang mereka ini amat lihai, sudah mengerahkan seluruh tenaga singkang mereka sehingga mereka mampu menangkis dengan baik.
"Siapa kau yang datang-datang menyerang kami!" bentak Siu Coan ketika memperoleh kesempatan. Ketika orang itu tidak menjawab melainkan melanjutkan serangan, Siu Coan mengelak dan balas menyerang, diikuti oleh sutenya.
Kembali orang itu mendengus, dan agaknya orang itupun merasa heran melihat betapa serangannya yang bertubi itu tidak berhasil merobohkan seorang dari mereka , bahkan kini dua orang pemuda itu mulai membalas. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mekengking lirih, akan tetapi di dalam suara yang lirih tinggi itu mengandung tenaga serangan yang amat hebat. Dua orang pemuda itu terkejut. Mereka mengenal Sin-houw Ho-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Cepat mereka melangkah mundur dan mengerahkan tenaga khikang untuk melawan suara itu dan melindungi diri. Kembali orang itu kelihatan terkejut dan heran, lalu suara serangannya berhenti dan sekali berkelebat, orang itu telah lenyap di balik semak-semak tebal. Siu Coan dan Seng Bu tidak mengejar, hanya saling pandang dengan heran.
"Orang itu sungguh lihai sekali...!" katanya menarik napas panjang.
"Serangannya mendadak dan kalau kita kurang hati-hati, tentu menjadi korban." Seng Bu menggeleng-geleng kepala, keheranan.
"Mengapa dia menyerang kita membabi-buta tanpa alasan? Siapa dia?"
"Aku dapat menduga siapa dia." Tiba-tiba Siu Coan berkata. Seng Bu memandang wajah suhengnya denga heran.
"Engkau tahu siapa dia, suheng? Apakah kau sudah mengenalnya?" Siu Coan menggeleng kepala.
"Sute, lupakah engkau akan ucapan suhu ketika dia menerima kita sebagai murid? Suhu pernah mengatakan secara samar-samar bahwa suhu mempunyai seorang murid yang sudah tidak diakuinya lagi. Agaknya orang itulah murid suhu, mengingat bahwa dia mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoat kita, juga ketika dia menyerang kita dengan Sin-houw Ho-kang. Siapa lagi orangnya yang mampu melakukan dua ilmu itu kalau bukan murid suhu itu?" Seng Bu mengangguk-angguk, "Akan tetapi, kalau benar dia, berarti dia itu adalah toa-suheng kita. Mengapa dia menyerang kita mati-matian seperti itu? Kurang cepat sedikit saja kita mengelak atau menangkis, tentu seorang di antara kita akan roboh dan tewas."
"Akupun tidak tahu mengapa, sute. Hanya, menurut ucapan suhu dahulu, tentu dia tidak berhubungan secara baik dengan suhu. Entah mengapa suhu tidak mengakuinya lagi. Sebaiknya hal ini kita tanyakan kepada suhu." Dua orang pemuda itu lalu membersihkan diri di sumber air dan setelah itu mereka berjalan kembali menuju ke guha besar tempat tinggal mereka. Ketika mereka mencari guru mereka, akhirnya mereka menemukan guru mereka duduk bersila di depan kamar harta karun di mana disimpan semua pusaka dan barang-barang berharga milik guru mereka itu. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main melihat betapa Thian-tok yang duduk bersila itu berwajah pucat sekali dan jelas kelihatan sedang menghimpun hawa murni dengan tarikan-tarikan napas panjang.
"Suhu...! Ada apakah...?" Siu Coan berseru kaget dan heran, lalu berlutut di depan Kakek yang duduk bersila itu, diikuti oleh Seng Bu. Kakek itu membuka kedua matanya dan melihat dua orang muridnya, dia tersenyum menyeringai, lalu berkata dengan suara yang agak parau,
"Ah, dia datang..., mengambil Giok-liong-kiam... dan aku kena ditipunya, terkena pukulannya, akan tetapi... diapun membawa bekas pukulanku, mungkin terluka parah pula..." Siu Coan yang cerdik segera dapat menduga.
"Suhu, apakah suhu maksudkan murid suhu itu yang datang?" Thian-tok terbelalak.
"Kau... kau sudah mengenal Koan Jit?" Siu Coan menggeleng kepala.
"Tidak, suhu, teecu hanya menduga saja. Tadi ada seorang bertubuh jangkung, bermuka hitam dan berpakaian serba hitam pula, menyerang teecu berdua yang sedang berlatih silat di depan guha sumber air. Melihat gerakan-gerakannya, teecu menduga bahwa tentu dia murid suhu itu... Dan dia lalu melarikan diri setelah tidak berhasil merobohkan kami." Kakek itu mengangguk-angguk.
"Benar, dialah Koan Jit, murid durhaka itu. Ah, aku terlalu sayang kepadanya... dan dia terlalu durhaka..."
"Suhu, apakah yang telah terjadi?" Seng Bu kini bertanya dengan hati penasaran sekali. Suhunya ini menyatakan merasa sayang terhadap murid yang bernama Koan Jit itu, akan tetapi juga mengatakan bahwa murid itu terlalu durhaka.
"Kalian belum tahu... baiklah kuceritakan agar kalian dapat mengenal siapa dia dan orang macam apa dia itu. Akan tetapi dia memang hebat, dia paling berbakat, dan dia patut menjadi datuk iblis penggantiku, akan tetapi dia durhaka kepadaku, ah, sungguh sayang. Kalau tidak, tanpa dimintapun akan kuberikan Giok-liong-kiam kepadanya..."
Kakek itu lalu bercerita dengan singkat tentang muridnya yang bernama Koan Jit itu. Orang she Koan bernama Jit itu telah menjadi murid Thian-tok, murid tunggal semenjak dia masih kecil. Thian-tok amat sayang kepada muridnya ini, karena bukan saja Koan Jit memiliki bakat yang amat baik sehingga dapat mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaiannya akan tetapi juga watak anak itu cocok benar dengan watak Thian-tok. Anak itu kejam, dapat bersikap jahat dan licik, pendeknya seorang yang patut menjadi calon datuk iblis yang menjagoi di dunia kau m sesat! Dan di waktu kecilnya Koan Jit nampak patuh dan setia sekali kepada gurunya sehingga Thian-tok merasa sayang kepadanya.
JILID 09
Thian-tok yang tidak pernah berkeluarga dan tidak mempunyai keturunan itu, bahkan hanya mempunyai seorang saja murid, menganggap Koan Jit seperti anak sendiri. Akan tetapi setelah Koan Jit tamat belajar, limabelas tahun yang lalu, dalam usia dua puluh lima tahun, watak jahat Koan Jit mencapai puncaknya dan bukan saja dia melakukan segala perbuatan jahat seperti mencuri, merampok, membunuh, memperkosa dan mengkhianati siapa saja, bahkan dia berkhianat pula kepada gurunya sendiri! Urusannya hanya menyangkut diri seorang wanita yang diculik oleh Thian-tok. Kebiasaan Thian-tok, satu di antara kebiasaan buruknya adalah menculik dan memperkosa wanita mana saja yang menarik hatinya. Dan setelah diperkosanya, biasanya hanya untuk satu dua hari saja, lalu wanita itu dibunuhnya.
Perbuatan keji inipun diwarisi pula oleh Koan Jit! Pada suatu hari, Thian-tok menculik seorang wanita dan dia tergila-gila kepada wanita ini, bahkan dia berniat untuk tidak membunuh wanita itu, dan kalau mungkin malah mengangkatnya menjadi teman hidup atau istrinya. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, guru ini mendapatkan wanita pilihannya itu ada dalam pelukan muridnya! Hal ini saja masih belum menyakitkan hati datuk iblis itu kalau saja si wanita tidak terang-terangan menyatakan bahwa ia mencinta Koan Jit dan tidak sudi berdekatan dengan Thian-tok. Marahlah si datuk iblis dan wanita itupun dibunuhnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa Koan Jit mendendam karena peristiwa ini dan pada suatu malam, selagi Thian-tok tidur pulas, murid durhaka itu telah menotoknya, membelenggunya dan menyerahkannya kepada yang berwajib!
Tentu saja alat pemerintah girang melihat penjahat besar itu diserahkan dalam keadaan terbelenggu, karena kalau tidak, mereka tahu tidak akan mungkin dapat memegang Thian-tok yang menjadi iblis jahat dan terkenal sekali di dunia kau m sesat. Setelah siuman dan mendapatkan dirinya dalam tahanan, terbelenggu, Thian-tok menjadi marah. Dia memberontak, melepaskan diri dan melakukan penyelidikan. Ketika mendengar bahwa Koan Jit yang menyerahkan dirinya dalam keadaan pingsan terbelenggu kepada alat negara, dia marah sekali dan cepat pulang. Setibanya di dalam guha di puncak Tai-yun-san itu, dia mendapat kenyataan bahwa Koan Jit telah kabur dan membawa banyak barang-barang berharga yang dikumpulkannya di dalam kamar dalam guha!
Tentu saja Thian-tok marah sekali, bukan karena Koan Jit mencuri barang-barang, melainkan karena murid itu telah mendurhakainya Dengan kemarahan meluap-luap, datuk iblis itu lalu mencari muridnya. Dan setahun kemudian, dia dapat menemukan Koan Jit. Mereka bertanding, akan tetapi betapapun lihainya Koan Jit, menghadapi gurunya dia kalah matang dan akhirnya dia roboh. Akan tetapi, ketika Thian-tok hendak membunuhnya, Kakek ini tidak tega. Dia terlalu sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri itu. Apa lagi ketika Koan Jit berkata kepadanya bahwa sepatutnya guru itu bangga mempunyai murid yang dapat melakukan kejahatan yang lebih besar dari pada kejahatan gurunya!
"Suhu hanya merampok, mencuri, menculik, memperkosa dan membunuh. Pernahkah suhu mengkhianati guru sendiri? Nah, aku ingin melakukan kejahatan yang melebihi suhu, dan hal itu sudah kulakukan ketika aku mengkhianati suhu. Kalau aku tidak cinta kepada suhu, tentu suhu telah kubunuh, bukan kuserahkan kepada yang berwajib. Aku tahu bahwa suhu tentu akan mampu melepaskan diri. Kenapa sekarang suhu marah-marah? Pantasnya memujiku, karena bukankah suhu yang mengajarkan semua itu kepadaku?" Mendengar ucapan muridnya ini, hati Thian-tok menjadi semakin lemah dan diapun mengampuni muridnya itu. Akan tetapi hatinya telah menjadi kecewa dan diapun tidak mau mengakui lagi muridnya, dan mengatakan bahwa kalau sekali lagi saling jumpa, dia tentu akan membunuh murid durhaka itu.
"Demikianlah," Thian-tok mengakhiri ceritanya.
"Selama belasan tahun aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya mendengar bahwa dia telah dijuluki orang Hek-eng-mo (Iblis Bayangan Hitam). Dan tadi, dia datang, menyelinap ke dalam kamar harta, mencuri Giok-liong kiam. Aku mendengar suara yang bukan seperti kalian, maka aku datang melihat dan tahu-tahu aku telah diserangnya. Dia memperoleh banyak kemajuan dan karena aku tadinya masih mengira bahwa kalian yang berada di dalam, aku lengah dan terkena pukulannya yang beracun. Akan tetapi, sebelum dia melarikan diri, akupun berhasil memukul dan melukainya. Dia lari hanya membawa pedang pusaka Giok-liong-kiam."
"Kurang ajar! Aku akan mengejar dan mencarinya, suhu!" Siu Coan mengepal tinju.
"Benar, murid durhaka itu perlu dihajar!" kata pula Seng Bu marah. Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Jangan! Aku bahkan diam-diam merasa bangga bahwa dia menguasai pedang pusaka itu dengan cara yang demikian licik dan berani. Perbuatan itu patut kalian jadikan contoh. Orang harus licin dan cerdik untuk dapat maju di dunia ini, ha-ha-ha! Dan Koan Jit benar-benar membuat aku bangga. Pula, belum tentu kalian dapat menang menghadapinya. Dalam hal ilmu silat, kiranya kalian tidak perlu kalah, hanya mungkin kalah matang dalam latihan. Semua ilmuku telah kuberikan kepada kalian. Akan tetapi, dalam hal kelicikan dan kecurangan, kalian kalah jauh, apa lagi Seng Bu. Biarlah, pusaka Giok-liong-kiam itu biar berada di tangannya. Tentu saja kelak, kalau kalian sudah merasa mampu, kalian boleh coba-coba merampas dari tangannya. Ketahuilah, pusaka Giok-liong-kiam itu menjadi semacam ukuran kelihaian seseorang. Pemiliknya boleh mengangkat diri menjadi orang terpandai di dunia persilatan!"
"Omitohud..., kata-kata yang sungguh tidak baik untuk didengar dan ditaati..." Suara ini halus seolah-olah di dekat mereka ada orang yang berbisik. Hal ini amat mengejutkan hati Thian-tok dan dua orang muridnya. Thian-tok segera maklum bahwa ada orang sakti yang datang, karena orang yang berada di luar guha dapat mendengarkan kata-katanya tadi dan dapat mengirim suara melalui ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) sedemikian lihainya, tentulah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Awas, di luar ada orang sakti. Mari kita sambut dia!" kata Thian-tok yang segera bangkit dan melangkah keluar dengan sikap tenang, dengan wajah tersenyum mengejek karena Kakek ini belum pernah merasa takut menghadapi lawan siapa saja di dunia ini.
Dua orang muridnya mengikuti dari belakang dengan hati tegang dan penuh pertanyaan dan dugaan. Apakah Koan Jit datang kembali? Mungkin saja murid pertama suhu mereka itu yang datang, karena memang orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa ada seruan omitohud yang biasa hanya keluar dari mulut para pendeta atau para umat Buddhis yang beribadat? Agaknya tidak mungkin kalau toa-suheng mereka yang sudah tidak diakui itu menggunakan seruan seperti itu. Ketika mereka tiba di luar, Siu Coan dan Seng Bu memandang heran. Di depan guha itu telah berdiri seorang pendeta Hwesio yang tubuhnya gendut bulat, segendut da sebulat guru mereka.
Bahkan ada persamaan atau kemiripan wajah di antara dua orang Kakek itu, mirip sekali bentuk mata, hidung dan mulut pada muka yang sama-sama bundar itu. Hanya perbedaannya, kalau kepala Thian-tok botak dan di belakangnya berambut, kepala Hwesio itu gundul plontos tanpa ada sedikitpun rambutnya dan kalau baju Thian-tok tidak pernah tertutup sehingga nampak bulu di dadanya, sebaliknya tubuh Hwesio itu tertutup rapat oleh jubah kuning, juga wajah Thiantok dihias kumis pendek tebal, sedangkan Hwesio itu sedikitpun tidak memelihara kumis. Sejenak dua orang gendut itu saling pandang dan lucunya, keduanya sama-sama tersenyum lebar. Hanya terdapat perbedaan dalam senyum itu. Kalau senyum Thian-tok menyeringai dan membayangkan ejekan dan kesombongan, senyum Hwesio itu halus dan ramah dibayangi ketulusan hati.
"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok akhirnya tertawa bergelak.
"Akhirnya ketemu juga! Akan tetapi kedatanganmu itu terlambat beberapa jam saja, Siauw-bin-hud!" Hwesio yang disebut Siauw-bin-hud itu tertawa dan menoleh kepada pemuda berpakaian pemuda tani sederhana yang wajahnya membayangkan kesabaran.
"Ci Kong, inilah dia yang dujuluki orang Thian-tok, satu diantara empat orang datuk iblis yang dinamakan Empat Racun Dunia." Kemudian Siauw-bin-hud menghadapi Thian-tok dengan senyum lebar.
"Heh-heh, Thian-tok, engkau pandai sekali menyembunyikan diri. Setelah yakin bahwa engkau lah orangnya yang duabelas tahun yang lalu merampas Giok-liong-kiam dengan mempergunakan nama pinceng, barulah pinceng memaksa diri mendatangi tempat ini. Thiantok, mengapa engkau melakukan perbuatan itu?"
"Ha-ha-ha, ketika itu aku hanya menggunduli rambut dan kumisku, memakai jubah kuning dan merobah sedikit alisku, mencoba-coba merasakan bagaimana kalau menjadi seorang Hwesio . Aku sama sekali tidak pernah mengaku bahwa aku adalah Siauw-bin-hud. Kalau kemudian orang menyangka aku Siauw-bin-hud, salah siapakah itu? Ha-ha-ha, dan sudah sepatutnya kalau engkau menjadi pusing karenanya. Ingatkah engkau pada empat puluh tahun yang lalu ketika engkau pernah mengalahkan aku dalam pertandingan selama hampir satu malam di puncak Thai-san?" Siauw-bin-hud tersenyum lebar.
"Aihh, perlu apa mengingat-ingat masa lampau waktu kita masih gila-gilaan dan dikuasai nafsu untuk menang? Pinceng sekarang sudah tidak lagi haus kemenangan, Thian-tok. Akan tetapi karena orang menyangka pusaka itu pinceng rampas, maka pinceng terpaksa datang mengunjungimu dan minta agar engkau suka mengembalikan kepadaku untuk diserahkan kepada mereka yang berhak."
"Ha-ha, enak saja! Majulah dan kalahkan aku sekali lagi kalau engkau mampu!"
Siauw-bin-hud hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Biarlah pinceng mengaku kalah."
"Kalau engkau kalah, berarti aku yang menang dan jagoan nomor satu sajalah yang berhak menguasai Giok-liong-kiam. Jadi, akulah yang menguasainya dan akulah yang patut disebut jagoan nomor satu di dunia, ha-ha-ha!"
"Omitohud! Heh-heh, Thian-tok, bagi pinceng sama sekali tidak berkeberatan kalau engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia atau di akhirat. Biar kau borong semua gelar dan julukan itu, ha-ha-ha!" Sementara itu, Ci Kong yang menyaksikan pertemuan antara Kakek gurunya dan Kakek gendut itu, sejak tadi memandang penuh keheranan. Memang mirip sekali dua orang Kakek itu satu sama lain, dengan kebiasaan yang sama pula, yaitu suka tersenyum lebar dan ketawa-ketawa. Hanya bedanya, kalau senyum susiok-couwnya itu ramah dan tulus, sebaliknya senyum Kakek botak itu mengandung ejekan dan sinar matanya mengandung kekejaman. Akan tetapi, diam-diam dia merasa kagum kepada dua orang pemuda yang muncul keluar bersama Thian-tok itu. Mereka adalah dua orang pemuda yang nampak gagah dan sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau kau sudah mengaku kalah, pergilah dan jangan ganggu aku!" Thian-tok berkata dan kini dua orang muridnya yang merasa heran. Biasanya, tidak mungkin guru mereka itu membiarkan orang yang datang mengganggu pergi begitu saja dan menghabiskan perkara itu sampai di situ! Dari sikap ini saja mereka dapat menduga bahwa suhu mereka itu merasa jerih terhadap Hwesio tua ini. Hal itu membuat mereka merasa penasaran sekali.
"Thian-tok, pinceng tidak mau merebut keunggulan jagoan, akan tetapi pinceng sudah berjanji kepada para orang gagah untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang menyamar pinceng. Kalau engkau tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada pinceng untuk dikembalikan kepada yang berhak, marilah kau ikut pinceng ke Siauw-lim-si dan engkau menghadapi sendiri mereka yang menuntut dikembalikannya pusaka itu."
"Hua-ha-ha, enak saja kau membuang kentut, Hwesio busuk!" Thian-tok tertawa bergelak dan memaki dengan nada mengejek sekali.
"Aku merampas pusaka itu menggunakan kepandaian dan kau hendak mengambilnya dariku hanya dengan menggunakan bujukan suara kentut busuk? Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru aku mau bicara tentang Giok-liongkiam, kalau engkau tidak berani melawanku, pergilah dan jangan perlihatkan lagi kepala gundulmu itu di sini!"
"Ha-ha-ha, Thian-tok, jangan seperti anak kecil yang memperebutkan mainan. Pinceng hanya ingin meluruskan perkara yang bengkok, bukan untuk memperebutkan sesuatu denganmu."
Siauw-bin-hud masih tertawa-tawa gembira, agaknya kata-kata yang menghina dari Thian-tok sama sekali tidak dirasakannya. Ci Kong mengerutkan alisnya yang teba. Hatinya sudah terasa panas sekali. Dia seorang pemuda sederhana yang menerima gemblengan lahir batin dari Siauw-bin-hud selama enam tahun, juga wataknya bijaksana, sabar dan serius. Akan tetapi, mendengar betapa susiok-couwnya yang amat dihormatinya itu kini dimaki-maki dengan kata-kata kotor oleh seorang datuk sesat, dia merasa penasaran sekali dan menganggap bahwa sikap susiok-couwnya terlalu lemah. Orang yang begitu jahat seperti Thian-tok ini tidak perlu dikasih hati, pikirnya, karena makin lemah sikap kita, tentu akan makin diinjaknya.
"Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau mengaku kalah tanpa bertanding, mana mungkin itu? Kalau saja engkau mengaku bahwa engkau takut melawan aku, nah, baru aku mau bicara tanpa bertanding. Gundul busuk, kau berlututlah dan mengaku takut!" kata Thian-tok sambil menyeringai dengan sikap merendahkan sekali. Anehnya, Siauw-bin-hud hanya tersenyum saja, dengan sinar mata penuh kesabaran seperti dewasa melihat tingkah seorang anak kecil yang nakal. Akan tetapi, Ci Kong sudah cepat melangkah maju.
"Susiok-couw, segala sesuatu mempunyai batas. Orang ini terlalu menghina dan memandang rendah, biarlah saya yang mencoba-coba menghadapi dan menandingi ilmunya!" Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba Ong Siu Coan sudah meloncat ke depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ci Kong.
"Orang sombong, kalau engkau yang maju, tidak perlu suhu menghadapimu, akupun cukuplah. Sambut seranganku!" Ong Siu Coan selain cerdik dan berwatak aneh, juga gagah perkasa dan melihat gurunya ditantang oleh pemuda yang menjadi cucu keponakan seperguruan Siauw-bin-hud, dia menjadi marah.
Juga dengan cerdik dia mendahului maju untuk menyenangkan hati gurunya karena perbuatannya itu tentu saja merupakan suatu kebaktian dan kesetiaan seorang murid yang baik. Begitu mengeluarkan tantangan dan celaan terhadap Ci Kong yang dipandangnya rendah karena bagaimanapun juga, pemuda itu hanyalah cucu murid Siauw-bin-hud, tentu hanya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai tingkat rendah saja, Siu Coan sudah mengirim serangan dengan dahsyatnya. Begitu menyerang, dia telah mempergunakan sebuah jurus yang ampuh dari Ngoheng Kun-hoat dan tentu saja dia mengerahkan tenaga singkang dalam serangan itu sehingga pukulan tangan kirinya yang menyambar dari samping ke arah lambung lawan itu mengeluarkan angin keras.
"Hemmmm...!" Ci Kong mengeluarkan suara menahan kemarahannya melihat betapa pemuda tinggi besar itu begitu saja menyerang dengan ganas. Sebagai seorang murid terkasih Siauw-bin-hud yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat paling tinggi dari Siauw-lim-pai bahkan mewarisi ilmu-ilmu simpanan rahasia yang bahkan jarang ada tokoh Siauw-lim-pai menguasainya. Ci Kong memiliki ketenangan yang luar biasa. Sekali pandang sekelebatan saja, diapun sudah tahu bahwa serangan lawannya itu mengandung hawa maut dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Juga dia tidak dapat diikat perhatiannya oleh pukulan tangan kiri lawan yang menyambar lambungnya, maka sambil mengelak, dia tetap waspada.
Kewaspadaannya ini ternyata amat berguna karena belum juga pukulan tangan kiri Siu Coan itu terelakkan, tangan kanan Siu Coan sudah menyambar dengan lebih cepat dan lebih ganas dari pada gerakan tangan kiri dan yang diserang adalah pelipis kiri Ci Kong. Kiranya inilah serangan intinya sedangkan sambaran tangan kiri tadi hanyalah pancingan atau gertakan saja. Memang demikian sifat ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang dirangkai oleh Thian-tok. Serangan susul-menyusul dan sambung-menyambung sehingga sukar diketahui lawan mana serangan pancingan dan mana yang inti, karena kesemuanya nampak berbahaya, makin lama makin cepat. Akan tetapi Ci Kong sudah tahu bahwa pukulan ke arah pelipis itulah serangan inti lawan, maka diapun menggerakkan tangan kirinya, dengan gerakan berputar dari bawah lengan kirinya menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya terkejut karena begitu dua lengan bertemu, tubuh mereka tergetar dan tiba-tiba tangan kiri Siu Coan pada detik berikutnya sudah menyambar dengan dorongan ke arah ulu hati lawan. Serangan susulan yang amat berbahaya! Akan tetapi Ci Kong juga memapakinya dengan tangan kirinya. Dua telapak tangan kiri itu saling dorong dan bertemu di udara.
"Plakk!!" Keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah dan sama-sama memandang dengan sinar mata kagum karena dari pertemuan telapak tangan itu saja mereka dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dari lawan masing-masing.
"Heh-heh, Ci Kong, apa gunanya bersitegang dan berkelahi seperti anak kecil? Mundurlah." Tiba-tiba terdengar suara halus Siauw-bin-hud dan mendengar suara susiok couwnya ini, Ci Kong mundur walaupun pada saat itu, Siu Coan sudah menyerangnya lagi!
Melihat betapa lawannya mundur dan Kakek gendut dari Siauw-lim-pai itu kini melangkah maju, Siu Coan yang sudah menyerang lagi tidak mau menarik kembali pukulannya. Bahkan pemuda yang cerdik ini memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian Siuw-bin-hud, Kakek yang menjadi tokoh penuh rahasia dari Siauw-lim-pai itu, yang menurut gurunya merupakan seorang tokoh sakti yang sukar dicari tandingannya. Dia merasa penasaran dan ingin menguji sendiri Siauw-bin-hud. Akan tetapi, kalau tidak ada kesempatan yang baik, tentu dia tidak berani. Sekarang, dia sedang melakukan serangan yang tadinya ditujukan kepada pemuda cucu murid pendeta itu. Kalau pemuda yang diserangnya itu menyingkir dan mundur, sedangkan Kakek gendut itu maju,
Maka serangannya yang dilanjutkan akan mengarah si pendeta dan hal ini tidak dapat dikatakan bahwa dia berani lancang menyerang tokoh Siauw-lim-pai itu! Maka, dia tidak menahan atau menarik kembali serangannya, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya dan serangannya itu diluncurkan dengan persiapan menyambungnya dengan pukulan-pukulan lain yang paling hebat dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat! Kombinasi pukulan tiga kali berturut-turut secara cepat lagi dilancarkan oleh Siu Coan ke arah tubuh gendut itu. Pertama ke arah leher, ke dua ke arah lambung dan ke tiga kalinya ke arah dada. Cepat sekali dan mengandung tenaga sepenuhnya. Demikian cepatnya tiga pukulan berantai itu sehingga jatuhnya hampir berbareng, sekali dengan tangan kiri dan dua kali dengan tangan kanan.
"Buk! Buk! Buk!" Tiga kali pukulan itu mengenai sasaran dengan tepatnya, akan tetapi akibatnya sungguh aneh. Ong Siu Coan terkulai dan tentu sudah roboh kalau lengannya tidak cepat disambar oleh sutenya, Gan Seng Bu. Ketika tiga kali pukulan tadi mengenai leher, lambung dan dada Kakek gendut itu, Siauw-bin-hud sama sekali tidak mengelak dan Siu Coan merasa betapa pukulan-pukulannya seperti mengenai benda yang amat lunak, dingin dan yang mengandung daya serap, menyedot semua tenaga singkang yang terkandung dalam semua pukulannya. Dan seketika kaki tangannya terasa lemas dan lumpuh sehingga dia hampir terguling roboh kalau tidak disambar oleh sutenya. Dia cepat melangkah mundur dan memandang kepada Kakek pendeta Siauw-lim-pai itu dengan mata terbelalak.
"Ha-ha-ha, Thian-tok, engkau mempunyai murid-murid yang amat lihai." Siauw-bin-hud berkata, ucapannya itu sama sekali bukan merupakan ejekan karena Kakek ini tahu benar betapa lihainya pemuda tinggi besar yang menyerangnya tadi. Dia bisa menderita malu kalau menghadapi pemuda itu dengan kekerasan pula, dan diapun tahu bahwa biarpun cucu muridnya mungkin tidak kalah, akan tetapi untuk dapat memenangkan pemuda murid Thian-tok itupun bukan merupakan hal yang mudah. Yang paling mengagumkan hatinya adalah sinar mata Siu Coan, begitu mengandung kecerdikan dan keanehan sehingga pemuda itu memang patut menjadi murid seorang sakti aneh seperti seorang di antara Empat Racun Dunia itu.
"Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, tak perlu kau mengejek. Tentu saja murid-muridku masih belum cukup matang untuk melawan tua bangka bangkotan seperti engkau, akan tetapi mari kita yang tua sama tua mencoba kepandaian masing-masing. Kalau engkau tidak mampu menang dariku, bukan saja engkau tidak akan mendengar dariku tentang pusaka Giok-liong-kiam, bahkan aku akan membunuhmu dan membunuh muridmu ini! Akan tetapi kalau aku kalah, aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam!"
Tentu saja Ci Kong semakin marah mendengar ucapan dan melihat sikap Thian-tok. Di mana ada orang menggunakan aturan yang demikian boceng-li, mau menang sendiri dan mau enaknya sendiri saja? Terhadap orang macam ini, yang lebih mendekati gila dari pada sekedar jahat, perlu dipergunakan kekerasan untuk menghajarnya. Akan tetapi, pemuda itu tentu saja tidak berani berbuat atau berkata dengan lancang tanpa ijin dari susiok-couwnya yang kini hanya tersenyum lebar saja menghadapi tantangan Thian-tok.
"Omitohud... Thian-tok, sejak puluhan tahun engkau selalu haus kemenangan, haus darah. Apakah sampai mati engkau akan selalu kehausan seperti ini? Sungguh kasihan sekali!" Siauw-bin-hud berkata sambil menggeleng-geleng kepala dan senyumnya amat ramah, mengandung bayangan iba. Ucapan ini oleh Thian-tok yang selalu berprasangka buruk itu dianggap sebagai penghinaan dan memandang rendah. Mukanya menjadi merah walaupun senyumnya masih lebar, senyum menyeringai dan tiba-tiba dia mengeluarkan mangkok dan guci araknya. Dituangkannya arak ke dalam mangkok sampai penuh, lalu diminumnya dengan sepasang matanya masih terus menatap wajah Siauw-bin-hud.
Dua orang muridnya yang sudah mengenal Kakek ini diam-diam menjadi tegang. Kalau gurunya sudah bersikap seperti itu, minum arak seperti itu, maka hanya ada dua hal terjadi dalam batin gurunya. Terlalu gembira atau terlalu marah, dan agaknya kini gurunya itu telah marah sekali. Setelah menghabiskan tiga mangkok arak, Thian-tok menggantungkan kembali mangkok dan ciu-ouw di pinggangnya, lalu terkekeh. Suara ketawanya tadinya terdengar ketawa biasa saja, akan tetapi makin lama suara itu makin meninggi sampai seperti ringkik kuda, dan makin tinggi lagi melengking-lengking. Tentu saja Ci Kong menjadi terkejut bukan main, apa lagi ketika suara itu jelas mengandung tenaga khikang kuat yang menyerang dia dan susiok-couwnya.
Dia melihat betapa Siauw-bin-hud masih tersenyum saja. Akan tetapi dia sendiri cepat-cepat mengerahkan singkang untuk menjaga diri, karena dia tahu bahwa kalau dia tidak membela diri, mungkin dia akan terkena serangan melalui suara itu dan terluka. Suara itu adalah ilmu Sin-houw Ho-kang yang amat berbahaya. Diciptakan oleh Thian-tok meniru suara harimau. Seekor binatang harimau yang menjadi raja hutan, menundukkan lawan atau korbannya cukup dengan suaranya saja. Harimau yang mengeluarkan suara gerengan itu mengandung tenaga yang menggetarkan jantung, dapat membuat lawannya lumpuh dan ketakutan sehingga tanpa dikejar sekalipun sudah akan roboh di depan kakinya. Suara inilah, dengan kekuatan getarannya, yang ditiru oleh Thian-tok,
Disesuaikan dengan suara yang dapat keluar dari perutnya melalui tenggorokannya, dan dibandingkan dengan suara harimau aseli, maka Sin-houw Ho-kang ini jauh lebih hebat dan lebih berbahaya lagi. Hanya dengan pengerahan sinkangnya, Ci Kong dapat menghadapi serangan suara itu sambil berdiri tegak dan mengatur pernapasan. Akan tetapi, Siauw-bin-hud masih tersenyum enak-enak saja, seolah-olah suara itu tidak mempengaruhinya sama sekali. Hanya kedua matanya saja yang bersinar lembut itu menentang pandang mata Thian-tok yang melotot. Melihat sikap Siauw-bin-hud yang seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh serangannya, tentu saja Thian-tok menjadi penasaran. Di antara Empat Racun Dunia, dia terkenal sekali dengan Sinhouw Ho-kangnya, bahkan datuk iblis yang lain tidak berani memandang rendah.
Pemuda Siauw-lim-pai itupun sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan suaranya. Akan tetapi kenapa Siauw-bin-hud enak-enak saja? Sikap enak-enakan itu merupakan tamparan baginya, seolah-olah menunjukkan bahwa Sin-houw Ho-kang yang dipergunakannya untuk menyerang itu bagi Siauw-bin-hud hanya nyanyian yang merdu saja. Dia lalu mengerahkan tenaga khikang lebih kuat lagi sehingga suaranya itu kini melengking semakin tinggi sampai seperti suara nyamuk-nyamuk berterbangan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, daya serangan menjadi semakin kuat sehingga Ci Kong yang lihai itupun terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan bahkan memejamkan mata untuk memusatkan tenaga. Akan tetapi, Siauw-bin-hud tetap saja tersenyum lebar, bahkan kadang-kadang terkekeh lirih.
Justeru dalam suara kekehnya inilah terletak kekuatan yang dapat menolak serangan suara Sin-houw Ho-kang itu! Agaknya bukan hanya Thian-tok yang menjadi penasaran, juga Siu Coan mengerutkan alisnya. Dia biasanya amat menyombongkan Ilmu Sin-houw Ho-kang ini dan sekarang suhunya sudah mengerahkan tenaga sekuatnya, belum juga mampu mengalahkan atau setidaknya membuat Siauw-bin-hud kerepotan. Maka tiba-tiba diapun mengeluarkan suara melengking yang disusul pula oleh Seng Bu dalam usaha dua orang murid itu untuk membantu guru mereka! Kini ada tiga suara yang mengandung Sin-houw Ho-kang yang menyerang ke arah Siauw-bin-hud dan Ci Kong! Ci Kong merasa terkejut bukan main. Serangan tambahan dari dua orang pemuda itu sungguh tidak boleh dibuat main-main.
Kekuatan yang terkandung dalam lengkingan suara mereka itu tidak selisih banyak dengan kekuatan suara Thian-tok, dan karena dua orang pemuda itu menggabungkan suara mereka, maka kekuatan suara gabungan itu bahkan lebih kuat lagi dari pada suara Thian-tok. Ci Kong merasa betapa tubuhnya menggigil dan cepat dia lalu duduk bersila dan mengerahkan semua tenaganya. Baru setelah dia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya, dia mampu menahan serangan getaran tiga suara yang bergabung itu! Dan kini, senyum Siauw-bin-hud makin melebar dan mulai terdengar suara terkekeh-kekeh dari mulutnya. Suara ini demikian kuatnya sehingga tiga orang penyerang itu merasa betapa suara mereka terpukul membalik, membuat mereka terkejut sekali. Akan tetapi Thian-tok masih berkeras mengerahkan tenaganya.
"Thian-tok, engkau sedang menderita luka, apakah engkau mau bunug diri?" tiba-tiba terdengar Siauw-bin-hud berkata, suaranya lembut, akan tetapi aneh karena dalam kelembutan itu terkandung kekuatan dahsyat sekali yang serentak membuyarkan kekuatan Sin-houw Ho-kang dari tiga orang penyerang itu! Thian-tok menghentikan serangan suaranya dan mukanya menjadi agak pucat. Dua orang muridnya terpaksa menghentikan pula suara mereka dan didahi dan leher mereka nampak butiran-butiran keringat yang besar-besar dan dingin. Kalau dilanjutkan melawan suara Kakek Siauw-lim-pai itu, yang membuat suara mereka sendiri membalik, mereka akan dapat menderita luka parah sekali oleh tenaga khikang mereka sendiri yang memukul balik!
"Hemm, aku masih belum kalah, Siauw-bin-hud. Coba kau sambut seranganku dan kau kalahkan aku kalau bisa!" Berkata demikian, Kakek gendut itu kini sudah menerjang ke depan, menyerang Siauw-bin-hud kalang kabut. Angin pukulan dahsyat menyambar-nyambar dengan hebatnya dan Siauw-bin-hud mengeluh.
"Omitohud, engkau menderita masih nekat, Thian-tok?" Siauw-bin-hud juga menggerakkan tubuhnya, mengelak sambil mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Kakek ini tidak pernah membalas, akan tetapi semua serangan Thian-tok yang amat hebat itu dielakkannya saja sambil kadang-kadang ditangkis dengan ujung lengan baju. Thiantok adalah seorang tokoh besar, seorang datuk iblis yang sudah mematangkan ilmunya selama puluhan tahun ini, semenjak kalah oleh Siauw-bin-hud, maka ilmu kepandaiannya meningkat banyak sekali. Siauw-bin-hud maklum akan hal ini, akan tetapi Kakek yang batinnya penuh dengan welas asih ini, selain tidak suka memukul orang, juga merasa amat kasihan kepada Thian-tok yang dia tahu sedang menderita luka cukup parah di sebelah dalam tubuhnya. Dan memang benarlah.
Pertemuannya dengan bekas muridnya yang murtad, yaitu Koan Jit, yang memukulnya dengan tiba-tiba sehingga Kakek itu terluka, membuat tenaganya banyak berkurang, bahkan kalau dia terlalu mengerahkan tenaga dalam, amat membahayakan diri sendiri. Karena merasa kasihan inilah, maka Siauw-bin-hud hanya mengelak dan menangkis saja atas semua desakan Thian-tok yang mempergunakan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hong Kun-hoat yang amat diandalkannya itu. Selama puluhan tahun dia menyempurnakan ilmu ini dan selama ini belum pernah menemui tandingan. Ci Kong memandang penuh kekhawatiran karena pemuda inipun dapat melihat betapa hebatnya serangan-serangan Thian-tok dan betapa susiok couwnya hanya mengelak dan menangkis saja dengan sikap amat mengalah.
Kakek gurunya itu sudah amat tua, dan betapapun sakti dan tinggi ilmunya, usia tua membuat tubuh itu tentu saja ringkih. Mana mungkin Kakek itu dapat bertahan terus menghadapi serangan dengan ilmu sedahsyat itu kalau hanya mengelak dan menangkis saja tanpa membalas sama sekali.? Siu Coan dan Seng Bu juga menjadi penonton yang memandang penuh kagum. Mereka berdua maklum bahwa biarpun mereka sudah berlatih dengan amat tekun, mereka masih belum mampu menandingi suhu mereka dalam Ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Dimainkan oleh Thian-tok, ilmu silat itu benar-benar amat berbahaya dan lihai sekali. Akan tetapi, yang membuat mereka melongo penuh kekaguman adalah ketika mereka melihat betapa Kakek gendut dari Siauw-lim-pai itu selalu dapat menghindarkan diri dari setiap jurus serangan Thian-tok,
Hanya dengan mengelak dan mengebut menggunakan ujung lengan baju, sama sekali tidak pernah membalas padahal kalau Kakek Siauw-lim-pai itu menghendaki, dua orang pemuda ini maklum bahwa Kakek itu sanggup dan tentu balasannya akan lebih hebat lagi. Diam-diam Gan Seng Bu merasa penasaran. Pemuda ini berjiwa gagah dan berwatak adil. Dia merasa tidak senang melihat gurunya terus-terusan menyerang sedangkan lawannya yang sama sekali tidak kalah lihai itu sama sekali tidak pernah membalas. Ini merupakan perkelahian yang dalam anggapannya sama sekali tidak adil. Dan Siu Coan yang tidak memikirkan lain kecuali kemenangan untuk suhunya, juga kagum terhadap Kakek Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi diapun tidak berani turun tangan membantu suhunya tanpa perintah suhunya itu.
Dia cukup mengenal watak Thian-tok yang aneh. Biarpun Thian-tok seorang yang tidak segan melakukan segala macam kekejaman, kecurangan dan kejahatan, namun sebagai seorang datuk iblis tingkat atas, Kakek itu memiliki keangkuhan dan tentu akan merasa terhina dan marah besar kalau muridnya membantunya dalam suatu perkelahian tanpa perintahnya. Pengeroyokan merupakan hal yang amat merendahkan bagi seorang datuk besar seperti Thian-tok. Oleh karena itu, biarpun suhunya belum juga mampu mengalahkan Kakek yang sama sekali tidak pernah membalas itu, Siu Coan juga hanya menonton saja. Diam-diam dia menyayangkan, karena kalau sekali saja suhunya memberi perintah, dan dia maju bersama sutenya, tentu Kakek Siauw-lim-pai dan cucu muridnya itu akan dapat dibunuh dengan mudah.
Sementara itu, Thian-tok merasa makin penasaran. Siauw-bin-hud sekarang, tidak seperti empat puluh tahun yang lalu, menghadapinya tanpa membalas dan sudah lewat lima puluh jurus, belum juga dia mampu menyentuh tubuh Kakek itu, apa lagi merobohkan! Padahal, Siauw-bin-hud sama sekali tidak pernah membalasnya. Empat puluh tahun yang lalu, setelah melalui perkelahian mati-matian selama belasan jam, baru Siauw-bin-hud mampu mengalahkannya, akan tetapi Siauw-bin-hud ketika itu balas menyerang, tidak seperti sekarang ini, sama sekali tidak membalas dan hanya mengelak dan menangkis saja. Sungguh tak mungkin dia dapat menerimanya, bahkan sukar mempercayanya. Maka, tanpa memperdulikan luka yang dideritanya akibat pukulan bekas muridnya, Kakek gendut ini menyerang terus mati-matian.
Dia tahu bahwa dengan lukanya, dia sama sekali tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Hal ini akan membuat luka pukulan beracun bekas muridnya itu menjadi semakin parah. Akan tetapi, Thiantok memiliki watak yang angkuh dan kepala batu, maka dia tidak memperdulikan diri sendiri dan terus menyerang dengan maksud mengalahkan, kalau mungkin membunuh. Sepasang matanya sudah merah, mulutnya masih tersenyum, menyeringai menyeramkan karena dalam senyum ini terbayang nafsu membunuh! Dia tidak perduli bahwa lawannya tidak pernah membalas, dan hal ini malah dianggap amat menguntungkan, memberi kesempatan sebanyaknya kepadanya untuk menang. Sikap Siauw-bin-hud yang mengalah itu dianggap suatu kebodohan, ketololan lawan yang menguntungkan dirinya!
"Aagghhhh...!" Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerangan rendah yang menggetarkan tanah sekitar tempat itu, seperti seekor raja hutan menggereng dengan dahsyatnya dan sambil mengeluarkan suara gerengan itu, Thian-tok menubruk ke depan, kedua tangannya mendorong ke arah dada Siauw-bin-hud sambil mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya. Agaknya Thian-tok sekali ini mengeluarkan segalanya untuk merobohkan lawan.
"Omitohud... kau menyiksa dirimu sendiri" Siauw-bin-hud berseru dan Hwesio gendut ini tidak sempat mengelak lagi, terpaksa mengulur kedua tangannya menyambut. Siauw bin-hud yang berhati penuh welas asih itu tidak mengerahkan tenaga keras, melainkan menggunakan kelembutan menerima serangan dahsyat dari lawan.
"Plakkk...!" Tubuh Siauw-bin-hud terlempar ke belakang dan diterima oleh Ci Kong dengan lembut. Tubuh Thian-tok tetap berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang lebar, dan dia tertawa bergelak, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berganti suara muntah-muntah dan dari mulutnya tersembur keluar darah segar, lalu diapun terjungkal!
Dua orang muridnya cepat melompat dan membantunya bangkit duduk, kemudian Thian-tok cepat bersila dan mengatur pernapasannya yang memburu. Dia terluka semakin hebat oleh tenaganya sendiri yang membalik. Sementara itu, Siauw-bin-hud ternyata tidak apa-apa, hanya mukanya saja berobah agak pucat dan nampak Kakek ini lelah sekali. Seperti juga Thian-tok, dia duduk bersila memejamkan mata dan pernapasannya berjalan dengan lembut dan panjang. Ong Siu Coan merasa penasaran dan tersinggung sekali karena gurunya jelas mengalami kerugian atau kekalahan dari Kakek Siauw-lim-pai. Dia memang licik. Melihat betapa Kakek yang sakti dari Siauw-lim-pai itu agaknya juga terluka atau setidaknya kehabisan tenaga, diapun meloncat ke depan menantang.
"Orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong! Kalian datang untuk mengganggu kami, majulah dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Mendengar tantangan murid Thian-tok ini, Ci Kong bangkit berdiri dari samping suhunya. Ingin dia menyambut tantangan itu, dan biarpun dia tahu bahwa kau m sesat tidak segan untuk berbuat curang dan mengeroyok, namun pemuda perkasa ini tidak merasa gentar. Yang membuat dia tidak enak adalah susiok-couwnya. Tanpa ijin Kakek itu, tentu saja dia tidak berani sembarangan turun tangan. Maka, biarpun dia sudah berdiri menghadapi Siu Coan, dia menoleh kepada Kakek gurunya yang masih duduk bersila sambil memejamkan matanya. Agaknya, tanpa membuka matanya, Siauw-bin-hud maklum akan keraguan cucu murid itu. Diapun menggerakkan bibirnya dan biarpun tidak ada suara keluar dari mulutnya, namun Ci Kong mendengar bisikan di dekat telinganya.
"Ingat, kita datang bukan untuk mencari permusuhan. Serahkan saja kepada pinceng dan jangan ikut mencampuri urusan ini." Mendengar bisikan ini, Ci Kong menarik napas panjang untuk mencairkan kebekuan di dalam batinnya karena penasaran tadi, dan diapun duduk kembali bersila di belakang susiokcouwnya. Melihat ini, Siu Coan tertawa bergelak dengan sikap menghina.
"Ha-ha-ha, setelah tua bangka itu luka dan lelah, engkau kehilangan nyali?" Itulah penghinaan yang hebat bagi seorang gagah. Setiap orang pendekar pantang untuk merasa takut, dan makian bahwa dia kehilangan nyali merupakan penghinaan yang sukar dapat ditahan. Dan ini merupakan ujian berat bagi Ci Kong. Pemuda ini hanya menundukkan mukanya yang sebentar merah dan sebentar pucat menahan kemarahan yang berkobar di dalam dada.
"Hemm, kalau kalian diam saja, biarlah aku yang turun tangan, menyelesaikan pekerjaan suhu yang kepalang tanggung tadi. Aku akan bunuh kalian!" Su Coan berkata lagi dan Seng Bu hanya memandang bingung. Di dalam hatinya dia tidak setuju dengan sikap suhengnya itu. Akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap membela musuh! Maka, pemuda ini hanya diam saja dan memandang dengan mata terbelalak penuh ketegangan. Ong Siu Coan sudah melangkah maju, siap untuk menyerang Kakek gendut itu. Diapun dapat menduga bahwa Kakek itu sakti sekali, biarpun nampak lelah akan tetapi harus dihadapi dengan amat hati-hati.
"Siu Coan, mundurlah!" Tiba-tiba terdengar suara Thian-tok. Siu Coan terkejut sekali dan diapun mundur lagi, tidak berani menentang perintah gurunya. Lalu terdengar Thian-tok tertawa.
"Heh-heh-heh, anak bodoh. Aku sendiri saja tidak mampu menandinginya, apa engkau kepingin mampus, berani mencoba untuk menyerangnya?"
"Suhu, untuk membela suhu, aku berani menghadapi kematian!" kata Siu Coan dengan sikap gagah.
Kembali Thian-tok tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, gagah-gagahan apa untungnya? Mundur dan jangan mencampuri urusanku dengan Siauw-bin-hud. Eh, Siauw-bin-hud, aku tidak perlu malu mengatakan bahwa sekali inipun aku belum mampu menandingimu. Nah, aku memenuhi janjiku tadi. Mari kita bicara tentang Giok-liong-kiam. Apa kehendakmu mengenai pusaka itu?"
"Ha-ha, engkau bersikap baik sekali, Thian-tok. Pinceng tidak tamak dan tidak butuh pusaka. Akan tetapi karena engkau merampas pusaka itu mempergunakan nama pinceng, atau setidaknya semua orang menyangka pinceng yang merampasnya, maka pinceng ingin membersihkan suasana. Serahkan pusaka itu kepada pinceng agar dapat pinceng kembalikan kepada yang berhak."
"Siapa yang berhak?"
"Karena pusaka itu dicuri orang dari pusat Thian-te-pai, maka tentu saja akan pinceng kembalikan kepada mereka."
"Uhh, tolol kalau kau kembalikan kepada mereka! Yang berhak memiliki pusaka itu adalah orang yang paling sakti di dunia ini. Siapa yang mampu memilikinya, dialah yang berhak menjadi pemiliknya."
"Ha-ha-ha, tidak ada gunanya berdebat tentang pendapat, Thian-tok. Serahkan pusaka itu dan pinceng akan pergi."
"Heh-heh, takkusangka engkau sebodoh ini, Siauw-bin-hud. Ketika engkau baru datang tadi, sudah kukatakan bahwa kedatanganmu terlambat. Baru pagi tadi pusaka itu hilang dari tanganku."
"Omitohud...! Hilang lagi?"
"Bekas muridku yang amat pandai, mungkin lebih pandai dari pada aku sendiri, bernama Koan Jit, tadi datang dan mengambil pusaka itu. Kalau saja dia tidak lebih dulu datang dan melukai aku dengan pukulannya yang beracun, belum tentu sekarang aku sudah menyerah kalah padamu!"
"Omitohud...! Muridmu sendiri yang merampasnya dan memukulmu? Hemm, dia bernama Koan Jit? Dimanakah tempat tinggalnya?"
"Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud. Engkau seperti nenek-nenek bawel saja dalam bertanya. Di mana dia? Mana aku tahu? Cari saja sendiri, nama Hek-eng-mo tidak sukar untuk dikenal." Siauw-bin-hud mengangguk-angguk.
"Hek-eng-mo...hemmm, terima kasih, Thiantok, selamat tinggal." Kakek gendut itu sambil tersenyum lalu menjura ke arah Kakek gendut lainnya yang masih duduk bersila, kemudian memberi isyarat kepada Ci Kong untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dua orang murid Thian-tok tidak berani mengganggu dan hanya mengikuti gerakan dua orang itu dengan pandang mata sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Setelah dua orang itu pergi, Thian-tok memandang kepada dua orang muridnya. Mulutnya masih menyeringai, akan tetapi sekarang nampak bahwa Kakek ini menderita kesakitan yang ditahan-tahan sejak tadi.
"Siu Coan dan Seng Bu, mulai hari ini kalian boleh turun gunung dan berpencar. Kalian kuberi tugas untuk mewakili aku, mencari Koan Jit dan berusaha merampas kembali Giok-liongkiam sebelum keduluan orang lain. Hati-hati, setelah kini Siauw-bin-hud tahu, tentu tugas kalian akan menjadi semakin berat karena akan terdapat banyak saingan. Siapa di antara kalian yang berhasil membawa Giok-liong-kiam kepadaku, akan kuwarisi ilmu pedang yang cocok untuk dimainkan dengan Giok-liong-kiam dan dia yang akan menjadi pemilik Giok-liong-kiam. Nah, pergilah kalian, aku harus mengaso dan bertapa lagi untuk mengobati lukaku."
"Tapi, suhu. Ke manakah aku harus mencari suheng Koan Jit itu?" Siu Coan bertanya.
"Ha-ha, kalau engkau pintar, tidak akan sukar mencari murid murtad itu. Julukannya Hek-eng-mo, dia haus akan kedudukan, ingin menjadi jago nomor satu di dunia, dan aku sendiri tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi ada dua hal yang patut kau ingat dan selidiki. Dia sahabat baik pai-cu (ketua) dari perkumpulan wanita Ang-hong-pai, dan dia musuh besar perkumpulan Thian-te-pai. Agaknya karena permusuhannya itulah yang membuat dia ingin memiliki Giok-liong-kiam yang pernah menjadi pusaka Thian-te-pai. Sudahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Kalian pergi dan selidiki sendiri." Dua orang pemuda itu saling pandang ketika guru mereka sudah kembali lagi ke dalam guha dan tidak mau keluar lagi. Mereka berpamit dari luar kamar dalam guha tanpa dijawab oleh Thian-tok dan akhirnya keduanya meninggalkan guha di sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu.
Mereka menuruni puncak bersama. Seng Bu menggendong sebuah buntalan pakaian yang kecil, hanya terisi beberapa potong pakaiannya. Sebaliknya, Siu Coan membawa bungkusan yang agak besar karena selain pakaiannya, juga diam-diam pemuda ini mengambil beberapa barang berharga dari dalam guha untuk bekal. Pemuda yang cerdik ini tahu bahwa perjalanan jauh membutuhkan banyak biaya, maka diam-diam dia mengambil beberapa puluh tail emas dari simpanan gurunya. Hal ini tanpa setahu gurunya. Karena andaikata Thian-tok tahu sekalipun, dia tidak akan marah, bahkan merasa bangga kalau muridnya itu pandai mencuri, satu di antara ciri kejahatan orang sesat. Setelah tiba di jalan simpangan, Siu Coan berkata,
"Sute, kita berpisah, karena kalau berpisah akan lebih mudah bagi kita untuk mencari jejak suheng Koan Jit. Apakah engkau telah membawa bekal, sute?" tanya Siu Coan sambil memandang buntalan di punggung sutenya, buntalan yang kecil itu. Seng Bu mengangguk.
"Semua pakaianku sudah kubawa, suheng."
"Bukan itu maksudku. Apa kau kira pakaian saja sudah cukup? Engkau butuh makan, dan mungkin butuh perahu atau kuda, semua itu membutuhkan uang. Apa engkau sudah membawa uang?"
"Uang...?" Seng Bu bertanya dengan muka bodoh. Maklumlah, sejak kecil Seng Bu menjadi yatim piatu dan gelandangan sampai bertemu dengan Thian-tok dan diambil murid dan sampai sudah dewasa itu dia tidak pernah mempergunakan uang, tidak pernah membeli apa-apa dan juga tidak memperhatikan soal harta benda, berbeda dengan Siu Coan yang banyak bertanya dan banyak melihat. Bahkan dalam hal ilmu baca-tulis, Seng Bu kalah jauh dibandingkan dengan Siu Coan. Siu Coan tertawa melihat kebodohan sutenya.
"Aih, sute. Tentu saja uang, atau barang berharga yang dapat dipakai untuk membeli kebutuhan dalam perjalananmu. Nih, aku sudah menduga bahwa engkau tentu tidak membawa bekal, terimalah ini untuk bekal." Seng Bu menerima belasan tail emas dari suhengnya dengan perasaan berterima kasih. Baru dia teringat bahwa kehidupan di tempat ramai membutuhkan uang dan diapun teringat akan keadaannya di waktu dahulu, sampai seringkali kelaparan karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan.
"Terima kasih, suheng. Engkau baik sekali." Kembali Siu Coan tersenyum.
"Sute, setelah kita berpisah di sini, ke manakah engkau akan pergi dan apa tujuanmu? Ke mana engkau hendak mencari Koan Jit?" Seng Bu menggeleng kepala.
"Entahlah, suheng. Terus terang saja, aku tidak tertarik untuk mencarinya dan merampas pedang pusaka itu. Aku akan merantau dan mungkin mencari pekerjaan, dan tentu saja aku akan mencoba melanjutkan pekerjaan orang tua dahulu, yaitu berburu." Siu Coan tertawa bergelak. Setelah kini bebas bersama sutenya, watak guru mereka yang suka tertawa agaknya menurun kepadanya.
"Aihh, sute. Berburu binatang? Lalu apa artinya sampai bertahun-tahun dengan susah payah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Suhu?"
"Tentu saja kalau ada orang jahat menindas yang lemah, aku akan bangkit melindungi dan membela yang lemah, menentang si jahat yang sewenang-wenang! Bagaimana dengan engkau, suheng?"
Kembali Siu Coan tertawa geli.
"Aihh, engkau dengan cita-citamu yang muluk. Ingin menjadi pendekar, ya? Pendekar murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang justeru menjadi datuk-datuk kau m sesat. Alangkah lucunya dan siapa mau percaya padamu, Sute?"
"Suheng," kata Seng Bu dengan wajah serius.
"Aku belajar dari suhu Thian-tok adalah untuk belajar ilmu silat, bukan untuk mempelajari perbuatan jahat. Dan kalau aku dapat melakukan kebaikan dan kegagahan, sedikitnya nama suhu akan terangkat dan siapa tahu dapat mencuci dan membersihkan namanya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk membalas budi suhu. Dan engkau sendiri, suheng?"
"Aku tentu saja akan mencari Koan Jit dan merampas pusaka itu. Pula, aku tetap akan melanjutkan cita-cita para patriot. Aku akan mencari kawan-kawan, aku akan berjuang menentang pemerintah penjajah asing!" Dengan sikap gagah dan sungguh-sungguh Siu Coan berdiri tegak dengan muka menengadah dan kedua tangan dikepal. Sutenya memandang kagum dan mengangguk-angguk.
"Kelak kalau engkau sudah berjuang dengan pasukanmu, aku akan membantumu, suheng. Aku juga menghargai perjuangan para patriot menentang penindasan orang-orang Mancu."
"Baik, sute, dan selamat berpisah. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri dan mudah-mudahan kita akan dapat berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik, sute." Dua orang pemuda itupun saling pegang pundak, lalu saling memberi hormat dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Sementara itu, Siauw-bin-hud serta Ci Kong kembali ke Siauw-lim-si karena waktunya telah tiba bagi para tokoh yang datang enam tahun yang lalu untuk berkumpul di Siauw-lim-si seperti yang telah dijanjikan oleh Kakek gendut itu.
Di sepanjang perjalanan, Kakek dan pemuda itu mendengar betapa pergerakan orang-orang yang menentang pemerintah makin menjadi-jadi, betapa kekacauan timbul di mana-mana, terutama sekali karena ulah orang-orang kulit putih yang menyebarkan candu. Makin terasalah pengaruh racun madat di antara rakyat, dan walaupun yang terkena sebagian besar adalah orang-orang hartawan dan bangsawan, namun keguncangan-keguncangan terjadi karena harta benda penduduk dihisap dan ditukar dengan benda yang beracun dan amat berbahaya itu. Diam-diam Siauw-bin-hud merasa prihatin sekali, oleh karena itu setelah tiba di kuil Siauw-lim-si, dia cepat berunding dengan para pimpinan kuil dan juga dengan Ci Kong.
"Ci Kong, pinceng dan para suhu di sini adalah pendeta-pendeta yang tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemerintah. Akan tetapi engkau bukan seorang Hwesio dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Kini bangsa kita sedang terancam bahaya besar berupa candu. Karena itu, engkau harus turun gunung dan membantu setiap gerakan rakyat yang hendak menentang diperbolehkannya candu meracuni bangsa kita. Dengan adanya engkau yang mewakili kami, berarti Siauw-lim-pai juga ikut membantu. Kami akan memberi anjuran yang sama kepada semua murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta." Demikian antara lain Siauw-binhud berkata.
Di sepanjang perjalanan, Ci Kong sudah mendengar banyak sekali tentang candu dan racunnya yang mengakibatkan lemahnya rakyat dari Kakek itu, maka kini tanpa ragu-ragu lagi diapun menerima perintah itu. Dengan membawa bekal pakaian dan sedikit perak, pemuda ini meninggalkan Siauw-lim-si. Karena itu dia tidak tahu betapa beberapa hari kemudian, sesuai dengan janji Siauw-bin-hud, di kuil itu berdatangan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, termasuk Hai-tok dan San-tok yang hendak menagih janji.
Yang datang kini lebih banyak lagi karena banyak tokoh dunia kang-ouw ingin melihat sendiri bagaimana caranya Siauw-bin-hud membersihkan nama dan mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam yang menghebohkan itu. Seperti juga enam tahun yang lalu, sekali ini San-tok atau Bu-beng San-kai datang bersama murid tunggalnya, yaitu Siauw Lian Hong. Akan tetapi siapapun akan pangling kalau bertemu dengan murid Racun Gunung itu. Enam tahun yang lalu masih seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih sebelas atau duabelas tahun, dan sekarang ia telah menjadi seorang gadis yang berusia hampir delapanbelas tahun! Kini ia telah menjadi seorang wanita yang cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana sekali. Walaupun pakaian itu amat bersih, akan tetapi terbuat dari bahan yang kasar dan murah,
Dengan potongan yang ringkas sederhana, akan tetapi yang tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang sedang, ramping dan padat, tidak dapat menyembunyikan kulit putih kuning mulus yang nampak pada leher, tangan dan lengan sampai di siku. Sepasang matanya masih lebar seperti enam tahun yang lalu, akan tetapi kalau dulu lebar kekanak-kanakan, kini mata itu lebar dan tajam, dengan sudut-sudut yang tajam menarik, dengan alis yang hitam melengkung seperti dilukis, dengan bulu mata yang panjang lentik. Sinar matanya dapat menyambar secepat pedang, tajam terbuka. Hanya satu sifat yang masih dimiliki seperti enam tahun yang lalu, yaitu pendiam dan alim. Sebatang kipas lebar yang kedua gagangnya berujung runcing terselip di pinggang, karena kipas ini merupakan senjata ampuhnya yang diberikan oleh suhunya.
Hai-tok Tang Kok Bu kini sudah nampak tua, akan tetapi pakaiannya masih jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang hartawan dan berpengaruh, diikuti oleh pengawal-pengawal muda yang tampan dan halus, masih memegang tongkatnya, yaitu Kim-kong-pang! Di samping dua orang di antara Empat Racun Dunia ini, masih ada pula beberapa rombongan orang kang-ouw yang ingin mendengar tentang Giok-liong-kiam. Ketika Siauw-bin-hud muncul dari dalam kuil, suasana menjadi kacau dan orang pertama yang menyambutnya adalah Bu-beng San-kai atau San-tok. Dengan senyumnya yang khas, sikapnya yang sembarangan dan tanpa sopan santun lagi, Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu berkata,
"Heh-heh, engkau masih hidup, Siauw-bin-hud? Bagus sekali, aku sudah khawatir kalau-kalau engkau mati dalam menunaikan tugas! Dan mana itu Giok-liong-kiam?"
"Ya, di mana Giok-liong-kiam kami, Locianpwe?" tanya Coa Bhok, wakil ketua Thiante-pai yang kini kembali datang mewakili perkumpulannya, dikawani oleh duabelas orang murid. Coa Bhok yang menjadi wakil ketua Thian-te-pai itupun sudah nampak tua, sudah enam puluh tahun usianya. Siauw-bin-hud tertawa bergelak, seperti orang yang merasa geli. Hal ini membuat Haitok menjadi marah.
"Hati-hati, Siauw-bin-hud! Jangan kau mempermainkan aku yang jauh-jauh datang menagih janji, atau... tongkatku takkan mengampuni tubuhmu yang sudah tua renta itu!" Mendengar ancaman ini, Siauw-bin-hud menjadi semakin geli dan senyumnya melebar.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya melihat kalian ini orang-orang tua masih saja dicengkeram setan tamak sehingga begitu haus memperebutkan sebuah benda mati. Giok-liong-kiam tidak ada padaku. Pinceng bahkan belum pernah melihatnya, ha-ha!"
"Aihh, Siauw-bin-hud, apa kau berani mengatakan bahwa engkau akan melanggar janji, menjilat ludah sendiri?" San-tok berkata, kaget karena sukar dia membayangkan Kakek gendut Siauw-lim-pai ini berani melanggar janji, padahal sejak dahulu Siauw-bin-hud terkenal sebagai seorang gagah yang memegang teguh janjinya dan dapat dipercaya sepenuhnya.
"Ha-ha-ha, San-tok, makin tua kau makin kurang sabar saja. Baiklah, dengarkan semua kawan yang sudah melimpahkan kehormatan kepada pinceng sehingga hari ini berkumpul di sini. Selama enam tahun ini, sama sekali pinceng tidak pernah melanggar janji. Pinceng menjelajahi hampir seluruh dunia untuk mencari jejak perampas Giok-liong-kiam yang menyamar sebagai pinceng. Dan pinceng sudah bertemu dengan orangnya!" Kakek itu berhenti sebentar, membiarkan semua orang saling pandang dan keadaan menjadi berisik.
"Ha-ha-ha, kalian berdua, Hai-tok dan San-tok, kiranya tidak akan sukar menduga siapa orangnya. Agaknya kalian hanya pura-pura saja tidak tahu selama ini, bukan?" Ketika dua orang Kakek itu saling pandang dengan mata dilebarkan, Siauw-bin-hud menyambung, "Ya, siapa lagi pelawak yang membuat lelucon yang tidak lucu itu kalau bukan rekan kalian Thian-tok?"
"Ahhh...!" Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai berseru.
"Apakah buktinya bahwa beliau yang menyamar sebagai Locianpwe?" tanyanya karena menghadapi seorang tokoh yang namanya pernah menjulang ke langit seperti Thian-tok, bukan hal yang boleh dibuat main-main.
"Ha-ha-ha, memang dia tidak pernah mau mengaku bahwa dia telah memalsukan nama pinceng. Dan dia benar, si cerdik itu! Dia hanya mencukur rambut dan menutupi bulu di dadanya dengan jubah kuning, cukuplah. Memang wajahnya mirip pinceng. Dan dia mengaku bahwa Giok-liong-kiam berada di tangannya, sampai pada hari dia bertemu dengan pinceng itu..."
🖐
"Ha-ha-ha, jadi si Racun Langit itu mengalah dan mengembalikan pusaka itu kepadamu, Siauw-bin-hud?" San-tok mentertawakan rekannya yang disangkanya mengalah atau takut kepada Hwesio ini sehingga mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam. Kembali semua orang kecewa melihat Siauw-bin-hud tersenyum lebar sambil menggeleng kepalanya menjawab pertanyaan San-tok itu.
JILID 10
"Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu telah dirampas orang lain, hanya beberapa jam sebelum pinceng tiba di sana." Kembali terdengar suara berisik dari semua orang yang hadir, dan Hai-tok memukulkan tongkatnya ke atas tanah.
"Kalau bukan Siauw-bin-hud yang bicara, sungguh mati aku tidak akan dapat percaya begitu saja. Siapakah orang yang dapat merampas pusaka itu dari tangan Thian-tok?"
"Perampasnya adalah bekas muridnya sendiri yang bernama Hek-eng-mo Koan Jit. Jangan tanyakan di mana dia tinggal karena pinceng sendiri juga tidak tahu. Nah, selesailah urusan Giok-liong-kiam ini yang mengait nama pinceng. Harap kalian jangan mengganggu pinceng lagi." Tentu saja semua tokoh itu merasa kecewa mendengar ini. Tak mereka sangka bahwa pusaka itu telah lenyap lagi begitu mereka ketahui jejaknya. Dan di antara mereka banyak yang sudah mendengar akan nama Koan Jit yang berjuluk Hek-eng-mo. Apa lagi wakil ketua Thiante-pai Coa Bhok. Wajahnya berobah ketika dia mendengar bahwa pusaka perkumpulannya itu telah terjatuh ke tangan Hek-eng-mo Koan Jit!
Iblis Bayangan Hitam itu bukan orang asing bagi Thian-te-pai, karena merupakan musuh besar! Akan tetapi, keterangan itu mereka dengar dari Siauw-bin-hud yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Kakek pendeta Siauw-lim-pai itu tidak mungkin membohong. Maka merekapun bubaran dan kini terjadi lagi perlumbaan yang dipersiapkan, yaitu untuk mencari Hek-eng-mo Koan Jit dan mencoba untuk merampas pusaka Giok-liong-kiam dari tangannya. Akan tetapi, tentu saja hanya tokoh-tokoh besar yang akan berani melakukan ini, karena semua orang sudah mendengar belaka akan kesaktian Iblis Bayangan Hitam itu yang namanya tidak kalah menakutkan dibandingkan Empat Racun Dunia. San-tok Bu-beng San-kai mengajak muridnya meninggalkan Siauw-lim-si dan di tengah perjalanan, Kakek ini tiada hentinya senyum-senyum sendiri.
"Heh-heh, sungguh lucu sekali! Sejak dahulu aku sudah menduga bahwa tentu Racun Langit itu yang menyamar sebagai Siauwbin-hud, akan tetapi karena ragu-ragu yang kukejar-kejar adalah Siauw-bin-hud. Sayang baru sekarang aku yakin setelah pusaka itu dirampas oleh si maling cilik Hek-eng-mo."
"Suhu, siapakah Hek-eng-mo itu?" tanya Lian Hong ketika mereka berhenti di bawah pohon yang rindang di kaki gunung. Setelah dewasa, Lian Hong tidak lagi menyebut Kakek kepada San-tok, melainkan suhu karena ia menganggap sebutan ini lebih patut dan tepat.
Bagaimanapun juga, ia bukan cucu aseli dari Kakek itu, dan yang jelas ia adalah muridnya. Ketika tadi diadakan pertemuan di Siauw-lim-si, gadis inipun diam-diam amat memperhatikan penuturan Kakek gendut Siauw-bin-hud. Ia merasa kagum dan suka kepada Kakek gendut itu, karena bagaimanapun juga, ia telah menerima warisan tenaga singkang dari Kakek itu enam tahun yang lalu. Gurunya sendiri yang memberi keterangan kepadanya bahwa ia beruntung telah menerima warisan tenaga sinkang itu dari Kakek sakti Siauw-bin-hud, bahkan gurunya pernah mengatakan bahwa melihat betapa ia telah menerima warisan tenaga dari Siauw-bin-hud dan betapa suhunya juga mengoper tenaga sakti kepada anak laki-laki yang menjadi murid Siauwlim-pai, maka antara ia dan pemuda cilik itu terdapat semacam pertalian saudara seperguruan!
"Hek-eng-mo adalah murid Thian-tok. Dia lihai dan cerdik bukan main, amat mengagumkan betapa dia pernah mencuri harta pusaka gurunya, bahkan kini merampas Giokliong-kiam dari tangan Thian-tok. Ha-ha, ingin sekali aku melihat muka Thian-tok yang dikibuli oleh muridnya sendiri itu!"
"Suhu, aku jadi tertarik sekali mendengar tentang perebutan Giok-liong-kiam. Ingin sekali aku mencari Hek-eng-mo itu dan merampas pusaka dari tangannya."
San-tok yang duduk bersila di atas rumput sambil mengipasi badannya dengan kipas bututnya, menghentikan gerakan tangannya dan menatap wajah muridnya yang cantik itu. Setelah melatih gadis ini selama duabelas tahun, San-tok merasa sayang sekali kepada murid ini yang dianggap sebagai satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini, menjadi seperti anaknya atau cucunya sendiri. Inilah sebabnya maka dia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lian Hong yang memang berbakat baik sekali. Mendengar ucapan muridnya, dia benar-benar merasa terkejut dan heran. Biasanya, muridnya ini pendiam dan tidak banyak kehendak, akan tetapi tiba-tiba saja muridnya menyatakan hendak ikut memperebutkan Giok-liong-kiam!
"Heh-heh, Hong Hong, cucuku juga muridku yang baik, sungguh mati aku merasa terkejut sekali mendengar ucapanmu tadi. Engkau tiba-tiba saja ingin memperebutkan Giokliong-kiam! Apa artinya ini?"
"Selama belasan tahun suhu telah melimpahkan budi kepadaku. Aku ingin merampas pusaka itu untuk suhu, sekedar pembalas budi. Bukankah suhu menghendaki pusaka itu sehingga ikut pula datang ke Siauw-lim-si? Selain itu, untuk apa suhu susah-susah melatih ilmu silat kepadaku kalau tidak kupergunakan sekarang?"
Belum pernah muridnya ini bicara sebanyak itu dan San-tok tertawa gembira. Hatinya merasa gembira dan hangat karena muridnya ini dengan terus terang menyatakan ingin membalas budi kepadanya. Dia adalah seorang tua yang cerdik dan banyak pengalaman, maka diapun dapat menjenguk isi hati muridnya. Muridnya selama duabelas tahun selalu ikut dengannya dan kini muridnya itu, setelah menguasai ilmu yang tinggi, tentu saja ingin bebas seperti burung di udara, melakukan segala yang diinginkannya sendiri. Tentu muridnya akan membalas kematian Ayah bundanya pula. Kembali dia mengipasi badannya.
"Engkau benar, Hong Hong. Memang ilmu yang telah banyak kau pelajari itu perlu dipergunakan dan dimanfaatkan. Akan tetapi ketahuilah, segala macam ilmu yang kau miliki itu masih belum mampu melindungi dirimu dan menjamin keselamatan. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang lihai sekali. Hanya kalau engkau berhati-hati dan waspada sajalah maka engkau akan dapat melindungi dirimu sendiri. Apa lagi kalau berhadapan dengan Hek-eng-mo! Berhati-hatilah. Dia itu selain lihai ilmu silatnya, juga amat licik dan suka main-main dengan racun. Sayang, aku sudah terlalu tua dan sudah malas untuk pergi merantau. Maka, biarlah aku akan menanti saja sambil bertapa di puncak yang paling kusenangi."
"Di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san itu?" Kakek itu mengangguk.
"Aku selalu ingin mengakhiri hidupku di tempat indah itu. Aku akan menanti kembalimu di sana, Hong Hong."
"Baik, suhu. Berilah waktu dua tahun kepadaku dan berhasil atau tidak dalam mencari Giok-liong-kiam, aku akan datang mengunjungi suhu di puncak Naga Putih." Mereka saling berpisah di kaki gunung itu juga. SiauwLian Hong pergi meninggalkan suhunya sambil membawa buntalan pakaian dan bekal sedikit perak pemberian gurunya, juga tidak ketinggalan membawa kipas yang terselip di pinggangnya. Gadis cantik sederhana ini melangkah dengan tegap dan tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, San-tok yang masih duduk bersila itu mengikuti kepergian muridnya dengan mata sayu. Senyumnya lenyap dan wajahnya membayangkan kesedihan. Berulang kali dia menghela napas panjang, merasa betapa hati dan semangatnya seperti terbang mengikuti gadis itu.
Duabelas tahun dia hidup di samping muridnya dan dia merasa betapa setelah mempunyai murid itu, perobahan besar terjadi pada batinnya. Hidup seperti ada artinya dan hatinya tidak keras lagi seperti dahulu. Kini, melihat gadis itu pergi meninggalkannya, dia merasa kehilangan, kesepian dan berduka sekali, perasaan yang selamanya belum pernah dialaminya! Kakek yang pernah menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menjadi datuk kau m sesat, yang dianggap jahat seperti iblis, yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman itu, kini duduk termenung dan dia tidak merasa bahwa senyum yang biasanya selalu membayang di mulutnya itu kini sama sekali lenyap, terganti oleh bayangan duka yang membuat kedua matanya menjadi basah!
Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan, kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia. Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri, dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lampau. Aku penuh dengan harapan-harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya, atau seperti yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya. Aku penuh denga keinginan akan merasakan dan menikmati`kembali segala hal yang menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan memperoleh lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh hal-hal yang menyenangkan.
Aku yang selalu haus akan kesenangan ini menciptakan ikatan-ikatan, belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang dianggapnya membahagiakan namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan dengan orang lain karena orang lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan benda, dengan nama, dengan gagasan-gagasan. Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan sengsara. Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan, karena akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara. Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan terbentuk dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin. Bebasnya batin dari ikatan berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan lenyapnya pula duka. Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa sukarnya terbebas dari pada ikatan!
Betapa sukarnya meniadakan gambaran tentang diri sendiri dalam bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan perkuat! Kolam air di belakang rumah gedung yang besar megah dan luas itu amat jernih airnya. Kolam buatan itu tentu amat mahal biaya pembuatannya dan hanya orang kaya seperti keluarga Ciu di Tung-kang sajalah yang mampu membuatnya. Di sekitar kolam air yang luas itu terdapat taman bunga yang indah, dan batu-batu alam yang bentuknya aneh dan nyeni terdapat pula di dekat kolam. Akan tetapi, pada pagi hari yang sunyi itu nampaklah hal-hal yang amat aneh terjadi di situ. Para pelayan sudah dilarang keras untuk tidak memasuki taman sehingga apa yang terjadi tidak nampak oleh orang-orang lain yang tentu akan terheran-heran dan mungkin akan merasa ngeri dan takut.
Seorang Kakek yang bertubuh kecil pendek sedang duduk bersila di atas batu karang di tepi danau buatan, meniup sebuah suling. Kakek ini bukan lain adalah Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti telah kita ketahui, sejak enam tahun yang lalu, Racun Bumi ini diterima oleh hartawan Ciu Lok Tai sebagai pengawal keluarga, juga guru Ciu Kui Eng. Tentu saja Tee-tok merasa senang sekali tinggal di rumah keluarga kaya raya itu. Dia sudah tua, sudah capai bertualang. Usianya sekarang sudah tujuh puluh tahun lebih dan hidup enak-enak di rumah keluarga itu amat menyenangkan hatinya. Apa lagi dia memperoleh murid seperti Kui Eng yang berbakat baik sekali. Selama enam tahun, dia mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk memberi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi kepada muridnya, menurunkan semua ilmunya kepada murid tersayang itu.
Dan pagi hari ini muridnya sedang digembleng dengan latihan yang paling sukar, ilmu silat dengan penggunaan ginkang yang amat hebat. Latihan ini merupakan ujian terakhir bagi muridnya itu. Suara suling yang ditiup Kakek itu meliuk-liuk aneh, melengking-lengking dan matanya ditujukan ke tengan danau buatan mengikuti gerak-gerik muridnya. Dan di tengah danau itu nampak Ciu Kui Eng sedang bersilat! Di atas air danau! Dan kedua kakinya yang kecil itu dengan ringannya berloncatan ke sana-sini, menginjak... ular-ular yang berseliweran di purmukaan air danau. Ular-ular air itu sengaja dilepas di danau itu dan mereka itu bergerakgerak, berenang dipermukaan danau seperti dipimpin oleh lengking suling.
Ular-ular air yang besar-besar dan kini Ciu Kui Eng menggunakan badan ular-ular itu untuk tempat berpijak ketika ia bersilat dengan gerakan yang luar biasa lincahnya. Inilah ilmu silat yang paling aneh dan yang amat hebat, yang diajarkan oleh Kakek itu kepada muridnya, dan ilmu silat ini diberi nama Cuibeng Coa-kun (Silat Ular Pengejar Arwah)! Ilmu silat dengan latihan seperti ini membutuhkan gingkang yang luar biasa, juga membutuhkan pengerahan sinkang, gerakan yang cepat dan tepat, juga kematangan ilmu silat karena kesalahan sedikit saja dapat membuat tubuh Kui Eng tergelincir dan terjatuh ke dalam air di mana dara ini akan dikeroyok oleh ular-ular itu. Hebatnya, ular-ular yang puluhan banyaknya itu berenang-renang seperti berbaris saja mengikuti irama suara suling yang aneh!
"Heiiiittt... plakk!" Kini Kui Eng mulai menyerang. Sambil melompat, kakinya menyambar ke bawah dan seekor ular mati dengan kepala remuk. Dara itu berloncatan, mengeluarkan pekik-pekik nyaring dan mulailah ia membantai ular-ular itu, dengan sambaran kaki dan tangan, seperti ular-ular mematuk. Permukaan danau itu mulai merah oleh darah ular dan mulai dipenuhi bangkai-bangkai ular yang mengambang. Loncatan terakhir dilakukan dari atas bangkai-bangkai ular yang mengambang dan ketika ia berjungkir balik sampai lima kali sebelum hinggap di atas batu di depan suhunya, puluhan ekor ular itu telah mati semua. Bau amis memenuhi tempat itu dan Tee-tok menghentikan tiupan sulingnya.
"Suhu, mari kita duduk di sana, di sini bau amis!" Kui Eng mengernyitkan hidungnya yang kecil sehingga nampak manis dan lucu. Kui Eng sekarang telah menjadi seorang gadis yang manis sekali, berusia delapanbelas tahun. Wajahnya manis, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan memiliki pandang mata yang amat tajam seperti kilat menyambar. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya digulung ke atas dan diikat dengan sutera kuning karena ia sedang berlatih, maka ia memakai pakaian ringkas dan rambut yang digelung itu masih panjang sekali sisanya, bergerak-gerak ketika ia bersilat tadi seperti ekor kuda yang indah. Muka yang putih halus itu kini kemerahan dan agak basah oleh keringat, berseri-seri di dalam cahaya matahari pagi yang memernuhi taman. Tee-tok tersenyum puas. Hebat memang muridnya ini.
"Engkau lulus ujian, Kui Eng, dan mulai sekarang tak perlu aku mengajarmu lagi. Sudah cukup ilmu kepandaianmu dan agaknya takkan mudah orang lain mengalahkanmu." Kui Eng menggandeng tangan suhunya dan dengan manja mengajak gurunya itu duduk di ruangan sebuah pondok merah yang berada di tepi taman.
"Semua itu berkat budimu, suhu," katanya dan iapun bertepuk tangan memanggil pelayan. Tiga orang pelayan wanita datang berlarian dan mereka semua mengembang-kempiskan cuping hidung ketika mencium bau amis itu.
"Ih, bau apakah ini?"
"Begini amis, aku ingin muntah...!"
Kui Eng tersenyum geli.
"Sudah, jangan cerewet. Suruh tukang kebon bersihkan kolam air." Tiga orang pelayan wanita itu berlarian ke dekat kolam dan Kui Eng geli ketika mendengar jeritan-jeritan para wanita itu yang tentu saja menjadi terkejut, takut dan jijik melihat puluhan ekor bangkai ular mengambang di atas air kolam. Kui Eng lalu memerintahkan para pelaya wanita mempersiapkan hidangan makan pagi yang mewah untuk gurunya dan para pekerja kebun disuruh membersihkan danau dari bangkai-bangkai ular itu. Setelah makan pagi yang mewah dan lezat, dilayani oleh muridnya, Tee-tok lalu minta berjumpa dengan Ciu Lok Tai.
Hartawan Ciu ini sudah berusia enam puluh dua tahun, akan tetapi pakaiannya masih mewah dan rambutnya tersisir rapi penuh minyak. Jenggot dan kumisnya juga masih terpelihara dengan baik dan sinar matanya masih seperti dulu, bahkan mungkin lebih mata keranjang lagi. Semenjak Tee-tok berada di situ sebagai pengawal keluarganya, apa lagi mengingat bahwa puteri tunggalnya kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat amat tinggi, yang tidak dapat dilawan oleh semua pengawal dan jagoan di Tung-kang maupun Kanton, hartawan ini menjadi semakin angkuh. Ciu Wan-gwe yang diberitahu puterinya bahwa Tee-tok ingin bertemu dengannya dan bahwa Kakek itu akan pergi karena puterinya sudah tamat belajar, menjadi kaget dan bergegas datang ke pondokan Tee-tok di dekat taman di belakang gedung itu.
"Berita apakah yang saya dengar dari Kui Eng ini? Locianpwe hendak pergi meninggalkan kami? Ah, kenapa begitu?" Tee-tok tersenyum dan menggoyang tasbeh hitamnya. Kakek pendek kecil ini memang selalu membawa tasbeh dan tongkatnya, seperti seorang petapa atau seorang pendeta tosu saja.
"Muridku, puterimu ini sudah tamat belajar, Ciu Wan-we, pekerjaanku sudah selesai, maka aku harus pergi dari sini. Jangan khawatir, semua kepandaianku telah kuajarkan kepada puterimu dan dengan adanya puterimu di sini, tak seorangpun akan berani mengganggu keluargamu, karena pengganggunya berarti sudah bosan hidup, heh-heh!" Tee-tok memandang kepada muridnya dengan perasaan bangga.
"Biarpun begitu, mengapa Locianpwe akan pergi? Sudah baik-baik tinggal di sini. Biarlah Locianpwe tetap tinggal di sini, biarpun Kui Eng sudah tamat belajar. Kami akan menjamin kehidupan Locianpwe selanjutnya di sini karena kami sudah menganggap Locianpwe seperti keluarga sendiri."
"Ha-ha, terima kasih, Wan-gwe. Akan tetapi, seorang perantau seperti aku ini, mana bisa selama hidupnya tinggal di suatu tempat? Betapapun indahnya tempatmu ini, betapapun enaknya hidupku di sini, lama-lama aku menjadi bosan juga. Aku rindu akan keheningan di tempat-tempat sunyi. Kui Eng, kalau sekali waktu engkau perlu bertemu denganku, engkau tahu ke mana harus mencariku. Nah, selamat tinggal, aku akan pergi sekarang juga." Ciu Lok Tai terkejut dan berusaha menahan.
"Saya... saya harap Locianpwe tunggu sebentar, akan saya suruh ambilkan bekal..." Akan tetapi Kakek itu melangkah terus dan membalikkan tubuh ketika tiba di pintu lalu berkata,
"Bekal? Maksudmu harta? Heh-heh, menjadi beban saja. Kalau aku butuh harta, apa sukarnya bagiku? Tinggal ambil saja di sepanjang perjalanan." Kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya, Kakek itu berkelebat lenyap dari pintu taman! Ciu Wan-gwe hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang puterinya.
"Ayah, orang luar biasa seperti suhu tidak sama dengan manusia lain. Ayah tidak perlu sungkan-sungkan terhadap suhu." Barulah hartawan itu menarik napas panjang.
"Aihh, bertahun-tahun dia berada di sini dan kita merasa aman tenteram. Kalau dia pergi, tentu saja hal itu membikin hatiku khawatir sekali. Apa lagi sekarang suasana menjadi semakin keruh, banyak terjadi
pemberontakan dan banyak orang jahat membikin kota-kota menjadi tidak aman." Puterinya tersenyum manis sekali.
"Mengapa Ayah khawatir? Tidak percuma selama enam tahun aku menjadi murid suhu Tee-tok. Dengan adanya aku di sini sama saja seperti kalau suhu berada di sini." Akan tetapi hati Ciu Lok Tai masih belum tenang dan percaya benar.
Sudah sering dia melihat puterinya berlatih silat, melihat puterinya bergerak dengan lincah sekali, akan tetapi kelincahan dalam bersilat itu belum membuktikan bahwa puterinya memang dapat diandalkan menghadapi serangan-serangan lawan. Apa lagi melihat puterinya kini menjadi seorang gadis yang demikian cantik manis, seperti ibunya di waktu muda, dan nampak demikian lemah lembut, mana mungkin dapat menandingi musuh yang terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat? Agaknya Kui Eng dapat menduga apa yang diragukan Ayahnya. Ia seorang anak manja yang biasanya haus akan pujian. Apa lagi sekarang, setelah ia merasa bahwa dirinya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka keraguan Ayahnya akan kemampuannya membikin hatinya terasa panas dan kecewa.
"Ayah, sebaiknya Ayah mengundang para jagoan di kota ini dan juga dari Kanton, dengan alasan apapun, dan aku akan memperlihatkan kepada mereka bahwa tak seorangpun dapat mengganggu kita. Aku akan tantang semua jagoan yang ada, dan akan kuperlihatkan kepada Ayah bahwa tidak ada seorangpun yang akan mampu mengalahkan aku." Biarpun di dalam hatinya masih terdapat keraguan, akan tetapi hartawan Ciu menganggap usul ini amat baik. Bukan saja dia akan dapat membuktikan sendiri kehebatan puterinya, akan tetapi juga dapat dia memamerkannya kepada semua kenalannya dan sekaligus nama puterinya akan terangkat dan takkan ada yang berani mengganggu keluarganya.
"Baik, akan kuundang mereka dengan dalih merayakan engkau tamat belajar silat. Akan tetapi yakin benarkah hatimu bahwa engkau akan dapat mengalahkan jagoan dari Kanton? Jangan main-main, di sana terdapat banyak orang pandai." Kui Eng tersenyum mengejek.
"Ayah panggil saja yang paling pandai dan Ayah lihat saja nanti." Demikianlah, untuk membuktikan sendiri kepandaian puterinya, beberapa hari kemudian taman yang luas di belakang gedung Ciu Wan-Gwe itu berobah menjadi tempat pesta. Yang diundangnya adalah para pembesar yang menjadi kenalannya, juga ahli-ahli silat yang kenamaan di Tung-kang,
Bahkan dari Kan-ton, pula, tidak lupa dia mengundang Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang jagoan yang pernah membantunya duabelas tahun yang lalu. Kedua orang itu kini tinggal di Kanton dan bekerja sebagai pengawal-pengawal dalam rumah seorang pembesar Kanton. Juga hartawan itu mengundang Ma-Ciangkun, komandan Ma Cek Lung yang menjadi perwira pasukan keamanan di Kanton. Masih banyak lagi guru-guru silat dan kepala-kepala pengawal yang terkenal mempunyai kepandaian tinggi dari Kanton diundangnya. Tidak lupa, untuk mencari muka, Ciu Wan-gwe juga mengundang Wang Taijin, kepala daerah Kanton, seorang pejabat baru di Kanton yang dikirim dari Kota Raja! Kepala daerah baru ini dikenal sebagai seorang pejabat yang keras, utusan kaisar sendiri, dan kepala daerah ini kabarnya adalah seorang pejabat yang jujur,
Tidak sudi menerima sogokan dan terutama sekali yang menggelisahkan hati banyak hartawan adalah bahwa Wang Taijin terkenal anti madat! Juga wakilnya, yang terkenal sebagai orang yang mudah didekati oleh para hartawan, seorang pejabat lama yang bernama Lai Tek atau terkenal dengan sebutan Lai Taijin, yang bukan hanya sahabat baik Ciu Wan-gwe akan tetapi juga seorang pecandu madat yang tidak ketulungan lagi, diundang. Pernah Ciu Wan-gwe dipanggil oleh kepala daerah yang baru itu dan diperingatkan tentang kegiatannya berdagang candu gelap. Dan Lai Taijin itulah yang menolongnya dan melihat muka wakilnya, kepala daerah itu mengampuninya. Tidak kurang dari lima puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi dan menjadi jagoan-jagoan terkenal di kanton dan sekitarnya hadir di dalam taman yang dirias indah itu.
Ciu Wan-gwe terkenal sebagai seorang kaya raya yang royal, maka tentu saja mereka dengan gembira memenuhi undangan hartawan itu, apa lagi karena disebutkan bahwa pesta itu untuk merayakan puteri hartawan itu yang selesai belajar ilmu silat! Mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan melihat seorang gadis jelita bermain silat, dan walaupun para jagoan itu memandang rendah, setidaknya mereka akan melihat seorang gadis cantik menari-nari dengan senjata yang tentu akan menarik sekali, apa lagi kalau hidangannya serba lezat dan mewah! Semua hartawan dan bangsawan datang bersama pengawal, sedikitnya dua orang kepala pengawal yang boleh diandalkan. Para pembesar datang bersama pasukan pengawal, akan tetapi pasukan itu dijamu di tempat lain, dan yang menemani para pembesar itu hanya kepala pengawal saja.
Wan Taijin tidak ketinggalan dikawal oleh kepala pengawalnya yang gagah perkasa. Juga Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang bekas kepala pengawal Ciu Wan-gwe, yang sudah mengenal Kui Eng ketika anak itu masih kecil, datang dalam pakaian mereka yang mentereng. Di taman itu sudah dibangun sebuah panggung dan para tamu sudah berkumpul dengan digembirakan oleh musik yang dimainkan oleh serombongan pemusik kenamaan yang didatangkan dari Kanton. Setelah menghaturkan selamat datang kepada para tamu dengan suguhan arak, Ciu Wan-gwe lalu memperkenalkan puterinya. Kui Eng keluar dalam pakaian serba merah muda, dengan ikat pinggang berwarna biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat dengan sutera kuning. Ia nampak manis sekali, sehingga semua mata para tamu yang terdiri dari pria semua itu seperti hendak melahapnya.
"Kami merayakan tamat belajarnya puteri kami dan maafkanlah puteri kami yang hendak memperlihatkan hasil ilmu yang selama ini dipelajarinya. Karena cuwi yang hadir adalah ahli-ahli silat kenamaan, maka diharap agar sudi memberi petunjuk kalau permainan puteri kami masih dangkal," kata Ciu Wan-gwe dan ketika Kui Eng naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tepuk tangan memuji, tentu saja memuji kecantikannya. Akan tetapi, hampir semua tamu berasal dari Tung-kang, tidak ada yang berani memandang rendah. Semua orang di Tung-kang sudah tahu bahwa gadis cantik ini adalah murid seorang Kakek sakti yang demikian pandainya sehingga berhasil menghadapi ujian senjata api dari Ciu Wan-gwe! Biarpun mereka sendiri belum pernah membuktikan kelihaian Kui Eng,
Namun mereka dapat menduga bahwa tentu gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudah banyak para pelayan dan pengawal keluarga Ciu membocorkan berita bahwa gadis itu benar-benar lihai sekali, seringkali bersama gurunya yang aneh bermain-main dengan ular-ular besar dan ular-ular beracun! Setelah menjura ke empat penjuru dengan sikap gagah dan senyum manis sekali tak pernah meninggalkan bibirnya, Kui Eng lalu mulai bersilat. Tentu saja ia tidak mau mempertontonkan jurus-jurus simpanannya, melainkan hanya bersilat dengan landasan ilmu ginkang yang hebat sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya di atas papan panggung. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, dan panggung itu sedikitpun tidak terguncang biarpun ia bermain silat dengan berloncatan cepat.
Bagi para penonton yang belum tinggi ilmu silatnya, mereka akan tersenyum mengejek karena mengira bahwa gadis itu tidak memiliki tenaga sakti sehingga gerakannya kosong dan ringan. Sebaliknya, mereka yang lebih ahli, diam-diam terkejut dan kagum karena mengenal pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang hebat! Setelah Kui Eng menghentikan permainan silatnya, semua orang bertepuk tangan gemuruh, bahkan ada yang bersuit-suit, yaitu dari para muda yang lebih mengagumi kecantikan dan keindahan gerak tubuh Kui Eng dari pada ilmu silatnya sendiri. Kui Eng menjura ke empat penjuru, lalu dengan nyaring ia berkata, suaranya lantang dan sama sekali tidak canggung atau malu-malu. Ia memang seorang gadis yang tabah, gagah dan juga galak, kegalakan yang lebih terdorong oleh kemanjaan dari pada oleh watak yang jahat.
"Cu-wi yang mulia. Ilmu silat hanya nampak indah saja kalau dimainkan sendirian, akan tetapi tidak ada artinya dan tidak kelihatan kelihaiannya kalau tidak dimainkan dalam suatu pertandingan antara dua orang. Maka, saya menantang kepada cu-wi yang memiliki kepandaian untuk mengadakan pertandingan silat persahabatan, untuk saling berkenalan dan saling memberi petunjuk dalam ilmu silat. Dengan demikian, barulah yang menonton dapat menikmatinya. Tidak tahu apakah di antara cu-wi ada yang berani untuk maju melayani saya barang se puluh jurus?" Di dalam ucapan ini terkandung kesombongan dan pandangan rendah terhadap para tamu, dan hal ini memang disengaja oleh Kui Eng untuk memanaskan hati mereka agar ada yang berani menyambut tantangannya.
"Oho, biarlah aku yang mencoba kelihaian nona Ciu!" terdengar suara nyaring dan sesosok tubuh tinggi besar sudah meloncat naik ke atas panggung. Panggung itu tergetar dan bergoyang-goyang ketika kedua kakinya hinggap di atas papan panggung. Laki-laki ini berusia tiga puluh tahun lebih, tinggi besar dengan muka merah, agaknya terlalu banyak minum arak. Akan tetapi semua orang dari Kanton mengenal siapa dia. Seorang guru silat muda yang memiliki tenaga gajah! Dan orang yang masih belum berkeluarga ini, ketika melihat Kui Eng, diam-diam sudah tergila-gila, maka melihat kesempatan untuk memamerkan ilmunya dan kesempatan bertanding, beradu tangan, berdekatan dengan nona cantik itu, terus saja dia menyambutnya.
Untuk mendatangkan kesan dan untuk pamer, begitu kedua kakinya menginjak papan panggung, terus saja guru silat itu bersilat. Gerakannya mantap dan pukulannya mendatangkan angin, bahkan panggung itu terus bergoyang-goyang seperti akan ambruk. Memang kelihatan hebat dan gagah sekali dia, terdengar bunyi otot dan tulang berkerotokan dan angin menyambar-nyambar kalau dia menendang dan memukul. Setelah mainkan beberapa jurus ilmu silatnya, para penonton, terutama yang muda-muda, sudah menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Dia berhenti dan tersenyum, senyum yang tidak menolong mukanya yang burik kasar kemerahan itu lalu menghadapi Kui Eng dan menjura dengan sikap hormat dibuat-buat.
"Nona Ciu, ilmu silatmu sungguh hebat sekali. Tidak tahu apakah ilmu silatku tadi cukup baik untuk melayani ilmu silatmu?" Kui Eng mamandang tajam dan alisnya berkerut ketika ia melihat sinar mata laki-laki itu mengandung kekurangajaran. Ia balas menjura dan suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ,
"Ilmu silatmu menunjukkan tenaga besar, cukup baik untuk manakut-nakuti orang, akan tetapi aku sangsi apakah cukup tangguh untuk bertahan selama lima jurus melawan ilmu silatku!" Tentu saja semua orang terkejut, bahkan para ahli sekalipun terkejut. Biarpun guru silat muda itu lebih mengandalkan tenaga besar, namun dia memiliki ilmu silat yang tidak boleh dibilang lemah. Mana mungkin mengalahkannya dalam lima jurus saja? Gadis itu terlalu membual atau memang sombong. Ciu Wan-gwe sendiri berobah wajahnya, merasa khawatir karena puterinya bicara terlalu besar. Bagaimana kalau puterinya kalah? Berarti sekali keluar namanya terbanting keras dan hanya mendatangkan malu dan menjadi buah tertawaan saja.
Wajah guru silat muda itu menjadi semakin merah, akan tetapi sekali ini bukan merah karena hawa arak, melainkan karena penasaran dan marah. Gadis cantik ini ternyata telah membikin malu padanya di depan umum. Tunggu saja, manis, pikirnya gemas. Dalam pertandingan ini aku akan membalas padamu, cukup dengan sekali raba dadamu saja sudah dapat membalas. Kemarahan ini saja sudah menunjukkan bahwa guru silat muda itu kurang luas pandangannya dan kurang matang ilmunya. Bagi orang yang sudah matang, melihat sikap gadis itu yang berani memandang rendah saja tentu sudah menjadi waspada, curiga dan berhati-hati sekali. Sebaliiknya, guru silat yang terlalu membanggakan kepandaian sendiri ini dikuasai emosi dan bernafsu sekali untuk membalas dendam.
"Nona Ciu, benarkah bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dalam lima jurus? Hati-hati, kaki tangan tidak bermata, aku khawatir kalau-kalau nona akan terluka kalau kita harus mengadu ilmu silat." Kui Eng tersenyum mengejek.
"Kalau takut terkena pukulan, lebih baik tidak belajar ilmu silat saja, pulang ke kampung bercocok tanam lebih aman!" Tentu saja ucapan ini disambut dengan suara ketawa di sana-sini dan guru silat muda itu menjadi marah sekali.
"Nona Ciu, bersiaplah menyambut seranganku!" Teriaknya dan iapun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang sampai panggung yang diinjaknya mengeluarkan bunyi "krek-krek!"
"Kau ini mau adu silat ataukah adu suara? Majulah dan jangan omong saja!" Kembali ucapan Kui Eng disambut suara ketawa dan tiba-tiba guru silat itu mengeluarkan suara seperti harimau menggereng dan tubuhnya sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya dipentang lebar, dari kanan kiri mengurung dan hendak menerkam, seperti seekor biruang besar hendak menerkam kelenci.
Mata para tamu kini memandang penuh perhatian dan dengan hati tegang karena mereka maklum bahwa guru silat muda itu agaknya sudah marah sekali dan menyerang dengan sungguh-sungguh, walaupun serangannya bukan merupakan tendangan atau pukulan melainkan tubrukan untuk menerkam dan memeluk gadis itu! Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, tahu-tahu tubuh gadis itu sudah menyelinap ke bawah kiri dan tubrukan itu luput. Guru silat itu tadi sudah melihat bayangan tubuh itu menyelinap ke kiri, tubrukannya dirobah menjadi terkaman ke samping dan kini dua lengannya itu menerkam dari atas dan bawah, kedua kakinya siap menyusulkan tendangan andaikata nona itu mengelak lagi. Akan tetapi sekali ini Kui Eng tidak mengelak, bahkan menghadapi serangan itu sambil membalikkan tubuhnya dan dua pasang kaki tangan itu bergerak cepat,
Seperti ada empat ekor ular menotok ke depan dan tiba-tiba saja guru silat muda itu mengeluarkan teriakan aneh dan tubuhnyapun roboh berlutut di depan Kui Eng! Tentu saja semua orang menjadi heran dan terkejut sekali. Dalam dua kali serangan saja guru silat itu telah roboh berlutut dan mereka tidak melihat bagaimana caranya sampai guru silat itu roboh. Guru silat itu sendiri menjadi pucat wajahnya. Tadi, ketika dia menerkam, tiba-tiba saja kedua siku dan lututnya terpukul dan seketika kedua lengan dan kakinya menjadi lumpuh sehingga dia tidak mampu berdiri lagi dan terpaksa jatuh berlutut. Bagaimanapun juga, kini tahulah dia bahwa gadis itu memang sungguh seorang yang memiliki kesaktian dan sama sekali bukan lawannya.
"Maafkan saya, nona... saya... mengaku kalah...!" katanya lirih dan ketakutan karena dia belum mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Hemm, belajarlah silat dengan baik, bukan memamerkan tenaga gajah," kata Kui Eng dan seperti orang menyuruh pergi, tangannya bergerak cepat sekali mrenyentuh ke pundak dan ujung sepatunya menyentuh pinggang. Seketika tubuh yang lumpuh itu dapat bangkit lagi dan dengan muka yang kini berobah merah sekali, guru silat itu memberi hormat kepada Kui Eng lalu melompat turun dan kembali ke tempat duduknya tanpa banyak cakap lagi. Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan ini, akan tetapi beberapa orang mengerutkan alisnya. Benarkah guru silat itu kalah sedemikian mudahnya? Ataukah guru silat itu memang sengaja "dibeli" untuk berperan sebagai orang yang dikalahkan?
Ciu Wan-gwe adalah seorang yang kaya raya, mampu membayar apa saja dan guru silat itu merupakan orang baru di Kanton, siapa tahu dia memang sengaja bermain sandiwara agar dikalahkan dalam dua gebrakan saja! Akan tetapi, mereka yang memiliki kepandaian lebih tinggi berpendapat lain. Mereka melihat bahwa selain guru silat itu memang tidak begitu pandai, ternyata bahwa gadis hartawan ini benar-benar lihai sehingga mereka memandang kagum dan ketika Kui Eng mempersilahkan jagoan lain untuk naik, tidak ada seorangpun berani menyambutnya. Yang paling gembira adalah Ciu Wan-gwe. Ternyata puterinya mampu membuktikan omongannya. Guru silat yang hebat tadi dirobohkan hanya dalam waktu sebentar saja! Makin percayalah dia bahwa Kakek sakti itu memang benar telah mewariskan kepandaiannya kepada Kui Eng.
"Cu-wi yang mulia! Benarkah tidak ada lagi jagoan yang mau memberi petunjuk kepadaku? Ah, dan aku mendengar bahwa Kanton adalah gudangnya jago silat yang tinggi ilmunya. Apakah cu-wi ingin mengecewakan hatiku?" Kui Eng berkata karena memang ia kecewa sekali. Ia ingin memamerkan kepandaiannya dan juga mendatangkan kesan agar keluarganya ditakuti orang dan hati Ayahnya menjadi tenteram.
Kiranya di antara para jagoan itu yang maju hanyalah seorang guru silat mentah! Wang Taijin, kepala daerah Kanton, merasa tersinggung mendengar ucapan gadis itu. Seorang gadis yang sombong, pikirnya. Memang di sudut hatinya, Wang Taijin merasa tidak suka kepada hartawan ini, karena dia mendengar bahwa orang she Ciu ini merupakan pedagang dan penyelundup candu terbesar di Kanton dan Tung-kang, seorang yang bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Juga dia mendengar bahwa hartawan ini seolah-olah sudah menguasai semua pembesar di Kanton dengan suapan-suapannya. Kalau saja tidak dibujuk oleh Lai Taijin, tentu dia sudah menyuruh orang-orangnya menuntut hartawan ini di pengadilan atau setidaknya melakukan penyitaan atas candu-candu simpanannya.
Kini, melihat sikap anak hartawan Ciu itu, yang seolah-olah menantang dan menghina orang-orang gagah di Kanton, dia mendongkol sekali. Dengan isyarat tangan dan mata, diapun lalu menyuruh kepala pengawal yang menemaninya untuk maju dan menandingi gadis yang dianggapnya amat sombong itu. Kepala pengawal ini adalah pengawal bawaan Wang Taijin dari Kota Raja, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tubuhnya jangkung, matanya tajam dan kumis jenggotnya panjang terpelihara rapi. Dalam mengawal Wang Taijin, dia selalu berpakaian preman. Orangnya pendiam dan sikapnya halus. Melihat betapa majikannya memberi isyarat agar dia maju, pengawal yang jangkung ini mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut.
Dia adalah seorang kepala pengawal daerah Kanton, seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan kini dia disuruh maju melayani dan melawan seorang gadis yang usianya belum dua puluh tahun! memang, diapun tadi melihat bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, akan tetapi maju melawan seorang gadis semuda itu saja sudah menurunkan martabatnya. Akan tetapi, karena yang memerintah adalah majikannya, tanpa banyak cakap diapun bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah melayang naik ke atas panggung. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara apapun ketika hinggap di atas panggung, berhadapan dengan Kui Eng dan menjura dengan hormat. Diam-diam Kui Eng terkejut. Ini baru orang pandai, pikirnya, aku harus berhati-hati menghadapinya.
"Nona Ciu, maafkan kalau saya orang yang tua memenuhi undangan nona untuk bermainmain sebentar menghibur para tamu dan menggembirakan suasana. Harap nona suka mengalah kepada saya." Kui Eng makin berhati-hati. Orang ini pandai merendahkan diri, akan tetapi sinar matanya begitu tajam. Tentu lawan yang berbahaya, pikirnya.
"Ah, paman terlalu sungkan. Kuharap pamanlah yang suka mengalah terhadap orang muda yang belum berpengalaman." katanya sambil balas menjura.
"Saya sudah siap, harap nona suka mulai," kata kepala pengawal Wang Taijin itu.
"Paman adalah tamu, silahkan mulai." Akan tetapi, kepala pengawal itu tentu saja rikuh sekali kalau harus menyerang lebih dulu. Dia adalah seorang tua yang menang segala-galanya, mana mungkin harus menyerang dulu? Maka diapun diam saja, hanya berdiri tegak, sama sekali tidak berlagak dengan kuda-kuda kokoh seperti yang dilakukan guru silat muda tadi. Melihat orang ragu-ragu, Kui Eng tersenyum dan ia semakin hati-hati.
"Baiklah kalau begitu, lihat seranganku, paman!" Kui Eng menyerang dengan biasa saja, dengan pukulan ke arah dada orang. Melihat cara gadis itu menyerang, si kepala pengawal semakin memandang rendah. Kiranya gadis itu hanya memiliki kecepatan saja dan tidak memiliki kepandaian yang berarti, demikian pikirnya. Maka diapun cepat menangkis dengan mengerahkan sedikit tenaga saja, dengan harapan sedikit tenaga itu sudah cukup untuk memberi peringatan kepada gadis yang dianggapnya sombong itu.
"Dukk...!" Ketika dua lengan bertemu, kepala pengawal itu terkejut bukan main. Lengan gadis itu lunak hangat, seperti tidak bertenaga, akan tetapi membuat lengannya tergetar hebat seperti diguncang! Maka, diapun cepat membalas dengan serangan kilat ke arah pundak kiri Kui Eng yang ditamparnya, dan sekali ini, tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang. Ketika tadi bertemu lengan, Kui Eng tersenyum mengejek. Kiranya hanya sekian saja tenaga orang jangkung ini, pikirnya. Maka, begitu melihat lawan menampar pundaknya, suatu serangan yang dilakukan dengan sungkan-sungkan, dara inipun menangkis dengan mengerahkan sebagian sinkangnya. Tidak sekuatnya, melainkan sedikit saja karena iapun tidak ingin mencelakai orang ini yang bersikap baik, tidak seperti guru silat tadi.
"Dukk...!" Sekali ini Kui Eng yang terkejut ketika lengannya terpental. Barulah ia tahu bahwa dalam pertemuan lengan pertama tadi, lawannya tidak sungguh-sungguh mengeluarkan tenaga dan baru sekarang lawannya itu memperlihatkan tenaganya, membuat lengannya terpental. Iapun memandang tajam dan bangkit semangatnya, hatinya gembira. Inilah lawan yang tangguh, pikirnya.
"Paman, siaplah menghadapi seranganku!" teriaknya dan iapun kini menyerang dengan sungguh-sungguh, kedua tangannya membentuk kepala ular yang mematuk-matuk dan gerakannya itu didasari tenaga sinkang yang amat kuat. Kepala pengawal itu terkejut bukan main. Dia melihat betapa kedua tangan lawannya seperti berobah menjadi banyak, sukar sekali diikuti dengan pandang mata. Dia berusaha sekuatnya untuk menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat, ilmu silatnya terlalu aneh. Kui Eng belum mengenal kehebatan ilmunya sendiri karena ia belum pernah berkelahi dengan orang lain dan ia tadi salah kira, menganggap bahwa lawannya itu tangguh sekali. Kini, serangkaian serangannya tidak dapat dihindarkan lagi mengenai sasaran dan pundak kanan lawan itu terkena patukan tangan kirinya dengan keras sekali.
"Krekkk...!" Kepala pengawal itu mengeluh dan roboh terkulai dalam keadaan pingsan! Patukan tangan kiri Kui Eng itu bukan saja mematahkan tulang pundaknya, akan tetapi juga menembus lebih dalam lagi, menggetarkan isi dada dan membuatnya roboh pingsan! Kui Eng terkejut bukan main.
"Ohh... maaf, paman...!" katanya, akan tetapi dara itu berdiri bingung karena melihat bahwa lawannya itu telah pingsan. Tak disangkanya sedemikian mudahnya ia merobohkan lawan yang disangkanya amat tangguh itu.
Memang tangguh lawan itu, akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bahwa kepandaiannya jauh lebih tinggi dan ia jauh lebih tangguh lagi. Peristiwa ini tentu saja mendatangkan perasaan makin tidak senang di hati Wang Taijin. Dia tadi menyuruh kepala pengawalnya untuk memberi pengajaran kepada gadis Ciu yang sombong itu, akan tetapi siapa kira bahwa dalam beberapa gebrakan saja jagoannya tidak hanya kalah, bahkan pingsan dan agaknya menderita luka parah! Dengan alis berkerut kepala daerah Kanton ini melihat betapa jagoannya diusung turun dari atas panggung di bawah tepuk tangan para tamu yang memuji tuan rumah. Kini semua orang memandang kagum karena secara berturut-turut, dua orang jagoan telah dirobohkan dalam waktu cepat sekali oleh gadis cantik itu.
"Aha, benar hebat nona Ciu Kui Eng!" tiba-tiba terdengar suara parau dan seorang lakilaki tinggi besar berperut gendut sudah meloncat naik ke atas panggung.
Melihat laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian sebagai seorang perwira tinggi ini, Kui Eng cepat memberi hormat dengan ramah, merendah. Tentu saja ia mengenal Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di Kanton yang sudah lama menjadi sahabat baik Ayahnya, dan yang dikenalnya sejak ia masih kecil. Memang pada akhir-akhir ini Ma-Ciangkun jarang datang berkunjung ke Tung-kang, akan tetapi hubungan antara perwira itu dan Ayahnya masih tetap baik. Sejak tadi Ma Cek Lung melihat betapa gadis itu mengalahkan dua orang lawannya. Dia mengenal Kui Eng sebagai seorang anak yang manis dan ramah, dan diapun tahu bahwa gadis itu sejak kecil suka mempelajari ilmu silat dari para pengawal Ciu Wan-gwe. Dia juga sudah mendengar bahwa gadis itu memperoleh seorang guru yang pandai, yang juga menjadi pengawal keluarga Ciu itu.
Ketika tadi Kui Eng keluar dan memperlihatkan kepandaiannya, dia merasa kagum juga, senang melihat anak perempuan yang dikenalnya di waktu kecil itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik dan lihai. Akan tetapi ketika melihat betapa gadis itu merobohkan dua orang lawan, dia merasa tertarik sekali, lebih lagi ketika dia melihat Kui Eng mengalahkan kepala pengawal Wang Taijin yang diketahuinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Karena dia sendiripun seorang yang lihai ilmu silatnya, hatinya tertarik dan tak dapat ditahannya lagi dia lalu meloncat naik ke atas panggung sambil mengeluarkan kata-kata pujian. Kini Ma Cek Lung sudah berhadapan dengan Kui Eng dan perwira bertubuh tinggi besar berperut gendut ini menyeringai dan matanya menjelajahi tubuh dan wajah Kui Eng penuh kagum. Mukanya yang licin itu seperti berminyak dan matanya yang sipit sekali menjadi semakin sipit.
"Nona Ciu, akupun ingin main-main sebentar dengan engkau yang amat lihai!"
"Ah, Ma-Ciangkun harap jangan main-main. Mana aku berani melawanmu?" Ma Cek Lung ini memang mempunyai watak mata keranjang. Kecantikan Kui Eng yang sejak kecil dikenalnya itu telah membuat penyakitnya kumat, yaitu berlagak setiap kali bertemu wanita cantik. Apa lagi sikap Kui Eng yang seolah-olah merasa sungkan kepadanya, yang dianggapnya sebagai sikap takut melawannya! Maka diapun tertawa bergelak sambil membusungkan dadanya dan akibatnya yang busung adalah perutnya. Dia sendiri menganggap sikapnya gagah, akan tetapi sebenarnya bagi orang lain hanya melihat perwira itu berkakakan dengan perut besar menonjol ke depan dan terguncang-guncang.
"Ha-ha-ha, nona Ciu, ilmu silatmu begitu lihai, jangan merendahkan diri. Melihat betapa sekarang engkau telah memperoleh kemajuan hebat, aku ingin sekali mencoba-coba. Mari, jangan bersikap sungkan, bukankah kita hanya mengadakan permainan bersama seperti latihan saja?" Dia tertawa-tawa dengan sikap sombong sekali, seolah-olah sia seorang guru besar yang hendak memberi petunjuk dan latihan kepada seorang murid.
"Baiklah, Ma-Ciangkun," kata Kui Eng.
"Ma-Ciangkun, harap jangan bersikap keras kepada puteriku!" tiba-tiba terdengar Ciu Wan-gwe berteriak kepada perwira yang menjadi sahabat baiknya itu. Perwira Ma itu menoleh ke arah tuan rumah dan tertawa lebar.
"Heh-heh, jangan khawatir, aku akan bersikap lunak sekali terhadap puterimu!" Dengan lagak yang gagah, Ma Cek Lung lalu memasang kuda-kuda di depan gadis itu sambil berkata,
"Nona Ciu, mari kita mulai. kau sambutlah seranganku yang pertama." Dengan sikap gagah dan pengerahan tenaga yang kuat, Ma Cek Lung membuka serangannya dengan pukulan tangan kanan ke arah pundak gadis itu. Memang perwira ini memiliki tenaga besar dan juga ilmu silatnya sudah termasuk lumayan. Akan tetapi dasar perwira mata keranjang yang sudah tergila-gila melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan dari Kui Eng, pukulannya itu berobah menjadi colekan ke arah bawah pundak, jadi ke arah dada gadis itu! Tentu saja Kui Eng menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa perwira itu akan menyerang seperti itu.
"Ihhh...!" Ia berseru lirih sambil cepat-cepat mengelak sehingga colekan itu mengenai tempat kosong.
"Heh-heh!" Ma Cek Lung sudah menyusulkan serangan tangan kirinya yang kembali melakukan colekan ke arah perut bawah! Ini sudah keterlaluan sekali dan Kui Eng menjadi marah bukan main. Jelaslah bahwa perwira yang menjadi sahabat Ayahnya ini hendak kurang ajar, apa lagi melihat mulutnya menyeringai genit lalu terdengar desisnya berbisik, "Kau manis sekali...!" dan susulan tangan kanannya yang kembali mencolek ke arah dada.
"keparat!" Kui Eng mendesis di antara giginya dan dengan cepatnya tubuhnya mengelak dan kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor kepala ular mematuk. Ma Cek Lung tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Seperti sebuah arca batu, perwira Ma itu berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan dengan jari-jari seperti akan mencengkeram dan tangan kiri mencengkeram ke bawah, yaitu posisinya ketika hendak mencolek bawah perut dan dada tadi!
Melihat betapa perwira tinggi besar itu kini diam seperti arca dalam keadaan kaku, semua orang terkejut! Para ahli maklum bahwa perwira itu telah menjadi korban totokan jalan darah yang amat hebat. Dan perwira itu tertotok dalam waktu baru dua tiga jurus saja! Sungguh sukar dipercaya ini, karena semua orang tahu bahwa Ma Ciangkun adalah seorang perwira tinggi, kepala pasukan keamanan Kanton yang tentu saja memiliki ilmu silat tinggi! Kui Eng juga sadar bahwa ia tadi terlalu menurutkan hati yang marah karena sikap ceriwis dan kurang ajar dari komandan itu, maka kini melihat betapa perwira itu kaku oleh totokannya, iapun sadar bahwa tidak baik membikin malu perwira tinggi yang menjadi sahabat Ayahnya ini. Maka iapun cepat menggerakkan kedua tangannya membebaskan totokan itu.
"Ma-Ciangkun, maafkan aku...!" katanya lirih. Ma Cek Lung dapat bergerak kembali. Mukanya menjadi merah sekali dan dia menjadi marah bukan main. Dia, kepala pasukan keamanan Kanton, yang biasanya ditakuti orang, kini dihina oleh seorang gadis muda di depan begitu banyak orang bahkan di depan para pembesar. Dia memang mata keranjang, akan tetapi kini dia dikuasai kemarahan yang memuncak sehingga dia lupa segala.
"Singgg...!" Perwira ini sudah mencabut pedangnya dan mengancam dengan mengamangkan pedangnya di atas kepala.
"Bocah sombong, berani kau menghinaku?" Dan tanpa banyak cakap lagi perwira yang marah ini sudah menyerang Kui Eng dengan pedangnya. Hebat sekali serangan itu dan semua orang terbelalak karena merasa khawatir dan tegang, sama sekali tidak mengira bahwa pi-bu persahabatan itu berobah menjadi kemarahan sang perwira yang kini menggunakan pedang menyerang dengan sungguh-sungguh. Ciu Wan-gwe sendiri memandang dengan muka pucat, tidak tahu harus berbuat apa menghadapi peristiwa itu dan tentu saja dia khawatir sekali akan keselamatan puterinya. Pedang itu menyambar dahsyat ke arah leher Kui Eng. Agaknya, di dalam kemarahannya karena merasa terhina, Ma-Ciangkun hendak memancung leher Kui Eng! Akan tetapi, pedang itu hanya mengenai angin saja karena dengan cepat sekali Kui Eng telah mengelak dengan langkah ke belakang.
"Ciangkun, ingatlah...!" Ia berkata, kaget dan juga penasaran melihat betapa perwira itu kini menyerang dengan senjata pedang, dengan sungguh-sungguh lagi, bukan sekedar pi-bu persahabatan lagi. Akan tetapi, luputnya serangan pertama ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Ma Cek Lung makin berkobar. Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika diputarnya dan dia sudah menyerang kalang kabut. Pedangnya berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Kui Eng. Gadis ini terus mengelak, dengan kecepatan yang luar biasa dan sekali lagi ia mengingatkan Ma Cek Lung.
"Ma-Ciangkun, hentikan seranganmu atau terpaksa aku membalas!" Dalam keadaan marah seperti itu, tentu saja Ma Cek Lung tidak mau menghentikan serangannya sebelum berhasil. Pedangnya menyambar semakin ganas seolah-olah perwira itu menghadapi dan menyerang seorang musuh besar yang harus dibunuhnya! Menghadapi serangan seperti ini, Kui Eng yang mempunyai watak galak dan keras itu menjadi penasaran dan marah sekali.
"Kau kira aku takut padamu!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi hanya mengelak saja dengan loncatan-loncatan lincah, kini menerjang ke depan.
"Plak...! Tranggg...!" Pedang itu terlempar ke atas papan panggung dan tubuh perwira itupun terpelanting dengan keras. Semua orang ternganga dan terbelalak memandang ke atas panggung. Sekali ini, tidak ada seorangpun berani bertepuk tangan atas kemenangan Kui Eng, walaupun mereka terkejut, kaget dan juga kagum bukan main.
Kini tidak ada yang menyangsikan lagi akan kehebatan ilmu kepandaian Ciu Kui Eng. Ma Cek Lung tidak terluka parah karena Kui Eng yang masih ingat bahwa ia berhadapan dengan seorang komandan, hanya menotok pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, kemudian sebuah tendangan ke arah lutut kaki membuat perwira itu terpelanting. Akan tetapi karena pantatnya terbanting keras ke atas papan, rasa nyeri membuat dia meringis ketika bangkit dan mengambil pedangnya. Dia mengeluarkan suara makian yang diguman saja, matanya mendelik ke arah Kui Eng. Kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah Ciu Wan-gwe dengan mata melotot. Hartawan ini cepat lari naik ke panggung dan menjura kepada perwira itu.
"Ciangkun, harap maafkan kelancangan anakku..." Suaranya penuh permohonan.
Akan tetapi Ma Cek Lung hanya mendelik, kemudian tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar tanpa pamit dia keluar dari situ untuk meninggalkan rumah keluarga Ciu dan langsung keluar. Wang-taijin yang tadi sudah merasa tidak suka karena kepala pengawalnya terluka, apa lagi ketika mendengar bahwa tulang pundak pengawalnya itu patah-patah, melihat perginya Ma Cek Lung, dia juga bangun berdiri dan pergi dari situ tanpa pamit! Ciu Wan-gwe cepat menghampiri dan memberi hormat, mencoba untuk menahan sang pembesar. Akan tetapi Wang-taijin hanya mendengus, kemudian pergi dan langsung kembali ke Kanton. Para tamu juga merasa tidak enak dan seorang demi seorang lalu berpamit meninggalkan tempat itu walaupun hidangan belum sempat disuguhkan semua. Hanya tinggal Lai-taijin yang masih berada di situ karena ditahan-tahan oleh Ciu Wangwe.
"Harap taijin sudi memaafkan kami dan tolonglah keluarga kami dari kemarahan Wangtaijin dan Ma-Ciangkun. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan taijin." Berkali-kali Ciu Lok Tai memohon kepada wakil kepala daerah Kanton itu yang mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum, apa lagi ketika hartawan itu menyerahkan sebuah kantong terisi potongan-potongan emas!
"Ah, tak perlu sungkan-sungkan, saudara Ciu," katanya meringis malu-malu kucing.
"Akan kuusahakan agar kemarahan mereka mereda. Mereka tadi tentu hanya dikuasai oleh perasaan marah saja. Jangan khawatir. Biar aku pulang dulu dan eh... anu... persediaanku tinggal sedikit..." Ciu Lok Tai tersenyum lega.
"Ah, jangan khawatir, taijin, akan saya kirim besok. Akan saya pilihkan yang murni dan paling baik."
"Terima kasih, terima kasih..." sambil tersenyum ramah pembesar itu lalu meninggalkan rumah keluarga Ciu dengan keretanya yang sudah menanti di luar. Ciu Lok Tai lalu memanggil Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang tamu bekas jagoan-jagoannya yang masih berada di situ. Dua orang ini juga merasa khawatir sekali dan segera mengikuti Ciu Wan-gwe bersama puterinya yang masuk ke dalam ruangan belakang. Setelah tiba di situ, Ciu Wan-gwe menegur puterinya.
JILID 11
"Semua ini gara-gara engkau, Kui Eng. Kenapa engkau tidak dapat menahan diri dan sampai melukai pengawal Wang-taijin, bahkan membikin malu Ma-Ciangkun yang menjadi sahabat baikku? Mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi di Kan-ton! Engkau mencari perkara saja!" Kui Eng mengerutkan alisnya, tidak senang disalahkan oleh Ayahnya.
"Ayah, apakah aku harus membiarkan saja orang menghinaku dan kurang ajar kepadaku? Jangankan baru para pembesar Kanton, biar dia dari istana sekalipun, kalau kurang ajar tentu akan kuhajar dia!"
"Ssttt, tahan tuh mulutmu!" Ayahnya membentak, akan tetapi tidak melayani anaknya yang sudah pergi meninggalkan ruangan itu dengan marah. Dia tahu akan kekerasan hati puterinya dan melihat betapa lihainya anak itu sekarang, diapun tidak mau membikin ribut. Bagaimanapun juga, setelah Tee-tok pergi, dia harus mengandalkan kepandaian puterinya itu untuk keselamatan dirinya dan keluarganya.
"Harap kalian suka bermalam di sini, dan besok tolong kirimkan candu yang pilihan kepada Lai-taijin. Hatiku masih tegang dan khawatir, harap kalian temani aku malam ini." Pada sore hari itu, seorang pemuda memasuki sebuah rumah makan di kota Tung-kang. Pemuda ini berpakaian sederhana sekali, membawa sebuah buntalan pakaian, tubuhnya sedang tegap, dadanya bidang dan wajahnya yang tampan membayangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Pakaiannya seperti pakaian seorang petani, akan tetapi melihat gerak-geriknya, dia seperti bukan petani dusun dan cara dia menerima sambutan pelayan dan duduk di kursinya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sopan. Pemuda ini memang bukan orang sembarangan walaupun nampak sederhana sekali karena dia adalah Tan Ci Kong!
Baru saja Ci Kong memasuki kota Tung-kang, tempat kelahirannya dan begitu memasuki pintu gerbang kota itu, hatinya dicekam rasa haru. Dia langsung mengunjungi makam Ayahnya. Akan tetapi dia tidak menangis ketika bersembahyang di depan kuburan Ayahnya yang sederhana. Juga dia tidak berjanji apa-apa karena bimbingan yang bijaksana dari manusia sakti Siauw-bin-hud membuat batin Ci Kong bersih dari pada benci dan dendam. Dia tahu bahwa Ayahnya tewas dalam tahanan karena berani menentang pemerintah, dan dia masih ingat betapa Ayahnya disiksa oleh seorang perwira gendut di rumah hartawan Ciu di kota Tung-kang. Akan tetapi dia tidak menaruh hati dendam. Berulang kali Siauw-bin-hud memberi wejangan kepadanya, meyakinkan hatinya bahwa dendam dan benci adalah penyakit yang meracuni badan dan batin sendiri.
Sebagai seorang pendekar tentu saja dia boleh bertindak mempergunakan kepandaiannya untuk menentang yang jahat dan membela yang benar, akan tetapi semua tindakan itu sama sekali salah kalau dilandasi kebencian dan dendam. Setelah duduk bersila sampai berjam-jam lamanya di depan kuburan Ayahnya, dan tahu-tahu siang telah berganti senja, diapun meninggalkan makam itu dan karena perutnya terasa lapar, dia lalu memasuki sebuah rumah makan di ujung jalan. Tidak ada seorangpun di kota itu yang mengenalnya. Dia dahulu baru berusia tujuh tahun ketika pergi meninggalkan kota itu, dan kini dia telah berusia hampir dua puluh tahun. Tentu saja tidak ada yang tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah putera tunggal Tan Siucai atau Tan Seng yang namanya dikenal oleh seluruh penduduk Tung-kang,
Bahkan terkenal pula sampai ke Kan-ton sebagai seorang sasterawan miskin yang gagah berani dan patriotik. Terutama sekali kau m patriot dan orang-orang gagah, amat menghormati nama Tan Siucai itu. Restoran itu tidak begitu ramai. Ketika Ci Kong masuk dan duduk di sudut, di situ hanya ada empat orang yang sedang makan minum di meja tengah, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Ciu Wan-gwe mengingatkan dia akan hartawan yang pernah memukuli Ayahnya bersama seorang perwira gendut, dan nama Ciu Wan-gwe memang dikenal di seluruh penduduk Tung-kang, termasuk dia sendiri. Sambil diam-diam makan pesanan nasi dan sayur, tanpa menoleh, Ci Kong memasang telinga mendengarkan.
"Luar biasa sekali puteri Ciu Wan-gwe itu. Betapa mudahnya ia mengalahkan pria-pria yang lihai itu!"
"Benar, ia memang cantik jelita, lihai dan kaya raya. Akan tetapi aku berani tanggung ia tidak akan mudah memperoleh jodohnya."
"Eh, kenapa kau bilang begitu, A-kao?"
"Byangkan saja. Siapa berani sembarangan melamar anak orang yang paling kaya di Tung-kang? Pula, kepandaiannya demikian hebat, salah-salah yang menjadi suaminya bisa dibunuhnya!" Terdengar empat orang itu tertawa lirih.
"Dan Ayahnya tentu tidak mengijinkan ia menikah."
"Lho! Kenapa begitu?"
"Masa kau tidak tahu, A-piu! Ayahnya masih gila perempuan, tentu memikirkan diri sendiri, mana mau memikirkan jodoh anaknya?"
"Kabarnya banyak korban gadis-gadis dan istri-istri muda di tangan Ciu Wan-gwe," terdengar suara lirih akan tetapi masih dapat ditangkap oleh telinga Ci Kong.
"Bhkan Enci adik Phoa yang menjadi kembang di kampung belakang pasar itupun kini menjadi miliknya."
"Memang benar, baru beberapa hari yang lalu. Habis, Ayahnya menjadi setan candu sih, maka anak-anaknya ditukar dengan candu."
"Menjijikkan benar! Kaki tangan Ciu Wan-gwe itu selalu mengincar keluarga yang ada wanita-wanita cantiknya, lalu kepala keluarga dilolohi candu sampai menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, anak atau bininya sendiri akan dijual untuk memperoleh candu."
"Bnyak orang bunuh diri setelah dipaksa melayani hartawan itu, yang oleh suaminya ditukar dengan candu."
"Ssttt, sudahlah. Untuk apa membicarakan hal itu? Kalau terdengar anaknya, hiiiih, sekali tangan yang kecil mungil itu bergerak, nyawa kita akan melayang!"
Mendengar percakapan ini, timbul kemarahan dalam hati Ci Kong. Kiranya hartawan Ciu itu masih saja mengedarkan candu yan dulu amat ditentang Ayahnya. Dan di sepanjang perjalanan bersama susiok-couwnya, diapun mendengar betapa candu makin mencengkeram kehidupan rakyat jelata. Ayahnya juga tewas akibat menentang candu yang merusak rakyat. Diam-diam dia mengepal tinju. Aku harus memperingatkan Ciu Wan-gwe itu, pikirnya. Bukan untuk membalas dendam Ayahnya. Sama sekali tidak. Hanya untuk memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu di antara rakyat jelata, dan membuka mata hartawan itu betapa buruk akibatnya bagi rakyat. Kalau hartawan itu tidak mengindahkan peringatannya, baru dia akan turun tangan menghajarnya agar jera dan menurut.
Akan tetapi, Ci Kong tidak mau bertindak sembrono. Sebelum melaksanakan niatnya, malam itu dia melakukan penyelidikan, bertanya-tanya pada penduduk di perkampungan. Dan apa yang didengarnya dari keterangan orang-orang kampung bahkan melampaui apa yang didengarnya di restoran itu. Ciu Wan-gwe memang menjadi semacam raja kecil di Tung-kang, mengandalkan hartanya, mengandalkan jagoan-jagoan dan tukang pukulnya, dan mengandalkan pengaruhnya terhadap semua pembesar setempat, bahkan para pembesar di kanton. Hampir semua penduduk membencinya, tentu saja kecuali mereka yang memperoleh keuntungan dari hartawan ini. Dan makin sedih hati Ci Kong mendengar dan melihat kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Tung-kang telah tercengkeram candu! Dan tempat pemadatan tersebar di seluruh kota.
Bahkan ketika dia berjalan-jalan, bau madat terbakar menyambut hidungnya di mana-mana, bau yang memuakkan sekali. Banyak pula dilihatnya orang-orang yang kurus kering, dengan pandang mata sayu, dengan senyum aneh di bibir, berjalan seperti mayat hidup tanpa semangat. Mereka itulah pecandu-pecandu yang sudah berat keadaannya, karena racun candu sudah memenuhi tubuh sampai ke darahnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Kong sudah keluar dari rumah penginapan di mana dia bermalam. Buntalan pakaiannya dia tinggalkan di kamar penginapan itu dan dia lalu berjalan kaki menuju ke rumah gedung megah milik Ciu Wan-gwe. Pernah satu kali dia memasuki gedung itu, duabelas tahun yang lalu, ketika dia mohon ampun untuk Ayahnya yang disiksa di situ. Dia mengepal tinju dan menekan hatinya.
"Tidak, bukan untuk itu aku datang ke sana!" bantahnya sendiri. Ketika dia tiba di depan pintu gerbang gedung itu, ternyata pintu gerbang itu telah terbuka. Dengan tabah dia lalu masuk begitu saja karena tidak nampak ada orang. Dia akan berterus terang minta bertemu dengan Ciu Lok Tai dan langsung saja memberi peringatan kepada hartawan itu untuk menyadarkannya.
"Heii! Siapa kamu dan mau apa kamu masuk kesini?" Tiba-tiba terdengar teguran suara yang bengis. Ci Kong mengangkat muka dan melihat dua orang laki-laki baru saja keluar dari dalam gedung. Seorang yang bertubuh tinggi besar, di pinggangnya tergantung sebatang pedang, sikapnya angkuh dan galak.
Orang ke dua bertubuh gendut, menyeringai dengan penuh ejekan dan di pinggang orang ini tergantung sebatang payung sehingga nampak lucu sekali. Mereka ini berusia kurang lebih lima puluh tiga tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi, dengan topi batok hitam, mudah diduga bahwa mereka tentu orang-orang yang memiliki kedudukan. Yang gendut itu membawa sebuah peti kecil yang berukir indah, dan yang menegurnya adalah si tinggi besar yang galak. Ci Kong tidak tahu bahwa dua orang ini adalah jagoan-jagoan yang pernah bekerja sebagai pengawal-pengawal Ciu Wan-gwe dan yang kini sudah menjadi pengawal di kota Kanton. Mereka adalah Gan Ki Bin, yang tinggi besar, dan Lok Hun, yaitu yang berperut gendut. Dengan sikap tenang Ci Kong menjura kepada dua orang itu dan menjawab dengan suara tenang pula,
"Maaf, karena tidak ada orang maka saya masuk ke dalam pintu gerbang. Saya datang untuk bertemu dengan Ciu Lok Tai, harap ji-wi suka membantu saya dan memberi tahu kepada Ciu Wan-gwe."
"Kau datang mau pinjam uang?" tanya Lok Hun yang gendut perutnya. Pandang matanya menghina sekali. Tentu saja Ci Kong merasa marah, akan tetapi dia tetap tenang. Sebagai murid Siauwbin-hud, tidak mudah kemarahan menguasai batin pemuda ini. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.
"Kalau tidak mau hutang, apakah mengemis?" kini Gan Ki Bin yang membentak setelah mengamati pakaian pemuda itu. Seorang petani saja mau apa minta bertemu dengan Ciu Wangwe kalau bukan mau hutang atau mengemis? Pertanyaan ini lebih menyakitkan hati lagi, akan tetapi sungguh luar biasa pemuda itu. Dia tetap tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah. Akan tetapi, seperti juga tadi, dia menggeleng kepala.
"Bocah dusun! Kalau bukan hutang atau mengemis, habis mau apa orang macam engkau ini berani pagi-pagi datang mengganggu Ciu Wan-gwe? Agaknya engkau mempunyai niat busuk. Mau mencuri, ya?"
"Urusan saya tidak ada sankut pautnya dengan ji-wi. Harap tolong panggilkan Ciu Wangwe, biar saya bicara sendiri dengan dia."
"Aku tidak sudi memanggilkan!" bentak Gan Ki Bin.
"Dan aku tidak memperbolehkan kau masuk!" bentak Lok Hun, keduanya siap untuk memukul pemuda dusun yang berani mengganggu sepagi itu. Mereka baru saja keluar dari dalam gedung Ciu Wan-gwe sambil membawa peti berisi candu murni untuk diserahkan kepada Laitaijin, wakil kepala daerah Kanton. Karena pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar, maka keributan yang terjadi itu menarik perhatian orang-orang yang lewat dan sebentar saja sudah banyak orang berdiri di luar pintu dan nonton keributan itu. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seperti seorang ahli silat. Pemuda ini berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan dia tersenyum-senyum melihat keributan yang terjadi di sebelah dalam pintu gerbang itu.
Pemuda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan! Seperti kita ketahui, Ong Siu Coan diijinkan turun gunung oleh Thian-tok dan bersama sutenya, Gan Seng Bu, dia turun gunung dan melakukan perjalanan berpisah. Dia hendak mencari Koan Jit, suhengnya yang melarikan Giok-liong-kiam. Akan tetapi di sepanjang perjalanan, Ong Siu Coan mendengar tentang pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Juga dia banyak mendengar tentang orang-orang kulit putih yang menyelundupkan candu dan meracuni rakyat dengan benda itu. Sejak kecil dia terlahir di antara orang-orang yang berjiwa patriot, yang menentang pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah. Maka, melihat kelakuan orang-orang kulit putih itu, dia menjadi marah sekali. Apa lagi melihat betapa madat telah mendatangkan kesengsaraan yang amat hebat bagi rakyat jelata.
Dia yang sejak kecil bercita-cita menjadi patriot, merasa tidak senang dan terutama hal ini ditujukan kepada pemerintah Mancu yang dianggapnya bersekongkol dengan orang-orang kulit putih untuk meracuni dan merusak rakyat demi untuk keuntungan mereka sendiri. Ketika dia tiba di kota Tung-kang, dia melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ciu Wan-gwe menjadi orang terpenting dan terkaya, orang yang menjadi pedagang candu dan suka berhubungan dengan para pejabat dan orang-orang kulit putih. Dia menjadi tertarik dan ingin menyelidiki. Kebetulan sekali, pada pagi hari itu dia melihat ribut-ribut ketika lewat di depan gedung Ciu Wan-gwe dan ketika dia menyelinap di antara rombongan orang yang berkerumun di luar pintu gerbang, dia melihat pula keributan yang terjadi di antara seorang pemuda gagah dengan dua orang yang agaknya merupakan petugas-petugas keamanan di gedung itu.
Maka dengan hati tertarik sekali dia mengikuti peristiwa keributan itu, di mana si pemuda gagah ingin bertemu dengan Ciu Wan-gwe dan disambut dengan ucapan-ucapan bernada menghina oleh dua orang petugas itu. Melihat peristiwa itu, segera timbul kecondongan di hati Siu Coan untuk membantu pemuda gagah itu, akan tetapi dia hanya nonton sambil tersenyum karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang nampak tenang dan berani itu tentu bukan orang sembarangan. Bukan orang sembarangan kalau sudah berani menentang Ciu Wan-gwe yang amat ditakuti oleh penduduk kota itu. Maka diapun hanya menyelinap ke depan saja untuk dapat nonton lebih jelas. Sementara itu, melihat sikap dua orang yang kasar dan menghinanya, Ci Kong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tetap tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya.
"Bukankah ji-wi hanya merupakan orang-orangnya Ciu Wan-gwe saja? Kenapa ji-wi bersikap begini kasar? Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Ciu Wan-gwe sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan ji-wi. Kalau ji-wi tak mau memanggilkan juga tidak mengapa, aku bisa masuk dan mencarinya sendiri."
"Apa? kau berani memaksa masuk?" bentak Gan Ki Bin yang bertubuh tinggi besar.
"Apa kau sudah kepingin mampus?"
"Hayaaaa, bocah petani busuk ini perlu apa dilayani?" Lok Hun menyeringai.
"Pukul saja biar dia tahu rasa. Anjing kalau tidak cepat dipukul tentu akan menggonggong terus, pukul dia biar dia lari sambil mengempit buntutnya, ha-ha!" Gan Ki Bin yang memang wataknya berangasan, mendengar kata-kata kawannya itu mengayun tangan kirinya yang besar dan berat, menampar ke arah muka Ci Kong sambil berkata,
"Pergilah, kau menjemukan kami!" Tamparan itu kuat sekali dan kalau mengenai pipi orang tentu akan membuat pipi itu bengkak, bahkan mungkin giginya akan rontok. Memang Gan Ki Bin ini memiliki tenaga yang besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, dan karena dia memiliki ilmu silat lumayan, maka gerakannya itu selain kuat, juga amat cepat.
"Wuuuttt...!" Akan tetapi pukulan itu lewat di samping muka Ci Kong karena pemuda ini dengan sedikit miringkan kepala saja sudah dapat mengelak. Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa di luar pintu gerbang banyak orang nonton dan memang dia dan kawannya sengaja membiarkan orang-orang itu nonton agar mereka melihat betapa dia dan kawannya menghajar pemuda lancang ini. Akan tetapi, tamparannya luput dan hal ini dianggap memalukan dirinya.
"Bocah kampungan, berani engkau melawanku!" Bentaknya dengan berang. Demikianlah watak orang yang mengandalkan kekuasaan untuk menekan yang bawah. Orang dupukul mengelak dianggap melawan. Maunya sih orang-orang macam Gan Ki Bin dan Lok Hun ini, kalau memukul orang lain supaya orang itu menerima saja, jangan sekali-kali mengelak atau membakang! Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi semakin marah dan kini tangan kanannya yang dikepal besar dan kuat itu menonjok! Jotosan yang amat keras meluncur ke arah dagu Ci Kong yang kalau tepat mengenai sasaran dapat membuat orang seketika roboh pingsan dengan tulang rahang retak atau patah-patah!
"Wuuuttt...!" Untuk kedua kalinya, pukulan itu luput karena dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Ci Kong. Hal ini membuat Gan Ki Bin menjadi semakin marah.
"Hemm, engkau manusia yang tidak patut dikasihani lagi!" bentaknya dan majulah dia dengan berangnya, menghujankan serangan pukulan dan tendangan. Mengalah ada batasnya, demikian pikiran Ci Kong dan melihat sebuah pukulan keras menuju ke arah dadanya, dia menyambutnya dengan sentilan jari telunjuk.
"Tukk...!" Telunjuk itu menyentil ke arah kepalan tangan dan tiba-tiba orang tinggi besar itu memekik kesakitan.
"Aduh-duh-duhh...!" Dengan tangan kirinya dia memegang dan menggosok-gosok kepalan tangan kanan yang kena disentil jari telunjuk pemuda itu karena terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menjalar melalui lengan itu dan seperti menusuk-nusuk jantung.
"Aku tidak ingin ribut dengan ji-wi, melainkan hendak bertemu dengan Ciu Wan-gwe." Ci Kong masih mencoba mengendurkan mereka dengan kata-kata. Akan tetapi kini Lok Hun yang gendut itupun sudah menjadi marah sekali melihat betapa kawannya tidak berhasil malah kesakitan dan melihat betapa wajah orang-orang yang berada di luar pintu gerbang berseri dan senyum-senyum bermunculan di antara mereka!
"Anjing ini tidak boleh diberi ampun!" Bentaknya dan tangan kanannya sudah melolos senjata payungnya yang aneh! Juga Gan Ki Bin sudah mencabut pedangnya! Kini dua orang itu menghadapi Ci Kong dengan senjata di tangan dan sikap mereka mengancam sekali!
Melihat betapa keributan itu kini memuncak dan dua orang yang mereka kenal amat galak dan kejam itu kini mencabut senjata, semua penonton merasa khawatir akan keselamatan pemuda itu. Hanya Siu Coan yang masih nonton sambil tersenyum karena dia mengenal orang pandai dan yakin bahwa biarpun bersenjata, dua orang galak itu tidak akan mampu manandingi pemuda tenang itu. Yang menarik perhatian Siu Coan adalah peti kecil yang dikempit di tangan kiri si gendut. Dia dapat menduga bahwa peti kecil itu tentu berisi benda yang amat berharga dan timbul niatnya untuk memiliki peti kecil itu. Dia mulai sekarang harus mengumpulkan harta kekayaan karena dia maklum bahwa perjuangan yang dicita-citakannya melawan penjajah membutuhkan banyak tenaga pasukan dan untuk itu diperlukan sekali harta untuk pembiayaannya.
"Hemm, kalian mencari penyakit sendiri," kata Ci Kong, kini maklum bahwa sikap lembut dan damai tidak mungkin dapat mempengaruhi dua orang galak ini. Diapun bersiap untuk menghajar dua orang ini agar jera, agar lain kali tidak lagi bersikap sewenang-wenang menghina orang lain. Dua orang pengawal itu tadinya mengharapkan pemuda itu ketakutan agar mereka dapat menghinanya untuk menebus kekalahan tadi. Akan tetapi melihat sikap Ci Kong malah menantang, keduanya segera menggerakkan senjata dengan niat membunuh!
Gan Kin Bin sudah menggerakkan pedangnya membacok ke arah kepala Ci Kong, sedangkan dari sebelah kiri, Lok Hun menggerakkan senjata payungnya yang menyembunyikan pedang sebagai gagang itu untuk menusuk perut pemuda itu! Serangan maut yang dilakukan hampir berbareng. Akan tetapi, betapapun lihainya, tentu saja dua orang kasar ini sama sekali bukan tandingan pemuda yang sudah digembleng oleh Siauw-bin-hud sampai matang itu. Biarpun diserang dengan pedang dan payung pedang, Ci Kong tidak menjadi gentar atau gugup. Sikapnya masih tenang saja, akan tetapi ketika kedua senjata itu sudah dekat menyambar tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya. Dia telah mempergunakan ginkang yang amat hebat dan tahu-tahu dua orang pengeroyok yang kehilangan lawan itu,
Sebelum mereka sempat menarik kembali senjata mereka, mengeluarkan pekik kaget dan disusul suara berkerontangan karena senjata mereka terlepas dari tangan yang tiba-tiba saja menjadi lemas kehilangan tenaga ketika Ci Kong menampar pundak kanan mereka. Ci Kong yang memang ingin memberi hajaran kepada dua orang kasar itu, melanjutkan dengan tamparan pada leher Gan Ki Bin yang kembali mengeluarkan pekik kesakitan dan tubuhnya terpelanting ke atas lantai. Lok Hun juga terkejut, akan tetapi tahu-tahu lututnya telah ditendang dan diapun roboh menelungkup, peti kecil yang dikempitnya tadi terjatuh. Dia teringat akan benda itu dan dengan nekat dia lalu menubruk petinya. Gan Ki Bin sudah bangkit lagi, menubruk dan dia disambut dengan sebuah tamparan yang membuat dia roboh kembali dengan kepala menghantam tihang.
"Brukkk...!" Tiba-tiba semua orang menjadi kaget, termasuk Ci Kong karena seperti seekor burung saja, dari luar pintu gerbang melayang tubuh seorang gadis cantik. Dari luar pintu gerbang, tubuh itu melayang seperti terbang melampaui kepala para penonton di depan pintu, dan kini tubuh itu langsung menerjang Ci Kong dengan bentakan nyaring dan halus tadi. Ci Kong masih mencengkeram punggung baju Lok Hun dengan tangan kanan, dan melihat serangan yang demikian aneh dan cepat, diapun menyambut dengan tonjokan tangan kirinya.
Gadis yang cantik jelita dengan pakaian mewah itu cepat mengembangkan kedua lengannya, yang kiri memukul ke arah dada dengan tangan terbuka, sedangkan tangan kanannya siap menotok atau menangkis. Sekali ini Ci Kong terkejut. Gadis itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, dan itu saja sudah membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang lihai bukan main. Dan dia terpesona oleh kecantikan yang menyolok itu. Dalam keadaan tubuh di udara, gadis itu kini malah mengancamnya dengan serangan tangan kiri ke arah dada, bukan sembarangan serangan karena dari tangan kiri gadis itu keluar tenaga yang mendatangkan angin bercuitan! Terpaksa dia melemparkan tubuh Lok Hun ke kanan.
"Bresss...!" Dengan kerasnya tubuh si gendut itu menabrak dinding dan diapun terkulai lemas, pingsan seperti temannya yang juga sudah setengah mampus itu.
"Dukkk!" Dua tenaga sinkang yang sama kuatnya, yang disalurkan melalui tangan masing-masing, bertemu di udara dan akibatnya, tubuh dara itu terpental sampai jauh ke belakang di mana secara indah sekali ia berjungkir balik dan turun ke atas tanah dengan tegak. Ci Kong sendiri merasa betapa tangannya tergetar hebat oleh pertemuan tenaga tadi dan mengertilah dia bahwa gadis itu benar-benar lihai bukan main. Di lain pihak, gadis itupun terkejut dan maklum bahwa pemuda yang mampu menghajar dua orang kepercayaan Ayahnya sampai jatuh pingsan ini adalah seorang yang amat lihai maka iapun mengamati dengan penuh perhatian.
"Keparat, berani kau mengacau rumah kami! Siapa kau ?" bentak gadis itu yang ternyata adalah Ciu Kui Eng. Sebagai murid datuk sakti Tee-tok yang sudah tamat belajar, tentu saja ia lihai sekali dan tingkat kepandaiannya tidak berada terlalu jauh di bawah tingkat Ci Kong. Ci Kong juga merasa heran. Kiranya gadis cantik yang amat lihai ini masih keluarga Ciu Wan-gwe dan tiba-tiba saja teringatlah dia akan peristiwa duabelas atau tigabelas tahun yang lalu.
Ketika Ayahnya pergi memenuhi panggilan Ciu Wan-gwe untuk membuatkan tulisan indah, dia menyusul dan melihat Ayahnya dihajar oleh Ciu Wan-gwe dan seorang perwira. Ayahnya itu agaknya akan dibunuh dan mungkin dia sendiripun akan dibunuh oleh perwira itu kalau saja tidak muncul seorang anak perempuan yang dengan beraninya menentang hartawan yang menjadi Ayahnya itu untuk melepaskan Ayahnya dan dia sendiri! Dan gadis cilik itu dahulu mencelanya karena dia berlutut mintakan ampun untuk Ayahnya. Mengertilah dia bahwa agaknya inilah gadis cilik yang sudah menunjukkan sikap hebat dahulu itu, kini telah menjadi seorang dara yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa. Maka, wajah Ci Kong menjadi merah dan diapun cepat menjura.
"Maaf, aku datang bukan untuk mengacau. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ciu Wan-gwe, akan tetapi dua orang ini selain melarangku, juga menghina bahkan menyerangku." Terdengar suara hiruk-pikuk dan bermunculanlah pengawal-pengawal dari depan dan belakang yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu sudah mencabut senjata dan mengurung pendapa gedung itu. Melihat datangnya banyak pengawal, para penonton di depan pintu gerbang menjadi panik dan tadipun para pengawal sudah mendorong mereka ke kanan kiri ketika sebagian dari mereka datang dari luar. Para penonton itu menjauhkan diri, masih nonton akan tetapi dari jarak jauh.
"Bohong! Dia bohong, nona!" tiba-tiba terdengar si gendut Lok Hun berseru. Si gendut ini hidungnya berdarah dan dahinya membenjol sebagai akibat menubruk dinding tadi dan kini dia sudah siuman dan begitu sadar tadi dia mencari-cari peti kecil terisi madat murni. Akan tetapi peti kecil itu telah lenyap. Karena itu, dia cepat membantah ketika Ci Kong membela diri di depan nona majikannya.
"Dia datang tentu untuk merampas peti kecil berisi madat murni yang kami bawa itu!" Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia tiba-tiba memandang penuh perhatian kepada pemuda ini, seorang pemuda petani akan tetapi yang ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Dan anehnya, ia merasa seperti pernah mengenal pemuda ini, namun lupa lagi entah kapan dan di mana.
"Benarkah engkau datang hanya untuk mencuri sepeti kecil madat?" bentaknya kepada Ci Kong. Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku paling benci madat, untuk apa aku merampas madat?" Sementara itu, Lok Hun yang kehilangan madat itu menjadi khawatir sekali, lalu dia keluar bertanya-tanya. Di antara penonton ada yang melihat bahwa peti kecil itu tadi dilarikan seorang pemuda yang sebaya dengan Ci Kong. Mendengar ini, Lok Hun berlari memasuki pintu gerbang di mana Ci Kong masih dihadapi Kui Eng dan dikurung oleh para pengawal.
"Nona, benar saja! Dia sengaja melawan kami dan seorang temannya telah mengambil madat itu dan dilarikan. Keroyok dia! Tangkap dan paksa dia mengaku di mana candu itu disembunyikan temannya!" Teriakan ini menggerakkan para pengawal yang segera mengeroyok Ci Kong. Mereka menggunakan golok dan pedang, dan bagaikan hujan senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ke arah Ci Kong. Karena merasa tidak perlu lagi berdebat, Ci Kong mengamuk. Kaki tangannya bergerak seperti angin cepatnya dan sebentar saja, enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri. Melihat ini, Kui Eng merasa kagum dan tertarik, maka iapun cepat maju sendiri, menyerang pemuda itu dengan kedua tangan kosong.
Akan tetapi dua tangan kosongnya itu jauh lebih lihai dari pada belasan golok dan pedang para pengawal. Kedua tangan bercuitan seperti melengking-lengking ketika menyambar dan tubuh dara itupun bergerak secepat burung walet menyambar-nyambar. Ci Kong terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya menghadapi serangan-serangan gadis ini yang benar-benar amat berbahaya, sedangkan serangan para pengawal yang mengeroyoknya cukup dihalaunya kalau sudah dekat saja. Terjadilah pengeroyokan yang seru, di mana Ci Kong yang berkelahi dengan Kui Eng itu dikeroyok dan dikurung dengan ketat. Bahkan kini datang sepasukan keamanan kota yang telah diberi tahu dan pemuda itu dikurung oleh musuh yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya.
Andaikata di situ tidak ada Kui Eng, agaknya dengan mudah Ci Kong akan merobohkan seluruh pengeroyoknya. Akan tetapi, kelihatan Kui Eng membuat dia terdesak dan terhadap gadis puteri Ciu Wan-gwe ini Ci Kong tidak sampai hati untuk menggunakan tangan maut! Dia masih teringat bahwa bagaimanapun juga, dapat dikatakan bahwa gadis ini pernah menyelamatkan nyawanya dan nyawa Ayahnya di gedung ini duabelas tahun yang lalu. Sementara itu, Ong Siu Coan yang melarikan peti kecil, setelah tiba di sebuah parit yang sunyi, lalu membuka peti dan memeriksa isinya. Tadipun dia melihat peti itu terbuka dan isinya benda hitam-hitam yang tidak dikenalnya. Kini dia memeriksanya dan bukan main kecewanya ketika mendapat kenyataan bahwa peti itu tidak terisi benda berharga seperti yang diduganya, melainkan benda yang diduganya tentu candu yang dihebohkan itu.
Dia pernah mendengar tentang madat, maka walaupun belum pernah melihat sendiri, dia dapat menduga dari baunya bahwa ini tentu madat. Dia sudah hendak membuang peti itu ketika nampak tumpukan tahi kering di parit itu. Dia tersenyum nakal, lalu sebagian dari candu itu dibuangnya di parit dan sebagai gantinya, dia menggunakan kayu untuk mengambil kotoran itu dan mencampurnya dengan sisa madat. Karena benda itu warnanya hitam, maka kotoran itupun dapat bercampur dan tidak kelihatan lagi. Peti kecil itu masih penuh madat, hanya bedanya, madatnya kini tidak murni lagi bahkan telah bercampur tahi kering! Ketika Siu Coan kembali ke tempat tadi, dia terkejut melihat betapa pemuda perkasa itu telah dikurung oleh puluhan orang pengawal.
Dan perkelahian sengit dan seru masih terjadi antara pemuda itu dengan gadis cantik yang tadi datang menyerang. Siu Coan meloncat ke depan, melemparkan peti kecil ke tempat semula dan tanpa diminta diapun mengamuk. Tubuh para pengeroyok bergelimpangan seperti sekumpulan daun diamuk badai! Dan akibat amukannya memang hebat dan menggetarkan hati para pengeroyok. Berbeda dengan Ci Kong yang merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau mendatangkan luka parah, semua orang yang roboh oleh hantaman Siu Coan ini tentu roboh untuk tidak bangun kembali karena mereka tewas oleh pukulan-pukulan maut yang disebar Siu Coan! Tentu saja para pengawal menjadi gentar dan kepungan itupun menjadi kocar-kacir.
"Sobat yang gagah, jangan takut aku membantumu!" Siu Coan berseru dengan gembira ketika dia berhasil mendekati pemuda itu dan diapun menubruk ke depan menyerang Kui Eng.
Gadis ini terkejut. Kiranya pemuda ke dua yang baru datang ini tidak kalah lihai dibandingkan pemuda pertama. Ketika ia menangkis pukulan pemuda jangkung itu, lengannya terasa dingin sampai meresap ke tulang. Dara inipun maklum bahwa kepandaian dua orang pemuda ini sungguh hebat dan kalau ia sendiri yang melawan mereka, akan sukar memperoleh kemenangan. Melihat munculnya seorang pemuda bertubuh jangkung yang membantunya dan membunuh banyak pengawal, Ci Kong terkejut dan tidak senang. Pemuda yang datang ini memang gagah perkasa, akan tetapi hatinya terlalu kejam, menyebar maut seperti itu, pikirnya. Diapun diam saja tidak menjawab, hanya mengambil keputusan untuk segera pergi saja agar pemuda jangkung itu tidak membunuh orang lebih banyak lagi.
"Dar-darr...!!" Siu Coan dan Ci Kong terkejut sekali dan cepat mereka menggunakan ginkang untuk berloncatan mengelak ketika terdengar letusan-letusan itu. Mereka menengok dan kiranya dari dalam gedung itu keluar seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian mewah dan di tangan kanan orang ini nampak sepucuk pistol yang masih mengeluarkan asap. Orang itu membidik-bidikkan pistolnya, mencari-cari dua orang pemuda itu yang dengan cerdik telah berloncatan di antara para pengawal sehingga sukarlah bagi orang itu untuk menembak lagi.
"Ayah, jangan...!" Kui Eng, gadis itu berteriak karena ia khawatir kalau-kalau peluru pistol Ayahnya nyasar ke mana-mana. Sementara itu Siu Coan mengajak Ci Kong untuk pergi dari tempat berbahaya itu.
"Sobat, mari kita pergi. Tunggu apa lagi?" teriaknya. Ci Kong sudah mendengar pula dari susiok-couwnya tentang senjata api yang amat berbahaya itu.
Dia tidak gentar menghadapi senjata itu, akan tetapi di situ terdapat gadis yang lihai itu dan banyak pengawal, kini ditambah lagi tuan rumah yang pandai mempergunakan senjata api. Maka diapun mengikuti Siu Coan yang sudah melompat pergi keluar dari halaman gedung Ciu Wan-gwe. Setelah berada jauh dari kota Tung-kang, di kaki bukit yang sunyi, barulah mereka berhenti dan ternyata tidak ada yang mengejar mereka lagi. Siu Coan berhenti dan memandang kepada Ci Kong penuh perhatian. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi pemuda yang nampaknya seperti seorang petani ini mampu mengimbangi kecepatan larinya. Hal itu membuat dia penasaran dan dia mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya bergerak cepat meluncur seperti terbang saja. Akan tetapi, pemuda itu tetap saja berada di sampingnya!
"Sobat, engkau sungguh lihai sekali. Akan tetapi kalau perkelahian itu dilanjutkan, salah-salah kita bisa menjadi makanan peluru panas. Senjata api itu amat berbahaya, apa lagi di tangan morang yang tidak terlatih, tembakannya bisa ngawur sehingga kalau dielakkan malah terkena. Dan gadis itupun lihai bukan main!" Ci Kong juga memandang pemuda tinggi besar itu dengan penuh perhatian. Jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang tangguh, akan tetapi pendekar ini terlalu kejam dan mudah membunuh orang. Teringat betapa pemuda di depannya ini tadi telah membunuh banyak orang, mungkin sampai belasan orang, diam-diam dia bergidik dan tidak menyetujui perbuatan itu.
"Sobat yang gagah perkasa, kenapa engkau tadi membunuhi orang? Prajurit-prajurit itu hanya petugas, kenapa kau bunuhi mereka yang tidak bersalah itu?" tegurnya dengan suara penuh penyesalan. Ong Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang dengan heran.
"Kenapa tidak? Kalau bisa, aku bahkan akan membunuh semua orang tadi! Makin banyak dapat membunuh pasukan pemerintah lebih baik. Bukankah pasukan yang datang belakangan tadi adalah pasukan keamanan, antek-antek pemerintah penjajah? Aku ingin membasmi penjajah, aku ingin mengusir penjajah Mancu dari tanah air kita!"
Tiba-tiba saja pemuda tinggi besar itu mengepal tinju, matanya bersinar-sinar dan sikapnya penuh semangat. Ci Kong sudah banyak mendengar tentang para pendekar yang berjiwa patriot, yang ingin menentang dan mengusir penjajah Mancu dan dia menduga bahwa tentu di depannya ini seorang di antara para pendekar seperti itu. Tiba-tiba Siu Coan memandang tajam kepadanya seperti teringat akan sesuatu dan pemuda tinggi besar itu lalu memegang pergelangan tangannya. Ci Kong cepat mengerahkan tenaganya karena tangan yang mencengkeram itu kuat sekali. Bisa patah-patah tulang lengannya kalau dia tidak mengerahkan tenaga untuk melindungi lengannya.
"Kau...! Ah, kau murid Hwesio gendut Siauw-bin-hud...!" tiba-tiba pemuda jangkung besar itu berseru nyaring. Ci Kong juga teringat sekarang, akan tetapi dia bersikap tenang-tenang saja dan menjawab,
"Bukan murid beliau, melainkan cucu murid. Engkau adalah murid Thian-tok, dan engkau telah membantuku tadi." Ci Kong mengingatkan, merasa aneh juga karena yang membantunya keluar dari kepungan pasukan tadi adalah murid Thian-tok, seorang datuk sesat, seorang iblis di antara Empat Racun Dunia yang sudah amat terkenal kejahatan mereka.
"Aku lupa bertanya! kau siapakah? Apakah engkau orang yang pro kepada pemerintah Mancu?" Tiba-tiba sinar matanya menjadi bengis sekali, mendekati kebuasan sinar mata seekor harimau.
"Engkau bukan memusuhi pemerintah, melainkan memusuhi hartawan itu? Kenapa? Siapa engkau?" Ci Kong memandang ke arah lengannya yang dicengkeram, sikapnya tenang dan dengan lembut dia berkata,
"Bukan begini caranya orang bicara dengan sikap bersahabat," katanya. Siu Coan melepaskan cengkeramannya dan tersenyum.
"Engkau memang hebat. Nah, mari kita bicara, sebelumnya lebih baik kita saling berkenalan. Namaku Ong Siu Coan, dan engkau tentu sudah dapat menduga bahwa aku membenci penjajah Mancu. Sekali waktu aku akan menyusun pasukan untuk menghantamnya dan mengusirnya dari tanah air. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa yang kau lakukan tadi di gedung hartawan itu?"
"Namaku Tan Ci Kong, seorang pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Di Tung-kang aku mendengar tentang Ciu Lok Tai yang menjadi pedagang madat. Aku melihat kesengsaraan rakyat oleh madat yang terkutuk itu, maka aku ingin menegur dan memperingatkan Ciu Lok Tai agar dia menghentikan pengedaran madat yang meracuni rakyat jelata."
"Ha, engkau seorang pendekar pembela rakyat?" Ci Kong menggeleng.
"Aku tidak berani memakai sebutan pendekar, akan tetapi aku akan selalu membela yang lemah tertindas, membela kebenaran dan menentang kejahatan, di manapun aku berada. Untuk itulah bertahun-tahun aku mempelajari ilmu silat." Ong Siu Coan mengangguk-angguk, lalu tersenyum mengejek.
"Engkau hanya mengurus soal-soal kecil. Apa artinya tindakan orang-orang sepertimu ini yang disebut pendekar? Di negara ini entah terdapat berapa puluh ribu hartawan pedagang candu seperti she Ciu itu. Bagaimana engkau akan dapat memperingatkan mereka semua? Pula, apakah kau yakin mereka akan mentaati dan mundur? Dan berapa puluh laksa lagi mereka yang sudah kecanduan madat. Apakah engkau akan mendatangi mereka satu demi satu untuk dibujuk agar jangan menghisap madat lagi, dan apakah mereka akan mau mentaatimu? Ah, sobat yang gagah, bukan begitu caranya kalau mau menolong rakyat."
"Lalu bagaimana?"
"Marilah, bantu aku membentuk pasukan. Kita tentang pemerintah penjajah, karena pemerintah penjajah yang bersalah, penjajah Mancu yang mendatangkan orang-orang kulit putih itu, yang mendatangkan candu. Kita basmi penjajah Mancu dan sekaligus membasmi orang-orang kulit putih, maka candu tidak akan masuk ke negara kita dan rakyat akan terbebas dari pengaruh racun itu. Bukan dengan cara menentangnya satu demi satu!" Ci Kong mendengarkan denga hati penuh kagum. Orang ini memiliki cita-cita yang amat besar dan muluk, dan bagaimanapun juga dia dapat melihat kebenaran ucapan itu, dapat menghormati cita-cita itu. Akan tetapi, urusan pemberontakan tidak menarik hatinya.
"Dalam hal ini, jalan hidup kita bersimpang, kawan. Aku belum pernah berpikir tentang perjuangan dan pemberontakan, akan tetapi aku hanya ingin mengulurkan tangan kepada mereka yang tertindas dan menentang si penindas dan mereka yang melakukan kejahatan. Akan tetapi, aku berjanji bahwa kalau ada kesempatan kita saling bertemu, aku tentu akan membantumu." Ong Siu Coan menarik napas panjang.
"Sayang, tenagamu amat berharga untuk suatu perjuangan. Akan tetapi, yang dipentingkan dalam perjuangan melawan penjajah adalah semangat, bukan sekedar ilmu berkelahi. Baiklah, dan apakah yang kau lakukan tadi di gedung hartawan itu?"
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya akan memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu."
"Hanya itu?"
"Hanya itu," kata Ci Kong sambil meraba-raba hati sendiri apakah ada terbawa rasa dendam mengingat betapa Ayahnya dahulu pernah dipukuli di rumah hartawan Ciu, akan tetapi dengan lega dia melihat kenyataan bahwa dendam itu tidak ada pada hatinya. Ong Siu Coan tertawa.
"Ha-ha-ha, semua jerih payahmu itu tiada gunanya. Kukira apa yang kulakukan tadi lebih berguna."
"Membunuhi pasukan itu?"
"Bukan hanya itu. Tadi ketika engkau berkelahi, peti kecil yang dipegang si gendut terjatuh. Aku mengambil peti kecil itu dan tahukah engkau apa isinya?" Ci Kong menggeleng.
"Isinya candu murni! Dan aku membuang setengahnya, lalu kuganti dengan tahi kering yang kuaduk menjadi satu dengan candu. Ha-ha, ingin aku melihat muka orang yang menghisap candu itu sekarang, ha-ha!" Ci Kong juga tertawa, akan tetapi dia memandang heran. Orang ini bercita-cita besar dan muluk, akan tetapi apa yang dilakukannya itu, mencampuri candu dengan tahi kering, sungguh kekanak-kanakan sekali. Dan mengingat bahwa orang gagah ini adalah murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok, diam-diam diapun menjadi bingung sendiri. Murid datuk sesat menjadi patriot?
"Sudahlah, sobat Ong Siu Coan. Aku akan pergi sekarang dan selamat tinggal. Mudah-mudahan cita-citamu yang tinggi itu akan dapat berhasil."
"Tentu saja berhasil. Eh, Tan Ci Kong, apakah engkau diutus oleh gurumu yang gendut itu untuk mencari Giok-liong-kiam?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan Ci Kong, akan tetapi dengan tenang dia menggeleng.
"Tidak, akan tertapi kalau aku bertemu dengan saudara seperguruanmu itu, tentu akan kucoba untuk merampas kembali Giok-liong-kiam untuk dikembalikan kepada yang berhak." Ong Siu Coan mengangguk-angguk. Sejenak timbul keinginan hatinya untuk menyerang pemuda murid Siauw-bin-hud ini, akan tetapi keinginan ini ditekannya. Tidak perlu menanam permusuhan dengan pemuda ini, dan diapun belum yakin benar akan dapat mengalahkannya.
"Hemm, biarlah di lain kesempatan saja aku akan menguji kelihaianmu. Aku masih mempunyai urusan yang lebih besar. Selamat tinggal!" Siu Coan lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan Ci Kong. Pemuda ini lalu melanjutkan pula perjalanannya, menuju Kanton. Apa yang dikatakan Ong Siu Coan kepada Ci Kong, yaitu bahwa perbuatannya mencampur madat dengan tahi kering itu lebih penting dari pada tindakan Ci Kong, memang terbukti. Perbuatannya yang nakal kekanak-kanakan itu telah menimbulkan akibat yang amat hebat terhadap keluarga hartawan Ciu Lok Tai. Dan juga ketika dia mengatakan bahwa dia ingin sekali melihat muka orang yang menghisap madat bercampur kotoran itu, andaikata dia benar-benar menyaksikan,
Tentu dia akan merasa puas dan geli karena yang menjadi korban kenakalannya justeru adalah seorang pembesar Mancu yang dibencinya! Seperti kita ketahui, dua orang kepercayaan Ciu Wan-gwe, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun, sedang berangkat meninggalkan rumah gedung hartawan itu untuk melaksanakan tugas mengantarkan sepeti kecil madat kepada wakil kepala daerah Kanton yang oleh Ciu Wan-gwe diharapkan untuk dapat melindunginya dan membantu meredakan kemarahan Wang Taijin dan Ma-Ciangkun yang merasa terhina dalam pesta itu oleh Kui Eng. Dan baru saja mereka muncul dari dalam gedung pagi itu, mereka berjumpa dengan Ci Kong sehingga terjadilah keributan. Setelah keributan itu selesai dengan larinya dua orang pemuda yang mengacau itu, mereka berdua menemukan kembali peti candu.
Giranglah hati mereka melihat bahwa peti itu masih penuh. Bergegas mereka berganti pakaian lalu melaksanakan tugas yang tertunda itu, naik kuda menuju ke Kanton. Ketika Gan Ki Bin dan Lok Hun tiba di rumah gedung Lai-taijin, yaitu wakil kepala daerah Kanton, mereka disambut dengan kegembiraan besar oleh Lai-taijin. Pembesar ini adalah seorang pecandu yang sudah tidak ketolongan lagi, sudah mendarah daging. Agaknya racun madat sudah menyusup sampai ke tulang sumsum, sehingga sehari saja tidak mengisap madat, dia akan tersiksa hebat. Dia sudah kehabisan madat yang baik, dan sudah berhari-hari dia terpaksa mengisap madat yang tidak murni lagi, kurang memuaskan. Oleh karena itu, melihat kedatangan dua orang utusan Ciu Wan-gwe yang membawa sepeti kecil madat murni, kegirangannya memuncak.
"Cepat ambilkan pipaku, akan kunikmati sekarang juga, ha-ha!" katanya dan para pembantunya cepat mengambilkan pipa madat yang segera diisi dengan tembakau yang dicampuri madat murni yang diambil dari peti kecil itu. Dua orang utusan Ciu Wan-gwe masih berlutut di situ.
Mereka berdua juga merasa girang sekali, dengan wajah berseri mereka melihat betapa pembesar itu bergembira dan segera mencoba madat murni yang mereka bawa. Tak salah lagi, sebentar lagi mereka tentu akan keluar dengan saku berat dan sarat oleh hadiah-hadiah berharga! Jari-jari tangan orang yang ketagihan madat tak dapat bergerak tetap, melainkan agak gemetar, dan kedua tangan wakil kepala daerah itupun gemetar ketika dia sendiri mencampurkan madat murni dari peti itu dengan tembakau, lalu dimasukkanya ke dalam mulut pipanya. Mencampur tembakau dengan madat, lalu memasukkan tembakau madat itu ke dalam pipa, semua ini dilakukan dengan jari-jari tangan yang terlatih dan terbiasa, dan di dalam pekerjaan inipun terkandung kenikmatan besar! Terdapat keluwesan dan seolah-olah mengandung "seni" tersendiri.
Memasukkan tembakau madat ke mulut pipa, tidak boleh terlalu padat karena hal itu akan menyukarkan penyedotan dan terbakarnya ramuan itu kurang lancar, juga tidak boleh terlalu sedikit sehingga sudah habis terbakar sebelum isapan penuh memasuki paru-paru. Kemudian menyalakan tembakau itu dengan mendekatkan mulut pipa pada api lilin yang tersedia. Lilinnya juga terbuat dari api sumbu lemak, tidak berbau malam. Semua gerakan ini disertai bayangan betapa akan nikmat rasanya kalau asap candu itu memasuki paru-paru. Hangat-hangat menyusup melalui kerongkongan, memasuki paru-paru dan dari dada yang terasa hangat itu akan menjalar rasa nikmat ke seluruh tubuh. Kalau hawa itu sudah memasuki kepala, maka tubuh akan terasa ringan melayang-layang, pikiran akan menjadi kosong dan bebas seperti seekor burung dara yang terbang di angkasa,
Panca indera akan menjadi demikian tajam dan peka sehingga warna-warna akan nampak lebih cerah di mata, suara-suara akan terdengar lebih merdu di telinga, dan hidung akan mencium keharuman dan kesedapan suasana yang biasanya tidak pernah terasa. Sorga di dunia! Dua orang utusan dari Tung-kang itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengikuti semua gerak-gerik pembesar itu yang duduk di kursi. Dengan kedua mata dipejamkan, akhirnya Lai-taijin membakar mulut pipa pada api kecil di atas meja, lalu disedotnya pipa itu. Tembakau madat terbakar, nampak bara api pada mulut pipa itu dan tercium bau asap yang aneh. Lai-taijin menyedot terus, sekuatnya karena dia menginginkan agar semua tembakau itu cepat terbakar dan asapnya memenuhi rongga dadanya.
"Eh-ehh... okhh... ugh-ugh-uuggghhh...!" Tiba-tiba pembesar itu tersentak, duduknya tegak dan matanya mendelik, terbatuk-batuk dan tangan kirinya mencekik leher. Asap yang keluar dari mulutnya berbau aneh dan memuakkan, dan pembesar itu terus batuk-batuk sampai kemudian muntah-muntah. Tentu saja para pengawal menjadi terkejut sekali, juga dua orang utusan itu memandang dengan muka pucat.
"Pranggg...!" Cawan terisi minuman itupun terpukul oleh tangan pembesar itu dan jatuh ke atas lantai.
"Prakkk...!" Pipanya dibantingnya dan pembesar itu dengan muka merah seperti udang direbus dan mata melotot, mulut masih mengeluarkan liur, segera memeriksa isi peti kecil. Merabanya, lalu menciumnya dan kembali dia muntah-muntah.
"Keparat! Jahanam busuk! Tangkap mereka, cambuk sampai mereka mengaku bagaimana mereka berani memberi madat bercampur kotoran busuk ini kepadaku!" perintahnya. Kasihan sekali dua orang utusan itu. Dengan tubuh menggigil mereka minta ampun akan tetapi para pengawal telah menyeret mereka dan merekapun menjadi korban cambukan sampai kulit belakang tubuh mereka pecah-pecah dan mereka roboh pingsan saking tak kuat menahan nyeri.
"Brakk...!" Lai Taijin menggebrak meja.
"Keparat Ciu Lok Tai! Berani sekali menghinaku dengan mengirim madat bercampur kotoran!" Peristiwa itu menimbulkan akibat yang amat hebat, sama sekali tidak disangka oleh Ong Siu Coan sendiri yang membuat ulah. Karena merasa amat malu, marah dan menganggap bahwa hartawan Ciu sengaja menghinanya, Lai Taijin lalu pergi menghadap Wang Taijin yang menjadi atasannya. Tentu saja dia tidak bicara tentang peristiwa candu kiriman itu, melainkan bicara tentang Ciu Wan-gwe yang dianggap kurang ajar berani menghina para pembesar dan pejabat Kanton.
"Kalau aku tidak ingat bahwa dia telah banyak melakukan kebaikan terhadap kita, tentu aku sudah mencapnya sebagai pemberontak dan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukumnya," demikian Wang Taijin berkata setelah mendengar pancingan wakilnya tentang peristiwa di gedung Ciu Wan-gwe itu.
"Akupun mendapatkan malu besar sekali ketika kepala pengawalku dipermainkan oleh anak perempuannya. Sungguh keterlaluan sekali gadis itu."
"Akan tetapi, walaupun dia telah banyak melakukan kebaikan terhadap kita, sebaliknya kalau tidak ada kita yang mendukung, apakah dia mampu menjadi pedagang madat yang memonopoli pemasukan madat dari orang-orang kulit putih? Agaknya, yang dia berikan kepada kita belum ada seperseratus keuntungan yang didapatkannya karena dukungan kita," bantah Lai Taijin.
"Orang seperti dia itu patut dihajar!"
"Kuharap engkau dapat bersabar," kata Wang Taijin.
"Hartawan Ciu mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa sebab tidak dapat kita bertindak apa-apa terhadap dia karena di Kota Rajapun dia mempunyai hubungan. Sebaiknya kita mulai sekarang waspada dan mencari kesempatan baik untuk membalas penghinaannya."
"Harap taijin tidak usah khawatir. Saya akan menghubungi komandan Ma Cek Lung. Biarpun tadinya Ma-Ciangkun merupakan sahabat baik Ciu Wan-gwe, akan tetapi peristiwa penghinaan terhadap dirinya di depan umum dalam pesta itu tentu membuat Ma-Ciangkun malu dan tentu dia berpihak kepada kita."
🖐
Demikianlah, Lai Taijin yang merasa sakit hati sekali itu mulai membuat persekutuan dengan Wang Taijin dan Ma-Ciangkun untuk menanti kesempatan baik agar mereka dapat membalas dendam terhadap Ciu Wan-gwe yang mereka anggap telah melakukan penghinaan besar terhadap diri mereka. Dan kesempatan itupun tidak lama kemudian tibalah! Pada waktu itu, madat telah tersebar luas dan mencengkeram makin banyak korban di antara rakyat, juga menyusup ke Kota Raja dan mempengaruhi para pembesar. Akan tetapi, yang paling parah keadaannya adalah daerah Kanton, di mana orang-orang kulit putih berada dan kota ini merupakan sarang mereka, merupakan sumber penyebaran candu.
Bukan hanya mempengaruhi badan, akan tetapi juga dengan adanya candu, para pembesar berkomplot dengan para pedagang candu yang amat menguntungkan itu. Para pejabat menerima sogokan, para pedagang candu menumpuk keuntungan besar, dan rakyat yang menjadi korban. Hal ini membuat rakyat menjadi semakin gelisah. Kekayaan dikuras, ditukar dengan candu yang makin banyak dibutuhkan orang. Para tuan tanah menekan ke bawah dan rakyat petani yang dicekik agar menghasilkan uang lebih banyak. Madat memang merupakan racun yang amat berbahaya. Akibatnya bukan hanya merusak tubuh, akan tetapi juga merusak watak dan kepribadian bangsa. Para pembesar menjadi korup, penyogokan terjadi di mana-mana. Orang yang sudah dicengkeram racun madat, sukar untuk dapat pulih kembali.
Dan madat merupakan satu-satunya kebutuhan mereka karena benda inilah yang dapat membuat mereka seolah-olah merasakan sorga selagi hidup di dunia. Kalau orang sedang menghisap madat, asap madat itu membuat tubuh melayang-layang rasanya, segala kekhawatiran, segala kedukaan, segala macam penderitaan batinpun lenyaplah. Batin menjadi kosong dan bebas, seperti gelembung sabun yang indah melayang-layang di udara, dan perasaan kosong dan bebas ini mendatangkan kenikmatan yang luar biasa, mendatangkan kebahagiaan yang selama ini didambakan orang. Racun madat itu sesungguhnya hanya memabokkan orang. Hanya membuat penghisapnya mabok, lupa segala dan dalam keadaan batin kosong memang orang dapat merasakan kebebasan dan kebebasan batin inilah pangkal rasa bahagia itu.
Bebas dari segala macam perasaan takut, iri, marah, senang, susah dan sebagainya lagi. Akan tetapi, kebebasan yang diciptakan oleh pengaruh madat ini hanyalah sementara saja. Keburukannya jauh lebih banyak dari pada kebaikan yang diberikannya. Karena badan dan batin menjadi kecanduan, kalau tidak diberi madat, tersiksalah badan dan batin itu, bahkan bisa membawa kematian mengerikan. Kebebasan macam itu hanyalah kebebasan buatan, yang diciptakan karena keadaan mabok dan lupa diri. Keadaan yang kacau ini terasa sampai ke Kota Raja dan sampai pula ke dalam istana. Para penasihat Kaisar Tao Kuang cepat menghadap kaisar dan melaporkan tentang keadaan yang amat parah itu.
"Menurut penyelidikan hamba, rakyat sudah menjadi gelisah sekali, para pejabat kehilangan kesetiaan mereka dan mudah digosok oleh para pedagang. Kalau dibiarkan berlarutlarut, hamba khawatir kalau pemberontakan di antara rakyat makin menjadi-jadi. Pula, harta kekayaan rakyat akhirnya akan dikuras habis oleh orang-orang kulit putih, ditukar dengan madat yang hanya mendatangkan malapetaka."
Demikian antara lain para menteri itu melapor dan menasihati kaisar. Setelah mendengarkan banyak peringatan dan nasihat para menterinya, akhirnya Kaisar Tao Kuang mengambil keputusan yang tegas. Keputusan yang kemudian terkenal sekali dalam sejarah sebagai permulaan perang yang dinamakan Perang Madat. Kaisar Tao Kuang mengangkat seorang jenderal yang bernama Lin Ce Shu sebagai seorang penguasa, seorang Gubernur untuk membawa pasukan besar pergi ke Kanton dan bertindak terhadap pengedar candu yang memang tadinya sudah dilarang itu. Lin Ce Shu adalah seorang pembesar yang paling benci dengan perdagangan candu yang dimasukkan oleh para pedagang kulit putih.
Oleh karena itu, begitu menerima kekuasaan, dia bergerak cepat. Dikerahkannya pasukan besar yang secara kilat dan serentak tanpa ada kebocoran, menuju ke Kanton! Gedung itu bagus sekali, coraknya masih merupakan gedung hartawan di kota Kanton, akan tetapi perabot-perabot rumahnya sudah berlainan sama sekali dengan gedung para hartawan Kanton. Perabot-perabot rumah itu asing, kursinya besar-besar, ruangannyapun lebar-lebar. Melihat keadaan perabot dan hiasan rumah itu, mudah diketahui bahwa yang tinggal di situ bukanlah seorang penduduk aseli Kanton, melainkan seorang asing. Memang demikianlah. Pada waktu itu, banyak pedagang besar Inggeris yang tinggal di Kanton dengan jabatan-jabatan tertentu, mewakili Persatuan pedagang Inggeris yang disebut English East India Company.
Pada waktu itu, kekuasaan Inggeris di India mulai ditanamkan dan pasukan-pasukan Inggeris di India mulai merebut kemenangan-kemenangan dan wilayah kekuasaannya di India semakin meluas. Karena di India terdapat banyak bahan pembuatan madat, maka mengalirlah madat itu ke Kanton dan di sinipun terdapat perwakilan dari Persatuan pedagang itu. Rumah gedung itu ditinggali oleh keluarga Hell-way. Tuan Hellway ini seorang opsir yang menjadi pembantu kapten Charles Elliot yang pada waktu itu menjadi penguasa Inggeris di Kanton. Opsir Hellway bertugas menghubungi pedagang-pedagang Kanton, oleh karena itu dia pandai berbahasa daerah dan sudah belasan tahun dia tinggal di Kanton bersama isteri dan seorang puterinya.
JILID 12
Ketika mereka pindah ke Kanton, puteri tunggalnya baru berusia empat tahun. Kini Sheila, demikian nama puterinya, berusia tujuhbelas tahun. Karena Ayah dan ibunya pandai berbahasa daerah, maka Sheila juga mempelajari bahasa ini dari para pelayan sehingga iapun pandai berbahasa daerah. Bukan itu saja, Sheila seringkali mendengar dongeng dari para pelayannya, tentang pendekar-pendekar yang gagah perkasa, tentang ilmu silat yang tinggi, dan dari beberapa orang pengawal yang bekerja pada Ayahnya, ia malah sempat mempelajari ilmu silat, yang walaupun tidak terlalu mendalam, namun cukup membuat ia pandai menjaga diri dan tubuhnya juga selalu berada dalam keadaan sehat dan kuat.
Sheila telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan lembut. Rambutnya berwarna kuning emas, panjang dan berombak amat indahnya. Sepasang matanya biru laut, tubuhnya, seperti biasa tubuh wanita barat, padat dan tinggi semampai, lebih tinggi dari pada tubuh gadis-gadis pribumi. Juga ia tidak pemalu seperti gadis pribumi, melainkan berani menentang pandang mata pria dengan tenang walaupun keadaan keluarga membuat ia beranggapan bahwa bangsanya adalah bangsa yang lebih maju dan lebih pandai dari pada bangsa pribumi yang kadang-kadang aneh dan sukar untuk dapat dimengertinya itu. Akan tetapi karena ia bergaul erat dengan para pelayan, sedikit banyak ia tahu akan keadaan atau cara hidup bangsa pribumi yang penuh dengan tradisi dan ketahyulan itu.
Juga ia tahu bahwa Tiongkok berada dalam penjajahan Bangsa Mancu yang dahulunya hanya merupakan suku bangsa liar di utara yang kecil saja, namun yang kini telah menjadi kelompok yang kuat. Tahu pula ia bahwa di mana-mana terjadi pemberontakan dari para patriot rakyat yang tidak rela melihat tanah air dijajah oleh orang Mancu. Lebih lagi ia tahu segalanya tentang merajalelanya madat yang amat jahat, yang meracuni rakyat jelata dan yang membuat hatinya merasa amat tidak senang karena ia tahu bahwa madat itu didatangkan oleh bangsanya, oleh English East India Company. Lebih lagi, Ayahnya menjadi opsir, menjadi pembantu Kapten Charles Elliot, jelas bahwa Ayahnya mempunyai peranan besar sekali dalam masalah penyebaran madat yang diam-diam amat dibencinya itu.
Ketika ia mendengar cerita dari seorang pelayan tentang seorang suami yang menukarkan kehormatan isterinya dengan madat, tentang seorang Ayah yang menjual anak gadisnya karena ketagihan madat, dan orang yang membunuh diri karena ketagihan madat dan tidak mempunyai uang lagi untuk membelinya, hatinya memberontak dan pagi hari itu segera menemui Ayahnya. Opsir Hellway amat mencinta puterinya karena memang dia hanya mempunyai anak satusatunya itu. Dia sedang duduk bersama isterinya, siap untuk berangkat ke kantor ketika Sheila masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah cemberut dan muka agak pucat karena semalam gadis itu tidak dapat tidur, gelisah membayangkan semua peristiwa mengerikan yang terjadi di antara rakyat jelata gara-gara madat.
"Selamat pagi, papa dan mama," katanya kurang gairah.
"Selamat pagi, sayang. Eh, kenapa wajahmu nampak muram dan agak pucat? Apakah engkau sakit, Sheila?" tanya Ayahnya dengan nada lembut dan ibunya lalu merangkul dan menciumnya. Gadis itu menggeleng kepala, lalu melepaskan diri dari rangkulan ibunya dan iapun duduk di atas kursi berhadapan dengan mereka.
"Papa, kemarin aku mendengar cerita yang mengerikan sekali," katanya. Papanya tersenyum memandang puterinya.
"Ah, mengapa engkau perlu memusingkan segala macam cerita burung?"
"Bukan cerita burung, papa, melainkan cerita tentang orang-orang gagah yang menjual isteri atau anak perempuannya, orang-orang yang membunuh diri dan melakukan kejahatan-kejahatan, semua itu karena gara-gara madat."
"Ehh...?" Opsir Hellway memandang tajam kepada anaknya dan mengerutkan alisnya.
"Apa maksudmu?"
"Papa, semua itu memang terjadi. Madat telah meracuni rakyat, madat telah membikin sengsara rakyat di sini..."
"Sheila!" ibunya berseru. Omongan apa yang kau keluarkan itu? Madat mendatangkan keuntungan besar kepada bangsa kita, mendatangkan kemakmuran kepada bangsa kita!"
"Mama, apa artinya keuntungan besar, kemakmuran kalau datang melalui kesengsaraan orang lain?"
"Sheila! Siapa yang bercerita kepadamu? Orang itu perlu kuhajar!" tiba-tiba Opsir Hellway berseru marah.
"Tidak! Tidak ada yang bercerita kepadaku. Aku mendengar omongan orang di jalan." Sheila cepat menjawab, tidak ingin melihat pelayan yang bercerita itu dihukum Ayahnya.
"Hemm, lalu apa maksudmu?" bentak opsir itu yang merasa tersinggung sekali dengan ucapan-ucapan puterinya tadi.
"Papa, aku sungguh merasa tidak rela melihat papa menjadi seorang pejabat yang mewakili English East India Company yang memperdagangkan candu, yang memasukkan madat beracun itu ke negeri ini, meracuni rakyat jelata dan..."
"Cukup!" Opsir Hellway membentak marah, mukanya menjadi merah sekali.
"Sadarkah kau akan omonganmu tadi? Segala yang kau makan dan pakai sampai kau dewasa ini, semua kebutuhan kita sekeluarga, dicukupi karena perdagangan madat, dan engkau berani berkata demikian? Sheila, mengertilah bahwa salah mereka sendiri yang suka menghisap madat kalau keadaan mereka menjadi demikian. Kita hanya melayani saja sebagai pedagang, melayani kebutuhan mereka dan mendapatkan keuntungan. Itu sudah wajar, bukan?"
"Tidak, papa! Kalau rakyat tidak dikenalkan dengan madat, mereka takkan menjadi pecandu! Madat itu datang dari India dan kalau kita tidak mendatangkannya dari India, tentu rakyat tidak pernah mengenalnya."
"Belum tentu! kau kira orang-orang India sendiri tidak akan membawanya ke sini? Dan orang-orang sini sendiri yang membutuhkannya dapat pula mencari ke India."
"Bagaimanapun juga, aku tidak senang melihat papa menjadi opsir yang mengurus perdagangan madat yang terkutuk itu..." Sheila lalu menangis.
"Hemm, engkau harus kami kirim ke Inggeris. Kalau dibiarkan tinggal terus di sini engkau akan menjadi rusak, pikiranmu akan diracuni oleh pikiran-pikiran pribumi. Engkau pun perlu melanjutkan pelajaran ke sana." Akhirnya Opsir Hellway berkata dan dia bertukar pandang dengan isterinya yang merasa setuju dengan pendapatnya.
"Biar berada di manapun juga, hatiku akan merana kalau mengingat betapa di sini papa melakukan pekerjaan yang amat tidak baik itu..."
"Kau tahu apa tentang baik dan tidak baik dalam suatu pekerjaan?" bentak Ayahnya dan melihat suaminya marah-marah, nyonya Hellway cepat mendekati suaminya dan menyabarkannya.
"Sheila, masuklah ke kamarmu, jangan membikin marah papamu," kata nyonya itu dan Sheila dengan mata masih merah karena tangisnya tadi, lalu lari memasuki kamarnya. Ia merasa berduka sekali melihat kenyataan bahwa Ayahnya mempunyai pekerjaan yang demikian kejam dan jahatnya.
Ketika Opsir Hellway yang masih marah karena ulah puterinya itu hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba datang seorang utusan dari atasannya yang menyerahkan surat dari Kapten Charles Elliot. Opsir Hellway membaca surat itu dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Baik, aku akan segera pergi menghadap Kapten Elliot!" katanya kepada utusan itu yang segera memberi hormat dan pergi.
"Ada urusan apakah?" tanya isterinya yang merasa tidak enak melihat suaminya nampak terkejut dan gugup itu.
"Celaka! Kaisar laknat itu telah melakukan tindakan kekerasan! Kota Kanton ini telah dikepung oleh pasukan yang besar dari Kota Raja dan semua madat yang berada di kota ini harus diserahkan dengan ancaman hukuman mati! Ini perang! Perang...!" Sheila agaknya mendengar pula ribut-ribut itu dan ia datang berlari ke ruangan itu.
"Papa! Mama! Aku mendengar bahwa kota ini dikepung tentara kerajaan...!" Opsir Hellway teringat akan sikap puterinya tadi.
"Nah, puaslah sekarang hatimu. Kita semua akan celaka. Berkemaslah kau dan ibumu, siapkan pakaian dan barang berharga, siapa tahu kita harus pergi mengungsi. Aku mau ke kantor. Sheila, jangan kau keluar dari rumah, keadaan gawat dan berbahaya." Apakah yang telah terjadi? Kiranya malam tadi, panglima atau Gubernur Lin Ce Shu bersama pasukannya yang besar telah tiba dan mengurung kota Kanton, menguasai empat pintu gerbang dan memerintahkan kepada pasukan keamanan di kota Kanton untuk mengumumkan bahwa siapapun yang keluar masuk kota itu akan digeledah,
Bahkan semua gudang milik para pedagang, termasuk pula milik orang-orang kulit putih, akan diperiksa dan siapapun yang memiliki simpanan madat harus diserahkan! Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan hebat. Dan seperti lumrahnya setiap peristiwa kekerasan, tentu ada yang menyambut dengan gembira akan tetapi ada pula yang menyambut dengan duka. Yang merasa gembira adalah rakyat yang merasa tercekik oleh beredarnya candu, juga para pendekar yang membenci keadaan itu namun mereka tidak berdaya. Sebaliknya, yang gelisah adalah para pedagang candu, para pembesar yang melindungi mereka, dan tentu saja para pemadatan yang khawatir akan kehilangan benda yang amat disayang itu.
Inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Wang Taijin, Lai Taijin dan Ma-Ciangkun untuk dapat membalas dendam hati mereka kepada keluarga Ciu Wan-gwe! Mereka ini adalah penguasa-penguasa di Kanton yang tadinya merupakan orang-orang paling rajin mendukung orang-orang kulit putih dan para pedagang candu karena mereka itu menerima suapan dan sogokan yang luar biasa banyaknya. Merekalah yang tadinya seperti melindungi perdagangan candu itu. Akan tetapi, begitu pasukan Kota Raja datang mengepung kota Kanton dengan maksud menyita semua madat dan menentang perdagangan itu, para penguasa ini seketika merobah warna muka mereka, seketika mereka itu nampak gigih dan rajin sekali melaksanakan kebijaksanaan pemerintah ini!
Dan di dunia ini memang penuh dengan penguasa macam mereka ini, bisa didapatkan di mana-mana. Pejabat-pejabat seperti ini seperti ular-ular kepala dua yang dapat menggigit ke depan dan kebelakang, sikap mereka dapat berobah seperti angin, semua dilakukan demi kesejahteraan dan kesenangan mereka sendiri. Demikianlah, dengan dalih melakukan kegiatan merampas madat yang berada di luar kota Kanton, Ma Cek Lung membawa pasukannya pergi ke Tung-kang dan pasukan yang sudah menerima perintahnya itu, langsung saja menyerbu gedung keluarga Ciu Lok Tai! Tentu saja keluarga itu terkejut sekali dan keadaan menjadi geger ketika para penyerbu itu bertindak kejam, membunuhi pelayan-pelayan yang sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.
Melihat ini, Ciu Lok Tai lalu mengerahkan pasukan pengawalnya dan terpaksa mereka itu melawan karena tidak melawanpun akan dibunuh. Ciu Lok Tai sendiri melawan dengan menggunakan pistolnya, dan tiga puluh orang lebih pasukan pengawalnya ikut melawan mati-matian. Tentu saja yang mengamuk paling hebat adalah Kui Eng. Gadis ini marah bukan main melihat pasukan keamanan yang bertindak seperti perampok itu. Mula-mula Ma Cek Lung menyatakan bahwa kedatangan pasukannya itu adalah untuk melakukan penggeledahan dan untuk menyita semua madat yang berada dalam gedung keluarga Ciu. Ciu Wan-gwe sudah mendengar akan gerakan pasukan dari Kota Raja, maka diapun tidak akan menentang dan tadinya dia menyerah,
Bahkan mempersilahkan perwira yang pernah menjadi sahabat baiknya itu untuk melakukan penggeledahan. Akan tetapi penggeledahan itu ternyata berobah menjadi pembantaian dan jelaslah bahwa pasukan itu memang datang untuk menghancurkan keluarga Ciu. Dan terjadilah perlawanan itu sehingga terjadi pertempuran mati-matian. Jumlah pasukan yang dibawa Ma Cek Lung ada seratus lima puluh orang, oleh karena itu tentu saja pasukan keamanan yang hanya tiga puluh orang itu tidak dapat berbuat banyak dan dalam waktu yang tidak lama mereka sudah roboh semua! Juga Ciu Wan-gwe, isterinya dan semua pelayannya dibantai oleh pasukan yang sudah keranjingan itu. Tinggal Kui Eng seorang yang masih mengamuk.
Melihat betapa orang tuanya tewas dan seluruh isi rumah binasa, hati Kui Eng seperti disayat-sayat rasanya. Ia tahu bahwa perwira Ma itu memang datang untuk membalas dendam karena pernah dikalahkannya dalam pesta tempo hari. Maka dengan kemarahan meluap-luap, gadis ini mengamuk dan bermaksud untuk membunuh perwira yang memimpin penyerbuan itu. Akan tetapi, sekali ini Ma-Ciangkun telah bersiap siaga. Dia maklum akan kelihaian gadis puteri Ciu Wan-gwe itu, maka diapun kini mengajak belasan orang anak buahnya yang memiliki ilmu silat lumayan untuk mengeroyok Kui Eng. Karena itu, usaha Kui Eng untuk dapat berhadapan dengan Ma Cek Lung sia-sia belaka. Ia dikurung dengan ketat oleh puluhan orang prajurit penjaga keamanan dari Kanton itu, di antaranya terdapat belasan orang yang memiliki ilmu silat yang cukup kuat.
Maka gadis inipun mengamuk dan sudah banyak anggauta pasukan musuh yang roboh dan tewas oleh tamparan atau tendangan kakinya. Akan tetapi, pengepungan dan pengeroyokan tetap ketat saking banyaknya pihak musuh sehingga setelah merobohkan tidak kurang dari tiga puluh orang, akhirnya gadis itu kehabisan tenaga. Apa lagi karena hatinya sedang gelisah dan berduka oleh kematian keluarganya. Maka, iapun mulai terkena senjata lawan yang datang bagaikan hujan itu. Namun, ia tidak menjadi gentar. Beberapa kali terdengar suara Ma-Ciangkun yang menyerukan agar gadis itu menyerah saja. Memang dia mempunyai niat kotor terhadap gadis cantik itu dan mengharapkan akan dapat menangkap gadis itu dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, Kui Eng pantang menyerah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Ia hanya bertangan kosong karena tadi penyerbuan itu terjadi dengan tiba-tiba. Tadinya ia sama sekali tidak mengira bahwa penggeledahan itu akan berakhir dengan pembantaian maka iapun tidak sempat mengambil sebatang tongkat yang menjadi senjata andalannya. Terpaksa ia melawan dengan tangan kosong, akan tetapi tanpa senjatapun gadis ini sudah merupakan lawan yang amat menggiriskan bagi para perajurit itu. Gerakannya seperti seekor burung walet saja, cepat dan setiap kali tamparan tangannya atau tendangan kakinya mengenai sasaran, tentu seorang pengeroyok roboh untuk tidak dapat bangkit kembali!
Tubuhnya seperti seekor burung beterbangan, menyelinap di antara bayangan puluhan batang golok dan pedang. Di antara limabelas orang ahli silat yang diperbantukan pada pasukannya oleh Ma Cek Lung, sudah ada sembilan orang roboh! Hal ini membuat para pengeroyok menjadi gentar, akan tetapi juga penasaran. Apa lagi karena dari belakang, Ma-Ciangkun melancarkan aba-aba dan mendorong anak buahnya untuk merobohkan gadis itu, menangkapnya hidup atau mati. Sebagian dari pasukan itu melakukan perampokan dengan dalih menggeledah dan mencari madat. Memang ada belasan peti madat murni yang disita, akan tetapi di samping madat ini, juga ikut pula disita benda-benda berharga yang terdapat di gedung itu dalam jumlah banyak!
Sehabis merampok mereka lalu membakar gedung itu! Melihat ini Kui Eng menjadi semakin marah dan sakit hati. Ia mengamuk semakin hebat, akan tetapi betapapun lihainya, ia dikeroyok oleh seratus lebih orang yang kesemuanya adalah perajurit-perajurit yang biasa berkelahi, yang semua memakai pakaian perang yang dilindungi baju besi dan semua memegang senjata tajam pula. Kui Eng memang seorang gadis yang telah menerima gemblengan seorang sakti dan ia telah memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia masih kurang terlatih. Kalau saja ia mau melarikan diri, kiranya tidak akan ada yang mampu menahannya. Akan tetapi, kesedihan karena kematian orang tuanya dan melihat keluarganya binasa dan rumahnya terbakar dan habis dirampok,
Kemarahan karena semua itu membuat ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menyelamatkan diri sendiri. Satu-satunya keinginannya hanyalah membasmi semua perajurit ini dan juga membunuh Ma Cek Lung. Akan tetapi, tenaganya terbatas dan akhirnya karena selama berjam-jam mengerahkan sinkang untuk menghadapi puluhan orang bersenjata lengkap itu, tenaga Kui Eng mulai berkurang. Hal ini terutama sekali terdorong oleh kesedihan hatinya dan karena kurang cepat lagi gerakannya, mulailah dara ini terkena sambaran ujung golok dan pedang. Pangkal lengan kanan dan kedua pahanya telah tercium ujung senjata tajam yang membuat kulit dan sedikit dagingnya tergores dan berdarah. Melihat ini Ma Cek Lung menjadi girang.
"Kepung terus, bikin habis tenaganya. Kalau mungkin tangkap hidup-hidup, jangan bunuh!"
Perwira tinggi besar ini memang telah tergila-gila oleh kecantikan gadis ini dan sekarang dia mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk dapat menguasai gadis itu, kalau perlu dengan kekerasan, bukan hanya untuk melampiaskan nafsu binatangnya, melainkan juga untuk memuaskan hatinya yang pernah sakit karena dibikin malu oleh gadis itu di depan orang banyak. Kui Eng yang lelah sekali itu, gerakannya mulai lambat dan kacau, pandang matanya berkunang-kunang dan ia sudah terhuyung-huyung. Sebuah tendangan dari Ma Cek Lung yang kini ikut mengeroyok, tepat mengenai lutut Kui Eng. Gadis ini mengeluh akan tetapi begitu tubuhnya roboh, ia menggulingkan tubuhnya dan seorang perajurit yang menubruk untuk memeluknya, disambut dengan tamparan yang amat dahsyat.
"Prokkk...!" Perajurit itu terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika. Akan tetapi, pengerahan tenaga terakhir ini membuat Kui Eng kehabisan tenaga dan iapun terkulai dalam keadaan setengah pingsan! Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan orang dan para perajurit itu terkejut sekali karena tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menyambar tubuh gadis yang sudah terkulai itu dan memanggul tubuh itu lalu melarikan diri.
"Tangkap dia!" teriak Ma Cek Lung dengan marah. Gadis itu sudah tidak berdaya, tinggal menangkap dan membelenggu saja dan seperti sepotong daging sudah tinggal menyumpit dan memasukkan mulut, akan tetapi tiba-tiba terlepas dan tentu saja dia tidak mau membiarkan pemuda itu melarikan Kui Eng. Akan tetapi, gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya, dan setiap perajurit yang mencoba untuk menghadangnya, dirobohkan dengan pukulan-pukulan tangan kiri atau tendangan kaki, sedangkan lengan kanannya memanggul tubuh Kui Eng di atas pundak kanan.
"Keparat!" bentak Ma Cek Lung dan bersama seorang pembantunya, dia menubruk maju dengan golok terhunus.
"Lepaskan gadis itu!"
Akan tetapi, dengan sebuah tendangan kilat, pemuda itu merobohkan pembantunya dan Ma-Ciangkun sendiri terkena pukulan tangan kiri yang cepat dan kuat. Dadanya terpukul dan biarpun dada perwira itu dilindungi baju besi, tetap saja dia terpental dan roboh pingsan dengan napas sesak! Pemuda itu lalu berloncatan dan dengan cepat sekali menerobos kepungan para perajurit, merobohkan beberapa orang lagi tanpa membunuh mereka, dan akhirnya lolos dari kepungan. Beberapa orang perajurit mencoba untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu dapat berlari cepat bukan main walaupun sambil memondong tubuh Kui Eng dan akhirnya para perajurit tidak mengejar lagi. Mereka sibuk dengan mengumpulkan barang rampokan, mengurus teman-teman yang terluka atau tewas, dan mencoba untuk menyadarkan Ma Cek Lung yang pingsan.
Kui Eng sudah kehabisan tenaga dan tubuhnya lemas. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih dapat mengetahui bahwa ia telah ditolong oleh seorang laki-laki yang memondongnya dan membawanya lari. Pandang matanya sudah kabur dan ia tidak dapat melihat jelas wajah laki-laki ini, apa lagi ketika ia dipanggul, kepalanya berada di belakang tubuh orang itu akan tetapi ia tahu bahwa orang ini telah menyelamatkannya dan diam-diam ia bersyukur karena ia tahu bahwa tenaganya sudah habis dan nyawanya takkan tertolong lagi. Ia tidak takut mati, akan tetapi kalau ia mati, siapa yang akan membalaskan kematian Ayah ibunya? Ia berterima kasih kepada laki-laki ini yang sudah menyelamatkannya sehingga masih ada harapan dan kesempatan baginya untuk kelak membalas dendam kepada Ma Cek Lung dan anak buahnya.
Ia merasa aman dan ketika pemuda itu berlari cepat memanggul tubuhnya ke luar kota Tung-kang, diam-diam ia beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk mengumpulkan kembali kekuatannya. Setelah tiba di luar kota, jauh dari tempat ramai, di sebuah bukit yang berada di sebelah barat kota Tung-kang, pemuda itu berhenti, lalu dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Kui Eng ke atas tanah. Akan tetapi, Kui Eng yang kini sudah kuat kembali, lalu bangkit berdiri dan menghadapi pemuda itu, baru pertama kalinya ia ingin dan dapat melihat wajah penolongnya karena tadi ia mencurahkan semua perhatiannya untuk menghimpun hawa murni. Dua pasang mata yang sama tajamnya saling tatap dan tiba-tiba Kui Eng undur dua langkah dan berseru kaget.
"Kau...!!" Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, gadis ini lalu menerjang pemuda itu kalang kabut, mengerahkan lagi seluruh tenaga yang ada dan oleh karena itu serangannya dahsyat sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Seperti juga semua orang yang berada di sekitar daerah Kanton,
Ci Kong juga mendengar tentang pengepungan pasukan besar kerajaan terhadap kota Kanton dan diapun merasa heran dan ingin tahu apa yang terjadi. Ketika mendapat keterangan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lin Ce Shu itu adalah utusan kaisar untuk menyita semua madat, diam-diam dia merasa bersyukur sekali dan memuji tindakan itu yang dianggap akan menyelamatkan rakyat dari racun yang amat berbahaya itu. Akan tetapi Ci Kong melihat pasukan yang dipimpin oleh Ma Cek Lung keluar dari Kanton. Pasukan yang besarnya seratus lima puluh orang, membalapkan kuda keluar dari kota itu. Hatinya tertarik karena dia mengenal Ma Cek Lung sebagai perwira tinggi besar gendut yang pernah menyiksa dan hampir membunuh dia dan Ayahnya pada duabelas tahun yang lalu di dalam rumah Ciu Wan-gwe.
Karena hatinya tertarik, maka diapun mengikuti jejak pasukan ini yang ternyata menuju ke kota Tung-kang. Pasukan ini mendatangi rumah gedung hartawan Ciu dan ketika Ci Kong mendengar bahwa mereka akan menyita madat, diapun tidak mau mencampuri, bahkan diam-diam merasa girang. Memang hal itu sudah semestinya sejak dahulu dilakukan pemerintah, pikirnya sambil meninggalkan
Tung-kang karena dia tidak ingin mencampuri. Akan tetapi, dia melihat asap mengepul dari dalam kota itu. Dia terkejut. Kebakaran? Apakah yang terjadi? Sudah berjam-jam dia meninggalkan kota itu dan tidak menduga akan terjadi kekerasan karena siapakah yang akan melawan dan menentang keputusan kaisar? Kebakaran itu menarik hatinya dan diapun cepat menggunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Tung-kang kembali.
Makin terkejut dia ketika mendengar berita di dalam kota itu bahwa rumah gedung keluarga Ciu Wan-gwe diserbu, dirampok dan dibakar oleh pasukan yang datang dari Kanton. Dia merasa heran dan ketika dia cepat datang ke tempat itu, dia melihat betapa gadis puteri Ciu Wan-gwe yang cantik dan lihai itu dikeroyok puluhan orang perajurit dan melihat pula banyaknya perajurit yang tewas dan juga betapa rumah itu terbakar dan banyak pengawal dan pelayan keluarga itu sudah berserakan menjadi mayat. Maka diapun cepat turun tangan menyambar tubuh Kui Eng yang setengah pingsan itu dan melarikannya ke luar kota. Kini, melihat kemarahan gadis itu yang tiba-tiba menyerangnya begitu mengenalnya, Ci Kong tidak merasa heran atau kaget. Cepat dia mengelak dan menjauhkan diri.
"Harap kau tenanglah, nona, karena sekali ini aku tidak memusuhi siapapun juga. Aku bahkan ikut bersedih melihat hancurnya keluargamu..." Akan tetapi, Kui Eng tidak pernah merasa kenal kepada pemuda ini yang hanya diketahuinya pada pagi hari itu mengacau di gedung keluarganya, dikeroyok oleh para pengawal sampai ia datang dari jalan-jalan pagi dan menyerang pemuda itu, hanya tahu bahwa pemuda itu, dengan seorang kawan lain, telah mengacau, bahkan mendatangkan banyak kematian di antara para pengawal dan anak buah pasukan keamanan kota Tung-kang yang datang membantu. Tentu saja, melihat pemuda ini, biarpun kenyataannya tadi menyelamatkannya, ia menduga bahwa tentu ada hubungan antara penyerangan pemuda ini beberapa hari yang lalu dengan penyerbuan pasukan sekarang ini.
"Manusia busuk, sekaranglah saatnya kita membuat perhitungan!" bentaknya dan dengan cepat Kui Eng sudah menyambar sepotong kayu dari dahan pohon yang berdekatan. Dengan kayu sebagai tongkat di tangannya, dara inipun menyerang kembali dengan dahsyat. Melihat betapa sepotong kayu itu kini berobah menjadi sinar kehijauan dan ujungnya bergetar menjadi banyak sekali menyerang ke arah jalan darah di bagian depan tubuhnya, Ci Kong kaget bukan main. Inilah serangan maut yang amat berbahaya, pikirnya dan cepat dia berloncatan mengelak.
Akan tetapi, gadis itu terus mendesaknya dengan tongkat istimewa itu dan memang gadis itu telah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yang dipelajarinya dari Tee-tok, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)! Ci Kong mengenal ilmu tongkat sakti, maka diapun harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Kedua lengannya seperti berobah menjadi baja sehingga setiap kali lengannya menangkis tongkat, Kui Eng merasa betapa lengannya yang memegang tongkat tergetar. Keduanya mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sama mahirnya sehingga tubuh mereka lenyap berobah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sinar tongkat hitam kehijauan yang mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Diam-diam Ci Kong merasa kagum sekali. Ilmu tongkat ini hebat bukan main dan untung baginya bahwa gadis itu sudah kehilangan banyak tenaga, andaikata tidak, ia akan terancam bahaya maut karena ilmu tongkat itu aneh dan sukar dilawan. Andaikata tadi gadis itu menggunakan tongkat, kiranya akan lebih banyak korban yang roboh di pihak para pengeroyok dan mungkin tidak perlu dibantunya. Akan tetapi, pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi-tinggi sehingga dia masih mampu menghindarkan diri dan terpaksa untuk mengimbangi kedahsyatan serangan gadis itu, diapun kadang-kadang membalas dengan totokan-totokan untuk menghentikan serangan gadis itu.
"Nona, sabarlah. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Marilah kita bicara dulu sebelum melanjutkan perkelahian ini." Berkali-kali Ci Kong berkata, suaranya tetap sabar dan tenang. Kui Eng sudah merasa semakin penasaran sekali. Ia telah mempergunakan tongkat dan telah memainkan Cui-beng Hek-pang, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu mengalahkan pemuda ini, bahkan tenaganya sendiri mulai berkurang lagi dan napasnya mulai memburu. Ingin ia menangis saking jengkelnya. Ketika untuk kesekian kalinya pemuda itu mengajak bicara, ia mendapatkan kesempatan baik untuk beristirahat, untuk menghimpun tenaga baru dan menenangkan kembali pernapasannya. Maka iapun meloncat ke belakang, memandang tajam dan berusaha menguasai pernapasannya yang terengah-engah.
"Kau... kau mau bicara apa lagi?" katanya ketus.
"Nona, marilah kita bicara dengan baik. Aku mengerti bahwa nona memusuhi aku karena salah kira saja."
"Huh, aku masih belum buta untuk mengenal engkau sebagai pengacau yang pernah membikin ribut di rumah keluargaku beberapa hari yang lalu." Ci Kong mengangguk.
"Tidak kusangkal, nona. Akan tetapi, kedatanganku pada waktu itu hanya untuk mengingatkan Ciu Wan-gwe tentang buruknya pengaruh madat terhadap rakyat, dan ingin minta kepadanya agar dia menghentikan usaha pengedaran madat itu. Akan tertapi aku tidak diperkenankan bertemu dengan Ciu Wan-gwe, bahkan aku dikeroyok."
"Siapa sudi percaya omonganmu? Engkau mengatakan tidak bermaksud buruk dan hanya mau mengingatkan, akan tetapi engkau membunuh belasan orang pengawal!"
"Menyesal sekali, nona. Akan tetapi bukan aku yang membunuh mereka, melainkan orang yang datang membantuku..."
"Kawanmu, sekutumu, sama saja!"
"Tidak, aku sama sekali tidak pernah mengenal dia, nona. Dan aku tidak setuju dengan perbuatannya itu. Nona, kalau memang aku memusuhimu, perlu apa aku menyelamatkanmu dan membawamu ke luar Tung-kang?" Sejenak Kui Eng meragu. Benar juga apa yang dikatakan pemuda ini, akan tetapi ia masih merasa penasaran. Dalam sekejap mata saja ia telah kehilangan keluarga, harta benda, kehilangan segala-galanya dan kepada siapa ia akan menumpahkan kemarahannya? Betapapun juga, pemuda ini pernah berkelahi melawannya, pernah menjadi musuh keluarganya.
"Maaf, nona. Sungguh aku merasa ikut bersedih melihat nasib keluargamu..." Mendengar ucapan ini, seperti didorong keluar saja air mata dari sepasang mata yang indah tajam itu. Akan tetapi, Kui Eng mengusap air matanya dengan ujung lengan baju.
"Dulupun engkau tidak kasihan, kini tidak perlu kasihan, engkau pernah memusuhi kami, sekarangpun tetap musuh!" Dan iapun menerjang kembali, kini tenaganya sudah agak pulih dan napasnya tidak lagi memburu seperti tadi.
"Nona...!" Akan tetapi karena serangan itu memang hebat, Ci Kong terpaksa meloncat cepat mengelak dan balas menyerang agar gadis itu tidak terus mendesaknya karena kalau dia harus mengelak terus terhadap tongkat yang lihai itu, amat berbahaya. Terjadilah lagi perkelahian yang amat hebat antara dua orang muda yang lihai itu. Kui Eng menyerang matimatian dan mengerahkan segala-galanya, di lain pihak Ci Kong melayaninya tanpa maksud mencelakai gadis yang sedang marah-marah itu.
Dia lebih banyak melindungi dirinya dan kadang-kadang saja dia membalas serangan hanya untuk menahan gelombang serangan lawan. Dan serangannya hanya berupa totokan-totokan ke arah jalan darah untuk menghentikan gerakan gadis itu tanpa membahayakan keselamatan gadis itu. Kui Eng sebagai murid seorang guru yang sakti tentu saja tahu bahwa pemuda ini banyak mengalah kepadanya, dan hal ini membuatnya semakin penasaran, walaupun ia juga merasa kagum karena kini ia tahu benar betapa lihainya pemuda itu dan bahwa kalau pemuda itu juga berniat merobohkannya, kiranya ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Tiba-tiba bermunculan belasan orang yang sikapnya gagah dan seorang di antara mereka meloncat di antara dua orang yang sedang berkelahi itu sambil berseru,
"Tahan!" Dari gerakan orang itu melerai, baik Kui Eng maupun Ci Kong maklum bahwa orang inipun lihai sekali, karena goloknya yang menangkis dapat menahan tongkat Kui Eng sedangkan tangan kirinya menahan lengan Ci Kong dan mereka berdua ini merasa betapa orang ini memiliki tenaga yang amat kuat.
Mereka berdua menjadi kaget dan heran, lalu meloncat ke belakang. Ketika keduanya memandang, ternyata yang melerai itu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, bertubuh tegap dan kokoh membayangkan tenaga yang besar. Pemuda ini memegang sebatang golok yang tajam, dan pakaiannya kasar sederhana, sesuai dengan wajahnya yang membayangkan kejujuran dan kegagahan. Sebatang topi rumput bundar tergantung di punggungnya. Biarpun pemuda itu membayangkan kegagahan yang menimbulkan perasaan segan, namun Kui Eng yang galak itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia memandang pemuda itu dengan mata melotot, tidak peduli bahwa pemuda itu datang bersama belasan orang yang kesemuanya membayangkan kegagahan para pendekar.
"Mau apa kau mencampuri urusanku? Apakah kau datang mau membantunya? Kalau begitu majulah, aku tidak takut menghadapi pengeroyokan kalian semua!"
Dan Kui Eng sudah siap memalangkan tongkatnya di depan dada, siap menghadapi pengeroyokan, bukan sekedar gertakan saja. Pemuda yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Gan Seng Bu! Seperti kita ketahui, murid Thian-tok ini berpisah dari suhengnya, Ong Siu Coan. Akan tetapi dalam mengikuti jejak Koan Jit yang melarikan Giok-liong-kiam, diapun akhirnya tiba di daerah Kanton. Ketika terjadi pengepungan kota Kanton oleh pasukan kerajaan yang mulai bertindak hendak menumpas perdagangan madat, Gan Seng Bu menyambutnya dengan gembira sekali. Di daerah Kanton ini dia bertemu dengan para anggauta Thian-te-hwe atau Thian-te-pang, sebuah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot dan anti pemerintah penjajah Mancu.
Bahkan di sini dia bertemu pula dengan suhengnya, Ong Siu Coan yang telah mendahuluinya dan terkenal di perkumpulan itu sebagai seorang tokoh yang gagah perkasa! Biarpun dia tidak berambisi seperti suhengnya, namun Gan Seng Bu berjiwa gagah dan dia merasa cocok dengan para anggauta Thian-te-pang, maka diapun ikut dengan mereka menuju ke kota Kanton untuk melihat suasana dan kalau perlu membantu pasukan pemerintah untuk menghadapi orang-orang kulit putih. Memang mereka tidak suka kepada pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah yang harus diusir dari tanah air, akan tetapi sementara ini, kalau menghadapi orang-orang kulit putih yang lebih asing lagi dan yang jelas merusak dengan perdagangan candu mereka, mereka akan membantu pihak pemerintah untuk menentang orang kulit putih lebih dahulu.
"Kami melihat kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dalam keadaan kacau seperti sekarang ini, alangkah sayangnya kalau kalian yang lihai ini saling serang dan bermusuhan. Tidakkah lebih baik kalau kalian ikut bersama kami ke Kanton, menyumbangkan tenaga untuk memihak rakyat, dan menghalau musuh rakyat? Kami adalah orang-orang Thian-te-pang yang selalu berjuang demi rakyat, kau m patriot yang pantang saling bermusuhan antara bangsa sendiri." Kui Eng sudah mendengar akan nama Thian-te-pang ini, maka ia cepat berkata,
"Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak yang menentang kekuasaan Ceng?"
"Kami adalah pejuang, dan penjajah memang menyebut kami pemberontak!" bentak seorang di antara para pendekar itu yang merasa tidak senang mendengar gadis itu menamakan mereka pemberontak.
"Bgus! Kalau begitu, aku akan membantu kalian menghadapi pemerintah Ceng yang biadab! Baru saja Ayah ibuku tewas oleh pasukan pemerintah!" kata Kui Eng penuh semangat sambil mengepal tinju.
"Akan tetapi, sementara ini yang penting adalah menghalau orang-orang kulit putih!" kata Gan Seng Bu.
"Merekalah yang merupakan penyakit utama pada saat ini. Nona yang gagah, kami akan gembira sekali kalau nona suka bergabung dengan kami karena kami melihat nona memiliki kepandaian tinggi. Dan bagaimana dengan engkau sobat?" Gan Seng Bu memutar tubuhnya menghadapi Ci Kong. Baru sekarang dia melihat Ci Kong karena sejak tadi dia berhadapan dengan Kui Eng, dan begitu bertemu pandang dengan Ci Kong, diapun terkejut.
"Eh..., bukankah engkau ini... murid Siauw-bin-hud...?" Semua orang, termasuk Kui Eng, terkejut bukan main mendengar ini. Nama Siauw-binhud adalah nama yang amat dikenal di dunia kang-ouw, apa lagi dengan adanya peristiwa Giok-liong-kiam itu.
Ci Kong sendiri juga sejak tadi sudah teringat siapa pemuda gagah perkasa ini dan diam-diam dia merasa terheran-heran. Dia tahu bahwa Thian-tok adalah seorang datuk sesat yang terkenal, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat. Akan tetapi mengapa dua orang muridnya seperti orang-orang gagah? Murid yang pertama itu pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh para pengawal Ciu Wan-gwe dan para pasukan keamanan, dan biarpun murid yang bernama Ong Siu Coan itu teramat kejam dan menyebar maut, namun jelas telah membantunya walaupun tahu bahwa dia cucu murid Siauw-bin-hud. Dan murid ke dua dari Thian-tok ini malah bergaul dengan orang-orang Thian-te-pang yang terkenal sebagai para pendekar patriot! Maka diapun tidak mau menyebut nama Thian-tok di depan mereka dan dia hanya menjawab dengan singkat.
"Aku adalah cucu murid beliau." Seng Bu juga merasa tidak enak bertemu dengan pemuda ini. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat dan hal ini sengaja dia sembunyikan dari para pendekar di Thian-te-pang. Kalau para pendekar ini tahu bahwa dia adalah murid Thian-tok, agaknya dia tidak akan diterima sebagai kawan seperjuangan!
"Nah, bagaimana? Kalian berdua adalah orang-orang gagah, apakah mau menggabungkan diri dengan kami dan pergi ke Kanton?" tanyanya. Kui Eng sendiri masih termangu memandang kepada Ci Kong yang baru diketahui bahwa pemuda itu adalah murid atau cucu murid Siauw-bin-hud. Pantas lihainya bukan main, pikirnya. Mendengar pertanyaan Seng Bu, ia berkata,
"Akan kuingat kalian di Kanton. Akan tetapi sekarang aku masih mempunyai urusan. Harap kalian berangkat lebih dulu."
"Aku lebih suka menyendiri," kata Ci Kong. Seng Bu mengangkat pundaknya dan menoleh kepada kawan-kawannya.
"Baiklah, asal kalian berdua jangan saling gebuk sendiri!" Lalu dia bersama belasan orang kawannya melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kanton. Ci Kong dan Kui Eng mengikuti bayangan orang-orang gagah itu dengan hati kagum. Betapapun juga, nama Thian-te-pang atau Thian-tehwe sebagai kumpulan para patriot sudah amat terkenal. Di waktu itu, perkumpulan pendekar-pendekar yang menentang pemerintah penjajah dengan gigih, yang paling terkenal adalah Thiante-pang atau perkumpulan Bumi Langit, lalu perkumpulan Tombak Merah, Pintu Sorga, Perkumpulan Toa-kiam (Pedang Besar). Mereka semua mengaku sebagai keturunan perkumpulan Sorban Kuning, yaitu sebuah perkumpulan pendekar patriot berbangsa Han di jaman Dinasti Han.
"Jadi engkau seorang murid Siauw-bin-hud?" Kui Eng bertanya sambil menatap wajah Ci Kong. Pemuda itu mengangguk.
"Benar, nona, dan namaku Tan Ci Kong."
"Aku adalah puteri tunggal keluarga Ciu, maka tentu engkau dapat membayangkan betapa sakit hatiku ketika engkau mengacau di rumah kami dan kini... Ayah ibuku telah tewas..." Suaranya mengandung isak. Akan tetapi dengan gagah gadis ini menahannya. Ci Kong menarik napas panjang.
"Kematian akan datang kepada keluarga manapun juga, nona, dan kematian bukan urusan kita manusia. Memang menyedihkan, akan tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu," katanya sederhana, bukan untuk menghibur, melainkan keluar dari lubuk hatinya karena pada saat itu diapun teringat bahwa Ayah ibunya juga telah tiada.
"Aku... aku harus mengambil jenazah mereka dan menguburnya baik-baik."
"Mari kubantu engkau, nona. Akan tetapi, kita harus masuk secara menyelundup, karena kalau secara berterang tentu akan menghadapi kesulitan." Gadis itu sejenak memandang tajam, agaknya merasa heran mendengar penawaran pemuda itu. Mengambil jenazah dua orang di tempat yang penuh dengan musuh tidaklah mudah kalau ia lakukan sendirian saja, maka mendengar penawaran itu ia mengangguk dan keduanya lalu berlari kembali ke Tung-kang.
Untunglah bagi mereka bahwa pasukan yang dipimpin Ma Cek Lung itu ternyata telah kembali ke markas pasukan keamanan Tung-kang untuk mengurus anggauta pasukan yang tewas dan luka-luka sehingga di tempat tinggal keluarga Ciu itu tidak nampak lagi pasukan. Gedung itu masih terbakar sebagian dan para tetangga yang melihat munculnya Kui Eng, segera datang membantu. Kui Eng berhasil menemukan mayat Ayah ibunya. Air matanya bercucuran akan tetapi ia tidak terisak. Bahkan dengan cepat ia lalu mengumpulkan tetangga dan minta pertolongan mereka untuk mengurus mayat para pelayan dan pengawal yang tewas. Kepada para tetangga itu ia berkata dengan suara sedih,
"Harap kalian suka menolongku, mengubur semua jenazah ini, dan semua barang yang masih ada di rumah ini boleh kalian pakai untuk biaya." Setelah berkata demikian, gadis ini dibantu oleh Ci Kong lalu membawa dua jenazah keluar kota. Tentu saja mereka harus cepat-cepat pergi membawa dua jenazah itu karena kehadiran mereka tentu akan segera diketahui dan mereka tidak ingin menghadapi kesulitan dalam usaha mereka mengubur jenazah Ciu Lok Tai dan isterinya. Jauh di luar kota Tung-kang, di kaki sebuah bukit yang sunyi, Kui Eng memilih sebuah tempat untuk mengubur jenazah Ayah ibunya, dibantu oleh Ci Kong yang melakukan semua itu tanpa banyak kata. Diapun hanya memandang saja ketika gadis itu berlutut di depan kuburan sederhana itu. Akhirnya kui Eng bangkit berdiri dan menghadapi Ci Kong, lalu menjura.
"Saudara Tan Ci Kong, engkau sungguh telah menolongku dan aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini. Terima kasih banyak."
"Tidak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya kalau hidup di dunia ini tolong-menolong antara manusia," jawab Ci Kong dengan sikap sederhana.
"Akan tetapi, engkau seorang pendekar Siauw-lim-pai, engkau pernah hendak menegur mendiang Ayahku yang menjadi pedagang madat. Akan tetapi, kenapa kemudian engkau yang pernah kuserang dan kukeroyok, malah sebaliknya menyelamatkan aku dari pengeroyokan pasukan itu dan bahkan menolongku mengubur jenazah Ayah ibuku? Mengapa?" Ci Kong tersenyum.
"Nona..." Dia meragu karena belum mengenal nama gadis itu.
"Namaku Kui Eng, Ciu Kui Eng."
"Nona Kui Eng, apa yang kulakukan itu tidak ada artinya karena kalau dulu engkau tidak menolongku, agaknya aku tidak akan dapat hidup sampai sekarang ini." Kui Eng membelalakkan matanya yang indah dan memandang penuh selidik, lalu mengerutkan alisnya karena ia tidak ingat pernah menolong pemuda yang baru pertama kali dijumpainya itu.
"Menolongmu? Aku tidak merasa pernah menolongmu..."
"Tentu kau sudah lupa, nona. Terjadi kurang lebih duabelas tahun yang lalu ketika kita masih kecil. Kalau tidak engkau turun tangan mencegah, tentu aku dan Ayahku waktu itu telah tewas di tangan Ma-Ciangkun." Kui Eng mengerutkan alisnya, masih juga belum ingat.
"Siapakah Ayahmu?"
"Mendiang Ayahku adalah Tan Siucai..."
"Ahhh...!!" Mata yang indah itu terbelalak dan sejenak gadis itu menatap wajah Ci Kong penuh perhatian, lalu sinar matanya membayangkan kekaguman ketika ia teringat akan Tan Siucai yang namanya kemudian dikenal sebagai seorang patriot yang gagah perkasa, walaupun dia seorang sasterawan yang lemah tubuhnya.
"Kiranya engKau kah anak laki-laki itu...? Teringat aku sekarang. Engkau minta-minta ampun... dan aku mencelamu..."
"Benar, aku mintakan ampun untuk Ayahku, bukan untuk diriku."
"Aku mengerti. Ah, Ayahmu seorang gagah perkasa, aku kagum sekali, sedangkan Ayahku... Ayahku..." Kui Eng pernah ribut-ribut dengan Ayahnya ketika dulu ia mendengar akan nasib Tan Siucai yang dikaguminya. Nampaklah olehnya sekarang betapa Ayahnya adalah orang yang hanya mementingkan harta saja, hanya pandai mencari harta dan juga tidak segan-segan melakukan hal-hal yang buruk.
"Sudahlah, nona. Orang tua kita sudah tiada, tak perlu dibicarakan lagi. Sekarang, setelah engkau kehilangan keluargamu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Ci Kong bertanya dengan suara penuh iba, lupa bahwa dia sendiripun hidup sebatangkara.
"Engkau sudah tidak mempunyai tempat tinggal, hidup seorang diri..."
"Keluarga Ayah berada di Kanton. Aku adalah anak tunggal, ibuku isteri ke tiga. Aku masih mempunyai ibu-ibu tiri di Kanton... akan tetapi... aku tidak akan tinggal diam ebelum dapat kubunuh jahanam Ma Cek Lung itu. Setelah itu mungkin aku akan mengabungkan diri dengan orang-orang Thian-te-pang. Dan engkau sendiri, saudara Ci Kong? Apakah engkau juga akan bergabung dengan mereka?" Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak akan melibatkan diri dalam pemberontakan, nona, walaupun aku mengerti betapa mulia cita-cita mereka yang hendak membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Aku lebih suka menyendiri."
"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Aku akan menyelundup ke Kanton. Sekali lagi terima kasih dan mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali!" Kui Eng berkata dan gadis ini lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat menuju ke Kanton.
"Mudah-mudahan..." Ci Kong mengguman sambil mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya. Ada keharuan aneh menyelinap di dalam hatinya. Gadis itu manis sekali, amat menarik dan juga amat gagah perkasa. Kasihan sekali gadis itu bernasib demikian malang. Biarpun Ayah gadis itu bukan seorang yang baik, akan tetapi agaknya gadis itu tidak memiliki sifat Ayahnya, bahkan memiliki kegagahan. Ah, kenapa dia tidak menanyakan siapa guru gadis itu? Ilmu silatnya demikian tinggi, apa lagi ilmu tongkatnya. Hebat! Tentu gurunya seorang yang sakti.
Setelah bayangan Kui Eng tidak nampak lagi, Ci Kong menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya. Tanpa disengaja kakinya juga bergerak menuju ke Kanton di mana dia mendengar terjadi hal-hal penting, yaitu pengepungan kota oleh pasukan pemerintah yang hendak menentang dan menghentikan perdagangan madat yang bersumber di Kanton. Memang terjadi hal-hal penting di Kanton. Panglima Lin Ce Shu mengepung dan menahan kota Kanton selama enam minggu dan setiap hari dilakukan penggeledahan dan penyitaan madat di seluruh kota. Kapten Charles Elliot yang memimpin perkumpulan English East India Company dan mengepalai semua pedagang, bahkan menjadi wakil pemerintahnya, menghadapi pukulan besar sekali. Segala usaha telah dilakukannya, dengan jalan melakukan bujukan dan penyogokan.
Namun, Panglima Lin Ce Shu tidak bergeming dalam tugasnya, tidak dapat dibujuk sama sekali! Dan akhirnya, secara terpaksa sekali kapten itu menyerahkan semua madat yang dimiliki para pedagang kulit putih. Lebih dari dua puluh ribu peti madat murni disita dari orang-orang kulit putih ini, dan seluruh madat yang disita oleh pasukan Lin Ce Shu berjumlah mendekati satu juta kilogram! Tumpukan-tumpukan peti madat yang amat besar jumlahnya ini oleh Panglima Lin Ce Shu lalu dibakar di depan umum, sehingga menimbulkan api besar bernyala-nyala dan bau yang menyengat hidung seluruh penduduk Kanton! Bahkan dalam kesempatan ini, Lin Ce Shu mengundang para pemuka orang kulit putih seperti Kapten Charles Elliot, Opsir Hellway dan lain-lain untuk datang menyaksikan "kembang api" luar biasa itu.
Mula-mula para pemuka orang kulit putih itu tidak tahu mengapa Panglima Lin yang mengadakan penyitaan madat itu mengundang mereka untuk makan malam dan berpesta. Mereka mengira bahwa tentu panglima itu merasa tidak enak hati dan kini menebus peristiwa itu dengan sikap lunak dan penghormatan dalam pesta. Walaupun hati mereka merasa mendongkol sekali karena peristiwa penyitaan madat itu mendatangkan kerugian yang tak terhitung besarnya, namun mereka datang pula dengan pakaian indah gemerlapan. Opsir Hellway datang bersama isterinya, dan Sheila juga ikut. Gadis ini nampak cantik jelita dengan gaun berwarna kuning emas itu berkilauan tertimpa sinar lampu warna-warni yang menerangi ruangan di atas benteng itu.
🖐
Ternyata para pembesar sipil dan militer berkumpul di situ. Wajah-wajah tegang meliputi tempat itu karena bagaimanapun juga, peristiwa penyitaan madat itu mendatangkan kerugian yang bukan sedikit pula bagi beberapa orang pembesar yang tadinya menjadi pelindung para pedagang asing itu. Kini, para pembesar yang tadinya menjadi sahabat-sahabat baik kapten Charles Elliot dan anak buahnya, kini hanya dapat saling bertukar pandang dengan orang-orang kulit putih itu dengan muka yang suram dan pandang mata layu dicekam ketegangan. Akan tetapi, Panglima Lin Ce Shu melalui wakil dan juru bahasanya menyambut para tamu asing itu dengan ramah, dan mereka semua dipersilahkan duduk dan dijamu dengan meriah. Setelah mereka kenyang makan minum, Lin Ce Shu bangkit dari kursinya dan melalui seorang penterjemah dia berkata,
"Malam yang baik ini akan kami isi dengan pertunjukan indah bagi para tamu, terutama sekali para tamu bangsa asing yang malam ini berkumpul di sini memenuhi undangan kami. Kami persilahkan untuk menikmati keindahan kembang api istimewa!"
Panglima itu memberi isyarat dan tirai-tirai kain yang tadinya tertutup di depan jendela-jendela itupun dibuka. Nampak oleh orang-orang berkulit putih itu jauh di luar terdapat tumpukan peti-peti candu dan perajurit-perajurit yang sudah siap dengan obor di tangan. Panglima Lin Ci Shu memberi isyarat dengan tangan dan mulailah para perajurit membakar tumpukan candu yang puluhan ribu peti jumlahnya itu! Wajah orang-orang berkulit putih itu menjadi pucat ketika sinar api yang amat terang menimpa mereka. Mereka terbelalak. Sheila menahan pekik karena merasa ngeri ketika mencium bau candu dibakar, napasnya menjadi sesak dan cepat ia berlindung di belakang Ayahnya yang merangkulnya. Opsir Hellway mengepal tinju.
"Terkutuk...!" Dia menyumpah perlahan. Tak disangkanya bahwa mereka semua akan disuguhi tontonan yang menusuk perasaan itu. Panglima Lin Ce Shu mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal ini.
Pertama, dia ingin membuktikan bahwa tidak ada permainan kotor dalam penyitaan candu itu, bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk memberantas candu. Ke dua, dia ingin agar orang-orang kulit putih itu menjadi jera, dan ke tiga, dia ingin memperingatkan rakyatnya bahwa kebiasaan menghisap candu itu dilarang. Setelah para tamu dipersilahkan duduk kembali, dengan resmi Lin Ce Shu mengumumkan bahwa mulai hari itu, dilarang keras memasukkan candu ke Kanton. Semua kapal akan diperiksa dan siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman. Orang-orang asing, kalau kedapatan menyelundupkan candu, akan diusir dan semua harta bendanya disita, juga kapal yang membawa candu akan disita. Setelah mendengar peringatan keras ini, orang-orang kulit putih itu tentu saja merasa tidak enak untuk duduk di situ lebih lama lagi.
Kapten Charles Elliot lalu pamit dan para tamu asing itu meninggalkan tempat itu dengan wajah muram. Mereka semua merasa seperti menerima tamparan keras, selain dirugikan, juga mendapatkan malu dan ancaman. Masa depan mereka menjadi suram. Kalau tidak boleh memasukkan madat, berarti mereka kehilangan mata pencarian yang amat menguntungkan! Sepulang mereka dari pesta itu, para pedagang lalu berkumpul di rumah Kapten Elliot dan mereka berunding. Dengan nada kesal dan marah sekali para pedagang itu menyatakan protes mereka dan menuntut agar Kapten Elliot tidak mendiamkan saja penghinaan dari pemerintah Ceng itu. Akhirnya Kapten Elliot, setelah melalui perdebatan dan perundingan yang panas, menyanggupi.
"Demi kehormatan bangsa dan pemerintah kita, demi kelangsungan kehidupan dan perdagangan kita, demi keamanan kita di negeri ini, aku akan membuat pelaporan kepada pemerintah kita dan minta bantuan pasukan agar kita dapat membuat pembalasan," demikian katanya. Kemudian Kapten Charles Elliot menganjurkan agar mereka semua bersiap-siap untuk meninggalkan Kanton dengan kapal-kapal yang disediakan.
Sebelum datang bala bantuan, mereka dianjurkan tenang-tenang dan diam-diam saja dulu. Kalau pasukan bala bantuan sudah datang, sebelum pasukan itu bertindak, mereka akan diberitahu untuk meninggalkan Kanton dan mengungsi ke kapal yang akan menyelamatkan mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang kulit putih ada yang pemabokan dan beberapa hari kemudian, dalam keadaan mabok diapun mengoceh dan membual di luaran bahwa pasukan Inggeris akan datang dan menyerbu kota Kanton untuk memberi hukuman atas perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap orang-orang Inggeris pada malam hari itu. Ada yang mendengar obrolan ini dan tentu saja berita itu didesas-desuskan orang. Pada waktu itu, terdapat banyak perkumpulan pendekar yang anti orang kulit putih yang menyebarkan madat itu.
Ada pula perkumpulan pendekar yang hanya anti pemerintah Ceng sebagai pemerintah penjajah Mancu. Di antara golongan ke dua ini adalah perkumpulan Thiante-pang. Perkumpulan ini hanya anti pemerintah Mancu. Walaupun mereka juga tidak suka melihat orang kulit putih menyebar madat, namun mendengar desas-desus bahwa pasukan Inggeris akan menyerbu Kanton dan memusuhi pemerintah Ceng, diam-diam mereka merasa senang. Penyerbuan pasukan asing itu akan mereka terima dengan baik, karena membuka kesempatan bagi mereka untuk melemahkan kekuatan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, para pendekar yang tergolong anti kulit putih, mendengar desas-desus itu, menjadi marah sekali kepada orang-orang asing.
Dan beberapa hari sebelum pasukan Inggeris tiba, meledaklah ketegangan yang terasa makin panas di Kanton. Dimulai dari pertengkaran antara seorang kulit putih setengah mabok dengan seorang pecandu yang ketagihan dan dalam keadaan setengah sadar pecandu ini mendatangi orang kulit putih itu dan nekat minta diberi madat. Orang kulit putih setengah mabok itu marah-marah dan memaki-maki, lalu terjadi perkelahian yang menjalar menjadi kerusuhan ketika golongan anti kulit putih menyerbu dan mengeroyok si pemabok dan beberapa orang kawannya. Pasukan penjaga keamanan cepat bertindak karena para pembesar tidak menghendaki terjadinya kerusuhan itu. Orang-orang kulit putih menjadi panik, apa lagi ketika mendengar bahwa pemerintah mereka telah mengirim armada yang kuat untuk menyelamatkan mereka dan menggempur Kanton!
Mulailah terjadi pengungsian besar-besaran menuju ke pelabuhan di mana terdapat kapal-kapal mereka. Karena gerakan pengungsian ini, maka golongan anti kulit putih mulai bergerak menyerang mereka yang berusaha melarikan diri. Tentu saja orang-orang kulit putih ini melakukan perlawanan dan mereka itu rata-rata memiliki senjata api sehingga terjatuh pula korban di antara para pendekar yang membenci mereka. Hal ini membuat perkelahian menjadijadi. Pasukan keamanan yang repot! Karena orang-orang kulit putih itu tidak melawan pemerintah, maka kewajiban pemerintah untuk melindungi mereka selama mereka masih berada di daratan. Lebih menggegerkan lagi ketika golongan pendekar yang menentang pemerintah Mancu, mempergunakan kesempatan selagi terjadi keributan itu untuk mengacau dan menyerang pasukan keamanan pemerintah sendiri!
Golongan ini bahkan ada yang melindungi orang-orang kulit putih karena mereka ini sengaja hendak mengadu domba antara pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan penjajah dari tanah air. Pertempuran kecil-kecilan yang kacau balau terjadi dan penduduk yang tidak mau ikutikut dalam perkelahian-perkelahian itulah yang menjadi panik dan banyak pula yang lari mengungsi meninggalkan Kanton. Hal ini membuat suasana menjadi semakin gaduh dan kacau balau. Dan sudah biasa bahwa setiap kali sebuah kota mengalami kekacauan dan penjaga keamanan tidak mampu mengatasi keadaan, maka para penjahatpun keluar semua, merajalela mempergunakan kesempatan ini untuk mencari keuntungan seenaknya dan semudahnya.
JILID 13
Perampokan terjadi di mana-mana terhadap para pengungsi atau pencurian terhadap rumah-rumah yang ditinggalkan. Opsir Hellway tentu saja tidak mau tinggal diam melihat keadaan yang gawat itu. Pagi-pagi sekali dia bersama isteri dan puterinya, berkendaraan kereta meninggalkan rumah mereka untuk melarikan diri ke kapal, dikawal oleh belasan orang pengawal kulit putih dan Bangsa India yang membawa senapan. Sheila dan ibunya duduk di dalam kereta itu, sedangkan opsir Hellway dan para pengawal berjaga di luar kereta. Barang-barang berharga beberapa buah peti penuh berada dalam kereta itu pula. Dari dalam kereta, Sheila mengintai melalui jendela kereta dan wajah gadis ini agak pucat. Peristiwa berdarah yang terjadi di kota Kanton itu sungguh mengguncang batinnya dan menusuk perasaannya yang lembut.
Ia tidak suka akan kekerasan dan kini terjadi kekerasan di mana-mana. Ia mendengar tentang perkelahian-perkelahian, di mana banyak orang kulit putih menjadi korban pembantaian akan tetapi lebih banyak lagi penyerbu-penyerbu yang tewas disambar peluru senjata-senjata api orang kulit putih. Permusuhan yang terjadi tiba-tiba ini, kebencian yang memancar dari pandang mata para penduduk, membuat ia terkejut dan ketakutan. Tak disangkanya akan menjadi begini buruk hubungan antara bangsanya dan pribumi. Dan di lubuk hatinya ia menyalahkan semua ini kepada bangsanya sendiri. Pembakaran madat yang amat banyak itu, yang menjadi awal kekacauan ini, keributan dan perkelahian, semua ini menjadi akibat dari pada sebab, dan sebabnya terletak pada bangsanya sendiri.
Kalau bangsanya tidak memperdagangkan madat, kalau bangsanya tidak hanya memikirkan keuntungan, dan berhubungan dengan bangsa pribumi sebagai sahabat-sahabat sejati yang bekerja sama atas dasar saling menguntungkan, pasti tidak akan terjadi kekacauan dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dari balik tirai jendela kereta, Sheila melihat asap di mana-mana, tanda bahwa ada rumah-rumah yang terbakar. Dan banyak orang lalu lalang, pengungsi-pengungsi yang membawa buntalan, menggendong atau menggandeng anak, wajah-wajah yang ketakutan, kebingungan. Tiba-tiba terdengar letusan-letusan senjata api dan Sheila melihat banyak pria membawa senjata tombak, pedang atau golok, bergerak cepat berkelebatan di luar kereta!
"Cepp...!" Sebatang anak panah menancap di dekat jendela kereta. Sheila cepat menarik dirinya ke dalam kereta.
"Sheila, cepat tutup jendela itu dan berlindung. Jaga ibumu! Kereta kita diserang penjahat!" Terdengar bentakan Ayahnya.
"Ohhh... Tuhan, lindungi kami...!" Ibunya menjerit lirih dan menangis.
"Ibu, tenanglah...!" Sheila merangkul ibunya.
Akan tetapi ia sendiri kehilangan ketenangannya ketika suara tembakan semakin gencar dan teriakan-teriakan para pengepung, mereka yang kena tembak atau terkena anak panah. Karena ingin sekali mengetahui keadaan mereka, Sheila mengintai lagi. Kereta mereka masih berjalan, akan tetapi tiba-tiba kereta terguncang-guncang dan akhirnya berhenti dan miring karena roda sebelah kiri terperosok ke dalam selokan! Alangkah kagetnya melihat bahwa kini yang mengawal mereka tinggal lima orang lagi yang masih sibuk menembakkan senapan ke kanan kiri, dan ia menahan jeritnya ketika melihat Ayahnya terhuyung dan menhampiri kereta dengan dada tertancap anak panah. Ayahnya hampir roboh, bersandar kereta.
"Sheila maklum akan bahaya yang mengancam mereka. Ibunya sudah hampir pingsan melihat suaminya berlumuran darah, maka Sheila lalu setengah menyeretnya keluar dari kereta.
"Larilah... ke pantai... cepat!" kata Ayahnya dan Opsir Hellway ini sambil menahan rasa nyeri menembakkan lagi pistol-pistolnya ke kanan kiri ketika melihat bayangan orang-orang berkelebat. Anak panah masih menyambar-nyambar ganas. Kiranya terjadi pertempuran antara pistol senapan melawan anak panah dari para penyerbu yang kini menyerang dengan anak panah sambil bersembunyi di balik pintu-pintu gerbang, pohon-pohon dan semak-semak. Lima orang pengawal itu melawan mati-matian setelah beberapa orang kawan mereka tadi roboh oleh anak panah. Dan kini karena kereta terperosok, mereka melawan sambil berlindung pada kereta.
"Dor-dor-dorrr...!" Kembali Opsir Hellway menembak secara beruntun dan dua orang penyerbu terpekik dan terjungkal.
"Sheila, cepat...!" Teriaknya. Ibu Sheila menjerit dan tidak mau meninggalkan suaminya, akan tetapi Sheila memaksa ibunya dan menarik tangan ibunya.
"Sheila... aughhh...!" Opsir Hellway tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah terpelanting roboh karena kehabisan banyak darah. Nyonya Hellway menjerit dan berlari kembali menghampiri suaminya setelah berhasil melepaskan rangkulan puterinya. Ia menubruk suaminya dan pada saat itu, sebatang anak panah menyambar dan menembus leher nyonya itu. Ia mengeluarkan suara aneh dan terkulai di atas mayat suaminya.
"Mama...! Papa...!" Sheila menjerit.
"Nona Sheila, larilah ke pantai...!" Seorang pengawal berseru ketika melihat gadis itu hendak kembali ke kereta melihat Ayah bundanya roboh. Mendengar ini, Sheila maklum bahwa kembali ke kereta berarti bunuh diri. Biarpun hatinya merasa berat sekali untuk meninggalkan orang tuanya yang tewas, namun ia tahu bahwa saat itu yang terpenting adalah melarikan diri sampai ke kapal dengan selamat, maka sambil menahan tangisnya yang mengguguk ia lari meninggalkan tempat itu. Pantai tidak jauh lagi, dan banyak orang berbondong lari ke jurusan itu. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan kereta keluarganya yang rebah miring di tepi jalan, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki yang tinggi besar, tiga orang yang memegang golok dan yang memandangnya dengan menyeringai. Seorang di antara mereka, yang mukanya bopeng segera tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh kita untung sekali, kawan-kawan! Kuda betina putih ini menyerahkan diri kepada kita!" kata si bopeng sambil tersenyum cengar-cengir dan mereka bertiga itu mendekati Sheila. Dengan tubuh gemetar gadis itu berkata,
"Ahh... harap jangan ganggu aku. Biarkan aku pergi..." Seorang di antara mereka yang matanya kemerahan mengelebatkan goloknya yang berkilauan saking tajamnya itu ke depan Sheila sehingga gadis itu terbelalak dan mukanya pucat, melangkah mundur.
"kita bunuh saja noni ini, biar kusayat-sayat kulitnya, kupotong sedikit demi sedikit!"
"Aih, sayang kalau dibunuh begitu saja. Lihat begitu montok kelinci ini!" kata orang ke tiga.
"Benar, tidak boleh dibunuh begitu saja. Terlalu enak baginya. Kita permainkan dulu sepuasnya. Heh-heh, sejak kemarin kita kelelahan berkelahi, biar hari ini kita bersenang-senang dan mengaso," kata si muka bopeng yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan tiba-tiba saja si muka bopeng menerjang ke depan dan tangan kirinya tahu-tahu sudah mencengkeram lengan tangan kanan Sheila. Gadis ini terkejut dan meronta, berusaha melepaskan tangannya, akan tetapi cengkeraman itu kuat sekali sehingga rontaannya hanya membikin pergelangan tangannya terasa nyeri.
"Lepaskan aku, ahh, lepaskan aku...!"
Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi sambil tertawa-tawa, tiga orang itu kini menangkap kedua tangannya dan si muka buruk menyeretnya ke dalam sebuah bekas rumah orang kulit putih yang sudah hancur dan sebagian sudah terbakar habis. Setelah tiba di ruangan dalam yang penuh dengan bekas-bekas porak poranda, Sheila yang maklum bahwa dirinya terancam malapetaka hebat, meronta-ronta sekuat tenaga. Karena tidak menyangka-nyangka, Sheila dapat melepaskan diri dan lari. Akan tetapi, baru saja dara itu lari sampai di samping bekas gedung itu, si muka bopeng sudah berhasil menubruknya dari belakang sehingga gadis itupun terguling di atas rumput. Akan tetapi ia menyepak-nyepak dan meronta-ronta. Dalam pergulatan ini, gaunnya terobek sehingga nampak pahanya yang berkulit putih. Melihat ini, si muka bopeng menjadi semakin liar.
"Pegang tangan dan kakinya, biar aku dulu baru kalian nanti!" katanya terengah-engah karena Sheila memang bertenaga besar dan gadis ini melawan sekuat tenaga dan mati-matian. Akan tetapi kini, dua orang pria memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi meronta, hanya menggerak-gerakkan pinggul dan kepalanya saja sambil menjerit-jerit. Si muka bopeng terkekeh dan menubruk.
"Dessss...!" Sebuah tendangan yang amat keras dari samping mengenai pangkal paha si muka bopeng dan tubuhnya terlempar dan terguling-guling.
Dua orang kawannya terkejut dan marahlah mereka ketika melihat bahwa yang menendang kawan mereka itu adalah seorang laki-laki yang berpakaian sederhana dan memakai topi bambu sederhana dan lebar. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, akan tetapi nampak kokoh kuat. Bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada bidang yang ditumbuhi bulu halus. Dari pakaian yang ketat dan ringkas itu, membayang otot-otot lengan dan kakinya. Seorang pria yang nampak kuat sekali, berwajah sederhana namun gagah dan sinar matanya tajam dan jernih penuh kejujuran dan keterbukaan, juga keberanian. Si muka bopeng juga sudah bangkit berdiri, mukanya merah matanya melotot dan dia menyambar goloknya yang tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa Sheila.
"Jahanam keparat!" bentaknya marah sambil mengelebatkan goloknya.
"Siapakah anjing yang tak tahu diri, berani sekali menentang kami Tung-hai Sam-liong (Tiga Naga Laut Timur)?" Pemuda itu adalah Gan Seng Bu. Mendengar julukan yang amat muluk dan besar itu, dia menahan senyum. Sebagai seorang yang selama ini aktip dalam pergerakan menentang pemerintah penjajah, tentu saja dia mengenal tokoh-tokoh di sekitar Kanton. Dan tidak ada golongan pendekar atau tokoh sesat sekalipun di daerah ini yang memiliki julukan seperti itu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa tiga orang ini hanyalah bajingan-bajingan kecil yang suka memakai nama-nama besar, akan tetapi tetap saja nama itu tidak terkenal karena tindakan-tindakan mereka hanyalah kejahatan-kejahatan kecil dan rendah saja sehingga nama julukan itupun tidak dihiraukan orang.
Banyak sekali terdapat penjahat-penjahat kecil seperti ini, segala tukang copet, maling dan rampok kecil saja menggunakan nama-nama julukan yang setinggi langit. Akan tetapi kegelian hatinya melihat lagak mereka dan mendengar julukan mereka tidak mengusir rasa muak dan marah dari dalam lubuk hati Seng Bu. Dia memang murid seorang datuk sesat yang teramat jahat seperti Thia-tok itu, akan tetapi di dalam dadanya terkandung api kegagahan yang membuat dia muak melihat tiga orang pria yang kuat hendak memperkosa seorang gadis, walaupun gadis kulit putih sekalipun. Bagi orang-orang yang berjiwa gagah, tidak ada kejahatan yang lebih hina dan rendah dari pada kejahatan pria memperkosa atau menghina wanita dengan kekerasan.
"Kalian berjuluk naga akan tetapi perbuatan kalian lebih hina dari pada tiga ekor cacing busuk!" Seng Bu memaki. Belum habis kata-katanya, si bopeng sudah menyerang dengan goloknya, menggerakkan golok itu yang menyambar dahsyat ke arah leher Seng Bu, disusul oleh dua orang kawannya yang juga sudah menggerakkan golok menyerang pemuda itu. Melihat ini, Sheila terkejut dan merasa ngeri. Gadis ini tadi cepat bangkit duduk setelah tiga orang yang hendak memperkosanya itu melepaskannya dan ia kini berdiri di sudut dengan wajah pucat. Melihat betapa tiga orang laki-laki jahat itu kini menggerakkan golok yang tajam menyerang pemuda gagah yang menolongnya, Sheila tak dapat menahan dirinya berseru nyaring.
"Jangan bunuh dia...! Ah, jangan...!" Akan tetapi teriakannya segera terhenti dan memandang terbelalak. Ia hampir tidak dapat percaya akan pandangannya sendiri.
Pemuda yang menolongnya itu diserang oleh tiga orang lawannya, dengan golok tajam dan tiga batang golok itu menyambar-nyambar ganas. Agaknya sudah tidak mungkin lagi pemuda itu akan dapat menyelamatkan diri dari serangan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi, secara aneh sekali ia melihat betapa pemuda itu, kini topi bambunya terlepas dari kepala dan tergantung dengan tali kepunggungnya, berloncatan seperti seekor burung saja, menyelinap di antara sinar golok dan begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, terdengar teriakan-teriakan keras dan tiga orang penjahat itu tahu-tahu sudah terlempar ke kanan kiri dan terbanting roboh tak mampu bangkit kembali! Entah mati entah hidup, akan tetapi jelas bahwa mereka bertiga itu diam tak bergerak-gerak walaupun tidak nampak ada luka di tubuh mereka.
Pemuda gagah perkasa itu menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan pemiliknya. Sheila tidak mengenal pemuda itu dan tidak tahu orang macam apa adanya pemuda itu. Melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang pengeroyoknya dan kini memegang golok, hatinya menjadi ngeri dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kakinya dan lari pontang-panting. Robeknya gaun bagian depan sebatas paha itu malah menguntungkan baginya karena ia dapat berlari kencang dengan langkah lebar. Karena kebingungan dan ketakutan, Sheila malah lari kembali ke arah kereta. Melihat tubuh Ayah ibunya yang masih menggeletak di dekat kereta, Sheila menjerit dan lupalah ia akan rasa takutnya. Ia lalu lari menghampiri mayat-mayat itu dan menubruk mayat ibunya, menangis mengguguk.
"Ibu..., bawalah aku... bawalah aku...!" Tangisnya. Tiba-tiba sebuah tangan yang amat kuat menangkap pergelangan lengan kanannya dan Sheila seketika menghentikan tangisnya. Tubuhnya tiba-tiba ditarik ke atas dan ia terpaksa bangkit berdiri. Dengan air mata berlinang dan muka pucat sekali ia menatap wajah orang yang menariknya. Tasa takutnya berkurang ketika ia melihat bahwa yang menariknya bangun dan kini memegang lengan kirinya itu bukan lain adalah pemuda yang tadi merobohkan tiga orang jahat itu. Sheila terbelalak menatap wajah pria itu, wajah yang gagah sekali akan tetapi yang pada saat itu diliputi kekerasan, kejantanan yang mengagumkan akan tetapi juga mengerikan. Apa lagi melihat tangan pria ini memegang sebatang golok yang demikian tajam dan runcing.
"Le... lepaskan aku..." kata Sheila lirih dan memelas. Pria itu mengendurkan pegangannya, agaknya rasa halus dan lunak dan hangat dari lengan yang dipegangnya itu mengejutkan dan membuatnya risi. Akan tetapi dia tidak melepaskan pegangannya.
"Kau harus pergi dari sini, nona." Akhirnya dia berkata.
"Tidak...! Tidak..., aku ingin bersama Ayah ibuku...!" Ia menengok kembali ke arah dua buah mayat di dekat kereta.
"Nona, jangan bodoh. Mereka itu sudah tewas dan engkau masih hidup. Mari kita pergi dari sini, cepat...!" Seng Bu lalu menarik lengan gadis itu. Sheila meronta dan mempertahankan, akan tetapi ia merasa betapa tenaga pemuda itu luar biasa kuatnya. Ia tetap mogok sehingga tubuhnya terseret sampai berada di sisi lain dari kereta yang miring itu dan kini mayat Ayah ibunya yang berada di balik kereta tidak nampak lagi. Seng Bu berhenti menyeret dan membalik sambil menghardik gadis itu.
"Apakah engkau ingin mati tinggal di sini?" Dibentak secara kasar begitu, Sheila menjadi tersinggung dan timbul kemarahannya. Ia menentang pandang mata pemuda itu dengan sepasang matanya yang jeli akan tetapi yang pada saat itu basah dengan air mata. Sejenak mereka saling tatap dan terpaksa Seng Bu menundukkan pandang matanya, tidak tahan melawan lebih lama. Jantungnya berdebar tegang. Sudah sering dia melihat wanita kulit putih, walaupun dari jarak jauh.
Baru sekarang dia berdekatan, bahkan memegang lengannya yang halus lunak dan hangat. Dari dekat, nampak jelas sekali rambut itu. Rambut yang seperti benang emas, yang pernah membuat dia bergidik ketika melihat untuk pertama kalinya. Tak pernah dia dapat membayangkan bagaimana rambut kepala tidak hitam atau putih beruban, melainkan kuning emas! Dan mata itu. Begitu lebar dan indah, dengan manik mata bukan hitam putih, melainkan biru dan kelihatan dalam seperti lautan biru! Dan kulit yang putih sekali itu, tiada cacat sedikitpun, tidak seperti kulit orang-orang kulit putih yang pernah dia lihat penuh totol-totol merah. Gadis ini cantik bukan main. Buah dada yang hanya separuh tertutup gaun tipis itu nampak begitu padat, membusung dan nampak keras dan penuh. Dia tidak berani memandang lebih lama lagi dan menunduk.
"Nona, engkau akan mati kalau tinggal lebih lama di sini..." akhirnya dia berkata.
"Aku tidak takut mati. Lepaskan dan biarkan aku mati di sini!" jawab Sheila dengan tegas walaupun ia tidak meronta lagi. Seng Bu menjadi marah dan jengkel. Keadaan amat gawat dan berbahaya. Dia termasuk kelompok seperti Thian-te-pang yang tidak memusuhi orang kulit putih karena pada waktu itu, orang kulit putih dianggap malah berjasa dengan menentang pemerintah Mancu. Yang dimusuhi oleh kelompoknya hanyalah pemerintah penjajah dan dalam hal ini, dia sendiri hanya terbawa-bawa dan ikut-ikutan dengan suhengnya saja yang menjadi tokoh penting dalam Thian-te-pang sekarang. Akan tetapi, pada waktu itu pergolakan terjadi di Kanton dan golongan anti orang kulit putih amat banyak dan amat kuat. Mereka adalah pendekar-pendekar yang timbul kemarahannya karena orang kulit putih menyebar madat,
Lalu ada pula golongan-golongan penjahat yang menyelundup atau menyusup ke dalam perjuangan para pendekar ini, mereka ini menyusup untuk dapat merampok rumah-rumah orang kulit putih yang kaya, dengan dalih memusuhi mereka seperti para pendekar. Tiga orang yang tadi dirobohkannya adalah penjahat-penjahat pula. Dia dan golongannya sama sekali bukan pembela orang kulit putih, hanya tidak memusuhi mereka pada saat itu. Kalau tadi dia menyelamatkan gadis kulit putih ini hanya terdorong oleh perasaannya, oleh sifat kegagahannya yang tidak mau membiarkan tiga orang laki-laki memperkosa seorang gadis yang tidak berdaya. Dan kini, setelah bersusah payah menolong, dan hendak menyelamatkan gadis itu dari tempat berbahaya itu, si gadis menolak dan memilih mati!
"Nona, kalau mereka datang dan membunuhmu, hal itu tidak perlu kita pusingkan lagi. Akan tetapi bagaimana kalau mereka membawamu dan memperlakukan seperti tiga orang penjahat tadi? Apakah engkau menghendaki hal itu terjadi atas dirimu?" Ucapan itu seperti sengatan yang menyakitkan. Wajah gadis itu berobah pucat dan ia sudah menengok ke kanan kiri dengan sikap ketakutan.
"Jangan...! Tolonglah aku..."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita harus cepat pergi dari sini, lebih cepat lebih baik." Baru sekarang Sheila teringat akan pesan Ayahnya. Ia harus cepat pergi ke kapal! Peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya tadi sempat membuat ia lupa lagi akan niatnya melarikan diri.
"Ouhhh... tolonglah saya, tolong antarkan saya ke kapal. Saya harus segera pergi ke sana, menyelamatkan diri...!" katanya dan menuding ke arah pantai yang masih agak jauh dari tempat itu.
Seng Bu menengok ke timur. Tentu saja, menggunakan kepandaiannya, dia akan dapat menerobos dan membawa nona ini sampai ke pantai, ke kapal. Akan tetapi ada dua hal yang membuat dia mengambil keputusan untuk tidak melakukan hal ini. Pertama, andaikata dia berhasil melarikan nona ini sampai ke kapal, dia sendiri tentu akan dicurigai dan tidak merupakan hal yang mustahil kalau dia langsung saja ditembak dan dibunuh oleh orang kulit putih. Dan ke dua, entah bagaimana, dia tidak ingin melihat gadis itu pergi meninggalkan dia! Seng Bu menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin, nona. Lihat, ada kebakaran-kebakaran di sana. Mereka telah menghadang di jalan dan mereka bahkan akan menyerang kapal-kapal itu. Kalau nona ke sana, sebelum sampai di kapal tentu akan tertawan." Dia tidak berbohong karena kalau Sheila pergi sendirian ke pantai, tentu dara itu akan terhadang dan tertangkap. Tentu saja kalau dia yang membawanya, dengan mengandalkan kepandaiannya, banyak kemungkinan gadis itu akan selamat sampai di pantai! Sheila menjadi bingung. Dengan matanya yang lebar dan basah ia lalu memandang wajah pemuda itu.
"Habis... lalu aku harus pergi kemana?"
"Mari ikut bersamaku, nona. Aku akan menyelamatkanmu. Percayalah, aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku, nona." Sepasang mata yang basah itu terbelalak, penuh keheranan, penuh terima kasih dan keharuan. Kata-kata pemuda itu, apa lagi yang terakhir, menimbulkan kesan mendalam di hati Sheila dan wajah itu nampak demikian simpatik, demikian mengagumkan sehingga terasa ada kedamaian dan keamanan yang menenangkan di hatinya.
"Baiklah, aku tidak tahu harus ke mana... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."
"Mari, nona," kata Seng Bu yang melihat bayangan banyak orang datang dari sebelah selatan. Dia menggandeng tangan Sheila, tidak lagi memegang pergelangan lengannya dan menarik gadis itu, diajaknya lari ke barat.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu mil mereka berjalan, tiba-tiba Sheila terpekik dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Di depan mereka nampak serombongan orang laki-laki yang jumlahnya dua puluh orang lebih, semua memegang senjata dan nampak mereka itu menyeramkan sekali, dengan senjata di tangan, dengan pakaian kusut, mata beringas dan sikap membayangkan kekerasan. Dan bukan hanya Sheila yang terkejut, akan tetapi Seng Bu juga kaget sekali. Dia mengenal mereka itu sebagai golongan anti kulit putih! Celaka, pikirnya, tak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa gadis yang berjalan di sampingnya adalah seorang gadis kulit putih dan tentu mereka takkan tinggal diam! Dan yang membuat hatinya merasa tidak enak adalah ketika dia mengenal mereka itu sebagai pendekar-pendekar pejuang, bukan orang-orang jahat.
"Maaf, terpaksa aku memperlakukanmu sebagai tawananku!" Seng Bu berbisik dan kini dia sudah menyambak rambut kuning emas yang panjang itu dan menyeretnya.
"Auuwww...!" Sheila menjerit kaget dan ketakutan, tidak mengerti mengapa kini penolongnya bersikap demikian terhadap dirinya. Kini rombongan orang dari depan itu telah berada di situ. Mereka nampak gagah perkasa dan kuat, akan tetapi karena pada saat itu mereka berada dalam suasana perang, di mana semua kebencian ditumpahkan melalui darah, mereka kelihatan beringas dan liar.
"Iblis putih betina!" Terdengar seruan-seruan mereka. Mereka adalah orang-orang yang membenci orang kulit putih dan menyebut orang kulit putih itu"iblis putih." Ramailah dua puluh lima orang itu kini mengurung Seng Bu yang menyeret rambut Sheila. Melihat pemuda ini menyeret rambut Sheila, mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
"Hei, kawan!" teriak pemimpin mereka, seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berperut gendut dan memegang sebatang ruyung besar.
"Dari mana kau memperoleh iblis putih betina ini dan kenapa tidak langsung saja dibunuh?" Seng Bu tersenyum.
"Aku telah membunuh seluruh keluarganya dan dia kubawa untuk kusiksa di depan makam Ayahku yang
tewas karena madat. Baru akan kubunuh dia di depan makam Ayah agar disiram dengan darahnya!" Hampir pingsan Sheila mendengar kata-kata penolongnya yang kini menyeret rambutnya itu. Ia menjadi bimbang. Bagaimana kalau benar seperti yang dikatakan pemuda itu bahwa ia sedang dibawa untuk disembelih di atas makam Ayah pemuda ini? Ia bergidik dan hanya merintih di dalam hati, hanya dapat memejamkan mata dan berdoa kepada Tuhan agar melindungi dirinya. Mendengar ucapan Seng Bu, terdengar suara ketawa dan orang-orang itu memuji Seng Bu.
"Bgus, memang iblis-iblis putih patut disembelih semua diatas makam korban madat. Selamat, kawan, semoga kebaktianmu itu diterima oleh arwah orang tuamu," kata si gendut yang lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Hayo cepat!" Seng Bu menghardik Sheila dan mendorongnya sehingga gadis itu terhuyung dan jatuh bangun, ditertawai oleh rombongan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara rombongan itu berseru,
"Haiii! Ia adalah puteri Opsir Hellway!" Seng Bu tidak memperdulikan seruan itu karena dia sendiripun tidak tahu siapa adanya gadis ini, akan tetapi tiba-tiba si gendut berteriak keras,
"Hai, kawan. Berhenti dulu!" Dengan sikap tenang, sambil memegang lengan Sheila, Seng Bu berhenti dan membalikkan tubuhnya. Si gendut itu dengan langkah lebar menghampirinya, diikuti seorang laki-laki bermata juling.
"Benarkah katamu, A-kong?" tanya si gendut kepada si mata juling. Si mata juling mendekat dan sepasang matanya yang juling meneliti Sheila. Gadis inipun merasa seperti pernah melihat laki-laki bermata juling ini.
"Tidak salah lagi! Ketika aku mengunjungi keponakanku yang bekerja sebagai pelayan di rumahnya aku pernah melihat gadis ini!" kata si juling dan sekarang Sheila teringat bahwa memang si juling ini pernah mengunjungi seorang di antara para pelayannya yang oleh pelayan itu diperkenalkan sebagai seorang pamannya dari dusun. Si gendut kini menghadapi Seng Bu.
"Kawan, gadis ini adalah puteri Opsir Hellway."
"Kalau begitu, mengapa? Aku tidak tahu siapa, akan tetapi siapapun gadis ini, ia harus menjadi korban di makam Ayahku!" kata Seng Bu dengan sikap tenang.
"Tidak, kawan. Ia puteri opsir, merupakan tangkapan penting. Ia harus kami bawa sebagai tawanan penting. Pemimpin kami akan girang sekali mendapatkan tawanan opsir itu. Opsir itu di samping Kapten Elliot merupakan musuh-musuh besar, dan puterinya tentu merupakan tawanan penting sekali!"
"Tidak bisa. Akulah yang menangkapnya dan ia adalah tawananku!" kata Seng Bu. Si gendut mengerutkan alisnya.
"Kawan, kami adalah para pejuang, dan dalam perjuangan, urusan pribadi harus dikesampingkan. Berikan gadis ini kepada kami dan jasamu akan kami catat, kami laporkan kepada atasan kami!"
"Aku tidak perduli. Gadis ini menjadi tawananku dan siapapun tidak boleh merampasnya!"
"Kau mau menjadi pengkhianat?" Bentak si gendut.
"Aku bukan anak buahmu, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Tidak perlu banyak cakap, rampas saja gadis itu!" terdengar teriakan-teriakan. Seng Bu maklum akan gawatnya keadaan, maka cepat ia menotok jalan darah di pundak Sheila yang membuat gadis itu seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak, kemudian dengan tangan kirinya Seng Bu memondong tubuh yang lemas itu di atas pundak kirinya. Sejenak jari-jarinya menyentuh kulit daging yang lunak dan halus, akan tetapi semua perasaan aneh ini ditekannya dan diapun meloncat ke depan.
Orang-orang itu berteriak-teriak dan beberapa orang sudah menghadang. Akan tetapi Seng Bu menerjang mereka dan empat orang terpelanting ke kanan kiri ketika kaki tangannya bergerak. Seng Bu hanya menggerakkan golok untuk menangkis senjata-senjata yang diarahkan kepadanya, terutama sekali untuk menjaga agar tubuh yang dipondongnya tidak sampai terkena bacokan atau tusukan. Begitu goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dia membuat beberapa buah senjata lawan beterbangan. Tentu saja orang-orang itu merasa terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Hal ini menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka lalu mengepung. Si gendut yang memegang ruyung besar itu lalu menubruk, menggerakkan ruyungnya menghantam ke arah tubuh Sheila yang dipanggul di atas pundak kiri Seng Bu.
"Wuuuutttt... tranggg!!" Golok Seng Bu menangkis dan si gendut hampir terpelanting. Dia mengeluarkan seruan kaget. Si gendut yang memimpin kelompok orang itu terkenal dengan julukan Gajah Sakti. Dari julukannya ini saja dapat diduga bahwa dia tentu memiliki tenaga yang kuat seperti gajah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ruyungnya yang besar dan berat itu tadi ditangkis oleh Seng Bu, tubuhnya terpelanting dan hampir saja terlempar! Seng Bu tidak ingin melayani orang-orang itu lebih lama lagi.
Setelah dengan tamparan gagang golok dan tendangan kaki dia merobohkan beberapa orang penghalang di depan, tubuhnya meloncat jauh ke depan. Melihat betapa pemuda itu, sambil memondong tubuh gadis itu, dapat melayang jauh ke depan seperti terbang, semua orang melongo dan menjadi jerih. Kiranya yang mereka keroyok adalah seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu! Karena mengejarpun tidak akan ada gunanya, si gendut dan teman-temannya hanya memandang sampai bayangan Seng Bu yang memondong tubuh Sheila lenyap di dalam gerombolan pohon-pohon lebat dalam sebuah hutan. Sampai beberapa lamanya Seng Bu berlari kencang. Bari setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengejarnya lagi, dia berhenti dan dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Sheila sambil membebaskan totokannya.
Kembali jari-jari tangannya menyentuh kulit daging yang lunak halus dan hamgat ketika dia menurunkan tubuh itu dan hidungnya mencium bau keringat wanita bercampur dengan minyak harum yang keluar dari tubuh dan rambut Sheila. Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi Seng Bu dapat menekan batinnya sehingga jantungnya berdenyut normal kembali. Kini Sheila berdiri memandang dengan bengong dan sepasang matanya menatap wajah Seng Bu penuh selidik. Ia sedang menimbang-nimbang, sedang menduga-duga, dengan siapa ia berhadapan, orang macam apa adanya pemuda ini dan baik ataukah buruk niat yang terkandung di hati dalam dada yang bidang itu. Dan diapun kagum bukan main karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar ahli silat seperti yang pernah dibacanya dan didengarnya dari dongeng para pelayannya.
"Kau... kembali telah menolong dan menyelamatkan aku dari tangan gerombolan itu."
"Karena itulah kukatakan tadi bahwa engkau harus cepat pergi. Terlalu berbahaya di daerah ini dan banyak sekali rombongan seperti mereka itu."
"Siapakah gerombolan itu?"
"Mereka bukan gerombolan jahat, sama sekali bukan seperti tiga orang bajingan yang menangkapmu pertama kali itu. Tidak, mereka tadi adalah sepasukan patriot, orang-orang gagah yang memusuhi orang kulit putih." Baru dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah seorang gadis kulit putih.
"Maaf, aku tidak dapat menyalakan mereka..." Dan dengan berani Seng Bu menentang pandang mata itu. Sheila menarik napas panjang, lalu berkata lirih.
"Tidak, akupun tidak dapat menyalakan mereka!" Ucapan ini mengejutkan dan mengherankan hati Seng Bu dan dialah yang kini memandang wajah gadis itu penuh selidik.
"Apa? Benarkah itu? Mereka memusuhi bangsamu, bahkan membunuh bangsamu, juga orang tuamu terbunuh oleh mereka dan kau tidak menyalakan mereka? Apa maksudmu?" Kembali Sheila menarik napas panjang.
"Bngsaku bersalah, aku sudah sejak lama tidak setuju dengan perdagangan candu mereka. Benda itu berbahaya, meracuni rakyat. Aku melihat akibat-akibat mengerikan dari madat itu. Jadi kalau sekarang bangsamu marah dan memusuhi bangsaku, bagaimana aku dapat menyalakan mereka? Andaikata aku menjadi mereka, akupun akan berbuat demikian!" Seng Bu terbelalak, matanya memandang kagum.
"Aihh, engkau... engkau seorang gadis yang bijaksana sekali!"
"Dan engkau... engkau tentu seorang pendekar yang pandai ilmu silat."
Seng Bu semakin heran.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu tentang pendekar silat?"
"Aku banyak membaca tentang pendekar dan banyak mendengar dari para pelayanku.." Seng Bu mengangguk-angguk.
"Kiranya nona seorang terpelajar. Ah, baru teringat aku bahwa nona, biarpun seorang asing kulit putih, akan tetapi pandai sekali berbahasa daerah dan kata-katamu sopan halus seperti orang terpelajar."
"Sejak berusia empat tahun aku tinggal di sini, tentu saja aku pandai bahasa sini. Benarkah engkau menolongku dengan maksud baik, ingin menyelamatkan aku? Tidak akan kau bawa untuk..." wajah gadis itu memandang jijik.
"Untuk apa. Nona?"
"Untuk kau bunuh di makam Ayahmu agar darah ku membasahi makam Ayahmu...?" Ia bergidik ngeri. Seng Bu menggeleng kepala.
"Tidak, tadi hanya kupakai agar mereka mau membiarkan aku membawamu pergi. Siapa kira ada yang mengenalmu. Jadi kau anak opsir?" Sheila mengangguk.
"Ayah dan ibu telah tewas..." dan tiba-tiba ia menangis lagi, menangis terisak-isak karena teringat akan mayat Ayah ibunya yang menggeletak di dekat kereta. Seng Bu memandang gadis yang kini tak dapat menahan kesedihannya itu. Sheila merasa betapa tubuhnya lemas tak bertenaga lagi setelah kini terlepas dari bahaya dan teringat akan Ayah bundanya. Ia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tak memperdulikan betapa pakaiannya menjadi kotor. Ia menutupi muka dengan kedua tangan, akan tetapi isaknya makin keras dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya. Seng Bu merasa kasihan sekali dan diapun menghiburnya dengan suara lirih.
"Sudahlah, nona. Mereka sudah tewas, ditangisi sampai bagaimanapun tidak ada gunanya. Yang sudah mati tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting memikirkan yang masih hidup dan engkau masih hidup, nona."
Seng Bu bukan orang yang pandai mengatur kata-kata, maka ucapan yang keluar dari lubuk hatinya ini walaupun mempunyai maksud yang amat baik, namun tidak dimengerti oleh Sheila dan gadis itu menjadi makin mengguguk karena seolah-olah diingatkan oleh pemuda itu bahwa hanya ialah seorang yang masih hidup seorang diri saja di dunia yang penuh bahaya ini, di sebuah negeri asing yang kejam terhadap dirinya. Melihat seorang gadis menangis demikian sedihnya, hal yang baru pertama kali ini dialami oleh Seng Bu, hati pemuda ini diliputi keharuan dan rasa kasihan yang mendalam dan suara tangis itu demikian memilukan hatinya sehingga tanpa disadarinya lagi kedua matanya menjadi basah!
"Aku... aku memang masih hidup... akan tetapi apa artinya? Aku... aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hidup sebatangkara di sini...!" kata Sheila di antara tangisnya.
"Nona, engkau tidak sendirian dalam hal ini. Akupun hidup sebatangkara, tidak punya siapa-siapa lagi, Ayah ibuku juga... sudah mati semua, terbunuh..." Sheila yang tadinya sesenggukan itu tiba-tiba saja menghentikan tangisnya, mengangkat muka dari lindungan kedua tangannya dan dengan mata merah basah memandang wajah Seng Bu, sinar matanya penuh selidik dan kedua alisnya berkerut.
"Orang tuamu... Mereka mati karena... madat...?" Suaranya mengandung penuh kekhawatiran, dan teringatlah ia akan kata-kata ancaman yang dipergunakan oleh pemuda itu kepada gerombolan yang tadi hendak menawannya. Seng Bu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak. Mereka tewas... karena kekacauan yang timbul oleh pemberontakan. Aku melihat... mereka terbunuh tanpa dapat berbuat apa-apa..." Seng Bu menghentikan kata-katanya dan kesedihan memenuhi hatinya karena percakapan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri, akan kematian Ayah bundanya dan akan semua kesengsaraan yang pernah dialaminya dan baru sekali ini dia bicarakan dengan orang lain.
Tanpa terasa olehnya, kedua matanya menjadi basah, bahkan ada dua butir air mata mengalir turun di atas pipinya. Melihat betapa pemuda yang demikian gagah perkasa itu menitikan air mata, Sheila menjadi terharu sekali. Gadis ini kini tidak merasa begitu berduka lagi, melainkan terharu dan kasihan kepada Seng Bu. Kini air mata yang jatuh menitik dari kedua matanya berbeda lagi dengan air matanya yang tadi, seperti juga air mata yang jatuh dari mata Seng Bu berbeda dengan air mata yang membasahi kedua matanya sebelum dia terkenang akan keadaan dirinya sendiri. Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan air mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia.
Kebohongan besarlah kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis! Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak menangis pula di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali. Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab, merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini. Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan kegembiraan yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah terdapat suatu kesungguhan, suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun juga, tangis tidaklah sepalsu tawa. Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari bangsa apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis. Dan suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara yang sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara yang wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa dan bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan manusia berbangsa apapun juga.
Dari suara tangis, kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu keluar dari mulut seorang berbangsa ini atau itu. Kelahiran manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan selingan tangis! Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, dan tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula. Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing. Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun mudah sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis, sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata. Gan Seng Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, yang sejak kecil sudah digembleng oleh keadaan yang pahit, oleh kesukaran, kemudian digembleng ilmu oleh seorang datuk sesat yang sakti. Semenjak menjadi murid Thian-tok, dia tidak lagi pernah menangis, seolah-olah hatinya telah membeku. Hanya karena memang pada dasarnya dia tidak suka akan kejahatan, dan memiliki watak gagah perkasa, maka dia tidak terseret oleh watak gurunya yang aneh, jahat dan amat kejam itu. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Sheila, terjadilah perobahan yang besar dan luar biasa, yang membuat Seng Bu sendiri menjadi bingung dan terkejut.
Dalam waktu sehari, bahkan baru beberapa jam saja, setelah bertemu dengan Sheila, dia beberapa kali mengalami guncangan batin, jantungnya berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran, dan lebih hebat lagi, kini dia sampai dua kali menitikan air mata dalam keadaan yang berbeda! Pertama, keharuan dan iba terhadap diri gadis itu membuat dia tidak dapat menahan air matanya, dan kini, setelah teringat akan keadaan diri sendiri, dia menitikkan air mata karena iba diri dan duka. Kedukaan, saling iba, dan persamaan nasib itu mendekatkan dua hati yang bertemu dalam keadaan yang demikian mengharukan dan menyedihkan. Mereka duduk di atas rumput, kini tidak bicara, hanya sinar mata mereka saling pandang dengan penuh getaran perasaan.
"Engkau sungguh patut dikasihani, nona." Akhirnya Seng Bu berkata untuk menghibur hati sendiri. Memang tidak ada cara yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan diri sendiri dari pada mengalihkan perhatian kepada nasib lain orang, sehingga iba diri berobah menjadi iba kepada orang lain.
"Engkau lah yang patut dikasihani," jawab Sheila. Mereka saling merasa kasihan, dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa rasa iba ini merupakan jembatan yang dekat sekali untuk menyeberang kepada cinta asmara.
"Tidak, nona. Aku adalah orang dari negeri ini, dan aku langsung terlibat, bahkan aku juga ikut aktip dalam pergolakan sehingga sudah sepantasnya kalau aku menjadi korban gelombang ini. Akan tetapi engkau, engkau seorang asing dan engkau sama sekali tidak tahu-menahu tentang semua ini... dan engkau menjadi korban..."
"Tidak! Pandanganmu itu keliru, sahabat yang gagah. Setiap orang tentu menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa dirinya sendiri. Ayah bertugas di sini, dan Ayah ikut pula mendorong kereta kejahatan yang berupa penyelundupan madat ke negeri ini. Itulah sebab terjadinya musibah hari ini. Dan apa bila ada angin ribut melanda, angin tidak memilih pohon apa saja tentu akan dilandanya, daun apa saja, bunga apa saja mungkin rontok oleh amukan angin dan badai. Biar aku tinggal di negeriku sendiri, kalau di sana terjadi badai seperti di sini, kalau terjadi pergolakan, mungkin saja aku tertimpa dan menjadi korban. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan siapa-siapa, melainkan kesalahan pihakku sendiri, orang tuaku dan bangsaku." Seng Bu tertegun. Demikian mendalam arti kata-kata gadis itu, demikian bijaksana sehingga sukar ditangkapnya secara jelas, namun samar-samar dia dapat mengerti. Memang gadis itu seorang yang bijaksana, luas pengetahuannya biarpun usianya masih muda, karena ia banyak membaca.
Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk kebijaksanaan. Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula. Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri, untuk mencari kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan permusuhan, kebencian kepada yang berada di luar diri. Mengapa kita tidak pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri?
Bukankah hal ini timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah gambaran tentang diri kita sendiri, sebuah gambaran yang menjadi raja "Aku"? Aku yang paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani, menjadikan kita menjadi rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat kita enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri. Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua perhatian kepada si penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya, mendendam dan mencari jalan untuk membalasnya berikut bunganya. Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan keluar itu dan mencari sebabnya dalam diri sendiri? Kalau kita melakukan hal itu, maka akan nampaklah oleh kita sebabnya yang terutama adalah pada diri kita,
Yaitu karena kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka kita sampai tertipu. Pengamatan terhadap diiri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya, mendatangkan emosi, dendam dan kebencian dan tidak akan menambah kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang sama terulang lagi karena kelengahan kita sendiri. Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata orang bijaksana, kita tidak menyalahkan Tuhan tidak mengutuk Setan, melainkan mencari sebab-musababnya dalam diri kita sendiri!
"Nona, engkau tabah menghadapi semua penderitaan, membuat aku kagum sekali," akhirnya Seng Bu menyatakan kekaguman hatinya.
"Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, sobat. Engkau gagah perkasa, engkau berbudi mulia, biarpun aku seorang asing sama sekali bagimu, bahkan dari bangsa asing yang telah banyak menimbulkan kesengsaraan kepada bangsamu, engkau masih mau menolongku, bahkan melindungiku dengan taruhan nyawa. Bolehkah aku mengenal namamu?"
"Namaku Gan Seng Bu, hidup sebatangkara saja di dunia ini."
"Gan Seng Bu? Nama yang gagah."
"Dan engkau siapakah, nona?"
"Namaku Sheila."
"Sheila...? Sheila...?" Seng Bu tidak memberi komentar, akan tetapi beberapa kali bibirnya bergerak menyebut nama Sheila dengan lembut dan tidak kaku. Diam-diam Sheila merasa girang bahwa namanya Sheila, sebuah nama yang tidak akan sukar terucapkan oleh mulut pribumi yang sukar menyebut huruf "r." Coba namanya Margaret atau lain nama yang menggunakan huruf itu tentu akan sukar bagi Seng Bu untuk menyebutnya. Tidak, nama Sheila tidak sukar bagi lidah Seng Bu.
🖐
"Biarlah aku menyebutmu Seng Bu saja dan engkau menyebutku Sheila tanpa nona, bagaimana?" Ketika Seng Bu mengangguk tersenyum, Sheila juga tersenyum dan pada saat itu keduanya sudah lupa sama sekali akan keharuan dan kesedihan mereka tadi. Memang, suka atau duka hanyalah permainan pikiran belaka yang menimbulkan emosi, kalau pikiran tidak lagi tertuju kepada hal itu, tentu tidak ada pula duka atau suka!
"Seng Bu, setelah engkau mengajakku sampai ke tempat ini, lalu selanjutnya bagaimanakah? Aku seharusnya pergi ke kapal dan menyelamatkan diri dengan orang-orang kulit putih lainnya. Akan tetapi jalan ke sana sudah terputus dan aku berada di sini. Bagaimana selanjutnya? Engkau tidak akan meninggalkan aku begini saja di sini, bukan?"
"Aih, tentu saja tidak, Sheila. Aku tidak akan berbuat kepalang tanggung. Aku sudah berani mengajakmu ke sini, aku harus dapat mempertanggungjawabkan dan selanjutnya aku akan melindungimu sampai... sampai engkau selamat benar." Makin yakinlah hati Sheila akan kegagahan Seng Bu, akan kesungguhan hatinya melindunginya dan hatinya mulai pasrah. Ia akan merasa aman kalau selalu berada di dekat pemuda ini, dalam keadaan bagaimanapun juga.
"Terima kasih, Seng Bu. Akan tetapi, ke mana selanjutnya kita akan pergi?" Ia menatap wajah yang gagah itu.
"Apakah engkau mempunyai rumah?" Seng Bu tersenyum dan semua bayangan kekerasan meninggalkan garis-garis wajahnya ketika dia tersenyum. Dia menggeleng kepalanya dan Sheila melihat kuncir rambut yang hitam gemuk dan panjang itu bergoyang di depan dada pemuda itu. Rambut yang hitam mengkilap, gemuk panjang, bagus sekali.
"Aku adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak memiliki apa-apa, Sheila. Juga tidak mempunyai rumah. Akan tetapi untuk sementara ini, aku tinggal bersama kawan-kawan lain di dalam sebuah hutan di mana dibangun pondok darurat besar di mana kami tinggal bersama."
"Kawan-kawan?"
"Ya, kawan-kawan seperjuangan, orang-orang gagah yang mempunyai cita-cita yang serupa, yaitu mengenyahkan penjajah asing dari tanah air."
"Ah, sekarang aku tahu!" Sheila berkata dengan sikap gembira.
"Aku sudah pernah baca dan mendengar tentang pendekar-pendekar patriot yang bercita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman pemerintah Mancu. Ada perkumpulan Tombak Merah, Pintu Besar, Thian-te-pang. Yang manakah perkumpulanmu?" Seng Bu menggeleng kepalanya.
"Aku bebas, tidak terikat perkumpulan yang manapun, Sheila. Akan tetapi ada kukenal mereka itu karena kami setujuan, dan yang kini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan itu, sebagian besar memang anggauta-anggauta Thian-te-pang, sebagian pula adalah pejuang-pejuang sukarela seperti aku, termasuk suhengku yang menjadi tokoh Thian-te-pai yang terkenal pula." Sheila lalu diajak melanjutkan perjalanan oleh Seng Bu, memasuki sebuah hutan besar dan di tengah-tengah hutan itu Sheila dan Seng Bu disambut oleh puluhan orang. Mereka semua terheran-heran melihat munculnya Seng Bu bersama seorang gadis kulit putih yang cantik jelita. Mereka itu semua semua adalah orang-orang yang sejak kecil dididik memusuhi penjajah Mancu, dan merupakan pejuang-pejuang yang ingin meruntuhkan kekuasaan Mancu, tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap bangsa kulit putih walaupun hal ini bukan berarti bahwa mereka menyukai orang kulit putih.
Tidak, kebanyakan dari mereka tidak suka kepada orang kulit putih, terutama sekali dengan adanya penyebaran madat. Namun, mereka tidak memusuhi bangsa asing ini secara terbuka. Oleh karena itu, biarpun Sheila disambut dengan penuh keheranan, namun tidak ada yang memusuhi atau ingin mengganggunya. Seng Bu lalu memperkenalkan Sheila sebagai seorang gadis yang kehilangan semua keluarganya yang tewas oleh mereka yang anti bangsa kulit putih dan bahwa dia telah menyelamatkan gadis itu dari gangguan penjahat-penjahat yang hendak memperkosanya. Mendengar ini, orang-orang yang kebanyakan berjiwa pendekar itu ikut merasa simpati dan mereka menyambut kedatangan Sheila dengan sikap ramah, apa lagi setelah mendengar dari mulut Sheila sendiri betapa gadis asing yang pandai bicara daerah ini mengagumi perjuangan mereka.
Sheila pandai bicara daerah, dan sikapnya juga ramah, wajahnya manis menarik, maka sebentar saja semua orang merasa suka dan kasihan kepadanya. Di dalam rombongan besar ini terdapat pula wanita-wanita, ada wanita yang menjadi anggauta keluarga para pejuang itu, ada pula wanita gagah yang memang menjadi anggauta pasukan. Mereka yang tidak suka akan kekerasan bekerja sebagai pelayan dapur umum. Karena adanya para wanita yang menerima Sheila sebagai seorang sahabat, maka gadis inipun merasa senang dan tidak terasing hidup di antara para pejuang itu. Dan lucunya, para wanita di dalam rombongan itu, dan juga sebagian besar di antara mereka, diam-diam menganggap bahwa Sheila adalah pacar atau calon isteri Gan Seng Bu!
Semua orang menganggap hal ini sebagai suatu yang lumrah, bahkan ketika mendengar desas-desus ini, baik Seng Bu maupun Sheila hanya senyum-senyum saja. Hanya ada satu orang yang menerima berita ini dengan alis berkerut, dengan hati yang tidak suka dan orang ini bukan lain adalah Ong Siu Coan! Mula-mula Ong Siu Coan juga bukan merupakan anggauta Thian-te-pang. Akan tetapi sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menentang pemerintah Mancu dan berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air. Maka, begitu bertemu dengan perkumpulan seperti Thian-tepang yang terdiri dari orang-orang yang memiliki cita-cita demikian pula, hatinya segera tertarik dan diapun menggabungkan diri.
Dan Siu Coan merupakan seorang pejuang yang gagah perkasa, berilmu tinggi sehingga sebentar saja namanya terkenal sekali di antara orang-orang Thian-tepang, bahkan dia dianggap sebagai seorang tokoh Thian-te-pang walaupun dia tidak menjadi anggauta secara syah. Dalam perkelahian dan penyerbuan terhadap pasukan pemerintah, Siu Coan selalu berada di depan dan dicontoh oleh lain-lainnya, bahkan menjadi pemimpin mereka. Ketika berjumpa dengan sutenya dalam keributan di sekitar Kanton, Siu Coan membujuk sutenya untuk bergabung. Seng Bu tidak memiliki cita-cita seperti suhengnya, namun dia berjiwa pendekar dan melihat bahwa Thian-te-pang terdiri dari orang-orang gagah yang juga membela kau m lemah, diapun tidak berkeberatan untuk menggabungkan diri.
Ketika melihat sutenya pulang ke hutan bersama seorang gadis kulit putih yang cantik, mula-mula Siu Coan hanya tersenyum saja dan menyambut dengan sikap biasa saja. Akan tetapi, aneh sekali, begitu mendengar bahwa gadis itu adalah pacar dan calon isteri Seng Bu, mulailah timbul perasaan tidak enak di dalam hatinya. Dia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah permulaan perasaan iri! Mulailah dia memperhatikan Sheila dan makin diperhatikan, makin kagum dia karena baru sekarang dia melihat bahwa Sheila adalah seorang gadis yang cantik sekali, dan memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan! Perlu diketahui bahwa Thian-tok yang menjadi guru dua orang pemuda itu adalah seorang datuk sesat yang berhati kejam sekali.
Juga Thian-tok, seperti kebanyakan datuk sesat lalinnya, mempunyai watak mata keranjang dan suka menggoda wanita. Memang, setelah usianya tua sekali, yaitu setelah menjadi guru kedua orang muda itu, kegilaannya akan wanita tidaklah seperti dahulu di waktu muda. Dahulu Thian-tok terkenal sebagai pengganggu wanita, tidak perduli wanita itu isteri orang yang sudah mempunyai anak, ataukah gadis yang masih remaja, asal dia tertarik tentu akan diculiknya begitu saja. Ketika dia menjadi guru Siu Coan dan Seng Bu, hanya beberapa kali saja dia menculik wanita dan hal inipun diketahui oleh dua orang muridnya. Diam-diam Seng Bu hanya merasa tidak senang, akan tetapi tidak berani menentang gurunya. Sebaliknya, Siu Coan diam-diam merasa senang dan bahkan mencoba untuk mengintai apa yang diperbuat oleh suhunya.
Dan secara diam-diam pula, di luar tahu sutenya, beberapa kali Siu Coan juga mengikuti jejak gurunya, mengganggu wanita dengan paksa atau dengan halus. Demikianlah, terdapat suatu watak buruk tersembunyi di balik lubuk hati Siu Coan yang kelihatannya bersikap sebagai seorang pejuang, seorang patriot dan pendekar yang gagah perkasa itu. Dan melihat Sheila, timbul pula gairahnya yang didorong oleh perasaan iri dan cemburu terhadap sutenya, apa lagi melihat betapa Sheila selalu bersikap manis dan mesra terhadap Seng Bu. Mulailah dia mendekati gadis kulit putih itu, mula-mula hal ini dilakukan ketika Seng Bu sedang tidak ada, dan secara wajar seperti seorang sahabat. Dibandingkan dengan Seng Bu, Siu Coan lebih pandai bicara, pandai membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya.
Juga dia lebih pandai dalam hal kesusasteraan, lebih luas pengetahuan umumnya, dan tentu saja jauh lebih pandai dibandingkan dengan Seng Bu mengenai tulisan dan bacaan karena di waktu kecilnya Siu Coan pernah bersekolah, tidak seperti Seng Bu yang hanya anak keluarga pemburu yang kasar. Oleh karena itu setelah Siu Coan melakukan pendekatan, tidak mengherankan kalau Sheila cepat tertarik sekali dan nampak bergaul akrab dengan Siu Coan. Sheila kini menjadi semakin kagum saja setelah hidup di tengah-tengah para pendekar dan pejuang itu. Ia mengagumi kejujuran mereka, kegagahan mereka, dan betapa orang-orang ini hanya untuk menunjang sebuah cita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, rela hidup demikian bersahaja, kehilangan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi cita-cita mereka. Ia merasa kagum sekali.
JILID 14
Ketika Siu Coan mendekati, tentu saja ia sambut dengan ramah. Siu Coan adalah suheng dari Seng Bu dan ternyata bahwa suheng dari sahabat baiknya ini adalah seorang yang demikian pandainya, tidak saja pandai ilmu silatnya, akan tetapi juga luas pengetahuannya dan enak diajak bicara. Bahkan tidak seperti Seng Bu yang agak pendiam dibandingkan dengan sang suheng ini. Lambat laun Seng Bu maklum juga bahwa di antara Sheila dan suhengnya terdapat jalinan persahabatan yang akrab. Akan tetapi diapun tidak menentang, karena dia merasa tidak berhak melarang Sheila bergaul dengan siapapun juga, apa lagi dengan suhengnya sendiri. Memang ada perasaan cemburu di dalam hatinya, akan tetapi perasaan ini segera dibantahnya sendiri dan diusirnya. Dia tidak berhak untuk cemburu! Apanyakah Sheila itu? Hanya seorang sahabat!
Biarpun selama berbulan-bulan ini hidup bersama di dalam suatu kelompok, biarpun antara dia dan Sheila terdapat hubungan yang manis dan nampak mesra, namun belum pernah mereka menyinggung soal asmara. Dan dia selalu menghormati Sheila, tidak pernah menggodanya dengan kurang ajar, bahkan tidak pernah berani memperlihatkan gejolak hatinya yang sebetulnya sudah jatuh cinta sejak pertemuan pertama dahulu! Bukan hanya jasmani Sheila yang menarik perhatian Siu Coan. Ada suatu hal lain lagi yang amat menarik hatinya ketika dia mulai mendekati Sheila seringkali bercakap-cakap dengan gadis itu. Hal yang amat menarik hatinya ini adalah tentang Agama Kristen! Di dalam percakapan itu, mereka berdua menyinggung soal agama dan Sheila lalu bercerita tentang agamanya.
Dan sungguh aneh sekali, Siu Coan tertarik bukan main. Mula-mula memang menjadi taktiknya saja untuk mendekati gadis itu, membicarakan soal agama gadis itu. Akan tetapi, makin lama dia semakin tertarik dan banyak bertanya tentang pelajaran dalam agama itu. Dengan senang hati Sheila menceritakan segalanya, bahkan gadis itu lalu memberi tahu kepada Siu Coan tentang Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah! Dan karena Siu Coan mendesak untuk dapat membaca kitab itu, Sheila memberi tahu bahwa ada beberapa orang di Kanton yang memiliki kitab terjemahan itu, yaitu mereka yang sudah masuk Agama Kristen. Semenjak waktu itu, mulailah Siu Coan tertarik kepada Agama Kristen dan diam-diam dia melakukan banyak hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen di Kanton,
Yaitu bangsa sendiri yang sudah memeluk agama itu dan dari merekalah dia memperoleh kitab terjemahan. Pada waktu itu, terjemahan Alkitab dalam Bahasa Tiongkok amatlah buruknya. Tanpa bimbingan seorang pendeta atau seorang ahli, tidak mudah menangkap arti terjemahan itu. Akan tetapi Siu Coan yang memiliki watak tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling pintar, tidak membutuhkan bimbingan dan dia mempelajari sendiri kitab terjemahan itu. Dia sendiri yang membuat penafsirannya dan mulailah dia menganut agama baru yang dicampuradukkan dengan agama-agama lain yang pernah dipelajarinya. Mulailah orang muda yang memang berwatak aneh, cerdik dan luar biasa ini membentuk sebuah agama baru yang aneh, pencampuran dari Agama Kristen dan agama-agama yang lebih dulu.
Atau semacam Agama kristen yang berbahu pengaruh pelajaran Agama-agama Buddha, Tao, dan Khong-hu-cu! Masih dicampuri lagi dengan segala macam tradisi turun-temurun. Di dalam dada pemuda ini mulai dipengaruhi dua unsur yang amat kuat. Pertama adalah cita-cita menentang penjajah Mancu, kebencian yang mendalam terhadap penjajah Mancu, dan ke dua adalah pembentukan Agama Kristen yang tanpa disadarinya telah menyimpang dari pada prlajaran yang sebenarnya itu. Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir ini, condong untuk menilai seseorang melalui agamanya, atau kebangsaannya, kesukuannya, kelompoknya, kedudukannya, pendidikannya, atau bahkan dari kekayaannya! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu bermunculan konflik-konflik antar agama, antar suku, antar kelompok dan sebagainya.
Masing-masing pihak tentu saja menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar, sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk! Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari teori, baik buruknya seseorang sama sekali tidak tergantung dari agamanya, kebudayaannya, dan sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari perbuatannya dan batinnya, karena perbuatan itu mencerminkan keadaan batin. Agama, kebangsaan, kedudukan dan sebagainya adalah pakaian yang dikenakan pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya pakaian itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan buruk, tentu saja akan tetap kotor dan buruk, dan bukan tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan terbawa menjadi kotor. Agama hanyalah suatu pelajaran bagi manusia agar hidup menurut jalur yang benar dan baik,
Akan tetapi tentu saja bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya sendiri karena dapat saja dia menyeleweng dari pada jalur itu. Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini. Kita terlalu mementingkan pakaian-pakaiannya sehingga melupakan manusia itu sendiri. Banyak pertikaian timbul di antara manusia karena pakaian itu, karena agama, karena suku, karena bangsa, karena kedudukan dan kekayaan, dan semua ini bersumber kepada keakuan yang ingin senang, ingin benar sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan Ong Siu Coan, dia bukan orang sembarangan. Sejarah membuktikan bahwa Ong Siu Coan (1814-1864) kelak menjadi seorang pemimpin besar dari kelompok pejuang yang pernah menggegerkan Tiongkok dengan gerakan yang terkenal dengan nama Tai-peng!
Akan tetapi sungguh patut disesalkan bahwa manusia Ong Siu Coan yang terbuai oleh cita-cita, terbuai oleh segala macam pelajaran yang diciptakannya sendiri sehingga dia menjadi tersesat. Dia demikian tertarik kepada Sheila dan mulai bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin rakyat seperti yang dicita-citakan, memimpin rakyat bangkit menentang penjajah dengan Sheila sebagai isteri di sampingnya, dan dia bersama Sheila akan menyebarkan agama barunya! Terdorong oleh perasaan ini, pada suatu pagi dia mencari Sheila. Gadis itu sedang mencuci pakaian bersama para wanita lain di anak sungai yang jernih airnya, di lereng bukit. Dengan amat ramah Siu Coan lalu membantu gadis itu mencuci pakaian. Tentu saja Sheila tidak mau menolak bantuan ini, akan tetapi sambil tertawa Siu Coan berkata,
"Sheila, apakah pakaianmu terlalu kotor maka engkau malu kalau aku membantumu mencucinya?" Ucapan ini tentu saja membuat Sheila tidak dapat menolak lagi dan terpaksa memberikan beberapa baju luar yang sedang dicucinya, sedangkan ia mencuci pakaian dalamnya. Tentu saja perbuatan Siu Coan ini memimpin suara ketawa tertahan dan senyum simpul para wanita yang sedang mencuci pakaian. Bagi mereka, mencuci pakaian adalah pekerjaan wanita dan kalau ada laki-laki yang ikut mencuci pakaian, apa lagi pakaian wanita yang dicucinya, maka hal itu sungguh lucu dan juga tidak pantas! Hal ini agaknya disadari oleh Siu Coan, dan pemuda yang cerdik ini lalu mendapatkan kesempatan untuk mempropagandakan kepercayaan barunya.
"Kenapa kalian mentertawakan aku? Karena aku membantu cucian Sheila? Ah, tentu kalian berpikir bahwa mencuci pakaian tidak pantas bagi pria? Itu adalah pikiran yang kuno dan kotor yang harus dibuang. Di dalam pandangan Tuhan, derajat pria dan wanita sama saja. Kalau wanita boleh mencuci pakaian pria, kenapa pria tidak boleh mencuci pakaian wanita? Pria bukanlah manusia istimewa yang harus dibedakan dan lebih tinggi derajatnya dari pada wanita. Kalian harus mempelajari agama baruku, maka kalian akan dapat berpikiran maju seperti aku dan derajat kalian akan sama dengan pria."
Ucapan Siu Coan tentang derajat, tentang persamaan hak antara pria dan wanita itu pada waktu itu terdengar amat janggal dan lucu, maka ramailah orang-orang perempuan itu terkekeh mentertawakan. Akan tetapi Siu Coan hanya tersenyum saja dan memang pemuda ini pandai sekali membawa diri sehingga banyak wanita yang suka dan kagum kepadanya. Setelah selesai mencuci pakaian, Siu Coan mengantarkan Sheila pulang membawa cuciannya. Kesempatan inilah dipergunakan Siu Coan untuk mengajaknya bicara berdua saja. Di tengah perjalanan, dia mengajak gadis itu berhenti.
"Ada apakah, Siu Coan? Engkau kelihatan ada sesuatu yang amat penting untuk dibicarakan denganku?" tanya Sheila.
"Memang tepat dugaanmu, Sheila. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting, sesuatu yang amat suci dan untuk itu, semalam aku telah menerima petunjuk sendiri dari Tuhan."
"Ahhh, benarkah?" Sheila sendiri kadang-kadang terkejut dengan pernyataan Siu Coan. Pernah pemuda itu menceritakan betapa semalam dia digoda setan dan setan itu diusirnya dengan kekuatan doa. Pernah pula suatu kali dia mengatakan bahwa semalam dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar dia bertemu dengan Jesus!
"Aku tidak membohong, Sheila. Dan petunjuk itu mengatakan bahwa kelak aku akan menjadi raja..."
"Ehh...?"
"Bukan raja seperti kaisar penjajah sekarang, melainkan raja di antara rakyat untuk membebaskan rakyat dari penjajah, untuk menuntun rakyat ke jalan terang, untuk mengajak dan membawa rakyat ke kaki Tuhan..."
"Hemm, itu bagus sekali, Siu Coan."
"Dan di sampingku ada engkau, Sheila. Engkau lah yang membantuku, bahkan engkau yang memperkuat imanku, mempertebal keberanianku dan memperteguh tekadku, menambah semangatku."
"Aku, Ah, itupun baik sekali," kata Sheila yang mengira bahwa Siu Coan tentu hanya menceritakan mimpinya saja dan apa salahnya kalau ia juga dimasukkan ke dalam mimpi itu?
"Baik sekali, Sheila? Benarkah itu?" Dan tiba-tiba Siu Coan memegang tangan Sheila dengan lembut.
"Benarkah engkau menganggapnya baik sekali?" Barulah Sheila gelagapan. Pegangan Siu Coan demikian kuatnya sehingga menakutkan hatinya. Juga naluri kewanitaannya merasakan hal tidak wajar. Apa lagi ketika ia menyambut pandang mata pemuda itu, melihat betapa sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata seorang laki-laki yang penuh berahi! Sheila gemetar dan dengan hati-hati ia menarik tangannya terlepas dari genggaman tangan Siu Coan dan hatinya merasa lega karena pemuda itu tidak menahannya.
"Tentu saja aku menganggapnya baik. Bukankah hal itu baik sekali? Dan pula, bukankah hal itu hanya mimpi saja, Siu Coan?"
"Bukan, bukan mimpi, Sheila! Melainkan petunjuk yang kulihat nyata sekali. Peristiwa yang akan terjadi kelak, akan tetapi yang sudah dapat kulihat dengan jelas sekarang ini. Sheila, karena itulah pagi-pagi ini aku menemuimu, dan aku ingin bertanya kepadamu. Maukah engkau berada di sampingku selalu? Maukah engkau membantuku, Sheila?" Pertanyaan itu diajukan dengan suara menggigil dan mengandung getaran aneh sehingga Sheila memandang dengan mata terbelalak. Sepasang mata yang biru laut itu memandang penuh selidik, lalu ia bertanya,
"Apa yang kau maksudkan, Siu Coan? Bicaralah yang jelas dan terus terang!" Siu Coan menghela napas panjang. Dia tidak merasa heran kalau ada orang tidak mengerti maksud hatinya, karena kadang-kadang suara hatinya "terlampau tinggi" untuk orang lain dan harus dijelaskan.
"Baiklah, Sheila, dengan kata-kata biasa, aku hendak mengatakan bahwa aku cinta padamu dan bahwa aku ingin sekali engkau dapat menjadi isteriku." Kini Sheila benar-benar terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah disangkanya.
Memang ia suka bergaul dengan pemuda ini, suka bercakap-cakap karena selain Siu Coan mempunyai sikap yang menarik dan menyenangkan, juga pemuda ini pandai sekali. Lebih-lebih karena Siu Coan menaruh perhatian demikian mendalamnya tentang Agama Kristen. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Siu Coan menaruh hati kepadanya. Bukankah sudah jelas bagi Siu Coan dan bagi semua orang bahwa ia dan Seng Bu mempunyai pertalian hati yang mendalam? Bukankah merupakan hal yang jelas bahwa ia dan Seng Bu saling mencinta? Dan tiba-tiba saja gadis itu teringat betapa ia dan Seng Bu belum pernah mengatakan cinta itu satu sama lain, walaupun tentu saja mereka dapat saling merasakan tentang hal itu melalui sinar mata, melalui senyum dan getaran kata-kata.
"Ah, tidak, Siu Coan! Hal itu tidak mungkin!" Siu Coan menerima tamparan pada jantungnya ini dengan tenang, hanya matanya saja yang mengeluarkan sinar mata aneh dan wajahnya tetap biasa, mulutnya tetap tersenyum.
"Sheila, mengapa engkau menolak? Aku cinta padamu dan mengharapkan engkau menjadi isteriku, kenapa engkau menolak?"
Siu Coan baru saja terjun ke dalam pemikiran yang dianggapnya bebas seperti pikiran barat, seperti pikiran pembawa Agama Kristen itu, yaitu orang-orang dari barat yang berkulit putih. Maka diapun penasaran kalau ada wanita menolak cintanya, karena dia masih memandang wanita seperti keadaan nenek moyangnya, lupa bahwa Sheila adalah seorang wanita barat yang sudah benar-benar bebas dalam hal memilih jodoh! Betapapun juga, tidak enak bagi Sheila untuk mengatakan terus terang bahwa ia tidak mencinta Siu Coan, maka iapun hanya menggeleng kepalanya saja, lalu menundukkan muka karena ngeri melihat sinar mata pemuda itu berobah sedemikian aneh dan liar, seolah-olah dari situ terpancar ancaman yang amat hebat walaupun sikap pemuda itu masih tenang dan halus seperti biasa.
"Sheila, engkau menolakku karena engkau mencinta Seng Bu sute, bukan? Karena engkau dan dia sudah ada ikatan batin untuk kelak menjadi suami isteri?"
Pertanyaan yang tiba-tiba ini seperti todongan pistol pada dadanya dan amat mengejutkan karena hal itu sesungguhnya merupakan rahasia hatinya dan belum pernah diutarakan, bahkan kepada Seng Bu sekalipun belum pernah ia menyatakan isi hatinya, walaupun ia tahu bahwa Seng Bu mencintanya dan ia yakin pula bahwa pemuda gagah perkasa itupun dapat menduga akan isi hatinya. Kini ditanya seperti itu, Sheila tidak membantah dan untuk menghindarkan desakan selanjutnya dari pemuda itu, iapun mengangguk.
"Benar, aku mencinta Seng Bu, jawabnya lirih karena diam-diam iapun merasa kasihan kepada Siu Coan karena terpaksa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Siu Coan menarik napas panjang, nampak kecewa sekali akan tetapi sinar matanya masih berkilauan aneh.
"Sheila, sudah kau pikir masak-masakkah hal itu? Apakah engkau tidak keliru pilih? Ingat, sute adalah seorang kafir, tidak seagama denganmu, pengikut setan!" Sheila mengerutkan alisnya. Memang, di antara bangsanya yang beragama Kristen, banyak yang menganggap bahwa orang-orang pribumi yang tidak beragama kristen sebagai orang-orang yang ingkar, orang-orang yang tidak beriman, bahkan dianggap orang-orang biadab. Akan tetapi ia sudah banyak bergaul dengan mereka ini, dengan pelayan-pelayan rumah keluarganya, dan sudah banyak menyelami dan mempelajari kebudayaan mereka sehingga ia memperoleh kenyataan bahwa dalam hal kebudayaan, dalam hal ketata-susilaan dan peradaban, penduduk pribumi yang sederhana itu tidak kalah oleh orang-orang kulit putih. Bahkan filsafat hidup yang mereka anut amat tinggi.
"Siu Coan, harap engkau tidak berkata demikian. Biarpun Seng Bu bukan seorang yang beragama Kristen, namun dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang pria yang budiman, sopan dan terhormat. Engkau tentu mengenal watak dari sutemu sendiri. Dan aku cinta padanya, mencinta orangnya, bukan agamanya. Kelak, perlahan-lahan aku akan dapat menuntunnya agar dia dapat masuk agamaku."
"Hemm, kau pikirkan dulu baik-baik, Sheila, agar kelak engkau tidak akan menyesal namun sudah terlambat. Terus terang saja, biarpun sute juga seorang pria yang gagah perkasa, namun dia sama sekali tidak sepadan menjadi jodohmu. Dia bodoh, pengetahuannya sempit, jalan pikirannya sederhana, tanpa cita-cita, dan engkau akan hidup melarat dengan dia. Nah, biarlah lain kali kalau engkau sudah memikirkan hal ini masak-masak, kita bicara lagi." Wajah gadis itu berobah merah dan matanya memancarkan sinar kemarahan mendengar pemuda kekasih hatinya dijelek-jelekkan oleh Siu Coan.
"Siu Coan, tidak perlu kau memburuk-burukkan sutemu sendiri di depanku. Aku mencintanya, dan cinta tidak memandang kemelaratan dan kebodohan. Tak perlu kupikirkan lagi, dan mengenai hubungan antara kita tidak perlu dibicarakan lagi!" Siu Coan menggoyangkan kedua pundaknya lalu meninggalkan gadis itu dengan cepat karena pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Seng Bu yang datang dari jauh. Ketika dia pergi dengan berlari cepat, agaknya baru saja meninggalkan Sheila, Seng Bu menegur ramah,
"Suheng...!" Akan tetapi yang ditegur terus lari, menolehpun tidak sehingga Seng Bu merasa heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu suhengnya itu tidak mendengar seruannya dan diapun melanjutkan larinya menghampiri Sheila. Dia mengerutkan alisnya dengan hati khawatir ketika melihat Sheila masih berdiri di situ dan wajah gadis itu nampak masih merah dan wajah itupun membayangkan ketegangan hati.
"Sheila, apakah yang telah terjadi? Bukankah suheng tadi dari sini?" Sheila memandang wajah Seng Bu, lalu menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, dia baru saja meninggalkan aku dengan marah agaknya."
"Eh? Kenapakah? Apa yang telah terjadi antara kalian sehingga suheng menjadi marah kepadamu?" Sheila mengaku terus terang.
"Dia kecewa karena cintanya kutolak." Seng Bu terbelalak dan menatap wajah Sheila penuh selidik. Wajah gadis itu segar dan manis sekali karena tadi sambil mencuci pakaian gadis itu mandi dan menggosok kulit mukanya dengan batu halus seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita lain. Apa lagi kini gadis itu merasa tegang, kedua pipinya menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah lebar itu bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi.
"Apa... apa maksudmu?" sama sekali dia tidak mengira bahwa suhengnya juga mencinta gadis kulit putih ini, maka tentu saja pengakuan Sheila tadi mengejutkan hatinya. Sheila tersenyum untuk menenangkan hatinya sendiri, juga hati Seng Bu, lalu berkata dengan halus,
"Seng Bu, tadi suhengmu itu mengatakan bahwa dia cinta padaku dan bahwa dia ingin aku menjadi calon isterinya." Biarpun pemberitahuan pertama tadi sudah dimengertinya, namun penjelasan ini tetap saja amat mengherankan dan mengejutkan hati Seng Bu. Suhengnya? Kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu terhadap Sheila, dan suhengnya tahu benar bahwa dia mencinta Sheila.
"Dan... dan kau ...?"
"Tentu saja aku menolaknya dan dia kelihatan kecewa, lalu pergi meninggalkan aku."
"Akan tetapi... kenapa, Sheila? Kenapa kau ... kau menolaknya? Suheng adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan dia mempunyai cita-cita yang besar untuk menjadi seorang pemimpin besar." Tentu saja Seng Bu sudah tahu benar akan cita-cita suhengnya yang selalu didengung-dengungkan itu.
"Kenapa? Karena aku tidak cinta padanya."
"Mengapa engkau tidak cinta padanya, Sheila?" Seng Bu bertanya, di dalam suaranya terkandung nada mendesak yang aneh dan kini pemuda itu menatap wajah Sheila dengan tajam, penuh selidik.
"Ouhhh... Seng Bu, alangkah kejam hatimu mengajukan pertanyaan seperti itu. Seng Bu, perlukah kita berpura-pura lagi? Perlukah selama ini kita saling menyembunyikan perasaan? Engkau tentu tahu mengapa aku tidak bisa mencinta orang lain. Engkau tentu tahu bahwa aku hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini dan aku tahu pula bahwa dia mencintaku sepenuh hatinya. Akan tetapi... pria itu masih berpura-pura lagi, bertanya mengapa aku tidak mencinta pria lain! Betapa kejamnya engkau..."
Dan Sheila lalu terisak menangis. Hati Seng Bu diliputi keharuan dan melihat Sheila menangis, suatu dorongan kuat membuat dia melangkah maju dan di lain saat, entah siapa yang memulai gerakan itu, tahu-tahu Sheila telah berada dalam dekapannya. Gadis itu merebahkan mukanya di dada yang bidang itu dan merasa aman sentausa penuh kedamaian. Kedua matanya menitikkan air mata dan kedua lengannya memeluk leher, sedangkan kedua lengan Seng Bu melingkari tubuhnya dalam rangkulan ketat, seolah-olah pemuda itu khawatir kalau-kalau tubuh yang dirangkulnya itu akan terlepas.
"Maafkan aku, Sheila. Aku tahu bahwa engkau cinta padaku dan bahwa akupun cinta padamu, bahwa tanpa kata sekalipun kita sudah yakin akan cinta kita masing-masing. Akan tetapi aku... aku selalu khawatir akan kehilangan engkau, Sheila. Aku...aku merasa betapa aku ini kesasar, bodoh dan miskin, merasa tidak layak berada di sampingmu... karena itu... tadi aku meragu..." Ah, sudahlah Seng Bu. Aku hanya mencinta engkau seorang, sejak pertema kita saling jumpa dan aku takkan mau berpisah lagi dari sisimu..."
"Dan aku... aku hanya memiliki engkau seorang..."
Mereka saling dekap dan Sheila yang memulai lebih dahulu ketika mereka saling mencium, karena Seng Bu takkan berani mendahuluinya, apa lagi dia seorang pemuda yang sama sekali belum pernah berdekatan dan berhubungan dengan seorang wanita. Pada saat itu, mereka merasa merasa semakin yakin akan cinta kasih masing-masing, perasaan cinta yang terasa sampai jauh sekali di dasar hati masing-masing, kemesraan yang membuat semua bulu di tubuh mereka meremang. Suara cekikikan para wanita yang tadi mencuci pakaian bersama Sheila, menyadarkan dua orang muda itu dari keadaan yang asyik masyuk itu. Mereka cepat saling melepaskan rangkulan dan keduanya menjadi jengah kemalu-maluan, wajah mereka kemerahan dan mereka membiarkan para wanita itu lewat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ada orang melihat kita, Sheila, ini berarti bahwa kita harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi pergunjingan orang. Maukah engkau menikah denganku?" Sheila mencium pipi dan dagu pemuda itu dengan hidungnya, kelembutan yang membuat Seng Bu hampir menitikkan air mata saling saking bangga, haru dan bahagianya.
"Engkau masih bertanya lagi? Setiap saat aku bersedia, Seng Bu, setiap saat. Sudah sejak lama aku merasa bahwa aku adalah milikmu, seluruhnya, aku telah menyandarkan seluruh kehidupanku kepadamu." Sambil menggandeng tangan Sheila, Seng Bu lalu menemui kawan-kawan seperjuangannya dan mengumumkan bahwa dia hendak melangsungkan pernikahannya dengan Sheila di dalam hutan itu juga. Semua kawan seperjuangannya yang merasa kagum kepada Seng Bu akan kegagahannya, bersorak gembira dan mereka lalu bergotong royong membuat persiapan untuk pesta sekedarnya menyambut pernikahan itu.
Diam-diam Ong Siu Coan tentu saja merasa iri hati dan marah sekali, akan tetapi pada lahirnya, dia juga menyambut dengan gembira ketika Seng Bu minta pendapatnya dan doa restunya. Demikianlah, pernikahan antara Seng Bu dan Sheila terjadi di dalam hutan itu, dirayakan oleh para pejuang. Suasana cukup meriah dan gembira malam itu walaupun tidak ada pesta besar seperti kalau pernikahan dirayakan di kota dalam suasana damai dan tenteram. Malam itu dengan penerangan api unggun dan beberapa belas lampu minyak, para pejuang merayakan pesta pernikahan itu. Seng Bu mengenakan pakaian bersih, dan Sheila mengenakan pakaian pengantin yang dipinjamkan dari seorang wanita.
Ia nampak cantik jelita dalam pakaian mempelai yang baginya lucu itu, dan sepasang mempelai dipertemukan oleh para wanita dan diberi selamat oleh para pejuang. Malam itu pesta sederhana dirayakan para pejuang sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan terompet dan semua pejuang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba nampak banyak sekali pasukan pemerintah menyerbu. Kiranya hutan itu sudah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya ratusan orang! Tentu saja suasana menjadi panik. Para pejuang cepat memadamkan api unggun, juga lampu-lampu dan dalam keadaan remang-remang, hanya diterangi cahaya bulan sepotong, para pejuang melakukan perlawanan mati-matian. Dalam keadaan kacau itu, tentu saja Seng Bu juga terkejut dan cepat dia siap siaga membantu teman-teman.
"Sheila, engkau bersembunyi di pondok kita, aku akan membantu kawan-kawan mengusir pasukan pemerintah," kata Seng Bu setelah tadi menggandeng tangan isterinya dan membawanya ke pondok yang disediakan untuk mereka oleh kawan-kawan mereka. Sheila yang bermuka pucat dan ketakutan itu mengangguk, akan tetapi masih memegangi tangan suaminya,
"Jangan lama-lama... cepat ambil aku kembali... aku tidak mau berpisah lama darimu..." Seng Bu mencium isterinya lalu melompat ke luar, siap dengan penuh semangat membantu teman-temannya menghadapi pasukan pemerintah yang datang menyerbu. Dia tidak tahu bagaimana pasukan pemerintah dapat mengetahui tempat persembunyian para pejuang itu dan menyerbu di malam itu, kebetulan ketika pernikahannya sedang dirayakan. Akan tetapi belum jauh dia berlari, tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku saking kagetnya. Dia mendengar jeritan Sheila! Bagaikan dikejar setan, Seng Bu lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat kembali ke pondok. Dapat dibayangkan betapa rasa kaget, heran dan juga marahnya ketika dia melihat suhengnya meloncat keluar dari pondok sambil memondong tubuh Sheila.
"Suheng!!" bentaknya marah sekali dan segera dia melompat menghadang.
"Eh, sute. Aku datang untuk menyelamatkan Sheila!" kata Siu Coan gugup dan diapun melepaskan tubuh Sheila yang dipondongnya secara paksa tadi. Sheila lalu lari merangkul suaminya, menahan tangisnya.
"Aku... aku tidak mau dia larikan, dan dia memaksaku...!"
"Aku hanya ingin menolong dan menyelamatkannya, keadaan gawat sekali." Kembali Siu Coan berkata. Seng Bu mengerutkan alisnya. Marah dia melihat betapa tadi dengan paksa tubuh isterinya dipondong oleh suhengnya. Biarpun dengan alasan menolong dan ingin menyelamatkan, akan tetapi tidak pantas kalau suhengnya memaksa orang yang mau ditolong. Tentu ada sesuatu yang tidak pantas.
"Suheng!" bentaknya.
"Tidak pantas kau maksa isteriku!" Siu Coan yang tertangkap basah itu menjadi malu dan kini dia menjadi marah.
"Eh, sute, apa maksudmu? Aku datang untuk menyelamatkan isterimu dan engkau marah-marah? Engkau sungguh kurang ajar!"
"Suheng, bukan aku yang kurang ajar, melainkan engkau yang tidak tahu sopan!" Seng Bu juga membentak marah.
"Keparat, sudah berani engkau melawanku?" Siu Coan berseru dan diapun menerjang maju dan mengirim pukulan hebat ke arah kepala sutenya. Seng Bu yang juga sudah menjadi marah cepat menangkis dan membalas. Berkelahilah suheng dan sute ini dan Seng Bu mendapat kenyataan yang mengejutkan dan juga membuatnya marah bahwa suhengnya menyerangnya dengan penuh kesungguhan dan kebencian, melancarkan pukulan-pukulan maut!
Agaknya, semua perasaan iri yang terpendam di dalam batin Siu Coan, saat itu hendak diluapkan maka dia menyerang bertubi-tubi penuh kemarahan. Seng Bu yang sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya akan menyerang seperti itu, terkejut dan sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuatnya terhuyung ke belakang. Dan melihat sutenya terhuyung, Siu Coan agaknya semakin nekat dan melanjutkan serangannya dengan pukulan bertubi-tubi. Tentu saja Seng Bu yang sedang terhuyung itu menjadi terdesak terus dan hanya main mundur, menangkis sambil mengelak. Siu Coan menyeringai girang. Ada alasan dan kesempatan baginya untuk membunuh sutenya dan merampas Sheila yang membuatnya tergila-gila!
Sesungguhnya, dia tidak begitu tergila-gila kepada Sheila karena pada hakekatnya, Siu Coan lebih gila kedudukan dan cita-cita dari pada wanita. Akan tetapi, melihat Sheila menolaknya dan memilih Seng Bu, dia merasa iri dan iri inilah yang mendorongnya menjadi nekat untuk membunuh sutenya dan merampas Sheila. Seng Bu tentu saja sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk membela diri. Untung baginya bahwa tentu saja dia mengenal semua gerakan serangan suhengnya, sehingga betapapun hebat dan dahsyat datangnya serangannya, dan biarpun dia sedang terhuyung, akan tetapi dalam keadaan terdesak itu dia masih mampu menghindarkan diri dari serangkaian pukulan dan tendangan maut. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras.
"Darrr...!" Tubuh Siu Coan terhuyung dan tangan kirinya menekan pundak kanan yang berdarah.
Seng Bu terkejut dan menengok. Kiranya Sheila telah menembakkan pistol kecil. Pistol ini memang tak pernah terpisah dari badan gadis itu, selalu disembunyikan dalam lipatan bajunya dan kini, melihat suaminya terdesak, iapun dengan nekat lalu mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah Siu Coan. Gadis ini memang pernah dilatih menggunakan pistol oleh Ayahnya, dan pistol itupun pemberian Ayahnya, maka ia dapat menembak dengan cepat. Gerakan Siu Coan yang berusaha mengelak secara refleks ketika letusan terdengar membuat peluru yang ditujukan ke arah dada itu hanya mengenai ujung pangkal lengan. Akan tetapi cukup membuat kulit terkupas dan daging menonjol di ujung pundak juga tertembus peluru, nyerinya bukan kepalang karena luka itu seperti terbakar oleh besi panas.
"Sheila jangan tembak lagi!" Seng Bu berseru kaget melihat suhengnya terluka. Dia mengira bahwa suhengnya terluka dadanya, karena darah mengalir dan membasahi baju suhengnya itu. Dan pada saat itu, belasan orang anggauta pasukan pemerintah datang menyerbu! Seng Bu yang melihat suhengnya masih lemah terhuyung, terancam tusukan tombak seorang perajurit, melompat ke depan dan sekali tendang, perajurit itu roboh dan suhengnya terbebas dari ancaman maut. Melihat ini, Siu Coan tersenyum.
"Orang berhati lemah..." katanya dan karena pada saat itu, lebih banyak lagi datang pasukan yang menyerbu, terpaksa diapun membela diri dengan sebelah tangannya saja, yaitu tangan kiri karena tangan kanannya tidak dapat digerakkan karena nyeri. Seng Bu lalu menyambar sebatang pedang lawan setelah dia kembali merobohkan lawan berpedang itu, dan memutar pedangnya sambil berseru,
"Sheila, ke dinilah kau ! Suheng, larilah, aku melindungimu!"
"Dar-darr...!!" Kembali Sheila meletuskan pistolnya dua kali. Seorang pengeroyok roboh dan yang lain mundur karena jerih terhadap senjata api. Seng Bu melompat mendekati Sheila, bangga dan kagum melihat ketabahan isterinya. Kembali dia berkata kepada Siu Coan,
"Suheng, mari kita lari. kau lebih dulu. Aku dan Sheila melindungimu dari belakang!"
Siu Coan tersenyum pahit. Melihat kenyataan betapa kini malah dilindungi oleh dua orang calon korbannya, benar-benar merupakan pel pahit baginya. Akan tetapi diapun maklum akan ancaman bahaya. Pihak pasukan itu terlalu besar dan kini kawan-kawan seperjuangan mereka juga sudah terdesak dan cerai berai. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia meloncat dan lari ke barat, diikuti oleh Seng Bu dan Sheila. Mereka dihadang lagi dan setelah tiga kali meletuskan pistolnya sehingga pelurunya dalam pistol habis, Seng Bu lalu memondong isterinya dengan lengan kiri, tangan kanannya memegang pedang dan sambil melindungi isterinya dalam pondongan dan suhengnya yang terluka, akhirnya dia berhasil membawa mereka berdua lolos dari kepungan dan tiba di luar hutan itu dalam cuaca yang gelap.
"Suheng, kita berpisah di sini dan maafkan kami, maafkanlah segala yang telah terjadi." Setelah berkata demikian, Seng Bu yang memondong isterinya lalu meloncat dan berlari cepat menuju ke barat.
Siu Coan berdiri bengong, lalu menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, biar Sheila telah melukainya dengan pistol, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya, namun Sheila dan Seng Bu tadi telah melindunginya mati-matian pula! Sudahlah, pikirnya, ia bukan jodohku. Menurut pelajaran agama barunya, memaafkan orang lain adalah perbuatan mulia, bahkan terdapat pelajaran yang menganjurkan agar kalau kita dipukul pipi kiri kita, kita harus menyerahkan pipi kanan kita! Siu Coan tersenyum seorang diri. Biarlah dia memaafkan Seng Bu dan Sheila, bahkan menurut pelajaran agamanya, dia harus mencinta musuh-musuhnya, maka biarlah dia melepaskan mereka dengan hati mencinta. Dan Siu Coan tersenyum, merasa betapa hatinya mekar, penuh dengan kebanggaan, penuh dengan harapan untuk menerima pahala karena dia telah berbuat jasa.
Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai manusia yang baik, karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena di balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala, memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana ataukah kesempurnaan atau segala macam kata kata yang muluk lagi. Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat jahat, dan janji pahala bagi yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusia-manusia palsu,
Menjadi munafik, menjadi srigala-srigala berkedok domba, yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat HANYA karena kita ingin memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat kita menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu bukan perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh pahala, cara untuk menghindarkan hukuman! "Cintailah musuh-musuh" adalah serangkaian kata-kata yang amat indah dan suci kalau kita dapat menangkap maknanya. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan keraguan karena di situ terdapat dua kata yang berlawanan, yaitu "Cinta" dan "musuh." Biasanya, cinta berkaitan dengan sahabat, dan yang berkaitan dengan musuh adalah benci.
Maka, cintailah musuhmu seakan-akan mengandung makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang. Akan tetapi sesungguhnya pelajaran ini mengandung makna yang sekaligus menghapuskan benci dari dalam hati berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu waktu kita mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling berbunuhan dengan musuh itu! Ini sama sekali tak masuk akal dan omong kosong. Akan tetapi, kita dapat mencintai orang yang memusuhi kita! Mungkin banyak orang memusuhi kita, membenci kita, tidak senang kepada kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan sebagainya lagi. Biarlah mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki sinar kasih dalam batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas permusuhan itu, melainkan menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan cinta kasih antara manusia!
Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali? Kita dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari, melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada manusia yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan, namun tetap saja semua itu memberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih kasih, kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan, akan tetap memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh sekalipun. Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan kita selalu ingin untung, lahir maupun batin,
Oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar ingin untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya kehidupan, ingin memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan setelah mati kelak, ingin memperoleh berkah sebanyaknya. Lenyapkanlah janji-janji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu tentu akan mundur meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang benar-benar sadar dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin sendiri, karena hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang sadar akan kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi bersih, tanpa ada usaha membersihkan karena usaha membersihkan ini akan menumpuk pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, akan tetapi bagi kehidupan manusia, yang penting adalah manusianya, bukan agamanya. Semua manusia di dunia ini mengaku beragama atau mempunyai pegangan sesuatu yang menggariskan jalan hidup yang harus ditempuhnya. Semenjak ribuan tahun semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara seluruh manusia di dunia. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Manusia tetap saja hidup dalam lembah kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh dengan kebencian, iri hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta kasih makin muram kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam hawa nafsu angkara yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu. Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara suku dan antara kelompok,
Bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara negara sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan pembantaian semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan yang dianggap masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa manusianya yang menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang dapat merobah manusia adalah diri sendirimasing-masing, dengan pengenalan diri sendiri sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan mata hati, yang menulikan telinga hati. Demikianlah halnya dengan Ong Siu Coan. Pemuda ini memiliki cita-cita yang muluk, dan makin besar cita-cita seseorang, makin besar pulalah "Aku"nya dan makin besar pamrihnya sehingga semua perbuatannya ditujukan dengan pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesar-besarnya.
Perbuatan itu mungkin di mata umum bisa disebut perbuatan buruk atau perbuatan baik, akan tetapi apapun macam perbuatan itu, selalu di belakangnya terkandung pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Tidak ada seorangpun mengetahui bahwa penyerbuan pasukan pemerintah di malam hari itupun adalah hasil perbuatan Ong Siu Coan! Dialah yang diam-diam mengirim berita tempat persembunyian para pejuang itu kepada pihak pasukan pemerintah! Dia rela berkhianat untuk kepentingan diri sendiri, untuk melampiaskan iri hatinya terhadap Seng Bu, kemarahannya terhadap Sheila, dan untuk membuka kesempatan agar dia dapat merampas Sheila dengan dalih menyelamatkanya, dan kalau mungkin membunuh sutenya sendiri.
Tentu saja pihak pasukan pemerintah tidak tahu bahwa yang mengirim berita itu adalah Ong Siu Coan. Dan memang bukan maksud Siu Coan untuk membantu pasukan pemerintah. Sama sekali tidak! Dia membenci pemerintah Mancu, dan dia bercita-cita untuk membasmi pemerintah penjajah itu. Kalau dia dapat berbuat khianat pada malam hari itu adalah karena ada pamrih terhadap Seng Bu dan Sheila. Karena serbuan itu, beberapa orang pejuang tewas dan selebihnya cerai berai dan kacau balau, kocar kacir. Dan Siu Coan melarikan diri ke selatan, dan beberapa hari kemudian dia sudah bergabung kembali dengan orang-orang Thian-te-pang dan dia memperoleh perawatan dengan baik. Untung tidak ada yang tahu tentang peristiwa antara dia dan Seng Bu, dan mereka mengira bahwa tembakan yang mengenai ujung pundak Siu Coan itu dilakukan oleh seorang opsir pasukan pemerintah.
Peristiwa pembakaran madat di Kanton itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pembakaran madat yang lebih dari satu juta kilogram banyaknya itu juga mulai menyalakan api perang yang kemudian terkenal dengan sebutan Perang Madat selama tiga tahun ( tahun 1839-1842). Peristiwa pembakaran madat disusul pembunuhan terhadap orang kulit putih yang sesungguhnya dilakukan oleh golongan-golongan yang anti kulit putih, bukan oleh pemerintah Mancu, dianggap oleh pemerintah Inggris sebagai suatu penghinaan terhadap bangsanya. Apa lagi ada laporan dari Kapten Charles Elliot yang didesak oleh para pedagang untuk minta bantuan pasukan, maka pemerintah Inggris lalu mengirim armada ke timur.
Kapal-kapal perang dengan pasukan-pasukan yang cukup kuat dikirim dan Kanton diserang dari lautan, dihujani peluru meriam. Pasukan-pasukan Inggris berusaha untuk mendarat akan tetapi usaha mereka itu selalu menemui perlawanan yang amat kuat. Dalam hal ini, tanpa persekutuan yang syah, pemerintah penjajah Mancu menerima bantuan yang amat besar dari rakyat, dari perkumpulan-perkumpulan para patriot yang tidak suka melihat bangsa kulit putih hendak menguasai tanah air. Para pendekar segera bangkit dan untuk sementara menghentikan kegiatan mereka memusuhi pemerintah Mancu karena mereka kini menganggap bahwa ancaman pasukan asing itu lebih berbahaya. Terjadilah perang di mana-mana, perang antara senjata api melawan anak panah dan senjata-senjata tajam.
Pasukan Inggris tidak pernah berhasil mendarat karena perlawanan yang amat kuat. Panglima Lim Ce Shu memimpin pasukannya dan melakukan perlawanan matimatian, dan penyerbuan pasukan Inggris itu akhirnya hanyalah kandas di pantai-pantai saja, di mana akibat-akibat perang terjadi. Perampokan-perampokan, pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan terjadilah di pantai-pantai terhadap penduduk yang berada di sekitar pantai. Namun, pasukan-pasukan kulit putih itu akhirnya harus mengakui bahwa kekuatan kekuatan pihak musuh di daratan terlalu sukar untuk dapat ditembus. Setelah peperangan yang kacau ini berlangsung hampir tiga tahun lamanya, Ingggris hanya berhasil menduduki Pulau Hongkong yang letaknya di depan kota Kanton.
Pulau ini dijadikan pangkalan oleh armada Inggris, namun semua penyerangan mereka di daerah pantai timur daratan Tiongkok selalu mengalami kegagalan. Kalau pasukan Inggris yang dipukul mundur melarikan diri ke kapal-kapal perang mereka, maka perang masih juga terjadi di darat, yaitu pasukan-pasukan para patriot yang anti pemerintah penjajah lalu berbalik dan menyerang pasukan pemerintah sendiri! Memang mereka ini sejak dahulu ingin menjatuhkan kekuasaan Mancu, dan mereka ikut menghalau orang kulit putih bukan untuk membantu pemerintah, melainkan khawatir kalau-kalau bangsa kulit putih akan menguasai tanah air mereka. Tentu saja pukulan-pukulan bertubi dari orang kulit putih yang datang dari luar, dan pukulan-pukulan para pemberontak dalam negeri membuat pasukan pemerintah Mancu menjadi lemah.
Hal ini diketahui dengan baik oleh para mata-mata yang disebar oleh Inggris. Akhirnya dalam tahun 1842, Inggris dengan cerdik lalu menyelundupkan kapal-kapalnya melalui Sungai Yang-ce-kiang, berlayar mudik. Pemerintah Mancu di Peking terkejut bukan main. Dengan dikuasainya sungai besar itu oleh orang kulit putih, maka hubungan antara Lembah Yang-ce-kiang dan Peking tertutup dan terancam. Keselamatan keluarga kaisar di Peking dapat terancam kalau begitu. Istana menjadi gentar dan panik, dan melalui menteri-menteri yang memang condong untuk berbaik dengan orang-orang kulit putih yang mendatangkan banyak keuntungan kepada mereka melalui madat, akhirnya pemerintah Mancu membujuk Inggris menghentikan perang!
Tentu saja hal ini sama dengan pernyataan tunduk dan kalah! Sebagai pihak pemenang yang ditakuti, Inggris mempergunakan kesempatan itu sebaikbaiknya! Kemenangan dalam tahun 1842 ini membuat mereka dapat memaksa kaisar untuk melakukan hal-hal yang membikin panas hati dan perut para patriot. Pertama-tama, untuk menyenangkan hati orang-orang kulit putih itu, kaisar memecat Panglima Lim Ce Shu dan membuangnya! Kemudian, Hongkong di serahkan kepada Inggris begitu saja! Pelabuhanpelabuhan di Tiongkok Selatan, termasuk Kanton, dibuka lebar-lebar dan diperbolehkan menerima pedagang-pedagang kulit putih untuk masuk dan berdagang di situ dengan bebas, juga diperbolehkan untuk bertempat tinggal di situ sebagai pedagang-pedagang yang dihormati.
Bahkan orang-orang kulit putih lainnya, seperti orang-orang Portugal dan orang-orang Perancis, ikut-ikutan membonceng kemenangan Inggris ini dan ikut-ikutan menuntut agar merekapun diperbolehkan membuka perdagangan di pelabuhan-pelabuhan itu. Sebagai negara yang kalah perang, pemerintah Mancu yang sudah tidak berdaya itu terpaksa menuruti tuntutan-tuntutan itu. Makin banyaklah perjanjian-perjanjian"perdamaian" dibuat, yang sesungguhnya merupakan perjanjian yang menguntungkan orang-orang kulit putih dan terpaksa disetujui oleh pemerintah Mancu. Yang merasa tidak puas dan marah adalah para pendekar yang mewakili rakyat untuk mempertahankan tanah air dari kekuasaan asing. Pemerintah Mancu adalah pemerintah asing yang menjajah. Pemerintah itu belum juga dapat dihalau,
Dan sekarang sudah bertambah lagi dengan bercokolnya orang-orang asing kulit putih yang menjajah melalui perdagangan! Tentu saja hal ini menambah adanya pemberontakan-pemberontakan dan kekacauankekacauan. Dan orang-orang kulit putih, untuk melindungi diri sendiri di tempat yang tidak aman itu, membentuk pasukan-pasukan keamanan sendiri, memperlengkapi diri dengan senjata api dan melalui para pedagang itu, mulailah orang kulit putih mendirikan pangkalan-pangkalan militer dengan dalih menjaga keamanan para warganya yang berdagang di negeri itu. Perang madat memang berakibat luas sekali. Perang madat ini menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah Mancu yang sudah hampir duaratus tahun menjajah Tiongkok itu mulai kehilangan sinarnya, mulai lemah dan nampak awal-awal keruntuhannya.
Dan perang itupun membuka pintu bagi orang asing kulit putih untuk memperluas cengkeraman mereka terhadap negara itu melalui perdagangan yang dipaksakan oleh senjata api. Dan hal ini lambat laun akan menjadi penjajahan-penjajahan. Kekuasaan Kerajaan Mancu digerogoti, daerah-daerah kekuasaannya mulai dikuasai oleh orang-orang asing itu. Seperti dapat tercatat dalam catatan sejarah, Bangsa Perancis saja kelak dalam tahun 1862 akan menguasai Kamboja, kemudian dua puluh tahun kemudian menguasai An-nam (Viet-nam) setelah lebih dulu menguasai Cochin China pada tahun 1863. Juga Portugal kemudian menguasai Macao. Inggrispun bukan hanya puas dengan memiliki Hongkong, melainkan meluaskan kekuasaannya sampai akhirnya menduduki Birma yang tadinya mengakui kekuasaan pemerintah Ceng di jaman Kaisar Kian Liong.
Sejarah yang membuktikan bahwa pemerintah yang tidak disukai oleh rakyatnya, akan kehilangan kekuatannya. Betapapun kuatnya bala tentara yang dimiliki sebuah pemerintahan, namun tanpa dukungan rakyat, kekuatan itu akan rapuh. Sebaliknya, kalau pemerintah didukung rakyat, tidak akan mudah bagi kekuatan luar untuk merobohkannya. Hal ini adalah karena ajang yang dijadikan arena pertempuran adalah tempat dan milik rakyat, dan bantuan-bantuan rakyat inilah yang paling menentukan. Pihak lawan akan selalu dirongrong dan akan menjadi lemah kalau rakyat setempat setia kepada pemerintah yang disukainya, dan tidak akan dapat menguasai tempat yang telah direbutnya itu sepenuhnya.
Sebaliknya pasukan-pasukan pemerintah yang didukung oleh rakyat, dimanapun akan memperoleh bantuan-bantuan sehingga kedudukan mereka menjadi kuat. Dalam perang yang terjadi sebagai akibat dibakarnya madat yang amat banyak itupun nampak jelas sekali betapa manusia pada umumnya menjadi hamba daripada angkara murka yang dipupuk oleh nafsu ingin senang sendiri. Pamrih untuk menyenangkan diri sendiri inilah yang menghalau semua kesadaran dan kebijaksanaan, menimbulkan kekejaman, haus kemenangan dengan cara apapun juga. Dan melalui tindakan sewenang-wenang, sedangkan yang kalah hanya akan menurut, tentu saja dengan terpaksa dan dengan dendam kebencian mulai tumbuh di dalam hati,
Dan dendam ini akan terus tumbuh di dalam hati, dan dendam ini akan terus tumbuh membesar dan kelak tentu akan pecah menjadi lawanan dan pembalasan! Kita tinggalkan dulu keadaan pemerintah Ceng yang mulai lemah itu, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi di sebuah puncak di Pegunungan Tapie-san. Seorang gadis dan seorang Kakek berjalan bersama-sama mendaki puncak itu. Mereka itu kelihatannya seperti seorang Kakek pengemis bersama seorang gadis yang pakaiannya juga penuh tambalan, seperti orang biasa saja yang banyak berkeliaran pada waktu itu, orang-orang yang miskin dan setengah terlantar sebagai akibat perang dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana. Banyak rakyat yang pada waktu itu terpaksa pergi mengungsi, meninggalkan kampung halaman, rumah dan semua harta miliknya.
Kalau sudah merasa aman dan kembali, banyak yang sudah tidak dapat menemukan rumah mereka kembali, apa lagi harta milik mereka. Sudah habis dirampok dan dibongkar orang. Karena itu, banyaklah orang-orang yang jatuh miskin dan terlantar, berkeliaran tanpa tempat tinggal seperti halnya Kakek dan gadis itu. Akan tetapi sesungguhnya Kakek dan gadis ini bukan orang-orang terlantar, bukan gelandangan yang miskin dan tidak mempunyai tempat tinggal. Kakek itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, rambutnya yang awut-awutan itu cukup bersih. Kakek itu pakaiannya penuh tambalan, tangan kirinya memegang sebuah tongkat kayu butut dan sebuah kipas butut terselip di pinggangnya. Biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu cukup bersih dan biarpun dia kelihatan miskin dan papa,
Namun dia selalu senyum-senyum sendiri, matanya yang sipit itu kadang-kadang berkedip-kedip lucu. Gadis itupun tidak kalah menariknya. Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang matanya lebar dan jeli. Memang pakaiannya butut penuh tambalan biarpun bersih, dan sepasangrambut yang gemuk hitam dan panjang itu dikuncir dua secara sederhana, tidak mengenakan perhiasan secuilpun, akan tetapi gadis ini memiliki wajah manis dan kulit yang nampak pada muka, leher dan tangannya amat putih bersih dan halus mulus, tubuhnya juga memiliki bentuk yang padat dan ramping menggairahkan, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Seperti juga Kakek itu, gadis ini mempunyai sebuah kipas yang tersembul di kantong bajunya.
Siapakah mereka? Mereka adalah penghuni-penghuni puncak Naga Putih di Pegunungan Wuyi-san dan Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng San-kai (Jembel Gunung Tanpa Nama) atau lebih terkenal lagi dengan julukan San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun yang pernah menjadi datuk-datuk paling sakti di antara para datuk kau m sesat! Dan gadis itu adalah muridnya, murid tunggalnya yang bernama Siauw Lian Hong! Kita telah mengenal Lian Hong, puteri tunggal mendiang guru silat Siauw Teng di dusun Tung-kang dekat Kanton itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang lalu Lian Hong ikut bersama gurunya mengunjungi Siauw-lim-si di mana Siauw-bin-hud menceritakan kepada para tamunya bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Hek-eng-mo Koan Jit, murid Thian-tok yang merampas pusaka itu dari tangan gurunya.
Ketika meninggalkan Siauwlim-pai, San-tok lalu memberi kesempatan kepada muridnya untuk pergi merantau selama dua tahun, selain untuk mencari jejak orang bernama Koan Jit itu, juga untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu kepandaian yang selama ini dilatihnya. Kakek ini sudah percaya sepenuhnya kepada muridnya. Akan tetapi, belum juga lewat dua tahun, gadis itu telah kembali ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san, menemui suhunya yang sedang tekun bersamadhi. Kakek itu tentu saja girang melihat muridnya yang amat disayangnya, dan lebih girang lagi hatinya melihat kenyataan bahwa muridnya itu juga mengenakan pakaian yang dihias tambalan! Hal ini saja menunjukkan bahwa murid itu berbakti dan setia kepadanya, melanjutkan "tradisi" keturunan perguruan yang suka memakai pakaian tambalan!
Lian Hong memberi hormat sambil berlutut di depan kaki gurunya yang juga menjadi Kakek angkatnya itu dan Kakek itu lalu bangkit dari pertapaannya. Dia mendengar laporan muridnya bahwa murid itu terpaksa menghentikan usahanya mencari jejak Hek-eng-mo Koan Jit yang menguasai pusaka Giok-liong-kiam, karena keadaan keruh oleh adanya perang madat. Kemudian gadis itu mengatakan bahwa karena sukar mencari jejak orang di waktu keadaan sekacau itu, di mana terjadi pertempuran-pertempuran kacau balau antara pasukan kulit putih yang menyerang dengan kapal-kapal besar, dan golongan yang anti pemerintah, juga golongan yang anti kulit putih, maka ia mengambil keputusan untuk menghentikan penyelidikannya dan pulang ke Puncak Naga Putih.
"Ah, Hong Hong, kenapa urusan perang saja membuat engkau mundur?" San-tok mencela muridnya.
"Kalau kita tidak mencari pusaka itu, tentu yang lain akan dapat menemukan lebih dulu. Mungkin dalam keadaan kacau karena perang, pusaka itu tidak ada artinya, akan tetapi kelak kalau sudah tidak ada perang, orang-orang akan kembali memperhatikan pusaka itu. Pemilik pusaka itu sama dengan bukti bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia persilatan dan kalau engkau mampu merampasnya, maka namamu akan terangkat paling tinggi dan aku sebagai gurumu akan ikut merasa bangga."
"Suhu sebetulnya pusaka itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku lebih tertarik untuk mencari musuh-musuh besarku, pembunuh Ayah ibuku. Akan tetapi ketika aku pergi ke Tungkang, ternyata si jahanam Ciu Lok Tai telah tewas bersama keluarganya ketika diserbu oleh pasukan pemerintah. Dan akupun belum berhasil mencari dua orang musuh lain, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun yang sudah lama pindah dari Tung-kang dan tidak lagi menjadi pengawalpengawal Ciu Wan-gwe."
"Wah, jadi keluarga Ciu Wan-gwe telah terbasmi dan tewas semua oleh pasukan pemerintah? Sungguh aneh," kata Kakek itu.
"Bukankah dia mempunyai pengaruh besar di kalangan pejabat pemerintah?"
"Gara-gara pembasmian madat itu, suhu. Akan tetapi menurut keterangan, ada seorang puterinya yang dapat meloloskan diri, namanya Ciu Kui Eng dan kabarnya ia itu lihai sekali. Kelak aku akan mencarinya dan minta dia mempertanggungjawabkan dosa-dosa Ayahnya kepadaku."
"Jadi selama ini engkau sama sekali tidak peroleh jejak Koan Jit murid Thian-tok itu?" San-tok mendesak karena Kakek ini tertarik sekali untuk bisa mendapatkan pusaka Giok-liongkiam.
"Beberapa kali aku menemukan jejaknya, akan tetapi selalu hanya memperoleh jalan buntu. Akan tetapi jejaknya yang kedapati di daerah Tapie-san membawaku ke sebuah tempat yang luar biasa, suhu. Aku tidak menemukan dia di sana, jejaknya hilang lagi akan tetapi aku menemukan sesuatu yang amat aneh dan mengerikan."
JILID 15
"Aku menemukan sebuah guha yang dalamnya terdapat sebuah sumber air yang mengeluarkan asap berbau aneh. Dan di situ nampak sesosok mayat terendam, akan tetapi mayat itu sama sekali tidak membusuk. Banyak pula tengkorak manusia kulihat di dalam guha itu. Ihh, mengerikan dan aku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Ehhh? Menarik sekali! Mari kita ke sana."
"Untuk apa, suhu?"
"Menarik sekali ceritamu. Tentu ada hal-hal yang penting di situ. Bawa aku ke sana, Hong Hong." Demikianlah, kedua orang guru dan murid itu lalu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu mereka sudah tiba di lereng puncak di Pegunungan Tapie-san seperti yang diceritakan oleh Lian Hong kepada gurunya.
Setelah tiba di puncak, Lian Hong membawa suhunya ke guha itu. Guha itu aneh sekali. Mulut guha lebar akan tetapi tidak berapa tinggi sehingga ketika memasuki guha San-tok yang agak jangkung harus menunduk. Dan di sebelah dalam guha itu tumbuh sebatang pohon yang daunnya sudah rontok semua, tinggal cabang dan ranting yang sudah mengering. Melihat keadaan ini, mudah diduga bahwa guha ini dahulunya bukan guha dan terbentuk dengan runtuhnya batu-batu besar dari puncak menimbun tempat itu sehingga pohon itupun tertimbun batu dan kini berada di dalam sebuah guha. Begitu memasuki guha itu, yang nampak adalah sebatang pohon yang tinggal batang, cabang dan rantingnya, dan terciumlah bau yang aneh dan keras. Juga nampak asap mengepul, terasa hawa yang agak panas.
"Di sinilah tempatnya, suhu," kata Lian Hong dan gadis ini sudah berlutut di tepi sebuah kolam kecil di mana terdapat air yang bergolak dan mengeluarkan asap yang berbau belerang. Di tepi kolam itu terdapat batu-batu besar dan nampak ada beberapa buah tengkorak manusia di situ. Akan tetapi yang amat mengerikan, di tengah-tengah kolam itu nampak seorang Kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua. Kakek itu nampak terendam di dalam air sebatas dada, kelihatan seperti orang tidur saja, tubuhnya tak bergerak-gerak dan kedua matanya terpejam.
"Ah-ah-ah, sungguh menarik...!" kata San-tok yang berdiri di tepi kolam sambil meneliti keadaan kolam itu.
"Aneh akan tetapi tidak ada apa-apanya, suhu. Aku pernah datang ke sini dan melihat keadaan ini, aku lalu cepat pergi lagi. Ketika menyelidiki jejak Koan Jit, jejak itu membawaku ke sini, akan tetapi di sini aku kehilangan jejaknya. Tidak nampak seorangpun manusia di puncak ini sehingga aku tidak dapat mencari keterangan lagi tentang dia."
"Hemm, kalau Koan Jit sampai mendatangi tempat ini, berarti amat penting. Mungkin ada rahasia tersembunyi di tempat ini. Mari kita selidiki," kata Kakek itu dan mulailah dia melakukan penyelidikan, meneliti dinding batu di sekitar tempat itu. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Semua dinding adalah batu-batu yang wajar saja dan makin jelaslah kini bahwa tempat itu, mata air panas dan pohon itu, tadinya merupakan tempat terbuka dan kemudian tertimbun oleh batu-batu dari puncak yang agaknya longsor ke bawah. Akan tetapi peristiwa itu tentu telah terjadi lama sekali sehingga membentuk sebuah guha aneh ini. Lian Hong juga membantu suhunya melakukan penyelidikan. Sampai beberapa jam lamanya mereka mencaricari tanpa hasil.
"Suhu, kalau ada rahasianya, agaknya terdapat dalam kolam air ini," tiba-tiba Lian Hong berkata.
"Lihat, mayat Kakek itu tidak membusuk, ini saja menunjukkan bahwa air sumber ini, yang bergolak seperti mendidih dan mengeluarkan asap berbau aneh, mengandung sesuatu yang luar biasa, yang membuat mayat itu tidak rusak."
"Ha, engkau benar, Hong Hong. Tentu rahasianya terdapat di dalam sumber atau mata airitu. Orang itu agaknya sejak dahulu duduk di situ sampai mati dan air panas yang mengandung belerang itu membuat mayatnya tidak rusak. Sudah beberapa kali aku melihat sumber air seperti ini yang keluar dari dalam perut bumi. Tidak ada yang aneh mengenai air seperti itu. Akan tetapi kolam ini seperti dibuat merendam tubuhnya. Lihat batu-batuan itu, bukankah batu-batu besar itu seperti sengaja diletakkan di situ untuk membentuk kolam? Dan air yang luber mengalir keluar melalui samping guha. Kalau batu-batu itu digempur dan dibongkar, tentu dasarnya akan nampak dan siapa tahu di situ letak rahasianya."
Dibantu oleh muridnya, San-tok lalu membongkar batu-batu besar itu. Kepandaian dan tenaga sakti guru dan murid itu memungkinkan mereka membongkar batu-batu besar danakhirnya air yang berbau belerang itupun mengalir turun karena batu-batu yang menjadi bendungan itu bobol. Air mengalir dengan cepatnya dan kini rendaman pada tubuh mayat itu semakin dangkal saja. Setelah air itu hanya tinggal sejengkal saja dalamnya dan hanya menutupi kaki yang bersila itu sampai sebatas perut, nampaklah coretan-coretan itu merupakan huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan memperhunakan jari tangan saja!
"Aih, benar, tulisan-tulisan itulah yang amat penting dan agaknya tidak ditemukan oleh Koan Jit!" kata San-tok dengan girang. Biarpun dia seorang datuk kau m sesat, namun San-tokdi waktu mudanya pernah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan tekun sehingga dia mampu membaca dan mengerti huruf-huruf yang agak kuno itu. Lian Hong sendiri yang sejak kecil ikut San-tok, hanya sempat mempelajari ilmu membaca sekedarnya saja maka tentu ia tidak mampu kalau harus membaca tulisan huruf-huruf kuno itu. Dengan suara bisik-bisik yang hanya dapat didengar oleh Lian Hong, San-tok lalu membaca huruf-huruf itu satu demi satu sehingga dapat dirangkai menjadi kalimat-kalimat yang jelas.
"Srigala-srigala hina pencari pusaka
satu demi satu mampus di tangan Kwi Ong-ya!
Tetapi karena Thian-te-pai gerombolan hina
memaksa aku bersembunyi di sini dan bertapa!
Giok-liong-kiam pusaka pembuka rahasia
penyimpan benda-benda pusaka berharga
tak mungkin ditemukan siapapun juga
tanpa bantuan Giok-liong-kiam ke dua!
Akulah pembuat Giok-liong-kiam ke dua
dari batu sumber menggantikan kemala!
Di dalam gagangnya tersimpan rahasia
tempat simpanan Giok-liong-kiam pertama!"
Setelah membaca semua kalimat itu, San-tok tiba-tiba tertawa bergelak. Lian Hong yang belum begitu mengerti akan arti tulisan itu, memandang heran dan bertanya,
"Suhu, mengapa suhu tertawa setelah membaca tulisan itu?"
"Ha-ha-ha, betapa lucunya! Agaknya si Kwi-ong (Raja Setan) ini selain lihai, juga amat cerdik dan licin, pandai berkelakar pula. Hong Hong, dari tulisannya ini jelaslah bahwa si Koan Jit itu, murid pertama si gendut Thian-tok, hanya menguasai Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, yang dijadikan rebutan selama ini oleh semua tokoh kang-ouw, yang menimbulkan kekacauan dan keributan itu bukan Giok-liong-kiam aseli, melainkan tiruan yang dibuat oleh Kwi-ong ini. Ha-ha-ha!"
"Apakah yang suhu maksudkan dengan semua itu? Aku tidak mengerti..." Kakek itu masih tertawa bergelak, kemudian setelah ketawanya mereda, baru dia menerangkan kepada muridnya.
"Dari tulisannya itu dapat kita ketahui semuanya, Hong Hong. Kakek luar biasa ini berjuluk Kwi-ong, julukan yang jumawa sekali. Agaknya dialah yang dahulu berhasil menguasai Giok-liong-kiam yang aseli. Tentu banyak tokoh persilatan yang berusaha merebut pusaka itu, akan tetapi dia berhasil membunuh mereka satu demi satu. Lihat saja tengkorak-tengkorak yang berserakan di sini, agaknya itulah musuh-musuhnya yang dibunuhnya karena hendak merampas Giok-liong-kiam. Akan tetapi dari tulisannya dapat diduga bahwa dia merasa gentar menghadapi desakan Thian-te-pai yang agaknya pada waktu itu memiliki banyak orang pandai. Thian-te-pai memaksa dia bersembunyi dan bertapa, dan dia lalu memperoleh akal, menyembunyikan pusaka Giok-liong-kiam di suatu tempat rahasia lalu dia membuat sebuah Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, dia membuatnya dari batu kali atau batu di sumber ini sebagai pengganti kemala. Dan agaknya pusaka palsu inilah yang akhirnya terjatuh juga ke tangan Thian-te-pang atau Thian-te-pai dan menjadi pusaka simpanan perkumpulan itu sampai akhirnya dicuri orang dan menjadi perebutan, dan akhirnya dicuri dari tangan Thian-tok oleh muridnya sendiri. Ha-ha, kalau diingat betapa kita semua ribut-ribut memperebutkan benda palsu! Akan tetapi, hanya Kwi-ong inilah yang tahu bahwa rahasia tempat penyimpanan Giok-liong-kiam yang aseli berada di dalam gagang Giok-liong-kiam yang palsu. Dan kini agaknya hanya kita yang mengetahuinya. Biarpun pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, akan tetapi bagi kita masih tetap berharga karena di dalam gagangnya terkandung rahasia penyimpanan yang aseli. Dan agaknya, pusaka Giok-liong-kiam itu diperebutkan orang bukan hanya karena pusaka itu berharga dan amat langka, melainkan pusaka itupun menyembunyikan rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang amat berharga. Mengertikah engkau kini, Hong Hong?" Lian Hong mengangguk dan memandang kagum kepada mayat telanjang yang terendam air sampai ke perut itu.
"Bukan main. Kakek ini dahulunya tentu pandai sekali, suhu." Gurunya mengangguk, akan tetapi Kakek ini masih terus menyelidiki batu-batu di sekitar tempat mayat itu duduk bersila dan akhirnya dia menemukan apa yang dicari. Yaitu coretan huruf-huruf kecil di sebuah batu yang merupakan catatan tentang Giok-liong-kiam!
Agaknya ditempat inilah Kwi-ong membuat pusaka yang palsu dan dia membuat catatan-catatan Giok-liongkiam aseli agar pelmasuan itu dapat dibuat sebaik mungkin. Catatan itu menggambarkan macam Giok-liong-kiam, ukurannya san sebagainya. San-tok lalu mengeluarkan sebuah kipas dan dengan teliti dia mencatat semua itu di atas kipasnya. Setelah selesai, dibantu oleh Lian Hong, Kakek ini lalu kembali memasang batu-batu besar sebagai bendungan dan tak lama kemudian, air sumber yang terbendung itu membuat kolam yang merendam tubuh Kwi-ong berikut batu-batu di sekelilingnya. Akan tetapi terlebih dahulu San-tok yang cerdik itu melenyapkan tulisan-tulisan di permukaan batu dengan gempuran-gempuran, menggunakan batu lain sehingga permukaan batu itu hancur dan tulisannyapun lenyap.
"Hong Hong, engkau sudah melihat semua ini dan kini makin jelas pula betapa pentingnya kita dapat menguasai Giok-liong-kiam. Aku akan kembali ke Wuyi-san di mana aku akan mencoba akal yang pernah dipergunakan Kwi-ong, dan engkau pergilah menyelidiki di mana adanya Koan Jit. Akan tetapi jangan engkau turun tangan karena hal itu tentu amat berbahaya."
"Suhu menyuruh aku menyelidiki, akan tetapi kalau sudah kuketahui tempatnya, aku tidak boleh turun tangan. Apa maksud suhu?"
"Aku akan membuat Giok-liong-kiam palsu seperti yang pernah dilakukan Kwi-ong. Aku sudah mencatat segala bentuk dan ukurannya. Sementara aku mencoba membuat yang palsu itu, engkau pergi mencarinya. Setelah engkau berhasil, cepat mengabarkan padaku. Kita harus dapat menukar pusaka di tangan Koan Jit itu dengan yang palsu." Lian Hong semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan alisnya dan memandang wajah suhunya dengan heran.
"Suhu ini aneh sekali. Sudah mengerti bahwa pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, mengapa kini suhu hendak menukarnya lagi dengan yang palsu buatan suhu? Kalau memang sudah kita ketahui tempatnya, kita rampas saja pusaka itu, kenapa susah-susah hendak menukarnya seolah-olah suhu takut kepada Koan Jit itu?" Kakek kurus itu tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, engkau belum mengerti, muridku yang baik. Aku tidak takut kepada Koan Jit, bahkan terhadap gurunya sekalipun aku tidak takut. Akan tetapi ketahuilah, semua orang di dunia persilatan berlumba untuk memperebutkan pusaka itu. Kini mereka semua tahu bahwa pusaka itu berada di tangan Koan Jit sehingga mereka semua tentu akan mencari Koan Jit. Kalau kita merampas pusaka itu begitu saja dari tangan Koan Jit, tentu perhatian semua tokoh persilatan berbalik kepada kita dan kehidupan kita tentu tidak akan tenteram lagi. Ingat saja halnya Kwi-ong yang akhirnya mati di tempat ini tanpa dapat menikmati pusaka yang dikuasainya. Maka, kita menukar pusaka itu dan biarkan semua orang mencari dan memusuhi Koan Jit sedangkan kita diam-diam memiliki pusaka itu dan mencari rahasianya. Bagaimana kau pikir?" Lian Hong memandang kagum kepada suhunya.
"Wah, ternyata suhu tidak kalah lihai dan cerdiknya dibandingkan dengan Kwi-ong!" Ia memuji dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, baru engkau mengenal suhumu, ya? Nah, kita sekarang berpisah di sini. Aku kembali ke Wuyi-san dan engkau pergilah dan mencari Koan Jit. Orang macam dia tentu suka akan daerah yang bergolak. Dan perang madat mendatangkan pergolakan di selatan. Maka, sebaiknya ke sanalah engkau mencari. Semua orang kang-ouw berkumpul di sana dan lebih mudah bagimu untuk mencari keterangan."
Guru dan murid inipun saling berpisah. Untuk kedua kalinya Lian Hong melakukan perjalanan seorang diri dalam usahanya mencari jejak Koan Jit yang amat licin bagai belut itu. Thian-Te-Pai atau Thian-te pang amat terkenal di jaman itu karena perkumpulan ini merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan yang gigih menentang pemerintah penjajah Mancu. Mereka terdiri dari orang-orang gagah segala aliran yang bergabung dalam satu wadah, sejak bertahun-tahun mengadakan penentangan, pengacauan dan perlawanan terhadap pasukan pemerintah Mancu, mengobarkan pemberontakan di mana-mana. Banyak sudah anggauta mereka yang tewas dalam pertempuran-pertempuran melawan pasukan pemerintah, namun mereka tidak pernah jera.
Bahkan anggauta mereka semakin banyak saja, terdiri dari orang-orang gagah segala aliran dan suku. Selain ini, juga mereka mengadakan hubungan baik dengan perkumpulan-perkumpulan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu menentang pemerintah Ceng dan kalau mungkin menghalau penjajah Mancu dari tanah air. Ketika terjadi perang madat yang berlangsung selama tiga tahun itu, orang-orang Thiante-pang juga bergerak. Akan tetapi karena mereka menjadikan pemerintah Mancu sebagai sasaran utama, maka perang antara pemerintah melawan orang-orang kulit putih itu membuat mereka seolah-olah memperoleh bantuan dari orang-orang kulit putih. Karena itu, mereka sengaja tidak menyerang orang kulit putih, melainkan menghantam pemerintah yang sedang sibuk melawan musuh asing itu.
Biarpun demikian, bukan berarti bahwa Thian-te-pang suka bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Maka, setelah perang dihentikan dan pemerintah Ceng yang dipimpin kaisar yang lemah itu tunduk kepada orang kulit putih, menyerahkan banyak kota dan perlakuan istimewa terhadap orang-orang kulit putih, diam-diam para pendekar, termasuk orang-orang Thian-te-pang, menjadi marah bukan main. Pada waktu itu, Thian-te-pang diketuai oleh seorang Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bernama Ma Ki Sun, seorang ahli silat yang pandai, seorang gagah sejati yang sejak muda sudah bangkit menentang pemerintah penjajah. Dia diwakili oleh Coa Bhok, sutenya sendiri yang juga lihai ilmu silatnya. Mereka berdualah yang memimpin Thian-te-pang.
Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, Thian-te-pang seolah-olah kehilangan pamornya, seperti menyuram akibat lenyapnya pusaka Giok-liong-kiam dari tangan mereka. Pusaka ini tadinya dianggap semacam simbol kekuatan dan semangat Thian-te-pang, dan membuat mereka dihargai dan dikagumi di dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah Giok-liong-kiam lenyap dicuri orang, pandangan dunia persilatan terhadap Thian-te-pang agak menurun. Mereka menganggap bahwa lenyapnya pusaka itu menunjukkan kelemahan Thian-te-pang yang tidak mampu menjaga pusaka sendiri sampai dapat dicuri orang. Tentu saja pihak Thian-te-pang sudah berusaha mati-matian untuk mencari pencurinya dan merampas kembali pusaka mereka sehingga ketika terjadi perebutan, murid pertama Thian-te-pang yang bernama Lui Siok Ek ikut pula memperebutkan.
Bahkan ketika para tokoh mendatangi Siauw-bin-hud, wakil ketua Thian-te-pang yang bernama Coa Bhok juga hadir. Namun, semua usaha mereka sia-sia belaka. Giok-liong-kiam tetap tak dapat mereka temukan. Seperti telah kita ketahui, ketika terjadi perang madat, orang-orang Thian-te-pang banyak yang berjuang di Kanton dan daerahnya, dan banyak pula menarik orang-orang gagah untuk bekerja sama dengan mereka. Di antara orang-orang gagah ini terdapat Ong Siu Coan yang telah berpisah dari sutenya, yaitu Gan Seng Bu yang pergi bersama isterinya, Sheila. Melihat adanya kesempatan baik untuk memenuhi cita-citanya melalui Thian-te-pang yang besar dan kuat, ketika pasukan itu kembali ke Bukit Kijang Putih di Propinsi Hunan, Siu Coan ikut pula bersama rombongan orang-orang Thian-te-pang.
Para murid dan anggauta Thian-te-pang tentu saja menerimanya dengan tangan terbuka karena mereka semua sudah mengenal kelihaian pemuda ini. Thian-te-pang mengadakan rapat, dipimpin oleh Ma Ki Sun dan sute atau wakilnya, Coa Bhok. Siu Coan yang diterima sebagai seorang sahabat dan tamu, juga diperkenalkan hadir. Yang hadir di dalam ruangan luas itu adalah para tokoh Thian-te-pang, murid-murid kepala dan komandan-komandan regu, tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya, memenuhi ruangan yang biasanya menjadi tempat berlatih silat para anggauta dan murid Thian-te-pang. Ma Ki Sun dan Coa Bhok mempunyai murid-murid yang jumlahnya dua puluh orang lebih, dan para murid ini lalu melatih silat kepada para anggauta Thian-te-pang. Siu Coan yang hadir sebagai tamu, mengamati keadaan di situ.
Dilihatnya bahwa tempat yang menjadi markas besar Thian-te-pang ini merupakan sebuah perkampungan yang dilengkapi dengan tembok tinggi seperti benteng di lereng Bukit Kijang Putih itu. Tempat yang baik sekali dan kuat untuk pertahanan. Dan di dalamnya terdapat segala macam senjata, juga mempunyai anggauta yang tidak kurang dari tigaratus orang banyaknya, tersebar di mana-mana. Pendeknya, sebuah perkumpulan yang cukup kuat. Dia memperhatikan Ma Ki Sun, ketua perkumpulan itu, dan wakilnya. Ma Ki Sun sudah berusia sedikitnya enam puluh tiga tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata yang sebelah kiri buta dan tidak berbiji lagi. Dengan mata sebelah ini dia pernah malang melintang sebagai seorang pendekar di selatan sehingga di dikenal dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Mata Satu).
Seperti juga para anggauta Thian-te-pang, di baju ketua ini, di bagian dada, terdapat lukisan bulatan yang mengambarkan Im-yang, akan tetapi berbeda dengan para anggauta yang lukisannya disulam benang biasa, lukisan di baju sang ketua ini disulam dengan benang emas. Sikapnya penuh wibawa dan matanya yang tunggal itu melirik ke kanan kiri dengan tajam dan sinarnya mencorong. Orang ke dua, yang menjadi wakil ketua dan juga sutenya, bernama Coa Bhok, nampak tinggi kurus pula, akan tetapi sikapnya angkuh, nampak dari tarikan mulutnya yang agak sinis dan dagu serta pandang matanya yang membayangkan kekerasan hati. Di tempat itu sudah diatur meja sembahyang, lengkap dengan hidangan dan lilin-lilin yang dinyalakan. Kemudian, Coa Bhok sebagai wakil suhengnya, bangkit berdiri dari tempat duduknya dan terdengar suaranya yang lantang dan tegas.
"Para murid dan anggauta Thian-te-pang. Sebelum rapat dimulai, lebih dulu akan diadakan upacara sembahyang untuk menghormat arwah para pahlawan yang telah gugur dalam perang yang lalu." Setelah berkata demikian, diapun duduk kembali, memberi kesempatan kepada suhengnya sebagai ketua untuk mengucapkan "Amanat"nya. Ma Ki Sun bangkit berdiri, tubuhnya lebih jangkung dari pada sutenya. Justeru matanya yang tinggal satu itulah yang mendatangkan wibawa besar, pikir Siu Coan sambil melihat dan mendengarkan penuh perhatian.
"Anak-anak sekalian!" terdengar Kakek mata satu itu berkata.
"Kita adalah pendekarpendekar tanah air, patriot-patriot bangsa yang berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi, perjuangan kita tidak akan sia-sia. Bangsa kita akan terbebas dari belenggu penjajahan, dan kalau kita gugur, nama kita akan dipuja selamanya sebagai pahlawan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan kawan-kawan seperjuangan yang gugur baru-baru ini dan marilah kita sembahyangi mereka agar roh mereka mendapat tempat yang baik, dan nama mereka akan dipuja selamanya."
Siu Coan tersenyum di dalam hatinya, senyum mengejek. Mungkin nama beberapa orang pentolan saja yang akan diingat selamanya, akan tetapi nama para perajurit biasa, siapa yang akan mengingatnya? Nama itupun akan terlupa. Perjuangan tanpa pamrih? Mana mungkin itu, cemooh hatinya. Menumbangkan penjajah hanya merupakan jalan saja, tidak hanya habis sampai di situ. Aku jelas tidak mau berjuang tanpa pamrih, dengan sia-sia. Akan tetapi ketika sang ketua dan wakilnya bersembahyang dan memberi kesempatan kepada para tamu untuk bersembahyang, Siu Coan juga bersembahyang,
Akan tetapi tidak seperti mereka yang mengangkat hio membara, melainkan dengan cara membungkuk sedikit di depan meja sembahyang. Tentu saja semua orang memandang dengan heran, akan tetapi mereka yang tahu bahwa pemuda ini tertarik akan Agama Kristen yang dibawa oleh orang kulit putih, hanya tersenyum mengejek. Betapapun juga, tidak ada yang berani menegurnya karena mereka semua maklum akan kelihaian pemuda ini. Ma Ki Sun mengerutkan alisnya, akan tetapi juga tidak menegur, mengingat bahwa pemuda ini hanya seorang tamu dan kabarnya telah banyak berjasa dalam perang membantu perjuangan Thian-te-pang. Setelah semua orang selesai sembahyang dan meja sembahyang disingkirkan, dimulailah rapat itu. Mula-mula sang ketua membicarakan soal pusaka Giok-liong-kiam.
"Mendapatkan kembali pusaka itu merupakan kewajiban kita, akan tetapi tidak begitu mutlak perlu," kata Ma Ki Sun.
"Yang penting adalah soal perjuangan. Seperti kita semua ketahui, pemerintah penjajah Mancu yang mulai bobrok itu telah secara tak tahu malu menakluk kepada orang-orang kulit putih dan menyerahkan kota-kota penting begitu saja kepada mereka. Penjilat-penjilat tak tahu malu itu sungguh terkutuk! Madat akan dimasukkan lagi dan bangsa kita akan dijejali barang beracun itu sampai akhirnya kita menjadi bangsa yang lemah dan pemadatan! Ini harus kita tentang! Kita harus mengerahkan tenaga untuk mengganggu dan menyerang mereka, sekarang kita mulai mendekati Kota Raja dan mengadakan kekacauan di daerah Kota Raja!"
Akan tetapi, para murid dan anggauta Thian-te-pang nampak saling pandang dan agaknya tidak semangat menyambut anjuran sang ketua ini. Hal ini adalah hasil dari permainan kasakkusuk yang dilakukan Siu Coan selama ini di antara mereka. Dengan cerdik dia, tanpa mencela secara terang-terangan, mengatakan bahwa Thian-te-pang perlu memperoleh pimpinan baru yang perkasa dan pandai. Dan dia sengaja menyinggung betapa pusaka Giok-liong-kiam merupakan lambang kebesaran Thian-te-pang dan hilangnya pusaka itu menunjukkan kemerosotan Thian-tepang,
Maka perlu segera didapatkan kembali. Dan sekarang, sang ketua bahkan meremehkan Giok-liong-kiam, dan mengajak mereka untuk mengganggu daerah Kota Raja yang amat berbahaya karena di daerah itu penjagaan pasukan kerajaan amatlah kuatnya. Melakukan pengacauan di daerah Kota Raja sama saja dengan membunuh diri! Karena itulah, mereka saling pandang dan tidak menyambut ucapan sang ketua itu dengan semangat seperti biasanya. Apa lagi mereka masih lelah, baru saja pulang dari pertempuran-pertempuran yang melelahkan di mana mereka kehilangan banyak teman. Melihat sikap para anak buah ini, Ma Ki Sun dan sutenya saling pandang. Kemudian sutenya, Coa Bhok, berseru dengan suara lantang,
"Apakah di antara kalian ada yang hendak mengajukan usul?" Tentu saja para murid dan para anggauta itu tidak berani menentang kehendak ketua mereka, maka merekapun kini hanya saling pandang dan akhirnya mereka memandang kepada Siu Coan. Pemuda ini tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
"Pangcu, aku ingin mengajukan usul-usul!"
"Ong-sicu!" jawab Coa Bhok dengan alis berkerut. Ini adalah rapat para anggauta Thian-te-pang, sicu sebagai orang luar tidak berhak mencampuri. Maaf, kami tidak dapat menerima usul dari luar." Sedikit banyak Coa Bhok sudah mendengar tentang pemuda ini dari para muridnya. Seorang pemuda yang lihai, akan tetapi aneh. Tak seorangpun mengetahui asalusulnya, dari perguruan mana, dan juga bahwa sute dari pemuda ini telah menikah dengan seorang wanita kulit putih. Orang seperti itu mana boleh dipercaya? Apa lagi tadi pemuda itu melakukan sembahyang secara aneh dan melanggar adat kebiasaan. Siu Coan tidak mundur oleh teguran ini.
"Maaf, aku terpaksa mencampuri karena melihat hal-hal yang baik dalam Thian-te-pang. Aku menganggap Thian-te-pang sebagai saudara seperjuangan, dan aku tahu bahwa para anggauta ingin sekali mengajukan usul-usul namun mereka tidak berani. Kini aku akan maju sebagai wakil pembicara mereka. Saudara-saudara, bagaimana kalau aku menjadi wakil pembicara kalian untuk menyampaikan segala ketidakpuasan yang menekan batin kalian? Setujukah?" Sudah banyak Siu Coan mempengaruhi para anggauta Thian-te-pai, apa lagi mereka yang kagum menyaksikan sepak terjangnya, maka mereka ini serentak menyatakan setuju dan suara ini diikuti saja oleh para anggauta lain yang agaknya sudah kehilangan pegangan itu.
"Setujuuuuu...!" Terdengar suara serentak mereka. Ma Ki Sun dan Coa Bhok saling pandang dan akhirnya Ma Ki Sun mengangguk.
"Baiklah," kata Coa Bhok denga suara kering dan ketus.
"Kalau memang para anggauta menghendaki, engkau boleh menyatakan usul-usulmu, Ong-sicu."
"Terima kasih, akan tetapi sebelumnya aku minta agar pangcu berjanji bahwa sebelum aku selesai menyatakan usul-usulku, maka usul-usulku tidak boleh dipotong. Berjanjilah bahwa aku akan diperbolehkan menyatakan usul-usulku sampai aku habis bicara." Ma Ki Sun melambaikan tangannya dengan tidak sabar.
"Baik, bicaralah, orang muda!"
"Aku hanya menjadi juru pembicara para anggauta Thian-te-pang. Kami semua merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan yang diambil oleh pimpinan. Pertama, setelah Giok-liong-kiam dicuri orang dan terlepas dari tangan kita, maka pamor Thian-te-pang menjadi suram. Karena itu, urusan mencari dan merampas kembali Giok-liong-kiam merupakan hal terpenting dan menyangkut kehormatan dan nama besar Thian-te-pang sendiri. Maka kami tidak setuju kalau dinomorduakan. Giok-liong-kiam harus didapatkan kembali lebih dulu!" Siu Coan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan para anggauta menyatakan persetujuan mereka. Kemudian dia menyambung dengan cepat,
"Ke dua, melakukan pengacauan dan menyerang ke daerah Kota Raja pada saat ini adalah sama sekali tidak tepat. Pemerintah penjajah baru saja berbaik dengan orang-orang kulit putih sehingga kedudukan mereka kuat, sebaliknya kita baru saja bertempur dan kehilangan banyak tenaga. Kita harus menghimpun kekuatan lebih dulu, bergabung dengan golongan lain kalau perlu, dan setelah kita kuat benar barulah kita bergerak. Akan tetapi, jangan jadikan Thian-te-pang sebagai kelompok pengacau-pengacau tak berarti saja. Kita bercita-cita, bukan hanya untuk menjadi sekedar pengacau, melainkan kalau mungkin kita akan gulingkan pemerintah penjajah Mancu!" Kembali terdengar tepuk tangan dan seruan-seruan pujian dari para anggauta. Mereka telah dibangkitkan oleh ucapan Siu Coan.
"Ke tiga, kami sama sekali tidak setuju dengan ucapan ketua ketika diadakan upacara sembahyang tadi. Buat apa kita berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa kalau sekedar mencari nama kosong belaka? Kita berjuang harus dengan cita-cita, dengan pamrih luhur! Thian-te-pang harus berjuang bukan hanya untuk dicap sebagai pahlawan kalau mati, melainkan untuk merampas tahta kerajaan dan kalau berhasil kelak, setiap orang anggauta Thian-te-pang, tidak terkecuali, harus mendapatkan kedudukan atau pangkat sesuai dengan jasa-jasa mereka! Dengan demikian, tidak akan percuma kalau sekarang kita berjuang dengan taruhan nyawa juga, sehingga kelak dapat memperoleh pahala untuk mengangkat nama dan derajat keluarga, juga menjamin kemakmuran bagi kehidupan mereka!"
Sekali ini, tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ucapan Siu Coan sehingga tidak dapat disangsikan
lagi dukungan mereka terhadap Siu Coan. Ma Ki Sun dan Coa Bhok dengan muka pucat saling pandang dan keduanya merasa betapa ada bahaya besar mengancam mereka, setidaknya kedudukan mereka. Akan tetapi sebelum mereka sempat bicara, kembali Siu Coan sudah mengangkat kedua tangan keatas, dan terdengar suaranya melengking mengatasi semua suara bising. Dua orang pimpinan Thia-te-pang terkejut karena mereka maklum bahwa suara itu didukung oleh tenaga khikang yang amat kuat!
"Saudara-saudara sekalian, harap tenang!" dan kini semua orang diam, memperhatikan Siu Coan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh semangat.
"Masih ada satu hal lagi yang teramat penting, lebih penting dari pada yang terdahulu. Kami berpendapat bahwa pimpinan Thian-te-pang sekarang ini sudah tidak becus, sudah terlalu tua dan tidak mungkin dapat memajukan Thian-te-pang, maka kami usulkan agar diganti oleh tenaga muda yang lebih bersemangat!" Sekali ini, semua anggauta terdiam dan wajah mereka berobah, dengan penuh ketegangan mereka memandang ke arah Ma Ki Sun dan Coa Bhok. Tentu saja sebagai murid-murid Thiante-pang mereka tidak berani mendukung ucapan itu walaupun di dalam hati, mereka setuju sekali. Ma Ki Sun dan Coa Bhok kini saling pandang dengan muka pucat dan Coa Bhok sudah meloncat berdiri.
"Orang she Ong! Sikapmu sungguh keterlaluan dan tidak bersahabat! Apakah engkau hendak mengajak murid-murid kami berkhianat?"
"Coa-pangcu harap sabar dulu. Aku sama sekali tidak mengajak mereka berkhianat, melainkan bicara sejujurnya saja. Pimpinan Thian-te-pang tidak becus mendapatkan kembali pusaka Giok-liong-kiam dan telah memperlihatkan kepemimpinan yang tidak baik. Maka, wajarlah kalau pimpinan sekarang yang sudah terlalu tua dan lemah mundur saja untuk diganti oleh yang muda dan kuat!" Coa Bhok tersenyum mengejek.
"Orang she Ong. Mereka semua adalah murid-murid kami, siapakah di antara mereka yang dapat melebihi kekuatan kami?"
"Wah, banyak!" kata Ong Siu Coan.
"Di antaranya aku sendiripun mampu melebihi kekuatan kalian."
"Keparat!" Kini Coa Bhok meloncat ke depan menghadapi Siu Coan yang juga sudah meninggalkan kursinya dan berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Keduanya kini saling berhadapan seperti dua ekor jago yang siap untuk saling serang.
"Jadi engkau menghendaki kedudukan ketua Thian-te-pang?"
"Kalau kalian yang sudah tua dan lemah tahu diri, aku akan sanggup memimpin Thian-tepang jauh lebih baik dari pada kalian orang-orang tua yang sudah lemah!"
"Jahanam bermulut besar! Ingin kulihat apakah kepandaianmu juga sebesar mulutmu!" bentak Coa Bhok yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Berkata demikian, wakil ketua Thia-te-pang ini sudah mencabut sebatang pedang. Dia marah sekali, akan tetapi sebagai seorang wakil ketua sebuah perkumpulan besar yang merasa dirinya telah menduduki tingkat tinggi, dia merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang lawan yang begitu muda dengan senjata tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
"Ong Siu Coan, keluarkanlah senjatamu!" tantangnya sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Akan tetapi Siu Coan tersenyum, suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia bicara. Pada waktu itu, keributan itu sudah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar ruangan sehingga kini lubang pintu dan jendela penuh dengan kepala-kepala tersembul memandang ke dalam, kepala para anggauta Thian-te-pang.
"Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan mengatakan hal-hal yang sebenarnya. Akan tetapi kalau Coa-pangcu yang bernafsu untuk menyerang dan membunuhku, silahkan. Aku sendiri sama sekali tidak takut menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja." Ucapan ini sekaligus merupakan teguran bahwa dia sebagai tamu akan diserang oleh tuan rumah yang memulai perkelahian itu, akan tetapi juga suatu sikap memandang rendah dan menentang yang membuat wajah wakil ketua Thian-te-pang itu sebentar menjadi pucat sebentar menjadi merah.
"Orang she Ong! Kalau tidak engkau yang menggeletak mati di ujung pedangku, akulah yang harus mampus di tanganmu. Lihat senjata!" Dan Kakek itu sudah menerjang maju dan mengirim serangan dengan pedangnya secara kilat dan dahsyat sekali. Betapapun cepatnya tusukan pedang yang menuju ke arah tenggorokan Siu Coan itu, namun Siu Coan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri dan tusukan itu mengenai angin kosong.
Sebagai seorang ahli pedang yang tangguh, begitu pedangnya luput mengenai sasaran, pergelangan tangannya bergerak dan pedang itu membuat gerakan memutar terus menyambar dengan bacokan yang lebih dahsyat lagi ke arah leher Siu Coan. Pemuda itu merendahkan tubuh membiarkan pedang lewat dan cepat dia meloncat ke atas ketika pedang itu sudah datang lagi dari lain jurusan membabat kedua kakinya! Pedang itu terus bergerak cepat menghujankan serangan dan sebentar kemudian pedang itu sudah lenyap bentuknya dan berobah menjadi segulungan sinar putih yang menyambar-nyambar. Akan tetapi bentuk tubuh Siu Coan juga sudah lenyap. Hanya bayangan tubuhnya saja yang berloncatan ke sana-sini sehingga pedang yang bayangannya berobah banyak itu seolah-olah hanya menyerang bayangan kosong saja!
Semua mata yang nonton perkelahian itu hampir tak pernah dikejapkan. Semua orang memandang dengan hati tegang. Para murid dan anggauta Thian-te-pang maklum betapa lihainya wakil ketua itu bermain pedang dan kini Siu Coan menghadapinya dengan tangan kosong saja! Mereka sudah membayangkan bahwa tak lama lagi tentu tubuh pemuda itu akan roboh mandi darah, tewas atau terluka berat. Akan tetapi, makin cepat pedang itu berkelebat, makin cepat pula tubuh Siu Coan bergerak menghindar sehingga jangankan tubuh pemuda itu dilanggar pedang, bahkan ujung baju pemuda itupun tidak pernah tergores pedang sama sekali! Dan agaknya pemuda itu dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya, hal ini terbukti dari suara ketawanya yang kadang-kadang terdengar, bahkan terdengar pula suaranya penuh ejekan.
"Nah, bukankah kau sudah terlalu tua dan gerakanmu terlalu lemah dan lamban, Coa-pangcu?" Mendengar suara ketawa dan ejekan ini, para penonton menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Dianggap oleh mereka bahwa agaknya tidak masuk akal kalau ada orang mampu menghadapi pedang Coa Bhok dengan tangan kosong, dan masih sempat tertawa-tawa bahkan mengeluarkan suara mengejek.
Mereka tahu bahwa Siu Coan lihai, akan tetapi tidak pernah menduga bahwa pemuda itu memiliki kesaktian seperti itu! Juga ketua Thian-te-pang, Ma Ki Sun, terbelalak kaget. Kakek ini adalah suhengnya dari Coa Bhok dan lebih lihai dari pada sutenya. Akan tetapi dia tidaklah seangkuh Coa Bhok yang terlalu percaya akan kepandaian sendiri sehingga suka memandang ringan orang lain. Melihat betapa selama lebih dari dua puluh jurus sutenya yang menggunakan pedang itu terus menerus menyerang pemuda itu tanpa berhasil sedikitpun juga, bahkan melihat pemuda itu benar-benar memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada sutenya. Dia merasa heran dan terkejut akan kenyataan ini, akan tetapi dia masih cukup waspada untuk berseru kepada sutenya.
"Sute, sudahlah, jangan berkelahi lagi!" katanya dengan maksud agar sutenya tidak menderita malu dan bahkan agar sutenya tidak menderita malu dan bahkan mungkin terancam bahaya. Akan tetapi, Coa Bhok sudah memuncak kemarahannya. Kehebatan lawan dan ejekan lawan tadi sudah meracuni batinnya dan dia merasa lebih baik mati dari pada harus menghentikan serangannya dan mengaku kalah!
"Biarlah, suheng. Dia atau aku yang mati!" teriaknya dan dia memperhebat serangannya. Siu Coan bukan seorang bodoh. Tadinya sedikitpun tidak terlintas dalam benaknya untuk merobohkan lawannya dengan luka berat, apa lagi membunuhnya. Dia tahu bahwa dua orang Kakek ini, bagaimanapun juga, merupakan guru-guru dari para anggauta Thian-te-pang sehinnga mereka itu masih akan mampu mempengaruhi para anggauta. Dia bermaksud untuk menanamkan kekuasaannya di Thian-te-pang tanpa mengganggu para pimpinannya, hanya menundukkan saja dan dia dapat mempergunakan kekuatan Thian-te-pang untuk mencapai tujuannya.
Akan tetapi, melihat sikap Coa Bhok, tahulah dia bahwa orang ini kalau dibiarkan hidup, akhirnya tentu akan menjadi orang yang selalu memusuhinya, baik berterang ataupun dengan menggelap. Cegahan ketua Thian-te-pang tadi meyakinkan hatinya bahwa dengan ketua itu dia masih boleh mengharapkan kerja sama, akan tetapi terhadap Coa Bhok yang keras hati ini harus diambil tindakan tegas, akan tetapi harus diatur sedemikian rupa agar para anggauta Thiante-pang tidak akan menjadi sakit hati kepadanya. Siu Coan membiarkan lawannya mengamuk terus. Dengan ilmu silat Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat yang amat hebat dari Thian-tok, dia mampu menghindarkan semua serangan itu. Dan kini kadang-kadang dia menangkis dengan tangannya, tangan yang sudah diisi dan dialiri tenaga ilmu kebal Kim-ciong-ko.
Ilmu Kim-ciong-ko ini dapat membuat tubuhnya seperti dilindungi baju emas saja. Sebetulnya, melihat ilmu ini saja yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis pedangnya tanpa lecet sedikitpun juga, sudah cukup bagi Coa Bhok untuk menyadari bahwa dia kalah jauh. Namun Kakek ini keras hati dan dia menganggap bahwa Siu Coan sudah melontarkan penghinaan terhadap dia dan suhengnya, maka dia tetap tidak mau mundur dan menyerang terus walaupun kini napasnya mulai empas-empis. Bersilat pedang memang lebih cepat melelahkan, karena membutuhkan tenaga tambahan untuk menggerakkan pedang. Walaupun pedangnya itu pedang tipis dan tidak sangat berat, akan tetapi kalau harus menyerang terus sejak tadi, tenaganya mulai berkurang juga.
Siu Coan cukup waspada. Dia melihat lowongan baik. Kalau hanya untuk merobohkan Kakek itu saja, sejak tadipun dia akan mampu melakukannya. Akan tetapi merobohkan lawan seperti yang dikehendakinya, membutuhkan waktu karena dia harus mencari kesempatan baik dan gerak cepat yang luar biasa. Tiba-tiba saja, tanpa dapat dilihat oleh semua orang kecuali ketua Thian-te-pang bagaimana terjadinya, Kakek Coa Bhok mengeluarkan teriakan mengaduh dan tubuh Kakek itu roboh miring dan tewas seketika dengan tubuh mandi darah, pedang yang gagangnya masih dipegangnya itu telah menusuk dadanya sendiri sampai tembus! Karena pedang itu tepat menembus jantung, maka Kakek itupun tewas seketika. Semua orang terkejut dan terbelalak. Siu Coan berdiri dan memandang mayat itu, menarik napas panjang dan berkata,
"Coa-pangcu sungguh keras hati, memilih bunuh diri dari pada menderita kekalahan. Sayang, sayang...!" Barulah para anggauta Thian-te-pang maklum bahwa wakil ketua itu telah membunuh diri karena merasa akan menderita kekalahan. Mereka menjadi semakin kagum terhadap pemuda itu dan mereka juga semakin tegang, ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh ketua mereka terhadap Siu Coan. Ma Ki Sun bangkit dari kursinya, menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkirkan mayat sutenya.
"Urus jenazahnya baik-baik," katanya dengan suara datar. Setelah mayat itu diangkut, dia lalu melangkah perlahan menghampiri Siu Coan yang masih berdiri di tengah ruangan itu. Di lantai masih ada darah dan melihat ini, sakit juga rasa hati Ma Ki Sun, teringat betapa sutenya sejak muda membantunya dan sutenya adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang patriot yang gagah berani. Akan tetapi tak disangkanya, sutenya tewas di tangan seorang pemuda yang sama sekali tidak ada nama, walaupun harus diakuinya bahwa kepandaian pemuda itu benar-benar amat hebat. Sejenak mereka saling pandang, pandang mata ketua itu penuh selidik, pandang mata Siu Coan menanti dengan sikap waspada.
"Orang muda, sebetulnya apakah yang kau cari di sini?" tanyanya dengan suara lirih dan tegas.
Siu Coan menjura dengan hormat.
"Harap pangcu maafkan kalau peristiwa berekor seperti ini. Adalah Coa-pangcu yang memaksaku..."
"Aku mengerti, orang muda. Akan tetapi, apakah sebenarnya kehendakmu?" Melihat mata yang hanya satu itu memandangnya penuh selidik, seolah-olah dapat menembus dan menjenguk isi hatinya, diam-diam Siu Coan bergidik dan dia cepat-cepat menjawab dengan suara lantang agar terdengar oleh semua orang.
"Pangcu, aku hanya ingin agar Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan patriot yang kuat dan kelak akan berhasil menggulingkan kerajaan penjajah Mancu. Aku ingin menghimpun seluruh kekuatan para pejuang untuk bersatu dan menghalau penjajah dari tanah air."
"Hemm, jadi engkau ingin menjadi ketua Thian-te-pang?"
"Bukan hanya Thian-te-pang, melainkan aku ingin memimpin seluruh pasukan pejuang yang menentang pemerintah penjajah, ingin mendirikan sebuah kekuatan baru yang meliputi segenap rakyat jelata untuk bangkit melawan penjajah!" Ucapan ini keluar dari lubuk hati Siu Coan, terdengar penuh semangat sehingga membakar semangat para anggauta Thian-te-pang yang menyebabkan perasaan suka dan kagum mereka terhadap Siu Coan meningkat. Sikap Siu Coan ini agaknya mulai meyakinkan hati Ma Ki Sun pula. Dia bukan seorang yang ambisius dan diapun mengerti bahwa karena usianya sudah makin menua, sudah wajarlah kalau Thian-te-pang dipegang oleh tenaga muda dan mungkin saja akan menjadi semakin kuat dan maju.
"Baiklah, Ong-sicu. Akan tetapi karena saat ini aku yang menjadi pangcu, kalau engkau ingin mengambil alih kursi pimpinan, engkau harus dapat pula mengalahkan aku."
Siu Coan merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau para anggauta Thian-te-pang yang dia tahu sudah mulai suka kepadanya, akan berobah sikap kalau dia sampai mencelakai ketua Thian-te-pang yang juga menjadi guru mereka ini. Kalau tadi para anggauta Thian-te-pang tidak marah melihat tewasnya Coa Bhok adalah karena mereka melihat Coa Bhok seperti membunuh diri, dan melihat adanya ketua Thian-te-pang di situ yang akan mengambil keputusan. Tentu saja Coa Bhok tadi bukan membunuh diri, melainkan dibunuhnya sedemikian rupa sehingga nampaknya seperti bunuh diri. Ketika dia memperoleh kesempatan, dengan kecepatan kilat dia menotok tengkuk Kakek itu sehingga tubuhnya kaku dan pada detik berikutnya, dia menusukkan pedang yang masih dipegang tangan kanan Kakek itu ke dalam dada Kakek itu sendiri!
"Pangcu, aku tidak ingin berkelahi!"
"Akupun bukan menantangmu berkelahi seperti yang dilakukan sute tadi, melainkan sebagai peraturan belaka. Siapa yang hendak menjadi ketua Thian-te-pang selagi ketuanya yang lama masih ada dan belum mengundurkan diri, maka calon ketua baru itu harus mampu mengalahkan ketua lama. Nah, aku sudah siap, majulah orang muda!"
Tidak seperti sutenya, kini Ma Ki Sun tidak mempergunakan senjata, walaupun dia juga seorang ahli pedang. Kakek ini, melihat perkelahian tadi saja, sudah maklum bahwa diapun bukan lawan pemuda ini! Walaupun dia menggunakan pedang, akhirnya dia akan kalah juga. Dengan maju tanpa pedang, dia akan dapat melihat apa sesungguhnya kehendak pemuda ini dan bagaimana sikapnya. Apakah pemuda ini tetap akan membunuhnya? Kalau demikian, dia masih ada kesempatan untuk memperingatkan para muridnya dan membuka kedok Siu Coan yang tadi membunuh Coa Bhok. Tidak ada jalan lain bagi Siu Coan kecuali menerima tantangan ketua Thian-te-pang itu.
"Baik, pangcu, aku sudah siap," katanya.
Karena maklum akan lihainya pemuda itu, Ma Ki Sun tidak bersikap sungkan-sungkan lagi dan diapun membuka serangan, disambut dengan tenang oleh Siu Coan. Terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru, lebih seru dari pada tadi karena kini Ma Ki Sun bersilat dengan hati-hati dan diam-diam dia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi, Siu Coan yang ingin memberi muka kepada Kakek ini, demi berhasilnya apa yang dicita-citakan, menandinginya dengan seimbang. Kalau dia menghendaki, pemuda ini tentu akan mampu merobohkannya, karena sesungguhnya, ilmu yang dikuasai pemuda ini masih setingkat lebih tinggi dari pada ketua Thian-te-pang. Namun, Siu Coan tidak mau merobohkan lawannya dan selalu menangkis, mengelak dan membalas serangan sekedarnya saja.
Ma Ki Sun bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalaman pula. Dia tahu bahwa memang lawannya banyak mengalah. Apa lagi ketika pada suatu saat dia menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena ditotok, akan tetapi sebelum dia roboh, pemuda itu sudah membebaskan kembali totokannya. Semua ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga hanya diketahui dan dirasakan oleh Ma Ki Sun sendiri saja. Diam-diam dia merasa semakin kagum. Pemuda ini benar-benar hebat. Kalau memang benar pemuda itu mempunyai watak baik, seorang pendekar sejati, maka diapun ikut bergembira bahwa pihak pejuang memperoleh seorang tenaga muda yang demikian baiknya. Akan tetapi dia bergidik membayangkan bahwa pemuda itu termasuk golongan sesat yang akan menyelewengkan perjuangan.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan Siu Coan menambah sedikit tenaganya, sehingga pertemuan tenaga melalui lengan itu membuat ketua Thian-te-pang terhuyung ke belakang dengan napas terengah-engah dan muka pucat penuh keringat.
"Ong-sicu, engkau memang hebat dan pantas menjadi ketua Thian-te-pang!" kata Kakek itu. Tentu saja Siu Coan gembira bukan main dan dia sudah cepat memberi hormat kepada Kakek itu, lalu berkata lantang, ditujukan kepada semua anggauta Thian-te-pang.
"Aku bukan datang untuk merampas kedudukan ketua! Aku datang untuk membantu Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar, mengembalikan kehormatan Thian-te-pang, memperoleh kembali Giok-liong-kiam dan memperbesar perkumpulan ini menjadi kekuatan yang kelak akan menjadi pelopor bagi semua patriot untuk mengenyahkan penjajah dari tanah air!" Para anggauta Thian-te-pang bersorak gembira. Juga Ma Ki Sun merasa gembira sekali. Memang sutenya tewas di tangan pemuda ini. Akan tetapi sesungguhnya, dia melihat sendiri tadi, bahwa pemuda ini sama sekali tidak berniat membunuh sutenya sebelum sutenya dengan nekat menghendaki adu nyawa.
Kiranya pemuda ini hanya ingin diterima menjadi seorang anggauta kehormatan saja yang tentu akan membantu kemajuan Thian-te-pang, sedangkan kedudukan ketua masih diberikan kepadanya! Demikianlah, mulai hari itu, Thian-te-pang menerima Ong Siu Coan sebagai seorang pemimpin tanpa kedudukan! Karena maklum bahwa pemuda ini lihai bukan main, semua mata para anggauta ditujukan kepadanya dan pemuda inipun dengan cerdiknya lalu merobah cara berlatih silat, memberi petunjuk beberapa pukulan yang lihai sehingga mereka semua semakin tunduk kepadanya. Akan tetapi, pertama-tama yang dilakukannya adalah mengerahkan mereka itu untuk menyelidiki di mana adanya Koan Jit. Tentu saja dengan dalih bahwa Thian-te-pang harus mendapatkan kembali pusakanya itu agar nama dan kehormatannya dapat terangkat lagi.
Padahal, jauh di sudut hatinya tersimpan keinginan untuk menguasai sendiri pusaka itu apa bila sudah dapat dirampasnya dari Koan Jit. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Siu Coan ketika para anggauta thian-te-pang itu tidak pernah berhasil dalam mencari dan menemukan jejak Koan Jit. Orang yang menjadi suhengnya itu ternyata benar-benar amat licin. Seolah-olah menghilang ditelan bumi saja. Langkah kedua yang diambil oleh Siu Coan adalah mulai menyebarkan agama baru yang dipeluknya, yaitu Agama Kristen yang mulai menarik hatinya. Akan tetapi, dasar wataknya sombong, baru saja berkenalan dengan agama baru itu, dia sudah merasa menjadi ahli, bahkan merasa bahwa pengertiannya yang baru secuwil tentang kitab suci agama itu, sudah menandingi pengertian para pendeta agama itu sendiri.
Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang petugas suci, seorang pendeta yang menyebarkan ajaran agama itu demi kepentingan manusia. Padahal, ayat-ayat suci yang harus dipelajari dan harus ditafsirkan secara benar dan tepat itu, dia tafsirkan sendiri menurut kemauan sendiri, disesuaikan dengan keinginan hatinya. Sikap Siu Coan yang tidak menentang bangsa kulit putih, bahkan kini dia secara terang-terangan hendak menyebarluaskan agama yang oleh para patriot dianggap sebagai agama bangsa kulit putih yang jahat, yang telah menyebar racun madat, mendatangkan kecurigaan dan kekecewaan. Agama baru Kristen itu oleh para patriot juga dianggap sebagai pelajaran yang mengandung racun. Hal ini tidaklah aneh. Pertama adalah karena pada waktu itu, kenyataan bahwa orang kulit putih menyelundupkan madat yang meracuni rakyat,
Membuat semua orang terutama yang berjiwa patriot, membenci orang kulit putih dan tidak percaya kepada mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan sehingga apapun yang dimasukkan oleh orang kulit putih, juga agama mereka, merupakan sesuatu yang beracun, enak memang, akan tetapi merusak badan dan batin! Ke dua adalah karena pada waktu itu, agama oleh para pedagang kulit putih itu memang dijadikan senjata untuk menaklukkan orang-orang pribumi, melunakkan sikap mereka, memperoleh kepercayaan mereka. Dapat dibuktikan menurut catatan sejarah betapa semua negeri yang akhirnya menjadi jajahan kau m kulit putih, sebelum mengenal bedil orang kulit putih, lebih dahulu mengenal agama mereka.
Sudah menjadi kenyataan pula bahwa masuknya kompeni atau serdadu orang-orang barat itu selalu dipelopori dengan masuknya para pendeta sebagai pembuka jalan. Di dunia ini terdapat banyak sekali agama atau pelajaran kebatinan yang tujuannya sebenarnya hanya satu, yakni : menuntun manusia agar hidup dengan bersih, dalam arti kata tidak saling mengganggu, bahkan saling menolong, memperbesar nyala api cinta kasih antara manusia dan melenyapkan kebencian, iri hati, permusuhan dan sebagainya. Tidak ada satupun di antara agama-agama itu yang mempunyai tujuan buruk! Namun, baiknya agama tidak menjamin baiknya manusia. Bahkan manusia sendirilah yang menentukan apakah agama yang dianutnya itu benar-benar menjadi obor dan petunjuk kebersihan hidup ataukah sebaliknya.
Manusia yang menentukan karena manusia adalah kehidupan ini. Agama adalah agama, tidak baik tidak buruk, suatu pelajaran hidup, makanan rohani juga obat batin. Baik buruknya tergantung si pemakai, ialah manusia. Penggunaan yang benar dari manusia dapat membuat agama sebagai penyedar batin yang menyeleweng, sebagai obor penyuluh bagi batin yang menderita, penuntun bagi manusia yang makin menjauhkan diri dari pada Alam dan pencipta-Nya. Akan tetapi sebaliknya, penggunaan yang keliru dari manusia dapat saja membuat agama menjadi penimbul kemunafikan, menjadi bahan bentrokan antara agama, menjadi pembangkit kesombongan dan ketinggian hati karena merasa diri paling bersih, paling benar dan paling suci.
Hal ini bukan sekedar dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiri. Ketidaksenangan yang timbul di kalangan para anggauta Thian-te-pang yang masih setia terhadap Ma Pangcu, membuat mereka curiga dan teliti mengikuti gerak-gerik Siu Coan. Dan akhirnya mereka melihat bahwa jalan hidup pemuda itu jauh dari pada bersih! Pemuda itu bahkan tidak segan-segan untuk melakukan kejahatan-kejahatan. Pernah mereka melihat bayangan pemuda itu memasuki gedung seorang hartawan dan pada keesokan harinya, tersiar berita bahwa hartawan itu kehilangan benda-benda berharga! Dan pernah pula di sebuah kota terjadi penculikan-penculikan wanita cantik dan pada keesokan harinya wanita-wanita itu kedapatan tewas di dalam hutan.
Dan di antara para anggauta pernah melihat Siu Coan pada pagi hari keluar dari dalam hutan itu! Memang tidak mungkin dapat menangkap pemuda itu pada saat dia melakukan kejahatan, tidak mungkin menangkap basah karena pemuda itu amat lihai. Akan tetapi, mereka menjadi semakin curiga. Terutama sekali Ma Ki Sun. Diam-diam Kakek ini lalu mengadakan hubungan dengan para pendekar dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ada pendekar yang mengenal Siu Coan sebagai murid dari datuk iblis Thian-tok! Diam-diam Ma Pangcu mengumpulkan murid-murid utamanya dan mengundang tokoh-tokoh persilatan, di antaranya dua orang Hwesio Siauw-lim-si dan dua orang tosu Kun-lun-pai. Mereka lalu mengadakan pertemuan di sebuah kuil Siauw-lim-si di belakang Bukit Kijang Putih, tanpa setahu Siu Coan.
"Ong Siu Coan memang memiliki ilmu silat yang amat lihai dan lagaknya seolah-olah dia benar-benar hendak menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan kekuatan penjajah. Akan tetapi sepak terjangnya sungguh berlawanan dengan lagaknya. Banyak hal pada dirinya yang amat meragukan dan mengkhawatirkan, karena itu kami mengundang para suhu dan totiang untuk membantu kami memecahkan persoalan ini."
"Bicaralah, pangcu. Kamipun sudah banyak mendengar tentang orang she Ong itu," kata Giok Cin Cu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berpakaian tosu.
"Pertama sekali yang perlu diketahui adalah kenyataan bahwa Ong Siu Coan adalah murid datuk sesat Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menyamar sebagai Siauw-bin-hud dan merampas pusaka kami Giok-liong-kiam. Bahkan sekarangpun yang melarikan pusaka itu adalah murid pertamanya yang bernama Koan Jit, hal ini kita semua sudah mendengarnya."
"Omitohud...!" Seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai berseru kaget.
"Jadi anak murid Thian-tok sekarang menkadi pemimpin Thian-te-pang? Sungguh berbahaya!"
"Ke dua, dia tidak memusuhi orang kulit putih, bahkan condong untuk bersahabat dengan orang kulit putih. Sutenya, murid ke tiga dari Thian-tok, kabarnya bahkan telah menikah dengan seorang gadis kulit putih. Ini merupakan bukti bahwa dia sama sekali tidak memusuhi orang kulit putih yang jelas merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa." Mereka yang mendengar keterangan ini mengangguk-angguk maklum. Tidak ada seorangpun di antara para patriot itu yang setuju dengan membanjirnya orang kulit putih di kota-kota yang telah dibuka oleh keputusan Kaisar Tao Kuang yang ketakutan terhadap penyerbuan orang kulit putih itu.
JILID 16
"Ada hal lain yang amat berbahaya," kata pula Ma Ki Sun, sekali ini sengaja hendak membakar hati para Hwesio Siauw-lim-pai dan para tosu Kun-lun-pai.
"Ong Siu Coan kini melakukan kegiatan menyebarkan agama baru dari orang kulit putih, bahkan dia berani menghina agama-agama kita, mengatakan bahwa Agama Buddha dan Agama To merupakan agama tersesat."
"Siancai...!" seru para tosu Kun-lun-pai.
"Omitohud...!" para Hwesio Siauw-lim-pai juga berseru marah. Demikianlah, para tokoh itu lalu mengambil keputusan untuk menentang Ong Siu Coan dan mengenyahkan pemuda itu dari Thian-te-pang agar perkumpulan ini tidak dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Siasat diatur dan waktu telah ditentukan. Dengan dalih merayakan ulang tahun perkumpulan mereka, Ma Ki Sun berhasil membujuk Siu Coan untuk menyetujui diadakannya perayaan sederhana sambil mengundang para tokoh persilatan yang menjadi sahabat Thian-te-pang.
Siu Coan sama sekali tidak tahu bahwa ketika perayaan itu tiba saatnya, Ma Ki Sun sudah membuat persiapan yang amat matang. Para muridnya telah diberi tahu dan murid-murid itupun mempengaruhi para anggauta sehingga sebagian besar para anggauta Thian-te-pang sudah maklum bahwa pemuda yang lihai itu sama sekali tidak cocok untuk menjadi pemimpin perkumpulan mereka. Selain itu, juga para tokoh persilatan yang hadir sebagai tamu, semua adalah sahabat-sahabat Ma Ki Sun yang sudah siap turun tangan membantu kalau keadaan memaksa. Di tengah-tengah perayaan itulah Ma Ki Sun bangkit berdiri dan mengumumkan kepada semua anggauta bahwa mulai hari itu, Thian-te-pang harus kembali ke jalan benar.
"Sudah beberapa bulan lamanya perkumpulan kita melakukan penyelewengan-penyelewengan dan semua hal ini harus dihentikan. Hal ini terjadi setelah Ong-sicu memimpin kita, oleh karena itu, mengingat bahwa Ong-sicu bukan merupakan anggauta Thian-te-pang, mulai hari ini kami semua minta kepada Ong-sicu untuk mengundurkan diri dan jangan mencampuri urusan Thian-te-pang kami." Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh Siu Coan. Wajah pemuda ini menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang kepada ketua Thian-te-pang itu. Diapun bangkit berdiri dan dengan sikap tenang dia berkata,
"Apakah ini berarti bahwa Ma-pangcu menantangku untuk mengadu kepandaian?"
"Sama sekali bukan begitu," jawab Ma Ki Sun.
"Kami semua tahu bahwa sicu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sicu bukan anggauta kami, dan kalau sicu hendak memaksakan kehendak menjadi pimpinan kami, hal itu berarti bahwa sicu sebagai orang luar hendak memaksa diri menguasai kami. Kalau benar demikian, terpaksa kami seluruh anggauta Thian-te-pang akan bangkit dan menentang sicu sebagai orang luar yang hendak mengacau perkumpulan kami!" Siu Coan marah sekali dan dia melayangkan pandangannya kepada mereka yang hadir. Kaget juga hatinya ketika melihat betapa semua anggauta Thian-te-pang berkumpul di situ dan kebanyakan dari mereka telah bangkit dan siap menentangnya dengan pandang mata Bermusuhan! Bahkan dia melihat pula para Hwesio dan tosu yang hadir, dari perkumpulanper-kumpulan persilatan besar, sudah siap pula membela tuan rumah.
"Omitohud, kalau Thian-te-pang dikacau orang luar, pinceng sekalian sebagai sahabatsahabatnya tidak akan tinggal diam!" kata seorang Hwesio Siauw-lim-pai.
"Benar, pinto bersama saudara semua juga akan membela Thian-te-pang dari gangguan orang luar!" kata seorang tosu tinggi kurus yang bermuka kuning.
Siu Coan bukan orang bodoh. Dia tidak gentar menghadapi semua orang Thian-te-pang. Akan tetapi diapun tahu bahwa tak mungkin dia akan menang menghadapi pengeroyokan mereka semua, apa lagi diingat bahwa di antara para tamu terdapat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kunlun-pai yang lihai. Juga, kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dia akan kehilangan rasa suka mereka, padahal dia masih mengharapkan bantuan orang-orang Thian-te-pang, setidaknya para anggauta yang suka kepadanya dan yang bahkan sudah menerima agama baru yang disiarkannya. Dalam waktu beberapa puluh detik saja, pemuda yang cerdik ini sudah dapat memutar otaknya dan diapun tetap bersikap tenang, bahkan dia lalu menjura ke arah Ma KI Sun dan suaranya terdengar lantang, lembut dan tenang.
"Ma-pangcu, sejak dahulupun aku tidak ingin mengganggu Thian-te-pang, melainkan hendak memajukan perkumpulan ini. Akan tetapi kalau Ma-pangcu dan para anggauta Thian-tepang tidak menghendaki bantuanku, tidak mengapalah. Aku akan mundur sekarang juga. Akan tetapi, tentu Ma-pangcu dan semua anggauta tidak akan menganggap aku sebagai musuh, melainkan sebagai seorang sahabat, bukan?"
Ma Ki Sun sendiri tercengang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan demikian mudahnya mengalah! Tadinya dia bahkan mengharapkan pemuda itu akan menjadi marah dan akan memberontak dan melawan agar dia dapat mengeroyoknya bersama para anggauta dan para tamu yang lihai agar dia dapat membasmi pemuda yang lihai dan berbahaya ini. Akan tetapi siapa kira, pemuda itu bersikap demikian mengalah dan lunak sehingga tentu saja tidak ada alasan baginya untuk mengeroyoknya! Terpaksa dia balas menjura kepada pemuda itu.
"Tentu saja Ong-sicu tetap menjadi sahabat kami, karena bagaimanapun juga, maksud sicu memimpin perkumpulan kami adalah baik walaupun sepak terjang sicu tidak cocok dengan pendirian kami." Dia masih mengharapkan agar pemuda itu membantah sehingga ada bahan untuk saling bertentangan. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum, menjura dan duduk lagi sambil mengucapkan terima kasih! Melihat sikap pemuda ini, tentu saja para tamupun tidak ada yang dapat mencela, bahkan ada di antara mereka yang diam-diam memuji sikap pemuda itu yang dianggap tahu diri dan tidak mencari keributan. Karena sikap pemuda ini, maka tidak terjadi peristiwa sesuatu di dalam pesta dan semenjak hari itu,
Siu Coan meninggalkan Thian-te-pang dengan aman, sama sekali tidak mau memancing keributan. Memang pemuda ini pandai bukan main. Dengan sikapnya ini, maka kelak akan banyak di antara para anggauta Thian-te-pang yang mau masuk menjadi anggauta perkumpulan baru yang didirikannya, yaitu perkumpulan yang diberinya nama Pai-sang-ti-hui (Perkumpulan Pemuja Tuhan), sebagai suatu perkumpulan yang memeluk Agama Kristen, akan tetapi yang di dalamnya mengandung cita-cita untuk meruntuhkan kekuasaan Mancu yang menguasai tanah air. Pulau yang tidak begitu jauh dari daratan besar itu disebut Pulau Layar karena dari jauh bentuknya seperti layar sebuah perahu besar dan berwarna hitam. Letaknya di lautan kuning, kurang lebih hanya tiga li dari daratan.
Para nelayan mengenal pulau ini sebagai pulau kecil milik seorang hartawan she Tang, akan tetapi tidak ada nelayan berani mencoba mendekati pulau itu karena hartawan itu terkenal memiliki banyak anak buah yang galak dan kejam, juga mereka itu terkenal sebagai orang-orang yang pandai ilmu silat, terutama sekali ilmu dalam air. Pernah ada tiga orang nelayan muda yang terlalu berani, mencari ikan dekat pulau itu. Karena daerah ini jarang didatangi para nelayan, maka perairan di dekat pulau mengandung banyak ikan. Tiba-tiba sebuah perahu kecil hitam meluncur dekat dan dua orang muda yang tampan menegur para nelayan itu. Melihat bahwa yang mengganggu mereka hanya dua orang pemuda yang kelihatan tampan dan bertubuh kecil, tiga orang nelayan muda yang kuat-kuat itu tidak takut, bahkan membantah sehingga terjadi percekcokan.
Tiba-tiba dua orang pemuda tampan dalam perahu hitam itu berloncatan ke dalam air, menyelam dan tak lama kemudian, perahu nelayan itupun terbalik dan tentu saja tiga orang nelayannya ikut tercebur! Mereka diseret kebawah permukaan air dan akhirnya dua orang di antara mereka tewas, yang seorang berhasil menyelamatkan diri membawa cerita menyeramkan tentang pulau itu dan para penghuninya yang galak dan kejam. Pulau layar ini memang dihuni oleh seorang hartawan yang kaya raya bernama Tang Kok Bu atau yang lebih terkenal lagi di dunia persilatan sebagai seorang datuk sesat berjuluk Hai-tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat Racun Dunia yang terkenal itu. Hai-tok Tang Kok Bu di waktu dahulu adalah seorang datuk sesat yang menguasai lautan, menjadi raja di antara para bajak laut.
Pekerjaan ini mendatangkan hasil bajakan yang amat besar dan setelah usianya semakin tua, Hai-tok menghentikan kegiatannya dan hidup di Pulau Layar sebagai seorang hartawan yang kaya raya. Hai-tok sudah kehilangan isterinya semenjak puterinya masih kecil, anak tunggal ini bernama Tang Ki dan setelah kematian isterinya, Hai-tok hidup secara yang tidak wajar. Dia menerima murid-murid yang terdiri dari pria-pria yang tampan, pemuda-pemuda remaja yang ganteng dan mulailah kehidupannya sebagai seorang homo, seorang Kakek yang suka bermesraan dengan pemuda-pemuda tampan. Hanya seorang di antara muridnya yang tak pernah diganggunya walaupun murid ini tampan juga, yaitu murid pertamanya yang sejak kecil bersama puterinya telah dilatihnya.
Karena sejak kecil menjadi muridnya, maka Lee Song Kim, demikian nama murid itu, selain memiliki ilmu yang lihai, juga dianggap seperti anak sendiri sehingga Haitok tidak pernah mengganggunya. Murid-murid lain diambil murid setelah menjadi pemuda remaja dan mereka ini tidak memperoleh latihan ilmu silat yang terlalu tinggi, melainkan lebih banyak bertugas sebagai pelayan-pelayan dan juga penghibur-penghibur. Tidak kurang dari tiga puluh orang murid yang tampan-tampan yang menjadi pelayan dan anak buah ini dan selain puteri tunggalnya, Tang Ki, tidak ada seorangpun wanita lain yang tinggal di pulau itu! Pada pagi hari itu, Hai-tok Tang Kok Bu sudah berada di luar gedungnya yang indah, di halaman luar gedungnya dan nampak dia marah-marah. Suaranya lantang ketika dia memarahi belasan orang pemuda ganteng yang berlutut di atas tanah, di depan kakinya.
"Kalian ini memang manusia-manusia tolol yang tiada guna!" bentaknya berkali-kali dan belasan orang anak buah atau juga muridnya itu berlutut dengan muka pucat dan tubuh gemetar.
"Masa mencari satu orang saja, sampai berbulan-bulan pergi menghabiskan banyak biaya, belum juga berhasil!" Memang menakutkan kalau Hai-tok sedang marah-marah. Kakek yang usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun ini bertubuh tinggi besar dengan muka merah, pakaiannya mewah dan seperti pakaian hartawan kota saja. Sepasang matanya yang besar itu melotot dan mukanya yang merah itu menambah kebuasannya. Dia marah-marah karena belasan orang murid pilihan ini gagal setelah berbulan-bulan meninggalkan pulau dan berpencaran untuk mencari jejak seorang yang bernama Koan Jit, murid pertama Thian-tok yang melarikan pusaka Giok-liongkiam. Pagi hari itu mereka pulang ke Pulau Layar dan membawa laporan bahwa mereka gagal menemukan orang yang mereka cari-cari.
"Percuma saja kalian kuberi makan enak, kuberi pakaian indah-indah, kuberi kehidupan yang mewah dan mulia di sini, bahkan menjadi murid-muridku! Kini diberi satu macam tugas saja tidak becus melaksanakan dengan baik. Mau bicara apa kalian?" Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia kurang lebih dua puluh empat tahun, agaknya memberanikan diri mewakili saudara-saudaranya dan berkata,
"Mohon suhu sudi mengampuni teecu sekalian karena sesungguhnya teecu sekalian telah mati-matian mencari jejak Koan Jit itu. Akan tetapi, suasana di selatan amat kacau dan teecu menduga dia berada di daerah selatan yang tadinya kacau dilanda perang madat, suhu. Dalam keadaan kacau-balau dengan banyaknya pejuang, teecu menemukan kesukaran, bahkan kalau bertanya-tanya, kadang-kadang teecu dicurigai orang, disangka mata-mata orang kulit putih."
"Huh, alasan kosong! Sialan benar kalian!" Kakek tinggi besar itu tetap marah-marah dan pada saat itu terdengar seruan nyaring.
"Ayah sendiri yang bersalah, mengapa menyalahkan mereka?" Hai-tok menoleh dan memandang marah kepada puterinya. Akan tetapi, kemarahan terhadap puterinya selalu dikekangnya.
Mana mungkin dia marah kepada anak tunggalnya yang amat disayangnya itu? Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun muncul. Gadis ini memang puteri atau anak tunggal Hai-tok, akan tetapi dalam hal berpakaian, ia tidak seperti Ayahnya yang selalu berpakaian mewah. Tidak, gadis ini sama sekali tidak mengenakan pakaian mewah, bahkan mukanya tidak dirias terlalu menyolok. Pakaiannya ringkas walaupun terbuat dari bahan yang bagus. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kenakalan, wajahnya selalu berseri dan mulut itu selalu tersenyum. Manis bukan main karena di tepi mulutnya terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil yang menjadi pemanis. Dengan sikap manja gadis yang bernama Tang Ki itu mendekat dan menghampiri Ayahnya, lalu menggandeng tangan Kakek itu.
"Sudahlah, Ayah. Kalau Ayah sering marah-marah, Ayah akan jatuh sakit lagi. Bukankah sebulan yang lalu, karena sering marah-marah, Ayah pernah jatuh sakit parah?" Sikapnya manja akan tetapi juga kelihatan sayangnya terhadap orang tua itu.
"Huh, Kiki, bagaimana engkau malah menyalahkan Ayahmu? Mereka ini yang tolol, tidak becus! Engkau tidak tahu betapa pentingnya Giok-liong-kiam itu bagiku!"
"Tentu saja salah Ayah sendiri. Mereka ini orang-orang macam apa maka Ayah beri tugas sedemikian beratnya? Sejak dulupun aku sudah mengatakan bahwa biarlah aku saja yang melakukan penyelidikan terhadap Koan Jit. Harap Ayah ingat. Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok. Mereka ini akan mampu berbuat apakah terhadap dirinya?"
"Benar apa yang dikatakan sumoi, suhu!" Tiba-tiba muncul pula seorang pemuda dari dalam gedung megah itu. Pemuda ini usianya kurang lebih dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan pakaiannya mewah seperti gurunya, bahkan pesolek karena rambutnya disisir halus, mukanya seperti ada bekas bedak lamat-lamat. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya indah terukir dan diberi ronce-ronce merah di gagangnya, di pinggang depan terselip sepasang pisau belati.
Kuncirnya yang tebal hitam itu jelas bekas diminyaki licin, dan berbau harum. Pakaiannya seperti orang pelajar, akan tetapi karena dia membawa pedang dan pisau belati, jelas bahwa dia seorang yang tidak lemah. Inilah dia Lee Song Kim, murid utama Hai-tok yang sejak kecil digemblengnya dan mewarisi banyak ilmunya dan dianggap sebagai putera sendiri. Karena itu, biarpun tidak semanja Tang Ki atau yang biasa disebut Kiki, pemuda ini berani mencampuri percakapan antara Ayah yang sedang marah dan puterinya itu. Kalau murid lain, seorang di antara pemuda-pemuda tampan yang menjadi anak buah pula, sampai bagaimanapun tidak akan berani selancang itu karena salah-salah mereka akan dipukul mampus!
"Si Koan Jit itu tentu lihai sekali. Kalau sumoi dan teecu yang berangkat, tentu kami berdua akan mampu menemukannya dan sekalian merampas Giok-liong-kiam untuk suhu!" kata pula pemuda itu setelah dengan gerakan cepat dia tiba di dekat Hai-tok dan Kiki.
"Kurasa tidak perlu kalian berdua pergi, salah seorang saja," kata Hai-tok.
"Tapi, suhu, kalau kami pergi berdua, teecu dapat membantu sumoi dan sekalian melindunginya. Harap suhu ingat bahwa murid pertama Thian-tok itu tentu lihai bukan main dan berbahayalah kalau sumoi pergi seorang diri saja..."
"Suheng, jangan lancang kau ! Aku tidak minta bantuanmu, juga tidak butuh perlindunganmu!" Kiki merajuk dan bersungut sambil melirik marah ke arah pemuda itu. Lee Song Kim tersenyum senang. Sejak kecil mereka berangkat bersama, berada di satu tempat dan berlatih silat bersama-sama sehingga di waktu kecil mereka berdua itu merasa saling suka seperti kakak beradik saja. Akan tetapi setelah mereka dewasa, Lee Song Kim merasakan ada perobahan dalam hatinya. Dia kagum dan terpikat oleh kecantikan dan kemanisan wajah sumoinya, dan timbul gairahnya melihat betapa sumoinya itu kini berobah menjadi seorang gadis yang makin hari makin nampak molek dan memikat hati.
Apa lagi setelah dia mulai berkenalan dengan wanita ketika dia meninggalkan pulau dan bermain-main dengan para nelayan dan para penghuni di dusun-dusun dekat pantai. Dia membanding-bandingkan para wanita pelacur yang dikenalnya, wanita dusun pantai yang dihubunginya, dengan sumoinya dan nampaklah oleh matanya bahwa sumoinya itu jauh lebih menarik dan menang dalam segala hal! Mulailah dia tergila-gila dan diam-diam dia merindukan sang sumoi dan mengharapkan kelak sumoinya itu akan menjadi isterinya. Dengan demikian, bukan saja dia akan mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita, juga gagah perkasa dan boleh diandalkan, melainkan juga dapat mewarisi harta peninggalan yang amat banyak dari gurunya kalau guru yang menjadi Ayah mertua itu meninggal kelak!
"Aih, sumoi, aku bermaksud baik. Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok, tentu lihai dan berbahaya sekali. Baru kalau kita maju berdua, banyak harapan akan dapat membekuk dia dan merampas pusakanya. Tidakkah benar demikian, suhu? Apakah suhu akan merelakan dan tega melihat sumoi pergi sendirian dan kelak berhadapan dengan Koan Jit lalu mengalami celaka? Kalau ada teecu di sampingnya, teecu akan membelanya dengan taruhan nyawa!"
"Phuahh! Lagaknya!" Kiki kembali menegur.
"Jangan kau pandang rendah aku, suheng! kau kira aku ini anak kecil yang perlu kau jaga? Hemm, lihat saja. Akulah yang berhasil merampas Giok-liong-kiam!"
"Kiki, kukira pendapat suhengmu ada benarnya. Terlalu berbahaya kalau engkau pergi seorang diri. Memang kepandaianmu sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi menghadapi murid utama Thian-tok, engkau harus hati-hati. Kalau kalian maju berdua, aku tanggung kalian takkan kalah. Kepandaian Thian-tok dan aku seimbang. Hanya mungkin engkau kalah pengalaman dan kalah latihan, mengingat bahwa murid Thian-tok yang pertama itu sudah jauh lebih tua. Sebaiknya kalau engkau pergi berdua dengan suhengmu."
"Ah, aku tidak suka pergi berdua!" kata Kiki merajuk.
"Kalau begitu, biarkan teecu yang pergi, suhu, dari pada membiarkan sumoi terancam bahaya." Sang guru mengangguk-angguk dan melihat ini, Kiki cemberut lalu pergi ke dalam kamarnya.
Percakapan dengan puteri dan muridnya itu membuat hati Hai-tok terhibur sehingga kemarahannya mereda dan hal ini menyelamatkan para murid yang baru pulang itu dari kemarahan dan hukuman selanjutnya. Setelah memperoleh ijin dari gurunya, Song Kim lalu membuat persiapan untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Pulau Layar. Dia mengumpulkan belasan orang murid yang baru pulang pagi tadi dan mendengar keterangan mereka tentang hasil penyelidikan mereka. Menurut penuturan mereka, jejak Koan Jit menuju ke selatan dan lenyap di antara kekacauan yang terjadi karena perang madat di selatan. Keterangan ini membuat Song Kim mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan ke selatan pula. Malam itu sunyi di pulau itu. Hai-tok telah tidur nyenyak ditemani dua orang murid atau anak buah yang baru pulang pagi tadi.
Sesosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali keluar dari gedung itu melalui sebuah jendela kamar. Itulah bayangan Kiki yang sudah berpakaian ringkas, menggendong sebuah buntalan berisi pakaian. Dengan gerakan yang amat lincah, gadis itu memandang ke kanan kiri yang sudah sunyi. Ia tahu bahwa di depan gedung, seperti biasa, terdapat beberapa orang murid yang melakukan penjagaan secara bergilir. Maka iapun lalu meloncat dan berlari cepat ke arah belakang gedung keluarganya, melompati pagar tembok di belakang kemudian, di bawah sinar bulan, ia terus lari memutar menuju ke pantai di mana perahu-perahu milik mereka berada. Ia tahu bahwa di tempat ini juga terdapat beberapa orang murid berjaga, menjaga perahu-perahu mereka kalau-kalau ada orang luar yang mendarat di pulau mereka. Ia tahu dengan pasti di mana mereka berjaga.
Ia ingin pergi dengan diam-diam karena kalau sampai ketahuan Ayahnya, tentu Ayahnya akan menahannya. Ayahnya terlalu sayang kepadanya sehingga tidak akan membiarkan ia pergi seorang diri saja. Kalau ia sudah dapat keluar dari pulau, maka amanlah, Ayahnyapun tidak akan dapat menyusulnya karena ia boleh mengambil jalan ke manapun tanpa meningalkan jejak di atas air. Sekali ini, ia tidak ingin mencoba untuk pergi dengan perahu tanpa setahu para penjaga. Hal ini akan sukar sekali dan sebelum ia berlayar jauh, tentu para penjaga sudah melihatnya. Maka, iapun lalu dengan cepat menyembunyikan buntalan pakaiannya, kemudian dengan santai ia menghampiri tempat jaga. Ada tiga orang murid berjaga di situ. Tiga orang murid ini tercengang melihat betapa malam-malam gadis itu datang ke tempat penjagaan mereka.
Hampir semua murid atau anak buah di pulau itu tentu saja diam-diam merindukan gadis yang cantik jelita dan yang merupakan satu-satunya wanita di pulau itu, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani bersikap sembarangan, tahu akan kelihaian Kiki. Dan Kiki yang amat manja itu, melihat bahwa para pemuda itu datang ke pulau sudah pemuda remaja dan hanya menerima latihan silat sekedarnya saja dari Ayahnya, tidak mau disamakan dengan mereka dan tidak sudi disebut suci, melainkan mengharuskan mereka menyebutnya Siocia (nona)! Keangkuhan karena manja dari Kiki ini diikuti pula oleh Song Kim yang minta disebut kongcu (Tuan muda) oleh para anak buah. Tingkah dua orang muda ini diketahui oleh Hai-tok, akan tetapi didiamkan saja karena Kakek inipun melihat perbedaan tingkat dan derajat antara dua orang muda itu dengan anak buahnya.
"Selamat malam, Siocia!" tegur mereka ketika melihat munculnya Kiki. Dengan sikap wajar Kiki mengangguk lalu berkata, "Malam ini aku ingin berjaga di pantai. Kalian berjagalah di depan gedung, memperkuat penjagaan di sana atau kalau kalian lelah, kalian boleh tidur."
"Tapi, Siocia..." Mereka meragu karena peraturan guru mereka amat keras tentang penjagaan ini. Siapa yang memperoleh giliran jaga, sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat penjagaan.
"Tidak ada tapi! Aku yang memerintahkan, siapa yang akan melarang? Aku ingin bergadang dan berjaga di sini malam ini, apakah kalian akan menghalangi aku?" Dibentak seperti itu, tentu saja tiga orang itu menjadi pucat dan tergesa-gesa mereka lalu meninggalkan tempat penjagaan di pantai dan berlari-larian ke tengah pulau. Setelah mereka pergi, dan ia maklum bahwa mereka tidak akan berani mengganggu Ayahnya malam ini dengan laporan, Kiki cepat mengambil buntalannya dan segera meloncat ke dalam sebuah perahu kecil hitam setelah melepaskan tali pengikat perahu itu.
Tak lama kemudian perahunyapun meluncur ke tengah lautan setelah didayungnya dan kemudian layar dikembangkan dan menangkap angin. Sama sekali Kiki tidak tahu bahwa pada saat itu, sesosok tubuh manusia bergantung pada dasar perahunya, dan wajah orang itu tersenyum menyeringai penuh kepuasan. Orang itu bukan lain adalah Song Kim! Kiranya pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga akan rasa penasaran di hati sumoinya dan pergaulannya sejak kecil dengan sumoinya membuat dia dapat mengenal watak keras sumoinya. Dia dapat menduga bahwa sumoinya mungkin sekali akan mendahuluinya pergi meninggalkan pulau untuk mencari Koan Jit. Karena itu, diam-diam dia bersembunyi di dekat pantai tanpa setahu para penjaga.
Setelah dia melihat berkelebatnya bayangan sumoinya dari jauh, dia makin yakin akan tepatnya persangkaannya. Maka diapun cepat masuk ke dalam air. Sebagai murid Hai-tok, tentu saja pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air. Dia dapat bersembunyi di dalam air sampai lama, menggunakan sebatang alang-alang untuk pernapasan. Dia melihat sumoinya meloncat ke dalam sebuah perahu, diam-diam dia berenang di bawah permukaan air dan mengikuti perahu itu sampai meluncur dibawa kekuatan angin yang ditangkap layar dan dia memegangi dasar perahu itu, bergantung dan ikut terbawa oleh perahu. Tiba-tiba udara yang tadinya terang oleh sinar bulan, kini menjadi gelap. Agaknya ada awan mendung tebal menutupi sinar bulan. Cuaca di atas permukaan laut menjadi gelap sama sekali.
"Sialan!" Kiki mengomel sambil memandang ke atas di mana awan yang tebal dan amat lebar bergantung di angkasa menutupi sinar bulan.
Akan tetapi ia adalah anak laut dan sudah biasa berlayar, maka ia dapat mengarahkan perahunya tepat ke barat walaupun bulan tertutup awan. Cuaca menjadi semakin gelap. Karena Kiki mengenal daerah lautan di situ, iapun tahu bahwa ia harus berhati-hati karena di daerah ini terdapat beberapa tonjolan batu karang yang berbahaya. Karena itu, maka iapun duduk mengemudikan perahu dengan hati-hati dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Perahu mulai oleng dan ombak mulai datang. Air laut memercik ke tubuh perahu mengeluarkan bunyi seperti dendang yang amat terkenal bagi telinga Kiki. Karena perhatiannya dipusatkan pada kemudi, dan karena suara gaduh air menutupi suara lain, ia sama sekali tidak tahu bahwa di luar perahu,
Ada bayangan hitam bergerak merayap perlahan-lahan memanjat perahunya dan kini bayangan itu tiba di belakangnya. Seperti ada sesuatu yang memperingatkannya, ia menoleh akan tetapi terlambat karena pada saat itu, dua buah lengan yang kuat sudah merangkulnya dari belakang dan jari tangan yang terlatih baik sudah menotok jalan darahnya. Seketika tubuh Kiki menjadi lemas. Biarpun ia masih dapat melihat dan mendengar dengan baik dalam keadaan sadar, namun ia tidak dapat melihat siapa orang yang telah menotoknya. Bahkan bayangan orang itupun hampir tidak nampak, demikian gelapnya cuaca. Akan tetapi yang membuat gadis ini terkejut setengah mati, bahkan menjadi ngeri ketakutan adalah ketika tiba-tiba orang itu menindihnya, mendekapnya dan menciuminya dengan buas dan penuh nafsu berahi!
Hanya terdengar suara ah-ah-uh-uh dari mulut orang itu dan terus menciumi seluruh tubuh dan mukanya, bahkan menggigit bibirnya dengan gemas. Kiki adalah seorang gadis yang belum pernah berdekatan dengan pria seperti ini, dan biarpun ia sudah banyak membaca tentang itu, juga naluri kewanitaannya yang memperingatkan, namun selamanya belum pernah ia merasakan hal seperti itu. Ia ingin menjerit, ingin meronta, ingin membunuh orang itu. Biarpun ia tidak tahu siapa, akan tetapi ia tahu bahwa orang ini tentu seorang laki-laki. Karena tidak berdaya, Kiki menjadi ketakutan dan hampir pingsan karena ia sudah dapat setengah menduga bahwa laki-laki ini tentu akan memperkosanya dengan buas! Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu oleng keras dan mereka berdua terguling-guling, hampir terlempar keluar dari dalam perahu.
Pria itu mengeluarkan suara menggerutu, akan tetapi agaknya dia memang tidak ingin dikenal maka tidak mengeluarkan kata-kata, lalu meloncat berdiri, melepaskan tubuh Kiki yang tadi ditindih dan dipeluknya. Perahu tetap oleng ke kanan kiri. Kiki yang rebah miring itu terkejut juga. Badai telah tiba dengan mendadak dan menyerang perahu! Bisa berbahaya di daerah yang banyak batu karangnya ini! Laki-laki itu agaknya maklum pula. Dengan kuat dia mengemudikan perahu, melawan ombak yang semakin membesar. Tiba-tiba tubuh Kiki bergulingan ketika perahu miring. Tentu saja Kiki merasa ngeri sekali karena kalau tubuhnya terlempar keluar, tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup. Kalau saja tidak tertotok, dengan ilmunya bermain di air mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi totokan itu demikian lihainya sehingga ia tidak mampu bergerak sama sekali!
Biarpun tidak dapat melihat, laki-laki itu, yang tentu para pembaca dapat menduganya, adalah Song Kim, dapat mendengar gerakan tubuh Kiki yang terguling-guling. Terpaksa dia melepaskan kemudi dan cepat menyambar tubuh Kiki. Perahu menjadi semakin oleng, berputaran malah. Laki-laki itu mengeluarkan suara mengguman seperti menyumpah, lalu memanggul tubuh Kiki dengan lengan kiri dan tangan kanannya cepat menyambar kemudi lagi. Perahu meluncur lurus, melawan ombak yang makin menghebat. Denga cepat Song Kim lalu mengikat tubuh Kiki kepada tihang layar. Hal ini dilakukan sedapat mungkin dengan sebelah tangan saja, kadang-kadang dengan dua tangan akan tetapi harus cepat memegang kemudi lagi kalau perahunya berputar. Akhirnya dia berhasil juga mengikat tubuh sumoinya itu pada tiang layar.
Lengan, dada, paha dan kakinya dilibat-libat denga tali yang amat kuat itu, juga dia tidak lupa mengikat tangan gadis itu karena maklum bahwa kalau sumoinya terbebas dari totokan, tentu akan mampu melepaskan diri kalau kaki tangannya tidak diikat erat-erat. Tali perahu itu kuat sekali. Bahkan air lautpun dapat ditahannya, maka ikatan pada diri gadis itu luar biasa kuatnya. Pemuda itu berang dan kecewa bukan main. Nasibnya telah begitu baik sehingga dia mendapatkan kesempatan yang akan memungkinkan dia memuaskan nafsunya terhadap sumoinya itu tanpa kelihatan oleh siapapun juga, bahkan tanpa dapat diketahui oleh sumoinya. Bagaikan makanan, tadi makanan itu telah berada di mulutnya, tinggal mengunyah dan menelan saja! Akan tetapi nasib pula yang demikian jahil sehingga makanan itu terpaksa dimuntahkannya kembali.
Tiba-tiba saja ada badai datang menyerang sehingga kalau dia tidak mengikat tubuh sumoinya pada tiang layar, tentu tubuh itu akan terlempar keluar. Bukan saja niatnya tadi gagal sama sekali, juga kini dia bahkan harus berusaha keras untuk melawan badai, menyelamatkan perahu dan juga sumoinya, juga dirinya sendiri! Sialan! Kalau saja dia tidak menotok sumoinya, kalau saja dia tidak melakukan usahanya memperkosa tadi, tentu kini dengan mudah dia membebaskan totokannya atas diri Kiki dan mereka berdua akan dapat meloloskan diri dengan lebih mudah. Tidak seperti sekarang, dia terpaksa mengikat tubuh Kiki agar jangan ditelan air dan harus berjuang amat keras seorang diri agar perahu itu tidak karam. Betapapun juga, dia masih mengandung harapan agar dia dapat segera menyelamatkan perahu dan sumoinya dari badai, kemudian karena cuaca masih amat gelap,
Di tempat aman dia masih akan dapat melanjutkan maksud hatinya yang tadi. Mengingat akan kemungkinan itu, dia menelan ludah dan mengemudikan perahu dengan amat hati-hati. Lee Song Kim adalah seorang anak yatim piatu, anak seorang bajak laut yang amat kejam dan jahat. Ketika dia berumur empat tahun, Ayahnya yang juga merupakan seorang pemberani, bentrok dengan Hai-tok dan inilah kesalahan besar Ayahnya dalam kehidupannya. Dia terbunuh oleh Hai-tok, dan isterinya yang masih muda dan cukup cantik tidak terlepas pula dari penghinaan Hai-tok terhadap orang yang berani menghinanya. Dia menangkap dan memperkosa isteri bajak itu, bahkan setelah beberapa hari kemudian dia memberikan wanita itu kepada anak buah bajak laut yang berpesta pora terhadap diri wanita itu sampai tewas.
Akan tetapi anak tunggalnya, yaitu Song Kim, menarik perhatian Hai-tok. Dengan matanya yang tajam datuk sesat ini melihat adanya bakat yang amat baik pada diri anak itu. Maka dia mengampuni anak itu dan mengambilnya sebagai murid. Song Kim yang sama sekali tidak mengetahui asal usulnya, menjadi murid yang terkasih, bahkan diperlakukan sebagai putera sendiri oleh Hai-tok. Ketika itu, ibu Kiki masih hidup dan Kiki sendiri baru berusia kurang lebih tiga tahun. Karena hidup di dalam lingkungan orang-orang yang suka bertindak kasar dan kejam, melakukan segala macam kemaksiatan, dan mungkin juga karena memang pembawaan dan darahnya, maka semua itu mudah sekali menular pada batin Song Kim. Dia amat cerdik, amat kejam dan jahat, akan tetapi semua itu disembunyikan di balik tampangnya yang menarik,
Sikapnya yang amat ramah dan jenaka. Dan dia memang sungguh tergila-gila kepada Kiki, dia mencinta Kiki karena sejak kecil bergaul dengan Kiki dan merasa cocok dengan watak gadis itu yang jenaka periang dan gagah berani. Kalau sekarang dia begitu tega untuk memperkosa gadis itu adalah justeru terdorong rasa cintanya, menurut batin dan kelicikannya sendiri. Dia berpendapat bahwa sekali dia berhasil memperkosa gadis itu, tanpa diketahui oleh gadis itu sendiri, berarti dia telah memiliki kekuasaan atas diri Kiki. Kalau kelak sampai gagal dia akan dapat mempergunakan rahasia ini untuk memaksa Kiki! Dengan adanya rahasia yang diketahuinya sendiri itu, bahwa Kiki telah diperkosanya, kelak dia akan
dapat memaksa gadis itu untuk menjadi isterinya dan tidak mungkin menjadi isteri orang lain.
Tentu saja seorang pemuda seperti Song Kim tidak sadar sama sekali bahwa cinta kasih adalah perasaan yang amat halus dan suci, yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh nafsu keinginan apapun. Yang diciptakan oleh nafsu-nafsu keinginan hanyalah pengejaran kesenangan belaka, baik melalui berahi, melalui cita-cita dan sebagainya. Akan tetapi, nasib agaknya kurang membantu Song Kim pada malam hari itu. Badai amat besar dan buas, mempermainkan dia dan perahunya sampai berjam-jam lamanya. Dia sendiri kehilangan arah perahunya, dan hanya mengemudikan perahu dengan satu tujuan, yaitu agar perahunya tidak sampai karam. Itu saja! Dia tidak tahu bahwa perahu itu diombang-ambingkan ombak ganas dan diseret jauh ke selatan! Kegelapan cuaca membuat dia tidak tahu pula bahwa kini perahunya sebetulnya sudah berada dekat dengan daratan.
"Braaakkkk...!!" Tiba-tiba perahunya membentur karang dan demikian kerasnya benturan itu sehingga hampir saja tubuh Song Kim terlempar keluar perahu!
Dia dapat cepat meloncat dan kedua tangannya memeluk tihang layar sehingga tubuhnya tidak terlempar. Akan tetapi, perahunya pecah dan tihang layar itupun hampir roboh, kemudian perlahan-lahan perahu itu tenggelam! Tentu saja tidak akan tenggelam seluruhnya, hanya kemasukan air dan akhirnya tentu akan terbalik dan mengambang. Dia berpikir cepat. Dia harus menyelamatkan sumoinya, akan tetapi juga tidak boleh membuka mulut, tidak boleh membuka ikatan kaki tangan sumoinya. Dia memang cerdik. Pelukan pada tihang itu diperkuat dan dengan sekuat tenaga, dia menjebol tihang layar itu dan ketika tihang itu ambruk, dia sengaja merangkul tihang itu dan membawanya meloncat keluar perahu yang mulai miring!
"Byuurrr...!" Air muncrat tinggi dan tubuhnya bersama tihang di mana tubuh Kiki masih terikat disambut ombak. Air itu hangat! Bukan main gembiranya hati Song Kim. Ini berarti daratan sudah tidak jauh lagi! Untung masih ada kelebihan tali untuk mengikat tubuh Kiki tadi, dan kini dia menarik tali ini, lalu berenang ke arah daratan yang dapat dikirakirakannya melihat arah ombak. Tihang yang kini menjadi balok meluncur dengan tenang dibelakangnya, dan tubuh Kiki terlentang di atas balok.
Perhitungannya memang tepat. Tak lama kemudian, kakinya menyentuh pasir dan dengan cepat dia menarik tihang itu ke tepi.
Terus diseretnya tihang itu dan melihat kenyataan bahwa dia telah selamat, juga Kiki telah selamat dan masih terikat pada tihang, hampir dia bersorak kegirangan. Bagaimanapun juga, nasibnya masih baik! Pada saat itu, malam sudah hampir berganti pagi. Sudah ada sinar remang-remang dan Song Kim melihat tubuh yang indah itu terlentang di atas tihang. Pakaian yang basah itu melekat pada tubuh Kiki dan kembali gelora nafsu berahi melanda batin Song Kim. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Sebentar lagi kalau sudah ada sinar menerangi wajahnya, sumoinya akan dapat mengenalnya dan celakalah kalau begitu. Sumoinya tentu akan melapor kepada suhunya dan jangan harap dia akan dapat hidup lagi! Karena terdorong oleh gairah nafsu, juga kegirangan bahwa niatnya akan tercapai,
Dia lalu menubruk tubuh di atas tihang itu dan kembali dia melanjutkan perbuatannya di atas perahu, memeluk dan menciumi muka Kiki yang basah kuyup itu. Kiki sudah terbebas dari totokan, namun tidak mampu melepaskan diri dari ikatan. Tali yang basah air laut itu demikian kuatnya, seperti masuk ke dalam daging kaki dan tangannya yang terikat, dan makin ia meronta, seperti semakin kuat saja. Iapun berusaha untuk mencoba melihat orang yang mendekap dan menciuminya, akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang itu walaupun kini dia dapat melihat bahwa bayangan ini tentu seorang laki-laki. Akan tetapi, perbuatan orang itu yang menciuminya dan meraba-raba tubuhnya membuat Kiki yang biasanya gagah berani itu tak dapat menahan lagi untuk menjerit sekuat tenaga.
Dan karena totokan itu sudah pulih, maka jeritan minta tolong yang mengandung tenaga khikang amat kuat itu terdengar melengking tinggi dan tentu terdengar sampai jauh! Song Kim terkejut bukan main. Akan tetapi dia menenangkan hatinya. Tak mungkin jeritan itu dapat terdengar orang lain. Mana ada orang di tepi laut yang demikian sunyinya? Apa lagi waktunya masih demikian pagi, bahkan masih malam dan gelap. Akan tetapi untuk mencegah agar gadis itu tidak menjerit lagi, dia cepat menotok atau menekan jalan darah di leher Kiki dan gadis inipun tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Akan tetapi sebelum Song Kim dapat melanjutkan niatnya yang keji dan cabul, tiba-tiba terdengar bentakan suara seorang laki-laki,
"Siapakah itu dan apa yang terjadi? Mengapa ada suara wanita menjerit?" Song Kim terkejut sekali dan mengangkat muka. Nampaklah seorang laki-laki datang berlari menghampiri dengan sebuah obor di tangan. Kiranya laki-laki itu yang tadi bicara. Tidak aneh kalau suaranya dapat ditangkapnya, karena tentu angin yang membawa suara itu sampai dapat terdengar dari jauh. Hampir dia mengeluarkan suara makian. Niatnya sudah demikian dekat tercapai, ada saja datang gangguan.
Apa lagi obor itu sungguh berbahaya. Kalau dibawa dekat tentu akan menyinari mukanya dan Kiki akan dapat mengenalnya. Maka diapun cepat melompat dan lari menyambut orang yang datang membawa obor itu. Kebetulan sekali orang itu datang dari arah kaki Kiki sehingga gadis ini dapat melihat pria yang membawa obor itu. Seorang pria muda karena sinar obor menimpa mukanya. Wajah yang gagah. Pakaiannya petani. Seorang petani muda! Hatinya penuh kekhawatiran. Apa yang akan dapat dilakukan seorang petani muda? Dan laki-laki yang menawannya itu agaknya bukan orang lemah, terbukti dari caranya menotoknya dan juga kegagahannya diperlihatkan ketika melawan badai di tengah lautan. Celaka, petani muda itu hanya datang mengantarkan nyawa, pikirnya.
Untung bahwa kedua kakinya berada di luar ikatan dan berada di kanan kiri tihang, tidak di atasnya, dan dara ini dapat menggerak-gerakkan kedua kaki itu karena yang terikat hanya sampai di lutut. Dengan pengerahan tenaga pada kedua kakinya, Kiki dapat menggerakkan kedua kaki yang sudah hilang sepatunya itu pada pasir di bawah dan menekan. Ia berhasil! Tihang itu bergerak. Ia terus mempergunakan kedua kakinya sehingga akhirnya ia dapat membawa tihang layar itu kembali ke air dan begitu menyentuh air, tihang itupun hanyut dan mengambang! Lega hati Kiki. Dengan kedua kakinya, ia akan dapat mengatur kesimbangan tihang itu sehingga tubuhnya akan tetap terlentang di atas tihang dan ia dapat menggunakan kedua kakinya untuk mendayung sedikit-sedikit pula untuk membuat tihang itu seperti perahu yang meluncur perlahan-lahan!
Apa saja akan dilakukannya dan akan ditempuhnya asal ia dapat menghindarkan diri dari laki-laki biadab itu! Lebih baik diancam bahaya mati di lautan dari pada bahaya di tangan laki-laki itu. Akan tetapi, Kiki belum mau mati kelaparan di atas tihang. Kalau tihang itu sampai hanyut ke tengah, sukarlah baginya untuk dapat mendayung ke pantai hanya dengan kedua kaki sebatas lutut. Maka diarahkan perahu istimewa itu ke sekumpulan batu karang dan akhirnya tihang layar itu dapat berhenti melintang di balik batu-batu karang, tidak nampak dari daratan. Dan dari tempat ia rebah terlentang, kini ia dapat melihat bayangan hitam dua orang yang sedang berkelahi di pantai! Dapat dibayangkan kemarahan hati Song Kim melihat munculnya laki-laki yang membawa obor.
Dia menganggap bahwa orang itu menjadi penghalang besar, sengaja datang untuk menganggunya! Demikianlah ulah orang yang sedang dimabok nafsunya sendiri, yang sedang mengejar suatu kesenangan. Siapa saja yang menjadi penghalang akan diterjangnya, tidak perduli orang itu sengaja menghalang maupun tidak sengaja. Semua penghalang, baik ataupun buruk, salah ataukah tiada, harus dihancurkan! Dia berlari cepat menyambut dan begitu berhadapan, tanpa banyak cakap lagi diapun menerjang, mengirim pukulan-pukulan maut dengan dahsyat! Pukulan-pukulannya itu dilakukan dengan jurus-jurus maut karena Song Kim tidak mau gagal, tidak mau kepalang tanggung. Lebih cepat membunuh orang ini lebih baik agar dia tidak sampai terlambat untuk melaksanakan hasrat hatinya terhadap Kiki.
"Heiii...!" orang itu berseru kaget bukan main dan membuat gerakan cepat.
"Bressss...!!" Kini Song Kim yang terkejut setengah mati. Orang itu dapat menangkis pukulan-pukulannya dan hanya obornya saja yang terlepas dan padam, akan tetapi jangankan membunuh orang itu, merobohkannyapun serangannya tadi tidak mampu. Sebaliknya, tangkisan orang itu terasa amat kuat olehnya sehingga tangannya yang tertangkis sampai tergetar hebat. Jelaslah bahwa orang pembawa obor ini bukan seorang petani biasa seperti nampak pada pakaiannya tadi, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat inggi dan tenaga sinkang yang cukup kuat! Pemuda Pulau Layar ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak menyangka bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih melampaui dugaan-dugaannya, karena dia berhadapan dengan murid terkasih dari Siauw-bin-hud, tokoh sakti dari Siauw-lim-pai itu.
Pemuda itu adalah Tan Ci Kong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Ci Kong pemuda gemblengan Siauw-binhud itu, menyelamatkan Ciu Kui Eng, puteri tunggal dari orang yang menyebabkan kehancuran keluarga Ayahnya, dari ancaman maut ketika Kui Eng dikeroyok oleh pasukan pemerintah dan keluarga gadis ini terbasmi habis, rumahnya terbakar gara-gara madat yang menjadi penyebab keruntuhan keluarga Ayahnya. Madat pula yang tadinya mendatangkan kemewahan dan kekayaan pada keluarga Ciu, dan madat juga yang akhirnya membinasakannya. Setelah menolong Kui Eng dan berpisah dari gadis itu di luar kota Tung-kang setelah gadis itu yang tadinya salah paham tahu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah menyelamatkannya, Ci Kong lalu berkelana.
Dia menjumpai banyak peristiwa yang menyedihkan sewaktu terjadi perang candu. Dan di dalam pergolakan dan kekacauan yang terjadi selama tiga tahun itu, Ci Kong bersikap sebagai seorang pendekar sejati. Dia menentang siapa saja yang melakukan kekejaman dan kejahatan, membela yang lemah tertindas. Sesuai dengan ajaran Kakek Siauw-bin-hud, pemuda ini tidak pernah mau melibatkan diri dalam perang melainkan bertindak tegas sebagai seorang pendekar pembela keadilan berdasarkan perikemanusiaan, tidak mencampuri urusan politik dan negara. Betapapun juga, dia tahu akan segala yang telah terjadi tentang penyerbuan pasukan kulit putih dan lemahnya kaisar.
Diapun tahu bahwa akibat sikap kaisar yang lemah, kau m kulit putih menjadi semakin berani untuk memperlebar jaringan perdagangan mereka yang merusak rakyat, yaitu perdagangan candu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan hati nuraninya, maka beberapa kali, seorang diri Ci Kong menggunakan kepandaian untuk mencuri sejumlah besar candu dan membakarnya di dalam hutan. Pada malam hari itu, semalam suntuk dia berjaga di pantai karena dia mendengar bahwa ada usaha kau m penyelundup untuk menyelundupkan sejumlah candu dengan perahu dari kapal orang kulit putih dan mendarat di pantai sunyi itu. Dia bermaksud untuk merampas candu itu dan membakarnya atau membuangnya ke lautan. Akan tetapi, datang badai mengamuk sehingga ngeri juga rasa hati Ci Kong melihat gelombang lautan mengganas seperti itu.
Dia membayangkan dengan hati ngeri betapa para nelayan yang pada malam hari itu kebetulan berada di tengah lautan tentu sedang berjuang mati-matian melawan amukan badai, bahkan dengan hati penuh iba dia membayangkan pula perahu yang dihadangnya itu, perahu yang kabarnya akan menyelundupkan candu dari kapal orang kulit putih. Ketika mendapat kenyataan bahwa tidak ada sebuahpun perahu yang mendarat malam itu, dia menduga bahwa tentu perahu penyelundup itu karam oleh badai, atau mungkin juga membatalkan pelayaran. Dia menanti sampai hampir pagi, berlindung di dalam sebuah guha di antara batu-batu besar dari hembusan angin badai yang keras, dan menerangi guha itu dengan sebuah obor. Kemudian, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita.
Terkejutlah hatinya ketika mendengar jerit yang datangnya dari pantai itu. Tentu ada perahu yang berhasil dihempaskan badai ke pantai, pikirnya. Dan tentu orang-orang itu membutuhkan pertolongan. Dia lalu membawa obor dan meloncat ke luar guha, berlari menuju pantai sambil berteriak menanya siapa yang berada di pantai dan mengapa ada suara wanita menjerit. Karena pandang matanya silau oleh sinar obor yang dipegangnya sendiri, dan cuaca masih amat gelap, maka Ci Kong hanya remang-remang melihat seorang laki-laki meloncat bangun dan di bawah seperti ada wajah seorang wanita. Akan tetapi dia tidak sempat memperhatikan karena tiba-tiba saja laki-laki itu menyerangnya dengan dahsyat. Dia terkejut bukan main. Serangan itu bukan serangan sembarangan saja, melainkan pukulan-pukulan yang amat dahsyat dan berbahaya.
Dari angin pukulannya saja tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang berilmu tinggi. Maka diapun cepat bergerak melakukan elakan dan tangkisan. Demikian hebatnya serangan orang itu sehingga obornya terpental, terlempar dan padam. Akan tetapi dia berhasil menghindarkan serangan maut itu dengan tangkisan-tangkisan dan mendapat kenyataan ketika lengannya bertemu dengan lengan penyerang itu bahwa penyerangnya memiliki dan menggunakan tenaga sinkang yang kuat dalam penyerangannya tadi. Selain terkejut dan heran mendapat seorang lawan yang demikian tangguhnya di tempat sunyi ini, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, Song Kim juga menjadi penasaran dan marah sekali.
"Keparat yang bosan hidup!" bentaknya dan diapun sudah menyerang lagi, kini menggunakan sepasang belati yang selalu terselip di pinggangnya!
"Mampuslah...!" bentaknya.
"Hemmm...!" Ci Kong dapat merasakan sambaran senjata itu walaupun dia tidak dapat melihat lawannya mempergunakan senjata. Pendengarannya sudah terlatih dengan baik sekali sehingga dia mampu membedakan antara suara senjata-senjata dan tangan kosong. Segera Ci Kong mengisi kedua tangannya dengan ilmu kekebalan yang diajarkan gurunya, yaitu Tiat-ciang (Tangan Besi) sehingga dengan kedua tangannya itu dia mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir tangannya terluka. Karena lawannya agaknya hendak membunuhnya, diam-diam Ci Kong merasa heran bukan main. Sambil berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau terdesak menangkis dengan tangannya, beberapa kali Ci Kong menyabarkannya.
"Tahan serangan! Mengapa engkau menyerangku, sobat? Di antara kita tidak ada permusuhan. Aku datang untuk menolong wanita yang menjerit tadi." Akan tetapi, ucapan-ucapannya ini agaknya mesih membuat penyerangnya menjadi semakin marah. Lawannya hanya mendengus dan memaki-maki, serangannya menjadi semakin berbahaya sehingga akhirnya Ci Kong dapat menduga bahwa tentu wanita tadi menjerit karena ulah kejahatan orang ini. Dia teringat akan wanita yang menjerit tadi dan sambil mengelak, dia meloncat ke arah pantai di mana tadi samar-samar dia melihat seorang wanita menggeletak di situ. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika wanita itu lenyap dari situ.
"Eh, di mana wanita tadi...?" Akan tetapi terpaksa dia harus cepat melempar tubuh ke belakang karena lawannya sudah menyerang lagi dengan hebatnya, menggunakan dua buah belatinya untuk menusuknya dari atas dan bawah. Serangan itu sedemikian hebatnya sehingga Ci Kong terpaksa harus melempar tubuh ke belakang lalu menggulingkan tubuhnya di atas pasir pantai. Ketika dia bangkit berdiri lagi dengan loncatan yang cepat, ternyata lawannya sudah lenyap dari situ. Kiranya ketika melihat sumoinya lenyap, Song Kim tidak ada semangat lagi untuk membunuh orang yang dianggapnya menghalangi niat hatinya itu. Dia harus cepat melarikan diri, pikirnya. Ada beberapa hal yang memaksanya untuk segera melarikan diri dari situ, demi keselamatannya. Pertama, kini cuaca tidak lagi segelap tadi karena sinar matahari mulai muncul di balik permukaan air laut jauh di timur.
Ke dua, sumoinya telah lenyap dan mungkin sekali sumoinya berhasil melepaskan ikatan kaki tangannya. Ke tiga, orang yang menjadi penghalang itu ternyata lihai bukan main sehingga kalau dia tidak mampu merobohkannya dalam waktu singkat, besar bahayanya dia akan kedahuluan sinar matahari dan kalau sumoinya mengenalinya, tentu akan celakalah dia. Maka, mempergunakan kesempatan selagi lawannya bergulingan menghindarkan serangannya yang terakhir tadi, kembali membuktikan kelihaian lawan itu, dia lalu meloncat dan melarikan diri. Biarpun niat hatinya gagal untuk menguasai dan memperkosa sumoinya, namun setidaknya sumoinya tidak akan pernah menyangka bahwa dialah pelakunya. Sementara itu, melihat orang yang menyerangnya mati-matian tadi telah pergi, Ci Kong juga tidak berusaha untuk mencari atau mengejarnya.
Dia menanti sampai sinar matahari mengusir kegelapan malam dan dia lalu melakukan penyelidikan, mencari-cari pecahan perahu atau mungkin ada mayat orang terdampar. Juga dia mencari-cari ke mana perginya wanita tadi. Dari tempat di mana dia melihat wanita tadi menggeletak, dia melakukan penyelidikan, akan tetapi tidak menemui jejak kaki di situ. Wanita itu lenyap begitu saja dan tiba-tiba hatinya terguncang. Jangan-jangan wanita itu terseret ombak dan dibawa ke tengah lautan? Dia memandang ke arah lautan. Ombak tidak begitu besar lagi, akan tetapi air masih belum tenang, tanda bahwa badai semalam telah mulai mereda dan yang nampak kini hanya bekas-bekasnya saja. Masih ada bekas ombak sampai ke tempat dia berdiri dan kini air sudah surut jauh sekali. Dia menuruni pantai dan memandang ke tengah lautan, mencari-cari.
Tiba-tiba dia terkejut melihat sesuatu mengambang di permukaan air, bergoyang-goyang dipermainkan ombak kecil-kecil yang mulai berkilauan tertimpa cahaya keemasan matahari pagi. Karena dia menghadap ke timur, maka cahaya matahari yang menimpa permukaan air itu nampak menyilaukan dan langsung menyerang pandang matanya. Dia menggosok-gosok kedua matanya karena khawatir salah lihat. Akan tetapi tidak! Benar ada seorang wanita di atas sebuah balok kayu mengambang di sana! Dan kini dia dapat melihat bahwa wanita itu terikat kaki tangannya pada balok itu! Mungkin sudah mati! Atau masih hidup? Dan teringatlah dia akan wajah wanita semalam, sekilas dilihatnya di bawah sinar obornya. Ah, jangan-jangan wanita itulah semalam, dan agaknya balok di mana ia terikat telah diseret ombak ke tengah!
"Celaka, kalau dia tidak cepat ditolong, tentu binasa!" Ci Kong lalu berlari ke tengah dan menempuh ombak. Dia bukan ahli dalam air, akan tetapi cukup dapat berenang sehingga dia berani terus mendekati balok mengambang di mana terdapat seorang wanita yang terikat kaki tangannya itu.
Makin dekat, makin jelaslah. Benar seorang wanita, seorang gadis muda yang pakaiannya basah kuyup dan kedua matanya terpejam. Mungkin sudah mati, atau mudah-mudahan hanya pingsan saja. Kini dia tidak berjalan lagi di dasar lautan. Sudah mulai dalam dan terpaksa berenang melawan ombak kecil-kecil yang berlarian ke pantai. Terasa ringan tubuhnya pada mula-mula, akan tetapi makin lama makin berat. Sudah terlalu lama dia tidak pernah berenang, apa lagi di lautan dan kegiatan ini ternyata memeras banyak tenaganya. Baju di pundak kanannya telah robek lebar akibat perkelahian tadi, dan air laut terasa hangat. Celakanya, balok itu agaknya juga bergerak terbawa ombak, makin ke tengah seperti menjauhinya, atau melarikan diri darinya.
Dan balok itu tidak terus ke tengah, melainkan bergerak ke utara. Dikejarnya terus sambil berenang. Sungguh aneh, balok itu kini meluncur ke barat, lalu kembali ke selatan. Bagaimana balok itu dapat bergerak seperti itu? Sama sekali tidak seperti terbawa ombak, melainkan lebih mirip didorong sesuatu dari bawah! Jangan-jangan di bawah ada ikannya, ikan besar yang mendorong-dorong balok itu karena ingin makan tubuh gadis itu yang mungkin sudah menjadi mayat? Tubuh itu tidak bergerak-gerak, dan muka yang tengadah itu nampak pucat sekali. Muka yang amat cantik! Pikiran ini menimbulkan kekhawatiran dan Ci Kong berenang semakin cepat. Napasnya mulai terengah-engah karena sudah berjam-jam dia melakukan pengejaran tanpa hasil. Akhirnya dia mogok, tengadah dan terengah-engah menghirup udara sebanyaknya.
Dia maklum bahwa kalau dia terus mengejar, amat berbahaya baginya. Tenaganya dapat habis dan dia tentu akan tenggelam! Akan tetapi, kini balok itu bergerak-gerak menghampirinya! Besar lagi semangat Ci Kong. Begitu dekat balokitu, tinggal meraih saja ujungnya, akan tetapi ketika dia meluncur dan meraih, balok itupun menjauh lagi! Ci Kong merasa gemas. Mungkinkah ini? Balok itu seperti mempermainkannya. Dia melihat sehelai tali terseret di belakang balok dan tahulah dia bahwa tali itu adalah kelebihan tali pengikat kaki tangan gadis itu, cukup panjang. Diam-diam dia lalu mendekati tali itu setelah dia pura-pura berhenti kehabisan napas lagi dan balok itu kembali mendekati. Dan tiba-tiba, sebelum balok itu sempat menghindar, dia sudah menyambar tali itu, dan menariknya!
"Ahhh...!" Terdengar gadis itu mengeluarkan seruan lirih. Giranglah hati Ci Kong dan dia lupa akan keanehan balok yang pandai"berenang" dan menghindar itu. Gadis itu masih hidup!
"Syukurlah engkau masih hidup, nona. Bertahanlah, biar aku akan menarikmu ke pantai!" katanya sambil terengah-engah. Mulailah dia berenang menuju ke pantai sambil menarik tali itu. Mula-mula balok meluncur di belakangnya, akan tetapi semakin lama, terasa olehnya betapa balok itu menjadi semakin berat.
JILID 17
Tentu tenaganya yang sudah mulai menjadi lemah. Akan tetapi, pantai telah nampak tidak terlalu jauh. Dia harus berhasil, biarpun harus menghabiskan tenaganya. Dan Ci Kong menguatkan hati dan kemauannya, mengerahkan tenaganya dan terus berenang sambil menarik-narik balok yang kadang-kadang seperti "mogok" itu. Dia sama sekali tidak tahu betapa kalau dia sedang tidak memandang, gadis di atas balok itu menoleh kepadanya dan tersenyum mengejek, kadang-kadang tersenyum geli. Gadis itu, Kiki memang nakal sekali. Ia sengaja mempermainkan Ci Kong. Seperti kita ketahui, setelah melihat betapa penawannya berkelahi dengan orang yang datang membawa obor, Kiki terus menyembunyikan diri dengan baloknya di antara batu-batu karang.
Hatinya masih diliputi kepanikan. Penawannya itu lihai sekali dan pembawa obor yang kelihatannya hanya seorang petani itu tentu akan segera roboh dan tewas. Dan kalau penawannya kembali mencarinya, dan dapat menemukannya, tentu ia akan celaka. Akan tetapi, ia melihat betapa seorang di antara mereka tiba-tiba meloncat dan melarikan diri. Cuaca masih terlalu gelap dan ia berada di tempat yang cukup jauh sehingga ia tidak tahu siapa di antara dua orang itu yang melarikan diri. Maka iapun tetap menanti, dengan jantung berdebar tegang ketika ia mengintai dari tempat ia rebah terlentang, di balik batu-batu karang itu, betapa orang ke dua yang masih berada di pantai itu kini mencari-cari dengan pandang matanya ke permukaan air laut. Ia masih belum tahu siapakah orang itu. Penawannyakah? Ataukah petani pembawa obor?
Baru setelah sinar matahari menimpa orang itu dan ia melihat bahwa orang itu mengenakan pakaian petani, ia tahu bahwa orang ini si pembawa obor, sedangkan yang melarikan diri tadi tentu orang yang telah menawannya. Hatinya menjadi girang dan juga terheran. Kalau pembawa obor, petani ini dapat membuat penawannya melarikan diri, tentu berarti orang ini juga juga lihai lihai sekali! Dan ia belum tahu siapa orang ini, entah orang baik-baik ataukah orang yang bahkan lebih jahat dari pada penawannya tadi? Pikiran ini membuat Kiki menjadi gelisah lagi dan iapun takut kalau-kalau orang itu melihatnya dan berlompatan di atas batu-batu karang menghampirinya. Maka iapun cepat menggunakan kedua kakinya untuk mendorong batu karang dan meluncurkan tihang layar itu ke permukaan air laut bebas. Ia harus melarikan diri dari tempat ini, pikirnya.
Lalu ia melihat betapa petani itu mengejarnya sambil berenang. Dan melihat cara petani itu berenang, Kiki hampir tertawa. Kalau ia menghendaki, orang itu sampai mati takkan pernah dapat menangkapnya, walaupun ia hanya menggerakkan tihang layar itu dengan gerakan kedua kaki sebatas lutut saja. Maka iapun mempermainkan orang yang mengejarnya itu sambil diam-diam memperhatikan muka orang itu dari balik bulu matanya kalau mereka berada dalam jarak tidak terlalu jauh. Hampir ia tertawa keras ketika melihat betapa petani muda itu, yang kepandaiannya berenang hanya dangkal saja, terengah-engah kehabisan napas. Akan tetapi ketika kini sinar matahari sudah terang dan ia dapat melihat wajah petani muda itu dengan jelas, diam-diam ia tertarik.
Petani muda itu ternyata memiliki wajah yang gagah, tubuh yang tegap. Nampak jelas membayangkan kekuatan dalam tubuh itu. Karena melihat orang itu sudah kepayahan, Kiki menjadi semakin berani. Ia sengaja mendekatkan balok itu kalau si pemuda sudah tidak mengejar lagi karena kehabisan napas, akan tetapi menjauh lagi kalau dikejar. Seperti jinak-jinak merpati, dijauhi mendekat kalau hendak ditangkap terbang menghindar! Maka, terkejutlah hati Kiki ketika tiba-tiba saja baloknya terhenti karena tali itu disambar tangan Ci Kong. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ada tali agak panjang terseret tihang layar itu. Ketika Ci Kong menarik tali dan balok itu meluncur, tak dapat ditahannya lagi Kiki mengeluarkan seruan kaget, hanya terdengar lirih karena ditekannya.
Kemudian ia mendengar suara pemuda itu yang bersyukur melihat ia masih hidup, menyuruh ia bertahan dan pemuda itu hendak menariknya ke pantai. Suara ini demikian halus dan lembut, dan jelaslah bahwa pemuda itu tidak mempunyai niat buruk, melainkan benar-benar hendak menolongnya. Berkurang kekhawatirannya, namun ia tetap waspada dan pura-pura pingsan, tidak bergerak maupun membuka mata ketika balok itu ditarik oleh Ci Kong melalui tali yang dipegangnya. Akan tetapi dasar berwatak nakal, diam-diam kedua kakinya utak-utik, diputar-putar sehingga kedua kaki itu menjadi penahan ketika balok ditarik, maka tidaklah mengherankan kalau Ci Kong merasa adanya perlawanan yang membuat balok terasa semakin berat. Dia memaksa diri dan akhirnya kedua kakinya menyentuh dasar laut, tak jauh dari pantai.
Dengan tenaga yang hampir habis, Ci Kong menyeret balok itu, berjalan terhuyung-huyung menuju pantai, seluruh tubuhnya terasa letih sekali. Tenaganya terasa hampir habis. Penggunaan tenaga di darat dan di air sungguh amat berbeda, terutama penggunaan pernapasan. Dan otot-otot di tubuh juga harus dibiasakan dengan suatu gerakan. Otot-otot yang biasa dipergunakan untuk latihan silat, biarpun seluruh tubuh bergerak, namun tidak ada gerakan silat yang seperti gerakan orang berenang yang harus mengulang terus-menerus gerakan kaki dan lengan secara tertentu. Otot-ototnya yang tidak biasa dengan gerakan ini tentu saja menjadi cepat lelah. Akan tetapi Ci Kong seorang pemuda gemblengan yang sejak kecil telah dididik dengan cara-cara Siauw-lim-pai yang keras dan tepat sekali.
Biarpun dalam keadaan teramat letih, ketika dia menarik balok itu ke pantai, diam-diam diapun mengatur pernapasan dan mulai menghimpun tenaga agar kekuatannya pulih. Akhirnya tiang layar itu dapat diseret sampai ke pantai, jauh dari air. Ci Kong menhentikan tarikannya, lalu berlutut di atas pasir dan memeriksa gadis itu. Dia menaruh telapak tangan di depan hidung dan mulut yang tak terbuka itu dan hatinya terguncang. Gadis itu tak bernapas lagi! Cepat dia meraba nadi pergelangan tangan dan mendapat kenyataan bahwa detik pergelangan itupun lemah sekali. Celaka, pikirnya. Kalau gadis ini tidak cepat bernapas kembali, denyut jantungnya akan makin melemah dan akhirnya berhenti! Dia teringat akan cara pengobatan terhadap orang yang baru saja tenggelam, yang sudah berhenti pernapasannya.
Paru-paru orang itu harus dibantu, itulah cara terbaik untuk memaksa orang itu bernapas kembali. Dan untuk membantu bekerjanya paru-paru yang sudah berhenti, cara terbaik adalah meniupkan napas ke dalam paru-paru itu melalui mulut, seperti orang meniup balon. Tiba-tiba jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Mana mungkin dia melakukan cara ini? Cara ini mengharuskan dia menutup lubang hidung gadis itu kemudian meniupkan pernapasan dari mulut ke mulut! Akan tetapi, kalau dia ragu-ragu, terlambat sedikit saja gadis ini akan mati! Ci Kong menoleh ke kanan kiri. Tidak ada orang. Tidak mengapa dia melakukan hal yang nampaknya tidak pantas itu kalau tidak terlihat oleh siapapun juga. Maksudnya kan untuk menyelamatkan nyawa, sama sekali bukan untuk berbuat kurang sopan. Betapapun juga, dia meragu dan diguncangnya pundak gadis itu.
"Nona... nona...! Sadarlah, nona...!" Akan tetapi ketika dia mengguncang pundak, hanya kepala nona itu yang terkulai ke kanan kiri dengan lemasnya, dan napas itu masih juga belum nampak bekerja!
Tentu saja Ci Kong tidak tahu bahwa gadis ini sejak kecil telah dilatih dengan ilmu bermain di dalam air dan telah mempelajari ilmu yang khusus untuk itu, ialah penghentian dan penahanan napas! Berkat latihannya, gadis itu dapat menahan napas sampai lama sekali di dalam air, hal yang tidak dapat dilakukan oleh dia sendiri sekalipun. Karena itulah, sejak tadi Kiki tidak bernapas. Tentu saja bukan karena ia pingsan, melainkan karena kenakalannya untuk menggoda orang, juga untuk melihat apa yang akan dilakukan penolongnya itu. Ci Kong lalu menggunakan jari-jari tangannya yang kuat membikin putus tali temali itu dan diam-diam Kiki terkejut dan kagum. Jari-jari tangannya telah membikin putus tali-tali tanpa banyak kesukaran. Ia sendiri belum tentu dapat melakukan hal ini karena tali itu telah menjadi ulet dan kuat sekali setelah terendam air.
Ia menjadi semakin berhati-hati dan biarpun kini kaki tangannya sudah bebas dan pemuda itu mengangkat badannya dengan menyorongkan lengan ke bawah punggungnya, kemudian menarik tihang layar itu sehingga tubuhnya terletak di atas pasir yang lunak dan hangat, ia masih pura-pura pingsan. Ia membiarkan jalan darah mengalir lancar kembali di kaki dan lengan yang tadi terikat kuat dan masih menahan napasnya. Karena pemuda petani itu telah membebaskan kaki tangannya, maka kecurigaannya berkurang. Makin yakin hatinya bahwa pemuda ini memang tidak mempunyai niat buruk seperti penawannya semalam, melainkan benar-benar hendak menolongnya belaka. Akan tetapi kenakalannya membuat ia ingin terus menggoda penolongnya ini, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan penolong yang lihai ini kalau melihat ia pingsan dan tidak bernapas lagi.
"Maaf, aku terpaksa harus melakukan ini untuk menolongmu, nona," tiba-tiba pemuda itu berkata lirih dan kedua tangan yang kuat itu lalu memegang dagu dan memencet hidungnya dan memaksa mulutnya terbuka, kemudian tiba-tiba Kiki merasa betapa mulutnya tertutup oleh sebuah mulut lain.
"Ihhh... dessss...!" Tubuh Ci Kong terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas pasir ketika tiba-tiba Kiki menendang dan mendorong dadanya dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Ehhh... ahhhh...?" Ci Kong yang sama sekali tidak menduga hal itu dapat terjadi, tidak dapat menghindarkan dirinya yang ditendang dan didorong sedemikian kerasnya. Ketika tubuhnya terlempar ke atas kemudian terbanting, dia masih bengong dan kini matanya terbelalak memandang kepada Kiki dan dia terbatuk-batuk keras karena tendangan pada dadanya tadi sungguh amat keras.
Kalau bukan dia yang memiliki tubuh kuat terlatih, tentu akan roboh tewas atau setidaknya akan terluka parah. Kiki sudah meloncat berdiri setelah tadi menendang dan mendorong tubuh Ci Kong. Ia mengalami guncangan batin yang hebat ketika tiba-tiba merasa pemuda itu menempelkan mulut ke mulutnya. Teringatlah ia akan semua pengalamannya ketika penawannya semalam menggelutinya dan menciuminya, juga penawannya itu mencium mulutnya secara menjijikkan sekali. Kini, otomatis ia menggunakan lengan bajunya untuk menggosok-gosok bibirnya, seolah-olah hendak menghapus bekas sentuhan bibir Ci Kong juga sekaligus menghapus semua ciuman yang dilakukan oleh penawannya semalam. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ditujukan kepada Ci Kong dengan penuh kebencian.
"Apa... apa yang kau lakukan tadi, nona...?" Ci Kong masih kebingungan, karena terkejut dan juga karena kesakitan.
"Membunuh manusia macam kamu...!" Kiki sudah menerjang dengan penuh kemarahan dan kebencian.
"Semua laki-laki sama! Kurang ajar, hanya ingin mempermainkan dan memperkosa wanita! Semua laki-laki harus dibunuhnya! Terjangan itu merupakan pukulan disusul tendangan yang dahsyat sekali. Karena Ci Kong masih belum percaya bahwa gadis yang telah diselamatkan nyawanya itu benar-benar akan menyerangnya, maka diapun masih lengah dan tidak membela diri dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, biarpun dia dapat menghindarkan pukulan, tendangan itu tetap saja singgah di perutnya.
"Dukkk...!" Kembali dia terjengkang dan terbanting ke atas pasir. Untung pasir itu lunak dan dia sudah bersiap dengan melindungi perutnya menggunakan tenaga dalam sehingga dia hanya terjengkang dan terbanting saja, tidak menderita luka parah. Akan tetapi sebelum dia sempat bangkit, gadis itu seperti harimau betina saja sudah menyerbu lagi dengan tendangan-tendangan berikutnya yang ditujukan ke arah kepalanya. Barulah Ci Kong terkejut setengah mati karena tendangan-tendangan ini adalah tendangan-tendangan maut yang dapat membunuh orang. Cepat dia menggerakkan tubuhnya bergulingan lalu meloncat berdiri. Ketika gadis itu menyerbu dengan pukulan kedua tangan secara cepat dan bergantian. Ci Kong mengangkat kedua tangannya dan menangkis.
"Dukk! Plakk!" Dua kali dia menangkis dan tahulah dia bahwa gadis inipun, seperti orang yang menyerangnya semalam, memiliki tenaga sinkang yang kuat, gerakan-gerakan yang cepat dan serangan-serangan yang amat ganas. Jelaslah bahwa gadis ini tidak main-main karena semua serangannya merupakan serangan maut! Dia merasa penasaran sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang ketika Kiki kembali menerjangnya.
"Tahan dulu, nona. Kalau engkau memang ingin membunuhku, setidaknya katakanlah padaku apa kesalahanku padamu. Jangan membuat aku mati penasaran." Mendengar suara yang lembut dan sopan ini, teringatlah Kiki bahwa pemuda ini mungkin tidak bermaksud berbuat tidak sopan, karena bukankah tadi pemuda itu mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya untuk menolongnya? Menempelkan mulut mereka! Ia bergidik.
"Engkau kurang ajar, engkau tiada bedanya dengan penjahat semalam. Engkau hendak berbuat hina dengan... men... mencium mulutku...!" Akhirnya ia berkata, mukanya berobah merah. Muka Ci Kong juga berobah merah sekali dan diapun menunduk, menarik napas panjang. Celaka, pikirnya, kiranya ketika dia melakukan usaha meniupkan napas ke paru-paru gadis itu melalui mulutnya, gadis itu sudah siuman dan melihatnya!
"Maaf, nona. Memang aku melakukan itu, akan tetapi bukan untuk berbuat kurang ajar, melainkan untuk menolongmu. Engkau pingsan, dan paru-parumu tidak bekerja, napasmu berhenti. Aku ingin meniupkan napas ke paru-parumu agar bekerja kembali. Dan jalan satu-satunya hanyalah meniupkan melalui mulut dan..."
"Bohong! Aku tidak pingsan! Paru-paruku tidak macet!"
"Ehh...?" Kini Ci Kong memandang dengan mata terbelalak, kemudian mukanya menjadi semakin merah.
"Kiranya selama itu engkau tidak pingsan? Ahhhh, kalau begitu engkau sungguh jahat sekali, nona. Aku mati-matian berusaha menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau ... kau malah mempermainkan aku? Pura-pura pingsan, menahan napas... aihh, betapa jahatnya engkau. Aku hampir mati melawan penjahat yang agaknya menawanmu... kemudian aku hampir mati untuk kedua kalinya ketika aku mati-matian melawan ombak menyeret balok itu ke pantai... heiiii! Agaknya engkau pula yang punya ulah sehingga balok itu mampu bergerak ke sana ke sini menjauhiku, dan begitu berat ketika kuseret ke tepi sehingga aku kehabisan tenaga?" Kini pemuda itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik. Kiki yang berwatak nakal itu tersenyum mengejek.
"Engkau memang tolol! Tapi agaknya engkau jujur. Benarkah kau ... kau tidak bermaksud kurang ajar ketika engkau tadi menempelkan mulutmu ke mulutku?" Ci Kong menggeleng kepala dengan keras.
"Aku bukan manusia macam itu, nona! Kalau tidak melihat engkau pingsan, atau pura-pura pingsan, dan melihat betapa napasmu berhenti, mana mungkin aku berani melakukan hal itu?"
"Benar-benar kau tidak sengaja menciumku karena kurang ajar?"
"Tidak!"
"Berani sumpah?" Ci Kong melongo.
"Sumpah...?"
"Ya, bersumpahlah bahwa engkau tadi tidak bermaksud mencium aku untuk kurang ajar. Engkau harus bersumpah demi nama baik orang tuamu, menyebutkan namamu dan nama orang tuamu, baru aku mau percaya!" Akan tetapi Ci Kong menggeleng kepala dan wajahnya dibayangi kedukaan.
"Tidak mungkin, nona..." Kiki mengerutkan alisnya, matanya menyinarkan api kemarahan lagi.
"Kenapa tidak mungkin? Berarti kau benar-benar telah..."
"Tidak mungkin karena Ayah ibuku telah lama meninggal dunia."
"Ahh...!" Jawaban ini sama sekali tidak disangka-sangka Kiki dan sinar matanya kehilangan api kemarahannya, bahkan ada sinar kasihan membayang di wajahnya yang manis.
"Baiklah, kalau begitu bersumpahlah demi nama baik gurumu dengan menyebut namamu dan nama gurumu." Gadis itu teringat bahwa pemuda ini lihai, tentu murid seorang sakti maka tak mungkin berani mempermainkan nama gurunya dan tidak berani berbohong.
"Nona, selama hidupku aku belum pernah bersumpah kecuali ketika menjadi murid suhu, bagaimana untuk urusan begini saja aku harus bersumpah. Untuk apakah? Bagaimana kalau aku bersumpah tanpa menyebut nama suhu segala?"
"Aku takkan percaya! Kalau engkau berani bersumpah demi nama gurumu, barulah aku mau percaya."
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku tidak percaya dan berarti engkau bohong dan aku akan menyerangmu lagi, biar kita putuskan urusan ini dengan taruhan nyawa. Satu di antara kita akan menggeletak mati di sini!" Terpaksa Ci Kong tersenyum sedih. Dia sungguh tidak mengerti watak wanita.
Pernah dia menyelamatkan seorang gadis dari kematian, yaitu ketika dia menolong Ciu Kui Eng, akan tetapi gadis itupun segera menyerangnya mati-matian. Dan sekarang, dia mati-matian menolong gadis ini, hanya untuk menghadapi sikap yang aneh, bukan hanya memusuhinya, bahkan memaksa dia bersumpah segala dengan ancaman kalau dia menolak, dia akan diajak berkelahi sampai seorang di antara mereka mati. Adakah yang lebih aneh dan gila dari pada ini? Sejenak dia menatap wajah itu, mempelajarinya dan seperti ingin menjenguk isi hati gadis yang berwajah manis ini. Akan tetapi segera pandang matanya melekat pada wajah itu, terutama kemanisan pada mulut yang dihias tahi lalat di pipi itu membuat dia sukar mengalihkan pandang matanya, membuat matanya terus memandang tanpa kedip.
"Heii! Kenapa kau tidak cepat bersumpah malah bengong memandang aku?" bentak Kiki dan Ci Kong terkejut. Wajahnya kembali menjadi kemerahan.
"Baiklah, baiklah..." Dia mengalah agar cepat selesai berurusan dengan gadis luar biasa ini.
"Aku Tan Ci Kong..."
"Ah, jadi namamu Ci Kong dan kau she Tan?" Ci Kong mengangguk dan mengulang sumpahnya.
"Aku Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu..."
"Gurumu itu bernama Nam San Losu, apakah kedudukannya di tempat perguruanmu?" Ci Kong mengerutkan alisnya melihat kecerewetan gadis itu, akan tetapi dia menjawab juga.
"Suhu Nam San Losu seorang ketua kuil," lalu dia melanjutkan dengan mengulang kembali sumpahnya, "Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai..."
"Aih, jadi engkau murid Siauw-lim-pai? Pantas engkau lihai! Menurut kata Ayah, tokoh Siauw-lim-pai yang paling lihai pada saat ini adalah Siauw-bin-hud. Apamukah Siauw-bin-hud itu?" Ci Kong menjadi jengkel, akan tetapi ditahannya pula.
"Beliau adalah Kakek guruku."
"Hanya Kakek guru? Jadi engkau hanya cucu muridnya? Ah, kalau begitu, untung engkau tadi tidak jadi berkelahi dengan aku."
"kenapa?"
"Kalau dilanjutkan, tentu engkau akan mati di tanganku. Menurut Ayah, kepandaian Siauw-bin-hud itu setingkat dengan Ayahku. Aku puteri Ayah, berarti muridnya, kepandaianku setingkat lebih rendah dari Ayah. Engkau hanya cucu murid Siauw-bin-hud, kepandaianmu tentu dua tingkat lebih rendah, jadi aku setingkat lebih tinggi daripada engkau. Maka, kalau kita berkelahi, engkau tentu akan mati. Eh, kenapa engkau belum juga bersumpah? Apa ingin berkelahi saja?" Agaknya mendengar bahwa pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, hati Kiki menjadi besar dan memandang rendah. Ci Kong menjadi gemas bukan main. Ingin rasanya dia membanting topi kalau saja saat itu ada topi di atas kepalanya.
"Nona, sampai setahun di sinipun aku tidak akan dapat bersumpah kalau engkau terus memotong-motong omonganku! Kalau memang engkau ingin aku bersumpah, tutup dulu mulutmu!" Ci Kong sudah merasa menyesal karena kemarahannya membuat dia mengeluarkan kata-kata kasar, dan dia tidak akan heran kalau gadis itu menjadi marah-marah oleh kekerasannya. Akan tetapi kembali dia melongo saking herannya. Gadis itu sama sekali tidak marah oleh kekasarannya, bahkan tersenyum demikian manisnya. Dia tidak tahu bahwa sejak kecil Kiki hidup di lingkungan yang kasar dan terbiasa oleh kekerasan, maka bahasa kasar yang dikeluarkan Ci Kong bahkan merupakan bahasa yang amat dikenalnya, sebaliknya sikap halus sopan malah membuat ia tak senang dan curiga.
"Baik, baik, bersumpahlah, Tan Ci Kong, aku yang salah tadi." kata Kiki sambil terkekeh. Dengan hati masih mendongkol, Gi Kong terpaksa mengulang kembali sumpahnya.
"Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama baik suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauwlim-pai..."
"Termasuk Siauw-bin-hud...!" Kiki memotong lagi dan Ci Kong mengangkat telunjuknya memperingatkan, tidak memperdulikan ucapan Kiki dan melanjutkan saja,
"Aku bersumpah bahwa tadi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona... eh, nona yang berdiri di depanku ini dan aku hanya bermaksud untuk meniupkan napas ke paruparunya untuk menyelamatkan nyawanya!"
"Apa-apaan itu sumpah tanpa menyebut namaku? Masa hanya nona yang berdiri di depanku?" Kiki mencela.
"Habis aku belum tahu namamu, disuruh menyebut apa?"
"Namaku Kiki!"
"Hemm, nama apa itu?" Ci Kong mengerutkan alisnya, merasa dipermainkan lagi.
"Kau tidak percaya? Namaku Tang Ki dan semua orang memanggilku Kiki."
"Ah, kau she Tang? Hemm, apakah ada hubunganmu barangkali dengan Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok?" Sepasang mata yang indah jeli itu terbelalak.
"Ah, kau sudah mengenal nama Ayahku?"
"Ayahmu...?" Ci Kong benar-benar terkejut setengah mati. Dia berhadapan dengan puteri Hai-tok, seorang datuk iblis, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat!
"Ya, kenapa kau kaget?"
"Pantas...!"
"Pantas apa? Jangan bicara seperti teka-teki. Hayo katakan, pantas bagaimana?" Kiki berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali. Bajunya robek sanasini, basah kuyup melekat pada kulit tubuhnya, dan karena ia berdiri menantang dan membusungkan dada seperti itu, tubuhnya nampak indah menggairahkan, tubuh seorang gadis dewasa yang bagaikan bunga sedang mulai mekar,
Penuh dengan lekuk lengkung yang indah, tubuh yang penuh dan mulai masak. Ci Kong adalah seorang pemuda yang sejak kecil dididik kesopanan. Biarpun dia terpesona dan sejenak matanya melekat pada tubuh itu, namun dia cepat menundukkan pandang matanya. Namun, pandang mata yang sekilas itu cukup sudah untuk memancing senyum kemenangan pada bibir Kiki. Sejak peristiwa yang amat mengerikan di perahu semalam, ia telah menjadi dewasa benar dan telah sadar sepenuhnya akan daya tarik pada tubuhnya, sadar bahwa kau m pria kagum kepada wajahnya, kepada tubuhnya. Tadi dalam kagetnya, ingin sekali Ci Kong mengatakan "Pantas engkau sejahat ini!" akan tetapi setelah dia secara tak disengaja mengagumi keindahan tubuh Kiki, ingin dia berkata,
"Pantas engkau begini cantik!" dan kini dia menahan semua keinginan itu dan berkata,
"Pantas engkau demikian lihai." Menerima pujian ini, Kiki nampak senang. Ia seorang anak manja, maka pujian-pujian amat menyenangkan hatinya, apa lagi pujian itu keluar dari mulut pemuda yang baru dikenalnya dan yang ternyata amat menarik hatinya ini. Tanpa malu-malu kini Kiki memandangi tubuh Ci Kong, tubuh yang nampak tegap dan kuat, sebagian dada yang nampak karena bajunya terbuka dan robek di bagian pundak, juga karena pakaian itu basah kuyup, maka pakaian itu melekat pada kulit tubuh Ci Kong, membuat tubuhnya nampak jelas lekuk lekungnya. Melihat betapa gadis itu memandanginya, Ci Kong terpaksa memandang juga tubuh gadis itu. Dia merasa tidak enak dipandangi seperti itu dan untuk mengalihkan perhatian, dia berkata,
"Pakaianmu basah kuyup, engkau tentu kedinginan, nona."
"Hemm, sama saja. Engkau juga!"
"Tapi aku tidak kehilangan sepatuku dan kau ..." Ci Kong melihat ke arah sepasang kaki yang tidak bersepatu itu, kaki yang mungil, kecil dan putih kemerahan. Jantungnya tergetar dan kembali dia memaksa pandang matanya untuk lari dari kaki itu. Kiki meloncorkan kakinya bergantian.
"Sialan! Dan aku tidak punya sepatu lain, juga semua buntalan pakaianku lenyap. Gara-gara si keparat jahanam itu! Hemm, siapa dia? Tahukah engkau?" Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, nona."
"Ci Kong, apa maksudmu dengan nona-nonaan? kau bukan anak buah Ayahku. Kalau anak buah Ayahku harus menyebut Siocia, akan tetapi kau bukan, maka kau tidak boleh menyebut nona-nona segala membuat aku merasa canggung. Namaku Kiki, lupakah kau ?" Ci Kong gelagapan. Belum pernah selamanya dia berdekatan dengan wanita, dan sekali berdekatan, dia bertemu dengan seorang gadis yang begini aneh luar biasa!
"Baiklah,... Ki... eh, Tang Ki... ehh..."
"Kiki!"
"Oya, Kiki."
"Kau tidak mengenal orang itu? Bagaimana rupanya? Engkau tadi berkelahi dengan dia, tentu engkau tahu bagaimana rupa orang itu. Aku hendak mencarinya dan kalau dapat kutemukan, akan kurobek-robek mulutnya sampai hancur lebur, akan kucabut hidungnya dan kuberikan kepada burung gagak, kulumatkan kepalanya..., ku..."
"Aku tidak dapat melihat mukanya, non... eh, Kiki. Cuaca amat gelap," potong Ci Kong yang merasa ngeri mendengar ancaman-ancaman sadis itu.
"Sayang sekali! Tapi tentu engkau dapat mengenal bagaimana bentuk tubuhnya, apa pakaiannya dan bagaimana ciri-cirinya!" Kembali Ci Kong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu. Terlalu gelap dan gerakannya terlalu cepat. Yang kuketahui hanya bahwa dia itu lihai sekali." Tiba-tiba gadis itu menghentakkan kakinya ke atas pasir.
"Hayaaa, kiranya engkau ini orang bodoh sekali, Ci Kong!" Ci Kong terkejut lagi, tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba memakinya bodoh.
"Aku... bodoh...?"
"Ya, bodoh sekali. Engkau hanya bilang tidak tahu, tidak tahu, kau bodoh sekali dan aku paling benci sama orang bodoh!" Ci Kong menghela napas panjang.
"Apa boleh buat, memang aku bodoh. Akan tetapi kalau engkau merasa dingin dan perlu mengganti pakaianmu untuk sementara agar engkau dapat menjahit bagian yang robek dan dapat mencuci bersih lalu menjemurnya, aku masih mempunyai bekal pakaian untuk sementara kau pakai." Berkata demikian, Ci Kong lalu mengambil buntalan pakaiannya yang disimpan tak jauh dari situ. Wajah Kiki nampak berseri gembira.
"Ah, bagus sekali, Ci Kong. Memang pakaianku ini perlu dicuci, dijemur dan dijahit. Wah, pakaianmu semua begini sederhana, seperti pakaian petani gunung. Pantasnya engkau dahulu menjadi Hwesio Siauw-lim-si saja," kata Kiki sambil memilih-milih satu stel pakaian. Ci Kong tersenyum. Dalam keadaan biasa seperti itu, harus diakuinya bahwa Kiki merupakan seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira.
"Memang aku nyaris menjadi Hwesio , Kiki. Nah, kau ganti pakaianmu, biar aku bersembunyi dulu." Pemuda itu hendak melangkah pergi.
"Jangan pergi!" tiba-tiba Kiki membentak.
"Kau kira aku dapat kau tipu? Nah, berdiri saja di situ, akan tetapi engkau harus membelakangi aku. Awas, jangan berbalik sebelum aku mengatakan selesai!" Ci Kong tertegun, akan tetapi menahan senyum dan berdiri di tempatnya dan membalikkan punggung membelakangi gadis aneh itu. Kiki lalu menanggalkan semua pakaiannya yang basah kuyup, terus mengintai ke arah Ci Kong tanpa kedip, dan tergesa-gesa mengenakan pakaian Ci Kong yang sederhana itu. Tentu saja terlalu besar dan kedodoran, akan tetapi bagaimanapun juga pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dan ia merasa hangat oleh pakaian kering itu.
"Sudah selesai, kau boleh berbalik." Ci Kong berbalik dan sudah menahan diri agar tidak ketawa. Akan tetapi dia memang tidak perlu tertawa. Gadis itu dalam pakaian yang kebesaran tidak nampak menggelikan, bahkan nampak makin manis saja!
"Kiki, kenapa tadi kau bilang bahwa aku hendak menipumu?" Ci Kong yang merasa penasaran menuntut keterangan.
"Semua laki-laki sama saja! Genit dan ceriwis! Pernah ada dua orang anak buah Ayah kuhajar sampai hampir mampus karena mereka itu mengintai ketika aku mandi. Laki-laki paling suka mengintai wanita mandi atau tukar pakaian, dan kau pun seorang laki-laki. kau bilang mau pergi, siapa tahu engkau hanya sembunyi agar dapat mengintai aku selagi aku bertukar pakaian?" Hampir saja Ci Kong marah oleh tuduhan ini kalau dia tidak ingat bahwa gadis ini memang berwatak aneh, kekanak-kanakan dan kolokan sekali. Maka dia hanya tersenyum.
"Aku bukan laki-laki semacam itu, Kiki. Nah, sekarang aku yang mau berganti pakaian." Tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu pergi ke belakang batu-batu karang besar dan di sana dia berganti pakaian kering. Ketika dia kembali, Kiki nampak cemberut.
"Eh, kau mengapa?" Ci Kong bertanya.
"Kau memang bodoh. Aku bisa mencuci dan menjemur pakaianku ini, akan tetapi bagaimana dapat menjahit yang robek?" Ci Kong tersenyum. Disebut bodoh berkali-kali baginya kini tidak terasa seperti penghinaan, bahkan seperti kelakar saja, seperti kelakar sayang antara sahabat!
"Mungkin aku bodoh, akan tetapi kalau engkau butuh jarum dan benang, inilah!"
Ci Kong mengeluarkan jarum yang sudah ada benangnya cukup panjang dan menyerahkan benda itu kepada Kiki. Dia memang selalu membawa bekal jarum dan benang dalam buntalan pakaiannya. Kiki menerima benda itu dan agaknya lupa bahwa ia sudah mengatakan bodoh kepada Ci Kong, kini ia asyik mencoba untuk menjahit bagian pakaiannya yang robek. Akan tetapi Kiki adalah puteri tunggal Hai-tok Tang Kok Bu yang kaya raya. Sejak kecil ia dimanja dan dikelilingi pelayan-pelayan yang mengerjakan segala pekerjaan, mana ia pernah berkenalan dan menjamah jarum dan benang? Baru beberapa tusukan saja, tiba-tiba ia menjerit dan ibu jari tangan kirinya berdarah karena tertusuk jarum. Diam-diam Ci Kong merasa geli, akan tetapi dia tidak berani mentertawakan, hanya mendekati dan berkata,
"Biarkan aku yang menjahitkan bajumu yang robek itu, Kiki. Aku sudah biasa menjahit."
Tanpa berkata apa-apa Kiki menyerahkan bajunya dan Ci Kong lalu mulai menjahit bagian yang terobek dengan rapinya. Kiki menghisap sedikit darah dari ibu jari yang tertusuk jarum tadi, kemudian nonton pemuda itu menjahit dengan pandang mata kagum. Akan tetapi ia hanya pandai mencela, tidak pandai memuji sama sekali. Setelah bajunya selesai dijahit, gadis itu lalu diajak oleh Ci Kong menuju ke sebuah sumber air yang berada di lereng bukit kecil dekat pantai untuk mencuci pakaiannya. Sambil menanti pakaiannya kering, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon sambil berteduh dari serangan panas matahari yang sudah naik tinggi. Kiki tidak menolak ketika Ci Kong menawarkan roti kering dan dendeng, dimakan sedikit-sedikit sambil didorong teh cair yang dibuat Ci Kong pagi tadi.
"Engkau tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang, Kiki. kau pakailah sepatuku. Lumayan untuk sementara dapat melindungi kakimu."
"Sepatumu itu terlalu besar, mana bisa kupakai?"
"Mudah saja, dapat diganjal rumput kering. Nih, cobalah, kucarikan pengganjalnya." Biarpun nampak lucu karena sepatu itu kebesaran, dapat juga dipakai oleh Kiki dan tak lama kemudian pakaiannya juga sudah kering. Kini ia berganti pakaian di belakang batu-batu karang seperti yang dilakukan Ci Kong tadi tanpa banyak rewel sehingga diam-diam hati Ci Kong merasa girang. Setelah gadis itu muncul dari balik batu, memakai pakaiannya sendiri dan mengembalikan pakaian Ci Kong, gadis itu tersenyum gembira. Hanya sepatunya yang lucu, akan tetapi ia nampak cantik walaupun mukanya tidak dirias dan rambutnya masih awut-awutan.
"Sekarang aku akan pergi," katanya. Diam-diam Ci Kong terkejut dan dia merasa heran bukan main mengapa hatinya terasa tiba-tiba kosong dan kesepian mendengar betapa gadis ini mau pergi meninggalkannya. Akan tetapi dia menekan perasaan ini dan mengangguk.
"Harap engkau berhati-hati di dalam perjalanan, Kiki. Banyak orang jahat berkeliaran." Akan tetapi dia merasa menyesal mengeluarkan ucapan ini tanpa ingat bahwa yang diberi nasihat itu adalah puteri seorang datuk iblis, seorang tokoh kau m sesat! Kiki terkekeh.
"Aku sendiri puteri seorang datuk, masa takut terhadap orang jahat? Yang kutakuti adalah orang-orang yang pura-pura dan yang menyerangku dari dalam gelap." Ia bergidik teringat penjahat di dalam perahu semalam.
"Kau hendak pergi ke manakah?" Ci Kong tak dapat menahan hatinya bertanya.
"Aku hendak merantau... eh, baru aku ingat. Engkau begini lihai, tentu engkau banyak mengenal tokoh kang-ouw, bukan? Ci Kong, apa engkau mengenal seorang bernama Koan Jit, murid pertama dari Thian-tok?" Ci Kong terkejut, dan baru dia teringat bahwa gadis ini puteri Hai-tok, tentu saja mengenal Thian-tok dan murid-muridnya. Akan tetapi dia menekan perasaannya yang menegang dan menjawab,
"Aku pernah mendengar namanya. Apakah engkau mengenal dia, Kiki? Dan mau apa engkau mencari dia? Kabarnya dia itu lihai dan berbahaya sekali." Dan kini Ci Kong mendengar jawaban yang membuat dia kembali bengong.
"Aku cari dia karena dia telah melarikan pusaka Giok-liong-kiam. Ayah menyuruh aku mencarinya dan minta pusaka itu dari tangannya."
"Kalau dia tidak menyerahkan?"
"Hemm, akan kujewer telinganya dan kuhajar dia sampai kapok dan kurampas pusaka itu." Hampir saja Ci Kong tertawa. Dia tidak percaya kalau Hai-tok yang menyuruh gadis ini pergi sendiri saja mencari Koan Jit. Seorang gadis yang masih begini mentah, yang seolah-olah seekor burung yang baru belajar terbang, tidak tahu tingginya langit dalamnya lautan luasnya bumi, disuruh mencari Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam? Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengejek.
"Kiki, hati-hatilah. Seluruh tokoh kang-ouw mencari-cari Koan Jit itu dan semua orang pandai siap memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam. Engkau baru berjumpa dengan aku saja sudah berani membicarakan urusan pusaka itu. Kalau orang lain yang mendengarnya, engkau bisa celaka."
"Aihhh, kau kira aku anak kecil? Kalau aku bicara terus terang denganmu, itu karena aku percaya padamu, tahu bahwa engkau seorang baik, apa lagi engkau murid Siauw-lim-pai walaupun murid tingkat rendahan saja. Sudahlah, katakan saja apakah kau tahu di mana dia berada?"
"Hek-eng-mo Koan Jit? Aku tidak tahu, Kiki, sungguh aku sendiri tidak tahu..." Ci Kong termenung karena dia sendiripun tidak pernah berhasil mencari tokoh itu. Dia sendiripun ingin dapat menemukan tokoh itu dan mencoba untuk merampas kembali pusaka Giok-liong-kiam untuk membersihkan nama Siauw-bin-hud.
"Sudahlah, mana kau tahu? Biar aku cari sendiri. Nah, selamat berpisah, Ci Kong, engkau baik sekali, lain waktu kita bertemu kembali," kata Kiki dan gadis ini sudah membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia seperti teringat akan sesuatu dan berhenti, lalu berbalik.
"CI Kong, engkau sudah bersumpah. Jadi benar engkau tidak menciumku, melainkan hendak meniupkan napas ke dalam paru-paruku yang kau kira macet?" Tentu saja Ci Kong terheran, akan tetapi dia mengangguk.
🖐
"Benar."
"Jadi engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?" Sepasang mata pemuda itu terbelalak.
"Ah, Kiki..., itu... itu... tidak sopan namanya. Kita baru saja bertemu, mana aku berani melakukan perbuatan yang melanggar tata susila itu?" Kiki tersenyum, akan tetapi sepasang matanya memandang penuh selidik dan Ci Kong merasa seolah-olah sinar mata gadis itu dapat menembus ke dalam ruang dadanya dan melongok, mengintai isi hatinya.
"Andaikata kita sudah berkenalan lama, kita sudah menjadi sahabat, apakah engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?" Tentu saja pertanyaan ini seolah-olah sebatang pedang yang ditodongkan di depan hidung pemuda itu. Dan dia tidak mau menjawab, bahkan masih bengong saking kaget dan herannya.
"Aku... aku... ah, aku tidak tahu..." Gadis itu mengerutkan alisnya. Jawaban ini mengesalkan hatinya. Entah bagaimana, ia merasa bahwa andaikata Ci Kong menciumnya, seperti yang dilakukan penjahat dalam perahu, mencium dengan lembut bukan paksaan, agaknya... ia tidak akan menolak dan akan merasa senang sekali. Akan tetapi tentu saja, Ci Kong tidak tahu!
"Tentu saja engkau tidak tahu, memang kau bodoh! Sudah kuketahui itu sejak tadi." Dan gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, hatinya kecewa dan mendongkol, kakinya agak terpincang-pincang karena sepatu yang diganjal itu sungguh tidak enak rasanya, sama tidak enaknya dengan perasaan hatinya. Sejenak Ci Kong bengong mengikuti tubuh Kiki dengan pandang matanya, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memegangi kepala dengan kedua tangan.
"Memang aku bodoh...!" Dan ini bukan pura-pura. Dia merasa benar-benar bodoh dan tidak mengerti sama sekali akan sikap Kiki! Setelah gadis itu tidak nampak bayangannya lagi, Ci Kong membayangkan wajah Kiki dan juga wajah Kui Eng. Ketika dia berjumpa dengan Kui Eng, diapun dibikin bingung dan tidak mengerti akan sikap gadis itu. Kini, bertemu dengan Kiki, dia menjadi semakin bingung. Betapa anehnya dan luar biasanya mahluk yang disebut wanita itu. Aneh, luar biasa, berbahaya, dan amat menarik hati! Dulu diapun tertarik sekali kepada Kui Eng, dan sekarang dia lebih tertarik lagi kepada Kiki, dengan wataknya yang angin-anginan, kekanak-kanakan, keminter, dan... mengguncangkan kalbu itu. Ci Kong lalu menggeleng kepala dan menjambak rambut sendiri.
"Ihh, mengapa engkau menjadi begini mata keranjang, heh?" Dan dengan kekuatan batinnya, diguncangnya dua bayangan wajah gadis itu sehingga buyar dan tak lama kemudian diapun meninggalkan tempat itu dengan kaki telanjang!
Sesuai dengan petunjuk yang diterima suhunya, Lian Hong menyelidiki jejak Koan Jit di selatan, karena perjalanannya itu membawanya ke daerah Kanton, maka timbul keinginan hatinya untuk menjenguk makam Ayah ibunya di luar kota Tung-kang, di sebuah tanah kuburan umum untuk orang-orang dusun yang sederhana. Kuburan ini memang berada di tempat sunyi di luar kota, di mana terdapat daerah perbukitan batu yang tandus dan banyak terdapat guha-guha di situ, disebut guha kelelawar karena di situ terdapat banyak kelelawar sehingga tempatnya menjadi kotor menyeramkan. Jarang ada orang suka mendatangi tempat ini, kecuali mereka yang mengunjungi kuburan nenek moyang pada waktu-waktu tertentu.
Perbukitan tandus itupun jarang didatangi orang karena tidak ada pohon, tidak ada kayu, yang ada hanya batu-batu besar. Daerah yang amat tandus dan mati. Dalam perjalanannya yang lalu ketika ia mencari jejak Koan Jit, ia pernah datang ke makam orang tuanya dan telah ditemukannya makam itu menurut petunjuk penduduk Tung-kang. Oleh karena itu, kini ia langsung saja pergi ke tanah kuburan itu walaupun hari telah menjelang senja. Bahkan ia mengambil keputusan untuk bermalam di kuburan orang tuanya malam itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di luar pagar tanah kuburan, ia berhenti melangkah, bahkan cepat menyelinap di antara nisan-nisan yang di tembok tinggi itu, karena ia melihat ada seorang gadis sendirian sedang berlutut di depan makam Ayah ibunya!
Tentu saja ia merasa terkejut dan heran sekali. Setahunya, Ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga kecuali dirinya. Siapakah gadis itu? Dan mengapa pula gadis itu memberi penghormatan kepada makam Ayah bundanya? Karena merasa curiga, Lian Hong segera menyelinap dan menyusup-nyusup mendekat sambil bersembunyi, lalu mengintai dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Gadis itu cantik sekali dan sebaya dengan ia sendiri. Wajahnya manis sekali dengan sepasang mata yang tajam dan jeli seperti bintang kejora. Akan tetapi melihat sikapnya Lian Hong dapat menduga bahwa agaknya gadis ini bukan seorang gadis yang lemah. Yang membuat ia keheranan adalah ketika ia mendengar kata-kata bisikan yang keluar dari mulut gadis itu.
"Ji-wi tentu tidak mengenal aku," demikian gadis cantik itu berbisik, seolah-olah sedang bicara kepada Ayah bunda Lian Hong yang terus mengintai, "Akan tetapi aku tahu bahwa ji-wi adalah guru silat Siauw Teng dan isterinya yang dulu tinggal di Tung-kang dan yang tewas karena perbuatan jahat mendiang Ayahku Ciu Lok Tai. Ayah dan seluruh keluarganya telah binasa, oleh karena itu aku, Ciu Kui Eng, sebagai anak tunggalnya, sengaja mendatangi kuburan para korbannya untuk mintakan ampun bagi Ayah agar arwahnya tidak terlalu tersiksa di alam baka." Mendengar bisikan ini, hati Lian Hong merasa terharu. Ah, kiranya inilah puteri Ciu Lok Tai hartawan yang dulu menjadi penyebab kematian Ayah bundanya!
Puterinya yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi itu. Dan kini, puteri hartawan itu mintakan ampun untuk dosa-dosa mendiang Ayahnya kepada para korban Ayahnya. Melihat ini saja sudah mendatangkan perasaan suka dan kasihan dalam hati Lian Hong. Tidak, ia tidak akan memusuhi gadis ini, biarpun tadinya memang ia mengandung maksud untuk menegur dan meminta pertanggungan jawab puteri keluarga Ciu atas dosa yang dilakukan Ciu Lok Tai terhadap orang tuanya. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan ketika perbuatan keji Ayahnya berlangsung, tentu gadis ini masih kecil, sama dengan ia. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan tidak adillah kalau gadis ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahat Ayahnya. Melihat kini Kui Eng minta ampun untuk Ayahnya di depan kuburan itu, terhapuslah sudah semua ganjalan hati Lian Hong.
Ia tidak lagi menganggap keluarga yang tinggal satu-satunya ini sebagai musuh dan musuhnya hanya tinggal dua nama lagi, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun! Sudah timbul keinginan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya, untuk memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan dengan gadis cantik itu ketika tiba-tiba ia tertarik melihat berkelebatnya bayangan orang di seberang. Kemudian terdengar suara ketawa dan tahu-tahu telah meloncat seorang laki-laki di dekat Ciu Kui Eng yang juga terkejut dan gadis itu sudah meloncat bangun menghadapi laki-laki itu. Lian Hong tetap bersembunyi dan menonton dengan hati tegang. Melihat kemunculan laki-laki itu, Lian Hong dapat menduga bahwa laki-laki itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ia tadi hanya melihat bayangan saja berkelebat dan tahu-tahu laki-laki itu telah berada di dekat Kui Eng. Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang berkulit kehitaman itu jelas membayangkan kekejaman, matanya yang mencorong hijau itu dan senyumnya yang sinis membayangkan kelicikan. Kepalanya mengenakan sebuah topi batok dan rambutnya yang gemuk hitam dikuncir, keluar dari belakang topinya dan melilit lehernya. Matanya yang mencorong seperti mata kucing atau mata burung hantu di waktu malam itu memandang ke arah Kui Eng dengan penuh kagum dan senyumnya makin menyeringai sadis. Melihat munculnya orang yang tak dikenalnya ini, yang memandangnya seperti itu dengan mulut menyeringai, Kui Eng menjadi marah.
"Bngsat dari manakah berani mengangguku!" bentaknya, siap untuk menyerang.
Akan tetapi laki-laki itu malah terkekeh, suara ketawanya seperti burung hantu dan hal ini tentu saja membuat Kui Eng merasa ngeri dan memandang tajam dan penuh keheranan, menduga-duga apakah yang dihadapinya ini bukan orang gila! Akan tetapi, tiba-tiba pria itu mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tempat itu. Lian Hong yang berada dalam tempat persembunyiannya, terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang keras. Tahulah ia bahwa pria itu telah mempergunakan tenaga khikang dalam suaranya dan suara itu merupakan serangan yang ganas dan berbahaya sekali. Maka iapun cepat menahan napas mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung dan telinganya. Kui Eng juga terkejut bukan main karena ia merasa betapa jantungnya terguncang.
Ia yang berdiri dekat pria itu dan yang menjadi sasaran serangan lengkingan itu, hampir saja roboh. Akan tetapi, sebagai murid Tee-tok yang sakti, tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi serangan tiba-tiba itu. Serangan suara itu datangnya terlalu mendadak sehingga ia kedahuluan atau kecurian, cepat ia mengerahkan sinkang dan memejamkan mata untuk beberapa detik. Inilah yang mencelakakannya. Dan agaknya ini pula yang telah diperhitungkan dengan masak oleh pria yang nampaknya amat cerdik itu. Begitu Kui Eng memejamkan mata, pria itu sudah mengeluarkan sehelai saputangan merah yang sudah dipersiapkannya dan sekali mengebutkan saputangan di depan muka Kui Eng, ada bubuk merah yang baunya harum keras memasuki hidung gadis itu. Kui Eng terkejut, maklum apa artinya itu ketika hidungnya menyedot bau harum keras.
Ia mengeluarkan teriakan dan meloncat ke belakang, akan tetapi ia terhuyung karena mulai dipengaruhi bubuk racun pembius. Ia seorang gadis yang lihai dan kuat, maka racun bubuk itu tidak membuatnya roboh, hanya terhuyung dengan kepala pening. Dan agaknya inipun sudah diperhitungkan oleh pria itu, karena dengan langkahnya yang lebar dia telah mengejar dan menyerang dengan kedua tangannya yang besar. Dua lengan yang panjang itu bagaikan ular-ular hitam meluncur. Andaikata ia tidak berada dalam keadaan pening, tentu Kui Eng tidak akan mudah dirobohkan. Akan tetapi gadis ini telah kecurian, telah menyedot bubuk racun pembius sehingga menghadapi serangan dua tangan itu, ia tidak mampu mempertahankan diri. Sebuah totokan pada pundaknya membuat ia terkulai lemas.
"Heh-heh-heh!" Pria itu lalu menyambar tubuh Kui Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari kuburan itu.
Lian Hong terkejut bukan main. Ia sendiripun tadi mengerahkan tenaga melindungi dirinya dari serangan suara maut itu. Dan melihat betapa Kui Eng ditawan, tentu saja timbul niat hatinya untuk membantu gadis itu. Akan tetapi ia teringat. Bagaimanapun juga, Kui Eng adalah puteri seorang yang amat kejam. Ia tidak mengenal Kui Eng dan belum tahu bagaimana watak gadis itu. Iapun tidak mengenal pria itu dan tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka. Ia tidak tahu siapa yang bersalah di antara keduanya maka kini timbul perbuatan itu. Siapa tahu kalau-kalau Kui Eng yang telah melakukan kesalahan dan pria itu datang untuk menangkapnya atau membalas dendam? Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono dalam mencampuri urusan dua orang yang belum dikenalnya.
Maka iapun cepat membayangi tubuh pria yang melarikan Kui Eng. Orang itu, biarpun memanggul tubuh seorang gadis, dapat bergerak cepat bukan main, berloncatan di antara batu-batu yang besar seperti seekor kera saja. Akan tetapi Lian Hong juga seorang gadis yang memiliki ginkang yang tinggi sehingga tidak terlalu sukar baginya untuk membayangi terus. Tiba-tiba saja ia kehilangan orang yang dibayanginya. Lian Hong terkejut. Cepat ia menghampiri tempat di mana bayangan tinggi kurus itu melenyapkan diri. Ia hanya melihat sekumpulan batu-batu yang besar. Sama sekali tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri, akan tetapi tiba-tiba saja orang itu telah lenyap. Lian Hong merasa penasaran dan ia mencaricari, menjenguk ke belakang setiap batu besar. Namun orang itu bersama tubuh Kui Eng lenyap seperti pandai menghilang saja!
Lian Hong yang merasa penasaran dan khawatir akan keselamatan Kui Eng, tidak mau meninggalkan bukit itu, terus berkeliaran mencari-cari. Sampai lama ia mencari, sampai senja mulai membawa kegelapan menyelimuti bukit, tetap saja ia tidak berhasil menemukan pria yang melarikan Kui Eng. Ia mulai putus harapan dan mulai mengira bahwa tentu laki-laki itu memiliki jalan rahasia dan kini tentu sudah jauh meninggalkan tempat itu. Ia mulai melihat-lihat ke sekeliling bawah bukit, berniat untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke kuburan orang tuanya ketika tiba-tiba ia mendengar jerit suara wanita yang keluar dari dalam bukit, dari bawah tanah yang dipijaknya! Lian Hong meloncat dengan kaget. Bayangan itu tadi lenyap seperti ditelan bumi dan kini ada suara jeritan wanita dari bawah bumi. Ditelan bumi!
Ah, tentu saja! Kenapa ia begitu bodoh? Satu-satunya tempat di mana orang tadi melenyapkan diri, tentu di dalam bukit di bawah bumi, di bawah batu-batu itu. Tentu ada jalan rahasia ke situ. Terdorong oleh jeritan tadi yang ia duga tentu suara Kui Eng, Lian Hong mulai mencari-cari, mengguncang setiap potong batu, meraba-raba di dalam cuaca yang mulai gelap. Ia hampir putus asa karena batu-batu itu tidak ada yang menyembunyikan rahasia ketika tiba-tiba ada sinar mencorong dari celah-celah antara batu. Ia merasa girang sekali dan cepat ia meloncat mendekati batu-batu itu. Tak salah lagi. Ada sinar terang menyorot keluar melalui celah-celah batu, sinar yang datangnya dari bawah! Dengan hati-hati iapun mempergunakan tangannya yang dialiri tenaga sinkang untuk menggeser batu besar dan ia berhasil!
Di balik batu besar itu terdapat sebuah lubang terowongan ke bawah tanah! Dengan hati-hati sekali Lian Hong lalu menuruni lubang itu dan ternyata terdapat tangga batu menuju ke bawah dan ia dapat merayap ke bawah dituntun oleh sinar terang yang menyorot dari bawah. Akhirnya, tangga batu itu membawanya ke sebuah ruangan yang garis tengahnya tidak kurang dari enam meter dan ketika ia mengintai, hampir saja ia mengeluarkan seruan keras karena kaget, ngeri dan marah. Lian Hong mengintai dari balik pintu batu, dengan alis berkerut dan mata mencorong marah memandang ke dalam. Di tengah ruangan itu nampak Kui Eng berdiri dengan kedua lengan tergantung. Kedua pergelangan tangannya terikat ke atas dan tergantung, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Dan pakaian gadis itu sudah robek-robek membuatnya hampir telanjang.
Bagian-bagian tubuh gadis itu nampak jelas di antara robekan-robekan yang membuat pakaian itu cabik-cabik dan hampir tanggal dari tubuhnya. Wajah gadis itu pucat sekali dan nampak titik-titik air mata membasahi mata dan kedua pipinya. Dan kini gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut menggigil ketika laki-laki tinggi kurus itu mengeluarkan seekor tikus yang dipegang pada ekornya sehingga tikus itu menggeliat-geliat ingin lepas. Pria itu berdiri sambil bersandar dinding batu. Sepasang matanya makin mencorong mengerikan, seperti mata setan ketika tertimpa sinar obor yang bernyala di atasnya. Mulutnya tersenyum sinis penuh kekejaman. Lebih mengerikan lagi, seekor ular besar melingkar di lehernya, dan kepala ular itupun terjulur ke depan, lidahnya keluar masuk seolah-olah ular itupun menggoda Kui Eng, hendak menjilati atau mematuk.
"Heh-heh-heh, Ciu Kui Eng, engkau masih berkeras kepala? Menyerahlah dengan baik-baik, dan aku akan menjadikan engkau isteri atau sekutu yang akan hidup penuh dengan kesenangan dan kemuliaan. Mari kita bina bersama, kita kejar kedudukan yang tinggi di dunia ini. Aku murid Thian-tok dan engkau murid Tee-tok, bukankah kalau kita berjodoh sudah tepat sekali? Untuk apa engkau ingin merebut Giok-liong-kiam dariku? Engkau takkan menang. Bukankah lebih baik kalau kita menjaganya bersama? Marilah, sayang, marilah manis, aku cinta padamu."
"Koan Jit, manusia iblis! Aku tidak sudi! Lebih baik bunuh saja aku. Aku tidak takut mati. Aku tidak sudi menjadi isterimu, aku tidak sudi kau sentuh!" Pria itu ternyata adalah Koan Jit! Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Lian Hong. Kenyataan-kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Kiranya pria ini adalah Koan Jit, orang yang selama ini dicarinya! Dan lebih mengejutkan lagi, kiranya Kui Eng adalah murid Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Akan tetapi iapun melihat sikap Kui Eng yang menolak ajakan keji dari Koan Jit.
"Heh-heh-heh, nona manis. Aku sudah menyentuhmu sejak tadi, heh-heh. Kalau aku mau, sejak tadi aku sudah dapat memilikimu secara paksa. Akan tetapi aku tidak senang memaksa. Aku tidak ingin membunuhmu. Engkau merupakan pembantu yang amat baik. Kalau aku memperkosamu, tentu engkau akan kubunuh kemudian. Tiada gunanya. Sayang memperkosa seorang lihai sepertimu. Kalau aku butuh wanita, dengan mudah sekarang juga aku akan dapat memilih di antara mereka di mana saja. Akan tetapi aku butuh pembantu, butuh sekutu dan isteri. Dan kau lah yang tepat menjadi orang itu."
"Aku tidak sudi! Lebih baik mati!"
"Lihat ini!" Koan Jit mendekatkan tikus ke leher Kui Eng sehingga gadis itu mengeluarkan rintihan geli dan takut.
"Kau boleh pilih. Kusiksa dengan tikus dan ular ini sampai engkau hidup tidak matipun tidak dan pikiranmu akan berobah, membuatmu menjadi gila lalu kau kubebaskan sebagai orang gila yang telanjang bulat? Ataukah kuperkosa engkau dengan cara yang paling keji sehingga akhirnya engkau pun akan menjadi gila? Atau kupergunakan obat racun perangsang sehingga akhirnya engkau pun akan menyerahkan dirimu dalam keadaan tidak sadar dan terus setiap hari kujejali obat perangsang yang akhirnya akan meracuni dirimu dan membuat engkau menjadi gila lelaki? Atau kuserahkan engkau kepada anak buahku, orang-orang buas dan kasar, agar engkau dikeroyok oleh puluhan orang dari mereka dan akhirnya mampus dalam keadaan yang amat terhina? Nah, kau pilih antara semua itu, ataukah engkau mau menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku, menjadi isteri, sekutu dan pembantuku yang terhormat? Nah, pilihlah sebelum terlambat."
Setelah berkata demikian, untuk menambah pengaruh ucapannya tadi, Koan Jit menggeser-geserkan tikus hidup itu di leher, dada dan perut Kui Eng. Tentu saja Kui Eng merasa jijik bukan main, jijik, geli dan ngeri sampai ia menggelinjang-gelinjang kegelian. Melihat gadis ini menggelinjang dan menggeliat, sepasang mata Koan Jit makin mencorong penuh nafsu yang mendidih. Tadi dia kurang berhasil ketika menggunakan ular. Ternyata Kui Eng, yang sudah biasa dahulu dilatih oleh gurunya mempergunakan banyak ular, tidak takut dan tidak ngeri melihat ular. Akan tetapi begitu dia mempergunakan seekor tikus, gadis yang gagah perkasa dan tidak takut mati ini menggelinjang-gelinjang penuh kengerian.
"Heh-heh-heh, pilihlah, manis, heh-heh-heh!" Koan Jit girang sekali melihat usahanya memaksa Kui Eng hampir berhasil dan makin giat dia menggeser-geserkan tikus hidup itu ke bagian-bagian tubuh yang paling peka. Sudah cukup bagi Lian Hong menonton semua itu. Ia kini yakin benar bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah Koan Jit, pencuri Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok dan orang yang selama ini dicari-carinya. Dan iapun sudah melihat betapa Kui Eng, walaupun puteri seorang hartawan jahat, walaupun murid Tee-tok, ternyata merupakan seorang gadis yang cukup baik. Gadis itu telah menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Ayahnya dan telah memperlihatkan kebaikan hatinya dengan mintakan ampun untuk arwah Ayahnya di depan kuburan korban-korban Ayahnya.
JILID 18
Dan kini, setelah tertawan oleh Koan Jit, gadis itu menolak semua bujuk rayu Koan Jit untuk membantunya, bahkan memilih mati dari pada dijamah oleh penjahat berwatak iblis itu. Dua syarat ini cukup untuk menganggap Kui Eng seorang gadis yang baik dan patut diselamatkan dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut bagi seorang gadis terhormat. Lian Hong bukan seorang gadis yang sembrono. Tidak, biarpun ia pendiam dan sederhana, namun ia seorang yang amat cerdik. San-tok, gurunya yang pernah menjadi datuk iblis itu, telah mendidiknya dengan tekun, bukan hanya dalam ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga telah memberi tahu tentang segala kecurangan dan akal busuk di dunia persilatan kau m sesat. Ia sudah memperhitungkan masak-masak lebih dahulu sebelum bergerak.
Ia dapat melihat tadi cara Koan Jit merobohkan Kui Eng dan tahulah ia bahwa Koan Jit adalah seorang yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat curang dan penuh muslihat. Oleh karena itu, kalau ia maju begitu saja menyerang Koan Jit dengan kekerasan, banyak sekali bahayanya dan mungkin saja ia tidak akan berhasil menolong Kui Eng, malah ia bisa tertawan pula. Dan ia harus berhasil menolong Kui Eng. Kalau gadis murid Tee-tok itu dapat ia bebaskan dari belenggu, maka mereka berdua tentu akan dapat mengalahkan Koan Jit. Maka iapun cepat menyelinap meninggalkan tempat pengintaiannya. Tak lama kemudian, selagi Koan Jit terkekeh gembira dan Kui Eng menggeliat-geliat saking gelinya ketika tikus itu meronta-ronta di dadanya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dari arah terowongan.
"Heii, tikus Koan Jit! Kalau memang gagah, jangan hanya mengganggu wanita, hayo keluar dan terima binasa!" Tentu saja Koam Jit kaget dan marah mendengar suara pria yang berat ini, yang datangnya dari atas dan suaranya menerobos memasuki terowongan.
Dimaki dan ditantang begitu, dia kehilangan nafsu berahinya yang berubah menjadi nafsu amarah. Dengan geram dia membanting binatang tikus yang tadi dipergunakannya untuk menggoda Kui Eng ke atas lantai sehingga tubuh binatang itu hancur berantakan dan darahnya muncrat ke mana-mana, kemudian dia meloncat keluar dari ruangan itu menerobos jalan terowongan untuk menghadapi musuh yang berada di atas. Tentu saja suara tadi keluar dari mulut Lian Hong yang merendahkan suaranya seperti suara pria dan dengan kekuatan khikang ia memindahkan suaranya sehingga seperti terdengar datang dari luar. Sebetulnya ia masih berada di terowongan itu, di luar ruangan di mana Koan Jit menyiksa Kui Eng dan ia bersembunyi di balik batu.
Pada saat Koan Jit berkelebat keluar, cepat sekali Lian Hong keluar dari tempat persembunyiannya, dengan beberapa loncatan saja ia sudah berada di dekat Kui Eng dan tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan ujung gagang kipasnya menotok tiga jalan darah di punggung dan kedua pundak Kui Eng untuk membebaskan totokan yang membuat tubuh Kui Eng lemas. Kemudian, ia membantu Kui Eng melepaskan belenggu kaki tangannya, hal yang mudah saja dilakukan Kui Eng setelah ia terbebas dari totokan. Dapat dibayangkan betapa girang dan lega rasa hati Kui Eng ketika mendapatkan pertolongan ini. Iapun memandang kagum kepada gadis cantik yang menolongnya, karena orang yang berani menolongnya berani menentang Koan Jit dan tidak sembarang orang berani menentang seorang penjahat lihai seperti Koan Jit.
"Terima kasih," bisiknya.
"Siapa engkau?" Lian Hong tersenyum.
"Nanti saja kita bicara. Sekarang mari kita keluar dan kita hajar tikus busuk tadi." Teringat akan Koan Jit, Kui Eng mengepal tinjunya.
"Baik, mari kita bunuh jahanam Itu!" Dua orang gadis perkasa itu berloncatan keluar dari ruangan itu. Di lubang masuk menuju terowongan, hampir mereka bertumbukan dengan Koan Jit yang hendak masuk lagi. Tadi Koan Jit cepat keluar untuk mencari orang yang menantangnya, akan tetapi di luar sunyi saja, bahkan cuaca yang agak gelap karena malam sudah mulai tiba dan tidak nampak ada bayangan seorangpun manusia. Dia merasa heran, penasaran dan marah. Lalu dia teringat akan tawanannya yang ditinggalkan di dalam ruangan bawah tanah. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau tawanan itu akan ditolong orang yang tadi mengeluarkan suara, maka diapun cepat masuk lagi.
Akan tetapi tiba-tiba ada dua bayangan orang berkelebat dari dalam dan seorang di antara mereka menyerangnya dengan tendangan berantai yang amat cepat dan dahsyat. Bukan serangan itu yang mengejutkan karena Koan Jit mampu meloncat ke belakang dan keluar lagi dari lubang itu untuk menghindarkan diri, akan tetapi yang membuatnya bengong dan marah sekali adalah ketika mengenal orang yang menendangnya adalah gadis yang pakaiannya compang-camping setengah telanjang, bukan lain adalah tawanannya tadi, Ciu Kui Eng! Dan kini Kui Eng sudah meloncat keluar, diikuti seorang gadis lain yang memiliki sepasang mata yang lebar, indah dan sinar matanya tajam sekali. Dengan hati penuh kegeraman dia dapat menduga bahwa tentu gadis bermata lebar ini yang telah membebaskan Kui Eng.
"Keparat, siapa kau berani menantangku!" bentaknya. Akan tetapi Kui Eng yang sudah tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya, tanpa banyak cakap lagi tidak memberi kesempatan kepada Koan Jit untuk bicara,
Ia sudah menyambar sepotong kayu yang terletak di atas tanah dan dengan tongkat ini iapun lalu menyerang dengan ilmu yang paling diandalkan oleh Tee-tok gurunya, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)! Dan Lian Hong memang juga tidak ingin banyak bicara dengan Koan Jit, maka iapun cepat membantu Kui Eng dengan serangan senjata kipasnya. Dengan gerakan aneh gagang kipasnya menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan-totokan maut ke arah jalan darah di tubuh bagian depan lawan. Menghadapi serangan dua orang gadis itu, Koan Jit terkejut bukan main. Melihat betapa tongkat di tangan Kui Eng itu hanya sebatang cabang pohon akan tetapi dapat berubah menjadi senjata yang luar biasa ampuh dan berbahayanya, dia tidak merasa heran karena maklum betapa lihainya guru gadis itu.
Akan tetapi melihat betapa kipas di tangan gadis bermata lebar itu tidak kalah hebatnya dari tongkat Kui Eng, ia benar-benar terkejut dan terpaksa dia mengerdahkan seluruh kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, sedikitpun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Demikian hebatnya dua orang gadis itu menyerang! Koan Jit mengenal lawan tangguh. Memang ada rasa penasaran di dalam hatinya bahwa dia kehilangan Kui Eng yang sudah berada dalam cengkeramannya, dan merasa penasaran pula dia bahwa dia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda. Akan tetapi karena dia tahu bahwa kalau dia terlalu lama menghadapi dua orang gadis ini, mungkin saja dia akan celaka di tangan mereka, maka diapun mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.
Akan tetapi sekali ini, Kui Eng dan Lian Hong sudah siap. Mereka tahu bahwa lawan ini memiliki ilmu semacam gerengan harimau yang berbahaya, maka merekapun cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi diri masing-masing sehingga tidak sampai didahului daya serangan suara itu. Sambil melindungi diri dengan pengerahan sinkang, tongkat dan kipas di tangan dua orang gadis itu masih terus menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan dan pukulan maut ke arah tubuh Koan Jit. Koan Jit mengeluarkan saputangan merahnya. Akan tetapi juga untuk menghadapi itu, Lian Hong dan Kui Eng sudah siap siaga. Maka ketika Koan Jit mengebutkan saputangannya, dua orang gadis itu sudah menahan napas dan kini tongkat di tangan Kui Eng menyambar ke arah saputangan itu pada saat kipas Lian Hong menotok pinggang.
"Brettt...!" Saputangan merah itupun terobek oleh ujung tongkat! Koan Jit mengeluarkan seruan kaget dan sekali meloncat dia telah pergi jauh dan tanpa menoleh atau merasa malu-malu lagi, Koan Jit yang merasa betapa dua orang gadis itu merupakan lawan yang terlalu berat, dan selain itu juga dia khawatir kalau-kalau Tee-tok, guru Kui Eng muncul, segera melarikan diri.
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau ?" Kui Eng membentak dan mengejar, diikuti Lian Hong. Akan tetapi Koan Jit memang memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat dan walaupun dua orang gadis itupun memiliki ginkang yang hebat pula, namun tidak mampu menyusul Koan Jit yang menghilang di antara pohon-pohon yang gelap. Apa lagi Koan Jit mengenakan pakaian serba hitam, maka sukarlah untuk mengejarnya setelah dia masuk hutan. Dua orang gadis itupun maklum betapa berbahayanya mengejar seorang licik macam Koan Jit itu di dalam gelap, apa lagi pakaian orang itu hitam. Terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka di luar hutan.
Baru sekarang dua orang gadis itu memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dan bicara. Mereka berdiri saling pandang. Keduanya sebaya dan memiliki bentuk tubuh yang hampir sama. Keduanya memang cantik dan manis, akan tetapi memiliki daya tarik yang berbeda. Lian Hong adalah seorang gadis yang amat sederhana, baik pakaiannya maupun gerakgeriknya, dan daya tariknya yang paling kuat terletak pada sepasang matanya yang lebar. Mukanya berbentuk bundar dan kulitnya halus putih dengan sepasang alisnya yang hitam nampak menyolok di wajah yang putih itu. Sedangkan Kui Eng berwajah bulat telur, sepasang matanya tajam dan mengandung keangkuhan, dan agaknya daya tarik yang paling kuat terletak pada mulutnya yang amat manis itu, manis menggairahkan.
"Adik yang manis, engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih sekali," kata Kui Eng.
"Sudahlah, Enci. Wanita manapun melihat kekejian Koan Jit itu terhadap dirimu, tentu akan berusaha untuk menolongmu. Jahanam itu memang pantas dilenyapkan dari permukaan bumi."
"Siapakah namamu?"
"Aku bernama Lian Hong."
"Adik Hong, namaku Ciu Kui Eng. Mudah-mudahan di lain kesempatan aku akan dapat membalas budimu..."
"Sudahlah, Enci Kui Eng. Sudah kukatakan tadi, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Maaf, sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa lagi."
"Eh, nanti dulu, adik Hong!" Kui Eng menahan dan memegang lengan Lian Hong yang tentu saja tidak jadi meloncat pergi.
"Engkau hendak kemana?"
"Aku... aku mau mengunjungi makam orang tuaku."
"Eh? Malam-malam begini mengunjungi makam?" Kui Eng bertanya heran. Lian Hong mengangguk, lalu melanjutkan lirih,
"Aku malah mau bermalam di sana. Nah, selamat tinggal, Enci Kui Eng." Dan kini iapun meloncat pergi dengan cepat sebelum Kui Eng sempat mencegahnya. Sejenak Kui Eng termangu, kemudian iapun cepat berkelebat melakukan pengejaran. Hatinya masih belum puas. Ia ingin mengenal gadis penolongnya itu lebih dekat lagi,
mengetahui segala hal tentang gadis itu, murid siapa dan bagaimana tadi dapat menolongnya dan datang pada saat yang demikian tepatnya. Bahkan ia ingin sekali menguji kepandaiannya sendiri dengan gadis itu, menguji secara persahabatan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Lian Hong tiba di depan makam Ayah ibunya. Bulan sepotong sudah mulai memuntahkan sinarnya yang lembut sehingga cuaca malam itu remang-remang kuning kehijauan dan romantis. Gadis itu lalu berlutut di depan makam, memberi hormat di dalam batin. Sampai lama ia berlutut tanpa bergerak sampai ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia waspada dan cepat menengok, tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan. Kiranya Kui Eng yang berdiri di belakangnya. Sepasang mata Kui Eng terbelalak dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat.
"Ini... ini bukan orang tuamu...? kau ... kau puteri mendiang guru silat Siauw Teng dari Tung-kang?" Lian Hong menarik napas panjang. Sebetulnya ia tidak menghendaki Kui Eng mengenalnya, akan tetapi apa boleh buat. Ia tidak mengira bahwa gadis itu akan membayanginya dan menyusul ke situ.
"Benar, ini kuburan Ayah ibuku."
"Tapi... tapi... kau tahu mengapa mereka tewas?"
"Aku tahu. Mendiang Ayahmu yang menyebabkan mereka tewas, dan Ayah tewas di tangan Gan Ki Bin dan Lok Hun."
"Ahhh... engkau tahu bahwa pembunuh orang tuamu adalah Ayahku... dan engkau telah menolongku, menyelamatkan aku. Aih, adik Hong... aku... aku sungguh menyesak sekali atas perbuatan Ayah terhadap orang tuamu..."
"Aku tahu, Enci Kui Eng. Aku melihatmu tadi ketika engkau memintakan ampun kepada orang tuaku atas perbuatan Ayahmu, sampai kau ditawan Koan Jit."
"Ahhh... dan engkau pergi membayangi kemudian menyelamatkan aku? Padahal Ayahku dahulu menghancurkan dan membinasakan keluarga Ayahmu? Betapa mulia hatimu, adik Lian Hong."
"Sudahlah, Enci Eng, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi," kembali Lian Hong mencegah. Ia tidak senang kalau dipuji-puji. Akan tetapi, Kui Eng kini malah duduk di dekatnya, di depan makam.
"Bagaimana tidak akan dibicarakan? Engkau begini baik. Orang tuamu dahulu juga orang gagah. Tidak seperti aku. Biarpun kami hidup kaya raya, akan tetapi Ayah telah melakukan banyak hal yang buruk. Dan sekarang kami sekeluarga tertumpas habis. Aku kehilangan Ayah ibuku, bahkan kehilangan segala milik keluargaku. Aku juga menjadi seorang yang tidak mempunyai apa-apa lagi. Engkau masih mempunyai nama baik, nama terhormat. Sebaliknya aku mempunyai apa lagi? Nama keluargaku busuk, dan aku bahkan menjadi murid seorang datuk sesat."
"Aku tahu, engkau murid Tee-tok. Kudengar itu dari kata-kata Koan Jit tadi. Akan tetapi, gurumu agaknya tidak lebih buruk dari pada guruku, karena guruku juga seorang di antara Empat Racun Dunia." Hampir Kui Eng melompat. Dipegangnya pundak Lian Hong dan wajah yang tadinya sedih itu kini berseri.
"Aih, engkau murid San-tok! Aku tahu. Ilmu silatmu dengan kipas tadi! Siapa lagi gurumu kalau bukan Si Racun Gunung? Pantas engkau begini gagah perkasa, adik Hong. Wah, kalau begini kita ini segolongan!" Akan tetapi Lian Hong tidak segembira Kui Eng walaupun ia tersenyum melihat kegembiraan yang mengubah wajah Kui Eng yang tadinya berduka itu.
"Golongan apakah maksudmu, Enci Kui Eng?"
"Golongan... eh, maksudku, bukankah guru-guru kita segolongan?"
"Golongan sesat? Golongan hitam? Golongan penjahat?"
"Ehh... ohhh... Bukan begitu, tapi... Yaah, perlukah kita menutupi kenyataan bahwa kita adalah murid-murid mereka lalu kita juga harus menjadi orang-orang sesat? Maukah engkau menjadi segolongan dengan orang-orang seperti Koan Jit tadi?"
"Tidak sudi!"
"Akan tetapi diapun murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Dia murid pertama dari Thian-tok."
"Akan tetapi aku tidak sudi menjadi segolongan dengan jahanam itu. Lain kali, kalau bertemu dengan dia, aku pasti akan mati-matian menyerangnya, dia atau aku yang akan mati!" Lian Hong tersenyum dan dalam percakapan ini, ia merasa cocok dengan Kui Eng. Bagaimanapun, ia sudah membuktikan bahwa murid Tee-tok ini ternyata tidak menyukai pula kejahatan. Kebaikan pertama dari Kui Eng adalah ketika gadis itu memintakan ampun atas dosa Ayahnya kepada makam Ayah ibunya, dan kedua kalinya ia melihat sendiri betapa Kui Eng mati-matian mempertahankan kehormatannya, rela mati dari pada harus tunduk atas bujuk rayu Koan Jit. Dua hal ini saja sudah membuat ia merasa suka kepada Kui Eng.
"Enci Kui Eng, menurut pendengaranku ketika Koan Jit bicara kepadamu tadi, engkau hendak merampas pusaka Giok-liong-kiam darinya. Benarkah itu?" Kui Eng mengerutkan alisnya.
"Aku sendiri tidak ingin memiliki pusaka itu. Sejak kecil aku hidup dalam keluarga Ayah yang kaya raya sehingga aku tidak ingin lagi memperebutkan segala macam benda-benda berharga walaupun kini aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Akan tetapi, keluargaku sudah terbasmi, dan aku teringat akan pesan suhu tentang Giok-liong-kiam.
"Suhu yang menghanjurkan agar aku ikut memperebutkan pusaka itu karena siapa yang memiliki pusaka itu dapat dianggap sebagai orang yang paling lihai. Nah, karena itu akupun mulai melakukan penyelidikan dan mencari jejak Koan Jit. Siapa tahu, kiranya dia malah yang menawanku lebih dulu secara curang dan dia tahu bahwa akupun ingin merampas pusaka itu dari tangannya. Dan bagaimana denganmu, adik Hong? Sebagai murid San-tok, kiranya engkau pun tentu ada kepentingan dengan pusaka itu." Lian Hong menarik napas panjang.
"Semua orang di dunia persilatan agaknya memperebutkan pusaka itu dan terus terang saja, guruku juga menghendakinya. Akupun sedang mencari jejak Koan Jit, dan sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengannya. Ketika dia menawan, aku ragu-ragu tidak tahu siapa dia dan apa urusan antara dia dan engkau maka dia menawanmu. Karena ragu-ragu inilah maka aku tidak turun tangan di sini, melainkan membayanginya. Baru setelah aku mendengar ucapannya bahwa dia adalah Koan Jit dan bahwa dia hendak memaksamu, aku lalu turun tangan."
"Caramu menolongku cerdik bukan main, adik Hong. Tentu engkau yang mengeluarkan suara tantangan mirip suara pria itu, bukan?"
"Benar, aku melihat cara dia merobohkanmu dengan saputangan merah itu dan tahu bahwa dia berbahaya sekali. Maka aku lalu mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya. Begitu dia tertarik oleh suara tantanganku dan saking marahnya dia langsung keluar sehingga tidak melihat aku yang bersembunyi di luar ruangan bawah tanah itu, aku lalu membebaskanmu. Aku yakin, kalau kau bebas, kita berdua pasti akan mampu mengalahkannya."
"Pasti! Sayang dia licik sekali, menggunakan pakaian hitamnya dan kegelapan malam untuk menghilang ke dalam hutan. Kalau tidak, tentu aku berhasil meremukkan kepalanya, akan kuinjak-injak kepalanya sampai hancur berantakan!" Kui Eng mengepal tinju dengan hati panas sekali, teringat kembali akan penghinaan Koan Jit terhadap dirinya.
"Engkau harus berhati-hati terhadap lawan seperti itu, Enci. Enci Kui Eng, bagaimana engkau tahu bahwa aku lebih muda darimu? Begitu bicara, engkau menyebut adik kepadaku. Siapa tahu aku lebih tua."
"Aku dapat menduga bahwa engkau tentu lebih muda dariku. Berapa usiamu sekarang?"
"Aku sudah delapanbelas tahun."
"Dan aku sudah sembilanbelas. kau lihat, bukankah aku yang lebih tua?"
"Enci Kui Eng, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu dan mudah-mudahan kau dapat membantuku dalam hal ini."
"Ah, aku akan senang sekali kalau dapat membantumu, adik Hong. Tanyakanlah, apa yang ingin kau ketahui itu?"
"Alamat dua orang bekas pembantu Ayahmu. Gan Kin Bin dan Lok Hun." Wajah Kui Eng menyuram karena pertanyaan ini mengingatkan akan semua perbuatan Ayahnya yang jahat dan kotor.
"Hemm, dua ekor anjing penjilat itu sudah lama tidak lagi membantu Ayah. Mereka kini tinggal di Kanton dan kabarnya menjadi pengawal pembesar di sana."
"Terima kasih, besok aku akan mencari mereka di Kanton."
"Aku ikut, aku akan membantumu menghadapi dua ekor anjing penjilat itu, adik Hong." Akan tetapi Lian Hong menggeleng kepala.
"Ini adalah urusan pribadi, Enci, tidak usah engkau mencampuri." Ketika Kui Eng hendak membantah, Lian Hong membuka buntalan pakaiannya.
"Sudahlah, kau pakai pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang sudah hancur itu." Dan ia menyerahkan satu stel pakaian luar dalam kepada Kui Eng dan ia sendiri pergi mencari kayu dan daun untuk membuat api unggun karena selain malam agak dingin, juga ditempat itu terdapat banyak nyamuk. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling pandang di bawah sinar api unggun yang terang kemerahan. Melihat Kui Eng memakai pakaiannya, ada perasaan akrab dalam hati Lian Hong terhadap gadis itu, sebaliknya Kui Eng juga merasa akrab terhadap Lian Hong setelah mengenakan pakaian kawan baru itu. Mereka saling pandang sejenak, kemudian terdengar Lian Hong menarik napas panjang.
"Betapa anehnya hidup ini. Lihat diri kita berdua ini. Kita datang dari dua keluarga yang jauh berbeda..."
"Ya, aku dari keluarga kaya raya yang jahat, engkau dari keluarga miskin yang menjadi korban kejahatan keluargaku," sambung Kui Eng dengan suara penuh sesal.
"Sudahlah, Enci Eng. Luka tidak perlu digosok dan digosok lagi sampai berdarah kembali. Maksudku bukan demikian. Kita datang dari keluarga yang jauh berlainan, akan tetapi lihat. Kita berdua kehilangan keluarga, kehilangan segala-galanya, dan kini duduk menghadapi api unggun dalam keadaan yang sama. Tidak mempunyai apa-apa. Tidak mempunyai masa depan yang cerah. Belum tahu harus kemana dan bagaimana macamnya jalan hidup kita yang terbentang di depan."
"Ya... ya, kita berdua ini adalah korban-korban. Siapakah yang bersalah?"
"Siapa lagi kalau bukan candu? Ini kesalahan orang-orang kulit putih yang celaka itu! Merekalah yang memasukkan candu dan menyebar racun. Racun candu yang merusakkan rakyat pecandu secara lahir batin, racun korupsi di antara pejabat."
"Kukira tidak demikian. Andaikata orang kulit putih tidak memasukkan candu, akhirnya para pecandu akan mencari sendiri dengan segala caranya. Yang salah adalah pemerintah, yang lemah dan para pembesarnya hanya mementingkan diri sendiri saja, sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat." Kui Eng mengangguk-angguk.
"Akupun sudah mengambil keputusan untuk membantu para pendekar yang hendak mengusir pemerintah penjajah Mancu!"
"Ssttt, ucapan itu kalau terdengar pemerintah sama saja dengan keputusan mati untuk kita. Akan tetapi akupun diam-diam menaruh rasa kagum terhadap mereka dan kalau terdapat kesempatan, akupun tentu akan membantu." Malam itu mereka bercakap-cakap secara akrab dan karena mereka khawatir kalau-kalau Koan Jit datang lagi, mereka tidak berani tidur berdua. Mereka berjaga dengan bergilir, akan tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu.
Agaknya Koan Jit merasa tidak ada harapan lagi untuk mengalahkan dua orang gadis perkasa itu. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Lian Hong dan Kui Eng saling berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik sekali. Derap kaki dua ekor kuda besar yang berlari congklang itu, diseling suara ketawa seorang laki-laki dan wanita di atas kuda, memecah kesunyian lembah Sungai Mutiara itu. Mendengar suara ketawa tanpa melihat rupanya, orang hanya akan dapat membedakan antara suara pria dan wanita saja. Suara ketawa tidak memisahkan manusia di seluruh dunia ini, seperti bahasa. Bangsa apapun juga memiliki suara ketawa yang sama. Seperti juga tangis. Tawa dan tangis merupakan suara suci yang keluar dari hati, suara aseli bawaan manusia, tidak seperti bahasa yang muncul sebagai hasil buatan manusia.
Setelah melihat orang-orang yang menunggang kuda itu, barulah kita tahu bahwa mereka itu adalah dua orang kulit putih. Seorang pria dan seorang wanita. Dari pakaian mereka, dari warna kulit dan rambut dan mata, kemudian dari suara percakapan mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah dua orang Inggeris. Memang suatu hal yang amat mengherankan melihat mereka berada di luar kota, begitu jauh dari kota. Biasanya, orang-orang kulit putih hanya berani berkeliaran di dalam kota saja. Kalau mereka terpaksa memiliki urusan dan keperluan ke luar kota, mereka tentu pergi dengan pengawalan ketat. Akan tetapi dua orang ini menunggang kuda tanpa pengawal dan kelihatan mereka itu demikian gembira dan sama sekali tidak takut. Padahal, di waktu itu, banyak terdapat perkumpulan-perkumpulan ahli silat yang bersikap anti kulit putih.
Akan tetapi mereka berdua ini bukan orang-orang biasa. Perempuan kulit putih yang usianya sembilanbelas tahun itu adalah Diana, seorang keponakan terkasih dari Kapten Charles Elliot. Sebagai keponakan kapten yang mengepalai semua orang kulit putih di Kanton, yang dianggap sebagai anak sendiri, tentu saja Diana dihormati semua orang kulit putih. Dara ini pemberani, lincah jenaka, dan mengetahui banyak tentang pergolakan di tempat di mana ia bekerja sebagai sekretaris pamannya sendiri. Diana sangat cantik jelita, dengan rambut kuning keemasan, ikal mayang dan lebat sekali, seolah-olah kepalanya dihias benang-benang sutera kemerahan dan bentuk tubuhnya amatlah indah. Apa lagi karena pakaiannya ketat, bentuk tubuh itu menonjol sekali. Gaunnya panjang sampai ke mata kaki, dengan lengan gaun sampai di bawah siku.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan mata biru laut, bulu mata lentik panjang, alis yang agak kehitaman melengkung panjang, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum dengan bibir yang selalu merah basah dan kadang-kadang nampak kilatan gigi putih seperti mutiara berjajar. Perhiasan yang menempel di tubuhnya hanyalah gelang emas di kedua tangan dan sepasang anting-anting. Kedua kakinya memakai sepatu panjang sampai ke bawah lutut. Adapun pria yang menunggang kuda di sampingnya, juga bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang berpangkat letnan, namanya Peter Dull dan di kalangan pasukan Inggeris yang berada di Kanton, Peter Dull ini terkenal sebagai seorang jagoan dalam perang. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, masih bujangan, dan seorang ahli tinju,
Ahli tembak dan terkenal tampan dan dikagumi semua wanita, baik yang sudah bersuami ataupun belum, di kalangan orang kulit putih di kota itu. Letnan Peter Dull ini berwajah jagoan, dengan sepasang mata tajam, alis tebal, hidung mancung dan mulut yang seperti selalu tersenyum sinis. Dagunya terhias jenggot pendek terpelihara rapi. Rambutnya berwarna coklat, demikian pula jenggotnya. Dia memakai pakaian pasukan, dengan topi letnan, sepatunya juga tinggi sampai ke lutut, dan sehelai mantel merah yang lebar berkibar di belakang tubuhnya. Di pinggangnya tergantung sebuah pistol yang membuat dia nampak keren dan gagah sekali. Di pinggang kiri tergantung sebatang pedang. Letnan Peter Dull ini selain mahir menggunakan pistol, juga merupakan seorang ahli pedang yang kenamaan di dalam pasukannya.
"Heii, Diana! Sudah, sampai di sini saja. Kita harus kembali!" Terdengar letnan itu berteriak. Diana menoleh dan tertawa.
"Hi-hi, engkau takut berjumpa dengan gerombolan?" Seruan itu menyinggung harga diri letnan itu.
"Aku? Takut? Aku mengkhawatirkan kamu, Diana!" katanya dan diapun membalapkan kudanya. Mereka tertawa-tawa sambil membalapkan kuda dan akhirnya, di sebuah tikungan, mereka berpisah karena secara tiba-tiba Diana membelokkan kudanya ke kiri sedangkan kuda yang ditunggangi Peter Dull sudah mendahuluinya dan terus membalap ke depan. Letnan itu baru tahu kalau Diana membelokkan kudanya karena tidak lagi mendengar derap kaki kuda kawannya itu.
"Heiii! Diana, kau ke mana...?"
"Ha-ha, Peter. Sekarang engkau kalah. Kalau bisa, kejarlah aku!" terdengar teriakan Diana jauh di depan ketika Peter memutar kembali kudanya.
"Diana...!" teriaknya, akan tetapi Diana dan kudanya sudah lenyap tertutup debu dan ketika Peter mulai mengejar, gadis itu bahkan sudah jauh sekali dan tidak nampak lagi karena memasuki hutan kebat.
"Diana, tunggu..." Hati perwira itu mulai khawatir. Mengapa Diana mengambil jalan liar, memasuki hutan? Itu berbahaya sekali, dan ia mulai merasa menyesal mengapa tadi membiarkan saja gadis itu mengajaknya pergi sejauh ini. Dia tergila-gila kepada Diana, bukan hanya karena gadis itu memang cantik jelita dan menggairahkan, akan tetapi terutama sekali karena Diana jinak-jinak merpati. Nampaknya mudah didekati dan mudah ditundukkan, akan tetapi setelah dekat tinggal mengulur tangan, gadis itu selalu menghindar dan menjauh!
Padahal, wanita mana saja kalau dia menghendaki, akan menyambutnya dengan hati dan kedua lengan terbuka, bahkan dengan pakaian terbuka. Dia terkenal sebagai seorang penakluk wanita yang tidak bandingnya. Akan tetapi, betapapun dia telah berusaha, dia tidak berhasil menaklukkan Diana. Apa lagi menaklukkan, mencium satu kalipun dia tidak pernah berhasil! Dan seorang keponakan Kapten Charles Elliot, tentu saja tidak boleh dibuat main-main dan sama sekali tidak mungkin didapatkan melalui kekerasan! Pada pagi hari itu, seperti biasa Diana kelihatan begitu ramah dan baik, begitu akrab seolah-olah sudah siap untuk menerima cintanya. Karena itulah dia tidak membantah ketika Diana mengajaknya ke tempat sejauh itu, dengan harapan di tempat sunyi itu akhirnya Diana akan menyerahkan diri,
Setidaknya untuk dibelai dan diciuminya. Sudah terbayang dia tadi betapa akan nikmat dan senangnya kalau dia berhasil meraih gadis ini sebagai pacar barunya. Seorang gadis tulen, seorang perawan, ini dia yakin benar karena belum pernah Diana mempunyai seorang kawan pria yang akrab, seakrab dia. Akan tetapi, kembali Diana memperlihatkan watak berandalnya. Secara tiba-tiba saja kudanya dibelokkan ke dalam hutan lebat dan hal ini amat berbahaya sekali. Akan tetapi, kegagahannya ditantang dan dia tentu saja bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Celakanya, Diana adalah seorang gadis yang mahir sekali menunggang kuda, dan tadi ketika berangkat, dara itu sengaja meminjam kuda kesayangan pamannya sendiri.
Kuda hitam yang ditunggangi Diana dapat berlari cepat seperti setan, dan Diana juga seorang penunggang yang mahir, maka kini, setelah gadis itu membalap, dan sudah jauh lebih dulu meninggalkannya, Peter tidak dapat menyusul. Dapat dibayangkan betapa besar kegelisahan hati letnan yang gagah ini ketika dia tidak lagi melihat bayangan Diana dengan kudanya. Apa lagi ketika dia kehilangan jejak kaki kuda yang ditunggangi Diana karena kini tanah tertutup batu-batu yang tidak meninggalkan bekas jejak kaki yang dapat dilihat begitu saja. Terpaksa dia harus meloncat turun dari atas kudanya dan meneliti dari dekat. Setelah bertemu jejak kaki kuda, baru dia melanjutkan pengejaran dan pencariannya. Tentu saja hal ini memakan waktu.
Ketika ia tiba di tempat terbuka, di mana terdapat batu-batu besar dan pohon-pohon raksasa, kembali dia bingung dan terpaksa meloncat turun dari kuda. Pada saat itu dia merasa seperti dipandang orang dan cepat dia bangkit memutar tubuhnya. Benar saja, tidak jauh dari tempat dia berdiri, di atas sebuah batu gunung, berdiri seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya serba hitam, badannya tinggi kurus dan mukanya juga agak kehitaman, dengan sepasang mata mencorong kehijauan seperti mata kucing. Kepalanya ditutup topi batok, dengan kuncir rambut yang tebal panjang berjuntai ke depan dadanya. Laki-laki ini memandang dengan senyum sinis penuh ejekan. Melihat laki-laki ini, Letnan Peter Dull yang sudah pandai bicara dengan bahasa daerah, segera bertanya,
"Hei, apa kamu melihat seorang nona menunggang kuda lewat di sini?" Semenjak kunjungannya pertama kali di negara yang penduduknya bukan kulit putih, orang kulit putih selalu memandang rendah kepada pribumi yang dianggap sebagai bangsa yang masih terbelakang, bodoh dan rendah derajatnya. Oleh karena itu, sikap seorang kulit putih terhadap kulit berwarna memang selalu angkuh dan tinggi hati. Apa lagi seorang perwira seperti Letnan Peter Dull ini, sikapnya terhadap pribumi memang congkak, terutama semenjak pecahnya Perang Madat. Laki-laki yang nampaknya hanya seorang petani atau seorang penghuni gunung biasa itu, masih memandang dengan senyum sinis, dan mata yang mencorong hijau itu makin berkilat ketika mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, menjawab dengan pertanyaan.
"Kalau aku melihatnya bagaimana, kalau tidak bagaimana?" Peter mengerutkan alisnya dengan marah. Jawaban seperti ini sungguh sama sekali tak pernah disangkanya. Orang ini terlalu kurang ajar, pikirnya. Akan tetapi karena dia membutuhkan keterangannya tentang diri Diana, dia menahan sabar dan maju menghampiri batu gunung itu, meninggalkan kudanya yang asyik makan rumput.
"Kalau engkau melihatnya, katakan padaku ke arah mana ia pergi dan bagaimana keadaannya tadi. Kalau engkau tidak melihatnya, pergilah ke neraka!" Tiba-tiba orang itu tertawa dan tubuhnya melompat turun dari atas batu itu, berdiri di depan Peter dalam jarak hanya dua meter saja. Sepasang matanya mencorong hijau dan dia menjawab dengan suara lantang,
"Kalau aku melihatnya, aku tidak akan memberi tahu kepadamu, kalau aku tidak melihatnya, engkau lah yang pergi ke neraka!"
"Bngsat kurang ajar, kamu bosan hidup, ya?" Dan saking kesal dan marahnya, Peter lalu menerjang ke depan dengan kedua tangan terkepal. Sudah beberapa lama letnan ini menghimpun pribumi yang dianggap kuat, untuk bersekutu dengan pasukannya dan terhadap para pembantunya yang rata-rata ahli ilmu silat itupun dia bersikap tegas dan selalu dipatuhi. Maka kini melihat sikap orang yang dipandang rendah begini angkuh terhadap dirinya, Peter kehilangan kesabaran. Begitu dia menerjang maju, kedua kepalannya sudah diayun dengan tenaga sepenuhnya, dari kiri kanan menyambar ke arah dagu dan dada orang berpakaian hitam itu. Pukulan kombinasi ini amat cepat dan biasanya, jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri. Kecepatan dan kekuatannya sudah terkenal sehingga di dalam pasukannya dia dijuluki "The Iron Fist" (Si Kepalan Besi)!
"Wuuutt... wuuuuttt...!" Peter terkejut. Pukulannya sama sekali tidak mengenai sasaran! Padahal, orang di depannya itu tidak meloncat terlalu jauh, hanya menggerakkan sedikit saja tubuhnya dan dua pukulannya yang diayun dari belakang kanan kiri itu mengenai tempat kosong! Akan tetapi dia menerjang terus, kedua kepalan tangannya menyambar-nyambar dengan berbagai bentuk serangan, dari samping, langsung dari depan, dari bawah menghantam dagu. Sampai belasan kali pukulannya mengenai tempat kosong, dan ketika tangan kanannya mengirim sebuah pukulan langsung, orang
berpakaian hitam itu menggerakkan lengan kirinya menangkis. Tangkisan pertama sejak Peter menghujankan pukulan tadi. Dengan tangan kiri yang dimiringkan, orang itu menangkis dan tepat mengenai pergelangan tangan kanan Peter.
"Dukkk...!" Peter terhoyong ke belakang dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan teriakannya. Lengan kanannya yang tertangkis itu tergetar hebat dan tulang lengan yang tertangkis tangan miring itu seperti ditangkis dengan linggis besi saja rasanya.
Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang sumsum. Dia merasa heran dan penasaran sekali. Semua pembantunya, orang-orang pribumi yang katanya pandai silat, sudah dicobanya. Memang di antara mereka ada yang cekatan, akan tetapi tidak begitu hebat dan belum pernah ada yang mampu menangkis pukulannya seperti orang ini, sekali tangkis membuat ia hampir menjerit kesakitan! Dia tidak tahu bahwa orang-orang yang ditarik menjadi sekutunya itu hanyalah ahli-ahli silat kampungan saja yang menjual kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mencari uang mudah. Dan dia tidak tahu sama sekali bahwa kini dia berhadapan dengan seorang ahli dalam arti kata yang paling dalam. Seorang ahli silat kelas satu!
"Keparat kamu!" bentaknya dan diapun menerjang lagi dengan mata mendelik. Akan tetapi orang itu agaknya memang hendak mempermainkannya.
Tubrukan dengan pukulan-pukulan ganda itu dielakkan secara tiba-tiba setelah kepalan tangan Peter hampir menyentuh dada. Hal ini membuat tubuh Peter terdorong ke depan dan tiba-tiba saja, belakang lutut Peter didorong ujung sepatu orang itu dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuh Peter terdorong dan dia jatuh berlutut! Baru sekarang Peter menduga bahwa orang ini tidak dapat dipersamakan dengan orang-orang yang telah menjadi sekutunya. Orang ini agaknya memiliki ilmu silat yang hebat. Pernah dia mendengar akan pendekar-pendekar yang katanya sedemikian tinggi ilmu silatnya sehingga seperti iblis saja, bahkan ada kabar desas-desus tentang adanya pendekar-pendekar yang mampu mengelak dari sambaran peluru pistol atau bedil.
Tentu saja dia tidak percaya dan menganggap semua itu kabar bohong dan nonsens belaka. Kini, melihat betapa serangan-serangan tangan kosongnya tidak mampu menandingi kegesitan lawan ini, tiba-tiba dia mencabut pedangnya! Dia melihat reaksi orang itu. Akan tetapi sungguh luar biasa. Orang itu tidak nampak takut, bahkan berdiri tegak dan bertolak pinggang, seolah-olah menanti datangnya serangan pedang dari Peter! Peter berhati-hati. Diapun bukan orang bodoh. Sama sekali bukan. Peter seorang yang amat cerdik, dan kecerdikkannya itulah yang membuat dia mengumpulkan ahli-ahli silat untuk membantunya. Kini dia mulai tertarik. Dia akan menguji orang ini. Siapa tahu orang ini benar-benar pandai dan kalau ada orang yang dengan tangan kosong mampu mengalahkan dia dan pedangnya, orang itu berharga dan berguna sekali!
"Kamu berani melawan pedangku? Nah, terimalah ini!" bentaknya dan Peter mulai menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan dia memegang pedang dengan tangan kanannya yang di julurkan ke depan sehingga pedang itu disambung lengan menjadi panjang. Tubuhnya membuat gerakan-gerakan cepat ke depan, tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala untuk keseimbangan, dan pedang di tangannya itu mengeluarkan bunyi berdesing saking cepat dan kuatnya dia menggerakkan pedang itu. Pedang membuat gerakan menusuk ke arah leher lawan berbaju hitam. Ketika orang itu mengelak sambil menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan pedang itu meluncur lewat,
Tiba-tiba Peter menggerakkan pergelangan tangannya dan pedang itu menyambar dari samping dengan amat cepat, kini menyambar ke arah leher juga. Akan tetapi, gerak cepat Peter masih kalah oleh kecepatan orang itu karena kembali bacokan ke arah leher itu luput! Demikian cepatnya orang itu bergerak sehingga Peter tidak tahu bagaimana cara orang itu mengelak, tahu-tahu orang itu sudah tidak lagi berada di tempat sasaran dan serangannya luput! Tidak kurang dari dua puluh kali serangan dilakukan oleh Peter, namun semua serangan itu dapat dielakkan secara mudah saja oleh orang berpakaian hitam itu. Kemudian, ketika Peter melanjutkan serangannya, dengan kaget dan heran dia melihat betapa orang itu tidak mengelak lagi melainkan menangkis pedangnya dengan kedua tangan yang bergerak cepat.
"Tak-tak-tinggg...!" Bukan main kagetnya hati Peter, kedua tangan telanjang orang itu mampu menangkis pedangnya seperti sepasang tangan baja saja!
Bukan saja tidak terluka sama sekali, bahkan ketika kedua tangan menangkis pedang, dia merasa lengannya tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terpental lepas. Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga kagum bukan main. Jelas bahwa dalam hal pukulan tangan kosong, dia kalah jauh oleh orang ini dan sekarang, mungkinkah pedangnya dikalahkan oleh dua tangan kosong saja? Dia menyerang lagi dan tiba-tiba saja, entah dengan gerakan bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangannya disentuh jari orang itu dan tanpa dapat dielakkannya lagi karena tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh, pedang itu telah berpindah tangan! Orang berpakaian hitam itu mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu kedua tangannya menekuk pedang itu!
"Krekkk!" Pedang itu patah menjadi tiga potong lalu dibuang dengan sikap mengejek ke atas tanah. Melihat ini, wajah Peter berobah. Bukan main orang ini, pikirnya. Selain kagum, dia juga merasa marah dan terhina. Dengan cekatan, dia lalu lari ke arah kudanya dan sekali meloncat, dia telah berada di punggung kuda dan tangan kanannya sudah mencabut pistolnya.
Dia adalah seorang ahli tembak dari atas kuda. Dia merasa lebih yakin dan tenang kalau memainkan pistol dari atas kuda, dari pada di atas tanah. Kini dia mengambil keputusan untuk memilih satu antara dua. Membunuh orang ini karena berbahaya, atau mengujinya dan kalau mungkin menariknya menjadi pembantu. Akan tetapi, karena pedangnya dipatahkan, dia akan menguji sampai akhir, yaitu kini hendak mengujinya dengan menggunakan pistol. Ingin dia melihat apakah orang ini benar-benar mampu menghindarkan diri dari bidikan pistolnya, seperti yang dikabarkan sebagai dongeng tentang para pendekar sakti. Dia mengangkat pistol, membidik ke arah orang itu, siap menembakkan pistolnya. Akan tetapi, begitu pistolnya meledak, orang itu lenyap.
Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di atas sebuah batu besar! Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang di atas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Peter terbelalak. Benar saja orang ini mampu mengelak dari serangan pistolnya. Sampai dua kali tembakannya, yang dibidikkan dengan cermat tadi, sama sekali tidak mengenai sasarannya. Orang seperti ini amatlah berguna baginya, dan sayang kalau dibunuh. Lebih baik ditarik menjadi kawan dari pada menjadi lawan, dan kalau orang ini menolaknya, masih belum terlambat baginya untuk membunuhnya dengan peluru-peluru pistolnya yang masih siap di dalam senjata api itu.
"Tahan...!" Teriaknya dan dari atas kudanya dia menghadapi orang berpakaian serba hitam itu, pistolnya tidak lagi dibidikkan, melainkan dipegang dengan laras menunduk. Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang di atas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Orang berpakaian hitam itu tersenyum sinis,
"Hemm, hanya begitu saja lihainya senjata apimu?" Ejekan ini tidak memarahkan Peter karena dia mempunyai tujuan lain dengan orang ini.
"Nanti dulu, aku ingin berdamai dan bicara denganmu. Aku adalah Letnan Peter Dull, amat terkenal dalam pasukan kami. Siapakah namamu?" Dengan suara dingin orang itu menjawab,
"Namaku Koan Jit, akan tetapi orang lebih mengenalku dengan sebutan Hek-eng-mo!"
"Hek-eng-mo (Bayangan Iblis Hitam)? Sungguh sebutan yang hebat dan cocok sekali. Kami amat membutuhkan orang-orang seperti kamu ini, Koan Jit. Kalau kamu suka ikut dengan kami, suka membantu kami untuk menghadapi para perusuh dan penjahat, kamu akan diberi pangkat, memimpin para jagoan yang membantu kami, dan kamu akan diberi hadiah besar, tempat tinggal yang mewah, dan kamu akan menjadi kaya raya dan terpandang. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira dari pasukan yang telah mengalahkan pasukan-pasukan pemerintah, kami adalah pasukan pemenang, maka tidak keliru kalau seorang dengan kepandaian seperti kamu ini menjadi pembantu kami."
Koan Jit mendengarkan ucapan ini dan menundukkan muka dengan alis berkerut. Otaknya bekerja dengan cepat dan cermat. Seperti kita ketahui, Koan Jit gagal membujuk atau memaksa Kui Eng menjadi sekutunya, bahkan dia hampir celaka karena dihadapi Kui Eng yang dibantu Lian Hong, dua orang gadis yang kalau bergabung menjadi satu dapat merupakan lawan yang amat berbahaya baginya. Koan Jit bukan termasuk orang yang suka dengan orang kulit putih. Walaupun dia tidak berjiwa patriot, bahkan tidak perduli akan semua urusan pemerintah atau orang lain, yang dipikirkan hanyalah kepentingan dia sendiri saja.
Kini dia menghadapi penawaran yang dianggapnya menarik dari seorang Letnan pasukan kulit putih. Dia mempertimbangkan untung ruginya. Tentu saja dia tidak begitu tertarik tentang harta karena kalau dia mau apa sukarnya mencari harta? Tinggal memasuki rumah orang-orang kaya dan mengambil sesuka hatinya! Tidak, dia tidak tertarik oleh harta. Akan tetapi, kini setelah dia menjadi pemilik Giok-liongkiam, semua orang kang-ouw mencarinya dan dia seolah-olah menjadi buruan orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Hal ini amatlah berbahaya. Baru mengingat bahwa gurunya dan dua orang sutenya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula itu tentu mencarinya, sudah membuat dia merasa jerih. Apa lagi diingat bahwa tiga orang dari Empat Racun Dunia, yaitu Tee-tok, San-tok dan Hai-tok bersama murid-murid merekapun mencarinya, dan mereka amat lihai.
Belum lagi orang-orang Siauw-lim-pai yang ingin mencuci bersih nama baik Siauw-bin-hud yang dicemarkan oleh perbuatan Thian-tok. Pendeknya, sebagai pemilik Giok-liong-kiam, hidupnya tidak aman lagi. Dan kini terbukalah kesempatan yang amat baik baginya untuk dapat hidup aman. Kalau dia menjadi pembantu pasukan kulit putih, tentu saja dia hidup aman, hidup terhormat dan menduduki pangkat dan yang terpenting baginya, untuk sementara selagi urusan Giok-liong-kiam masih sedang hangat-hangatnya, dia dapat berlindung pada kekuatan pasukan kulit putih yang menjadi sekutunya. Koan Jit kini mengangkat mukanya memandang dan Peter merasa betapa tengkuknya menjadi dingin. Orang ini memiliki sinar mata yang mencorong seperti iblis, pikirnya.
"Baik, aku suka menerima usulmu. Akan tetapi agar kau ketahui sebelumnya bahwa aku tidak suka menjadi anak buah yang hanya melakukan perintah, aku ingin menjadi pemimpin!" Peter Dull tertawa.
"Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Engkau ingin bebas dan mengepalai pasukan, bukankah demikian? Jangan khawatir. Engkau menjadi pembantuku yang utama, Koan Jit. Hanya aku yang akan memberi perintah kepadamu. Akan tetapi engkau akan kuangkat menjadi komandan pasukan yang terdiri dari jagoan-jagoan yang sudah berhasil kami kumpulkan. Jumlah mereka hampir seratus orang. Nah, engkau menjadi pemimpin mereka, menjadi komandan yang membantu tugas-tugasku menjaga keamanan. Bagaimana?" Koan Jit mengangguk dan diam-diam Peter Dull merasa girang bukan main. Tak disangkanya dia menemukan seorang pembantu yang demikian lihai. Makin kuat sajalah kedudukannya, dengan seorang pembantu seperti Hek-eng-mo Koan Jit ini! Akan tetapi kegirangannya segera lenyap ketika ia teringat kembali kepada Diana. Begitu teringat, dia terkejut sekali dan wajahnya berobah agak pucat.
"Celaka! Di mana Diana...??" Dia memandang wajah Koan Jit.
"Koan Jit, katakan di mana gadis itu?"
"Gadis yang mana?"
"Apakah engkau tidak melihat seorang gadis berambut pirang naik kuda membalap lewat sini?" Koan Jit menggeleng kepalanya.
"Aku baru saja datang dan melihatmu, tidak melihat adanya gadis menunggang kuda. Siapakah gadis itu?"
🖐
"Gadis itu adalah Diana, puteri komandanku, komandan kita! Hayo kau bantu aku mencarinya, Koan Jit!" Peter lalu membedal kudanya, dan kembali dia kagum bukan main melihat bayangan hitam berkelebat dan ternyata Koan Jit bukan hanya dapat mengimbangi kecepatan kudanya, bahkan dapat mendahuluinya!
Bahkan pembantu barunya itu memberi isyarat agar dia mengikutinya. Agaknya sambil berlari, Koan Jit dapat menemukan dan mengikuti jejak kaki kuda yang membawa Diana. Mereka memasuki sebuah hutan besar dan makin lama hutan itu semakin lebat sehingga diam-diam Peter merasa khawatir dan juga jerih. Bagaimanapun juga, dia belum yakin benar akan kesetiaan orang yang baru saja diangkat menjadi pembantunya itu. Maka, diam-diam diapun selalu mempersiapkan pistolnya. Tiba-tiba Koan Jit memberi isyarat agar Peter berhenti. Dari depan terdengar bunyi derap kaki kuda. Hati Peter berdebar tegang dan girang, mengharapkan bahwa itulah kuda bersama Diana yang datang kembali. Tak lama kemudian muncullah kuda hitam besar itu... tanpa Diana!
"Itu kudanya! Tapi di mana Diana...?" teriaknya penuh kegelisahan. Koan Jit sudah menangkap kembali kuda itu yang terseret dan kuda itupun berhenti, terengah-engah dan mendengus-dengus seperti yang merasa ketakutan.
"Celaka..., tentu terjadi sesuatu dengan Diana!" Koan Jit mengerutkan alisnya dan mengamati kuda hitam itu.
"Kuda ini ketakutan, dan biasanya kuda sebesar ini hanya takut kepada sebangsa harimau yang berkeliaran di tempat ini. Tentu ia ketakutan bertemu dengan seekor harimau kumbang."
"Apa...? Dan Diana...? Celaka, ia tentu menjadi mangsa harimau kumbang!" Koan Jit menggeleng kepalanya.
"Apakah gadis itu pandai menunggang kuda?"
"Ia seorang ahli. Aku sendiri belum tentu menang."
"Kalau begitu, ia tidak akan jatuh dari atas pelana kuda kalau kuda ini hanya ketakutan saja. Di atas punggung kuda tidak terdapat tanda-tanda bercak darah, jadi gadis itu tidak diterkam harimau ketika ia menunggang kuda ini. Mungkin kuda ini meronta dan bisa jadi gadis itu terjatuh dan ditinggalkan kuda yang ketakutan. Mari kita cari," kata Koan Jit yang meloncat ke atas kuda hitam yang kini sudah dapat dijinakkan kembali.
Peter Dull merasa kagum dan girang. Kiranya pembantu ini memang orang yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik sekali dan memang dapat berdikari, dapat bekerja sendiri tanpa menanti perintah. Buktinya, dalam hal mencari jejak Diana, orang ini segera telah mengambil alih pimpinan dan dia sendiri malah menjadi pengikut! Mereka terus menyusup ke dalam hutan dan kembali Koan Jit berhenti, bahkan meloncat turun dari kudanya. Peter juga ikut meloncat turun dan menghampiri Koan Jit yang sudah berlutut di dekat seekor harimau kumbang besar yang sudah mati. Bangkai itu menggeletak dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah dan agaknya belum lama sekali binatang itu mati karena darah itu belum kering benar.
"Aduh celaka! Agaknya benar ada harimau kumbang. Tentu Diana telah tewas diterkamnya!" Peter berseru dengan muka berubah pucat. Akan tetapi kembali Koan Jit menggeleng kepalanya. Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat, mengamati keadaan bangkai harimau dan keadaan sekeliling.
"Ia tidak diterkam harimau ini. Lihat, pada taring dan kuku harimau ini tidak terdapat darah atau robekan kulit daging. Hal ini berarti bahwa harimau ini tidak sempat menerkam orang, dan darah ini hanya darahnya sendiri yang keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya. Dan di sekitar tempat inipun tidak nampak tanda darah. Nona Diana itu tidak diterkam harimau di tempat ini."
"Kalau begitu, ke mana ia pergi? Dan harimau ini... bagaimana bisa mati di tempat ini?" Peter sudah tidak malu-malu lagi untuk menyerahkan penyelidikan tentang Diana kepada pembantunya yang baru ini karena dia benar-benar gelisah dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Harimau ini tewas karena pukulan tangan kosong. Mati tanpa luka di luar tubuhnya, berarti bahwa binatang ini tewas di tangan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan besar kemungkinan nona Diana dibawa pergi oleh orang yang membunuh harimau itu."
"Ke mana?" tanya Peter terkejut.
"Harus kita selidiki lebih dulu. Jejak seorang berilmu tidak mudah diikuti, karena langkah-langkahnya tidak menimbulkan bekas. Kita harus teliti dan sabar mencari dan mengikuti sampai kita dapat menemukan mereka." Akan tetapi hati Peter sudah terlampau gelisah. Kalau orang yang membawa pergi Diana itu dapat membunuh seekor harimau kumbang besar dengan pukulan tangan, betapa berbahayanya orang itu! Mencari orang itu hanya berdua dengan Koan Jit, selain amat berbahaya, juga akan sedikit kemungkinannya berhasil.
"Tidak, kita harus kembali ke Kanton. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencarinya." Koan Jit tersenyum dingin. Tentu saja urusan hilangnya seorang gadis kulit putih tidak ada hubungannya dengan dia dan dianggap urusan kecil saja.
"Kalau begitu, mereka sudah akan pergi jauh."
"Dengan pasukan, aku akan dapat menyusul dan menemukan Diana, di manapun juga ia berada dan aku akan menghukum orang itu!" bantah Peter, "Sekarang mari kita kembali ke Kanton agar dapat cepat mempersiapkan pasukan dan melapor kepada Kapten Charles Elliot paman gadis itu." Koan Jit mengangkat kedua pundaknya dan diapun mengikuti letnan itu meloncat kembali ke atas punggung kuda dan merekapun membalapkan kuda mereka keluar dari hutan itu, kembali ke Kanton. Ke manakah perginya Diana? Apa yang telah terjadi dengan gadis kulit putih berambut pirang yang cantik jelita itu? Dugaan-dugaan yang dilakukan Koan Jit memang tepat sekali. Ketika Diana diajak melancong oleh Peter Dull pada hari yang cerah itu, ia tidak dapat menolak.
Sudah terlampau sering ia menolak ajakan Peter. Ia tidak suka berkencan dengan Peter yang terkenal sebagai penggoda dan perayu wanita itu. Ia tentu saja kenal baik dengan Peter yang menjadi tangan kanan pamannya, yaitu Kapten Charles Elliot. Dan agaknya pamannya juga condong menyetujui kalau sampai ia menerima uluran tangan Peter Dull yang masih bujangan, dan ahliwaris keluarga yang kaya raya di India itu. Akan tetapi, Diana tidak suka melihat sikap Peter yang demikian sombong, yang seolah-olah memandang rendah dan meremehkan kau m wanita yang dianggap barang permainan belaka yang boleh dibuang dan diganti dengan yang baru setiap waktu dia sudah merasa bosan. Ia sudah mendengar betapa banyaknya wanita yang bertekuk lutut, kemudian disia-siakan oleh Peter, menderita patah hati dan aib.
Pagi yang cerah itu Diana merasa gembira sekali, maka ketika Peter menajaknya berkuda dengan janji akan menunjukkan tempat-tempat yang amat indah di luar kota Kanton, iapun setuju. Dengan berkuda, Diana merasa aman. Sejak kecil ia suka naik kuda dan apa yang akan dapat dilakukan Peter terhadap dirinya kalau ia berada di atas kuda? Bukan berarti bahwa ia takut terhadap Peter. Peter tidak akan mampu mengganggunya, karena Peter tentu takut kepada pamannya, Kapten Charles Elliot. Akan tetapi, ia melihat betapa Peter memang amat pandai merayu, pandai membujuk sehingga kadang-kadang Diana merasa khawatir kalau-kalau ia sendiri akan terpeleset. Ia merasa ngeri membayangkan hal ini terjadi pada dirinya. Ketika mereka memasuki hutan, Diana sebenarnya sudah muak karena di sepanjang perjalanan,
Seperti biasa Peter mulai lagi dengan rayuan-rayuan mautnya, memuji-mujinya setinggi langit, menyatakan betapa ia menderita penyakit rindu terhadap dirinya yang amat hebat dan yang mungkin akan mendatangkan maut kepadanya. Lalu membayangkan betapa akan bahagianya kalau mereka dapat menjadi satu, menggambarkan keadaan yang indah-indah dan muluk-muluk. Diana merasa muak mendengarkan ini semua, maka iapun mengajak berlumba untuk menghentikan bujuk rayu itu. Bahkan, mengandalkan kepandaiannya menunggang kuda, ia sengaja menyimpang dari perjalanan, membelok dengan tiba-tiba dan meninggalkan Peter. Akan tetapi, ketika kudanya sudah jauh meninggalkan Peter dan memasuki hutan, tiba-tiba kuda hitamnya itu meringkik keras, lalu kabur!
Ia terkejut dan berusaha untuk menguasai kuda hitamnya, namun binatang yang nampak ketakutan itu membedal terus seperti gila! Terpaksa Diana hanya mendekam di atas kudanya, menjepit perut kuda sehingga ia tidak sampai terlempar dari atas pelana. Akan tetapi, kuda itu memasuki bagian yang penuh belukar, sehingga tubuh Diana dicambuki ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan menjalar yang malang-melintang ketika kuda itu menerjang tempat itu. Diana menjerit-jerit kecil ketika gaunnya tersangkut dan terobek, bahkan kulitnya mulai lecet-lecet terkait duri. Kuda itu berlari terus, masih ketakutan seperti dikejar setan, keluar dari hutan lebat itu dan memasuki daerah yang penuh batu-batu sebesar bukit kecil dan pohon-pohon raksasa.
JILID 19
Dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan kuda itu kembali meringkik, tubuhnya gemetar dan Diana juga mengeluarkan pekik tertahan karena di depan mereka telah berdiri seekor harimau hitam yang matanya mencorong hijau menyeramkan! Harimau kumbang itu besar sekali dan mengeluarkan gerengan-gerengan sambil memperlihatkan taring-taringnya yang runcing. Diana hampir pingsan saking takut dan kagetnya dan pada saat itu, kuda hitam melakukan gerakan mengangkat kedua kaki depannya ke atas, lalu meloncat ke samping dan melarikan diri, meninggalkan Diana yang terbanting jatuh. Kalau saja Diana dalam keadaan biasa, gadis yang ahli menunggang kuda ini tentu tidak akan terlempar dari pelana.
Akan tetapi pada saat itu, melihat seekor harimau besar menghadang, ia sudah terkejut ketakutan dan hampir pingsan, dan dalam keadaan lemas itu, kuda hitam mengangkat kaki depan ke atas lalu meloncat ke samping. Tentu saja Diana tidak lagi mampu mempertahankan dirinya dan ia terlempar jatuh. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati gadis itu melihat kudanya melarikan diri dan kini ia terbelalak memandang ke arah harimau kumbang yang masih berdiri memandang dengan matanya yang hijau mencorong itu. Anehnya ketika Diana bangkit berlutut, harimau itu lalu mendekam pula dan sama sekali tidak bergerak ketika Diana merangkak menjauhi harimau itu sambil menengok. Kaki tangan yang dipakai merangkak itu menggigil dan beberapa kali Diana terpeleset jatuh. Kemudian ia bangkit berdiri dan tiba-tiba harimau itu menggereng.
Tadi, ketika Diana merangkak, harimau itu hanya memandang, agaknya merasa lucu melihat mahluk yang merangkak demikian lambannya, akan tetapi ketika Diana bangkit harimau itu agaknya maklum bahwa calon mangsanya akan melarikan diri. Diapun bangkit dan mengambil sikap siap menubruk. Diana merasa seolah-olah kedua kakinya lumpuh. Ia tidak mampu lagi melangkah, saking takutnya. Bibirnya gemetar tidak mampu mengeluarkan suara dan sepasang matanya terbelalak, seperti terpesona oleh sihir yang keluar dari pandang mata harimau itu. Harimau itu kembali menggereng, kini gerengannya kuat sekali dan tiba-tiba tubuhnya meloncat tinggi dengan keempat kakinya membentuk cakar siap mencengkeram mangsanya. Diana masih terbelalak dan ia hanya dapat pasrah menanti kematian yang mengerikan, maka ia segera memejamkan matanya.
Akan tetapi, ia tidak merasakan tubuhnya diterkam, bahkan mendengar harimau itu mengeluarkan gerengan lagi. Cepat ia membuka mata dan kembali matanya terbelalak. Hampir ia tidak dapat percaya akan pandang matanya sendiri karena yang terjadi di depannya itu sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Kiranya ketika harimau kumbang itu menubruk, tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis manis berpakaian sederhana menghadang terkaman harimau. Ketika tubuh harimau itu datang menerkam dengan dahsyatnya, gadis itu cepat menangkap kaki depan harimau, lalu menggeser kaki kanan ke belakang, tubuhnya direndahkan dan dengan meminjam tenaga terkaman itu, ia membanting tubuh harimau itu ke kanan.
"Brukkk...!" Dengan kepala lebih dulu, tubuh harimau itu menghantam batang pohon! Harimau itu tentu saja memiliki tubuh yang kuat sekali. Biarpun agaknya pening, ia sudah menggereng dan hendak membalik untuk menyerang orang yang menyakitinya. Akan tetapi, gadis itu sekali loncat sudah berada di belakang, dan mengayun kedua tangannya.
"Hyaaaaattt!! Hyaaaattt!!" Dua kali sepasang tangan kecil itu menyambar, yang kanan lebih dulu disusul yang kiri. Dua kali hamtaman dengan telapak tangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu tepat mengenai kepala di belakang telinga kiri kanan harimau itu. Kiranya ketika harimau kumbang itu menubruk, tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis manis berpakaian sederhana menghadang terkaman harimau.
"Tukkk! Tukkk!!" Menerima pukulan yang amat dahsyat ini, harimau itu terkulai, keempat kakinya berkelojotan, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah, dan tak lama kemudian binatang itupun mati. Dengan sepasang mata masih terbelalak Diana memandang ke arah gadis itu, kemudian ke arah harimau, lalu ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, memandang lagi. Sukar dipercaya! Memang, ia sudah mendengar banyak dongeng dari mulut para pelayan tentang para pendekar yang amat gagah perkasa, bahkan pernah nonton wayang dengan cerita Bu Siong Phak Houw (Pendekar Bu Siong Membunuh Harimau) di mana diceritakan betapa pendekar itu membunuh seekor harimau hanya dengan pukulan tangan saja. Akan tetapi seorang wanita? Seorang gadis yang kelihatannya begitu muda?
"Ya Tuhan...!" Berkali-kali bibirnya bergerak dan akhirnya terdengar keluhan ini.
Gadis itupun memandang kepadanya dengan takjub. Agaknya gadis itu kagum melihat matanya kebiruan, warna rambutnya yang kuning emas, tubuhnya yang tinggi semampai dengan tonjolan-tonjolan yang demikian matang. Apa lagi kini gaun yang menutup tubuh Diana sudah tidak utuh lagi, sudah cabik-cabik tidak keruan sehingga sebagian paha kanan dan perutnya nampak, kulitnya putih mulus kemerahan. Gadis itu lalu melangkah maju menghampiri, agaknya bimbang dan tidak tahu harus bicara apa karena ia tahu bahwa gadis berambut pirang ini tentu seorang wanita kulit putih, seorang asing yang belum tentu dapat mengerti kalau diajaknya bicara. Akan tetapi Diana sudah mempelajari bahasa daerah, walaupun hanya sedikit-sedikit karena ia datang ke Kanton sesudah dewasa dan hanya beberapa bulan saja mempelajari bahasa itu.
"Terima kasih... terima kasih..." kata Diana mendahului dan ia mengulurkan tangan kepada gadis itu. Gadis itu menjura dan mengangkat tangannya ke depan dada, sama sekali tidak menyambut uluran tangan Diana karena agaknya ia tidak mengerti bahwa uluran tangan itu mengajak bersalaman. Sambil menjura gadis itu menjawab.
"Tidak perlu sungkan. Siapapun melihat engkau terancam bahaya, tentu akan turun tangan menolongmu." Diana teringat bahwa orang-orang pribumi saling menyalam dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, bukan berjabat tangan, maka iapun cepat menjura.
"Terima kasih, kau ... kau baik sekali... kau kuat hemm... lihai!" Gadis itu tersenyum manis. Seorang gadis yang manis, bermata lebar dan biarpun pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, nampak jelas bentuk tubuhnya yang ramping dan berisi.
"Kita harus cepat pergi dari sini, jangan sampai teman-temannya datang, bisa berbahaya. kau datang dari mana?" Karena gadis itu bicara cepat, agak sukar Diana menangkapnya. Ia menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu... Kudaku kabur." Gadis itu maklum bahwa gadis asing ini tak tahu jalan pulang. Paling penting menyelamatkannya dan pergi dari tempat berbahaya ini, pikirnya. Kalau sampai ada rombongan harimau kumbang datang, lebih dari dua ekor saja ia sudah akan payah menghadapi keroyokan mereka.
"Mari, kita pergi. Di sana ada dusun," ajaknya sambil menunjuk ke arah belakang. Diana mengangguk, lalu ia mengikuti gadis itu. Melihat betapa Diana nampak kepayahan, juga kulit tubuhnya lecet-lecet, gadis itu memandang dan merasa kasihan.
"Mari, ikut dengan aku!" Ia lalu menggandeng tangan Diana dan setengah menarik gadis berambut pirang itu, diajaknya lari menyusup-nyusup dengan cepat.
"Siapa namamu?" Diana bertanya sambil ikut berlari-lari kecil di samping penolongnya. Tanpa berhenti berlari, gadis itu menjawab,
"Namaku Siauw Lian Hong, dan kau siapa?" Tentu saja nama itu tidak ada artinya bagi Diana. Ia tidak tahu bahwa nama ini adalah nama seorang gadis perkasa, murid seorang sakti, datuk persilatan terkenal yang lebih mengerikan dengan julukan San-tok, Racun Gunung, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti kita ketahui, Lian Hong telah berpisah dari Kui Eng dan kini ia dalam perjalanan hendak melaporkan kepada gurunya tentang Koan Jit yang dijumpainya. Ketika ia melewati hutan itu dan mendengar suara harimau kumbang menggereng, ia terkejut. Gadis ini sudah banyak merantau dan mengenal keadaan binatang buas di hutan-hutan. Gerengan harimau kumbang itu memberi tahu kepadanya bahwa ada orang yang terancam oleh harimau yang lapar itu. Dan iapun berlari cepat dan pada waktu yang tepat berhasil menyelamatkan Diana!
"Namaku Diana... Diana Mitchell..." Nama terakhir itu terlalu sukar bagi lidah Lian Hong. Baru diucapkan saja sudah tidak mampu menirukan. Yang teringat hanya Diana saja, karena nama ini mudah diingat, mudah pula diucapkan.
"Diana, kau cantik sekali. Mata dan rambutmu indah, seperti bintang dan emas!" Lian Hong memuji.
Diana tersenyum gembira. Biarpun ia baru saja terbebas dari bahaya maut yang mengerikan, namun bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Lian Hong ini sungguh menyenangkan hatinya. Ia lalu merangkul pundak Lian Hong yang tingginya hanya sampai di bawah telinganya.
"Lian Hong, engkau lah yang cantik sekali. Cantik dan menarik, dan engkau sungguh gagah perkasa." Ucapannya itu dikeluarkan secara tersendat-sendat dan tidak lancar, karena ia harus memilih kata-kata dulu. Akan tetapi Lian Hong dapat mengerti dan ia tersenyum, keduanya tersenyum.
"Engkau yang gagah berani, Diana. Engkau seorang wanita berani sendirian saja di dalam hutan seperti itu. Dan ketika haimau itu mengancammu, engkau tidak berteriak minta tolong."
"Aku tidak sendirian, tadinya aku bersama seorang teman pria. Dan aku tidak berteriak karena... aku sudah kehilangan suara saking takutku. Hi-hik, aku nyaris terkencing di tempat saking takutku." Mendengar ucapan yang begitu jujur dan tanpa disembunyikan, mau tak mau Lian Hong tertawa dan Diana juga tertawa. Keduanya tertawa gembira dan diam-diam Lian Hong kagum. Gadis asing ini ketawa begitu bebas, dan juga termasuk seorang gadis yang tabah, karena baru saja terlepas dari bencana yang begitu mengerikan akan tetapi sekarang sudah dapat tertawatawa! Tiba-tiba ia teringat.
"Teman priamu itu? Suamimukah dia?" Diana terbelalak.
"Suamiku? Ah, sama sekali bukan! Hanya teman biasa. Dia seorang Letnan pasukan keamanan, namanya Peter Dull. Kami berdua menunggang kuda, dan ketika tiba di tempat itu, aku tantang dia berlumba. Aku membalap dulu dan akhirnya kudaku ketakutan, agaknya mencium bau harimau dan diapun kabur. Ketika bertemu harimau, dia mengangkat kedua kaki depan tiba-tiba dan aku terlempar! Dan kau sendiri, apakah kau sudah bersuami?" Ditanya begini saja, Lian Hong sudah merasa malu. Wanita ini bicara tentang suami seperti orang bicara tentang pakaian saja! Lian Hong menggeleng kepala. Diana tertawa.
"Wah, menjadi suamimu harus seorang laki-laki yang kuatnya melebihi harimau kumbang tadi. Kalau tidak, sekali tampar kalau sedang bergurau bisa membuat dia mati!" Kembali Lian Hong tertawa geli. Gadis kulit putih ini ternyata seorang yang berwatak gembira, jenaka dan suka bergurau walaupun kata-katanya terbatas.
Akan tetapi, kata-kata yang sukar keluar dan kadang-kadang terdengar janggal dan tidak keruan susunannya itu malah membuat ucapannya semakin lucu. Sepasang mata yang biru itu demikian hidup, penuh gairah dan senyumnya demikian cerah, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang luar biasa, pikir Lian Hong kagum. Di lain pihak, Diana merasa semakin kagum terhadap Lian Hong. Seorang gadis sederhana dan melihat betapa gadis ini dengan tangan kosong mampu membunuh seekor harimau kumbang, tadinya ia mengira bahwa tentu gadis ini seorang yang bertenaga besar, kasar dan kejantanan. Akan tetapi setelah mereka bercakap-cakap, ia mendapat kenyataan bahwa Lian Hong seorang gadis yang sederhana namun cerdik, halus budi pekertinya, dan halus pula gerakgeriknya.
Bahkan gadis itupun bersikap ramah dan sopan. Melihat kelembutan sikapnya, melihat tubuh yang sempurna lekuk lengkungnya, halus polos kulitnya, yang membayangkan kehalusan dan kehangatan, sungguh sukar dapat dipercaya bahwa di balik kelembutan itu terdapat kekuatan yang demikian hebatnya! Timbullah keinginannya untuk dapat menjadi seperti Lian Hong, atau setidaknya mempelajari dan mengetahui bagaimana caranya gadis selembut itu dapat memiliki kekuatan sehebat itu. Setelah mereka tiba di tempat yang aman, keluar dari hutan itu, Lian Hong yang merasa kasihan melihat betapa Diana nampak kelelahan, mengajaknya untuk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan bekal roti kering dan daging dendeng, lalu mengisi tempat airnya yang kosong dengan air sumber yang jernih dari puncak bukit.
"Kita beristirahat dan makan dulu. Makan seadanya saja, Diana." Akan tetapi,
"Makan seadanya" ini merupakan makanan paling lezat yang pernah dirasakan oleh Diana. Roti kering dan daging dendeng itu, dibantu dengan air jernih.
"Aku tidak mempunyai rumah. Selama ini numpang di tempat pertapaan guruku, di Pegunungan Wuyi-san."
"Keluargamu...? Orang tuamu?" Kembali Lian Hong menggeleng.
"Orang tuaku sudah meninggal dunia, aku tidak mempunyai seorangpun keluarga, kecuali guruku seorang." Lian Hong berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Aku sebatangkara." Diana merasa demikian terharu mendengar ini sehingga ia merangkul Lian Hong, maksudnya untuk menghibur. Akan tetapi dengan halus Lian Hong melepaskan rangkulan itu, dan berkata, "Dan engkau sendiri? Di mana rumahmu, Diana?"
"Orang tuaku di Inggris, mereka hidup sebagai petani. Aku ikut dan mondok di rumah pamanku, Kapten Charles Elliot di Kanton." Lian Hong mengangguk-angguk.
"Akan kuantar kau kembali ke Kanton." Akan tetapi Diana menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak, aku tidak mau pulang ke sana!"
"Eh..., kenapa, Diana?" Diana teringat akan kehidupannya di Kanton. Hidup di antara orang-orang besar, hidup mewah dan serba kecukupan, enak-enakan akan tetapi ia merasa seperti menjadi burung dalam kurungan. Memang selama ini ia tidak pernah merasa demikian, akan tetapi begitu bertemu dan berkenalan dengan Lian Hong, ia melihat diri Lian Hong seperti seekor burung yang beterbangan di antara pohon-pohon besar dengan bebasnya,
Sedangkan dirinya sendiri seperti seekor burung yang berada dalam sebuah sangkar, walaupun sangkar itu cukup besar dan terbuat dari emas! Dan kini timbul keinginan hatinya untuk merantau dan hidup bebas seperti Lian Hong! Apa lagi kalau ia teringat akan sikap Peter Dull, dan kecondongan paman dan bibinya untuk menjodohkan ia dengan laki-laki itu, hatinya menjadi semakin tawar untuk kembali ke rumah pamannya di Kanton. Membandingkan kehidupan yang penuh kemunafikan, penuh kepura-puraan dan sopan santun yang tolol dan dibuat-buat, pakaian yang gedombrangan menurutkan mode dan yang membatasi gerakan-gerakannya, dengan kehidupan sederhana tapi bebas seperti Lian Hong, sungguh membuat ia melihat perbedaan-perbedaan yang amat menyolok.
"Aku... sementara ini tidak ingin pulang."
"Habis kau mau ke mana, Diana?"
"Aku mau merantau. Aku mau ikut denganmu." Tiba-tiba ia merangkul leher Lian Hong dan mencium pipi gadis itu. Perbuatan Diana ini demikian tiba-tiba dan terbuka, membuat Lian Hong merasa terkejut dan mukanya berubah merah karena jengah.
"Lian Hong, sahabatku yang baik, tolonglah, perbolehkan aku pergi bersamamu. Aku ingin hidup seperti engkau, hidup bebas seperti seekor burung di udara!"
"Tapi, mana mungkin itu, Diana? Kehidupan seperti aku adalah kehidupan penuh kesukaran dan kekerasan, penuh bahaya?"
"Aku berani menghadapi segala kesukaran itu, Lian Hong!" jawab Diana tegas.
"Tapi... kau biasa hidup mewah. Lihat, pakaianmu yang indah sekali. kau dari keluarga mewah dan kaya raya. Mana mungkin hidup seperti aku, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang satu dua hari tidak makan, kadang-kadang harus melakukan perjalanan amat jauh dan sukar, kepanasan, kehujanan, kadang-kadang harus tidur di bawah pohon, di dalam kuil-kuil tua..."
"Aku tidak takut! Aku ingin mengecap kebebasan dan untuk kebebasan itu, walaupun hanya untuk beberapa waktu, aku mau menebusnya dengan semua kekurangan dan penderitaan itu." Bagaimanapun ia merasa suka dan kasihan kepada gadis kulit putih itu dan ingin menyenangkan hatinya,
Namun Lian Hong tetap mengerutkan alisnya dan hatinya melarang ia menerima permintaan Diana. Membawa seorang seperti Diana ini pergi merantau merupakan perbuatan gila. Merantau pada waktu itu sama sekali bukan perjalanan wanita, apa lagi wanita lemah. Di mana-mana menghadang bahaya besar. Di mana-mana tidak aman. Hanya para wanita kang-ouw saja, itupun yang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi sehingga mampu membela diri dengan baik, yang akan berani melakukan perjalanan merantau seorang diri. Dan Diana adalah seorang wanita lemah, sama sekali tidak mampu membela diri, walaupun ia memiliki ketabahan besar. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah seorang gadis asing kulit putih. Tentu saja bahaya mengancamnya di mana-mana!
"Diana, dengarlah baik-baik," katanya halus sambil memegang pundak gadis tinggi semampai itu.
"Sungguh, aku akan senang sekali melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi terpaksa aku menolak permintaanmu itu, Diana. Tidak mungkin aku mengajakmu menempuh bahaya-bahaya besar yang menghadang di tengah perjalanan. Resikonya terlampau besar dan kalau sampai aku tidak dapat melindungimu dan terjadi apa-apa pada dirimu, aku yang akan merasa menyesal sekali. Maaf, Diana, aku sungguh terpaksa tidak dapat memenuhi permintaanmu itu. Aku hanya akan mengantarmu pulang ke Kanton agar engkau dapat kembali dan hidup aman dengan keluarga atau pamanmu di sana."
Mendengar keterangan yang panjang lebar ini, wajah Diana nampak layu dan kosong. Kekecewaan membuat ia lemas dan tertunduk kembali setelah tadi dengan penuh semangat ia berdiri, dan kini ia memandang jauh dengan sinar mata kosong, mulut agak terbuka dan ada butiran air mata tergenang di pelupuk matanya. Melihat keadaan gadis ini, Lian Hong merasa terharu dan kasihan sekali. Dengan suara terputus-putus karena ia harus mencari-cari kata-kata yang belum dihafalnya benar itu, ia berkata lirih.
"Hidup dengan aman?"
"Ya, engkau tentu akan disambut dengan gembira oleh mereka dan engkau akan hidup berbahagia lagi di sana, Diana." Diana menggeleng kepala dan dua butir air mata menetes turun.
"Tidak, aku tidak pernah merasakan apa dan bagaimana yang dinamakan bahagia itu. Lian Hong, tahukah engkau apakah bahagia itu? Apakah engkau berbahagia?" Lian Hong tertegun dan iapun lalu duduk di dekat Diana, termenung sejenak sebelum menjawab. Pertanyaan itu dirasakannya terlalu tiba-tiba datangnya sehingga membuat ia sendiri menjadi bingung.
"Bhagia...?" Akhirnya ia berkata seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya merenung jauh.
"Aku hanya pernah mendengar kata itu dibicarakan orang. Aku sendiri tidak tahu apakah aku berbahagia, atau aku tidak ingat lagi apakah pernah merasakannya."
"Tapi engkau hidup begini menyenangkan, begini bebas dan enak seperti burung berterbangan di angkasa, sesuka hatinya, tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada ikatan-ikatan munafik, begini dekat dengan alam! kau pasti bahagia!" Lian Hong menarik napas panjang.
"Aku tidak tahu, Diana. Akan tetapi agaknya sudah sepatutnya kalau kita berusaha untuk mencapai kebahagiaan, dengan cara dan jalan masing-masing tentunya. Kebahagiaan orang tentu berbeda-beda, yang dapat mendatangkan kebahagiaan kepadaku belum tentu demikian kepadamu dan sebaliknya. Aku memang hidup merantau dan bebas, akan tetapi aku tidak merasakan bahagia. Kurasa, kita harus mencarinya untuk menemukan kebahagiaan itu." Diana termenung, lalu berkata,
"Kekayaan dan kedudukan tidak mendatangkan kebahagiaan. Kalau kebebasan seperti engkau inipun tidak mendatangkan kebahagiaan, aku tidak tahu lagi di mana letak kebahagiaan. Pendeta kami pernah berkata bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui Tuhan, melalui Agama. Dan sejak kecil aku sudah dididik dalam Agama, namun belum juga aku pernah merasakan kebahagiaan itu. Ada pula yang bilang bahwa kebahagiaan adalah Sorga, dan Sorga hanya baru dapat dicapai kalau kita sudah mati. Ah, aku tidak mau bahagia sesudah mati, aku ingin kebahagiaan selagi masih hidup ini!" Dua orang gadis itu kini berdiam diri, seperti berubah menjadi patung, tenggelam ke dalam renungannya sendiri, terpesona oleh kata "Bhagia" yang menjadi bahan percakapan mereka tadi.
Dua orang gadis itu terlalu jauh terseret oleh segala macam teori yang pernah mereka dengar atau baca mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat dibicarakan dengan teori, melainkan suatu keadaan batin yang hanya dapat dirasakan oleh diri sendiri. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang tidak mungkin dapat digambarkan, bahkan tidak mungkin dapat dicari. Kalau dicari tidak mungkin akan dapat. Yang dapat dicari hanyalah kesenangan, dan kesenangan hanyalah pengulangan dari suatu peristiwa yang dianggap menyenangkan dan mengenakkan yang pernah dialami atau pernah didengar dari orang lain. Akan tetapi kesenangan hanya merupakan suatu peristiwa singkat yang akan segera berlalu, seperti juga kesusahan yang menjadi saudara kembarnya. Kita selalu terombang-ambing antara mencari kesenangan dan menghindari kesusahan,
Sehingga dengan demikian, batin kita seperti selalu bergelombang dan penuh dengan ombak-ombak kesenangan dan kesusahan. Padahal, kebahagiaan adalah keheningan dan ketenangan batin yang tidak terlanda oleh sesuatu yang merangsangnya, seperti samudera yang tenang dan sedikitpun tidak dikacau ombak, baik itu ombak kesenangan maupun ombak kesusahan. Jadi, kebahagiaan, seperti juga kedamaian, seperti juga keheningan, tidak mungkin bisa dicari atau dikejar. Karena, kebahagiaan itu baru ada kalau segala kebisingan telah lenyap, seperti juga samudera kebahagiaan yang tenang itu baru ada kalau semua ombak susah senang sudah tidak mengganggu lagi. Kebahagiaan adalah keadaan hati yang mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak terpengaruh oleh sesuatu.
Kebahagiaan sudah ada setiap saat, hanya untuk dapat merasakannya, segala macam pengaruh harus meninggalkan batin kita, karena hanya batin yang bebas sajalah, bebas dalam arti kata seluasnya, bebas tidak terikat oleh kesenangan atau kesusahan, tidak terikat oleh apapun juga, yang akan mampu mengerti apa sesungguhnya yang dinamakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah seperti sinar matahari yang selalu ada. Kalau tidak nampak, maka sudah pasti bahwa ada yang menghalangi atau menutupi sinar itu. Kalau penghalang atau penutupnya lenyap, sudah pasti cahaya itu akan bersinar dengan cerahnya. Dalam keadaan gelap karena cahaya itu teraling, percuma sajalah mencari-cari cahaya itu, karena tidak mungkin akan bertemu. Dan segala macam penghalang itu berada di dalam batin kita sendiri!
Orang yang selalu ingin mengejar kesenangan, dan orang yang selalu ingin menghindarkan kesusahan, takkan pernah dapat mengenal apa sebenarnya kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan atau meninggalkan keduniawian lalu bertapa di puncak gunung. Menikmati kesenangan adalah hak kita sebagai manusia hidup, karena kita telah diberi panca indera sebagai alat untuk menikmati kesenangan dalam hidup ini. Namun, senang susah itu baru timbul apa bila ada perbandingan dalam hati. Kalau kita menerima segala sesuatu sebagai apa adanya, sebagai suatu kewajaran, maka tidak ada lagi sebutan senang susah itu, tidak tercipta ombak-ombak senang susah yang saling bertentangan.
"Aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba Diana berkata, mengambil keputusan.
"Kalau engkau tidak mau mengajakku pergi merantau, aku akan pergi sendiri, Lian Hong. Aku tidak mau kembali ke Kanton sekarang. Belum mau pulang maksudku. Aku ingin merantau dulu sampai aku puas dapat merasakan bagaimana sesungguhnya kehidupan di dunia luar gedung itu, di luar sangkar itu. Aku ingin terbang bebas dulu sebelum kembali ke sangkar." Lian Hong memandang wajah gadis itu penuh selidik.
"Diana, kalau kau mau nekat pergi merantau, apa yang akan kau lakukan? Selain banyak bahaya menghadang, apa yang akan kau makan dan pakai? Lihat, pakaianmu saja sudah hampir tak dapat dipakai lagi, sudah cabik-cabik. Dan engkau perlu makan setiap hari. Dan ke mana engkau akan pergi? Engkau tidak mengenal jalan, engkau tidak tahu akan pergi ke mana."
"Aku tidak perduli, Lian Hong. Pendeknya, aku akan merantau dan tidak mau pulang dulu ke Kanton. Sudah lama aku mempunyai keinginan seperti ini dan sekaranglah kesempatan terbaik, karena tidak ada orang yang dapat melarangku," kata Diana dengan nekat. Lian Hong menarik napas panjang. Gadis ini memang tabah dan berkemauan kuat. Ia tidak akan tega membiarkan Diana pergi jauh, tentu akan bertemu bahaya dan gadis kulit putih itu tidak akan mampu membela diri kalau ada bahaya mengancam. Mulai ia memperhatikan diri Diana karena ia tahu bahwa akhirnya ia yang akan menyerah dan akan memenuhi permintaan Diana.
"Diana, apakah yang mendorongmu untuk pergi merantau, meninggalkan semua kemewahan di gedung pamanmu itu?" Diana mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit batang rumput itu, mengingatngingat.
"Aku kagum padamu, Lian Hong. Biarlah kuceritakan semuanya. Ayahku adalah seorang petani di Inggeris, dan sejak kecil aku diberi pendidikan sekolah sampai tinggi. Di sekolah tinggi aku belajar tentang penyelidikan barang-barang kuno. Aku berkenalan dengan seorang pemuda petani di dusun, dan kami saling jatuh cinta. Akan tetapi, orang tuaku yang menilai aku terlalu tinggi, menganggap bahwa pemuda itu tidak sepadan untuk menjadi calon suamiku. Karena itu, dengan dalih untuk mempraktekkan pelajaranku, dan kebetulan ada pasukan yang dikirim ke timur, aku oleh Ayah dikirim ke sini dan ditiitipkan kepada pamanku, Kapten Charles Elliot. Di Kanton aku hanya diberi tugas menilai barang-barang kuno dan memperbanyak kumpulan benda kuno paman. Dan agaknya paman condong untuk menjodohkan aku dengan pembantunya, yaitu Peter Dull yang menemaniku berkuda. Aku muak dengan itu semua. Aku tidak mau dibelenggu oleh peraturan dan oleh sopan santun, dan oleh ambisi orang-orang tua itu."
Biarpun Diana bercerita dengan kalimat terpotong-potong dan kadang-kadang sukar mencari kata yang tepat, sehingga ceritanya itu menjadi panjang dan lama, Lian Hong dapat mengertinya juga dan gadis ini merasa heran sekali. Kiranya kehidupan seorang gadis kulit putih tidak banyak bedanya dengan gadis bangsanya. Dalam hal pernikahan, selalu orang-orang tua ingin berkuasa, bukan sekedar mencampuri, melainkan hendak memilihkan calon suami yang baik menurut penilaian mereka.
"Baiklah, Diana. Aku akan membantumu. Akan tetapi aku tidak berani mengajakmu pergi ke tempat tinggal guruku. Ketahuilah bahwa guruku seorang yang sakti akan tetapi aneh sekali tabiatnya. Mungkin saja tiba-tiba dia membunuhmu."
"Ehhh...?" Melihat kekagetan Diana, Lian Hong tersenyum sedih.
"Guruku seorang di antara empat datuk sesat yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, dan guruku berjuluk Racun Gunung. Aku mempunyai urusan penting bersama guruku dan kini aku akan mengunjunginya, dan tak lama kemudian kami akan datang ke daerah ini lagi. Oleh karena itu menurut pendapatku, kalau engkau ingin menyelami kehidupan rakyat kami, kalau engkau ingin hidup penuh kesulitan dan kemiskinan, biar kucarikan seorang keluarga petani yang baik dan yang mau menampungmu. Bagaimana?" Bukan main girangnya rasa hati Diana. Ia melompat bangun lalu merangkul Lian Hong dengan lengannya yang panjang, kemudian menciumi kedua pipi Lian Hong sampai mengeluarkan bunyi ngak-ngok dan cap-cup. Tentu saja Lian Hong gelagapan. Belum pernah ia melihat, apa lagi merasakan, ciuman-ciuman sepanas itu.
"Terima kasih, Lian Hong. Tadipun aku hampir yakin bahwa engkau tentu akan menolongku. Engkau seorang yang luar biasa. Aku senang sekali tinggal di dusun bersama keluarga petani."
"Untuk sementara saja, Diana. Kalau aku sudah selesai dengan tugasku yang dibebankan oleh suhu, aku akan datang menjengukmu dan kita bicarakan lagi kelak tentang dirimu."
"Baik, dan terima kasih."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Sebentar lagi datang malam gelap dan sebelum hari gelap, aku ingin tiba di dalam dusun terpencil itu di mana aku mengenal keluarga petani yang amat baik." Pergilah dua orang gadis itu sambil saling bergandeng tangan menuruni lereng bukit itu, menuju ke sebuah dusun yang berada di lembah sungai dan jauh terpencil dari keramaian kota.
Di dusun terpencil itu tinggal seorang petani merangkap pandai besi yang sudah berusia hampir enam puluh tahun. Suami isteri ini dahulu mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis berusia tujuhbelas tahun, yang ke dua seorang laki-laki berusia tujuh tahun. Akan tetapi pada suatu hari, dusun itu diganggu perampok. Lauw Sek, petani itu pernah belajar silat selama beberapa tahun dan dia bertenaga kuat, maka dia melakukan perlawanan. Hal ini menimbulkan kemarahan para perampok. Kalau rumah-rumah lainnya hanya dirampok saja, akan tetapi keluarga Lauw ini diserang, dan Lauw Sek membela keluarganya mati-matian. Akan tetapi, jumlah perampok yang belasan orang itu terlalu kuat baginya. Ketika melihat anak gadisnya yang cukup manis, kepala perampok berusaha menggagahi gadis itu. Dalam saat yang kritis itu, muncullah Lian Hong.
Dengan kepandaiannya, ia berhasil membasmi para perampok, membunuh mereka semua. Akan tetapi malang bagi gadis puteri Lauw Sek. Ketika tadi hendak diperkosa, ia melawan dan menerima pukulan-pukulan dari kepala perampok. Gadis itu dapat diselamatkan dari perkosaan, akan tetapi pukulan pada kepalanya membuat ia menderita luka parah di dalam kepala yang tak dapat ditolong lagi. Beberapa hari kemudian gadis itu meninggal dunia. Bagaimanapun juga, petani Lauw Sek merasa berhutang budi kepada Lian Hong. Kalau tidak ada pendekar wanita ini, tentu puterinya bukan hanya terbunuh, melainkan juga diperkosa dan dia sendiri tentu akan tewas pula, mungkin juga isteri dan puteranya. Maka dia sekeluarga berterima kasih sekali kepada Lian Hong dan sejak hari itu, Lian Hong tentu menjadi sahabat dan juga nona penolong mereka.
Setiap kali lewat di dusun ini, Lian Hong tentu singgah karena gadis ini maklum betapa sedihnya hati mereka kehilangan puteri mereka dan ia dianggap oleh mereka sebagai pengganti puteri mereka! Sebelum senja tiba, cuaca masih terang walaupun matahari sudah condong jauh ke barat, Lian Hong tiba di dusun itu bersama Diana. Dusun yang hanya ditinggali paling banyak dua puluh keluarga itu mempunyai belasan orang anak-anak yang segera menyambut kedatangan Lian Hong sambil bersorak-sorak. Mereka semua mengenal "Enci Hong." Semua memanggil Enci karena biarpun ia dianggap penyelamat dusun itu, Lian Hong menolak ketika disebut Lihiap (pendekar wanita) dan minta kepada orang-orang yang lebih tua untuk menyebut namanya saja dan anak-anak menyebutnya Enci Hong.
"Enci Hong datang! Enci Hong datang!" teriak anak-anak itu akan tetapi ketika mereka datang dekat, mereka terbelalak memandang kepada Diana.
Mereka belum pernah melihat seorang wanita kulit putih, maka kemunculan Diana benar-benar mengherankan dan amat mengejutkan, bahkan beberapa orang di antara mereka sudah lari terbirit-birit melihat "setan" berambut kuning itu! Tentu saja teriakan anak-anak itu menarik perhatian semua orang yang berada di dusun itu. Mereka semua, kecuali yang kebetulan bekerja di sawah ladang dan tidak melihat datangnya Lian Hong, keluar menyambut gadis yang mereka kagumi dan hormati, juga sayangi itu. Melihat sikap para penduduk ini, rasa kagum dalam hati Diana terhadap Lian Hong semakin besar. Kini ia dapat menduga bahwa kawannya ini memang seorang pendekar wanita yang budiman. Tanpa diberitahu sekalipun ia yakin bahwa tentu penduduk itu sudah berhutang budi kepada Lian Hong.
Hal ini jelas nampak dalam sikap penyambutan mereka, dan melihat betapa anak-anak berlari menyambut, iapun dapat mengetahui bahwa memang Lian Hong seorang gadis yang baik budi. Hanya orang yang baik budi sajalah yang disukai anak-anak. Para penghuni dusun itupun terbelalak dan ternganga ketika melihat Diana. Di antara mereka banyak yang masih percaya akan tahyul, maka melihat seorang gadis yang berkulit putih seperti tidak berdarah, berambut seperti benang sutera emas, bermata biru, dengan pakaian yang tidak keruan, compang-camping memperlihatkan kulit bagian tubuh secara tak tahu malu sama sekali, mereka menjadi ngeri dan ada yang mundur-mundur ketakutan. Mahluk seperti ini tentulah iblis, pikir mereka. Melihat sikap mereka yang ketakutan itu, Lian Hong tersenyum dan cepat berkata,
"Harap kalian jangan takut dan sungkan. Ini adalah seorang sahabat baikku, namanya Diana, ia baik sekali." Mendengar nama yang aneh itu, semua orang yang sebagian sudah ketakutan, menjadi semakin ngeri. Nama Diana oleh lidah mereka hanya disebut Thiana dan ini berarti sebutan "Tuhan" (Thian), maka mendengar nama ini tentu saja rasa ngeri dan takut mereka bertambah. Melihat ini, tiba-tiba seorang Kakek yang bercaping melangkah maju.
"Kalian jangan takut. Nona ini adalah seorang gadis kulit putih. Aku banyak melihatnya ketika aku pergi menjual daganganku ke Kanton." Yang bicara ini adalah Lauw Sek yang juga sudah datang bersama isterinya yang bertubuh gemuk berwajah manis bersama putera mereka yang berusia delapan tahun. Mendengar ucapan Lauw Sek, barulah semua orang percaya karena Lauw Sek sering pergi ke kota untuk menjual barang dagangannya, hasil bengkel pandai besinya. Nyonya Lauw Sek lalu merangkul Lian Hong dengan penuh kasih sayang.
"Lian Hong, engkau baru datang?" Semua wanita dan pria yang berada di situ menyalami Lian Hong dengan ramah dan hormat, kemudian mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Lian Hong memperkenalkan Diana.
"Sahabat Diana ini sudah merasa bosan tinggal di kota dan kini ia mengambil keputusan untuk tinggal di dusun ini. Kuharap paman Lauw Sek sekeluarga mau menerimanya agar ia hidup bersama paman dan biarlah ia menjadi anak angkat paman. Biarkan ia bekerja di sawah ladang seperti yang lain, makan dan pakaian seperti kalian semua karena ia ingin merasakan kehidupan di sini." Diana senang sekali
mendengar ini.
"Lian Hong, yang manakah paman Lauw Sek?" Lian Hong menuding ke arah Lauw Sek sedangkan semua orang tersenyum lebar mendengar suara Diana. Kiranya gadis aneh ini dapat pula bicara dalam bahasa mereka dan hal ini sungguh menggembirakan hati mereka, apa lagi mendengar betapa logat bicara gadis kulit putih itu aneh dan lucu walaupun mudah dimengerti. Kini Diana menghampiri Lauw Sek. Tadinya ia hendak menyodorkan tangan untuk mengajak orang itu berjabat tangan, akan tetapi ia teringat akan kebiasaan bangsa ini, maka iapun mengangkat kedua tangan depan dada sambil menjura dan berkata,
"Paman Lauw Sek, saya akan girang sekali kalau paman mau menerima saya." Melihat sikap ini dan mendengar ucapan itu, semua orang makin gembira dan merasa suka kepada gadis ini. Lauw Sek merasa agak rikuh melihat tubuh yang hampir telanjang itu, dan dia memperkenalkan isteri dan anaknya.
"Nona, pakaianmu robek-robek, apakah memang begitu pakaianmu ataukah memang robek? Kalau robek harus cepat ganti agar tidak jatuh sakit." kata isteri Lauw Sek dan mendengar ini Diana sudah merasa suka sekali kepada nyonya yang bersikap keibuan itu.
"Sahabatku ini melakukan perjalanan yang berbahaya hampir dimakan harimau dan pakaiannya compang-camping ketika ia dilarikan kudanya. Nah, siapa yang mau berbaik hati untuk memberinya pengganti pakaian?" Para wanita di situ, terutama yang muda-muda, segera berebut lari pulang untuk mengambil satu stel pakaian mereka. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bertubuh kecil, terlalu kecil dibandingkan dengan bentuk tubuh Diana dan akhirnya, Diana menerima satu stel pakaian dari seorang gadis yang paling tinggi besar di antara mereka. Ketika ia berganti pakaian dalam sebuah pondok dan keluar lagi, semua orang tertawa gembira karena merasa lucu.
Memang Diana nampak lucu sekali dalam pakaian itu. Baju itu melekat di tubuhnya dengan ketat sehingga tidak mampu menyembunyikan tonjolan dadanya dan kerampingan pinggangnya, sedangkan celana itu hanya sampai di betisnya saja, di bawah lutut! Untung ia memakai sepatu yang panjang sampai ke lutut sehingga semua bagian kakinya tertutup. Lian Hong menemani Diana sampai satu minggu di rumah keluarga Lauw Sek itu, membimbing Diana agar mengenal semua orang dan keadaan di situ. Dan terjadilah perubahan hidup yang selamanya tak pernah diimpikan oleh Diana. Baru pakaiannya saja sudah amat berbeda dan yang dipakainya kini membuat ia merasa santai dan juga leluasa bergerak, walaupun amat sederhana dan tidak dapat dibilang indah, apa lagi mewah.
Baru dua hari setelah ia berada di situ, ia sudah dapat menyesuaikan diri dan dalam hal ini, Lian Hong sungguh kagum kepada gadis ini. Seorang gadis kaya raya yang tadinya hidup mewah, kini tidak segan-segan untuk turun ke sawah dan bekerja apa saja, bahkan mencangkulpun ia pelajari. Siminggu kemudian, pagi-pagi sekali Lian Hong sudah melihat Diana berada di luar rumah keluarga Lauw Sek yang cukup lebar akan tetapi amat sederhana itu. Diana memakai pakaiannya yang ketat dan jigrang (terlalu pendek) sambil memegang sebatang cangkul, siap untuk bekerja di sawah, membantu Lauw Sek. Lauw Sek sendiri juga sudah siap ke sawah, memakai capingnya yang butut. Isterinya juga siap karena pagi itu akan mulai menanam kacang. Si kecil Lauw Tong, putera mereka juga sudah siap.
"Wah, gadis petani kita yang rajin sudah siap!" kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana.
"Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!"
"Wah, gadis petani yang rajin sudah siap!" kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana.
"Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!"
Diana tersenyum, gembira. Memang, selama beberapa hari ini ia membantu pekerjaan di sawah. Memang pertama kali telapak tangannya lecet-lecet dan seluruh tubuhnya, terutama pinggangnya, terasa pegal dan lelah sekali. Malamnya, isteri Lauw Sek memaraminya, dan memijatinya sehingga ia merasa nyaman sekali. Setelah bekerja selama seminggu, ia sudah mulai terbiasa, tidak begitu lelah lagi dan pagi hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah bangun, tidak mau ketinggalan oleh anggauta keluarga Lauw. Memang terjadi perubahan besar dalam kehidupan Diana, perubahan lahir batin. Setelah hidup di dusun, bersama keluarga petani miskin, ia bukan hanya dapat mendengar dari cerita orang, melainkan dapat melihat bahkan merasakan sendiri kehidupan yang serba bebas. Ia mulai mengenal dan merasakan arti hidup sebagaimana adanya, jauh lebih aseli dari pada kehidupan di kota.
Apa lagi kehidupan bangsanya yang sudah tidak aseli lagi, sudah terselubung segala-galanya, demi gengsi, demi kehormatan, demi pujian, sehingga hampir seluruh tindakan merupakan suatu kepalsuan. Di dusun ini merasa bebas dan polos, tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Di sini ia dapat mengenal perjuangan manusia untuk memenuhi tuntutan atau kebutuhan jasmaninya, bekerja di ladang dan melihat hasil jerih payah itu bersemi dan tumbuh. Di sini ia dapat menikmati kekayaan alam, keindahan alam seperti yang terbentang luas di depannya, bukannya meneropong dari balik jendela bertirai sutera. Dengan cangkul di tangan, ia seakan-akan bercanda dengan tanah, dengan lumpur, dan merasakan kenikmatan semua ini. Bahkan ia mulai mengenal apa artinya lapar dan haus, belajar menahannya, dan dapat menikmati kalau tiba waktunya makan atau minum.
Dulu, biarpun belum lapar, kalau waktu "dinner" sudah tiba misalnya, ia harus pergi menghadapi meja makan bersama keluarga pamannya, dengan pakaian yang khas dan pantas, mendapatkan pelayanan manis dan penuh hormat dan aturan-aturan dari para pelayan. Makanpun harus sesuai dengan aturan-aturan tertentu, cara menggunakan garpu dan pisau, cara mengunyah makanan, cara membersihkan bibir dengan kain, dan sebagainya lagi. Semua ini membuat semua hidangan yang serba mahal kadang-kadang menjadi amat hambar rasanya. Sebaliknya, betapa enaknya makan di pematang sawah! Perut sudah amat lapar, badan amat lelah, tenggorokan amat haus. Lalu datang nasi dengan sayuran murah, datang air teh hangat-hangat atau sejuk dingin. Amboi... bukan main lezat rasanya, melebihi segala macam makanan termahal yang pernah dimakannya!
Dan malamnya! Badan lelah perut kenyang, biar tidur menggeletak di atas dipan bambu yang berteriak-teriak marah kalau tertindih tubuhnya, rasanya begitu nikmat. Sekali rebahpun pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika ayam jantan berkokok, dengan tubuh terasa segar seperti baru hidup kembali. Maka, pagi hari itupun ia lupa bahwa temannya akan pergi hari itu. Sudah tiba saat kepergian Lian Hong seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya. Maka, ketika Diana ditegur oleh Lian Hong dan ia melihat Lian Hong sudah berdandan dan berganti baju bersih, dengan rambutnya yang hitam mengkilap itu dikepang dua dan diikat dengan saputangan sutera merah yang menjadi pita, ia bertanya,
"Eih, Lian Hong. Masa ke sawah sebersih itu?" Dan tiba-tiba saja Diana teringat dan ia mengerutkan alisnya.
"Ah, hari inikah engkau akan melanjutkan perjalananmu?" Di dalam suaranya ada sedikit kekecewaan. Lian Hong merangkulnya dan mencium kedua pipi Diana. Ia kini mampu melakukan ini menirukan Diana dan dalam perbuatan ini ia merasakan suatu kemesraan dan keakraban yang mengharukan hatinya.
"Diana, engkau senang di sini, bukan? Teruskanlah. Nikmati kehidupan sederhana di sini. Aku melanjutkan perjalanan, menghadap suhu dan ingat, aku pasti akan datang ke sini menjengukmu dan siapa tahu, kelak kita akan dapat melakukan perjalanan bersama. kau boleh belajar hidup dan juga mempelajari sedikit ilmu silat untuk membela diri dari paman Lauw Sek." Diana balas merangkul dan menciumi Lian Hong.
"Baiklah, Lian Hong. Aku akan menantimu dengan sabar, karena akupun mulai suka akan kehidupan di sini. Paman dan bibi amat baik hati, juga adik Tong ini lucu dan menyenangkan. Bahkan semua tetangga di sini baikbaik, rukun dan saling menolong."
"Akan tetapi ingat baik-baik, Diana. Jangan engkau pergi meninggalkan tempat ini seorang diri saja. Tunggu sampai aku datang. Maukah?"
"Tentu saja. Aku berjanji." Mereka saling berpisah dan Lian Hong meninggalkan dusun itu diantar oleh hampir semua penduduknya sampai ke pagar dusun. Diana merasa kehilangan, akan tetapi tidak kesepian karena ia merasa mempunyai keluarga besar, bukan sekedar sahabat, di dalam dusun itu. Bahkan ia merasa menemukan dunianya yang disukainya. Ketika ia masih sekolah, ia banyak mempelajari kehidupan jaman dahulu yang masih terbelakang, maka kini, setelah ia sendiri hidup di dusun yang masih amat sederhana, ia menemukan banyak hal yang memiliki persamaan dengan apa yang pernah dibacanya sehingga ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dongeng yang pernah menarik hatinya.
Apa lagi ketika Lauw Sek mulai mengajarkan ilmu silat, ia mempelajarinya dengan tekun, juga memperdalam pengetahuannya tentang bahasa dan kebudayaan pribumi. Diana menemukan kelanjutan sekolah yang takkan bisa ditemukan di kota-kota besar dan ia merasa gembira sekali. Orang-orang kulit putih yang berada di Kanton menjadi geger ketika mendengar bahwa Diana keponakan Kapten Charles Elliot hilang di dalam hutan ketika berkuda bersama Letnan Peter Dull. Tentu saja yang merasa paling gelisah adalah Kapten Charles Elliot. Letnan Peter Dull sendiri mendapat teguran keras, bahkan menerima tugas untuk mencari nona itu sampai dapat. Peter Dull berunding engan pembantunya yang baru, yaitu Koan Jit.
Orang ini dapat menduga bahwa nona kulit putih itu tentu telah ditolong oleh seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dia tidak tahu siapa penolong itu, dan dari golongan apa, seorang pendekar yang memang hendak menolong ataukah seorang penolong dengan pamrih lain. Dan mengingat bahwa Diana tidak diantarkan kembali ke Kanton, dia mengambil kesimpulan bahwa tentu orang yang menolong nona itu berpamrih, sengaja melarikan gadis itu dengan niat buruk lainnya. Maka Koan Jit yang sudah diterima sebagai pimpinan oleh para jagoan yang dikumpulkan Peter Dull karena mereka semua sudah mengenal nama Hek-eng-mo, lalu memerintahkan para jagoan yang terhimpun dalam suatu pasukan istimewa untuk berpencaran dan mencari berita di antara kau m sesat untuk mencari jejak Diana.
Sedangkan Peter Dull lalu memimpin sendiri pasukannya untuk melakukan pencarian ke dusun-dusun dan kampung-kampung sehingga daerah di sekitar itu menjadi gempar karena sikap pasukan kulit putih dan raksasa India itu merajalela di dusun-dusun dengan kasar. Hilangnya Diana belum ditemukan, sudah muncul masalah lain bagi orang kulit putih di Kanton. Kelompok-kelompok anti kulit putih menjadi semakin marah dengan adanya aksi pembersihan yang dilakukan Peter Dull dengan pasukannya ke dusun-dusun. Mereka lalu mulai melancarkan aksinya lagi, kadang-kadang menyerang pos-pos penjagaan pasukan kulit putih dan beberapa kali terlibat ke dalam pertempuran dengan pasukan Peter Dull.
Juga rakyat mulai tidak suka melihat sikap pasukan kulit putih itu. kau m buruh di pelabuhan yang banyak jumlahnya karena orang-orang kulit putih membutuhkan buruh-buruh kasar untuk mengangkut barang-barang turun naik kapal, juga memperlihatkan sikap membantah dan tidak taat.
Pada suatu hari, pagi-pagi saja sudah terjadi keributan di pelabuhan, ketika para kuli angkut barang sibuk menurunkan barang dari sebuah kapal dan mengangkut barang ke kapal yang lain. Seorang kuli muda yang bertubuh kokoh kekar, ketika sedang mengangkut sebuah peti, terpeleset pada anak tangga yang basah dan petinya terlepas, menimpa kaki seorang mandor kulit putih yang bertubuh gendut. Biarpun kaki itu sudah terlindung sepatu kulit, akan tetapi karena peti itu berat, maka tentu saja kaki itu terasa nyeri bukan main.
Mandor itu berteriak kesakitan, lalu menyumpah-nyumpah dan menghajar kuli itu dengan pukulan-pukulan kanan kiri membuat kuli itu roboh sampai beberapa kali. Tiap kali dia hendak bangkit, sepatu kiri yang tidak tertimpa peti tadi menyambar dan menendang kepalanya, dagunya, dadanya, membuat dia terjerembab kembali. Kuli-kuli lain hanya memandang tanpa bergerak, seolah-olah semua kuli yang tadi sibuk bekerja itu tiba-tiba saja berubah menjadi patung. Ada yang mukanya membayangkan kengerian, ketakutan, akan tetapi ada beberapa puluh orang kuli yang memandang dengan alis berkerut. Mereka ini adalah sekelompok kuli yang memang mempunyai perasaan tidak suka dan hampir anti kepada orang-orang kulit putih. Mereka itu bekerja sebagai kuli karena memang penghasilannya jauh lebih besar dari pada kalau menjadi petani atau nelayan,
Akan tetapi juga karena mereka ingin mengintai apa yang dilakukan oleh bangsa yang tidak disukainya. Jumlah mereka ada hampir tiga puluh orang dan kebetulan sekali yang menjadi pemimpin mereka adalah pemuda yang kini dijadikan bulan-bulan kemarahan mandor itu! Tentu saja suasana menjadi tegang. Setiap orang anggauta kelompok itu berhenti bekerja dan memandang dengan urat syaraf tegang dan siap siaga. Akan tetapi, karena pemimpin mereka, pemuda yang bertubuh kokoh itu dipukuli dan ditendangi tanpa melawan, merekapun hanya merasa penasaran saja dan tidak bergerak. Beberapa orang mador melerai dan menyabarkan kawan mereka. Akan tetapi, mandor gendut yang mukanya merah seperti orang mabok itu sudah marah sekali.
"Tidak bisa! Tidak bisa kubiarkan saja dia meremukkan kakiku! Tangan yang melakukannya harus kupotong!"
Dan dia mencabut sebatang pisau belati, kemudian, tanpa dapat dicegah oleh kawan-kawannya, dia menubruk ke depan, pisaunya menyambar ke arah tangan kuli muda itu. Tiba-tiba kuli muda yang tadinya hanya mandah saja dihujani pukulan dan tendangan sehingga mukanya matang biru dan benjol-benjol, kini melihat luncuran pisau belati berkilat yang mengancam tangannya, cepat menarik tangannya. Hal ini membikin marah si mandor gendut, dan sambil memaki-maki dia menyerangkan pisaunya lagi, sekali ini malah ke arah perut kuli itu. Marahlah orang yang diserang. Serangan itu mengarah maut, maka dia harus mempertahankan dan membela diri. Dengan sigap dia mengelak ke samping, lalu kakinya meluncur ke depan, tepat menendang selangkang mandor gendut itu.
"Aughhh... adduuhhhh...!" Si mandor gendut mengaduh-aduh dan berloncatan sambil menggunakan kedua tangan mendekap selangkangnya yang kena tendang. Kiut miut rasanya, nyeri itu menusuk-nusuk dari selangkang sampai jantung. Pada waktu itu, Kapten Charles Elliot yang ditemani oleh Peter Dull yang dikawal oleh Koan Jit bersama beberapa orang jagoan berada pula di pelabuhan. Kapten Charles Elliot ingin melihat sendiri pembongkaran peti-peti candu agar dapat diturunkan dengan selamat. Walaupun antara pemerintah Ceng dan Pemerintah Inggeris telah terdapat persetujuan dan perdamaian, di mana disebutkan bahwa pemerintah Ceng memperbolehkan orang-orang kulit putih melakukan perdagangan dan berdiam di Kanton,
namun perdagangan candu secara terang-terangan tetap dilarang. Namun, karena benda ini amat menguntungkan, maka secara sembunyi-sembunyi, dengan peti-peti yang bercampur dengan barang-barang lain, dan dengan tanda-tanda bahwa peti-peti itu berisi barang lain, candu tetap dapat diselundupkan dan didaratkan dalam jumlah besar. Hari itu, perusahaan Inggeris yang bergabung dalam East Indian Company mendaratkan sejumlah besar candu dalam peti-peti yang tulisan dan gambarnya menunjukkan bahwa peti-peti itu terisi barang dagangan. Ketika para penjaga keamanan melihat mandor itu mengaduh-aduh, mereka menjadi marah. Beberapa orang penjaga kulit putih lalu menghampiri dengan pistol di tangan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan Letnan Peter Dull.
"Tahan! Mundur semua dan jangan tangkap kuli itu!" Semua orang memandang heran dan tentu saja tidak ada yang berani membantah perintah letnan ini. Peter berbisik kepada Kapten Charles Elliot yang menjadi atasannya.
"Ini kesempatan baik untuk menguji kepandaian para pembantu kita." Mendengar ini, Charles Elliot mengangguk dan melirik kepada Koan Jit.
Bagaimanapun Peter memuji-muji orang ini, kapten itu masih belum yakin benar, bahkan menaruh curiga terhadap laki-laki yang matanya seperti mata kucing itu. Pada saat itu, di samping kuli muda tadi sudah berdiri empat orang lain yang merupakan tokoh-tokoh dalam kelompok mereka, dan bersama si pemuda, mereka pernah dikenal sebagai ahli-ahli silat yang cukup terkenal. Mereka berdiri tegak, akan tetapi sikap mereka jelas menantang. Empat orang itu adalah teman-teman si pemuda yang memimpin kelompok mereka dan mereka maju ketika tadi melihat betapa pemimpin mereka akan ditangkap, dan melihat lima orang yang merupakan tokoh-tokoh utama dari kelompok mereka sudah maju, dua puluh lebih anggauta kelompok itupun sudah siap siaga untuk bertempur!
Tujuh orang jagoan yang mengawal Peter dan Charles Elliot yang maklum bahwa mereka diharapkan untuk menumpas pengacau itu tanpa mempergunakan senjata api, karena hal itu akan memancing keributan antara orang kulit putih dengan pemerintah daerah, lalu maju menghampiri lima orang itu. Peter mengedipkan matanya kepada Charles Elliot. Kapten ini maklum. Memang, dia dan pembantunya sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kebijaksanaan dalam menghadapi pribumi yang anti kulit putih, yakin dengan cara mengadu domba antara mereka dengan jagoan-jagoan bayaran mereka. Tentu saja pasukan mereka akan mampu membereskan perusuh-perusuh itu, akan tetapi kalau senjata api dipergunakan, tentu pihak pemerintah akan mencampuri dan perdamaian akan terganggu lagi.
Hal ini hanya memancing keributan dan keresahan. Biarkan orang-orang itu saling hantam, dan sedapat mungkin Charles Elliot akan membasmi mereka yang anti kulit putih dengan menggunakan tenaga-tenaga bayaran dari orang pribumi. Tujuh orang jagoan itu tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang lima orang yang sudah siap untuk membela diri. Terjadilah perkelahian seru antara seru antara lima orang perusuh itu dengan tujuh orang jagoan. Akan tetapi, Peter mengerutkan alisnya melihat betapa tujuh orang jagoannya itu jelas kalah kuat. Mereka dihajar habis-habisan, jatuh bangun dan sama sekali tidak mampu menandingi lima orang yang ternyata pandai ilmu silat itu, jauh lebih pandai dibandingkan tujuh orang jagoannya yang hanya menang lagak saja. Charles Elliot juga marah dan kecewa.
"Suruh para pengawal kita maju!" katanya ke pada Peter.
🖐
"Nanti dulu, Kapten!" Peter membantah.
"Inilah kesempatan untuk menguji kelihaian pembantu baru ini." Karena dia bicara dalam bahasanya sendiri, Koan Jit tidak dapat menangkap artinya, namun dia mengerti ketika dua orang itu bicara sambil memandang kepadanya.
"Tuan Letnan, biar aku yang akan menghajar mereka!" katanya. Peter mengangguk dan dengan langkah lebar Koan Jit lalu maju ke dalam arena perkelahian yang ditonton banyak sekali orang itu, baik dari pihak para kuli maupun dari pihak orang kulit putih yang menjadi mandor dan lain-lain.
"Mundurlah kalian!" bentak Koan Jit kepada tujuh orang jagoan yang ternyata tidak mampu menandingi lima orang itu.
Dengan lagak yang masih gagah-gagahan, walaupun muka mereka bengkak-bengkak dan ada pula yang terpincang-pincang, tujuh orang itu mundur dan menonton dengan dada terangkat dan tangan terkepal, seolah-olah mereka itu terpaksa mundur karena perintah atasan. Hanya mereka sendiri yang tahu betapa lega hati mereka, karena kalau tidak disuruh mundur, akhirnya mereka akan roboh semua. Lima orang kuli itu ternyata amat lihai, terutama sekali pemuda yang tadi menendang selangkang mandor gendut. Kini semua mata ditujukan kepada Koan Jit. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan muka hitam dan pakaian serba hitam itu tidak terlalu mengesankan memang, akan tetapi lima orang itu merasa ngeri ketika mereka bertemu pandang dengan sepasang mata yang mencorong kehijauan seperti mata kucing itu. Tiba-tiba terdengar suara Peter Dull berteriak,
JILID 20
"Koan Jit, jangan bunuh mereka akan tetapi beri hajaran agar mereka kapok!" Koan Jit mengerutkan alisnya. Kalau menurut keinginannya, lebih mudah membunuh mereka. Akan tetapi diapun sedang mencari muka agar diperhatikan oleh Kapten Charles Elliot karena dia tahu bahwa kapten inilah yang berkuasa di antara pasukan kulit putih, bukan Peter Dull.
Koan Jit memasuki benteng pasukan kulit putih sebagai sekutu atau pembantu bukan sekedar iseng. Dia sudah memiliki perhitungan masak-masak. Dia melihat kekuatan yang amat besar di dalam pasukan itu, dengan senjata-senjata apinya besar kecil yang amat sukar dilawan dengan ilmu silat saja. Maka, selain mencari tempat yang aman untuk berlindung, juga dia dapat mempergunakan kekuatan pasukan kulit putih untuk mencapai kedudukan, baik sebagi pimpinan kau m sesat, juga kedudukan tinggi di dalam pasukan itu sendiri. Dia sengaja membiarkan Peter Dull dan pasukannya mencari-cari Diana, pura-pura membantu namun tidak sungguh-sungguh membantu. Dia ingin melihat Peter Dull gagal dalam usahanya, dan kelak setelah keluarga Charles Elliot benar-benar kebingungan, barulah dia akan tampil sebagai bintang penolong!
Tentu jasanya akan besar sekali. Kedudukan Peter Dull sebagai tangan kanan kapten itu harus diraihnya. Dia memiliki cita-cita yang lebih besar lagi. Bahkan pernah dia bermimpi betapa bersama pasukan kulit putih dia menyerbu dan merampas tahta Kerajaan Mancu dan karena jasajasanya, maka orang-orang kulit putih mengengkat dia sebagai kaisar baru! Karena itu, mendengar perintah yang dikeluarkan oleh mulut Peter Dull tadi, Koan Jit menoleh kepada Kapten Charles Elliot. Dia tahu bahwa kapten itu belum percaya benar kepadanya, baik kelihaiannya maupun kesetiaannya. Dengan pandang matanya dia bertanya dan menanti keputusan kapten itu sebagai orang atasan yang paling berkuasa. Agaknya kapten inipun maklum bahwa orang tinggi kurus ini mengharapkan pendapatnya, maka diapun mengangkat tangan berkata,
"Hajar saja mereka semua, jangan membunuh karena hal itu akan menimbulkan keributan." Ucapan ini melegakan hati Koan Jit. Dia lalu berkata,
"Baik, aku akan menghajar mereka semua sampai kapok!" Setelah berkata demikian, Koan Jit melangkah lebar ke arah lima orang yang masih bersiap siaga itu. Melihat munculnya orang tinggi kurus berpakaian hitam ini seorang diri saja, tanpa senjata, lima orang itu tentu saja memandang rendah.
"Kalian berlima berlututlah dan menerima hukuman cambuk dengan suka rela, atau aku akan menghajarmu lebih parah lagi," kata Koan Jit, sengaja berkata demikian untuk memperlihatkan kebesarannya. Tentu saja lima orang yang anti kulit putih itu tidak sudi menyerah, dan mereka semua memandang Koan Jit yang dianggap sebagai antek dan kaki tangan kulit putih itu penuh kebencian.
"Cuhhh!" Pemimpin kelompok yang masih muda dan bertubuh kokoh itu meludah ke arah Koan Jit, lalu dia berkata kepada teman-temannya, "Biar aku sendiri yang mematahkan kaki tangan anjing penjilat iblis-iblis putih ini!" Dan diapun menerjang dengan dahsyatnya, mengirim pukulan ke arah kepala Koan Jit. Koan Jit miringkan kepalanya sehingga pukulan itu lewat. Akan tetapi kuli muda itu memukul lagi dengan tangan kiri, menonjok dada. Sekali ini Koan Jit tidak mengelak, juga tidak menangkis.
"Dukkk!!" Pukulan itu kuat sekali datangnya dan tepat mengenai dada Koan Jit. Akan tetapi tubuh yang jangkung kurus itu sama sekali tidak tergoyahkan, dan sebaliknya, si pemukul yang merasa tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja dan nyeri sekali, seperti remuk-remuk semua tulangnya. Dan pada saat itu, Koan Jit mengayun tangannya menampar.
"Plakkk!" Tubuh orang muda itu terpelanting seperti disambar petir dan dia tak dapat berkutik lagi, dari mulut dan hidungnya keluar darah segar! Melihat ini, empat orang pembantunya tadi terkejut dan marah. Mereka langsung menyerbu dan menyerang Koan Jit dengan marah sekali.
Kembali pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan menghujani tubuh Koan Jit yang memang hendak memperlihatkan kekebalannya kepada semua orang, terutama kepada Kapten Charles Elliot. Terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi anehnya, bukan tubuh orang yang menjadi sasaran pukulan-pukulan itu yang roboh, melainkan empat orang pemukul dan penendang itu yang mengeluarkan seruan-seruan kaget dan kesakitan ketika kaki dan tangan mereka kesakitan karena rasanya seperti membentur dinding baja. Dan sebelum mereka sempat menyerang lagi, Koan Jit sudah menggerakkan kedua tangan, membagi-bagi tamparan dan empat orang itupun berpelantingan dan roboh pingsan! Menyaksikan kehebatan ini, Kapten Charles Elliot sendiri terkejut dan kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir.
"Jangan membunuh...!"
"Harap Kapten jangan khawatir. Koan Jit akan mentaati perintah dan orang-orang itu tidak dibunuh, hanya dipukul pingsan saja," kata Peter Dull dengan suara mengandung kebanggaan karena bagaimanapun juga, dialah yang telah menemukan Koan Jit dan berhasil membujuknya menjadi sekutu. Kini, dua puluh lebih orang kuli yang menjadi kawan-kawan lima orang itu sudah menyerbu dan mengeroyok Koan Jit, bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata sepotong besi dan lain-lain alat pengangkut yang terdapat di tempat itu.
Dan terjadilah perkelahian yang makin mengagumkan hati Kapten Charles Elliot dan juga mengagumkan hati semua mandor dan orang kulit putih yang berada di situ. Seorang diri saja, Koan Jit melayani pengeroyokan demikian banyaknya orang-orang yang buas karena kemarahan dan dia bergerak seenaknya saja. Akan tetapi, ke manapun juga tangannya melayang, tentu seorang pengeroyok terlempar dan kesakitan, pingsan atau merangkak-rangkak tak dapat bangkit kembali karena mengalami patah tulang. Dan dalam waktu yang amat singkat, hampir tiga puluh orang perusuh itu kini semua menggeletak malang melintang, tubuh mereka berserakan, ada yang pingsan dan ada yang merintih-rintih karena patah tulang dan kesakitan.
"Orang ini berbahaya sekali..." kata kapten itu kepada pembantunya, akan tetapi Peter Dull tersenyum kegirangan karena makin yakinlah hatinya bahwa Koan Jit benar-benar merupakan tenaga bantuan yang amat berharga bagi kesatuannya. Peristiwa ini membawa perubahan semakin besar kepada Koan Jit. Kini Kapten Charles Elliot sendiri yakin akan kehebatan orang ini, dan karena jasanya, juga disesuaikan dengan kemampuannya, kini Koan Jit diangkat menjadi komandan pasukan pribumi yang dibentuk tidak lama kemudian. Pasukan ini terdiri dari jagoan-jagoan yang berhasil dikumpulkan Peter Dull dan kemudian diperkembangkan oleh Koan Jit. Dia menaklukkan tokoh-tokoh sesat dan memaksa mereka itu masuk menjadi anggauta pasukannya.
Pasukan yang terdiri dari pribumi ini mempunyai bendera sendiri, akan tetapi berada di bawah armada Inggeris dan mendapatkan tempat di perbentengan yang dibangun di tepi pantai. Koan Jit amat disegani, dan menduduki tempat penting karena sebagai komandan pasukan itu, dia dianggap seorang perwira tinggi yang kedudukannya hampir setingkat dengan Peter Dull. Bukan Kapten Charles Elliot lagi yang membawahinya, melainkan komandan armada yang pangkatnya jauh lebih tinggi dari pada kapten itu! Pasukan yang dipimpin Koan Jit kini terdiri dari tigaratus orang lebih dan diberi nama Pasukan Harimau Terbang! Semua anggauta pasukan ini mengenakan topi yang terbuat dari kulit harimau! Karena rata-rata memiliki ilmu silat lumayan dan gerakan mereka cepat, maka diberi nama Harimau Terbang.
Sementara itu, Kapten Charles Elliot merasa semakin gelisah karena usaha Peter Dull untuk mencari keponakannyabelum berhasil, pada hal lenyapnya Diana sudah berjalan selama hampir tiga bulan! Dia merasa khawatir sekali kalau-kalau keponakannya itu melakukan penyelewengan seperti yang dilakukan Sheila, puteri mendiang Hellway yang lenyap itu kabarnya telah menjadi isteri seorang di antara para pemberontak! Hal ini merupakan sebuah tamparan yang amat hebat bagi orang-orang kulit putih. Dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau Diana juga mengalami nasib buruk seperti yang dialami Sheila. Dia yang akan menderita aib kalau sampai terjadi hal yang amat memalukan itu. Pada pagi itu, Kapten Elliot membicarakan soal Diana dengan Peter Dull. Untuk kesekian kalinya, dia menegur pembantunya itu.
"Peter, mengapa sampai kini engkau belum juga berhasil menemukan Diana? Ah, apa yang terjadi dengan anak yang malang itu? Apakah engkau tidak mengerahkan seluruh tenaga untuk mencarinya? Ingat, Peter, engkau lah yang bertanggung jawab karena Diana lenyap ketika berjalan-jalan denganmu!" Peter Dull menarik napas panjang. Hal ini memang selalu mengganggunya, bahkan membuat gelisah tak dapat tidur setiap malam.
"Kapten, saya mencinta Diana. Sayalah di samping Kapten yang merupakan orang yang merasa paling kehilangan dan gelisah. Rasanya, saya mau mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan kembali. Tentang kehilangan itu... saya kira Kapten sudah mengenal watak Diana yang keras. Diana yang memaksa saya melakukan perjalanan sejauh itu, bahkan ia juga membalapkan kudanya sampai tak dapat saya susul. Hal ini sudah saya ceritakan berkali-kali...!"
"Aku tidak perduli semua itu! Yang penting, Diana harus dapat kita temukan kembali! Harus!! Dan siapa lagi kalau bukan engkau yang dapat kuharapkan dan kupercaya untuk melakukan tugas itu sampai berhasil?"
"Selama ini saya tidak pernah berhenti berusaha menyebar orang-orang kita, bahkan juga pasukan Harimau Terbang sudah membantu, akan tetapi hasilnya kosong. Dengan sedih saya terpaksa berterus terang dengan dugaan saya bahwa Diana terjatuh ke tangan para pemberontak yang anti kepada kita, sehingga mereka itu merahasiakan di mana adanya Diana."
"Kita harus dapat menemukan Diana!" Kapten itu marah sekali dan juga gelisah.
"Panggil Koan Jit ke sini!" Koan Jit dipanggil menghadap dan diam-diam orang ini merasa gembira sekali. Inilah saat yang dinanti-nantinya. Ketika Kapten itu menyatakan keinginannya agar Koan Jit turun tangan dan membantu sungguh-sungguh agar Diana dapat ditemukan kembali, sengaja Koan Jit menoleh kepada Peter Dull dan berkata.
"Harap Kapten suka memaafkan saya. Selama ini, saya hanya melakukan perintahperintah Letnan Peter Dull dalam usaha mencari keponakan Tuan."
"Cukup! Sekarang engkau menerima perintah langsung dariku dan kau boleh melakukan pencarian dengan caramu sendiri!" kata Kapten itu tak sabar.
"Baiklah, Kapten. Mulai hari ini, saya akan berusaha mati-matian untuk menemukan keponakan Tuan, dan akan saya kerahkan anak buah saya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Saya yakin bahwa dalam waktu singkat tentu akan dapat diperoleh kabar tentang keponakan Tuan itu." Dia berhenti sebentar dan berkata kepada Letnan Peter Dull,
"Apakah Letnan sudah menyampaikan permintaan saya kepada Kapten?" Peter Dull sedang pusing karena dimarahi atasannya.
"Permintaanmu itu sedang kupertimbangkan dan tidak ada sangkut pautnya dengan usaha mencari Diana!"
"Apa permintaanmu itu, Koan Jit?" Mendengar pertanyaan itu, Koan Jit tersenyum.
"Saya ingin sekali melihat kemajuan kekuasaan pasukan Inggeris dan satu-satunya hal yang menjadi penghalang besar adalah kelompok-kelompok yang anti kepada bangsa kulit putih. Saya ingin mengundang semua tokoh persilatan, terutama dari golongan hitam untuk kita ajak bersama menghadapi pemerintah Mancu. Kalau mereka semua sudah berpihak kepada kita, tentu golongan yang anti kepada kita itu akan mundur. Dan saya minta agar pasukan Inggeris membantu saya dalam hal ini, yaitu setelah mereka datang berkumpul, kita basmi mereka yang tidak mau bersekutu. Dan agar pasukan membantu saya supaya dapat menjadi beng-cu di antara mereka." Bagi Kapten Charles Elliot, semua usul Koan Jit itu dianggap hanya ambisi seorang yang ingin menjadi pemimpin para jagoan. Dia sedang pusing memikirkan Diana, maka permintaan itu dianggap sepele saja.
"Baiklah, kami akan membantumu kelak. Sekarang yang penting adalah mencari Diana sampai dapat. Tentang usul-usulmu, akan kubicarakan dengan Admiral Elliot, dan aku yakin dia akan setuju karena usahamu itu untuk memperkuat kedudukan kami pula." Bukan main girang hati Koan Jit mendengar ini. Admiral Elliot adalah komandan tertinggi dari armada Inggeris yang datang dan memberi hajaran kepada pemerintah Mancu karena membakar candu sehingga timbul perang candu. Pasukan Harimau Terbang memang juga direstui oleh Admiral, akan tetapi dia,
Sebagai komandan pasukan itu yang dianggap kecil, mana mungkin bertemu dan bicara dengan Admiral Elliot yang kedudukannya demikian tinggi, sebagai wakil dari Kerajaan Inggeris? Akan tetapi, melalui kapten ini yang masih keponakan dari admiral itu, tentu usul-usulnya akan dapat disampaikan langsung dan kalau sampai dia dapat menjadi beng-cu, kalau sampai dia dapat memperoleh kedudukan tinggi di dalam pasukan Inggeris dan menguasai dunia hitam, tentu akan mudah mencapai puncak cita-citanya, yaitu merebut tahta Kerajaan Ceng! Memang sebetulnya, mencari Diana sampai dapat, baik orangnya kalau masih hidup atau keterangan tentang dirinya kalau sudah mati, tidak terlalu sukar bagi Koan Jit kalau memang hal itu dikehendakinya. Sekarang, setelah dia mendapatkan tugas langsung dari Kapten Charles Elliot,
Koan Jit lalu mengerahkan anak buahnya, menyuruh mereka menanggalkan pakaian seragam, mengenakan pakaian biasa dan membagi-bagi kelompok pergi mencari keterangan tentang seorang gadis kulit putih yang mungkin tinggal di daerah padalaman. Dengan berkelompok antara lima sampai se puluh orang, ratusan orang anggauta Harimau Terbang itu dalam pakaian preman mulai melakukan penyelidikan. Mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan-hutan, naik turun bukit, menyusuri sepanjang sungai sampai mereka tiba di daerah-daerah terpencil. Akhirnya, beberapa hari kemudian saja, sekelompok yang terdiri dari se puluh orang dapat menemukan jejak, yaitu ketika mereka mendengar bahwa di suatu dusun terpencil terdapat seorang wanita kulit putih yang hidup seperti penduduk dusun.
Tentu saja mereka merasa girang sekali dan dengan cepat mereka mendatangi dusun itu. Memang berita itu tidak bohong. Di dusun itulah hidup Diana! Selama lebih dari tiga bulan Diana hidup sebagai seorang gadis dusun. Kini kulitnya yang biasanya putih mulus itu menjadi kemerahan dan wajahnya kini nampak berseri penuh gairah hidup. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan miskin sederhana, bahkan mulai dapat menikmati kehidupan ini dan mulai mengerti akan makna kebahagiaan hidup. Berkat pendidikannya, ia bahkan mulai mengajarkan segala macam pengetahuan praktis kepada penduduk, tentang pemeliharaan kesehatan, tentang pengolahan tanah yang diketahuinya dari buku-buku, tentang kebersihan dan lain-lain. Di samping itu, iapun menerima pelajaran yang langsung didapatnya dari praktek.
Bahkan ia sempat pula belajar ilmu silat dari Lauw Sek yang sudah menganggapnya sebagai anak atau keponakan sendiri. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Diana sudah pergi ke sawah ladang bersama keluarga Lauw. Pagi itu mereka akan menuai padi yang sudah menguning tua. Juga para penduduk dusun itu, pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah, pergi ke sawah. Karena sawah mereka menghasilkan padi yang gemuk dan subur, semua orang bergembira dan bahkan ada yang bernyanyi-nyanyi dengan suara lantang ketika mereka menuai padi. Seorang di antara kau m wanita yang sedang menuai padi itu tiba-tiba minta agar Diana suka bernyanyi. Permintaan ini segera didukung oleh semua orang dan sambil tersenyum gembira akhirnya Diana memenuhi permintaan mereka dan sambil menuai padi, iapun bernyanyi.
Ia menyanyikan sebuah lagu Inggeris yang biarpun tidak dimengerti arti kata-katanya oleh mereka yang mendengarkan, namun karena suara Diana merdu dan lagu itu adalah lagu rakyat, mereka dapat juga menikmati lagu itu. Akan tetapi, tiba-tiba semua orang terkejut dan Diana menghentikan nyanyiannya. Sekelompok orang muncul di tengah sawah dan mereka itu adalah se puluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan bengis. Apa lagi melihat betapa di punggung mereka terselip golok atau pedang, semua orang makin ketakutan. Pada jaman itu, pemerintah melarang orang membawa senjata tajam. Oleh karena itu, yang berani membawa senjata tajam hanyalah dua golongan saja, para perampok dan pasukan pemerintah.
Bahkan para pendekar sekalipun, untuk menghindarkan keributan, menyembunyikan senjata mereka, kalau mereka membawanya. Munculnya se puluh orang pria yang membawa senjata tajam ini tentu menimbulkan panik dan para petani itu serentak menghentikan pekerjaan mereka dan berkumpul. Anak-anak dan wanita-wanita segera mendekati Ayah dan suami mereka seperti anak-anak ayam melihat burung elang dan lari bersembunyi di bawah sayap induknya. Sejenak mereka hanya saling pandang saja. Akan tetapi, se puluh orangyang bukan lain adalah para anggauta Harimau Terbang itu, hanya memandang ke arah Diana dengan penuh perhatian, tanpa memperdulikan orang-orang lain. Laiuw Sek yang berdiri di dekat Diana, lalu berbisik,
"Diana, bersembunyilah di belakangku." Diana yang tidak tahu mengapa semua orang nampak begitu terkejut bahkan seperti orang ketakutan, tidak mau bersembunyi, bahkan bertanya,
"Paman, siapakah mereka itu dan mengapa kalian semua kelihatan takut?" Sebelum Lauw Sek sempat menjawab, seorang di antara se puluh orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan kumisnya melintang menyerankan, bertanya, suaranya menggeledek nyaring sekali,
"Heii! Nona kulit putih, apakah engkau yang bernama Diana?" Sebelum Diana menjawab, Lauw Sek yang lebih dulu menjawab denga suara berteriak, "Bukan! Namanya bukan Diana dan di sini
Diana menjadi semakin heran. Mengapa Lauw Sek membohong? Akan tetapi, ia sendiri tidak takut menghadapi se puluh orang itu dan ia menganggap semua ini seperti lelucon saja, maka iapun berkata,
"Namaku Jane, bukan Diana!" Akan tetapi si kumis melintang yang menjadi pimpinan kelompok itu agaknya tidak mau pulang dengan tangan kosong. Sambil tertawa bergelak dia berkata,
"Namamu Diana atau Jane atau siapapun juga, engkau harus ikut bersama kami ke Kanton!"
"Aku tidak mau!" Diana membentak marah. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh memaksanya pergi meninggalkan tempat dan kehidupan yang menarik hatinya itu.
"Kau mau atau tidak bukan urusanku, nona. Akan tetapi tugas kami hanyalah membawamu ke Kanton, kalau kau tidak mau terpaksa kami akan memondong atau memanggulmu, ha-ha-ha!" Sembilan orang temannya juga ikut tertawa, membayangkan keadaan yang menyenangkan, yaitu memondong atau memanggul nona kulit putih yang cantik itu.
"Tidak ada yang boleh membawa pergi nona ini!" Tiba-tiba Lauw Sek berdiri menghadang di depan Diana dengan sikap gagah dan melindungi. Si kumis melintang melotot dan membentak marah.
"Petani busuk, siapa kau berani mencampuri urusan kami!"
"Nona ini adalah anak angkat kami!" Lauw Sek membentak pula.
"Dan kami akan melawan siapa saja yang berani mengganggunya!" Para petani lain juga maju, dengan cangkul dan segala alat pertanian lain mereka mengambil sikap melindungi Diana. Melihat in, diam-diam Diana merasa terharu sekali. Orang-orang dusun yang sederhana dan miskin ini ternyata adalah orang-orang yang memiliki budi yang luhur dan memiliki rasa setia kawan dan ketabahan besar. Akan tetapi, se puluh orang laki-laki itu adalah golongan penjahat yang telah menjadi anggauta Pasukan Harimau Terbang. Mereka tertawa bergelak melihat sikap para petani itu yang hendak melawan, apa lagi melihat betapa di antara mereka terdapat Kakek-kakek tua dan juga wanita-wanita yang agaknya nekat hendak melindungi gadis kulit putih itu.
"Ha-ha-ha, kalian mencari mampus!" kata si kumis melintang, lalu dia memerintahkan kepada anak buahnya.
"Hajar mereka itu dan biarkan aku yang akan menangkap nona ini!"
"Tahan!" Tiba-tiba Diana membentak marah.
"Apakah kalian ini utusan dari komandan Peter Dull!" Mendengar disebutnya nama Peter Dull oleh Diana, si kumis melintang mengangkat tangan memberi isyarat agar teman-temannya jangan bergerak dulu. Dia memandang dengan tajam kepada Diana.
"Kami mengenal Tuan Peter Dull."
"Kalau begitu, pergilah dan jangan menganggu aku. Aku adalah keponakan Kapten Charles Elliot!"
"Ha! Kalau begitu benar engkau nona Diana?" kata si kumis melintang, girang bukan main.
"Benar, aku Diana dan kalau kalian bersikap kasar, kelak aku akan melaporkan kepada pamanku Kapten Charles Elliot!"
"Ha-ha-ha, nona Diana. Justeru beliau yang mengutus kami untuk membawa nona pulang ke Kanton."
"Aku tidak mau!"
"Maaf, nona. Mau atau tidak, kami harus membawa nona ke Kanton. Demikianlah perintah yang harus kami jalankan."
"Pergilah kalian orang-orang jahat!" Lauw Sek membentak dan bersama kawankawannya diapun menyerbu dan hendak menghalau se puluh orang itu. Akan tetapi se puluh orang itu melawan dan terjadilah perkelahian yang kacau balau di tengah sawah! Perkelahian yang tidak seimbang karena para petani itu tentu saja lebih pandai mengayun cangkul menggarap tanah dari pada berkelahi, apa lagi melawan se puluh orang tukang berkelahi itu. Si kumis melintang sendiri lalu menubruk dan menangkap lengan Diana.
"Marilah, nona," katanya sambil tertawa.
"Bngsat, lepaskan!" Diana merengut lengannya dan menendang. Kakinya besar dan kuat, dan dia masih memakai sepatunya yang lama, sepatu boot yang keras.
"Takkk!" Ujung sepatu itu tepat mengenai tulang kering kaki si kumis melintang.
"Aughhh... aduhh-aduhh-aduh...!" Si kumis melintang berjingkrak-jingkrak kesakitan akan tetapi dia tidak melepaskan pegangannya. Terjadilah betot membetot. Akan tetapi, biarpun Diana memiliki perawakan tinggi dan lebih besar dibandingkan wanita pada umumnya, tentu saja ia kalah kuat. Juga latihan silat yang diterimanya dari Lauw Sek tidak ada artinya bagi si kumis melintang, maka akhirnya ia dapat diringkus dan dipanggul. Diana meronta-ronta,
"Lepaskan! Awas kau , akan kulaporkan kepada paman dan engkau akan ditembak mampus!" Akan tetapi si kumis melintang yang sudah menerima perintah dari Koan Jit agar membawa pulang Diana, kalau perlu dengan paksa, tidak mau melepaskannya. Sementara itu, orang-orang yang tadi membelanya kini sudah kocar kacir, dihajar oleh kawanan anggauta pasukan Harimau Terbang itu. Mereka babak belur dan ada yang patah-patah tulangnya. Si kumis melintang memberi aba-aba dan mereka semua lalu pergi dari situ dan Diana masih terus dipanggul oleh si kumis melintang. Diana meronta-ronta, menjerit-jerit dan memaki-maki.
Akan tetapi, se puluh orang itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa melakukan segala macam perbuatan busuk dan tidak patut, di antaranya suka sekali mengganggu wanita. Maka, ulah Diana itu membuat mereka semua menjadi marah karena dimaki-maki dan mulailah mereka memperlihatkan sikap kurang ajar. Banyak tangan mulai mencolek-colek tubuh Diana yang masih dipanggul si kumis melintang. Tentu saja Diana merasa semakin marah akan tetapi juga merasa ngeri karena kini ia takut kalau-kalau se puluh orang itu akan berbuat yang tidak sopan terhadap dirinya lebih lanjut. Bagaimana kalau sampai ia diperkosa oleh mereka? Membayangkan ini, Diana tidak berani lagi meronta dan ia mulai menangis, ditertawakan oleh se puluh orang itu yang terus membawa menuju ke Kanton. Menjelang senja ronbongan ini tiba di sebuah hutan.
"Wah, agaknya kita harus bermalam di dalam hutan ini," kata si kumis melintang sambil menurunkan tubuh Diana ke atas tanah untuk menghapus keringatnya karena gadis ini terus meronta. Diana rebah terlentang dan matanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada mereka.
"Kenapa tidak terus saja dan bermalam di dalam dusun? Kita bisa menggunakan rumah penduduk."
"Dan kita perlu mencari teman-teman untuk melewatkan malam dingin, ha-ha!"
"Atau kita bagi-bagi saja sama rata perempuan bule ini. Akur?"
"Akur! Akur!" Mereka semua berseru gembira. Tentu saja mereka hanya menggoda Diana yang sudah menjadi pucat karena merasa ngeri dan ketakutan.
"Jangan... Oohhh, jangan ganggu aku... Jangan...!" ia berkata dengan mata terbelalak liar ke kanan kiri seperti mata seekor kelinci yang sudah tersudut dan dikepung harimau-harimau kelaparan. Sikap ini membuat mereka menjadi semakin buas.
"Wah, siapa yang akan bersenangsenang lebih dulu?"
"Tentu aku!" kata si kumis melintang.
"Dan setelah aku, agar adil, harus diundi di antara kalian."
"Akur! Mari kita undi." Disaksikan oleh Diana yang menjadi semakin ketakutan, si kumis melintang melakukan undian di antara sembilan orang temannya untuk menentukan siapa yang mendapat giliran sebagai nomor dua, nomor tiga dan seterusnya. Hampir pingsan Diana membayangkan dirinya dipermainkan se puluh orang itu saking ngerinya.
"Jangan... ganggu aku..." Ia berkata lagi.
"Aku berjanji, kalau kalian berlaku baik kepadaku, kelak aku akan minta kepada pamanku agar memberi hadiah yang banyak kepada kalian, sebaliknya kalau kalian... kalian menggangguku, kalian tentu akan dihukum berat."
"Heh-heh, nona manis, bukan engkau yang harus mengajukan syarat-syarat, melainkan kami. Dengar baik-baik. Mestinya engkau ini kami bunuh, akan tetapi kalau engkau mau melayani kami satu demi satu dengan manis, kemudian kelak memberi laporan yang baik kepada pamanm, maka engkau tidak akan kami bunuh. Bagaimana? Ha-ha-ha!" Dan semua orang tertawa bergelak. Wajah Diana menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak.
"Bunuh saja aku...,kalau begitu bunuh saja aku, jangan ganggu aku...!" tangisnya.
"Aduh sayang kalau dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh, bagaimana kalau engkau bersenang-senang dulu dengan kami semalam ini?"
"Berikan saja kepadaku kalau mau dibunuh."
"Untukku saja" Kembali mereka tertawa-tawa bergelak. Orang-orang kasar ini memang tidak memikirkan bahwa mereka dapat celaka kalau gadis itu kelak mengadu kepada pamannya. Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan perbuatan-perbuatan apa saja demi memuaskan nafsu dan kesenangan diri sendiri tanpa mengingat akan akibat-akibatnya. Yang mereka takuti adalah Koan Jit, bukan para komandan kulit putih. Andaikata Diana mengancam mereka untuk melaporkan kepada Koan Jit, agaknya mereka itu akan teringat dan menjadi jerih.
"Sekarang begini," tiba-tiba si kumis melintang berkata.
"Kalau nona memberi ciuman yang mesra kepadaku, aku akan mempertimbangkan permintaanmu tadi. Bagaimana? Ha-ha-ha, hayo cium yang mesra, nona." Dan si kumis melintang itu membantu Diana bangkit duduk, kemudian dia mendekatkan mukanya yang dihias kumis melintang. Hampir muntah Diana ketika mukanya berdekatan seperti itu, tercium bau apak dan memuakkan. Ia memejamkan mata dan tentu saja tidak mau melakukan ciuman yang diminta. Ia hanya takut kalau si kumis itu yang akan menciumnya dengan paksa, maka ia memejamkan mata, dan menangis. Pada saat itu tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan seorang pria yang lantang.
"Kalian ini manusia ataukah binatang? Hayo lepaskan gadis itu!" Si kumis melintang terkejut, melepaskan tubuh Diana yang jatuh rebah terlentang kembali. Seperti se puluh orang itu yang sudah berloncatan bangun, Diana juga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di situ. Cuaca masih cukup terang sehingga ia dapat melihat seorang pemuda yang gagah, yang muncul dan mengeluarkan bentakan tadi. Seorang pemuda yang bertubuh tegap, berpakaian sederhana seperti pakaian seorang petani, dengan rambut hitam panjang dikuncir tebal bergantung di belakang punggungnya,
Wajahnya nampak tampan dan cerah, matanya bersinar tajam akan tetapi lembut. Timbul kekhawatiran di dalam hati Diana. Pemuda itu biarpun tampan dan wajahnya membayangkan wibawa, namun melihat pakaiannya tidak ada bedanya dengan pemuda-pemuda dusun Lauw Sek, maka munculnya pemuda itu tentu hanya akan berupa bunuh diri saja. Mana mungkin pemuda ini akan mampu mencegah perbuatan se puluh orang jahat itu? Dapat dibayangkan betapa marah si kumis melintang dan sembilan orang kawannya melihat munculnya seorang pemuda petani yang berani menegur mereka bahkan menyuruh mereka melepaskan Diana. Si kumis melintang melangkah maju sampai dekat sekali di depan pemuda itu dan memandang dengan mata melotot dan wajahnya beringas penuh ancaman.
"Bocah keparat apakah kau sudah bosan hidup?" Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan lagi kepada pemuda itu untuk bicara, si kumis melintang sudah mengayun kepalan kanannya menghantam ke arah pemuda itu. Si kumis ini merupakan jagoan di antara teman-temannya dan pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar yang kuat. Akan tetapi agaknya, bagi pemuda itu dia bukan apa-apa.
Pukulan ke arah dagu itu dielakkan dengan amat mudah, hanya miringkan kepala saja dan begitu pemuda itu menggerakkan tangan kirinya, tubuh si kumis terpelanting keras dan terbanting ke atas tanah. Dia berteriak dan meringis kesakitan mencoba untuk bangkit, akan tetapi jatuh lagi karena agaknya ketika terbanting keras tadi urat kakinya terkilir. Pemuda itu sekali meloncat sudah berada di dekat Diana dan gadis itu sendiri tidak tahu apa yang dilakukan pemuda itu, akan tetapi tahu-tahu ikatan kaki tangannya terlepas! Sembilan anggauta Harimau Terbang itu menjadi marah bukan main melihat betapa pemimpin mereka roboh. Mereka semua tahu bahwa pemuda itu tentu lihai, maka merekapun tanpa dikomando lagi sudah mencabut golok atau pedang masing-masing dan seperti segerombolan srigala mereka menyerbu ke arah pemuda itu.
Diana terbelalak dan kini hatinya penuh gelisah, mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Ngeri hatinya membayangkan tubuh pemuda yang telah menolongnya itu, di depan matanya, akan dicingcang sampai hancur. Bangkitlah semangatnya ketika ia melihat seorang lawan yang menyerang pertama kali, entah bagaimana caranya, telah dirobohkan pula oleh pemuda itu hanya dengan satu kali gerakan tangan. Bukan main kagum rasa hati Diana dan iapun bangkit menyambar sepotong kayu kering patahan pohon dan gadis inipun menghampiri mereka yang sudah roboh. Agaknya setiap orang lawan yang menyerang pemuda itu, segebrakan saja sudah dirobohkan dan yang sudah roboh itu tidak mampu menyerang lagi, ada yang mengaduh-aduh memegangi kakinya, pundaknya dan lain-lain. Agaknya mereka itu mengalami tulang patah.
Diana, dengan hati penuh kegemasan, mengayun potongan kayu di tangannya itu, mengamuk di antara lawan yang sudah tak mampu bangkit kembali. Pentungan itu diayun keraskeras dan menghantam tubuh-tubuh itu. Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika gadis ini mengamuk. Ia termasuk wanita yang bertenaga kuat dan pukulan tongkatnya yang menimpa pundak, atau dada, atau kepala tanpa pilih tempat cukup keras membuat mereka yang sudah menderita patah tulang itu menjadi semakin kesakitan. Kalau tidak patah lagi tulang bagian lain, atau kepala menjadi bocor terpukul tongkat itu, sedikitnya tentu mereka merasa tubuh mereka memar-memar dan babak bundas. Pemuda itu memang hebat bukan main. Se puluh orang yang rata-rata memiliki tenaga besar dan pandai bersilat mengeroyoknya, bahkan yang sembilan orang mempergunakan senjata tajam.
Dan dia hanya membutuhkan sembilan kali gebrakan saja dengan tangan menampar untuk menyelesaikan perkelahian itu. Se puluh orang itu hanya terkena tamparan tangan satu kali saja dan mereka sudah roboh tak mampu melanjutkan perkelahian! Jelaslah bahwa kalau pemuda itu menghendaki, kalau dia mempergunakan tenaga yang lebih besar, se puluh orang itu bukan hanya roboh menderita patah tulang, melainkan besar sekali kemungkinannya mereka takkan mampu bangun kembali untuk selamanya! Kini, melihat betapa Diana mengamuk dan menggebuki orang-orang yang sudah tak mampu melawan itu dengan kayu di tangannya, seperti orang menggebuki anjing saja, pemuda itu lalu meloncat dan dengan halus dia memegang lengan Diana.
"Sudahlah, nona, mereka sudah cukup mendapatkan hukuman," katanya denga sikap sopan dan halus, dan sentuhan tangannya pada lengan Diana itupun cepat dihentikan dan tangannya ditariknya kembali. Diana melempar kayunya dan membalikkan tubuh, menghadapi pemuda perkasa itu. Sejenak ia hanya memandang dengan mata bersinar-sinar, penuh kekaguman, menjelajahi wajah yang tampan dan gagah itu. Ia seperti melihat seorang mahluk yang aneh dan amat indah mengagumkan. Demikian terpesona ia sampai tidak mampu berkata-kata. Ia teringat akan sahabat baiknya, Siauw Lian Hong yang amat dikaguminya dan disayangnya. Besar sekali persamaan antara pemuda ini dan Lian Hong, sama anggun, sama tinggi ilmu kepandaiannya. Hanya bedanya, kalau Lian Hong seorang gadis cantik jelita, pemuda ini adalah seorang laki-laki yang tampan.
"Kau... kau penolongku... siapakah namamu?" akhirnya ia mampu juga mengeluarkan suara. Melihat betapa sepasang mata yang indah dan aneh karena warnanya biru itu memandang kepadanya dengan sinar bercahaya penuh kekaguman, dan bibir itu gemetar ketika bicara, pemuda itu melangkah mundur dua tindak.
"Tak perlu diketahui, nona, tak perlu diingat lagi. Itu kawan-kawanmu telah datang." Pemuda itu menunjuk ke kiri dan Diana menengok. Dilihatnya Lauw Sek dan para penduduk dusun datang berlari-lari. Melihat Lauw Sek, Diana lari menyambut dan merangkul orang tua itu yang nampaknya luka-luka berdarah pada pipi dan pahanya.
"Paman Lauw...!" Gadis itu menangis dalam rangkulan Lauw Sek. Semua penduduk dusun merubungnya dan menghiburnya. Tiba-tiba Diana melepaskan pelukan orang tua itu dan menengok, mencari-cari dengan pandang matanya.
"Di mana dia...?"
"Dia... penolongku, di mana dia?" Seorang di antara mereka berkata,
"Dia sudah pergi tanpa pamit!" Lauw Sek menarik napas panjang.
"Pemuda itu luar biasa sekali. Tadi dia datang dan menemukan kami dalam keadaan babak belur dihajar gerombolan itu."
"Eh, mana gerombolan itu...?" Diana memotong.
"Mereka sudah pergi saling bantu, dan keadaan mereka lebih parah dari pada kami," kata seorang di antara mereka.
"Siapakah pemuda itu, paman?"
"Kami tidak mengenalnya, Diana. Tadi dia muncul dan kami beri tahu bahwa kami diserang oleh gerombolan jahat yang melarikan kau . Pemuda itu lalu menghilang begitu saja..."
"Dia berkelebat dan lenyap. Kami melakukan pengejaran dan melihat engkau selamat," kata seorang lain.
"Ahhh... dan dia tadi tidak mau mengaku siapa namanya. Ah, paman Lauw, sungguh aku menyesal
sekali. Dia telah menyelamatkan aku, mungkin menyelamatkan nyawaku, dan tak seorangpun di antara kita mengenalnya."
"Dia tentu seorang pendekar muda yang amat lihai."
"Seperti Lian Hong?" Lauw Sek menghela napas.
"Aku tidak tahu apakah ada orang yang dapat dibandingkan dengan nona Siauw. Akan tetapi pemuda itu tentu lihai sekali kalau seorang diri dia mampu merobohkan se puluh orang penjahat tadi."
"Merobohkan? Wah, kalian tidak melihatnya tadi. Dia hampir tidak berkelahi sama sekali! Setiap kali menggerakkan tangan, seorang lawan roboh." Diana merasa menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya dan di dalam hatinya ia merasa kagum bukan main. Ia makin mengerti sekarang bahwa di dalam negara yang rakyatnya kelihatan masih terbelakang dan bodoh ini ternyata terdapat banyak orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali,
Orang-orang aneh yang setelah menyelamatkan nyawa seorang lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan namanya dikenal. Ia kagum sekali dan wajah pemuda itu terukir di dalam lubuk hatinya. Ia takkan dapat melupakan peristiwa itu, takkan dapat melupakan wajah yang tampan sederhana itu. Lauw Sek dan para penghuni dusun itu lalu mengajak Diana pulang ke dusun mereka. Melihat betapa banyak orang dusun luka-luka karena membela dirinya, Diana merasa terharu sekali dan iapun membantu untuk merawat mereka yang luka-luka. Koan Jit marah bukan main mendengar laporan anak buahnya, se puluh orang yang kembali menderita luka-luka itu. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa mereka itu gagal membawa pulang Diana hanya karena dihalangi oleh seorang pemuda yang tidak mereka ketahui siapa.
"Gentong-gentong nasi tiada guna!" Dia memaki marah.
"Hanya menghadapi satu orang saja kalian tidak mampu mengalahkan dan pulang dengan tangan kosong, juga dengan menderita luka-luka. Kenapa kalian semua tidak mampus saja!" Si kumis melintang dengan muka pucat dan tubuh menggigil berlutut di depan Koan Jit.
"Harap tai-Ciangkun sudi mengampunkan kami. Pemuda itu sungguh bukan manusia biasa. Kami se puluh orang sudah berusaha sekuat tenaga, mempergunakan senjata-senjata kami melawan sampai akhirnya kami roboh tak mampu melawan lagi. Dia amat lihai sekali dan agaknya hanya paduka saja yang akan mampu mengalahkannya." Koan Jit mengepal tinju.
"Keparat! Masa untuk membawa pulang seorang perempuan kulit putih saja harus aku sendiri yang maju?" Koan Jit marah bukan main. Baru kemarin, rombongan lain juga datang dengan tubuh babak belur. Rombongan yang terdiri dari belasan orang itu mendengar adanya seorang gadis bule di sebuah perkampungan di lereng gunung. Mereka segera mendatangi wanita itu dan karena mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya keponakan Kapten Charles Elliot, mereka yang biasa bersikap kasar ini hendak memaksa wanita itu untuk ikut dengan mereka ke Kanton. Akan tetapi, ternyata wanita bule sudah bersuami dan suaminya lalu mengamuk. Mereka dihajar babak belur karena suami wanita itu adalah seorang pendekar yang amat lihai, yaitu Gan Seng Bu, sute dari Koan Jit sendiri.
Wanita itu adalah Sheila, puteri mendiang opsir Hellway. Tentu saja Koan Jit marah sekali mendengar bahwa yang menghajar anak buahnya ini bernama Gan Seng Bu, sutenya sendiri. Dia juga sudah mendengar tentang wanita Inggeris yang menikah dengan seorang pemberontak, akan tetapi baru sekarang dia mendengar bahwa pemberontak itu adalah Gan Seng Bu, seorang di antara dua orang sutenya. Sebelum kemarahan itu reda, kini si kumis melintang bersama anak buahnya datang memberi laporan bahwa mereka sudah menemukan tempat tinggal Diana akan tetapi mereka tidak berhasil membawa Diana pulang bahkan dihajar babak belur pula oleh seorang pemuda yang tidak terkenal. Tentu saja dia tidak dapat bertindak apa-apa terhadap Sheila, karena bukan wanita itu yang dicarinya.
"Antar aku ke tempat wanita itu!" hardiknya kepada si kumis melintang. Lalu dia melaporkan kepada Kapten Charles Elliot bahwa dia sudah berhasil menemukan tempat tinggal Diana dan dia akan berangkat sendiri menjemput, membawa sebuah kereta ditemani oleh si kumis melintang. Koan jit adalah seorang yang berwatak tinggi hati dan seperti biasa orang yang berwatak tinggi hati, dia memandang rendah kepada siapapun juga dan penuturan si kumis melintang bahwa Diana dilindungi seorang pemuda yang telah merobohkan se puluh orang anak buahnya itu sama sekali tidak membuat dia menjadi gentar, bahkan menimbulkan rasa penasaran dan kemarahannya. Dia yakin akan dapat mengalahkan pemuda itu atau siapapun juga,
Maka dengan hati penuh geram dia pergi bersama si kumis melintang untuk menghajar pemuda lancang itu dan turun tangan sendiri menjemput Diana. Agaknya bintang peruntungan Koan Jit sedang gelap, dia sedang dilanda kesialan. Ketika keretanya tiba di dusun di mana Diana tinggal, dan bersama si kumis melintang dia meloncat turun, di tonton oleh para penduduk dusun, tiba-tiba nampak Diana muncul bersama seorang gadis lain dan seorang Kakek kurus berbaju tambal-tambalan. Koan Jit sama sekali tidak mengenal gadis dan Kakek itu, akan tetapi mudah menduga bahwa gadis cantik berkulit putih bermata biru dan berambut kuning emas itu tentulah Diana yang dicarinya. Dia sama sekali tidak memandang kepada para penduduk di situ dan dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu dan berbisik kepada si kumis melintang,
"Mana pelindungnya itu?"
"Tidak ada..., tidak nampak..." si kumis melintang menjawab sambil menoleh ke kanan kiri dengan sikap takut-takut. Hati orang ini masih gentar kalau dia mengenang kelihaian pemuda yang pernah menolong Diana dan legalah dia tidak melihat adanya pemuda itu di situ. Sementara itu, Koan Jit yang ingin tugasnya cepat-cepat selesai, sudah menghadapi Diana dan berkata,
"Nona Diana, silahkan naik ke kereta. Aku datang menjemput nona atas kehendak pamanmu Kapten Charles Elliot." Suaranya mengandung desakan yang kuat sehingga Diana merasa khawatir juga. Orang ini berada dengan si kumis melintang itu dan sikap orang yang berwibawa ini membuat ia gemetar.
"Tidak perlu dijemput, kalau aku ingin kembali ke Kanton, tentu akan kulakukan itu. Aku belum mau pulang, harap engkau suka menyampaikan pesanku kepada pamanku."
"Nona Diana, aku telah dimintai tolong oleh pamanmu untuk membawamu pulang ke Kanton, baik engkau mau atau tidak. Kalau nona tidak mau, terpaksa akan kupaksa." Koan Jit tidak mengatakan bahwa dia diutus atau diperintah, melainkan berkata bahwa paman Diana itu minta tolong kepadanya. Hal ini saja menunjukkan ketinggian hatinya.
🖐
"Aku tidak mau pulang!" Diana berkata lagi, kini agak marah.
"Terpaksa aku memaksamu!" kata Koan Jit dan tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke depan hendak menangkap pergelangan tangan Diana.
"Plakk!!!" Tiba-tiba tangannya itu tertangkis dan dia merasa betapa telapak tangannya tergetar. Dia terkejut dan marah, dan ketika dia memandang wajah gadis yang telah menangkisnya itu, dia makin kaget karena dia seperti pernah melihat gadis ini.
"Koan Jit, di mana-mana engkau mempergunakan tenaga dan kepandaian untuk menghina dan memaksa orang. Apa kau sudah lupa kepadaku?"
"Ah, kau kiranya!" bentaknya dan kini dia teringat. Gadis inilah yang dulu pernah membebaskan Ciu Kui Eng. Kemarahannya memuncak.
"Kau lagi yang menghalangiku? Sekarang akan kubunuh kau !" Dan diapun menyerang dengan dahsyat. Kalau dulu dia kalah oleh gadis ini karena gadis ini mengeroyoknya bersama Kui Eng, murid Tee-tok yang cukup lihai itu.
"Wuuutttt...!" Tamparan yang akan menghancurkan batu karang itu lewat di samping kepala gadis itu yang bukan lain adalah Siauw Lian Hong, membalas dengan totokan gagang kipasnya yang sudah dikeluarkannya dengan cepat. Gagang kipas itu melakukan totokan di dekat siku lengan Koan Jit yang tadi menyerang. Murid pertama Thian-tok ini tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini. Kalau terkena totokan itu, lengannya akan lumpuh dan hal itu berbahaya sekali, maka terpaksa dia menarik kembali lengannya dan dari bawah kakinya menyambar.
Semua gerakannya dilakukan dengan kecepatan kilat, maka penasaranlah dia ketika kembali gadis itu mampu menghindarkan diri dari tendangannya. Sebelum dia dapat menyerang lagi, tiba-tiba ada angin yang amat kuat dari arah kiri. Dia terkejut dan memutar tubuh ke kiri, siap untuk menandingi lawan yang kuat ini dan ternyata dia berhadapan dengan Kakek berbaju tambal-tambalan tadi. Koan Jit makin terkejut dan diperhatikannya orang itu. Seorang Kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, kurus dengan baju tambal-tambalan akan tetapi bersih, mukanya kusut dan mulutnya tersenyum terus! Yang membuat Koan Jit merasa kaget adalah ketika dia melihat sebuah kipas butut di tangan kiri Kakek itu.
"Ah, apakah aku berhadapan dengan San-tok?" Kakek itu memperlebar senyumnya.
"Ha-ha, murid pertama Thian-tok sungguh hebat dan mengagumkan, mungkin dapat mengangkat dirimu di dunia hitam. Sayang, begitu merendahkan diri menjadi anjing penjilat bangsa asing, dan lebih sayang lagi, kini berhadapan dengan kami sebagai lawan karena hendak menganggu seorang gadis sahabat baik muridku." Baru sadarlah kini Koan Jit bahwa gadis perkasa yang pernah menolong Kui Eng dan yang kini kembali menentangnya adalah murid San-tok. Pantas demikian lihai. Dan lebih celaka lagi, gadis itu adalah sahabat baik Diana. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia harus mengalah dan mundur? Biarpun di situ ada murid San-tok dan bahkan ada San-tok sendiri, dia tidak takut! Sepasang mata kucing yang mencorong kehijauan itu menyipit dan mulut yang biasanya lebih banyak tertutup itu, kini membayangkan ejekan.
"San-tok, engkau sudah tua bangka tentu sudah tahu bahwa setiap orang harus mencari kesenangan dengan cara masing-masing. Dan menurut aku, caraku ini yang paling baik. Apakah sekarang orang yang bernama San-tok itu, seorang di antara Empat Racun Dunia, sudah menjadi seorang pendekar budiman yang hendak melindungi seorang gadis bule bermata biru? Ha-ha, alangkah lucunya!"
"Koan Jit, tutup mulutmu yang beracun!" Lian Hong membentak dan melangkah maju menghadapi laki-laki itu.
"Di sini tidak ada persoalan pendekar atau bukan pendekar. Yang membela Diana adalah aku, Siauw Lian Hong, karena Diana adalah sahabatku. Kalau suhu tadi maju adalah karena dia hendak membela aku, muridnya. Akan tetapi, tanpa dibela suhu sekalipun, jangan kira aku takut melawanmu!" Lian Hong sudah membentangkan kipasnya dengan sikap menentang.
"Heh-heh-heh, Koan Jit. kau mau bicara apa lagi? Engkau memang murid Thian-tok yang hebat, akan tetapi engkau mengkhianati gurumu sendiri. Engkau hanya seorang pencuri rendah yang pengecut. Hemm, aku akan dapat mengambil Giok-liong-kiam itu darimu setiap saat kuhendaki, ha-ha!" Terkejutlah hati Koan Jit. Ucapan seorang di antara Empat Racun Dunia tidak boleh dianggap main-main. Siapa tahu Kakek ini sudah tahu tempat di mana pedang pusaka itu disembunyikannya dan kalau demikian, berbahaya! Dia sendiri terlindung di tengah-tengah benteng balatentara kulit putih, akan tetapi bagaimana dengan pusaka-pusakanya yang disimpannya di suatu tempat rahasia itu? Membawanya ke dalam markaspun dia segan karena siapa tahu komandan-komandan bule itu akhirnya juga menghendaki pusaka-pusaka yang bagi mereka merupakan benda aneh dan kuno yang amat berharga.
Kekhawatirannya membuat dia tidak bernapsu lagi untuk berkelahi melawan Lian Hong. Apa lagi dia memperhitungkan bahwa bagaimanapun juga, kalau sampai dia mendesak gadis itu, gurunya tentu tidak akan tinggal diam saja dan akhirnya dia harus menghadapi pengeroyokan mereka. Walaupun dia tidak takut, akan tetapi dia maklum bahwa mereka berdua itu lihai sekali dan kalau maju bersama, mungkin dia tidak akan mampu menang. Dan kini yang paling penting adalah memeriksa pusaka-pusakanya. Jangan-jangan Kakek kurus ini telah mengambil Giokliong-kiam! Terkejutlah dia ketika berpikir sampai di situ. Dia tahu akan kehebatan keempat datuk sesat itu yang suka melakukan hal-hal luar biasa. Tidak akan menjadi hal yang aneh sekali kalau San-tok ini diam-diam telah memasuki tempat rahasianya dan mengambil Giok-liong-kiam!
"Sudahlah. Melihat bahwa San-tok berada di sini dan mengingat hubungan antara dia dan suhu, aku tidak mencari keributan. Aku hanya dimintai tolong oleh Kapten Charles Elliot untuk menjemput keponakannya. Kalau ia tidak mau diajak pulang, sudahlah." Dia memberi isyarat kepada si kumis melintang dan keduanya lalu meloncat ke atas kereta dan kendaraan itupun kabur dengan cepatnya.
"Hong Hong, ajak Diana ke tempat lain, ke puncak yang ada sumbernya itu. Aku akan menyelidiki tempat rahasianya!" kata San-tok atau Bu-beng San-kai kepada muridnya. Lian Hong maklum apa yang dimaksudkan gurunya. Tentu gurunya khawatir kalau-kalau Koan Jit datang kembali membawa pasukan untuk memaksa Diana, maka ia harus menyembunyikan Diana ke tempat lain, dan tentu gurunya hendak menyelidiki di mana Koan Jit menyimpan pusaka Giok-liong-kiam. Kalau tadi pusaka itu dibawa Koan Jit, tentu gurunya akan dapat menduganya dan tentu gurunya sudah menyerang untuk merampasnya. Maka iapun mengangguk dan sekali berkelebat San-tok lenyap dari situ. Diana memegang lengan Lian Hong.
"Lian Hong, gurumu itupun pandai menghilang seperti engkau. Alangkah banyaknya orang sakti di sini..." Dan gadis bule ini teringat akan wajah pemuda yang menolongnya akan tetapi tidak dikenalnya sehingga kembali ia merasakan kecewa dan menyesal.
Sementara itu, kereta yang ditumpangi Koan Jit dan pembantunya membalap menuju ke Kanton. Ketika kereta tiba di hutan terakhir di sebuah bukit yang terletak di perbatasan kota, Koan Jit yang sudah memesan kepada pembantunya untuk pulang lebih dahulu meloncat dari kereta yang masih berjalan cepat. Begitu meloncat turun, Koan Jit memandang sekeliling dengan matanya yang tajam untuk melihat apakah ada orang yang melihat dia turun dari kereta. Berdebar rasa jantung dalam dada San-tok. Untung dia bersikap hati-hati sekali dan tidak membayangi larinya kereta secara terbuka, melainkan membayanginya sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi. Ketika tubuh Koan Jit berkelebat turun dari kereta yang masih membalap itu, hal yang sama sekali takkan pernah disangkanya, dia melihatnya dan cepat Kakek ini mendekam di balik semak-semak.
Kalau saja dia tidak bertindak cepat, tentu Koan Jit akan dapat melihatnya dan gagallah usahanya membayangi orang itu. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, Koan Jit lalu menyusup di antara pohon-pohon dalam hutan di bukit itu, sama sekali tidak tahu bahwa bayangannya tak pernah terlepas dari pengintaian San-tok. Dalam hal ini, tentu saja Koan Jit masih belum mampu menandingi San-tok. Kakek itu berjuluk Racun Gunung, tentu saja dia ahli dalam hal naik turun gunung, mengenal rahasia-rahasia hutan dan gunung dan pandai menyusup-nyusup seperti seekor kelinci yang gesit sekali. Biasanya San-tok berkeliaran di hutan-hutan Pegunungan Wu-yi-san yang luas, maka kini hutan kecil seperti itu tidak ada artinya baginya dan betapapun hati-hati Koan Jit menyusup-nyusup, tetap saja Kakek itu mampu membayanginya.
Kakek itu kagum sekali melihat Koan Jit menyusup ke dalam semak-semak berduri dan setelah mendorong semak-semak berduri itu ke samping, ternyata di belakang semak-semak terdapat sebuah batu yang didorongnya ke kiri. Dan nampaklah sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki satu orang saja. Tubuh Koan Jit lenyap memasuki lubang dan batu serta semak-semak itupun ditariknya kembali menutup lubang dari dalam. San-tok tersenyum lebar, hatinya merasa girang sekali. Kiranya ini tempat rahasia itu dan dia dapat menduga bahwa tentu Giok-liong-kiam disimpannya pula di tempat ini. Tak mungkin Koan Jit berani membawa-bawa pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu di tempat umum.
"Aih, sayang sekali Giok-liong-kiam buatanku itu tidak kubawa, masih disimpan Hong-Hong," Kakek itu mengeluh dalam hatinya. Kalau pedang pusaka palsu yang sudah selesai dibuatnya menurut catatan yang didapatkannya dari mayat Kakek Kwi Ong yang tewas dan mayatnya masih utuh karena terendam air belerang di Tapie-san itu, tentu dia dapat menanti sampai Koan Jit pergi dari tempat itu dan langsung dia akan dapat menukarkan pusaka buatannya dengan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Koan Jit! Setelah meneliti tempat sekeliling itu, Kakek San-tok lalu secepatnya lari kembali ke puncak bukit di mana terdapat sumber airnya, tempat yang dia tentukan agar menjadi tempat persembunyian sementara dari Diana. Dia melihat muridnya dan Diana di dekat sumber air, sedang bercakap-cakap. Ketika melihat Kakek itu muncul, Lian Hong cepat menyambutnya.
"Bagaimana hasilnya, suhu?"
"Bgus sekali, aku sudah tahu tempatnya. Mari kalian ikut bersamaku, sekarang juga."
"Diana ikut juga...?" tanya Lian Hong bingung. Membawa Diana dalam perjalanan ini amatlah berbahaya. Gurunya tersenyum.
"Ya, dan ia akan banyak membantu dalam urusan ini. Tadinya aku merasa menyesal bahwa pedang buatanku itu tidak kubawa, akan tetapi kalau dipikir-pikir, kita harus bersikap hati-hati sekali. Koan Jit itu terlalu berbahaya dan licik. Siapa tahu di tempat persembunyiannya ada teman-temannya yang berjaga. Jangan sampai ada yang tahu bahwa pedang itu sudah ditukar. Nah, mari kita berangkat. Sambil berjalan nanti kuberi tahu." Karena mereka harus melakukan perjalanan cepat dan tentu saja Diana tidak mampu mengimbangi kecepatan dua orang yang mengerahkan ginkang itu, maka terpaksa Lian Hong menggendongnya.
Diana merangkul leher sahabatnya itu erat-erat ketika ia merasa betapa tubuhnya seperti terbang saja, seperti dilarikan seekor kuda yang membalap dengan amat kencangnya. Makin kagumlah hatinya terhadap orang-orang di dunia persilatan ini. Setelah tiba di luar hutan di mana tempat rahasia Koan Jit ditemukan San-tok, mereka lalu berpencar. Diana diturunkan Lian Hong dan gadis ini lalu ikut bersama San-tok, lebih dulu memasuki hutan. San-tok menggandeng tangan Diana yang tidak merasa takut karena ia percaya sepenuhnya kepada guru sahabatnya ini yang tentu saja lebih lihai dari pada muridnya. San-tok menuju ke dekat semak-semak berduri, meneliti keadaan di sekitarnya. Sunyi saja, tanda bahwa tidak ada pembantu-pembantu Koan Jit berjaga atau bersembunyi di situ. Dia tidak tahu apakah Koan Jit masih berada di dalam tempat rahasia itu.
"Koan Jit...!" Tiba-tiba Kakek itu berteriak dan Diana terpaksa menutupi kedua telinga dengan tangannya. Teriakan Kakek itu nyaring bukan main, seperti akan memecahkan selaput telinganya.
"Koan Jit, aku sudah tahu tempat persembunyianmu. Tentu di sekitar tempat ini! Koan Jit, keluarlah, atau aku akan menyerbu tempat persembunyianmu, membunuhmu dan mengambil Giok-liong-kiam, ha-ha-ha!" Akan tetapi, hanya gema suara Kakek itu yang menjawab dari empat penjuru. Tidak ada jawaban dari Koan Jit. San-tok bukan seorang bodoh. Dia merasa yakin bahwa Koan Jit masih berada di dalam tempat persembunyiannya, atau kalau tidak demikian, tentu di tempat persembunyiannya itu terdapat kawan-kawannya atau kaki tangannya yang melakukan penjagaan. Tiba-tiba Kakek itu menangkap kedua pergelangan tangan Diana yang berdiri di dekatnya, dan dengan sebelah tangan saja dia mengangkat tubuh Diana tinggi-tinggi di atas kepalanya, suaranya terdengar semakin lantang,
"Koan Jit, lihatlah gadis ini! Aku mau menukarnya dengan Giok-liong-kiam!" Diana nampak tenang-tenang saja karena tadi ia sudah mendengar akan segala rencana siasat Kakek itu untuk memancing keluar Koan Jit dan iapun sudah siap membantu. Maka ketika tubuhnya diangkat ke atas, ia tidak merasa takut. Beberapa kali San-tok berteriak menawarkan Diana untuk ditukar dengan Giok-liong-kiam. Akan tetapi keadaan tetap sunyi saja dan tidak ada jawaban atau tanggapan dari murid pertama Thian-tok itu. San-tok menurunkan tubuh Diana yang berdiri dan memperlihatkan sikap ketakutan seperti yang telah direncanakan, dan Kakek itu berseru lagi,
JILID 21
"Koan Jit, engkau manusia Pengecut! Engkau tidak berani keluar menyambutku, ha-ha-ha! Engkau tidak pantas menjadi murid utama Thian-tok kalau begitu." Dan Kakek ini tertawa-tawa bergelak, suara ketawanya bergema di seluruh hutan dan menakutkan binatang-binatang hutan.
Sebetulnya, Koan Jit masih berada di dalam tempat persembunyian di mana dia menyimpan pusaka-pusakanya itu. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa Giok-liong-kiam dan pusaka-pusaka lain masih utuh di tempat semula, hatinya merasa lega. Akan tetapi, dia masih mengkhawatirkan ancaman San-tok yang tidak boleh dipandang ringan saja. Maka, sibuklah dia membuat persiapan untuk melindungi harta bendanya itu dan mengatur tempat rahasia itu sedemikian rupa sehingga tidak akan mudah dimasuki orang dan memasang jebakan-jebakan yang berbahaya bagi siapa saja yang berani masuk ke tempat itu. Dia mendengar teriakan dan tantangan San-tok dan tentu saja dia terkejut sekali mendengar suara itu datang dari tempat yang demikian dekatnya.
Dia lalu memutar otak mencari jalan terbaik untuk menghadapi lawan lihai itu. Kalau Kakek itu datang berdua dengan murid perempuannya, sukarlah mengalahkan mereka. Biarkan mereka masuk ke tempat ini, pikirnya dan dia dibantu oleh perangkap-perangkap dan jebakan-jebakan rahasianya, juga ular-ularnya. Akan tetapi, San-tok tidak datang menyerbu melainkan berteriak-teriak lagi menawarkan diri Diana untuk ditukar dengan giok-liong-kiam! Hal ini amat menarik hati Koan Jit. Giokliong-kiam amat penting baginya, tidak mungkin akan diberikan orang begitu saja. Akan tetapi Diana juga amat penting, harus dapat dirampasnya untuk menyenangkan hati Kapten Charles Elliot. Dia harus mampu mendapatkan keduanya, mempertahankan Giok-liong-kiam dan merampas Diana.
Cepat Koan Jit melakukan pengintaian dari tempat sembunyinya itu. Ketika dia melihat bahwa Kakek San-tok itu hanya sendirian saja dan benar-benar membawa Diana untuk ditukar, hanya bisa diartikan bahwa sebenarnya Kakek itu belum tahu benar di mana letak tempat rahasianya, hanya tahu daerahnya saja, ialah di hutan itu. Kalau sudah tahu benar letak tempat rahasianya, orang seperti San-tok tak mungkin mau membujuknya dan menukar Diana dengan pedang Giok-liong-kiam, melainkan tentu terus menyerbu untuk merampas pedang pusaka itu dengan kekerasan. Maka, setelah membuat persiapan, Koan Jit lalu keluar dari tempat rahasianya itu melalui jalan belakang yang menembus ke semak-semak lain di belakang pohon besar. Dengan jalan memutar dia menghampiri San-tok dari belakang.
Kakek itu tentu saja mendengar kedatangan ini dan cepat memutar tubuhnya. Dengan sikap sombong dan sama sekali tidak gentar, Koan Jit menghadapi San-tok dengan senyum yang dapat mendirikan bulu roma lawan. Koan Jit ini dapat tersenyum seperti iblis. Lebih menyerupai gerakan mulut mengejek dari pada senyuman karena hanya mulutnya yang bergerak seperti tersenyum, akan tetapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak ikut tersenyum, dan sepasang mata yang bersinar dan mencorong seperti mata kucing itu memandang tajam. Di pinggangnya terselip sepasang pedang pendek yang tadi diambilnya dari tempat persembunyiannya karena dia merasa perlu mempersenjatai diri untuk menghadapi lawan setangguh San-tok itu. Sepasang pedang pendek itu merupakan satu di antara kumpulan pusaka-pusaka ampuh yang dimilikinya.
"Ha-ha, engkau baik hati sekali, San-tok, sengaja mengantarkan kepadaku gadis bule ini dan juga nyawamu. Terima kasih!"
Begitu kata terakhir keluar dari mulutnya, tubuh Koan Jit bergerak cepat dan dua gulungan sinar pedang telah menyambar, satu ke arah leher San-tok dan ke dua ke arah pusarnya. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat dan keduanya merupakan sinar maut yang kalau mengenai sasaran tentu mengakibatkan kematian. Akan tetapi yang diserangnya sekali ini adalah seorang di antara Empat Racun, Kakek yang tinggi kepandaiannya amat tinggi, sejajar dengan tingkat guru Koan Jit sendiri. Walaupun Kakek itu juga terkejut menghadapi serangan maut yang amat dahsyat itu, namun dengan ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang luar biasa, dia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak sambil mengibaskan kipas butut di tangannya untuk menangkis dan mematahkan rangkaian serangan sepasang pedang pendek itu.
"Takkk! Tranggg...!" Keduanya terkejut, Koan Jit tidak menyangka bahwa kipas butut di tangan Kakek itu demikian kuatnya dan Kakek yang sudah tua itu memiliki kecepatan gerakan yang demikian mengejutkan, dan di lain pihak San-tok harus mengakui bahwa tenaga murid pertama Thian-tok itu kuat sekali di samping sepasang pedang pendek yang ampuh dan kuat, tidak rusak oleh hantaman gagang kipasnya yang didorong oleh tenaga sinkang yang tadi dikerahkannya. Karena keduanya maklum akan ketangguhan lawan, mereka bersikap hati-hati dan kini San-tok yang balas menyerang dengan kipasnya tidak berani main-main seperti biasanya, melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus ilmu kipasnya yang ampuh.
Kipas itu mengembang dan mengibas ke arah muka lawan, akan tetapi hal ini hanya gerakan mengacaukan untuk membuat mata lawan berkedip sehingga saat itu dia dapat menyerangnya. Akan tetapi Koan Jit tidak berkedip sehingga ketika gagang kipas itu melakukan serangkaian totokan ke arah tujuh jalan darah di bagian tubuhnya, dia dapat mengelak atau menangkis dengan sepasang pedangnya, bahkan lalu membalas dengan serangan kontan yang tidak kalah dahsyatnya. Serang-menyerang terjadi antara dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Diana untuk diam-diam melarikan diri seperti yang sudah direncanakan. San-tok membiarkan Diana lari agak jauh, barulah dia menoleh dan berteriak.
"Hai, gadis liar, hendak lari ke mana kau ?" Dan diapun meloncat, melakukan pengejaran. Melihat ini, Koan Jit tidak mau membiarkannya saja. Setelah kini mulai bergebrak melawan Kakek itu, dia mendapat kenyataan bahwa dia mampu menandinginya dan hal ini membesarkan hatinya. Sayang kalau sampai dia membiarkan Kakek itu pergi bersama Diana begitu saja. Dia harus mampu merampas gadis itu untuk diajak kembali ke Kanton! Maka diapun cepat ngejar di belakang San-tok. San-tok dapat menyusul dan memegang lengan Diana yang beraksi melakukan perannya. Ia meronta-ronta dan memukuli Kakek itu dengan kedua tangan. Pada saat itu, Koan Jit tiba dan tiba-tiba San-tok melepaskan Diana dan menggerakkan kipasnya menyambut dengan totokan-totokan dahsyat.
Koan Jit mengelak dan menangkis, lalu membalas pula dan mereka sudah terlibat lagi dalam perkelahian yang seru. Melihat ini, Diana melarikan diri lagi. San-tok mengejarnya dan Koan Jit juga mengejar. Koan Jit merasa bahwa makin jauh meninggalkan tempat rahasianya, makin baik. Sama sekali dia tidak menduga bahwa memang dia dipancing oleh Kakek itu agar menjauh dari tempat itu!
Setelah melihat gurunya dan Koan Jit semakin jauh dan tidak nampak lagi, Lian Hong keluar dari tempat sembunyinya. Ia sudah mempelajari keterangan gurunya dengan teliti tentang tempat rahasia itu. Cepat ia menuju ke semak-semak itu, dan batu di belakang semak-semak berduri itu didorongnya ke kiri. Nampaklah sebuah lubang kecil yang hitam dan gelap.
Lian Hong yang mengenakan kain menutupi mukanya dan rambutnya, sehingga yang nampak hanya sepasang matanya yang jeli, memasuki lubang itu sambil mempersiapkan kipas yang menjadi senjata ampuhnya. Gadis ini sengaja menutupi muka agar kalau di bawah sana terdapat orang-orangnya Koan Jit, mereka tidak akan mengenalinya. Kakinya menyentuh anak tangga yang membawanya melalui terowongan menuju ke sebuah guha dalam tanah yang cukup luas. Ada lubang-lubang rahasia agaknya yang dapat menampung dan memasukkan cahaya matahari dari luar sehingga tempat itu walaupun tidak terang sekali, akan tetapi juga tidak gelap. Setibanya di ujung anak tangga, tiba-tiba kakinya menginjak tonjolan kecil di atas lantai dan tiba-tiba saja Lian Hong menarik tubuh ke belakang dan menggerakkan kipasnya ke samping.
"Wuuuutt! Plakk!" Sebatang tombak meluncur dari kiri ke kanan, nyaris mengenai perutnya dan tiga batang anak panah yang menyambar dari kanan runtuh oleh tangkisan kipasnya.
Kiranya benda yang diinjaknya tadi merupakan tombol yang menggerakkan alat-alat rahasia. Sungguh berbahaya sekali. Hampir saja tubuhnya disate oleh tombak tadi, atau menjadi korban anak-anak panah yang diduga tentu mengandung racun berbahaya. Dengan hati-hati ia melangkah lagi ke depan, seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan. Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Tempat itu ternyata berbahaya sekali dan dipasangi jebakan-jebakan maut. Baru belasan langkah, tiba-tiba saja, mungkin digerakkan oleh lantai yang diinjaknya, lantai itu bergoyang dan runtuh ke bawah! Untung bahwa Lian Hong memang sudah siap siaga, maka begitu lantai yang diinjaknya bergoyang, ia sudah meloncat kembali ke belakang.
Ketika ia memandang, ternyata lantai yang diinjaknya tadi telah menjadi lubang, lantainya entah ke mana dan lubang itu gelap menghitam, dan dari dalamnya keluar bau yang amis memuakkan, juga terdengar desis-desis suara yang biasa dikeluarkan oleh ular-ular berbisa! Ia bergidik membayangkan kalau ia tadi terjeblos ke dalam lubang, tentu sudah menjadi mangsa ular-ular yang mengeroyoknya. Perlahan-lahan, lantai yang runtuh ke bawah tadi timbul kembali menutupi lubang yang menjadi rata seperti semula. Lian Hong sudah mengukur jarak lubang jebakan itu dan kini ia meloncat dengan ringan melewati batas lubang dan turun dengan aman di atas lantai yang keras. Dengan hati-hati dara perkasa itu melangkah maju lagi sampai akhirnya ia tiba di sebuah anak tangga yang membawanya turun lagi.
Kini di depannya, dalam sebuah kamar dalam guha itu, nampaklah beberapa buah peti yang tertutup, juga nampak senjata-senjata kuno seperti pedang, tombak, golok dan sebagainya, bertumpuk di kamar itu! Dengan pandang matanya yang tajam, Lian Hong mencari-cari dan perhatiannya tertarik kepada sebuah peti lonjong berwarna hitam yang agaknya baru saja diletakkan orang di atas tumpukkan peti lain. Hal ini dapat diketahuinya karena ada bekas-bekas jari tangan pada permukaan tutup peti yang penuh debu itu, sedangkan debu pada peti-peti lain tidak terganggu. Tentu peti ini baru saja diperiksa dan diangkat orang dan siapa lagi kalau bukan Koan Jit yang mengangkatnya? Kalau perhatian Koan Jit ditujukan kepada peti yang satu ini, kiranya takkan keliru kalau ia menduga bahwa peti inilah benda yang dicarinya.
Dengan cekatan ia mendekati peti dan kipas di tangan kanannya bergerak ke arah pinggir tutup peti. Peti itupun terbuka! Ia tidak mau sembarangan mempergunakan tangan telanjang untuk membuka peti karena menghadapi manusia jahat dan licin seperti Koan Jit ia harus berhati-hati sekali. Di dalam peti itu nampak sebatang pedang dengan ukir-ukiran berupa naga dari batu kemala! Inilah pedang pusaka yang menggetarkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi, bukan hanya pedang pusaka yang berada di dalam peti, melainkan juga seekor ular berkulit belang-belang berkembang kehijauan yang amat berbisa. Dan begitu peti itu terbuka, ular itu dengan gesitnya keluar, mengeluarkan suara mendesis-desis dan anehnya, begitu ular itu keluar dan mendesis,
Beberapa ekor ular yang berukuran besar dan panjang berdatangan dari atas dan bawah, melingkar-lingkar, menggeliat-geliat dan bergerak ke arah Lian Hong dengan desis penuh ancaman! Semenjak kecil, Lian Hong telah digembleng oleh Kakek San-tok (Racun Gunung), seorang yang sudah biasa berkeliaran di gunung-gunung dan di hutan-hutan besar sehingga Lian Hong sudah sering menghadapi binatang-binatang buas termasuk ular-ular besar. Oleh karena itu, menghadapi enam ekor ular besar itu ia sama sekali tidak mengenal jerih atau ngeri. Dengan tenang ia bahkan melangkah maju dan ketika ular yang keluar dari dalam peti hitam itu meluncurkan kepala menyerangnya, kipasnya menutup dan menyambut dengan totokan gagang kipasnya.
"Trakkk!" Ular itu terkulai dengan kepala pecah, menggeliat-geliat akan tetapi tidak mampu menyerang lagi. Kipas itu masih terus berkelebatan dan dalam beberapa detik saja, enam ekor ular itu telah berkelojotan dengan kepala retak tertotok ujung gagang kipas yang ampuh itu.
Biarpun ular-ular itu sudah mati dan peti itu terbuka, nampak pedang pusaka yang dicarinya itu terletak di dalam peti, seperti menggapai kepadanya, Lian Hong tidak sembrono mengulur tangan untuk mengambilnya. Ia melihat cahaya yang tidak wajar keluar dari dalam peti itu, dan pedang pusaka itupun tertutup debu tipis yang mencurigakan. Orang macam Koan Jit tidak akan membiarkan pedang pusaka yang diperebutkan oleh semua tokoh besar dunia kangouw itu begitu saja tanpa dipasangi perangkap-perangkap untuk mencelakakan orang yang hendak mencurinya. Dengan hati-hati Lian Hong Menggunakan kipasnya untuk mengebut ke arah dalam peti sambil mengerahkan tenaga singkang.
Debu berwarna putih halus disambar angin kebutan itu dan mengepul keluar dari peti. Lian Hong terus menggerakkan kipasnya agar jangan ada debu mengenai dirinya. Untung ia melakukan ini karena begitu tubuh ular yang masih berkeloyotan sekarat itu terkena debu putih, tubuh itu segera menjadi hangus seperti dibakar api dan tidak bergerak lagi, mati seketika! Diam-diam ia bergidik. Seperti telah diduganya, debu putih itu adalah racun yang amat ampuh, kalau ia sembrono dan mengambil pedang itu dengan tangannya, tentu tangannya akan terbakar seperti tubuh ular-ular itu. Ia mengulangi perbuatannya tadi, mengebutkan kipasnya dengan tenaga sekuatnya ke arah pedang dalam peti dan sisa debu mengepul keluar.
Akan tetapi tiba-tiba peti itu tertutup dan sinar-sinar hitam menyambar dari arah belakang peti, menyambar dengan kecepatan kilat menyerang tubuhnya! Lian Hong memang sejak tadi sudah siap siaga, maka begitu melihat sinar-sinar kecil menyambar, ia sudah melangkah mundur sambil mengebutkan kipasnya. Kiranya ketika tutup peti terbuka tadi, telah menggerakkan alat rahasia yang mengirim jarum-jarum beracun setelah tutup peti tertutup kembali. Serangan gelap itupun berbahaya sekali, bahkan lebih berbahaya dari pada serangan ular-ular itu, juga debu beracun itu karena orang yang kurang waspada dan tidak memiliki gingkang dan singkang tinggi, agaknya akan sukarlah untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum halus itu.
Lian Hong menggunakan ujung kipas mencokel tutup peti terbuka kembali dan kini ia merasa yakin bahwa pedang pusaka itu tidak mengandung racun lagi. Ia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, sebatang pedang yang serupa benar dengan Giok-liong kiam yang berada di dalam peti. Itulah pedang Giok-liong-kiam palsu buatan Kakek San-tok. Lian Hong lalu mengenakan sepasang sarung tangan hitam. Bagaimanapun juga, ia tetap berhati-hati dan setelah mengenakan sarung tangan, barulah ia berani mengambil Giok-liomg-kiam itu, diamatinya sebentar lalu dibungkusnya dengan kain hitam dan disimpannya di balik jubah. Giokliong-kiam palsu buatan gurunya itu ia letakkan di dalam peti dan ia menutup kembali peti itu.
Ia mengerti bahwa kalau Koan Jit memasuki tempat ini, tentu dia akan tahu bahwa ada orang yang telah memasuki tempat rahasianya, melewati jebakan-jebakan dan bahkan membunuh ular-ularnya dan melenyapkan pula debu beracun, akan tetapi karena melihat Giok-liong-kiam masih berada di situ, tentu Koan Jit akan mengira bahwa orang itu tentu terkena serangan jarum-jarum beracun sehingga keluar lagi tanpa membawa Giok-liong-kiam. Senyum manis menghias bibir Lian Hong ketika ia teringat akan hal ini, lalu ia memungut beberapa batang jarum hitam dan memasukkannya ke dalam kantong jubahnya. Harus dibawa pergi beberapa batang jarum beracun agar Koan Jit yakin akan berhasilnya jarum-jarum beracun itu. Sementara itu, perkelahian antara Koan Jit dan San-tok masih berjalan dengan seru.
Diana tidak melarikan diri lagi, karena kini mereka sudah jauh meninggalkan tempat rahasia itu dan ia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik seperti yang direncanakan San-tok. Mereka berdua telah berhasil memancing Koan Jit menjauhi tempat rahasia itu dan kini ia duduk di bawah sebatang pohon yang agak jauh dari perkelahian, hal inipun sesuai dengan pesan San-tok kepadanya dan sepasang matanya terbelalak menonton perkelahian itu. Ia semakin kagum dan terheran-heran. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa ada orang-orang yang dapat bergerak secepat itu sampai ia tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang berkelahi itu dengan pandang matanya. Ia hanya melihat dua bayangan yang kabur berkelebatan ke sana-sini, sukar ditentukan kaki atau tangan siapa yang kadang-kadang nampak itu.
Tentu saja iapun sama sekali tidak tahu apakah Kakek yang dijagoinya itu berada di pihak yang mendesak atau terdesak. Setelah beberapa bulan lamanya hidup di dusun dan mengikuti sendiri cara hidup orang-orang dusun, timbul perasaan kasih dalam hati Diana terhadap orang-orang dusun yang sederhana dan rukun itu. Dan terhadap ahli-ahli silat, terutama sekali Lian Hong dan pemuda penolongnya yang tidak diketahui namanya itu, ia merasa kagum bukan main. Timbullah perasaan ingin yang besar di dalam hati gadis ini untuk mempelajari ilmu silat agar dapat menjadi orang yang gagah dan tangguh seperti mereka itu. Ia melihat betapa di dalam dunia yang penuh dengan kekerasan ini, amatlah perlu membekali diri dengan ilmu silat agar ia dapat membela diri kalau terancam bahaya akibat kejahatan orang.
Diana sama sekali tidak tahu bahwa Kakek yang dijagoinya itu mulai kewalahan menghadapi desakan-desakan sepasang pedang pendek di tangan Koan Jit. Bukan karena keampuhan sepasang pedang pendek itu atau karena tingkat ilmu silat Koan Jit maka Kakek ini terdesak. Senjata kipasnya tidak kalah ampuh dibandingkan senjata lawan, dan dalam hal ilmu silat, dia lebih matang dan tidak kalah tinggi tingkatnya. Akan tetapi dia kalah dalam semangat. Koan Jit berkelahi mati-matian dengan niat menghancurkan lawan, membunuh lawan. Sebaliknya, San-tok sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Dia tidak mau membunuh Koan Jit karena hal ini akan mengakibatkan bibit permusuhan antara dia dengan Thian-tok, orang segolongan.
Memang, di dalam golongan sesat terdapat semacam "kode-etik" atau setia kawan tak tertulis atau terucapkan, melainkan sudah diterima dan diakui oleh masing-masing bahwa mereka tidak saling ganggu. Kalau San-tok berhadapan dengan Thian-tok sendiri, maka perkelahian di antara mereka, biar mengakibatkan kematian sekalipun, tidak akan berakibat apa-apa. Akan tetapi, kalau sampai San-tok dalam suatu perkelahian melawan Koan Jit membunuhnya, berarti dia telah menghina pihak Thian-tok dengan membunuh muridnya, membunuh orang yang tingkatnya lebih rendah. Inilah sebabnya mengapa San-tok berkelahi dengan semangat yang tidak sebesar Koan Jit! Dan selain itu, diapun tidak melihat kepentingannya membunuh Kon Jit, melainkan hanya ingin memancingnya keluar dari tempat persembunyian agar muridnya, Lian Hong, dapat bekerja dengan leluasa.
San-tok mulai merasa khawatir karena muridnya belum juga muncul. Koan Jit merupakan lawan yang amat berbahaya dan biarpun dengan ketinggian ilmunya dia dapat melindungi dirinya, memutar kipasnya sehingga gulungan sinar senjatanya itu mampu membendung serangan sepasang pedang pendek yang lihai itu, namun usianya yang sudah tua itu membuat keadaan tubuhnya tidak sekuat dahulu lagi. Daya tahannya tidak sebesar dulu dan kalau dilanjutkan perkelahian itu sampai lama, dia akan terancam bahaya besar. Tangannya mulai merasa tergetar kalau dia menangkis serangan pedang dan bajunya mulai basah dengan keringat, sedangkan Koan Jit nampaknya belum berkurang tenaga serangannya, bahkan mengamuk semakin dahsyat.
Legalah hati San-tok ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan Lian Hong, kini dengan pakaian biasa tanpa penutup muka, telah berada di situ dan gadis ini tanpa banyak cakap lagi langsung membantu gurunya dan menyerang Koan Jit dengan kipasnya. Tentu saja kemunculan gadis ini melegakan hati San-tok dan menggirangkan hati Diana, akan tetapi mengejutkan hati Koan Jit. Dia mengenal kelihaian gadis ini dan melawan gadis ini bersama gurunya tentu saja merupakan hal yang amat berbahaya sekali kalau tidak mau dikatakan seperti usaha bunuh diri saja. Diapun menggerakkan sepasang pedangnya yang meluncur cepat menyerang ke arah guru dan murid itu dengan dahsyat. Ketika dua orang lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang, diapun melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha, jangan mengejar, Hong Hong. Lain kali masih banyak kesempatan untuk membunuhnya!" kata San-tok dan ini hanya gertakan saja karena Lian Hong juga sama sekali tidak bermaksud mengejar orang itu. Gadis ini memberi isyarat kepada gurunya dengan menepuk-nepuk pinggangnya bahwa Giok-liong-kiam telah berhasil ia tukarkan. San-tok tertawa bergelak saking girangnya dan dia mengajak muridnya untuk segera pergi dari situ. Lian Hong menggandeng tangan Diana.
"Mari, Diana, kita pergi." Melihat ini, San-tok mengerutkan alisnya.
"Kenapa harus mengajak gadis bule itu? Tinggalkan saja ia di sini, akan merepotkan saja!" Sepasang mata Lian Hong yang lebar, bening dan tajam sinarnya itu terbelalak memandang gurunya.
"Tinggalkan di sini? Tidak, suhu. Diana adalah sahabatku, bahkan seperti saudaraku sendiri. Meninggalkannya di sini berarti membiarkan ia terancam bahaya. Suhu tahu bahwa ia dicari oleh Koan Jit dan anak buahnya!"
"Diana akan merepotkan saja kalau ikut kita. Selain kita tidak dapat melakukan perjalanan cepat, juga ia mendatangkan kepusingan saja."
"Wah, Kakek yang aneh. Tadinya kukira, sebagai guru Lian Hong, engkau tentu orang sakti yang budiman dan gagah perkasa. Tidak tahunya hanya seorang Kakek yang curang," tiba-tiba Diana berkata dengan mata bersinar-sinar marah dan muka yang cantik dengan kulit yang putih itu kini kemerahan.
Lian Hong terkejut mendengar itu dan ia memandang kepada kawannya itu. Ia melihat betapa kemarahan membuat wajah Diana menjadi semakin cemerlang dan iapun merasa kagum. Biarpun seorang wanita kulit putih, namun Diana memiliki keberanian dan semangat, bukan seorang wanita yang cengeng dan lemah seperti kebanyakan wanita yang dijumpainya. Berani begitu saja mengatakan San-tok seorang Kakek yang curang! Padahal, San-tok gurunya itu adalah seorang di antara Empat Racun Dunia dan untuk itu saja tangan gurunya tentu siap untuk membunuh orang! Akan tetapi San-tok sendiripun terkejut dan memandang kepada gadis bermata biru itu dengan mata dilebarkan. Hampir tidak percaya dia mendengar keberanian gadis itu memakinya.
"Eh, kenapa kau mengatakan aku curang?" tanyanya dan di dalam pandang matanya terbayang kemarahan dan ancaman sehingga diam-diam Lian Hong merasa khawatir sekali.
"Engkau curang dan tidak mengenal budi!" Diana berkata pula. Tentu saja San-tok tidak mengenal budi. Tokoh hitam tidak akan pernah bicara tentang budi!
"Coba jelaskan alasanmu memaki aku!"
"Engkau mengatur siasat memancing musuh meninggalkan sarangnya, tidak terangterangan menantangnya melainkan mempergunakan akal licik, bukankah itu merupakan kecurangan? Dan ketika engkau membutuhkan bantuanku, engkau mengajak aku kesini, setelah aku membantumu sampai berhasil, kini karena aku tidak kau butuhkan lagi, engkau hendak meninggalkan aku begitu saja terancam bahaya. Bukankah itu namanya tidak mengenal budi?" Lian Hong tersenyum geli di dalam hatinya melihat betapa Kakek itu memandang bengong seperti orang kehabisan akal, atau seperti seorang anak-anak dimarahi ibunya karena kenakalannya.
"Wah, wah, kau membingungkan aku. Tidak kubunuh saja sudah baik, kenapa engkau banyak mengomel?" gerutu Kakek itu.
"Mau bunuh aku? Bunuhlah, agar lengkap engkau membuktikan sifat-sifatmu yang mengecewakan hatiku, bukan hanua curang dan tidak mengenal budi, akan tetapi pengecut lagi."
"Pengecut?" San-tok berseru kaget.
"Seorang Kakek yang berilmu tinggi hendak membunuh seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah belajar ilmu silat, bukankah perbuatan itu amat pengecut dan tidak tahu malu?" Kakek itu melongo dan tidak mampu menjawab sehingga Lian Hong merasa geli. Gadis ini tertawa.
"Hi-hik, suhu, mengakulah bahwa suhu telah kalah berdebat dengan Diana dan untuk kekalahan suhu itu suhu harus menyerah."
"Aku menyerah? Maksudmu bagaimana?"
"Karena suhu kalah dan tidak mampu membantah kebenaran omongan Diana tadi, sudah adil kalau suhu memenuhi permintaannya." San-tok menarik napas panjang. Dia mengira bahwa permintaan itu tentu hanya agar perempuan bule itu diperbolehkan ikut menyertai perjalanan mereka. Biarpun hal ini menjemukan hatinya, akan tetapi karena muridnya agaknya amat sayang kepada gadis bule itu, diapun mengalah.
"Baiklah, aku penuhi permintaannya."
"Suhu, benarkah? Suhu memenuhi semua permintaannya?" Kakek itu memandang muridnya dengan curiga.
"Semua? Tidak, aku hanya memenuhi satu saja permintaannya, tidak boleh banyak-banyak."
"Satupun sudah cukup! Diana, kenapa kau tidak cepat menghaturkan terima kasih kepada guru kita?" Diana sudah cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek itu.
"Suhu, aku menghaturkan terima kasih bahwa suhu telah sudi menerimaku sebagai murid." Kakek itu merasa seperti disambar geledek dan dia meloncat ke belakang, matanya terbelalak.
"Apa? Siapa mengambil engkau sebagai murid? Tidak sudi aku, tidak sudi...!!" Dia melangkah maju, kedua tangannya terkepal, dia sudah siap untuk memukul gadis kulit putih itu. Melihat keadaan gurunya, Lian Hong yang sudah mengenal baik gurunya itu cepat melangkah maju dan iapun menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek itu, di sebelah kanan Diana.
"Suhu, harap tenang dan sabar. Ingat bahwa suhu tadi telah mengatakan untuk memenuhi permintaan Diana dan satu permintaan Diana itu adalah untuk menjadi muris suhu."
"Tidak, ini semua kau yang mengaturnya, anak nakal!"
"Sungguh mati, aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, suhu. Sudah sejak lama sekali Diana menyatakan bahwa ia ingin sekali menjadi murid suhu, menjadi saudara seperguruanku agar ia dapat membela diri kalau diancam orang jahat. Permintaan menjadi murid suhu itu adalah permintaan yang timbul dari dalam hati Diana sendiri, bukan aku yang membujuknya."
"Tidak, mana mungkin aku menerima seorang kulit putih sebagai murid? Orang-orang kulit putih adalah bangsa biadab, adalah bangsa jahat yang datang ke tanah air kita untuk membikin kacau. Aku tidak suka kepada mereka dan aku bahkan mau membantu para pejuang untuk mengenyahkan mereka. Bagaimana mungkin sekarang kau hendak memaksaku mengambil murid seorang gadis kulit putih? Edan barangkali kau , Hong Hong!"
"Suhu, aku sendiri tidak setuju dengan perbuatan bangsaku yang datang ke negeri ini untuk melakukan kejahatan-kejahatan."
"Huh, jangan coba untuk merayu, kau !" bentak San-tok marah.
"Kalau engkau tidak setuju, lalu mengapa engkau sendiri berada di negeri ini?" Lian Hong terkejut mendengar serangan kata-kata gurunya itu yang tentu akan sulit dijawab oleh sahabatnya. Akan tetapi Diana nampak tenang saja, bahkan tersenyum dengan sikap tabah ketika ia menjawab,
"Aku datang ke negeri ini karena ada tiga hal, suhu. Pertama aku adalah keponakan dari Kapten Charles Elliot yang bertugas di sini, dan aku datang untuk diperbantukan kepadanya, mengurus bagian tata usaha. Ke dua, aku adalah seorang ahli penyelidik barang-barang kuno dan kedatanganku ke negeri ini juga untuk mempelajari dan menyelidiki tentang benda-benda kuno di sini..."
"Huh, apa maksudnya menyelidiki barang-barang kuno?" Kakek itu memotong, tertarik, karena baru sekarang dia mendengar ada orang yang pekerjaannya menyelidiki barang kuno.
"Dari penyelidikan barang-barang kuno kita mampu menyelidiki dan menjenguk di jaman lalu, suhu, untuk membuat catatan sejarah negeri ini yang tak terpisahkan dari sejarah dunia." San-tok bukan seorang terpelajar, maka keterangan itu membingungkan hatinya dan sinar matanya yang tadinya tertarik itu kini muram dan marah kembali.
"Dan sebab yang ke tiga, suhu, karena tadinya aku sama sekali tidak tahu bahwa bangsaku datang ke sini untuk menyelundupkan madat dan untuk memerangi rakyat di sini, tadinya kusangka bahwa mereka itu hanya datang untuk berdagang saja, perdagangan yang saling menguntungkan."
"Suhu, aku yang menanggung bahwa Diana adalah seorang yang amat baik budi, jujur dan tabah sekali, sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang-orang kulit putih yang lain."
"Aahhh, omongan manis saja. Aku memang sudah mendengar bahwa orang-orang kulit putih paling pandai membujuk rayu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi mata mereka yang biru itu menyembunyikan pamrih yang jahat sekali." Dia memandang kepada Diana yang masih berlutut.
"Apa buktinya bahwa semua omongannya itu tidak bohong belaka dan ia sama palsunya dengan semua orang kulit putih?"
"Suhu, kalau aku menyukai perbuatan bangsaku, kenapa aku lebih suka hidup di dusun bersama para petani? Bahkan aku menolak keras ketika kaki tangan pamanku itu datang untuk memaksaku kembali ke Kanton?" kata Diana.
"Suhu, ingat, betapapun juga, suhu sudah berjanji untuk menerimanya sebagai murid," sambung Lian Hong.
"Berjanji menerima permintaannya ikut dengan kita, bukan menerima sebagai murid!"
"Akan tetapi hal itu tidak suhu jelaskan, dan yang dimaksudkan Diana adalah permintaan menjadi murid. Suhu tidak mungkin akan menjilat ludah sendiri!"
"Hong Hong, jangan kau memaksa aku! Kalau sampai salah tindak, menerima seorang bule sebagai murid kemudian kelak ia membinasakan rakyat kita, bukankah namaku akan dikutuk selama hidup sebagai seorang yang mengkhianati bangsanya?"
"Tidak, suhu. Aku yang bertanggung jawab! Biarlah aku yang akan dikutuk, bukan suhu. Diana bukan orang macam itu." Mendengar pembelaan Lian Hong ini, Diana merasa begitu gembira dan terharu sehingga tiba-tiba ia merangkul Lian Hong, menciumi pipinya sambil menangis. Lian Hong juga balas merangkul dan tak dapat menahan air matanya melihat betapa Diana menangis karena terharu. San-tok menghela napas panjang, tersentuh juga perasaan hatinya melihat dua orang gadis itu berangkulan dan bertangisan.
"Sudahlah, aku menerimanya sebagai murid, akan tetapi ia harus tahan uji harus berani hidup menderita kekurangan dan belajar dengan tekun dan keras. Dan untuk tingkat permulaan, engkau lah yang mewakili aku membimbingnya, Hong Hong." Lian Hong gembira sekali dan memberi hormat.
"Tentu saja, suhu, tentu saja." Juga Diana merasa girang dan memberi hormat sambil berlutut sampai dahinya menyentuh tanah.
"Terima kasih, suhu. Biarlah aku bersumpah. Kalau kelak aku mempergunakan ilmu yang kupelajari dari suhu untuk mencelakakan rakyat di negeri ini, biarlah aku akan mati di ujung pedang!" Lega juga rasa hati San-tok mendengar sumpah suka rela ini.
"Sudahlah, mari kita kembali ke Wu-yi-san." Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dan mulailah Diana memasuki suatu pengalaman hidup baru yang sama sekali berbeda dengan kehidupannya di dusun selama ini. Di dalam dusun itu ia memang mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupannya sebagai keponakan Kapten Charles Elliot, akan tetapi kehidupan di dusun itu hanya sederhana dan penuh kerja keras di ladang saja.
Setelah melakukan perjalanan bersama Lian Hong dan San-tok, barulah ia mengalami kehidupan yang benar-benar amat sukar, keras dan penuh bahaya! Mereka tidur di tengah hutan, kadang-kadang di tempat terbuka, menentang panas, dingin, dan ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka menghadapi kesukaran ketika perut menagih isi, harus mengadakan makanan di tengah hutan, tanpa bekal bahan sama sekali. Diana belajar hidup dan mengalami hal-hal yang selama hidup sebelumnya belum pernah dibayangkannya, belum pernah diimpikannya. Ia belajar menangkap ular untuk dimakan dagingnya sekedar penyambung hidup, makan daun-daun muda, bahkan pernah diajak makan ulat-ulat gemuk karena dalam sebuah hutan, satu-satunya bahan makanan yang bisa didapatkan hanya ulat-ulat gemuk itu!
Dan iapun merasa kagum bukan main. Sahabatnya, Lian Hong, benar seorang gadis yang luar biasa, dan gurunya itu lebih aneh lagi. Kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat, kadang-kadang acuh saja, akan tetapi kadang-kadang marah besar seperti orang gila. Betapapun juga, ia telah diterima sebagai murid dan iapun maklum bahwa gurunya seorang aneh dan luar biasa dan ini saja sudah merupakan bekal baginya untuk menghadapi segala ulah dan tingkah gurunya yang aneh-aneh. Dalam perjalanan itu, Diana digembleng oleh kesukaran-kesukaran hidup yang membuat gajih-gajih di tubuhnya lenyap, membuat tubuhnya agak kurus dan kokoh kuat, membuat kulit tubuhnya yang sudah agak gelap oleh pekerjaan di ladang, kini semakin hitam!
Akan tetapi, sifat pesoleknya belum juga hilang sehingga seringkali ia ditertawakan Lian Hong karena di dalam hutan sekalipun ia masih sering membereskan rambutnya sampai rapi dan ada saja akalnya untuk menambah merah pada bibirnya yang sudah merah! Sementara itu, setelah melarikan diri untuk ke dua kalinya karena tidak kuat melawan San-tok dan Lian Hong, Koan Jit menyelinap dan bersembunyi, mengintai musuh-musuhnya. Dia merasa lega melihat mereka itu pergi dari situ, tidak berusaha mencari tempat penyimpanan harta pusakanya. Dengan hati girang dia berpendapat bahwa tentu Kakek itu benar-benar belum tahu tempat rahasianya, akan tetapi sudah dapat menduga bahwa tempat itu berada di dalam hutan ini.
Aku harus cepat memindahkan benda-benda pusaka itu, pikirnya dan setelah menanti agak lama dan merasa yakin bahwa musuh-musuhnya sudah pergi jauh, diapun cepat memasuki tempat rahasianya. Wajah Koan Jit berubah pucat dan tubuhnya gemetar penuh ketegangan dan kekhawatiran ketika dia memasuki tempat itu. Dia melihat bahwa jebakan-jebakan rahasia di tempat itu sudah bekerja, tanda bahwa ada orang memasuki tempat ini. Dengan hati-hati dia terus menuju ke dalam dan melihat beberapa ekor ular itu mati, dia semakin khawatir. Akan tetapi, kekhawatirannya berubah girang, lega dan juga terheran ketika dia melihat bahwa semua pusaka, terutama sekali Giok-liong-kiam, masih utuh!
Tidak ada sebuahpun pusaka yang hilang. Kalau tadinya dia merasa heran, lalu dia menjadi girang sekali. Dia melihat runtuhnya jarum-jarum hitamnya yang beracun, dan ketika dia meneliti, ternyata ada beberapa batang jarum yang hilang. Ini hanya dapat diartikan bahwa serangan gelap jarum-jarum itu telah mengenai tubuh orang lihai yang masuk ke situ. Orang itu tentu menjadi kaget dan ketakutan karena jarum-jarum itu memang mengandung racun yang ganas, dan orang itu melarikan diri sebelum dapat membawa Giok-liong-kiam yang agaknya memang ingin diambil oleh pencuri itu. Dan andaikata orang itu tidak mampus oleh racun jarum-jarumnya, setidaknya usahanya itu gagal dan semua pusakanya, terutama Giok-liong-kiam, selamat!
Kenyataan bahwa tempat rahasianya sudah didatangi orang itu membuat Koan Jit makin tergesa lagi untuk memindahkan barang-barangnya yang berharga itu. Dia tidak menyangka buruk kepada San-tok dan Lian Hong. Kakek itu tadi berkelahi dengan dia, sedangkan gadis itu walaupun datang belakangan, namun jelas tidak menderita luka oleh jarum beracun. Pula, kalau dua orang itu yang berusaha masuk ketempat rahasia itu, tentu Giok-liong-kiam sudah diambilnya. Tentu orang lain yang telah memasuki tempatnya, mempergunakan kesempatan selagi dia sibuk berkelahi melawan San-tok dan muridnya. Akan tetapi walaupun orang itu mampu melalui jebakan di lantai, ular-ular dan debu pembius, ternyata tidak mampu lolos dari jarum-jarum hitamnya yang beracun!
Pada hari itu juga, Koan Jit lalu mengumpulkan pusaka-pusakanya dan membawanya keluar dari tempat itu dan untuk sementara, secara rahasia, diboyongnya benda-benda berharga itu ke markasnya tanpa diketahui atau dicurigai oleh para pimpinan pasukan kulit putih. Dunia persilatan, seperti kelompok-kelompok lainnya, memang memiliki sifat-sifatnya yang berlawanan, yaitu sifat buruk dan baiknya. Buruknya, di dunia persilatan selalu terjadi kekerasan, permusuhan, dendam-mendendam, adu kekuatan yang tak kunjung henti. Dunia ini bergelimang darah walaupun sebagian besar dari pertentangan itu terjadi antara pribadi. Akan tetapi, ada satu sifat baik pada mereka, juga di kalangan kau m sesatnya, seperti berkali-kali terbukti dalam sejarah bahwa mereka itu dapat juga bersatu apa bila tanah air dan bangsa berada dalam bahaya.
Sejak terjadinya perang madat sampai didudukinya kota-kota pelabuhan yang besar oleh kekuasaan orang kulit putih, dunia persilatan terguncang. Bahkan di dalam kalangan kau m sesat juga terdapat suatu perasaan tidak puas, bahkan dendam dan benci kepada orang kulit putih. Dengan demikian, maka golongan-golongan itu, yang kesemuanya menamakan diri sendiri sebagai pejuang-pejuang patriot, terpecah-pecah menjadi beberapa aliran. Ada golongan yang hanya memusuhi orang kulit putih dan bahkan membantu pemerintah Mancu. Ada golongan yang sebaliknya hanya menentang pemerintah penjajah Mancu dan acuh terhadap orang-orang asing kulit putih. Golongan pertama ini condong untuk menjadi kaki tangan pemerintah Ceng, sedangkan golongan kedua condong untuk diperalat oleh orang-orang kulit putih.
Ada pula golongan ke tiga yang menentang keduanya, menentang pemerintah penjajah Mancu, juga menentang orang kulit putih. Tentu saja kadang-kadang timbul bentrokan antara ketiga golongan ini. Akan tetapi, golongan yang anti kepada kedua kekuasaan asing Mancu dan kulit putih itu semakin kuat dan besar saja. Hal ini karena banyak orang gagah merasa penasaran dan marah kepada pemerintah Ceng yang dianggap telah menjual sebagian dari tanah air kepada orang-orang asing, melihat betapa pemerintah Ceng semakin lemah dan tidak berani menentang orang kulit putih, bahkan dengan cara "menyogok" untuk menyenangkan hati orang kulit putih, pemerintah Mancu telah menyerahkan kota-kota pelabuhan ke dalam kekuasaan orang kulit putih.
Di antara mereka yang hatinya merasa penasaran dan bangkit, terdapat tokoh-tokoh datuk persilatan, juga para datuk golongan hitam ikut bangkit dan merasa penasaran. Karena itu, tidak mengherankan apa bila timbul perasaan setia-kawan dan Persatuan yang besar di antara mereka untuk menghadapi kekuasaan orang kulit putih dan juga kelaliman kerajaan Ceng yang mulai lemah. Bahkan tanpa mereka sepakati bersama, Empat Racun Dunia yang terkenal keji dan jahat itupun memiliki persamaan dalam hal ini. Mereka berempat merasa penasaran sekali dan ingin menghabiskan sisa usia mereka yang sudah amat tua itu untuk melakukan sesuatu guna menentang orang-orang kulit putih dan pemerintah penjajah.
Karena itulah, ketika Hai-tok (Racun Lautan) mengirim undangan kepada para tokoh besar persilatan untuk menghadiri pesta yang akan diadakannya untuk memperingati ulang tahunnya yang ke tujuh puluh lima, para datuk persilatan menyambutnya dengan gembira dan hampir semua tokoh yang diundang memerlukan datang menghadiri undangan itu! Ada beberapa hal yang mendorong Hai-tok untuk merayakan hari ulang tahunnya itu dengan mengundang tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Pertama, karena hatinya juga tergugah melihat keadaan tanah air yang terancam oleh orang-orang kulit putih dan karena penasaran melihat politik yang amat lemah dari pemerintah Ceng dalam menghadapi kekuasaan orang kulit putih yang semakin mendesak. Ke dua adalah karena dia ingin membicarakan tentang Giokliong-kiam dengan para datuk,
Setelah diketahui bahwa pusaka itu berada di tangan Koan Jit yang kini menjadi orang penting dan berkuasa di dalam pasukan orang kulit putih yang amat kuat itu. Dan ke tiga, yang membuat Kakek ini penasaran dan marah, adalah karena dia mendengar dari puterinya, Kiki, bahwa kini muridnya yang amat dibanggakan dan diandalkan, yang bernama Lee Song Kim, telah menghambakan diri kepada istana kaisar yang dianggap sebagai kaisar yang lemah dan pengkhianat itu! Sebab-sebab inilah yang membuat Hai-tok mengundang semua tokoh besar, bukan hanya dari golongan sesat seperti golongan sendiri, akan tetapi bahkan dia mengundang tokoh-tokoh besar dunia persilatan dari golongan putih atau kau m pendekar! Hai-tok mengundang para datuk persilatan untuk datang ke pesisir timur dari mana nampak Pulau Layar di kejauhan.
Pantai ini penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha besar, dan untuk keperluan pestanya, Hai-tok menyuruh anak buahnya untuk menggempur guha-guha dan membuat lima buah guha besar menjadi satu, menjadi ruangan sebuah guha yang luas sekali, yang menghadapi laut. Guha itu lalu disuruh hias dan ukir dan untuk keperluan ini, dia sengaja mendatangkan ahli-ahli ukir yang pandai. Perpaduan antara alam dan keahlian tangan manusia menciptakan sebuah ruangan dalam guha yang amat aneh dan indah. Batu-batu karang itu diukir membentuk binatang-binatang aneh seperti naga, ki-lin, burung Hong dan sebagainya. Lantai guha dibikin rata dan di situ dipasangi meja-meja alam, meja-meja yang dibuat dari batu karang yang diukir-ukir, demikian bangku-bangku batu karang yang amat indah penuh dengan gaya seni yang luar biasa.
Ketika para tamu berdatangan, anak buah Hai-tok yang gagah-gagah dan berpakaian indah, menyambut dan mempersilahkan para tamu memasuki tempat duduk. Para tamu mengucapkan seruan-seruan kagum bukan main. Tempat itu memang amat indahnya dan menakjubkan. Selain penuh dengan batu-batu karang dan dinding-dinding batu terukir, juga bangku-bangku dan meja-meja batu karang yang indah, pemandangan keluar guha amat indah. Air laut seperti berada di luar guha yang tinggal mengulur tangan menyentuhnya, dan air laut berkeriput lembut ditimpa sinar matahari pagi yang cerah. Matahari sendiri yang baru muncul, masih memuntahkan sinar keemasan, akan tetapi menciptakan suatu jalur jalan putih keperakan di atas permukaan laut.
Semua tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh besar persilatan, tokoh-tokoh dan datuk-datuk yang sudah banyak mengalami hal yang aneh-aneh. Akan tetapi ketika memasuki guha itu, mereka tertegun dan merasa seolah-olah mereka masuk ke dalam sebuah istana dongeng di dalam lautan. Belum lama mereka duduk, terdengar bunyi yang nyaring melengking dan lembut, seperti bunyi rumah siput besar ditiup atau bunyi suling tanduk besar, mengaum dan terbawa angin memasuki guha itu. Semua orang memandang ke arah laut dari mana suara itu terdengar. Para anak buah yang tadinya bertugas menjaga guha itu dan menyambut para tamu, begitu mendengar suara mengaung itu, lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, lalu seorang di antara mereka berseru memberi pengumuman.
"Yang mulia To-cu datang...!!" Para tamu tahu bahwa Hai-tok yang bernama Tang Kok Bu itu adalah seorang yang amat kaya, menjadi majikan atau sebagai raja saja dari Pulau Layar yang nampak dari situ seperti layar sebuah perahu.
Mereka tahu bahwa yang disebut To-cu (Majikan Pulau) tentu Hai-tok Tang Kok Bu, tuan rumah yang mengirim undangan dan yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh lima. Karena itu, semua tamu menujukan pandang mata mereka ke tengah lautan, ke arah Pulau Layar. Dan kini nampaklah oleh mereka beberapa buah perahu yang kecil-kecil panjang dan meruncing, bergerak dengan amat lajunya menuju ke pantai. Beberapa orang di antaranya memegang bendera-bendera, ada yang bertuliskan kata lautan, Pulau dan Raja. Dengan bendera-bendera itu seolah-olah Hai-tok menjadi Raja Pulau dan Lautan yang kini menuju ke pantai dengan segala kebesarannya. Memang inilah yang dimaksudkan oleh seorang di antara Empat Racun Dunia itu.
Hai-tok ingin memamerkannya lewat pesta yang luar biasa megahnya itu, dan diapun ingin memamerkan kedudukan dan kekuasaannya lewat pemunculannya yang mengesankan. Dan memang mengesankan sekali pemunculan Hai-tok Tang Kok Bu! Dari jauh tadi tidak begitu nampak, hanya kelihatan seolah-olah Hai-tok duduk di atas sebuah perahu kecil seorang diri, diiringkan oleh anak buahnya yang gagah-gagah dan tampan-tampan. Akan tetapi setelah rombongan itu dekat dengan tebing-tebing karang, di mana para tamu nonton dari dalam guha, semua orang tertegun! Betapa tidak? Hai-tok duduk di atas punggung seekor binatang laut yang bentuknya seperti seekor buaya besar! Binatang itu berenang dengan cepat sekali, dikawal oleh anak buahnya yang naik perahu-perahu kecil dan yang memegang bendera-bendera kebesarannya.
Sungguh berwibawa dan gagah perkasa sekali nampaknya, juga menyeramkan. Hai-tok Tang Kok Bu yang bertubuh tinggi besar itu mengenakan pakaian yang mewah. Jubahnya dari sutera halus berwarna kuning dan di dadanya terdapat lukisan seekor naga! Jubah ini saja sudah menyaingi jubah seorang raja! Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat, wajahnya kemerahan dengan cambang bauk terpelihara rapi dan sepasang mata yang besar. Sungguh seorang Kakek yang gagah perkasa dan ranbut serta berewoknya yang masih hitam itu sangat berlawanan dengan usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun! Dia nampak seperti seorang laki-laki perkasa yang usianya sekitar lima puluh sampai enam puluh tahun saja.
Akan tetapi, kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, pada sinar matanya yang tajam itu terdapat sesuatu yang aneh, suatu sinar yang mengandung kegenitan seorang wanita! Dan orang akan merasa heran kalau memperhatikan wajah para anak buahnya. Mereka itu rata-rata tampan dan tidak ada yang berusia tua, semua masih muda dan gagah. Agaknya jauh di belakang rombongan ini, sengaja memisahkan dan memencilkan diri, nampak seorang gadis yang naik perahu seorang diri. Tak seorangpun akan menduga bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Hai-tok, yang bernama Tang Ki atau biasa disebut Kiki. Gadis ini cantik manis, sinar matanya mencorong tajam penuh keberanian, akan tetapi gadis yang menjadi puteri tunggal ini tidak memperlihatkan kemewahannya.
Sama sekali tidak pesolek seperti Ayahnya. Memang, Kiki gadis manja. Hal ini karena sejak kecil ia telah tak beribu, dan sebagai puteri tunggal Hai-tok, tentu saja sejak kecil ia dimanja. Akan tetapi, ia memiliki watak gagah yang mengusir kemanjaannya itu setelah menjelang dewasa. Dan kini, setelah ia kembali dari melakukan perjalanan jauh dan melihat keadaan dunia luas, ia semakin tidak setuju dengan keadaan dan watak Ayahnya. Inilah sebabnya mengapa ia tidak mau dekat dengan rombongan Ayahnya, dan sikap inipun tidak dapat ditundukkan oleh Ayahnya yang tahu kekerasan hati puterinya maka mendiamkan dan membiarkannya saja. Para tamu bangkit berdiri ketika dengan gerakan gagah Hai-tok Tang Kok Bu melompat dari atas punggung binatang seperti buaya itu yang segera menyelam ke dalam air.
Kemudian dengan langkah yang tegap dan wajah angker akan tetapi mengandung senyum ramah, Hai-tok Tang Kok Bu memasuki guha dan memberi hormat kepada para tamu yang terdiri dari tokohtokoh besar dunia persilatan. Di antara mereka, yang berada paling depan adalah Siauw-bin-hud, itu tokoh terkenal sekali dari Siauw-lim-pai yang sudah tua namun amat disegani dunia persilatan karena kesaktiannya dan yang belum lama ini namanya menimbulkan kegemparan di dunia kangouw karena dia dituduh merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam. Kakek Hwesio yang telah bertapa selama bertahun-tahun dan yang sudah tidak tertarik lagi akan urusan duniawi, ketika menerima undangan, dapat menduga bahwa di balik undangan ini ada suatu kepentingan besar.
Seperti para datuk lainnya, juga Siauw-bin-hud amat memperhatikan keadaan negara dan merasa tidak puas melihat sikap pemerintah menghadapi bangsa kulit putih. Diapun melihat ancaman bahaya besar terhadap tanah air dan bangsanya, maka diapun, dalam usia setua itu, memenuhi undangan Hai-tok dan hadir, bukan semata untuk menghormati datuk itu atau berpesta, melainkan lebih condong untuk melihat dan mendengar sikap para datuk mengenai keadaan tanah air. Selain datuk besar Siauw-bin-hud itu yang datang bersama Tan Ci Kong, cucu murid yang menerima gemblengan pribadi dari Kakek tua renta itu, juga gemblengan pribadi dari Kakek tua renta itu, juga nampak lengkap rekan-rekan dari Hai-tok, yaitu ketiga Racun Dunia lainnya. Thian-tok hadir bersama dua orang muridnya, yaitu Gan Seng Bu dan Ong Siu Coan.
Seperti kita ketahui, Gan Seng Bu telah menjadi seorang pejuang yang menentang kerajaan Mancu dan pemuda itu telah menikah dengan Sheila, seorang gadis kulit putih. Sedangkan Ong Siu Coan masih belum tentu kedudukannya setelah dia dipaksa meninggalkan Thian-te-pang setelah para anggautanya memberontak dipimpin oleh ketua Thian-te-pang yang lama bernama Ma Ki Sun yang dibantu oleh para tokoh pejuang lainnya dan para tokoh partai persilatan. Dia mengundurkan diri dengan damai dari Thian-te-pang. Ketika dua orang muda ini mendengar panggilan guru mereka, tentu saja mereka cepat mengunjungi guru mereka dan oleh Thian-tok, keduanya diajak untuk menghadiri pesta ulang tahun Hai-tok. Seperti yang lainnya, guru dan murid ini tertarik sekali untuk bicara dengan para datuk mengenai keadaan tanah air yang kacau balau pada waktu itu.
Tee-tok (Racun Bumi) juga hadir bersama murid yang disayangnya, yaitu Ciu Kui Eng, gadis hartawan yang telah kehilangan semua harta benda dan keluarganya itu. Tidak ketinggalan pula hadir San-tok bersama Siauw Lian Hong! Lengkaplah keempat Racun Dunia, termasuk tuan rumah, bertemu di dalam ruangan guha yang luas dan indah itu. Tentu saja Diana tak dapat ditinggalkan dan ikut pula, akan tetapi gadis berkulit putih ini tidak diajak hadir dalam pertemuan itu. Baik San-tok maupun Lian Hong melarangnya dan setelah mendengar penjelasan Lian Hong bahwa yang mengadakan pertemuan itu adalah datuk-datuk persilatan dan juga pemuka-pemuka para pejuang yang menentang bangsa kulit putih, maka hadirnya Diana hanya akan memancing timbulnya keributan saja.
Diana tahu diri dan iapun tidak rewel lagi ketika ia ditinggalkan di dalam sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan, yang terletak tak jauh dari pantai itu. Para tamu itu berduyun-duyun memberi selamat kepada Hai-tok yang sudah duduk di atas kursi besar terbuat dari batu karang. Satu demi satu mereka menghampiri tuan rumah dan memberi hormat, yang dibalas oleh Hai-tok dengan wajah gembira dan hati bangga. Para tamunya adalah datuk-datuk yang memiliki kedudukan tinggi, memiliki tingkat ilmu kepandaian hebat dan kini semua datang untuk menghormat dan memberi selamat kepadanya! Kegembiraan hatinya ini agak menghapus kekecewaannya mendengar bahwa murid yang disayangnya, Lee Song Kim, telah menyeleweng dari pada garis yang telah ditentukan olehnya, yaitu tidak boleh menghambakan diri kepada penjajah Mancu.
Setelah semua orang memberi selamat dan mengambil tempat duduk masing-masing, Haitok memandang dengan puas dan bangga. Keadaan pesta yang istimewa, luar biasa dan mengesankan. Semua tamu itu mengambil tempat duduk berkelompok dengan kelompok masing-masing, duduk diatas bangku-bangku batu karang dan menghadapi meja-meja kecil dari batu karang pula, bukan sembarang batu karang melainkan batu karang berkembang yang pilihan dan diukir indah, juga telah digosok mengkilap dan sama sekali tempat itu tidak mengandung bau amis lagi walaupun dari dinding sampai meja kursinya terbuat dari batu-batu karang. Kini Hai-tok bangkit berdiri. Suaranya terdengar besar dan berat, namun jelas dan berwibawa ketika dia bicara.
"Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang terhormat. Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan ucapan selamat dari cu-wi. Mengingat akan keadaan di tanah air kita yang tercinta, kami berpendapat bahwa kesempatan yang amat baik selagi kita berkumpul ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bagaimana kalau kesempatan ini kita pergunakan untuk bicara tentang keadaan di tanah air?"
"Akur! Akur!"
"Setuju sekali!" Semua orang menyatakan persetujuan mereka dan suasana menjadi gaduh. tuan rumah mengangkat kedua tangan ke atas sambil tersenyum.
"Bgus, agaknya di antara kita memang sudah terdapat persesuaian paham. Nah, sekarang kami persilahkan cu-wi untuk menikmati hidangan kami sekedarnya, setelah makan minum barulah kita akan bicara tentang keadaan tanah air. Pikiran akan menjadi lebih tenang kalau perut sudah kenyang, bukan?"
Semua orang tertawa dan pestapun dimulailah. Dari ruangan sebelah terdengarlah bunyi alunan musik dan nyanyian merdu. Hai-tok sengaja mengundang ahli-ahli musik dan para penyanyi yang pandai, dengan bayaran tinggi untuk memeriahkan pesta itu. Setelah hidangan dikeluarkan, semua orang menjadi semakin kagum. Kiranya, semua alat makan yang dikeluarkan juga istimewa, tidak seperti alat makan biasa, melainkan unik dan cocok dengan keadaan di dalam guha penuh batu-batuan laut itu. Mangkok dan piring terbuat dari kulit penyu, mangkok dari kerang besar dan banyak pula kembang-kembang karang yang sudah kering, dengan bentuk-bentuk aneh dan khas laut,
Dengan warna-warni yang indah, dikeluarkan sebagai tempat-tempat sayuran dan masakan yang mengepulkan bau asap gurih. Sumpit-sumpit yang dikeluarkan juga terbuat dari pada tulang-tulang ikan yang mengkilap seperti gading gajah. Pendeknya, semua alat makan terbuat dari benda-benda yang diambil dari dasar lautan, dan di sana-sini, pada piring, mangkok dan panci kerang besar itu malah dihias dengan mutiara-mutiara gemerlapan! Semua orang takjub dan merasa betapa mereka seakan-akan dijamu dalam pesta yang diadakan di istana dasar lautan oleh Raja Lautan! Hebatnya, untuk mereka yang tidak makan daging seperti Siauw-bin-hud dan beberapa orang tokoh lagi, dihidangkan masakan istimewa yang sama sekali tidak mengandung barang bernyawa! Siauw-bin-hud sampai tersenyum lebar.
JILID 22
"Omitohud..., harta benda dunia memang bisa mendatangkan kenikmatan dan kesenangan dunia yang tanpa batas. Ha-ha-ha, asalkan kita tidak sampai mabok olehnya!" Mendengar ucapan Siauw-bin-hud, Thian-tok yang duduk di meja sebelah, juga tertawa lebar.
"Ha-ha, kuharap saja tempat ini tidak berubah menjadi kuil di mana ada Hwesio tua yang berceramah memberi kuliah. Mabokpun ada batasnya dan akhirnya akan sadar kembali, bukan?" Siauw-bin-hud tidak marah, malah tersenyum.
"Siancai... ada benarnya ucapanmu itu, gendut! Segala apa di dunia ini, yang menyenangkan atau menyusahkan, tentu ada batas waktunya dan pada saatnya akan lenyap satu demi satu."
Para tamu yang aneh-aneh itu, para datuk dunia persilatan, mulai makan minum dan suasana menjadi meriah sekali. Memang nikmat sekali makan minum bersama orang-orang yang sudah dikenal dengan baik, apa lagi kalau suasananya begitu akrab dan ada sesuatu yang membuat pada saat itu mereka melupakan segala macam bentuk permusuhan dan memiliki suatu pegangan tertentu yang menyatukan hati mereka. Makan minum hidangan yang pilihan, lezat dan mahal, di tempat yang indah, dengan alat perabot makan yang aneh dan indah pula, dengan pemandangan yang amat mempersonakan dari laut yang terbentang luas di depan mereka, dalam suasana yang meriah. Para datuk sesat Empat Racun Dunia makan satu meja dengan murid masing-masing.
Siauw-bin-hud dengan wajahnya yang bersih cerah dan selalu tersenyum itu duduk semeja dengan Tan Ci Kong, kemudian di meja sebelah kirinya, duduk Thian-tok yang wajahnya dan bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Siauw-bin-hud, perutnya yang gendut, mukanya yang bulat dan serba bundar, mulutnya yang selalu tersenyum lebar, semua serupa. Hanya bedanya, jubah Siauw-bin-hud tertutup rapat sebaliknya jubah Thian-tok terbuka lebar memperlihatkan dada dan perut gendutnya, dan kalau wajah Siauw-bin-hud halus bersih, sebaliknya wajah Thian-tok penuh berewok. Mereka sedemikian mirpnya sehingga tidaklah mengherankan kalau dahulu dengan mudah Thian-tok menyamar sebagai Siauw-bin-hud ketika dia merampas pedang pusaka Giokliong-kiam. Kalau jubah itu dirapatkan dan muka itu dicukur, memang dia mirip sekali dengan tokoh Siauw-lim-pai itu.
Thian-tok duduk semeja dengan dua orang muridnya, Gan Seng Bu dan Siu Coan. Dua orang muda kakak beradik seperguruan ini ketika bertemu dan ikut bersama guru mereka menghadiri undangan Hai-tok, tidak pernah bicara tentang perselisihan mereka yang lalu seolah-olah mereka berdua sudah melupakannya. Apa lagi antara kakak beradik seperguruan, bahkan antara orang lain yang pernah bentrok sekalipun, pada waktu menghadapi urusan tanah air yang terancam, mereka semua mengesampingkan urusan pribadi dan semua perhatian hanyan ditujukan kepada perjuangan. Tee-tok duduk berhadapan dengan Ciu Kui Eng, sedangkan San-tok duduk bersama Lian Hong. Memang di dalam dada masing-masing golongan terdapat jiwa patriotisme yang agak berbeda sifatnya.
Ada yang memiliki kecondongan lebih keras membenci orang kulit putih dan ada yang lebih membenci keduanya. Akan tetapi mereka yang hadir di situ, rata-rata tidak sudi menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu atau kepada pasukan orang kulit putih, dan mereka semua mengharapkan bangkitnya rakyat yang akan memiliki pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri.
Di samping Empat Racun Dunia dan Siauw-bin-hud, hadir pula wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena yang diundang oleh Hai-tok hanya tokoh-tokoh besarnya saja, maka yang hadir di dalam ruangan guha itu berjumlah lebih dari tiga puluh orang saja. Pesta itu berjalan dengan meriah dan semua tamu memuji kelezatan masakan yang dihidangkan.
Bahkan Siuw-bin-hud harus memuji masakan-masakan yang tanpa daging itu karena memang dimasak secara istimewa dan masakan tanpa daging itu tak kalah lezatnya dengan masakan lain yang berdaging. Makan minum itu diakhiri dengan kepuasan, kekenyangan dan kelegaan hati para tamu. Setelah selesai, alat-alat makan disingkirkan, meja-meja dibersihkan kemudian meja-meja batu karang itu dipindahkan, diganti meja yang lebar dan semua tamu duduk mengelilingi meja besar untuk mulai dengan percakapan mereka yang sebenarnya merupakan inti pertemuan yang berselubung di balik ulang tahun itu. Dengan dipimpin oleh Hai-tok sebagai tuan rumah, mereka bicara tentang keadaan tanah air yang mulai dilanda kekuasaan orang kulit putih dan tentang keadaan pemerintah Ceng yang semakin lemah dan sama sekali tidak melindungi rakyat jelata.
"Kalau dibiarkan saja orang-orang kulit putih itu menguasai kota-kota pelabuhan, makin lama mereka akan menjadi semakin kuat. Harus diakui bahwa dengan kapal-kapal besar mereka, dengan meriam-meriam besar dan pasukan yang diperlengkapi dengan senjata-senjata api, mereka itu merupakan musuh yang sangat kuat dan sukar dikalahkan. Oleh karena itu, selagi mereka belum terlalu kuat, kita harus berdaya mengumpulkan kekuatan dan menghancurkan mereka," demikian Hai-tok berkata dengan penuh semangat.
"Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak menanggapi ucapan penuh semangat ini yang dikeluarkan Hai-tok setelah mereka tadi membicarakan keadaan yang makin kacau dan kemelut yang menimpa kehidupan rakyat yang dicengkeram racun madat.
"Orang-orang kulit putih itu belum dapat dibilang berbahaya karena bagaimanapun juga, mereka hanya pedagang-pedagang. Yang penting untuk segera diruntuhkan adalah kekuasaan penjajah Mancu. Kalau pemerintah dipegang oleh bangsa kita sendiri, apa sukarnya menghalau orang-orang kulit putih? Tentu saja pendapat ini tidak akan disetujui oleh mereka yang di dalam hatinya masih setia kepada pemerintah penjajah Mancu." Sepasang alis tebal di wajah Hai-tok berkerut dan matanya yang lebar memancarkan sinar kemarahan kepada Thian-tok. Dia merasa disindir karena dia mengerti bahwa muridnya, lee Song Kim, kini menghambakan diri kepada pemerintah Ceng di Kota Raja. Akan tetapi rasa Persatuan dalam pembelaan tanah air membuat Kakek yang biasanya berdarah panas ini dapat mengendalikan diri, hanya suaranya terdengar mantap dan serius, sedangkan pandang matanya ditujukan langsung kepada Thian-tok yang masih tersenyum lebar.
"Memang benar ucapan Thian-tok bahwa penjajah Mancu harus ditentang, dan siapa saja yang membantu penjajah Mancu patut dikutuk. Akan tetapi, tidak benar kalau bangsa kulit putih tidak berbahaya. Lihat saja penderitaan rakyat akibat perang candu yang lalu. Siapa saja yang menghambakan diri kepada bangsa kulit putih lebih terkutuk lagi!" Ucapan yang merupakan jawaban ini juga mengandung sindiran karena semua orang tahu bahwa Koan Jit menjadi antek orang kulit putih, sedangkan Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok. Kakek gendut inipun merasa akan sindiran tuan rumah, maka dia tertawa semakin keras.
"Ha-ha-ha-ha, benar sekali, Hai-tok, benar sekali! Akan tetapi sudah lama sekali aku mengutuk Koan Jit, tidak menganggapnya sebagai murid lagi, dan bukan hanya mengutuk, bahkan kalau ada kesempatan, akan kuhancurkan kepala murid murtad itu!" Hai-tok tidak mau kalah.
"Muridku yang pertama Lee Song Kim juga murtad, telah bekerja kepada pemerintah Mancu di Kota Raja, dan akupun tidak menganggapnya murid lagi melainkan musuh!"
"Ha-ha-ha-ha, kalau begitu keadaan kita sama, Hai-tok. Satu-satu, kita masing-masing mempunyai murid yang murtad dan memalukan, ha-ha-ha!"
"Tidak sama benar keadaan kita, Thian-tok." Hai-tok membantah, kini sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri penuh rasa kemenangan.
"Hanya seorang muridku yang murtad dan memalukan, akan tetapi kabarnya, di samping Koan Jit yang menjadi antek penjilat orang kulit putih, aku mendengar masih ada lagi muridmu yang bahkan menikah dengan seorang perempuan bule!" Tentu saja sindiran ini amat tepat menghunjam perasaan Thian-tok, akan tetapi Kakek ini kelihatan tenang dan tersenyum lebar saja, sedangkan semua mata kini ditujukan ke arah Gan Seng Bu yang bersikap tenang memandang kepada gurunya. Ingin ia bicara, karena dialah yang diejek, akan tetapi karena ucapan Hai-tok tadi ditujukan kepada suhunya, maka diapun tidak berani melancangi gurunya.
"Ha-ha-ha-ha, pandangan yang picik, pandangan yang membuktikan kebodohan! Bagaimana mungkin urusan perjodohan dicampuradukkan dengan urusan perjuangan membela tanah air? Perjodohan dasarnya saling mencinta dan dalam urusan cinta ini, tidak ada sangkut-pautnya dengan bangsa, negara, atau apa saja. Asal laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki, maka cinta dapat timbul tanpa mengingat bangsa dan keturunan. Siapa bisa bilang bahwa kita semua hadir di sini adalah bangsa aseli? Siapa berani memastikan dan siapa bisa membuktikan bahwa darahnya tidak ada campuran darah keturunan bangsa lain, tidak ada darah campuran darah Mongol, Mancu, atau Birma dan An-nam, bahkan darah India dan Yahudi? Ha-ha-ha-ha, kalau kita sendiri tidak bisa memastikan keaselian kita, bagaimana mau bicara tentang perbedaan bangsa dalam pernikahan? Muridku memang ada yang menikah dengan seorang perempuan bule, dan dia adalah Gan Seng Bu yang hadir di sini, akan tetapi hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan menentang penjajah Mancu atau bangsa kulit putih!" Hai-tok masih tidak mau kalah dan masih penasaran. Sambil memandang tajam ke arah Gan Seng Bu, dia berkata lantang.
"Biarkan yang bersangkutan sendiri bicara. Bukankah kalau orang menikah dengan seorang perempuan kulit putih, lalu pandangannya terhadap orang kulit putih juga menjadi berubah? Tak mungkin memusuhi bangsa dari istrinya sendiri!"
"Tang Locianpwe," kata Gan Seng Bu dengan suara lantang tapi hormat, sambil mengangkat muka setelah tadi memandang dan menentang pandang mata semua orang yang hadir, "Seperti dikatakan oleh suhu tadi, pernikahan dengan isteri saya seorang wanita kulit putih sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan saya menentang kerajaan penjajah dan pengaruh kulit putih yang memasukkan madat ke negeri kita. Isteri saya menentang politik bangsanya sendiri. Kalau tidak demikian, tentu ia dan saya akan berhadapan sebagai musuh, bukan menjadi suami isteri. Dan urusan pernikahan adalah urusan pribadi, sedangkan perjuangan membela tanah air adalah urusan umum, harap jangan dicampuradukkan." Sebelum Hai-tok atau yang lain sempat menjawab, terdengar suara halus namun begitu penuh wibawa dan membuat semua orang terdiam mendengarkan. Itulah suara Siauw-bin-hud yang melihat betapa percakapan antara Hai-tok itu makin meruncing dan menimbulkan suasana panas.
"Omitohud..., kita ini mau dibawa ke manakah dengan percakapan tentang diri-diri pribadi? Cu-wi yang hadir ini datang hendak membicarakan segala tetek-bengek mengenai urusan pribadi masing-masing, ataukah datang hendak bicara tentang tanah air dan bangsa? Kalau urusan pribadi, lebih baik pinceng pergi karena pinceng tidak mau bicara tentang diri orang lain." Mendengar ucapan Hwesio tua yang disegani itu, Hai-tok dan Thian-tok baru sadar dan Thian-tok tertawa bergelak.
"Aih, kalau tidak ada engkau Hwesio tua yang selalu waspada dan sadar, tentu kami akan terseret semakin jauh, ha-ha-ha!" Hai-tok juga cepat berkata,
"Maafkan kami yang lupa diri. Sebaliknya kita melupakan saja segala pembicaraan kita tadi, Thian-tok." Terdengar lagi suara Siauw-bin-hud.
"Sejak tadi kita bicara tentang perlunya menentang pemerintah penjajah Mancu dan pasukan kulit putih. Akan tetapi bagaimana pelaksanaannya? Menentang mereka berdua itu membutuhkan tenaga yang amat kuat dan biaya yang amat besar. Kalau tidak kuat, tentu perjuangan itu akan gagal di tengah jalan. Lihat saja betapa banyaknya kelompok pejuang yang hancur di tengah jalan. Yang terpenting bagi kita adalah mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat membentuk pasukan yang cukup kuat untuk menjatuhkan pemerintah penjajah dan sekaligus menghalau pasukan asing kulit putih dari tanah air." Tiba-tiba Ong Siu Coan bangkit berdiri dan setelah memberi hormat ke arah semua orang dia lalu berkata dengan suara lantang,
"Mohon maaf kepada para Locianpwe dan cu-wi yang terhormat kalau saya berani lancang bicara. Urusan perjuangan ini memang harus dipecahkan oleh kita semua, tua dan muda karena hal ini menyangkut kehidupan rakyat atau bangsa kita. Agaknya akan berat sekali kalau dengan mati-matian kita harus melawan kedua musuh kita, yaitu kerajaan Mancu dan pasukan kulit putih. Seperti yang sudah dilakukan oleh banyak kelompok pejuang, saya merasa setuju sekali kalau dalam hal ini kita mempergunakan siasat dan kecerdikan, bukan sekedar mengandalkan kekuatan badan. Seperti kita ketahui, pasukan asing kulit putih amat kuat dengan persenjataan mereka dan merekapun tidak sangat bersahabat dengan pemerintah Mancu semenjak terjadinya pembakaran candu secara besar-besaran di Kanton itu. Kalau dua pihak itu bermusuhan dan berperang satu sama lain, hal ini amat menguntungkan kita. Biarkan mereka itu saling serang karena peperangan antara mereka akan membuat keduanya menjadi lemah. Dan kalau sudah begitu, barulah kita turun tangan menghantam mereka. Dengan demikian, kita menghemat tenaga." Suasana menjadi bising karena semua orang menanggapi sendiri-sendiri pernyataan dari Ong Siu Coan itu.
"Omitohud..., pemikiran yang muda-muda memang patut diperhatikan karena kadang-kadang mereka itu lebih cerdik dari pada kita orang-orang tua." Yang bicara itu adalah Hwesio yang menjadi wakil dari Bu-tong-pai.
"Memang baik sekali melakukan siasat memancing perpecahan antara pemerintah Mancu dan orang-orang kulit putih. Biarkan mereka itu berperang sendiri sementara kita menyusun kekuatan yang membutuhkan waktu dan tentu saja membutuhkan banyak biaya seperti yang dikemukakan oleh Locianpwe Siauw-bin-hud tadi." Sebagian besar yang hadir setuju dengan pemikiran yang diajukan oleh Siu Coan itu. Siasat itu memang baik sekali. Mereka memang tidak suka kepada orang kulit putih dan semua ingin menghalau mereka keluar dari tanah air.
Akan tetapi selagi orang-orang kulit putih itu bermanfaat untuk membantu mereka menjatuhkan pemerintah penjajah, maka calon-calon musuh itu dapat untuk sementara dijadikan senjata demi keuntungan perjuangan mereka. Girang karena hasil pemikiran muridnya itu diterima dengan baik oleh para tokoh yang hadir, Thian-tok teringat akan muridnya yang pertama dan dia menghantamkan telapak tangan kirinya sendiri sampai terdengar suara keras dan semua orang terkejut lalu memandang kepada Kakek gendut itu. Wajah Kakek itu yang biasanya selalu menyeringai lebar, kini nampak agak keruh dan tidak ada senyum. Baru Thian-tok merasa bahwa perbuatannya tadi menarik perhatian semua orang setelah semua orang terdiam dan memandang kepadanya.
"Aku teringat akan murid murtad Koan Jit itu!" katanya penuh kemarahan.
"Tidak saja dia telah menjadi antek orang kulit putih, akan tetapi dia juga telah melarikan Giok-liong-kiam!" Semua orang tertarik mendengar Kakek itu mulai bicara tentang Giok-liong-kiam. Terdengar suara ketawa dan yang ketawa ini adalah Siauw-bin-hud.
"Heh-heh, ini namanya hukum karma, Thian-tok, Engkau memperoleh pedang itu dengan menggunakan nama pinceng, dan tanpa pinceng membalasmu, yang membalaskan adalah muridmu sendiri yang mencurinya darimu!"
"Siancai, apa hubungannya Giok-liong-kiam dengan perjuangan kita? Kenapa percakapan kini menyeleweng ke arah pedang pusaka itu??" terdengar seorang tosu dari Kunlun-pai memprotes.
"Tosu bodoh, kau tahu apa?" Thian-tok berseru. Memang sudah menjadi watak Empat Racun Dunia untuk menyapa orang, baik sudah dikenalnya atau belum, tak perduli apa dan bagaimana kedudukannya, dengan kasar dan tanpa sopan santun sama sekali. Oleh karena itu diapun begitu saja memaki tosu bodoh kepada tosu Kun-lun-pai itu! "Kalau Giok-liong-kiam sekarang berada di tanganku, aku akan kuat membiayai perjuangan kita semua sampai kerajaan penjajah Mancu dijatuhkan dan orang-orang kulit putih diusir habis!" Kembali semua orang menjadi bising.
"Benarkah berita tentang harta karun yang berada di balik rahasia Giok-liong-kiam?" terdengar suara orang berseru. Thian-tok mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Jangan kalian pura-pura tidak tahu saja. Kalau kalian tidak tahu akan rahasia itu, perlu apa orang-orang seluruh kang-ouw memperebutkan pusaka itu? Hanya untuk mencari nama agar dianggap jagoan nomor satu di dunia persilatan? Omong kosong! Yang jelas karena kita semua memperebutkan harta karun yang tersembunyi itu."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud berseru tersenyum.
"Ingat, Thian-tok, pinceng sama sekali tidak pernah ikut memperebutkan. Ceritakanlah, apa gunanya Giok-liong-kiam itu untuk perjuangan kita?"
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian-tok mulai bercerita.
"Kalian tentu tahu bahwa orang macam aku ini tidak lagi membutuhkan bukti bahwa aku adalah jagoan nomor satu dengan memiliki Giok-liong-kiam. Phuh..! Kalau Giok-liong-kiam tidak menyimpan rahasia harta karun, perlu apa aku bersusah payah merampasnya dan menyamar sebagai Siauw-bin-hud? Giok-liong-kiam itu mengandung rahasia yang menunjukkan di mana adanya harta karun yang tak ternilai besarnya! Kalau kita dapat memiliki harta itu, dapat dipakai sebagai biaya perjuangan selama puluhan tahun. Sayang murid murtad itu telah mencurinya dari tanganku."
"Heii, si mulut besar Thian-tok!" Tiba-tiba San-tok yang sejak tadi diam saja dan hanya saling pandang dengan muridnya sambil tersenyum, kini menegur Thian-tok.
"Pedang pusaka itu telah lama berada di tanganmu. Tentu engkau sudah mencari dan mengambil harta karun itu. Jangan pura-pura bodoh! Kami bukan orang-orang tolol yang mudah kau kelabuhi!"
"Jembel busuk enak saja kau ngomong!" Thian-tok balas memaki akan tetapi mulutnya menyeringai. Dimaki oleh seorang rekan seperti San-tok itu sama sekali tidak merupakan penghinaan, bahkan membawa kehangatan karena keakraban.
"Kalau harta karun itu sudah berada di tanganku, perlu apa aku banyak ngomong lagi? Menurut keterangan yang kuperoleh, rahasia itu berada di gagang pedang dan kalau direndam air semalam suntuk akan timbul gambaran-gambaran atau tulisan yang menerangkan tempat dimana adanya harta karun. Akan tetapi sungguh sialan, sudah kurendam sampai tiga hari tiga malam, tidak juga nampak perubahan apa-apa. Sebelum aku berhasil menemukan rahasianya, pedang itu telah dicuri Koan Jit." Hampir San-tok tertawa bergelak, juga Lian Hong menahan senyumnya. Hanya mereka berdualah yang tahu akan rahasia sebenarnya dari pedang pusaka Giok-liong-kiam itu. Thian-tok sama sekali tidak tahu bahwa pedang pusaka yang dicuri dari tangannya oleh muridnya itu adalah pedang pusaka yang palsu, walaupun yang palsu itu akan membawa pemiliknya kepada yang aseli.
"Kalau begitu, mari kita berlumba untuk merampasnya kembali dari Koan Jit!" terdengar seruan orang.
"Ah, bagaimana kalau muridmu itu telah mengambil harta karun itu?" Hai-tok bertanya kepada Thian-tok. Kakek gendut itu menggeleng kepala.
"Diapun tidak lebih tahu dari pada aku. Agaknya keterangan tentang harta karun itu hanya dongeng belaka dan pedang itu tidak menyimpan apa-apa."
"Betapapun juga, kita harus berusaha untuk merampas pedang pusaka itu!" Hai-tok berkeras.
"Akan tetapi, sekarang bukan merampas untuk diri sendiri, melainkan untuk bisa mendapatkan harta karun untuk membiayai perjuangan kita. Apakah kalian semua setuju?" Semua orang menyatakan setuju.
"Omitohud, betapa mudahnya bicara dan betapa sukarnya melaksanakan semua itu. Pinceng mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang yang berkuasa di dalam pasukan kulit putih. Dia sendiri sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, kabarnya semua ilmu dari Thian-tok telah dikurasnya. Sekarang dia berlindung di belakang pasukan kulit putih yang memiliki benteng amat kuat. Bagaimana mungkin dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya?" Siauw-bin-hud berkata dan semua orangpun termenung karena merekapun maklum betapa sukarnya merampas pedang itu dari tangan Koan Jit. Agaknya akan lebih sukar dari pada kalau pedang itu berada di tangan Thian-tok. Tiba-tiba terdengar lagi San-tok bicara lagi, suaranya lantang dan menjadi perhatian semua tamu yang hadir.
"Biarpun sukar, kita semua harus berusaha untuk mendapatkan harta karun itu. Memang suatu pekerjaan yang amat sukar dan berbahaya, karena itu, sudah sepatutnya kalau siapa yang berhasil mendapat pahala yang wajar dan sesuai."
"Wah-wah, jembel tua ini minta sedekah! Pahala bagaimana maksudmu, San-tok?" tanya Thian-tok, tertarik juga karena siapa mau bekerja keras kalau tidak diberi imbalan jasa.
"Siapa yang berhasil mendapatkan harta karun itu dan menyerahkannya untuk kepentingan perjuangan meruntuhkan penjajah Mancu dan mengusir bangsa kulit putih, maka pedang pusaka Giok-liong-kiam diakui menjadi miliknya yang syah dan dia dianggap sebagai seorang pahlawan dan jagoan nomor satu di dunia! Bagaimana, setujukah kalian?"
"Omitohud, pinceng anggap hal itu sudah sepatutnya. Merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit yang berlindung dalam pasukan kulit putih merupakan pekerjaan yang amat berat, apa lagi kalau harus melanjutkan penyelidikan dari pedang itu sampai bisa mendapatkan harta karun. Jasa orang itu amat besar dan patutlah dia menjadi pahlawan dan dianggap jagoan nomor satu di dunia persilatan," kata Siauw-bin-hud dan semua orang menyatakan persetujuan mereka dengan serentak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara yang lebih gemuruh dari pada suara mereka. Semua orang terkejut karena suara itu datangnya dari luar guha. Hai-tok yang paling dulu tahu akan keadaan di situ, lebih dahulu meloncat bangun. Dia merasa adanya sesuatu yang luar biasa dan mencurigakan sekali. Ketika dia tidak melihat gerakan anak buahnya, wajahnya berubah merah.
"Ada bahaya...!" Serunya. Berbareng dengan seruannya itu, terdengar bunyi tambur di luar, disusul suara parau penuh gertakkan,
"Kalian yang berada di dalam guha, menyerahlah. Pasukan kerajaan telah mengepung tempat ini. Lebih baik menyerah dan menjadi tawanan kami dari pada harus kami kerahkan pasukan dengan jalan kekerasan!" Mendengar itu, Hai-tok terbelalak penuh kemarahan dan semua orang mengusir kecurigaan mereka terhadap Hai-tok yang tadinya timbul.
"Di sini Tang Kok Bu, majikan Pulau Layar yang bicara!"
"Teriakannya nyaring sekali sehingga akan mudah terdengar oleh mereka yang berada di luar guha.
"Hari ini kami mengadakan perayaan hari ulang tahun kami yang ke tujuh puluh lima, dengan mengundang beberapa sahabat baik kami. Apa salahnya dengan itu? Kami tidak pernah bermusuhan dengan pasukan pemerintah. Apa maksudnya kini pasukan pemerintah mengepung tempat ini dan menyuruh kami menyerah?" Hening sejenak setelah gema suara Hai-tok melenyap. Seolah-olah mereka yang berada di luar itu berunding sebelum menjawab teriakan tadi. Kemudian terdengar pula suara parau dari luar.
"Tang Kok Bu! Kami sudah tahu apa yang tersembunyi di balik pestamu itu! Engkau mengundang pemberontak-pemberontak, tokoh-tokoh pemberontak dari dunia persilatan untuk berunding dan mengatur rencana pemberontakan lebih lanjut. Kami mengenal banyak diantara tamu-tamu sebagai pemberontak-pemberontak di daerah Kanton dan sekitarnya, juga pengacau-pengacau yang suka menganggu pasukan-pasukan pemerintah di selatan Kota Raja. Lebih baik menyerah dengan tenang dan serahkan para pemberontak itu kepada kami. Mereka yang ternyata tidak berdosa, setelah melalui pemeriksaan, tentu akan dibebaskan kelak!"
"Ha-ha-ha, tidak kusangka bahwa Hai-tok hanya besar lagaknya saja. Mengatur pertemuan begini saja sudah bocor sehingga kita dikepung pasukan pemerintah!" Hai-tok mengepal tinju.
"Ini tentu ada yang membikin bocor. Tentu ada anjing pengkhianat, penjilat penjajah Mancu di sini!"
"Siancai, tidak perlu ribut, yang penting kita harus dapat lolos dari tempat ini," kata Siauw-bin-hud. Kini terdengar bunyi terompet dan membanjirlah pasukan yang bersenjata tombak, golok atau pedang, menyerbu bagaikan air bah ke dalam guha itu melalui pintu-pintu yang ada. Agaknya semua jalan masuk telah dipenuhi oleh pasukan sehingga terpaksa para tamu itu membela diri. Tentu saja pasukan itu bukan lawan para tamu yang rata-rata adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi, Karena semua jalan keluar sudah tertutup dan pasukan itu berjumlah amat banyak, keadaan menjadi berbahaya sekali. Kalau mereka diserang anak panah, apa lagi senjata api, atau tempat itu dikurungi api dan mereka diserang dengan asap, akan celakalah mereka.
Juga, andaikata mereka terus dikurung beberapa hari saja, mereka tentu akan menjadi kelaparan dan akhirnya akan tewas juga. Pengepungan itu membuat beberapa orang tamu merasa panik dan mereka lalu nekat menyerbu ke luar guha. Tentu saja disambut pengeroyokan puluhan, bahkan ratusan orang anak buah pasukan. Terjadilah perkelahian-perkelahian seru di luar guha, di mana para penyerbu yang keluar itu mengalami pengeroyokan banyak sekali lawan. Melihat ini, Hai-tok khawatir kalau-kalau banyak di antara tamunya yang akan roboh dan tewas. Betapapun lihainya, mana mungkin menghadapi pengeroyokan ratusan orang di tempat yang sempit itu? Biarpun akan berhasil membunuh banyak pengeroyok, akhirnya akan roboh juga. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan, maka dengan cepat dia lalu berseru.
"Cepat kalian ikut aku melarikan diri melalui air! Cepat sebelum terlambat!" Dan diapun lalu meloncat begitu saja ke depan guha dan tubuhnya meluncur ke bawah, ke arah air laut! Tang Ki atau Kiki yang sejak pertemuan itu tadi seringkali mengerling ke arah Ci Kong, pemuda yang pernah menolongnya, kini menghampiri pemuda itu.
"Ci Kong, mari ikut aku melarikan diri. Tidak ada jalan lain untuk melarikan diri selain seperti yang dianjurkan oleh suhu tadi." Sebelum pemuda itu sempat menjawab, gadis itu telah menarik tangannya ke tepi tebing depan guha. Melihat air laut jauh di bawah, di tempat yang amat curam itu, tentu saja Ci Kong merasa ngeri.
"Ah, kau hendak mengajak aku bunuh diri?" tanyanya kepada Kiki.
"Kau masih tidak percaya padaku? Baiklah, kalau bunuh diri juga berdua dengan aku. Nah, siaplah!" Gadis itu lalu menarik tangan Ci Kong dan keduanya meloncat ke bawah! Ci Kong terkejut sekali akan tetapi karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis itupun meloncat bersama dia, maka dia mulai percaya dan membiarkan dirinya jatuh bersama gadis itu yang masih memegang pergelangan tangannya.
"Tahan napas dan jatuhkan dirimu dengan tegak lurus!" Kiki sempat berkata sebelum tubuh mereka menimpa air. Ci Kong melupakan rasa ngerinya dan diapun menahan napas, mencoba untuk mengatur keseimbangan tubuhnya. Akan tetapi tetap saja dia menimpa air dengan pinggul lebih dulu.
"Byurrrr...! Keduanya tenggelam dan Ci Kong merasa pinggulnya sakit bukan main. Akan tetapi gadis itu masih memegang lengannya dan kini mereka cepat timbul kembali ke permukaan air. Ci Kong, gelagapan, akan tetapi tubuhnya tidak tenggelam karena Kiki telah mencengkeram pundaknya.
"Ke sini...!" Terdengar suara Hai-tok dan ternyata Kakek itu telah mendayung sebuah perahu yang memang disembunyikan di bawah tebing untuk keperluan darurat. Kiki berenang sambil menarik tubuh Ci Kong dan keduanya dapat naik ke dalam perahu itu. Sementara itu, melihat betapa Ci Kong, Kiki dan Hai-tok sudah meloncat ke bawah, banyak orang mengikuti jejak mereka.
Berlompatanlah mereka ke bawah dan tubuh mereka diterima air laut dengan lunak. Di situ sudah ada Hai-tok dan muridnya, keduanya adalah ahli-ahli renang yang amat mahir, yang cepat menolong mereka itu naik ke dalam perahu. Di antara tiga puluh orang itu, ada se puluh orang yang tertinggal di atas, mengamuk dan membunuh banyak anggauta pasukan pemerintah untuk akhirnya tewas dikeroyok ratusan orang. Tak seorangpun di antara mereka yang mau menyerah, dan merekapun tewas setelah merobohkan dan membunuh puluhan orang pengeroyok. Yang lainnya, kurang lebih dua puluh orang, telah selamat berada di perahu yang disediakan oleh Hai-tok di bawah tebing karang yang curam itu dan kini perahu itu bergerak perlahan menyusuri pantai dan akhirnya mendarat di bagian yang sunyi dan jauh dari tebing itu.
"Terpaksa kita bubaran di sini dan kami merasa menyesal sekali setelah terjadi peristiwa yang tidak terduga-duga ini.
Baiklah, kita saling berpisah karena aku harus mempersiapkan diri. Pemerintah tentu tidak akan tinggal diam dan Pulau Layar tentu akan diserbu. Mari kita berlumba untuk mendapatkan harta karun itu dan peristiwa tadi makin mempertebal tekadku untuk membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu!" demikian Hai-tok berkata dengan penuh semangat, kemudian bersama Kiki dia menggerakkan perahu kembali ke tengah lautan menuju ke Pulau Layar. Sementara itu, para tamu yang berhasil diselamatkan, termasuk tiga orang di antara Empat Racun Dunia bersama murid mereka, Siauw-bin-hud dan Ci Kong, segera meninggalkan tempat itu dengan berpencar. Akan tetapi Siauw-bin-hud menahan Thian-tok, San-tok, dan Tee-tok.
"Omitohud..., sungguh sayang sekali bahwa perundingan yang baik dan sudah mulai berhasil itu diganggu penyerbuan pasukan pemerintah. Bagaimana kalau pinceng mengundang kalian bertiga bersama murid-murid kalian untuk melanjutkan perundingan sambil bersembunyi dari pengejaran pasukan ke dalam kuil Siauw-lim-si yang tua dan tidak begitu jauh dari sini?" Tee-tok segera menyatakan kesediaannya.
"Bgus, aku memang ingin sekali bercakapcakap sebagai sahabat dengan Siauw-bin-hud yang sudah sekian lamanya kekagumi namanya dan sudah kukenal kehebatannya sejak dahulu. Aku ingin minta banyak petunjuk darimu, Siauw-binhud." Akan tetapi Thian-tok mengerutkan alisnya.
"Hwesio tua, kiranya sudah cukup kita bicara tadi. Terlalu banyak bicara tidak ada gunanya bagiku. Dari tangankulah Giok-liong-kiam hilang dan karena itu, aku merasa paling tertekan dan paling besar kewajibanku untuk merampas kembali pedang itu, dibantu oleh dua orang muridku ini. Siu Coan, Seng Bu, mari kita pergi!" Guru dan dua orang muridnya itu lalu pergi setelah siu Coan dan Seng Bu berpamit.
"Bagaimana dengan engkau, San-tok?" San-tok saling pandang dengan muridnya, lalu dia berkata,
"Aha, sesungguhnya akupun masih kangen kepada kalian dan ingin bicara panjang lebar dan saling bertukar pikiran. Akan tetapi aku harus membagi tugas dengan muridku." Lalu dia berkata kepada Lian Hong, "Hong Hong, engkau tahu apa yang harus kau lakukan. Biarlah ini merupakan ujian bagimu. Dapatkan pusaka itu lalu bawa kepadaku. Nah, pergilah sekarang juga."
"Tapi, suhu... bagaimana dengan... sumoi...?" San-tok terbelalak, nampaknya bingung dan terheran-heran.
"Apa? Sumoi...? Ah, benar, anak itu...!" Dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh muridnya adalah Diana. Hampir lupa dia kepada gadis bule yang menjadi muridnya itu. Sialan!
"Persetan..."
"Suhu, kalau suhu bersikap demikian, aku tidak akan mau melaksanakan perintah!" Lian Hong berkata dengan sikap tegas sehingga San-tok merasa kewalahan dan agak kemalu-maluan karena di depan dua orang Kakek itu muridnya berani menantangnya. Benar saja, Tee-tok sudah tertawa mengejek.
"Huh, mampus kau , Jembel Gunung! kau keras kepala, muridnya lebih keras kepala lagi. Mau kulihat siapa yang menang!" San-tok menghela napas.
"Sudahlah... Memang nasibku yang sial. Baik, pergilah, Hong Hong, aku akan mengurus anak setan itu."
"Tapi, suhu, berjanjilah dulu bahwa suhu tidak akan mencelakainya."
"Anak bandel! Apa kau kira aku sudah gila, mencelakai murid sendiri?" Tapi melihat sinar mata muridnya, dia mengangguk-angguk.
"Baiklah, baiklah, aku berjanji..." Lian Hong merasa lega. Ia mengenal baik gurunya yang juga seperti Kakeknya sendiri itu. San-tok memang seorang tokoh atau datuk sesat yang memiliki watak aneh dan tergolong ganas dan buas, tidak mengenal arti perikemanusiaan atau sopan santun, tidak perduli akan segala tata cara atau kesusilaan. Akan tetapi, di balik itu semua terdapat suatu watak yang gagah perkasa atau menghargai kegagahan dan sekali gurunya itu berjanji, dia tidak akan mau melanggar janjinya sendiri seperti sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Maka, setelah memperoleh janji suhunya, ia lalu memberi hormat kepada semua orang dan pergi dari situ dengan ilmu lari cepatnya yang membuat bangga San-tok dan membuat kagum semua orang.
"Siancai, muridmu itu memang hebat, San-tok," kata Siauw-bin-hud, teringat akan pertemuannya pertama dengan Lian Hong yang menyerang dan memukul kepalanya.
"Ha-ha-ha, berkat kebaikan budimu ia memperoleh kemajuan, Hwesio tua," jawab San-tok.
"Akan tetapi sekarang aku harus memisahkan diri untuk menjemput anak setan itu."
"Aha, kiranya si jembel gunung mempunyai seorang murid perempuan lagi yang disebut sumoi oleh muridmu tadi?" Tee-tok berkata. San-tok yang biasanya suka senyum-senyum terus itu kini agak cemberut. Teringat betapa muridnya yang ke dua ini seorang gadis bule dan belum bisa apa-apa, sungguh tak dapat dibanggakan sama sekali, hatinya tak senang. Dia tidak menjawab pertanyaan Tee-tok, melainkan bertanya kepada Siauw-bin-hud di mana letaknya kuil yang dimaksudkan.
Setelah diberi tahu, dia lalu meloncat dan pergi dari situ untuk menjemput Diana yang ditinggalkan di sebuah kuil tua yang rusak. Sementara itu, Siauw-bin-hud dan Ci Kong melakukan perjalanan menuju ke kuil yang dimaksudkan Siauw-bin-hud bersama Tee-tok dan Ciu Kui Eng. Dua orang Kakek itu bercakap-cakap di sepanjang perjalanan dan dua orang muda-mudi itu berjalan di belakang mereka. Karena Ci Kong dan Kui Eng pernah bertemu, bahkan berkenalan secara mengesankan sekali, mula-mula berkelahi dan Ci Kong pernah menyelamatkan Kui Eng dari pengeroyokan pasukan pemerintah, maka setelah kini ada kesempatan, keduanya juga bercakap-cakap dengan lirih. Sejak pertemuannya yang pertama dengan Kui Eng, hati Ci Kong memang telah tertarik.
Dia merasa kagum dan suka kepada gadis itu, walaupun gadis itu adalah puteri mendiang Ciu Lok Tai atau Ciu Wan-gwe yang pernah mencelakakan Ayahnya. Dia sama sekali tidak melihat watak jahat dalam diri gadis ini. Sebaliknya malah, biarpun gadis ini menjadi murid seorang datuk sesat seperti Tee-tok, namun jelas bahwa gadis ini berwatak gagah perkasa, penentang kejahatan dan bahkan bersemangat besar untuk menjadi seorang pahlawan, seorang patriot yang membela tanah air dan bangsa! Ci Kong tidak tahu tentang cinta. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis ini, akan tetapi yang jelas, dia merasa kagum dan suka kepada gadis yang bermata tajam, berwatak keras agak angkuh namun gagah perkasa, galak akan tetapi manis dan kalau tersenyum bukan main manisnya itu.
"Nona, apa saja yang telah kau alami semenjak pertemuan kita yang pertama dahulu itu?" tanyanya lirih. Kui Eng tersenyum dan mukanya menjadi agak kemerahan. Ia masih teringat betapa dalam keadaan pingsan dikeroyok pasukan, ia pernah ditolong pemuda ini yang memondongnya dan membawanya keluar dari kepungan. Dan betapa ia salah sangka, bukannya berterima kasih bahkan menyerang pemuda ini. Kemudian, betapa Ci Kong sama sekali tidak merasa menyesal atau sakit hati atas perlakuannya yang tidak patut, sebaliknya pemuda itu bahkan membantunya mengangkat jenazah keluarganya untuk dikuburkan dengan sepatutnya walaupun amat sederhana. Perpisahan antara mereka adalah perpisahan dua orang sahabat dan di lubuk hatinya, Kui Eng selalu terkenang kepada pemuda itu dengan perasaan hati kagum dan berterima kasih.
"Aku hanya membantu gerakan orang-orang gagah yang melawan pasukan pemerintah, dan kadang-kadang juga melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat yang sengaja bersikap semena-mena dan merajalela di dusun-dusun dalam keadaan perang yang kacau itu. Ada kalanya kami dengan kawan-kawan menghadang pasukan kulit putih dan mengganggu mereka. Dan kau ?"
"Ah, selama ini aku tidak melibatkan diri dengan perang, tidak berpihak mana-mana sesuai dengan sikap Siauw-lim-pai selama ini. Aku hanya menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah membutuhkan bantuan saja. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berubah banyak. Agaknya Siauw-lim-pai juga melihat bahwa tanah air dan bangsa harus dibela."
"Pernahkah engkau berhasil mencari Giok-liong-kiam?" tanya pula Kui Eng. Pemuda itu menggeleng kepala.
"Bertemu dengan yang bernama Koan Jit itupun belum pernah. Dan kau ?" Kui Eng tersenyum. Pertanyaan yang duajukan pemuda ini sama benar dengan yang dilakukannya tadi, singkat namun akrab sekali.
"Wah, aku hampir celaka di tangan iblis itu. Koan Jit itu memang lihai bukan main. Aku pernah bertemu dengan dia dan bahkan kami berkelahi, akan tetapi dia berhasil menawanku dengan obat bius. Aku pasti telah celaka di tangannya kalau saja tidak tertolong oleh adik Lian Hong..."
"Murid San-tok tadi?"
"Benar, adik Hong sungguh hebat. Karena pertolongannya maka sampai sekarang aku masih bernapas, tentu saja juga karena pertolonganmu dahulu."
"Dan kalian berhasil mendapatkan Giok-liong-kiam?" Kui Eng tersenyum dan melirik.
"Kalau sudah kami dapatkan perlu apa sekarang ributribut ? Kami hanya mampu mengusir Koan Jit, akan tetapi tidak pernah melihat pedang pusaka itu. Entah kalau adik Lian Hong karena sejak itu, baru tadi kami saling jumpa, dan belum sempat kami bercakap-cakap."
Tidak begitu leluasa mereka bercakap-cakap karena mereka berdua berjalan di belakang dua orang Kakek yang berjalan di depan mereka. Benar seperti yang dikatakan Kakek Siauw-binhud, tak lama kemudian merekapun tiba di sebuah kuil yang tersembunyi di dalam hutan kecil di daerah lereng bukit. Kuil itu selain menjadi tempat pertapaan beberapa orang Hwesio Siauw-limsi yang suka akan keheningan dan kesunyian, juga melayani beberapa buah dusun di sekitar bukit itu. Hanya ada lima orang Hwesio di kuil sederhana dan tua itu. Mereka ini terkejut bukan main melihat kedatangan Siauw-bin-hud. Dengan berlutut mereka menyambut dengan segala kehormatan karena kepala Hwesio itu masih terhitung cucu murid Siauw-bin-hud.
"Ha-ha, pinceng hanya akan merepotkan kalian," kata Siauw-bin-hud.
"Karena kami dan kawan-kawan dikejar-kejar pasukan, kami akan beristirahat di sini dan pinceng ingin meminjam sebuah ruangan untuk bercakap-cakap dengan beberapa orang sahabat."
"Tentu saja teecu terima dengan senang hati dan merasa mendapat kehormatan yang takkan teecu lupakan selama hidup!" kata para Hwesio itu dan memasuki kuil dan membawa mereka ke ruangan belakang yang luas, bersih dan berhawa jernih karena menghadapi kebun terbuka. Mereka lalu duduk, menerima hidangan air minum dan makanan sederhana, bercakap-cakap sambil menanti kedatangan
San-tok. Hati San-tok masih merasa tak senang dan mendongkol ketika tiba di kuil tua di mana dia dan Lian Hong meninggalkan Diana. Kalau menurut kata hatinya, ingin dia meninggalkan gadis bule itu atau bahkan kalau perlu membunuhnya agar tidak merepotkannya lagi.
Dia mempunyai murid seorang gadis kulit putih berambut kuning emas bermata biru? Huh! Seperti setan! Apa lagi kalau diingat betapa orang-orang kulit putih telah mendatangkan malapetaka di negerinya. Sepatutnya dia membunuhi semua orang kulit putih! Racun madat mereka sebarkan di antara rakyat, ditukar dengan kekayaan rakyat. Mereka itu berpesta pora di atas mayat-mayat rakyat karena kalau dilanjutkan penyebaran madat yang dijual mahal itu, akhirnya orang-orang kulit putih yang menjadi kaya raya sedangkan rakyat menjadi miskin habis-habisan dan selain miskin juga tubuh mereka menjadi rusak! Ketika dia menyelinap ke dalam kuil. Dia melihat Diana sedang duduk bersila dan tekun bersamadhi. Huh, gadis bule itu telah mendapat latihan-latihan permulaan dalam ilmu siulian dari Lian Hong.
Memang muridnya itu mengajarkan siulian (Samadhi) hanya untuk mengajar gadis bule itu menjaga keselamatan badannya dan menenangkan batinnya. Melihat betapa seorang diri di kuil tua itu, yang amat sunyi, Diana tekun melatih diri, berkuranglah rasa tidak suka di hati San-tok. Bagaimanapun juga, gadis bule ini memang benar memiliki semangat besar dan tekun belajar. Orang dengan kemauan dan semangat sebesar ini dapat diharapkan akan memperoleh kemajuan pesat. San-tok memberatkan langkah kakinya sehingga terdengar suara keras dan lantai kuil itupun tergetar. Diana terkejut, membuka matanya dan begitu dilihatnya Kakek yang menjadi gurunya itu telah berada di situ, ia cepat bangkit dengan muka cerah. Sepasang matanya yang biru itu memandang dengan berseri-seri.
"Ough, kiranya suhu yang datang? Mana suci (kakak seperguruan) Lian Hong?" Kembali perasaan tidak suka menyelinap di hati Kakek itu. Matanya begitu biru, seperti mata iblis dalam dongeng, rambutnya seperti benang emas. Sungguh menyeramkan dan menjijikkan! Dan menyebut dia"suhu" begitu mesra, juga menyebut Hong Hong "suci." Menyebalkan. Akan tetapi dia segera teringat akan janji-janjinya kepada gadis bule ini untuk mengambilnya sebagai murid, juga janjinya kepada Lian Hong tadi bahwa tidak akan mencelakai Diana. Kakek itu menarik napas panjang, tidak segera menjawab pertanyaan Diana.
"Mari kau ikut bersamaku, Diana. Hong Hong sedang melaksanakan tugas." Tanpa banyak cakap lagi dia lalu melangkah keluar dari kuil itu. Diana cepat mengejarnya dan Kakek itu berjalan cepat sekali sehingga Diana terpaksa harus berlari-larian untuk dapat mengimbangi kecepatannya. Karena tidak pernah berlatih lari terus-terusan seperti itu, maka tak lama kemudian Diana sudah terengah-engah berlari di samping San-tok yang masih berjalan seenaknya.
Dia tidak perduli melihat gadis itu sudah terengah-engah dan melangkah terus dengan langkah-langkah lebar. Diana hampir tidak kuat lagi, akan tetapi gadis ini memiliki keangkuhan dan kekerasan hati, sama sekali tidak ingin memperlihatkan kelemahannya, apa lagi di depan gurunya! Ketika kedua kakinya tersandung batu, membuat ia terhuyung, hampir ia tidak kuat karena napasnya semakin memburu. Akan tetapi ia lalu teringat akan cerita Lian Hong bahwa belajar silat tidaklah mudah, harus berani menghadapi segala macam kesukaran dan bahkan guru mereka, seperti guru-guru lain yang mengajarkan ilmu silat, sering kali menguji murid-muridnya. Wah, ini tentu merupakan ujian dari gurunya, pikir Diana. Karena itu, sampai bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak boleh memperlihatkan kelemahannya!
Pikiran ini, secara aneh sekali, mendatangkan semangat dan juga kekuatan sehingga kalau tadi napasnya sudah hampir putus kini ia merasa kuat lagi dan berjalan setengah berlari dengan penuh semangat! Kakinya merasa ringan, dan napasnya tidak memburu lagi seperti tadi. San-tok melihat perubahan itu dan dia merasa heran, akan tetapi juga kagum. Tadi dia tentu saja melihat betapa gadis itu sudah hampir tidak kuat dan dia merasa girang sekali dapat menyiksanya. Dia ingin melihat gadis itu roboh tidak kuat agar dapat dia memarahi dan mengejek, agar ia tidak tahan dan tidak suka menjadi muridnya. Akan tetapi napas yang hampir putus itu kini tersambung kembali dan semangat yang hampir runtuh itu bangkit kembali! Mau tidak mau dia merasa kagum juga dan mengerti bahwa gadis ini memang memiliki tekad yang amat besar. Akhirnya tibalah mereka di kuil Siauw-lim-si itu.
Dua orang Hwesio penghuni kuil itu yang menyambut di luar, terbelalak keheranan melihat betapa tamu yang berpakaian tambal-tambalan itu datang bersama seorang gadis bule yang rambutnya kuning emas dan matanya biru! Biarpun gadis itu mengenakan pakaian petani dan gerak-geriknya seperti seorang gadis pribumi, namun jelaslah bahwa gadis itu seorang gadis kulit putih. Memang ada orang bule di negeri ini, akan tetapi biarpun orang bule itu memiliki kulit putih dan bulu yang keputih-putihan pula, namun rambutnya tidak kuning emas dan matanya tidak biru seperti itu! Akan tetapi karena mereka berdua sudah menerima tugas untuk menyambut tamu-tamunya, mereka memberi hormat dan mempersilahkan San-tok dan Diana untuk langsung saja masuk ke ruangan belakang kuil di mana tamu-tamu terdahulu sudah berkumpul.
Dengan langkah lebar San-tok memasuki ruangan itu, meninggalkan Diana di belakangnya. Dengan gembira dia melihat bahwa Siauw-bin-hud dan Tee-tok sudah duduk bersila di atas lantai beralaskan bantal-bantal untuk siulian, dan juga murid Hwesio itu bersama murid Tee-tok berada di situ. Mereka berempat menyambut kedatangannya dengan pandang mata gembira akan tetapi mata mereka terbelalak ketika melihat munculnya Diana di belakang Santok. Jadi murid ke dua dari San-tok adalah seorang gadis kulit putih? Hampir mereka tak percaya. San-tok tentu saja merasakan keheranan dan kekagetan semua orang itu dan untuk mengurangi rasa tak enak di hatinya itu diapun cepat-cepat menghampiri mereka, berlutut dan hendak duduk bersila seperti yang lain.
"Kau...! kau ... Penolongku yang budiman itu...!" Tiba-tiba Diana berseru dengan suara gembira bukan main dan selagi semua orang masih bengong memandang kepadanya, gadis ini lalu berlari menghampiri Ci Kong. Pemuda inipun masih terheran-heran melihat Diana datang bersama San-tok dan tadinya dia tidak ingat siapa adanya gadis bule itu. Akan tetapi begitu Diana berteriak kepadanya, dia teringat bahwa itu adalah gadis yang pernah ditolongnya ketika diculik oleh tukang-tukang pukul dari Kanton yang hendak memaksa gadis itu pulang ke kota.
"Ah, aku girang sekali bertemu denganmu di sini dan aku berterima kasih sekali!" Diana tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Ci Kong dan...
"Cup! cup!" ia telah mencium kedua pipi Cio Kong! Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang menjadi bengong. Ci Kong sendiri tak mampu mengelak karena selain dia sama sekali tidak mengira akan dicium begitu saja oleh gadis bule itu di depan orang banyak, juga dia terlalu kaget, malu dan bingung sehingga ketika dicium kedua pipinya, dia hanya terbelalak saja! Ciu Kui Eng hampir menjerit dan menggunakan jari tangan menutupi mulut untuk menahan jeritnya. Tentu saja gadis inipun merasa kaget setengah mati dan sukar mengatakan perasaan apa yang memenuhi hatinya saat itu.
Perbuatan seorang wanita mencium pria begitu saja di depan banyak orang, baginya merupakan suatu perbuatan yang amat tidak patut dan tidak tahu malu! Akan tetapi iapun melihat kewajaran dari sikap gadis bule itu, seolah-olah ia tidak pernah melakukan suatu kesalahan dan sikapnya benar-benar sikap seorang yang merasa amat gembira bertemu dengan orang yang agaknya selalu dibuat kenangan. Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar melihat adegan itu, walaupun alisnya yang putih panjang itu agak berkerut. Sebagai seorang yang sudah memiliki pengalaman luas dan batin yang kokoh kuat, Siauw-bin-hud tidak heran melihat adegan itu dan dia tahu bahwa gadis itu menyatakan kegembiraan dan terima kasihnya secara langsung menurutkan gejolak hatinya,
Akan tetapi betapapun juga dia merasa betapa perbuatan gadis ini tentu mengguncangkan perasaan semua orang yang hadir di situ, terutama sekali membuat muridnya, Ci Kong, berada dalam keadaan yang serba salah. Hwesio yang menjadi ketua kuil itu, yang tadi bangkit berdiri menyambut tamu barunya, berdiri bengong dan tak dapat bergerak seperti telah berubah menjadi arca. Juga Tee-tok mengerutkan alisnya dan melirik dengan perasaan tidak senang berbayang di wajahnya. Tee-tok diam-diam mengharapkan untuk dapat menjodohkan muridnya dengan pemuda didikan Siauw-bin-hud itu, maka kini melihat pemuda itu diciumi oleh seorang gadis bule di depan umum, sungguh membuat hatinya merasa tidak nyaman. Yang paling terkejut setengah mati adalah San-tok.
"Ya ampuuunnn...!" Demikian dia mengeluh dan memandang dahinya sendiri, matanya terbelalak, mulutnya melongo dan dia merasa malu dan marah bukan main.
Rasa tidak sukanya kepada Diana semakin menebal. Sungguh sialan, pikirnya. Perempuan bule ini benar-benar membikin malu saja dengan ulahnya yang ganjil dan tidak sopan, amat memalukan dia yang menjadi gurunya, yang membawa masuk ke kuil ini. Padahal, diam-diam seperti halnya Tee-tok, San-tok ini juga mempunyai keinginan untuk menjodohkan muridnya, Lian Hong, dengan Ci Kong yang dikaguminya. Bukankah pernah dia menyalurkan sinkang membantu pemuda ini di waktu masih kecil seperti halnya Siauw-binhud membantu Siauw Lian Hong? Bukankah perbuatan dan sikap mereka berdua sebagai orang-orang tua, yang dilakukan tanpa sengaja, seperti sudah memberi tanda ikatan jodoh, antara dua orang anak itu?
"Anak gila! Apa yang kau lakukan ini?" San-tok membentak keras dan kalau saja di situ tidak hadir orang-orang sakti yang dikaguminya, mungkin dia sudah turun tangan memukul mati gadis kulit putih itu. Diana seperti baru sadar dan ketika ia menengok, ia melihat betapa semua orang memandang kepadanya dengan aneh. Baru teringatlah ia bahwa perbuatannya yang spontan tadi merupakan perbuatan yang ganjil dan asing bagi mereka ini, mungkin dianggap tidak sopan, maka mukanya tiba-tiba menjadi merah sekali.
🖐
"Suhu, pendekar ini pernah menyelamatkan aku dari tangan anggauta pasukan Hui-houwtin yang dipimpin oleh Koan Jit. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih karena dia sudah cepat melarikan diri. Kini, berjumpa dengan penolongku di tempat ini, hal yang sama sekali tidak kuduga-duga, aku menjadi gembira sekali dan ingin menyampaikan rasa terima kasihku kepadanya."
"Benarkah itu, orang muda?" San-tok bertanya sambil memandang kepada Ci Kong. Pemuda itu masih bengong. Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati pemuda ini. Dia diciumi begitu saja, di depan orang banyak, terutama di depan Kui Eng! Bagaimana Kui Eng akan menanggapi adegan yang memalukan tadi? Celaka, dia sampai tidak berani mengangkat muka bertemu pandang dengan Kui Eng. Dia merasa malu sekali. Mendengar pertanyaan San-tok, Ci Kong mengangguk.
"Benar, Locianpwe." Lalu dia menoleh ke arah Diana dan menegur halus,
"Nona, perbuatanmu tadi tidak sepatutnya. Sungguh tidak sopan melakukan perbuatan terima kasih seperti itu, di depan orang banyak pula." Diana sudah menyesali perbuatannya tadi.
"Maafkan aku, maafkan. Sungguh aku melakukannya tanpa kusadari, saking gembiranya rasa hatiku. Sejak engkau menolongku lalu pergi begitu saja, aku merasa menyesal bukan main. Kini, tanpa kuduga-duga, aku berjumpa denganmu di sini, maka aku terdorong oleh luapan hati yang gembira. Maafkan..." Ketika ia melihat bahwa semua orang masih kelihatan bingung dan kacau, ia melanjutkan kata-katanya dengan cepat,
"Maaf, sungguh bukan maksud saya untuk bersikap tidak sopan. Sekarang saya teringat bahwa perbuatanku tadi dapat dianggap tidak sopan, akan tetapi, sesungguhnya bukan demikian maksudku. Saya... saya berterima kasih, bersukur sekali telah dapat bertemu dengan pendekar yang selama ini selalu kukenang dengan hati penuh penyesalan karena belum sempat saya mengucapkan terima kasih. Ciuman... eh, tadi itu merupakan pernyataan terima kasih dan kegembiraan, bukan... bukan tidak sopan... ah, saya harap anda sekalian dapat memaklumi..." Melihat sikap gadis bule ini yang demikian penuh penyesalan dan wajar, dan mendengar betapa gadis asing itu dapat bicara dengan gaya yang demikian lancar, sopan dan sejujurnya, di dalam hati semua orang kecuali San-tok, telah timbul perasaan simpati dan mereka mau memaafkan. Bahkan Kui Eng lalu tersenyum ramah.
"Sobat, engkau cantik sekali dan jujur. Siapakah namamu?" Kui Eng menegur dengan ramah. Diana memandang kepada gadis itu dan iapun kagum. Seorang gadis yang manis, dan kelihatan begitu gagah.
"Namaku Diana, dan siapakah engkau, sobat yang manis?" Kui Eng tersenyum gembira. Baru bicara sedikit saja, ia sudah mulai suka kepada gadis bule ini, gadis dari bangsa yang dianggap musuhnya.
"Namaku Ciu Kui Eng."
"Kui Eng, apakah engkau juga gagah perkasa dan lihai seperti suci Lian Hong?" Kui Eng tertawa.
"Ah, mana aku bisa dibandingkan dengan adik Lian Hong yang lihai?" Tiba-tiba Tee-tok mengeluarkan suara ketawa nyaring.
"Ha-ha, jembel gunung, inikah muridmu itu? Hemm, benar hebat kau , memilih murid dari bangsa kulit putih yang justeru sedang kita tentang!" San-tok menjadi serba salah, tidak mampu menjawab. Akan tetapi Diana sudah menghadapi Tee-tok dengan sinar mata bernyala penuh kemarahan.
"Kakek tua, kuharap engkau sopan sedikit dan tidak menghina guruku. Apa kesalahan guruku kepadamu maka engkau berani memaki dan menghinanya?" Kui Eng khawatir kalau-kalau gurunya marah dan turun tangan terhadap gadis asing ini, maka iapun mendahului dan menghampiri Diana.
"Diana, engkau adalah seorang gadis kulit putih. Engkau tahu bahwa bangsamu sedang dimusuhi oleh bangsa kami. Bagaimana engkau kini mendekati orang-orang seperti kami, bahkan menjadi murid San-tok, seorang diantara kami yang memusuhi bangsamu?" Pertanyaan yang dilontarkan Kui Eng ini mewakili suara hati semua orang, bahkan juga suara hati San-tok, maka mereka semua mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memandang wajah gadis bule itu. Diana menarik napas panjang, lalu menatap wajah Kui Eng, bahkan melepas pandang matanya ke sekeliling sebelum menjawab dengan suara tegas dan jelas.
"Tidak salah, sobat, aku adalah seorang gadis kulit putih, berkebangsaan Inggeris. Juga tidak salah bahwa bangsaku telah melakukan hal yang amat jahat terhadap bangsa kalian dan tidak mengherankan kalau bangsaku dimusuhi di sini. Akan tetapi, justeru karena itulah aku tidak mau kembali kepada bangsaku. Setelah aku bertemu dengan suci Lian Hong, dan aku merasakan kehidupan di dusun-dusun, aku melihat betapa bangsaku telah berbuat jahat demi mencari keuntungan. Aku merasa malu dan aku ingin sekedarnya menebus keburukan mereka dengan bersaudara dengan rakyat, mempelajari kesenian rakyat, kebudayaannya, dan kemudian, siapa tahu, dengan kepandaian yang dapat kupelajari di sini, aku akan dapat menentang dan mengingatkan kesalahan bangsaku."
JILID 23
"Omitohud..., cita-cita ini amat luhur. Akan tetapi, nona, bagaimana kalau kelak mereka tidak mendengarkan peringatan yang kau berikan?" Diana memandang Hwesio tua itu dan diam-diam ia merasa tunduk. Hwesio ini memiliki pandang mata yang demikian mencorong tapi lembut dan penuh pengertian mendalam seolah-olah di dunia ini tidak ada rahasia apa-apa lagi baginya.
"Lo-suhu," katanya penuh hormat.
"Kalau sampai mereka tidak mau menerima peringatan yang akan saya berikan kelak, maka saya akan menggunakan segala kepandaian yang ada pada saya untuk menentang perbuatan mereka yang jahat! Demi untuk membela kebenaran dan keadilan, saya rela mati di tangan bangsaku sendiri karena menentang mereka."
"Siancai... gadis ini biarpun berkulit putih namun semangatnya besar dan berjiwa pendekar. Engkau beruntung sekali mendapatkannya sebagai murid, San-tok." Akan tetapi hati San-tok tidak merasa gembira oleh ucapan Siauw-bin-hud ini, bahkan dia lalu berkata kepada Diana,
"Kau keluarlah dulu, aku mau bicara dengan mereka mengenai urusan penting!" Tentu saja wajah Diana berubah agak pucat. Ia sudah mendengar dari Lian Hong bahwa Kakek yang menjadi gurunya ini seorang yang aneh, kadang-kadang jahat dan kejam sekali walaupun memiliki kesaktian. Akan tetapi tak disangkanya gurunya akan tega memperlakukannya seperti ini, mengusirnya dari depan banyak orang secara merendahkan sekali. Akan tetapi ia teringat akan pesan Lian Hong agar mentaati semua perintah suhunya, maka iapun mengangguk dan mengundurkan diri, keluar dari ruangan belakang itu menuju ke kebun. Melihat ini, Siauw-bin-hud merasa tidak enak.
"Ci Kong, temanilah gadis itu. Sebagai seorang tamu sudah sepantasnya ia kita sambut dengan baik." Tentu saja Ci Kong merasa tidak enak sekali. Sebetulnya, hatinya tidak keberatan untuk menemani seorang seperti Diana yang walaupun seorang gadis kulit putih namun harus diakuinya amat cantik, walaupun kecantikannya itu asing baginya. Namun, dia sedang berada di antara tokoh-tokoh besar, bahkan terutama sekali di situ ada Kui Eng! Dia akan merasa lebih senang menemani Kui Eng dari pada gadis asing ini!
"Kui Eng, engkau pun pergilah menemani mereka. Kami orang-orang tua mau bicara," tiba-tiba Tee-tok berkata. Ucapan ini menggirangkan hati Kui Eng yang segera bangkit dan turun ke kebun itu, akan tetapi juga menggirangkan hati Ci Kong karena dengan adanya Kui Eng, tidak perlu lagi dia merasa kaku dan malu-malu harus menemani Diana dari pada kalau dia berdua saja dengan gadis bule itu. Setelah tiga orang muda itu memasuki kebun dan tak nampak lagi dari ruangan itu, Santok yang ingin segera menyampaikan keinginan hatinya lalu berkata,
"Siauw-bin-hud, aku akan menyampaikan suatu rahasia. Kebetulan sekali Tee-tok di sini, biarlah dia menjadi saksi." Siauw-bin-hud dapat menduga bahwa tentu Kakek berpakaian tambal-tambalan itu hendak menyampaikan hal yang amat penting sekali. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan berkata,
"Omitohud, pinceng siap mendengarkan, San-tok."
"Tadinya, rahasia ini akan kusimpan sampai mati, karena memang aku ingin mengalihkan perhatian seluruh tokoh-tokoh agar tidak mengetahui rahasiaku ini. Akan tetapi setelah kita mengadakan pertemuan di tempat pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Aku hendak bicara tentang rahasia Giok-liong-kiam!" Mendengar ini, Siauw-bin-hud yang biasanya tenang itupun kini mengangkat muka memandang penuh perhatian. Apa lagi Tee-tok. Dia memandang rekannya dengan sinar mata mencorong dan penuh curiga.
"Jembel gunung! Jangan katakan bahwa engkau sudah merampas Giok-liong-kiam dari tangan murid pertama Thian-tok yang murtad itu!" San-tok mengangguk-angguk.
"Terus terang saja, memang aku belum berhasil menemukan Giok-liong-kiam, akan tetapi dapat dikatakan bahwa Giok-liong-kiam sudah berada di tanganku! Akan tetapi sebelum aku melanjutkan ceritaku yang akan membuka rahasia Giok-liong-kiam, aku ingin minta pendapat kalian lebih dulu."
"Pendapat bagaimana?" tanya Siauw-bin-hud.
"Bagaimana pendapat kalian tentang orang yang akan mampu menemukan harta karun itu dan menyerahkannya untuk keperluan perjuangan menumbangkan pemerintah penjajah dan menentang bangsa kulit putih? Apa hadiah untuknya?"
"San-tok, apakah kau masih pura-pura lagi? Bukankah kau sendiri yang mengajukan usul bahwa dia yang berhasil itu akan memperoleh pedang pusaka Giok-liong-kiam, dan selanjutnya dianggap sebagai pahlawan dan jagoan nomor satu di dunia?" Tee-tok menegur.
"Itu benar, dan hal itu sudah menjadi persetujuan bersama," sambung Siauw-bin-hud.
"Aku tidak akan menyangkal persetujuan itu, Siauw-bin-hud, akan tetapi aku ingin menambahkan sedikit, yaitu bahwa apa bila aku yang berhasil menemukan harta karun itu, mengingat bahwa muridku Siauw Lian Hong yang banyak berjasa dalam hal itu, aku ingin agar engkau suka menyetujui Hong Hong menjadi jodoh muridmu, Tan Ci Kong." Mendengar ini, Tee-tok terkejut dan cepat mencela.
"Ah, itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Giok-liong-kiam! San-tok, baru saja aku hendak minta kepada Siauw-bin-hud agar muridnya itu dijodohkan dengan muridku Ciu Kui Eng. Karena engkau sudah menyatakan lebih dulu, biarlah akupun mengajukan pinangan dan kita lihat, siapa diantara murid-murid kita yang akan diterima menjadi calon isteri murid Siauw-bin-hud."
Kini Siauw-bin-hud yang merasa terkejut dan dia memandang kepada wajah dua datuk sesat itu dengan hati yang agak cemas. Pinangan orang biasa saja merupakan hal yang wajar dan menerima atau menolaknya merupakan peristiwa biasa yang takkanmendatangkan akibat apapun. Akan tetapi pinangan orang-orang seperti mereka ini, kalau ditolak tentu akan mendatangkan akibat apapun. Akan tetapi pinangan orang-orang seperti mereka ini, kalau ditolak tentu akan mendatangkan akibat buruk, dan kini yang mengajukan pinangan sekaligus adalah dua orang! Menerima yang satu tentu akan menolak yang lain dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi, Siauw bin-hud hanya sedetik dua detik saja dicekam kecemasan. Dia sudah tersenyum kembali.
"Omitohud, betapa lucunya kalian ini, ha-ha-ha-ha!" Kakek tua renta itupun tertawa bergelak, suara ketawa yang halus dan penuh kegembiraan. Sejenak dua orang datuk sesat itu saling pandang dengan sikap bermusuhan, akan tetapi mendengar suara ketawa itu, San-tok berkata,
"Siauw-bin-hud, apa engkau merasa terlalu tinggi bagi orang macam aku?"
"Engkau berani memandang rendah kepadaku, dan muridku tidak pantas menjadi jodoh murid Siauw-lim-pai?" Tee-tok juga menegur. Dua orang datuk sesat itu nampak penasaran sekali dan siauw-bin-hud menarik napas panjang, akan tetapi masih tersenyum lebar. Baru bayangan bahwa pinangan itu ditolak saja sudah membuat kedua orang datuk ini nampak penasaran dan marah. Apa lagi kalau benar-benar ditolak! Dia tidak takut akan ancaman mereka, akan tetapi dia mengkhawatirkan perpecahan akan terjadi di antara mereka, pada hal dalam menghadapi kekalutan tanah air, mereka sudah sepakat untuk bekerja sama.
"Siancai... harap kalian bersabar dan tidak mengambil keputusan dan pendapat tergesa-gesa yang tidak tepat. Siapakah yang menolak dan siapakah yang menerima? Kalian tentu tahu bahwa perjodohan hanya dapat terlaksana kalau ada persetujuan kedua pihak, maksud piceng pihak mereka yang tersangkut. San-tok, engkau mengajukan pinangan, apakah engkau telah yakin bahwa muridmu itu mencinta Ci Kong?" Ditanya demikian, San-tok memandang bingung.
"Aku tidak tahu, akan tetapi... ia tentu mau, ia harus mau..."
"Bagaimana dengan engkau, Tee-tok, apakah muridmu itu mencinta Ci Kong?"
"Wah, mana aku tahu? Agaknya begitulah. Seharusnya begitu karena muridmu itu seorang pemuda yang baik dan alangkah baiknya kalau kita menjadi besan..." Siauw-bin-hud memperlebar senyumnya.
"Omitohud, kalian ini dua orang tua yang berpikiran singkat dan seperti kanak-kanak saja. Bagaimana kalian berani lancang mengajukan pinangan kalau kalian belum tahu apakah murid-murid kalian itu mencinta cucu muridku, belum tahu apakah murid-murid kalian akan menyetujui? Lancang, sungguh lancang! Bagaimana kalau andaikata pinangan kalian diterima kemudian ternyata bahwa murid-murid kalian itu tidak setuju? Bukankah ini berarti kalian menghina kepada yang dipinang?" Kembali dua orang datuk itu saling pandang dengan bingung.
"Tidak, aku tidak menghina, dan aku akan memaksa muridku untuk menyetujui!" kata San-tok.
"Akupun yakin muridku akan setuju, kalau ia menolak, akan kupaksa!"
"Nah, nah, itulah pikiran kekanak-kanakan, main paksa-paksaan. San-tok, pinceng sudah melihat muridmu itu dan agaknya orang seperti ia tidak akan dapat dipaksa, apa lagi untuk menikah dengan pria yang tidak dicintanya. Dan sekelebatan saja melihat muridmu, engkau pun akan mengalami kesulitan yang sama, Tee-tok. Anak-anak seperti mereka berdua itu tidak akan mudah ditundukkan, apa lagi menyangkut kehidupan mereka sendiri, kebahagiaan mereka sendiri."
"Hwesio tua, mengenai muridku, itu adalah urusanku sendiri, engkau tidak perlu ikut campur. Yang penting, engkau terima atau tidak pinanganku?" teriak San-tok.
"Benar, harus diputuskan sekarang siapa di antara kami yang pinangannya diterima, agar tidak membuat kami ragu-ragu dan penasaran," sambung Tee-tok tak mau kalah.
"Omitohud, kalian memang hanya anak-anak kecil belaka. Mana mungkin pinceng dapat mengambil keputusan? Kalau yang kalian pinang itu adalah pinceng, maka tentu saja sekarangpun pinceng dapat mengambil keputusan! Hei, San-tok dan Tee-tok, apakah kalian meminang pinceng untuk dijodohkan dengan murid-murid kalian?" Hwesio itu berkelakar untuk mendinginkan suasana.
"Hwesio tua jangan pecengisan!" San-tok membentak, akan tetapi dari mukanya dapat diketahui bahwa diapun merasa geli dan kemarahannya sudah banyak berkurang.
"Siapa sudi punya mantu seperti kau , tua bangka yang sudah tinggal menanti saatnya saja?" Tee-tok membentak. Siauw-bin-hud tertawa bergelak. Kemudian dia berkata dengan suara yang serius,
"Santok, dengarkan baik-baik. Andaikata kedua murid kalian itu setuju dengan pinangan kalian, andaikata mereka itu mencinta Ci Kong, itupun belum menjadi syarat bagi pinceng untuk menerima pinangan kalian. Yang dipinang adalah Ci Kong dan ini sepenuhnya merupakan urusan dan persoalan dia, maka keputusannya adalah di tangannya sendiri. Kalau dia suka menjadi suami seorang di antara murid kalian, pincengpun setuju saja. Akan tetapi kalau dia tidak suka, siapapun tidak akan dapat memaksanya. Dan pinceng kira kalian akan menjadi guru-guru yang bijaksana kalau bertindak seperti yang pinceng lakukan." Dua orang datuk sesat itu kembali saling pandang dan agaknya mereka dapat melihat kebenaran kata-kata pendeta itu. Mereka kinipun merasa ngeri kalau membayangkan watak murid mereka masing-masing yang keras hati. Memang seharusnya bertanya dulu kepada anak-anak itu.
"Baiklah, aku tunda dulu pinangan itu dan akan kurundingkan dulu dengan muridku. Asal engkau tahu saja isi hatiku yang ingin berbesan denganmu," kata San-tok.
"San-tok, kini engkau harus menceritakan apa rahasia tentang Giok-liong-kiam yang kau ketahui itu," Tee-tok mendesak. San-tok memandang kepada rekannya yang bertubuh pendek kecil berkepala botak hampir gundul itu dan dia tertawa.
"Heh-heh, engkau ini Hwesio bukan tosupun bukan, pendeta setengah matang, cerewet seperti perempuan bawel saja, tidak mau kalah dalam segala hal. kau mau tahu tentang Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu? Ha-ha, Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu, yang tadinya dirampas oleh Thian-tok dengan menggunakan nama Siauw-binhud, kemudian dicuri kembali oleh Koan Jit, pedang itu adalah pedang Giok-liong-kiam yang palsu."
"Palsu...??" Tee-tok berteriak, sedangkan Siauw-bin-hud juga memandang tajam kepada San-tok. Tentu saja berita ini merupakan berita yang amat penting sekali. Namanya telah dihebohkan karena pedang pusaka itu, bahkan dia telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang mempergunakan namanya. Bukan itu saja, seluruh tokoh kang-ouw berebutan dan terjadi perkelahian-perkelahian, korban-korban nyawa, dan semua itu untuk memperebutkan sebuah benda palsu!
"Ya, palsu, Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu adalah pedang yang palsu, ha-ha!" San-tok tertawa-tawa dengan gembira sekali.
"Aku tidak percaya!" Tee-tok membentak, mukanya merah karena dia mengira rekannya itu mempermainkannya.
"Ha-ha-ha, kalau tidak percaya, pergilah kau mencari Koan Jit untuk memperebutkan pedang palsu dengan dia. Ha-ha, memang orang seperti engkau ini lebih patut kalau memperebutkan sebuah benda palsu dari pada mempercaya seorang seperti aku!"
"Omitohud, pinceng percaya ceritamu itu, San-tok," kata Siauw-bin-hud dan suaranya terdengar mengandung kekecewaan. Kalau dia bersusah payah selama bertahun-tahun dan namanya dihebohkan hanya untuk urusan pedang palsu, itu bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya sekarang ini. Akan tetapi yang mendatangkan kecewa adalah kenyataan bahwa kalau pedang itu palsu, berarti harta karun itupun tidak akan bisa ditemukan. Mendengar ucapan tokoh Siauw-lim-pai itu yang mempercayai cerita San-tok, Tee-tok menjadi ragu-ragu dan diapun kini memandang kepada San-tok dengan penuh harapan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.
"Hwesio tua, engkau memang belum pikun dan dapat berpikir secara bijaksana sekali. Aku memang tidak berbohong."
"Siancai..., kalau begitu, musnahlah cita-cita kita bersama untuk mencari harta karun agar dapat dipergunakan membiayai perjuangan rakyat..."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Siauw-bin-hud. Akulah yang akan menemukan harta karun itu. Secara kebetulan aku mendapatkan keterangan tentang palsunya Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu dan bukan hanya itu yang kuketahui. Akupun mengetahui rahasia bagaimana untuk dapat menemukan harta karun itu."
"Kau membual!" teriak Tee-tok.
"Kalau benar demikian, apa maksudmu menceritakan kepada kami tentang kepalsuan Giok-liong-kiam?" Tentu saja Tee-tok merasa curiga karena biasanya, orang-orang seperti mereka, apa lagi Empat Racun Dunia, selalu mempergunakan siasat dan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain demi keuntungan diri sendiri. Maka, keterangan San-tok ini tentu tak dapat ditelannya mentah-mentah begitu saja.
"Ha-ha-ha, dasar tolol tetap tolol! Kalau tidak ada sebab-sebabnya, apa kau kira aku begitu bodoh untuk menceritakan ini semua kepada orang seperti engkau, Tee-tok? Sudah kukatakan tadi, rahasia ini tentu saja kusimpan sendiri dan aku bersama muridku akan tertawa geli sampai perut kaku melihat betapa kalian semua orang kang-ouw saling berlumba memperebutkan pusaka yang berada di tangan Koan Jit itu. Tadinya aku memang ingin begitu, melihat kalian seperti anjing-anjing berebutan tulang busuk, sedangkan aku diam-diam akan mengambil dan menikmati harta karun itu. Akan tetapi, setelah pertemuan di pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Kita adalah rekan-rekan seperjuangan dan Persatuan demi tanah air ini membuat aku memaksa diri mengesampingkan kepentingan pribadi. Aku sengaja menceritakan agar kalian tidak membuang-buang waktu memperebutkan pusaka palsu itu. Nah, belum juga engkau menghaturkan terima kasih kepadaku, Tee-tok?"
"Terima kasih hidungmu! Engkau masih merahasiakan tempat harta karun dan akan mengambilnya sendiri untuk memiliki Giok-liong-kiam tulen dan mendapatkan sebutan pahlawan dan jagoan nomor satu! Akan tetapi, mengenai perjodohan murid-murid kita, aku tidak mau mengalah kalau engkau hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan muridnya!" Mendengar nada suara menantang itu, San-tok mengerutkan alisnya dan menatap wajah rekannya itu dengan tajam.
"Kalau tidak mau mengalah, lalu kau mau apa?"
"Mau apa?" Tee-tok melompat berdiri dan sikapnya menantang sekali.
"Hayo majulah, kau kira aku takut padamu?"
"Cacing pita! Akupun tidak takut!" San-tok juga melompat berdiri.
"Omitohud, kalian ini benar-benar seperti anak kecil." Siauw-bin-hud tahu-tahu sudah berdiri di antara mereka.
"Harta karun belum ditemuka, perjuangan belum dilakukan, dan kalian sudang ingin saling genjot dan saling bunuh sendiri? Pejuang-pejuang macam apa kalian ini? Celaka, kalau semua pejuang seperti kalian, belum apa-apa kita sudah kehabisan tenaga." Dua orang Kakek yang sudah saling melotot itu sadar dan keduanya duduk kembali dengan muka merah.
"Wah, aku memang pelupa dan pemarah. Dia itu yang membikin darah naik!" kata San-tok.
"Maaf, Siauw-bin-hud. Menghadapi orang macam dia itu memang bisa bikin orang lupa daratan!" Watak dan sikap dua orang datuk sesat ini memang menggelikan, seperti anak-anak saja mereka itu. Akan tetapi, bukankah kita semua ini hanyalah anak-anak yang besar tubuhnya saja? Apa bedanya kita dengan anak-anak? Masih selalu memperebutkan sesuatu, masih cengeng, masih suka berkelahi, mesih mengejar-ngejar kesenangan! Kalau orang yang susah menjadi Kakek berhadapan dengan anak cucunya, mungkin dia bersikap seperti seorang Kakek. Akan tetapi sikap ini sesungguhnya dipaksakan berhubung keadaan, karena malu dan merasa tua.
Akan tetapi, kumpulkanlah Kakek-kakek itu dengan teman-teman sebayanya, maka akan kembali menjadi anak-anak nakal! Hal ini tentu dirasakan oleh kita semua yang mau melihat diri sendiri dan tidak berpura-pura! Kita ini hanya anak-anak besar tubuhnya. Tubuh kita memang tumbuh menjadi besar, akan tetapi batin kita kadang-kadang bahkan semakin kecil, sarat dengan segala macam kepalsuan dan pamrih-pamrih tersembunyi, sedangkan anak-anak belum mengenal kepalsuan dan pamrih-pamrihnya tidak tersembunyi. Karena merasa bersalah, Tee-tok lalu memperlihatkan sikap berbaik kembali dengan Santok. Memang para datuk sesat itu aneh wataknya. Mudah tersinggung dan mudah marah sampai tega membunuh kawan, akan tetapi juga tidak mendendam dan mudah melupakan perselisihan antara mereka.
"Hei, San-tok. Engkau sudah mempunyai seorang murid perempuan yang baik, kenapa engkau mengambil murid perempuan bule itu? Untuk apa punya murid seperti itu?"
"Aih, kau tidak tahu! Siapa sudi mempunyai murid seperti itu? Akan tetapi ini semua gara-gara ulah muridku Hong-Hong. Ialah yang memaksaku menerima Diana sebagai murid, dan aku diakali olehnya, kalah janji. Kalau aku tidak mau menjadi guru Diana, berarti aku menjilat ludah sendiri. Sialan!" Mereka lalu bercakap-cakap dengan Siauw-bin-hud, membicarakan keadaan tanah air dan berita-berita yang mereka dengar tentang gerakan para pejuang, tentang kedudukan Koan Jit yang kuat dan tentang cita-cita mereka untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu dan menghalau kekuasaan asing kulit putih. Sementara itu, Diana, Ci Kong dan Kui Eng berjalan-jalan di kebun yang luas itu. Mereka lalu duduk di ujung kebun, jauh dari kuil, di bawah pohon yang rindang di mana terdapat bangku-bangku bersih yang seolah-olah tersenyum mempersilahkan mereka duduk.
Tempat itu memang nyaman sekali. Terdapat rumpun bambu yang gemersik tertiup angin, setiap ujung daun bergerak sendiri-sendiri seperti memiliki kehidupan pribadi, padahal merupakan serumpun, dan semua garis, semua lengkung, semua warna, antara cahaya dan bayangan, membentuk pandangan yang mengandung kesenian bernilai tinggi. Mereka tadi sudah berkenalan sambil berjalan-jalan dan hati Diana girang sekali telah sempat berkenalan dengan penolongnya dan memperoleh sahabat baru yang demikian cantik manis dan gagah perkasa. Diam-diam ia membandingkan Kui Eng dengan Lian Hong dan biarpun hatinya lebih condong kepada sahabat lamanya itu, namun harus diakuinya bahwa teman barunya inipun amat menarik dan mengagumkan.
"Ci Kong, sungguh aku minta maaf kepadamu atas peristiwa tadi. Aku tidak berniat buruk sama sekali dan aku lupa diri." Kui Eng tersenyum lebar melihat wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
"Tentu saja engkau tidak berniat buruk dan perbuatanmu itupun tidak buruk, bahkan manis sekali, Diana! Engkau tidak perlu minta maaf karena Ci Kong tentu senang juga dengan perbuatanmu tadi." Tentu saja Kui Eng berkata demikian untuk menggoda sehingga wajah pemuda itu menjadi semakin merah.
"Sudahlah, Diana," Ci Kong berkata dengan halus dan diapun merasa dekat dengan gadis bule ini karena selain pandai sekali berbahasa daerah, juga gadis ini amat akrab, menyebut namanya dan nama Kui Eng begitu saja sehingga mereka segera menjadi akrab dan dapat bercakap-cakap tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Segala yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan untuk mengganggu orang lain adalah tidak salah. Perbuatanmu itu kau lakukan karena kebiasaan cara hidup di negeri dan bangsamu. Akan tetapi di sini, perbuatan itu bisa dianggap tidak sopan, dan amat mengejutkan orang yang melihatnya."
"Aku tahu, tapi ketika aku melihatmu di sana, sungguh aku menjadi lupa diri dan hanya menurutkan kegembiraan hati saja. Salahmu sih, dahulu itu kenapa engkau pergi begitu saja tanpa pamit? Coba kau bayangkan, Kui Eng, dia baru saja menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut, akan tetapi dia terus pergi tanpa pamit. Hati siapa takkan merasa menyesal? Maka begitu bertemu, aku begitu gembira sampai lupa diri."
"Tentu saja, Diana," kata Kui Eng.
"Engkau tahu siapa Tan Ci Kong? Biarpun namanya saja cucu murid Locianpwe Siauw-bin-hud, akan tetapi dia adalah muridnya, murid tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai dan seorang pendekar besar memang selalu bertindak tanpa pamrih. Satu-satunya yang mendorong perbuatannya hanyalah menentang kejahatan, melindungi yang lemah, dan membela kebenaran dan keadilan. Setelah menyelamatkanmu, berarti tugasnya selesai dan perlu apa dia menanti balasan atau ucapan terima kasih?"
"Begitukah...?" Diana memandang kepada Ci Kong dan matanya yang biru lebar itu terbelalak penuh kagum. Mula-mula Ci Kong balas memandang, akan tetapi melihat betapa mata biru amat indah dan lebar bening itu menatapnya seperti itu, dia tidak berani lama-lama memandang. Sekarang dia mulai merasakan keindahan dan kecantikan wajah gadis bule ini!
"Wah, kalau begitu para pendekar di sini lebih hebat dari pada para ksatria dalam dongeng rakyat di negeriku!"
"Bagaimana dengan pahlawan-pahlawan dan ksatria-ksatria di negerimu?"
"Mereka juga pembela kebenaran dan keadilan, akan tetapi mereka masih ingin memperoleh pahala, terutama sekali memperoleh hadiah gelar dan puteri." Ia kembali memandang wajah pemuda itu.
"Jadi para pendekar di sini yang selalu siap menyumbangkan tenaga dengan taruhan nyawa untuk membela kebenaran dan keadilan, selalu tidak pernah menerima balas jasa apapun?" Kui Eng menggeleng kepala.
"Kalau menerima balas jasa itu namanya bukan pendekar, Diana. Seperti Ci Kong ini, bukan hanya tak pernah menerima balas jasa, bahkan sering menerima air tuba sebagai balas air susu yang diberikan."
"Maksudmu?"
"Dia menolong, akan tetapi yang ditolongnya membalasnya dengan kejahatan."
"Ah, mana mungkin?"
"Mungkin saja! Pernah dia menyelamatkan seorang gadis yang terancam bahaya maut, akan tetapi gadis yang diselamatkan nyawanya itu, tidak berterima kasih malah menyerangnya dan hampir membunuhnya..."
"Kui Eng...! Ci Kong mencoba untuk mencegah gadis itu melanjutkan. Akan tetapi Kui Eng tersenyum, dan berkata,
"Menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, tidak ada salahnya."
"Ah, aku tidak percaya. Mana ada orang yang begitu jahat, diselamatkan nyawanya malah menyerang dan hampir membunuh penolongnya dan tidak berterima kasih? Tidak mungkin, mana ada orang seperti itu?"
"Inilah orangnya!" kata Kui Eng sambil menunjuk dada sendiri.
"Ci Kong ini pernah menolongku ketika aku dikepung pasukan pemerintah. Aku sudah terluka dan kehabisan tenaga dan jatuh pingsan ketika Ci Kong menolongku, membawa aku keluar dari kepungan dan menyelamatkan aku dari ancaman maut. Kalau tidak ada dia yang turun tangan, tentu aku sudah mati. Akan tetapi begitu siuman dari pingsan, aku lalu menyerangnya mati-matian!"
"Ihhh...!" Diana berseru kaget dan mengerutkan alisnya.
"Jangan mudah dibohongi, Diana," kata Ci Kong sambil tertawa.
"Kui Eng melakukan serangan itu tanpa disadarinya. Ia mengira bahwa saya seorang musuh, maka ia menyerang mati-matian.
Setelah ia tahu bahwa saya bukan musuh, kami lalu menjadi sahabat baik."
"Ah, kalau begitu aku mengerti. Aku tidak percaya orang seperti kau ini demikian jahatnya, membalas kebaikan dengan kejahatan, Kui Eng." Ia lalu memandang kepada Ci Kong dan sebuah pikiran membuat wajah gadis bule ini berseri dan seperti biasa, ia langsung saja mengatakan apa yang dipikirkannya itu.
"Ah, kalian ini sungguh merupakan sepasang pendekar yang amat cocok! Ci Kong seorang pemuda tanpan dan gagah perkasa berwatak halus dan budiman, sedangkan Kui Eng adalah seorang gadis yang cantik manis dan lihai pula." Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah mereka sangka dilontarkan begitu saja dari mulut Diana, Ci Kong dan Kui Eng saling pandang dan muka mereka mendadak menjadi kemerahan.
"Aih, kau ini ada-ada saja, Diana! Mana mungkin aku disamakan dengan pendekar ini? Dia adalah murid dari Locianpwe Siauw-bin-hud, dia seorang pendekar muda yang perkasa dari Siauw-lim-pai, sedangkan aku? Aku keturunan jahat, dan aku murid seorang datuk sesat yang biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Diana, kau seperti membandingkan aku sebagai seekor burung gagak dan dia sebagai seekor burung Hong."
"Nona... Kui Eng, jangan engkau berkata demikian." Ci Kong cepat membantah.
"Baik buruknya seseorang nampak dalam sepak terjang kehidupannya, bukan dari keturunan atau perguruannya."
"Cocok!" Diana berkata sambil tertawa.
"Aku sudah mendengar banyak dari suci Lian Hong tentang Empat Racun Dunia. Dan akupun sekarang menjadi murid seorang di antara mereka. Akan tetapi, yang kupelajari adalah ilmu silatnya, bukan perbuatan jahat." Tidak lama kemudian, muncul tiga orang Kakek itu, mengajak murid-murid mereka melanjutkan perjalanan. Tiga orang Kakek itu sudah bersepakat. San-tok hendak melanjutkan usahanya mencari harta karun. Tee-tok ingin menyampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan agar menghentikan usaha mereka merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit yang ternyata hanya merupakan benda palsu.
Sedangkan Siauw-bin-hud akan mengabarkan kepada para tokoh besar di dunia para pendekar agar segala permusuhan pribadi antara kau m persilatan dihentikan dulu sehingga seluruh kekuatan dapat dipersatukan untuk perjuangan. Mereka berjanji akan saling bertemu kembali kalau San-tok sudah berhasil menemukan harta karun. Hati Ci Kong merasa berat harus berpisah dari Diana dan Kui Eng, dua orang gadis yang amat menyenangkan hatinya itu. Di dalam perjalanannya mengikuti Siauw-bin-hud kembali ke pusat Siauw-lim-si, Ci Kong membayangkan wajah gadis-gadis yang pernah dijumpainya dan membanding-bandingkan mereka. Dan harus diakuinya bahwa mereka semua itu, Siauw Lian Hong, Ciu Kui Eng, Tang Ki, bahkan juga Diana, merupakan gadis-gadis pilihan yang selain memiliki kecantikan-kecantikan khas, juga mempunyai watak-watak yang aneh dan menarik.
Dia sendiri tidak tahu apakah dia jatuh cinta kepada seorang di antara mereka. Dia tidak tahu bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu! Akan tetapi harus diakuinya bahwa dia merasa suka, kagum dan senang bergaul dengan mereka semua dan kalau dia disuruh memilih siapa di antara mereka semua yang paling hebat, sukarlah agaknya bagi dia untuk menentukan. Siauw Lian Hong seorang gadis yang cantik dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar bening dan tajam, dengan wajahnya yang bulat, pendiam, sederhana dan nampak cerdik dan gagah sekali. Ciu Kui Eng seorang gadis yang manis sekali, matanya tajam, mukanya lonjong dengan mulut yang manis sekali, galak, manja akan tetapi juga memiliki sikap dan wajah gagah perkasa.
Sukar dikatakan siapa di antara keduanya itu, Lian Hong dan Kui Eng, memiliki bentuk tubuh yang lebih elok. Keduanya bertubuh padat, penuh, langsing dan berkulit mulus. Tang Ki atau Kiki, jelita dan galak lucu, nakal manja, ditambah manis dengan tahi lalat di pipinya, biarpun nampak galak dan nakal, namun hatinya lembut sekali juga gagah perkasa dan pinggangnya ramping bukan main, agaknya dapat dilingkari dengan jari-jari tangannya. Dan Diana? Wah, gadis ini memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Matanya biru laut, rambutnya yang seperti benang emas, kulitnya yang putih kemerahan dengan bulu-bulu halus sekali, tubuhnya yang tinggi ramping, sikapnya yang terbuka, pendeknya, ada daya tarik yang amat kuat keluar dari diri gadis bule itu. Akan tetapi, lamunannya itu dibuyarkan oleh suara gurunya atau juga Kakek gurunya yang berkata dengan nada suara lembut,
"Ci Kong, engkau sudah mendengar sendiri betapa pinceng sudah berjanji untuk membagi tugas pekerjaan dengan para tokoh Empat Racun Dunia. Bagian tugas pinceng adalah membujuk para pendekar di seluruh negara untuk menghentikan permusuhan pribadi dan mau bekerja sama dengan segala golongan, juga golongan sesat, untuk menyatukan tenaga untuk perjuangan. Pinceng sudah terlalu tua, Ci Kong, dan selain belum tentu pinceng akan kuat untuk melaksanakan tugas berat itu, juga pinceng ingin mengaso dan bertapa lagi. Engkau wakililah pinceng melaksanakan tugas itu, pinceng akan bertapa di dalam guha maut di bukit belakang kuil yang sudah kau ketahui tempatnya. Setelah melaksanakan tugas itu selama satu tahun, engkau boleh datang memberi laporan kepada pinceng."
"Baik, su-couw, teecu akan mentaati perintah su-couw," jawab Ci Kong dan Kakek itu lalu meninggalkan dia untuk kembali ke Siauw-lim-si pusat. Ci Kong sendiri, lalu berangkat meninggalkan kuil kecil itu untuk melaksanakan tugasnya yang baginya amat menyenangkan. Dia akan mengunjungi dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bukankah hal itu amat menggembirakan? Dengan penuh semangat, Ci Kong lalu berangkat. Kita tinggalkan dulu para tokoh yang sedang berusaha untuk memupuk kekuatan guna perjuangan itu dan mari kita melihat keadaan Gan Seng Bu dan para pejuang yang berkumpul dan tinggal di sebuah dusun sebelah barat Kanton. Mereka itu menyamar sebagai penghuni dusun, bekerja sebagai petani-petani biasa.
Mereka berjuang dengan rahasia, kadang-kadang saja mereka menyelundup ke kota-kota dan menyerang markas-markas pasukan pemerintah penjajah. Gan Seng Bu tinggal pula di antara mereka, bersama isterinya, yaitu Sheila. Suami isteri muda ini, walaupun berlainan bangsa, berbeda kulit, namun ternyata mereka itu saling mencinta dengan murni. Sheila yang mengagumi suaminya, kini sudah dapat menyelami cara hidup para pejuang dan dianggapnya bahwa suami dan kawan-kawannya itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, yang patut dihormati. Ia merasa kagum dan menghormati perjuangan suaminya dan para pejuang. Makin nampak olehnya betapa jahatnya politik yang dianut oleh bangsanya sendiri, yang demi mengeduk keuntungan sebanyaknya, tidak segan-segan untuk meracuni sebuah bangsa dengan racun madat,
Bahkan kalau perlu menguasai dan menjajah negara dan tanah air bangsa lain. Cinta kasih yang dicurahkan oleh suami isteri ini telah menghasilkan benih dalam kandungan Sheila. Ia sudah mengandung tiga bulan dan hal ini bukan hanya menggirangkan suami isteri muda itu, akan tetapi juga mendatangkan kegembiraan kepada para kawan seperjuangan karena mereka itu rata-rata sudah dapat menerima Sheila sebagai seorang kawan, berkat sikap Sheila yang amat baik dan juga setia kawan. Kebahagiaan hidup sederhana mereka itu agaknya tidak akan mengalami gangguan. Sama sekali Seng Bu dan isterinya tidak sadar bahwa ada bayangan malapetaka semakin mendekati mereka! Bahaya ini datang dari Koan Jit!
Seperti diketahui, Koan Jit merasa marah, kecewa dan penasaran sekali karena dia gagal menangkap Diana. Apa lagi ketika dia mendengar betapa anak buahnya yang hendak menangkap Sheila telah dihajar babak belur oleh Gan Seng Bu, hatinya menjadi semakin panas. Dia tahu bahwa dirinya menjadi incaran para tokoh diseluruh kang-ouw yang ingin merampas Giok-liong-kiam. Dia sendiri, sekian lamanya memiliki Giok-liong-kiam akan tetapi belum juga mampu menemukan rahasia pusaka itu, rahasia yang sudah didengarnya bahwa pusaka itu menyembunyikan rahasia harta karun yang besar. Sudah dicobanya berbagai macam, namun senjata pusaka itu sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda menyimpan rahasia! Dan dia tahu bahwa dirinya diancam oleh banyak tokoh-tokoh besar yang lihai, yang ingin sekali merampas pusaka itu.
Dan dianggapnya berbahaya sekali baginya, di samping Empat Racun Dunia, juga dua orang sutenya yang telah menguasai ilmu-ilmu yang pernah dipelarinya. Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu! Dua orang sute ini merupakan saingan yang cukup berat dan berbahaya, dan kalau mungkin harus segera disingkirkan dari muka bumi! Inilah sebabnya, ketika dia mendengar betapa anak buahnya dihajar oleh seorang pendekar bernama Gan Seng Bu yang telah menikah dengan seorang gadis bule, dia menjadi marah akan tetapi juga girang. Dia telah menemukan di mana sembunyinya sutenya itu. Untuk menyerang ke dusun itu dia tidak berani. Dia maklum bahwa tentu Gan Seng Bu yang terkenal sebagai seorang pejuang penentang pemerintah penjajah itu tidak sendirian di dusun itu, melainkan dengan kawan-kawan seperjuangan.
Kalau dia menyerbu, selain belum tentu akan dapat menang karena dia belum mengetahui kekuatan musuh, juga tentu Gan Seng Bu akan lebih mudah melarikan diri. Dan dia memerlukan sutenya itu untuk dibunuhnya, dan diapun merasa iri bahwa sutenya itu telah dipilih oleh seorang gadis bule yang katanya cantik sekali. Dia harus membunuh sutenya dan merampas wanita itu! Maka, Koan Jit yang selain lihai ilmu silatnya, juga benaknya penuh dengan tipu muslihat itu lalu mengatur siasat. Dusun yang ditinggali para pejuang itu dapat dibilang merupakan dusun pejuang. Penduduk dusun yang tadinya bukan pejuang, begitu melihat keadaan para orang gagah itu, merasa tertarik dan bangkit semangat mereka,
Bahkan para mudanya lalu belajar ilmu silat dari para pendekar dan mereka ikut pula berjaga, bahkan banyak yang sudah ikut aktip kalau kelompok itu mengadakan serangan dan gangguan pada kesatuan-kesatuan tentara kerajaan. Mereka bertempur secara gerilya, menyerbu selagi lawan lemah dan melarikan diri berpencar dan lenyap ke hutan-hutan kalau musuh sudah mampu mengumpulkan kekuatan yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka. Bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa-bawa senjata api, yang dapat mereka rampas dari orang-orang kulit putih atau para perwira kerajaan. Dan Sheila berjasa dalam urusan senjata api ini. Ia banyak tahu tentang senjata ini dan ia melatih para pejuang cara mempergunakan senjata api. Pada suatu hari, para pejuang sedang sibuk menggarap sawah.
Kalau tidak berjuang, mereka itu bukan bermalas-malasan, melainkan bersama para petani menggarap sawah karena dari situlah mereka memperoleh ransum. Pagi-pagi itu, terdengar suara derap kaki kuda dan hal ini tidak aneh karena para pejuang itupun mempunyai banyak kuda dan banyak penunggang kuda keluar masuk dusun itu. Akan tetapi, ketika para penghuni dusun itu melihat bahwa dua orang penunggang kuda yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu merupakan dua orang pria yang tidak mereka kenal, beberapa orang pemuda segera berlompatan dan sudah menghadang lalu mengurung dua orang penunggang kuda itu dengan pandang mata penuh curiga. Melihat diri mereka dikepung, dua orang laki-laki itu kelihatan gentar juga dan mereka cepat mengangkat tangan dan seorang di antara mereka berkata dengan suara lantang,
"Saudarasaudara, kami datang bukan dengan niat buruk. Kami datang sebagai utusan dari komandan pasukan Inggeris di Kanton!" Mendengar ini, sudah tentu banyak mata melotot dan muka merah. Para patriot itu, walaupun tidak memusuhi orang-orang kulit putih secara langsung, namun di dalam hati mereka tidak suka kepada orang-orang kulit putih yang menyebar racun madat dan yang juga menduduki beberapa kota pelabuhan setelah perang madat yang berakhir dengan kekalahan pihak pemerintah Ceng yang lemah itu.
"Kalian mata-mata orang bule!"
"Tangkap saja!"
"Bunuh saja!" Dua orang penunggang kuda itu menjadi pucat dan seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah sampul panjang dan berteriak.
"Kami datang diutus untuk menyerahkan surat ini kepada nona Sheila Hellway...!!"
"Di sini tidak ada nona Sheila Hellway, yang ada ialah nyonya Gan Seng Bu!"
"Jangan dengarkan ocehan mereka!"
"Awas, mereka tentu mata-mata yang membawa pasukan di belakang mereka!" Untung pada saat itu, saat yang gawat bagi dua orang utusan ini, muncul Sheila yang cepat berseru,
"Kawan-kawan tahan dulu! Coba berikan surat itu kepadaku. Akulah Sheila Hellway!" Dua orang itu nampak lega dan seorang di antara mereka turun, lalu menyerahkan surat bersampul panjang itu kepada Sheila. Orang ke dua masih duduk di atas kudanya, agaknya siap untuk segera melarikan diri kalau ada bahaya mengancam. Para pemuda dusun itu masih mengepung dan semua mata memandang kepada Sheila. Kalau saja pada saat itu Sheila memberi aba-aba untuk menyerang, tentu dua orang utusan itu akan dikeroyok dan dibunuh di saat itu juga.
Sheila tidak mau bertindak sembrono. Dilihatnya dulu sampul itu dengan teliti dan melihat sampul tercetak dengan alamat Kapten Charles Elliot sebagai pengirimnya, diam-diam ia merasa terkejut. Namanya, Sheila Hellway, juga tercetak rapi dan surat itu jelas bukan surat palsu. Dengan hati-hati lalu dibukanya sampul surat dan sebelum membaca isinya, iapun meneliti cap kebesaran Kapten Charles Elliot. Kembali aseli, apa lagi isi surat dalam bahasa Inggeris yang rapi itu menghapus semua kecurigaannya. Memang jelaslah bahwa surat ini datang dari Kapten itu merupakan surat resmi! Dan begitu ia membaca isinya, wajahnya berseri dan semua pemuda yang sejak tadi mengamati itu, merasa lega.
"Kawan-kawan, dua orang ini memang utusan dari Kapten Charles Elliot dan surat ini benar ditujukan kepadaku." Mendengar ucapan itu, semua orang bubaran, hanya ada beberapa orang menjaga dari jauh saja dengan sikap melindungi Sheila dan beberapa orang lagi oleh Sheila dimintai tolong untuk memanggil suaminya yang sedang bekerja di ladang.
Kemudian Sheila mempersilahkan dua orang utusan itu untuk memasuki rumahnya dan dipersilahkan duduk sambil menanti datangnya Gan Seng Bu. Mendengar berita bahwa ada dua orang utusan dari komandan pasukan kulit putih datang mengantarkan surat untuk isterinya, Gan Seng Bu menjadi khawatir bukan main dan cepat dia berlari pulang tanpa mencuci kaki tangannya yang masih berlepotan lumpur. Dengan ilmu berlari cepat dia langsung saja pulang ke rumahnya dan memandang dengan mata penuh selidik ketika melihat dua orang laki-laki tinggi tegap sudah duduk di dalam rumahnya. Melihat kekhawatiran suaminya, Sheila lalu menyongsong dan menggandeng tangannya, lalu memperlihatkan surat itu.
"Aku menerima surat penting dari Kapten Charles Elliot," katanya dengan halus dan tersenyum ramah untuk menghilangkan kekhawatiran suaminya. Melihat sikap isterinya, memang hati Seng Bu menjadi agak lega dan dia membalas penghormatan dua orang utusan itu dengan dingin saja.
Pernah dia menghajar sekelompok pasukan Harimau Terbang yang menyamar sebagai orang biasa dan diapun curiga apakah dua orang ini bukan anggauta pasukan itu. Dugaannya memang tepat. Dua orang itu memang merupakan dua orang anggauta pasukan Harimau Terbang golongan atas yang dipercaya oleh Koan Jit untuk mengantarkan surat dari Kapten Charles Elliot itu dan memang inilah siasat yang diatur Koan Jit! Dua orang anggauta Harimau Terbang itu, walaupun belum pernah merasakan sendiri kelihaian Gan Seng Bu, namun mereka berdua sudah mendengar dari teman-teman mereka, apa lagi mereka mendengar bahwa orang muda yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah sute dari pimpinan mereka, tentu saja mereka merasa jerih bukan main.
"Apa maksudmu dia mengirim surat padamu?" tanya Seng Bu. Seperti biasa suaranya ramah dan halus kepada isterinya, akan tetapi alisnya tetap berkerut karena dia merasa tidak enak hatinya. Isterinya tersenyum, maklum akan kecurigaan suaminya terhadap bangsanya.
"Baik kuterjemahkan untukmu." Ia lalu membaca surat itu, sudah diterjemahkannya dengan baik sekali. Ternyata isi surat itu hanya pemberitahuan kepada nona Sheila Hellway bahwa pemerintah Inggeris menganggap Mr. Hellway dan isterinya yang gugur dalam keributan perang madat itu sebagai pahlawan-pahlawan dan kini pemerintah mengambil keputusan untuk minta pertimbangan Sheila, apakah kuburan orang tuanya itu akan dipindahkan ke Inggeris, ataukah dimakamkan kembali secara kehormatan militer. Dan untuk itu, diminta kehadiran Sheila ke markas pasukan Inggeris di kapal, di pantai Kanton. Dengan alis berkerut Gan Seng Bu bertanya,
🖐
"Isteriku, setelah engkau menerima surat seperti itu, lalu bagaimana niatmu?" Sheila tersenyum, masih maklum bahwa suaminya tetap saja berkuatir.
"Tentu saja aku harus datang dan menghadiri upacara itu. Aku akan minta agar makam orang tuaku dikubur di sini saja agar mudah bagiku untuk sewaktu-waktu berziarah."
"Perlu benarkah engkau menghadiri? Bagaimana kalau engkau membalas surat saja menyatakan keinginanmu itu?" Sheila merangkul suaminya, tidak perduli di situ ada dua orang utusan yang memandang mereka dan mencium lembut pipi suaminya. Seng Bu tidak merasa canggung karena memang sudah biasa memperoleh perlakuan seperti itu dari isterinya yang amat bebas memperlihatkan kasih sayangnya.
"Seng Bu, pemindahan kerangka orang tuaku amatlah penting, Bukan? Aku harus menghadirinya sendiri, kalau tidak aku akan selalu merasa menyesal kelak. Jangan khawatir, Kapten Charles Elliot tidak akan berani menggangguku. Aku adalah warga negara Inggeris dan berhak penuh untuk menentukan kemauanku sendiri. Harap jangan khawatir, tidak ada yang akan berani mengganggu diriku." Seng Bu masih mengeritkan alisnya, menoleh kepada dua orang utusan itu dengan sinar mata mencorong sehingga dua orang itu menundukkan muka dengan sikap jerih. Mereka merasa gentar melihat sinar mata yang mencorong dari pendekar itu.
"Kapan engkau akan pergi ke Kanton?" akhirnya Seng Bu bertanya, tidak mempunyai alasan lagi untuk mencegah kepergian isterinya.
"Kurasa sekarang juga, Seng Bu. Hari masih pagi dan aku akan pergi bersama mereka ini. Engkau tidak keberatan, bukan?" Seng Bu memandang ragu, kemudian berkata dengan suara penuh kepastian,
"Sheila, aku tidak keberatan karena memang perlu sekali engkau menghadiri urusan itu, akan tetapi aku akan mengawalmu kesana."
"Seng Bu...!" Sheila membelalakkan matanya. Suaminya adalah seorang pejuang dan tentu saja amat berbahaya bagi Seng Bu untuk muncul di dalam kota Kanton di mana selain banyak terdapat pasukan kulit putih, juga terdapat pasukan pemerintah yang tentu akan menangkapnya karena nama Seng Bu sudah dikenal sebagai pemberontak. Seng Bu tersenyum dan merangkul isterinya, mencubit dagunya dengan mesra sambil berkata,
"Jangan khawatir. Kalau mereka tidak mengganggumu, tentu mereka tidak akan menggangguku pula. Selain itu, apakah engkau tidak percaya kepadaku bahwa aku dapat membela dan melindungi diriku sendiri, termasuk dirimu?"
"Tapi itu berbahaya sekali, Seng Bu!"
"Tidak kalah besarnya dengan bahaya yang mengancammu, Sheila. Kita pergi berdua atau kita tidak pergi sama sekali." Sheila mengenal kekerasan hati suaminya. Ia berpikir bahwa di markas Inggeris, ia akan mampu melindungi suaminya. Tak seorangpun di sana akan berani mengganggu Seng Bu yang sudah menjadi suaminya, Ayah dari calon anak mereka. Kapten Charles Elliot adalah seorang gentleman tulen, tidak mungkin mau bertindak curang. Maka iapun mengangguk.
"Baiklah, mari kita pergi bersama." Mereka lalu berkemas. Kawan-kawan seperjuangan Seng Bu banyak yang merasa cemas, mengkhawatirkan keselamatan mereka yang akan pergi ke Kanton. Akan tetapi setelah Sheila mengemukakan pendapatnya, merekapun merasa lega dan hanya memesan kepada Seng Bu agar berhati-hati. Suami isteri ini menunggang kuda dan diiringkan oleh dua orang utusan itu, menuju ke Kanton. Perjalanan itu berlangsung dengan selamat dan menjelang senja, mereka memasuki Kanton.
Benar saja, tidak ada gangguan dan merekapun langsung menuju ke pantai di mana terdapat beberapa buah kapal Inggeris yang besar dan diperlengkapi meriam-meriam besar. Banyak nampak serdadu-serdadu Inggeris di pantai hilir mudik, dan banyak pula mata yang menatap ke arah Sheila dengan sikap kurang ajar. Akan tetapi hal seperti ini sudah biasa dihadapi Sheila maka iapun pura-pura tidak melihat saja dan bersama suaminya lalu dibawa ke atas sebuah perahu yang membawa mereka langsung ke sebuah kapal besar yang tidak dapat menepi dan melepas jangkar agak jauh di tengah lautan. Kapten Charles Elliot sendiri setelah diberitahu, lalu keluar menyambut kedatangan Sheila dan Seng Bu. Kapten ini menyambut Sheila dengan wajah berseri, menjabat tangan Sheila dengan erat dan berkata dengan girang,
"Sungguh bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat, nona Sheila Hellway. Berbulan-bulan lamanya kami dibuat gelisah oleh berita tentang dirimu. Selamat datang di kapal kami!" Sheila menyambut uluran tangan itu dan berkata dengan lembut dan ramah namun suaranya tegas.
"Kapten, saya bukan lagi nona Sheila Hellway melainkan nyonya Gan Seng Bu, dan inilah suami saya." Sheila memperkenalkan suaminya dengan maksud agar kapten itu menyambut suaminya sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kapten itu hanya menoleh dan memandang kepada Gan Seng Bu sejenak. Seorang pemuda bertubuh tegap, berpakaian seperti petani sederhana, masih lebih sederhana dari pada kuli-kuli pelabuhan, bagaimana dia sudi menyambutnya seperti seorang tamu? Dia diam saja dan kembali memandang kepada Sheila.
"Nona Hellway, mari kita bicara di kantorku. Kita harus merundingkan urusan pemindahan makam orang tuamu itu dengan para pejabat lain. Mari, silahkan!" Dan dengan sopan sekali kapten itu memberikan lengannya untuk digandeng Sheila. Tentu saja Sheila memandang ragu.
"Kapten, saya hanya mau bicara kalau disertai suamiku."
"Ahh, mana mungkin itu, nona? Urusan ini adalah urusan intern, urusan dalam di antara bangsa kita sendiri dan amat penting. Biarlah dia menanti di sini dulu, nanti kalau rapat yang kita adakan sudah selesai, engkau boleh datang kembali menjemputnya di sini. Aku akan merasa canggung, tidak enak dan akan menjadi buah tertawaan kalau dia diajak memasuki ruangan perundingan." Sheila masih ragu-ragu, akan tetapi Seng Bu merasa tidak enak sendiri. Dia dapat mengerti alasan-alasan yang diajukan oleh kapten itu, maka diapun berkata,
"Sheila, pergilah, biar aku menanti di sini." Terpaksa Sheila menggandeng lengan Kapten Charles Elliot yang mengajaknya menuju ke ruangan luas di ujung kapal di mana telah menanti beberapa orang yang pakaiannya gemerlapan, yaitu orang-orang berpangkat dari pasukan armada Inggeris yang berada di situ. Semua orang bangkit berdiri dan memberi hormat ketika Sheila masuk dan wanita ini yang sudah hampir satu tahun hidup di antara orang-orang dusun sederhana, merasa betapa ganjil dan anehnya sikap sopan santun dan hormat seperti itu yang kini nampak seolah-olah merupakan sikap dibuat-buat saja.
Mereka lalu mengambil tempat duduk dan mulailah mereka merundingkan urusan pemakaman kembali jenazah keluarga Hellway yang dianngap gugur sebagai pahlawan! Pahlawan! Sungguh merupakan suatu sebutan yang muluk dan terhormat, bahkan mungkin diidamkan oleh semua orang. Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang disebut pahlawan, atau setidaknya menjadi keluarga pahlawan? Seorang pahlawan adalah seorang yang sudah dianggap berjasa untuk negara dan bangsa, seorang yang perbuatannya patut dijadikan teladan dan dihormati semua orang, dari pembesar yang paling tinggi sampai rakyat yang paling rendah. Akan tetapi, apa dan siapakah sesungguhnya pahlawan?
Pahlawan hanyalah seorang yang dianggap menonjol dan berjasa bagi suatu pihak, suatu golongan, suatu kelompok, atau suatu bangsa. Seorang yang dianggap pahlawan besar bagi suatu bangsa, belum tentu dianggap pahlawan pula oleh bangsa lain, apa lagi kalau bangsa lain ini kebetulan menjadi lawan bangsa yang pertama. Pahlawan dari suatu bangsa mungkin akan dianggap penjahat besar oleh bangsa yang menjadi musuhnya. Dan bukankah pahlawan itu hanya merupakan suatu sebutan saja, yang diberikan untuk merangsang semangat semua orang yang tenaganya dibutuhkan untuk suatu perjuangan? Setelah meninggal dunia, makamnya lalu dibikin bagus, dihormati setahun sekali hanya untuk waktu beberapa menit saja, kemudian ditinggalkan dan dilupakan lagi, bersunyi sepi terlupakan di antara kuburan-kuburan lain.
Atau keluarganya mungkin akan menerima sekedar sumbangan. Bukankah semua ini hanya merupakan semacam piala atau medali saja bagi orang untuk merangsang orang-orang lain? Dan orang yang berjuang demi mencari sebutan pahlawan atau keuntungan lain, baik keuntungan benda atau batin, kiranya hanya orang-orang pengejar keuntungan saja namanya. Seorang pahlawan yang sesungguhnya pahlawan adalah orang yang melakukan sesuatu demi pengabdiannya akan sesuatu yang diagungkan, dimuliakan, tanpa mengharapkan jasa. Berjuta pahlawan di dunia ini, yaitu mereka yang meninggalkan harta benda, keluarga, untuk berjuang membela negara dan bangsa, tanpa pamrih, kemudian gugur tanpa ada yang mengenalnya.
Mati begitu saja, tidak diberi cap pahlawan, tidak dihormati setiap tahun beberapa menit lamanya, tidak memperoleh tunjangan terhadap keluarganya yang ditinggalkan. Mereka itulah pahlawan dalam arti yang seluas-luasnya. Semoga damai abadilah bagi mereka itu! Setelah mengikuti kepergian isterinya bersama Kapten Charles Elliot sampai mereka lenyap di dalam ruangan kamar di ujung kapal, barulah Seng Bu sadar bahwa dia tidak berdiri sendiri saja. Di sekelilingnya telah berkerumun banyak orang dan ketika dia menoleh karena ada sesuatu di belakangnya yang menarik perhatiannya, dia tertegun karena dia telah berhadapan dengan Koan Jit! Dia masih ingat benar wajah orang ini, orang tinggi kurus memakai jubah kebesaran berwarna hitam, dengan sepasang matanya yang seperti mata kucing, dengan wajahnya yang membayangkan kekejaman dan kelicikan.
Hanya kini, orang yang pernah dijumpainya satu kali ketika orang ini datang di puncak Tai-yun-san dan mencoba kepandaiannya dan kepandaian Ong Siu Coan, kemudian orang ini mencuri pusaka Giok-liong-kiam, telah berubah pakaiannya. Mengenakan jubah seorang pembesar, dan kepalanya juga memakai kopyah atau topi batok seperti topi yang biasa dipakai oleh seorang pembesar Mancu, rambutnya dikuncir tebal dan ujungnya diikat pita kuning, sikapnya congkak sekali. Dan beberapa orang yang berada di dekatnya adalah beberapa orang opsir dan perajurit bule dan juga beberapa orang yang mengenakan pakaian pasukan Harimau Terbang! Seng Bu sudah dikurung! Menghadapi ancaman ini, Seng Bu sudah siap siaga dan melihat pemuda itu memasang kuda-kuda, Koan Jit menyeringai.
"Huh, bocah sombong, apakah engkau masih ingat padaku?" Seng Bu marah sekali.
"Siapa tidak ingat padamu? Sekali saja melihat seorang murid murtad, seorang maling dan seorang pengkhianat yang curang, selamanya aku takkan lupa!" Tentu saja Koan Jit marah sekali mendengar dirinya dimaki di depan banyak orang. Diasegera meneriakkan aba-aba kepada para perajurit kulit putih,
"Tangkap orang ini!" Seng Bu hendak memberontak, akan tetapi beberapa orang perajurit kulit putih sudah mendorongkan pistol ke dadanya. Seng Bu maklum bahwa kalau dia melawan dengan nekat, selain dia harus menghadapi Koan Jit yang lihai, juga harus menghadapi senjata api yang tak boleh dipandang ringan. Apa lagi isterinya masih berada di situ, maka dia tidak melawan. Bahkan dia tidak melawan ketika seorang serdadu Inggeris yang bertubuh tegap dan berkumis menelikung kedua lengannya ke belakang dan memasang belenggu. Dia hanya memandang kepada Koan Jit dengan mata berapi.
"Koan Jit, dengan alasan apa engkau menangkapku? Aku datang mengantar isteriku yang diundang sebagai tamu oleh Kapten Elliot!" Koan Jit tertawa menyeringai dan menekan tangan kirinya di atas langkan besi di tengah kapal itu.
"Heh-heh, tentu saja. Nona Sheila Hellway memang menjadi seorang tamu terhormat, akan tetapi engkau ini siapa? Engkau seorang pemberontak, engkau seorang penjahat yang suka memusuhi golongan dan pasukan Inggeris!"
"Bohong! Fitnah! Aku datang mengantar isteriku, Sheila!"
"Engkau memata-matai kapal ini! Hayo jebloskan dia ke dalam kamar tahananku di bawah!" Seng Bu maklum akan datangnya bahaya maka diapun cepat menggerakkan khikangnya dan berteriak,
"Sheilaaaa...!!" Akan tetapi pada saat itu, Koan Jit sudah menotoknya sehingga pendekar itu menjadi lemas tak berdaya lagi, tak mampu melawan ketika dia diseret masuk ke tampat tahanan di bagian bawah kapal. Biarpun demikian, teriakan yang mengandung khikang amat kuatnya itu telah menembus dinding tebal dan terdengar oleh Sheila. Tentu saja wanita ini terkejut dan bangkit dari kursinya. Tadi ia asyik membicarakan tentang pemindahan kerangka Ayah ibunya dan ia mengajukan permohonan agar kerangka itu dikubur di daerah Kanton saja, jangan dibawa pulang ke Inggeris. Juga Kapten Charles Elliot dan yang lain-lain bangkit berdiri ketika mendengar pekik yang nyaring memanggil nama Sheila itu. Tentu saja Kapten itu sudah dapat menduga apa yang terjadi, akan tetapi dia pura-pura berkata kepada Sheila,
"Akan kulihat apa yang terjadi di sana."
"Yang berteriak tadi suamiku!" kata Sheila, juga mengikuti kapten yang sudah berlari keluar. Kapten Elliot dan Sheila, juga beberapa orang pejabat yang tadi ikut rapat, mendengar keterangan dari beberapa orang penjaga bahwa teriakan tadi memang teriakan Gan Seng Bu yang ditangkap dengan tuduhan sebagai penjahat dan pemberontak.
JILID 24
"Suamiku ditangkap? Kurang ajar! Siapa yang menangkapnya? Kapten, apa artinya semua ini!" bentak Sheila dengan mata terbelalak lebar dan marah sekali. Kapten itu memegang lengan wanita itu.
"Tenang dan bersabarlah, nona Sheila. Yang menangkap adalah perwira Koan, kepala dari pasukan Harimau Terbang. Memang dia bertugas menjaga keamanan dan melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat dan pemberontakpemberontak dan agaknya dia mengenal suamimu sebagai seorang di antara pemberontak, maka lalu ditangkapnya."
"Akan tetapi, suamiku hanya melawan pemerintah Mancu! Dia bukan penjahat dan harus diingat pula bahwa dia datang untuk mengantar aku. Dia seorang tamu yang harus dihormati, bukan ditangkap! Kapten, aku protes! Suamiku harus dibebaskan sekarang juga!"
"Tenanglah, tenanglah. Aku yang menanggung bahwa kalau memang suamimu tidak bersalah, dia akan segera dibebaskan. Sekarang, biarlah dia mengalami pemeriksaan dari komandan Koan. Dia tidak akan diapa-apakan, hanya ditanyai tentang penjahat-penjahat yang sudah banyak membunuh orang-orang kita, dan yang sudah banyak membajak kapal-kapal kita pula. Tidak patutkah dia ditanyai kalau memang dia dicurigai?"
"Tapi dia suamiku!"
"Benar, akan tetapi dalam urusan ini tidak dipandang siapa saja, nona Hellway. Bahkan aku sendiri, kalau mencurigakan, bisa saja ditangkap dan diinterogasi. Sabarlah dan tinggallah di sini selama satu dua hari sampai selesai pemeriksaan terhadap Gan Seng Bu."
Karena dibujuk dan tidak berdaya membantah lagi, terpaksa Sheila bersabar dan menanti, walaupun hatinya tidak karuan rasanya. Tak seorangpun di antara mereka itu berani mengganggunya atau kurang ajar kepadanya. Akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran terhadap suaminya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua itu adalah hasil siasat yang sudah diatur sebelumnya oleh Koan Jit. Koan Jit tidak berani menyerbu ke dusun di mana Seng Bu tinggal karena maklum betapa kuatnya dusun yang penuh dengan para patriot itu. Dia menghendaki Seng Bu, sutenya itu yang tahu akan Giok-liong-kiam dan tahu pula akan pengkhianatannya terhadap Thian-tok, guru mereka. Dia harus mampu menundukkan Seng Bu, kalau mungkin harus dibujuk atau dipaksa untuk membantunya agar kedudukannya menjadi semakin kuat.
Akan tetapi kalau tidak mau dan pemuda itu berkeras, dia akan membunuhnya! Dan ternyata siasatnya itu berjalan sesuai dengan rencananya. Sheila dan Seng Bu datang seperti dua ekor kambing yang dituntun ke dalam rumah jagal! Tentu saja siasatnya ini tidak diketahui pula oleh Kapten Charles Elliot. Kapten itu menganggap bahwa usul Koan Jit untuk mengundang Sheila untuk membicarakan tentang pemakaman kembali keluarga Hellway itu sebagai hal yang sudah sepatutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa di balik usul yang kelihatan baik sekali itu tersembunyi pamrih demi kepentingan pribadi Koan Jit. Kapten Charles Elliot merasa serba salah setelah mendengar tentang ditawannya Seng Bu oleh Koan Jit. Dia lalu memanggil Koan Jit dan diajak bicara empat mata dalam kabinnya. Setelah Koan Jit menghadap, dia segera bertanya apa sebabnya Koan Jit menangkap Gan Seng Bu.
"Dia itu, bagaimana juga, adalah suami yang syah dari nona Sheila Hellway, dan dia datang untuk mengantarkan isterinya memenuhi panggilan kami. Kenapa engkau menangkapnya begitu saja? Kami menjadi merasa sangat tidak enak terhadap nona Hellway," kata Kapten Charles Elliot. Koan Jit tersenyum menyeringai. Dia tidak pernah benar-benar menaruh hormat kepada atasan ini, karena di lubuk hatinya, dia tidak suka kepada orang- orang bule, hanya mempergunakan mereka untuk mencapai cita-citanya saja.
"Kapten, maafkan kalau aku menangkapnya tanpa lebih dulu melaporkan kepada kapten. Akan tetapi, Gan Seng Bu itu berbahaya bukan main. Dia lihai dan kalau tidak didahului ditangkap, aku khawatir dia akan menimbulkan bencana. Bencana besar sekali di sini."
"Bencana apa misalnya...?"
"Apa saja mungkin dia lakukan. Membunuh kapten misalnya, atau melakukan hal hebat lainnya."
"Kau gila!" Kapten itu berseru marah dan tidak percaya.
"Tidak, kapten. Dia itu lihai bukan main, memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi, dan hanya aku seoranglah yang dapat mengatasinya. Dia seorang pemberontak besar, dengan kawan-kawannya dia membuat persekutuan untuk memberontak terhadap pemerintah dan tentu saja kadangkadang juga melakukan gerilya terhadap pasukan-pasukan kita. Beberapa pekan yang lalu, ketika anak buahku menyerbu ke dusunnya karena salah kira, mengira isterinya itu nona Diana, anak buahku dihajarnya habis-habisan. Bukankah berbahaya sekali orang seperti itu? Aku ingin meriksanya dan melihat sampai dimana keterlibatannya dengan para penjahat yang Suka mengacau di pelabuhan."
"Tapi... tapi" dia suami nona Sheila Hellway. Mau kau apakan dia? Jangan kau membunuhnya."
"Tidak dan belum lagi, kapten. Aku hendak menguras keterangan dari dia, dan kalau mungkin, hendak membujuknya agar dia membantu kita. Bukankah dengan demikian jauh lebih baik, bagi dia dan bagi nona Hellway. Coba kapten bayangkan. Nona Hellway sebagai isterinya, tinggal di antara pemberontak dan pembunuh-pembunuh itu. Kalau Gan Seng Bu mau bekerja sama dengan kita, bukankah tepat sekali." Kapten Charles Elliot sudah percaya penuh kepada Koan Jit yang lihai dan cerdik, dan dia memang melihat kebenaran ucapan itu. Dia menganggukangguk.
"Akan tetapi jangan kau berbuat yang bukan-bukan. Jangan membunuhnya. Kalau nona Hellway marah dan memprotes ke atasan, aku sendiri bisa celaka."
"Aku tidak sebodoh itu, kapten. Dia akan kuperiksa dan kupaksa memberi keterangan dimana kita bisa menemukan nona Diana Mitchell." Kembali kapten itu mengangguk-angguk.
"Hemm" kalau begitu baiklah. Asal engkau tahu batas dan jangan siksa dia. Dan bagaimana engkau begitu yakin bahwa Gan Seng Bu itu orang yang memiliki kepandaian hebat sekali? Kulihat dia orang biasa saja." Koan Jit tersenyum cerdik.
"Akulah orang yang paling tahu, kapten" karena dia itu adalah adik seperguruanku sendiri."
"Ahhh...!!" Koan Jit tersenyum melihat betapa kapten itu terkejut dan kini kapten itu tidak membatah lagi. Kalau orang yang ditawan itu adik seperguruan Koan Jit, tentu lihai bukan main dan kalau begitu, urusan itu lebih bersifat intern kekeluargaan antara saudara-saudara seperguruan.
"Baiklah, aku memberi waktu sampai besok sore. Harus selesai dan dia harus dapat dibebaskan, karena aku sudah berjanji kepada nona Sheila Hellway."
"Baik, kapten."
Koan Jit begitu yakin akan hasil baik siasatnya. Akan tetapi di dunia ini, harapan lebih banyak menelurkan kekecewaan daripada kepuasan. Dia menghadapi watak yang keras seperti baja dan semangat yang pantang mundur dalam diri Gan Seng Bu, sutenya itu. Dia memang belum pernah berkenalan dengan Seng Bu dan tidak tahu bahwa watak dari murid gurunya yang satu ini berbeda dengan yang lain. Seng Bu yang baru satu kali dijumpainya memiliki watak yang sama sekali tidak pantas menjadi murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok! Seperti lajimnya pada tokoh-tokoh sesat atau semua anggauta golongan hitam, kehidupan mereka hanya menjadi hamba dari pada nafsu-nafsu mereka.
Hidup mereka hanya untuk bersenang-senang, mengejar kesenangan dan memenuhi semua keinginan dan kepentingan diri sendiri, tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalau perlu menghancurkan orang-orang lain yang dianggap sebagai penghalang dari tujuannya untuk menyenangkan diri. Karena itulah, mereka itu suka melakukan segala macam pelanggaran, tanpa memperdulikan kesopanan, kesusilaan, kehormatan, perikemanusiaan ataupun dalam mengejar segala macam hal yang dikehendakinya. Dan karena ini, mereka banyak melakukan kejahatan-kejahatan dan disebut golongan hitam atau kau m sesat. Thian-tok sendiri adalah seorang di antara Empat Racun. Tentu saja dapat dibayangkan betapa kejam dan jahatnya, betapa besar ambisi hidupnya dan entah berapa banyak perbuatan keji yang pernah dilakukannya.
Tentu saja murid-muridnya juga demikian, termasuk Koan Jit, yang merasa paling tepat menjadi murid Si Racun Langit itu. Dan tadinya dia mengira bahwa sebagai murid Thian-tok, tentu Gan Seng Bu juga sama saja. Tentu mudah diajak berunding dan bersekutu kalau dipameri kedudukan yang baik dan keuntungan besar bagi dirinya. Akan tetapi, kiranya Koan Jit sama sekali salah terka! Gan Seng Bu begitu keras dan kuat dalam pendiriannya, membela kebenaran dan keadilan, menentang penjajahan bukan untuk mencari kedudukan, melainkan bangkit dari rasa patriotnya. Dan juga tidak sudi bersekutu dengan orang kulit putih yang dianggap meracuni bangsanya. Bermacam akal dipergunakan Koan Jit untuk membujuk, namun sia-sia belaka!
"Gan Seng Bu," katanya kehabisan akal.
"Bukankah engkau ini murid suhu Thian-tok? Dengan demikian, bukankah engkau ini seorang suteku sendiri? Kenapa seorang sute tidak mau menurut kata-kata seorang toa-suheng?" Seng Bu yang dibelenggu pada sebuah pilar itu diikat lehernya, tubuhnya, kaki dan tanggannya, sehingga dia tidak mampu bergerak, mencibirkan bibirnya.
"Koan Jit, engkau sendiri menyerang suhu dengan curang, mencuri Giok-liong-kiam dan pernah menyerang aku dan suheng Ong Siu Coan, hampir membunuh kami. Apa anehnya kalau sekarang aku melawanmu?"
"Goblok! Kalau engkau mau membantuku, engkau akan hidup mulia. Kelak mungkin aku akan menjadi kaisar, tahukah kau ? Dan engkau kelak dapat menjadi menteri! Giok-liong-kiam berada di tanganku. Kalau kau membantuku menghadapi mereka yang hendak merampasnya, dan kelak kita memperoleh hasilnya, bukankah kita akan hidup makmur? Kenapa kau begini tolol dan pura-pura bersikap seperti seorang pendekar sejati? Engkau hanya murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Jangan Sok aksi dan berlagak menjadi pendekar!"
"Sudahlah, Koan jit. Bebaskan aku, atau kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding secara gagah. Aku tidak takut kepadamu! Jangan kau menggunakan kedudukanmu di sini menjadi anjing penjilat orang kulit putih, untuk berbuat curang!"
"Plakkk"!" Koan Jit menampar muka Seng Bu, akan tetapi yang ditampar sama sekali tidak berkedip walaupun tamparan itu membuat pipinya menjadi merah. Pada Saat itu, pintu kamar itu diketuk orang dari luar, Koan Jit menyumpah dan membuka daun pintu. Kiranya seorang serdadu kulit putih yang muncul. Dia memberi hormat secara militer kepada Koan Jit dan melaporkan bahwa nona Sheila Hellway datang hendak bicara dengan dia. Wajah keruh Koan Kit seketika menjadi berseri.
"Ah, ia datang ? Baik, baik, silahkan ia masuk ke sini." Serdadu itu melirik ke arah Seng Bu yang terbelenggu, lalu memberi hormat dan membalikkan tubuhnya. Tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkan Sheila yang wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan kekhawatiran dan juga kemarahan. Sheila nampak cantik sekali pagi hari itu. Rambatnya tersisir rapi, mukanya diberi bedak tipis dan kedua matanya seperti bintang pagi. Gaunnya juga baru dan terbuka di kedua pundaknya, memperlihatkan lekuk buah dadanya yang menggembung karena ia berada dalam keadaan mengandung. Cantik dan segar berseri, membuat Koan Jit diam-diam menelan ludahnya.
"Ah, nona Hellway. Silahkan masuk, silahkan""
Koan Jit menyambut dengan sikap hormat dan ramah sekali. Akan tetapi karena memang dia tidak memiliki wajah yang ramah ketika dia tersenyum, senyum itu nampak dingin dan menyeringai aneh. Akan tetapi Sheila tidak memperhatikan dan tidak memperdulikan sikap aneh itu, karena matanya sudah mencari-cari ketika kakinya melangkah masuk. Iapun tidak sadar betapa daun pintu sudah ditutup kembali oleh Koan Jit tanpa memperdulikan serdadu bule yang tadi mengantar Sheila. Serdadu itu mengerutkan alisnya dan tetap berdiri di luar pintu kamar itu. Begitu memasuki ruangan yang agak luas itu dan melihat suaminya berdiri dan terbelenggu di pilar, Sheila mengeluarkan jerit tertahan dan cepat ia lari menghampiri Suaminya, lalu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada Koan Jit dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
"Kenapa suamiku dibelenggu seperti ini? Hayo lepaskan belenggunya!" bentaknya marah sekali. Koan Jit memperlebar senyumnya dan dengan sikap kurang ajar sekali dia mengangkat kaki kanannya di atas kursi, menunjang dagu dan memandang kepada wanita itu dengan sinar mata cabul.
"Kalau kau dapat, lepaskan sendiri, nona manis." Baru ucapan itu saja sudah mengandung kekurangajaran, dan hal ini dirasakan oleh Seng Bu. Pemuda ini dapat membayangkan bagaimana jahatnya watak seorang seperti Koan Jit, maka diapun membentak.
"Koan Jit! Urusan antara kita jangan kau libatkan dengan isteriku! Kalau memang kau jantan, biarpun engkau masih kakak seperguruanku sendiri, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus. Jangan bersikap curang, menangkap aku dengan bantuan serdadu Inggeris, kemudian hendak melibatkan isteriku. Sheila, kau keluarlah dan jangan mencampuri urusan ini!" Seng Bu sengaja bicara panjang lebar untuk memberi tahu isterinya akan duduknya perkara mengapa dia sampai terbelenggu di tempat itu.
"Tidak!" Sheila berteriak dan marah sekali, maju menghampiri Koan Jit.
"Aku sudah mendengar tentang penjahat yang bernama Koan Jit ini! Engkau murid durhaka, mengkhianati guru sendiri dan sekarang engkau dengan curang menangkap adik seperguruanmu sendiri. Hayo bebaskan dia atau aku akan melaporkan kepada Kapten Elliot!"
"Ha-ha-ha, mau lapor? Laporlah, nona manis, karena diapun sudah tahu bahwa aku menangkap, suamimu."
"Bohong! Dia tidak akan menangkap suamiku! Koan Jit, hayo cepat bebaskan dia. Tidak ada alasan bagimu untuk menangkapnya!"
"Tidak ada alasan? Dia pemberontak, dia memimpin kawan-kawannya untuk menentang dan memusuhi orang kulit putih. Nona Sheila Hellway, engkau sungguh tidak tahu malu. Engkau telah mengkhianati bangsamu sendiri dengan menjadi isteri seorang musuh bangsamu. Seharusnya engkau bersyukur bahwa engkau telah bebas dari orang ini dan berterima kasih kepadaku!"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Sheila membentak, semakin marah mendengar ucapan orang yang semakin kurang ajar itu. Bagaimana ada seorang bawahan Kapten Elliot berani berkata itu kepada dirinya.
"Lekas bebaskan suamiku. Dia tidak berdosa, dia adalah seorang pendekar besar, penentang penjajah."
"Heh-heh, murid guru kami Thian-tok, seorang datuk kau m sesat, mana bisa menjadi pendekar? Dia tawananku, akan kubunuh, kusiksa atau kuapakan saja adalah hakku. Engkau tidak bisa memaksaku membebaskannya, nona." Wajah Sheila menjadi semakin pucat. Ia lari menghampiri suaminya dan berusaha melepaskan belenggu-belenggu itu, akan tetapi mana mungkin tangannya yang lemah itu dapat melepaskan belenggu yang demikian kuatnya? Apalagi kedua tangan dan kaki itu dipasangi belenggu besi. Setelah usahanya sia-sia belaka, Sheila lalu lari menghampiri Koan Jit seperti seekor Singa betina yang marah karena anaknya diganggu.
"Jahanam! Bebaskan dia! Bebaskan suamiku!" Dicobanya untuk memukuli dada dan muka Koan Jit.
Akan tetapi laki-laki ini hanya tersenyum saja, membiarkan dadanya dipukuli. Merasakan kehangatan dan kelembutan tangan wanita itu, melihat betapa dada yang nampak menonjol bersar itu naik turun, mencium kehangatan yang harum, tiba-tiba saja timbul nafsu berahi Koan Jit. Kenapa tidak? Dia benci sekali kepada Seng Bu. Kalau Seng Bu tidak mau membantunya, dia tentu akan membunuhmsute itu, dan sebelum dibunuh, apa salahnya kalau disiksa dulu, disuruh menyaksikan isterinya yang hamil tiga bulan itu dia perkosa di depan, matanya? Membayangkan kejahatan yang istimewa ini, sepasang mata Koan Jit bersinar-sinar penuh kegirangan. Akan tetapi, dia masih ingat akan keuntungan yang lebih besar lagi, maka ditangkapnya kedua tangan wanita itu dengan tangan kanannya, ditelikungnya ke belakang sambil tersenyum.
"Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!" Sheila meronta-ronta, tanpa hasil dalam cengkeraman tangan kanan Koan Jit yang kuat.
"Koan Jit, lepaskan isteriku, jangan ganggu dia! Demi Tuhan, akan kubunuh kau kalau kau mengganggunya!" Seng Bu juga berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi betapapun lihainya, dia tidak dapat melepaskan belenggu besi pada pergelangan kedua tangan yang ditelikung ke belakang dan kedua pergelangan kakinya.
"Sute, sekarang kau pertimbangkan baik-baik. Engkau menerima usulku agar membantuku, atau aku akan memperkosa isterimu di depan matamu." Bukan main hebatnya ancaman ini bagi Seng Bu. Isterinya akan diperkosa di depan matanya! Isterinya yang mengandung tiga bulan!
"Koan Jit" kau keparat jahanam...!!" Dia terengah-engah memaki dan keringatnya keluar satu-satu, matanya terbelalak melotot seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat orang yang dibencinya itu. Sheila sendiri juga kaget setengah mati mendengar ancaman itu.
"Apa... usul bantuan apa itu...?" tanyanya gagap karena panik mendengar dirinya akan diperkosa. Koan Jit tersenyum dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang cantik itu. Muak rasanya perut Sheila mencium bau mulut yang busuk dari Koan Jit, agaknya keluar dari giginya yang rusak.
"Nona, suamimu kuminta untuk membantu pemerintah Ceng dan juga menentang para pemberontak dan membantu bangsamu, juga membebaskanmu. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi, dihormati, apalagi dia sudah menikah denganmu. Bukankah usul itu baik sekali? Bujuklah agar dia mau, dan aku akan membebaskan suamimu dan membebaskanmu."
Hebat benar penekanan batin dari Koan Jit itu. Agaknya tidak ada pilihan lain bagi Sheila dan suaminya kecuali menurut. Sheila memandang suaminya, akan tetapi melihat wajah suaminya yang gagah perkasa dan membayangkan semangat perjuangan yang meluap-luap, hati Sheila menjadi kuncup dan ia tidak berani membujuk suaminya untuk menerima usul itu. Ia sendiri tidak setuju kalau suaminya harus menjadi kaki tangan bangsanya yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadap Bangsa Cina itu, akan tetapi melihat betapa mereka berdua terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, ia diperkosa di depan suaminya kemudian suaminya disiksa dan dibunuh, rasanya mau ia berkorban dan menerima usul Koan Jit.
"Koan Jit, manusia berwatak iblis! Kalau memang kau gagah perkasa, jangan mengganggu wanita. Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mati tak bernyawa lagi. Dengan begitu barulah engkau seorang gagah, bukan seorang pengecut hina yang namanya akan dikutuk selama hidup." Seng Bu kembali memaki dengan marah.
"Benar, kami takkan menyerah. Bunuhlah kami, kami adalah orang-orang gagah yang tidak takut mati, tidak seperti engkau ini, berjiwa tikus yang curang!" Sheila juga memaki, terbawa semangatnya oleh sikap suaminya yang gagah perkasa. Koan Jit bukan orang bodoh. Tadi dia melihat keraguan di wajah Sheila, tanda bahwa wanita itu sudah mau tunduk dan menurut demi menyelamatkan nyawa suaminya dan menyelamatkan diri sendiri. Mungkin gertakannya kurang meyakinkan, pikirnya. Harus mereka ini diberi bukti bahwa ancamannya bukan main main, dan pula melihat mulut yang bibirnya merah basah dan lidahnya yang nampak ketika bicara tadi demikian merah, juga rongga mulut yang segar dengan gigi yang putih seperti mutiara, sudah timbul berahinya.
"Seng Bu, bagaimana kalau isterimu yang cantik ini kucium? Aku ingin sekali menciumnya!" Berkata demikian, Koan Jit menundukkan mukanya. Sheila terbelalak dan berusaha mengelak dengan membuang mukanya ke kanan kiri, akan tetapi akhirnya mulut Koan Jit dapat menangkap mulutnya dalam sebuah ciuman yang penuh nafsu berahi. Seng Bu mengerahkan tenaga untuk melepaskan belenggu, sampai pergelangan tangan dan kakinya berdarah karena kulitnya terluka, namun hasilnya sia-sia. Sampai lama Koan Jit mencium dan ketika dia melepaskan ciumannya sambil tersenyum, Sheila terengah-engah dengan muka pucat.
"Bngsat kau , keparat jahanam terkutuk kau ...!" ia memaki-maki dan meronta-ronta.
"Bagaimana, Seng Bu, engkau masih tidak mau menyerah dan ingin aku memperkosanya di depan matamu?" Koan Jit mengancam lagi. Sebelum Seng Bu sempat menjawab, tiba-tiba pintu depan terbuka dan serdadu kulit putih yang tadi mengantar Sheila melangkah masuk. Dari luar dia mendengar suara ribut-ribut dan mendengar pula teriakan Sheila. Ketika dia masuk dan melihat betapa Sheila ditelikung kedua tangannya ke belakang dan dipeluk oleh Koan jit, serdadu itu menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa Koan Jit adalah orang yang sudah dipercaya oleh Kapten Elliot, bahkan memperoleh pangkat perwira. Akan tetapi melihati seorang wanita kulit putih dihina oleh Koan Jit, kemarahannya memuncak. Dengan geram, dia melangkah menghampiri Koan Jit dan membentak.
"Lepaskan nona Hellway!" Dan diapun menggunakan tangannya untuk menarik lengan Koan Jit yang merangkul pinggang Sheila.
Akan tetapi, sambil terkekeh, Koan Jit menggerakkan kakinya menendang dan serdadu itupun terpelanting roboh! Dalam keadaan marah dan penasaran karena Seng Bu belum juga mau tunduk, Koan Jit menjadi pemarah dan dia tidak perduli lagi bahwa yang menentangnya itu adalah seorang kulit putih. Serdadu itupun semakin marah dan diapun meloncat bangun, lalu menerjang dan menerkam Koan Jit. Koan Jit masih merangkul Sheila sambil mencengkeram kedua pergelangan tangan wanita itu dengan tangan kanan. Akan tetapi untuk menghadapi serdadu itu, dia cukup menggunakan tangan kirinya dan kedua kakinya. Kini tangan kirinya menyambar ke depan ketika serdadu itu menubruk dan sekali mencengkeram, dia telah merobek baju seragam si serdadu itu.
"Bretttt!" Baju itu robek dari leher sampai ke perut. Serdadu itu masih terus memukul, akan tetapi kembali dia terpelanting karena tangan Koan Jit sudah menamparnya. Berkali-kali serdadu yang masih penasaran itu menyerang dengan nekat, akan tetapi hasilnya hanyalah tubuhnya jatuh bangun dan pakaiannya robek-robek, babak belur dan benjot-benjol.
Ketika dia masih menyerang lagi, sebuah tendangan membuat dia knocked-out! Dia roboh pingsan tak mampu bangkit kembali. Kalau Koan Jit menghendaki, tadipun dengan sekali pukul dia sudah akan mampu merobohkan serdadu itu untuk tidak dapat bangkit lagi. Akan tetapi dia tidak bodoh dan tidak mau membunuh seorang serdadu kulit putih, karena hal itu berarti dia mengundang bencana atas dirinya sendiri. Akan tetapi keributan itu memancing perhatian para serdadu lain dan cepat Kapten Charles Elliot diberitahu. Kapten itu terkejut dan marah, cepat berlari memasuki kamar itu dan mencabut pistolnya ketika dia melihat seorang serdadu kulit putih roboh pingsan dan Koan Jit masih mencengkeram Sheila.
"Koan Ciangkun" bebaskan nona Hellway!" Kapten Charles Elliot membentak dengan marah sambil menodongkan pistolnya ke arah dada Koan Jit. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, Koan Jit tidak gentar menghadapi ancaman pistol itu. Akan tetapi dia tidak bodoh, tidak mau melawan atasannya. Maka sambil menyeringai dengan senyum mengejek, dia mendorong tubuh Sheila sehingga wanita itu terhuyung ke belakang. Sheila lalu berlari menghampiri suaminya dan merangkul suaminya yang masih dibelenggu sambil menangis.
"Kapten," kata Koan Jit membela diri.
"Kenapa kapten menghalangi aku yang sedang memeriksa tawanan?"
"Perwira Koan! Engkau memeriksa tawanan tentu saja boleh, akan tetapi mengapa engkau memukuli seorang perajurit dan engkau menghina nona Hellway?" bentak komandan itu dengan alis berkerut dan pistolnya masih berada di tangannya, walaupun kini tidak lagi ditodongkan ke arah Koan Jit.
"Kapten, aku sedang memeriksa Seng Bu ketika nona ini datang, dan aku sengaja menangkapnya untuk memaksa Seng Bu agar dia suka membantu dan memperkuat kedudukan kita. Akan tetapi mereka ini malah mengeluarkan kata-kata menghina. Dan sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, datang pula prajurit ini yang menyerangku. Terpaksa aku merobohkannya tanpa melukai berat atau membunuhnya. Harap kapten ketahui bahwa aku melakukan semua ini demi keuntungan kita.
"Bobong!" Tiba-tiba Sheila menjerit dalam Bahasa lnggeris kepada kapten itu.
"Dia hendak membunuh suamiku dan hendak memperkosa aku!" Mendengar teriakan Sheila ini, kapten itu terkejut. Kalau begini, urusannya menjadi repot dan gawat. Koan Jit merupakan tenaga yang amat baik, dan Gan Seng Bu memang perlu diperiksa. Dia sudah mendengar bahwa suami Sheila itu adalah seorang pemberontak dan pejuang. Akan tetapi sama sekali dia tidak suka mendengar bahwa untuk memaksa tawanannya, Koan Jit sampai mengancam hendak memperkosa Sheila, seorang wanita kulit putih! Kapten Charles Elliot lalu menghampiri Seng Bu dan bertanya.
"Orang muda, bukankah perwira Koan mengajukan usul yang amat baik padamu? Engkau membantu kami di sini dan hidup bahagia bersama isterimu di sini. Kenapa menolak?"
"Maaf, kapten. Aku datang hanya mengantar isteriku saja, dan aku mempunyai pendirian sendiri tentang perjuangan. Akan tetapi Koan Jit menangkapku secara curang sekali."
Kapten Elliot lalu teringat akan satu cara untuk menyelesaikan urusan itu.
"Kalau dia tidak menangkap secara curang, akan tetapi kalian bertanding satu lawan satu, bagaimana?" tanya kapten itu.
"Baik sekali! Aku akan menghadapinya, kapten. Bagi seorang gagah, mati di dalam suatu perkelahian adalah suatu kehormatan! Aku akan melawannya dan biarlah antara kami menentukan siapa yang akan mati dan siapa yang akan hidup."
"Seng Bu!" Sheila merangkul suaminya dan menangis. Wanita ini sudah banyak mendengar dari suaminya tentang kelihaian Koan Jit dan tentang kecurangannya, maka tentu saja ia sangat khawatir sekali mendengar bahwa suaminya akan diadu dengan manusia iblis itu.
"Sheila, jangan khawatir. Engkau tahu bahwa suamimu ini hidup di dekat bahaya selalu, setiap saat bisa saja tewas dalam pertempuran. Akan tetapi mati dalam perkelahian bagiku merupakan suatu hal yang menggembirakan. Biarlah aku akan berusaha membalas penghinaan atas dirimu tadi, isteriku. Dan andaikata aku kalah dan tewas, engkau sudah tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Kita sudah seririg bicara tentang kemungkinan itu."
Sheila menahan kesedihan hatinya. Memang, ia tahu hahwa ia telah menikah dengan seorang pejuang yang setiap saat bisa saja menjadi korban perjuangan dan gugur. Dan mereka sudah seringkali bicara di waktu tidur mengenai kemungkinan ini. Kalau suaminya gugur, ia akan merawat kandungannya sampai terlahir, dan mereka sudah sepakat bahwa anak yang akan terlahir itu tidak akan dibawa ke inggeris. Bahkan andaikata ia terpaksa pulang ke inggeris, anak itu akan ditinggalkan di tanah airnya, di negeri Cina dan akan diserahkan kepada kawan-kawan seperjuangan untuk mengasuhnya. Suatu keputusan yang amat berat baginya, namun ia sudah berjanji akan mentaati permintaan suaminya itu. Sementara itu, Kapten Charles Elliot lalu berpaling kepada Koan Jit.
"Bagaimana, perwira Koan? Maukah engkau bertanding melawan dia? Dari pada ribut-ribut memperebutkan kebenaran, lebih baik diselesaikan melalui kepalan, bukan? Kurasa demikian pendirian para orang gagah di sini."
Kapten itu memang sudah mengambil keputusan tetap. Koan Jit merupakan seorang tenaga yang amat penting. Sebaliknya, Seng Bu, biarpun seorarig pejuang, adalah suami yang syah dan Sheila Hellway yang bahkan sudah mengandung. Jadi, seorang di antara mereka harus lenyap kalau keduanya tidak dapat bekerja sama. Koan Jit terkekeh dengan nada suara yang merendahkan sekali. Manusia ini memang amat sombong dan terlalu percaya diri sendiri, apalagi dia memang memiliki keyakinan bahwa bagaimanapun juga, tingkat ilmu kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan Ong Siu Coan atau Gan Seng Bu. Dengan aksinya, dia lalu memberi hormat secara militer dengan mengangkat tangan kanannya ke tepi topi batoknya, hal yang tentu saja lucu karena topinya bukan topi tentara.
"Siap, kapten. Dengan segala senang hati, aku akan menghajar tikus ini sampai mampus!"
"Baik, kita adakan pertandingan ini dengan seadil-adilnya dan disaksikan oleh pasukan. Diadakan di darat. Pengawal, lepaskan belenggu dan tubuh Gan Seng Bu itu," perintah Kapten Charles Elliot. Sheila lari menghampini kapten itu dan membujuk agar suaminya dibebaskan saja dan tidak perlu disuruh berkelahi. Akan tetapi kapten itu menggeleng kepala dan berkata dengan alis berkerut.
"Nona Hellway, engkau tahu sendiri bahwa suamimu dijatuhi tuduhan yang amat berat. Selain menjadi pemberontak pemerintah, juga dia dan kawan-kawannya dituduh menentang bangsa kita. Kalau tidak melihat engkau yang menjadi isterinya, tentu aku tidak perduli lagi dan menyerahkan dia kepada perwira Koan. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah isterinya, maka aku memberi kesempatan dan kehormatan kepadanya untuk membela diri. Bukankah lebih baik begitu?" Dengan air mata berlinang, Sheila berkata,
"Suamiku adalah seorang patriot, mati baginya bukan, apa-apa kalau hal itu terjadi di waktu dia membela bangsa dan tanah air. Akan tetapi, kalau dia mati... aku" aku"" Kapten itu dengan simpatik memegang tangan wanita itu.
"Tenanglah. Mati hidup di tangan Tuhan, bukan? Dan kalau memang suamimu sudah menghendaki demikian, ada pilihan apa lagi?" Sheila merasa tiada gunanya mohon kepada kapten itu, maka iapun lalu menghampiri suaminya yang kini sudah dibebaskan dan belenggu. Mereka saling rangkul dan saling berciuman, seolah-olah hal itu terjadi untuk terakhir kali dan mereka seperti tidak mau saling melepaskan. Melihat adegan ini, Koan Jit menjadi ini dan mendongkol.
"Hel, Gan Seng Bu, engkau ini jantan ataukah banci? Mau bertanding ataukah mau bermain cinta saja? Kalau memang berani, hayo keluar!" Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Koan Jit menuruni tangga kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang membawanya ke daratan.
Mendengar seruan itu, Seng Bu menggandeng tangan isterinya dan juga menuruni tangga kapal, menuju ke sekoci dimana telah menanti selosin orang perajurit bule dengan senapan di tangan. Dia dikawal ke daratan, lalu disusul oleh Kapten Charles Elliot. Ternyata berita tentang perkelahian itu sudah tersiar sejak tadi. Di daratan sudah berkumpul para serdadu bule juga para pasukan Harimau Terbang yang sudah membuat lingkaran luas, dan tempat itu dikepung oleh pasukan yang juga menjadi penonton. Bahkan kuli-kuli pelabuhan juga berhenti bekerja untuk menonton perkelahian itu. Di antara mereka ada yaag sudah mengenal Gan Seng Bu sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa, maka mereka megharapkan agar pendekar ini akan mampu merobohkan Koan Jit yang mereka benci.
"Nona Hellway, apakah tidak lebih baik kalau engkau tinggal saja di kamar dan tidak menyaksikan pertandingan ini?" Kapten Charles Elliot yang merasa kasihan kepada wanita itu berkata lirih. Akan tetapi Sheila mempererat pegangan tangannya pada lengan suaminya.
"Tidak! Kalah atau menang, aku harus menjadi saksi. Aku ingin melihat suamiku berjuang sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa!" katanya dengan nada suara bangga.
"Tenangkan hatimu, Sheila" dan ingat semua perjanjian kita," kata Seng Bu dan diapun mencium bibir isterinya untuk yang terakhir kali.
"Tuhan menyertaimu, suamiku."
Bisik Sheila dengan air mata berlinang. Akan tetapi dengan tabah wanita ini lalu duduk di atas kursi yang disediakan untuknya, di pinggir dan berusaha menekan jantungnya yang berdebar karena tegang. Apalagi ia sebagai isteri orang yang hendak berjuang mati-matian, bahkan di dalam dada semua orang yang nonton pertandingan itupun diliputi ketegangan. Mereka semua sudah tahu betapa lihai dan kejamnya Koan Jit, dan tahu bahwa di dalam perkelahian ini, tentu salah seorang di antara keduanya akan tewas! Kapten Charles Elliot hendak bertindak adil dalam perkelahian itu, maka melihat betapa Gan Seng Bu sama sekali tidak bersenjata, sebaliknya tadi Koan Jit mengenakan pedang pangkatnya di pinggangnya, diapun berkata.
"Komandan Koan, harap tanggalkan pedangmu itu, karena lawanmu juga tidak membawa pedang." Koan Jit tersenyum.
"Kapten, aku memakai pedang ini bukan untuk melawannya, melainkan hanya sebagai tanda pangkat saja. Untuk memukul seekor anjing kecil perlu apa menggunakan pedang?"
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu pedang yang tadi bergantung di pinggang, bersama sarungnya telah terlempar ke udara, berputaran seperti terbang kemudian meluncur ke bawah dan menancap bersama bersama sarungnya sampai amblas dalam sekali di pinggiran tempat lingkaran yang menjadi arena perkelahian itu. Melihat demonstrasi kelihaian yang seperti permainan sulap saja ini, beberapa orang bertepuk tangan memuji, tentu saja terutama sekali para anggauta Harimau Terbang yang semua berpihak kepada Koan Jit, komandan mereka. Koan Jit lalu melangkah maju memasuki lingkaran orang-orang yang duduk di sekeliling tempat itu, dan kembali munculnya ini disambut tempik sorak oleh para anggauta Harimau Terbang.
"Semoga damai dan bahagia selalu menyertaimu, isteriku." Bisik Seng Bu.
"Semoga Tuhan melindungimu, suamiku," bisik Sheila ketika Gan Seng Bu minta diri, dan orang muda inipun lalu memasuki lingkaran. Ternyata banyak pula yang menyambutnya dengan sorakan. Bukan hanya dari para kuli pelabuhan yang semua berpihak kepadanya, akan tetapi juga ada beberapa perajurit bule yang berpihak kepadanya,
Mungkin karena pendekar ini adalah suami Sheila, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak suka kepada Koan Jit. Kemunculan Seng Bu sama sekali tidak mengesankan, seorang pemuda bertubuh tegap yang amat sederhana, seperti seorang petani saja, berbeda dengan Koan Jit yang berpakaian indah. Dua orang jagoan itu kini saling berhadapan. Lingkaran itu cukup luas, garis tengahnya tidak kurang dan limabelas meter, cukup untuk suatu perkelahian yang bagaimana dasyatpun. Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat dan satu sumber, maka diapun tahu bahwa ilmu-ilmu silat yang dipelajaninya dari Thian-tok, tentu semua dikenal baik oleh Koan Jit, bahkan mungkin dia masih kalah matang dalam latihan, mengingat bahwa usia Koan jit dua kali usianya.
Akan tetapi dia memiliki ilmu silat andalan yang dilatihnya dengan baik dan gurunya, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat. Ilmu silat yang berdasarkan Ngo-heng (Lima Unsur) ini memang lihai sekali dan memiliki banyak sekali perubahan-perubahan sesuai dengan kedudukan lima unsur. Bisa panas dasyat seperti api, bisa juga lunak dan dalam seperti air, bisa pula keras dan kuat seperti logam, atau bisa lentur seperti kayu, juga dapat cepat dan halus seperti angin. Karena maklum akan kelihaian lawan, maka Seng Bu segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, tangan kiri ke atas dan tangan kanan ke kawah, lutut agak ditekuk. Kuda-kuda ini mengandung dua unsur Angin dan Logam, dapat bergerak cepat sekali dan juga dapat melancarkan pukulan dahsyat dan bawah.
Tentu saja dalam pemasangan kuda-kuda ini, dia sudah mengumpulkan tenaga sinkang di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya. Melihat pemasangan kuda-kuda ini, Koan Jit yang sombong tersenyum mengejek. Dia dapat menduga bahwa tentu lawannya memainkan ilmu yang baru dan suhunya yang belum sempat dipelajarinya, akan tetapi karena sejak kecil dia murid Thian-tok, tentu saja dia mengenal sumbernya yang khas dari Thian-tok. Dia sendiri, selain ilmu-ilmu dan Thian-tok, juga sudah mempelajari banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh, yang membuatnya menjadi lihai bukan main, terutama sekali dia amat hebat dalam ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang saja. Maka, diapun ingin merobohkan lawan mengandalkan ginkangnya.
"Hyaaaattt!" Tiba-tiba Koan Jit mengeluarkan seruan melengking nyaring. Inilah semacam Sin-houw Ho-kang (Auman Harimau Sakti). Getaran suara ini membuat banyak orang menjadi pening dan cepat menutupi telinga dengan tangan. Akan tatapi karena gerengan itu ditujukan kepada Seng Bu, tentu saja yang paling merasakan daya serangannya adalah orang muda ini. Akan tetapi, diapun sudah mempelajari Sin-houw Ho-kang ini dari Thian-tok,
Maka dengan pengerahan sinkang, dia mampu menahan diri dan menolak getaran yang mengguncang jantung memekakkan telinga itu. Tubuh Koan Jit sudah berkelebat lenyap dan tahu-tahu tubuh itu sudah meloncat tinggi ke atas seperti seekor burung garuda dan menyambar turun menyerang ke arah Seng Bu dengan kedua tangan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Seng Bu. Akan tetapi Seng Bu sudah siap siaga dengan kuda-kudanya tadi. Dengan gerakan kaki melangkah, ke belakang lalu memutar tubuh, dia mampu menghindarkan diri dan serangan kilat itu. Selagi tubuh lawan turun ke atas tanah, dia sudah membalas dengan serangan Hut-ciang-liap-bhok (Tangan Api Mengejar Kayu). Kedua tangannya itu dengan beruntun menghantam dengan telapak tangan terbuka, bertubi-tubi, dan kedua telapak tangannya itu keluar hawa panas yang dahsyat!
"Hemmm"!" Koan Jit meloncat ke samping untuk menghindar sambil menangkis dari samping. Seruannya itu terdengar seperti orang mencemoohkan, akan tetapi sebenarnya seruan itu adalah seruan kaget. Tak disangkanya ilmu baru dari sutenya itu sedemikian lihainya.
"Dukk-dukk!" Dua lengan bertemu dua kali dan akibatnya, tubuh Seng Bu terdororig ke belakang akan tetapi kedudukan kaki Koan Jit juga tergoyah yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Hal ini saja menunjukkan bahwa tenaga Seng Bu hanya kalah sedikit dibandingkan toa-suhengnya itu.
Koan Jit menjadi marah dan dengan seruan-seruan nyaring dia menyerang terus, menggunakan berbagai ilmu yang tidak dipelajarinya dari Thian-tok agar membingungkan sutenya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sutenya itu bukanlah Seng Bu beberapa waktu yang lalu! Selama ini, Seng Bu banyak bergaul dengan pendekar-pendekar patriot, dan dia saling bertukar pandangan tentang ilmu silat dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini menambah matang kepandaiannya, dan diapun banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari para pendekar. Maka, serangan bertubi-tubi dari Koan Jit itu bukan hanya dapat dielakkan atau ditangkis, bahkan dapat pula dia membalas serangan serangan itu dengan tak kalah hebatnya. Perkelahian itu berlangsung sampai lima puluh jurus lebih dan amat menegangkan, mengaburkan pandang mata mereka yang kurang ahli saking cepatnya gerakan mereka.
Sheila sendiri memandang dengan muka pucat dan mata hampir tak pernah berkedip walaupun ia juga merasa pening dan kabur saking cepatnya dua orang itu bergerak. Ia malah tidak dapat lagi membedakan mana suaminya dan mana lawan, kecuali kalau nampak bayangan hitam yang tentu saja bayangan Koan Jit yang mengenakan jubah hitam. Ia sama sekali tidak tahu apakah suaminya itu mendesak atau terdesak. Juga orang-orang lain memandang penuh ketegangan hati dan diam-diam banyak yang merasa kagum, baik terhadap Koan Jit maupun terhadap Seng Bu. Yang merasa penasaran adalah Kapten Charles Elliot. Kalau saja orang sepandai Seng Bu itu, yang agaknya memiliki kepandaian yang seimbang dengan Koan Jit, dapat pula menjadi pembantunya, tentu kedudukannya akan lebih kuat lagi.
"Haiiiitttt!"
Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan amat dahsyatnya, mengeluarkan jurus yang amat ampuh dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, yaitu jurus Hui-cuipok-cim (Api Air Sambar Logam). Kedua kaki dan tangannya menyambarnyambar dengan amat ganasnya sehingga Koan Jit terkejut bukan main. Biarpun dia sudah
berusaha untuk menghindar dengan jalan mengelak dan menangkis, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuat tubuhnya terjengkang. Koan Jit menggunakan ginkangnya untuk melempar tubuh ke belakang janpok-sai (jungkir balik) sampai tiga kali, baru dia dapat berdiri tegak, akan tetapi pahanya terasa nyeri bukan main. Dia menjadi malu, marah dan penasaran. Mukanya yang hitam itu berubah kebiruan dan matanya yang seperti mata kucing itu mencorong.
"Jahanam busuk" sekarang kubunuh kau !" bentaknya sambil menubruk ke depan dengan pukulan-pukulan yang amat ampuh, mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya. Seng Bu mengenal pukulan ampuh, maka diapun menggunakan jurus Hongcul-toan-bun (Angin Air Menjaga Pintu), sebuah jurus pertahanan yang amat ampuh. Dan benar saja, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis dari samping, sehingga kembali serangan lawan gagal. Koan Jit masih merasa nyeri pada pahanya, maka kembali dia menyerang dengan kedua kakinya yang mengirim tendangan berantai dan kanan kiri. Seng Bu maklum bahwa tendangannya tadi berhasil melukai paha kiri lawan, maka kini melihat betapa lawan dengan nekat menggunakan kedua kaki menendangnya,
Juga menggunakan kaki kiri, maka cepat dia menggerakkan tangan kanan untuk menghantam ke arah paha kiri lawan yang sudah luka itu. Hampir saja usahanya berhasil, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ledakan nyaring dan Seng Bu roboh tersungkur! Sebutir peluru menembus dadanya! Kiranya, dalam keadaan terdesak tadi, Koan Jit yang luka karena kurang hati-hati dan tadi memandang rendah lawan, menggunakan kecurangannya. Diam- diam, di luar tahu Kapten Elliot, dia telah menyembunyikan sebuah pistol kecil di balik jubahnya, dan ketika dia mengirim serangan tendangan bertubi-tubi tadi, dia hanya memancing perhatian Seng Bu saja, dan tiba-tiba dia sudah mencabut pistol dan menembak dari jarak dekat sekali sehingga Seng Bu yang tidak menyangka sama sekali itu menjadi korban tembakan dan roboh!
"Seng Bu!!!" Sheila lari menghampiri suaminya. Melihat suaminya terlentang dengan dada berlumuran darah, ia menubruk sambil menangis, menguncang-guncang tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya.
"Seng Bu, ahhh" Seng Bu, suamiku"" Seng Bu membuka matanya. Dadanya terasa nyeri bukan main, dan tahulah dia bahwa tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkannya.
"Sheila isteriku!" Dia berbisik dan mengangkat tangannya yang menggigil, mengusap wajah istetinya penuh kasih sayang.
"Seng Bu, ahh" jangan mati, Seng Bu. Jangan tinggalkan isterimu"" Sheila meratap. Seng Bu tersenyum ketika Sheila menciuminya dan tidak memperdulikan darah yang menempel di bibirnya. Tembakan itu membuat mulutnya berdarah, dan ketika Sheila menciumnya, darah menodai mulut Sheila tanpa dirasakan oleh isterinya itu.
"Sheila, tenanglah" beginikah sikap isteri pejuang, isteri pendekar?" Sheila teringat dan seketika ia menahan tanyanya. Hanya air matanya bercucuran, akan tetapi ia tidak menangis lagi, tidak mengeluh lagi. Teringat ia betapa banyak isteri yang ditinggal mati suaminya, dan isteri-isteri itu sama sekali tidak menangis, menerima nasib itu dengan tabah, bahkan bangga bahwa suami mereka gugur sebagai patriot sejati.
"Nah, begitu" jangan... jangan antar kematianku dengan air mata, Sheila. Antarlah dengan senyummu" aku ingin melihat senyummu, ingin membawa bayangan senyummu ke sana""
"Seng Bu!" Sheila menubruk dan menciumi untuk menyembunyikan air matanya.
"Sheila, senyumlah" senyumlah"" Bisikan itu makin melemah. Sheila mengangkat mukanya dan iapun tersenyum. Senyum yang dapat menghancurkan hati siapa saja yang menyaksikannya. Senyum dengan air mata bercucuran, akan tetapi ia tersenyum, ia memaksa mulutnya untuk tersenyum, senyum manis dengan bibir masih ternoda darah.
"Terima kasih" kau manis sekali" titip" titip anak kita"" dan kepala Seng Bu terkulai di atas pangkuan isterinya.
"Seng Bu"!" Dan tubuh Sheila juga terguling di atas tubuh suaminya karena ia telah roboh pingsan!Peristiwa itu menggegerkan dan juga membuat hati Kapten Charles Elliot menjadi bingung. Dia menegur Koan Jit yang mempergunakan pistolnya, akan tetapi tidak memarahinya. Bagaimanapun juga, dia girang bahwa Seng Bu tewas. Pertama, karena memang dia lebih sayang dan percaya kepada Koan Jit. Kedua, dengan kematian Seng Bu, maka Sheila tentu akan kembali kepada bangsanya. Akan tetapi ternyata kapten ini kecelik! Sheila memperlihatkan sikap keras. Kematian suaminya membuat ia semakin tidak suka kepada bangsanya sendiri.
"Aku minta agar jenazah suamiku boleh kubawa ke pedalaman untuk kumakamkan. Juga makam Ayah ibuku akan kumakamkan sendiri. Siapa di antara saudara di sana itu yang suka membantuku mengangkut jenazah suamiku?" tanyanya kepada para kuli pelabuhan. Dan banyak kuli pelabuhan yang suka menbantu. Dan pada hari itu juga, Sheila meninggalkan Kanton, menunggang kuda membawa jenazah suaminya, diantar oleh beberapa orang kuli pelabuhan. Tentu saja kedatangannya disambut dengan bela sungkawa dan duka oleh para kawan seperjuangan. Jenazah Seng Bu lalu diurus sebaiknya dan dimakamkan dengan penuh penghormatan sebagai seorang pahlawan.
Sheila lalu mengurus pemindahan makam Ayah ibunya, dimakamkan dekat dengan makam suaminya, iapun hidup di antara pejuang, menanti kelahiran bayinya. Hidup ini memang merupakan permainan antara susah dan senang. Agaknya memang sudah semestinya demikian, ada susah tentu ada senang, seperti alunan ombak samudera, tidak hanya ke kiri atau ke kanan saja. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada senang ada susah. Tidak ada apa-apa lagi yang perlu dihentikan. Akan tetapi, kalau kita merenungkan, kita yang diberkahi dengan akal budi ini, yang dapat mengamati semua itu, apakah memang dilahirkan untuk menjadi permainan antara susah dan senang ini? Apakah kita ini dilahirkan untuk menderita susah, menikmati senang hanya sedikit saja, banyak susahnya. kemudian tua, susah lagi karena lemah, dan mati, begitu saja?
Siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan hidup, sesungguhnya tidak ada yang disebut susah atau senang itu, karena susah atau senang itu hanyalah permainan pikiran kita sendiri belaka. Kalau siang dan malam ada, terang dan gelap memang ada. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau terang tiba, terlalu terang dan terlalu panas, ada akal budi kita yang mendatangkan kecerdasan, membuat kita berteduh dan akal budi telah bekerja sedemikan baiknya sehingga kita mampu membuat es, membuat kipas angin untuk mengatasi panas. Kalau malam tiba, akal budi kita bekerja lagi sehingga muncullah penerangan listrik dan sebagainya. Kalau dingin tiba, kita mempergunakan akal budi kita sehingga kini ada heater, ada tungku dan segala alat pemanas lain seperti pakaian tebal dan sebagainya.
🖐
Kalau hujan lebat turun dan banjir terjadi, kembali akal budi kita membentuk kecerdasan, membuat kita mencari jalan untuk mengatasi semua itu, dan di sini sama sekali tidak ada senang atau susah! Jadi apakah senang atau susah sesungguhnya? Senang itu jelas. Badan kita terasa enak, pikiran dan hati kita terasa lega dan puas, dan timbullah keinginan untuk mengulangi semua pengalaman enak ini yang dinamakan kesenangan. Jadi, pikiran atau ingatan yang mencatat dan menampung pengalaman ini untuk diusahakan pengulangannya. Dan susah itu apa? Kebalikannya saja. Kalau badan kita terasa tidak enak, kalau perasaan dan hati kita merasa kecewa, iba diri dan sebagainya. Jelaslah, senang dan susah itu hanya permainan batin yang selalu ingin mengulang kesenangan dan menyingkirkan kesusahan, mengejar-ngejar yang enak dan melarikan diri dan yang tidak enak!
Bagaimana kalau kita menghadapi segala hal yang terjadi itu tanpa mengikutkan pikiran yang menciptakan si "Aku" yang menimbang-nimbang, menghitung-hitung untung ruginya? Kalau pikiran kita tidak menilai, maka yang bekerja hanyalah kecerdasan akal budi! Tidak ada lagi keluhan, tidak ada lagi mabok kesenangan. Dan kesemuanyapun terjadi dengan wajar. Dan hanya batin yang dapat menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian inilah, yang tidak lagi sarat oleh beban untung rugi, batin demikian akan dapat mengenal apa artinya hidup yang sesungguhnya, apa artinya bahagia, apa artinya cinta kasih. Hanya batin yang tidak dibebani oleh keluhan pikiran yang menilai, yang mengeluh, maka batin seperti itu yang akan sungguh-sungguh aktif,
Penuh perhatian, tidak putus harapan, tidak mencari-cari, tidak mengejar, akan tetapi tidak mandeg, melainkan hidup sepenuhnya dari detik ke detik, dari saat ke saat. Awan yang berarak di angkasa itu nampaknya saja mandeg dan mati, akan tetapi sesungguhnya setiap detik bergerak, berubah, mengikuti keadaan pada saatnya, tanpa menentang, akan tetapi juga tidak mengekor saja. Berita tentang kematian Gan Seng Bu terdengar luas di dunia kang-ouw. Juga Ong Siu Coan mendengar tentang kematian sutenya. Dia sendiri tidak mencinta sutenya itu, maka tentu saja kematian sutenya itu tidak mendatangkan rasa kesal dalam hatinya, bahkan ada rasa puas karena tadinya dia mengiri terhadap sutenya yang dapat memperisteri Sheila. Demikian kejinya kebencian kalau sudah bersemi dalam hati seorang manusia.
Kebencian membuat orang akan merasa senang dan puas kalau melihat orang yang dibencinya itu celaka! Kebencian ini menghapuskan rasa perikemanusiaan dan dari hati sanubari manusia. Karena itu, bagi seorang bijaksana, dibenci oleh seluruh manusia bukanlah menjadi persoalannya, akan tetapi kalau dia membenci satu orang saja, maka itu merupakan suatu masalah besar yang harus ditanggulangi dan diatasinya. Akan tetapi yang membuat hati Ong Siu Coan tidak senang adalah ketika mendengar bahwa yang membunuh Gan Seng Bu itu adalah Koan jit, toasuhengnya! Inilah yang menyakitkan hati. Dan diapun mendengar pula tentang Koan Jit yang kini sudah memperoleh kedudukan terhormat di dalam pasukan marinir Inggeris, bahkan menjadi komandan dari pasukan yang bernama Harimau Terbang.
"Aku tidak boleh kalah oleh Koan Jit," pikirnya.
"Dan aku harus dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya. Aku takkan puas sebelum berhasil merampas Giok-liong-kiam itu, dan kalau mungkin membunuh jahanam itu." Demikian pikiran Ong Siu Coan.
Orang ini memang cerdik sekali. Tidak hanya mengandalkan kepandaian silat seperti mendiang Gan Seng Bu, dia memang berani dan gagah, akan tetapi lebih banyak mempergunakan kecerdikannya, tidak asal berani saja. Setelah memperhitungkannya dengan cermat, pada suatu hari Ong Siu Coan berjalan-jalan ke pelabuhan Swa-touw, dimana juga menjadi persinggahan kapal-kapal perang Bangsa Inggeris. Sudah berhari-hari dia menyelidiki tempat ini dan melihat betapa Admiral Elliot, orang yang paling berkuasa di seluruh armada Inggeris, suka datang mendarat dan memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah benteng di tepi laut. Agaknya tempat itu akan dijadikan benteng oleh marinir kulit putih.
Dan diapun melihat betapa di waktu mengaso, para perajurit marinir itu suka berlatih olah raga, ada yang bertinju, ada yang berlatih memainkan bayonet. Pada siang hari itu, Admiral Elliot sendiri nonton pertandingan adu tinju, dan adu ketangkasan bayonet yang dalam latihan itu diganti dengan kayu biasa. Dari jauh, Ong Siu Coan menonton sambil memperhitungkan apa akan yang dilakukan, hal yang sudah berhari-hari direncanakannya. Ternyata hari itu, yang terpilih sebagai jagoan, baik jago tinju maupun jagoan mempergunakan bayonet, ada enam orang perajurit yang tubuhnya tinggi besar dan atletis. Mereka itu berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun, dan memang mereka ini merupakan jagoan-jagoan dari kesatuan yang baru saja tiba beberapa pekan lamanya di daerah itu.
"Siapa lagi yang berani maju melawan seorang di antara jagoan ini?" kata seorang juru bicara. Selama ini, Ong Siu Coan yang cerdik sudah banyak mempelajari Bahasa Inggeris sehingga dia mengerti apa yang dikatakan itu, bahkan diapun dapat bicara daam Bahasa Inggeris walaupun tidak begitu fasihnya namun cukup untuk dapat dipakai modal berkomunikasi.
"Boleh aku maju untuk mencoba-coba?" Tiba-tiba dia melangkah maju ke dalam arena pertandingan itu dan sengaja dia muncul berhadapan dengan Admiral Elliot, sehingga tentu saja mudah nampak oleh pembesar itu. Semua mata menatap ke arahnya, dan sinar mata admiral itu membayangkan keheranan akan tetapi juga ingin tahu sekali. Seorang opsir marinir yang melihat bahwa pemuda itu bukan anggauta di situ, bukan pula pegawai atau kuli pelabuhan, sudah menjadi marah dan dengan muka merah dia mendekati Siu Coan, langsung saja menjotos dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka pemuda itu sambil membentak.
"Orang gila, pergilah dari sini!" Sebagai seorang luar Bangsa Cina yang berani memasuki gelanggang itu untuk menantang dan mengikuti pertandingan, tentu saja dianggap perbuatan orang yang sudah miring otaknya. Pukulan opsir itu keras bukan main, karena dia seorang ahli tinju yang cukup jagoan. Akan tetapi, betapapun cepat dan keras datangnya pukulan itu, bagi Siu Coan tentu saja nampak lamban sekali dan dengan amat mudah dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang dan ke kiri. Melihat betapa pukulannya dapat dielakkan dengan demikian mudahnya oleh orang itu, si Opsir menjadi semakin penasaran.
"Eh, kau berani melawan, ya? Nah, makanlah ini!" Dan kembali dia memukul, sekali ini pukulan swing, yaitu ayunan dari samping, bukan pukulan straight (langsung) dari depan seperti tadi, dan yang dituju memang mulut Siu Coan, bukan rahang seperti yang biasa dia lakukan dalam permainan tinju. Agaknya saking marahnya, opsir itu dengan pukulan swingnya yang keras ingin membikin rontok semua gigi dalam mulut Sui Coan.
"Wuuuuuttt!" Angin pukulan itu lewat di depan muka Siu Coan yang kembali sudah berhasil mengelak tanpa menggeser kakinya, hanya dengan ayunan tubuhnya sampai jauh ke belakang.
"Eh, kau benar-benar menantang, ya?" Opsir itu tentu saja kini menjadi marah bukan main. Dua kali dia menyerang, menyerang dengan sungguh-sungguh dan orang ini seenaknya saja mengelak bahkan menangkispun tidak, seolah-olah pukulan-pukulannya tadi hanya permainan anak-anak belaka. Dan semua ini disaksikan oleh banyak perajurit, dan ceakanya, disaksikan pula oleh Admiral Elliot.
Padahal, di antara enam jagoan itu, yang kini memilih juara untuk kenaikan pangkat, belum tentu ada yang akan mampu menandinginya dalam adu tinju. Dengan kemarahan meluap-luap, dia mendesak, kakinya melangkah ke depan dan dia sudah mengirim pukulan upper-cut, yaitu pukulan dari bawah mengarah ke dagu lawan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat lawan pingsan. Pukulan ini datangnya tiba-tiba dan juga cepat bukan main, agaknya akan sukar untuk dieakkan, kecuali kalau ditangkis. Akan tetapi, betapapun cepat dan dekatnya serangan itu datang, kembali Siu Coan berhasil mengelak, sekali ini terpaksa melangkahkan kaki depan ke belakang dan upper-cut itu hanya melayang lewat di depan hidungnya saja. Siu Coan terus mundur lagi dua langkah dan berkata, dengan suara satu satu.
JILID 25
"Tuan, dalam peraturan kami para pendekar, mengalah berarti membiarkan lawan menyerang sampai tiga kali. Tuan sudah memukulku sampai tiga kali, harap berhenti, kalau tidak, terpaksa aku akan membela diri dan akan membalas serangan yang keempat." Admiral Elliot yang melihat ini, menjadi tertarik sekali.
Sebagai seorang admiral, pangkat yang amat tinggi karena dialah yang memimpin seluruh armada yang beroperasi di negeri Cina, tentu saja dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak buahnya, walaupun terbatas sebagian besar pada teorinya saja. Dari gerakan-gerakan Sui Coan ketika mengelak tadi, dia dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata "berisi." Maka dia merasa tertarik sekali dan ingin menyaksikan apakah benar dalam serangan keempat, pemuda yang bagi seorang Cina cukup jangkung itu akan mampu membalas opsirnya, seorang yang dia tahu cukup tangguh. Opsir itu adalah Sersan Bullbone, seorang yang bertubuh kokoh bagaikan banteng. Mendengar ucapan Siu Coan itu, sersan tadi malah menjadi semakin berang. Ucapan itu tidak dianggap sebagai orang yang mengalah, melainkan sebagai tantangan.
"Apa? Engkau mau membalas? Boleh, boleh sekali! Memang dalam perkelahian, orang boleh saja membalas."
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang petinju yang juga mengutamakan sportivitas, bahkan dia pikir kalau pemuda itu balas menyerang, dia akan berhasil mencari lowongan untuk memasukkan serangannya. Setelah berkata demikian, karena tadi Siu Coan mundur, Sersan Bullbone lalu mendesak maju tiga langkah dan kini kedua tangannya yang dikepal sudah melakukan serangan bertubi-tubi, dari kanan kiri, cepat sekali seperti kitiran angin. Akan tetapi sebagai seorang petinju, sasaran pukulan-pukulannya hanyalah dari pinggang ke atas, dan hal ini nampak jelas oleh Sui Coan. Tiba-tiba Siu Coan merendahkan tubuhnya berjongkok, kakinya menyapu kaki lawannya. Sersan Bullbone terpelanting karena kakinya diserampang oleh kaki Siu Coan yang terlatih keras seperti batangan besi itu.
"Curang! Curang!" Terdengar teriakan di sana- sini. Siu Coan tidak mengerti arti kata Bahasa Inggeris itu dan diapun sudah mundur lagi dan memandang musuhnya yang kini merangkak bangun.
"Itu tidak boleh kau lakukan!" kata Admiral Elliot yang kini merasa tertarik sekali, mendahului anak buahnya yang agaknya hendak mengeroyok. Melihat sang admiral sendiri turun tangan mencampuri, semua orang diam tidak berani bergerak.
"Maaf, Tuan besar," kata Siu Coan kepada admiral itu.
"Mengapa tidak boleh? Tadi sudah kukatakan bahwa kalau dia menyerang lagi untuk keempat kalinya, aku terpaksa akan membalas."
"Benar, akan tetapi engkau menyerang bagian kaki. Menurut ilmu tinju kami, serangan hanya boleh dilakukan dari pinggang ke atas, itupun bagian depan, tidak boleh bagian belakang, dan harus dilakukan dengan pukulan tangan, tidak boleh dengan anggauta tubuh yang lain." Mendengar penjelasan ini, Siu Coan mengangguk mendengar tentang peraturan tinju di antara orang kulit putih. Bahkan dia pernah menyaksikan pertandingan tinju seperti itu yang dianggap amat aneh dan lucu. Orang bertanding dan berkeiahi kenapa mesti pakai aturan dan larangan segala macam? Bukankah berkelahi itu mencari kemenangan dengan cara apapun juga? Lihat saja kalau harimau berkelahi, ayam berkelahi, tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.
Dia berpikir sejenak. Memang tidak mudah kalau ilmu silatnya dibatasi dalam perkelahian seperti itu. Bayangkan saja. Semua bagian tubuh lain, tendangan kaki yang mematikan, lutut, siku, bahkan kepala kalau perlu, semua itu untuk dipergunakan menyerang. Dan lebih lucu lagi, yang diserang hanya pinggang ke atas, sedangkan bagian-bagian lain yang mematikan tidak boleh disentuh! Dan tangan harus dikepal pula. Padahal, untuk mencapai bagian-bagian yang sempit seperti tenggorokan, mata dan untuk menotok jalan darah atau mematahkan tulang iga, semua itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan. Kalau jari-jari dikepal, tentu hanya dapat dipakai untuk menjotos saja. Bahkan pinggiran tangan yang dapat dipakai membabat seperti golok atau pedang tak dapat dipergunakan lagi.
"Bagaimana? Beranikah engkau melawan aku dengan peraturan tinju seperti itu?" Kini Sersan Bullbone menantang, akan tetapi sikapnya tidak segalak tadi. Pertama, karena dia dapat pula menduga bahwa tentu pemuda ini pandai silat seperti opsir Koan Jit, dan juga di situ disaksikan oleh Admiral Elliot, maka dia tidak boleh bersikap sewenang-wenang. Siu Coan tersenyum.
"Tuan, sebetulnya tadi saya tertarik menyaksikan pertandingan itu dan ingin memasuki karena tadi ada tantangan dari enam orang itu. Aku tidak ingin berkelahi, melainkan bertanding untuk mengadu ilmu bela diri. Akan tetapi kalau Tuan mendesak dan mau coba-coba, boleh saja. Hanya, aku tidak suka kalau tanganku dibungkus, karena dengan demikian, aku merasa seperti tidak mempunyai tangan saja." Semua orang tersenyum mendengar ini dan Sersan Bullbone tertawa.
"Aha, kalau tanganku ini dibiarkan terbuka tanpa dilindungi sarung tangan, pukulanku bisa mematahkan tulang rahangmu, mungkin kepalamu."
"Bagi kami, kalah atau menang, mati atau hidup merupakan akibat pertandingan yang tak patut disesalkan lagi."
"Baik, majulah. Akan tetapi ingat, hanya menggunakan kepalan tangan untuk menghantam dari pingging ke atas, dari depan. Tahu?"
"Baik, aku mengerti," jawab Siu Coan. Kini keduanya sudah berhadapan dan opsir itu sudah membuat gerakan mengelilingi Siu Coan dengan lagak seorang petinju jagoan.
Tubuhnya agak membongkok, kedua lengannya dipasang, yang kiri di depan dagu, yang kanan di dekat rusuk, keduanya dikepal, kedua kakinya membuat gerakan seperti menari-nari dan dia mengelilingi Siu Coan. Siu Coan berdiri tanpa bergerak, hanya matanya yang mengikuti gerak-gerik lawan. Kalau lawan mengitarinya di belakangnya, dia diam saja. Bukankah tidak boleh memukul dari belakang, pikirnya. Tiba-tiba dari samping, opsir itu melancarkan pukulan straight ke arah dagu kanan Siu Coan. Pemuda tidak mau memperpanjang pertandingan itu, maka begitu pukulan melayang datang ke arah dagunya, diam-diam dia mengerahkan sinkangnya untuk melindungi dagu itu. Tepat pada saat pukulan yang keras itu menghantam dagunya, dia membarengi dengan jotosan lunak saja ke arah pangkal leher lawan.
"Dukkk" desss"" Akibatnya, tubuh yang kokoh itu terpelanting dan roboh tak mampu bangkit kembali karena pingsan! Knocked-out dalam satu pukulan saja! Tentu saja semua orang terbelalak menyaksikan itu. Mereka tadi melihat dengan jelas betapa pukulan Sersan Bullbone tepat mengenai dagu Siu Coan, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasakannya,
Karena dagunya terlindung tenaga sakti, sedangkan pukulannya yang hanya dilakukan dengan tenaga terkendali itu cukup membuat sang sersan roboh pingsan! Sersan itu sendiri kalau tidak keburu pingsan, tentu akan bengong terlongong. Ketika pukulannya yang keras tadi mengenai dagu lawan, dia merasa seperti memukul benda lunak, seperti memukul sebuah balon yang terisi angin saja! Dan pukulan lawan ke arah pangkal lehernya seperti ada geledek menyambarnya! Terdengar tepuk tangan dan yang bertepuk tangan adalah Admiral Elliot. Melihat ini, banyak perajurit bertepuk tangan memuji. Dan sang Admiral lalu menggapaikan tangannya memanggil Sui Coan. Memang ini yang dikehendaki pemuda itu, maka diapun lalu menghampiri dan berkata halus.
"Harap maafkan, Tuan besar. Aku tidak sengaja membikin celaka Tuan itu." Dia menunjuk ke arah tubuh Bullbone yang mulai bergerak dan bangkit dibantu teman-temannya. Admiral Elliot memandang pemuda yang tinggi itu dengan sinar mata penuh selidik. Sebagai seorang Admiral, tentu saja Elliot bukan orang bodoh. Dia sedang menaksir-naksir dan melakukan penyelidikan dengan pandang matanya terhadap pemuda ini? Musuhkah? Mata-mata musuhkah? Atau seorang penjahat yang melarikan diri dari pemerintah Ceng, seperti juga Koan? Ataukah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan hanya ingin bertualang? Ataukah seorang yang haus akan kedudukan dan kemuliaan seperti Koan Jit? Dengan bahasa daerah yang dikuasainya dengan baik, Admiral Elliot lalu tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan kepada Siu Coan.
"Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?" Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini, pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata.
"Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?" Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini, pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata.
"Maafkan saya, Tuan. Saya sama sekali tidak bermaksud memamerkan kepandaian, melainkan karena sejak kecil saya memang suka akan olah raga bela diri. Melihat betapa saudara-saudara yang gagah di sini memperlihatkan ilmu itu dan mengadu kepandaian, lalu mendengar tantangan tadi, timbul kegembiraan hati saya untuk mencoba-coba. Hanya bermaksud untuk bersahabat melalui adu ilmu silat, bukan untuk bermusuhan, Tuan. Di kalangan bangsa kami terdapat peribahasa bahwa tidak akan menjadi sahabat baik sebelum saling mengadu ilmu masing-masing."
Admiral itu tersenyum. Sebagai seorang pembesar tinggi yang bertugas di negeri Gina, tentu saja di banyak mempelajari tentang keadaan di negara itu, tentang para pejuang, para pendekar dan para sasterawannya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini memang hanya seorang pendekar yang suka akan petualangan saja, akan tetapi masih "bersih" dari pada pengaruh politik yang membuat orang menjadi pro sana anti sini.
"Baiklah kalau begitu, apakah engkau yakin dapat mengalahkan seorang di antara enam orang jagoan kami itu?" Dia menunjuk ke arah enam orang yang masih berkumpul di situ, yang tadi juga menonton pertandingan antara sersan Bullbone dan Siu Coan. Mereka merasa jerih juga kalau harus berhadapan dengan pemuda sederhana itu sendirian saja.
"Saya yakin, Tuan."
"Bagaimana kalau kau dikeroyok dua, masih yakinkah akan menang?"
"Kalau tidak dibatasi dengan peraturan tinju, melainkan perkelahian biasa boleh menggunakan cara bagaimana saja untuk memperoleh kemenangan, saya yakin akan mampu mengalahkan dua orang di antara mereka," jawab Siu Coan, bukan dengan nada sombong melainkan dengan sikap sederhana dan suara meyakinkan, sehingga menyenangkan hati admiral itu. Pemuda ini pasti memiliki kepandaian hebat, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kelihaian Koan Jit, maka berani menjawab seperti itu, dan sikapnya juga amat sopan dan sederhana, sama sekali berbeda dengan sikap Koan Jit yang kelihatan congkak dan mengandalkan kehebatan dirinya sendiri.
"Hemmm..." Admiral Elliot meraba dagunya yang halus, akan tetapi jenggot yang pagi tadi dicukur bersih sudah mulai memarut jari-jari tangannya.
"Bagaimana kalau dikeroyok tiga? Beranikah kau ?" Dia memakai pertanyaan dengan kata berani, bukan yakin menang lagi. Dia ingin menguji ketabahan hati pemuda ini, dan jawaban Sui Coan yang tetap sederhana itu mengejutkan hatinya.
"Saya berani, Tuan." Admiral itu memandang kepada Siu Coan penuh perhatian. Benarkah anak ini akan mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan itu? Dia sendiri dikeroyok dua saja akan berpikir-pikir dulu!
"Bagaimana kalau mereka berenam maju semua? Berani jugakah engkau?"
"Saya berani, Tuan," jawab Siu Coan tanpa ragu-ragu. Memang dia ingin memperlihatkan kelihaiannya agar dapat "terpakai", maka diapun tidak ragu-ragu untuk menantang.
"Bgus! Akan kubuktikan omonganmu. Akan tetapi, dalam perkelahian, kepalan tangan tidak mempunyai mata, kalau sampai engkau kena pukulan keras dan menderita sakit atau sampai mati sekalipun, jangan kau persalahkan aku, karena engkau sendiri yang menerima tantangan untuk dikeroyok enam orang sekaligus."
"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa dan tidak akan menyesal, Tuan." Admiral itu lalu memanggil enam orang itu dan menerangkan dalam bahasa Inggeris bahwa pemuda Cina ini berani menghadapi mereka dengan sekaligus dikeroyok enam orang. Enam orang itu terbelalak, saling pandang dan kemudian terkekeh-kekeh. Ketika semua prajurit yang tidak mengerti omongan antara admiral dan Siu Coan tadi mendengar bahwa pemuda itu berani dikeroyok enam orang jagoan yang dipilih itu, merekapun tertawa-tawa tidak percaya. Akan tetapi Sui Coan sudah siap untuk memperlihatkan kepandaiannya, maka dengan sikap tenang dia telah melangkah ke dalam tengah arena itu, lalu berdiri tegak dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara Inggeris yang patah-patah.
"Tuan-tuan berenam, silahkan maju mengeroyokku!" Enam orang itu kembali saling pandang dan tertawa-tawa, mereka semua ragu-ragu dan menganggap Siu Coan dan admiral itu hanya berkelakar saja, bagaimanapun juga mereka adalah juara-juara tinju, juara-juara bermain anggar, dan bermain bayonet. Bagaimana kini mereka berenam disuruh mengeroyok seorang pemuda Cina yang tubuhnya, dibandingkan mereka, amat kurus dan kecil itu? Sekali tonjok saja agaknya pemuda itu akan knocked-out dan tidak akan bangun lagi.
"Admiral... apakah ini sebuah perintah?" tanya seorang di antara mereka. Admiral Elliot yang sedang gembira dan di dalam hati menduga bahwa enam orang itu belum tentu akan menang, tersenyum dan berkata.
"Aku perintahkan kalian maju mengeroyok pemuda itu, kalahkan dia tetapi jangan bunuh dia kalau bisa."
"Baik, Admiral. Siap melaksanakan perintah!" jawab mereka berenam sambil memberi hormat. Sejak tadi mereka itu tidak berbaju yaitu ketika tadi mereka berlatih tinju dan gumul, dan mereka hanya memakai celana panjang dengan sabuk kulit putih dan sepatu boot yang tebal. Mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang penuh dengan otot-otot yang kekar dan kuat, dan muka yang bengis, pandang mata tajam penuh keberanian dan kecerdikan. Setelah memberi hormat, mereka lalu maju menghampiri Siu Coan yang masih berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. Semua prajurit yang berada di situ merasa gembira dan tegang. Mereka disuguhi pertunjukan yang luar biasa! Bahkan ada yang berteriak-teriak menantang teman bertaruh.
"Siapa berani bertaruh se puluh pond lawan lima puluh pond, aku berpegang kepada enam orang jagoan kita!" Biarpun taruhan itu satu lawan lima, tidak ada yang melayani.
"Dua puluh lima pond, dalam waktu kurang dari semenit, pemuda itu tentu roboh!" Ramailah orang bertaruh, akan tetapi bukan bertaruh atas kemenangan Siu Coan, hanya bertaruh berapa lama pemuda itu akan dapat bertahan dikeroyok enam orang itu.
Dan admiral itupun hanya tersenyum-senyum saja melihat kegembiraan anak buahnya, karena dia sendiri juga gembira dan senang. Enam orang itupun bukan orang-orang biasa saja. Mereka adalah jagoan-jagoan berkelahi dan setiap orang jagoan tentu tidak mau begitu bodoh memandang rendah lawan yang belum dikenalnya. Mereka kini berindap-indap mengurung Siu Coan yang masih tetap berdiri tegak saja, seolah-olah tidak tahu bahwa di belakangnya ada dua orang, di depannya dua orang dan di kanan kirinya masing-masing satu orang. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan belakangnya, dua orang yang berada di belakangnya melihat kesempatan amat baik itu lalu menubruk ke depan. Yang seorang menonjok ke arah pungung dan seorang lagi menjambak rambut.
Semua orang mengira bahwa sekali serangan itu sudah akan cukup untuk merobohkan Siu Coan. Akan tetapi seorang ahli silat selihai Siu Coan, murid dari Thian-tok seorang di antara Empat Racun Dunia, telah memiliki pendengaran yang terlatih dan amat tajam, juga perasaannya sedemikian pekanya seolah-olah dia memiliki mata di belakang kepalanya. Oleh karena itu, walaupun dia diserang dan belakang, dia dapat mengikuti setiap gerakan kedua orang penyerangnya. Dan begitu dia meloncat ke kiri, kedua serangan itupun luput karena gerakan Siu Coan sedemikian cepatnya sehingga bagi kedua orang penyerangnya, dia seolah-olah pandai menghilang saja. Melihat ini, dua orang yang berada di kanan kirinya juga cepat menyerang. Akan tetapi Siu Coan menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.
Pada saat yang bersamaan pula, dua orang yang berada di depannya sudah menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Sampai berkerontokan bunyi otot-ototnya di kedua lengannya ketika mereka mengirim jotosan-jotosan. Akan tetapi, dua kali kaki kanan Siu Coan bergerak dan ujung sepatunya sudah menotok ke arah lutut mereka, sehingga tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang itu jatuh berlutut, sedangkan dua orang yang ditangkis tadi kini mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang terasa nyeri dan kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum. Memang aneh sekali melihat betapa dua lengan yang besar berotot itu, begitu bertemu dengan tangkisan lengan Siu Coan yang kalau dibandingkan dengan mereka nampak kecil itu, lalu menjadi kesakitan seperti itu.
Dua orang yang tadi luput menubruk, membalikkan tubuh dan mengirim hantaman-hantaman, akan tetapi Siu Coan tidak mengelak, melainkan cepat dari samping menangkap pergelangan tangan mereka, menarik sambil meminjam tenaga, dan kedua orang itu telah saling bertumbukan beradu muka. Tentu saja mereka menjadi kesakitan dan menutupi hidung yang bocor keluar darah karena saling berciuman terlalu keras. Semua orang memandang dengan bengong, bahkan Admiral Elliot sejak tadi tidak pernah mengedipkan matanya, kini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Kalau dia tidak melihat dengan mata sendiri, tak mungkin dia dapat percaya bahwa seorang pemuda Cina yang demikian sederhana, dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan enam orang jagoannya yang ahli bermain tinju dan bertubuh kuat sekali.
Dia tidak ingat bahwa mereka roboh karena terpukul bagian anggauta tubuh yang lemah. Dua orang tertangkis lengannya dengan lengan yang mengandung sin-kang sehingga tulang lengan seolah-olah retak-retak rasanya. Dua orang lagi tertotok ujung sepatu tepat pada lututnya sehingga tentu saja membuat mereka jatuh berlutut, dan dua orang pula mukanya diadu sedemikian kerasnya sampai hidung mereka berdarah. Admiral Elliot menjadi kagum dan mulai timbul kepercayaannya bahwa pemuda ini benar seorang pendekar seperti Koan Jit. Dan sudah merasa iri bahwa Kapten Charles Elliot, saudara sepupunya, telah berhasil memperhamba seorang ahli silat selihai Koan Jit. Kini ada pemuda ini, kalau dia sampai dapat menarik pemuda ini menjadi pembantunya, maka dia tidak kalah oleh saudara sepupu yang masih menjadi orang bawahannya itu.
"Orang muda, siapakah engkau?" Pertanyaan ini mengandung banyak penyelidikan, bukan sekedar bertanya nama. Siu Coan juga maklum akan hal itu, maka diapun berterus terang kepada admiral itu. Setelah menghampiri dan memberi hormat, diapun berkata.
"Tuan besar, nama saya adalah Ong Siu Coan. Seorang pendekar perantau yang tidak mencampuri urusan pemberontakan. Tentu Tuan pernah mendengar nama Koan Jit, bukan?"
"Tentu! kau kenal dia?"
"Bukan hanya kenal. Dia adalah kakak seperguruan saya, Tuan."
"Ohhh...!" Wajah admiral itu menjadi girang bukan main. Dia mendapatkan adik seperguruan Koan Jit yang lihai itu, yang kini menjadi komandan pasukan Harimau Terbang yang amat terkenal dan banyak jasanya terhadap kumpeni,
"Jadi engkau adik seperguruannya? Dia menjadi pembantu Kapten Charles Elliot! Eh, Ong Siu Coan, bagaimana kalau engkau diadu dengan Koan Jit, siapa yang lebih unggul?" Siu Coan tersenyum. Pertanyaan seperti itu sudah diduganya, dan dia sudah pula mempersiapkan jawabannya.
"Ah, di antara saudara seperguruan tentu saja tidak akan bertanding, Tuan. Akan tetapi, apa yang pernah dipelajari oleh Koan Jit juga pernah saya pelajari. Di antara kami berdua, boleh dibilang sama kuat. Dia lebih tua dan lebih berpengalaman, akan tetapi saya lebih muda dan lebih kuat tenaga saya." Girang sekali hati Admiral Elliot, akan tetapi hatinya masih belum yakin benar. Koan Jit sudah memperlihatkan kelihaiannya, pernah merobohkan keroyokan puluhan orang kuli pelabuhan yang kuat-kuat, dan bahkan pernah pula diuji kemampuannya oleh Peter Dull sendiri, dihujani peluru pistol namun dapat menghindarkan diri.
"Song Siu Coan, setelah engkau menguji kepandaaianmu, lalu apa yang kau kehendaki dari kami?"
"Tuan besar, terus terang saja, saya masih menganggur tidak tahu harus bekerja apa. Saya hanya bisa ilmu berkelahi saja dan saya tidak suka menjadi tukang pukul, apalagi menjadi penjahat. Kalau sekiranya Tuan suka, saya ingin minta pekerjaan di sini."
"Oho, bagus... bagus..." Admiral Elliot kegirangan.
"Akan tetapi kami belum percaya benar kemampuanmu. Bagaimana kalau engkau menghadapi enam orang jagoan kami itu, akan tetapi mereka menggunakan bayonet. Sanggupkah engkau mengalahkan mereka?" Mendengar ucapan itu, Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada admiral itu. Pandang matanya demikian mencorong seperti hendak menembus jantung admiral itu sehingga Admiral Elliot terkejut dan tidak berani menentang pandang itu.
"Tuan besar, mengapa Tuan menyuruh orang-orang untuk membunuh atau berusaha membunuh aku dengan senapan? Bukankah menurut pelajaran agama Tuan dikatakan bahwa kita harus mencintai sesama hidup kita, bahkan ada pelajaran yang mengatakan agar mencintai musuh-musuh kita? Kenapa sekarang Tuan hendak membunuh saya yang tidak berdosa?" Admiral itu membelalakkan matanya.
"Haii! kau tahu apa tentang Agama Kristen?" Siu Coan membuat tanda salib dengan tangannya.
"Ya Tuhan...! kau ... kau ... seorang Kristen?" Siu Coan mengangguk. Admiral Elliot mengangguk angguk, hatinya merasa bertambah girang. Namun dia masih berhati-hati, tidak percaya begitu saja dan dia lalu mengajukan beberapa pertanyaan tentang sejarah dalam agama Kristen, tentang nabi-nabi Musa, Daud, dan yang lain. Semua dapat dijawab dengan lancar oleh Siu Coan.
"Bgus? Jangan khawatir, maksudku kau melayani serangan enam orang pembantuku ini yang akan menyerangmu dengan bayonet dengan senapan yang kosong. Mereka tidak akan menembakmu. Tahukah kau bahwa Koan Jit akan dapat mengalahkan mereka seperti itu?"
"Baiklah, Tuan. Aku percaya penuh kepada Tuan, karena menurut pengetahuanku, seorang Kristen tidak boleh membohong atau menipu. Nah, aku siap sudah." Dan diapun berdiri memasang kuda-kuda. Menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang tadi menyerangnya dengan tangan kosong, dan menghadapi mereka dengan senjata senapan berbayonet walaupun senapan itu tidak diisi peluru, sama sekali tidak boleh disamakan. Dia tadi sudah melihat ketika mereka berlatih menggunakan bayonet dan memang mereka itu sigap sekali, pandai menggunakan senjata itu.
Hanya diapun tahu bahwa senjata itu amat kaku, sebenarnya tidak praktis dipergunakan untuk berkelahi, tidak seperti pedang, golok atau tombak. Maka, diapun tidak memandang rendah dan kini dia memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kuat lemahnya pasangan kuda-kuda tidak tergantung dan indah tidaknya gaya kuda-kuda itu, akan tetapi untuk menimbulkan kesan, Siu Coan sengaja memasang kuda-kuda yang amat gagah gerakan dan gayanya. Dia berdiri dengan satu kaki kiri, kaki kanannya diangkat dan ditekuk seperti kalau seekor burung berdiri, tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepala dan tangan kanannya membentuk cengkeraman di depan pusat. Kuda-kuda seperti ini kalau dilihat oleh seorang ahli silat tinggi tentu akan menggelikan, karena kuda-kuda ini ringkih sekali walaupun perubahannya dapat dilakukan dengan cepat.
Kini enam orang yang tadi sudah kalah, mengambil senapan tanpa peluru dan sudah dipasangi bayonet yang amat tajam runcing berkilau tertimpa sinar matahari pagi. Semua orang yang nonton menjadi semakin tegang. Kini pemandangan itu bukan hanya mengadu kepala dan tendangan, melainkan menggunakan bayonet yang tajam. Sekali saja perut tergores bayonet itu, tentu akan tersayat dan ususnya akan terburai keluar. Leherpun akan dapat terbabat putus. Apalagi yang mempergunakan bayonet-bayonet itu adalah enam orang sekaligus, enam orang yang sudah ahli memainkan bayonet-bayonet itu. Siu Coan juga tidak berani main-main. Begitu enam orang itu mengurung dan seorang di antara mereka maju menusukkan bayonet ke arah perutnya, diapun sudah mengeluarkan kepandaiannya yang sesungguhnya.
Tubuhnya meloncat ke atas dan dia juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring sekali, itulah lengkingan Sin-houw Ho-kang, yaitu auman seperti suara harimau mengaum yang dapat membuat jantung lawan tergetar hebat dan membuat mereka kesima. Memang auman ini diambil dari auman singa atau harimau. Kalau binatang yang disebut raja hutan itu berburu mangsa, dengan aumannya yang menggetarkan jantung itu, dia dapat membuat calon korbannya, kijang atau binatang lain, seketika menjadi lumpuh tak mampu lari lagi saking kaget dan takutnya. Ilmu inilah yang ditiru oleh orang-orang lihai seperti juga ditiru oleh Thian-tok dan yang diturunkan kepada para muridnya. Begitu Siu Coan mengeluarkan pekik itu, enam orang itu menjadi panik dan pada saat itu,
Dengan jurus-jurus Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, Siu Coan sudah menyambar-nyambar turun dan dalam waktu singkat saja, dia telah mampu merampas semua senjata dari tangan enam orang pengeroyoknya itu. Enam orang itu tentu saja tidak mau senjatanya dirampas dan mereka mempertahankannya dengan mati-matian, bahkan masih melanjutkan dengan serangan tangan kosong kepada bayangan yang berkelebatan di antara mereka itu. Akan tetapi kini Siu Coan membagi-bagi tamparan tangan kiri dan tendangan-tendangan kakinya. Setiap kali menampar atau menendang, orang-orang itu tentu mengaduh dan terpelanting roboh. Kemudian Siu Coan melompat dan sekali tubuhnya melayang, dia sudah berada di dekat Admiral Elliot dan enam batang senapan berikut bayonetnya itu telah disandangnya di pundak kanan dengan rapinya! Semua orang melongo.
Belum pernah mereka melihat yang seperti itu. Dan Admiral Elliot tersenyum gembira sekali, lalu merangkul pundak Su Coan dan diajaknya pemuda itu memasuki benteng setelah senapan-senapan itu dikembalikan kepada enam orang yang masih belum tahu benar apa yang telah terjadi menimpa diri mereka. Mulai saat itu, Siu Coan memulai suatu kehidupan yang baru. Dia memperoleh kepercayaan, menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot dan juga bertugas melatih ilmu bela diri kepada para opsir dan juga sersan dan kopral. Tentu saja Siu Coan yang tidak ingin ilmu silat dikuasai orang-orang bule itu, hanya mengajarkan pukulan-pukulan biasa saja, dengan jurus-jurus yang hanya nampaknya saja hebat akan tetapi sebetulnya tidak ada artinya kalau dipergunakan untuk membela diri.
Akan tetapi dia bersungguh-sungguh menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot, karena dia tahu bahwa dengan dekat pembesar yang paling berkuasa di antara semua pembesar Inggeris itu, akan mudah baginya untuk memperoleh kedudukan. Dia bukan mencari kedudukan di dalam pasukan Inggeris, melainkan mencari jalan untuk menuju kepada cita-citanya yang amat tinggi, yaitu membentuk pasukan istimewa yang kelak akan menjadi balatentara besar dimana dia menjadi kaisarnya! Berkali-kali Admiral Elliot yang cerdik itu mencoba kesetiaannya, antara lain dengan menyuruh orang-orang rahasia untuk berusaha menyerang Admiral Elliot itu. Dan selalu Siu Coan yang turun tangan menyelamatkan admiral itu dan ancaman semua serangan buatan itu. Setelah menghambakan diri kepada admiral itu selama beberapa bulan, Siu Coan telah mendapatkan kepercayaan besar,
Bahkan memperoleh sebuah bangunan dalam benteng itu dan hidup mewah. Admiral itu juga bukan orang bodoh dan dia pandai sekali mempergunakan tenaga yang baik. Segala keperluan hidup Siu Coan dilengkapi, bahkan berlebihan, dan Siu Coan hidup dengan penuh kemewahan. Dia memelihara pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dalam jumlah belasan orang. Tentu saja bukan pelayan-pelayan biasa yang hanya mencuci pakaian, membersihkan rumah atau memasakkan makanan untuknya. Kalau perlu, juga melayaninya di dalam kamar menemaninya tidur! Hidupnya sudah seperti seorang raja kecil, akan tetapi tentu saja hal ini masih jauh dari pada memuaskan hati Siu Coan yang bercita-cita menjadi seorang kaisar yang sungguh-sungguh. Pekerjaannya tidaklah berat sekali.
Kalau admiral sedang berada di kantor, maka dia tidak perlu mengawal. Kantor itu sudah dikepung oleh pasukan besar jumlahnya yang amat kuat, Maka tidak perlu lagi dikawal. Hanya kalau admiral itu keluar benteng, selain dikawal oleh pasukan, Siu Coan juga harus selalu mendampinginya. Dan latihan yang diberikan kepada para opsir juga tidak setiap hari, cukup dia memberi satu dua jurus yang dia perintahkan agar mereka itu melatihnya sampai sempurna, dan cukup sepekan sekali dia menguji dan memeriksa mereka! Karena banyak menganggur ini, Sui Coan mendapatkan banyak kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Kristen, yang dipelajarinya dan para pendeta yang bertugas di dalam benteng itu. Pada suatu hari, Siu Coan dipanggil oleh Admiral Elliot. Setelah pemuda itu menghadap, pembesar itu berkata.
"Siu Coan, ada pekerjaan penting bagimu."
"Apakah paduka akan keluar benteng dan pergi ke kota lain. Admiral?"
"Tidak, sekali ini bukan bertugas mengawalku."
"Ehh? Lalu tugas apa, Admiral?"
"Menyelidiki kenapa di dusun Boan-ciu, yang sebagian besar penghuninya tadinya sudah tunduk dan mau masuk menjadi Kristen di bawah pimpinan Pendeta Allan, kini tiba- tiba saja memberontak."
"Memberontak? Apa yang telah mereka lakukan?" Siu Coan bertanya terkejut.
"Belum serius. Akan tetapi mereka itu membantah kalau diadakan ceramah, bahkan ada ancaman-ancaman dilontarkan terhadap Pendeta Allan. Aku khawatir sekali karena hanya dengan agama itulah maka bangsamu dapat diajak berunding dengan damai. kau pergilah ke dusun Boan-ciu dan coba selidiki, apa yang terjadi dan siapa biang keladinya. Kalau ada yang memang menjadi pengacaunya, tangkap atau bunuh saja." Hati Siu Coan merasa tidak enak, ini merupakan tugas yang lain lagi dan asing baginya. Dia harus berurusan dengan bangsanya sendiri yang memberontak. Mana mungkin? Justeru dia sendiri berjiwa pemberontak! Akan tetapi karena pemberontakan itu ditujukan kepada seorang pendeta Kristen, diapun cepat berangkat mencari pendeta itu dan minta penjelasan darinya mengapa ada orang orang di dusun Boan-ciu yang memberontak.
"Bpak Pendeta, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Boan-ciu? Saya menerima tugas dari Admiral untuk melakukan penyelidikan tentang hal itu." Pendeta yang usianya paling banyak lima puluh tahun itu menarik nafas panjang.
"Bru kurang lebih satu bulan ini, mulai terjadi perubahan itu. Tadinya, penduduk di sana amat patuh dan selalu dalam keadaan damai dan tenteram. Gereja pun selalu penuh dengan pengunjung dan banyak malah yang sudah menjadi Kristen secara sesungguhnya. Akan tetapi kurang lebih sebulan yang lalu, mulailah terjadi pembangkangan-pembangkangan."
"Dalam bentuk bagaimana?"
"Pertanyaan-pertanyaan aneh dan bantahan-bantahan, bahkan kecaman-kecaman pedas terhadap bangsa kulit putih. Dan agaknya memang ada penggeraknya dari belakang. Akan tetapi yang mengajukan kecaman itu bahkan orang-orang yang tadinya tekun sekali, sehingga sukar bagiku untuk menyelidiki siapa biang keladinya. Tentu ada orang-orang yang membujuk mereka dari belakang."
"Baiklah, sekarang katakan, siapa namanya orang-orang yang suka mengajukan protes dan kecaman-kecaman itu?"
"Bnyak, akan tetapi pemrotes-pemrotes yang paling keras adalah dua orang saja, yaitu Lie Kiat dan Tan Liok. Mereka itu bekerja sebagai tukang kayu di Boan-ciu."
"Baiklah, nanti pada hari Minggu, saya akan menghadiri ceramah Bapak dan akan saya buktikan sendiri bagaimana cara mereka itu." Pada hari Minggu pagi, seperti biasa di sebuah rumah besar yang dijadikan gereja oleh Pendeta Allan, sudah berkumpul tidak kurang dari lima puluh orang, laki-laki, perempuan, tua muda.
Mereka itu rata-rata mengenakan pakaian baru atau setidaknya pakaian bersih dan rambut mereka tersisir rapi. Siu Coan duduk di sudut paling belakang sehingga dia dapat mengamati semua pengunjung dengan cermat. Ketika Pendeta Allan memimpin sembahyang, semua masih terjadi seperti biasa dan normal. Semua orang ikut bersembahyang. Juga ketika pendeta itu memimpin nyanyian dengan suaranya yang lantang namun dengan logat yang kaku, semua orang ikut pula bernyanyi memuji nama Tuhan. Akan tetapi setelah pendeta itu mulai berceramah menerangkan ayat-ayat suci dan memberi penafsirannya dan memberi contoh-contohnya, mulailah para pengunjung itu nampak gelisah.
"Bertobat akan dosa-dosanya berarti harus mulai hidup baru, menjauhi dosa, harus penuh cinta kasih terhadap sesama manusia. Kasihilah sesamamu seperti kalian mengasihi dirimu sendiri! Demikianlah sabda dari Tuhan. Bahkan lebih dari itu, cintailah musuh-musuhmu! Apabila engkau ditampar pipi kirimu berikanlah pipi kananmu. Semua itu adalah pelajaran-pelajaran yang mengandung cinta kasih murni, dan siapa yang beriman dan melaksanakan segala perintah Tuhan, dialah yang berhak memperoleh tempat di sisi Tuhan, di kerajaan Sorga!"
"Bohong! Bohong besar!" Tiba-tiba terdengar suara orang, dan Siu-Coan yang sejak tadi menaruh perhatian dan mengamati, melihat bahwa yang mengucapkannya adalah seorang nenek, akan tetapi dia tahu bahwa tak jauh dari nenek itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang menggerak-gerakkan bibirnya. Dia terkejut. Gerakan bibir itu seperti orang yang menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jauh)! Agaknya orang itulah yang mengirim suaranya membisikkan kata-kata itu kepada si nenek yang hanya menirukan saja! Pendeta Allan memandang ke arah nenek itu dan wajahnya berubah. Wajah yang tadinya nampak lembut itu berubah keras dan alisnya berkerut.
"Saudaraku yang baik, kenapa kau berkata bohong? Apanya yang bohong besar?" Tiba-tiba terdengar jawaban, bukan dan nenek itu, melainkan dan seorang Kakek yang duduk di sudut, suaranya agak gemetar.
"Bohong kalau kita mencinta sesama seperti mencinta diri sendiri. Lebih bohong besar lagi kalau kita mencinta musuh-musuh kita!" Tentu saja keadaan menjadi ribut, ada yang pro ada yang kontra. Akan tetapi Siu Coan sudah melihat bahwa ada seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang berpakaian serba biru, mengajukan pertanyaan tadi. Bersamaan dengan itu, terlihat juga seorang laki-laki tiga puluh tahunan tadi, menggerakkan bibirnya dengan ilmu mengirim suara dari jauh yang sama, akan tetapi sekali ini agaknya suaranya dikirimkan kepada Kakek itu, sedangkan yang pertama mengirimkan suaranya kepada si nenek. Kini Pendeta Allan memandang Kakek dan nenek itu bergantian, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Ya Tuhan, semoga dosa kalian diampuni. Mengapa kalian berdua berani menyangkal kebenaran Alkitab? Dan siapakah kalian mendapatkan pikiran yang seperti itu?"
"Ini adalah suara bisikan hati saya sendiri," ratap si nenek hampir menangis.
"Saya mendengar bisikan itu jelas sekali di dalam telinga dan hati, tak dapat dibantah..."
"Hemm, itu bisikan setan!" kata Pendeta Allan.
"Dan bagaimana dengan engkau, Lao Ceng?" tanyanya kepada Kakek itu, Kakek yang biasanya patuh dalam agama. Kakek itu mengangguk dan menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab.
"Saya juga demikian, saya mendengar bisikan dalam hati saya, maka saya langsung mengeluarkan saja suara hati saya itu."
"Akan tetapi, nenek dan Kakek yang baik, apa alasan kalian mengatakan bahwa semua pelajaran itu bohong?" Pada saat itu, selagi Kakek dan nenek itu nampak kebingungan, Siu Coan sudah berjalan maju ke atas mimbar, mendekati pendeta itu dan diapun berkata sambil memandang kepada dua orang yang tadi bisikkan kata-kata itu kepada Kakek dan nenek.
"Orang yang mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh adalah orang-orang gagah. Akan tetapi perbuatan bersembunyi dan menyuruh orang-orang lain untuk bicara sedangkan diri sendiri bersembunyi, sama dengan melempar batu bersembunyi tangan, dan perbuatan itu adalah perbuatan yang rendah dan pengecut!" Orang yang memakai baju kuning dan berusia tiga puluh tahun segera bangkit berdiri dan berkata suaranya lantang.
"Sebaliknya, orang Cina yang membantu orang bule untuk merusak bangsa sendiri adalah seorang pengkhianat yang tak patut diampuni!" Siu Coan terkejut dan dia memandang tajam. Biarpun dia tidak teringat pernah bertemu dengan orang ini, namun dia dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang pejuang yang menyelundup ke dalam gereja dan membuat kacau. Dia tidak merasa mengkhianati bangsanya, maka ucapan itu tidak membuat mukanya menjadi merah. Dia masih tersenyum ramah dan menjura ke arah orang itu.
"Aih, kiranya di tempat ini ada seorang pendekar yang berilmu tinggi. Ketahuilah, saudara... bahwa di dalam gereja tidak ada permusuhan, tidak ada perbedaan bangsa atau kulit. Di depan Tuhan Allah, semua manusia sama saja, apapun warna kulitnya. Kalau saudara merasa tidak setuju dengan pelajaran Agama Kristen dan hendak memprotes, kenapa tidak dilakukan sendiri." Kini si baju biru yang bertubuh tinggi besar itu bangkit pula dan berkata lantang.
"Kami bukan anggauta gereja, karena itu terpaksa kami meminjam mulut anggauta gereja untuk menyatakan rasa penasaran hati kami." Kini Pendeta Allan yang sudah merasa girang karena Siu Coan dapat membongkar rahasia itu dan menemukan biang keladinya, lalu berseru dengan suaranya yang halus.
"Ya Tuhan, semoga diampuni dosa-dosa kalian! Saudaraku yang baik, sebetulnya mengapakah anda berdua menyangkal kebenaran ajaran dari Alkitab?" Kini si baju kuning yang menjawab.
"Kami tidak tahu menahu tentang isi Alkitab, akan tetapi mendengar ceramahmu, kami sama sekali merasa bahwa semua ceramahmu itu bohong belaka. Engkau mengajarkan tentang cinta kasih sesama manusia. Apakah engkau dan bangsamu itu mempunyai rasa cinta kasih terhadap sesama?
"Pelajaranmu menganjurkan cinta kasih, akan tetapi apa yang telah kalian lakukan di tanah air kami? Meracuni bangsa kami, memerangi bangsa kami, membunuh, menyiksa, menjajah dan menginjak-injak kebebasan bangsa kami. Kalian mengajarkan cinta kasih, akan tetapi melaksanakan permusuhan dan kebencian!
"Bukankah itu berarti bahwa semua ceramahmu itu bohong belaka? Dan pelajaran tentang mencinta musuh-musuhmu itu. Huh, pernahkah engkau mencinta bangsa kami yang kalian musuhi?" Ucapan orang ini demikian penuh semangat, terasa sampai ke dalam hati para pendengar di dalam gereja itu, sehingga kini pandang mata mereka terhadap pendeta itu seketika berubah. Diam-diam Siu Coan memuji orang ini yang pandai sekali melakukan penyerangan dengan kata-kata. Mendengar ucapan itu, sang pendeta merangkap kedua tangan di depan dada sambil memejamkan mata dan seperti orang berdoa, kemudian dia membuka mata dan berkata.
"Saudaraku yang baik. Memang manusia adalah makhluk yang lemah dan penuh dosa. Karena itulah maka diturunkan Yesus ke dunia untuk menebus dosa dan untuk mengajarkan kebaikan kepada umat manusia. Tidak hanya terbatas pada Bangsa Cina, juga Bangsa Inggeris, merupakan manusia-manusia penuh dosa yang harus bertobat." Kini orang berbaju biru segera berseru.
"Kalau begitu, apa perlunya kau mengajarkan kami tentang cinta kasih dan mencinta musuh? Kami orang-orang tertindas kau ajarkan untuk mencinta musuh, bukankah berarti engkau menyuruh kami diam saja dan mandah diperlakukan semena-mena dan menderita tekanan dan bangsamu?
"Daripada kau mengajarkan cinta kasih kepada kami, kenapa engkau tidak menyuruh bangsamu itu menghentikan kejahatan mereka, tidak mengedarkan racun madat kepada bangsa kami, dan meninggalkan tanah air kami dengan aman? Selama hidup, kami tidak pernah mengganggu bangsamu yang negaranyapun kami tidak tahu dimana. Adalah bangsa kalian yang datang dan mengganggu kami, akan tetapi engkau masih menyuruh kami mencinta mereka!" Siu Coan hampir tak dapat menahan ketawanya ketika melihat betapa pendeta itu nampak panik, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa kasihan pula, karena bagaimanapun juga, Siu Coan sudah tertarik akan Agama Kristen. Dia lalu maju, membela pendeta itu dan suaranya lantang sekali terdengar oleh semua orang.
"Ji-wi enghiong (dua saudara gagah), semua yang ji-wi katakan itu memang tidak keliru. Akan tetapi kukira tidak pada tempatnya. Harap ji-wi ketahui bahwa antara agama dan politik, antara agama dan perang, tidak boleh dicampur adukkan sama sekali.
"Agama Kristen tidak mencampuri politik, tidak mencampuri perang. Agama ini mengajarkan cinta kasih dan kebaikan kepada umat manusia, tak perduli berbangsa apa, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, tua atau muda. Yang menimbulkan perang, yang menjual madat, yang melakukan penindasan bukanlah agamanya.
"Dan semua orang, baik yang menindas maupun yang ditindas, baik yang melakukan kejahatan atau yang dijahati, keduanya tidak lepas dari pada dosa. Kalau ji-wi menyerang bapak pendeta Allan ini, sungguh tidak tepat. Beliau hanya tahu akan pelajaran agama, sama sekali tidak tahu menahu tentang perang, tentang madat dan sebagainya."
"Akan tetapi, sebelum orang bule datang, sebelum mereka datang, kita tidak mengenal madat, tidak mengenal agama baru, dan kita hidup dalam tenteram dan damai!" teriak si baju kuning. Siu Coan tersenyum.
"Benarkah itu? Walaupun mungkin tidak ada banyak madat, namun dari See-thian sudah berdatangan madat yang diselundupkan. Dan tentang perang, sejak dahulu kita sudah mengenal perang. Bukankah perang saudara dan perebutan kekuasaan selalu terjadi sejak jaman Sam Kok? Dan siapa pula yang kini berkuasa di tanah air kita ini? Harap ji-wi suka berpikir secara mendalam." Dua orang itu memang hendak membubarkan agama yang dibawa orang bule dan menanamkan permusuhan terhadap orang bule. Mereka adalah pejuang-pejuang golongan yang anti orang kulit putih, maka kini mendengar rencana mereka itu dibantai dan dihalangi oleh Siu Coan yang agaknya membela pendeta itu, mereka menjadi marah.
"Kalau begitu, engkau adalah seorang pengkhianat besar!" bentak si baju kuning sambil melompat ke depan dan diikuti oleh temannya yang berbaju biru. Siu Coan melompat turun dari mimbar menghadapi mereka.
"Ji-wi keliru kalau melakukan kekerasan di sini. Gereja adalah tempat orang beribadat, tempat orang berbakti kepada Thian, bukan tempat bertentangan dan berkelahi."
"Pengkhianat!" bentak mereka, dan keduanya sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah Siu Coan. Pukulan-pukulan itu cukup dahsyat dan Siu Coan menyambut dengan tenang saja. Dia menggerakkan kedua tangannya, dibuka jari tangannya dan didorongkan ke depan menyambut.
"Dess!" Dua orang itu terjengkang dan dan mulut mereka mengalir sedikit darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka dalam yang biarpun tidak parah namun membuat mereka tidak berani maju lagi.
"Siapakah kau ?" bentak si baju biru, terkejut heran dan juga penasaran.
"Namaku Ong Siu Coan," jawab Siu Coan sederhana. Dua orang itu sejenak memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian mereka keluar dan gereja tanpa banyak cakap lagi. Siu Coan lalu berpamit dan Pendeta Allan yang menyatakan terima kasihnya berkali-kali. Jasa Siu Coan dalam gereja itu tentu saja disebarluaskan oleh Pendeta Allan dan tentu saja diketahui oleh Admiral Elliot. Hal ini menambah kejayaan Siu Coan yang semakin dipercaya.
Pada suatu malam, selagi Siu Coan tidur nyenyak setelah tadi ditemani oleh pelayan wanita yang paling disayangnya dan kini pelayan itu sudah disuruhnya tidur di kamarnya sendiri, pemuda ini terbangun dengan kaget. Pendengarannya yang terlatih dan amat peka mendengar sesuatu yang tidak wajar di atas genteng kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya, biarpun dalam keadaan pulas kelelahan, Siu Coan terbangun hanya karena suara sedikit saja, dan terutama karena ada semacam indra keenam yang membisikkan bahwa ada hal yang tidak wajar. Dengan tenang namun cepat sekali, Siu Coan sudah meloncat turun dan mengenakan sepatunya, juga bajunya karena tadi dia tidur tanpa baju saking panasnya hawa udara malam itu. Lalu terdengar suara di atas genteng itu.
"Demi Iblis, anak ini sungguh bernasib luar biasa baiknya!" Mendengar suara itu, Siu Coan merasa seperti pernah mengenalnya, maka diapun cepat membuka daun jendela dan sekali tubuhnya mencelat, dia telah melayang keluar dari jendela dan naik ke atas genteng kamarnya. Dan siapakah yang dilihatnya di bawah sinar bulan yang suram itu? Bukan lain seorang Kakek tua yang berkepala botak berperut gendut, yang berdiri tegak memandang kepadanya, dan Kakek itu adalah seorang Kakek yang luar biasa sekali, karena bajunya terbuka nampak dada dan perutnya yang amat besar. Tangan kirinya membawa sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan di pinggangnya tergantung sebuah mangkok dengan tali.
"Suhu!" Siu Coan terkejut sekali ketika mengenal Thian-tok, dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di atas genteng. Tidak seperti biasanya, Kakek ini mengerutkan alisnya dan wajahnya tidaklah segembira seperti biasanya, melainkan masih nampak kaget dan terheran-beran.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam..." katanya.
"Silahkan suhu," kata Siu Coan yang mendahului gurunya melayang turun, memasuki kamar melalui jendela lalu membuka pintu kamarnya. Gurunya melangkah masuk melalui kamar itu dan mereka duduk di dalam kamar. Siu Coan menepuk tangan dan muncullah belasan orang prajurit yang menjadi pengawalnya di depan pintunya. Mereka ini tentu saja terbelalak heran melihat munculnya seorang Kakek gendut begitu saja tanpa mereka ketahui masuknya.
🖐
"Jangan ganggu aku malam ini. Kalau ada pertanyaan dari Admiral, katakan bahwa aku kedatangan tamu yaitu guruku. Sudah... kalian jaga di depan, jangan mendekati kamar ini." Para prajurit itu memberi hormat dan mereka memandang kagum ke arah si Kakek gendut. Mereka semua tahu akan kelihaian Siu Coan. Kalau Kakek gendut itu gurunya, wah... tentu lebih lihai bukan main. Setelah mereka pergi, Siu Coan yang tahu akan kesukaan gurunya, berkata.
"Apakah suhu ingin makan minum dulu sebelum bicara?" Kini Kakek itu dapat tersenyum seperti biasa.
"Boleh, boleh. Asal ada arak baik dan masakan lezat." Siu Coan lalu menarik sebuah tali sutera di dekat pembaringannya. Itulah tanda bagi para pelayan wanita yang tidur di kamar sebelah bahwa dia membutuhkan mereka. Tak lama kemudian, berhamburanlah tujuh orang gadis cantik dengan pakaian yang setengah telanjang dan rambut yang kusut masai karena mereka tadi sudah pergi tidur,
Dan agaknya merekapun sedang mengharap-harapkan dipanggil oleh majikan mereka yang muda dan tampan itu. Maka merekapun datang seperti berlumba! Karuan saja Thian-tok terbelalak memandangi mereka, dan tujuh orang gadis itupun terkejut setengah mati melihat bahwa majikan mereka ternyata duduk menghadapi meja bersama seorang Kakek yang gendut sekali! Mereka menjadi malu-malu dan berusaha menutupi pakaian dan membereskan rambutnya. Akan tetapi, mana mungkin membereskan pakaian yang seperti itu? Pakaian mereka itu adalah pakaian tidur yang memang diharuskan oleh Siu Coan untuk mereka pakai setiap malam. Terbuat dan kain tipis berwarna muda yang tembus pandang dan di bawah pakaian itu tidak ada pakaian apa-apa lagi. Juga potongannya sederhana sekali, hanya dibelitkan pada pundak saja.
"Heh-heh-heh, sungguh engkau hidup enak sekali di sini, Siu Coan! Ini semua selirmu?" Siu Coan tersenyum.
"Mereka adalah pelayan-pelayanku, suhu. Akan tetapi kalau suhu menyukai mereka, suhu boleh memilihnya."
"Ha-ha-ha-ha, sungguh enak sekali hidupmu. Biarlah nanti saja, sekarang mari kita makan minum lalu bicara."
Siu Coan memerintahkan tujuh orang wanita cantik itu untuk menyediakan makanan dan arak, dan sebentar saja semua hidangan itu telah dipersiapkan di dalam kamar itu. Diam-diam Thian-tok merasa kagum. Memang cepat sekali muridnya ini memperoleh kemajuan dan hidupnya sungguh senang, akan tetapi dibandingkan dengan apa yang baru saja dilihatnya di atas genteng tadi, ini masih belum apa-apa! Dilayani oleh wanita-wanita yang cantik dan muda dan berbau harum itu, Thian-tok makan minum sepuasnya. Setelah semua bekas makanan dibersihkan, Siu Coan mengajak suhunya untuk bercakap-cakap di sebuah ruangan dimana tidak akan ada orang lain yang dapat mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.
"Kunjungan suhu yang tiba-tiba ini amat mengejutkan hati teecu. Tentu ada keperluan penting sekali, suhu."
"Tentu saja. Kalau tidak penting, untuk apa aku susah payah datang ke sini? Siu Coan, aku datang untuk membunuhmu!" Kalau ada kilat menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Siu Coan akan sekaget seperti ketika mendengar omongan gurunya. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia sudah meloncat berdiri, siap untuk melarikan diri atau memanggil para pengawal untuk membela diri. Biarpun yang akan membunuhnya itu gurunya sendiri, dia tidak akan sudi menyerah begitu saja.
"Akan tetapi kenapa, suhu?" Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak jadi membunuhmu sekarang, pikiranku sudah berubah lagi." Siu Coan bernapas lega, akan tetapi mukanya masih pucat. Celaka, Kakek ini sungguh membikin hatinya kecut sekali, nyawanya seperti dipakai mainan saja! Biarpun dia itu gurunya, kalau sekiranya membahayakan dirinya, dia tidak akan segan-segan untuk membunuhnya!
"Suhu, sungguh teecu merasa heran bukan main. Apakah dosaku terhadap suhu maka suhu bersusah payah datang hendak membunuhku?" Akan tetapi suhunya tidak menjawab, melainkan menatap wajah muridnya itu dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya.
"Siu Coan, apakah engkau telah merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit?" Siu Coan terkejut dan menggeleng kepala.
"Tidak, suhu... sama sekali belum. Bahkan aku belum sempat bertemu dengan dia. Kedudukannya kuat sekali di dalam pasukan Inggeris."
"Dan apakah engkau menyimpan sebuah pusaka lain yang ampuh?"
"Pusaka? Pusaka apa, suhu? Aku tidak mempunyai pusaka apapun." Gurunya memandangnya penuh selidik.
"Sungguh tidak punya? Mau kau bersumpah bahwa engkau tidak menyimpan pusaka ampuh di dalam kamar ini?"
"Tidak, suhu. Sunguh mati. Untuk apa aku berdusta kepada suhu?"
"Wah, kalau begitu, kiong-hi (selamat)..." Dan tiba-tiba Kakek gendut itu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada muridnya seperti biasa orang memberi ucapan selamat. Tentu saja Siu Coan terkejut bukan main dan dia cepat berlutut.
"Suhu, tidak berani teecu menerima penghormatan suhu. Ada apakah maka suhu bersikap seaneh ini?" Kakek itu menarik napas panjang.
"Bngkit dan duduklah." Setelah mereka duduk berhadapan kembali, Thian-tok berkata.
"Siu Coan, ketahuilah bahwa engkau telah ditakdirkan untuk menjadi calon orang besar, bahkan aku tidak akan heran kalau kelak engkau dapat menjadi seorang raja besar!" Ingin Siu Coan tertawa geli. Walaupun cita-cita itu memang ada dalam batinnya, akan tetapi tanpa hujan tanpa angin, gurunya dapat mengatakan demikian, bukankah ucapan itu hanya ngawur dan terlalu muluk saja? Akan tetapi dia tidak berani memperlihatkan kegelian hatinya.
"Terima kasih atas doa restu suhu, akan tetapi bagaimana suhu dapat menduga demikian?"
"Ketahuilah, bahwa tadi aku memang datang dengan maksud untuk membunuhmu. Siapa tidak dongkol mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri pada orang bule? Aku mengutusmu bersama Gan Seng Bu untuk menyelidiki Koan Jit dan merampas kembali Giok-liong-kiam.
"Eh, si Gan Seng Bu itu malah kawin dengan seorang perempuan bule, dan kabarnya dia telah tewas di tangan Koan Jit. Dia masih boleh dimaafkan, mungkin dia tewas dalam usahanya merampas Giok-liong-kiam.
"Akan tetapi engkau! Engkau malah enak-enak di sini menjadi antek orang bule dan sama sekali tidak berusaha untuk merampas Giok-liong-kiam. Hati siapa tidak akan merasa panas dan marah?" Kembali Siu Coan terkejut sekali. Nyaris dia terbunuh oleh suhunya malam ini kalau saja tidak telah terjadi sesuatu yang aneh, yang dia sendiri tidak tahu apa, karena tiba-tiba saja suhunya membatalkan niatnya membunuh itu.
"Akan tetapi suhu, harap jangan salah paham. Aku sama sekali bukan menghambakan diri begitu saja kepada orang kulit putih. Kedudukan Koan Jit yang menjadi komandan pasukan Harimau Terbang di pasukan kulit putih, satu-satunya jalan untuk dapat menyelidiki dan mendekatinya adalah kalau aku juga menjadi seorang yang dipercaya. Dan aku berhasil dipercaya oleh Admiral Elliot. Semua ini merupakan usahaku mendekati Koan Jit. Selain itu, aku juga hendak menyusun kekuatan untuk cita-citaku, suhu."
"Cita-cita yang mana?"
"Suhu, aku ingin sekali menyusun kekuatan, membentuk sebuah barisan besar untuk kelak dapat kupergunakan untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu, dan kalau Tuhan menghendaki, kalau sampai berhasil, aku ingin menjadi kaisar."
"Ha-ha-ha... cocok sekali! Aku yakin engkau akan berhasil!" Tiba-tiba gurunya berkata dengan gembira bukan main. Kembali Siu Coan merasa heran dan kaget.
JILID 26
"Bagaimana suhu dapat berkata demikian?"
"Dengarkan kelanjutan ceritaku tadi. Aku datang malam ini untuk membunuhmu. Setelah aku berhasil berada di atas genteng kamarmu, tiba-tiba saja aku melihat suatu cahaya mencorong yang datang dari atas langit dan cahaya itu meluncur turun memasuki kamarmu!"
"Aihhh! Apakah itu, suhu?"
"Aku tadinya juga tidak tahu. Akan tetapi cahaya itu memasuki kamarmu lewat genteng begitu saja, menerobos genteng tanpa suara. Tadinya aku mengira bahwa itu tentulah pusaka ampuh, dan aku mengira Giok-liong-kiam sudah berada di sini. Pusaka ampuh kadang-kadang juga mempunyai cahaya mencorong seperti itu. Karena adanya cahaya itu, dan aku mengira engkau mempunyai Giok-liong-kiam atau pusaka lain, maka aku membatalkan niatku membunuhmu dan karena terkejut, aku membuat gerakan sehingga mengejutkanmu." Kembali Siu Coan bergidik. Kalau tidak ada peristiwa itu sehingga suhunya terkejut dan membuat gerakan, tentu dia tidak akan tahu dan tentu dia sudah mati tanpa sempat bangun kembali.
"Suhu, aku tidak mempunyai Giok-liong-kiam atau pusaka lain. Lalu apakah arti adanya cahaya mencorong itu?"
"Ha-ha-ha, aku tahu sekarang. Itu adalah wahyu!"
"Wahyu?"
Selamanya, Siu Coan belum pernah mendengar kata itu.
"Apakah itu, suhu?"
"Menurut dongeng dari See-thian (India), dan juga dongeng dari para kaisar jaman dahulu, siapa yang akan menjadi kaisar, tentu memperoleh wahyu. Wahyu itu adalah semacam berkah atau tanda dari Thian yang sudah menemukan bahwa seseorang akan menjadi raja.
"Ada kalanya wahyu itu tidak nampak, ada kalanya nampak. Wahyu yang jatuh kepada dirimu malam ini juga tidak akan nampak oleh siapapun kalau saja tidak kebetulan aku datang di sini untuk membunuhmu."
"Dan menurut suhu, wahyu itu jatuh kepadaku, dan hal itu membuktikan bahwa kelak aku akan menjadi raja?"
"Aku yakin akan hal itu, muridku. Karena itu, mulai sekarang aku ingin membantumu. Aku yakin engkau akan berhasil." Tentu saja hati Siu Coan girang bukan main mendengar keputusan yang diambil suhunya ini. Suhunya, biarpun sudah amat tua, akan tetapi lihai bukan main. Dan kalau dia dibantu suhunya, agaknya cita-citanya akan lebih cepat terkabul. Dan untuk menyenangkan hati suhunya, mudah saja. Dia tahu bahwa suhunya ini mata keranjang, suka akan wanita-wanita muda yang mulus dan cantik, suka pula akan arak yang baik dan masakan lezat, suka akan kehidupan mewah. Dan dalam kedudukannya yang sekarang, sebagai pengawal pribadi admiral, sebagai orang terpercaya yang dicukupi semua kebutuhannya,
Mudah baginya untuk menyediakan semua kegemaran suhunya itu. Dia memberikan sebuah kamar untuk suhunya, kamar yang dihiasnya dengan indah. Bahkan untuk tempat tidur suhunya, dia memberikan tempat tidur hadiah Admiral Elliot, yaitu tempat tidur yang memakai tilam kulit harimau besar yang masih lengkap dengan kepalanya. Dan di antara belasan orang pelayan wanita yang cantik-cantik itu, dia memilih empat orang pelayan yang sengaja diberikan kepada suhunya, bukan hanya untuk melayaninya makan, mandi dan sebagainya, akan tetapi juga melayaninya di tempat tidur. Mulailah Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, menikmati kehidupan yang amat mewah dan berlebihan. Si Racun Langit ini hidup seperti anak kecil saja. Kalau ingin mandi, tinggal tunggu saja.
Empat orang pelayan atau selirnya itu akan menanggalkan seluruh pakaiannya dan akan memandikannya di bak mandi besar, menyabun dan memberinya minyak wangi, lalu memakaikan pakaian sutera yang tetap saja tidak mampu menutupi perut dan dadanya. Kakek ini memang pantang ditutupi dada dan perutnya. Kalau sudah makan malam yang amat lezat dan kebanyakan minum arak, dia lalu akan rebah terlentang seperti seekor babi kekenyangan di atas pembaringannya yang bertilam bulu Harimau. Empat orang selirnya akan merubungnya, ada yang memijati, ada yang menumbuk-numbuk dengan kepalan tangan, ada yang membelai sampai akhirnya dia tidur sambil mendekap mereka berempat di dalam jubahnya yang lebar. Thian-tok lupa segala dan berenang di dalam lautan kesenangan dan kemewahan yang berlebihan.
Kesenangan hidup merupakan berkah bagi setiap orang manusia yang terlahir di dunia ini. Semua setelah diberikan kepada manusia. Pada mata sudah terdapat selera pandangan yang mengenakkan hati, demikian pula pada semua panca indra. Dalam kita sudah diberi selera untuk menikmati apa yang terasa enak oleh mulut kita. Segala yang nampak enak itu, termasuk pula sex yang juga merupakan berkah bagi setiap orang manusia dan sudah menjadi hak setiap orang manusia untuk menikmatinya, sudah terbawa sejak kita lahir. Menikmati itu disebut kesenangan. Dan memang semua itu sudah benar dan sudah menjadi hak kita utuk menikmati kesenangan yang datang kepada kita. Akan tetapi, berkah ini segera dapat berubah menjadi suatu bahaya yang amat besar, yang akan mungkin melahirkan malapetaka dan sengsara seperti sebuah kutukan! Yaitu pengejaran.
Pengejaran akan yang enak-enak itulah yang merupakan bahaya paling besar di dalam kehidupan kita. Kenikmatan hidup memang sudah wajar dan menjadi hak kita untuk dapat menikmatinya. Akan tetapi, kalau kita mengejarnya, didorong oleh si-aku yang ingin mengulang dan mengulang lagi, maka kita lalu menjadi hamba nafsu. Kesenangan lalu menjadi cita-cita yang selalu kita kejar, menjadi tujuan pokok dalam kehidupan kita. Dan kalau sudah demikian halnya, maka terjadilah penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan ini. Demi mengejar kesenangan yang menjadi sasaran tujuan, maka kadang-kadang kita menggunakan segala cara. Sex merupakan anugerah kenikmatan hidup, akan tetapi begitu dikejar-kejar, lalu timbullah perjinahan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya.
Harta benda merupakan anugerah kenikmatan hidup, namun pengejaran terhadap harta menimbulkan korupsi, pencurian, penipuan dan sebagainya lagi. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa seorang bijaksana HARUS MENINGGALKAN atau MENJAUHI KESENANGAN. Sama sekali tidak demikian. Bukan menolak karena memang sudah menjadi haknya untuk menikmati kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR! Menikmati apa yang ada, itu berarti tidak mengejar sesuatu. Pengejaran selalu menimbulkan kekecewaan dan perasaan tidak puas terhadap apa yang ada, karena pengejaran ini dapat diselimuti dengan kata-kata halus seperti cita-cita, tujuan, harapan, ambisi dan sebagainya lagi.
Dan kalau kita mau membuka mata dengan penuh kewaspadaan, mengamati segala yang menimpa diri kita TANPA MENILAI SEBAGAI BAlK MAUPUN BURUK, akan ternyatalah oleh kita bahwa di dalam segala sesuatu itu terkandung keindahan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi! Di dalam apa saja! Dalam sakit, dalam kelaparan, dalam malapetaka, dalam kematian! Terdapat keajaiban dan kekuasaan yang menggerakkan seluruh isi alam mayapada ini. Dan kita ini hanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari itu semua. Sekali kita memisahkan diri dan semua itu karena dorongan sang aku yang ingin senang sendiri, maka berarti kita telah memasuki neraka selagi masih hidup. Siu Coan dan Thian-tok adalah orang orang yang selalu tidak pernah puas dengan keadaan yang ada.
Bagi umum yang biasanya memiliki pendapat yang salah kaprah, sikap demikian itu benar. Orang tidak boleh merasa puas dengan hidupnya, orang harus selalu mencari kemajuan, demikian nasihat nenek moyang kita sejak jaman kuno dahulu. Dalam arti kata, orang harus selalu mengejar sesuatu, bercita-cita, bertujuan, berambisi, mencari sesuatu yang dianggap sebagai kemajuan! Orang harus mencari kemajuan! KEMAJUAN! Apakah ini? Menurut umum, kemajuan adalah keadaan yang lebih baik dari pada keadaan kita sekarang. Dengan demikian, kita harus SELALU MENCARI kemajuan. Karena kemajuan itu tidak mungkin ada batasnya, bukan? Dengan demikian, kita akan mencari terus sampai mati, mencari YANG LEBIH. Dan ini dianjurkan oleh setiap pemerintah, setiap guru, setiap orang tua.
Kita lupa bahwa mencari yang lebih baik itu, berarti tidak puas dengan keadaan yang ada saat ini! Dan kalau kita sudah membiarkan diri dijangkiti penyakit mencari ini, maka selama hidup kita tidak akan dapat bahagia, tidak mungkin dapat menikmati kehidupan ini. Karena yang dapat dinikmati adalah "SAAT INI," hanya saat inilah yang dapat kita nikmati! Bukan esok atau lusa! Sekali kita terseret oleh arus mencari kemajuan, sampai matipun kita akan mencari kemajuan terus, tanpa dapat menikmati kehidupan saat kita hidup. Menikmati hidup adalah saat ini, sekarang ini, detik demi detik, bukan esok atau lusa yang hanya berupa khayalan belaka. Apakah kalau tidak mencari kemajuan, bukan berarti bahwa kita menjadi mandeg, menjadi statis, menjadi apatis (acuh)? Sama sekali tidak!
Tanpa mencari kemajuan, tanpa mengejar sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita, maka yang ada hanyalah perbuatan yang dilakukan dengan dasar kebutuhan hidup. Tanpa adanya si-aku yang mengejar sesuatu, maka di dalam setiap pekerjaan kita akan merasakan suara kenikmatan dan kesenangan besar, karena tanpa adanya aku yang bercita-cita mengejar kemajuan, di dalam pekerjaan itu terdapat cinta kasih terhadap pekerjaan itu. Dan pekerjaan yang dilakukan dengan cinta kasih ini tentu saja membawa perbaikan-perbaikan. Akan tetapi Siu Coan tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Dia ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Apa lagi setelah gurunya berada di situ dan gurunya mengatakan bahwa dia memperoleh "Wahyu," maka keinginannya untuk mengejar cita-citanya menjadi semakin kuat.
"Engkau harus dapat merampas kembali Giok-liong-kiam, Siu Coan. Tanpa itu, bagaimana engkau akan dapat berhasil menghimpun balatentara yang besar dan kuat? Balatentara yang besar dan kuat membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan untuk itu, Giok-liong-kiam harus dapat kita rampas!
"Mengapa Giok-liong-kiam, suhu? Bukankah pusaka itu hanya sebuah pedang yang melambangkan keadaan seseorang yang menjadi jagoan nomor satu di dunia? Kukira itu hanya bualan dari San-tok belaka. Untuk apa? Aku tidak ingin menjadi jagoan nomor satu. Dan kalaupun pusaka itu merupakan benda berharga, berapa bisa kita dapatkan kalau dijualnya?"
"Ha-ha-ha-ha, engkau tahu satu tidak tahu dua. Engkau tidak tahu mengapa dahulu dengan susah payah aku merampas Giok-liong-kiam, dan tidak segan-segan menggunakan nama Siauw-bin-hud. Pedang itu mengandung rahasia penyimpanan harta karun yang tak ternilai harganya, saking banyaknya!" Ong Siu Coan hanya baru mendengar berita angin saja tentang hal itu dan diapun tidak percaya, yaitu ketika diadakan pertemuan di dalam pesta hari ulang tahun Hai-tok.
"Ah, benarkah hal itu, suhu?"
"Bukan bualan... melainkan yang sesungguhnya demikianlah, muridku. Giok-liong-kiam itu mengandung rahasia penyimpanan harta karun yang luar biasa besarnya, cukup untuk membiayai balatentara yang besar."
"Tapi... tapi bukankah pusaka itu sudah lama berada di tangan suhu? Dengan demikian, tentu harta karun itu sudah berada di tangan suhu!" Siu Coan memandang suhunya dengan sinar mata penuh perhatian dan penuh selidik. Hatinya tertarik sekali mendengar tentang harta karun, karena bagaimanapun juga, gurunya benar. Untuk dapat menghimpun tenaga balatentara yang besar, dia harus memiliki biaya yang amat banyak pula. Akan tetapi Kakek itu menggeleng kepala, membuat hati Siu Coan yang tadinya penuh harapan menjadi lemas kembali.
"Sayang sekali, sudah berbulan-bulan aku melakukan penyelidikan, akan tetapi belum juga dapat kutemukan rahasia itu. Sialan benar! Sudah kuselidiki dengan teliti, sudah kurendam dalam air sampai berbulan-bulan, namun tetap tidak dapat kutemukan rahasianya. Sialan! Dan sebelum aku berhasil, benda itu telah dicuri oleh Koan Jit." Siu Coan mengerutkan alisnya.
"Aihh, pantas kalau begitu... mengapa si Koan Jit itu mau merendahkan diri dan menjadi pembantu orang-orang bule. Andaikata dia bisa mendapatkan harta itu, tak mungkin dia mau merendahkan diri seperti itu. Aku berani bertaruh bahwa diapun kini kebingungan, tidak tahu bagaimana harus mendapatkan rahasia pedang Giok-liong-kiam itu... dan tidak dapat menemukan petunjuknya."
"Kupikir demikianlah. Dan hal itu baik sekali, memberi kesempatan yang cukup bagi kita untuk mencoba merampasnya."
"Merampasnya?"
"Kenapa tidak? Sekaranglah kesempatan kita yang paling baik. Aku sudah kau perkenalkan kepada Admiral dan diapun percaya kepadaku. Kita sudah memperoleh kepercayaan. Kita mempunyai kesempatan untuk menyerbu ke markasnya di Kanton dan merampas pedang itu."
"Ah, mana begitu mudah suhu? Tentu dia menyembunyikan pedang itu."
"Kita masuk dan menyelidiki. Mustahil kita berdua tidak akan dapat menemukan benda yang dia sembunyikan di suatu tempat."
"Akan tetapi, dia adalah komandan dari pasukan Harimau Terbang, dan di sana terjaga dengan ketat dan kuat!"
"Kau takut?"
"Tidak, suhu. Aku tidak takut... akan tetapi, kita berdua mana mungkin dapat menghadapi pasukan yang ratusan orang jumlahnya itu? Aku mempunyai akal, suhu... dan kalau siasatku dijalankan, kurasa lebih besar harapannya untuk berhasil merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam itu."
"Ha-ha-ha-ha... engkau memang selalu banyak akal dan pandai sekali! Akal bagaimana itu yang hendak kau jalankan?"
"Begini suhu. Biarpun Koan Jit sudah menguasai pedang pusaka itu, akan tetapi melihat betapa dia masih saja berada di antara pasukan bule, hal itu menunjukkan bahwa diapun, seperti suhu, belum mampu memecahkan rahasia penyimpanan harta karun. Dia berada di dalam markas bule dan membentuk Pasukan Harimau Terbang, tentu hanya agar kedudukannya kuat dan tidak ada orang yang akan mampu merampas pedang pusaka itu. Nah, untuk dapat merampas pedang itu, kita harus mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya sambil membawa anaknya."
"Eh, siasat macam apa itu? Kalau siasat memancing harimau keluar dari sarang... aku sudah tahu, akan tetapi memancing harimau keluar dari sarang sambil membawa anaknya? Bagaimana itu?"
"Begini, kalau seekor harimau merasa terancam keselamatan anaknya, tentu dia akan melarikan diri keluar sarang dan menyelamatkan anaknya, membawa anaknya keluar dari dalam sarang yang terancam..."
"Ha-ha-ha-ha...!" Perut gendut telanjang itu bergoyang-goyang ketika Thian-tok tertawa bergelak-gelak.
"Bgus, bagus! Memang, dengan demikian maka kita tidak perlu repot-repot mencari dimana dia menyimpan pusakanya itu. Coba teruskan, bagaimana siasatmu itu?"
"Untuk menghadapi ratusan orang Harimau Terbang, kita harus menggunakan sejumlah pasukan pula."
"Kau hendak menggunakan pasukan bule di sini? Mana mungkin?"
"Tidak, suhu. Ketika aku keluar dan Thian-te-pai, masih banyak anak buah yang setia kepadaku, dan mereka itu menantiku. Setiap waktu kalau aku membutuhkan mereka, maka mereka itu semua akan membantuku. Aku sudah mempersiapkan mereka untuk kelak kalau aku sudah kuat, membentuk sebuah pasukan besar. Kalau hanya mengumpulkan dua-tigaratus orang saja, tidak sukar bagiku?"
"Hemm, bagus sekali. Lalu bagaimana?"
"Untuk tidak mencurigakan Koan Jit dan untuk memancing agar dia tidak ragu-ragu membawa keluar Giok-liong-kiam dari tempat persembunyiannya, sebaiknya kalau kita berdua memasuki markasnya secara menggelap, lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian atas dirinya. Kemudian, biar pasukan istimewa yang sudah kupersiapkan itu melakukan penyerbuan kepada markas Harimau Terbang itu. Kalau dilakukan di waktu malam, tentu akan berhasil.
"Kepanikan di sana tentu akan memaksa Koan Jit berusaha untuk menyelamatkan dan menyingkirkan Giok-liong-kiam. Bagaimana pendapat suhu dengan siasat itu?
"Ha-ha-ha-ha, tadinya kukira bahwa hanya Koan Jit muridku yang paling hebat. Tidak tahunya engkau, malah melebihi dia, Siu Coan. Ah, aku tidak menyesal melihat wahyu itu dan mengambil keputusan untuk membantumu, muridku.
"Siasat itu bagus sekali dan cepat kerjakan. Aku sudah tidak sabar lagi untuk menanti lebih lama lagi. Aku ingin merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit, juga ingin merampas nyawanya sekali!"
Siu Coan segera mempersiapkan rencananya. Dia menghubungi bekas anak buahnya, dan ternyata memang banyak sekali anak buah Thian-te-pang yang masih setia kepadanya, terutama mereka yang sudah memeluk Agama Kristen baru yang dipropagandakan oleh Siu Coan. Tidak kurang dari duaratus lima puluh orang dapat dia kumpulkan dengan rahasia, dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Rencana diatur masak-masak, dan setelah dipilih malam yang baik, Siu Coan dan Thian-tok lalu menyelundup ke dalam markas Harimau Terbang. Hal ini tidak begitu sukar dilakukan karena mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Menjelang tengah malam, dua bayangan berkelebat di dalam markas Harimau Terbang yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di dalam markas itu ada dua orang lihai yang menyelundup,
Juga sama sekali tidak tahu bahwa markas mereka yang tidak berapa besar itu telah dikepung oleh hampir tigaratus orang anak buah Siu Coan. Siu Coan dan Thian-tok sendiri sudah mengetahui letak kamar Koan Jit, akan tetapi mereka tidak berani sembrono memperlihatkan diri, hanya mengintai saja dari tempat gelap untuk nanti melihat reaksi dari gerakan Koan Jit kalau penyerbuan dimulai. Setelah saat yang ditentukan tiba, guru dan murid itu berpencar dan tak lama kemudian nampak api bernyala besar sekali di ujung barat dan di sebelah timur depan. Tentu saja Siu Coan dan gurunya yang membakar gudang ransum dari gardu itu setelah menyiram tempat itu dengan minyak yang mereka ambil dari lampu-lampu gantung. Nyala api itulah yang menjadi tanda bagi pasukan anak buah Siu Coan untuk menyerang.
"Kebakaran! Kebakaran!" Orang-orang di dalam markas itu berteriak-teriak dan suasana menjadi panik ketika mereka lari berserabutan untuk membantu memadamkan api. Ada yang masih setengah telanjang karena terbangun dari tidur. Koan Jit sendiri meloncat dan keluar kamar setelah mengenakan sepatu dan pakaiannya. Akan tetapi pada saat itu, orang-orang berteriak karena datang luncuran anak-anak panah dari empat penjuru memasuki markas itu.
"Api... api harus dipadamkan dulu!" Suasana menjadi semakin ribut, apalagi ketika kini pasukan anak buah Siu Coan datang menyerbu. Pintu markas jebol dan banyak pula anak buah Siu Coan yang berlompatan dari atas tembok. Terjadilah pertempuran mati-matian di malam buta itu. Melihat ini, tentu saja Koan Jit menjadi terkejut bukan main, ia tahu bahwa yang menyerbu tentulah para pejuang. Kalau bukan, siapa lagi yang berani menyerbu markas Harimau Terbang?
Dia segera teringat akan pusaka-pusakanya. Musuh menyerang dengan panah-panah berapi, dan ada sebagian bangunan yang sudah menjadi lautan api di samping gudang dan gardu yang kebakaran tadi. Tepat seperti yang sudah diduga oleh Siu Coan, Koan Jit tentu saja sayang kepada pusaka-pusakanya, terutama Giok-liong-kiam. Dan tepat pula seperti yang telah diduga oleh Siu Coan, selama ini Koan Jit dengan sia-sia mencoba untuk mencari tahu akan rahasia Giok-liong-kiam, mencari rahasia harta karun yang kabarnya disimpan di dalam pedang pusaka itu. Siu Coan dan Thian-tok sudah waspada. Sejak tadi mereka memang sudah mengintai dan mengamati gerak-gerik Koan Jit. Ketika melihat Koan Jit tidak cepat mengatur barisannya atau memimpin pemadaman api melainkan lari ke arah belakang markas,
Keduanya lalu cepat menyelinap dan membayangi. Ternyata Koan Jit memasuki sebuah gudang bahan bangunan yang agaknya sudah tidak terpakai dan pintunya yang tebal itu digembok. Koan Jit yang memegang kuncinya, dan dia kini membuka pintu gudang itu, lalu menyelinap masuk. Siu Coan dan Thian-tok sudah siap siaga. Tak lama kemudian, Koan Jit meloncat ke luar dan di punggungnya sudah nampak bungkusan yang cukup besar. Tiba-tiba saja, Siu Coan menyerangnya dengan dahsyat sekali, menghantam ke arah dadanya dengan pukulan maut yang amat kuat. Koan Jit terkejut, maklum bahwa pukulan yang ditujukan kepadanya dengan mendadak itu amat berbahaya. Diapun tidak mempunyai lain jalan kecuali menangkis pukulan yang sudah menyambar dekat itu.
"Desss!!" Akibatnya, tubuh Siu Coan hampir terjengkang, akan tetapi Koan Jit juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, dan pada saat itu, tiba-tiba saja bungkusan di punggungnya itu terlepas.
"Hehh...!" Dia membalik sambil mengirim tendangan, akan tetapi orang yang merampas buntalannya itu dapat mengelak sambil tertawa bergelak. Koan Jit memandang dengan mata terbelalak dan mukanya pucat, karena perampas buntalannya itu bukan lain adalah Thian-tok, gurunya! Dan penyerangnya tadi adalah Siu Coan, sutenya!
"Kalian manusia-manusia curang!" bentaknya marah sekali.
"Ha-ha-ha-ha... kau masih bisa bicara tentang curang?" Thian-tok berkata sambil membuka buntalan itu dan melongok isinya. Dia melihat Giok-liong-kiam bersama beberapa batang pedang dan juga hiasan dan batu giok dan emas permata lainnya.
"Ha-ha-ha, terima kasih... engkau meminjam Giok-liong-kiam dan mengembalikan berikut bunganya, ha-ha-ha...!"
"Kembalikan itu!" Koan Jit menyerang dengan ganasnya, menubruk dan menghantam ke arah gurunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah buntalan.
"Desss!" Thian-tok menangkis dan guru ini terkejut bukan main. Dia terpelanting dan hampir roboh. Untung pada saat itu, Siu Coan sudah menyerang lagi sehingga Koan Jit tidak mampu mendesak gurunya, dan kini Koan Jit berkelahi dengan mati-matian melawan Siu Coan.
Sementara itu, para anak buah Siu Coan sudah mulai menyerbu ke dalam dan terjadilah pertempuran yang kacau balau karena benteng itu hanya diterangi oleh sinar api yang membakar bangunan-bangunan. Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi terompet, tambur dan ledakan-ledakan senapan. Beberapa orang anak buah Siu Coan roboh terjungkal. Melihat betapa pasukan bule sudah datang dan tentu saja mereka itu membantu pasukan Harimau Terbang, Siu Coan maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Juga Thian-tok maklum akan bahaya. Tadipun ketika mengadu tenaga dengan murid pertamanya, dia hampir roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa betapapun lihainya, usianya yang sudah amat tua mengurangi banyak tenaganya.
"Siu Coan, mari kita pergi!" Berkata demikian, Kakek ini mengeluarkan suara auman yang amat hebat. Koan Jit yang hendak mengejar, seketika lemas dan tenaga sin-kangnya banyak berkurang karena dia harus mengerahkan tenaga itu untuk menjaga jantungnya yang tiba-tiba saja terguncang hebat. Gurunya ini memang hebat sekali Ilmu Sin-houw Ho-kangnya, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siu Coan untuk menghantamnya.
"Dukk!!" Koan Jit menggunakan Ilmu Kim-siong-ko (Ilmu Baju Besi), semacam ilmu kekebalan, akan tetapi biarpun dia tidak terluka, tetap saja dia terlempar dan ketika dia meloncat kembali, guru dan murid itu telah lenyap menghilang ke dalam kegelapan malam.
Siu Coan segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Dan melihat munculnya pasukan bule yang menggunakan lampu senter yang besar dan terang, juga senapan-senapan yang ampuh, anak buah Siu Coan mengundurkan diri dan meninggalkan korban yang tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya, walaupun di pihak pasukan Harimau Terbang juga sedikitnya ada tiga puluh orang yang tewas dan beberapa puluh orang yang luka-luka! Perang, macam apapun juga adanya perang itu, memang kejam dan juga menyedihkan sekali. Lihat saja pertempuran antara anak buah Siu Coan dan pasukan Harimau Terbang, anak buah Koan Jit. Mereka itu berbunuh-bunuhan, sampai puluhan orang banyaknya, bahkan hampir seratus orang yang menjadi korban. Untuk apa? Pasukan Harimau Terbang adalah pasukan bayaran dan hal ini dapat kita maklumi.
Mereka memang bekerja untuk perang, walau betapa keji dan kejampun sifat pekerjaan itu. Mereka akan membunuh siapa saja karena hal itu adalah pekerjaan mereka, dan untuk itu mereka digaji setiap bulan. Akan tetapi, biarpun mereka berperang karena itu memang menjadi pekerjaannya yang dibayar, mereka itu sebetulnya berperang dan mengorbankan nyawa hanya demi kepentingan seorang Koan Jit saja! Andaikata tidak ada Koan Jit dan Giok-liong-kiam, belum tentu puluhan orang Harimau Terbang itu tewas pada malam hari itu! Dan puluhan orang anak buah Siu Coan itu! Mereka juga tewas dan mati konyol! Untuk apa? Tentu saja merekapun memiliki alasan yang kuat, yang mendorong mereka untuk nekat dan mati-matian berbunuh-bunuhan dengan pihak musuh. Mungkin ada yang berdalih agama seperti yang dipropagandakan oleh Siu Coan.
Memang Siu Coan suka mempergunakan agama untuk mencapai tujuannya. Mungkin perang di malam hari itu dianggap sebagai perang suci atau perang salib seperti yang dipropagandakan oleh Siu Coan, memerangi orang-orang yang jahat. Atau mungkin, juga Siu Coan mempergunakan propaganda kepatriotan. Mereka itu dianjurkan untuk memerangi Harimau Terbang karena itu adalah perbuatan yang patriotik! Membela bangsa, negara dan tanah air, dan orang-orang yang menghambakan diri kepada bangsa bule! Dan tentu saja ada pula di antara mereka yang berperang karena ambisi, karena mengharapkan kemenangan dan menerima imbalan jasa dari Siu Coan. Apapun alasannya, apapun propaganda yang diajukan orang-orang yang berkepentingan untuk mendorong rakyat untuk berperang, untuk berbunuh-bunuhan, adalah keji?
Dan celakanya, ini merupakan kenyataan pahit sekali yang terpaksa harus kita telan, mereka yang mempropagandakan perang itu dengan dalih agama, politik, bangsa, negara, tanah air, bendera, atau apa saja, mereka yang menjadi pendorong-pendorong perang ini sendiri, tidak pernah ikut berperang! Mereka hanya berkaok-kaok senyaring mungkin untuk mendorong rakyat seperti orang yang menghasut segerombolan serigala, dan apabila keadaan membahayakan bagi diri mereka, apabila sudah tidak ada lagi harapan menang bagi mereka, maka beberapa gelintir manusia ini, paling dulu melarikan diri sambil tidak lupa membawa barang berharga, menyelamatkan diri tanpa memperdulikan lagi kepada mereka yang tadinya berperang karena mereka hasut, dan tidak perduli lagi kepada mereka yang sudah mengorbankan nyawa, harta dan keluarga!
Terkutuklah mereka itu! Dan ini bukan dongeng, bukan pula fitnah, melainkan dapat kita lihat setiap waktu, dapat kita pelajari dari sejarah, bahkan pada saat Anda membaca ini, masih terjadi di segala pelosok dunia ini! Menyedihkan, bukan? Kalau begitu, mengapa kita begini bodoh? Karena sesungguhnva, kitalah yang bodoh! Kitalah yang membiarkan diri kita menjadi kerbau kerbau yang dicocok hidungnya dan dituntun ke "Rumah jagal." Bagaimana kalau kita semua, seluruh rakyat di dunia ini, tidak lagi mau mengangkat senjata. Tidak mau berbunuh-bunuhan? Kalau ada para pembesar, para kepala negara, dan kepala atau komandan balatentara, ingin perang, biarlah mereka sendiri yang maju.
Jenderal lawan jenderal, kepala negara lawan kepala negara, menteri lawan menteri. Dan kita, rakyat sedunia, menjadi penonton saja seperti kalau kita nonton pertandingan tinju. Lucu dan menyenangkan sekali, bukan? Serangan di malam hari itu tidak hanya melenyapkan Giok-liong-kiam dan beberapa benda pusaka dari tangan Koan Jit, akan tetapi bahkan juga melenyapkan Koan Jit dalam benteng! Pasukan Harimau Terbang lalu dibubarkan oleh pasukan lnggeris karena komandannya hilang atau menghilang. Sebaliknya, Admiral Elliot juga kehilangan Ong Siu Coan yang pergi tanpa pamit sambil membawa sedikitnya dua puluh buah senapan dan pistol yang dicurinya bersama gurunya. Dan mulai saat itu, Ong Siu Coan, dibantu Thian-tok, mulai mengumpulkan para anak buahnya, bekas anak buah Thian-te-pang yang setia kepadanya,
Banyak pula menerima pemuda-pemuda dari luar, dan dia mulai membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Pai-sang-ti-hui (Perkumpulan Pemuja Tuhan). Perkumpulan ini bentuknya seperti perkumpulan Agama Kristen, dan karena melihat bahwa yang menjadi pemimpin adalah Ong Siu Coan dan semua anggautanya mengaku sebagai orang Kristen, juga karena Pai-sang-ti-hui ini nampaknya tidak memusuhi orang-orang kulit putih, maka hubungan antara perkumpulan ini dengan orang kulit putih nampak baik. Pai-sang-ti-hui ini hanya bergerak memusuhi pemerintah Ceng saja. Akan tetapi, karena Ong Siu Coan adalah orang yang sejak kecilnya digembleng ilmu silat dan Agama Buddha, Taoism, dan juga Khong-hu-cu, maka Agama Kristen yang dipimpinnya itu sudah banyak menyeleweng dan aselinya, bahkan berbau mistik!
Juga tidak mengharamkan atau melarang perbuatan yang sifatnya penggunaan kekerasan, karena memang semua anggautanya diajar ilmu silat dan ilmu perang. Seperti telah disangka semula, pasukan Ceng yang marah karena kegagalan mereka membasmi para pemberontak di dalam guha tepi pantai lautan dimana diadakan pesta hari ulang tahun Hai-tok, mereka lalu mengerahkan perahu-perahu dipenuhi pasukan dan berlayarlah mereka menuju ke Pulau Layar, tempat tinggal Hai-tok dan keluarganya. Diserbulah pulau itu, akan tetapi ketika mereka tiba di pulau itu, Hai-tok dan keluarganya telah lama meninggalkan pulau. Karena itu, para tentara Mancu menjadi marah dan mereka menghancurkan segala yang berada di pulau itu setelah merampasi semua benda berharga, bahkan lalu membakar semua bangunan yang berada di pulau.
Tak seorangpun anak buah Hai-tok yang tinggal di situ dan tidak jatuh korban. Dengan kecewa, akan tetapi mengangkut barang-barang perabot rumah tangga yang lumayan karena Hai-tok yang menjadi majikan pulau itu merupakan seorang kaya, pasukan Ceng itu pulang ke daratan membawa barang-barang rampasan mereka. Kemana perginya Hai-tok, keluarganya dan anak buahnya? Kakek yang cerdik ini sudah dapat menduga akan datangnya serbuan, maka sebelum serbuan datang, dia mengajak anak buahnya untuk meninggalkan Pulau Layar dan mereka bersembunyi di sebuah pulau yang lebih jauh dan terpencil lagi, pula pulau ini amat berbahaya karena di situ terdapat banyak sekali ular-ular berbisa.
Namun, Hai-tok adalah seorang sakti dan bersama anak buahnya, dia membasmi dan mengusir ular-ular ini dan tinggal di pulau yang bentuknya memanjang seperti tubuh ular, melingkar dan karena bentuknya itu, maka pulau ini disebut Pulau Naga. Memang bukan pulau yang terlalu subur, kalah baik dengan Pulau Layar, akan tetapi untuk tempat persembunyian, lebih menguntungkan karena pulau ini dilindungi ombak-ombak yang besar dan berbahaya sehingga sukarlah bagi musuh untuk menyerangnya. Dan pula, Hai-tok membawa pula harta bendanya, dan sebagai orang kaya raya, dia tidak begitu membutuhkan tanah subur. Semua keperluan makan mudah dibeli dan karena kini mereka kehilangan rumah dan perabot-perabot sehingga harus mengeluarkan banyak uang,
Maka Hai-tok dan anak buahnyapun kembali kepada pekerjaannya yang dahulu, yaitu menjadi bajak laut! Pada suatu hari, di waktu lautan amat tenang dan matahari amat cerah, nampak sebuah perahu layar yang cukup besar dan penuh dengan anak buah. Perahu itu panjang dan bentuknya seperti seekor naga, bahkan kepalanya juga diukir dengan amat indahnya. merupakan kepala seekor naga yang selain indah juga nampak seperti hidup saja. Juga bendera besar hitam yang berkibar di ujung tiang layar itu disulam gambar seekor naga laut yang amat mengerikan, moncongnya terbuka lebar, matanya mencorong dan cakarnya siap untuk menerjang. Layarnya sendiripun digambar dengan garis-garis berwarna putih, hijau dan hitam, lorek-lorek seperti perut naga.
Anak buahnya memakai pakaian seragam pula, gagah-gagah dan bersenjata lengkap. Layarnya berkembang sampai menggembung ditiup angin laut dan kapal itu meluncur cepat sekali. Seorang yang bertubuh ramping berdiri sambil memandang jauh ke depan, tangan kirinya memegang sebatang tongkat putih yang runcing. Itulah tulang binatang laut yang amat kuat dan keras seperti baja dan mengerikan. Akan tetapi, orang yang jelas merupakan pimpinan dan anak buah di perahu naga itu ternyata adalah seorang wanita. Masih amat muda lagi, dan amat cantik jelita. Usianya tidak akan melebihi delapanbelas atau sembilanbelas tahun, namun sikapnya amat berwibawa. Pakaiannya ringkas, dan bajunya yang berlengan panjang itu ditutup rompi yang terbuat dari kulit buaya laut yang melindungi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut.
Pinggangnya yang kecil ramping memakai sabuk yang lebar berwarna kuning dan biarpun tubuhnya memakai rompi, namun pakaian rangkap itu tidak mampu menyembunyikan tonjolan dadanya yang menggembung keras dan padat. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya kepalanya di atas telinga diikat dengan sehelai kain putih. Tidak ada hiasan menaburi dirinya, kecuali setangkai bunga dan emas yang menempel di ikat kepalanya, di atas telinga kiri. Itulah Kiki, puteri tunggal Hai-tok yang kini menjadi pemimpin bajak laut di atas perahu besarnya yang berbentuk naga laut! Sejak beberapa bulan, ia malang-melintang di atas lautan, tak pernah melepaskan perahu-perahu atau kapal-kapal pemerintah Ceng terutama, walaupun ada pula perahu saudagar dirampas barang-barangnya.
Kalau perahu-perahu saudagar, hanya dirampas barang-barangnya saja. Akan tetapi jangan harap perahu pemerintah Mancu akan diampuni. Bukan hanya dibajak, akan tetapi semua orangnya dibunuh dan juga kapalnya dibakar! Bahkan kadang-kadang, pemimpin bajak yang luar biasa beraninya ini berani menyerang kapal asing, kapal orang-orang kulit putih sehingga beberapa kali hampir saja perahunya celaka terkena serangan meriam-meriam orang kulit putih. Para anak buah perahu layar besar Naga Laut inipun bukan orang-orang biasa, melainkan anak buah Hai-tok yang pilihan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan terutama sekali, setiap dari mereka itu pandai sekali berenang dan menyelam, mahir ilmu di dalam air seperti ikan-ikan saja,
Walaupun tentu saja kalau dibandingkan dengan Kiki, kepandaian mereka itu belum ada artinya. Biarpun baru beberapa bulan saja beroperasi sejak pindah ke Pulau Naga, karena banyaknya korban yang sudah jatuh ke tangan para bajak ini, maka terkenallah nama bajak laut Naga Laut ini, yang mudah dikenal dari bentuk perahunya dan bentuk benderanya. Para anak buahnya bersenjata lengkap, ada regu bertombak, regu berpedang, dan ada pula regu golok dan perisai. Jumlah mereka yang menjadi anak buah Kiki itu tidak kurang dari lima puluh orang, kesemuanya ahli-ahli silat dan ahli renang yang sudah biasa berkelahi seperti ikan-ikan hiu yang haus darah. Tiba-tiba seorang anak buah perahu itu yang tadi memanjat tambang ke atas puncak layar, berseru.
"Ahoooiiii... perahu besar di depan, samping kanan!" Mendengar ini, Kiki cepat menoleh ke sana. Memang belum nampak karena terhalang oleh alunan gelombang, akan tetapi ia cepat memerintahkan agar perahunya memutar haluan ke kanan. Tak lama kemudian, benar saja nampak sebuah perahu besar sekali, hampir dua kali lebih besar daripada perahunya sendiri, sedang berlayar ke arah barat, ke daratan.
Dan dari keadaan serta bendera kapal itu, mudah diduga bahwa kapal atau perahu besar itu milik pemerintah. Bukan main girangnya hati Kiki. Ia amat membenci pemerintah Mancu. Bukan hanya membenci karena Bangsa Mancu sudah menjajah sampai ratusan tahun, bukan pula hanya karena pemerintah Mancu bersikap lemah dan pengecut terhadap orang-orang barat, melainkan pertama karena pemerintah Ceng membakar Pulau Layar, dan kedua karena ia sudah mendengar bahwa suhengnya, Lee Song Kim, kini menjadi kaki tangan pemerintah penjajah. Bahkan ada kabar bahwa Lee Song Kim yang mengkhianati guru sendiri, dan dialah pelapor kepada pasukan Ceng ketika diadakan ulang tahun Ayahnya sehingga pesta itu digempur dan diserang oleh pemerintah Ceng. Ia benci pemerintah Ceng. Ia benci suhengnya!
"Tambah kecepatan, dan potong jalan, jangan membiarkan perahu anjing-anjing Mancu itu mencapai daratan lebih dulu dan kita!" teriak Kiki dengan gembira dan seluruh urat di tubuhnya sudah menegang dalam gairahnya untuk segera turun tangan menyerang perahu musuh itu. Kiki sama sekali tidak perduli melihat besarnya kapal, walaupun ia dapat menduga bahwa pasukan yang berada di kapal itu menurut ukuran kapal, tentu kurang lebih dua kali lebih besar dari pada jumlah pasukannya sendiri. Perahu Naga itu bentuknya memang dibuat istimewa sehingga dapat berlayar dengan luar biasa cepatnya. Mereka memotong jalan dari kiri dengan kecepatan yang membuat perahu itu meluncur seperti terbang. Mereka sudah mendekati perahu besar berbendera pangkat seorang pejabat tinggi.
Dan tentu saja pasukan yang berada di perahu besar itu sudah melihat munculnya perahu itu, bahkan sudah mengenalnya sebagai perahu bajak. Terdengar teriakan-teriakan menyambut Bajak Naga Laut, dan para prajurit dengan tombak di tangan siap berjajar di tepi perahu. Betapapun ganasnya bajak itu dikabarkan orang, para prajurit yang merasa lebih banyak itu tidak takut, apalagi mereka kini sedang mengawal seorang pembesar istana yang berpangkat Pangeran. Sang Pangeran yang sudah tua itu, di kamarnya mendengar akan adanya bajak laut dan dengan tenang dia mengatakan bahwa kalau bisa agar dihindarkan bentrokan, kecuali kalau tidak ada jalan lain. Pangeran itu bernama Ceng Tiu Ong, seorang pangeran tua yang di Kota Raja terkenal sebagai seorang pejabat yang menjadi penasihat kaisar.
Pangeran ini disegani orang karena adil dan berani, akan tetapi karena adil dan beraninya itu, diapun dibenci banyak pembesar yang korup, dan karena kaisar mengalami hasutan-hasutan mereka. Pangeran Ceng Tiu Ong ini agak disingkirkan atau dijauhi sehingga kedudukannya kini tidak penting lagi, hanya pengurus perpustakaan istana saja, karena dia memang seorang ahli sastera. Pangeran Ceng Tiu Ong ini seorang peranakan Mancu, Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya dari selir, seorang perempuan hari dari utara. Pada hari itu, dia bertugas mengambil kitab-kitab kuno dari sebuah kuil tua di Mukden, dan karena perjalanan darat selain jauh melelahkan juga berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan, maka dari Mukden dia dikawal sampai ke tepi laut dan kini hendak kembali ke Kota Raja melalui lautan, dikawal oleh seratus orang prajurit.
Selama dalam pelayaran siang malam, dia berada di dalam kamar kapal saja mempelajari kitab-kitab kuno yang amat banyak jumlahnya dan merupakan benda-benda kuno yang amat besar harganya dan nilainya itu. Ketika dia menerima kabar akan munculnya perahu Bajak Naga Laut, dia tenang-tenang saja dan masih melanjutkan, memeriksa buku, hanya memesan kepada anak buahnya agar jangan menyerang mereka, bahkan kalau mungkin menghindarkan bentrokan-bentrokan. Diam-diam di lubuk hatinya, pangeran ini tidak menaruh kebencian, sebaliknya malah mengagumi para patriot yang berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari penjajah Bangsa Mancu. Pangeran ini, biarpun peranakan Mancu, namun dari banyak membaca sejarah dan kitab-kitab kuno, tahu betapa busuknya penjajahan dan betapa menderitanya rakyat yang terjajah.
Juga dia banyak membaca, bahkan berkenalan dengan para pendekar dan patriot walaupun dia tidak mau mengotori tangannya dengan mencampuri urusan pemberontakan, apa lagi persekongkolan. Pada waktu melaksanakan tugas mengambil kitab-kitab dari kuil kuno di Mukden ini, dia pergi sendirian saja, tidak mengajak keluarganya. Kiki telah memerintahkan orang-orangnya untuk menurunkan perahu-perahu kecil dan setiap perahu ditumpangi lima orang anak buahnya, kemudian perahu-perahu kecil yang amat lincah itu didayung cepat-cepat membentuk formasi yang mengepung perahu besar yang hendak dibajak. Sebelumnya ia telah mengatur siasat dan kini para anak buahnya, dengan menumpang delapan perahu, berjumlah empat puluh orang, sudah berluncuran mengepung perahu besar.
Para prajurit di geladak perahu besar itu sudah siap dengan tombak mereka dan berteriak-teriak memaki, karena mereka sama sekali tidak takut melihat jumlah bajak yang hanya setengah jumlah
mereka itu. Akan tetapi Kiki mengeluarkan seruan nyaring disusul oleh tiupan tanduk yang mengeluarkan suara berdengung dalam dan sampai terdengar jauh, dan itulah tanda penyerangan bagi dua buah perahu kecil yang berada di depan kapal lawan. Se puluh, orang anak buahnya berloncatan dan memanjat tali kapal itu, menyerang ke atas. Mula-mula ketika mendekati kapal, mereka berlindung di balik perisai untuk menghindarkan diri dari serangan anak panah, kemudian setelah memanjat mereka berlindung pada tubuh perahu lawan. Tentu saja para prajurit yang berada di atas dek berusaha untuk mencegah mereka naik dengan penyerangan tombak-tombak mereka.
"Sayap kiri maju!" Kiki membentak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah bagian kiri dan tangan kirinya memegangi tombak tulang ikan yang menggiriskan itu. Pembantunya meniupkan aba-aba itu, dan se puluh orang anak buah dan dua perahu lainnya mulai memanjat dan berloncatan ke atas, disusul pula oleh aba-aba yang dikeluarkan Kiki, sehingga kini empat puluh orang anak bahnya secara bertubi-tubi telah mulai menyerang ke atas.
Serangan yang dilakukan dari empat penjuru itu sempat mengacaukan pertahanan para prajurit yang berlarian ke sana ke mari. Apalagi ketika Kiki kembali memberi aba-aba, dan se puluh orang sisa anak buahnya, setelah perahu naga mendekat, lalu melayangkan anak panah berapi yang tentu saja membuat suasana di kapal menjadi semakin panik karena ada panah api yang mengenal layar dan membakar perahu itu! Tang Ki atau Kiki memang hebat. Ia bukan saja mempelajari ilmu silat tinggi dan ilmu dalam air dari Ayahnya, akan tetapi juga mempelajari siasat pertempuran dengan kapal, dan dalam kecerdikannya dan kelincahannya, ia malah tidak kalah oleh Ayahnya sendiri. Kini empat puluh orang anak buahnya itu telah berhasil naik ke atas perahu lawan dan sudah terjadi pertempuran yang mati-matian.
Iapun cepat menyuruh anak buahnya mendekatkan perahu dan dalam jarak dua puluh lima meter, ia sendiri yang memegang tombak itu yang ujungnya berkait dan dipasangi tali panjang, dan dilontarkannya tombak itu yang tepat mengenai tubuh kapal dan mengait! Dua perahu itu sudah bergandeng kini dan dengan cara yang demonstratip sekali, setelah anak buahnya menjaga agar tali itu tetap menegang, Kiki sambil membawa senjatanya lalu meloncat ke atas tambang menuju ke kapal musuh! Melihat ini, semua anak buahnya kagum, dan pihak musuh terbelalak dan merasa jerih sekali. Apalagi setelah dengan teriakan panjang yang melengking nyaring, Kiki meloncat ke atas geladak perahu musuh, dan begitu disambut oleh empat orang prajurit, sekali ia menggerakkan tombaknya dengan putaran cepat, empat orang prajurit itu mengaduh dan terjungkal tewas!
Makin serulah kini perkelahian di atas geladak kapal musuh itu, antara empat puluh anak buah bajak melawan seratus orang prajurit di atas perahu Ceng itu. Akan tetapi amukan Kiki memang hebat. Senjata-senjata tajam yang menuju ke arah tubuhnya yang terbungkus kulit buaya laut itu dibiarkannya saja dan bacokan pedang atau golok, tusukan tombak, semua meleset ketika hinggap di kulit buaya yang melindungi tubuhnya yang ramping. Akan tetapi setiap tusukan atau pukulan tombak tulang ikan di tangannya itu pasti merobohkan lawan, karena senjata ini mengandung bisa yang ampuh! Teriakan-teriakan dan guncangan-guncangan yang terjadi itu mengejutkan Pangeran Ceng Tiu Ong yang sedang tenggelam di dalam sebuah kitab kuno yang dipelajari isinya.
Dia bukan ahli silat, akan tetapi dari kepandaiannya membaca huruf-huruf kuno sekali, tahulah dia bahwa kitab yang dibacanya itu merupakan sebuah kitab rahasia peninggalan pendeta Buddhis Tat Mo Couwsu yang entah bagaimana dapat terselip di dalam kumpulan kitab-kitab kuno di kuil Mukden itu! Hatinya merasa girang sekali. Biarpun dia sendiri lebih suka "Bersilat" dalam kitab-kitab kuno, akan tetapi puteri tunggalnya, yang pada waktu itu berusia sembilanbelas tahun, merupakan seorang ahli silat tingkat tinggi yang amat disegani orang di Kota Raja. Bahkan dengan adanya puterinya itulah, maka sampai sekarang dia selamat karena musuh-musuhnya tidak ada yang berani sembarangan turun tangan. Hal ini tidak mengherankan, karena puterinya itu adalah seorang murid dari keturunan keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi!
"Wah, ini kitab untuk anakku. Tentu ia senang sekali kalau sudah kuterjemahkan untuknya," pikirnya, dan pada saat itulah dia diganggu kegaduhan di atas dek. Pangeran Ceng Tiu Ong menyimpan kembali kitab itu dan diapun melangkah ke luar dari dalam kamarnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pertempuran di atas dek itu, lebih kaget lagi melihat mayat-mayat bergelimpangan dan darah membanjiri dek kapalnya!
"Berhenti! Tahan senjata dan berhentilah berkelahi!" teriaknya.
Para prajurit yang sudah kehilangan seperempat jumlah pasukannya segera menahan senjata dan mundur. Melihat munculnya seorang laki-laki yang meneriakkan agar pertempuran dihentikan, Kiki juga berseru agar orang-orangnya mundur dan menahan senjata mereka. Biarpun di antara orang-orangnya ada yang tewas dan terluka, namun jumlahnya kurang dari se puluh orang, berarti bahwa pihaknya sedang mendesak dan memperoleh kemenangan. Melihat laki-laki itu yang ditaati para prajurit, ia dapat menduga bahwa tentu itulah pemimpinnya, maka dengan langkah tegap dan gagah, iapun maju menghampiri dan menghadapi Pangeran Ceng Tiu Ong. Pangeran ini sejenak memandang dengan heran, kagum dan juga penasaran. Inikah pemimpin para bajak yang liar dan ganas ini? Sungguh sukar dipercaya.
"Siapakah engkau dan mengapa kalian menyerang perahu kami?" tanyanya, suaranya halus, akan tetapi Kiki merasakan kewibawaan pada diri Kakek yang nampaknya halus dan sabar.
"Kami adalah bajak laut yang terkenal di sini... Bajak Naga Laut, dan akulah pemimpinnya. Apakah engkau pemimpin pasukan pemerintah Mancu ini? Kalau begitu, majulah dan lawanlah aku!" Berkata Demikian, Kiki melintangkan senjatanya yang istimewa itu. Kakek itu tersenyum pahit dan memandang ke sekeliling, ke arah mayat mayat malang melintang itu dengan pandang mata sedih.
"Siancai... orang-orang berbunuh-bunuhan hanya untuk harta. Betapa rendah dan kotornya! Kalian bajak laut tentu ingin membajak kami dan mengambil barang-barang berharga kami, bukan? Nah, lakukanlah.
"Ambillah semua yang kalian kehendaki, asal seperti buku-buku tua itu jangan kalian ambil. Ambillah dan jangan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi." Kiki melongo. Belum pernah selama menjadi pemimpin bajak, ia bertemu dengan seorang pembesar seperti ini. Menyerahkan saja barangnya untuk diambil begitu saja. Betapa pengecutnya! Tentu ini seorang pengecut, seorang penakut yang mungkin sudah terkencing di celananya.
"Huh, tak tahu malu! Engkau takut mati?" bentaknya. Dan senjata Kiki berkelebat, tahu-tahu ujung senjata yang runcing itu telah menempel di leher orang tua itu. Pangeran Ceng Tiu Ong merasa betapa benda itu amat dingin, namun berkedippun dia tidak!
"Nona, engkau masih muda... tidak pandai mengenal orang. Bagaimana aku yang sudah hidup puluhan tahun ini takut mati? Tidak, kalau engkau hendak membunuh, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Aku hanya merasa kasihan kepadamu." Senjata itu turun lagi.
"Kasihan kepadaku? Maksudmu?"
"Engkau ini seorang gadis yang masih muda belia, akan tetapi melumuri kedua tanganmu dengan dosa, mengerahkan anak buahmu untuk membunuhi banyak orang, bahkan mengorbankan nyawa anak buahmu hanya untuk merampas harta. Nah, aku ingin mengindarkan engkau berbuat dosa lebih banyak. Kalau ingin harta, ambillah saja." Wah, kembali Kiki menjadi bengong. Orang ini memang sama sekali tidak takut dan hampir saja ia menduga bahwa orang ini agaknya memiliki kesaktian. Kalau tidak, bagaimana nyawanya sudah berada di ujung senjatanya masih bersikap demikian beraninya?
"Orang tua, siapakah engkau?"
"Aku Pangeran Ceng Tiu Ong dari Kota Raja," jawab yang ditanya dengan nada suara datar, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan atau ingin memperoleh keuntungan dari namanya. Mendengar ini, anak buah bajak berteriak-teriak.
"Bunuh dia! Bunuh pangeran Mancu!"
"Hemm, kau dengar sendiri, pangeran. Kami bukan hanya bajak biasa. Kami bajak yang berjiwa pahlawan. Kami memusuhi pemerintah penjajah Mancu dan orang-orang kulit putih!"
"Ahhh!" Pangeran itu tekejut dan sepasang matanya kini memandang kagum kepada Kiki.
"Kiranya engkau seorang patriot wanita? Wah, kalau begitu, aku tidak dapat banyak bicara lagi. Terserah kepadamu... akan tetapi, pintaku, kalau aku mati, peti terisi buku di dalam kamarku itu harap jangan dibakar atau dibuang, akan tetapi kirimkan kepada seorang puteriku di Kota Raja. Kitab-kitab kuno itu penting sekali untuknya. Namanya Ceng Hiang." Pada saat-itu, para bajak laut sudah menerjang dan menyerang lagi pasukan itu, dan perkelahian sudah berlangsung lagi, lebih seru dari pada tadi. Kiki tidak menyerang Kakek itu.
Entah bagaimana, ia merasa sungkan untuk menyerang Kakek itu dan ia lalu mengamuk di antara pasukan Mancu. Bukan main hebatnya sepak terjang Kiki, dan mayat-mayat para pasukan Mancu bergelimpangan. Karena mereka itu semakin terdesak, akhirnya sisa pasukan itu lari dan berloncatan keluar dari perahu mereka untuk berenang dan menyelamatkan diri. Anak buah bajak bersorak-sorai karena merasa memperoleh kemenangan, sama sekali tidak perduli lagi bahwa banyak pula teman mereka yang tewas atau terluka. Akhirnya hanya tinggal Kakek itu sendiri yang masih berdiri dengan muka membayangkan kengerian melihat pembantaian antara manusia itu. Dan para bajak itu lalu melempar-lemparkan mayat-mayat dan orang-orang yang terluka pihak lawan ke dalam lautan. Ada pula yang mulai merampoki barang-barang berharga di perahu itu.
"Kau pergilah!" kata seorang bajak dan tiba-tiba dia menyeret Pangeran Ceng Tiu Ong dan melemparkannya ke luar perahu.
"Byuurrr!" Tubuh Kakek itu terbanting ke air, dan pada saat itu, sinar bayangan orang yang kehijauan telah meloncat dan terjun ke air. Orang itu adalah Kiki! Entah apa yang mendorongnya, melihat Kakek ini dilempar ke air, iapun lalu terjun dan sekali menyelam ia berhasil menarik Kakek itu ke atas permukaan air. Ia lalu menaruh tubuh Kakek yang lemas itu ke atas sebuah di antara perahu kecil bajak.
"Kami tidak akan membunuhmu, kau pergilah dengan baik-baik dari sini," katanya. Dua orang prajurit juga naik ke perahu itu dan mendayung perahu itu menjauhi perahu mereka yang dibajak, sedangkan Kiki cepat naik kembali ke atas perahu dengan pakaian basah kuyup. Ketika ia melihat anak buahnya ada yang membawa sebuah peti hitam penuh kitab, ia menghardik.
"Berikan itu kepadaku! Itu bagianku!" Anak buahnya terkejut dan memberikan peti hitam itu kepada Kiki. Setelah meneliti sejenak. Kiki mendapatkan bahwa peti itu memang berisi kitab-kitab kuno yang tulisannya tak dapat ia membacanya. Akan tetapi ia tidak membuang peti itu dan memerintahkan anak buahnya untuk membawa peti berisi kitab-kitab itu pulang ke Pulau Naga. Setelah perahu besar itu dirampok habis, lalu perahu itu dibakar di bawah sorak-sorai para penjahat itu sampai akhirnya tenggelam. Para bajak banyak yang merasa kecewa. Perahu besar yang ditumpangi seorang pangeran itu ternyata tidak membawa banyak barang berharga.
"Pangeran pailit! Pangeran miskin! Hanya kutu buku!" Mereka mengomel, akan tetapi diam-diam Kiki kagum sekali kepada Kakek itu. Kalau seorang Kakek macam Ayahnya bersikap gagah berani dan tidak mengenal takut, hal itu tidaklah aneh karena Ayahnya seorang pria yang berilmu tinggi. Akan tetapi Kakek pangeran tadi hanya seorang kutu buku yang lemah. Akan tetapi, sikapnya demikian gagah berani, penuh wibawa menimbulkan kekaguman hatinya. Diapun merasa gembira dan lega hatinya bahwa ia telah menyelamatkah Kakek pangeran itu dan kematian tenggelam di lautan.
Kalau sampai Kakek itu terbunuh, tentu kata-kata Kakek itu akan selalu terngiang di hatinya dan akan selalu mendatangkan perasaan tidak enak. Bahkan peti terisi kitab-kitab kuno itupun kini mulai mengganggu hatinya. Bukankah pangeran itu mengatakan bahwa kitab-kitab kuno itu amat penting bagi puterinya yang bernama Ceng Hiang? Kalau ia bisa mengirimkannya kepada gadis itu, alangkah akan lega dan senang hatinya! Banyak ahli filsafat dan para bijaksana yang mengatakan bahwa pada dasarnya, semua orang itu mempunyai sifat atau watak yang baik. Bagaikan kertas putih yang masih kosong, maka sejak anak-anak, orang telah dibentuk oleh yang mengisi kertas putih. Namun, betapapun kotornya kertas itu dicorat-coret, pada dasamya masih ada putihnya dan kadang kadang sifat kebaikan dan kebersihan ini muncul.
Benar tidaknya pendapat para ahli filsafat ini terserah kepada penilaian kita sendiri. Yang jelas saja, semua orang ini, kita semua, condong untuk melakukan kebaikan kepada orang yang mendatangkan kesan baik kepada kita. Kebanyakan dari kita bersikap dan berbuat baik kepada orang yang menyenangkan kita, dan yang menyenangkan ini berarti yang menguntungkan, baik batiniah maupun lahiriah. Dengan demikian, maka segala kebaikan seperti itu adalah perbuatan munafik belaka, yang pada bakekatnya hanya untuk menyenangkan diri sendiri saja melalui lain orang. Bukankah demikian? Untuk dapat melihat ini, kita harus berani menghancurkan lebih dulu bayangan tentang diri kita sendiri yang kita bentuk dan bangun sejak kecil, bayangan yang nampak demikian baiknya,
Bahkan yang terbaik dan terbersih, dan entah "Ter" apalagi. Barulah akan nampak betapa munafiknya kita, betapa kotornya batin kita selama ini. Dan hanya kita sendirilah yang mampu mengubahnya. Bagaimana caranya? Tidak ada caranya, yang terpenting, kalau kita waspada dan melihat kekotoran menempel pada diri kita, apa yang akan kita lakukan? Kecerdasan akal budi tentu akan menggerakkan tangan untuk membersihkannya dan menghentikan segala kegiatan yang menimbulkan kekotoran itu. Kiki membawa peti berisi kitab-kitab kuno itu ke Pulau Naga. Ayahnya, Hai-tok Tang Kok Bu yang sekarang tidak begitu kaya raya lagi, memandang dengan alis berkerut. Dia sendiri tidak mengenal huruf-huruf kuno itu, hanya mengenal beberapa buah saja yang kalau dirangkai tidak ada artinya.
🖐
JILID 27
"Kiki, apakah kau sudah gila? Buku-buku macam itu kau bawa, apakah hanya untuk dijadikan umpan rayap? Pula, aku mendengar engkau menyelamatkan seorang pangeran Mancu dari lautan. Apa-apaan pula ini? kau malah hendak melindungi bangsawan musuh!"
"Ayah, yang kutolong itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah perkasa! Dia seperti sasterawan yang lemah, akan tetapi kegagahannya tidak kalah oleh kita. Ketika senjataku menempel di lehernya, dia berkedippun tidak!
"Dan tidak pernah marah, bahkan menawarkan seluruh barangnya untuk diambil asal jangan ada perkelahian bunuh-membunuh. Dia menitip pesan agar kalau dia dibunuh, peti kitab kitab kuno ini diserahkan kepada puterinya di Kota Raja yang bernama Ceng Hiang. Aku tertarik dan kagum sekali kepada orang tua gagah itu, Ayah... dan pada saat itu, aku hanya tahu dia seorang mengagumkan, bukan pangeran atau bangsawan apapun."
"Huh, kau sudah menjadi lemah hati, ahh... tapi ini merupakan kesempatan baik sekali!" Tiba-tiba Hai-tok memukul telapak tangannya sendiri.
"Kau bisa mengantarkan peti ini ke Kota Raja, mencari pangeran itu dan menyerahkan peti ini!"
"Ayah... aku tidak butuh ganjaran!"
"Hushh, bukan itu, anak bodoh. Tapi engkau bisa menyelidiki keadaan Song Kim, murid murtad itu. Kalau sudah tahu dimana kedudukannya dan dimana dia, aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh dia!" kata Kakek itu penuh geram. Hati Kiki mulai merasa tertarik. Ketika masih kecil, Ayahnya pernah mengajaknya pesiar ke Kota Raja dan dia samar-samar masih teringat betapa hebat dan besarnya Kota Raja. Besar dan indah sekali. Dan kalau ditemukannya Pangeran Ceng Tiu Ong, tentu dia akan dapat sementara tinggal di dalam istana pangeran itu. Dan hal inipun akan menambah banyak pengalaman hidup dan pengetahuannya.
"Engkau benar, Ayah. Baiklah, nanti kalau sudah ada saat dan kesempatan yang baik, aku akan mencarinya dan mengantarkan peti ini."
"Kenapa tidak sekarang?"
"Ayah, baru saja aku melakukan pukulan berat kepada pemerintah dengan membakar sebuah perahunya dan membajak pangeran itu. Di antara anak buah pasukan, tentu ada yang berhasil meloloskan diri dengan berenang. Kalau sekarang aku berkeliaran di Kota Raja dan ketahuan oleh mereka, apakah hal itu tidak amat berbahaya?"
Hai-tok mengangguk-angguk membenarkan pendapat puterinya. Memang, Kota Raja tidak boleh dibuat main-main. Di sana banyak sekali terdapat tokoh yang amat sakti, bahkan dia sendiri tidak berani sembarangan merajalela di Kota Raja. Pihak orang kulit putih merasa marah juga ketika beberapa di antara perahu-perahu mereka juga tidak luput dari gangguan Bajak Naga Laut. Sudah ada empat buah perahu mereka dibajak dan dibakar. Admiral Elliot tersinggung kehormatannya. Walaupun empat buah perahu yang dibajak dan dibakar itu hanya perahu-perahu kecil dan dia hanya kehilangan beberapa orang prajuritnya, namun hal itu merupakan pukulan baginya. Kekuatan pasukannya terletak pada armadanya, dan kini ada perahu-perahunya yang dibakar oleh hanya bajak-bajak laut saja.
Dia sudah menyuruh orang untuk melakukan penyelidikan dimana sarang Bajak laut itu. Orang-orangnya, terutama sekali orang-orang Harimau Terbang, hanya tahu bahwa sarang bajak laut itu adalah Pulau Layar, dikepalai oleh Hai-tok Tang Kok Bu. Akan tetapi, ketika mereka ke sana, pulau itu sudah dibumi hanguskan dan tak seorangpun tahu dimana sarang baru dari para bajak laut yang berani itu. Tentu saja sisa-sisa pasukan Harimau Terbang yang sudah ditinggalkan Koan Jit itu, dan masih dipergunakan oleh Kapten Elliot atas persetujuan Admiral Elliot, kini dikerahkan untuk melakukan penyelidikan. Mereka dianggap lebih paham dan mengenal daerah perairan di lautan itu, juga mengenal para bajak laut. Dan pasukan Harimau Terbang yang kini sisanya tinggal kurang lebih lima puluh orang itu dibagi menjadi lima kelompok,
Masing-masing se puluh orang menunggang sebuah perahu yang diperlengkapi meriam untuk mencari bajak laut dan membasminya, atau kalau mereka merasa tidak kuat, melaporkannya kepada Kapten Elliot yang akan mengirim kapal untuk menghancurkannya. Demikianlah, kini mulai nampak perahu-perahu yang memakai hiasan meriam itu berkeliaran di sepanjang pantai lautan timur. Para anak buah Harimau Terbang adalah orang-orang yang berilmu silat didikan Koan Jit. Mereka itu orang-orang kasar yang sudah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan, maka tentu saja mereka seringkali bersikap sewenang-wenang terhadap para nelayan. Kalau tidak merampas ikan-ikan hasil jerih payah semalam, tentu suka mengganggu wanita-wanita pelayan yang muda dan cantik.
Dengan demikian, nama Harimau Terbang terkenal sebagai pengganggu keamanan, bahkan mereka itu lebih dibenci oleh kau m nelayan dari pada para bajak laut sendiri, karena bajak-bajak laut itu tidak pernah mau mengganggu para nelayan. Pada suatu pagi yang cerah dan air laut amat tenangnya, hanya berkeriput-keriput kecil, nampak sebuah perahu layar kecil yang hanya ditumpangi tiga orang hilir-mudik di tengah laut, tak jauh dari pantai. Para penumpang perahu itu agaknya tidak melihat bahwa tak jauh dan pantai, ada sebuah perahu bermeriam yang mengintai. Itulah perahu yang amat ditakuti para nelayan, perahu Harimau Terbang. Pada layarnya saja terlukis harimau terbang yang menyeramkan, dan di atas perahu itu nampak se puluh orang laki-laki tinggi besar yang kesemuanya memakai rompi kulit harimau.
Sejak tadi, perahu-perahu nelayan sudah berpencaran melarikan diri karena ketakutan. Akan tetapi perahu kecil yang ditumpangi tiga orang itu agaknya tidak mengenal kegalakan perahu Harimau Terbang, atau mungkin juga tidak memperdulikannya. Sungguh mengherankan, mana ada orang, apalagi hanya tiga orang, berani tidak memperdulikan pasukan Harimau Terbang yang terkenal galak, baik di lautan maupun di daratan itu? Akan tetapi kalau orang mengenal siapa orang yang berada di dalam perahu layar kecil itu, orang takkan merasa heran lagi. Pemuda tampan yang berada di perahu itu, yang pakaiannya indah pesolek, menyembunyikan pedang di punggung dan sepasang pisau belati di balik pinggang, bukan lain adalah Lee Song Kim, murid tersayang dan Hai-tok!
Seperti diketahui, pemuda yang murtad terhadap gurunya sendiri itu, kini telah menjadi seorang petugas pemerintah Ceng, memiliki kedudukan yang lumayan sebagai seorang opsir. Baru-baru ini, dialah yang mengkhianati gurunya sendiri, memberi tahu kepada komandannya akan adanya rapat gelap para tokoh kang-ouw yang anti pemerintah Ceng, dan untuk laporan ini, diapun memperoleh kenaikan pangkat. Kini, dia ditugaskan melakukan penyelidikan siapa adanya bajak laut yang baru-baru ini membajak perahu besar yang bertugas mengambil kitab-kitab di kuil Mukden. Tentu saja, Lee Song Kim sudah dapat menduga siapa pembajaknya. Siapa lagi bajak yang menggunakan perahu Naga Laut kalau bukan anak buah gurunya? Dan siapa lagi gadis cantik yang memimpin pembajakan itu kalau bukan sumoinya, Tang Ki?
Setelah Pulau Layar dibakar, bukan tidak mungkin kalau gurunya itu melakukan pekerjaan lamanya, yaitu membajak. Dia dapat menduga dengan tepat dan bahkan yakin, akan tetapi tentu saja dia tidak berterus terang kepada komandannya, karena kalau ketahuan bahwa dia murid kepala bajak itu sendiri, dia tentu akan dicurigai. Dua orang lainnya juga opsir-opsir rendahan yang menjadi pembantu Song Kim. Mereka berpakaian seperti orang biasa, bukan seperti prajurit atau opsir, jadi bukan pula seperti nelayan yang pakaiannya kotor, melainkan sebagai tiga orang pelancong yang sedang bersenang-senang naik perahu layar. Dua orang pembantu Song Kim itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan merupakan dua orang opsir yang pandai ilmu silat dan juga sudah banyak mengenal daerah itu.
"Di utara sana itu, yang nampak kecil hitam dari sini, adalah Pulau Layar," kata seorang di antara dua opsir itu kepada Song Kim.
"Di sana yang menjadi majikan adalah seorang kaya raya she Tang, yang kabarnya dulupun pernah menjadi bajak laut, dan dia terkenal pula dengan julukan Hai-tok."
"Apa? Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia?" tanya Song Kim pura-pura.
"Benar, Lee-Ciangkun. Akan tetapi sudah bertahun-tahun dia tidak lagi melakukan pekerjaan membajak karena sudah kaya raya. Dan kabarnya pulau yang sudah dibakar oleh pasukan kita itu, kini ditinggalkan dan mereka lari entah kemana, sejak terjadi penyerbuan ketika Hai-tok mengadakan pesta ulang tahun itu." Song Kim mengangguk-angguk. Tentu saja dia tahu semua itu. Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu ke pulau mana gurunya itu pindah. Terlalu banyak pulau kosong di tengah lautan sana, pulau-pulau kosong yang amat berbahaya. Tiba-tiba terdengar suara rumah keong besar ditiup, suaranya dari jauh terdengar seperti suara seekor lembu menguak. Song Kim dan dua orang temannya menengok dan Song Kim berkata.
"Menjemukan benar tingkah mereka itu." Mereka melihat betapa beberapa orang dan perahu bermeriam itu memberi tanda agar mereka datang mendekat.
"Lee-Ciangkun, melihat dan pakaiannya, mereka itu tentulah orang-orang dari pasukan Harimau Terbang. Lihat itu benderanya."
"Hemm, kau maksudkan Pasukan Harimau Terbang yang menjadi anjing-anjing peliharaan orang kulit, putih?"
"Benar, Lee-Ciangkun. Kabarnya terjadi bentrokan hebat antara para anjing penjilat orang kulit putih yang menyebabkan banyak anggauta Harimau Terbang tewas, bahkan pemimpinnya yang bernama Koan Jit kini juga telah melarikan diri. Mungkin mereka itu hanya sisa-sisanya saja yang masih dipergunakan oleh pasukan Inggeris." Kini perahu Harimau Terbang itu mendekat, dan seorang di antara mereka yang berkumis dan berwajah bengis membentak.
"Heii... apakah kalian tuli atau buta? Dipanggil tidak mau mendekat? Hayo kalian dayung ke sini, kami harus memeriksa apa isi perahu kalian!" Song Kim merasa mendongkol sekali.
"Kami hanya pelancong-pelancong yang tidak membawa apa-apa. Dan situpun nampak bahwa perahu kami ini kosong. Mau diperiksa apanya?" Mendengar jawaban yang berani dan tidak halus itu, pimpinan Harimau Terbang menjadi semakin marah. Matanya melotot. Belum pernah ada orang di sepanjang pantai ini berani bersikap kasar kepadanya.
"Apakah kau gila? kau tahu dengan siapa kalian berhadapan? Hayo ke sini kalau kalian tidak ingin kupenggal kepala kalian dan kuberikan kepada ikan hiu!" Song Kim tak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Aku tahu berhadapan dengan Pasukan Harimau Terbang, anjing-anjing kelaparan yang menjilat-jilat sepatu orang-orang bule, bukan?"
"Keparat! Mereka itu pemberontak-pemberontak! Kejar!" Teriak si muka bengis itu, dan kini perahu Harimau Terbang mengejar perahu layar kecil itu. Akan tetapi, Song Kim dan dua orang kawannya sengaja mempermainkan mereka. Mereka bertiga itu memiliki perahu yang lincah dan lebih dari itu, Lee Song Kim adalah murid Hai-tok dan kepandaiannya di atas maupun di dalam air luar biasa, maka dia dapat melarikan perahunya ke kanan kiri melepaskan diri dan pengejaran lawan, bahkan mempermainkannya dengan mengelilingi perahu yang jauh lebih besar itu. Setelah berkejaran sampai setengah jam lebih tanpa hasil, akhirnya komandan perahu Harimau Terbang menjadi marah.
"Siapkan meriam! Tembak mereka!" Lee Song Kim sama sekali tidak mengira bahwa perahu Harimau Terbang itu akan melepaskan tembakan meriam terhadap perahu yang sama sekali tidak bersalah. Maka ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras dan perahunya kena hantaman peluru sehingga dia sendiri terlempar jauh ke laut, dia terkejut bukan main. Cepat dia mencari kedua kawannya di antara perahunya yang terbakar. Namun dia hanya menemukan dua kawan itu sudah mengambang menjadi mayat di antara kepingan-kepingan kayu dan perahunya yang terbakar dan hancur.
"Keparat busuk!" Song Kim memaki marah sekali dan tubuhnya segera lenyap ketika dia menyelam. Tak lama kemudian dia sudah berada di dekat perahu lawan, muncul di bawah perahu tanpa terlihat oleh seorangpun. Dia mendengar betapa se puluh orang di atas perahu itu tertawa bergelak-gelak, mentertawakan perahunya yang terbakar dan hancur, dan tentu juga mentertawakan kematian dua orang kawannya dan dia sendiri yang oleh mereka tentu dianggap sudah mati. Kemarahan membuat wajah pemuda ini menjadi beringas sekali.
"Jahanam busuk!" kembali dia membentak, dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, ke perahu pasukan Harimau Terbang itu. Tentu saja semua orang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba melihat seorang pemuda tampan berada di perahu mereka. Si muka bengis, pemimpin mereka, yang sudah memegang sebatang golok, tahu bahwa yang muncul ini tentu pihak musuh, maka dia pun cepat membacokkan goloknya yang amat tajam itu ke arah Song Kim.
Pemuda ini tidak mengelak, melainkan cepat menotok siku kanan pemegang golok, dan tiba-tiba saja tangan kanan itu menjadi lumpuh. Sebelum si muka bengis itu tahu apa yang terjadi, nampak sinar goloknya yang sudah pindah tangan itu berkelebat dan tersemburlah darah muncrat-muncrat dari leher yang sudah buntung itu! Song Kim menyambar kepala yang mencelat itu, menjambak pada rambutnya. Muka yang sudah tidak berbadan lagi itu masih nampak bengis, matanya melotot, alis berkerut dan mulutnya membentuk kebengisan setengah terbuka, amat mengerikan! Melihat betapa kepala pasukan itu tewas dengan leher putus dan kini kepalanya dijambak tangan kiri pemuda itu, para anak buahnya terkejut, ngeri akan tetapi juga marah.
Mereka lalu mencabut golok masing-masing dan maju mengeroyok. Terjadilah perkelahian di atas perahu itu. Akan tetapi mana mungkin prajurit-prajurit Harimau Terbang itu mampu melawan Lee Song Kim? Sekali saja golok itu berkelebat, seorang prajurit robek perutnya dan yang kedua hampir putus lehernya, sedangkan yang ketiga menjerit karena melihat betapa muka pemimpinnya itu tiba-tiba mencium mukanya dengan keras! Sempat dia menjerit ngeri, akan tetapi dadanya segera ditembus golok di tangan Song Kim! Kini pemuda itu mengamuk dan tak seorangpun di antara se puluh orang itu yang sempat melarikan diri, semua habis dibabat golok rampasannya dan tubuh mereka kini malang melintang di atas dek perahu, yang sudah kebanjiran darah. Bau amis amat memuakkan.
Song Kim lalu membuang golok rampasannya dan meloncat ke air, menyelam dan lenyap dan situ. Biarpun Song Kim telah berhasil membunuh se puluh orang anggauta Harimau Terbang itu, namun dia kehilangan dua orang pembantunya, dan hal ini membuat hatinya menjadi marah sekali. Dia cepat pulang ke Kota Raja, membuat laporan kepada komandannya bahwa sebelum dia sempat menemukan tempat persembunyian Bajak Naga Laut, dia bentrok dengan orang-orang Harimau Terbang yang mengakibatkan dua orang kawannya tewas. Komandannya juga penasaran dan marah, maka Lee Song Kim lalu diutus mengepalai sebuah perahu besar dengan anak buah sebanyak seratus orang tentara pilihan, bukan hanya untuk mencari dan menumpas bajak laut, akan tetapi juga untuk menumpas pasukan Harimau Terbang kalau berani mengganggu perahu pemerintah Ceng.
Perahu besar itu memang nampaknya saja mempunyai anggauta seratus orang pasukan, akan tetapi Song Kim tidak sebodoh itu, membiarkan perahunya hanya dijaga seratus orang. Bukankah perahu Pangeran Ceng Tiu Ong juga dikawal seratus orang prajurit dan apa jadinya? Sebagian besar prajurit itu tewas dan perahunya dibakar! Dan diapun tidak mungkin hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena selain pihak bajak itu banyak, juga dipimpin oleh orang pandai pula. Kalau benar sumoinya, Kiki, yang memimpin bajak itu, tentu dia sendiri sudah akan repot menandingi sumoinya dan tidak akan dapat melindungi anak buahnya dengan baik dari serbuan para bajak. Apalagi kalau yang memimpin bajak itu Hai-tok, bekas gurunya sendiri. Akan tetapi diapun tidak takut terhadap Hai-tok.
Semua ilmu silat dan Kakek itu sudah dikuasainya, dan Kakek yang kaya raya itu mana akan mampu menandingi kekuatannya yang masih muda? Karena cerdiknya, opsir muda ini lalu menyembunyikan seratus orang lagi pasukan di bagian bawah perahunya. Jadi, kekuatannya hanya nampaknya saja seratus orang, padahal sebenarnya duaratus orang. Dan perahunya juga bukan perahu biasa, melainkan perahu besar yang sudah diperlengkapi dengan meriam! Benderanya besar, bendera tanda milik pemerintah Ceng-tiauw, dapat nampak dari jauh. Dan pasukannya juga dipilih pasukan yang jagoan dan yang sudah berpengalaman bertempur di atas perahu. Pendeknya, Lee Song Kim sudah membuat persiapan yang cermat untuk menghadapi segala kemungkinan, baik melawan pasukan Harimau Terbang maupun pasukan Bajak Naga Laut.
Sementara itu, peristiwa yang terjadi atas diri se puluh orang anggauta Harimau Terbang yang dibantai oleh Song Kim itu, segera diketahui oleh Kapten Elliot. Bukan main marahnya kapten ini. Dia segera memanggil Peter Dull, letnan yang gagah perkasa, bekas sahabat baik Koan Jit itu. Setelah Koan Jit melarikan diri tanpa pamit setelah markasnya diserang oleh Ong Siu Coan dan anak buahnya dibantu Thian-tok, lalu sisa pasukan Harimau Terbang diserahkan kepada Letnan Peter Dull. Jumlahnya masih ada kurang lebih tujuh puluh orang bersama dengan para mata-matanya sendiri. Mendengar betapa anak buahnya dibantai orang, marahlah Peter Dull. Karena tidak terdapat saksi hidup, dia tidak tahu siapa orangnya yang telah membunuh se puluh orang anak buahnya itu secara demikian kejamnya.
"Damn!" kutuknya penuh kegeraman.
"Mereka bukan manusia, melainkan iblis-iblis jahat, membunuh orang seperti itu!"
Letnan ini yang menyaksikan sendiri mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu itu dengan leher putus, atau hampir putus, dengan dada berlubang tembus, dengan perut pecah sehingga ususnya berceceran. Dek perahu yang banjir darah, bau amis, membuat dia muak dan menganggap pihak musuh membunuhi se puluh orang anak buahnya itu seperti iblis. Demikianlah kita pada umumnya. Mudah saja kita menudingkan telunjuk kepada orang lain dengan tuduhan kejam, curang, jahat dan sebagainya. Peter Dull marah-marah dan menganggap perbuatan orang yang membunuh se puluh orang anak buahnya itu kejam seperti iblis. Dia sama sekali tidak ingat kalau dia dan orangnya, entah sudah membunuh beratus atau berapa ribu orang!
Dan dia mengangap bahwa membunuh dengan pistol atau bedil atau meriam itu tidaklah sekejam membunuh dengan senjata tajam. Dia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa menyebarkan candu kepada rakyat yang jutaan banyaknya itu merupakan pembunuhan yang lebih kejam lagi, membunuh sedikit demi sedikit dengan penyiksaan lahir batin yang luar biasa kejamnya! Inilah yang menjadi kesalahan kita semua. Kita terlalu memperhatikan orang-orang lain, terlalu menilai perbuatan-perbuatan orang lain. Pikiran kita setiap detik sibuk untuk menilai perbuatan orang lain, untuk membela diri, membenarkan diri, mencari segala alasan untuk membenarkan diri sendiri, mencari segala daya upaya untuk menguntungkan diri lahir batin, sehingga kita lupa akan suatu yang teramat penting dalam kehidupan kita, yaitu: MENGAMATI DIRI SENDIRI!
Kalau saja kita selalu sadar, selalu waspada untuk mengadakan pengamatan terhadap diri sendiri, BUKAN AKU mengamati AKU, melainkan ada kewaspadaan, ada kesadaran dan pengamatan yang selalu melakukan pengamatan lahir batin dan diri kita detik demi detik. Waspada kalau kita sedang melamun, kalau sedang bicara, kalau sedang bekerja, mencurahkan segala tenaga dan perhatian terhadap diri sendiri, apa yang kita lakukan baik yang terjadi di dalam maupun di luar diri. Kalau sudah begitu, kita tentu tidak akan lagi menilai orang lain. Juga tidak lagi menilai diri sendiri, karena segalanya akan sudah nampak dan dimengerti benar! Hanya pengamatan ini sajalah yang akan mampu mengubah batin kita secara menyeluruh dan secara seketika.
Perubahan lahir tidak banyak artinya. Perubahan batiniah yang penting bagi hidup, karena apa yang suka dinamakan kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan lahir. Urusan badan adalah kesenangan, dan dimana ada kesenangan tentu ada kesusahan. Badan bisa merasakan enak dan tidak enak, panas atau dingin, senang atau susah. Akan tetapi, pengamatan akan membebaskan batin dan semua pengalaman badan, sehingga batin akan tetap bebas, tidak bersandar, tidak bergantung, tidak susah atau senang, tak pernah mengeluh dan tak pernah bersorak-sorai. Hanya batin yang seperti inilah yang benar-benar dapat merasakan dan mengerti apa yang sesungguhnya dinamakan bahagia itu. Hanya yang beginilah yang mengerti apa yang dinamakan cinta kasih itu.
Kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan badan. Cinta kasih adalah urusan batin bukan urusan badan. Kesenangan dan nafsu berahi, itulah urusan badan, tetapi kesenangan bisa berubah menjadi kesusahan dan cinta berahi bisa berubah menjadi kebencian! Letnan Peter Dull, perwira berusia tiga puluh lima tahun yang ganteng itu, dengan marah lalu mempersiapkan kapal yang lengkap dengan meriam-meriam besar dan membawa serdadu sejumlah tidak kurang dari duaratus orang, semua bersenjata lengkap, lalu menjelajahi lautan timur untuk mencari bajak laut. Dia mendengar tentang bajak laut yang tersohor dengan nama Bajak Naga Laut, dan dia merasa yakin bahwa tentu bajak laut itulah yang membunuh orang-orangnya. Dia bersumpah untuk membasmi Bajak Naga Laut itu.
Peter Dull amat membenci para pejuang yang dinamakannya pemberontak, bukan hanya karena mereka banyak mengganggu bangsa kulit putih, akan tetapi terutama sekali karena dia kehilangan Diana yang dicintanya. Beberapa hari lamanya kapalnya mencari-cari di antara pulau-pulau kosong, akan tetapi belum juga berhasil menemukan pulau yang menjadi sarang Bajak Naga Laut. Dia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, sebuah perahu lain yang ukurannya lebih kecil dari kapalnya, juga berputar-putar mencari sarang bajak laut, dan perahu itu bukan lain perahu Kerajaan Ceng yang dipimpin oleh Lee Song Kim. Sebetulnya, kapal yang dipimpin oleh Peter Dull itu sudah melalui sebuah pulau bukit karang dimana terdapat kapal Naga Laut, akan tetapi pemimpin kapal itu, Kiki, amatlah cerdiknya.
Ia melihat kapal asing itu dan maklum bahwa untuk melawan kapal itu, amatlah berbahaya. Moncong-moncong meriam yang begitu besar dan banyak jumlahnya, serdadu-serdadu yang semua menyandang bedil di pundak dalam jumlah yang amat banyak, merupakan lawan yang terlampau berat bagi seratus orang anak buahnya. Sebelum mereka sempat menyerbu, tentu perahu naga itu akan ditenggelamkan oleh peluru-peluru meriam. Oleh karena itulah, biarpun anak buahnya menganjurkan, ia memerintahkan agar perahunya memutar haluan dan bersembunyi di balik bukit karang itu. Setelah kapal asing itu lewat dan tidak nampak lagi, barulah Kiki memerintahkan orang-orangnya untuk mengembangkan layar dan melakukan pengejaran ke arah utara,
Arah yang berlawanan dengan kapal asing yang tadi menuju ke selatan, karena tadipun ia melihat dengan teropongnya dari jauh bahwa ada sebuah perahu berbendera Ceng yang menuju ke utara. Perahu pemerintah Ceng itulah yang akan dibajak, bukan kapal orang kulit putih yang terlalu kuat itu. Pula, ia tidak melihat harapan untuk memperoleh banyak hasil bajakan dan kapal asing itu. Melihat betapa kapal itu dipersenjatai dengan kuat dan berhilir mudik, ia dapat menduga bahwa kapal itu tidak memuat dagangan-dagangan yang berharga melainkan sedang melakukan patroli. Dan menyerang kapal patroli, andaikata menang juga, apa hasilnya? Yang dikejarnya itu adalah perahu yang dipimpin oleh Lee Song Kim. Tentu saja Kiki tidak pernah menduga bahwa bekas suhengnya yang berada di perahu itu.
Dan karena Song Kim melayarkan perahunya perlahan-lahan sambil mencari-cari, sedangkan perahu naga itu berlayar kencang melakukan pengejaran, tak lama kemudian perahu pemerintah Ceng itupun tersusul. Dengan teropongnya, Kiki mempelajari keadaan perahu musuh dan hatinya merasa girang. Jumlah pasukan Ceng yang berada di atas perahu itu hanya kurang lebih seratus orang, dan jumlah itu sama sekali tidak ada artinya bagi anak buahnya yang juga berjumlah seratus orang. Makanan empuk! Dan perahu Ceng itu hanya memiliki meriam di kanan kiri perahu, dua buah saja. Maka cepat ia lalu memerintahkan menurunkan dua buah sampan kecil yang dimuat masing-masing se puluh orang dan memberi perintah kepada mereka untuk lebih dulu melakukan penyerangan untuk mengacaukan pihak lawan dan membungkam kedua buah meriam itu.
Dua puluh orang ini memiliki kepandaian yang tinggi dalam hal ilmu di dalam air dan merekapun dengan cepatnya mendahului perahu Ceng. Kiki sendiri yang menganggap ringan pihak lawan, ikut di dalam sebuah di antara perahu-perahu itu dan hanya menyelinapkan sebatang tongkat pendek seperti pedang yang terbuat dan pada tulang ikan yang amat kuat. Sementara itu, Song Kim juga sudah melihat datangnya perahu naga dari jauh. Jantungnya berdebar tegang. Itulah perahu Bajak Naga Laut. Dia tidak akan keliru lagi dan tentu orang-orang itu adalah anak buah bekas gurunya. Hanya teropongnya tidak melihat adanya Kiki yang sudah ikut dengan sebuah di antara sampan-sampan itu.
Akan kuhajar kalian, pikir Song Kim dengan penuh geram. Walaupun mereka itu adalah bekas teman-temannya, anak buahnya, akan tetapi kini mereka dianggap musuh yang harus dibasmi karena mereka mulai berani menyerang perahu-perahu pemerintah, bahkan belum lama ini membakar perahu yang ditumpangi oleh Pangeran Ceng Tiu Ong yang mengambil kitab-kitab kuno dari Mukden. Dia tidak dapat menduga siapa yang memimpin bajak itu, akan tetapi dia tidak takut. Biar bekas gurunya sendiri sekalipun, akan dapat berbuat apa terhadap dua meriamnya dan juga duaratus orangnya, termasuk seratus yang disembunyikan di bawah? Biarkan bajak-bajak itu memandang rendah pasukannya dan mengira hanya seratus orang, padahal ada dua ratus orang, dua kali lipat jumlah anak buah perahu Bajak Naga Laut itu sendiri.
Makin dekatlah perahu bajak itu yang nampak menyeramkan, seperti seekor naga laut berenang karena kepala perahu berbentuk naga itu memang amat indah buatannya sehingga nampak dan jauh seperti seekor naga aseli. Song Kim tidak memerintahkan menembak perahu musuh itu. Dia tidak ingin kalau perahu itu kemudian ketakutan dan melarikan diri. Biarkan mereka dekat sekali dan baru diserbu, karena dia ingin membasmi habis semua anak buah bajak laut itu. Dia sendiri sudah menghunus sebatang golok. Biarpun dia biasanya suka memakai pedang, akan tetapi sejak menjadi perwira dan menerima sebuah golok yang bagus dari atasannya sebagai tanda pangkat, dia merubah senjatanya dari pedang menjadi golok, dan dia memang ahli dalam permainan pedang atau golok.
Dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar, Song Kim menanti datangnya perahu bajak itu dan sudah terdengar suara tanduk ditiup dan sorak-sorai kau m bajak yang kasar itu. Pasukannya yang seratus orang masih tetap bersembunyi di bawah, tidak diperbolehkan keluar sebelum terjadi pertempuran. Dua buah sampan itu dengan kecepatan luar biasa meluncur mendekati perahu Ceng, dan perahu naga itupun semakin mendekat. Dan kedua pihak sudah terdengar sorakan-sorakan dan makian-makian saling menantang. Tiba-tiba saja, sebelum Song Kim memerintahkan meriam yang menghadapi perahu lawan itu ditembakkan, nampak sesosok bayangan hijau meloncat dari bawah, dan tahu-tahu dia sudah berhadapan dengan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Kiki!
"Wah, kau sendiri, sumoi?" teriak Song Kim girang bukan main melihat betapa yang memimpin pembajakan itu adalah sumoinya yang pernah membuatnya tergila-gila.
Kesempatan baik untuk menangkap sumoinya yang sejak dulu sudah dirindukannya itu. Dan dia yakin benar bahwa sumoinya masih belum tahu akan perbuatannya di malam badai itu dimana hampir saja dia berhasil memperkosa sumoinya di atas perahu, kalau tidak keburu datang badai hebat melanda perahu mereka, bahkan kemudian diapun sudah hampir memperkosa sumoinya di daratan di pantai itu kalau saja tidak muncul seorang pemuda perkasa yang telah menyerang dan menghalangi perbuatannya. Kalau teringat akan semua itu, kini begitu melihat sumoinya, nafsu berahinya timbul kembali dan ingin sekali dia dapat menangkap dan mendekap sumoinya yang cantik jelita ini. Akan tetapi Kiki tidak segembira dia bertemu dengan suhengnya di situ. Ia malah nampak marah sekali, mukanya menjadi merah dan sinar matanya berapi-api.
"Engkau pengkhianat besar! Dulu engkaulah yang melaporkan kepada pemerintah! Engkau penjadi anjing Mancu!"
"Eh, sumoi... kenapa menjadi pemberontak? Lebih baik kita mengabdi kepada pemerintah yang syah dan mencari pahala."
"Jahanam!" Bentak Kiki, dan gadis ini sudah menyerang dengan senjatanya yang istimewa, menusukkannya ke arah dada Song Kim dengan amat cepatnya.
"Tranggg!" Golok di tangan Song Kim menangkis. Akan tetapi Kiki yang menyerang dengan marah itu sudah menggerakkan lagi senjatanya dan menyerang bertubi-tubi dengan amat ganasnya. Mula-mula Song Kim hanya menangkis saja, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia terus mengalah, dia bisa terancam maut di ujung senjata aneh yang ternyata berat dan kuat sekali itu. Maka diapun mulai membalas dengan serangan goloknya, dan berkelahilah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan serunya.
Tingkat kepandaian mereka memang berimbang dan keduanya amat mahir, sama-sama memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh mereka berkelebatan mengaburkan pandang mata para anak buah tentara Ceng, sehingga merekapun tidak berani mendekat. Membantu komandan mereka berbahaya, salah-salah bisa mengenai tubuh komandan itu sendiri, karena gerakan kedua orang itu sukar diikuti pandang mata. Juga sinar senjata mereka mencuat kemana-mana, dan amatlah berbahaya. Terkena sambaran angin senjata atau terkena sinar senjata itu saja sudah akan dapat mencelakai mereka. Sementara itu, orang-orang dari kedua sampan sudah berloncatan naik dan menyerang para penjaga meriam sehingga meriam itu tidak sempat ditembakkan dan terjadilah perkelahian di atas dek.
Kini perahu naga sudah dekat dan seperti biasa, mereka melemparkan kaitan bertali sehingga kedua perahu itu bergandengan. Dan mereka semua sambil bersorak-sorak berlompatan menyerang perahu Ceng. Akan tetapi, sekali ini para bajak itu kecelik. Terdengar tembakan-tembakan senapan dan beberapa orang bajak terjungkal. Dan ketika mereka semua sudah menyerang ke atas perahu Ceng, bermunculanlah prajurit yang tadinya bersembunyi di bawah sehingga jumlah mereka dua kali lebih banyak dari pada jumlah para penyerbu. Melihat banyaknya prajurit pemerintah, Kiki terkejut bukan main. Diserangnya bekas suhengnya itu mati-matian dan ketika suhengnya itu mundur, iapun dengan cekatan seperti seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas tiang layar.
Maksudnya hendak cepat kembali ke perahunya untuk memperingatkan anak buahnya agar cepat mundur, karena pihak lawan terlampau kuat. Akan tetapi, Song Kim tidak ingin melihat sumoinya lari. Diapun berseru nyaring dan tubuhnya melayang pula ke atas, mengejar sumoinya. Kiki menyambut dengan serangan, dan kini kedua orang yang amat cekatan itu berkelahi di atas tiang layar. Karena tempat itu hanya kecil dan berdiri saja sukar, maka dapat dibayangkan hebatnya perkelahian itu. Mereka bergantungan pada tali-temali layar, menginjak bambu melintang dan seperti sepasang akrobat sedang beraksi di sirkus, keduanya berlompatan, berjungkir balik dan saling serang di tempat yang tinggi itu. Bukan hanya dari senjata lawan datangnya bahaya, akan tetapi sekali kaki tergelincir dan tubuh jatuh ke bawah, bisa celaka!
"Ha-ha-ha, sumoi, lebih baik engkau menyerah saja dan aku akan mengampuni semua anak buahmu. kau tahu, aku menyembunyikan seratus orang prajurit, dan kini seratus orangmu itu melawan duaratus orang prajuritku. Dan kau sendiri, mana bisa menangkan aku? Lebih baik kau menyerah dan ikut bersamaku ke Kota Raja mencari kemuliaan. Marilah, sumoi yang manis!"
"Tidak sudi!" bentak Kiki. Akan tetapi pada saat itu, Song Kim sudah mendesaknya dan ketika ia mundur-mundur, Kiki terjebak. Ia mundur sampai hampir ke ujung bambu yang makin mengecil dan kalau ia mundur terus, akhirnya tentu akan tergelincir dan ujung bambu. Sedangkan Song Kim masih berdiri di atas bambu yang besar, bahkan di belakangnya ada tiang layar besar yang akan dapat dipakai berpegang kalau dia tergelincir.
"Menyerahlah, atau kau ingin mati?" bentak Song Kim sambil tetap menodongkan goloknya dengan sikap mengancam.
"Tidak sudi... lebih baik mati!" bentak Kiki, akan tetapi ini bukan bentakan putus asa karena sepasang matanya yang indah itu mengukur jarak dan melihat keadaan bambu yang diinjaknya.
"Kalau begitu mampuslah!" Song Kim menjadi marah dan menyerang. Akan tetapi tiba-tiba, dengan menggeluarkan pekik yang melengking, tubuh Kiki yang mundur-mundur itu terpeleset dan tubuhnya mencelat! Ternyata dara perkasa ini membuat poksai (jungkir balik) ke belakang, tangan kirinya menangkap ujung bambu, tangan kanan yang memegang senjata itu menyerang ke arah kaki lawan, sedangkan kaki kanannya dengan gerakan yang amat cepat telah menendang ke arah dada Song Kim! Gerakan ini sungguh sama sekali tidak tersangka oleh Song Kim sehingga dadanya kena ditendang.
"Bukkk!!" Untung di belakangnya ada tambang dimana tangan kanannya cepat menyambar tambang, sedangkan tangan kiri yang memegang golok itu diayun ke bawah menangkis senjata Kiki. Gadis itu maklum bahwa ia berada dalam bahaya, maka sambil kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya melayang ke bawah sambil membuat gerakan salto sampai lima kali.
"Byurrrr!" Tubuhnya jatuh ke air di luar perahu musuh. Ia cepat menyembul kembali dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Semua bajak cepat kembali ke perahu mereka dan melarikan diri setelah meninggalkan korban hampir setengah jumlah mereka.
Mereka mengalami kekalahan besar dan masih untung bahwa pemimpin mereka tidak tewas dan perahu naga itupun tidak mengalami kerusakan. Song Kim marah sekali. Mencoba untuk menyerang kapal yang melarikan diri itu dengan tembakan meriam, akan tetapi tanpa hasil karena meriamnya tadi sudah dirusak oleh para bajak. Setelah diperbaiki dan dapat dipergunakan, perahu bajak itu telah pergi terlalu jauh di luar jangkauan peluru meriam. Memang dia memperoleh kemenangan dan telah menghajar para bajak. Akan tetapi yang membuat dia penasaran sekali adalah karena dia tidak berhasil menangkap Kiki. Dengan uring-uringan, terpaksa Song Kim memerintahkan orang-orangnya untuk kembali saja ke daratan. Seorang gadis yang manis menunggang kuda memasuki pintu gerbang Kota Raja.
Wajahnya cerah dan sinar matanya jenaka, walaupun ada bayangan bahwa gadis ini keras hati dan galak. Yang membuat ia nampak manis sekali adalah setitik tahi lalat di pipi kirinya. Caranya menunggang kuda membuat banyak pria yang memandang dengan hati tertarik menjadi mundur teratur untuk berani menggoda. Penunggang kuda seperti itu yang demikian sigap dan duduknya tegak, dengan keseimbangan yang begitu sempurna, bukanlah seorang gadis yang boleh diganggu begitu saja! Memang tidak keliru dugaan orang. Gadis itu bukan lain adalah Kiki! Dia memenuhi perintah Ayahnya agar segera melaksanakan keputusan mereka untuk mengembalikan atau mengirimkan kitab-kitab dalam peti hitam kepada puteri Pangeran Ceng Tiu Ong di Kota Raja, dan selain itu, juga menyelidiki keadaan Lee Song Kim.
Semenjak mendengar tentang perbuatan Song Kim terhadap perahu naga mereka dan membunuh banyak anak buah bajak, kebencian Hai-tok terhadap bekas muridnya itu semakin menghebat, dan dia ingin cepat-cepat tahu dimana dia menemukan bekas murid itu untuk dihukumnya. Kiki seorang gadis yang cerdik sekali. Ia menduga bahwa kalau seorang pangeran dalam keadaan terancam maut masih teringat kepada sepeti kitab-kitab kuno, hal itu hanya berarti bahwa kitab-kitab itu amatlah berharga, setidaknya bagi sang pangeran atau puterinya. Karena itu, setelah tiba di Kota Raja di luar tembok Kota Raja, ia sengaja menyembunyikan peti itu di rumah seorang petani sederhana yang sudah diberinya uang, dititipkannya peti berisi kitab-kitab yang bagi si petani tentu tidak berarti.
"Lebih baik kuselidiki dulu malam nanti," pikir Kiki. Ia ingin sekali mengenal lebih dahulu keadaan keluarga itu sebelum menghubunginya. Dengan mudah ia mendapatkan sebuah kamar di sebuah hotel yang sedang saja, dan sambil memberi sekedar uang, ia menyuruh seorang pelayan hotel untuk mengurus kudanya. Setelah malam tiba, Kiki mengenakan pakaian yang ringkas, dengan rompi berkembang. Tentu saja rompi kulit buaya itu tak pernah dipakainya di tempat seperti ini. Setangkai bunga dan emas permata tak lupa menghias rambutnya, dan itulah satu-satunya hiasan yang menempel di tubuhnya. Setelah keluar dan hotel, ia langsung menuju ke jalan besar dimana berdiri gedung keluarga Pangeran Ceng Tiu Ong dengan megah, kuno, dan sunyinya.
Tembok yang mengelilingi rumah itu mengingatkan Kiki pada sebuah benteng. Betapa tebalnya tembok itu dan juga lebih tinggi dari pada rumah-rumah lain di sekitarnya yang dibangun belakangan. Menjelang tengah malam, keadaan di jalan raya depan rumah itu sudah sepi sekali, tak nampak seorangpun manusia lewat di situ. Setelah meneliti ke kanan kiri dan yakin bahwa tidak ada orang yang melihatnya, Kiki lalu menggunakan gin-kangnya, dengan tubuh yang ringan sekali ia meloncat ke atas tembok yang melingkari gedung itu. Ia berdiri di atas tembok itu dan kembali celingukan memandang ke kanan kiri, depan dan belakang. Kini nampak olehnya sebuah kebun yang terawat indah, dan bangunan itu walaupun nampak dan luar amat kuno, ternyata di sebelah dalamnya juga terawat bersih.
"Hauuuunggg!" Tiba-tiba terdengar auman harimau! Bukan main kagetnya hati Kiki sampai hampir saja ia terguling jatuh dan atas tembok itu. Ia tentu saja tidak takut berhadapan dengan harimau, akan tetapi di tempat seperti itu mendengar auman harimau, sungguh mengejutkan bukan main, karena tidak tersangka sama sekali.
Andaikata ia mendengar auman itu di tengah hutan, tentu sedikitpun ia tidak akan merasa kaget. Ia memandang ke dalam, mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi tidak melihat seekorpun harimau, ekornyapun tidak. Dan kini tidak terdengar suara apa-apa lagi. Tentu di gedung itu dipelihara seekor harimau, pikir Kiki, harimau dalam kerangkeng. Dan agaknya semua penghuninya sudah tidur, buktinya, auman harimau itupun tidak menimbulkan keributan dan agaknya para penghuni rumah itu tidak ada yang perduli dan tidur saja terus. Dengan amat hati-hati, Kiki mengerahkan seluruh ilmu gin-kangnya sehingga tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering saja, ia masuk ke dalam kebun.
Sejenak ia berindap-indap seperti maling. Biarpun ia puteri tunggal Hai-tok, biarpun ia pemimpin perahu Bajak Naga Laut, namun selama hidupnya belum pernah Kiki melakukan pencurian. Kini memasuki rumah orang tanpa diketahui pemiliknya, mendatangkan rasa berdebar-debar di jantungnya sehingga degup jantungnya sampai terdengar di dalam telinganya sendiri. Ia seorang yang keras hati dan memiliki ketabahan luar biasa, akan tetapi memasuki rumah orang seperti maling sungguh merupakan suatu pengalaman baru yang mendebarkan. Dengan mudahnya, Kiki memasuki pekarangan terus ke belakang dan sebuah pintu kecil yang nembus ruangan belakang dapat dibukanya dengan mudah pula. Tanpa mengeluarkan terlalu banyak tenaga, ia dapat mematahkan kunci daun pintu itu, membuka daun pintunya perlahan-lahan.
"Geriiiittt!" Kiki tersentak kaget, lalu tersenyum seorang diri. Gobloknya, pikirnya, masih derit pintu saja membuat ia kaget setengah mati seperti mendengar suara setan.
Dengan hati-hati, ia memasuki ruangan belakang itu dan ternyata ruangan itu menyerupai sebuah gudang. Tidak ada seorangpun manusia di situ, dan gudang itu penuh dengan bahan makanan. Gandum, dendeng, bumbu-bumbu. Baunya menyentuh hidung. Bau yang bercampur aduk, jadi tidak enak. Ia sempat terheran, mengapa kalau semua bahan ini sudah dimasak, bau dan rasanya menjadi nikmat. Pintu yang terdapat di gudang ini tanpa daun, dan ketika ia memasukinya ternyata di sebelah itupun terdapat sebuah gudang kecil lainnya berisi senjata-senjata seperti pedang, tombak, golok, anak panah, ruyung, toya dan pendeknya, ada delapanbelas macam senjata pokok terkumpul di situ. Ia merasa heran. Tempat seperti ini hanya patut dimiliki orang yang suka berlatih ilmu silat.
Senjata-senjata itu bukan barang pusaka, hanya senjata-senjata biasa, dan melihat betapa gagang-gagang senjata itu licin dan kehitaman, ia mengerti bahwa senjata-senjata itu seringkali dipergunakan orang, mungkin untuk berlatih. Dan memang benar, di luar gudang senjata ini terdapat ruangan luas yang jelas adalah sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), dan di dindingnya banyak digantungi tulisan-tulisan yang gagah, pendirian-pendirian para pendekar seperti "Membela kebenaran dan keadilan di atas segala," "Lebih baik mati seperti seekor harimau dari pada hidup seperti seekor babi," dan lain-lain lagi. Akan tetapi, tiba-tiba mata Kiki yang sudah agak biasa dengan cuaca remang-remang di tempat itu karena hanya diterangi sebuah lampu tempel kecil di sudut, melihat sebatang pedang bersarung yang indah sekali di dinding yang tidak ada tulisannya.
Agaknya pedang itu merupakan pedang pusaka atau pedang keramat, karena di depan dinding itu terhampar sehelai permadani merah. Kiki tertarik sekali dan cepat dihampirinya dinding itu. Akan tetapi ketika kedua kakinya sudah menginjak permadani, tiba-tiba saja lantai yang diinjaknya terjeblos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa jatuh ke bawah, jelaslah bahwa jebakan ini digerakkan orang. Ia sudah berhati-hati dan tadi menginjak dulu dengan satu kaki dan tidak terjadi apa-apa. Baru setelah ia berdiri dengan kedua kaki, tempat itu tiba-tiba terjeblos dan tentu saja ia tidak mampu menghindarkan diri ikut jatuh ke bawah! Akan tetapi Kiki memang seorang gadis yang hebat!
Biarpun sudah terjeblos jatuh, ia masih mampu berjungkir balik dan meluncur ke bawah dengan kedua kaki lebih dulu, kemudian hinggap di atas tanah dengan ringan. Kiranya lantai di atas tadi tidak ikut terjeblos melainkan permadaninya. Sebuah alat jebakan yang amat cerdik dan berbahaya. Dan dara itu kini telah berada dalam sebuah kerangkeng yang lebarnya hanya dua meter persegi dan mempunyai sebuah daun pintu besi! Dan ruangan bawah tanah ini luas juga, nampak dari kerangkengnya betapa ruangan itu berdinding tebal. Sebuah obor besar menyala tak jauh dan tempat dimana ia tertahan dan suasana di situ sunyi sekali. Kesunyian inilah yang membuat ia merasa agak takut. Dan tiba-tiba kembali terdengar auman harimau seperti tadi! Ia terlonjak kaget dan melihat sekitarnya. Tidak ada harimau dalam kerangkeng itu dan hatinya lega.
"Hei, pengecut besar! Kalau memang kau gagah, keluarlah dan jangan hanya bersembunyi, mengandalkan segala jebakan curang dan harimau ompong yang hanya pandal mengaum!" teriaknya marah, sengaja menggunakan kata-kata yang menusuk untuk membikin marah orang yang menjebaknya agar mau keluar.
Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga di depan. Mula-mula yang nampak hanya sepasang kakinya yang bersepatu mengkilap hitam, lalu pakaiannya yang ternyata adalah pakaian seorang panglima perang dan pedang yang tergantung di pinggang itu adalah pedang yang tadi tergantung di dinding dan yang menjadi umpan jebakan. Kemudian nampaklah wajah dan kepala yang bertopi itu, dan Kiki menjadi bengong. Terpesona ia memandang wajah itu. Wajah seorang panglima muda yang demikian tampan dan halus. Seumur hidupnya, belum pernah ia melihat seorang pemuda yang demikian tampannya! Matanya begitu redup, dengan bulu mata panjang melengkung, hidung kecil mancung dan mulut yang seolah-olah dibuat hanya untuk mencium dengan mesra!
Begitu tampan! Dalam mimpipun, belum pernah Kiki melihat seorang pria yang demikian gantengnya! Ganteng dan lemah lembut. Baru langkahnya saja demikian gagah, satu-satu seperti langkah harimau. Harimau! Memang benar ada harimau di belakangnya, dan kini Kiki terbelalak, bukan karena kagum akan ketampanan pria seperti tadi, melainkan karena ngeri. Ia bukan seorang penakut, dan kalau menghadapi harimau saja, agaknya ia tidak akan lari dan ia sanggup melawan seekor harimau dengan tangan kosong kalau perlu. Tapi bukan harimau seperti yang muncul, di belakang pemuda tampan itu. Harimau ini luar biasa besarnya dan selain nampak galak dan buas, juga ukurannya besar dan nampaknya kokoh kuat bukan main!
Seekor harimau loreng yang sudah dewasa dan sedang kuat-kuatnya, jantan dan nampak galak. Sepasang matanya saja sudah cukup membuat hati merasa tergetar dan aumannya tadi dapat melumpuhkan orang karena ketakutan. Apa lagi ketika harimau yang berada di belakang pemuda tampan itu melihat seorang asing di dalam kerangkeng, dia memperlihatkan taringnya yang mengerikan saking besar dan runcingnya, juga keempat kakinya mempunyai kuku yang melengkung kuat dan runcing. Ngeri membayangkan tubuh dicakar kaki itu, apalagi sampai dirobek-robek oleh taring-taring itu. Mendengar ejekan Kiki, opsir muda tampan itu tersenyum mengejek dan kembali Kiki terpesona. Setelah tersenyum, pemuda itu menjadi lebih ganteng lagi! Lalu terdengar suaranya, suara yang halus dan terdengar sopan, tanda bahwa pemuda itu adalah seorang terpelajar.
"Nona, engkau datang sebagai seorang pencuri, setelah tertangkap engkau memaki-maki. Sungguh sulit mencari orang sekurang ajar engkau ini. Apa sih yang kau andalkan maka engkau bersikap sesombong ini?" Lalu dia menyambung.
"Melihat betapa engkau terjatuh dan lubang jebakan tanpa luka, mungkin saja engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian. Kalau memang ada, coba perlihatkan kepandaianmu sebelum aku mengambil keputusan apa yang harus kulakukan terhadap seorang pencuri wanita." Tentu saja Kiki marah bukan main. Beberapa kali ia dimaki pencuri.
"Aku bukan pencuri! Kalau kau tidak menarik kembali omonganmu itu, akan kurobek mulutmu yang lancang itu." Opsir muda itu membelalakkan matanya yang tajam dan jernih, yang berkilauan tertimpa sinar api obor besar.
"Kau hendak menampar mulutku? Wah,wah, bagaimana caranya?"
"Kau kira aku tidak mampu keluar dan tempat ini!" bentak Kiki, dan gadis perkasa ini lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menerjang pintu besi dari tempat tahanan itu. Tang Ki adalah puteri tunggal Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Ia sudah mewarisi semua ilmu Ayahnya, bahkan Ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu (Tenaga Besar Bersinar Emas) yang ampuh dan amat sukar itu sudah dipelajarinya dengan cukup baik. Kini, dengan ilmu itu ia menerjang pintu.
"Brakkkk!" Daun pintu itu jebol engselnya dan terbuka! Akan tetapi Kiki juga telah menggunakan terlalu banyak tenaga sin-kang sehingga mukanya menjadi pucat dan dadanya terasa agak nyeri dan dia terhuyung keluar. Pada saat itu, terdengar auman keras dan harimau itupun menerjang ke depan menyerang Kiki! Karena gadis itu baru saja mengerahkan tenaga sin-kang yang amat besar, maka untuk mengerahkan sin-kang lagi, ia tidak berani, terpaksa hanya melindungi dirinya dan menggunakan kedua tangan mendorong, menyambut harimau yang menubruknya.
Akan tetapi karena tenaganya sudah banyak berkurang dan harimau itu beratnya ada lima atau enam berat orang dewasa, Kiki tidak kuat menahan dan iapun terjengkang. Harimau itu mengaum dan mencakar. Untung bahwa Kiki menggunakan sin-kangnya sehingga yang terkait robek, hanyalah kedua celana di bagian pahanya saja sehingga kulit pahanya yang putih itu nampak. Akan tetapi kulitnya tidak terluka, dan iapun mendapat kenyataan bahwa binatang yang sudah terpelihara dan terlatih baik itu agaknya memang tidak ingin membunuhnya, hanya menakut-nakutinya. Kini binatang itu mengaum dan mukanya dekat sekali dengan muka Kiki yang sudah jatuh terduduk, sehingga ia dapat mencium bau napas binatang itu yang memuakkan. Celaka, pikirnya, harimau itu sudah siap mencakar dan menggigit.
Andaikata dengan sin-kang ia mampu melindungi tubuhnya, setidaknya semua pakaiannya akan dicabik-cabik dan mungkin saja ia akan ditelanjangi oleh harimau ini di depan perwira tampan itu. Pikiran ini membuat ia nekat, dan ia sudah mengerahkan tenaga, hendak memukul kepala harimau itu dengan Ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu, walaupun hal itu akan dapat mendatangkan luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi pada saat itu, opsir tampan bersuit nyaring dan harimau itu tiba-tiba loncat ke belakang seperti ditarik ekornya saja. Sambil menggereng-gereng marah, harimau itupun bersembunyi di belakang si opsir, persis seperti seekor kucing yang jinak. Opsir itu berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi Kiki sambil berkata, matanya tetap halus akan tetapi nadanya mengejek.
"Kiranya engkau boleh juga. Kulitmu tidak lecet oleh kuku kucingku. Akan tetapi kalau hanya dengan kepandaian seperti itu, engkau berani masuk ke sini, hendak melakukan pencurian, sungguh engkau bodoh sekali." Kiki ingin menjerit dan menangis saking marahnya. Ia meloncat dan menghadapi opsir ganteng itu matanya melotot lebar.
"Berani engkau mengatakan aku pencuri lagi? Akan kurobek mulutmu itu!" Dan Kiki pun sudah menyerang kalang kabut dan karena ia dapat menduga bahwa opsir itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, ia sudah menyerang dengan ilmu yang paling diandalkan, yaitu Thai-lek Kim-kong-jiu.
"Haiiiittt..." Ia membentak dan tangan kanannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada opsir itu. Angin pukulan dahsyat menyambar panas ke arah dada opsir itu yang diam-diam terkejut sekali,
Karena baru dia tahu benar bahwa gadis yang berani memasuki rumahnya ini benar-benar memiliki ilmu silat yang hebat dan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Akan tetapi diapun tahu bahwa tadi, ketika menjebol pintu besi, hal yang amat luar biasa, gadis itu telah mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga kini, kalau dia menangkis dengan sin-kang, mungkin saja gadis itu akan terluka lebih parah lagi. Karena itu, dia cepat mengelak dengan amat mudahnya, sambil menggeserkan kakinya secara aneh dua kali ke kanan dan ke belakang. Tang Ki, sebagai puteri seorang datuk persilatan yang tinggi ilmunya, mengenal langkah yang aneh itu, dan tahulah dara ini bahwa iapun berhadapan dengan lawan yang pandai. Sebelum ia menyerang lagi, opsir ganteng itu sudah mengeluarkan sebutir pel dan saku bajunya, pel yang terbungkus kain putih.
"Engkau terluka ketika merobohkan pintu tadi. Telanlah dulu pel ini, baru kita lanjutkan perkelahian, karena kalau engkau roboh karena luka dalam akibat membongkar pintu tadi, berarti bukan aku yang mengalahkanmu. Pel itu akan memulihkan keadaanmu dan kau boleh melawanku sekuat tenaga tanpa bahaya."
Dia melemparkan pel itu ke arah Kiki yang menangkapnya dengan tangan kiri. Ayah Kiki seorang datuk sesat yang tentu saja tidak asing dengan bangsa racun. Maka melihat pel itu, Kiki lalu menciumnya dan menjilatnya. Tahulah dara ini bahwa pel itu bukan racun, dan memang berbau obat untuk menyembuhkan luka dalam atau menjaga agar tidak mudah menderita luka akibat guncangan tenaga sakti. Ia tidak ragu-ragu lagi, dan karena hatinya masih marah dituduh pencuri, ia tidak berterima kasih melainkan menelan pel itu begitu saja. Ada rasa hangat di perutnya dan sebentar kemudian, rasa nyeri di dada nyapun lenyap sama sekali.
"Nah, mari kita lanjutkan perkelahian kita..." tantangnya, dan iapun sudah menerjang maju lagi. Akan tetapi kembali opsir itu menghindarkan dengan langkah-langkah ajaibnya, dan berkata sambil melompat ke belakang.
"Nanti dulu, aku malu kalau berkelahi dengan gadis yang celananya robek dan nampak kulit pahanya. Mungkin kulit pahamu yang mulus itu yang akan menyelewengkan perhatianku sehingga aku kalah. Akan kucarikan ganti untukmu!" Dia meloncat ke atas anak tangga dan lari ke atas, diikuti dengan setia oleh harimaunya. Benar saja, tak lama dia datang lagi dan melemparkan sebuah celana sutera biru ke arah Kiki. Gadis ini menyambutnya dan kagum. Sebuah celana wanita yang amat indah. Tidak kalah indahnya dengan celana-celananya di rumah, padahal sebagai anak orang kaya, pakaiannya termasuk pakaian-pakaian yang indah dan mahal. Kain sutera celana itu halus dan tebal, sungguh merupakan celana indah yang mahal harganya.
"Pakailah celana itu dulu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengintai dan biar harimau ini jantan, dia sudah biasa tanpa pakaian, jadi kau tak usah malu kepadanya."
Setelah berkata demikian, opsir itu membalikkan tubuhnya membelakangi Kiki. Hampir saja Kiki tertawa mendengar ucapan yang lucu itu. Tentu saja harimau selamanya telanjang, dan memang tak perlu malu kalau ia berganti celana ditonton harimau, walaupun harimau itu jantan dan masih muda juga! Ia, entah bagaimana, percaya begitu saja bahwa opsir muda yang amat sopan halus itu tentu tidak akan membalik sebelum ia selesai, maka iapun lalu melepaskan celananya sendiri yang tadi cabik-cabik dicakar harimau, dan kini hanya nampak celana dalamnya yang tipis. Cepat-cepat, sambil matanya tak pernah meninggalkan punggung pemuda itu, ia mengenakan celana biru itu dan sungguh amat mengherankan. Celana itu ukurannya pas benar dengan dirinya, seoah-olah ia berganti celananya sendiri saja!
"Aku sudah selesai!" katanya sambil membuang celananya yang cabik-cabik itu ke sudut. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan matanya yang sudah lebar itu membelalak penuh kagum.
"Waduhh... engkau semakin cantik jelita saja memakai celana biru itu, nona!" Tiba-tiba muka Kiki berubah merah. Belum pernah ia begini. Biasanya, setiap pujian dari pria dianggapnya sebagai perbuatan kurang ajar, dan pria itu bisa dihajarnya, bahkan bisa dibunuhnya. Akan tetapi sekarang, kenapa hatinya di dalam dada menjadi berdegup, bukan karena marah melainkan karena girang dan malu?
JILID 28
"Jangan banyak merayu gombal!" bentaknya.
"Mari kita lanjutkan perkelahian tadi!" Tanpa menanti jawaban, iapun lalu menerjang lagi dan kembali ia mainkan jurus-jurus dan Thai-lek Kim-kong-jiu yang ampuh. Opsir muda itu agaknya juga tidak berani sembrono menghadapi gadis yang galak dan lihai ini. Dan opsir itu memiliki langkah-langkah ajaib yang membuat tubuhnya sukar sekali diserang. Akan tetapi ketika Kiki menerjang lagi dengan mendorongkan kedua tangannya ke depan dengan jurus "Dua Tangan Menutup Guha Batu," opsir muda itupun berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang dan sedikit membongkok, menekuk lutut dan kedua tangannyapun didorongkan ke depan menyambut.
"Desss...!" Dua pasang tangan saling bertemu dan dua macam tenaga sakti yang hebat bertumbukan di udara. Opsir itu merasa betapa hawa panas menjalar melalui telapak tangan lawannya, akan tetapi mampu dihentikannya hanya sampai siku saja. Sebaliknya, Kiki terkejut setengah mati karena ada hawa dingin menjalar keluar dan telapak tangan opsir tampan itu, dan hawa dingin itu terus menjalar ke kedua lengannya sampai ke pundak, membuat ia menggigil! Opsir itu melangkah ke belakang.
"Maafkan, nona. Ternyata engkau hebat sekali." Kiki masih berdiri, memejamkan kedua mata dan menahan napas, mengumpulkan hawa murni dan baru setelah lewat dua menit, hawa dingin itu perlahan-lahan dapat didorongnya keluar dan kedua lengannya. Kalau pada saat itu lawannya menyerang, ia tentu takkan mampu mempertahankan diri dan akan mudah dirobohkan.
Akan tetapi anehnya, opsir itu tidak menyerang lagi dan hanya berdiri memandang kagum. Setelah merasa tubuhnya segar kembali, Kiki siap untuk menyerang lagi. Ia lari ke sudut ruangan itu dan menyambar sebuah toya, karena di ruangan itu juga terdapat beberapa macam senjata. Begitu memegang toya yang sama dengan tongkat, Kiki lalu maju menerjang, mainkan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas)! Tentu saja tongkatnya itu ketika dimainkan tidak mengeluarkan sinar emas, karena tongkat itu bukan tongkat yang biasa dipergunakan Ayahnya, akan tetapi ilmu tongkat itu hebat bukan main dan menjadi imbangan dari ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu tadi. Hanya karena tongkat lebih panjang dari tangan, maka jangkauannya pun lebih jauh dan gerakannya lebih cepat.
Diserang bertubi-tubi dengan tongkat itu, opsir muda yang tadinya berloncatan sambil mengeluarkan langkah-langkah ajaibnya mengelak ke sana-sini, menjadi terdesak juga dan terpaksa dia mencabut pedang di pinggangnya. Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang dicabut, dan kini pedang itu diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang menyambut gulungan sinar tongkat yang putih. Terjadi serang-menyerang dengan hebatnya, dan keduanya mendapat kenyataan bahwa memang mereka itu bertemu dengan tandingan yang sama sekali tak boleh dipandang rendah. Yang merasa penasaran adalah Kiki. Belum pernah rasanya ia bertemu dengan lawan sehebat ini kepandaiannya, padahal ia tahu benar betapa pemuda itu telah banyak mengalah dan pedangnya yang hebat itupun lebih banyak menangkis dari pada membalas serangan,
Padahal setiap serangan pedang itu dirasakannya amat berbahaya dan sukar dielakkan, dan setiap kali toyanya menangkis, ia merasa tangannya tergetar hebat. Padahal, kalau dilihat kenyataannya bahwa toya itu lebih panjang dan lebih berat, sesungguhnya harus si pemegang pedang yang dirugikan kalau bertemu senjata mengadu tenaga. Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba saja gerakan pedang itu berubah dan terdengar suara keras ketika kedua senjata bertemu di udara, dan toya di tangan Kiki itu patah menjadi dua potong. Akan tetapi, bukan Kiki kalau mengalah dan mudah tunduk menyerah begitu saja. Dengan dua potongan tongkat itu, ia masih menyerang dengan hebat. Akan tetapi lawannya melompat ke belakang dan menyimpan kembali pedangnya.
"Sudahlah, nona. Sudah cukup kita main-main. Sekarang katakanlah mengapa engkau memasuki rumah kami secara diam-diam seperti orang yang hendak melakukan pencurian?"
"Aku tidak akan mencuri apa-apa. Tidak sudi aku menjadi pencuri. Lebih baik mati dan pada menjadi pencuri!" bentak Kiki dengan suara yang hampir menangis, bukan hanya karena sebal disangka pencuri, akan tetapi terutama sekali karena ia merasa bahwa ia kalah oleh pemuda itu! Pemuda itu kembali tersenyum ramah.
"Mencuri atau tidak, akan tetapi engkau memasuki rumah orang tanpa ijin, dan malam-malam begini masuk ke rumah, tentu saja engkau dituduh mencuri. Akan tetapi engkau memang belum mengambil apa-apa, maka akupun tidak akan menuduhmu lagi mencuri. Akan tetapi, lalu apakah yang kau cari di sini?"
"Aku aku ingin mencari Pangeran Ceng Tiu Ong." Pemuda itu nampak terkejut dan mengerutkan alisnya. Engkau mencari Pangeran Ceng Tiu Ong? Ada keperluan apakah?"
"Keperluan pribadi yang hanya akan kukatakan kepada dia sendiri. Dimanakah dia? Kalau dia atau puterinya yang bernama Ceng Hiang menyambut kedatanganku, tentu mereka akan mengerti. Aku tidak mau bicara dengan orang lain kecuali mereka.
"Nah, sekarang lebih baik laporkan kepada Pangeran Ceng Tiu Ong atau nona Ceng Hiang, aku akan menanti di sini. Ataukah engkau ingin melanjutkan perkelahian? Boleh...!" Opsir itu kembali tersenyum.
"Wah, engkau galak amat sih! Baiklah, engkau tunggu dulu di sini, akan tetapi jangan membuat onar, aku akan meninggalkan kucingku di sini untuk menjagamu agar engkau tidak melakukan kekacauan macam-macam. Pangeran Ceng Tiu Ong dan puterinya tentu akan datang ke sini kalau memang benar mereka itu mengenalmu dan mempunyai urusan denganmu." Opsir muda itu lalu pergi melalui anak tangga dan mengatakan sesuatu dalam bahasa aneh kepada harimau itu. Harimau itu, seperti seekor anjing yang sudah terlatih baik saja layaknya, lalu mendekam di bawah anak tangga dan matanya terus mengamati ke arah Kiki. Kiki merasa mendongkol bukan main. Dibalasnya pandang mata harimau itu dan iapun mencibir.
"Kau kira aku takut terhadap seekor kucing macam engkau? Huh, kalau tidak ingat majikanmu, tentu sudah kupukul pecah kepalamu, tahu?" Aneh! Harimau itupun seolah-olah mencibir kepadanya dan menggereng panjang, seperti hendak mengatakan bahwa kalau dia tidak diperintah majikannya untuk berjaga saja, tentu tubuh gadis itu sudah dicabik-cabiknya dengan kuku dan diganyang dagingnya dengan taring-taringnya yang tajam meruncing.
Kiki makin mengkal hatinya dan membuang muka. Setelah kesabarannya menanti hampir habis, tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara dan terdengar langkah kaki menuruni tangga itu. Tak lama kemudian, muncullah dua orang, dan orang pertama segera dikenalnya sebagai Pangeran Ceng Tiu Ong! Dan orang kedua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah seperti puteri istana saja. Demikian cantik jelita dan demikian indah pakaian gadis itu, sehingga sejenak Kiki hanya memandang dengan bengong. Itukah puteri sang pangeran? Demikian cantiknya, akan tetapi ia melihat persamaan bentuk wajah puteri itu dengan opsir muda tadi. Celaka, jangan-jangan opsir tadi putera Pangeran Ceng Tiu Ong atau saudara dan Ceng Hiang. Iapun bangkit berdiri. Melihat Kiki, Pangeran Ceng Tiu Ong tersenyum gembira.
"Aih, kiranya engkau yang datang, nona!" katanya sambil cepat menghampiri. Kiki adalah seorang anak datuk sesat memang, namun iapun sudah cukup mempelajari tata susila dan apalagi ia merasa pernah membuat dosa besar dengan membajak perahu pangeran ini, walaupun ia juga menyelamatkan nyawa pangeran ini dan ancaman maut. Maka iapun cepat menjura dan berkata.
"Maafkan kedatangan saya seperti ini, pangeran. Saya datang malam-malam seperti ini karena hendak menyelidiki lebih dahulu keadaan pangeran sebelum saya menyampaikan barang-barang titipan paduka dahulu itu."
"Aih, nona Tang, marilah kita duduk dulu di ruangan tamu. Perkenalkan, ini anakku, Ceng Hiang." Gadis yang cantik itu lalu tersenyum dan menghampiri, dan melihat senyum itu, Kiki tidak ragu-ragu lagi. Gadis ini tentu adik dari opsir tadi! Senyumnya sama!
"Engkau tentu yang bernama Tang Ki, nona yang pernah menyelamatkan Ayahku dari bahaya tenggelam di laut. Aku berterima kasih kepadamu, adik yang baik," katanya sambil memegang tangan Tang Ki. Kiki merasa betapa halusnya telapak tangan itu, begitu halus lembut seperti sutera!
"Ah... bukan hanya menolong, akan tetapi juga menncelakakan," jawab Kiki berani.
"Mari, mari kita duduk di ruang tamu. Engkau adalah tamu agung bagi kami sekeluarga, nona Tang," kata pangeran itu, dan mereka lalu naik anak tangga itu diikuti oleh harimau yang segera diusir oleh nona Ceng Hiang. Setelah melalui beberapa lorong, sampailah mereka ke ruangan tamu yang luas dan amat indahnya lagi amat terang. Mereka duduk menghadapi meja yang terukir indah, dan segera pelayan-pelayan menyuguhkan air teh dan makanan kering.
"Maafkan, pangeran. Saya tidak akan berlama-lama, karena kedatangan saya tadi telah menimbulkan keributan. Saya disangka maling dan saya bahkan telah berkelahi melawan..." ia menoleh kepada Ceng Hiang.
"Opsir muda itu tentu saudaramu, bukan?"
"Aihh dia? Benar, benar... ia saudaraku," kata Ceng Hiang sambil tersenyum, dan Pangeran Ceng Tiu Ong hanya tertawa saja.
"Karena itu, setelah bertemu dengan jiwi, saya akan menyampaikan maksud kedatangan saya, yaitu akan mengirimkan titipan pangeran pada saya dahulu, yaitu sepeti terisi kitab-kitab kuno."
"Bgus! Ahh... adik Tang Ki yang baik, mana kitab-kitab itu?" Yang meloncat berdiri adalah Ceng Hiang, sedangkan pangeran itu tetap duduk saja.
"Karena saya hendak menyelidiki dulu tempat tinggal pangeran, maka peti itu saya titipkan pada keluarga petani, di luar tembok Kota Raja."
"Kalau begitu harus diambil sekarang... Ayah biar aku yang antar adik Tang Ki mengambilnya, dan kami akan menggunakan kereta saja." Ayahnya tertawa.
"Ha-ha, kalian ini orang-orang muda memang segalanya menghendaki cepat saja. Baiklah! Pelayan, suruh kusir mempersiapkan kereta sekarang juga untuk dibawa ke luar Kota Raja!"
Malam itu juga, kurang lebih tepat tengah malam, Kiki bersama Ceng Hiang berangkat berdua saja naik kereta. Teman satu-satunya hanyalah seorang kusir yang berada di depan dan tidak nampak oleh mereka berdua yang duduk di dalam kereta. Melihat ini, Kiki merasa girang akan tetapi juga heran. Girang bahwa keluarga pangeran itu sedemikian besar menaruh kepercayaan kepadanya sehingga ia merasa terhormat sekali, akan tetapi juga heran mengapa seorang pangeran membiarkan puterinya pergi sendiri begitu saja di tengah malam tanpa pasukan pengawal, hanya bersama ia yang sebenarnya masih asing bagi mereka dan hanya seorang kusir saja. Setelah kereta berjalan cepat meninggalkan gedung itu, Kiki tak dapat menahan dirinya bertanya.
"Siocia..."
"Wah, jangan memanggil nona-nona segala, adik yang baik... aku menjadi canggung," Ceng Hiang mencela. Kiki tersenyum.
"Habis lalu memanggil apa?"
"Namaku Hiang, she Ceng, cukup kalau kau sebut Enci Hiang saja. Bukankah aku lebih tua darimu?"
"Belum tentu... engkau kelihatan masih begini muda dan cantik jelita."
"Usiaku sudah sembilanbelas tahun."
"Wah... kalau begitu memang kau lebih tua satu tahun, Enci Hiang. Namaku Ki, she Tang, akan tetapi bisa dipanggil Kiki."
"Kalau begitu... akupun akan menyebutmu Ki-moi atau Kiki begitu saja!" kata Ceng Hiang sambil tertawa, dan merekapun saling merasa suka dan akrab.
"Enci Hiang, aku merasa heran sekali. Engkau adalah puteri tunggal seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, kenapa Ayahmu membiarkan engkau pergi sendirian saja di tengah malam seperti ini tanpa ada pasukan yang mengawalmu?" Ceng Hiang tersenyum manis.
"Bukankah ada engkau yang lebih kuat dari pada puluhan orang pengawal?"
"Tentu aku akan melindungimu dengan taruhan nyawa, akan tetapi bagaimana Ayahmu dapat begitu saja percaya kepadaku..."
"Engkau malah sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian tenggelam di lautan."
"Akan tetapi, akupun bersama anak buahku telah membunuh pasukan pengawalnya dan membakar perahunya!"
"Ah, sudahlah, Ki-moi. Untuk apa yang sudah lalu diungkit-ungkit kembali? Ayahku mengerti, bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan sembarangan bajak, melainkan orang orang yang berjiwa patriot dan yang bercita-cita menggulingkan pemerintah penjajah, bukankah demikian?"
"Kalau sudah tahu begitu, lebih-lebih lagi..." kata Kiki terkejut dan heran.
"Kalau dia tahu bahwa aku berjiwa patriot dan hendak merobohkan kekuasaan penjajah, mengapa dia membiarkan engkau pergi sendirian dengan aku? Bukankah kalian adalah keluarga pangeran, keluarga kaisar Mancu?
"Benar, akan tetapi apakah engkau tidak tahu, adikku, bahwa tidak semua orang keturunan Mancu suka akan penjajahan ini, suka akan kaisarnya yang lemah? Engkau tentu pernah mendengar tentang mendiang Puteri Nirahai dan Puteri Milana, dua orang puteri Mancu, akan tetapi berjiwa pendekar dan gagah perkasa, bahkan diam-diam merekapun menentang kelaliman kaisar dan para pembesar?" Kiki belum pernah mendengar dan ia menggelengkan kepalanya.
"Siapakah mereka?"
"Mereka adalah puteri-puteri aseli dari Mancu, akan tetapi mereka tidak mau menjadi puteri, walaupun keduanya pernah menjadi panglima. Tidak mau tinggal di istana, bahkan Puteri Nirahai menikah dengan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es..."
"Wah, kalau nama itu pernah disebut-sebut oleh Ayah sebagai nama seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng."
"Bukan dongeng, melainkan sungguh-sungguh ada. Dan Puteri Nirahai yang masih saudara kaisar itu lebih suka tinggal bersama suaminya, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, dari pada menjadi puteri di istana. Puteri mereka, Puteri Milana, juga menikah dengan seorang pendekar sakti dan tidak mau menjadi puteri di istana. Nah, jangan lantas kau samakan saja manusia atau bangsa dengan sekarung beras."
"Ehhh?" Kiki tidak mengerti.
"Kalau orang membeli beras, mengambil segenggam dan melihat beras itu jelek, lalu dia tidak jadi beli dan mengatakan bahwa beras sekarung itu jelek. Tidak demikian dengan bangsa.
"Bngsa terdiri dari manusia-manusia dan di antara manusia-manusia, tentu ada yang jelek dan ada yang baik. Ada yang suka menjajah akan tetapi ada pula yang tidak suka dengan politik penjajahan itu."
"Jadi kau dan Ayahmu..."
"Kami tidak suka dengan siasat pemerintah menjajah bangsa lain, apalagi kami tidak suka melihat kelemahan kaisar yang bertekuk lutut kepada orang-orang kulit putih. Karena itu, Ayah kagum dan percaya kepadamu. Pula, siapa sih yang akan mengganggu kita?" Kiki hanya tersenyum, dan pada saat itu, kereta berhenti sebentar karena dihentikan oleh penjaga pintu gerbang. Terdengar percakapan antara kusir dan prajurit penjaga yang dengan suara lantang mengatakan bahwa kereta itu milik Pangeran Ceng Tiu Ong dan bahwa kini dia sedang mengantarkan Ceng-Siocia keluar pintu gerbang untuk utusan pribadi dan kalau terburu, mungkin malam ini juga kembali ke Kota Raja lagi.
"Sobat, maafkan kami. Berhubungan perintah atasan untuk melihat siapa yang keluar masuk Kota Raja, walaupun tidak diperiksa, hanya diawasi saja, maka terpaksa kami akan menjenguk ke dalam kereta untuk meneliti kebenaran keteranganmu ini."
"Kalian tidak percaya kepadaku?" Tukang kusir membentak, lalu suaranya ditujukan ke dalam.
"Ceng-Siocia, mereka ini ingin menjenguk dan memeriksa ke dalam kereta!" Tentu pada waktu itu, pantang bagi para puteri bangsawan untuk dijenguk begitu saja oleh para prajurit atau laki-laki biasa. Akan tetapi, dengan halus Ceng Hiang menjawab.
"Karena sudah tugas mereka, biarlah, paman. Aku yang akan membuka sendiri kain penutup pintu kereta." Berkata demikian, dengan kedua tangannya yang berkulit halus, Ceng Hiang menguak pintu kain itu ke kanan kiri sehingga ia dan Kiki kelihatan jelas oleh mereka yang mengepung kereta dari luar.
"Apakah kalian sudah puas sekarang..." Para prajurit itu terpesona melihat dua orang gadis yang demikian cantik jelitanya, terutama sekali Ceng Hiang. Dan di antara mereka, agaknya tidak ada seorangpun yang tidak mengenal Ceng Hiang. Semua berdiri dengan sigap dan muka mereka bahkan berubah agak ketakutan. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, dengan suara agak gemetar lalu berkata.
"Mohon maaf... kami... kami tidak tahu bahwa Siocia yang berada di dalam dan... kami hanya melaksanakan perintah atasan..." Ceng Hiang tersenyum dan menutup kembali kain gorden sambil berkata dari dalam.
"Demikianlah seharusnya, setiap orang prajurit harus melaksanakan tugas dengan baik dan membela perintah atasan dengan taruhan nyawa. Paman kusir, lanjutkan perjalanan!"
"Baik, Siocia..."
Dan keretapun bergerak lagi melalui pintu gerbang, keluar dari pintu gerbang. Setelah keluar dari pintu gerbang, di sepanjang jalan tidak ada lagi penerangan. Tadi, biarpun sudah tengah malam, di sepanjang jalan masih ada lampu-lampu yang menerangi jalan, baik lampu untuk hiasan atau penerangan. Akan tetapi sekarang, mereka keluar dari kota dan yang menerangi cuaca yang gelap hanyalah sinar bintang-bintang di langit dan bulan tua yang tinggal seperempatnya. Akan tetapi, lentera kereta itu sendiri masih cukup terang sehingga sang kusir dapat melihat jalan di depannya, sejauh sedikitnya limabelas meter. Kereta berjalan terus menuju ke sebuah dusun menurut petunjuk Kiki. Ketika mereka tiba di dusun itu, waktunya sudah hampir subuh dan dusun itu masih terbenam dalam mimpi.
"Kiki, rasanya tidak enak kalau kita mengagetkan para penghuni dusun ini. Bagaimana kalau kita menanti saja di luar dusun, dan baru memasuki dusun kalau mereka sudah bangun dan kita tinggalkan saja kereta di luar dusun agar tidak mengejutkan orang." Kiki semakin suka dan kagum kepada gadis yang jelita itu. Memang hebat, pikirnya. Sudah orangnya bangsawan, puteri pangeran, kaya raya, berkedudukan tinggi, cantik jelita, namun sama sekali tidak sombong, bahkan rendah hati dan mengingat nasib lain orang. Mana ada bangsawan bersikap seperti gadis ini? Bangsawan-bangsawan atau hartawan-hartawan lain biasanya bersikap congkak dan menganggap orang dusun atau orang miskin, tidak lebih seperti anjing saja. Ia kagum dan semakin tertarik.
"Baiklah, Enci Hiang." Ia merasa agak malu, karena andaikata ia sendiri yang datang, tentu ia akan mengetuk begitu saja pintu rumah petani itu, membangunkan pemilik rumah untuk mengambil benda yang dititipkannya. Keduanya kini duduk di atas batu di tepi jalan, di luar dusun. Kusir melepaskan dua ekor kuda besar itu untuk memberi kesempatan mereka beristirahat dan makan rumput,
Sedangkan dia sendiri, setelah memperoleh perkenan nona majikannya, lalu merebahkan diri di bawah pohon, di atas rumput dan daun kering, dan sebentar saja diapun sudah mengorok saking lelahnya. Dia lelah dan ngantuk karena bekerja semalam suntuk tidak tidur. Kusir itu seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, memakai sebuah topi caping lebar yang menyembunyikan muka dan lehernya dari sengatan matahari panas karena dia duduk di depan, tak terlindung atap kereta. Pakaiannya seperti pakaian bangsawan Kota Raja, serba biru dengan garis-garis putih di ujung kaki, lengan dan leher. Orangnya tinggi kurus dan sikapnya juga lemah lembut, agaknya seorang terpelajar pula walaupun pekerjaannya hanya kusir. Dua orang gadis itu duduk agak jauh dari kereta, bahkan tidak melihat kusir yang tidur ngorok itu. Mereka asyik bercakap-cakap.
"Adik Kiki, apakah engkau tidak merasa betapa antara kita yang baru saja berkenalan, ada kecocokan yang akrab? Aku terus terang saja suka kepadamu, karena engkau memiliki sifat yang gagah perkasa dan engkau cekatan, lincah dan jenaka, walaupun agak nakal, akan tetapi hatimu amat lembut dan baik..."
"Idiihh, kiranya Enci Hiang ini selain pandai dan cantik jelita, juga ahli merayu dan memuji orang! Tidak, aku hanya seorang gadis liar, seorang gadis kang-ouw yang bisanya hanya berkelahi saja!"
"Aku tidak percaya! Biarpun dari Ayah, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, terutama sekali pandai bermain di air seperti seekor ikan hiu, biarpun engkau membunuh musuh-musuhmu sambil tersenyum manis, namun aku tahu bahwa engkau berjiwa pendekar dan patriot yang gagah.
"Ah, betapa senangnya hidup seperti engkau ini, adikku. Engkau hidup bebas seperti seekor burung terbang di angkasa raya, dapat melakukan apa saja sekehendak hatimu..."
"Ah, siapa bilang? Engkau lebih bebas. Engkau puteri pangeran, engkau berkuasa dan berharta. Siapa bisa melarangmu? Lihat saja tadi.
"Andaikata aku yang berada di kereta sendirian saja, belum tentu aku boleh lewat begitu mudah, dan tentu mereka akan bersikap kurang ajar kepadaku. Akan tetapi kepadamu, Enci... wahh, mereka seperti melihat malaikat saja, mati kutu dan ketakutan, dan begitu menghormat." Ceng Hiang menarik napas panjang.
"Hal itu kuakui. Memang semua pasukan, dari yang pangkatnya paling kecil sampai yang pangkatnya paling tinggi, menghormati Ayahku. Ayahku hanya seorang pangeran yang tidak menduduki jabatan penting, tidak memiliki kekuasaan, hanya penjaga perpustakaan dan seorang sasterawan, akan tetapi dia tidak pernah melakukan pelanggaran, selalu jujur dan setia, tidak mau berkorupsi dan selalu bertindak tegas menentang kelaliman. Itulah yang membuat semua orang tunduk dan segan."
"Hebat... dan ketika pertama kali aku bertemu Ayahmu, biarpun dia begitu halus budi dan tubuhnya lemah lembut, namun dia begitu berwibawa, membuat aku malu. Dan dia memiliki suatu keberanian yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.
"Sikapnya demikian mengesankan dan aku segera tunduk. Karena itulah, ketika orangku mendorongnya ke laut, aku lalu meloncat terjun dan menyelamatkannya, dan ketika dia berpesan tentang peti terisi kitab-kitab, akupun melaksanakannya dengan baik. Entah bagaimana, aku merasa harus mentaati orang tua itu." Ceng Hiang memegang kedua tangan Kiki.
"Itulah... karena engkau pada hakekatnya seorang gadis yang baik budi dan halus perasaanmu, seperti kukatakan tadi. Dan engkau tentulah murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, adikku."
"Guruku adalah Ayah kandungku sendiri."
"Aih, betapa hebatnya. Siapakah nama Ayahmu, kalau aku boleh tahu?"
"Bumi dan langit kalau dibandingkan dengan Ayahmu, Enci Hiang. Ayahku seorang kasar dan sejak muda berkecimpung dalam dunia kekerasan. Ayahku bernama Tang Kok Bu, dan dia malah lebih terkenal dengan julukan Hai-tok." Kalau saja subuh itu tidak begitu remang-remang dan belum terang benar, tentu Kiki akan melihat keterkejutan menyelimuti wajah Ceng Hiang mendengar disebutnya julukan Hai-tok ini.
"Hai-tok (Racun Lautan)? Apakah Ayahmu itu seorang di antara Empat Racun Dunia?" Kini Kiki yang terheran dan mengamati wajah cantik jelita itu.
"Enci Hiang, seorang halus seperti engkau ini, yang tentu hanya bergaul dengan orang baik-baik saja, yang tak pernah mengalami apalagi mengenal orang-orang kang-ouw, bagaimana bisa tahu tentang Empat Racun Dunia?"
"Ehhh... ahhh..." Ceng Hiang gugup juga karena pertanyaan Kiki itu benar-benar membuatnya serba salah untuk menjawab. Melihat ini, Kiki tertawa tanpa menutupi mulutnya, karena ia adalah seorang gadis yang biasa hidup bebas. Akan tetapi, tanpa ditutupi mulutnya dengan tanganpun, sama sekali tidak membuat ia nampak kasar memalukan, bahkan semakin jelas nampak kemanisannya ketika tertawa.
"Aku mengerti, Enci Hiang. Tentu kakakmu yang memberi tahu, bukan? Kakakmu itu hebat sekali. Ilmu silatnya amat tinggi dan aku sudah ingin sejak tadi menanyakan, siapakah dia dan dari mana dia memperoleh ilmu silat sehebat itu. Aku sungguh kagum dan benar-benar terheran-heran. Sungguh mati, andaikata kami harus berkelahi mati-matian, aku meragukan sekali apakah aku akan menang melawan kakakmu itu!"
"Kakakku...? Ah, kau maksudkan koko (kanda)? Jangan heran, memang sejak kecil dia suka sekali mempelajari ilmu silat. Dan memang dialah yang bercerita kepadaku tentang Empat Racun Dunia. Lanjutkan dulu cerita tentang dirimu, nanti aku akan menceritakan tentang dia kalau memang engkau tertarik kepadanya." Mendengar nada suara gadis itu, wajah Kiki berubah merah dan ia pura-pura cemberut.
"Ihhh... siapa yang tertarik kepadanya? Aku hanya kagum dan heran, juga harimau keluargamu itu hebat."
"Teruskan dulu ceritamu, nanti kuceritakan tentang harimau kami. Jadi, Ayahmu yang berjuluk Hai-tok itu merupakan seorang di antara Empat Racun Dunia?"
"Benar sekali, Enci. Nah, kau tahu sekarang, aku hanyalah anak seorang datuk kau m sesat yang menjadi datuknya semua bajak laut maupun bajak muara dan sungai telaga! Aku lahir dari keluarga jahat dan di dunia kau m hitam! Mana bisa disamakan dengan engkau, Enci Hiang." Dalam suaranya, Kiki benar-benar menyatakan penyesalan akan keadaan keluarganya yang terkenal sebagai penjahat.
"Aku pernah mendengar dari kakakku, bahwa baru-baru ini pasukan pemerintah menyerbu Pulau Layar, bukankah di sana tempat tinggal Ayahmu?"
"Bukan hanya menyerbu, akan tetapi membasmi dan membakar pulau tempat tinggal kami. Hal itu terjadi setelah pasukanmu..."
"Pasukanku? Jangan ngawur, adik Kiki..."
"Ohh, maaf, maksudku... pasukan pemerintah! Pemerintah telah menyergap pesta ulang tahun yang diadakan Ayahku berhubung dengan usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun."
"Wah, itu sudah keterlaluan namanya! Bagaimana mungkin pesta ulang tahun, apa lagi yang berpesta itu sudah berusia tujuh puluh lima tahun, diserbu oleh pasukan tentara?" Kiki menghela napas, teringat akan suhengnya dan diam-diam ia merasa marah bukan main. Satu di antara tugasnya adalah menyelidiki apakah suhengnya berada di Kota Raja, dan kalau benar dimana tinggalnya. Mungkin ia bisa menyelidiki melalui gadis ini atau setidaknya melalui kakak adik ini. Ayahnya ingin sekali menghukum sendiri murid pengkhianat itu.
"Maaf, adik Kiki. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerbu pesta itu, mungkin ada apa-apanya di balik pesta itu. Benarkah begitu? Aku sendiri tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan... eh, maksudku, yang kalian sebut perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah. Kenapa sebuah pesta sampai diserbu pasukan?" Kiki menghela napas panjang. Menghadapi seorang seperti Ceng Hiang ini, mana bisa ia membohonginya? Orang ini demikian halus, demikian baik dan jujur. Ia pun harus membalas kejujuran itu.
"Memang ada alasannya! Selain berpesta ulang tahun, Ayah juga mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan untuk diajak mengadakan rapat rahasia tentang keinginan semua orang untuk menumbangkan pemerintah penjajah dan mengusir orang-orang kulit putih."
"Ah, jadi begitukah? Kalau begitu... kalau begitu, orang-orang yang tadi kau katakan sebagai kau m dunia hitam itupun bersatu dengan para pem... eh, pejuang rakyat?"
"Tentu tidak semua, Enci. Hanya mereka yang masih mempunyai sekelumit semangat untuk membela nusa bangsa, membela tanah air. Dan Ayahku termasuk pula orang itu..."
"Dan engkau juga?"
"Enci Hiang, engkau tadi mengatakan sendiri bahwa engkau, biarpun seorang puteri keturunan Mancu, tidak suka akan penjajahan dan penindasan!"
"Kau benar, kau benar... adikku. Wah, ceritamu menarik sekali. Aku sungguh tertarik dan senang mendengarnya, juga tegang sampai jantungku berdebar tidak karuan..."
"Dan sekarang tiba giliranmu untuk bercerita, dan aku akan bertanya. Kuharap engkau suka berlaku jujur menjawab semua pertanyaanku seperti aku tadi, Enci."
"Baiklah, akan kucoba. Nah, tanyalah."
"Tentang Ayahmu dan kau sendiri sebagai bangsawan-bangsawan yang tidak suka akan penjajahan penindasan, tadi sudah kau ceritakan. Akan tetapi, sekarang aku hendak bertanya: Kenapa Ayahmu demikian mementingkan kitab-kitab kuno itu?
"Ayahku dan aku dengan susah mencoba untuk membacanya, namun kami berdua tak berhasil. Sungguh kami berdua merasa buta huruf benar-benar menghadapi huruf-huruf dalam kitab-kitab itu. Apa sih gunanya kitab-kitab seperti itu, sehingga Ayahmu demikian mementingkan dan dalam keadaan terancam bahaya saja dia amat memperhatikannya dan pesan kepadaku agar kitab-kitab itu kukirimkan kepadamu kalau sampai dia tewas."
"Aku sendiri tidak akan mampu membacanya, adikku. Kitab-kitab mengandung huruf-huruf yang amat kuno dan agaknya, di Kota Raja sekalipun hanya ada beberapa gelintir manusia saja yang akan mampu membaca dan menterjemahkannya, termasuk Ayahku, karena Ayah adalah seorang ahli huruf kuno, ahli sastera Sansekerta dari India. Adapun isi kitab-kitab kuno, seperti kau tahu, tentu mengandung pelajaran tentang kebatinan, agama, dan mungkin juga kepandaian silat."
"Ilmu silat? Wah, sungguh hebat kalau begitu. Akan tetapi, Ayahmu seorang yang tidak suka akan kekerasan, tentu tidak akan belajar silat. Dan engkau... seorang dara cantik jelita dan halus. Biarpun demikian, aku dapat menduga bahwa Ayahmu tentu ingin menterjemahkan kitab ilmu silat itu untuk diberikan kakakmu! Benar tidak?" Ceng Hiang tersenyum dan hanya mengangguk saja.
"Ketika aku memasuki rumah keluargamu, aku terjebak ke di dalam ruangan bawah itu, dan aku berkesempatan untuk bertemu dengan kakakmu bersama harimaunya. Ilmu silatnya tinggi sekali. Bagaimana dia begitu lihai ilmu silatnya, sedangkan Ayahmu hanya seorang sasrerawan lemah, dan kau juga seorang gadis lemah lembut..."
"Ah, dia itu sejak kecil memang suka belajar ilmu silat, adik Kiki... dan tentu saja dia dapat disebut pandai karena dia mewarisi ilmu silat dari keturunan, keluarga para pendekar Pulau Es"
"Ahhhl!" Kiki terbelalak kagum.
"Di antara keluarga Kerajaan Ceng, tidak ada seorangpun yang dipercaya oleh mendiang Puteri Milana kecuali keluarga kami. Itupun dilakukan secara amat rahasia. Ayahku sendiri yang menerima beberapa buah kitab pelajaran ilmu silat pulau Es, dan bersumpah bahwa Ayah hanya akan menyerahkan kepada anaknya yang dianggap berbakat dan dipercaya memiliki watak yang baik.
"Demikianlah, Ayah menerima kitab pelajaran yang amat terperinci, dari dasar-dasar ilmu silatnya sampai beberapa macam ilmu silat keluarga sakti itu. Kalau saja dapat dipelajari seluruh ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es, tentu akan lebih hebat lagi."
"Aihhh... kalau begitu, dia keturunan atau murid langsung dari Pulau Es dan merupakan pewaris terakhir dan tunggal...!" seru Kiki pula dengan penuh kagum. Ceng Hiang tersenyum manis.
"Belum tentu adikku. Jangan memujinya terlalu tinggi, karena ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah menjadi keluarga yang besar dan banyak sekali. Sekarang, entah siapa saja keturunan mereka, akan tetapi aku yakin tentu banyak pula. Hanya, karena sejak dahulu keluarga Pulau Es merupakan pendekar-pendekar sakti yang tidak mau mencampuri urusan pemerintah dan tidak suka menonjolkan diri, maka mungkin tidak dikenal oleh dunia persilatan."
"Akan tetapi kakakmu itu... wah, dia memang hebat!" kembali Kiki berkata, dan Ceng Hiang hanya tersenyum saja.
"Siapakah namanya, Enci?"
"Namanya? Ah, namanya hampir sama dengan namaku, namanya Siang. Ceng Siang... tapi sudahlah, jangan bicarakan dia. Dia paling tidak suka dibicarakan oleh kau m wanita."
"Kenapa begitu?"
"Entah, pokoknya dia tidak suka kepada gadis-gadis."
"Ahhh..."
"Kenapa?"
"Pantas sikapnya terhadap akupun menghina dan mengejek sekali!"
"Maafkan dia, Ki-moi. Dia menghina dan mengejek bagaimana sih?"
"Berkali-kali dia memaki aku maling dan mengejek kepandaianku yang katanya masih rendah."
"Wah, dia sombong! Kepandaianmu tentu hebat, adikku... kalau tidak, mana mungkin mampu memimpin bajak laut yang terkenal? Menurut Ayah, kau lihai bukan main."
🖐
"Ah, tidak. Bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa aku belum tentu menang melawan kakakmu! Akan tetapi sekali waktu, aku ingin mengajaknya bertanding untuk menguji kepandaian."
"Nah, sudah siang, dan itu banyak sudah orang yang keluar dari dusun, tentu hendak bekerja di sawah. Mari kita datang ke petani yang kau titipi peti itu, adik Kiki." Mereka lalu bangkit dan memasuki dusun setelah Ceng Hiang memesan kepada kusirnya yang sudah bangun untuk menunggu di situ. Tentu saja orang-orang dusun memandang dengan bengong, heran dan kagum melihat masuknya dua orang gadis yang demikian cantik dan mewahnya ke dusun mereka. Akan tetapi, Kakek dan nenek pemilik rumah gubuk yang dititipi peti oleh Kiki, menyambut Kiki dengan muka cerah.
"Wah, girang sekali hati kami melihat nona datang. Hati kami selalu tidak enak semenjak nona menitipkan peti itu," kata si Kakek. Kiki mengerutkan alisnya.
"Kenapa, kek?" Ketika menitipkan, Kiki hanya mengatakan bahwa isinya adalah kitab-kitab kuno yang tidak berharga dan karena keberatan, ia titipkan di situ untuk dijemput beberapa hari kemudian, dan untuk itu ia memberi upah yang cukup lumayan kepada Kakek dan nenek itu. Setelah celingukan ke sana sini, Kakek itu lalu berkata kepada Kiki, suaranya berbisik.
"Beberapa hari yang lalu, di dusun ini muncul tiga orang Hwesio yang amat jahat. Mereka bertanya-tanya tentang peti hitam berisi kitab-kitab. Untung kami berdua tak pernah bercerita kepada siapa saja, sehingga tidak ada orang yang tahu bahwa kamilah yang menyimpan benda itu, dan kamipun diam saja, pura-pura tidak tahu. Dan tiga orang Kakek pendeta itu telah menyiksa beberapa orang laki-laki muda dari dusun ini yang dipaksanya untuk mengaku, padahal mereka benar-benar tidak tahu."
Tentu saja Kiki merasa terkejut bukan main mendengar ini. Akan tetapi hatinya juga lega ketika ia melihat bahwa peti hitam itu masih utuh, disembunyikan di dalam kamar, di bawah tempat tidur reyot milik Kakek dan nenek itu. Ia dan Ceng Hiang cepat membuka peti dan melihat bahwa memang kitab-kitab kuno itu masih lengkap, jumlahnya tidak kurang dari lima puluh jilid, sebagian besar adalah kitab-kitab agama yang amat kuno dan tulisannya memakai huruf-huruf yang mereka berdua tak dapat membacanya.
"Sekarang dimana tiga orang Hwesio itu, kek?" tanya Kiki, hatinya merasa tidak enak sekali. Apalagi Ceng Hiang, alisnya berkerut dan ia mendengarkan dengan hati tegang.
"Tidak tahu, nona. Setelah menghajar orang, mereka lalu pergi dengan ancaman bahwa kalau ada yang menyembunyikan benda itu, kelak kalau terdapat orangnya akan dibakar hidup-hidup dan dikirimi ke neraka oleh doa-doa mereka!"
"lhhh!" seru Kiki.
"Hwesio macam apa sejahat itu!"
"Hati-hati, adik Kiki... aku yakin bahwa mereka itu tentu sengaja datang untuk merampas kitab-kitab ini."
"Enci Hiang, bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah jelas, mereka mencari benda ini dan menyiksa orang, dan mereka adalah Hwesio -Hwesio , sedangkan kitab-kitab ini adalah kitab-kitab tentang agama yang kuno, yang oleh Ayah diambil dari kuil besar kuno di Mukden atas perintah kaisar sendiri yang ingin menyelamatkan semua kitab kuno agar dirawat dan disusun oleh Ayahku sebagai pengisi perpustakaan istana."
"Ah, kalau begitu, tentu mereka itu pendeta-pendeta yang datang dari Mukden," kata Kiki.
"Belum tentu. Para pendeta di sana tentu tidak berani melakukan hal yang sifatnya memberontak itu. Mungkin juga teman-teman mereka, atau pendeta-pendeta pendatang dari lain tempat yang bersekongkol dengan pendeta-pendeta Mukden."
"Atau mungkin juga orang-orang jahat yang menyamar sebagai pendeta-pendeta untuk merampas kitab-kitab ini," kata Kiki.
"Rasanya tidak mungkin itu, adikku. Penjahat mana yang akan suka merampas kitab kuno seperti ini? Kita sendiripun tidak bisa membacanya. Sejak kecil aku dididik Ayah dengan ilmu sastera, akan tetapi kitab-kitab ini aku hanya bisa membaca beberapa belas hurufnya saja. Untuk apa mereka bersusah payah merampas kitab-kitab ini? Dijualpun takkan laku." Dua orang gadis itu menduga-duga, akan tetapi karena jelas bahwa ada musuh yang berniat buruk merampas peti itu, Kiki lalu cepat memanggul peti itu, di atas pundaknya dan berkata.
"Mari kita, cepat kembali ke Kota Raja, Enci." Bergegas keduanya lalu keluar dari dusun itu menuju ke tempat dimana mereka meninggalkan kereta. Agaknya kusir yang tahu akan kewajibannya itu sudah siap karena dia sudah memasang lagi dua ekor kuda itu di depan kereta dan sudah duduk di tempatnya, yaitu di bangku depan. Melihat bahwa kereta sudah siap, Ceng Hiang berkata.
"Mari kita cepat pulang!" Ceng Hiang bersama Kiki yang membawa peti hitam itu, iapun naik dan memasuki kereta. Hati mereka lega setelah kereta itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kereta itu makin lama bergerak semakin cepat sampai membalap seperti dikejar setan atau sedang berlumba dengan kereta lain. Melihat ini, Ceng Hiang membentak.
"Kusir, kenapa begini cepat? Lambatkan sedikit larinya kuda, apa engkau ingin celaka di tempat yang jalannya tidak rata ini?" Sungguh aneh. Kusir tidak menjawab, akan tetapi larinya dua ekor kuda itu tidak berkurang, bahkan semakin membalap. Kiki mengerutkan alisnya dan membuka gorden, memandang ke muka. Kusir itu masih sama seperti kemarin, jangkung dan mengenakan pakaian serba biru. Akan tetapi ia tidak melihat muka orang itu dan ia menjadi curiga.
"Berhenti! Hayo hentikan kereta ini atau engkau akan kupukul!" bentaknya kepada kusir itu. Kiki marah, karena kini melihat bahwa kereta itu mengambil jalan yang salah, bukan menuju ke Kota Raja, melainkan membelok dan kini berada di luar sebuah hutan yang sunyi. Kereta itu tiba-tiba berhenti dan ketika Ceng Hiang dan Kiki membuka gorden jendela dan pintu kereta, mereka melihat bahwa kereta itu telah dikurung oleh segerombolan orang berkuda yang dikepalai oleh tiga orang Hwesio gendut!
"Enci Hiang, kau di dalam saja bersama peti ini, biar aku yang menghadapi mereka!" Kata Kiki, sedikitpun tidak merasa gentar, bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mukanya merah sekali.
Ia nampak semakin manis dan gagah perkasa, dan ketabahannya memancar di sinar mukanya, membuat Ceng Hiang merasa kagum bukan main. Kiki lalu melompat ke luar dan ia menghitung jumlah lawan. Ada tujuh orang. Tiga orang Hwesio gendut, dua orang lagi berpakaian biasa dan kusir itu yang ternyata bukanlah kusir kereta Ceng Hiang tadi, melainkan seorang lain yang telah mengenakan pakaian yang sama. Agaknya diam-diam kusir yang aseli telah disingkirkan dan tempatnya diganti oleh orang ini. Tiga orang Hwesio dan dua orang kurus itu meloncat turun pula dari atas kuda masing-masing. Seorang di antara tiga Hwesio itu, yang mempunyai tahi lalat besar di ujung hidungnya sehingga nampak lucu dan buruk, dengan perutnya yang gendut dan tubuhnya yang agak pendek, melangkah maju menghadapi Kiki.
"Serahkan peti hitam berisi kitab-kitab itu kepada kami, dan kamipun tidak akan mengganggu dua orang gadis yang lemah." Kiki tersenyum mengejek.
"Engkau ini Hwesio dari kuil, ataukah pelawak yang menyamar sebagai Hwesio , ataukah orang-orang jahat tolol, tikus-tikus kecil yang datang mengantar kematian?" Hwesio itu melototkan matanya.
"Omitohud! Kiranya perempuan ini seorang kuntilanak yang mencari penyakit sendiri. Perempuan sombong, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang menginginkan kitab-kitab itu. Jangan berani menghina kami, dan cepat serahkan peti itu!"
"Dari pada aku yang menyerahkan peti, lebih baik kalian yang menyerahkan leher kalian untuk kupenggal satu-satu sebagai hukuman atas kejahatan kalian berani mengganggu aku!"
"Suheng, perlu apa bicara banyak-banyak dengan dia? Anak ini cukup manis, biar untuk aku saja!" kata seorang di antara dua laki-laki berpakaian biasa yang bertubuh kurus.
Dan sebelum kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah menubruk ke arah Kiki. Gerakannya cepat dan dari kedua lengannya yang dikembangkan itu mengeluarkan angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi Kiki tidak mau kalah gertak. Ia benci sekali kepada laki-laki yang kurang ajar, dan orang ini telah mengeluarkan kata-kata yang amat menghinanya. Oleh karena itu, melihat laki-laki kurus itu menyerangnya dengan tubrukan seperti harimau hendak menerkam kambing, kemarahannya meluap dan iapun sudah mengerahkan tenaga sin-kang, dan menggunakan jurus dari ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu yang dahsyat itu. Tangannya menyambar ke depan dan serangkum tenaga angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambut laki-laki itu.
"Dessss.!!" Tubuh laki-laki itu terdorong ke belakang dan terbanting roboh keras sekali. Akan tetapi dia tidak tewas, melainkan mengeluarkan darah dari mulutnya, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam. Tidak tewasnya orang ini mengejutkan Kiki, karena ia maklum bahwa lawannya itu sebetulnya cukup tangguh. Tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah hanya karena laki-laki memandang rendah kepadanya dan menyerangnya dengan kedua lengan terkembang sehingga dadanya terbuka dan enak dijadikan sasaran pukulannya. Akan tetapi, yang lebih kaget lagi adalah tiga orang Hwesio itu.
"Eh, perempuan muda, siapakah engkau ini!" bentak Hwesio gendut bertahi lalat di ujung hidungnya. Kiki tidak menyembunyikan siapa dirinya.
"Namaku Tang Ki, dan Ayahku adalah Hai-tok!" Nama ini membuat muka empat orang itu menjadi pucat.
"Hai-tok pemimpin Bajak Naga Laut?"
"Akulah pemimpinnya!" kata pula Kiki.
"Celaka, kita terjebak. Larikan kereta!" bentak Hwesio gendut itu, dan dia bersama tiga orang kanannya sudah menggerakkan senjata mengepung dan mengeroyok Kiki, sedangkan kusir itu sudah mengaburkan lagi kudanya.
"Berhenti kau !" Kiki membentak dengan khawatir, akan tetapi empat orang yang menghadangnya itu ternyata amat lihai! Terutama tiga orang Hwesio itu yang mainkan golok amat tangkas dan berbahaya sehingga terpaksa Kiki mengelak ke sana-sini dan tidak dapat mengejar kereta yang sudah kabur dengan cepat memasuki hutan.
Tentu saja hatinya gelisah bukan main, kegelisahan bukan khawatir akan kehilangan peti berisi kitab-kitab itu, melainkan mengkhawatirkan keselamatan Ceng Hiang. Empat orang lawannya itu ternyata memang lihai. Si laki-laki kurus satu lagi bersenjatakan pedang dan kini yang terkena pukulannya juga sudah mampu bangkit dan biarpun mukanya pucat, dia dapat pula mengeroyok dengan pedang. Lima orang itu kini sama sekali tidak berani main-main lagi, bahkan merasa terjebak ketika mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Hai-tok, bahkan pemimpin dari Bajak Naga Laut yang amat terkenal itu. Mereka semua mengerahkan tenjata dan tenaga untuk mengeroyok Kiki yang bertangan kosong! Biarpun demikian, semua serangan mereka tidak ada yang mampu merobohkan Kiki.
Gadis ini mengelak sambil berloncatan seperti seekor burung saja, bahkan tidak jarang kalau ada golok atau pedang yang tak dapat dielakkan karena datangnya terlampau cepat, ditangkisnya begitu saja dengan lengan telanjang sehingga lengan bajunya ada yang robek, akan tetapi kulit lengan yang putih mulus itu sama sekali tidak terluka oleh bacokan pedang ataupun golok lawan. Tentu saja dalam hal ini Kiki juga berhati-hati, tidak berani ia menangkis setiap bacokan golok atau pedang yang dilakukan dengan sin-kang yang terlalu kuat, karena kekuatan sin-kang lawan itu akan dapat menembus pertahanan kekebalan kulit lengannya. Biarpun demikian, ia mulai terdesak hebat karena lima orang pengeroyoknya itu lihai dan ia memang tidak diberi kesempatan untuk mencari senjata. Apalagi hatiny" gelisah bukan main kalau mengingat keadaan Ceng Hiang.
Gadis yang lemah lembut dan cantik jelita itu dilarikan di dalam kereta oleh kusir palsu itu yang dalam hal kekejaman dan kejahatannya tentu tidak kalah oleh rekan-rekannya. Oleh karena itu, kegelisahan ini menambah kelemahan pertahanannya dan kini Kiki mulai mundur-mundur dan mencari peluang untuk melarikan diri dan untuk mengejar kereta itu agar ia dapat melindungi Ceng Hiang. Akan tetapi, ketika ia memandang ke arah hutan di mana kereta itu tadi menghilang, ia terbelalak melihat Ceng Hiang berjalan melenggang sambil memanggul peti hitam terisi kitab-kitab itu, dengan sikap seenaknya saja! Hampir saja lehernya kena disambar golok Hwesio bertahi lalat kalau saja ia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, lalu dari bawah ia meloncat sambil menendang.
"Bukkk!" Tendangannya mengenai sasaran, menghantam perut Hwesio gendut itu, akan tetapi tenaga tendangannya itu membalik! Kiranya Hwesio ini kekuatannya terletak di perut yang gendut itu.
Bukan gendut karena terlalu banyak makan, melainkan gendut karena terlatih dan kini terisi hawa sin-kang yang kuat sehingga ketika ditendang, ia merasa seperti menendang sebuah balon besar terisi angin yang padat saja! Iapun bergulingan menjauh dan meloncat berdiri, agak jauh sehingga ia dapat memperoleh kesempatan melihat ke arah temannya. Dan apa yang dilihatnya? Ceng Hiang kini sudah menaruh peti hitam itu di atas tanah dan ia sendiri duduk bersila di atas peti itu, dengan sebatang pedang di tangannya. Dan dua orang Hwesio mengeroyoknya dengan golok, akan tetapi kemanapun golok menyambar, tanpa menoleh, tanpa merubah bentuk duduknya yang bersila, Ceng Hiang selalu berhasil menangkis serangan golok lawan. Semua dilakukan seenaknya seperti seorang anak kecil yang sedang main-main saja!
"Trang-tring-trang-tring..."
Berkali-kali terdengar suara senjata bertemu, dan tiba-tiba seorang Hwesio meloncat ke belakang dengan muka pucat karena ujung goloknya telah somplak, patah ujungnya ketika ditangkis pedang Ceng Hiang! Melihat ini, hampir saja Kiki bersorak, akan tetapi juga ingin menampar mukanya sendiri. Ia teringat pedang itu, dan kini tahulah ia siapa Ceng Hiang. Ceng Hiang adalah opsir itu! Ia tadi berbohong saja ketika menyebut nama Ceng Siang! Pantas begitu tampan pemuda itu. Saking girangnya dan melihat bahwa ia memperoleh kesempatan karena kini lima orang itu berbalik mengeroyok Ceng Hiang untuk merampas peti, ia cepat lari ke pohon dan mematahkan sebuah cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata tongkat, senjata yang paling enak dan ampuh baginya. Setelah kini memegang tongkat, dara inipun lari ke arena perkelahian.
"Enci Hiang, kau nakal! Kiranya engkaulah opsir lihai itu. Mari kita basmi tikus-tikus ini!" Dan diapun mengamuk dengan tongkatnya. Setelah kini ada Ceng Hiang yang demikian tenangnya menangkisi semua senjata, Kiki mengamuk dan tongkatnya menyambar-nyambar, merobohkan seorang Hwesio . Melihat keadaan demikian berbahaya, lima orang itu lalu melarikan diri. Dua orang terluka oleh tongkat Kiki, seorang lagi terpincang-pincang karena pahanya luka oleh pedang Ceng Hiang. Kiki hendak mengejar, akan tetapi Ceng Hiang berkata.
"Tak perlu dikejar, Ki-moi. Mari kita cepat pulang!" Kiki mengikuti Ceng Hiang yang membawa peti itu dan kembali ia tertegun. Ceng Hiang mempergunakan ilmu berlari cepat yang demikian hebat, mungkin lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya sendiri. Tak lama kemudian, mereka tiba di tengah hutan dan kereta itu berada di situ. Kusir yang tadi sudah menggeletak tanpa nyawa di bawah kereta.
"Biar kita duduk di bangku kusir sambil bercakap-cakap." kata Ceng Hiang.
"Aku biasa menjadi kusir!" Sambil tertawa, Kiki meloncat ke bangku kusir bersama Ceng Hiang dan setelah menyimpan peti di dalam kereta, dan kereta dilarikan, Kiki merangkul gadis cantik jelita itu.
"Enci, kau nakal. Kiranya engkaulah opsir muda itu! Betul tidak? Yang namanya Ceng Siang itu, juga engkau yang menyamar, bukan?"
"Hi-hik, habis aku tidak tega mengecewakan hatimu, nampaknya engkau tertarik benar kepada... heh-heh, Ceng Siang kakakku itu." Kiki mencubit paha Ceng Hiang.
"Tertarik? Hampir aku jatuh cinta setengah mati! kau nakal dan kejam, mempermainkan aku, Enci. Kiranya engkaulah murid keturunan keluarga Pulau Es! Aku senang sekali dapat berkenalan denganmu, Enci Hiang." Ceng Hiang balas merangkul dengan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya menguasai kendali dua ekor kuda yang menarik kereta.
"Akupun suka sekali padamu, Kiki. Sayang aku bukan yang bernama Ceng Siang. Kalau aku laki-laki, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu sejak kita jumpa dulu."
"Enci Hiang, engkau begini cantik jelita, begini halus dan lembut. Kenapa malam itu engkau memakai pakaian opsir dan menyamar sebagai seorang pria?" Ceng Hiang menghela napas panjang.
"Kasihan Ayahku. Dia demikian ingin mempunyai keturunan laki-laki. Karena dia tidak punya putera, hanya mempunyai aku seorang anak saja dan ibu telah meninggal, maka untuk menyenangkan hatinya, aku seringkali menyamar sebagai pria. Kalau aku memakai pakaian pria, wah, Ayahku nampak gembira bukan main, dan anehnya, dia sering menyebutku Ceng Siang karena katanya, kalau aku dulu terlahir laki-laki, tidak diberi nama Ceng Hiang melainkan Ceng Siang. Heh-heh, Ayahku memang lucu dan kasihan sekali."
"Dia seorang pangeran tua yang amat baik hati, Enci. Akan tetapi kenapa engkau memakai pakaian opsir?"
"Hik-hik, itu ada rahasianya. Pakaian opsir itu adalah satu di antara kumpulan pusaka kuno yang disimpan Ayahku. Pakaian itu dahulu, mungkin seratus tahun lalu, pernah menjadi pakaian panglima Puteri Nirahai, isteri pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
"Kebetulan terjatuh ke tangan Ayah yang suka mengumpulkan benda benda kuno dan malam itu, melihat engkau memasuki rumah seperti seorang pencuri, aku sengaja memakainya dan membawa harimau peliharaanku untuk menakut-nakutimu. Eh, tidak tahunya engkau begitu cantik dan gagah perkasa, sehingga harimauku sendiri tidak mampu apa-apa kepadamu."
"Tidak mampu apa-apa bagaimana? Hampir aku terkencing ketakutan!" Dua orang gadis itu tertawa-tawa dan mereka nampak akrab bukan main. Memang mereka merasa saling suka dan lebih lagi ketika Kiki melihat sendiri betapa lihainya gadis bangsawan ini. Cantik jelita seperti bidadari, nampak lemah-lembut, peranakan Mancu berdarah keluarga kaisar, akan tetapi membenci penindasan dan penjajahan, dan yang lebih hebat lagi, memiliki ilmu kepandaian silat yang lebih tinggi darinya, bahkan menjadi pewaris ilmu keluarga Pulau Es! Siapa tidak akan kagum?
"Enci Hiang, akupun tidak mempunyai saudara. Anak Ayahku hanya aku seorang, dan bertemu denganmu, aku benar-benar merasa seolah-olah engkau ini Enciku sendiri."
"Dan kau seperti adikku sendiri!" Keduanya saling pandang dan entah digerakkan oleh apa, keduanya bicara berbareng,
"Bagaimana kalau kita angkat saudara..." Karena ucapan dikeluarkan berbareng, keduanya tak perlu menjawab lagi dan keduanya kembali tertawa-tawa.
"Adikku, bagaimanapun juga, aku harus minta perkenan dulu dari Ayahku, walaupun aku berani tanggung bahwa Ayah tentu akan setuju sekali. Semenjak pulang, dia selalu memuji-mujimu, dan mengatakan betapa sayangnya seorang pendekar wanita pejuang seperti engkau sampai hidup di tengah-tengah para bajak laut!" Memang tepat seperti diduga oleh Ceng Hiang. Begitu Ceng Hiang menyerahkan peti berisi kitab-kitab kuno itu kepada Ayahnya dan menceritakan semua pengalaman mereka, lalu menambahkan bahwa ia ingin sekali mengangkat saudara dengan Tang Ki, pangeran tua itu tanpa memandang kepada Kiki dan berkata.
"Mimpi apa aku ini, tahu-tahu peroleh seorang anak perempuan lagi yang segagah ini tanpa merawat ketika kecil? Mulai saat ini, engkau adalah adik Ceng Hiang, Kiki, dan anakku yang kedua." Mendengar ini, Kiki merasa terharu sekali dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu.
"Terima kasih atas kebaikan budi paduka..."
"Hushhh, aku Ayahmu, lupakah kau ?" kata pangeran itu dengan suara pura-pura marah penuh teguran.
"Maaf... Ayah..." Ceng Hiang bertepuk tangan lalu menghampiri Kiki, mengangkatnya bangkit dan merangkul lalu mencium kedua pipinya dengan penuh rasa sayang, Menghadapi kegembiraan yang demikian besarnya dari Ayah dan anak itu, Kiki yang biasanya memiliki ketabahan besar dan yang biasanya pantang menangis itu, kini terisak-isak dan mendekapkan mukanya di pundak Ceng Hiang.
"Terima kasih... terima kasih, Enci Hiang dan... Ayah..." katanya megap-megap menahan tangis keharuannya.
"Aku... aku... hanya anak seorang datuk sesat, ah... betapa mungkin dan kalian berdua... ini. Mimpikah aku, Enci? Mimpikah aku..." Dan Kiki menjambak rambutnya sendiri untuk mendapatkan kenyataan bahwa ia benar-benar tidak sedang dalam mimpi.
"Tidak mimpi, Kiki. Dan engkau tidak perlu berterima kasih seperti itu. Pertama, engkau pernah mengembalikan nyawaku yang sudah hampir ditelan lautan, dan kedua kalinya, engkau mengembalikan peti kitab-kitab ini. Sungguh, engkau seorang anak yang baik dan mudah-mudahan selanjutnya akan sebaik Ceng Hiang. Nah, sekarang bantulah aku mengeluarkan dan membersihkan kitab-kitab ini. Akan kucari mana yang tepat untuk kita." Dengan gembira sekali, Ceng Hiang dan Kiki lalu mengeluarkan kitab itu satu demi satu, dibersihkan satu-satu, sedangkan Pangeran Ceng Tiu Ong mulai memeriksa judul kitab itu satu demi satu. Akhirnya, dia menyisihkan dua buah kitab kuno yang sudah kuning dan lapuk. Wajahnya berseri. Semua hanya kitab-kitab agama dan kebatinan, kecuali yang dua ini. Dua!
"Ya Tuhan, terima kasih. Memang engkau sudah berjodoh untuk menjadi keluarga kami, Kiki. Dulu, ketika memeriksa untuk yang pertama kalinya, aku teringat bahwa hanya ada sebuah kitab pelajaran silat di sini. Akan tetapi setelah kini kuteliti kembali, ternyata ada dua buah! Satu untuk Hiang, satu untuk kau ! Bukankah ini sudah jodoh namanya?" Dua orang gadis itu saling pandang. Mereka sudah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi dan untuk waktu itu, jarang ada orang yang mampu menandingi mereka, apalagi wanita. Dan kini Ayah mereka menemukan ilmu silat dalam kitab kuno. Untuk apa? Mana ada ilmu silat dalam kitab kuno yang usianya sudah ratusan tahun itu yang akan mampu menandingi ilmu-ilmu mereka? Apa artinya kitab pelajaran ilmu silat bagi mereka?
"Kitab pelajaran ilmu silat apakah itu, Ayah?" tanya Kiki.
"Mungkin hanya untuk ilmu permulaan, Ayah," kata Ceng Hiang.
"Jangan tanya aku tentang ilmu silat. Akan tetapi judulnya cukup menarik. Kalian mau tahu? Ah, nanti dulu. Sebagai Ayah, aku harus bertindak adil. Aku sama sekali tidak mengenal ilmu silat dan tidak tahu mana yang lebih penting bagi kalian di antara kedua kitab ini. Oleh karena itu, sebelum kubaca judulnya dan sebelum kuterjemahkan isinya, aku akan memberikan dulu kepada kalian seorang satu. Nah, yang agak merah tulisannya ini untukmu, Ceng Hiang, karena engkau suka akan warna merah, bukan? Dan ini, yang agak hijau tulisannya, untuk Kiki. Mudah-mudahan engkau suka warna hijau, Kiki."
JILID 29
"Luar biasa! Betapa bijaksana Ayah kita," kata Kiki sambil tertawa kepada Encinya dan menerima kitab kuno itu.
"Kebetulan warna hijau adalah warna kesukaan saya!"
"Bgus, nah, sekarang akan kubacakan dulu judulnya. Kesinikan kitabmu itu, Hiang." Ceng Hiang sambil tersenyum menyerahkan kitabnya dan ia merasa seolah-olah seperti sedang menarik undian. Apakah undiannya akan berhasil baik? Jangan-jangan kitabnya hanya berisi ilmu-ilmu belajar pasang kuda-kuda saja! Akan tetapi dengan alis berkerut tanda bahwa otaknya bekerja Ayahnya sudah mulai membaca dengan suara perlahan-lahan.
"Kitab Pek-seng Sin-pouw, ciptaan Tat Mo Couw-su, untuk dilatih murid-murid yang bersih hatinya."
"Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang)? Apakah itu?" Ceng Hiang bertanya, mulai tertarik karena dari ilmu-ilmu yang didapatnya sebagai warisan dari nenek moyangnya, yaitu Puteri Nirahai, ia mempelajari juga semacam ilmu langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan musuh dengan elakan-elakan berdasarkan lika-liku langkah kaki. Akan tetapi selamanya ia belum pernah mendengar akan nama Ilmu Langkah Pek-seng Sin-pouw maka ia merasa tertarik sekali, apa lagi penciptanya adalah Tat Mo Couwsu yang juga disebut datuknya semua kau m persilatan.
"Wah, mana aku tahu? Nanti akan kuterjemahkan untukmu agar dapat kau baca dan pelajari sendiri. Ada lukisan garis-garis lurus dan lengkung yang aku tidak tahu artinya sebelum diterjemahkan. Dan kesinikan kitabmu itu, Kiki." Dengan jantung berdebar, Kiki menyerahkan kitabnya. Ia sendiripun tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan Ilmu Langkah Ajaib Seratus Bintang yang jatuh kepada Enci angkatnya, akan tetapi, karena kitab-kitab itu ciptaan Tat Mo Couwsu yang sudah didengar namanya, hatinya menjadi tegang penuh harap-harap cemas. Setelah mempelajari sebentar, pangeran itu lalu membaca judul kitab yang menjadi hak milik Kiki.
"Kitab Hui-thian Yan-cu, ciptaan Tat Mo Couwsu untuk dilatih murid-murid yang penuh belas kasih hatinya."
""Hui-thian Yan-cu (Walet Terbang ke Langit)? Wah, ilmu apa lagi ini?" Kiki bertanya, dan Encinya segera merangkulnya.
"Kiong-hi (selamat), adikku. Aku berani bertaruh bahwa kalau sudah diterjemahkan, ilmu itu tentu semacam ilmu gin-kang yang akan membuat engkau mampu terbang ke langit seperti burung walet!" Kiki tertawa.
"Dan ilmumu itu akan membuat engkau dapat melindungi diri dengan langkah ajaib yang ruwetnya sama dengan seratus bintang. Wah, dengan langkah ajaibmu yang sudah ada saja, aku dibikin setengah mati untuk dapat menyerangmu, apalagi dengan Pek-seng Sin-pouw, tentu engkau takkan dapat ditangkap oleh seratus orang yang mengepungmu. Selamat, Enci!" Keduanya gembira sekali, dan sang pangeran juga ikut bergembira.
"Aku sudah menduga bahwa kitab-kitab ini tentu berguna sekali bagimu, Ceng Hiang, tak kusangka kini malah berguna pula bagi Kiki. Dengan demikian, sedikit banyak aku sudah dapat membalas budi anakku Kiki."
"Gi-hu (ayah angkat), harap jangan sebut-sebut lagi tentang budi. Bagaimanapun, aku pernah membunuhi anak buah pengawal Ayah, dan membakar perahu..." Suaranya mengandung penyesalan besar. Pangeran itu menggoyang-goyang tangannya.
"Jangan disebut-sebut lagi urusan itu, kalau terdengar orang lain tidak baik. Engkau melakukannya karena perjuangan, watakmu bukan karena memang suka membunuh atau merampok."
"Wah-wah, Ayah dan siauw-moi mulai berbantah-bantah lagi, saling salahkan diri dan saling puji. Sudahlah, mulai sekarang keduanya sudah berjanji tidak akan menyebut-nyebut lagi urusan itu dan akulah saksi hidupnya!" Mereka bertiga tertawa, dan mulai hari itu, pangeran Ceng Tiu Ong menterjemahkan kedua kitab itu dengan seksama. Dia tidak akan memberikan kitab yang sudah selesai diterjemahkan, akan diberikan berbareng kepada dua orang anaknya dalam waktu yang sama.
Jarang ada seorang Ayah, atau orang tua seperti Pangeran Ceng Tiu Ong ini. Biarpun yang seorang anak kandung, yang kedua anak angkat, namun cinta kasihnya kepada mereka sama, tidak berat sebelah. Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa yang harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus dibenci! Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan dasar untung rugi. Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta diri sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya.
Cinta kepada anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya, kalau anjing itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan menyenangkan, maka tetap dicinta. Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau bahkan diusir! Sama saja dengan mencinta barang-barang mati, yang baik dan berharga, dicinta... yang buruk dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang begini cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya? Mudah-mudahan tidak, dan kalau toh ada yang demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan segera mengubahnya. Pergaulan antara Kiki dan Ceng Hiang semakin akrab saja. Pada suatu malam, sebelum tidur, karena Ceng Hiang memaksa agar adiknya itu tidur sekamar dengannya. Kiki mulai bertanya tentang suhengnya yang bernama Lee Song Kim.
"Enci Hiang, sebetulnya ketika aku meninggalku Pulau Naga yang kini menjadi tempat tinggal keluarga Ayahku, selain hendak mengirimkan peti kitab seperti yang dipesan Ayah, aku masih mempunyai sebuah urusan lagi yang belum sempat kubicarakan denganmu. Ada sebuah perintah Ayah, bukan gi-hu (ayah angkat) yang kumaksudkan, yang belum kulaksanakan dengan berhasil."
"Aihh, kenapa tidak kau katakan dari kemarin dulu, adikku sayang? Tugas dari seorang yang berbakti kepada orang tuanya harus dipenuhi dengan baik, dan kalau aku dapat, tentu aku akan membantumu sampai berhasil."
"Terima kasih, Enci Hiang, engkau baik sekali dan memang aku ingin minta tolong kepadamu, yaitu mungkin engkau dapat memberi keterangan tentang orang yang sedang kucari. Aku diperintah oleh Ayah untuk mencari tahu dimana adanya seorang suhengku."
"Kiranya Ayahmu mempunyai banyak murid-murid selain engkau? Wah, tentu suhengmu itu pandai sekali, baru sumoinya saja seperti engkau, apalagi suhengnya."
"Murid Ayah hanyalah aku dan suhengku itu, Enci, sudah lama dia pergi, dan aku ingin tahu dimana alamatnya karena yang kami ketahui hanya bahwa Suheng itu kini telah menjadi seorang perwira kerajaan dan tinggal di Kota Raja."
"Begitukah? Dan siapa namanya?"
"Namanya Lee Song Kim..." Tiba-tiba Ceng Hiang yang tadinya sudah merebahkan diri dan mereka bercakap-cakap sambil tiduran, meloncat bangkit dan duduk, matanya terbelalak memandang wajah Kiki dan sampai beberapa detik lamanya tidak menjawab. Kiki terkejut sekali.
"Eh, ada apakah, Enci Hiang?"
"Lee Song Kim...? kau maksudkan perwira baru itu, yang selalu membawa pedang dan sepasang pisau belati di pinggangnya? Usianya sebaya dengan kita, lebih tua satu dua tahun mungkin, sikapnya halus dan wajahnya tampan. Ilmu silatnya lihai..."
"Benar dia! Enci, engkau kenal dia? Tahukah kau dimana suhengku itu sekarang berada?"
"Tahu? Tentu saja aku tahu, lebih dari itu malah! Tapi, benarkah Lee Song Kim itu suhengmu? Murid dari Ayahmu, murid dari Hai-tok Tang Kok Bu?"
"Heii, apakah engkau tidak percaya kepadaku, Enci Hiang? Itulah suhengku!"
"Maksudku, apakah dia mempunyai guru lain dan hanya kebetulan saja menjadi murid Ayahmu dan hanya untuk beberapa bulan atau tahun saja?"
"Tidak, dia menjadi murid Ayah sejak dia masih kecil. Ayahkulah yang menggemblengnya sejak dia masih kecil sekali sampai dewasa. Bahkan hampir semua ilmu Ayahku telah dia kuasai, dia murid yang amat disayang oleh Ayahku."
"Di antara banyak murid-murid Ayahmu?"
"Tidak. Yang benar-benar menjadi murid Ayah hanyalah Lee Song Kim itu dan aku sendiri. Yang lainnya itu bukan murid benar-benar, hanya anak buah yang dilatih satu dua jurus ilmu saja. Tapi, kenapa kau tanyakan itu semua, Enci?"
"Karena, adik Kiki, dia itu tidak pernah mengaku sebagai murid Hai-tok. Dia mengaku bahwa ilmu silatnya adalah ilmu silat keluarga dari nenek moyangnya."
"Wah, kalau begitu... hanya ada dua kemungkinan! Pertama, dia itu bukan suhengku, hanya orang yang sama namanya saja, dan kedua, dia itu pembohong besar, mungkin karena dia merasa malu mengaku menjadi murid Hai-tok Ayahku!"
"Dan menurut dugaanmu, di antara dua kemungkinan itu, yang manakah dia?"
"Yang kedua! Aku yakin bahwa dia itulah Lee Song Kim suhengku..."
"Ssttt, nanti dulu, adikku, jangan kau memburuk-burukkan dia karena masih ada hal lain lagi mengenai dirinya yang lebih gawat sekali bagiku. Dia adalah laki-laki yang dengan perantaraan komandannya, seorang panglima sahabat baik Ayahku, yang telah... mengajukan pinangan atas diriku karena dia mengaku telah kehilangan Ayah bundanya dan hidup sebatangkara tak bersanak keluarga lagi."
"Ehh... Ohhh... kalau begitu... ahhh..." Kiki terbelalak dan ternganga, bengong tak dapat berkata apa-apa lagi. Sungguh perkaranya kini menjadi berbalik dan berubah sama sekali!
Kenyataan yang mengejutkan bahwa suhengnya itu menjadi kenalan baik, bahkan melamar Ceng Hiang. Sungguh membuat kedudukan suhengnya itu lain sama sekali dan mana dia berani menjelek-jelekkan suhengnya di depan Enci angkat ini? Tapi... suhengnya itu seorang pengkhianat, seorang yang murtad dan jahat. Ia mengerutkan alisnya. Pantaskah orang seperti Lee Song Kim menjadi suami seorang gadis seperti Ceng Hiang ini? Dan iapun menimbang-nimbang. Sebetulnya, apakah kesalahan Lee Song Kim? Tentang dia meninggalkan gurunya, hal itu memang atas perintah Hai-tok untuk mencari jejak Koan Jit. Kemudian Song Kim menjadi perwira kerajaan. Walaupun hal itu sama sekali tidak cocok bahkan bertentangan dengan politik perjuangan melawan penjajah, akan tetapi secara pribadi, apakah hal itu boleh dipersalahkan?
Dan kalau Song Kim lalu mengkhianati gurunya dan melaporkan pertemuan dalam pesta ulang tahun, bukankah kewajibannya sebagai seorang opsir dan petugas Kerajaan Ceng, dan dia hanya bertindak demi kepentingan pemerintah yang diabdinya? Juga ketika dia menyerang perahu Bajak Naga Lautan, bukankah itu juga merupakan tugasnya sebagai opsir Kerajaan Ceng? Berpikir demikian, Kiki menjadi bimbang dan alisnya terus berkerut, mukanya sebentar merah sebentar pucat, dan ia seperti melamun, lupa bahwa sejak tadi ia dipandang oleh kakak perempuan angkatnya itu. Ceng Hiang sejak tadi yang memperhatikan keadaan Kiki, memandang penuh selidik, juga terheran-heran, lalu memegang kedua pundak adiknya itu dan dipaksanya adiknya bertemu pandang. Sinar matanya yang bening tajam itu memandang penuh selidik.
"Haii... bangunlah, Kiki. Apakah engkau mimpi? Kenapa setelah mendengar tentang Lee Song Kim, engkau hanya ber-ah-eh-oh seperti orang yang tiba-tiba menjadi gagu?" Tiba-tiba Ceng Hiang teringat sesuatu dan senyumnyapun menghilang, terganti kekhawatiran pada wajahnya.
"Adikku yang baik. Kita bukan orang lain. Aku Encimu dan engkau adikku. Kita harus jujur. Apakah... apakah... engkau mencinta suhengmu yang bernama Lee Song Kim itu?" Kini Kiki yang terkejut ditanya begitu.
"Mencinta suheng? Wah, tidak. Sama sekali tidak! Memang dulu pernah Ayahku condong untuk menjodohkan kami, akan tetapi aku tidak mau dan sekarang Ayah sama sekali tidak menghendakinya lagi."
"Dan dia... apakah dia cinta padamu?"
"Wah, mana aku tahu, Enci? Kami kakak beradik seperguruan. Hubungan kami seperti kakak dan adik saja. Hal itupun aku tidak tahu. Aku tadi terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa suheng mengajukan pinangan dan akan menjadi calon suamimu."
"Hushh, jangan sembrono. Aku belum menerimanya! Kukatakan tadi bahwa dia dengan perantaraan komandannya, meminang aku, dan agaknya Ayahku suka kepadanya. Akan tetapi Ayah amat cinta kepadaku dan Ayah tidak hendak memaksa. Dia menanti jawabanku sendiri dan karena aku masih bimbang, aku belum beri jawaban. Tapi, kenapa Ayahmu yang dulu ingin menjodohkan kalian kini merubah pikirannya?"
Kiki bukan seorang gadis yang bodoh. Ia cerdik sekali, dan kini tahulah ia bahwa Encinya ini hendak menguras keterangan dari dirinya untuk mengenal siapa sebenarnya pemuda bernama Lee Song Kim yang meminangnya itu. Ia harus berhati-hati, karena tidak tahu sampai dimana hubungan antara suhengnya dan Encinya ini, dan apakah Encinya ini mencita Song Kim. Ia tahu bahwa Song Kim tampan gagah, dan juga pandai merayu, kelihatannya seorang pendekar sasterawan yang budiman.
"Tentu Enci tahu betapa perasaan Ayahku mendengar bahwa dia telah menjadi seorang perwira dari pemerintah Ceng-tiauw, bukan? Nah, sejak dia menjadi perwira itu, tentu saja pendirian Ayah berubah. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, tidak ada perasaan apa-apa dalam hatiku terhadap suheng, maka akupun tidak perduli lagi."
"Tapi, kenapa sekarang engkau disuruh Ayahmu untuk mencari tempat tinggalnya?" kembali Ceng Hiang mengejar dan pandang matanya semakin tajam menyelidik.
"Terus terang saja, kalau jumpa, aku diminta oleh Ayah untuk membujuk agar dia mau kembali kepada kami, mau meninggalkan kedudukannya yang sekarang." Ceng Hiang nampak lega dan percaya, terbukti dari helaan napasnya yang panjang.
"Ah, begitukah? Akan tetapi kurasa dia tidak akan mau kembali. Kedudukannya sudah semakin baik, dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, baginya terbuka kesempatan untuk mencapai kedudukan tinggi, mungkin bahkan sebagai panglima muda di istana."
"Tapi, bagaimana dengan engkau sendiri, Enci Hiang? Apakah... ada kecondongan hatimu untuk menerimanya? Apakah engkau cinta padanya?" Kini Kiki yang menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kembali Ceng Hiang menarik napas panjang dan nampak ragu ragu.
"Entahlah, adikku. Entahlah. Aku memang kagum kepadanya, akan tetapi cinta? Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana sih cinta itu. Engkau yang hidup sebagai seorang gadis kang-ouw dan sudah luas sekali pengalamanmu, coba katakan, adikku, bagaimana sih rasanya kalau orang jatuh cinta?
"Aku tidak yakin apakah aku cinta atau tidak padanya, walaupun aku kagum dan suka kepada suhengmu karena dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bertampang ganteng dan bersikap sopan dan lembut. Bagaimana sih cinta itu?" Di dalam hatinya, Kiki menaruh rasa khawatir. Memang suhengnya itu perayu benar dan pandai bersandiwara, sikapnya selalu baik dan memang tampan. Akan tetapi ditanya tentang cinta, dara inipun menjadi bingung sendiri. Apa sih cinta itu? Ia lalu mengingat-ingat, membayangkan tampang laki-laki yang pernah dikenalnya dan dikaguminya. Banyak pendekar muda yang gagah perkasa dan ganteng, terutama sekali Tan Ci Kong itu! Ia sendiri bertanya-tanya, apakah ia mencinta Ci Kong, akan tetapi ia sendiri tidak mampu menjawab. Dan kini Enci angkatnya bertanya tentang cinta kepadanya!
"Cinta? Wah, aku lebih muda darimu, Enci! Biarpun aku sudah banyak menjelajah dan banyak mengenal orang, akan tetapi dalam urusan cinta mencinta, pengetahuanku juga nol besar! Aku tak dapat menjawab. Akan tetapi, bukankah kalau benar-benar engkau mencinta seorang pemuda, ada terasa di dalam hatimu?
"Bagaimana perasaanmu terhadap suhengku itu? Apakah ada rindu? Apakah ada keinginan untuk berdekatan terus? Apakah ada perasaan mesra dan... ah, bagaimana lagi ya? Aku tidak tahu!" Dan keduanya lalu tertawa. Ceng Hiang merangkulnya dan mencium pipinya. Kata-kata dan sikap adik angkatnya itu benar-benar lucu baginya, dan ia memperhatikan wajah Kiki.
"Kalau saja aku ini seorang laki-laki, atau engkau seorang laki-laki, agaknya aku bisa jatuh cinta padamu, Kiki. Tapi kita sama-sama perempuan, sehingga di antara kita tentu lain-lain rasanya di hati. Aku tidak tahu dan aku ragu-ragu.
"Tapi, coba ceritakan lebih banyak tentang suhengmu itu. Orang tuanya dimana? Dari mana dia berasal? Dan pekerjaan hebat apa saja yang pernah dilakukannya? Dan bagaimana dalam pergaulannya denganmu? Apakah dia jujur? Apakah dia dapat dipercaya? Apakah dia penyabar ataukah pemarah? Engkau sebagai sumoinya yang hidup sejak kecil dengan dia tentu mengenalnya dengan baik." Kiki menjadi semakin bingung.
"Wah, wah... pertanyaanmu ini sungguh berat bagiku untuk menjawabnya, Enci. Bagaimana aku dapat menilai orang yang pernah menjadi suhengku akan tetapi juga pernah menjadi musuhku. Ketahuilah, belum lama ini belum ada dua bulan ini, telah terjadi perang antara perahu bajak yang kupimpin dan perahu kerajaan yang dipimpinnya.
"Terpaksa kami, suheng dan sumoi, bertanding di perahu secara mati-matian. Karena pelengkapannya lebih baik dan orang-orangnya lebih banyak, terpaksa aku melarikan diri bersama anak buahku. Ketahuilah, kami telah bertanding mati-matian dan nyaris seorang di antara kita tewas.
"Nah, bagaimana sekarang aku harus menilainya? Memang perkelahian dan permusuhan yang terjadi antara kami berdua bukan persoalan pribadi, melainkan disebabkan karena dia meninggalkan kelompok kami dan menjadi perwira pemerintah. Tentu saja bagi kami, dia itu kami anggap seorang pengkhianat. Maafkan aku, Enci..." Ceng Hiang mengangguk-angguk.
"Tidak apa adikku, aku mengerti benar dan dapat merasakan apa yang kau ceritakan semua itu."
"Kau tidak marah kepadaku?"
"Kenapa marah?"
"Orang yang... kau cinta, kumaki pengkhianat dan kau tidak marah?"
"Hushh, lancang kau !" Kini Ceng Hiang mencubit pipi Kiki.
"Siapa bilang aku cinta padanya?"
"Jadi benar-benar kau tidak sakit hati mendengar dia dimaki pengkhianat?" Ceng Hiang menggeleng kepala. Kiki lalu merangkulnya.
"Horee! Kalau begitu... berarti engkau tidak cinta padanya, Enci Hiang! Jelaslah! Kalau kau cinta seseorang, dan orang itu dimaki pengkhianat, sudah pasti engkau akan marah. Dan sekarang kau tidak marah, itu berarti kau tidak cinta pada bekas suhengku itu."
"Akupun tidak tahu dan mungkin aku tidak cinta padanya, akan tetapi Ayah kelihatan begitu yakin akan kebaikannya, dan agaknya Ayah mengharapkan aku menerimanya. Dan aku... kau tahu, Ayah hanya mempunyai anak aku seorang, aku tidak tega mengecewakan hatinya."
"Wah-wah, kau lupa padaku, Enci? Ingat, aku pun anaknya!" Ceng Hiang menciumnya.
"Maaf, tapi kan lain, adikku?"
"Jadi, kalau begitu... biarpun kau tidak cinta, engkau akan menerima saja pinangan itu dengan mata dipejamkan? Begitu?" Ceng Hiang mengangguk.
"Mungkin saja, kalau hal itu membahagiakan hati Ayah."
"Tidak betul itu! Aku akan menentangnya!" Tiba-tiba Kiki berseru dengan nada suara marah, dan berdiri turun dari tempat tidur dan bertolak pinggang.
"Eh, eh, apa-apaan kau ini? Apa kesurupan setan? tiba-tiba marah-marah seperti itu!" Ceng Hiang mengomel.
"Aku akan menentang karena tidak adil. Kita ini bukan ayam atau kambing atau babi yang boleh begitu saja dituntun ke pejagalan disembelih, hanya untuk untuk menyenangkan manusia. Kita ini berhak memilih, Enciku yang baik. Manusia yang berhak menikmati hidup ini!
"Kalau memang engkau tidak cinta pada Lee Song Kim dan gi-hu hendak memaksamu menerima menjadi calon isterinya, wah, aku akan memberontak! Aku akan menghadap gi-hu dan aku akan membelamu. Pendeknya, aku tidak rela melihat Enciku yang tersayang dijadikan ayam betina untuk disembelih dan disuguhkan orang-orang hanya untuk membikin senang hati orang lain.
"Tidak! Kecuali kalau engkau cinta padanya, nah, baru itu benar namanya. Kalau engkau mencinta seorang dan orang itupun cinta padamu, barulah boleh diadakan pernikahan. Dan kalau ada yang menentang, aku pula yang akan membelamu mati-matian!"
Kini kedua mata Ceng Hiang yang menjadi basah. Ia menarik tangan Kiki dan merangkul adiknya itu sambil menangis perlahan saking girang dan terharu hatinya. Selama hidupnya, Ceng Hiang belum pernah merasakan kasih sayang seorang saudara perempuan, apalagi karena ia masih kecil ketika ibunya meninggal dunia. Kiki juga menangis dan kedua orang wanita yang sama-sama gagah perkasa itu, kini benar-benar menjadi wanita-wanita sejati yang mudah dikuasai perasannya dan suka meluapkan perasaan itu lewat air mata dari dua pasang mata yang indah itu. Dari Ceng Hiang, Kiki mendapat keterangan bahwa Song Kim naik pangkat setelah terjadi penyerbuan di tempat ulang tahun Hai-tok, dan kini tinggal di dalam sebuah gedung yang cukup mewah, dijaga oleh serdadu-serdadu pengawal.
"Engkau jangan mengunjunginya, karena bisa terjadi salah paham setelah kalian pernah berkelahi. Juga aku ingin sekali melihat sikapnya kalau bertemu denganmu. Karena itu, Kiki... aku akan menggunakan akal agar dia datang ke sini dan..." Ceng Hiang lalu membisikkan kata-kata di dekat telinga Kiki, dan dua orang gadis itu tertawa cekikikan seperti dua orang anak kecil yang merencanakan sesuatu yang nakal. Memang, di dalam hati masing-masing tumbuh kegembiraan yang selama ini belum pernah mereka rasakan, setelah mereka merasa saling memiliki sebagai saudara. Memang cinta asmara merupakan suatu hal yang amat rumit. Tiada habisnya cerita di dunia ini dikisahkan oleh para sasterawan dan pengarang tentang cinta asmara,
Sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan hal-hal yang terjadi sehubungan dengan perasaan yang selalu menyerang hati manusia itu, tak perduli dia berbangsa apa, pria atau wanita, tua ataupun muda. Bagi sebagian besar pria, kalau dia jatuh cinta kepada seorang wanita, persoalannya lebih mudah dan sederhana lagi, dan dia sendiripun lebih mudah untuk memahami keadaan dirinya. Dia tentu selalu rindu kepada wanita yang dicintanya itu, merasa suka dan selalu merasa kasihan, ingin selalu berdekatan, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu bermesraan dan segala sesuatu pada diri wanita itu nampak olehnya sebagai yang paling indah, paling baik dan paling benar. Sebaliknya, pada diri wanita, cinta asmara ini lebih lembut sifatnya, namun kadang-kadang menyerang lebih mendalam lagi walaupun wanita biasanya pandai menyembunyikan perasaan hatinya.
Seorang wanita dapat mencinta secara mati-matian, akan tetapi dapat pula mengubah cinta itu menjadi kebencian yang berlebihan. Hal inipun tidak aneh karena sebagian besar batin wanita dipenuhi oleh emosi, dan wanita lebih menurutkan bisikan atau dorongan emosi perasaan hati dari pada nasihat pikiran jernih. Ceng Hiang adalah seorang gadis yang luar biasa. Bukan saja ia telah mewarisi beberapa macam ilmu silat pilihan dari keturunan keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi Ayahnya juga mendidiknya dalam hal kesusasteraan. Ia bukan hanya pandai silat, akan tetapi juga pandai membaca menulis, pandai membuat sajak-sajak indah dan menikmati keindahan sajak-sajak, pandai menyulam, bahkan pandai pula bernyanyi dan memainkan yang-kim (semacam kecapi) dan suling.
Karena ia terpelajar, maka ia mempelajari pula sopan santun dan tata susila, cerdik bukan main. Akan tetapi, menghadapi kata yang disebut "Cinta", iapun bingung! Karena itu, bukan membohong ketika ia mengatakan kepada Kiki bahwa ia tidak tahu apakah ia mencinta Lee Song Kim atau tidak. Song Kim memang cerdik. Ketika dia meninggalkan Pulau Layar, dengan sembunyi-sembunyi dia telah mengikuti perahu Kiki, bahkan membonceng di bawah perahu, dan ketika malam tiba, dia membikin Kiki tidak berdaya dan hampir saja dia berhasil memperkosa Kiki di tengah lautan yang gelap gulita itu. Agaknya kekuasaan alam tidak menghendaki perbuatan jahat itu terjadi, maka tiba-tiba datang badai yang mengguncang perahu, bahkan membuat perahu itu pecah dan terbalik.
Ketika dia berhasil menarik Kiki yang masih terbelenggu pada tiang ke pantai dan hendak melanjutkan perbuatan bejatnya untuk memperkosa, tiba-tiba saja muncul Ci Kong yang menghalanginya dan karena takut kalau dikenal Kiki, terpaksa dia melarikan diri. Song Kim lalu melakukan penyelidikan seorang diri dan mendengar bahwa Koan Jit berada di kota Kanton. Diapun cepat menyusul ke kota itu. Akan tetapi, di Kanton dia mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang komandan pasukan Harimau Terbang yang menjadi pasukan kepercayaan orang kulit putih! Kedudukan Koan Jit demikian hebatnya sehingga dia sendiri merasa jerih untuk melakukan penyelidikan nekat ke markas Harimau Terbang.
Song Kim lalu mencari akal dan akhirnya mengambil keputusan bahwa kalau dia bekerja seorang diri berusaha merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit, tak mungkin dia akan berhasil, bahkan mungkin membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia mencari akal yang amat bagus. Dia lalu pergi ke Kota Raja! Seperti biasa di kota-kota besar, tentu di situ terdapat banyak pencoleng-pencoleng, pencuri-pencuri dan pencopet-pencopet. Song Kim lalu memperlihatkan ilmu kepandaiannya. Dia melakukan keliling kota setiap hari, mengunjungi pasar-pasar dan setiap kali melihat ada pencopet, pencoleng yang merampas benda lain orang, dia segera turun tangan menangkapnya dan menyeret penjahat itu kepada petugas keamanan.
Bukan itu saja, bahkan di waktu malam, dia berkeliling kota melalui genteng-genteng orang dan hampir setiap malam dia menangkapi maling-maling, bahkan pernah dalam satu malam dia menangkap tujuh orang maling di tujuh tempat. Maling-maling inipun diseretnya kepada petugas keamanan. Tentu saja nama Lee Song Kim dalam waktu singkat menjulang tinggi di kalangan para petugas keamanan dan segera terdengar oleh komandannya. Dia dipanggil dan ditawari pekerjaan. Itulah yang dinanti-nanti oleh Song Kim, dan karena memang ilmu silatnya tinggi dan dia sengaja hendak mencari kedudukan, setiap kali dia keluar tentu menangkap penjahat-penjahat dan mata-mata pemberontak. Bahkan pernah dia sendiri membasmi gerombolan pemberontak,
Yaitu pejuang-pejuang yang mengadakan rapat gelap di luar kota, dan dia telah menangkap lebih dari dua puluh orang yang semua diseretnya ke pengadilan. Kehebatan sepak terjang Song Kim ini terdengar oleh Pouw-Ciangkun, komandan pasukan keamanan, dan diapun dinaikkan pangkatnya. Dalam waktu sebentar saja, akhirnya dia sendiri diangkat menjadi seorang opsir yang dapat diandalkan! Dan nama baiknya sebagai seorang opsir yang giat melakukan pembersihan terhadap para penjahat, menimbulkan banyak rasa suka, baik di kalangan pejabat-pejabat Kota Raja, rakyat jelata yang merasa maupun dilindungi. Nama Lee Song Kim menjadi buah bibir orang, seorang opsir muda yang berwatak pendekar, suka menolong, bersikap halus lembut dan ramah, pandai merayu, apalagi memang tampan.
Dan pemuda ini juga pandai membawa diri. Walaupun pada hakekatnya dia lain nampak watak aselinya, yaitu mata keranjang dan cabul, akan tetapi dia dapat menahan nafsunya dan hanya melakukan pengumbaran nafsanya jauh dari Kota Raja dan menyamar sebagai seorang pemuda biasa sehingga nama tetap harum. Dalam keadaan demikianlah, opsir Lee Song Kim pernah berjumpa dengan Ceng Hiang dan dia seketika dia tergila-gila. Bukan hanya tergila-gila oleh kecantik jelitaan gadis itu, akan tetapi juga karena setelah dia mengikuti komandannya berkunjung ke rumah gadis itu, dia mendengar bahwa gadis itu adalah seorang pewaris ilmu-ilmu para pendekar pulau Es! Gadisnya begitu cantik jelita, terkenal pandai ilmu silat, dan puteri tunggal seorang pangeran lagi!
Hati pemuda mana yang takkan tertarik? Terlalu banyak hal-hal yang menguntungkan pada diri Ceng Hiang untuk membuat hati Song Kim tergila-gila. Komandannya, seorang panglima, yaitu Pouw-Ciangkun, sahabat baik dari Pangeran Ceng Tiu Ong, maklum akan isi hati pembantunya yang disayangnya, maka setelah berunding, komandan yang baik hati ini lalu melamarkan Ceng Hiang untuk dijodohkan dengan Lee Song Kim, mengingat bahwa Ceng Hiang berusia dewasa dan belum terikat perjodohan dengan orang lain. Komandan Pouw maklum akan watak Pangeran Ceng Tiu Ong yang tidak gila pangkat dan gila hormat. Maka dia berani mengajukan Lee Song Kim, bukan bangsawan, untuk menjadi calon suami Ceng Hiang. Dan memang benarlah, pangeran itu sama sekali tidak marah, bahkan dia kelihatan setuju sekali!
"Sudah sejak beberapa tahun aku ingin mempunyai mantu. Akan tetapi engkau tahu sendiri watak anak sekarang, Pouw-Ciangkun. Anakku Hiang itu masih belum juga mau menikah, dengan alasan bahwa karena ibunya tidak ada, ia tidak ingin meninggalkan aku, karena kalau sudah menikah, dia tentu akan dibawa pergi suaminya.
"Dan pula, demikian menurut katanya, ia hanya mau menikah dengan pemuda yang benar-benar cocok di hatinya. Sudah banyak pemuda di Kota Raja ini, baik putera bangsawan maupun hartawan, bahkan ada keponakan kaisar sendiri, yang kuperkenalkan kepadanya. Akan tetapi mereka semua itu ditampiknya begitu saja! Ada yang kurang tampan, kalau sudah ada yang tampan katanya kurang pandai, atau lemah tidak pandai ilmu silat seperti dirinya sendiri.
"Wah, kalau sampai sekali ini ia mau menjadi jodoh Lee Song Kim, perwira muda itu, hatiku akan girang sekali. Kebetulan malah kalau Lee Song Kim itu bukan bangsawan dan sudah tidak mempunyai Ayah ibu, dia malah bisa tinggal di sini bersama Hiang, dan menemani aku. Aha, betapa nikmatnya hidup begitu, apalagi kalau dapat menimang cucuku!" Akan tetapi, kembali pangeran tua itu kecewa. Ketika dia mengemukakan pendapatnya tentang pinangan yang dilakukan Pouw-Ciangkun untuk Song Kim sebagai calon suaminya, gadis itu mengerutkan alisnya.
"Ayah, aku belum mengenal betul orang dan belum tahu apakah sifat-sifatnya akan mencocoki hatiku."
"Tapi dia jelas tampan dan gagah, anakku. Namanya sudah dikenal di seluruh Kota Raja, baik oleh para bangsawan, pejabat maupun rakyat. Sudah puluhan kali dia menangkapi orang jahat. Dia seorang opsir muda berjiwa pendekar."
"Bagaimanapun juga, aku harus mengenal wataknya dulu, Ayah."
"Jadi engkau tidak keberatan kalau untuk kuperkenalkan?"
"Tentu saja tidak. Kalau berkenalan saja, dengan siapapun aku tidak keberatan." Demikianlah, opsir Lee Song Kim diundang dan diperkenalkan, dan menurut penglihatan Ceng Hiang, memang Song Kim seorang pemuda yang baik sekali, sikapnya sopan, peramah, wajahnya tampan, pengetahuannya luas. Hanya Satu hal yang belum diketahuinya benar, yajtu tentang ilmu silatnya walaupun dalam percakapan, pemuda itu juga luas pengetahuannya dalam hal ilmu silat. Setelah mendengar dari Kiki bahwa pemuda itu adalah suheng dari Kiki yang ia tahu amat lihai, rasa sukanya makin besar.
Hati Song Kim berdebar penuh kegembiraan ketika sore hari itu dia menerima undangan dari Ceng Hiang! Bukan dari Ayah gadis itu seperti biasa, melainkan dari gadis itu sendiri secara langsung, dengan mengirim utusan! Wah, agaknya besar harapannya kini, pikirnya gembira. Dia lalu berdandan sebaik mungkin, menyisir dan meminyaki rambutnya sampai mengkilap, memakai pakaian terindah dan memakai pula minyak wangi. Dengan dandanan yang tentu akan menjatuhkan hati setiap orang wanita, dia tersenyum-senyum dan pergi berkuda menuju ke gedung tua tempat tinggal Ceng Hiang! Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika yang menyambut kedatangannya adalah Ceng Hiang sendiri. Gadis itupun nampak amat manisnya, apalagi dengan pakaian yang ketat dan ringkas, nampak betapa bentuk tubuhnya amat indah.
"Maaf, Lee-Ciangkun, Ayah tidak dapat keluar menemuimu karena dia sedang sibuk dengan kitab-kitab kuno yang baru didapatnya dan dibawanya dari utara," kata Ceng Hiang. Song Kim menjura dengan sopan.
"Ayahmu adalah seorang sasterawan terbesar untuk jaman ini, nona, maka saya tidak merasa heran kalau di antara kitab-kitabnya, dia merasa seperti berada di sorga." Seperti kalau aku berada di dekatmu, demikian bisik hatinya sambil menatap wajah yang amat cantik itu penuh kagum.
"Pula, yang mempunyai kepentingan denganmu memang aku, Ciangkun. Aku mempunyai sedikit urusan denganmu."
"Katakanlah, nona. Apa yang dapat kulakukan untukmu? Biar harus menerjang lautan api atau menyelam ke dasar samudera, biar harus mengorbankan nyawa, akan saya lakukan untuk membantumu, nona."
Ceng Hiang tersenyum. Laki-laki ini memang hebat, pandai sekali bermanis muka dan merayu, dan betapa mudahnya menjatuhkan hati kepada seorang pemuda seperti ini, pikirnya. Akan tetapi ia melihat semua ketampanan dan baik itu sebagai suatu keadaan lahiriah belaka, seperti pakaian atau kedok. Ia belum dapat melihat apa yang berada di balik kedok itu. Sudah berkali-kali, semenjak pinangan itu, dengan kata-kata halus atau senyum dan isyarat melalui pandang mata, pemuda ini menjelaskan cinta kasihnya yang besar dan meluap-luap terhadap dirinya. Sekarangpun, kalau tidak mencinta, mana ada orang mau bersikap mengorbankan nyawa untuk dirinya?
"Tidak sehebat itu permintaanku, Ciangkun. Aku hanya minta untuk dapat menguji kepandaian silatmu." Song Kim pura-pura terkejut, walaupun sebenarnya hatinya girang bukan main. Dia dapat menduga bahwa permintaan menguji kepandaian ini agaknya merupakan ujian terakhir untuk melihat sampai dimana tingkat kepandaiannya agar gadis ini tidak ragu-ragu menerimanya sebagai suami. Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan gadis ini dalam ilmu silat.
"Bagaimana nona mengajukan permintaan seperti itu? Lebih baik aku disuruh bertanding melawan harimaumu itu, atau dengan puluhan orang yang mengeroyokku. Bagaimana kalau aku sampai kesalahan tangan dan melukaimu? Luka sedikit saja akan membuat aku selama hidupku menyesal setengah mati." Lagi-lagi kata rayuan maut, pikir Ceng Hiang sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri. Dan pula, bukankah kita hanya menguji kepandaian saja, bukannya berkelahi untuk saling membunuh?" Song Kim memperlihatkan wajah seperti orang terpaksa.
"Baiklah, nona, kalau begitu. Akan tetapi aku sudah mendengar akan kehebatan ilmu silat nona yang menjadi pewaris dari ilmu silat keluarga Pulau Es, mungkin baru beberapa jurus saja aku sudah akan kalah." Tentu saja batinnya Song Kim tidak berkata demikian. Dia tahu bahwa kalau dia sampai kalah, makin tipis harapannya untuk diterima menjadi calon suami. Dia harus menang, menang mutlak akan tetapi jangan sampai melukai nona manis ini.
"Mari, kuantar nona ke lian-bu-thia."
"Jangan di ruangan berlatih silat, Ciangkun," kata Ceng Hiang cepat.
"Ayahku akan marah kalau mengetahui bahwa aku mengajakmu bertanding ilmu silat."
"Tidak di lian-bu-thia, lalu di mana, nona? Di kebun?"
"Juga tidak. Akan ketahuan para pelayan dan akhirnya Ayah akan tahu juga. Kita harus keluar dari rumahku, bahkan dari Kota Raja. Kita bertanding di tempat yang sunyi di luar Kota Raja." Wah, jantung Lee Song Kim berdebar saking girangnya. Berduaan saja dengan gadis ini di luar Kota Raja, di tempat sunyi! Kesempatan yang amat baik untuk mendapatkannya, secara halus maupun kasar. Akan tetapi pikiran itu segera diusirnya cepat-cepat. Tolol kau , makinya. Gadis ini akan diambil sebagai calon isteri. Gadis ini adalah puteri pangeran, tak boleh disamakan dengan gadis-gadis dusun atau kota yang pernah diculik dan diperkosanya atau dijatuhkan dengan rayuannya, lalu ditinggalkan begitu saja setelah dia merengguk kepuasan.
"Baiklah, nona. Aku hanya mentaati semua perintahmu." Ceng Hiang yang memang sudah
mempersiapkan segalanya sebelum pemuda itu datang, lalu mengajaknya ke samping gedung dimana sudah ditambatkan dua ekor kuda. Ia lalu mengajak Song Kim menunggang kuda dan tak lama kemudian, merekapun melarikan kuda keluar dari Kota Raja, menuju ke sebuah hutan kecil yang sunyi.
"Di hutan itu biasa aku berburu kelinci. Tempatnya sunyi dan aman kalau untuk mengadakan pibu (adu kepandaian)."
Setelah tiba di dalam hutan, di lapangan rumput yang cukup luas, mereka turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon. Kemudian, Ceng Hiang lalu berjalan menuju ke tengah lapangan rumput, diikuti oleh Song Kim. Bukan main, pikirnya. Pinggul itu! Setelah tiba di tengah lapangan rumput, Song Kim hampir saja tidak kuat untuk tidak merangkul dan merebahkan gadis itu di situ dan dipaksanya bermain cinta. Akan tetapi ambisinya untuk mendapatkan kedudukan tinggi agar dia mempunyai cukup kekuasaan untuk kelak menyaingi Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam, lebih besar dari pada nafsunya. Ceng Hiang membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu.
"Nah, Lee-Ciangkun, sebelum kita mulai mengadu kepandaian, sekali lagi aku ingin mendengar, sebenarnya engkau ini murid siapakah?" Song Kim mengerutkan alisnya. Pertanyaan seperti itu tak suka dia mendengarnya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengaku bahwa dia adalah murid dari Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang bahkan kini oleh pemerintah Ceng sudah dinyatakan sebagai pemberontak.
"Kalau aku tidak salah ingat, pernah saya bercerita di depan pangeran dan nona bahwa saya belajar ilmu silat dari orang tua saya sendiri yang kini telah tiada. Ilmu silat kami adalah ilmu silat keluarga." Dia memandang tajam lalu melanjutkan.
"Mengapa nona menanyakan lagi hal itu? Pentingkah bagimu dari perguruan mana aku datang, nona?"
"Ah, tidak mengandung maksud apa-apa. Hanya banyak aku mendengar tentang jagoan-jagoan di dunia persilatan, maka aku ingin tahu apakah engkau bukan murid dari seorang di antara tokoh-tokoh yang pernah kudengar namanya."
"Nona tidak pernah atau jarang sekali merantau di dunia kang-ouw, bagaimana bisa mengenal nama tokoh-tokoh persilatan? Siapa saja di antaranya yang pernah nona dengar?"
"Bnyak sekali! Terutama tokoh-tokoh yang kini mengadakan pemberontakan-pemberontakan, banyak aku mendengar namanya. Bukankah atas jasamu pula, banyak tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan rapat di hari ulang tahun Hai-tok telah disergap pasukan pemerintah? Jasamu itu sungguh besar sekali Lee-Ciangkun." Wajah Song Kim agak berubah. Tak senang dia diingatkan akan hal itu. Memang dia sudah mengkhianati dan melaporkan gurunya sendiri, bukan sekali-kali karena dia membenci gurunya, melainkan karena dengan laporan itu, dia memperoleh dua keuntungan. Pertama, dia berjasa pada pemerintah dan semakin dipercaya. Kedua, makin banyak tokoh kang-ouw yang tewas, makin berkuranglah saingannya untuk memperebutkan Giok-liong-kiam.
"Hal itu sudah menjadi tugas kewajibanku, nona."
🖐
"Baiklah, mari kita mulai. Bersiaplah kau menerima seranganku, Ciangkun!" Berkata demikian, Ceng Hiang lalu memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak lurus, kaki kanan diangkat dan ditekuk, ujung kaki kanan menyentuh lutut kiri, tangan kiri dilingkarkan di depan dada dan tangan kanan menunjuk ke atas dengan jari-jari terbuka.
Jurus ini nampak gagah sekali dan kembali Song Kim terpesona. Betapa cantik dan gagahnya gadis, ini pikirnya. Dan diapun tidak mau kalah. Dia memasang aksi dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan mengepal di pinggang. Kuda-kuda ini adalah kuda-kuda biasa yang kokoh dan dianggap merupakan kuda-kuda paling baik untuk menghadapi serangan lawan yang tangguh. Diam-diam Ceng Hiang mengenal kuda-kuda yang kokoh itu, akan tetapi dara ini memang sudah tahu dan mendengar banyak tentang kelihaian Song Kim, maka iapun tidak mau bersikap sungkan lagi.
"Haiiittt..." Ia berteriak sambil menyerang, menurunkan kaki kanan dan tiba-tiba kaki kirinya menendang sedemikian cepatnya, menotok ke arah pinggang kanan lawan, sedangkan tangan kiri yang tadinya diangkat tinggi-tinggi itu meluncur turun dan menotok ke arah pundak.
Istimewa sekali serangan yang merupakan totokan dalam waktu yang sama dengan ujung sepatu dan ujung tangan itu, di kedua tempat terpisah namun cukup berbahaya kalau mengenai sasaran dapat membuat lawan menjadi lumpuh seketika! Lee Song Kim memang agak memandang rendah gadis ini. Mana mungkin gadis yang demikian cantiknya, demikian halus dan lembutnya, puteri tunggal seorang pangeran, dapat memiliki kepandaian silat yang berarti? Andaikata mewarisi ilmu silat keluarga Pulau Es sekalipun, latihannya tentu kurang sempurna. Pikiran inilah yang membuat dia tetap tersenyum melihat datangnya serangan itu, walaupun diakuinya bahwa serangan itu istimewa, aneh dan cepat.
Diapun cepat menggerakkan kedua tangannya, dan dalam gerakan pertama ini saja sudah membuka rahasia wataknya tanpa disadarinya. Dengan tangan kanan dia menangkis tendangan kaki gadis itu, dan tangan kiri menangkis totokan dari atas, akan tetapi bukan hanya menangkis begitu saja, melainkan menangkis dengan gerakan siap untuk menangkap sepatu lawan dan lengan lawan! Dia memperhitungkan bahwa tangkisannya itu tentu akan membuat kaki dan tangan lawan melekat sebentar dan cukuplah baginya untuk memutar pergelangan tangan, dan baik sepatu maupun lengan lawannya tentu akan sudah dapat ditangkapnya. Kalau dia mampu merampas sepatu itu dalam satu jurus, tentu gadis itu akan takluk dan malu, juga tunduk seketika.
"Duk! Plak!" Memang dia berhasil menangkis tendangan dan totokan tangan, akan tetapi akibatnya sungguh di luar dugaannya. Dia tadi hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaga sin-kangnya, dengan kerahkan tenaga menyedot dan menempel karena dia tidak ingin menyakiti, apalagi melukai gadis itu. Akan tetapi, pertemuan kedua lengannya itu seketika membuat kedua lengannya menggigil saking dinginnya, seolah-olah kedua lengannya itu dibenamkan ke dalam air es!
Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah menguasai satu di antara ilmu-ilmu sin-kang yang luar biasa dari keluarga Pulau Es, yaitu sin-kang atau tenaga sakti yang disebut Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju)! Tenaga ini selain amat kuat, juga mengandung hawa dingin yang selain dapat membuat lawan menggigil, kalau ilmu ini sudah dikuasai dengan sempurna, dapat pula membikin beku darah lawan sehingga terkena pukulan satu kali saja, lawan akan tewas dengan jantung membeku! Begitu merasa betapa kedua lengannya menggigil, Song Kim mengeluarkan seruan kaget, mengerahkan sin-kangnya dan cepat meloncat jauh ke belakang dengan mata terbelalak saking kagetnya.
"Kenapa, Ciangkun?" Ceng Hiang bertanya dengan senyum mengejek. Muka Song Kim berubah merah.
"Ah, sungguh luar biasa sekali. Aku sampai terkejut oleh kekuatan sin-kang nona yang amat hebat!"
"Karena itu jangan memandang rendah orang lain, Ciangkun. Nah, sambutlah serangan-seranganku." Dan kini gadis itu tiba-tiba saja sudah bergerak, tubuhnya melayang seperti terbang ke depan, kedua tangannya membuat gerakan dengan jari-jari tangan seperti menulis corat-coret, membuat huruf-huruf tertentu di udara, akan tetapi karena Song Kim berada di depannya, maka otomatis corat sana coret sini itu merupakan serangan-serangan yang amat aneh dan mengandung angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan! Song Kim kembali terkejut setengah mati. Ilmu siluman apalagi ini?
Tentu saja dia belum pernah menyaksikan, bahkan mendengarpun belum pernah, akan ilmu silat yang amat sakti dari keluarga Pulau Es, yaitu yang disebut Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastera Angin dan Awan). Gerakan ilmu ini seperti orang menulis huruf-huruf di udara, dan memang sesungguhnya, jurus-jurus ilmu silat ini merupakan penulisan huruf-huruf tertentu yang tentu saja mengandung daya serang tertentu pula yang amat aneh! Repot sekali Song Kim menghadapi serangan-serangan aneh ini, dan dia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bahkan diapun berusaha untuk balas menyerang, karena dia kini tahu bahwa kalau dia tidak membalas, kalau hanya mengalah dan mempertahankan diri saja, jangan-jangan dalam beberapa jurus saja dia akan roboh!
Terjadilah pertandingan yang amat seru. Memang Ceng Hiang hebat bukan main ilmunya, ilmu aseli dari keluarga Pulau Es, akan tetapi lawannyapun bukan orang biasa. Lee Song Kim adalah murid tersayang dari Hai-tok, dan boleh dibilang hampir seluruh ilmu kepandaian datuk itu sudah dikuasainya. Oleh karena itu, pertandingan itu berlangsung dengan amat serunya, akan tetapi perlahan-lahan, keaselian ilmu silat Ceng Hiang membuat Song Kim menjadi semakin kerepotan saja. Padahal, Ceng Hiang baru mewarisi beberapa macam saja dari ilmu keluarga pulau Es. Ia menguasai Soat-im Sin-kang, yaitu ilmu menghimpun tenaga sakti yang berhawa dingin, kemudian menguasai pula ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang berupa penulisan huruf-huruf di udara sambil menyerang, dan ketiga dikuasainya pula ilmu aneh yang disebut Pat-sian Mo-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa dan Setan)!
Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang, dan ini adalah merupakan penggabungan dari dua macam ilmu silat, yaitu Pat-san-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Setan) yang dahulu telah tergabung menjadi ilmu silat aneh dari keluarga Pulau Es oleh Pendekar Super Sakti. Pertandingan itu sudah berlangsung lima puluh jurus, dan tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan bentakan nyaring, akan tetapi tubuhnya mencelat ke belakang meninggalkan arena pertandingan. Song Kim berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah, karena baju di pundak kirinya telah berlubang! Kalau saja gadis itu menghendaki, tentu bukan baju itu yang berlubang, melainkan jalan darah di pundak itu yang tertotok, yang akibatnya dapat membuat lengannya lumpuh tertotok! Akan tetapi dia memang cerdik.
"Astaga...! Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian nona Ceng. Biarpun aku harus belajar lagi sampai seratus tahun, belum tentu aku mampu menandingi ilmu silat nona. Dimana di dunia ini ada ilmu silat yang mampu menandingi ilmu silat keluarga Pulau Es?" Dengan kata-kata ini, selain memuji lawan agar senang hatiya, juga dia seperti hendak mengatakan biarpun kalau dia sampai kalah, hal itu adalah karena nona ini memiliki ilmu silat keturunan keluarga Pulau Es yang tidak ada bandingannya. Jadi kekalahannya itu lumrah, bukan karena dia kurang lihai! Ceng Hiang juga membalas penghormatan itu sambil tersenyum.
"Ah, Ciangkun pandai merendah dan mengalah saja. Ilmu silat Ciangkun memang hebat, dan terus terang saja, selama ini belum pernah aku bertemu tanding seperti Ciangkun, kecuali baru sepekan yang lalu ini aku bertemu tanding yang ilmu silatnya setingkat dengan tingkat Ciangkun." Mendengar ini, Song Kim terkejut. Celaka, jangan-jangan nona ini menemukan seorang pemuda lain yang juga lihai, dan berarti dia mendapatkan saingan yang cukup berat.
"Wah, aku tidak percaya itu, nona. Selama ini, aku sendiri belum pernah menemukan tandingan yang seimbang dan baru nona yang benar-benar amat lihai dan dapat mengatasiku. Kalau benar ada yang lihai seperti nona katakan tadi, aku berani menghadapinya dan kalau aku kalah olehnya, aku tidak akan memperlihatkan muka di Kota Raja lagi." Ucapan itu adalah ucapan seorang yang menahan malu karena kekalahannya tadi, juga karena dia khawatir mendapatkan saingan yang lebih lihai dari dia.
Kalau benar demikian, memang dia tidak ada muka untuk berada di Kota Raja lagi. Lebih baik langsung saja ke Kanton dan mencari daya upaya di sana untuk merampas Giok-liong-kiam. Kalau dia dapat mempersunting Ceng Hiang, bukan saja terlaksana idam-idaman hatinya memperisteri gadis yang cantik molek ini, akan tetapi juga kedudukannya akan meningkat tinggi dan sebagai mantu pangeran, tentu dia memiliki kekuasaan yang cukup untuk dipergunakan ke Kanton menundukkan Koan Jit dan memaksanya menyerahkan Giok-liong-kiam kepadanya. Diam-diam Ceng Hiang sudah merasa tidak suka mendengar omongan dan melihat sikap Song Kim. Kini, setelah mengadu ilmu, baru ia mulai melihat ciri-ciri pemuda itu yang tadinya agaknya tidak nampak atau disembunyikan.
Pertama, pemuda ini dalam perkelahian tadi memperlihatkan sikap sombong, memandang rendah kepadanya, dan juga tidak sopan karena ingin merampas sepatunya, hal yang kurang ajar sekali. Kedua, pemuda ini tidak dapat mengakui kekalahannya dengan jujur, akan tetapi mempergunakan kecerdikan untuk memperkecil kekalahannya. Dan ketiga, Song Kim yang baru saja kalah olehnya itu masih berani menyombongkan diri terhadap lawan-lawannya yang belum pernah diduganya siapa adanya. Ini sudah dapat membuktikan kesombongannya, dan baru sekarang Ceng Hiang melihat segi-segi buruk pemuda itu. Ia merasa beruntung sekali bahwa ia belum pernah menyatakan keinginannya untuk menyetujui kecondongan hati Ayahnya, belum pernah menerima pinangan pemuda itu.
"Benarkah begitu, Lee-Ciangkun? kau berhati-hatilah, orang yang kumaksudkan itu, yang memiliki kepandaian silat tinggi, pada saat ini berada di sini." Bagaimanapun juga, tiga sifat yang tidak disukainya itu belum bisa membuktikan bahwa pemuda ini jahat.
Masih banyak sifat-sifatnya yang baik yang mengimbangi keburukannya itu. Pemuda ini, demi kepentingannya sendiri, hanya berarti membohong dan suka memandang rendah orang lain karena tinggi hati, merasa telah memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Maka, ia hendak mempertemukannya dengan Kiki agar ia dapat melihat bagaimana sesugguhnya watak pemuda ini dan siapa sebenarnya. Kalau hanya mendengar omongan Kiki saja, hal itupun belum ada buktinya dan siapa tahu kalau-kalau Kiki merasa sakit hati dan benci kepada suhengnya, tentu saja semua hal yang dibicarakan tentang suhengnya itu yang buruk-buruk belaka. Karena itu, ia sudah mengatur siasat dengan Kiki seperti yang dibisikkannya di dalam kamar tidur mereka beberapa malam yang lalu.
"Benarkah dia berada di sini?" Tentu saja Lee Song Kim terkejut sekali, akan tetapi dia memang tinggi hati. Belum pernah dia dikalahkan orang, dan di dunia ini tidak banyak yang memiliki kepandaian setinggi Ceng Hiang.
"Kalau benar, aku akan menghadapinya sekarang juga!"
"Baiklah, akan kupanggil orangnya ke sini!" Setelah berkata demikian, Ceng Hiang bertepuk tangan tiga kali dan diam-diam Song Kim terkejut bukan main. Ketika gadis itu bertepuk tangan, terdengar suara seperti dua buah benda keras bertemu. Ini saja menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah menguasai sin-kang yang amat kuat. Terdengar suitan nyaring sebagai balasan, dan dari balik semak-semak belukar, meloncatlah seorang wanita. Gerakannya demikian cepat dan tahu-tahu ia telah berdiri berhadapan dengan Lee Song Kim. Pemuda itu cepat memandang dan wajahnya seketika menjadi pucat. Kalau pada saat itu dia melihat yang muncul seorang iblis, belum tentu dia akan sekaget sekarang ini.
"Kau... sumoi..." katanya gagap dan seperti orang linglung, dia menoleh dan memandang kepada Ceng Hiang, lalu kepada Kiki, berganti-ganti seperti hendak bertanya, apa artinya semua ini.
"Benar, akan tetapi engkau tidak berhak menyebut sumoi kepadaku lagi. Lee Song Kim, engkau tentu mengira bahwa aku sudah mati di laut, bukan? Nah, sekaranglah tiba saatnya kita bertanding, satu lawan satu, tidak seperti dulu, kau mengandalkan jumlah yang lebih besar!" Berkata demikian, gadis ini melintangkan sebuah tongkat yang tadi telah dipersiapkan lebih dulu di depan dadanya, dengan sikap menantang. Tentu saja Song Kim merasa tidak enak sekali kepada Ceng Hiang. Maka untuk membersihkan muka dan namanya, dia berkata membujuk.
"Sumoi, harap jangan bersikap begitu. Kuakui bahwa memang aku yang melaporkan rapat para pemberontak ketika suhu mengadakan pesta ulang tahun, juga aku mengaku bahwa aku membawa pasukan dengan perahu untuk menyerang perahu Bajak Naga Lautan. Akan tetapi, semua itu adalah tugasku sebagai seorang perwira, sumoi!
"Aku harus menentang pemberontakan dan aku harus pula menentang para pembajak dan para penjahat lainnya. Yang bersalah adalah suhu dan kau sendiri, kenapa tidak meninggalkan kebiasaan lama, meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan benar dengan mengabdi kepada pemerintah dan mengamankan kehidupan rakyat jelata?" Diam-diam Kiki dan juga Ceng Hiang merasa kagum. Orang ini memang cerdik bukan main dan pandai sekali bicara. Siapa saja, pihak luar, yang tidak tahu-menahu urusan dalam di antara mereka, tentu akan setuju sepenuhnya dan akan membenarkan pemuda itu.
"Lee Song Kim, tidak perlu engkau mengeluarkan kata-kata merayu. Aku menerima tugas dari Ayah untuk mencari tahu di mana tempat tinggalmu, dan Ayah sendiri yang akan datang untuk menghukummu sebagai murid yang murtad dan pengkhianat besar. Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu. Tadi kau menantang aku melalui Enci Hiang. Nah, aku di sini, mari kira lanjutkan perkelahian kita dulu itu!" Kalau saja di situ tidak ada Ceng Hiang, tentu Song Kim sudah marah sekali dan sudah menyerang bekas sumoinya, kalau mungkin menangkapnya hidup-hidup untuk dipermainkan dulu sebelum dibunuh, kalau tidak mungkin, langsung saja membunuhnya karena sumoinya merupakan orang berbahaya bagi hubungannya dengan Ceng Hiang.
"Sumoi, kita bersaudara seperguruan. Kalau engkau memang ingin menguji kepandaian dan hendak menyerangku, silahkan!" katanya dengan sikap gagah dan memang cerdik, karena seolah-olah Kiki yang memaksanya untuk bertanding! Akan tetapi Kiki memang sudah tak dapat menahan kernarahannya lagi ketika bertemu dengan Song Kim, apalagi sejak tadi ia mendengarkan percakapan antara Song Kim dan Ceng Hiang. Sebagai orang yang mengenal Song Kim sejak kecil, tentu saja Kiki mengenal segala yang tersembunyi di balik topeng tampan dan halus itu, dan ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian dan menjatuhkan hati Ceng Hiang. Ia tidak mau menerima kenyataan itu dan ia tidak akan merasa rela kalau sampai Ceng Hiang terjatuh ke tangan Song Kim.
"Lee Song Kim, lihat senjataku!" bentaknya, dan iapun sudah menyerang dengan tongkatnya.
Song Kim maklum betapa lihainya kalau sumoinya ini bersenjatakan tongkat. Memang sebenarnya, keahliannya adalah bermain tongkat. Tongkat suhunya amat dikenal di dunia persilatan. Tongkat emasnya itulah yang mengangkat nama suhunya Hai-tok dan Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas) amat ditakuti lawan, di samping ilmu Silat Thai-lek Kim-kong-jiu. Dia sendiripun mempelajari kedua ilmu itu, akan tetapi wataknya yang pesolek membuat dia mengganti tongkat dengan pedang. Rasanya tidak berwibawa dan tidak gagah baginya kalau dia kemana-mana harus membawa tongkat. Sebaliknya, kalau membawa pedang tentu nampak gagah. Apalagi setelah dia menjadi opsir! Karena tahu betapa lihainya Kiki kalau bersenjata tongkat, dia tidak berani menghadapinya dengan tangan kosong dan diapun mencabut pedangnya.
JILID 30
"Trangg! Cringgg...!" Dua kali tongkat bertemu pedang, dan kini keduanya nampak berkelebatan dengan cepat sekali. Dua gulungan sinar nampak saling belit dan kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan amat sengitnya. Ceng Hiang menyaksikan dari samping dan diam-diam merasa kagum.
Memang kedua orang itu hebat sekali dan andaikata ia tidak memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat dari keluarga Pulau Es, ia sendiripun takkan mungkin dapat mengalahkan mereka ini. Dua orang itu memiliki ilmu silat dari satu sumber dan keduanya memang berbakat. Akan tetapi sekali ini, Song Kim merasa rugi. Tentu saja permainan tongkat Kiki lebih hebat dari pada permainan pedangnya yang digerakkan berdasarkan ilmu Kim-kong-pang pula! Ada beberapa bagian yang membuat dia kalah praktis, terutama karena dengan tongkat itu, Kiki dapat mempergunakan kedua ujung tongkat untuk menusuk, menghantam atau menotok jalan darah. Sebaliknya, dengan pedang, Song Kim hanya mampu menyerang dengan ujung pedang saja, membacok atau menusuk. Bagian gagangnya sama sekali tidak dapat dia pergunakan.
Apalagi di situ terdapat Ceng Hiang yang menonton, hal yang membuatnya menjadi gugup dan juga serba salah. Lalu pikiran yang amat cerdik akan tetapi kejam menyelinap dalam hati Song Kim. Kenapa dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk membunuh saja Kiki? Dalam perkelahian adu kepandaian, apalagi kalau tingkat mereka seimbang, soal terluka atau mati bukanlah hal yang aneh! Mereka sudah berkelahi tiga puluh jurus lebih dan dari permainan senjata mereka, mulailah gadis dapat mendesak suhengnya. Walaupun untuk dapat mengalahkan Song Kim masih amat sukar, namun setidaknya ia sudah memperlihatkan bahwa pemuda itu tidaklah sehebat seperti bualannya. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar putih berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu menubruk maju dengan pisau belati menyambar ke arah perut Kiki!
Ceng Hiang sendiri terkejut bukan main. Akan tetapi Kiki dapat meloncat ke belakang dan gadis ini memang maklum bahwa suhengnya itu pandai memainkan sepasang pisau belati. Tak disangkanya bahwa kini suhengnya yang sudah memegang pedang itu tidak malu-malu untuk membantu pedangnya dengau pisau belati di tangan kiri! Agak terkejut juga Kiki, dan kini ialah yang terdesak ke belakang karena lawan sudah menyerang bertubi-tubi dengan pedang dan pisaunya! Dan di pinggang pemuda itu masih ada sebatang pisau belati lagi. Ceng Hiang merasa serba salah. Untuk membantu, ia segan karena hal itu berarti suatu perbuatan curang. Untuk mendiamkan saja, ia mulai merasa khawatir akan keselamatan Kiki. Ia bermaksud untuk melerai saja, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki.
"Hemm, memang jahat sekali. Kembali kau ingin menghina wanita!" Dan muncullah seorang pemuda yang entah dari mana datangnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga, tahu-tahu dia telah berada di situ.
Seorang pemuda yang usianya tentu baru dua puluh tahun lebih sedikit, berpakaian sederhana seperti petani, kuncirnya hitam dan tebal melingkar di leher, wajahnya yang tampan itu amat sederhana, penuh dengan bayangan kehalusan budi dan kesabaran. Melihat munculnya pemuda ini, Song Kim terkejut bukan main. Dia mengenal pemuda yang pernah menggagalkan dia ketika dia hendak memperkosa Kiki di pantai laut dahulu itu! Dan kini pemuda ini muncul, berarti pemuda ini akan membuka rahasianya dan celakalah dia. Maka, melihat betapa Kiki agaknya juga mengenal pemuda itu dan gadis itu meloncat jauh ke belakang, dia lalu tiba-tiba saja menubruk ke kanan, ke arah pemuda itu dan membacokkan pedangnya ke arah leher pemuda itu, sedangkan pisau belatinya disambitkan ke arah dada!
Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Dia tadi melihat perkelahian antara dua orang itu dan segera mengenal bahwa yang diserang itu adalah Kiki, dan yang menyerang adalah pemuda yang dulu hampir memperkosa gadis itu. Tentu saja dia marah dan segera menegur, tidak melihat bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang gadis lain yang sedang nonton perkelahian hebat itu. Ketika tiba-tiba, tanpa disangkanya, Song Kim menyerangnya, Ci Kong hanya mundur selangkah. membiarkan pedang menyambar, lalu tiba-tiba dia menangkis dari samping, sedangkan pisau belati yang meluncur ke arah dada itu didiamkan saja, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sin-kang melindungi dada dan lengan.
"Tak! Tak!"
Pedang itu terpental, tertangkis oleh lengan, sedangkan pisau belati yang mengenai dada Ci Kong juga runtuh ke atas tanah! Bukan hanya Song Kim yang terkejut, melainkan Kiki dan Ceng Hiang juga kagum bukan main. Terutama sekali Kiki. Dia mengenal pemuda itu "hanya" cucu murid dari Siauw-bin-hud, jadi termasuk murid Siauw-lim-pai yang tidak tinggi tingkatnya, akan tetapi bagaimana dapat memiliki kekebalan yang demikian hebat? Dara ini pernah mengenalnya, akan tetapi belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang sungguh-sungguh. Padahal ia sendiri tidak akan berani membiarkan pisau belati itu mengenai dadanya, maklum betapa kuatnya Song Kim, apalagi menangkis pedangnya.
Dan Ceng Hiang hanya bengong, tak pernah mengira bahwa dalam satu waktu saja, ia akan berkenalan dengan demikian banyaknya orang-orang muda yang amat lihai. Akan tetapi, Song Kim bukan hanya terkejut, melainkan jerih sekali. Bukan jerih melawan pemuda itu. Akan tetapi kalau pemuda itu membuka rahasia, bukan saja Kiki akan semakin membencinya, gurunya juga akan marah, akan tetapi terutama sekali Ceng Hiang tentu akan membencinya! Tidak akan ada harapan lagi untuk naik pangkat, apalagi memperisteri, Ceng Hiang. Dan untuk melawan? Wah, berat! Baru melawan sumoinya saja, sudah amat sukar dia memperoleh kemenangan, apalagi di situ ada Ceng Hiang yang jelas lebih lihai darinya, dan pemuda tani itu juga memiliki kepandaian hebat.
"Ci Kong!" Kiki sudah berteriak girang juga kagum karena tidak menyangka pemuda Siauw-lim-pai ini demikian tangguhnya.
"Apa maksudmu dia jahat dan menghina wanita?"
"Kiki, kau tidak tahu? Dialah laki-laki dahulu itu yang mengganggumu di pantai..." Wajah gadis itu berubah pucat sekali, kemudian menjadi merah.
"Apa...??" Matanya terbelalak dan membalikkan tubuh, siap untuk menyerang bekas suhengnya, akan tetapi begitu tadi Kiki mengajukan pertanyaan, Song Kim sudah melarikan diri dengan cepat tanpa pamit lagi, meninggalkan tempat itu.
"Iblis keparat... jahanam...!" Kiki membentak.
"Hendak lari kemana kau ?" Dan Kiki pun melakukan pengejaran. Tentu saja Ceng Hiang terkejut dan juga mengejar. Melihat betapa gadis cantik yang baru saja dilihatnya menjadi penonton itu mampu meloncat dan lari secepat itu, sejenak Ci Kong menjadi bengong, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Wahh... di dunia begini banyak gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu silat tinggi! Jangan-jangan pada suatu waktu, dunia ini akan dikuasai oleh wanita." Dan diapun cepat melakukan pengejaran karena dia khawatir kalau-kalau Kiki akan terjebak oleh pemuda yang nampaknya tampan dan gagah, akan tetapi ternyata cerdik, curang dan juga jahat itu. Dengan ilmunya berlari cepat, Ceng Hiang dapat menyusul Kiki dan ia berkata.
"Adikku, mari kita cari dia di gedungnya." Baru Kiki teringat. Tadinya ia sudah bingung karena bayangan pemuda jahat itu tidak nampak lagi. Dan diam-diam Ceng Hiang terheran mengapa kedua mata adik angkatnya itu basah dan matanya berapi-api, jelas bahwa adiknya itu marah bukan main. Karena mereka berdua berlari secepatnya, mereka tidak sempat bercakap-cakap, juga mereka tidak tahu bahwa tidak jauh di belakang mereka, Ci Kong masih terus lari membayangi mereka, melihat dan ingin melindungi dari jauh.
Melihat betapa puteri pangeran itu dan seorang gadis lain, juga seorang pemuda di belakang mereka, memasuki pintu gerbang sambil berlari cepat, para penjaga di situ memandang terheran-heran Akan tetapi tidak berniat bertanya, apalagi menegur. Tidak ada prajurit yang tidak tahu siapa adanya Ceng Hiang! Mereka tahu betapa lihainya puteri pangeran dan menganggap bahwa dara itu bersama dua orang kawannya yang juga lihai sekali dan dapat berlari secepat kijang-kijang muda. Akan tetapi, ketika mereka tiba di gedung tempat kediaman opsir Lee Song Kim, pemuda itu sudah terbang pergi. Para penjaga di situ hanya mengatakan bahwa majikan mereka baru saja pergi membawa buntalan besar, bahkan perginya melalui pintu belakang! Kiki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Ceng Hiang memegang lengan adiknya itu.
"Tak perlu dikejar, sukar sekali mencarinya kalau tidak tahu kemana dia pergi." Mereka sudah berada di belakang gedung itu dan tidak nampak bayangan Song Kim. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki di belakang mereka.
"Memang tidak ada gunanya dikejar. Berkejaran di kota tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan. Di tempat ramai ini amat mudah baginya sembunyi." Ceng Hiang menengok dan melihat pemuda tani yang mengagumkan itu telah berdiri pula di situ. Dara ini semakin kagum. Pemuda itu tidak nampak lelah sama sekali, dan ia tadi juga tidak dapat melihat betapa pemuda ini membayangi mereka. Betapa lihainya pemuda ini. Mendengar suara Ci Kong, Kiki lalu membalikkan tubuhnya dan kini nampak ia menangis. Biarpun tidak terisak-isak, akan tetapi kedua matanya merah dan masih ada air mata mengalir turun.
"Kenapa tidak dari dulu kau beritahu padaku bahwa dia yang melakukan itu!" bentaknya dengan nada suara marah dan memandang kepada pemuda itu dengan mata lebar dan mulut cemberut. Agaknya dalam setiap saat, gadis ini bisa saja mendadak menyerang Ci Kong sebagai tempat peluapan kemarahannya. Ci Kong mengembangkan kedua tangannya.
"Kiki, bagaimana aku dapat memberi tahu kepadamu kalau aku belum pernah mengenalnya. Tadi ketika aku melihat dia berkelahi denganmu, aku segera mengenalnya dan aku bahkan mengira kalau dia berkelahi denganmu karena urusan dahulu itu." Kiki teringat dan tentu saja dara ini tak dapat marah lagi. Memang, bagaimana Ci Kong dapat menceritakan siapa orangnya yang hendak memperkosanya kalau belum mengenal orang itu?
"Adikku, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Lee-Ciangkun?" tiba-tiba Ceng Hiang bertanya karena ia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu.
"Ciangkun, Ciangkun apa! Dia penjahat besar... aihh, malu sekali aku menjadi bekas sumoinya!" Gadis ini membanting-banting kaki, dengan kemarahan meluap-luap, ia membayangkan semua yang terjadi. Terkutuk! Kalau begitu, laki-laki yang meraba-rabanya, yang menciuminya dan nyaris memperkosanya di perahu sebelum badai mengamuk itu tentu juga si jahanam itu!
"Dia itu suhengmu?" Kini Ci Kong yang terheran-heran, sama sekali tidak mengira bahwa pria yang dahulu hendak memperkosa Kiki itu malah suhengnya sendiri! Suheng macam apa begitu? Akan tetapi dia teringat bahwa Kiki dan suhengnya itu adalah murid-murid Hai-tok, jadi tidaklah aneh kalau suheng itu hendak memperkosa sumoinya sendiri. Perbuatan jahat apa yang diharamkan oleh orang-orang dari Empat Racun Dunia?
"Kiki, siapakah saudara ini dan apa artinya percakapan kalian ini?" kembali Ceng Hiang menuntut karena ia ingin tahu sekali. Barulah Kiki teringat akan kehadiran Encinya itu, dan cepat ia merangkul Encinya dan kini tak tertahankan lagi ia menangis, menyembunyikan mukanya di pundak Ceng Hiang yang merangkul dan mengelus rambutnya. Setelah meredakan tangisnya, tangis karena marah dan penasaran, Kiki lalu berkata.
"Enci, memang buruk sekali nasib adikmu ini..."
"Baik buruknya nasib hanyalah anggapan kita sendiri saja, adikku. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya pernah terjadi? Atau kalau engkau sungkan tidak menceritakan, akupun tidak akan memaksamu," katanya halus dan lembut. Sejak tadi, Ci Kong tertegun dan terpesona. Dia tidak berani memandang langsung, akan tetapi setiap kali melirik kepada gadis yang dipanggil cici oleh Kiki itu, sinar matanya seolah-olah melekat dan sukar untuk dialihkan ke tempat lain! Gadis itu begitu cantik jelita, begitu halus dan lembut, dan kata-katanya mengandung kebijaksanaan yang demikian mengagumkan.
"Enci, beberapa bulan yang lalu, aku dan suhengku itu oleh Ayah diperintah untuk meninggalkan Pulau Layar untuk mencari Koan Jit, orang yang telah merampas Giok-liong-kiam yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw." Ceng Hiang mengangguk.
"Aku pernah mendengar tentang Giok-liong-kiam itu. Bukankah itu pusaka yang dicuri orang dari Thian-te-pai itu? Kalau tidak salah, pihak istana juga ikut berlumba untuk memperebutkan."
"Benar. Giok-liong-kiam terampas oleh Koan Jit murid pertama dari Thian-tok. Kami, yaitu aku dan bekas suheng itu, berebut siapa yang akan melaksanakan tugas merampas pusaka itu dari tangan Koan Jit. Dan aku mendahului Lee Song Kim itu, malam-malam aku meninggalkan pulau dan naik perahu. Akan tetapi, sungguh tak kusangka, di tengah malam tiba-tiba ada orang menotokku sehingga aku roboh tak berdaya.
"Karena sama sekali tidak mengira ada orang dapat naik ke perahuku di tengah lautan, maka aku dapat dirobohkan. Dan dia... dia... hampir saja dapat memperkosaku. Untung ketika itu tiba-tiba datang badai mengamuk, dia tidak dapat melaksanakan niatnya yang terkutuk, dan aku lalu diikatnya di tiang layar perahuku.
"Akan tetapi badai sedemikian hebatnya sehingga perahu itu membentur batu karang, pecah dan tenggelam. Untung aku diikat di tiang layar sehingga aku tidak ikut tenggelam. Ombak mempermainkan diriku setengah malam, dan menjelang pagi aku terdampar di pantai." Ceng Hiang mendengarkan penuturan adik angkatnya dengan jantung berdebar tegang dan ia memandang adiknya itu dengan sinar mata penuh iba.
"Lalu bagaimana, adikku yang malang?"
"Celakanya, Enci. Ketika aku terdampar, jahanam keparat Lee Song Kim itupun sudah tiba di pantai itu! Dan kembali dia... dia bermaksud untuk memperkosaku!"
"Jahanam busuk!" Ceng Hiang ikut mendamprat, akan tetapi makiannya itu terdengar barusan sama sekali berbeda dengan makian Kiki yang kasar penuh hawa amarah dan kebencian.
"Aku terbelenggu di tiang layar dan tidak berdaya, Enci. Andaikata hal itu terlaksana, aku tentu akan bunuh diri. Akan tetapi tiba-tiba saja muncul dia ini yang menyelamatkan aku. Dia menyerang Song Kim, dan agaknya karena Song Kim tidak mampu mengalahkannya, dia melarikan diri, si pengecut jahanam!"
"Bukan kalah dariku, Kiki, melainkan sekarang aku dapat menduga, pada waktu itu matahari sudah hampir keluar dan tentu dia takut kalau-kalau engkau akan mengenalinya," kata Ci Kong.
"Benar!" Kiki menepuk paha sendiri.
"Wah, sungguh jahanam itu penuh tipu muslihat! Untung engkau tadi muncul, Ci Kong, kalau tidak, sampai detik inipun tentu aku tidak pernah menyangka bahwa dialah jahanam busuk malam itu!"
"Adikku Kiki, kenapa sejak kita bertemu, engkau tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu kepadaku?" tiba-tiba Ceng Hiang bertanya, nada suaranya penuh teguran.
"Ah, aku malu, Enci. Biarpun aku belum ternoda, akan tetapi aku malu untuk menceritakan kepadamu."
"Kiki, aku tidak mengira bahwa engkau mempunyai seorang kakak perempuan. Nona, terimalah hormatku, tadi aku melihat betapa nona dapat berlari cepat secara luar biasa sekali, dan aku mengerti bahwa ilmu kepandaian nona tentu lebih hebat dari pada Kiki atau aku sendiri. Kenapa nona tadi tidak turun tangan menghajar orang itu?" Kini Ci Kong yang bertanya kepada Ceng Hiang sambil mengerutkan alisnya. Gadis ini luar biasa, dan jelas lihai, akan tetapi dia merasa heran mengapa tadi membiarkan Kiki didesak oleh Song Kim. Kiki tertawa dan itu tandanya bahwa dara ini sudah melupakan kemarahannya. Memang, seorang gadis lincah jenaka seperti Kiki, wataknya mudah berubah seperti angin. Bisa saja sebentar menangis, sebentar tertawa, mudah marah lalu berbalik ramah.
"Hi-hik, engkau hanya tahu ekorrya tak tahu kepalanya, Ci Kong. Yang kau kira kakak perempuanku ini memang benar Enciku, akan tetapi Enci angkat. Ia ini adalah puteri..."
"Hushhh, jangan mengangkatku terlalu tinggi, Kiki..." kata Ceng Hiang dan tiba-tiba mukanya berubah merah.
"Ci Kong, Enci Hiang ini adalah puteri tunggal dari Pangeran Ceng Tiu Ong, seorang pangeran tua yang arif bijaksana, sasterawan besar, dan mereka, Ayah dan anak itu tidak menyetujui penjajahan dan penindasan. Hebat, bukan? Dan biarpun Ayahnya seorang sasterawan yang hanya pandai membaca menulis, bahkan ahli sastera kuno, akan tetapi jangan mengira Enciku ini yang kelihatan halus lembut seorang lemah! Wah... kepandaiannya tentang silat... selangit deh!"
"Hushhh..." Kembali Ceng Hiang mencela akan tetapi tidak melanjutkan dan tersenyum malu. Aneh sekali, baru sekarang gadis ini merasa girang dipuji-puji di depan orang!
"Kau tahu, Ci Kong, dara cantik jelita seperti bidadari di depanmu ini siapa? Ia adalah pewaris ilmu-ilmu silat dari keturunan keluarga pendekar Pulau Es!" Tentu saja Ci Kong menjadi kaget bukan main. Cepat dia menjura dan berkata.
"Ah, harap Lihiap (pendekar wanita) sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak tahu bahwa Lihiap adalah murid keluarga Pulau Es!" Wajah cantik itu menjadi semakin merah, dan Ceng Hiang membalas penghormatan pemuda itu dengan menjura.
"Ah, Taihiap (pendekar besar) bersikap terlalu sungkan dan memuji diriku terlampau tinggi. Ini semua gara-gara adik Kiki yang nakal ini!" Kiki tertawa dan bertepuk tangan.
"Hi-hik, yang seorang Lihiap, seorang lagi Taihiap, sungguh cocok sekali!" Melihat betapa kedua orang itu menjadi semakin kikuk oleh godaannya, Kiki berkata.
"Kita adalah saudara dan sahabat, merupakan orang-orang sendiri. Kalian jangan begitu sungkan dengan sebutan yang menyanjung seperti itu. Enci Hiang, aku begitu bertemu dan berkenalan dengan Ci Kong, kami langsung saja menyebut nama masing-masing. Dan begitu kita saling jumpa, bukankah di antara kita juga sudah akrab? Kenapa kalian begini sungkan? Enci Hiang, Tan Ci Kong ini adalah seorang murid yang lihai sekali dari Siauw-lim-pai." Ceng Hiang yang merasa semakin malu oleh godaan adiknya, untuk menutupi rasa kikuknya, lalu berkata.
"Kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi." Ci Kong menarik napas panjang.
"Sudahlah, nona Ceng, adik Kiki memang benar. Di antara kita tidak perlu sungkan-sungkan dan saling memuji. Yang penting, harap kalian waspada dan hati-hati sekali terhadap orang yang ternyata adalah suheng sendiri dari Kiki. Siapakah nama suhengmu itu, Kiki...?"
"Tidak sudi aku mempunyai suheng macam dia! Dia sekarang bukan suhengku lagi, melainkan musuhku. Namanya adalah Lee Song Kim, dan kalau dapat berjumpa lagi dengannya, aku akan membunuhnya! Aku akan mencarinya!" Ceng Hiang mengerutkan alisnya dan memegang lengan adiknya.
"Jangan, adikku. Dia memiliki kedudukan yang baik dan kuat, menjadi orang kepercayaan panglima kerajaan, bahkan dia sudah diperkenalkan kepada Ayah. Kalau engkau memusuhinya dengan bertarung, kemudian diketahui bahwa engkau adalah puteri angkat Ayah, maka tentu Ayah akan terlibat. Seorang diri saja memusuhi dia yang mempunyai pasukan besar, tak mungkin engkau akan berhasil."
"Apa yang dikemukakan nona Ceng ini memang tepat dan engkau harus bertindak dengan hati-hati, jangan sembrono, Kiki," kata pula Ci Kong.
"Kau sudah dicap pemberontak-pemberontak, dan orang itu memiliki kedudukan di dalam pasukan pemerintah. Tentu engkau akan celaka dan tidak berhasil kalau berusaha sendiri untuk membasminya. Diperlukan kekuatan yang besar dan perhitungan yang matang." Kiki yang mengepal tinju ketika menyatakan hendak mencari dan membunuh bekas suhengnya itu, menjadi lemas kembali.
"Baiklah, aku akan lapor kepada Ayah, karena memang Ayah sendiri yang akan turun tangan menghukum murid murtad itu."
Ci Kong lalu berpamit dari dua orang gadis itu. Ceng Hiang mengajak Kiki pulang ke gedungnya, dan mulai hari itu, dengan tekun Kiki mempelajari kitab Hui-thian Yan-cu yang sudah diterjemahkan dengan jelas oleh Pangeran Ceng. Setelah ia mengerti benar, baru ia membawa kitab itu dan meninggalkan gedung keluarga Pangeran Ceng, untuk pulang ke Pulau Naga. Sang pangeran yang merasa suka kepada puteri angkatnya itu, memberi banyak nasihat agar gadis itu berhati-hati dan jangan menuruti nafsu dan keberanian saja dalam usaha perjuangan menentang pemerintah lalim dan pasukan orang kulit putih. Ceng Hiang yang juga amat mencinta Kiki, merasa kehilangan dan minta adik angkatnya itu berjanji bahwa Kiki akan segera kembali ke gedung keluarga Ceng itu.
"Kau perempuan sialan, membikin orang menjadi malu saja!" Entah berapa kali sudah Kakek itu mengomel panjang pendek kepada gadis yang berjalan di sampingnya itu.
Gadis yang berkulit putih, bermata biru dan berambut kuning emas itu tidak pernah membantah, hanya berjalan dengan langkah lebar mengimbangi langkah Kakek itu sambil menundukkan mukanya. Ia adalah Diana, dan Kakek yang marah-marah kepadanya itu adalah San-tok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika diajak berkunjung ke kuil untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw-bin-hud dan Tee-tok, Diana melihat Ci Kong, dan gadis ini yang tidak dapat membendung luapan rasa girang dan terima kasihnya, telah memperlihatkan rasa girangnya secara spontan seperti kebiasaan bangsanya, ia merangkul dan mencium Ci Kong di depan orang banyak. San-tok yang memang tadinya tidak senang kepada gadis yang dianggapnya selalu merupakan gangguan ini, menjadi semakin marah dan kini di sepanjang perjalanan dia mengomel terus.
"Engkau telah mencoreng arang di mukaku, di depan banyak orang. kau melakukan hal yang tidak sopan dan sekarang masih berani mengikuti aku. Apakah kau minta aku turun tangan membunuhmu?"
"Aku adalah murid suhu, kalau tidak mengikuti suhu, habis mengikuti siapa?" Diana akhirnya berkaca sambil memandang wajah Kakek itu dengan sinar matanya yang tajam. Melihat sepasang mata lebar berwarna kebiruan itu menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, San-tok yang biasanya amat peramah suka senyum-senyum sendiri itu, kini cemberut dan membuang muka.
"Aku tidak sudi mempunyai murid seperti engkau!"
"Akan tetapi suhu sudah berjanji, dan aku tidak percaya seorang sakti dengan kedudukan seperti suhu akan mau melanggar janji sendiri." San-tok merasa kewalahan dan menjadi semakin uring-uringan.
"Janji apa! Huh, kau membikin aku malu. kau tahu, Ci Kong itu adalah calon jodoh Lian Hong, dan engkau menciuminya di depan orang banyak! Celaka!" Diam-diam Diana terkejut mendengar ini dan memang wajah Kakek itu dengan sinar mata tidak percaya.
"Ah, suci Lian Hong tidak pernah bicara tentang itu, Suhu. Kurasa tidak ada pertalian cinta di antara mereka..."
"Persetan dengan cinta! Aku menghendaki muridku itu berjodoh dengan Ci Kong, dan itu merupakan suatu hal yang tidak boleh dibantah, dan engkau telah menciumi Ci Kong begitu saja!" Diana memiliki watak yang keras dan berani. Kalau saja tidak mengingat bahwa ia sudah menjadi murid Kakek ini, tentu semua ucapan dan sikap Kakek itu akan dicela dan dibantahnya. Kini, mendengar akan pendapat Kakek itu yang agaknya hendak memaksa Lian Hong berjodoh dengan Ci Kong, iapun merasa penasaran.
"Suhu, perjodohan tanpa cinta hanya akan mendatangkan sengsara! Dan tentang perbuatanku mencium Ci Kong itu, hanyalah merupakan luapan kegembiraan hatiku bertemu dengan orang yang pernah menyelamatkan aku. Apa sih artinya ciuman tanda terima kasih seperti itu? Kurasa kulit pipinya tidak lecet dan tidak akan ternoda atau berkurang!"
Hampir saja San-tok tertawa mendengar ini, dan diapun termenung. Dia teringat bahwa biasanya diapun tidak perduli akan segala hai mengenai tata susila dan sopan santun. Memang, dicium begitu saja tidak ada artinya, Ci Kong masih tetap utuh. Kalau dulu hal seperti terjadi, tentu dia malah akan tertawa geli. Akan tetapi sekarang, kenapa dia meributkan soal sepele? Sejak dia berhubungan dengan Siauw-bin-hud, sejak dia ingin menjadi orang baik, ingin menjadi seorang pejuang dan patriot, tiba-tiba saja dia kini meributkan soal sopan santun sepele! Dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Rasa malu ini ditutupinya dengan kemarahan besar.
"Sudahlah, jangan cerewet. kau pergilah, jangan mengikuti aku lagi, atau kalau engkau nekat, akan kubunuh kau ?"
"Kalau suhu hendak membunuh aku yang tanpa dosa, silahkan. Sejak dulupun, kalau suhu mau membunuhku, aku tidak akan dapat membela diri." Sepasang mata San-tok mencorong menatap wajah gadis itu, dan melihat betapa sinar mata yang bening itu penuh keberanian ditujukan kepadanya, bukan sekedar membual atau menggertak, dia semakin mendongkol. Gadis ini tidak dapat digertak, pikirnya.
"Tolol! Kalau aku pergi meningalkanmu, apa kau mau menyusulku?"
"Terserah kepada Suhu. Aku akan tetap mengejar. Kalau suhu hendak melanggar janji, silahkan meninggalkan aku." San-tok membanting kakinya.
"Sialan! Kenapa hidupku yang tidak berapa lama lagi ini terganggu oleh kehadiran orang seperti engkau ini Celaka! Nah, kau berjalanlah sendiri, biar dimakan binatang buas!" Sekali berkelebat, Kakek itu lenyap dari depan Diana. Sejenak gadis ini menjadi pucat dan bingung. Akan tetapi teringat akan nasihat Lian Hong bahwa menghadapi seorang Kakek luar biasa seperti guru mereka itu, Diana harus keras hati dan tahan ujian! Maka, kini iapun memberanikan hatinya dan melangkah terus menuju ke utara,
Karena ia sudah tahu bahwa gurunya bertempat tinggal di puncak Gunung Naga putih, sebuah di antara puncak-puncak Wu-yi-san. Kalau perlu, ia akan menyusul suhunya, pergi seorang diri ke puncak itu, kalau tidak mati dimakan binatang buas di tengah jalan. San-tok tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi untuk melihat bagaimana sikap gadis itu setelah ditinggalkan. Akan tetapi dia melihat betapa Diana dengan sikap penuh keberanian, masih melanjutkan perjalanan menuju utara! Lambat atau cepat, akhirnya tentu gadis itu akan tiba juga di puncak Naga Putih menyusulnya! Tentu gadis bule ini sudah tahu akan tempat tinggalnya dari Lian Hong! Dia lalu mempunyai akal dan sambil menahan ketawa, San-tok lalu mendahului Diana, lalu bersembunyi ke dalam semak-semak belukar yang akan dilalui gadis itu.
Diana melangkah terus dengan cepat, sambil menggigit bibirnya bertekad untuk berjalan terus dan baru berhenti kalau kakinya sudah mogok. Ketika ia tiba di dekat sekelompok semak belukar yang rimbun, tiba-tiba saja terdengar gerengan keras sekali dan semak-semak itu bergoyang keras! Tentu saja gadis itu terkejut bukan main, ia menjerit kecil. Diana berteriak, akan tetapi lalu teringat bahwa San-tok tidak berada di situ, maka iapun lalu melarikan diri tunggang-langgang. Ia merasa yakin bahwa ada binatang buas yang amat berbahaya dalam semak-semak itu dan ia tidak perduli lagi ke arah mana ia lari. Yang penting adalah menyelamatkan diri sebelum binatang itu keluar. Setelah gadis itu berlari jauh, San-tok muncul dari dalam semak-semak dan tertawa bergelak, membayangkan betapa lucunya gadis itu tadi lari terbirit-birit!
"Rasakan kau sekarang!" katanya, dan melihat betapa Diana tadi melarikan diri ke kiri, berarti ke barat, dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu sudah kehilangan arah dan tak mungkin akan dapat keluar dari hutan lebat itu. San-tok lalu melanjutkan perjalanan, tidak tergesa-gesa, melainkan seenaknya karena hatinya merasa senang bahwa dia telah berhasil mengenyahkan Diana dari sampingnya.
Tidak ada lagi yang mengganggu dalam perjalanannya, dan diapun melanjutkan perjalanan seenaknya saja. Tiga hari kemudian, karena kemalaman di jalan, terpaksa San-tok memasuki sebuah rumah kosong yang sudah hampir roboh, yang berdiri di tepi jalan di luar sebuah dusun. Dia tadi berhasil menangkap seekor kijang dan mencuri seguci arak. Sambil bersenandung, Kakek ini menikmati keadaannya waktu itu. Dia membuat sebuah api unggun di ruangan belakang rumah rusak itu, memanggang paha kijang yang sudah diberinya bumbu sehingga panggang daging itu menyiarkan bau yang amat sedap. San-tok yang sejak pagi tadi tidak makan apa-apa, mencium bau ini, memandang dengan mata haus dan air liurnya membasahi mulut.
"Suhu... aku... aku lapar...!" San-tok meloncat dari tempat dia duduk di atas lantai dan dia menengok. Matanya terbelalak ketika melihat tubuh Diana terguling roboh dan ternyata gadis itu telah roboh pingsan, tak jauh dari api unggun! Melihat munculnya gadis ini, San-tok terkejut bukan main, akan tetapi juga rasa kagum menyelinap di hatinya yang keras. Gadis bule ini benar-benar luar biasa sekali, pikirnya. Bukankah tiga hari yang lalu sudah lari tunggang-langgang di dalam hutan itu, menuju ke barat? Bagaimana mungkin kini dapat menyusulnya di pondok bobrok itu?
Dan diapun kini tertarik oleh kekuatan yang luar biasa itu. Dihampirinya tubuh Diana dan memeriksa sebentar saja, tahulah dia bahwa gadis ini roboh pingsan saking lelah dan laparnya! Pakaiannya compang-camping, juga rambutnya awut-awutan. San-tok menarik napas panjang. Tak dapat dia membohongi atau menyangkal hatinya sendiri bahwa dia semakin tertarik dan suka kepada gadis bule yang keras hati ini. Tidak mengecewakan memiliki seorang murid seperti ini, pikirnya. Dan diapun teringat akan janjinya kepada Lian Hong. Muridnya yang amat disayangnya itu memesan dengan sungguh-sungguh agar dia tidak mengganggu Diana, agar dia melindungi gadis bule yang sudah diterimanya sebagai murid itu. Dia lalu mengambil arak, menuangkan sedikit arak ke dalam mulut Diana dan gadis itupun siuman sambil terbatuk-batuk.
"Hemm, anak bandel. kau makanlah ini, dan minum arak ini!" kata San-tok. Diana yang memang sudah kelaparan itu, menerima daging panggang dan makan dengan lahapnya, dan minum arak yang menghangatkan perutnya.
San-tok sendiri lalu makan daging panggang tanpa banyak cakap. Terjadi perang di dalam hatinya. Rasa kasihan sudah lama meninggalkan lubuk hati Kakek ini. Hatinya beku dan keras. Terhadap Diana, dia tidak merasa kasihan, hanya tertarik melihat betapa gadis ini memiliki kemauan yang demikian membaja. Akan tetapi dia masih belum puas benar. Memiliki murid seorang perempuan bangsa kulit putih tidak menyenangkan hatinya. Tentu dia akan menjadi bahan kecaman dan cemooh dunia kang-ouw. Kecuali kalau murid ini memang istimewa. Dan dia harus menguji lagi Diana. Dari tempat itu ke puncak Naga Putih tidaklah jauh lagi. Mereka sudah tiba di kaki pegunungan Wu-yi-san. Melalui perjalanan yang susah payah bagi orang biasa, dalam waktu tiga hari lagi tentu akan sampai ke sana.
"Bagaimana engkau bisa menyusulku ke sini? Apakah engkau mengenal jalanan?" tanya San-tok setelah gadis itu selesai makan dan kedua pipinya sudah memerah lagi tertimpa cahaya api unggun.
"Suci Lian Hong pernah menerangkan perjalanan ke Puncak Naga Putih kepadaku, Suhu." jawab Diana dengan sikap tenang.
"Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu mencapai Puncak Naga Putih. Nah, aku pergi!"
Berkata demikian, kembali San-tok meloncat dan lenyap dari situ. Diana terpaksa melewatkan malam di rumah bobrok itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan tempat itu, tidak perduli walaupun kedua kakinya masih terasa sakit-sakit dan lelah sekali. Tekadnya adalah mencapai Puncak Naga Putih atau mati di jalan! Dengan menggunakan gin-kangnya yang luar biasa, jarak yang jauh itu ditempuh oleh San-tok dalam waktu semalam saja. Pada keesokan harinya, dia sudah tiba di dalam guhanya di Puncak Naga Putih. Dia sudah melupakan lagi Diana karena dia masih tidak percaya bahwa gadis itu akan mampu menyusulnya sampai ke situ. Akan tetapi, tiga hari kemudian, ketika dia sedang duduk bersila di dalam guhanya, Diana muncul di depan guha.
"Suhu!" seru gadis itu dengan wajah berseri penuh kebanggaan dan kegirangan karena akhirnya ia mampu juga mencapai puncak tempat tinggal suhunya.
"Hemm, mau apa engkau menyusulku sampai ke sini?" San-tok membentak dengan sikap acuh. Sampai waktu itu, Diana sudah mengenal benar watak Kakek yang aneh ini dan hatinya tidak tersinggung oleh sikap acuh itu.
"Suhu tentu belum lupa bahwa aku adalah murid suhu. Aku datang ke sini menyusul suhu untuk mempelajari ilmu silat seperti yang sudah suhu janjikan, dan menanti kembalinya suci Lian Hong."
"Heh, enak saja kau bicara. kau kira mudah mempelajari ilmu silat dariku? Engkau takkan kuat menahan, sukar sekali dan kau takkan mampu."
"Suhu, betapapun sukar dan sulitnya, akan kucoba."
"Latihannya berat sekali! Engkau tidak akan kuat!"
"Akan kujalani betapa beratpun." Diana bertekad. Kalau Lian Hong dulu mampu mempelajari ilmu dari Kakek ini, mengapa ia tidak? Menurut Lian Hong, ia memiliki tubuh yang jauh lebih kuat dari pada wanita pada umumnya, dan memiliki daya tahan yang lebih besar. Apa lagi pengalaman-pengalamannya selama ini, bekerja di sawah ladang, bekerja keras, tentu menambah keuletan dan daya tahan tubuhnya.
"Hemm, kalau begitu terserah. Kalau sampai engkau tidak kuat dan mati, itu salahmu sendiri. Nah, mulai hari ini, engkau harus setiap hari mengambil air dari sumber air di bawah puncak, memikul air itu ke puncak, dan juga mencarikan sayur bahan makanan untuk kita berdua. Kalau sampai engkau lalai dan kehabisan makanan dan minuman, engkau akan mati kelaparan..."
"Baik, suhu..." kata Diana dengan gembira. Dan iapun mulai bekerja membanting tulang. Ternyata tidaklah semudah yang diduganya. Sumber air itu berada jauh di bawah puncak, di lereng yang terjal. Membawa diri sendiri saja naik turun tempat itu amatlah sukarnya, apa lagi sambil memikul air! Mula-mula, air sepikul yang dibawanya itu montang-manting ketika dipikul, dan sebagian airnya tumpah sehingga ketika ia tiba di puncak, ia hanya berhasil membawa air yang bersisa sedikit sekali. Namun, gadis ini tidak pernah putus asa, dan dengan gigih ia mencoba terus.
Juga ia berhasil mendapatkan sayur-sayuran yang tumbuh jauh dari puncak, membawanya pulang dan memasak sayuran itu untuk ia dan San-tok. Setelah bekerja selama hampir satu bulan, Diana sudah mulai dapat memikul air ke puncak dan sisa air setengah lebih! Ia tidak lagi mengalami kesukaran dalam mencari bahan makanan maupun air. Pada suatu sore, setelah bekerja hampir sebulan, Diana terpaksa berada di dalam guha, karena di luar hujan turun dengan derasnya, disertai kilat menyambar-nyambar. Ia melihat suhunya duduk bersila dan timbul rasa penasaran di hati Diana. Selama satu bulan, suhunya mendiamkannya saja, jangankan diberi pelajaran ilmu silat, diajak bicarapun tidak! Ia merasa penasaran dan sekaranglah waktunya untuk menegur dan memprotes, pikirnya.
"Suhu..." tegurnya. Sampai tiga kali ia memanggil, barulah San-tok membuka matanya dan memandang dengan alis berkerut. Semenjak ada Diana, Kakek ini jarang tersenyum lagi.
"Ada apa lagi?" bentaknya.
"Suhu, sudah hampir satu bulan aku bekerja di sini, mengerjakan semua perintah suhu tanpa mengenal lelah. Akan tetapi selama ini, suhu belum memenuhi kewajiban suhu. Kewajiban sepatutnya dilakukan kedua pihak, bukan sepihak saja. Aku sudah memenuhi kewajibanku, memenuhi semua perintah suhu, akan tetapi suhu..."
"Aku? Berkewajiban? Eh, Diana, kewajiban apa yang ada padaku!" bentak Kakek itu marah.
"Kewajiban memenuhi janji suhu. Bukankah suhu sudah menerimaku sebagai murid? Mengapa suhu belum juga mengajarkan ilmu silat?"
"Huh, bocah tolol! Apa yang kuajarkan kepadamu selama sebulan ini jauh lebih bermanfaat bagimu dari
pada kalau engkau belajar ilmu pukul tendang selama tiga bulan! Dan kau masih mengomel bilang aku tidak mengajarkan apa-apa padamu? Belajar ilmu silat tidaklah semudah yang kau duga. Dan sekarang aku mau mengajarkan padamu ilmu yang luar biasa. Mari!"
Kakek itu bangkit dan dengan girang. Diana ikut pula bangkit. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba gurunya menyambar lengannya dan menariknya keluar dari dalam guha, menerjang air hujan lebat. Dan lebih kaget lagi hatinya ketika tiba-tiba gurunya memegang kedua pundaknya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang naik ke atas batu karang yang berada di depan guha. Kakek itu meloncat lalu mendaki batu karang itu sambil membawa tubuh Diana, seolah-olah batu karang itu datar. Padahal, batu itu meruncing dan menjulang ke atas! Dan tidak mudah memanjat batu karang karena selain terjal juga amat licin. Akan tetapi dalam waktu sekejap, tahu-tahu Kakek itu telah tiba di puncak, lalu meletakkan tubuh Diana di atas puncak.
"Nah, engkau bersila di sini dan berlatih samadhi!" katanya lalu diapun melayang turun kembali jauh di bawah, dan setelah tiba di bawah, Kakek itu memandang ke atas sambil tertawa bergelak. Kemudian diapun masuk ke dalam guha, membiarkan Diana duduk bersila di atas puncak batu karang itu sambil berteriak-teriak dan menangis! Diana merasa takut bukan main. Hujan turun dengan lebatnya.
Air hujan yang menimpa muka dan tubuhnya yang tidak dapat terlindung pakaian yang koyak-koyak itu, seperti ribuan jarum menusuk-nusuknya. Angin yang bertiup kencang seolah-olah mendorong-dorongnya agar jatuh dari atas puncak batu karang. Dan belum lagi kilat yang menyambar-nyambar. Mengerikan! Diana menjerit-jerit memanggil suhunya dan menangis minta diturunkan. Ia sendiri tidak mungkin turun dari situ. Jangankan Diana, biar orang yang pandai ilmu silat sekalipun, takkan mudah turun dari tempat itu. Sekali terpeleset, tentu akan jatuh dan tubuh akan menimpa batu-batu di bawahnya, tentu akan remuk! Dapat dibayangkan betapa tersiksanya badan dan batin Diana. Akan tetapi gadis ini segera melihat kenyataan. Ia sudah ditaruh di situ, ini merupakan sebuah kenyataan yang sudah yang tak dapat lagi, baik oleh ia sendiri maupun oleh siapa juga!
Ia berada di puncak batu karang yang menjulang tinggi, di bawah siraman air hujan, tiupan angin keras dan ancaman kilat yang menyambar-nyambar. Tak dapat di atasi dengan rasa tangis! Juga ia tidak dapat turun sendiri. Ratap tangis hanya akan melemahkan batinnya, dan kalau mempengaruhi tubuhnya, maka ia akan menjadi semakin lemah. Rasa takut hanya datang karena ia membayangkan hal-hal yang mengerikan, membayangkan disambar kilat, membayangkan terjatuh ke bawah. Kalau tidak membayangkan hal-hal itu, tidak ada lagi rasa takut! Dan tersiksa hanya timbul kalau ia melawan dalam batinnya. Mulailah ia merasa tenang dan ia membetulkan letak duduknya bersila. Dari Lian Hong ia sudah mempelajari cara duduk yang benar dalam samadhi. Ia lalu duduk bersila dengan baik, melipat kedua lengan di depan dada.
Pikirannya dibiarkan bebas dan bersatu dengan rasa di tubuhnya, tanpa ada tanggapan batin atau pikiran lagi. Dirasakannya dengan penuh perhatian tiupan angin, jatuhnya air hujan menyiram tubuhnya, didengarkan bunyi kilatan guntur. Dan sungguh aneh! Karena pikirannya tidak membayangkan apa-apa lagi, lenyaplah segala kekhawatiran, hilanglah segala rasa takut! Dan lebih aneh lagi, air hujan yang tadinya menyiksa di samping keruncingannya, kini terasa olehnya kesejukan yang luar biasa. Tiupan angin terasa pula kenyamanannya, dan bunyi kilat menyambar-nyambar itu tidak begitu menakutkan lagi, bahkan menimbulkan rasa kagumnya karena kebesaran alam nampak jelas di sekitar dirinya saat itu. Dan iapun mulai mengatur pernapasannya, duduk dengan diam seolah-olah menjadi bagian dari batu karang itu sendiri, menjadi puncaknya!
San-tok minum arak sambil tertawa-tawa. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Besok pagi ia tentu akan merengek minta diturunkan dan dia akan mengajukan syarat, mau menurunkan asal gadis itu berjanji akan meninggalkan tempat itu dan selanjutnya tidak akan mengganggunya lagi! Aha, akhirnya dia yang akan menang dan gadis yang berhati baja itu tentu dapat ditundukkan! Karena hatinya merasa puas dan lega, malam itu San-tok tidur dengan amat nyenyaknya, dan pada keesokan harinya, baru setelah matahari naik tinggi, dia bangun dari tidurnya. Segera dia teringat kepada Diana. Tentu gadis itu kini sudah lemas karena ketakutan dan kalau dia keluar, tentu dara itu akan merengek minta ampun dan minta agar diturunkan dari tempat hukumannya!
"Ha-ha-ha, tikus cilik, pagi ini engkau akan betul-betul minta ampun!"
San-tok tertawa kemudian keluar dari dalam guhanya. Akan tetapi, begitu dia keluar dari guha dan memandang ke arah batu karang meruncing itu, dia terbelalak kaget. Dia tidak melihat seorang gadis yang menangis atau lemas atau atau merengek minta ampun! Sebaliknya, dia melihat Diana duduk bersila di puncak batu karang itu, dengan tubuh tegak, kedua lengan terlipat di depan dada, dalam keadaan samadhi yang tenang! Sama sekali tidak nampak takut, bahkan tubuh itu sedikitpun tidak gemetar, melainkan duduk diam seolah-olah tubuh itu bukan dari kulit daging lagi, melainkan pahatan batu pualam yang amat indah dan yang menjadi satu dengan puncak batu karang! Demikian hebat dan indahnya pemandangan itu, membuat San-tok melongo dan dari mulutnya terdengar ucapan yang dilontarkan di luar kesadarannya,
"Hebat... indah sekali..." Seolah-olah bukan Diana yang dilihatnya, melainkan hasil seni pahat yang amat luar biasa.
"Suhu..." Panggilan ini mengejutkan hati San-tok, dan diapun cepat menoleh. Kiranya Lian Hong datang berlari-lari. Agaknya Lian Hong juga melihat tubuh Diana yang duduk bersila di atas batu karang itu.
"Suhu, kenapa dan bagaimana Diana bisa duduk bersila di sana?" Pertanyaan itu mengandung teguran dan kekhawatiran. San-tok tertawa. Dia seorang yang amat cerdik. Perlakuan yang diberikan kepada Diana itu untuk memaksa Diana menjadi jera dan tidak mengganggunya lagi. Akan tetapi sekarang, Lian Hong sudah kembali dan tentu saja dia tidak dapat bertindak semaunya, ia terlalu sayang sehingga agak takut kepada murid yang dipeliharanya sejak kecil ini.
"Ha-ha-ha, dara bule itu berbakat sekali! Lihat, baru satu bulan ia sudah kuberi latihan samadhi di puncak batu karang itu, padahal dahulu, setelah kepandaianmu cukup tinggi baru engkau berlatih di situ."
"Suhu, berbahaya sekali berlatih di sana. Belum waktunya Diana diberi latihan seberat itu. Biar kuturunkan Diana!" Berkata demikian, Lian Hong lalu memanjat batu karang itu dengan kesigapan seekor monyet. Mendengar suara Lian Hong, Diana membuka matanya. Begitu membuka mata, ia melihat betapa tingginya tempat ia duduk dan ia cepat memejamkan kembali kedua matanya. Pikirannya yang kembali membuat bayangan yang menyeramkan, membuat ia ketakutan lagi. Akan tetapi Lian Hong sudah tiba di dekatnya.
"Diana, mari kita turun. Nah, kau berpegang kepadaku dan mari kuajari bagaimana untuk dapat memanjat turun," kata Lian Hong dengan tenang. Ketenangan dan kesigapan Lian Hong membesarkan hati Diana dan dengan hati-hati ia lalu merangkak turun sambil berpegang kepada Lian Hong. Akhirnya mereka tiba juga di bawah dengan selamat, disambut oleh San-tok yang tertawa-tawa. Begitu tiba di bawah, Diana lalu merangkul Lian Hong dan terisak! Lian Hong membalas rangkulan gadis bule yang telah menjadi sumoinya itu.
"Eh, Diana... kenapa engkau menangis?" Lian Hong bertanya sambil melempar pandang mata tajam ke arah gurunya.
"Sumoi... aku... aku girang sekali melihat engkau pulang, Lian Hong suci! Aku aku rindu sekali padamu..."
"Hong Hong, bagaimana dengan tugasmu?" Kakek yang merasa lega mendengar ucapan Diana yang sama sekali tidak menuntutnya itu, kini bertanya kepada Lian Hong.
"Sudah berhasil baik, suhu. Inilah pedang itu." Lian Hong lalu mengeluarkan sebatang pedang dengan sarungnya yang sudah tua sekali dari balik jubahnya. San-tok menerimanya dengan girang. Pedang itu memang serupa benar dengan pedang Giok-liong-kiam yang palsu, yang mereka ambil dari Koan Jit. Sebuah pedang kecil berukir tubuh naga, terbuat dari batu kemala yang warnanya hijau kemerahan. Buatannya indah bukan main, jauh lebih indah dari pada yang palsu, walaupun bentuknya serupa.
🖐
"Ha-ha-ha, tak kusangka bahwa benda seperti ini menjadi rebutan orang sedunia!"
Kakek itu lalu membawa pedang Giok-liong-kiam ke dalam guha, sementara itu Lian Hong mengajak Diana untuk bertukar pakaian. Berhari-hari lamanya Kakek San-tok sembunyi di dalam guhanya untuk meneliti pedang dan mencari rahasia yang disembunyikan. Lian Hong yang mendapat kenyataan bahwa memang kini Diana telah memiliki keuletan dan kekuatan berkat gemblengan yang amat berat selama gadis bule itu berada di situ, mulai memberi latihan-latihan dasar ilmu silat kepada sumoinya, setelah memperoleh perkenan dari San-tok. Tepat sepekan lamanya San-tok dengan tekun melakukan penyelidikan, dan pada suatu pagi, dengan gembira dia keluar dari guhanya. Lian Hong dan Diana yang sedang berlatih silat segera menyambutnya dan ikut bergembira melihat betapa Kakek itu nampak girang bukan main.
"Sudah kudapatkan... sudah kutemukan rahasianya!"
Kakek itu bersorak sambil membuka lipatan kertas dengan hati-hati, karena kertas itu sudah kuning saking tuanya. Dia berhasil menemukan kertas lipatan itu yang disembunyikan secara cerdik sekali di dalam gagang pedang yang berlubang. Dua orang gadis itu segera mendekat dan ikut melihat apa yang tertulis di atas kertas berlipat itu. Ternyata kertas tua itu memuat sebuah gambar pemandangan alam pegunungan. Coretannya kasar dan tak dapat disebut lukisan yang baik, akan tetapi di situ terdapat tanda-tanda dan di puncak pegunungan itu terdapat sebuah kuil. Huruf-huruf kecil yang terdapat di situ hanya menunjukkan ukuran jarak, tidak disebutkan gunung apa itu dan dimana tempat itu.
"Wah, wah... pembuat peta yang ceroboh sekali," Kakek San-tok mengomel, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar penuh ketegangan dan kegembiraan.
"Suhu, agaknya kita harus mengenal sendiri pemandangan itu, tentu demikian maksud si pembuat peta tanpa menyebutkan dimana tempatnya, yang menujukan peta itu kepada orang-orangnya sendiri yang sudah mengenal lukisan pegunungan itu," kata Diana yang ikut membantu memikirkan.
"Engkau benar, akan tetapi siapa dapat mengenal pemandangan pegunungan seperti ini? Di mana-manapun sama saja..."
"Nanti dulu, suhu!" tiba-tiba Lian Hong berkata dan memandang lebih teliti.
"Aku seperti pernah melihat pemandangan seperti ini. Lihat puncak yang rasanya ujungnya pecah menjadi tiga itu! Dan letak kuil itu... dengan sebatang pohon yang amat besar dan tua di belakangnya. Bukankah itu kuil Siauw-lim-si?
"Aku masih ingat benar, ketika suhu mengajakku mengunjungi kuil itu dan bertemu dengan Locianpwe Siauw-bin-hud. Ketika kita berhenti di lereng untuk makan, kuil itu sudah nampak dari sana, dan aku melihat kuil itu penuh kekaguman karena teringat akan besarnya nama Siaw-lim-pai. Persis seperti dalam lukisan ini, Suhu!"
"Siauw-lim-pai...? Wah, wah... aku tidak ingat lagi. Akan tetapi, siapa tahu dugaanmu itu benar. Urusan besar ini tak dapat kulakukan sendiri. Biar aku akan mengajak Tee-tok dan Hai-tok untuk kuajak bersama-sama. Pusaka itu harus dapat kutemukan..." Dengan gembira sekali, Kakek itu menyerahkan Giok-liong-kiam kepada Lian Hong.
"Aku sengaja menyuruh engkau yang mencari dan mengambil pusaka ini. Rahasia yang dikandungnya adalah pusaka yang akan kita sumbangkan untuk perjuangan, akan tetapi pedang ini menjadi hak milikmu. Jagalah baik-baik. Hari ini juga, aku akan berangkat mencari Tee-tok dan Hai-tok mencari pusaka itu. Hong Hong, engkau menanti aku di sini sambil melatih Diana.
"Kalau ia sudah menjadi muridku, setidaknya ia harus memiliki kekuatan dan kepandaian, jangan sampai kelak menjadi bahan ejekan orang bahwa ia sudah pernah berguru kepadaku. Ajarlah ia dengan keras agar ia cepat dapat menguasai ilmu-ilmu kita, walaupun tidak banyak."
Pada hari juga, San-tok meninggalkan Pegunungan Wu-yi-san. Lian Hong pun semakin giat melatih ilmu silat kepada Diana yang belajar dengan tekun. Dan memang, sebagai seorang kulit putih, Diana memiliki ketekunan dan keuletan yang mengagumkan, dan iapun berbakat sekali karena gerakan-gerakannya tidak kaku. Hal ini mungkin dapat terjadi karena gadis ini telah menyelami kehidupan para petani di negeri itu. Tata kehidupan yang sudah diselaminya itu membuat ia tidak merasa asing dengan kebudayaan di situ, dan pergaulannya dengan para ahli silat membuat ia mampu menerima pelajaran ilmu silat dengan mudah walaupun untuk dapat menguasainya, ia harus berlatih dengan giat dan tekun. Beberapa hari setelah San-tok pergi, pada suatu pagi selagi kedua orang gadis itu berlatih silat, tiba-tiba terdengar suara halus.
"Ahai... kiranya Diana kini telah pandai bermain silat!" Lian Hong cepat menoleh, demikian pula Diana, dan keduanya girang bukan main ketika mengenal siapa yang berseru itu.
"Kui Eng-ci..." Lian Hong berseru girang.
"Wah, kau membikin aku merasa malu saja, Kui Eng!" Diana juga berseru girang. Lian Hong sudah mengenal baik gadis murid Tee-tok itu, bahkan ia pernah menolong Kui Eng ketika gadis itu tertawan oleh Koan Jit. Juga Diana sudah berkenalan dengan Kui Eng ketika mereka bersama guru mereka berkunjung ke kuil dimana Siauw-bin-hud mengadakan perundingan dengan guru mereka.
"Enci Eng, angin baik apakah yang meniupmu sampai ke sini?" Lian Hong bertanya sambil memegang tangan sahabatnya itu.
"Adik Hong, aku diutus oleh suhu untuk menemui suhumu. Dimanakah Locianpwe Bu-beng San-kai?" Girang hati Lian Hong melihat betapa gadis itu menyebut gurunya Bu-beng San-kai, bukan San-tok.
"Suhu sedang turun gunung untuk mengunjungi gurumu, Enci Kui Eng!"
"Ahhh... sayang... aku tidak berjumpa dengan dia di perjalanan. Kalau begitu, perjalananku ini sia-sia belaka..."
"Ada kepentingan apakah, Enci Eng?"
"Suhu ingin sekali mendengar tentang hasil usaha gurumu menemukan pusaka Giok-liong-kiam yang aseli."
"Sudah kudapatkan, Enci!" Karena tahu bahwa antara guru mereka terdapat kerja sama untuk perjuangan, Lian Hong lalu menceritakan dengan terus terang bahwa pedang Giok-liong-kiam telah ditemukannya dan suhunya telah pula mendapatkan peta yang tersembunyi di dalam gagang pedang.
"Peta itu menunjukkan tempat dimana tersimpan pusaka itu, Enci Eng. Dan karena suhu menganggap urusan itu amat penting, maka dia lalu turun gunung untuk mengadakan kerja sama dengan gurumu, juga dengan Locianpwe Hai-tok Tang Kok Bu." Kui Eng ikut merasa girang mendengar cerita itu.
"Ah, mudah-mudahan saja guru-guru kita akan berhasil. Keadaan di tanah air kita sedemikian buruknya sehingga perlu kita semua menyumbangkan tenaga untuk mengusir penjajah Mancu dan juga..." Kui Eng menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Diana. Diana tersenyum dan merangkul pundak Kui Eng.
"Kenapa berhenti? Biar kulanjutkan kata-katamu, Kui Eng. Kita harus mengusir penjajah Mancu dan orang-orang kulit putih! Jangan khawatir, aku sendiripun sama sekali tidak setuju dengan tindakan bangsaku.
"Mereka seharusnya menjadi tamu-tamu terhormat, menjadi rekan-rekan dalam perdagangan yang saling menguntungkan. Aku akan membantu kalian mengusir mereka kalau mereka masih bersikap seperti sekarang, menyelundupkan candu dan menduduki bandar-bandar besar dengan kekuatan kapal-kapal perang mereka!" Lian Hong juga tersenyum.
"Jangan khawatir kepada sumoi Diana, Enci Eng. Biarpun ia berkulit putih, bermata biru dan berambut emas, namun hatinya bersih dan ia memiliki kegagahan."
Karena sudah terlanjur berada di situ dan mendengar bahwa San-tok sedang pergi mencari gurunya, Kui Eng lalu menerima undangan Lian Hong dan Diana untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Iapun ingin sekali menikmati keindahan tamasya alam di sekitar Pegunungan Wu-yi-san. Terdapat suara keakraban yang mendalam di antara tiga orang gadis ini. Setiap hari mereka berlatih silat, bercakap-cakap atau berjalan-jalan ke puncak-puncak lain dari pegunungan Wu-yi-san dengan penuh kegembiraan. Sepekan lamanya Kui Eng tinggal di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san, setiap hari nampak bergembira bersama Diana dan Lian Hong. Hari ke delapan, iapun pamit untuk pulang karena khawatir kalau-kalau ia ditunggu-tunggu oleh suhunya. Biarpun dengan hati berat, Diana dan Lian Hong menyetujuinya dan mengantarnya sampai ke lereng puncak itu.
"Ah, aku ingin agar engkau selalu dapat berada di sini bersama kami, Kui Eng. Senang sekali dekat dengan engkau yang manis dan gagah," kata Diana. Kui Eng tersenyum.
"Engkaulah yang manis, Diana. Dan kelak engKau pun akan menjadi seorang gadis yang gagah perkasa. Mudah-mudahan saja kelak engkau dapat berguna bagi bangsamu, setidaknya dapat menginsyafkan bangsamu yang melakukan kelaliman di tanah air kami."
"Enci Kui Eng... kenapa tergesa-gesa amat? Menanti beberapa hari lagi di sini kurasa tidak ada salahnya," kata Lian Hong.
"Hong-moi, kenapa engkau ingin bersenang saja? Bukankah tenaga kita dibutuhkan oleh tanah air dan bangsa? Kalau kita yang muda-muda ini hanya ingin bersenang-senang saja, lalu sampai kapan bangsa kita tercengkeram oleh penjajah?
"Kurasa sudah terlalu lama kau m muda bangsa kita tertidur sehingga orang-orang Mancu itu seenaknya saja menjajah kita sampai turun-temurun. Aku harus cepat bertemu kembali dengan suhu dan secepatnya menghubungi teman-teman seperjuangan.
"Bukankah suhu kebagian tugas mengabarkan tentang kepalsuan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Koan Jit itu agar mereka semua menghentikan perebutan pusaka itu? Nah, cukup sampai di sini saja kalian mengantar, selamat tinggal sampai jumpa pula!" Akan tetapi pada saat itu, Kui Eng dan Lian Hong terkejut. Pendengaran mereka yang terlatih dan peka itu dapat menangkap suara orang berkelahi, jauh di bawah sana. Keduanya saling pandang.
"Ada perkelahian!" kata Lian Hong dan Kui Eng mengangguk.
"Apa yang kalian maksudkan?" tanya Diana yang tidak dapat menangkap suara perkelahian yang dilakukan oleh orang-orang pandai itu.
"Mari, sumoi, di bawah sana ada orang-orang berkelahi. Jangan-jangan suhu yang berkelahi, mari kita turun dan lihat!" Lian Hong lalu merentangkan tangan Diana dan bersama Kui Eng menggandeng tangan diana turun dari lereng itu, menuju ke arah suara perkelahian. Siapakah yang berkelahi di kaki bukit itu? Seorang pemuda yang gagah perkasa sedang menghadapi pengeroyokan dua orang tosu (pendeta Agama To) yang juga lihai sekali. Ci Kong, pemuda itu, setelah beberapa lamanya mewakili Siauw-bin-hud membujuk para pendekar dan perkumpulan silat yang besar untuk dalam keadaan sekacau itu mengadakan Persatuan dengan segala golongan untuk menghimpun kekuatan menghadapi penjajah dan orang kulit putih.
JILID 31
Kini menerima tugas dari suhunya untuk menghubungi San-tok, Tee-tok dan Hai-tok, untuk memberitahu bahwa Siauw-bin-hud kini hendak bertapa selama kurang lebih satu bulan. Kakek ini memang sudah seringkali menerima getaran batin untuk melakukan tapa dan kini dia hendak bertapa untuk mencari cara terbaik untuk perjuangan kau m patriot. Karena tempat terdekat adalah Wu-yi-san, maka dia lebih dahulu berkunjung ke gunung ini untuk menjumpai San-tok. Akan tetapi, ketika ketika tiba di lereng pertama, dia bertemu deagan dua orang tosu. Agaknya, dua orang tosu ini memang sudah lama bersembunyi di tempat itu, karena ketika Ci Kong lewat, mereka secara tiba-tiba muncul dari balik semak-semak, dan Ci Kong terkejut mendengar suara orang menegur.
"Orang muda, berhenti dulu!" Dia menengok dan melihat bahwa yang tiba-tiba muncul itu adalah dua orang tosu yang usianya tentu tidak kurang dari enam puluh tahun.
Dia memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang, mengenakan jubah kuning dan di baju bagian dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih. Kakek ini memiliki sepasang mata yang sinarnya mencorong aneh. Adapun tosu kedua bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, mukanya bersih polos tanpa jenggot, rambutnya digelung ke atas. Kakek ini juga berjubah kuning, jubah pendeta atau pertapa, dan di baju bagian dadanya terdapat lukisan pat-kwa (segi delapan). Melihat lukisan-lukisan di dada kedua orang tosu itu, diam-diam Ci Kong terkejut. Dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan dua orang tosu dari Pek-lian-pai (Perkumpulan Teratai Putih) dan Pat-kwa-pai (Perkumpulan Segi Delapan), dua buah perkumpulan yang menggunakan nama perjuangan,
Akan tetapi di samping memusuhi pemerintah penjajah juga melakukan bermacam kejahatan yang amat keji, sesuai dengan agama mereka yang menyeleweng dan mengarah pemuasan nafsu dengan ilmu-ilmu yang aneh dan yang biasa disebut ilmu hitam. Ci Kong menjadi waspada, akan tetapi dia teringat akan pesan sukongnya atau gurunya, yaitu Kakek Siauw-bin-hud bahwa dia bertugas untuk menghimpun segala kekuatan yang ada untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan itu dari aliran dan golongan manapun juga agar dapat dibentuk kekuatan yang dasyat dari rakyat untuk menghadapi pemerintah penjajah dan orang asing. Maka, diapun mengesampingkan kecurigaannya dan dengan sikap hormat dia lalu menjura.
"Selamat bertemu, ji-wi Locianpwe. Agaknya ji-wi mempunyai keperluan maka memanggil saya?" Sikap ramah dan hormat dari Ci Kong agaknya tidak diperdulikan oleh dua orang Kakek itu, atau dipandang ringan. Yang tinggi kurus bertanya dengan suara sambil lalu.
"Siapa engkau, orang muda... dan ada hubungan apa engkau dengan San-tok maka engkau muncul di tempat ini?" Ci Kong mengerutkan alisnya. Tosu ini benar-benar amat sombong, dan agaknya mempunyai niat tertentu terhadap San-tok. Akan tetapi dia lalu teringat bahwa San-tok adalah seorang datuk sesat, tidaklah aneh kalau San-tok kenal baik dengan tosu-tosu seperti ini. Dan siapa tahu bahwa San-tok menghubungi mereka untuk bersama menghimpun tenaga menghadapi penjajah. Maka diapun masih tetap ramah ketika memperkenalkan diri.
"Ji-wi lociapwe, dalam keadaan negara kacau seperti ini, kiranya di antara kita semua terdapat satu pertalian batin yang kokoh kuat untuk bersama-sama menghadapi pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih. Karena itu harap ji-wi tidak menaruh curiga kepada saya. Nama saya Tan Ci Kong, dan saya datang ke sini untuk menemui Locianpwe San-tok karena diutus oleh Kakek guru saya." Dua orang tosu itu saling pandang, dan kini tosu gendut tinggi besar yang bertanya, suaranya parau dan besar.
"Dan siapakah Kakek gurumu itu?" Tanpa ragu-ragu lagi, Ci Kong memperkenalkan nama besar Kakek gurunya, karena dia memang bermaksud untuk membujuk kedua orang ini agar Pek-lianpai dan Pat-kwa-pai suka bekerja sama untuk menghadapi musuh.
"Kakek guru saya dikenal dengan nama Siauw-bin-hud..." Tiba-tiba Sikap kedua orang Kakek itu berubah.
"Kiranya jahanam kecil ini dari Siauw-lim-pai!" bentak tosu tinggi kurus, dan dia sudah menerjang dan menyerang Ci Kong dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala yang disusul tusukan jari tangan kiri ke arah pusar. Gerakan ini hebat sekali, merupakan serangan maut yang berbahaya, maka Ci Kong yang sama sekali tidak menyangka dirinya akan diserang, cepat merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah kepala itu luput, sedangkan tusukan jari ke arah pusarnya ditangkis dengan tangan kanannya.
"Plakk!" Tangan tosu yang menusuk itu terpental saking kuatnya tangkisan Ci Kong.
"Nanti dutu, harap ji-wi totiang (saudara pendeta berdua) suka bersabar. Saya bukan musuh, bahkan mengajak ji-wi untuk bekerja sama..." Akan tetapi tosu tinggi kurus tadi sudah menjadi semakin penasaran dan marah, apalagi karena tangkisan tadi membuka matanya, bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, seorang pendekar dari Siauw-lim-pai yang selalu menjadi musuhnya.
"Jahanam dari Siauw-lim-pai, tak perlu banyak cakap lagi. Semua orang Siauw-lim-pai adalah musuh kami berdua!" bentaknya.
"Semua iblis sombong dari Siauw-lim-pai harus dibasmi untuk membalaskan sakit hati saudara-saudara kami yang entah sudah berapa banyak menjadi korban keganasan mereka!" bentak pula Kakek gendut. Ci Kong bukan tidak tahu bahwa memang sejak dahulu, para murid Siauw-lim-pai selalu menentang para anggauta Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, akan tetapi penentangan itu bukan didasari rasa permusuhan, melainkan karena setiap murid Siauw-lim-pai tentu akan menentang perbuatan jahat. Dan anak murid kedua perkumpulan itu terkenal jahat dan kejam, maka tentu saja di mana-mana ditentang. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena dia ingin mengajak mereka berbaik kali ini.
"Nanti dulu, ji-wi Locianpwe. Dari Kakek guru saya sendiri, Siauw-bin-hud, saya ditugaskan untuk mengajak semua aliran dan golongan di dunia persilatan untuk bekerja sama menghadapi penjajah. Alangkah baiknya kalau sementara ini, kita melupakan dulu semua urusan pribadi, menggalang Persatuan untuk menghadapi penjajah."
"Tak perlu membujuk kami, engkau seorang tokoh Siauw-lim-pai, harus mati di tangan kami!" bentak tosu Pek-lian-pai.
"Harap ji-wi bersabar. Siapakah ji-wi sebenarnya yang mati-matian hendak memusuhi dan membunuh saya yang tidak pernah mengenal ji-wi?"
"Buka telingamu baik-baik agar engkau tidak mati menjadi setan penasaran karena tidak tahu siapa yang menjadi pembunuhmu. Aku bernama Ciok Im Cu, seorang di antara pimpinan Pek-lian-pai, sedangkan dia ini Ban Hwa Seng-jin, seorang tokoh pimpinan Pat-kwa-pai.
"Semenjak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu antara Siauw-lim-pai dengan kami telah ada permusuhan. Entah berapa banyak anak buah kami yang tewas di tangan orang-orang Siauw-lim-pai, maka tak perlu banyak cakap lagi. Engkau sudah mengenal nama kami. Nah, bersiaplah untuk mampus!" Berkata demikian, Ciok Im Cu tosu dari Pek-lian-pai itu sudah menyerang lagi dengan lebih sengit, disusul oleh Ban Hwa Seng-jin yang juga menyerang dengan buas.
Ci Kong maklum bahwa bicara dengan mereka ini memang tidak ada gunanya. Dan diapun menyaksikan sikap Kakek gurunya. Bijaksanakah mengajak orang-orang seperti ini untuk bekerja sama? Jangan-jangan mereka ini tidak membantu perjuangan, malah mengotorkan perjuangan itu sendiri. Teringat dia dengan sikap anak buah pasukan yang keji sekali, kejam terhadap rakyat di dalam pergolakan perang. Mereka merampok, membunuh dan memperkosa rakyat. Agaknya, orang-orang dari golongan hitampun akan berbuat serupa. Orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ini adalah orang-orang yang menganut kepercayaan sesuatu, yang amat fanatik, dan karena kefanatikannya itu dapat berbuat kejam bukan main. Berbeda dengan golongan seperti para datuk, seperti Empat Racun Dunia misalnya.
Mereka itu adalah orang-orang yang berdiri sendiri, tidak mempunyai anak buah tertentu, dan andaikata mempunyai anak buah sekalipun, seperti halnya Hai-tok, mereka bertindak secara terbatas. Mereka ini lebih tepat dinamakan orang-orang liar yang tidak perduli akan segala tata cara atau hukum, hidup seenaknya sendiri saja. Akan tetapi, setidaknya, orang-orang seperti datuk-datuk itu masih mempunyai perasaan cinta tanah air. Seperti telah terbukti, perjuangan orang-orang seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, sejak dahulu tidak pernah berhasil, karena mereka itu hanya merongrong pemerintah dengan perbuatan-perbuatan mereka yang jahat, mengeruhkan suasana, mengadakan kekacauan di mana-mana sehingga mereka itu lebih dikenal sebagai penjahat-penjahat yang hendak dibasmi pemeritah.
Bukan pejuang-pejuang yang memberontak terhadap pemerintah penjajah demi membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah asing. Menghadapi serangan-serangan yang demikian berbahaya, Ci Kong juga cepat bergerak melakukan perlawanan sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan untuk menandingi dua orang tosu yang lihai itu. Tan Ci Kong adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang istimewa. Menurut tingkat, sebenarnya tingkatnya masih rendah, hanya terhitung murid keponakan dari empat orang pimpinan Siauw-lim-pai. Akan tetapi, karena dia menerima gemblengan langsung dari Kakek Siauw-bin-hud, maka tingkat kepandaiannya dapat dikatakan sebanding dengan tingkat kepandaian ketua Siauw-lim-pai yang sekarang, yaitu Thian He Hwesio !
Maka, begitu kini menghadapi dua orang lawan tangguh, dia mengeluarkan kepandaiannya dan dua orang tosu itu segera terdesak mundur! Hal ini amat mengejutkan Ciok Im Cu dan Ban Hwa Sengjin. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas satu dari perkumpulan masing-masing, dan kini mereka berdua maju mengeroyok seorang anggauta Siauw-lim-pai yang masih begini muda, mereka tidak mampu menang bahkan dalam waktu beberapa puluh jurus saja mereka telah terdesak mundur! Hal ini membuat kedua tokoh itu menjadi malu dan penasaran, kemudian marah sekali. Ciok Im Cu nampak meloncat mundur, menggosok-gosok kedua tangannya, mulutnya berkemak-kemik, dan ternyata dia sedang mengerahkan tenaganya menggunakan ilmu hitam atau sihirnya. Kemudian tiba-tiba dari mulutnya terdengar bunyi tangis!
Tangis yang amat menyedihkan, tangis ratap memilukan disertai isak dan sesenggukan. Dan Kakek inipun sambil mengeluarkan bunyi tangis itu, menerjang maju lagi dengan hebatnya. Ci Kong tadinya terheran-heran mendengar Kakek itu menangis. Akan tetapi dia menjadi terkejut karena suara tangis itu menjadi berlipat ganda banyaknya, datang dari segala penjuru seakan-akan dia terkepung oleh puluhan orang yang sedang menangis sedih! Dan pada saat itu, Ciok Im Cu sudah menyerangnya pula. Ci Kong menguatkan batinnya untuk melawan pengaruh tangis itu, namun tetap saja kedua matanya menjadi basah air mata! Dia terkejut dan maklum bahwa Kakek itu mempergunakan ilmu hitam, karena dia sudah mendengar betapa orang-orang Pek-lian-pai yang beragama Pek-lian-kauw itu pandai mempergunakan ilmu sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi, biarpun dia memperkuat batinnya untuk menolak pengaruh ilmu itu, karena matanya basah, pandang matanya menjadi kabur dan diapun terdesak hebat oleh serangan Ciok Im Cu. Pada saat Ci Kong terhuyung itu, tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerangnya dari samping. Ci Kong cepat memutar tubuh dan lengannya menangkis dengan kerasnya. Tangan Kakek dari Pat-kwa-pai itu terpental, akan tetapi ketika tangannya terpental, ada sebuah benda kecil panjang terlempar dan menyentuh leher Ci Kong. Pemuda itu terkejut karena tiba-tiba saja lehernya terasa nyeri. Dia cepat merengut benda yang menempel itu dan ternyata seekor ular kecil yang telah menggigit lehernya.
Kiranya Kakek Pat-kwa-pai tadi memegang ular ketika menyerang, dan ketika lengannya tertangkis, ular itu terlempar ke arah lebernya. Dia tidak tahu bahwa tokoh Pat-kwa-pai itu adalah seorang ahli ular beracun dan sengaja melepas ular itu pada saat dia tidak menyangkanya sama sekali. Dengan marah Ci Kong mencengkeram kepala ular sampai hancur, kemudian dia membentak marah untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, tiba-tiba luka di leher yang kecil akibat gigitan ular itu terasa panas sekali, pandang matanya berkunang dan diapun roboh terpelanting dan tidak ingat apa-apa lagi. Pada saat Ci Kong terpelanting itulah, Kui Eng, Lian Hong dan Diana nampak muncul di sebuah tikungan. Melihat munculnya tiga orang wanita yang kelihatan amat gesit dan berlari dengan kecepatan luar biasa itu, Ciok Im Cu dan Ban Hwa Seng-jin cepat melarikan diri.
Mereka merasa jerih. Baru menghadapi seorang pemuda tadi saja, hampir mereka berdua kalah. Kalau tidak mempergunakan ilmu hitam dan ular, mungkin mereka berdua akan kalah menghadapi pemuda tadi. Mereka menjadi jerih karena tentu banyak terdapat orang pandai di tempat itu dan tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu cepat melarikan diri. Tiga orang dara itu tadi dari jauh melihat robohnya pemuda yang dikeroyok dua orang tosu, akan tetapi karena jaraknya masih jauh, mereka tidak mengenal siapa pemuda itu dan siapa pula dua orang tosu yang melarikan diri setelah pemuda itu roboh. Mereka tentu saja tidak berpihak karena tidak mengenal orang-orang yang berkelahi, dan mereka cepat datang menghampiri orang yang roboh itu.
"Ci Kong...!" Hampir berbareng tiga orang gadis itu meneriakkan nama ini ketika mereka mengenal wajah pemuda yang menggeletak terlentang dengan muka pucat seperti sudah mati ini.
Diana dan Kui Eng sudah menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh Ci Kong. Dengan jari-jari tangan gemetar mereka berdua meraba-raba, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil nama Ci Kong. Melihat keadaan dua orang gadis itu, Lian Hong lalu terduduk lemas, tak jauh dari situ, dapat memaklumi akan isi hati dua orang gadis yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka mencinta Ci Kong, pikirnya. Mereka berdua itu mencinta Ci Kong. Dan ia sendiri? Ia tidak tahu, akan tetapi jelas bahwa Ci Kong perlu ditolong! Ketika tanpa disengaja tangan mereka yang memegangi tubuh Ci Kong itu saling bersentuhan, Diana dan Kui Eng saling melirik dan wajah mereka berubah merah. Mereka lalu melepaskan pegangan dan hanya berlutut dengan kebingungan.
Diana menahan emosi hatinya. Tidak mau ia mengulang peristiwa yang menghebohkan seperti yang pernah dilakukannya di kuil itu. Ingin ia memeluk, merangkul dan meniupkan kembali nyawa di tubuh pemuda penolongnya yang kelihatan sudah mati itu, namun semua ini ditahannya. Ia hanya bisa mengeluh panjang pendek dengan bingung, menundukkan mukanya dan mengusap air matanya yang jatuh berderai. Kui Eng juga bingung sekali. Iapun ingin memondong tubuh Ci Kong dan membawanya pergi, mengusahakan pengobatan. Namun ia merasa malu terhadap Diana. Ia maklum bahwa Diana, seperti juga hatinya sendiri, menaruh rasa cinta terhadap pemuda ini. Ia hanya mengepal dan membuka tangannya, bingung dan cemas, seperti Diana dan melihat betapa Diana menangis, iapun tak dapat menahan air matanya.
"Ahhh... bagaimana ini... bagaimana ini...?" Diana hanya meratap-ratap.
"Adik Hong, bagaimana baiknya? Dia... dia harus cepat ditolong..." kata Kui Eng sambil menoleh ke arah Lian Hong. Kini Lian Hong bangkit berdiri dan menghampiri.
"Kalian berhentilah menangis. Dia terluka parah, perlu ditolong, bukan ditangisi!" katanya agak ketus, mengejutkan kedua orang gadis itu yang segera menghapus air mata dan menahan tangis mereka. Dengan teliti, Lian Hong lalu memeriksa dan akhirnya ia melihat luka kecil menghitam di leher pemuda itu.
"Hemm, agaknya luka inilah yang menyebabkannya keracunan," katanya menuding ke arah luka. Tiga orang gadis itu merasa khawatir sekali karena wajah Ci Kong sudah mulai nampak menghitam, tanda keracunan berat.
"Ihh! Ini ada ular...!" Tiba-tiba Diana memekik dan benar saja. Terdapat tubuh seekor ular yang sudah luncur kepalanya, tertindih tubuh pemuda itu. Lian Hong menarik ular itu dan memeriksanya.
"Hemm... ular berbisa. Agaknya dua orang tosu tadi mempergunakan ular ini untuk merobohkan Ci Kong. Kita harus cepat mencari obat untuknya, kalau tidak..."
"Kalau tidak, dia akan mampus! Ha-ha-ha...!" Mendengar suara parau itu, tiga orang gadis itu terkejut dan berloncatan sambil memutar tubuh. Kiranya di depan mereka telah berdiri seorang Kakek berkepala gundul botak dan berperut gendut sekali, tubuhnya bulat sehingga kancing-kancing terlepas semua, dan perut itu tidak tertutup lagi oleh baju. Dan Lian Hong segera mengenal Kakek itu. Demikian pula Kui Eng. Akan tetapi Diana tidak mengenalnya, dan karena ia merasa gelisah sekali mengingat keadaan Ci Kong, munculnya Kakek yang sambil tertawa mengeluarkan kata-kata kasar, Diana menjadi marah.
"Penjahat kejam! Engkau tentu teman dari pembunuh-pembunuh tadi, engkau sungguh jahat sekali!" Dan dengan gerakan nekat, Diana sudah menyerang ke arah Kakek itu. Biarpun ia baru saja mulai belajar silat, akan tetapi tenaganya besar, dan gerakannya gesit berkat latihan yang keras. Tentu saja Lian Hong terkejut bukan main dan cepat ia menubruk ke samping, memegang kedua lengan Diana.
"Sumoi, jangan sembarangan!" Dan iapun menjura kepada Kakek gendut itu sambil berkata.
"Harap lociapwe suka memaafkan sumoiku yang bersikap kurang patut karena tidak mengenal lociapwe." Kakek itu bukan lain adalah Thian-tok. Melihat seorang gadis bule marah-marah kepadanya, dia memandang sambil menyeringai lebar, akan tetapi ketika mendengar pengakuan Lian Hong bahwa gadis itu sumoinya, alisnya berkerut.
"Apa? Ini sumoimu? Jadi si jembel dari gunung telah mengambil murid seorang perempuan bule? Aih, sungguh luar biasa. Kalau bukan sumoimu, tentu ia sudah kubunuh sekarang juga!"
"Harap Locianpwe suka melihat kami dan memaafkan Diana, ia bukan hanya murid Locianpwe Bu-beng San-kai, akan tetapi juga seorang di antara kita yang membantu perjuangan para patriot," kata pula Kui Eng. Kini Thian-tok memandang kepada Kui Eng.
"Siapa engkau? Hemmm... ingat aku sekarang. Engkau murid Tee-tok, bukan? Ha-ha-ha... sudah berkumpul semua di sini. Bagus sekali! Dan ini orang muda pengikut Siauw-bin-hud itu. Wah, sudah lengkap, tinggal Hai-tok yang belum ada wakilnya. Bagus sekali!" Dua orang gadis itu tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Kakek itu, sedangkan Diana yang kini tahu bahwa ia sangka dan bahwa Kakek ini tentu orang pandai yang dikenal oleh dua orang sahahatnya, diam saja, hanya memandang dengan alis berkerut karena selain ia masih gelisah memikirkan Ci Kong, juga ia tidak percaya kepada Kakek ini yang dianggapnya bersikap tidak wajar.
"Locianpwe, baru saja terjadi malapetaka atas diri Ci Kong. Dia terluka, agaknya keracunan oleh gigitan ular berbisa." Mendengar ucapan Lian Hong, Kakek itu lalu berjongkok dekat Ci Kong.
"Ha-ha, ternyata anak Siauw-lim-pai ini masih begitu bodoh, membiarkan dirinya digigit ular belang." Dia memandang ke arah bangkai ular, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku jubahnya yang lebar. Botol itu terisi obat lembek seperti gajih dan diambilnya sedikit, lalu dioleskannya ke atas luka di leher Ci Kong.
Tiga pasang mata para gadis itu mengikuti gerakan-gerakannya dengan hati penuh ketegangan. Mereka melihat betapa luka kecil itu setelah dipolesi obat, lalu mengeluarkan buih atau busa yang makin lama semakin hitam. Buih hitam ini lalu dihapus oleh Thian-tok, menggunakan daun yang dipetiknya di dekatnya, dan menaruh polesan baru. Sampai akhirnya, buih yang keluar berwarna putih kemerahan. Dia menghentikan pengobatan dengan polesan itu. Kemudian masukkan doa butir pel ke dalam kerongkongan Ci Kong dan mendorong dua butir pel itu dengan arak. Ci Kong terbatuk dan siuman. Begitu melihat tiga orang gadis yang dikenalnya, dan juga Thian-tok yang duduk bersila sambil tertawa lebar, Ci Kong memandang bingung, celingukan mencari dua orang tosu yang tadi berkelahi dengannya.
"Ci Kong, engkau dilukai dua orang tosu itu yang sudah lari meninggalkanmu dalam keadaan pingsan dan keracunan. Untung datang Locianpwe Thian-tok yang menolong." Kata Lian Hong. Tentu saja Kui Eng dan Diana merasa girang dan lega bukan main melihat pemuda itu sembuh, walaupun karena malu mereka tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Sementara itu, Ci Kong teringat dan biarpun dia masih bingung mengapa tiga orang gadis itu tahu-tahu berada di situ, dia lalu cepat memberi hormat kepada Thian-tok.
"Terima kasih atas budi pertolongan Locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha!" Kakek yang bentuk tubuhnya mirip Siauw-bin-hud itu tiba-tiba tertawa bergelak dan diapun sudah meloncat bangun, berdiri dengan perut bergoyang-goyang karena dia tertawa itu.
"Kau kira aku begitu baik hati untuk menyembuhkanmu begitu saja? Tapi kita hidup harus tolong-menolong dan bantu-membantu. Nah, setelah aku mengobatimu, sekarang kalian bertiga, murid-murid Tee-tok, San-tok dan Siauw-lim-pai harus membantuku." Mereka saling pandang dan merasa heran, dan Ci Kong lalu menjawab.
"Bantuan apakah yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe?"
"Ha-ha, banyak, banyak! Kalian tentu sudah mendengar pula dan bahkan mengetahui dengan jelas bahwa pedang Giok-liong-kiam yang berada di tangan Koan Jit si jahanam itu ternyata palsu. Nah, kalian ceritakan sekarang tentang pedang Giok-liong-kiam yang aseli." Tentu saja Lian Hong tidak mau menceritakan, juga Kui Eng tidak mau. Mereka tahu bahwa Thian-tok, biarpun merupakan rekan dari guru-guru mereka, tidak dapat disamakan dengan Hai-tok, Tee-tok, dan San-tok. Tiga orang di antara Empat Racun Dunia ini telah sepakat untuk membanting arah kehidupan mereka untuk membantu perjuangan menyelamatkan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah,
Sebaliknya Thian-tok memiliki jalan hidup sendiri yang hanya memikirkan perampasan Giok-liong-kiam demi diri sendiri. Adapun Ci Kong, belum pernah mendengar tentang hasil usaha Lian Hong mencari pusaka yang aseli, walaupun dia maklum bahwa pusaka yang mengandung rahasia tentang Giok-liong-kiam aseli, telah berada di tangan San-tok. Akan tetapi diapun tahu siapa adanya Thian-tok, yang pernah mengotorkan dan menodai nama Siauw-bin-hud, maka diapun tidak sudi untuk menceritakan sesuatu, walaupun baru saja Thian-tok menyelamatkan nyawanya. Thian-tok tadi menolongnya bukan karena dorongan hati yang iba, melainkan dengan pamrih untuk memeras keterangan tentang Giok-liong-kiam darinya.
"Aku tidak tahu," kata Lian Hong mendahului teman-temannya.
"Akupun tidak tahu tentang Giok-liong-kiam!" kata Kui Eng.
"Sayang akupun tidak dapat menceritakan apa-apa kepadamu, Locianpwe," kata pula Ci Kong, diam-diam setuju sekali akan sikap dua orang gadis itu. Menceritakan kepada Kakek itu tentang apa yang mereka ketahui, tentang Giok-liong-kiam, hanya akan mendatangkan keributan saja dan Kakek ini dapat menjadi penghalang besar dari usaha mereka mencari pusaka yang akan membiayai perjuangan.
"Heh-heh-heh, kiranya engkau hanya seorang muda yang tidak mengetahui budi. Kalian bertiga, berempat dengan gadis bule itu, akan kubunuh semua kalau tidak mau memberi pengakuan sejujurnya tentang Giok-liong-kiam! Hayo, kalian pilih, ceritakan tentang pusaka itu atau kalian mampus semua?" Sepasang mata Thian-tok mencorong kini, penuh nafsu membunuh. Tiga orang muda itu sudah siap siaga, berdiri dengan penuh kewaspadaan menghadapi Kakek itu. Lian Hong mendorong Diana agar mundur, dan Diana yang tahu diri maklum akan isyarat sucinya, lalu dara itupun mundur dan berlindung di balik batang pohon besar.
"Locianpwe, kami bertiga tidak dapat bercerita apapun tentang Giok-liong-kiam!" kata Lian Hong dengan lantang, mewakili dua orang kawannya.
"Kalau Locianpwe hendak memaksa dan membunuh kami, terpaksa kami akan melawan dan membela diri!" Kui Eng dan Ci Kong setuju sepenuhnya dengan ucapan itu, dan merekapun tidak menambahkan apa-apa.
Kini Kakek itu mengeluarkan suara ketawa yang nyaring sekali, suara ketawanya makin lama semakin keras seperti mengaum. Diana yang berada di belakang batang pohon terkejut sekali, cepat menggunakan kedua tangan menutup kedua telinganya dan ia cepat duduk bersila untuk bersamadhi. Lian Hong yang menceritakan tentang kehebatan khi-kang itu dan cara untuk mengatasinya. Untung bahwa ia telah berlatih samadhi sehingga ia dapat melindungi dirinya. Biarpun demikian, ia masih gemetar juga. Tiga orang murid orang-orang sakti itupun cepat mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh ilmu sin-kang Sin-houw-kang yang dikeluarkan Thian-tok itu. Dan melihat betapa tiga orang muda itu tidak roboh oleh ilmunya, Thian-tok menjadi semakin penasaran, lalu tubuhnya bergerak melakukan penyerangan!
Ci Kong yang diserang itu mengelak dengan loncatan ke samping. Thian-tok melanjutkan serangannya, tangan kanan mencengkeram ke arah pundak Kui Eng dan kaki kirinya menendang ke arah perut Lian Hong. Dua orang gadis itupun dapat menghindarkan diri dengan cepat. Thian-tok menjadi semakin marah dan dia sudah melancarkan serangan bertubi-tubi, memainkan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang ampuh. Biarpun tubuhnya hanya satu, akan tetapi kini dia seperti memiliki tiga pasang lengan yang melakukan penyerangan gencar terhadap tiga orang lawannya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan tiga orang muda yang sudah cukup matang menguasai ilmu silat mereka. Ketiganya cepat bergerak mengelak dan menangkis, bahkan membalas serangan Kakek itu dari tiga jurusan dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya!
"Haaeehhhh..." Berkali-kali Thian-tok mengeluarkan seruan dahsyat dan penyerangannya menjadi semakin kuat saja, angin pukulannya menyambar-nyambar dan terasa demikian kuatnya oleh tiga orang lawannya. Kiranya Kakek ini menjadi penasaran karena tak pernah menyangka bahwa tiga orang muda itu akan mampu menandinginya. Lian Hong sudah cepat mengeluarkan kipasnya, dan Kui Eng juga mencabut pedangnya. Hanya Ci Kong yang tidak memegang senjata, namun pemuda Siauw-lim-pai ini dapat bergerak cepat dan memiliki kaki tangan yang terlatih dan kuat sekali. Diserang dari tiga jurusan oleh orang-orang muda yang amat lihai itu, Thian-tok menjadi repot juga!
Ingin dia memaki-maki, merasa malu dan penasaran. Alangkah akan malunya kalau ia, Thian-tok yang pernah menggegerkan dunia persilatan bahkan mempergunakan nama Siauw-bin-hud merampas Giok-liong-kiam, sampai kalah oleh pengeroyokan tiga orang muda saja! Padahal, guru-guru dari tiga orang muda ini masih belum mampu mengalahkannya! Adapun tiga orang muda ini juga maklum akan kelihaian lawan, maka mereka juga mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan ilmu-ilmu simpanan mereka yang paling lihai. Ci Kong memainkan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal dahsyat itu, kadang-kadang memainkan ilmu Silat Harimau dengan kedua tangan mencakar-cakar, lalu tiba-tiba mengubahnya dengan ilmu Silat Bangau, dengan tangan membentuk paruh yang menotok-notok.
Dalam menghadapi terjangan Kakek gendut itu, dengan jurus-jurus llmu Silat Monyet, dia dengan lincah dapat menghindarkan diri. Kui Eng yang memegang sebatang pedang itupun sudah memainkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu llmu Tongkat Cui-beng Hek-pang yang sudah diubahnya menjadi ilmu pedang. Gerakan-gerakan pedang itu dahsyat dan ganas sekali, sesuai dengan nama ilmunya, yaitu llmu Tongkat Pengejar Nyawa! Pedang itu berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, dan dapat membuat serangkaian serangan yang sambung menyambung dan bertubi-tubi. Adapun Lian Hong yang mempergunakan sebuah kipas sebagai senjata, juga lihai bukan main.
Gadis ini telah mewarisi ilmu kipas yang dahsyat dari gurunya, San-tok, di samping memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan kelincahan gerakan yang bahkan mengatasi tingkat gin-kang dari Ci Kong sendiri! Dikeroyok oleh tiga orang muda yang lihai ini, Thian-tok merasa kewalahan. Kakek yang tak tahu diri ini, yang selalu menganggap diri sendiri paling hebat, tidak mau melihat kenyataan ini dan dia malah menjadi penasaran dan marah sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggereng nyaring, dan tubuhnya berpusing, kedua lengannya dikembangkan dan seperti sebuah gasing berputar, dia membuat tiga orang mengeroyoknya terpaksa mundur. Tiba-tiba, Kakek itu meloncat ke atas dan hinggap di atas batang pohon besar, lalu tangannya bergerak-gerak dan daun-daun pohon itu meluncur turun bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh ke arah tiga orang muda itu.
Ci Kong, Lian Hong dan Kui Eng terkejut. Dua orang dara itu menangkis dengan senjata mereka untuk melindungi diri, sedangkan Ci Kong menggunakan kedua tangannya untuk mengibas ke sana-sini, membuat daun-daun itu runtuh. Mereka menjadi marah, dan ketiganya tanpa dikomando lagi, lalu meloncat ke atas pohon besar itu, hinggap di atas dahan di sekeliling Thian-tok. Perkelahian dilanjutkan di atas pohon, lebih seru dan lebih menegangkan dari pada tadi! Thian-tok mengamuk dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya. Akan tetapi, tiga orang muda inipun dapat menghindarkan diri dan membalas dengan tidak kalah dasyatnya. Gerakan-gerakan mereka semua mengandung tenaga sin-kang yang menimbulkan angin pukulan yang kuat, sehingga daun-daun pohon itu runtuh berhamburan ke bawah.
Tak lama kemudian, ranting-ranting pohon itupun menjadi gundul seperti kepala Kakek Thian-tok karena daun-daunnya telah gugur semua, seperti diserang musim rontok. Agaknya perkelahian di atas pohon ini akan berlangsung lama karena di tempat itu, kontak hanya dapat diadakan dalam jarak tertentu dan agak jauh saja karena selain saling serang, merekapun harus memperhatikan tempat untuk injakan kaki. Sekali kaki salah injak atau terpeleset, tubuh tentu akan meluncur dan jatuh ke bawah! Karena mereka bersikap hati-hati, maka tentu saja serangan-serangan mereka merupakan serangan jarak jauh, dan karena mereka semua telah memiliki tingkat kekuatan sin-kang yang cukup besar, maka serangan dari jarak jauh itu tidak cukup kuat untuk merobohkan mereka.
Yang paling merasa tegang dan cemas adalah Diana. Sejak tadi, sambil menutupi kedua telinganya, ia menonton perkelahian. Setelah Kakek itu mempergunakan ilmu tidak lagi melalui suaranya, Diana membuka kedua telinganya dan ia merasa ngeri melihat betapa tiga orang temannya itu kini mengeroyok Thian-tok dan berkelahi di atas pohon. Ngeri ia membayangkan seorang di antara teman-temannya itu terpeleset dan jatuh. Gerakan mereka demikian cepat. Perkelahian yang dilakukan dengan serangan jarak jauh, membuat Diana bingung dan tidak tahu bagaimana keadaan tiga orang temannya, mendesak ataukah terdesak. Karena kekhawatirannya, iapun lalu menggunakan akal.
"Suhu, cepat ke sini dan bantu suci... suhu..." Mendengar teriakan Diana itu, diam-diam Thian-tok terkejut bukan main. San-tok datang! Dia tahu bahwa tingkat kepandaiannya sama dengan San-tok, dan andaikata dia dapat mengalahkan San-tok sekalipun, tentu akan memakan waktu yang amat lama.
Sedangkan melawan tiga orang muda ini saja dia kewalahan, bagaimana kalau San-tok datang membantu? Tentu dia akan celaka. Thian-tok mengeluarkan pekik dahsyat yang membuat Diana terguling karena gadis ini tidak sempat menutupi telinganya, dan Kakek itu lalu meloncat turun ke bawah, terus melarikan diri tanpa menoleh lagi, khawatir kalau-kalau tiga orang muda dibantu oleh San-tok, akan mengejarnya. Akan tetapi tiga orang muda itu yang juga berloncatan turun, tidak mengejar, melainkan menghampiri Diana. Untung Diana, biarpun belum lama, sudah melatih diri sehingga pengaruh pekik tadi tidak begitu hebat. Ia hanya pening saja dan mukanya pucat, jantungnya berdebar. Setelah melihat bahwa Diana tidak apa-apa, Lian Hong bertanya.
"Di mana Suhu?" Diana tersenyum.
"Aku hanya pura-pura... dan ternyata akalku berhasil. Iblis tua itu pergi begitu mendengar aku memanggil suhu."
"Kau pura-pura saja? Wah, kami tadi hampir dapat mendesaknya!" Seru Kui Eng.
"Siapa bilang ia pura-pura? Aku berada di sini!" Tiba-tiba terdengar jawaban dan muncullah tiga Kakek yang membuat empat orang muda itu tertegun. Kiranya San-tok muncul bersama Hai-tok dan Tee-tok! Mereka baru saja tiba sehingga mereka tidak melihat terjadinya perkelahian tadi. Akan tetapi San-tok dapat menangkap seruan Diana tadi dan mendengarkan percakapan antara mereka. Ketika mereka tiba di situ, Thian-tok yang melarikan diri ke jurusan lain sudah pergi jauh.
"Suhu...!" kata Lian Hong, terkejut, heran dan juga girang.
"Bru saja Locianpwe Thian-tok datang ke sini. Dia mengobati Ci Kong yang keracunan karena gigitan ular berbisa, akan tetapi hanya untuk memaksa kami semua membuat pengakuan tentang Giok-liong-kiam. Ketika kami menolak, dia marah-marah dan hendak membunuh kami, sehingga kami melawan dan terjadi perkelahian."
"Perkelahian yang hebat, sampai-sampai mereka berkelahi di atas pohon. Karena khawatir kalau-kalau kalah, aku lalu berteriak, pura-pura memanggil suhu. Dan iblis itupun lari ketakutan!" tambah Diana.
"Mari kita kembali dan bicara di dalam guha. Banyak urusan penting yang harus kita bicarakan bersama," kata San-tok. Dan beramai-ramai mereka lalu menuju ke Puncak Naga Putih dan duduk berkumpul di dalam guha besar tempat tinggal San-tok. Setelah mereka duduk berkumpul, empat orang muda itu menceritakan tentang kemunculan Thian-tok, kemudian Ci Kong menceritakan tentang sukongnya yang bertapa, dan betapa di lereng Wu-yi-san itu dia bertemu dengan dua orang Kakek Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang menyerangnya dan merobohkannya dengan ilmu sihir dan serangan ular berbisa.
"Ciok Im Cu dan Ban Hwa Seng-jin?" San-tok berseru ketika mendengar cerita Ci Kong itu.
"Ah, mereka adalah orang-orang penting dalam Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Heran, mengapa mereka berani datang ke wilayahku? Padahal, selama ini dua perkumpulan itu tidak pernah saling ganggu dengan aku!" Kakek ini merasa penasaran sekali.
"Mudah saja diduga," kata Tee-tok.
"Tentu merekapun sudah mendengar akan desas-desus yang disebarkan oleh Koan Jit itu, dan mereka ingin pula memperebutkan Giok-liong-kiam dan melakukan penyelidikan ke sini." San-tok dan Hai-tok mengangguk-angguk.
"Benar sekali," kata San-tok.
"Tentu itu sebabnya mengapa dua orang tikus itu berkeliaran ke sini. Akan tetapi kalau bertemu dengan aku, akan kuketok kepala mereka! Dan kebetulan engkau datang, Ci Kong," kata San-tok.
"Sehingga kami tak perlu mencari Siauw-bin-hud di kuilnya. Telah terjadi hal-hal yang penting dan perlu diketahui oleh Siauw-bin-hud, maka dengarlah cerita kami agar engkau dapat melapor kepada Kakek itu." San-tok dan dua orang rekannya lalu menceritakan apa yang telah terjadi. Kiranya berita yang disebar oleh Tee-tok akan kepalsuan Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit, terdengar pula oleh Koan Jit dan agaknya orang ini lalu menaruh curiga kepada San-tok dan muridnya.
Dia teringat akan tanda-tanda masuknya seseorang di dalam tempat penyimpanan pusaka-pusakanya. Maka diapun lalu menyebar desas-desus bahwa Giok-liong-kiam yang asli berada di tangan Empat Racun Dunia, dan bahwa para datuk itu hendak mencari harta pusaka melalui Giok-liong-kiam untuk
membiayai pemberontakan terhadap pemerintah Ceng-tiauw, dan juga mengusir orang-orang kulit putih. Berita ini tentu saja amat menghebohkan dan menarik perhatian pemerintah, bahkan menarik pula perhatian para pimpinan pasukan kulit putih. Baik pemerintah Ceng, maupun orang-orang kulit putih, lalu menyebar orang-orang pandai yang menjadi kaki tangan mereka untuk mencari dan merampas Giok-liong-kiam atau harta karun itu.
Dan yang menjadi sasaran utama adalah Empat Racun Dunia. Keadaan menjadi gawat dan berbahaya bagi mereka. Pulau Naga, tempat baru dimana Hai-tok dan anak buahnya bersembunyi, ditemukan oleh pasukan pemerintah dan diserbu, membuat Hai-tok dan anak buahnya terpaksa melarikan diri karena pasukan yang menyerbu itu amat banyak dan kuat. Juga Tee-tok dikejar-kejar dan dicari-cari. Dan agaknya, bukan hanya pemerintah Ceng dan orang-orang kulit putih saja yang ingin merampas harta karun, akan tetapi juga banyak golongan-golongan di dunia kang-ouw agaknya tertarik juga, terbukti dan kemunculan orang-orang Peklian-pai dan Pat-kwa-pai di Wu-yi-san. Itulah sebabnya mengapa Hai-tok dan Tee-tok lalu pergi mencari San-tok dan mereka saling berjumpa di tengah jalan, dan bersama-sama lalu pergi ke Wu-yi-san.
"Keadaan sudah gawat sekarang," akhirnya San-tok berkata.
"Kita harus cepat mengambil tindakan. Muridku ini, Lian Hong, telah berhasil mencari Giok-liong-kiam yang asli, dan aku telah menemukan rahasia yang disembunyikan di dalamnya."
Agaknya, baru sekarang semenjak bertemu dengan kedua orang rekannya, San-tok menceritakan hal itu. Hai-tok dan Tee-tok menjadi tertarik sekali.
"Apakah adanya rahasia itu?" tanya mereka hampir berbareng.
"Sebuah peta tempat penyimpanan harta karun," jawab San-tok sambil melirik ke arah Ci Kong.
"Akan tetapi, nanti saja kita bertiga mempelajarinya. Yang penting, sekarang kita harus membagi tugas." San-tok memandang kepada empat orang muda itu.
"Kami tiga orang tua bertugas mencari harta karun, dan kalian bertiga, Lian Hong, Kui Eng, dan Ci Kong, sebaiknya pergi ke Kota Raja dengan menyamar mencari keterangan tentang keadaan di sana, kalau mungkin, menyelidiki agar mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh pemerintah selanjutnya mengenai desas-desus tentang Giok-liong-kiam. Kita harus mengetahui rencana siasat pihak musuh agar kita tidak sampai terjebak dan terkepung seperti yang sudah-sudah. Diana tetap tinggal di sini."
"Suhu, kenapa aku tidak boleh ikut? Siapa tahu, akupun dapat membantu," kata Diana.
"Kemunculanmu hanya akan mendatangkan masalah baru, dan ilmu kepandaianmu masih terlalu rendah. Engkau tinggallah disini dan berlatih dengan giat. Aku akan mengajarkan sebuah ilmu yang dahsyat kepadamu."
"Luar biasa sekali melihat seorang gadis bule menjadi muridmu, Jembel Gunung!" kata Tee-tok.
"Biarlah akupun akan mengajarkan sebuah ilmu yang hebat kepadamu agar dapat kau latih di sini."
"Akupun akan mengajarkan sebuah," kata pula Hai-tok. Lenyaplah kekecewaan hati Diana, dan dia menjadi gembira sekali mendengar bahwa ia akan digembleng oleh tiga orang Kakek sakti itu!
Persiapan dilakukan, dan tiga orang Kakek itu lalu mengajarkan semacam ilmu silat kepada Diana. Tidak banyak, masing-masing hanya tiga jurus saja. Akan tetapi jurus-jurus ini adalah jurus pilihan yang lihai bukan main. Setelah Diana hafal akan semua jurus itu, hanya tinggal mematangkannya dalam latihan, tiga orang Kakek itu lalu berangkat meninggalkan guha di puncak Naga Putih. Ci Kong, Lian Hong dan Kui Eng juga berangkat, dan Diana yang ditinggalkan seorang diri itu tenggelam dalam latihan. Dua orang muda itu memang menarik perhatian. Bukan hanya pakaian mereka yang amat mewah dan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah kakak beradik yang kaya raya, akan tetapi juga wajah mereka yang amat elok itulah yang membuat semua orang menengok dan memandang ke arah mereka. Pemuda itu, dengan sikapnya yang halus, dan amat tampan.
Topinya yang indah menutupi rambut yang lebat hitam mengkilap, dikuncir besar dan panjang tergantung di punggungnya. Jubahnya yang panjang dan lebar itupun terbuat dan kain sutera halus, terhias kalung terbuat dan mutiara. Sepatunya mengkilap baru, dan tangan kirinya tidak terlepas dan sebuah kipas yang terlukis indah. Seorang pemuda terpelajar yang kaya raya, seorang kongcu (Tuan muda) yang membuat setiap orang wanita yang melihatnya, memandang kagum. Adapun gadis yang menemaninya, yang di-aku sebagai adiknya, adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, ditambah lagi dengan pakaiannya yang amat mewah, membuat ia nampak seperti seorang puteri istana saja. Rambutnya digelung tinggi ke atas dihias dengan perhiasan emas permata yang mahal, rambutnya dikepang dua dan diikat pita.
Kakak beradik yang kaya raya ini dikawal oleh seorang pelayan pria yang masih muda pula, berpakaian dan berwajah sederhana saja. Pelayan ini mendorong sebuah gerobak dorong yang terisi buntalan pakaian dan barang-barang yang menjadi bekal kakak beradik itu. Tak seorangpun akan mengira bahwa tiga orang ini sebenarnya adalah pendekar-pendekar muda yang memiliki ilmu silat tinggi sekali! Mereka itu adalah Ci Kong yang menyamar menjadi pelayan, Lian Hong yang menyamar sebagai pemuda tampan, dan Kui Eng yang menjadi gadis kaya raya. Mereka melakukan penyamaran dengan hati-hati sekali, karena wajah mereka bukan tidak dikenal. Dengan menambah tebal alis, dengan merubah warna kulit muka dengan obat, dan merubah pula tata rambut,
Wajah mereka memang berubah, dan siapakah yang akan menyangka bahwa kakak beradik yang kaya raya bersama pelayan mereka ini adalah tiga orang pendekar yang amat lihai? Tiga orang ini dapat melakukan penyamaran seperti itu berkat batuan Hai-tok yang menyerahkan sekantung emas kepada mereka. Dengan emas itu, mereka membeli perlengkapan dan perbekalan, dan melakukan perjalanan ke Kota Raja sebagai kakak beradik putera puteri keluarga kaya raya yang hendak berpesiar ke Kota Raja. Semenjak mereka melakukan perjalanan dalam penyamaran, yang sering merasa sial adalah Ci Kong. Dia kebagian peran seorang pelayan! Dan Kui Eng yang wataknya memang nakal itu sering kali memberi perintah yang bukan-bukan kepadanya di depan orang banyak, dengan maksud untuk menggoda!
Untung ada Lian Hong di situ yang bersikap serius, kadang-kadang menegur Kui Eng agar jangan keterlaluan dan menghibur Ci Kong, mengingatkan pemuda itu bahwa mereka dalam penyamaran dan harus dapat bersikap wajar. Pada suatu pagi, setelah turun dari kereta yang mereka sewa di luar pintu gerbang Kota Raja, kakak beradik ini memasuki pintu gerbang, berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri seperti dua orang yang menikmati pemandangan yang ramai di Kota Raja, diikuti oleh pelayan yang mendorong kereta. Hampir semua orang memandang ke arah mereka, bukan karena curiga, melainkan karena tertarik kepada kakak beradik itu, terutama sekali kepada gadis yang cantik jelita berpakaian mewah itu.
"Aih, koko, betapa indah dan ramainya Kota Raja!" kata Kui Eng dengan gaya manja kepada Lian Hong yang menyamar sebagai kakaknya. Suaranya merdu dan sikapnya memang dibuat-buat, sehingga Ci Kong yang berdiri mengusap peluhnya karena lelah mendorong kereta, menahan senyumnya. Orang-orang yang berada di dekat pintu gerbang, memandang penuh kagum, juga seorang penjaga yang berdiri dengan tangan kanan meraba gagang golok yang tergantung di pinggangnya, memandang kagum. Tidak ada sedikitpun kecurigaan terhadap kakak beradik yang kaya raya ini.
"Moi-moi, kita mencari rumah penginapan dulu, setelah istirahat, baru nanti kita ke luar berjalan-jalan dan melihat-lihat," jawab kakaknya dengan suara halus dan sambil bicara.
Lian Hong yang menyamar sebagai seorang kongcu itu mengipasi tubuhnya dengan kipas indah di tangan kiri. Kui Eng lalu melambaikan lengan bajunya yang lebar itu ke arah Ci Kong. Lagaknya memang meyakinkan sebagai seorang puteri hartawan, dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dahulu Kui Eng adalah puteri seorang kaya raya, yaitu hartawan Ciu Lok Tai di Tung-kang. Karena ia sendiri dahulunya puteri seorang hartawan kaya raya, tentu saja kini amat mudah baginya ketika menyamar menjadi seorang gadis kaya! Yang sukar dalam penyamaran itu adalah Lian Hong yang harus berperan sebagai seorang pemuda kaya. Bahkan Ci Kong juga merasakan kesulitan, karena biarpun dia bukan dan tidak pernah menjadi pemuda kaya, namun diapun belum pernah menjadi pelayan!
"Heii... Akong, lekas kau pergi mencari penginapan yang baik. Dua kamar untuk kongcu dan aku, dan engkau sendiri cari kamar pelayan di belakang!" perintah Kui Eng dengan gaya angkuh, akan tetapi pandang mata dan senyum dikulum itu mengandung godaan dan ejekan. Hampir saja Ci Kong marah, akan tetapi karena pada saat itu, banyak mata sedang memperhatikan mereka, terpaksa dia membungkuk dalam dan berkata penuh gaya dan nada menghormat.
"Baiklah, Siocia (nona)!" Diam-diam Ci Kong mendongkol sekali. Dia tidak suka disebut Akong, walaupun memang namanya Ci Kong. Dia ingin agar menggunakan nama lain, akan tetapi Kui Eng agaknya selalu lupa dan memanggilnya Akong, hal yang dia tahu tentu disengaja oleh gadis yang nakal itu, akan tetapi tentu saja dia tidak berani marah, pertama karena penyamarannya dan kedua karena dia memang tidak berani berbuat seperti itu terhadap seorang gadis. Lian Hong maklum bahwa kembali Kui Eng menggoda Ci Kong, maka sambil tersenyum iapun berkata.
"Tidak perlu kau mencari kamar, Akong. Biarlah kami yang mencarinya dan kau ikut saja dengan kami. Kalau aku tidak salah ingat, di tikungan jalan depan itu terdapat sebuah rumah penginapan yang namanya Kim-ke Li-koan (Penginapan Ayam Emas), entah masih ada di sana atau tidak." Karena tadi Kui Eng sudah menyebut nama Ci Kong dengan Akong, terpaksa Lian Hong juga menggunakan nama ini agar jangan menarik perhatian orang.
"Baik, kongcu," kata pula Ci Kong dengan sikap hormat. Kakak beradik itu berjalan perlahan-lahan diikuti oleh pelayan mereka yang mendorong kereta, diikuti pandang mata banyak orang yang merasa kagum. Benar saja, di sebelah kiri tikungan jalan itu, terdapat sebuah rumah penginapan yang cukup besar, bahkan satu di antara penginapan-penginapan terbesar di Kota Raja. Di depannya, selain terdapat tulisan Kim-ke Li-koan yang besar, juga terdapat sebuah patung ayam yang dicat emas. Melihat datangnya pemuda dan pemudi yang berpakaian mewah dan berwajah elok itu, para pelayan segera menyambutnya. Bahkan pengurus rumah penginapan itu sendiri keluar dan menyambut.
"Selamat datang, kongcu dan Siocia yang terhormat!" seru pengurus rumah penginapan sambil tersenyum ramah.
"Apakah ji-wi mencari kamar? Kami menyediakan kamar kelas satu untuk ji-wi"
"Terima kasih," kata Lian Hong.
"Kami membutuhkari dua kamar untuk aku dan adikku, dan sebuah kamar untuk pembantu kami." Lian Hong menunjuk ke arah Ci Kong yang kembali menghapus keringatnya dengan saputangan, usaha untuk menutupi sebagian mukanya dan juga untuk mencegah agar peluhnya tidak sampai membikin luntur warna kecoklatan yang dipoleskan pada muka dan lehernya.
"Baik, kongcu. Disini ada kamar-kamar untuk para pelayan, di belakang!"
"Tidak... kami ingin agar untuk pelayan kami disediakan kamar yang dekat dengan kamarku, agar kalau sewaktu-waktu kami membutuhkan tenaganya, kami akan dapat menghubunginya dengan mudah," kata pula Lian Hong, dan diam-diam Ci Kong mengerling ke arah Kui Eng, girang bahwa Lian Hong mendahului Kui Eng yang tentu akan menggunakan kesempatan itu untuk menggodanya lagi.
"Aih, engkau diberi kamar tamu, Akong. Hati-hati, kalau mau tidur harus mencuci kaki dan badanmu dulu, jangan sampai mengotorkan kamar tamu dan membikin malu kepada kami saja." Kui Eng masih sempat juga melontarkan godaan, dan biarpun hatinya mendongkol, Ci Kong mengangguk.
"Baik, Siocia."
Mereka lalu memperoleh tiga kamar yang berdekatan. Akan tetapi, walaupun memperoleh kamar yang sama sesuai dengan permintaan Lian Hong, tetap saja pelayanan yang diberikan oleh para pelayan terhadap Ci Kong, berbeda dengan pelayanan terhadap kakak beradik itu. Teh yang disuguhkan ke kamar mereka juga berbeda, teh untuk Ci Kong adalah teh nomor dua seperti yang biasa dibuat suguhan di kamar para pelayan. Juga untuk keperluan kakak beradik itu, pelayan-pelayan membawakan air panas untuk cuci muka, sedangkan Ci Kong disuruh ambil sendiri ke dapur. Diam-diam Ci Kong mendongkol juga. Bayaran untuk kamar-kamar itu sama, akan tetapi pelayanannya berbeda.
Semua itu karena kedudukan, pikirnya. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin dihormat. Penghormatan antara manusia merupakan penghormatan semu dan palsu belaka. Bukan manusianya yang dihormat, melainkan kedudukannya, kepandaiannya, kekayaannya. Bahkan lebih tepat lagi, yang dihormat adalah pakaiannya, karena pakaianlah yang menunjukkan keadaan seseorang. Buktinya, dia dan kedua orang gadis itu berkedudukan sama. Akan tetapi karena dia menyamar sebagai pengawal atau pelayan, sedangkan dua orang gadis itu menyamar sebagai orang-orang kaya, maka pelayanan dan penghormatan pun otomatis berbeda! Tidaklah mengherankan apabila manusia melihat bahwa penghormatan ditujukan kepada kedudukan, saling memperebutkan kedudukan ini!
Setelah malam tiba, rumah penginapan itu cukup ramai dan hampir semua kamar terisi. Tiga pasang mata yang tajam dari tiga orang pendekar itu dapat melihat bahwa di rumah penginapan itupun terdapat beberapa orang mata-mata yang mengamati setiap orang tamu. Mereka sendiripun tidak terluput dan pengamatan, akan tetapi karena mereka bersikap wajar dan royal ketika mereka memesan makanan malam, para pengamat itu mundur dengan sendirinya. Di antara para tamu terdapat lima orang laki-laki yang melihat sekelebatan saja, tiga orang pendekar itu dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang sembarangan, dan sikap mereka yang pendiam itu cukup mencurigakan. Juga mereka tahu bahwa para mata-mata itupun agaknya menaruh curiga terhadap lima orang itu.
"Hati-hati, kurasa akan terjadi sesuatu di sini," Ci Kong sempat berbisik kepada dua orang temannya. Kui Eng dan Lian Hong mengangguk maklum karena merekapun dapat merasakan hal itu. Dan peristiwa yang mereka duga-duga akan timbul itu memang terjadi malam itu. Secara tiba-tiba, sepasukan tentara yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang, mengurung rumah penginapan itu dan pemimpinnya seorang komandan muda yang gagah, diikuti oleh beberapa orang tentara, masuk dan pintu depan.
🖐
"Semua tamu berkumpul di ruangan tengah, kamar-kamar ditinggalkan kosong! Kami pasukan keamanan melakukan pembersihan!" bentak panglima muda yang gagah itu. Semua tamu menjadi panik, akan tetapi mereka segera meninggalkan kamar masing-masing.
Pengurus penginapan dan para pelayan juga segera memberi tahu kepada semua tamu yang sudah menutup pintu kamar agar meninggalkan kamar dan berkumpul di ruangan tengah, meninggalkan kamar mereka karena ada pembersihan. Lian Hong dan Kui Eng sudah mendengar keributan itu dan merekapun cepat membereskan penyamaran mereka dan keluar dan dalam kamar. Kiranya Ci Kong sudah keluar lebih dahulu, dan Ci Kong kelihatan ketakutan, sikap yang tepat sekali, karena hampir semua orang juga kelihatan ketakutan sehingga kalau dia, sebagai seorang pelayan, bersikap tenang, tentu hal ini malah akan menarik perhatian dan mendatangkan kecurigaan. Melihat dua orang kawannya keluar dan kamar, dan di situ terdapat para tamu yang hilir-mudik penuh kepanikan, Ci Kong mendekati mereka.
"Celaka, kongcu Siocia... eh, ada apa ribut-ribut ini, kukira ada kebakaran... akan tetapi tidak melihat api."
"Ihh, Akong... engkau memang tolol!" Kui Eng memperoleh kesempatan untuk menggodanya.
"Apa kau tidak mendengar pengumuman tadi? Ada pembersihan, bukan kebakaran!"
"Pembersihan? Apakah kamar-kamar akan dibersihkan? Kenapa kita harus keluar dan berkumpul di ruangan?" Ci Kong memegang lengan seorang pelayan yang sibuk mengatur agar para tamunya berkumpul di ruangan.
"Eh, Toako, apa sih artinya pembersihan ini?" Pelayan itu hendak menghardik, akan tetapi melihat kongcu dan Siocia yang berpakaian indah itu berada di situ, dia tidak jadi marah.
"Pasukan keamanan hendak memeriksa semua tamu dan kamar-kamarnya, mencari orang-orang jahat," jawabnya singkat dan diapun sudah pergi lagi.
"Sudahlah, Akong, mari kita berkumpul di ruangan dan jangan panik," kata Lian Hong.
"Nanti dulu, saya mau mengumpulkan barang-barang kita dulu," Ci Kong lalu berlari memasuki kamarnya dan keluar lagi membawa buntalan-buntalan besar yang siang tadi dibawanya dengan kereta dorong.
Dengan tubuh diganduli buntalan-buntalan itu, sehingga jalannya juga montang-manting, dia mengikuti dua orang majikannya pergi ke ruangan besar dimana telah berkumpul semua tamu yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang itu. Semua tamu memandang ke arah Kui Eng, karena kehadiran gadis yang demikian cantiknya memang merupakan hal yang merupakan hiburan besar bagi mereka yang sedang panik ketakutan. Ruangan itu dikepung oleh beberapa orang anak buah pasukan yang memegang golok di tangan kanan, dengan sikap galak mereka memandangi orang-orang itu. Setelah semua tamu berkumpul, masuklah ke ruangan itu komandan yang memimpin pasukan keamanan, dan diam-diam Ci Kong terkejut bukan main. Cepat dia berbisik di dekat Lian Hong dan Kui Eng.
"Lee Song Kim... murid Hai-tok..." Lian Hong dan Kui Eng mengerutkan alisnya. Mereka sudah mendengar dari Ci Kong siapa adanya Lee Song Kim ini. Seorang murid dari Hai-tok, murid tersayang, akan tetapi kemudian murid ini telah murtad, menjadi kaki tangan pemerintah Ceng, bahkan penggerebekan di guha-guha tepi pantai ketika Hai-tok mengadakan pesta itupun merupakan hasil pengkhianatan pemuda ini.
Lian Hong dan Kui Eng memperhatikan dan kebetulan pada saat itu, Song Kim yang sedang menyapu orang-orang yang dikumpulkan itu dengan pandang matanya, melihat Kui Eng dan wajahnya yang tampan nampak berseri, sinar matanya menjadi tajam. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dia tertarik sekali. Memang, siapa orangnya yang tidak akan tertarik kepada gadis yang cantik jelita itu? Apa lagi Lee Song Kim, pemuda yang berwatak kejam, cabul dan mata keranjang itu! Maka, kini dia melangkah menghampiri dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hati Ci Kong ketika melihat komandan muda itu kini memandang kepadanya, lalu ke arah buntalan-buntalan yang bergantungan di pundaknya. Tentu saja Ci Kong merasa khawatir kalau-kalau Song Kim mengenalnya. Memang baru dua kali dia bertemu dengan Song Kim.
Yang pertama ketika dia menyelamatkan Kiki di pantai yang akan diperkosa pemuda laknat itu. Akan tetapi walaupun mereka sudah berkelahi, ketika itu cuaca remang-remang dan Song Kim tentu tidak melihatnya dengan jelas. Pertemuan yang kedua kalinya juga hanya singkat saja. Agaknya Song Kim mengenalnya dan karena takut rahasianya di pantai dahulu itu dibuka, maka pemuda laknat itupun lalu melarikan diri. Kini, dia menyamar sebagai pelayan, dengan alis yang sudah dirubah bentuknya, dengan muka dan leher yang menjadi kecoklatan dan pakaian yang seperti seorang pelayan. Tak mungkin Song Kim mengenalnya. Akan tetapi melihat betapa komandan itu memandang kepadanya penuh perhatian, berdebar juga rasa jantung dalam dada Ci Kong! Karena berada di dekat Kui Eng, Song Kim hendak berlagak dan memperlihatkan kekuasaannya.
JILID 32
"Hei kau !" bentaknya sambil menuding ke arah Ci Kong.
"Apa yang kau bawa itu? Kenapa tidak ditinggal di kamar saja?" Dengan tubuh gemetar Ci Kong berkata.
"Maaf maafkan saya, Tuan besar. Saya saya mendengar ada orang-orang jahat, maka saya khawatir barang-barang ini hilang." Sudah menjadi kebiasaan para anak buah Song Kim kalau melakukan pembersihan, mereka itu benar-benar melakukan "Pembersihan" terhadap berang-barang berharga dan rumah yang sedang digeledah. Song Kim tahu akan hal ini, maka merasa diejek oleh ucapan laki-laki yang berpakaian pelayan itu.
"Apa kau bilang? Siapa penjahat?" Melihat betapa komandan muda itu marah-marah, Kui Eng yang sudah dapat menangkap pandang mata komandan itu tadi kepadanya, cepat melangkah maju.
"Maaf, Ciangkun. Barang-barang itu adalah milik kami, dan dia adalah pelayan kami. Akong, taruh saja barang-barang itu di atas lantai." Suara merdu ini membuat Song Kim memutar tubuhnya dan wajahnya berseri kembali. Tak disangkanya bahwa pelayan itu adalah pelayan wanita cantik ini. Pada saat itu, Lian Hong juga melangkah maju memberi hormat.
"Maaf, Ciangkun. Memang benar bahwa barang-barang itu milik adik saya dan saya, hanya bekal pakaian. Dia adalah pelayan kami, karena tidak tahu, tadi dia membawa barang-barang itu ke sini." Makin girang hati Song Kim mendengar hal itu. Wanita cantik itu adalah adik pemuda tampan ini. Mereka nampak kaya raya dengan pakaian mewah, pikirnya. Diapun balas menjura dan berkata.
"Ahh, tidak mengapa kalau begitu. Sebaliknya, maafkan kami kalau kami telah mengganggu. Kami hanya melaksanakan tugas, melakukan pembersihan karena di Kota Raja terdapat banyak orang-orang jahat yang menyelundup masuk."
"Ihhh, mengerikan!" Kui Eng berlagak dan dengan sikap manja memegang lengan kakaknya.
"Kalau begitu, kita cepat-cepat pulang saja..."
"Harap jangan takut, nona... kalau ada saya di sini, nona akan aman. Percayalah, saya akan menjaga keselamatan nona."
"Aih, Ciangkun sungguh baik hati sekali. Terima kasih, Ciangkun," kata Kui Eng dengan sikap manis, diiringi kerling tajam dan senyum dikulum. Tentu saja Lee Song Kim menjadi semakin tertarik. Kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin dia di saat itu juga merangkul dan menciumi muka yang cantik jelita itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan belasan orang prajurit mendorong-dorong lima orang laki-laki memasuki ruangan itu.
"Lee-Ciangkun, mereka ini hendak melarikan diri dari rumah penginapan!" seorang prajurit melapor.
"Apa? Kalian ini tentu mata-mata jahat! Hayo mengaku, kalian siapa dan mau apa berada di sini, mengapa pula hendak melarikan diri ketika datang pembersihan! Awas, kalau kalian tidak mau mengaku, kalian akan disiksa!" teriak Lee Song Kim, semakin angkuh saja karena dia sedang berlagak di depan wanita cantik. Semua orang mengira bahwa lima orang laki-laki itu tentu akan menjadi ketakutan dan minta ampun. Akan tetapi ternyata kenyataan sama tekali tidak demikian. Lima orang itu bahkan saling pandang, saling memberi isyarat dan tiba-tiba saja mereka maju menyerang Lee Song Kim. Perwira muda itu cepat mengelak dan menangkis, dan para tamu menjadi panik sekali. Ketika para prajurit hendak turun tangan, terdengar Song Kim berseru.
"Kalian jangan membantu, biarkan aku sendiri menghadapi lima ekor tikus ini! Dan para tamu semua jangan ribut, lihat... kusuguhkan tontonan yang menarik!" Lee Song Kim tentu saja bukan orang bodoh, dan ketika lima orang tadi bergerak menyerangnya, dia sudah dapat mengukur kemampuan mereka.
Mereka berlima itu hanyalah orang-orang yang mengandalkan tenaga besar saja, namun tidak memiliki ilmu silat yang berarti. Karena dia yakin akan mampu mengalahkan mereka, maka diapun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya untuk berlagak di depan para tamu penginapan, terutama sekali di depan Kui Eng yang telah menarik perhatiannya. Lima orang itupun nampaknya sudah nekat. Tempat itu sudah dikurung oleh pasukan yang bersenjata lengkap. Mereka tidak akan mampu melarikan lagi. Andaikata dapat membobol keluar kepungan, merekapun akan sulit untuk dapat keluar dan Kota Raja. Maka, kini mereka hendak nekat dan mengamuk, sebelum mereka roboh, mereka akan membunuh prajurit pemerintah sebanyaknya dan terutama sekali perwira muda ini.
Melihat betapa perwira muda itu melarang para prajurit mengeroyok, dan kini prajurit itu berdiri tegak dengan sikap sombong di tengah-tengah ruangan, lima orang itu lalu mengepungnya dan bergerak mengitarinya, mencari-cari lowongan untuk dapat menyerang si perwira yang sombong. Song Kim hanya berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum-senyum menghadap ke arah Kui Eng. Dan Kui Eng juga dengan cerdik sekali memasang sikap yang penuh kagum memandang kepada perwira itu. Tadi Lian Hong berbisik kepadanya bahwa mungkin sekali mereka bisa mendapatkan rahasia dan perwira muda itu. Maka, melihat betapa perwira itu tertarik kepadanya, Kui Eng sengaja hendak menjatuhkannya agar mereka dapat berkenalan dan terdapat kemungkinan mengorek keterangan dan perwira itu.
"Heiiittt!" Tiba-tiba seorang di antara lima orang laki-laki gagah yang berada di belakang tubuh Song Kim, menyerang dengan tubrukan. Kedua tangannya mencengkeram ke arah leher, agaknya hendak mencekik dan belakang. Seperti aba-aba saja, teriakan itu disusul oleh gerakan empat orang temannya yang juga sudah menyerang dari berbagai jurusan,
Ada yang mencengkeram, ada yang menghantam kepala ada pula yang menendang. Namun, Song Kim bersikap tenang saja. Tubuhnya bergerak, kedua kakinya melangkah ke sana-sini dengan amat gesitnya, dan serangan lima orang itu semua tidak mengenai sasaran. Lima orang itu merasa penasaran dan mereka melanjutkan serangan bertubi-tubi. Namun, dengan gin-kang yang istimewa, Lee Song Kim mengatur langkah-langkahnya dan semua serangan itupun gagal. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak. Para prajurit tertawa-tawa melihat betapa komandan mereka mempermainkan lima orang itu. Mereka semua sudah maklum akan kelihaian Lee Song Kim, dan kini mereka tahu bahwa komandan mereka itu sengaja mempermainkan lawan-lawannya dan memperlihatkan kebolehannya.
"Ha-ha, kalian kiranya hanya lima ekor tikus yang tiada gunanya! Kalian tentu mata-mata dan pemberontak, bukan?" sambil mengelak ke sana-sini, Song Kim berkata dengan suara lantang. Akan tetapi lima orang itu tidak menjawab, melainkan menyerang terus dengan penuh kegarangan. Mereka maklum bahwa mereka tentu akan mati semua, akan tetapi semangat mereka tidaklah mengendur dan walaupun mereka tahu bahwa perwira muda ini ternyata lihai bukan main, mereka tidak menjadi jerih dan tidak sudi untuk mengaku atau menyerah.
Sementara itu, Ci Kong memandang dengan jantung berdebar. Beberapa kali dia mengepal tinjunya. Liang Hong melihat ini dan diam-diam mengedipkan matanya mencegah agar pemuda itu tidak melakukan sesuatu. Ia sendiripun khawatir melihat lima orang itu, akan tetapi lima orang itu sungguh tak tahu diri. Dengan kepandaian seperti itu, mereka berani menjadi mata-mata memasuki Kota Raja! Kalau ia dan kawan-kawannya turun tangan menolong lima orang itu, berarti tugas mereka akan gagal dan mereka belum tentu dapat menyelamatkan lima orang itu keluar dari Kota Raja. Bahkan keadaan mereka bertiga sendiri akan terancam! Ci Kong mengerti akan hal ini, dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali melihat lima orang pejuang itu dipermainkan, namun dia hanya mengepal tinju dan mengertak gigi.
"Kalian tikus-tikus bandel. Rasakan ini!" Dan kini tiba-tiba Lee Song Kim menggerakkan tangan balas menampar.
"Plakk!" Seorang di antara para pengeroyok itu terplanting roboh tak mampu bangkit kembali. Tulang rahangnya patah-patah dan kini mukanya menggembung dan dia berkelojotan setengah pingsan. Dengan kecepatan yang luar biasa, Song Kim lalu berkelebatan membagi pukulan dan sekejap mata saja, empat orang pengeroyok lainnya juga roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Lee Song Kim tersenyum, menepuk-nepuk kedua tangan dan pakaiannya seperti orang membersihkan debu, mengerling ke arah Kui Eng.
"Nah, lihatlah, nona. Kalau ada penjahat-penjahat mengganggu nona, akan kurobohkan seperti itu." Lalu dengan suara galak, dia memerintahkan prajuritnya untuk menyeret lima orang itu dan memaksa mereka agar mengaku siapa mereka dan apa tujuan mereka menyelundup ke Kota Raja. Lee Song Kim lalu memerintahkan anak buahnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap semua tamu, juga kamar-kamar mereka.
"Kamar kongcu dan Siocia ini bersama pengawalnya tidak usah diperiksa, mereka adalah orang baik-baik," tambahnya. Kini Kui Eng menyembunyikan ketegangan hatinya dan iapun tersenyum kepada Lee Song Kim setelah tubuh lima orang itu digusur pergi.
"Aihh, Ciangkun sungguh gagah perkasa!" Ia memuji dan tentu saja Song Kim girang bukan main mendengar pujian ini, yang baginya merupakan tanda bahwa agaknya dia tidak bertepuk tangan sebelah karena nona inipun kagum kepadanya! Hal ini tidak mengherankan hatinya, karena sudah terbiasa bagi Song Kim bahwa setiap orang wanita akan kagum melihat ketampanan dan kegagahannya!
"Aihh, hal itu tidak ada artinya, nona. Mereka hanya tikus-tikus kecil tidak ada artinya. Biar ada lima puluh orang seperti mereka, aku akan mampu mengalahkan mereka semua. Kalau boleh aku berkenalan dengan kalian, siapakah nama nona dan siapa pula nama kakak nona, dimana ji-wi tinggal?" Kini Kui Eng memasang aksi malu-malu kucing.
"Ihh... Ciangkun tanya saja kepada kakakku ini." Kui Eng memang nakal. Sebetulnya, ia tidak suka bercakap-cakap dengan Song Kim dan kini ia sengaja mengoperkan tugas itu kepada Lian Hong! Terpaksa Lian Hong yang memberi keterangan.
"Nama saya Bi Seng dan adik saya ini bernama Bi Hwa, kami she Liem dan tinggal di Thian-cin, akan tetapi kedua orang tua kami sudah pindah dan kembali ke kampung kami, di luar kota Thian-cin. Orang tua kami dikenal sebagai Liem Wan-gwe di Thian-cin." Tentu saja semua itu hanya nama-nama khayal belaka. Lian Hong sengaja mempergunakan she Liem, she yang dipunyai banyak orang, dan di Thian-cin atau di kota manapun, sudah pasti terdapat Liem Wan-gwe (hartawan Liem), bukan hanya seorang saja.
"Ah, kiranya Liem-kongcu dan Liem-Siocia adalah orang-orang muda hartawan yang sedang pesiar ke Kota Raja, begitukah?" tanya Song Kim ramah. Dua orang itu mengangguk membenarkan.
"Saya bernama Lee Song Kim dan menjadi seorang komandan pasukan keamanan di Kota Raja." Kini para prajurit setelah selesai melakukan pemeriksaan, tentu saja dengan mengantongi barang-barang berharga seperti biasanya, sudah berkumpul di situ dan membuat laporan kepada Lee Song Kim bahwa semuanya beres, tidak ada yang mencurigakan di antara para tamu kecuali lima orang yang sudah ditangkap tadi. Song Kim menghadapi kakak beradik itu.
"Sungguh sayang bahwa terpaksa saya harus pergi menyelesaikan tugas. Sebetulnya masih ingin sekali saya bercakap-cakap dengan ji-wi yang ramah. Bagaimana kalau saya mengundang ji-wi untuk datang berkunjung ke rumah saya? Saya ingin mengundang ji-wi makan siang pada hari esok, dan saya sangat mengharapkan ji-wi tidak akan keberatan."
"Aih, Ciangkun sungguh baik sekali..." kata Kui Eng dengan suara merdu.
"Kami hanya akan mengganggu waktu yang berharga dari Ciangkun saja," kata Lian Hong, dengan sikap wajar orang yang sungkan.
"Tidak, sama sekali tidak, Liem-kongcu. Ji-wi tidak akan mengganggu, bahkan akan menyenangkan hati saya."
"Akan tetapi... tentu akan mengganggu Lee Hu-jin (Nyonya Lee)," kata pula Lian Hong. Lee Song Kim tertawa. Ketawa yang diatur agat kelihatan tampan dan sopan.
"Ha-ha-ha! Hu-jin mana yang akan terganggu? Saya masih belum mempunyai isteri, seperti juga Liem-kongcu dan Liem-Siocia..." Berkata demikian, Song Kim memandang wajah gadis itu dengan penuh tantangan, dan Kui Eng dengan cerdik dapat mengubah kemarahan menjadi sikap malu-malu dan iapun menundukkan mukanya yang menjadi merah. Bukan merah malu sebenarnya, melainkan merah karena marah.
"Baiklah kalau begitu, Lee-Ciangkun. Besok siang menjelang tengah hari, kami akan berkunjung ke rumah Ciangkun. Akan tetapi... dimanakah gedung tempat tinggal Ciangkun?" tanya Lian Hong.
"Tidak jauh dari istana!" kata Song Kim bangga.
"Di sebelah timur pintu gerbang utara. Kalau jiwi sampai di pintu gerbang istana sebelah utara dan bertanya kepada siapa saja dimana rumah komandan she Lee ini, tentu semua orang akan dapat menunjukkannya."
Mereka berpisah setelah sekali lagi Song Kim minta agar besok siang mereka benar-benar datang berkunjung. Setelah pasukan itu pergi, barulah semua tamu kembali ke kamar masing-masing dan barulah mereka yang merasa kehilangan barang-barang berharga itu berseru kaget. Akan tetapi, siapakah yang berani membuat ribut karena kehilangan itu? Sudah jelas bahwa pasukan yang memasuki dan menggeledah kamar mereka, hanya anak buah pasukan itu. Jelas bahwa pasukan itulah yang mencuri barang-barang berharga mereka. Ribut-ribut soal barang, jangan-jangan malah akan menyeret tubuh mereka masuk penjara. Karena itu, mereka yang kehilangan diam saja dan hanya mengeluh dan menangis. Setibanya di kamar Lian Hong, Kui Eng mengepal tinju.
"Bedebah keparat! Ihh, betapa ingin aku menampar mulutnya sampai remuk!"
"Tenanglah, Enci Eng. Siapa orangnya tidak muak melihat mukanya, akan tetapi kita harus pandai bersandiwara. Aku yakin bahwa engkau akan dapat mengorek rahasia penting dan orang she Lee itu..." kata Lian Hong.
"Hemm, enak saja engkau berkata demikian, Hong-moi, karena akulah yang menjadi perempuan dan menjadi incarannya. Bagaimana kalau sampai dia bersikap keterlaluan dan kurang ajar?"
"Kita hajar dan bunuh saja si keparat itu!" Tiba-tiba Ci Kong juga memasuki kamar Lian Hong berseru. Dia sudah sejak tadi menahan-nahan kedongkolan hatinya terhadap Lee Song Kim. Apalagi ketika dia mengingat betapa lima orang tadi, para pejuang, tentu akau tewas di bawah siksaan orang-orang komandan itu.
"Ci Kong, harap engkau bersabar pula. Memang tugas kita ini sukar sekali. Aku sendiripun lebih senang kalau melakukan tugas dimana kita hanya mempergunakan kaki tangan untuk melawan musuh. Akan tetapi tugas kita sekali ini adalah menggunakan otak, bersiasat dan harus cerdik, dan dapat menahan emosi. Kalau tidak, kita akan gagal sama sekali.
"Jangan kau khawatir, Enci Eng. Kalau dia hendak kurang ajar, engkau tentu dapat mencegahnya dengan sikapmu. Kalau dia bertindak kasar, hendak menggunakan kekerasan, selain engkau tidak takut kepadanya, di dekatmu ada aku dan Ci Kong."
"Hemm, kuharap saja dia bertindak kasar terhadap Kui Eng, agar aku dapat menghancurkan kepalanya!" kata pula Ci Kong. Pemuda ini biasanya pendiam dan sabar, akan tetapi peran yang dipegangnya selama ini membuat dia seringkali kehilangan kesabaran! Pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, dengan menumpang sebuah kereta sewaan, Lian Hong dan Kui Eng dikawal oleh Ci Kong, datang berkunjung ke rumah gedung Lee Song Kim. Tidak sukar menemukan rumah gedung mungil ini. Ternyata Lee Song Kim, dalam waktu singkat saja telah dapat merebut kedudukan yang baik, mendapat kepercayaan besar dari panglima pasukan keamanan, bahkan dia pernah diperkenalkan kepada kaisar sendiri oleh panglima itu dan menerima pujian kaisar.
Untuk kesempatan ini, Kui Eng mengenakan pakaian yang amat indah. Sutera biru muda itu, dengan hiasan sulaman emas dan merah, sungguh membuat ia nampak cantik bukan main.
Rambutnya digelung tinggi, dan sisanya diikat dengan pita, dikepang dua, dan ia memakai minyak wangi. Juga Lian Hong mengenakan pakaian baru, bahkan Ci Kong juga mengenakan baju yang baru sehingga walaupun bajunya itu masih menunjukkan bahwa dia hanya seorang pelayan, namun dia cukup bersih, bahkan tampan! Akan tetapi dia tidak lupa untuk menambah warna kecoklatan pada mukanya, lehernya dan kedua tangannya yang tidak tertutup pakaian. Karena kusir kereta sewaan tahu bahwa dia membawa penumpang yang menjadi tamu-tamu dan Lee-Ciangkun, maka dengan gembira dia memasuki kereta itu melalui pintu gerbang. Para prajurit yang berjaga di luar pintu, sudah diberitahu oleh Song Kim sehingga mereka menyambut kereta itu dan mempersilahkannya masuk tanpa melakukan pemeriksaan lagi.
Lee Song Kim sendiri yang keluar menyambut dari dalam gedungnya, dan melihat pemuda itu, hampir saja Ci Kong tertawa. Pemuda yang kemarin menjadi komandan dengan pakaian perwira yang gagah, berubah menjadi seorang pemuda pesolek! Wajahnya yang tampan nampak bersih sekali seperti dibedaki, alisnya jelas ditambahi penghitam alis, dan bibirnya juga memiliki warna merah yang tidak wajar! Benar-benar seorang muda yang pesolek! Topinya adalah topi yang biasa dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan, dan yang lucu adalah jubahnya. Jubah itu berwarna merah, berkembang dan bertuliskan huruf REZEKI, seperti yang biasa dipakai oleh bangsawan-bangsawan kaya raya dan berkedudukan tinggi, atau seperti pakaian seorang pengantin pria!
"Wah, sungguh saya merasa berbahagia sekali menerima kunjungan ji-wi. Sungguh ji-wi merupakan dua orang muda yang tepat memegang janji. Silahkan masuk, nona, silahkan, kongcu. Mari kita langsung saja ke ruangan makan, karena saya telah mempersiapkan hidangan untuk memberi selamat kepada ji-wi. Mari... silahkan! Dengan amat ramahnya, Lee Song Kim mengajak dua orang tamunya masuk ke dalam. Tanpa mengeluarkan suara apapun, Ci Kong mengikuti dua orang temannya, dengan sikap membungkuk-bungkuk seperti layaknya sikap seorang pelayan yang sungkan-sungkan dan malu-malu. Melihat betapa pelayan itu ikut masuk, Song Kim mengerutkan alisnya, akan tetapi dengan sikap ramah dia berkata kepada Lian Hong.
"Liem-kongcu, sebaiknya pelayanmu itu biar menanti di luar, nanti kusuruh pelayan-pelayanku untuk menjamunya."
"Maaf, Lee-Ciangkun. Kalau boleh, biarlah dia ikut untuk melayani kami. Dia pelayan kami sejak kecil, sehingga kami menganggapnya seperti keluarga sendiri saja, dan kami akan merasa kaku tanpa dia yang melayani. Dia harus selalu dekat kami agar mudah kalau sewaktu-waktu kami membutuhkan sesuatu." Lian Hong berkata dengan balus. Song Kim memandang ke arah Kui Eng, dan gadis inipun mengangguk.
"Benar, Ciangkun. Kalau tidak ada Akong yang melayani, kami akan merasa kaku."
Mendengar ucapan Kui Eng itu, terpaksa Song Kim membiarkan Ci Kong ikut masuk ke dalam gedungnya. Mereka langsung diajak memasuki ruangan makan dimana telah tersedia meja bundar yang besar, dan ruangan itu sudah terhias dengan indah, penuh dengan bunga-bunga dan kertas berwarna, seolah-olah tuan rumah memang mengadakan pesta saja. Yang menarik perhatian tiga orang pendekar muda itu adalah bahwa rumah itu benar-benar kosong, tidak ada anggauta keluarga Lee Song Kim, kecuali para pelayan yang terdiri dari pria-pria muda dan gadis-gadis muda, tampan dan cantik mereka itu. Song Kim mempersilahkan Lian Hong dan Kui Eng untuk duduk berhadapan dengannya di meja bundar,
Sedangkan Ci Kong yang tahu diri hanya berdiri di pinggiran, tidak berani mendekati meja, dan menonton saja betapa dua orang temannya itu mulai dijamu dengan hidangan-hidangan yang serba mahal dan lezat, dan diapun hanya melayani dengan menuangkan arak untuk kongcu dan Siocianya, lalu mundur lagi. Tentu saja beberapa kali dia harus menelan ludah sendiri melihat betapa dua orang itu makan dengan enaknya, bahkan Kui Eng yang nakal itu beberapa kali memuji-muji kelezatan makanan, terutama sekali bakmi dan bakso yang dihidangkan. Padahal mi bakso merupakan makanan kegemaran Ci Kong! Song Kim gembira bukan main mendengar pujian Kui Eng, dan dia menjamu kedua orang tamunya itu dengan sikap ramah. Setelah selesai makan, Lee Song Kim lalu mengajak dua orang tamunya itu menuju ke taman bunga di belakang ruangannya.
"Di dalam panas sekali, mari kita mencari angin di taman bungaku yang sedang penuh bunga, hawanya sejuk dan segar," katanya. Memang taman bunga itu indah, penuh dengan bunga-bunga beraneka warna dan taman itu terawat. Lian Hong memberi isyarat kepada Kui Eng dengan sentuhan tangan, lalu dara ini sengaja berkata sambil menuding ke arah belakang taman.
"Aihh, di sana ada sekumpulan bunga seruni yang paling kusuka. Lee-Ciangkun, bolehkah saya melihat-lihat ke sana?" Mendengar ini, Song Kim girang sekali. Pada saat itu, Kui Eng sudah duduk di atas sebuah bangku menikmati keindahan serumpun bunga mawar di depannya.
"O... tentu saja boleh, silahkan, Liem-kongcu! Silahkan!"
"Marilah, Akong, kau temani aku melihat-lihat bunga seruni di sana!" kata Lian Hong sambil lalu, kemudian bersama Ci Kong meninggalkan Kui Eng berdua saja dengan tuan rumah. Memang ia sengaja melakukan ini untuk memberi kesempatan kepada Kui Eng bercakap-cakap berdua saja dengan tuan rumah, sehingga Kui Eng akan dapat berusaha mengorek keterangan dan perwira muda itu. Setelah berada di bagian belakang kebun, di kumpulan bunga seruni yang sedang mekar semerbak itu, Ci Kong mengomel.
"Lian Hong, apakah tidak berbahaya meninggalkan Kui Eng berdua saja dengan laki-laki hidung belang itu?"
"Ssttt, jangan begitu, Ci Kong. Dia akan mampu berbuat apa terhadap Kui Eng? Jangan lupa, Kui Eng memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan kita, dan kurasa ia akan mampu mengendalikan Lee Song Kim kalau laki-laki itu akan melakukan hal yang tidak pantas. Pula, kita berada di sini, tidak begitu jauh, bukan? Biarlah Kui Eng memperoleh kesempatan untuk menguras keterangan darinya."
Ci Kong diam saja, hanya alisnya berkerut. Dia tahu benar siapa adanya perwira muda itu. Seorang laki-laki yang amat keji, bahkan sumoinya sendiri, Kiki, hampir saja menjadi korban kekejiannya dan diperkosanya. Mengingat akan hal itu, dia benci sekali terhadap Song Kim, dan kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin dia pada saat itu juga menyerang Song Kim dan membunuhnya! Sementara itu, Kui Eng yang mengerti bahwa dua orang kawannya itu sengaja membiarkan ia berdua dengan tuan rumah agar ia dapat mencoba untuk mengorek rahasia, segera berkata.
"Aihh, begini indah taman bungamu, Ciangkun. Duduk di sini, aku merasa seolah-olah dunia ini begini indah dan aman tenteram. Akan tetapi kalau aku teringat akan peristiwa malam tadi, aku merasa ngeri. Lee-Ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka engkau dan pasukanmu harus melakukan pembersihan seperti itu?" Sejak tadi Song Kim memandang gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang amat cantik jelita. Dan kaya raya pula! Kalau dia dapat mempersunting gadis ini, alangkah akan senang hatinya. Bukan saja mendapatkan seorang isteri yang cantik manis, akan tetapi kaya raya pula!
"Ah, keadaan sekarang amat kacau, nona. Di luar tempat ini banyak berkeliaran orang jahat dan mata-mata pemberontak."
"Pemberontak? Aih, aku sudah banyak mendengar tentang itu, Ciangkun. Dari Ayahku, aku banyak mendengar tentang Perang Candu di selatan, dan tentang orang-orang kulit putih, tentang pemberontakan-pemberontakan yang timbul.
"Bhkan sebelum aku berangkat, aku mendengar Ayah mendongeng tentang sebuah pusaka yang diperebutkan, harta pusaka yang amat besar nilainya, dan kabarnya harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang sakti yang kabarnya akan dipergunakan untuk pemberontakan. Benarkah itu?" Diam-diam Song Kim terkejut mendengar ini, akan tetapi ketika dia melihat wajah yang polos itu, dia tidak jadi curiga dan diapun maklum bahwa berita tentang Giok-liong-kiam yang terjatuh ke tangan Empat Racun Dunia sudah tersebar luas. Dia sendiripun sedang berusaha mati-matian, dengan menyebar mata-mata dan kaki tangannya, untuk mengamati para tokoh itu. Pemerintah sudah bertekad untuk merampas harta pusaka yang tersimpan rahasianya dalam pedang pusaka Giok-liong-kiam. Dan gadis ini tentu hanya mendengar hal itu seperti dongeng saja.
"Memang benar! Ada harta karun yang amat besar nilainya, kini terancam akan terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang hendak mengadakan pemberontakan."
"Ihhh! betapa mengerikan kalau sampai mereka berhasil, menguasai harta itu dan mengadakan pemberontakan, tentu keadaan negara akan menjadi kacau. Dan mungkin keluargaku harus mengungsi ke Kota Raja. Aku akan minta kepada Ayah untuk mengungsi ke Kota Raja. Akan tetapi kami tidak mempunyai rumah disini."
"Jangan khawatir, nona. Aku yang akan menampung keluargamu kalau keluargamu benar-benar ingin mengungsi ke Kota Raja..." katanya dengan senyum dan pandang mata memikat.
"Tapi, Ciangkun. Kalau pemerintah sudah tahu akan hal itu, kenapa pemerintah tidak turun tangan? Kenapa tidak mengirim pasukan dan merampas saja harta pusaka itu agar jangan terjatuh ke tangan para pemberontak?" Dengan cerdik, Kui Eng memancing dengan sikap bodoh dan tidak mengenal persoalan.
"Ah, engkau tidak mengerti, nona. Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Kalau pusaka itu berada di tangan penjahat-penjahat biasa, tentu akan mudah. Akan tetapi keadaannya tidaklah demikian."
"Lee-Ciangkun, engkau membikin aku menjadi bingung. Maukah engkau bercerita untuk melengkapi dongeng dari Ayah? Siapa sih yang menguasai harta pusaka itu, dan kenapa kau bilang bahwa tidak mudah untuk merampas agar harta itu tidak dipergunakan memberontak?" Song Kim tersenyum.
"Sebetulnya ini rahasia yang tidak boleh kuberitahukan orang lain."
"Aih, kalau Ciangkun menganggap aku orang lain, bukan sahabat baik, tak usah diceritakan..." kata Kui Eng sambil cemberut. Song Kim semakin tertarik. Kalau cemberut, gadis ini menjadi semakin manis saja. Memang Kui Eng memiliki kelebihan di sekitar mulutnya. Mulut itu manis sekali, sehingga dalam keadaan bagaimanapun, cemberut atau tersenyum, tetap saja nampak manis.
"Kukatakan tadi, kepada orang lain tidak boleh kuceritakan, kalau kepadamu sih tidak apa-apa, nona. Akan tetapi sebelum aku bercerita, engkau harus berjanji dulu."
"Baik, aku berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain!"
"Ha-ha, bukan itu, nona. Akan tetapi berjanjilah bahwa besok malam engkau dan kakakmu akan datang menghadiri pesta yang akan kuadakan di dalam taman ini. Yang akan hadir hanyalah rekan-rekan dan tokoh-tokoh di Kota Raja. Maukah engkau berjanji akan hadir?" Biar disuruh berjanji apapun, tentu Kui Eng akan menyanggupi, karena ia ingin sekali mendengar rahasia yang sudah berada di ujung bibir tuan rumah ini.
"Baiklah, kalau tiada halangan sesuatu, aku dan koko akan hadir besok malam."
"Nah, sekarang akan kuceritakan kepadamu, dan biarlah aku duduk di dekatmu agar suara bisikanku dapat kau dengar, nona. Hal ini tidak boleh didengar orang lain." Tanpa menanti persetujuan Kui Eng, pemuda itu lalu duduk di dekat Kui Eng, di atas bangku! Kui Eng terkejut. Dalam keadaan biasa, ia tentu akan marah sekali. Akan tetapi ia hanya menggeser tubuhnya agak minggir agar jangan terlalu dekat dengan tubuh pemuda itu yang bau harum semerbak karena terlalu banyak memakai minyak wangi.
"Nona Liem, pusaka yang diperebutkan itu merupakan sebuah pedang pusaka yang disebut Giok-liong-kiam. Dahulu pedang itu diperebutkan karena dianggap sebagai lambang kegagahan, dan siapa yang memiliki pedang itu dianggap sebagai jagoan nomor satu di dunia persilatan. Akan tetapi kemudian, orang mendapat kabar bahwa pedang itu menyembunyikan rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar! Perebutan menjadi lain lagi sifatnya. Pemerintah juga mendengar bahwa harta karun itu akan dipergunakan oleh orang-orang jahat untuk membiayai pemberontakan. Oleh karena itu, pemerintah sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa pedang itu terjatuh ke tangan Empat Racun Dunia, yaitu tokoh tokoh dunia persilatan."
Diam-diam Kui Eng merasa geli mendengar ini. Kalau saja pemuda perwira ini tahu bahwa ia adalah murid Tee-tok dan Lian Hong murid San-tok, bahkan Ci Kong yang menjadi pelayan itu adalah murid Siauw-lim-pai, tentu Song Kim akan dapat mati berdiri saking kagetnya. Semua yang diceritakan itu tentu saja diketahuinya dengan baik.
"Kalau sudah diketahui, kenapa pemerintah tidak mempergunakan pasukan saja untuk menangkap mereka dan merampas pedang itu?" Ia berkata untuk memperlihatkan bahwa ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Song Kim tersenyum lebar.
"Wah, tidak semudah itu, nona. Engkau tahu siapa adanya Empat Racun Dunia itu. Mereka adalah orang-orang yang sakti seperti iblis, dan tidak mudah menangkap mereka. Pemerintah sudah turun tangan, mencoba untuk menyerbu tempat tinggal dua orang di antara mereka, namun hanya mampu membuat sarang mereka kocar-kacir, akan tetapi tidak mampu menangkap mereka."
"Ihh...!" Kui Eng pura-pura kaget.
"Mengerikan sekali! Kalau begitu, apakah pemerintah harus diam saja membiarkan mereka mendapatkan harta karun dan mempergunakan harta itu untuk memberontak?" Perwira itu menggeleng kepala dan tersenyum.
"Kami tidaklah sebodoh itu, nona. Kini kami sudah menyebar mata-mata dimana-mana, mengawasi gerak-gerik mereka. Bahkan kami akan membiarkan Empat Racun Dunia itu mencari dan menemukan harta pusaka itu lebih dahulu.
"Setelah ditemukan, barulah kami akan menyergap mereka dan merampas harta pusaka itu. Kalau kini kami merampas Giok-liong-kiam pun percuma saja, kami belum tentu akan bisa mendapatkan rahasia tersembunyi yang menunjukkan tempat penyimpanan harta karun itu." Diam-diam Kui Eng terkejut bukan main, akan tetapi juga girang. Kiranya pemerintah mempunyai siasat seperti itu! Ia harus cepat-cepat memberitahukan hal itu kepada gurunya. Akan tetapi, gurunya sudah pergi bersama San-tok dan Hai-tok! Mungkinkah orang-orangnya pemerintah akan dapat membayangi tiga orang Kakek itu? Ia tidak percaya ada orang-orang mampu membayangi mereka tanpa mereka ketahui. Betapapun juga, berita ini amat penting.
"Nah, begitulah. Jangan kau khawatir, nona. Pemerintah tidak akan tinggal diam bersandiwara dan mengambil sikap malu, dan adalah menjadi tugas kewajibanku untuk merampas harta karun itu."
"Aih, kiranya engkau memiliki kedudukan yang amat penting dan tugas yang amat berat, Lee-Ciangkun. Kuharap saja engkau akan berhasil." Song Kim bangkit berdiri.
"Aku pasti akan berhasil berkat doamu, Liem-Siocia! Engkau sungguh baik sekali mendoakan aku, dan untuk tanda terima kasihku, terimalah setangkai bunga mawar ini sebagai tanda persahabatan dan terima kasih!" Lee Song Kim memetik setangkai bunga mawar merah dan memberikannya kepada Kui Eng! Gadis ini tentu saja merasa marah di dalam hatinya, karena pemberian setangkai bunga mawar dapat diartikan pernyataan cinta. Akan tetapi ia malu.
"Aihhh, mana aku berani menerimanya, Ciangkun?" iapun nampak malu-malu. Pada saat itu, Lian Hong dan Ci Kong sudah kembali dari belakang taman, dan melihat betapa Lee Song Kim merayu Kui Eng yang duduk kemalu-maluan, Ci Kong memandang dengan mata melotot. Dia teringat bahwa Song Kim adalah seorang penjahat cabul yang suka mempermainkan wanita, dan kini penjahat itu merayu Kui Eng. Ingin dia meloncat dan menerkam pemuda jai-hwa-cat itu. Song Kim memetik bunga mawar untuk diberikan kepada Kui Eng, dan perbuatannya memetik bunga mawar itu mengingatkan Ci Kong akan kelakuannya sebagai seorang jai-hwa-cat (pemetik bunga atau pemerkosa)!
Melihat betapa Ci Kong memandang dengan mata melotot, Lian Hong lalu menyentuh lengannya dan mengedipkan matanya, bermaksud menyabarkan pemuda itu. Lian Hong merasa betapa hatinya tidak enak. Ada rasa iri di dalam hatinya. Ia mengira bahwa Ci Kong cemburu dan ini menandakan bahwa Ci Kong mencinta Kui Eng! Karena tangannya ditarik-tarik dan ketika dia menoleh dia melihat Lian Hong mengedipkan mata dan tersenyum, Ci Kong teringat lagi akan peran yang dipegangnya, dan diapun bersikap biasa lagi, akan tetapi dia batuk-batuk. Mendengar batuk-batuk ini, Kui Eng bangkit berdiri tanpa menerima bunga mawar itu, dan Song Kim juga memutar tubuhnya sambil tersenyum.
"Ah, apakah Liem-kongcu sudah menikmati bunga-bunga seruni itu?" tanyanya, sedikitpun tidak merasa malu walaupun dia tahu bahwa sikapnya terhadap Liem-Siocia yang merayu tadi tentu ketahuan oleh pemuda itu dan pelayannya.
"Sudah cukup, Lee-Ciangkun. Tamanmu memang indah sekali."
"Liem-kongcu, adikmu tadi telah menyanggupi dan berjanji akan datang pada pesta yang akan kuadakan besok malam di taman ini!" Lian Hong memandang kepada Kui Eng dan gadis inipun mengangguk.
"Benar, koko. Lee-Ciangkun mengundang kita dan aku sudah menyanggupi. Tentu pesta itu akan meriah sekali." Lian Hong pura-pura menarik napas panjang.
"Ah, sebetulnya besok malam aku ingin mengajakmu nonton wayang. Akan tetapi karena kau sudah berjanji kepada Lee-Ciangkun, baiklah, kita akan datang besok malam." Lian Hong lalu berpamit dan menghaturkan terima kasih kepada Song Kim dan berjanji besok malam akan hadir dalam pesta itu. Song Kim dengan gembira sekali mengantar mereka sampai ke luar gedung, beberapa kali matanya yang tajam itu menatap ke wajah Kui Eng, akan tetapi selalu menunduk dan pura-pura tidak melihat isyarat yang terpancar dari pandang mata itu. Setelah tiba di rumah penginapan, Ci Kong mengepal tinju.
"Bedebah! Engkau harus berhati-hati terhadap jai-hwa-cat itu, Kui Eng!"
"Huh, memangnya kenapa?" Kui Eng mengejek.
"Apa kau kira aku akan mudah begitu saja jatuh terhadap bujuk rayu seekor buaya seperti dia? Akan tetapi, dia telah menceritakan sesuatu yang amat penting bagi kita!"
"Aih, benarkah engkau berhasil, Enci Eng? Apa yang diceritakannya?" Kui Eng lalu menceritakan tentang segala yang didengarnya dan Song Kim. Lian Hong terkejut bukan main mendengar bahwa pemerintah
sengaja hendak membiarkan Empat Racun Dunia menemukan harta karun, baru akan disergap.
"Aih. kalau begitu... aku harus cepat-cepat memberitahukan suhu!"
"Tenanglah, Hong-moi. Tadinya ukupun terkejut dan berpikir seperti engkau. Akan tetapi, kukira tidak perlu tergesa-gesa. Andaikata benar dia mengirim mata-mata untuk menyelidiki dan mengamati semua gerak-gerik guru-guru kita, akan tetapi siapakah yang akan mampu membayangi gurumu, guruku, dan juga Locianpwe Hai-tok?
"Aku tidak percaya akan ada yang mampu membayangi dan mengikuti mereka tanpa mereka ketahui. Sebaiknya kalau kita menanti sampai besok malam. Siapa tahu besok malam kita akan mendengar hal-hal penting lain lagi." Ci Kong mengangguk-angguk.
"Kui Eng benar. Memang perjalanan tiga orang Locianpwe itu tak mungkin dapat dibayangi orang tanpa mereka tahu. Agaknya pemerintah belum tahu bahwa rahasia itu sudah berada di tangan ketiga Locianpwe yang sekarang sedang mencarinya."
"Akan tetapi engkau jangan seperti yang sudah-sudah, memperlihatkan muka marah terhadap Lee Song Kim!" kata Lian Hong.
"Habis, aku benci sekali melihat tampangnya!" kata Ci Kong sebal.
"Aih, kalau engkau bersikap seperti itu, apa artinya kita bertiga susah-susah melakukan penyamaran?" Kui Eng mencela.
"Kita harus dapat bersikap cerdik dan menahan emosi, Ci Kong. kau kira bagianku ini ringan dan mudah? Huh, kau tidak tahu betapa muaknya aku duduk di dekatnya, dan hidungku penuh dengan bau wangi-wangi itu. Rasanya ingin muntah saja!" Mendengar ini, Lian Hong tertawa dan Ci Kong juga tertawa.
"Baik, maafkanlah aku, Kui Eng. Biar aku mengaku bahwa dalam penyamaran ini, engkaulah yang paling berhasil, dan engkaulah yang paling berjasa." Ci Kong menjura.
"Cih, siapa minta dipuji!" Kui Eng mendengus dengan sikap manja dan kembali Lian Hong tertawa. Diam-diam Lian Hong menduga-duga, apakah di antara kedua orang muda ini terdapat jalinan cinta kasih di luar kesadaran mereka. Ia sendiri merasa kagum dan suka kepada Ci Kong.
Akan tetapi cinta? Ia sendiri tidak tahu, karena ia tidak mengerti bagaimana sesungguhnya cinta itu. Malam itu, di taman bunga di belakang gedung Lee Song Kim, sudah dihias dengan meriah. Lampu-lampu gantung dipasang di pohon-pohon dan di tiang-tiang sehingga suasana dalam taman itu cukup terang dan amat indah. Meja-meja diatur di antara rumpun-rumpun bunga, dan tamu yang jumlahnya kurang lebih dua puluh lima orang sudah menuju meja-meja yang diatur dengan nilai seni yang tinggi di antara bunga-bunga yang harum. Song Kim memang sengaja menjamu para rekan dan pembantunya sambil mengumpulkan laporan mereka, dan tentu saja karena diapun ingin menyenangkan kakak beradik Liem yang baru dikenalnya itu.
Ketika Lian Hong, Kui Eng dan Ci Kong muncul, dia sendiri yang menyambut tamu baru ini dan mengantar mereka ke sebuah meja yang memang sudah sejak sore tadi dia persiapkan untuk Kui Eng dan kakaknya. Bahkan untuk Ci Kong disediakan sebuah bangku yang ditaruh tidak terlalu jauh dari meja itu. Serombongan pemain musik berikut penyanyi-penyanyinya memeriahkan suasana dalam pesta kecil itu. Dan keramaian ini, tak dapat dicegah lagi mengundang kerumunan banyak penonton di luar pagar taman. Mereka adalah penduduk di sekitarnya yang ingin nonton keramaian, mendengarkan musik dan nyanyian. Penjaga-penjaga yang berjaga di luar taman mencegah mereka mendesak terlalu dekat pagar dan mengamati mereka agar jangan ada yang mengadakan kekacauan mengganggu pesta Lee-Ciangkun.
"Aih, Liem-Siocia sungguh pantas sekali memakai pakaian merah muda," demikian sambutan Song Kim yang pandai merayu ketika dia mengantar kakak beradik ini ke sebuah meja yang dipersiapkan untuk mereka, agak di pinggir. Karena para penonton di luar pagar itu berada di tempat gelap, maka wajah mereka tidak begitu nampak sehingga tidak akan mengganggu para tamu yang berada di dalam taman. Suasana meriah sekali dengan adanya musik suling dan yang-kim yang mengikuti suara nyanyian merdu. Suara ini diseling dengan suara ketawa, suara beradunya cawan arak dan sumpit pada mangkok, dan suara orang bicara. Setelah menyalami para tamunya satu demi satu, bicara sambil bersendau-gurau dengan mereka, akhirnya Lee Song Kim duduk menemani Lian Hong dan Kui Eng.
"Aih, biarpun hanya kecil-kecilan, lelah juga mempunyai kerja pesta seperti ini, harus melayani dan menjumpai para tamu. Aku lebih senang duduk disini bersama ji-wi," katanya sambil menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa akhirnya dia dapat duduk di dekat Kui Eng.
"Pestamu ini biarpun kecil tapi meriah sekali, Ciangkun. Hidangannya serba istimewa dan lezat." Kui Eng memuji.
"Hemm, araknya sedap." tambah Lian Hong.
"Ah, terima kasih atas pujian ji-wi. Sebetulnya, dalam kesempatan ini aku ingin bicara urusan penting sekali dengan Liem-kongcu dan Liem-Siocia, akan tetapi, hemm... sukar sekali mengatakan isi hatiku." Song Kim nampak meragu.
"Ciangkun, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, kenapa masih ragu-ragu dan sungkan lagi?" Kui Eng sengaja memancing dengan sikap berani.
"Kalau Ciangkun hendak bicara, katakanlah, kami siap mendengarkan," tambah Lian Hong sambil menduga-duga, persoalan penting apakah yang akan dibicarakan oleh tuan rumah itu. Song Kim kembali ragu-ragu, akhirnya menarik napas panjang.
"Nanti dulu, biar aku mengajak paman Loa ke sini, dia adalah wakilku dalam segala hal penting. Harap ji-wi suka tunggu dulu, aku mau menghubungi paman Loa dan bicara dengan dia. Sebentar aku kembali dan memperkenalkan dia dengan ji-wi." Berkata demikian, Song Kim bangkit lagi, menjura dan meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata tiga orang muda itu yang melihat betapa Song Kim berhenti-henti di meja-meja tamu karena ditegur oleh para tamu. Ci Kong yang sejak ladi merasa tidak enak, kini bangkit dan menghampiri meja, berkata lirih sekali kepada Kui Eng.
"Hati-hatilah, jangan terlalu ramah kepadanya. Engkau seperti memberi hati kepadanya, dan aku khawatir, dia akan melakukan hal yang bukan-bukan terhadap dirimu." Melihat betapa Ci Kong kelihatan cemburu, Kui Eng tertawa dan menutupi mulutnya dengan gaya genit dibuat-buat. Lalu ia menuding ke arah mangkok di depannya.
🖐
"Nah, kau lihat, masakan yang satu ini lezat bukan main. Mau coba?"
Ia lalu mengambilkan potongan-potongan daging dan sayur, memasukkannya ke dalam sebuah mangkok kosong dan memberikannya kepada Ci Kong. Pemuda ini mendongkol sekali, akan tetapi karena tiba-tiba dia melihat betapa ada mata dari balik pagar, mata para penonton di luar mengamati mereka, diapun terpaksa menerima mangkok itu, duduk kembali ke atas bangkunya dan melanjutkan makan. Di depannya terdapat meja kecil biarpun hanya makan sendirian, diapun tadi menerima hidangan di atas meja itu. Memang lezat hidangan yang disuguhkan Kui Eng, berbeda dengan masakan yang berada di depannya. Kembali dia merasa mendongkol. Agaknya, hidangan untuknya adalah hidangan kelas dua saja, berbeda dengan hidangan untuk Kui Eng dan Lian Hong yang kelas satu!
Sikap Kui Eng memberi makanan kepada Ci Kong tadi, ternyata memang diikuti oleh sepasang mata yang menjadi milik seorang gadis yang bersembunyi di antara para penonton di luar pagar. Sepasang mata yang tajam sekali, mata seorang gadis yang berpakaian serba hitam sehingga tidak begitu nampak di dalam kegelapan, apalagi di antara banyak penonton. Gadis ini berpakaian serba hitam dan ringkas, rambutnya awut-awutan sebagian menutupi mukanya. Agaknya disengaja untuk menyembunyikan mukanya ketika ia menyusup di antara penonton untuk ikut menonton pesta di taman itu. Siapakah adanya gadis yang berada di luar pagar taman itu? Ia bukan lain adalah Tang Ki atau Kiki, puteri Hai-tok Tang Kok Bu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kiki datang ke Kota Raja membawa kitab-kitab lama dan telah berhasil menyerahkan kitab-kitab itu kepada Pangeran Ceng, bahkan ia kemudian diangkat saudara oleh Ceng Hiang, puteri Pangeran Ceng. Setelah mempelajari sebuah kitab pelajaran silat peninggalan Tat Mo Couw-su yang sudah diterjemahkan oleh Pangeran Ceng, Kiki lalu pulang ke Pulau Naga untuk membuat laporan kepada Ayahnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika Kiki melihat pulau itu sudah kosong dan ia bertemu dengan seorang bekas anak buahnya yang mengabarkan bahwa pulau itu sudah diserbu oleh pasukan pemerintah yang banyak jumlahnya sehingga terpaksa Hai-tok melarikan diri ke darat.
"Siapa lagi kalau bukan si laknat Song Kim yang melakukan ini!"
Kiki mengepal tinju dan dengan hati penuh kemarahan, ia kembali ke Kota Raja dengan niat untuk mencari Song Kim dan membalas dendam! Biarpun tadinya ia sudah dicegah oleh Ceng Hiang yang mengatakan bahwa seorang diri saja tak mungkin ia memusuhi Song Kim yang memiliki pasukan besar, namun kemarahannya membuat gadis ini nekat. Demikianlah, ia melakukan penyelidikan ke rumah Lee Song Kim pada malam itu, dan kebetulan sekali pada malam hari itu, Lee Song Kim mengadakan pesta kecil di taman bunganya. Kiki menyusup di antara para penonton di luar pagar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika ia mengenal Ci Kong berada pula di antara para tamu, akan tetapi pemuda itu mengenakan pakaian seperti seorang pelayan, melayani dua orang tamu, seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan.
Dengan heran, ia melihat pula Song Kim bercakap-cakap dengan gadis dan pemuda itu, dan Ci Kong hanya memandang dengan sikap seorang pelayan. Ia menduga bahwa tentu gadis cantik itu merupakan pacar Song Kim, karena sikap gadis itu demikian memikat dan sikap Song Kim demikian penuh bujuk rayu. Ketika Song Kim meninggalkan meja itu, dan ia melihat betapa gadis cantik dan yang pakaiannya jelas merupakan seorang gadis yang amat kaya raya itu mengambilkan makanan dalam mangkuk dan memberikannya kepada Ci Kong, dengan sikap yang genit, ia merasa benci sekali kepada gadis itu! Biarpun ia tidak dapat mendengarkan percakapan mereka, namun di bawah sinar lampu, ia melihat betapa sikap gadis cantik itu genit sekali, dan sebaliknya Ci Kong nampak kesal dan menahan kemarahan. Huh, seorang gadis yang tidak mengenal malu sama sekali, pikir Kiki.
Ia seorang gadis yang cukup berakal. Tidak mau ia menurutkan nafsu kemarahan lalu menyerbu ke tempat itu. Ia tahu betapa lihainya Song Kim, dan tentu tempat itu penuh dengan teman-teman Song Kim yang lihai. Dan melihat hadirnya Ci Kong di situ, iapun terheran-heran. Apakah pemuda Siauw-lim-pai itu kini telah terpikat dan menjadi sekutu Song Kim? Sungguh celaka kalau begitu. Akan tetapi, ia tidak percaya dan ia melihat bahwa pemuda itu menyamar sebagai seorang pelayan. Wajahnya menjadi demikian kehitaman, kulitnya berubah dan setelah ia memandang lebih teliti, ia melihat pula bahwa wajah pemuda itu agak berubah. Ia tadi, seketika mengenal Ci Kong dari sinar matanya. Jarang ada orang memiliki mata seperti itu, dan sekali pandang saja, ia mengenal mata itu dan tahu bahwa orang itu adalah Tan Ci Kong!
Tentu pemuda itupun seperti ia, melakukan penyelidikan dan kini berhasil menyusup di antara tamu dengan jalan menyamar! Ah, kenapa ia tidak melakukah hal secerdik itu? Kalau ia menyamar lalu dapat berdekatan dengan Song Kim dan tiba-tiba menyerang, tentu ia akan berhasil membunuh manusia laknat itu! Sementara itu, tak lama kemudian muncul lagi Song Kim, kini bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang berpakaian seperti seorang sasterawan. Laki-laki ini bermuka sempit dan meruncing seperti muka tikus, dengan mata sipit, akan tetapi sikapnya demikian menarik dan merendahkan diri, menjilat-jilat seperti seekor anjing yang mencari muka pada majikannya. Song Kim tersenyum ketika memperkenalkan laki-laki itu.
"Inilah paman Loa, Liem-kongcu dan Liem-Siocia. Dia adalah orang kepercayaanku dan suka kuutus untuk mengerjakan hal-hal yang teramat penting. Paman Loa, inilah Liem-Siocia dan kakaknya Liem-kongcu."
"Ah, kongcu dan Siocia yang mulia, mata yang tua ini sungguh beruntung sekali dapat bertemu dan melihat wajah Siocia yang cantik seperti bidadari dan kongcu yang tampan. Semoga ji-wi diberi berkah panjang umur dan banyak rejeki!" katanya sambil menjura dengan dalam sekali sampai dahinya hampir menyentuh tanah. Biarpun merasa sebal, Lian Hong dan Kui Eng membalas penghormatan orang ini dan Ci Kong hampir saja tertawa saking geli hatinya.
"Aih, engkau terlalu memuji, paman Loa," kata Lian Hong. Akan tetapi mata yang sipit itu kini memandang wajah Ci Kong dan agaknya dia dapat melihat bahwa Ci Kong merasa geli hatinya.
"Dan dia ini, orang yang gagah ini siapakah?" tanyanya sambil menuding ke arah Ci Kong.
"Dia adalah Ci Kong, pelayan kami," kata Lian Hong dengan cepat.
"Hah, seorang pelayan? Pelayan ji-wi? Baik sekali! Sobat Akong, harap engkau dapat menikmati makan minum disini, dan kenallah aku sebagai Loa Lo-ya (tuan tua Loa), dan jangan khawatir, nanti kuberi bekal beberapa hadiah untukmu." Tentu saja Ci Kong merasa sebal sekali, akan tetapi dia tidak berarti memperlihatkan sikapnya, hanya mengangguk tanpa bicara. Walaupun sikap ini dianggap kurang hormat, tanpa ucapan terima kasih, namun orang she Loa itu agaknya tidak menjadi kecil hati. Dengan sikap ramah, dia lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan mereka.
"Harap ji-wi maafkan kehadiran saya ini, akan tetapi sesungguhnya saya merasa amat kasihan kepada Lee-Ciangkun yang minta kepada saya untuk bicara dengan ji-wi. Lee-Ciangkun merasa sungkan untuk bicara sendiri, maka mengutus saya untuk mewakilinya bicara dengan ji-wi, terutama dengan Liem-Siocia. Sebelumnya harap Siocia sudi memaafkan saya. Tentu Siocia cukup baik hati untuk dapat memaafkan seorang tua seperti saya ini kalau saya lancang bicara, bukan?" Hati Kui Eng semakin sebal. Laki-laki ini amat cerewet, pantasnya bukan laki-laki, melainkah seorang nenek-nenek. Akan tetapi ia memaksa diri tersenyum.
"Tidak mengapa, paman. Bicaralah, dan kepentingan apakah yang hendak disampaikan Lee-Ciangkun melalui paman?" Berkata demikian, Kui Eng memandang ke arah Lee Song Kim, dan perwira muda itu kelihatan malu-malu! Tentu saja sikap Lee Song Kim ini hanya aksi belaka, walaupun tak dapat disangkal bahwa dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis hartawan ini, bukan sekedar timbul berahi melihatnya seperti biasanya kalau dia melihat gadis cantik.
"Begini, Liem-Siocia. Dan Liem-kongcu, maafkan kalau saya lancang mengajak adikmu bicara."
"Tidak mengapa... bicaralah, paman," kata Lian Hong.
"Hemm... sebelumnya, saya ingin bertanya, apakah ji-wi ini merupakan kakak beradik berdua saja? Maksud saya, apakah tidak ada saudara yang lain?"
"Kami hanya berdua saja," kata Kui Eng, hatinya sebal akan tetapi juga geli melihat sikap menjilat-jilat seperti itu.
"Dan berapakah usia Liem-Siocia tahun ini? Shio apa?" Kui Eng mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia teringat bahwa ia sedang bermain sandiwara, maka iapun menjawab.
"Usiaku tahun ini sembilanbelas tahun, shio Kelenci."
"Wah, sembilanbelas tahun, shio Kelenci! Sungguh tepat! Sama benar! Lee-Ciangkun juga berusia sembilanbelas tahun, mungkin beberapa bulan lebih tua karena beliau shio Harimau." Kui Eng mengerutkan alisnya. Sejak tadi ia sudah merasa muak dan tidak senang kepada orang ini, akan tetapi ditahan-tahannya.
"Hemm, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan menanyakan usia segala itu?" Orang she Loa itu agaknya tidak tahu bahwa gadis itu sudah marah, dan dengan mulut masih menyeringai, memperlihatkan gigi yang keropos dan hitam-hitam karena biasa menghisap tembakau dan madat, dia berkata.
"Maksud baik sekali, Siocia. Maksud yang suci dari Lee-Ciangkun. Maaf, kami yakin bahwa Siocia tentu belum bertunangan dengan pria lain bukan?" Kui Eng kini maklum kemana tujuan percakapan itu. Kiranya Lee Song Kim bermaksud untuk meminangnya. Hampir saja ia tertawa dan merasa betapa lucunya. Ia berperan sebagai gadis kaya dan sengaja memikat perwira itu agar membocorkan rahasia negara, tidak tahunya perwira itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan ingin meminangnya menjadi isterinya! Biarpun hatinya merasa semakin sebal, ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan orang she Loa itu. Orang she Loa itu makin memperlebar senyumnya sehingga semua gigi yang kehitaman itu nampak.
"Bgus sekali! Ciangkun kita inipun masih belum pernah menikah. Saya diberi tugas untuk mengajukan pinangan kepada orang tua Liem-Siocia, akan tetapi sebelum itu, Lee-Ciangkun ingin sekali memperoleh keyakinan lebih dahulu bahwa Siocia masih belum ada yang punya, dan bahwa Siocia dan kongcu sudah menyetujui. Dan kau , sobat... harap kau suka membantu kami dan suka menceritakan hal yang baik-baik dari Lee-Ciangkun kepada Liem wan-gwe sekeluarga di sana." Berkata demikian, orang she Loa ini sudah mengeluarkan tiga keping uang emas dan memberikannya kepada Ci Kong dengan sikap yang royal sekali. Ci Kong sudah tidak mampu menahan kemarahannya. Penyamaran itu sudah melampaui batas kesabarannya karena dihadapkan dengan suasana yang amat menyinggung kehormatan dan perasaannya.
"Makanlah sendiri!" bentaknya sambil menolak tangan yang menyerahkan uang ini dan tangan kirinya menyambit dengan sebuah mangkok.
"Prokk!" Mangkok berisi sayur-sayuran itu melayang dan tepat menghantam mulut orang she Loa yang sedang terbuka. Demikian kerasnya sambitan itu sehingga mangkok itu memaksa masuk ke mulut, masuk separuhnya dan kuahnya muncrat memenuhi muka. Orang she Loa itu kebingungan, hanya mengeluarkan suara "Ak-ak-uk-uk", berusaha melepaskan mangkok dan mulutnya, dan darah mengucur keluar bersama kuah karena giginya telah patah semua, juga bibirnya hancur.
Kui Eng dan Lian Hong melihat hal ini, maklum bahwa penyamaran mereka bertiga tiada gunanya lagi. Kui Eng hendak melampiaskan rasa sebalnya kepada Song Kim yang juga terbelalak karena heran dan kagetnya melihat betapa pelayan tamu-tamunya itu tiba-tiba menyerang orang kepercayaannya seperti itu. Maka tanpa banyak cakap lagi, Kui Eng juga sudah menubruk ke depan dan menyerang Song Kim dengan pukulan yang kuat sekali ke arah dada! Makin kagetlah rasa hati Song Kim karena dia melihat betapa kuatnya pukulan gadis yang menjatuhkan hatinya itu menuju dadanya. Dia cepat menangkis karena betapapun dia masih memandang rendah dan tidak percaya bahwa gadis itu dapat memiliki kepandaian tinggi, ketika menangkis dia hanya menggunakan setengah saja dan tenaganya.
"Dukkk!" Dan akibat dari penggunaan tenaga yang hanya setengahnya itu, tubuh Song Kim terdorong dan terlempar ke belakang, menabrak semak-semak di belakangya!
Barulah dia kaget setengah mati dan maklum bahwa ternyata gadis kaya raya itu memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Cepat dia berteriak kepada para pengawal karena kini dia dapat menduga bahwa tiga orang tamunya ini adalah musuh-musuh yang melakukan penyelidikan dengan menyamar! Dan diapun kini sudah teringat bahwa wajah pelayan itu seperti pernah dilihatnya. Ketika dia memandang dan bertemu pandang dengan mata Ci Kong, jantungnya berdebar keras dan kini teringatlah dia! Pemuda itu yang pernah menolong Kiki! Ah... betapa bodohnya dia karena tergila-gila kecantikan gadis kaya raya yang mengaku sebagai Liem-Siocia itu, dia seperti telah menjadi buta dan tidak menaruh curiga kepada mereka.
Lee Song Kim bersuit keras dan segera pasukannya datang mengepung, juga di antara para tamu terdapat para pembantunya dan rekannya yang pandai ilmu silat, sehingga sebentar saja, Ci Kong, Lian Hong dan Kui Eng sudah dikepung. Dan kini, melihat gerak-gerik Liem-kongcu, Song Kim dapat melihat pula bahwa pemuda yang mengaku sebagai pemuda hartawan itu adalah seorang wanita! Pantas begitu tampan dan halusnya! Apalagi ketika dia melihat Lian Hong sudah mengeluarkan sebatang kipas, diapun dapat menduga bahwa gadis itu tentulah murid San-tok! Kui Eng juga sudah mencabut sebatang pedang yang tadinya disembunyikan di balik bajunya yang mewah dan lebar panjang. Hanya Ci Kong yang tidak biasa mempergunakan senjata, kini bersiap siaga dengan kedua tangan kosong saja.
"Tangkap mata-mata, hidup atau mati!" bentak Lee Song Kim sambil mencabut pedangnya. Tiga orang muda itu lalu dikeroyok dan mereka pun mengamuk. Begitu mereka bergerak, enam orang prajurit pengawal roboh! Tentu saja Song Kim merasa kaget sekali dan dia makin yakin bahwa tiga orang ini adalah orang-orang yang lihai, mungkin diutus oleh Empat Racun Dunia untuk melakukan penyelidikan. Dan mengingat betapa dia sudah menceritakan rahasia dan rencana pemerintah terhadap Empat Racun Dunia, dia menjadi semakin gelisah.
JILID 33
"Kepung, jangan biarkan mereka lolos!" katanya, dan diapun menerjang ke arah Ci Kong. Murid Siauw-lim-pai itu mengelak."Jahanam busuk seperti engkau ini harus dilenyapkan dari dunia!" bentak Ci Kong. Kini Song Kim tidak merasa ragu lagi. Inilah pemuda yang sudah dua kali menolong dan membantu Kiki menghadapinya pertama kali di pantai, dan kedua kalinya di hutan ketika dia menyerang Kiki di depan Ceng Hiang itu.
Maka marahlah dia dan pedangnya diputar dengan cepat, diapun menyerang secara bertubi-tubi ke arah Ci Kong yang harus mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, betapapun lihainya tiga orang pendekar muda itu, kini kepungan menjadi semakin ketat karena datangnya sejumlah pasukan pembantu. Mereka bertiga kini dikepung oleh rekan-rekan Song Kim yang merupakan jagoan-jagoan Kota Raja yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga tidak semudah ketika merobohkan para prajurit tadi bagi tiga orang pendekar itu. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, keadaan mereka tentu akan terancam bahaya. Mereka berada di Kota Raja, dan kalau terus menerus datang balatentara berupa pasukan-pasukan, dan jagoan-jagoan Kota Raja, mereka akan terancam malapetaka.
"Mari kita pergi!" teriak Ci Kong kepada dua orang gadis itu. Akan tetapi bicara mudah, tetapi melaksanakannya yang sukar, karena kepungan para jagoan itu ketat sebali. Apalagi di luar kepungan para jagoan itu masih terdapat kepungan pasukan yang berlapis-lapis! Tiba-tiba terjadi keributan di luar kepungan, dan kepungan para pasukan itu menjadi kacau-balau dan membuyar. Kiranya ada orang yang mengamuk di sebelah luar kepungan dan membuyarkan kepungan ini. Melihat betapa kepungan itu terbuka, Ci Kong, Lian Hong dan Kui Eng tidak mau menyia-nyiakannya. Itulah jalan keluar, dan mereka lalu menggerakkan kaki tangan membuat para pengeroyok mundur, dan mereka lalu meloncat dan menerobos kepungan yang sudah terbuka dan membuyar itu.
"Kejar! Tangkap mereka!" bentak Song Kim sambil mengejar. Rekan-rekannya juga ikut mengejar, demikian pula para prajurit. Keadaan menjadi kacau-balau. Para rerajurit lari ke sana-sini, bersimpang siur karena mereka tentu saja tidak dapat mengejar tiga orang muda yang berloncatan dengan cepatnya itu dan tidak tahu harus mengejar kemana. Yang dapat mengejar dan tidak tertinggal terlalu jauh hanyalah Lee Song Kim dan beberapa orang rekannya saja. Melihat betapa Lee Song Kim dan beberapa orang jagoan Kota Raja terus mengejar, Ci Kong segera berkata kepada dua orang gadis itu.
"Kita harus berpencar, mengambil jalan masing-masing, dan kita laporkan semua hasil penyelidikan kita kepada suhu masing-masing." Dua orang gadis itu setuju, dan Lian Hong berkata.
"Biar aku mengambil jalan utara, Enci Eng mengambil jalan timur, dan Ci Kong melalui pintu selatan. Selamat berpisah!" Lian Hong lalu memutar tubuhnya utara, Kui Eng juga lari ke timur, dan Ci Kong membalik ke arah selatan. Melihat betapa tiga orang itu berpencar, Song Kim menjadi bingung. Akan tetapi dasar mata keranjang, dia berpikir bahwa yang terpenting adalah menawan Kui Eng, maka diapun terus melakukan pengejaran terhadap Kui Eng tanpa memperdulikan yang lain. Para rekannya juga terpencar, ada yang mengejar ke utara, ada yang ke selatan. Akan tetapi mereka itu merasa jerih terhadap orang yang mereka kejar, sehingga ketika Lian Hong dan Ci Kong berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka tidak melanjutkan pengejaran mereka.
Demikian pula dengan Song Kim. Tak disangkanya bahwa Kui Eng dapat berlari cepat sekali, meloncati pagar tembok yang amat tinggi dan keluar dari Kota Raja. Dia merasa jerih karena khawatir kalau-kalau di luar tembok Kota Raja, gadis itu mempunyai kawan-kawan yang lihai, sedangkan dia hanya seorang diri saja. Maka dengan uring-uringan, dia kembali ke Kota Raja untuk mempersiapkan pasukan besar, dan dengan pasukan ini dia akan melakukan pengejaran dan pencarian. Kui Eng berlari secepatnya dan malam yang gelap membantunya. Setelah tiba di luar kota Tang-san, di tepi Kanal Besar yang menyambung aliran Sungai Huang-ho dan Yang-ce-kiang di selatan, sampai ke Tang-san dekat Kota Raja, malam sudah menjadi pagi.
Ia merasa lega bahwa tidak nampak seorangpun pengejar lagi dan iapun berhenti di tepi sungai kanal itu untuk beristirahat. Matahari naik semakin tinggi di timur dan Kui Eng lalu bangkit dari istirahatnya, bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Karena tidak merasa perlu menyamar lagi, ia menanggalkan pakaian mewah yang hanya merupakan pakaian sebelah luar saja, sedangkan di dalam adalah pakaiannya yang biasa dan iapun melepaskan sanggulnya dan mengikat rambutnya dengan pita. Kini ia berubah menjadi seorang gadis kang-ouw yang suka melakukan perjalanan jauh seorang diri, berpakaian ringkas. Pakaian gadis kaya itu ia lemparkan ke dalam air sungai, dan perhiasan-perhiasan emas permata yang tadinya dipakainya, ia simpan ke dalam saku bajunya.
"Kau perempuan genit menjemukan!" Tiba-tiba terdengar ada orang membentak. Kui Eng terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran karena yang membentak itu adalah seorang wanita. Ketika ia membalikkan tubuhnya, ternyata di depannya telah berdiri seorang gadis yang sebaya dengannya, cantik manis dan gagah, akan tetapi sinar matanya menunjukkan bahwa gadis itu galak dan sedang marah. Tentu saja Kui Eng yang juga memiliki watak galak dan keras hati itu, menjadi merah mukanya, ketika datang-datang, gadis yang tak dikenalnya itu memakinya.
"Eh, eh, apakah engkau ini orang gila?" Ia membalas.
"Datang-datang memaki orang!" Gadis itu bukan lain adalah Kiki! Malam tadi ia berada di antara kerumunan penonton di luar pagar taman bunga Lee Song Kim. Melihat bekas suhengnya, orang yang hampir saja memperkosanya, ia sudah marah sekali. Akan tetapi ia tidak bodoh dan tidak mau dengan nekat menyerang di tempat itu. Dan hatinya semakin mendongkol melihat sikap gadis cantik berpakaian mewah itu yang jelas memikat Song Kim dengan gerak-geriknya, dan juga melihat betapa gadis itu bersikap demikian akrab dan manis terhadap Ci Kong! Kenapa Ci Kong mau bersahabat dengan gadis yang sudah lirak-lirik dan senyum-senyum terhadap Lee Song Kim itu?
Ketika terjadi keributan, Kiki hanya melihat betapa Ci Kong menyerang laki-laki bermuka tikus itu dan kemudian timbul perkelahian di dalam taman. Ia mengira bahwa tentu penyamaran Ci Kong ketahuan. Ia menjadi bingung. Untuk meloncat dan membantu di dalam, amat berbahaya, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat membiarkan Ci Kong dikepung dan dikeroyok begitu saja tanpa membantu. Maka, melihat kepungan yang ketat, ia lalu mengamuk di sebelah luar kepungan, menyerang para prajurit pengawal yang mengepung sehingga bagian itu buyar dan terbuka, kemudian ia sendiri cepat melarikan diri karena berada terlalu lama di situ dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia berlari cepat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Kemudian, dengan gerakannya yang lincah, iapun lari keluar dan pintu gerbang sebelah timur.
Kiki tidak tahu bahwa Kui Eng juga melarikan diri melalui pintu sebelah timur, maka ketika agak jauh dari pintu gerbang itu, ia melihat Kui Eng berlarian, diam-diam ia membayangi dan jauh. Ia merasa heran dan terkejut melihat betapa gadis yang berpakaian mewah dan bersikap genit itu dapat berlari secepat itu. Rasa penasaran membuat ia membayangi terus. Dan pada pagi hari itu, melihat Kui Eng membuang pakaiannya dan berganti pakaian, Kiki muncul dan begitu muncul ia lalu memaki gadis itu karena masih teringat olehnya betapa gadis yang kelihatannya suka kepada Song Kim dan membalas rayuannya itu, juga agaknya mempergunakan kecantikannya untuk merayu Ci Kong. Kiki adalah seorang gadis yang berdarah panas, seperti juga Kui Eng. Ketika mendengar Kui Eng memakinya gila, iapun marah sekali!
"Engkaulah yang gila, engkau gila laki-laki!" bentaknya, dan Kiki sudah mencabut pedangnya. Kui Eng terkejut melihat gadis yang galak itu mencabut pedang, terkejut dan juga merasa penasaran sekali. Gadis ini sungguh amat menghinanya, mengatakan ia gila laki-laki! Kalau bukan gadis yang miring otaknya, tentu seorang gadis yang menjadi mata-mata dari pemerintah dan sengaja mencari perkara atau... ah, kini ia dapat menduganya. Agaknya gadis ini adalah pacar dan Lee Song Kim yang merasa cemburu melihat ia bergaul dengan akrab bersana perwira muda itu!
"Persetan! kau kira aku takut melihat pedangmu yang seperti pisau dapur itu?" bentaknya.
"Makanlah pisau dapur ini!" Kiki balas membentak dan ia pun menyerang dengan dahsyat sekali. Pedangnya mengeluarkan mendengung, berubah menjadi kilatan sinar yang menyilaukan mata, menyambar ke arah leher Kui Eng.
"Ihhh...!" Kui Eng terkejut bukan main, dan cepat ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali untuk menyelamatkan diri, tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis galak itu memiliki ilmu pedang yang demikian hebat dan berbahayanya. Maka iapun cepat mencabut pedangnya sendiri. Kiki tersenyum mengejek.
"Engkau jerih menghadapi pisau dapurku?"
"Tak perlu banyak cerewet, agaknya engkau sudah bosan hidup! Lihat pedangku!" Kui Eng membentak marah dan iapun cepat memainkan Ilmu Tongkat Ciu-beng Hek-pang dengan pedangnya. Ilmu tongkat yang dimainkan dengan pedang itu menjadi aneh sekali, dan Kiki yang diserang secara bertubi-tubi dengan gaya yang aneh namun amat berbahaya itu, juga terkejut. Iapun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis yang pandai berlari cepat itu, ternyata juga amat lihai ilmu pedangnya, lihai dan aneh pula. Kiki adalah seorang gadis yang amat cerdik. Begitu berkelahi selama belasan jurus saja, tahulah ia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai dan memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di bawah tingkatnya sendiri!
Sayang bahwa ia belum sempat melatih ilmu barunya Hui-thian Yan-cu, dan agaknya kalau ia menandingi lawan ini dengan ilmu-ilmu dari Ayahnya, biarpun belum tentu ia kalah, namun takkan mudah ia memperoleh kemenangan. Gadis lawannya ini memiliki ilmu pedang yang aneh dan cepat, juga memiliki tenaga sin-kang yang sama sekali tak boleh dipandang ringan. Kiki lalu menggunakan akal, dan ketika Kui Eng menyerang dengan tusukan cepat sehingga pedangnya menjadi sinar menyambar, ia sengaja meloncat ke kanan agak jauh sehingga ia terpeleset dan jatuh ke bawah! Akan tetapi ia jatuh berdiri di dalam air di tepi sungai kanal itu. Air hanya menjilat sampai ke lututnya. Melihat Kui Eng menjenguk dan atas, ia tersenyum mengejek.
"Perempuan genit, beranikah engkau turun kesini dan melawanku di sini!" tantangnya. Kui Eng merasa mendapat angin. Ia telah berhasil membuat lawannya terjatuh ke bawah, dan biarpun lawan itu belum terluka, sedikitnya hal itu menunjukkan bahwa ia berhasil mendesaknya. Mendengar tantangan itu, tentu saja ia menjadi marah.
"Kenapa tidak berani? Sampai ke api nerakapun untuk melawanmu, aku tidak akan takut!" bentaknya sambil meloncat turun dan memutar pedangnya. Kiki menyambut sambil tersenyum.
"Bersiaplah untuk minta ampun setelah kau kubenamkan ke dalam air!"
Sambil berkata demikian, ia terus saja menyerang dan ternyata gerakannya luar biasa gesitnya, padahal mereka berkelahi dengan tubuh terendam air sampai setinggi lutut. Kui Eng cepat menangkis dan diam-diam gadis ini terkejut sekali. Kenapa setelah berada di air, lawannya menjadi semakin ganas dan gesit? Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya adalah puteri Hai-tok (Racun Lautan) yang sejak kecil sudah biasa berkecimpung di dalam air! Gadis ini memang mempunyai ilmu di dalam air yang istimewa! Ia lebih berbahaya kalau berada di air dari pada di darat! Karena gerakan kakinya terganggu oleh air, tidak seperti Kiki yang enak saja berloncatan di air, Kui Eng segera terdesak hebat. Juga air yang berombak itu membuat Kui Eng menjadi gugup.
"Heh-heh... sebentar lagi engkau akan kupaksa bertiarap di dalam air!" Kiki mengancam dan mengejek. Pada saat yang gawat bagi Kui Eng itu, tiba-tiba muncul Ci Kong di tepi sungai kanal.
"Heiiii... tahan dulu. Hentikanlah perkelahian itu, kalian adalah teman-teman sendiri...!" teriak Ci Kong sambil mengangkat kedua lengannya ke atas dan lari menghampiri dua orang gadis yang berkelahi mati-matian itu. Melihat munculnya Ci Kong, dua orang gadis itu menahan pedang mereka dan menoleh, memandang kepada Ci Kong dengan alis berkerut.
"Huh! Teman sendiri? Aku tidak merasa mempunyai teman seperti ini!" Kata Kiki marah.
"Akupun tidak mempunyai teman yang miring otaknya ini!!" Kui Eng balas memaki.
"Sabarlah, tenanglah. Dan kalian naiklah ke sini, nanti aku yang akan memberi keterangan yang jelas!" Dua gadis itu berloncatan naik, akan tetapi masih memegang pedang masing-masing, karena kalau keterangan Ci Kong tidak memuaskan, mereka akan melanjutkan perkelahian yang belum ada ketentuannya siapa menang siapa kalah itu. Ci Kong memandang kepada mereka dan tersenyum. Tentu saja dia mengenal watak kedua orang gadis ini. Watak yang galak dan lincah, ganas kalau sudah marah, namun keduanya memiliki kegagahan seperti pendekar wanita, walaupun keduanya adalah puteri dan murid datuk-datuk sesat!
"Kenapa kau senyum-senyum, Ci Kong!" Kui Eng membentak, masih marah sekali karena tadi hampir saja ia celaka karena dipancing dengan perkelahian di air.
"Awas, Ci Kong, kalau engkau berat sebelah, aku takkan sudi mendengar penjelasanmu, dan kau boleh membantunya untuk mengeroyokku, aku tidak takut!
"Huh! Siapa akan mengeroyok? kau kira aku takut kepadamu?" Kui Eng membentak marah.
"Aihh tenanglah, dan dinginkan dulu kepala kalian. Hati boleh panas akan tetapi kepala harus dingin. Sekarang aku akan bertanya lebih dulu kepadamu, Kui Eng. Kenapa engkau sampai berkelahi dengannya?"
"Ia yang mulai! Aku melarikan diri sampai ke sini dan beristirahat. Eh... ia tahu-tahu muncul dan memaki-makiku. Siapa tidak menjadi marah! Bahkan ia menantangku, tentu saja kulayani!" kata Kui Eng dengan suara lantang penuh kemarahan. Ci Kong kini menghadapi Kiki.
"Dan bagaimana dengan engkau, Kiki? Benarkah apa yang dikatakan Kui Eng tadi? Dan mengapa pula engkau datang-datang memaki-maki padanya dan menantang berkelahi?" Kiki cemberut.
"Semalam aku melihat gadis ini memikat hati Lee Song Kim. Tentu ia pacarnya! Ketika engkau membuat ribut di taman itu dan terkepung, aku mengacau dari luar sehingga kepungan membuyar dan engkau dapat melarikan diri.
"Aku sudah berada di luar Kota Raja ketika aku melihat gadis ini berlari-larian. Aku yakin ia melakukan pengejaran terhadap dirimu, gadis ini tentu pacar Lee Song Kim. Maka aku lalu memaki dan menantangnya!" Kiki tentu saja tidak mau menceritakan bahwa sikap Kui Eng terhadap Ci Kong dalam taman itu yang akrab, dan memberikan sayur dan daging dalam mangkuk yang membuat ia merasa cemburu dan marah! Mendengar keterangan dua orang gadis itu, Ci Kong tertawa.
"Ha-ha, kiranya hanya karena salah paham saja, dan salah sangka ini timbul darimu, Kiki. Ketahuilah bahwa ia ini adalah Kui Eng, murid tunggal dari Tee-tok Locianpwe! Dan Kui Eng, ia adalah Tang Ki, puteri tunggal dari Locianpwe Hai-tok.
"Ayah dan guru kalian bekerja sama sebagai sahabat dalam satu perjuangan, dan kalian saling hantam sendiri. Bagaimana ini? Kiki, engkau salah sangka dan sepatutnya kalau engkau mengaku salah dan mina maaf." Akan tetapi Kiki mengerutkan alisnya, biarpun ia terkejut juga mendengar bahwa lawannya itu adalah murid tunggal Tee-tok!
"Akan tetapi, ia... ia kulihat begitu akrab dengan Song Kim, musuh kita!"
"Tentu saja! Ketahuilah bahwa kami bertiga, aku, Kui Eng, dan Lian Hong bertugas melakukan penyelidikan ke Kota Raja. Kui Eng ini menyamar sebagai seorang gadis kaya raya, Lian Hong menyamar sebagai kakaknya, dan aku sendiri menyamar sebagai pelayan mereka. Kami bertemu dengan Song Kim dan melihat dia tertarik kepada Kui Eng, maka kami pergunakan kelemahannya untuk mengorek rahasia pemerintah.
"Dan kami berhasil, sampai-sampai bekas suhengmu yang laknat itu benar-benar jatuh cinta kepada Kui Eng dan melamarnya! Kami bertiga memberontak dan melarikan diri berkat bantuanmu dari luar yang tidak kami ketahui. Sikap Kui Eng terhadap Song Kim itu adalah sandiwara."
"Ohhh...!" Kiki sadar akan kekeliruannya dan memandang kepada Kui Eng yang juga memandang kepadanya, dan keduanya tersenyum.
"Ayah dan guru kalian sedang bekerja sama demi perjuangan menghadapi pemerintah penjajah, akan tetapi kalian di sini saling hantam, berkelahi mati-matian. Padahal, dalam keadaan seperti ini, kita harus menggalang Persatuan. Kalau kita berkelahi sendiri karena urusan sepele, tentu akan melemahkan kekuatan kita. Apalagi di antara kalian hanya terjadi salah paham saja, bahkan andaikata ada urusan yang sungguh-sungguh sekalipun, kepentingan pribadi harus dikesampingkan dulu demi perjuangan dan Persatuan."
"Kalau begitu, aku yang bersalah kepadamu, Enci Ciu Kui Eng. Aku minta maaf..." kata Kiki dengan jujur. Kui Eng merangkulnya.
"Sudahlah, adik Kiki. Itu hanya merupakan kesalahpahaman saja, dan tidak aneh kalau engkau benci kepadaku karena mengira bahwa aku adalah kaki tangan Lee Song Kim."
"Nah, begitu baru benar..." kata Ci Kong dengan hati lega. Kalau dua orang gadis ini sampai bermusuhan, tentu akibatnya hebat, bukan hanya mereka yang tersangkut, bahkan mungkin Ayah dan guru mereka akan terlibat. Dia teringat akan sikapnya seperti orang yang cemburu ketika masih menyamar sebagai pengawal, maka diapun berkata kepada Kui Eng dalam kesempatan itu.
"Kui Eng, pengalaman kita menyamar itu amat berat terasa olehku. Melihat betapa Song Kim yang pernah berlaku keji terhadap Kiki, mengingat akan kekejamannya dan kejahatannya, dan dia mendekatimu, sungguh membuat aku kadang-kadang hampir tak dapat menahan kemarahan hatiku. Maka, kuharap engkau tidak marah dan berkecil hati kalau pada walau itu aku kadang-kadang seperti orang marah-marah, Kui Eng." Kui Eng tersenyum.
"Dan kau maafkan aku yang selalu menggodamu sebagai seorang pelayan kami." Kiki yang mendengarkan percakapan itu, diam-diam merasa lega, karena ia tahu bahwa keakraban yang diperlihatkan Kui Eng ketika memberikan makanan itu hanyalah kenakalan gadis itu saja yang hendak menggoda Ci Kong. Iapun merasa heran sekali terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia merasa tidak enak dan iri melihat Ci Kong akrab dengan gadis lain? Apakah yang telah terjadi di dalam hatinya terhadap pemuda ini?
"Sekarang, sebaiknya kita mengambil jalan masing-masing. Kui Eng, engkau tentu akan secepat mungkin menyusul gurumu untuk mengabarkan apa yang telah kita alami, dan kurasa Lian Hong juga demikian. Dan engkau, Kiki, sebenarnya engkau hendak kemanakah?"
"Aku baru saja pulang ke Pulau Naga, dan ternyata pulau itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah, Ayah sudah pergi entah kemana."
"Kami tahu akan penyerbuan itu, kami mendengar dari Lee Song Kim yang membuka semua rahasia pemerintah kepada Kui Eng," kata Ci Kong.
"Dan Ayahmu bersama guru Lian Hong, San-tok Locianpwe, dan guru Kui Eng, Tee-tok Locianpwe, sedang pergi untuk mencari harta karun."
"Ah, kalau Ayahku pergi bersama guru Enci Eng, biarlah aku ikut bersama Enci Eng saja untuk meriyusul Ayah," kata Kiki. Kui Eng menyambutnya dengan gembira.
"Memang sebaiknya demikian sehingga kalau para orang tua itu membutuhkan bantuan, kami dapat segera membantu," kata Kui Eng.
"Baiklah, aku sendiri akan kembali ke Siauw-lim-si, melapor kepada para suhu dan menanti sampai Kakek guru Siauw-bin-hud keluar dari ruangan pertapaannya." Mereka lalu berpisah, Kui Eng pergi bersama Kiki, dan Ci Kong pergi seorang diri. Pemuda ini masih tersenyum-senyum kalau membayangkan betapa dua orang gadis itu yang sekarang menjadi sahabat akrab, tadi saling serang mati-matian. Diam-diam diapun memuji kecerdikan Kiki yang memancing Kui Eng berkelahi di air.
Kalau dilanjutkan perkelahian ini, banyak kemungkinan Kui Eng akan kalah, karena dia tahu bahwa Kiki adalah seorang yang ahli bermain di air. Dan dalam perjalanan seorang diri ini, Ci Kong membanding-bandingkan para gadis yang pernah dikenalnya dan yang kesemuanya menarik hatinya. Mulai Lian Hong, lalu Kui Eng, Kiki, dan Ceng Hiang. Mereka semua memiliki kepribadian yang amat menarik dan memiliki ciri khas masing-masing yang mengagumkan. Lian Hong seorang gadis sederhana, pendiam namun cerdik dan gagah. Matanya yang lebar itu merupakan suatu keindahan tersendiri yang khas. Kui Eng amat manis, dengan mata yang tajam, sikap yang manja dan galak, akan tetapi gagah perkasa dan mulutnya yang merupakan keindahan dengan memiliki daya tarik yang luar biasa.
Lincah dan garang, namun gagah. Kiki nakal dan manja, juga lucu dan galak, akan tetapi di balik kegalakannya itu, hatinya lembut sekali. Tahi lalat di pipinya membuat dia nampak semakin jelita. Kemudian Ceng Hiang. Betapa cantik jelitanya puteri pangeran itu! Paling cantik di antara mereka semua. Begitu anggun, cantik dan agung. Lebih lagi, ia murid keturunan keluarga Pulau Es. Sungguh mengagumkan sekali. Dan keempatnya adalah gadis-gadis perkasa yang berjiwa pendekar, bahkan juga menentang kelaliman. Mereka bagaikan batu-batu kemala yang sudah tergosok dan kemilauan, mempunyai daya tarik yang khas, dan masing-masing merupakan seorang gadis yang istimewa sehingga akan sukarlah kiranya kalau dia disuruh memilih siapa di antara mereka yang paling menarik hatinya.
"Uuhh, engkau ini siapa berani menilai-nilai anak gadis orang..." Ci Kong tersadar dan mencela diri sendiri. Belum tentu ada di antara mereka yang sudi padamu! Ia teringat akan keadaan diri sendiri yang sebatang kara, miskin dan tempat tinggalpun tidak punya. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana dia berani memikirkan diri seorang gadis? Tak tahu diri, makinya kepada diri sendiri, dan diapun melanjutkan perjalanan dengan lesu.
"Tidak salah lagi, inilah gambar kuil Siauw-lim-si!" kata Tee-tok setelah San-tok memperlihatkan gambar peta itu.
"Lihat, bukankah gambar di kiri ini adalah tebing dimana terdapat guha-guha besar itu?"
"Benar, akupun teringat sekarang," kata Hai-tok.
"Aku pernah ke sana melalui daerah di utara ini, yang dilukiskan penuh dengan hutan dan banyak terdapat jurang yang curam di situ!" San-tok mengangguk-angguk.
"Cocok dengan dugaanku. Harta pusaka itu tersimpan di wilayah Siauw-lim-si, sungguh aneh sekali! Akan tetapi sungguh kebetulan, karena dengan demikian, tentu akan lebih mudah lagi untuk menemukannya, dengan bantuan Siauw-bin-hud." Dengan penuh harapan, tiga orang Kakek sakti ini segera menuju ke Siauw-lim-si. Akan tetapi, kedatangan mereka itu disambut dengan alis berkerut oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Thian He Hwesio , ketua Siauw-lim-si, maklum bahwa tiga orang di antara Empat Racun Dunia ini sekarang bersatu atau bekerja sama dengan paman gurunya, Siauw-bin-hud.
Mereka kini menjadi pimpinan pemberontak yang melakukan perjuangan menentang pemerintah penjajah. Dia sendiri bersikap agak lunak walaupun di dalam hatinya, tentu saja Hwesio ini tidak suka kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi tiga orang sutenya yang menjadi pembantu pembantunya, rata-rata bersikap keras dan secara berterang memperlihatkan sikap tidak senang kepada tiga orang Kakek itu. Melihat sikap tiga orang sutenya, Thian He Hwesio diam saja tidak banyak cakap ketika menyambut tiga orang Kakek itu. Mereka berempat itu menyambut di luar kuil di halaman depan yang luas. Ketika tiga orang Kakek tadi muncul, para murid Siauw-lim-pai bergegas melapor ke dalam, dan empat orang pimpinan itupun segera keluar menyambut karena khawatir bahwa kedatangan para datuk sesat itu akan membuat keributan.
"Keperluan apakah yang mendorong sam-wi (kalian bertiga) untuk datang mengunjungi kuil kami yang butut ini?" demikian Thian He Hwesio menyambut mereka dengan ucapan dan sikap serius. San-tok yang mewakili teman-temannya segera menjawab sambil tersenyum ramah.
"Kami bertiga datang untuk bertemu dengan Siauw-bin-hud, karena kami ingin membicarakan hal yang amat penting dengan dia mengenai urusan perjuangan."
"Omitohud... kedatangan sam-wi sungguh tidak kebetulan sekali." Kata Thian He Hwesio dengan sikap biasa, walaupun seperti tiga orang pembantunya, dia juga merasa tidak enak melihat sikap tiga orang itu yang sama sekali tidak menghormati nama paman guru mereka, Siauw-bin-hud, seolah-olah Kakek sakti dan Siauw-lim-pai itu seorang sahabat mereka saja!
"Susiok Siauw-bin-hud kini sedang bertapa dan sama sekali tidak boleh diganggu oleh siapapun juga atau urusan apapun juga." Tiga orang datuk sesat itu terkejut dan saling pandang, kemudian San-tok berkata.
"Akan tetapi kedatangan kami ini penting sekali, mengenai harta karun yang kami cari bersama Siauw-bin-hud untuk membiayai perjuangan! Kami sudah menemukan rahasia itu, dan kami ingin berunding dengan Siauw-bin-hud mengenai pengambilan harta karun itu!" Para pimpinan Siauw-lim-pai adalah Hwesio -hwe-sio yang beribadat, yang selalu mencari jalan bersih. Oleh karena itu, tentu saja mereka tidak suka berdekatan, apalagi bekerja sama dengan golongan sesat, terutama sekali dengan datuk-datuk sesat seperti Empat Racun Dunia. Bahkan mereka menganggap sebagai tugas mereka untuk menentang dan kalau mungkin membasmi golongan sesat untuk menyelamatkan manusia dari ancaman mereka. Maka biarpun dengan dalih perjuangan, tetap saja mereka tidak setuju kalau harus bekerja sama dengan orang-orang macam Empat Racun Dunia.
"Kalian bertiga sudah mendengar apa yang dikatakan toa-suheng sebagai ketua Siauw-lim-pai," tiba-tiba Thian Khi Hwesio berkata dengan sinar mata tajam.
"Susiok sedang bertapa dan tidak boleh diganggu, dan kami harap sam-wi tidak memaksa. Kembalilah saja kalau susiok sudah keluar dari pertapaannya!"
"Tapi, Siauw-bin-hud sendiri yang mengajak kami bekerja sama dalam perjuangan! Dan urusan harta karun ini penting sekali untuk perjuangan. Untuk urusan ini, sewaktu-waktu tentu Siauw-bin-hud akan menerima kami, dan kalian, Hwesio -Hwesio Siauw-lim-si, tidak berhak melarang kami!" San-tok mendesak. Kini Thian Khi Hwesio melangkah ke depan.
"Sudah kami katakan, kalian tidak boleh memaksa!"
"Aku ingin bicara dengan ketua Siauw-lim-pai!" San-tok menuding ke arah Thian He Hwesio .
"Hemm, pinceng yang bertugas mengenai urusan luar, dan suheng Thian Tek Hwesio ini yang menjadi kepala rumah tangga. Kami berdua yang berhak untuk berurusan dengan para tamu dari luar!" kata pula Thian Khi Hwesio , dan kini Thian Tek Hwesio yang pendek kecil juga sudah melangkah maju. San-tok menjadi penasaran sekali.
"Hei... Hwesio -Hwesio lancang! Siauw-bin-hud sendiri sudah menerima kami sebagai teman-teman seperjuangan, akan tetapi mengapa kalian tidak dapat menerima kami sebagai sahabat?"
"Urusan Susiok Siauw-bin-hud dengan kalian adalah urusan pribadi susiok, sama sekali bukan utusan Siauw-lim-pai. Kalau susiok ada, maka kami sama sekali tidak berhak mencampuri!"
"Hemmm, sungguh tinggi hati!" Kini Hai-tok juga ikut bicara, suaranya mengandung kemarahan.
"Hei, Hwesio -Hwesio Siauw-lim-pai! Biarpun golongan kami berbeda dengan golongan kalian, akan tetapi sudah kami sepakati dengan Siauw-bin-hud bahkan untuk urusan perjuangan, kita bekerja sama! Apakah kalian Hwesio -Hwesio Siauw-lim-pai tidak merestui perjuangan menentang pemerintah penjajah?"
"Urusan perjuangan kami adalah urusan kami sendiri, tidak ada sangkutpautnya dengan kalian," jawab Thian Khi Hwesio angkuh.
"Kalian datang untuk berurusan dengan susiok Siauw-bin-hud, dan beliau sedang bertapa. Apalagi yang harus diributkan? Kalian kembali saja kalau beliau sudah keluar, bukankah jawaban dan sambutan kami ini sudah tepat dan adil?"
"Wah-wah, agaknya kalian Hwesio -Hwesio Siauw-lim-pai ini tidak tahu akan pentingnya urusan. Dengarlah! Kami bersama Siauw-bin-hud sudah sepakat untuk bekerja sama dan mendapatkan harta karun yang menjadi rahasia Giok-liong-kiam. Harta karun itu akan kami pergunakan untuk biaya perjuangan.
"Dan sekarang, kami telah mengetahui rahasianya dan tempat harta karun itu berada di sekitar pegunungan ini! Nah, bukankah itu penting sekali untuk dilaporkan kepada Siauw-bin-hud?" Diam-diam empat orang pimpinan Siauw-lim-pai itu terkejut mendengar ini. Harta karun dari Giok-liong-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang kang-ouw itu berada di sekitar pegunungan mereka? Akan tetapi, mereka tentu saja bukan orang-orang yang masih mengejar harta, apalagi kalau harta karun itu dicari untuk dipergunakan sebagai biaya perjuangan, mereka sama sekali tidak ingin menghalangi. Akan tetapi, karena yang hendak mencari adalah datuk-datuk sesat sedangkan Siauw-bin-hud masih bertapa, merekapun tidak rela membiarkan para datuk sesat itu untuk berkeliaran di daerah atau wilayah kekuasaaan Siauw-lim-pai.
"Betapapun penting, namun urusan itu adalah urusan susiok pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, tetap saja kami minta agar sam-wi kembali saja kelak kalau susiok sudah keluar dan berkenan menerima tamu!" kata Thian Khi Hwesio dengan suara tegas, dan tiga orang Hwesio tua yang lain mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
"San-tok, kenapa mesti ladeni Hwesio -Hwesio yang cerewet seperti nenek-nenek ini?" Tiba-tiba Tee-tok berseru kehabisan sabar.
"Kita tinggalkan saja mereka dan Siauw-bin-hud, dan mari kita cari sendiri harta itu, habis perkara!"
"Nanti dulu!" Thian Tek Hwesio yang bertubuh pendek kecil berseru.
"Pegunungan ini termasuk wilayah kekuasaan kami, dan kalian tidak boleh sembarangan saja melanggarnya dan membikin kacau tanpa seijin kami. Dan sebelum susiok keluar dari pertapaannya, kami tidak mengijinkan siapapun juga mengganggu ketenteraman wilayah kami!" Hai-tok marah sekali.
"Eh, Hwesio -Hwesio cerewet! Sejak kapan kalian menguasai gunung? Yang menjadi milik kalian adalah bangunan kuil dan pekarangannya, bukan seluruh pegunungan ini!"
"Pinceng tetap melarang!" bentak Thian Tek Hwesio , yang dibenarkan oleh Thian Kong Hwesio .
"Dan kami tetap akan mencari di sekitar sini!"
Hai-tok juga membentak dan kedua pihak sudah saling melotot.
"Omitohud...! Harap kalian jangan bersikeras!" tiba-tiba Thian He Hwesio berkata kepada tiga orang sutenya.
"Asalkan mereka itu tidak mengganggu ketenteraman kuil kita, kalau mereka mau mencari di pegunungan ini, apa salahnya?"
"Toa-suheng... kalau kita membiarkan saja datuk-datuk sesat berkeliaran di sini dan berbuat sesuka hati mereka, lalu apa akan kata dunia kang-ouw? Kita akan ditertawakan... dan dalam waktu singkat, semua golongan sesat akan datang berkeliaran di daerah kita tanpa minta perkenan kita terlebih dahulu."
"Siancai, pinceng harap para sute akan menahan kesabaran diri," kata pula Thian He Hwesio .
"Kita harus dapat membeda-bedakan orang. Bagaimanapun juga, kita mengetahui bahwa memang ada hubungan antara susiok dengan ketiga tamu ini. Asalkan mereka tidak mengganggu kuil dan tidak memasuki pagar tembok yang mengelilingi tempat kediaman kita, biarkanlah mereka mencari apa yang mereka namakan harta karun itu." Karena ketua Siauw-lim-pai sendiri yang berkata demikian, maka biarpun dengan muka muram dan tidak senang, Thian Tek Hwesio , Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio tidak berani membantah lagi. San-tok, Tee-tok dan Hai-tok juga tidak memperdulikan mereka lagi.
Tanpa pamit, mereka yang juga merasa mendongkol karena tidak dapat berjumpa dengan Siauw-bin-hud, keluar dan pekarangan itu. Pintu gerbang depan segera ditutup oleh para Hwesio setelah mereka
keluar, seolah-olah menjadi tanda bahwa setelah keluar, mereka sama sekali tidak diperkenankan untuk masuk lagi. San-tok yang memimpin dua orang temannya, lalu mulai mencari-cari. Akan tetapi belum lama mereka berkeliaran di lereng pegunungan itu, tiba-tiba muncul tiga orang Hwesio yang bukan lain adalah Thian Kong Hwesio , Thian Tek Hwesio dan Thian Khi Hwesio ! Melihat tiga orang Hwesio pembantu ketua Siauw-lim-pai yang tadi memperlihatkan sikap tidak setuju akan niat mereka untuk mencari harta pusaka di daerah itu, San-tok, Tee-tok dan Hai-tok memandang dengan marah.
"Mau apa agi kalian bertiga datang menemui kami?" San-tok berkata dengan sikap marah, karena dia dapat menduga bahwa tiga orang Hwesio ini tentu datang bukan dengan maksud baik terhadap mereka.
"Kami datang untuk menyatakan bahwa kami merasa penasaran dan tidak setuju melihat kalian berkeliaran disini melanggar wilayah kami," kata Thian Khi Hwesio .
"Eh? Kalian mau apa? Bukankah tadi ketua Siauw-lim-pai telah memberi persetujuan kepada kami?" bentak San-tok.
"Kalian jelas melanggar wilayah kami, akan tetapi karena toa-suheng yang menjadi ketua Siauw-lim-pai sudah memberikan persetujuan, kamipun tidak akan mengingkarinya. Akan tetapi hendaknya kalian bertiga mengetahui bahwa kami di Siauw-lim-pai mempunyai peraturan-peraturan! Satu di antaranya adalah bahwa siapapun yang hendak memaksakan kehendaknya melanggar peraturan Siauw-lim-pai, harus dapat mengalahkan kami lebih dulu."
"Keparat! Kalian menantang kami?" bentak San-tok.
"Bukan menantang. Akan tetapi, kita semua semenjak kecil berkecimpung dalam dunia persilatan. Namun kami lebih suka mempergunakan perundingan dan jalan damai. Akan tetapi kalau perundingan dan jalan damai itu tidak dapat tercapai, terpaksa kami mempergunakan ilmu silat untuk menentukan. Nah. Sekarangpun menghadapi kalian, kami menemui jalan buntu dan hanya ilmu silat yang akan menentukah siapa di antara kita yang harus mengalah."
"Maksudmu bagaimana, Hwesio ?" bentak San-tok yang mewakili dua orang temannya.
"Mengingat bahwa kalian datang bertiga, kami pun datang bertiga. Mari kita tentukan siapa yang lebih kuat di antara kita. Kalau kalian dapat mengalahkan kami... kami akan mengalah dan membiarkan kalian berkeliaran di wilayah kami tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalau kami dapat mengalahkah kalian, kami harap kalian pergi dan sini dan jangan mengganggu kami lagi." Tiga orang datuk sesat itu memang memiliki watak aneh dan suka sekali berkelahi. Kini, menghadap tantangan tiga orang Hwesio itu, timbul kegembiraan hati mereka untuk menguji. Mereka tahu bahwa sebagai pimpinan Siauw-lim-pai, tentu tiga orang itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali. Akan tetapi mereka tidak takut, sebaliknya malah merasa gembira karena semakin tangguh pihak lawan, semakin menggembirakan.
"Baik... mari kita mulai saja!" Hai-tok sudah membentak, dan Kakek yang tinggi besar, mukanya merah dan bersikap gagah perkasa ini, sudah melangkah maju.
"Kita mau keroyokan tiga lawan tiga, ataukah satu lawan satu?" Melihat Hai-tok yang bertubuh tinggi besar, Thian Kong Hwesio yang juga berperawakan tinggi besar sudah melangkah maju menghadapinya.
"Tidak perlu..." katanya.
"Kita bertanding satu lawan satu, dan karena jumlah kita masing-masing bertiga, maka tentu akan ada ketentuan siapa kalah siapa menang."
"Bgus!" kata Hai-tok.
"Yang menang dua kali berarti menang. Nah, majulah, kita buka pertandingan ini!" Berkata demikian, Hai-tok sudah mengeluarkan tongkat emasnya, lalu berkata.
"Kita bertangan kosong ataukah menggunakan senjata?" Sikap ini dinilai gagah oleh lawannya. Thian Kong Hwesio , sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, adalah seorang ahli ilmu silat tangan kosong, maka diapun cepat menjawab.
"KaIian adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan susiok Siauw-bin-hud, dan kami menantang kalian bukan karena permusuhan, melainkan karena hendak menegakkan peraturan Siauw-lim-pai. Kita hanya mengadu ilmu, bukan mengadu nyawa, jadi sebaiknya tanpa senjata!"
"Ha-ha, dengan atau tanpa senjata, bagiku sama saja!" kata Hai-tok. Dan sekali menggerakkan tongkatnya, tongkat itupun meluncur ke samping dan menancap sampai menembus sebatang pohon yang besarnya dua kali manusia. Melihat tenaga sambitan yang hebat ini, diam-diam Thian Khi Hwesio merasa kagum dan tahulah bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kuat.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Thian Tek Hwesio yang pendek kecil berkata. Thian Tek Hwesio adalah orang terdekat dengan ketua Siauw-lim-pai dan sebagai kepala rumah tangga, tentu saja dia merupakan orang pertama yang bertanggung jawab terhadap pertandingan itu.
"Karena kita tidak saling bermusuhan, maka pertandingan ini harus dibatasi. Masing-masing tiga puluh jurus saja, dan selama tiga puluh jurus, masing-masing tentu tahu siapa yang lebih kuat, asalkan mau jujur."
"Ha-ha-ha! Tiga puluh jurus sudah cukup bagiku," kata Hai-tok. Dua orang Kakek bertubuh tinggi besar itu sudah saling berhadapan dan memasang kuda-kuda masing-masing. Empat orang Kakek yang lain menjadi penonton dan juga mencurahkan perhatian, karena merekapun dapat menjadi penilai yang baik untuk melihat siapa di antara kedua orang itu yang akan muncul sebagai pemenang. Bagi mereka yang sudah memilih tingkat kepandaian tinggi, menang kalahnya seseorang dalam pertandingan dapat mereka nilai dengan melihat jalannya pertandingan, walaupun belum ada yang roboh.
"Lihat serangan!" Hai-tok tanpa sungkan-sungkan lagi lalu membuka serangan, dan begitu menyerang, dia sudah memainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan, yaitu Thai-lek Kim-kong-jiu! Hebat dan dahsyat sekali pukulannya ketika dia membuka serangan. Pukulan tangannya mendatangkan angin yang menyambar kuat, dan bahkan terdengar suara berdesing ketika tangan yang terbuka dan lebar itu meluncur ke arah dada lawan. Thian Kong Hwesio maklum akan kehebatan lawan, maka diapun cepat mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah serang-menyerang dan keduanya ternyata mempergunakan tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga angin menyambar-nyambar dan suara pukulan berdesingan. Keduanya sama-sama bersikap hati-hati dan selalu mengelak sehingga lewat dua puluh jurus, belum juga ada di antara mereka yang mengadu tenaga! Gerakan mereka begitu mantap sehingga semua pukulan dapat dielakkan dengan geseran-geseran dan langkah-langkah kaki yang tegap dan tepat. Mereka berdua maklum bahwa karena semua serangan masing-masing tidak pernah menemui sasaran, maka biarpun sudah hampir mencapai tiga puluh jurus, di antara mereka belum ada yang nampak mendesak atau terdesak. Maka, tepat pada jurus ke tiga puluh, keduanya sengaja hendak mengadu tenaga.
"Haiiiitttt...!" Hai-tok Tang Kok Bu mengeluarkan suara melengking, dan kedua tangannya yang terbuka melakukan pukulan mendorong dengan pengerahan tenaga sin-kang dari Thai-lek Kim-kong-jiu! Thian Kong Hwesio juga ingin mengambil penentuan kalah menang, maka diapun mengeluarkan teriakan panjang.
🖐
"Hiaaatttt...!" Dan kedua tangannya juga mendorong ke depan menyambut kedua tangan lawan.
"Bressss...!!" Dua tenaga yang dahsyat melalui dua pasang tangan itu, bertemu di udara dan akibatnya, dua orang Kakek tinggi besar itu terdorong mundur, masing-masing sampai lima langkah dan mereka berdua saling pandang dengan mata terbelalak dan muka sedikit pucat.
"Omitohud, engkau kuat sekali, Hai-tok!" kata Thian Kong Hwesio dan diapun menjatuhkan diri bersila dan memejamkan mata.
"Ahh, engkaupun tidak kalah kuat, Thian Kong Hwesio !" Hai-tok berkata sejujurnya dan diapun harus cepat bersila untuk menghimpun hawa murni agar jangan sampai menderita luka dalam yang parah akibat benturan tenaga raksasa tadi. Empat orang Kakek yang lain dapat menilai bahwa dua orang Kakek tinggi besar itu sama kuat dalam pertandingan tadi. Thian Tek Hwesio lalu melangkah maju disambut oleh Tee-tok. Memang lucu pertandingan itu. Kalau tadi Thian Kong Hwesio yang tinggi besar ditandingi oleh Hai-tok yang juga bertubuh tinggi besar, maka kini Thian Tek Hwesio yang kecil pendek ditandingi pula oleh Tee-tok yang juga bertubuh kecil pendek!
"Wah, aku tidak bisa meninggalkan tongkat butut dan tasbehku seperti yang dilakukan Hai-tok tadi. Maka, Hwesio yang baik, perkenankan aku tetap memegang tasbeh dan tongkatku ini," kata Tee-tok kepada Thian Tek Hwesio .
"Silahkan. Bagi pinceng, sama saja bahayanya kaki tanganmu dan kedua senjatamu itu," jawab Hwesio kecil pendek itu yang sudah memasang kuda-kuda.
"Bgus! Engkau jujur, Hwesio ! Sambutlah ini!" Tee-tok juga tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menyerang dan tongkat butut hitam itu sudah lenyap berubah menjadi sinar hitam yang cepat sekali gerakannya, disusul sinar hitam tasbehnya yang mengirim serangan susulan! Hebat memang kecepatan gerakan dari Tee-tok ini. Akan tetapi, dia memperoleh lawan yang seimbang, karena Thian Tek Hwesio yang menjadi kepala rumah tangga kuil Siauw-lim-si itupun terkenal sekali karena ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang istimewa.
Dan tubuh mereka berkelebatan ketika mereka saling serang, sukar diikuti oleh pandang mata orang biasa. Hanya empat orang Kakek teman mereka saja yang mampu mengikuti jalannya pertandingan itu. Dua orang Kakek pendek kecil itu memang memiliki kecepatan gerakan yang sama, dan mereka juga saling serang dengan seimbang. Tee-tok memainkah ilmu tongkatnya yang hebat, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa). Dan biarpun susah sekali baginya untuk dapat mendesak lawan, akan tetapi serangan berganda dengan tasbeh dan tongkatnya, pada jurus ketiga puluh, membuat tongkatnya berhasil merobek ujung jubah yang dipakai Thian Tek Hwesio ! Keduanya lalu melompat ke belakang dan Thian Tek Hwesio menjura sambil berkata.
"Pin-ceng mengaku kalah."
Sebetulnya, kalau mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh sebagai dua orang musuh, tidak akan mudah bagi Tee-tok untuk dapat mencapai kemenangan. Dan tongkatnya yang berhasil merobek jubah tadipun belum dapat dianggap sebagai kemenagan, karena robeknya baju tidak membahayakan diri pemakainya. Namun, Thian Tek Hwesio dengan jujur mengaku kalah, karena betapapun juga, dia belum dapat melakukan apa-apa sedangkan bajunya sudah robek. Hal ini dapat diartikan bahwa dia terdesak dan kalah cepat oleh gerakan tongkat, sehingga tidak mampu menghindarkan ujung bajunya dari sambaran tongkat. Kini Thian Khi Hwesio melompat maju, dihadapi oleh San-tok yang tersenyum.
"Thian Khi Hwesio ... engkau harus dapat mengalahkan aku, baru keadaan kita sama. Kalau tidak, berarti pihak kalian yang kalah, dan kalian harus memperbolehkan kami mencari harta itu di sekitar pegunungan ini tanpa gangguan orang-orang Siauw-lim-pai."
"Hemm, majulah, San-tok... dan kita sama lihat saja!" kata Hwesio itu sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. San-tok juga mengeluarkan kipasnya, senjatanya yang paling istimewa dan diapun mengeluarkan bentakan lalu menyerang terlebih dahulu. Kipasnya menyambar dahsyat ke arah muka lawan, disusul totokan gagang kipas yang menghunjam ke bawah menuju dada.
Akan tetapi, dengan gesit dan mantap, Thian Khi Hwesio dapat mengelak, lalu membalas serangan itu dengan jurus silat Harimau. Kedua tangannya mencakar-cakar dengan dahsyatnya, bahkan dikombinasikan dengan tendangan-tendangan maut. San-tok harus memainkan kipasnya dengan cepat, dan diapun segera mainkan Pek-liong Kwi-san (Kipas Setan Naga Putih). Kipas itu menyambar-nyambar ganas, dan biarpun Thian Khi Hwesio mampu menangkis dan mengelak, namun dia tidak memperoleh banyak kesempatan untuk balas menyerang. Tiga kali serangan San-tok hanya dapat dibalasnya dengan sekali serangan saja, itupun tidak begitu berbahaya. Oleh karena itu, walau dia satu kalipun belum pernah terkena serangan San-tok yang bertubi-tubi datangnya, setelah lewat tiga puluh jurus, Thian Khi Hwesio melompat ke belakang dan berkata.
"Pinceng mengaku kalah!" Melihat sikap tiga orang Hwesio itu, San-tok dan dua orang temannya lalu menjura pula, dan San-tok berkata dengan suara lantang.
"Ilmu kepandaian sam-wi tidak banyak selisihnya dengan tingkat kami, akan tetapi yang amat mengagumkan hati kami adalah kejujuran yang sam-wi miliki. Kejujuran seperti itu merupakan suatu kegagahan tersendiri yang amat mengagumkan dan belum tentu kami miliki." Setelah tiga orang Hwesio itu pergi, tiga orang Kakek datuk sesat ini lalu mulai mempelajari lagi isi peta kuno yang dibawa oleh San-tok. Mereka mendaki sebuah puncak terdekat, dan dari tempat ini mereka dapat melihat keadaan kuil Siauw-lim-si dan daerah sekitarnya. San-tok mengeluarkan petanya dan mereka bertiga bersama-sama mempelajari isi peta.
"Lihat..." kata San-tok sambil mempelajari peta.
"Disini jelas ditunjukkan bahwa batu besar yang berada di depan kuil itu menjadi pusat pengukuran. Tanda panah dan tempat batu itu terletak, menunjuk ke kiri, berarti ke arah belakang kuil. Disini tertulis bahwa dari tanda panah ini, kita harus menempuh jarak lima ratus tombak. Berarti dari depan pintu gerbang, tempat batu itu terletak, kita harus menuju ke belakang sejauh kurang lebih setengah li. Dan melihat bahwa dalamnya kuil itu paling banyak seperempat li, jadi kita akan tiba di belakang kebun kuil itu, padahal di sana yang nampak hanya satu bukit batu!"
"Dan kita tidak mungkin melakukan penyelidikan ke sana, karena kita harus memasuki daerah kuil sebelah dalam tembok pagar. Dan mereka tentu sudah melakukan penjagaan ketat sehingga tak mungkin kita menyusup masuk." Kata Hai-tok dengan alis berkerut.
"Menurut petunjuk peta, jelas bahwa tempat rahasia itu berada di belakang kebun kuil itu, di daerah bukit batu. Mungkin tersembunyi di sebuah guha, atau setidaknya tentu berada di dalam bukit itu. Bagaimana kita dapat menyelidiki ke sana?" tanya pula Tee-tok.
"Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara, haruslah kita mencari jalan melalui tebing-tebing karang di belakang kuil!" kata San-tok.
"Wah, mana mungkin? Di sana hanya ada tebing-tebing karang yang curam, penuh dengan guha-guha yang berbahaya." Tee-tok membantah.
"Justeru guha-guha itulah yang harus kita selidiki! Siapa tahu kita dapat membuat jalan tembusan dari guha-guha itu langsung saja ke selatan menuju ke arah yang ditunjuk peta ini, yaitu di belakang kebun kuil. Mari kita selidiki!" kata San-tok, dan merekapun lalu menuju ke sebelah utara atau sebelah belakang daerah bangunan kuil dan kebunnya. Memang tidak mudah mencapai tempat itu, yang merupakan tebing curam penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Mereka segera melakukan penyelidikan. Guha-guha yang banyak terdapat di situ mereka masuki satu demi satu. Akan tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Sampai beberapa hari lamanya mereka melakukan penyelidikan tanpa hasil.
"Tidak ada lain jalan, kita harus membuat terowongan dari dalam guha yang sekiranya tepat menuju ke belakang kebun kuil. Kita harus mencari jalan menembus sampai ke belakang kuil itu," kata San-tok. Dua orang temannya setuju karena agaknya hanya itulah jalan satu-satunya. Mulailah tiga orang Kakek itu bekerja keras, menggunakan kepandaian dan kekuatan mereka untuk membongkar batu-batu dan membuat jalan terowongan dari dalam sebuah guha menuju ke selatan, ke arah kuil! Mereka tidak tahu betapa dalam dan jauhnya mereka harus membongkar tanah dan batu, namun mereka bekerja tak mengenal lelah dan pantang mundur. Pada suatu pagi, ketika tiga orang Kakek itu mulai melanjutkan pekerjaan mereka yang berat, tiba-tiba berkelebat bayangan orang.
"Suhu!" Tentu saja mereka terkejut, akan tetapi menjadi girang ketika mengenal gadis yang datang adalah Lian Hong, murid San-tok. Dua orang Kakek yang lain juga merasa girang. Mereka percaya penuh kepada murid San-tok ini, karena pedang Giok-liong-kiam yang aseli, yang mengandung peta itupun adalah hasil usaha Lian Hong yang mencarinya.
"Di mana Kui Eng? Kenapa ia tidak datang bersamamu?" tanya Tee-tok. Muridnya, Kui Eng, pergi bersama gadis ini dalam usaha mereka melakukan penyelidikan tentang keadaan di Kota Raja, ditemani oleh Ci Kong murid Siauw-bin-hud. Dan sekarang hanya Lian Hong seorang diri yang muncul dan menyusul ke tempat itu. Dengan singkat Lian Hong menceritakan semua pengalamannya sampai mereka hampir celaka karena penyamaran mereka ketahuan.
"Kami terpaksa berpencar mengambil jalan masing-masing agar memecah kekuatan para pengejar." Lian Hong menutup penuturannya.
"Dan karena aku tahu bahwa suhu bertiga tentu menuju ke sekitar daerah kuil Siauw-lim-si, maka aku segera menyusul ke sini."
"Huh, gara-gara Siauw-bin-hud tidak mau keluar dan kekerasan kepala para pimpinan Siauw-lim-pai, terpaksa kami harus membuat jalan terowongan yang begini sulit," kata San-tok.
"Menurut Ci Kong, memang Locianpwe Siauw-bin-hud sedang bertapa. Akan tetapi, ada suatu hal penting yang kami dapatkan, suhu. Yaitu tentang usaha pemerintah Ceng yang diam-diam memasang mata-mata dimana-mana, menyebar orang-orang pandai untuk mengamati gerak-gerik kita semua. Bahkan mengambil siasat untuk membiarkan suhu bertiga mendapatkan harta karun itu, baru mereka akan turun tangan merampas. Karena itu, aku khawatir bahwa gerak-gerik suhu bertiga akan diintai musuh." Tiga orang Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau kira kami begitu bodoh untuk dapat membiarkan orang melakukan pengintaian terhadap kami?" kata San-tok.
"Jangan khawatir akan hal itu, Hong Hong. Sekarang kau bantulah kami dengan mencarikan alat-alat untuk membuat terowongan tembusan ini agar kami dapat bekerja lebih cepat." Lian Hong lalu pergi melaksanakan perintah gurunya. Dan dalam hal ini, tiga orang Kakek dan Empat Racun Dunia itu memang lengah dan terlalu mengagulkan diri sendiri. Mereka merasa aman dan yakin bahwa tidak ada orang berani mengamati mereka! Mereka terlalu memandang rendah pihak lawan, sehingga mereka sama sekali tidak tahu bahwa jauh sebelum mereka tiba di Siauw-lim-si,
Tempat itu sudah berada dalam pengawasan dan pengamatan orang siang malam! Dengan sendirinya, semua gerak-gerik mereka semenjak mereka tiba di pegunungan itu, tidak lepas dan pengamatan orang. Setelah Lian Hong memperoleh alat-alat seperti sekop, linggis dan lain-lain, dan gadis itu membantu tiga orang Kakek, maka pekerjaan mereka dapat berjalan semakin lancar dan terowongan itu menjadi semakin dalam. Kurang lebih sebulan mereka bekerja dan akhirnya usaha merekapun berhasil! Pada suatu siang, hantaman linggis mereka menjebolkan batu terakhir, dan merekapun tiba di tempat yang luas, ruangan bawah tanah yang amat luas! Tentu saja mereka menjadi girang bukan main. Dengan hati-hati, empat orang itu lalu merangkak memasuki lubang yang mereka buat itu ke dalam ruangan yang luas.
Ternyata ruangan luas itupun merupakan sebuah terowongan yang lebar dan dalam. Mereka, San-tok di depan, ditemani Lian Hong, sedangkan dua orang Kakek yang lain mengikuti di belakang, terus maju dan setelah mereka mengikuti jalan berbelok-belok dan naik-turun menelusuri guha yang merupakan terowongan berliku-liku, sampailah mereka pada sebuah ruangan besar berlantai batu-batu raksasa yang menonjol di antara jurang-jurang terjal di dalam perut gunung yang gelap. Ada cahaya masuk melalui lorong-lorong yang nampaknya aneh dan amat besar, seperti berada di dalam bangunan raksasa saja. Beberapa garis sinar matahari yang menembus celah-celah dinding merupakan jendela-jendela raksasa yang menenerangi ruangan yang luas sekali itu.
Dengan amat hati-hati, San-tok berlompatan dari batu ke batu, mengerahkan gin-kangnya, diikuti oleh Lian Hong, Tee-tok dan Hai-tok. Mereka harus berhati-hati sekali, karena sekali terpeleset dari batu raksasa yang mereka injak, tubuh mereka akan terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa dalamnya karena tidak nampak. Ruangan luas itupun penuh dengan halimun yang agaknya masuk pula melalui jendela, membuat tempat itu menjadi menyeramkan sekali. Mereka berjalan terus ke depan, dengan amat hati-hati, dan tiba-tiba saja batu-batu besar yang mereka lalui itu terhenti dan terputus. Di depan mereka terdapat jurang menganga mengerikan. Dari depan nampak segaris cahaya yang aneh dan tiba-tiba San-tok berseru keras.
"Hei, lihat... siapa itu?" Semua orang memandang ke depan dengan mata terbelalak, karena penglihatan di depan mereka itu sungguh luar biasa sekali.
Nampak sebuah arca dari batu yang amat besar, tinggi dan besarnya ada lima orang. Arca seorang Kakek berkepala gundul akan tetapi mukanya penuh kumis dan brewok, berwibawa, dan nampak betapa arca itu adalah arca seorang Kakek yang tentu berilmu tinggi. Arca itu duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu, dan kedua tangan di atas pangkuan. Dan di antara kedua tangan raksasa itu terdapat sebuah peti kuning. Yang amat mengherankan hati empat orang itu adalah ketika melihat seorang Kakek gundul bertubuh gendut duduk bersila di belakang peti, di atas pangkuan arca, dan Kakek itu bukan lain adalah Siauw-bin-hud yang agaknya bersamadhi dengan wajah seperti biasa, cerah oleh senyumnya. Arca itu memang sangat luar biasa. Agaknya dibuat dari sebuah bukit batu karang, dipahat secara istimewa terus ke bawah,
Dan arca itu nampak duduk di atas batu karang yang persegi. Sulit dibayangkan bagaimana orang dapat membuat arca seperti itu! Antara batu-batu yang diinjak oleh empat orang itu dan batu persegi yang diduduki arca, terdapat jurang yang amat dalam, dan jaraknya tidak kurang dari se puluh meter. Melihat betapa Siauw-bin-hud sudah berada di tempat itu dan di depannya terdapat sebuah peti, tiga orang Kakek itu menjadi marah sekali. Tanpa memeriksa sekalipun, mereka dapat menduga bahwa peti itulah yang dimaksudkan oleh tanda peta pusaka Giok-liong-kiam. Peti itulah yang berisi harta pusaka, dan ternyata Siauw-bin-hud telah berada di situ. Kakek Siauw-lim-pai itu ternyata telah mengkhianati mereka, telah lebih dahulu menentukan tempat rahasia itu dan agaknya bermaksud memiliki harta itu untuk diri sendiri.
"Hei, Siauw-bin-hud! Tidak kami sangka bahwa engkau telah mendahului kami, dan ternyata engkaupun sama saja dengan mereka yang memperebutkan harta, hendak memiliki sendiri harta pusaka itu. Engkau Hwesio palsu, tidak ada bedanya dengan Thian-tok!" Teriak San-tok dengan marah, dan hilanglah kebiasaannya yang suka bergembira dan berkelakar itu. Dia marah sekali, seperti juga Hai-tok dan Tee-tok.
JILID 34
"Siauw-bin-hud! Bicaramu tentang perjuangan melawan penjajah, kiranya hanya bual kosong belaka! Kami yang dikenal sebagai datuk-datuk sesat, kiranya masih lebih bersih dari pada kamu yang berkepala gundul dan berjubah pendeta!" teriak Hai-tok sambil mengepal tinju.
"Hei, Hwesio palsu Siauw-bin-hud, kalau engkau masih pura-pura tidur, kami terpaksa akan meloncat ke situ dan menghajar kepala gundulmu!" teriak Tee-tok sambil mengacung-acungkan tongkat bututnya. Siauw-bin-hud membuka kedua matanya, dan mulutnya yang memang sudah tersenyum itu kini terbuka lebar, tersenyum cerah dan matanya memandang kepada empat orang itu bergantian.
"Omitohud!" serunya seperti orang terheran-heran.
"Bagaimana kalian bisa tiba di sini? Sungguh mengherankan!"
"Hwesio palsu! Jangan pakai pura-pura heran lagi! Kami bersusah payah, sebulan lebih membongkar batu-batu karena ulah pimpinan Siauw-lim-si, dan kini setelah kami berhasil sampai di sini, ternyata harta pusaka itu telah berada dalam pelukanmu. Katakan saja bahwa engkau menantang kami!" teriak San-tok. Tiga orang Kakek itu sungguh merasa marah bukan main, mengira bahwa Siauw-bin-hud sengaja mempermainkan mereka.
"Siancai! Pinceng sungguh tidak mengerti mengapa sikap kalian bertiga begitu marah-marah kepada pinceng? Nona, engkau yang masih muda dan tidak berkepala batu seperti mereka, coba ceritakan mengapa tiga orang tua bangka ini marah-marah seperti kemasukan setan." Lian Hong lebih percaya kepada Siauw-bin-hud dari pada tiga orang Kakek itu. Ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalahpahaman di sini. Cepat ia menjura dan berkata dengan suara halus.
"Locianpwe, harap diketahui bahwa tiga orang Locianpwe ini melakukan pencarian terhadap harta pusaka menurut petunjuk peta yang terdapat dalam Giok-liong-kiam aseli. Dan peta itu menunjukkan bahwa harta pusaka itu berada di sekitar tempat ini. Akan tetapi, ketika mereka datang ke kuil Siauw-lim-si hendak bertemu dengan Locianpwe, para pimpinan Siauw-lim-si menolak, bahkan mengajak ketiga Locianpwe ini mengadu ilmu.
"Kemudian, para pimpinan Siauw-lim-si hanya membolehkan kami mencari di luar tembok pagar pekarangan Siauw-lim-si. Terpaksa kami membongkar gunung melalui guha-guha di belakang kuil. Sebulan lebih kami bekerja mati-matian, dan hari ini berhasil menembus ke sini. Ternyata Locianpwe sudah berada disini dan... dan... harta itu... peti itu..." Siauw-bin-hud tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya begitu? Sudah puluhan tahun tempat ini menjadi tempat pinceng bertapa! Tempat ini dahulu dibuat oleh sucouw Tat Mo Couwsu, bahkan arca itu kabarnya adalah arca dirinya. Pinceng seringkali berdekatan dengan arca ini dan juga peti ini, akan tetapi pinceng selalu menganggap peti ini hanya pelengkap saja dari arca.
"Hati pinceng tidak pernah dikotori keinginan akan harta, maka tidak pernah memeriksa apakah peti ini ada isinya ataukah tidak. Jadi kiranya, peti inikah yang dimaksudkan harta karun dalam rahasia Giok-liong-kiam itu? Ha-ha-ha-ha... sungguh lucu, bertahun-tahun setiap hari berada di depan pinceng!" Tiba-tiba terdengar suara letusan keras, disusul oleh letusan-letusan dan ledakan-ledakan yang mendatangkan suara bergema dan mengaung di tempat itu. Siauw-bin-hud yang melihat betapa ada peluru beterbangan dan hampir mengenai kepalanya, ia pun terkejut sekali.
"Omitohud...! Tempat ini kemasukan orang-orang jahat!" serunya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke depan, dan dia berdiri di dekat tiga orang Kakek dan Lian Hong. Selagi mereka terheran dan terkejut, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, yaitu dari kanan, nampak ratusan batang anak panah menyambar-nyambar ke arah kiri dari mana tadi datang peluru-peluru dan terdengar ledakan-ledakan.
"Pasukan pemerintah Ceng!" terdengar suara nyaring dan bergema di dalam ruangan bawah tanah itu.
"Kami yang lebih dulu menemukan harta karun!" Suara itu datang dari kiri, dan ketika empat orang Kakek dan Lian Hong memandang ke kiri, yang nampak hanyalah bayangan-bayangan orang bersembunyi di balik batu-batu dan nampak pula ujung senapan yang dipasangi bayonet. Beratus-ratus jumlahnya!
"Hei, kalian pasukan asing! Kami yang datang lebih dahulu dan harta pusaka itu adalah hak milik kami! Kalian orang-orang asing tidak berhak dan pergilah!" teriakan ini terdengar dari sebelah kanan. Ketika lima orang itu memandang ke arah sana, di belakang batu-batu besar nampak ujung topi ratusan orang prajurit pemerintah Ceng yang bersenjata tombak, golok dan anak panah.
"Hemm, kita lihat saja siapa yang akan berhasil mendapatkan harta pusaka itu!" Terdengar ledakan-ledakan senapan dari kiri yang dibalas dengan sama gencarnya oleh pihak tentara Ceng dengan anak panah mereka. Terjadilah pertempuran yang seru antara tembakan-tembakan senapan dan hujan anak panah dan kanan kiri. Melihat ini, Siauw-bin-hud, San-tok, Tee-tok, Hai-tok dan Lian Hong, terpaksa harus berlari mencari tempat perlindungan di balik batu-batu besar. Sambaran peluru-peluru dan anak panah itu terlalu gencar dan terlalu berbahaya bagi mereka sekalipun. Setelah berada di tempat perlindungan di balik batu-batu besar, Siauw-bin-hud berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Omitohud, kiranya pasukan asing dan pasukan Ceng sudah menyerbu pula tempat ini. Agaknya pemerintah Ceng menyerbu melalui kuil, dan pasukan asing menyerbu melalui jalan terowongan yang kalian buat! Dan mereka semua hendak merebut peti itu! Anehnya, pinceng sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa peti yang dipangku arca itulah yang terisi harta karun itu. Akan tetapi, benarkah itu?"
"Kurasa benar, Siauw-bin-hud. Menurut petunjuk peta yang disimpan sebagai rahasia pedang Giok-liong-kiam, memang di sinilah tempatnya. Dan dimana lagi disimpannya harta pusaka itu kalau tidak di dalam peti yang dipangku oleh arca besar itu?" kata San-tok dengan yakin. Ruangan itu kini penuh asap dan ledakan-ledakan senapan. Keadaan menjadi gelap dan membuat mata terasa pedas, bahkan terdengar banyak di antara para pasukan kedua pihak batuk-batuk.
"Kita harus turun tangan," bisik Siauw-bin-hud.
"Kalau tidak, pertempuran itu tentu akan berlarut-larut dan akhirnya harta itu akan terjatuh ke tangan satu di antara mereka. Pinceng tidak boleh menentang pasukan Ceng, karena hal itu akan mengakibatkan dimusuhinya Siauw-lim-si yang memang sudah dianggap suka memberontak oleh pemerintah.
"Kini kita membagi tugas. Kalian bertiga, San-tok, Tee-tok dan Hai-tok, menerjang ke kanan, hajar pasukan pemerintah Ceng agar mereka itu mundur, sedangkan pinceng dan nona ini akan mendesak pasukan asing agar mundur keluar dan sini. Kalau kita lakukan secara berbareng, tentu kedua pihak menjadi kacau dan mudah-mudahan berhasil mendesak mereka mundur. Dan setelah mereka mundur, kita mengambil peti itu dan pergi dari sini melalui jalan rahasia yang pinceng kenal." Tiga Kakek itu menganguk-ngangguk.
"Rencanamu bagus sekali, Siauw-bin-hud. Dan maafkan persangkaan kami tadi..." kata San-tok. Tiga orang Kakek itu lalu berloncatan dan menyelinap di antara batu-batu, lalu membuat sergapan ke kanan dimana berkumpul pasukan pemerintah Ceng yang ratusan orang banyaknya. Sebaliknya, Siauw-bin-hud ditemani oleh Lian Hong, menyelinap ke kiri dan mereka berdua juga melakukan penyergapan kepada pasukan asing. Terjadilah kekacauan di kedua pihak. Biarpun Siauw-bin-hud dan Lian Hong hanya merobohkan para serdadu itu tanpa membunuh mereka, tidak seperti amukan tiga orang datuk sesat yang menyebar maut, namun para prajurit asing menjadi panik dan ketakutan ketika tiba-tiba saja teman-teman mereka roboh bergelimpangan tanpa mereka ketahui sebabnya.
Siaw-bin-hud dan Lian Hong bergerak dengan amat cepat dari balik batu-batu besar. Selagi keadaan di kedua pihak amat kacau karena amukan lima orang itu, dan ruangan menjadi semakin gelap oleh asap senapan, dari kanan menyelinap sesosok tubuh yang berpakaian seperti seorang prajurit pasukan Ceng. Akan tetapi gerakannya cepat bukan main ketika dia menyusup-nyusup itu. Keadaan demikian kacau sehingga tidak ada yang melihat gerakan sosok tubuh ini, apalagi ketika orang itu kadang-kadang melepaskan sebuah benda yang mengeluarkan asap yang menyakitkan mata. Orang itu terus menyelinap, dan dengan loncatan ringan dia menyeberang dan tiba di atas batu persegi yang diduduki arca. Dia menyelinap di dalam lubang di antara kaki arca dari mana keluar cahaya matahari, dan lenyaplah tubuhnya masuk ke bawah arca!
Sementara itu, pertempuran masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pihak pasukan asing mengira bahwa yang merobohkan banyak prajurit secara aneh dan bersembunyi itu tentulah orang-orang pandai yang berpihak kepada pasukan Ceng, sebaliknya pasukan Ceng yang diamuk oleh tiga orang Kakek sakti itupun menduga bahwa orang-orang pandai itu tentu berpihak kepada pasukan asing. Hal ini membuat kedua pihak merasa jerih. Terlalu banyak pasukan yang berada di depan sudah roboh. Apalagi pasukan tentara Ceng yang melihat betapa prajurit-prajurit mereka roboh dan tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sementara itu, tak seorangpun melihat betapa sosok tubuh yang tadi menyelinap masuk ke bawah arca, kini sudah keluar lagi sambil membawa buntalan yang coba ditutupnya dengan baju prajuritnya.
Dan diapun dengan kecepatan luar biasa sudah menyelinap lagi di antara batu-batu dan menghilang ke arah kanan, dimana terdapat banyak sekali pasukan pemerintah Ceng. Peristiwa itu terjadi dengan amat cepatnya, tertutup oleh asap yang tebal, dan tidak ada orang melihatnya karena semua orang terlibat dalam pertempuran. Serbuan yang dilakukan oleh lima orang itu membuat pasukan kedua pihak kocar-kacir dan akibatnya merekapun terpaksa keluar dari dalam ruangan itu sambil membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan teman-teman yang telah tewas. Setelah kedua pihak mundur dan keluar dan ruangan yang semakin penuh dengan asap itu, Siauw-bin-hud lalu mengajak empat orang itu meloncat ke atas batu persegi. Mereka berlima lalu mendekati peti, dan Siauw-bin-hud dibantu oleh San-tok, membuka tutup peti.
"Omitohud!"
"Celaka...!" teriak San-tok ketika dia melihat bahwa peti itu telah kosong! Di dasar peti terdapat lubang yang agaknya baru saja dibuat orang! Dan yang tertinggal di dalam peti hanyalah sehelai kertas yang sudah tua sekali dengan tulisan huruf-huruf yang sudah kabur. Dengan suara jelas, Siauw-bin-hud membaca tulisan itu. Kiranya tulisan kuno itu menyatakan bahwa sebanyak tiga perempat bagian harta karun itu telah dipergunakan untuk menyelamatkan banyak sekali orang ketika terjadi bencana kelaparan selama beberapa tahun di daerah barat, yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Surat itu ditandatangani oleh orang yang menamakan dirinya Ceng Sim (Hati Bersih).
"Diambil untuk menyelamatkan rakyat sebanyak tiga perempat, lalu mana sisanya yang seperempat lagi?" Hai-tok berseru dengan marah.
"Lihat! Lubang di dasar peti ini baru saja dibuat orang!" kata Siauw-bin-hud yang segera melakukan pemeriksaan.
"Hemm, dia tentu mengambil jalan melalui lubang di antara kaki arca ini. Ah, tentu ketika terjadi keributan tadi, dia telah melakukannya. Sungguh cerdik bukan main.
"Seperempat bagian itu masih banyak sekali kukira. Lihat, menurut surat-surat peninggalan ini, tiga perempat bagian saja dapat dipergunakan menyelamatkan orang-orang sebanyak berjuta-juta penduduk dari dua propinsi yang dilanda bencana kelaparan karena serangan belalang. Siapa yang berani mengambilnya?" Tiga orang Kakek itu saling pandang.
"Hemm... kalau kami tidak melihat sendiri engkau membantu kami menghalau pasukan, tentu kami akan menuduhmu main-main, Siauw-bin-hud," kata Tee-tok.
"Tidak perlu tuduh-menuduh dalam hal ini," kata Lian Hong.
"Kalau Locianpwe Siauw-bin-hud hendak mengambil sendiri harta pusaka itu, tentu tidak perlu berpura-pura dan sudah lama membawanya pergi bersama petinya, dan tidak meninggalkan bekas-bekasnya. Tentu ada orang lain yang memanfaatkan keadaan ribut-ribut tadi untuk melarikan isi peti secara cerdik sekali." Tiga orang Kakek itu mengangguk dan Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Omitohud! Agaknya memang Tuhan belum menghendaki jatuhnya pemerintah penjajah Mancu, sehingga usaha kita mencari dana menjadi gagal di saat terakhir. Dan tempat ini menjadi kotor oleh pertempuran tadi. Lihat!" kata Siauw-bin-hud dengan muka penuh penyesalan. Dia menuding ke arah mayat yang bergelimpangan, ada puluhan banyaknya, baik yang tewas oleh amukan tiga orang Kakek itu maupun yang tewas oleh peluru dan anak panah.
"Mari kita keluar. Tempat ini harus diruntuhkan agar menjadi kuburan mereka." Biarpun hal mereka merasa kesal dan kecewa karena harta pusaka itu ternyata sudah diambil orang, yang tiga perempat bagian sudah dipergunakan orang ratusan tahun yang lalu untuk menolong rakyat dari bencana kelaparan, dan yang seperempat, sisanya, baru saja dicuri orang yang lihai, namun tiga orang Kakek itu terpaksa mengikuti Siauw-bin-hud ke luar dari tempat itu mengambil jalan rahasia, sebuah terowongan kecil yang nampak setelah sebuah pintu rahasia di dinding batu itu terbuka. Mereka memasuki terowongan dan akhirnya keluar dari sebuah guha di belakang kuil.
Kakek pendeta itu lalu menarik sebuah rantai besar, dan segera terdengar suara gemuruh di dalam bukit itu, tanda bahwa tempat dimana terdapat arca raksasa tadi telah runtuh dan menimbun semua yang berada di dalamnya, termasuk mayat-mayat yang bergelimpangan. Pasukan Ceng dan pasukan asing yang melihat betapa pintu-pintu ke arah terowongan menjadi tertutup oleh batu-batu yang menggelinding keluar dari dalam ruangan, terkejut dan cepat menjauhi tempat itu. Mereka kembali ke tempat masing-masing dengan tangan hampa, bahkan kehilangan banyak anggauta, terutama sekali pihak pasukan Ceng karena banyak anak buah mereka tewas oleh amukan tiga orang Kakek sakti. Setelah tiba di atas, San-tok, Lian Hong, Tee-tok dan Hai-tok lalu berpamit kepada Siauw-bin-hud.
"Usaha kita gagal, terpaksa kami akan bergerak menentang penjajah dengan kekuatan seadanya!" kata San-tok.
"Omitohud... pinceng juga menyesal sekali. Apalagi karena agaknya akan sukar untuk mencari siapa pencuri harta karun itu. Betapapun juga, pinceng akan menasihatkan para murid Siauw-lim-pai untuk menunjang gerakan kalian menentang pemerintah penjajah.
"Kalau seluruh rakyat dapat digerakkan, pinceng percaya bahwa pemerintah penjajah akan dapat digulingkan dan diusir dari tanah air. Pinceng yang sudah tua dan tidak mau bertempur lagi, hanya akan membantu dengan doa-doa pinceng."
Merekapun pergi dan saling berpisah. San-tok pergi bersama muridnya, Tee-tok dan Hai-tok juga pergi dengan saling berjanji akan mengadakan kontak satu sama lain, dan terutama akan melakukan gerakan di selatan di daerah Kanton, dan di utara di daerah Propinsi Hok-kian. Semenjak terjadinya peristiwa perebutan harta karun di ruangan dalam perut bukit di belakang kuil Siauw-lim-pai yang kemudian lenyap dicuri orang tanpa ada yang mengetahui, Maka pemberontakan terjadi dimana-mana. San-tok, Tee-tok dan Hai-tok, makin meramaikan pemberontakan. Juga murid-murid mereka tidak mau ketinggalan, menggerakkan orang-orang segolongan yang menentang pemerintah penjajah. Perang kecil-kecilan terjadi, pemberontakan berkobar-kobar dimana-mana.
Pasukan pemerintah Ceng menjadi sibuk sekali karena dimana-mana mereka menemui perlawanan dan tentangan. Bahkan pasukan kulit putih juga menjadi semakin terdesak karena sudah seringkali markas mereka diserbu pada malam hari yang gelap dan sunyi, apalagi kalau sedang hujan. Juga patroli-patroli mereka harus diperkuat karena seringnya pasukan kecil mereka disergap di dalam perjalanan di waktu malam. Keadaan menjadi semakin kacau. Biarpun pemberontakan-pemberontakan kecil itu berdalih membela rakyat dan tanah air, namun akibat dari kekacauan-kekacauan yang timbul karena pemberontakan-pemberontakan itu, yang paling menderita adalah rakyat kecil! Pemerintah semakin mudah curiga sehingga banyak rakyat tidak berdosa menjadi korban keganasan pasukan pemerintah yang membabi buta.
Juga pihak pemberontak selalu mencurigai rakyat yang tidak berpihak kepada mereka, menuduh rakyat yang tidak memihak mereka sebagai mata-mata pemerintah penjajah, dan para pemberontak yang menamakan diri pejuang-pejuang itu tidak segan-segan untuk menyiksa atau bahkan membunuh mereka yang dituduh menjadi mata-mata. Tak dapat disangkal lagi dan sudah terbukti berulang kali dalam sejarah di bagian manapun di dunia ini, setiap terjadi perang, apapun dalih perang itu, sudah pasti yang menjadi korban utama adalah rakyat jelata! Dan setiap terjadi perang, maka kekerasan merajalela, manusia-manusia menjadi mata gelap dan kehilangan perikemanusiaan mereka. Yang ada hanyalah bunuh membunuh, dibunuh atau membunuh! Hukum tidak dihiraukan lagi. Keadilan dan kebenaran terinjak-injak. Yang ada hanyalah memperebutkan kemenangan dengan cara bagaimanapun juga.
Perang merupakan peristiwa terkutuk dan menjadi puncak dari pada pelepasan nafsu keganasan manusia. Dengan amat cerdik dan liciknya, setan-setan perang membangkitkan semangat rakyat demi tanah air, demi bangsa, bahkan ada kalanya setan-setan perang mempergunakan bujukan demi agama, demi kebenaran dan demi keadilan! Betapa menyedihkan! Manusia saling membenci, saling bunuh demi agama yang sama sekali tidak membenarkan pembunuhan dan kebencian. Manusia saling membunuh demi kebenaran, padahal membunuh itu sudah menyimpang dari kebenaran. Semua ini menyedihkan, namun terjadi berulang kali sampai saat ini! Semangat rakyat didorong menuju ke pemberontakan oleh ulah orang-orang kulit putih. Karena mereka, dengan persetujuan pemerintah Ceng yang lemah, kini semakin berkuasa dan merajalela di kota-kota besar dan bandar-bandar besar.
Pemerintah Ceng nampak semakin lemah saja menghadapi orang-orang kulit putih. Rakyat menjadi semakin tertekan dan kemarahan menimbulkan pemberontakan dimana-mana. Pada suatu sore di pelabuhan Kanton. Seperti biasa, puluhan orang, hampir seratus orang kuli yang masih muda-muda dan bertubuh tegap dan kuat, bekerja di pelabuhan, mengangkut barang-barang milik orang-orang kulit putih. Ada yang menurunkan peti-peti dari kapal, ada pula yang mengangkat barang-barang rempah-rempah dan lain-lain ke atas kapal yang lain. Memang orang kulit putih memperoleh keuntungan besar dalam penjelajahan mereka ke daratan Cina. Mereka mendatangkan barang-barang dari luar negeri, mengangkut rempah-rempah dan sutera-sutera halus dari daratan dengan keuntungan yang berlipat ganda.
Akan tetapi tidak seperti biasanya, kuli-kuli angkut itu nampak gelisah dan marah. Pagi tadi, ada dua orang di antara mereka yang ditahan dan dipukuli oleh serdadu kulit putih. Mereka itu ditangkap karena mencuri segulung kain sutera. Mereka ditangkap, mengaku sambil menangis bahwa mereka melakukan hal itu karena terpaksa, karena keponakan mereka sakit keras dan membutuhkan uang untuk pembeli obat. Dua orang itu adalah kakak beradik. Para kuli gelisah karena sampai sore, dua orang itu belum dibebaskan dan menurut kabar, mereka itu dipukuli dan disiksa setengah mati. Akhirnya, mereka tidak tahan lagi, dan pada saat serdadu bule membunyikan bel tanda bahwa pekerjaan berakhir, mereka semua beramai-ramai menghadap ke kantor, menuntut agar dua orang yang ditahan itu dibebaskan.
"Mereka memang bersalah, akan tetapi mereka sudah menerima hukuman. Mereka boleh saja dikeluarkan, akan tetapi tidak perlu ditahan terus," demikian tuntutan mereka. Melihat kerumunan puluhan orang kuli itu di depan kantor, komandan jaga, seorang perwira muda kulit putih menjadi marah dan juga khawatir kalau-kalau mereka melakukan pemberontakan.
"Pergi kalian! Urusan dua orang tahanan itu adalah urusan kami, kalian tidak boleh mencampuri. Pergi atau kami akan menggunakan kekerasan!" bentak perwira itu. Para kuli menjadi semakin penasaran. Mereka malah mogok, duduk di depan kantor dan mengacung-acungkan tinju.
"Kami tidak akan pergi sebelum dua orang kawan kami dibebaskan!" Mereka mulai berteriak-teriak dan hal ini membuat perwira itu menjadi panik. Dia segera menghubungi markas dan sekitar lima puluh orang bekas anak buah Harimau Terbang yang kini berada di bawah pimpinan Peter Dull, dikirim ke tempat kerusuhan itu. Peter Dull sendiri tidak muncul karena peristiwa itu dianggapnya remeh dan cukup untuk diselesaikan oleh sersan bule itu dan anak buahnya saja. Ketika pasukan Harimau Terbang datang ke tempat itu, para kuli masih mogok duduk di depan kantor. Sersan bule lalu memerintahkan mereka pergi lagi.
"Pergi kalian, kalau tidak, terpaksa kami akan bertindak!" Lima orang di antara mereka yang menjadi pimpinan, bangkit dan mengacungkan tangan terkepal ke atas.
"Kami tidak akan pergi tanpa dua orang kawan kami yang tertahan!"
"Tangkap lima orang itu!" perintah sang sersan, dan beberapa orang anggauta pasukan Harimau Terbang dengan sikap bengis lalu melangkah maju hendak menangkap lima orang itu. Akan tetapi, para kuli yang jumlahnya hampir seratus orang itu serentak bangkit melindungi lima orang kawan mereka. Melihat ini, sersan itu menjadi marah. Dia mencabut pistolnya dan berteriak.
"Hajar anjing-anjing pemberontak itu! Pukuli mereka sampai babak belur!" Mendengar perintah ini, pasukan Harimau Terbang yang sikapnya seperti anjing-anjing pemburu yang diperintah majikan mereka, langsung saja menyerbu, dan karena mereka adalah orang-orang yang sudah dilatih ilmu silat dan sudah biasa berkelahi, maka biarpun kawanan kuli angkut itu bertubuh kuat dan nekat, tentu saja para kuli ini bukan lawan para pasukan Harimau Terbang. Terjadilah perkelahian yang berat sebelah karena kuli-kuli angkut itu menderita pukulan-pukulan sampai mereka jatuh bangun.
Sersan itu sendiri mengacung-acungkan pistolnya, siap membidik kalau dirinya diserang atau kalau sampai pasukankannya kalah. Hampir seratus orang kuli itu tentu akan luka-luka semua kalau saja pada saat itu tidak muncul seorang gadis yang mengamuk bagaikan seekor naga menyambar-nyambar! Setiap kali tangannya menampar, kakinya menendang, tentu roboh seorang perajurit Harimau Terbang! Sepak terjangnya menggiriskan sekali! Padahal, ia adalah seorang gadis yang cantik manis, dengan sepasang mata yang amat tajam dan usianya belum ada dua puluh tahun. Ia adalah Ciu Kui Eng, gadis yatim piatu murid Tee-tok yang gagah perkasa itu. Ketika tadi Kui Eng kebetulan lewat dan melihat perkelahian itu, ia segera tahu bahwa para kuli angkut sedang disiksa oleh pasukan orang-orang yang menjadi anjing penjilat orang kulit putih.
Ia marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi, ia segera terjun ke dalam perkelahian dan mengamuk, merobohkan orang-orang berpakaian seragam bertopi kulit harimau itu. Biarpun di antara anak buah pasukan itu yang pandai sudah mencoba untuk mengeroyok dan melawan Kui Eng dengan ilmu silat mereka, namun mereka itu masih jauh untuk dapat menandingi Kui Eng, sehingga dalam beberapa gebrakan saja, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh gadis perkasa itu! Melihat betapa dalam waktu singkat, gadis yang mengamuk seperti kerbau gila itu sudah merobohkan belasan orang anak buah Harimau Terbang, sersan kulit putih itu terkejut bukan main. Tak disangkanya ada seorang gadis sedemikian hebatnya. Karena khawatir kalau-kalau pasukannya kalah semua, dia lalu membentak keras.
"Hai, tahan dan angkat tangan, kalau tidak, kutembak kau , gadis liar!" Dimaki gadis liar, Kui Eng menjadi marah. Biarpun opsir itu membidikkan pistol kepadanya, ia tidak takut.
Dengan gerakan gin-kang yang amat ringan, tubuhnya sudah meluncur ke depan, menghampiri opsir itu. Si sersan terkejut, ingin menembak, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat dan tubuh gadis itu meluncur seperti terbang, tahu-tahu sudah menubruk ke arah kakinya. Opsir itu menendang, akan tetapi tidak cukup cepat dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang dan pistolnya dirampas orang! Karena dia terbanting keras ke belakang, kepalanya menghantam tanah agak keras dan diapun terkulai, pingsan karena gegar otak! Kui Eng tidak membuang pistol itu, melainkan menyelipkan di pinggangnya dan iapun terus mengamuk. Orang-orang Harimau Terbang menjadi jerih dan mereka sudah berteriak-teriak agar ada yang melapor ke markas minta bala bantuan. Kui Eng cukup cerdik. Ia tahu bahwa kalau bala bantuan datang, tentu ia dan para kuli itu akan celaka.
"Cepat, kita lari!" teriaknya. Kuli-kuli angkut itupun tahu diri. Mereka bergembira sekali karena memperoleh bantuan seorang gadis perkasa, dan mereka tadi juga melakukan perlawanan dengan semangat gigih sehingga banyak di antara mereka yang merasa puas sudah dapat menendangi anak buah pasukan Harimau Terbang. Kini mendengar teriakan Kui Eng, mereka lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka, setelah tidak lupa menyerbu ke kantor dan membebaskan dua orang teman yang ditahan dan yang telah disiksa menderita luka-luka itu. Melihat mereka berlarian, Kui Eng merasa khawatir. Melarikan diri bersama demikian banyaknya orang tidaklah mudah dan tentu keadaan mereka akan diketahui lawan.
"Kemana kita lari?" teriaknya.
"Mari, Lihiap, ikuti kami!" teriak seorang di antara lima orang yang tadi bertindak sebagai pimpinan. Mereka berlari terus melalui lorong-lorong dan kampung-kampung tempat tinggal penduduk yang miskin. Akhirnya, mereka memasuki sebuah rumah seperti gudang yang panjang dan tua. Ruangan yang panjang itu mereka masuki dan ternyata ada sebuah tangga turun menuju ke dalam ruangan bawah tanah yang juga panjang dan agak pengap. Setelah mereka semua memasuki ruangan bawah tanah ini, pintu tembusan itu tertutup secara rahasia dan mereka itu yang berjumlah hampir seratus orang lalu minta agar Kui Eng suka memimpin mereka. Kui Eng berdiri di atas mimbar yang terbuat dan peti-peti ditumpuk dan lima orang pimpinan itu lalu berkata dengan suara keras.
"Mari kita mulai sekarang memberontak terhadap orang kulit putih!"
"Berontaaaakkk...!!" Semua orang mengacungkan kepalan tangan ke atas. Seorang di antara lima pimpinan, yang tinggi besar dan bersikap kasar, tiba-tiba berseru.
"Saudara-saudara, bagaimana kalau kita mengangkat Lihiap ini menjadi pimpinan kami? Akur atau tidak?"
"Akuuuurrr!" Semua orang bersorak dan mengepal tinju ke atas, memandang kepada Kui Eng dengan sinar mata kagum dan penuh harapan. Kui Eng menjadi terkejut dan serba salah. Memang ia sendiri juga ditugaskan oleh suhunya untuk membantu pemberontakan, terutama pemberontakan terhadap pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi mana mungkin ia, seorang gadis, menjadi pemimpin sekelompok laki-laki yang bertubuh kuat dan bersikap kasar ini? Betapapun juga, ia tahu bahwa mereka ini dapat menjadi anak buah yang patuh dan nekat, dan kalau ia menolaknya, tentu akan melumpuhkan semangat mereka yang sedang berkobar.
"Nanti dulu, kawan-kawan..." kata Kui Eng sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Suasana segera menjadi sirap dan hening, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Pertama-tama, aku ingin bertanya, mengapa kalian hendak memberontak? Bukankah selama ini kalian menjadi kuli-kuli angkut di kapal-kapal asing itu. Kenapa kalian secara mendadak lalu timbul keinginan untuk berontak?" Si tinggi besar bermata lebar itu yang menjawab.
"Lihiap, bolehkah saya mewakili semua kawan memberi jawaban?" Melihat betapa semua orang mengangguk tanda setuju, Kui Eng berkata sambil memandang kepada orang tinggi besar itu.
"Boleh, katakanlah."
"Begini, Lihiap. Kami semua sejak dahulu, memang merupakan pekerja-pekerja kasar karena kami tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan halus. Kalau tidak terjadi sesuatu, agaknya kamipun tidak akan memberontak. Akan tetapi, akhir-akhir ini kami seringkali diperlakukan amat tidak adil dan semena-mena oleh orang-orang kulit putih dan antek-anteknya, terutama para anggauta pasukan Harimau Terbang itu.
"Dahulu, sebelum terjadi Perang Candu, kami masih dapat mengharapkan perlindungan dari alat-alat pemerintah. Akan tetapi sekarang, alat-alat pemerintah nampak tunduk pula terhadap orang-orang kulit putih.
"Kami tidak mempunyai pelindung lagi. Maka, kami mengambil keputusan untuk membentuk kesatuan dan pemberontak. Akan tetapi kami membutuhkan pimpinan, dan melihat betapa Lihiap memiliki kepandaian tinggi, dan sudah menolong kami, maka kami ingin sekali mengangkat Lihiap menjadi pemimpin kami."
"Akurrr...!"
"Setuju...!"
"Hidup Lihiap...!" Melihat orang-orang itu kesemuanya laki-laki muda dan gagah, memandang kepadanya dengan kegembiraan meluap, bahkan ada di antara mereka yang melahapnya dengan pandang mata, diam-diam Kui Eng merasa ngeri dan bergidik. Betapa mungkin dia akan hidup sebagai pemimpin di antara begini banyak pria yang setiap hari akan mengerumuni dan memandangnya dengan kekaguman yang kadang-kadang disertai nafsu dan gairah?
"Kawan-kawan, tenanglah dahulu," katanya. Setelah semua orang tenang, ia melanjutkan, kata-katanya jelas dan tetap.
"Aku tahu akan semangat kalian sedang terbakar, dan memang kita semua tidak suka melihat tanah air terjajah Bangsa Mancu, dan melihat orang-orang kulit putih semakin merajalela! Sudah sepatutnya kalau kita semua bangkit untuk membela bangsa dan tanah air.
"Akan tetapi, aku sudah terbiasa bergerak bebas di luar suatu perkumpulan. Bukan aku tidak mau membantu kalian, akan tetapi aku tidak mempunyai kecakapan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, aku akan mengajarkan ilmu silat, beberapa jurus yang tangguh dan penting untuk kalian. Bagaimana?" Riuh rendah sambutan mereka, ada yang setuju, ada yang tetap hendak mengangkat gadis cantik dan lihai itu sebagai pemimpin. Kembali Kui Eng mengangkat tangan ke atas minta mereka tenang.
"Karena tidak mungkin mengajarkan ilmu silat yang tangguh dalam waktu singkat kepada kalian semua, maka aku akan mengajarkan kepada lima orang pemimpin kalian ini saja, kemudian merekalah yang akan mengajarkan kembali kepada kalian. Menyesal sekali aku tidak dapat menjadi pemimpin kalian, karena aku sendiri masih terikat oleh tugas-tugas dari guruku." Orang-orang itu akhirnya tidak berani mendesak lagi dan hanya berteriak menanyakan nama gadis itu.
"Namaku Kui Eng," kata Kui Eng sambil tersenyum, tidak berani memperkenalkan shenya. Siapa tahu mereka itu sudah pernah mendengar atau mengenal tentang Ayahnya yang pernah dimusuhi banyak orang karena mengedarkan madat! Dengan nama itu, semua orang mengira bahwa ia she Kui bernama Eng.
"Hidup Kui-Lihiap!" Terdengar teriakan berulang-ulang, dan Kui Eng membiarkan saja mereka salah duga terhadap namanya, ia lalu berunding dengan lima orang pimpinan para kuli yang memberontak itu.
Dan mulai hari itu, setiap hari untuk beberapa jam lamanya, Kui Eng datang ke tempat rahasia itu dan melatih lima orang itu dengan beberapa jurus ilmu silat yang tangguh. Ia memilih jurus-jurus yang praktis saja, yang akan menghasilkan kemenangan dalam perkelahian singkat melawan para perajurit musuh, baik perajurit pasukan Ceng maupun perajurit anak buah pasukan Harimau Terbang. Karena kini kelompok bekas kuli angkut itu memiliki andalan, maka mereka dapat masuk bekerja kembali dengan muka berseri dan dada terangkat. Orang-orang kulit putih masih membutuhkan tenaga mereka, dan tidak mungkin dapat mengganggu mereka semua. Barang-barang itu perlu diangkat dari dan ke kapal. Maka para kuli itu, di samping kuli-kuli baru, masih diterima bekerja, walaupun pihak orang kulit putih mengadakan pengawasan dengan amat ketatnya.
Tentu saja dua orang yang pernah ditahan dan lima orang yang menjadi pimpinan, tidak berani memperlihatkan diri lagi. Dan kini, para kuli angkut itu bukan hanya bekerja untuk mencari uang, melainkan juga mencari kesempatan untuk melakukan pencurian, di samping diam-diam bekerja sebagai mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang kulit putih. Dalam catatan sejarah kelak, orang-orang yang bekerja sebagai kuli angkut inilah yang banyak membantu para pejuang dalam menentang orang-orang kulit putih. Setelah memberi latihan selama beberapa bulan, akhirnya Kui Eng meninggalkan para kuli angkut itu. Akan tetapi walaupun ia tidak menjadi pimpinan mereka, nama Kui Eng atau Kui-Lihiap takkan pernah terlupa oleh mereka, sebagai seorang pendekar wanita perkasa yang mereka kagumi.
Orang yang berjalan seorang diri menuruni lereng gunung itu bertubuh jangkung kurus, akan tetapi tidak kelihatan kecil karena memang dia bertulang besar. Mukanya kehitaman dan matanya amat tajam seperti mata kucing. Pakaiannya juga serba hitam dan langkahnya tegap penuh wibawa, bahkan cara dia mengangkat mukanya yang kehitaman itu terbayang suatu kesombongan. Akan tetapi, sepasang mata yang tajam itu kini dihias alis yang selalu berkerut, dan sinar mata yang tajam itu agak muram, mulutnya membayangkan kegelisahan dan kedukaan. Tiba-tiba dia berhenti melangkah dan tubuhnya menyelinap dengan cepatnya, lenyap di balik semak-semak. Akan tetapi, seorang gendut pendek yang muncul dari belakang sebatang pohon besar tertawa.
"Ha-ha-ha, sobat berpakaian hitam. Tak perlu kau bersembunyi, aku sudah tahu bahwa engkau berada di balik semak-semak itu. Keluarlah dan lebih baik engkau membagi hasil dengan aku, atau aku akan menangkapmu, ha-ha!" Orang jangkung berpakaian hitam itu keluar dan balik semak-semak. Mereka saling berhadapan. Dan kini orang pendek gendut itu kelihatan terkejut melihat muka yang kehitaman dengan sepasang mata yang amat tajam itu.
"Kau... kau siapa dan mengapa bersembunyi? kau tentu seorang kang-ouw, bukan?" Si gendut ini tadi hanya main-main, akan tetapi sekarang dia nampak jerih melihat sepasang mata itu. Mulut itu berkeriput dan sepasang mata yang tajam itu memancarkan sinar yang kejam.
"Tolol, ulahmu sendiri yang akan mengakhiri hidupmu. Aku sudah menghindarkan pertemuan, akan tetapi engkau memaksa aku keluar. Nah, mampuslah!" Si tinggi kurus itu menggerakkan tubuhnya. Si pendek gendut terkejut dan mencabut golok sambil mengelak. Akan tetapi sia-sia belaka. Terdengar suara keras ketika goloknya terlempar dan tubuhnya terkulai, dan diapun sudah tewas karena pelipisnya, terkena tamparan tangan orang berpakaian serba hitam itu.
Orang itu sejenak memandang tubuh korbannya yang sudah menjadi mayat, menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan mayat itu. Sebentar saja dia sudah tiba di tempat yang amat jauh dari situ, baru dia berjalan lagi seenaknya. Ketika di depan nampak sebuah dusun, diapun memutar tubuhnya dan mengambil jalan menghindar pertemuan dengan dusun di depan. Orang berpakaian serba hitam itu adalah Koan Jit! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Koan Jit terpaksa melarikan diri dari markas pasukan Harimau Terbang yang diserbu oleh gurunya sendiri, yaitu Thian-tok bersama sutenya, Ong Siu Coan yang mengerahkan bekas anak buahnya dari Thian-te-pai yang setia kepadanya. Setelah mendengar berita bahwa Giok-liong-kiam yang berada di tangannya itu palsu, dia tersenyum masam dan hatinya menjadi semakin kecewa.
Pusakanya itu, bersama pusaka simpanannya lainnya, terampas oleh Thian-tok dalam penyerbuan itu, dia tidak punya apa-apa lagi. Kemudian dia menyebar berita desas-desus itu bahwa pusaka Giok-liong-kiam yang kini terampas oleh gurunya itu adalah pusaka palsu! Dia teringat akan keadaan di tempat rahasia dimana dia menyimpan pusaka-pusakanya ketika dia dipancing pergi oleh San-tok. Tentu Kakek itu yang telah menukar pusakanya! Hatinya merasa penasaran sekali dan diapun menyebar berita bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Empat Racun Dunia, dan bahwa mereka itu hendak mencari harta karun dan pusaka itu untuk mereka pergunakan memberontak! Dengan penyebaran berita ini, dunia pun menjadi ramai, bahkan kini pihak pemerintah secara sungguh-sungguh mulai menyebar orang-orang pandai untuk merampas pusaka itu.
Demikian pula orang-orang kulit putih. Akan tetapi, balas dendam yang dilakukannya ini tetap saja tidak memuaskan hatinya. Dia gelisah sekali, gelisah karena duka dan kecewa, juga karena dia merasa kesepian, merasa sendirian. Dia merasa gagal dalam segala hal! Kedudukannya yang sudah baik di pasukan orang kulit putih telah terlepas dan tak mungkin dia kembali kepada orang kulit putih. Sudah terdapat suatu perasaan tidak enak, bahkan bermusuh sejak dia membunuh sutenya sendiri, Gan Seng Bu. Dia tentu sedang dicari oleh pasukan orang kulit putih, dan kalau sampai tertangkap, tentu hukuman yang berat, mungkin hukuman mati tembak menantinya. Dia telah meninggalkan markas dalam keadaan kacau dan hancur. Membantu pemerintah Ceng? Tentu dia akan ditangkap pula. Pengabdiannya kepada orang kulit putih membuat dia dianggap sebagai pengkhianat, mungkin sebagai pemberontak pula.
Tidak mungkin dia tidak dapat membantu orang-orang Mancu, tidak mungkin dapat membantu pemerintah Ceng. Membantu para pemberontak? Juga tidak mungkin sama sekali. Selama ini dia malah membantai banyak pemberontak dengan pasukan Harimau Terbangnya. Bahkan Empat Racun Dunia memusuhinya. Juga semua orang kang-ouw memusuhinya, baik dan golongan sesat maupun golongan pendekar. Dia menjadi orang yang terasing. Dia selalu merasa diamati orang, kemanapun dia pergi. Merasa terancam dan dimanapun dia berada, dia merasa tidak aman. Karena itu, dia selalu gelisah dan menyembunyikan diri, menghindarkan pertemuannya dengan siapapun. Koan Jit merasa hidupnya terhimpit. Dimana-mana dia dimusuhi orang, dan segala hal yang dipegangnya ternyata telah gagal.
Beberapa kali dia didorong oleh keinginan bunuh diri saja, namun dia tidak memiliki keberanian cukup besar untuk mengakhiri hidupnya, karena dia membayangkan betapa ngerinya dirinya akan menempuh keadaan yang tidak dikenalnya, keadaan sesudah mati yang kabur dan menakutkan. Dia merasa amat tersiksa. Hidup gelisah matipun takut. Bukit itu menarik perhatiannya. Penuh dengan hutan-hutan yang subur dan dia melihat banyak tanaman-tanaman yang dapat dipergunakan sebagai obat hidup di daerah itu. Tempatnya sunyi dan sejak tadi dia tidak pernah melihat adanya orang di situ. Tempat yang baik sekali, pikirnya. Pemandangan alamnya juga indah, hawanya sejuk. Tiba-tiba timbul pikirannya untuk tinggal di bukit itu. Diapun mulai mencari-cari tempat yang kiranya cocok untuk menjadi tempat tinggalnya, sementara atau seterusnya.
Di sebuah dinding karang yang curam, dia melihat ada sebuah guha besar yang tertutup batu besar. Dia heran melihat batu itu. Melihat tanda-tandanya, agaknya batu itu belum lama tergeser menutup guha. Dan celah-celah di tepi guha, dapat dilihat bahwa guha itu besar dan dapat menjadi tempat tinggal yang enak. Akan tetapi batu besar itu menutupinya. Koan Jit lalu menggulung lengan bajunya, dan dengan mengerahkan tenaganya, dia mendorong batu besar itu. Memang hebat sekali tenaga Koan Jit. Batu itu perlahan-lahan tergeser ke pinggir dan nampaklah lubang guha itu, memang merupakan sebuah guha yang lebar dan amat dalam sehingga dari luar nampak gelap. Dia merasa girang sekali. Seperti telah diduganya tadi, guha itu luas dan enak untuk ditinggali. Dan batu besar itu dapat dipergunakan sebagai pintu sehingga tempat tinggalnya akan tertutup dan tidak dapat diganggu orang luar.
Akan tetapi dia harus memeriksa dulu keadaan guha. Setelah matanya terbiasa oleh keadaan dalam guha yang remang-remang, diapun masuk. Sebuah terowongan di ujung kanan guha itu diikutinya dan tibalah dia di sebuah ruangan dalam bukit itu, ruangan yang lebar dan enak karena sinar matahari dapat masuk dari atas dari celah-celah batu karang yang pecah. Hawa yang sejukpun masuk dan celah-celah itu. Dan dia terkejut. Di ruangan itu terdapat seorang Kakek yang bertubuh gendut, sedang duduk bersila. Mula-mula dia mengira sebuah arca, akan tetapi dia terkejut karena melihat bahwa Kakek itu seperti gurunya, seperti Thian-tok! Ketika dia menghampiri dan memandang dengan teliti, ternyata Kakek itu bukan gurunya, melainkan seorang Hwesio gendut yang mirip gurunya, seorang Kakek Hwesio yang sudah amat tua.
"Omitohud, selamat datang, orang yang gagah perkasa. Apakah engkau juga sedang mencari tempat yang baik untuk menjernihkan batin?" Suara itu demikian lemah lembut, demikian ramah dan mengandung getaran suara yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dirasakan Koan Jit. Getaran itu menyentuh hatinya, getaran yang penuh kontak perasaan, penuh kasih sayang, seolah-olah dia mendengar suara Ayahnya atau ibunya sendiri.
Dia sudah hampir lupa akan suara orang-orang yang mengasihi, karena sejak kecil dia sudah terpisah dan Ayah bundanya, dan semenjak kecil dia hidup di lingkungan orang-orang yang selalu mempergunakan kekerasan, dimana tidak pernah bergema suara yang mengandung kasih sayang. Oleh karena itu, mendengar suara ini, dia tertegun. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa di tempat ini terdapat orang yang akan mengenalnya, kemudian akan mengkhianatinya. Semua orang merupakan musuh baginya, merupakan ancaman bagi keselamatan dirinya. Maka, kemarahan dan kebencian menyelubungi hatinya, mengusir perasaan haru yang tergerak dalam hatinya mendengar kelembutan suara penuh kasih sayang tadi.
"Orang tua, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuh setiap orang yang kujumpai. Tanpa kusengaja aku bertemu dengan engkau di sini, maka engkaupun akan kubunuh sekarang juga!" demikian katanya dengan bengis dan keren, sambil melangkah maju.
"Omitohud... orang muda yang gagah perkasa. Engkau kira engkau ini siapakah maka akan dapat membunuh yang hidup? Hidup dan mati bukanlah urusan pinceng, akan tetapi jangan engkau mengira bahwa engkau akan mampu membunuh kehidupan.
"Mungkin engkau akan dapat membunuh pinceng, akan tetapi yang mati hanyalah tubuh seorang Hwesio tua yang tiada artinya. Dan siapa bilang bahwa kematian akan mengakhiri segala duka? Siapa bilang bahwa dengan membunuh pinceng atau orang lain, engkau akan terlepas dari pada himpitan yang menekan batinmu itu..." Mendengar ucapan itu, Koan Jit mengerutkan alisnya. Seperti diingatkan dia betapa membunuh banyak orang yang dijumpainya selama ini, sama sekali tidak melenyapkan kegelisahannya, bahkan menambah. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat lain. Orang ini, seperti yang lain, harus dibunuhnya, kalau tidak, keselamatannya akan terancam.
"Hwesio tua... apapun pendapatmu, tetap saja engkau harus kubunuh. Itulah satu-satunya jalan bagiku! Tentu saja engkau boleh membela diri, karena melihat batu itu, aku percaya bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian. Nah, hanya engkau atau aku yang akan kalah dan mati. Bersiaplah!"
"Nanti dulu, orang muda. Sudah lama pinceng melepaskan nafsu membunuh, dan pinceng sudah merasa bosan untuk mempergunakan kepandaian dalam perkelahian yang tiada gunanya. Pinceng tidak akan melawan kalau engkau hendak membunuh pinceng, hanya pinceng tidak ingin ilmu baru yang pinceng ciptakan baru-baru ini akan lenyap begitu saja bersama pinceng.
"Oleh karena itu, sebelum engkau membunuhku, pinceng mempunyai sebuah permintaan, yaitu engkau terima dan warisilah ilmu baruku itu. Setelah itu, barulah pinceng akan dapat mati dengan tenang karena ilmu yang selama ini pinceng ciptakan dengan susah payah itu sudah diwarisi orang. Bagaimana?" Mendengar permintaan ini, Koan Jit mengerutkan alisnya. Dia memiliki banyak musuh. Menghadapi Thian-tok saja, dan tentu juga tokoh-tokoh Empat Racun Dunia, dia tidak akan menang. Dia perlu memiliki ilmu-ilmu yang sakti dan dahsyat. Dia menduga bahwa Kakek ini tentu bukan orang sembarangan. Dia akan melihat seperti apa ilmu itu. Kalau memang merupakan ilmu kesaktian yang dahsyat, tiada salahnya kalau dia mewarisinya. Sebaliknya kalau ternyata ilmu yang dangkal dan tiada gunanya, masih belum terlambat untuk membunuh Kakek itu.
"Baiklah, aku suka menerima warisan ilmumu itu. Setelah itu, baru aku akan membunuhmu."
"Siancai... legalah hati pinceng. Ilmu silat baru ini pinceng beri nama Ilmu Silat Kebahagiaan, hanya terdiri dari duabelas jurus. Nah, kau lihat baik-baik. Pinceng hendak memainkan duabelas jurus Ilmu Silat Kebahagiaan itu." Diam-diam Koan Jit merasa geli dan memandang rendah. Ilmu silat yang namanya aneh begitu, apalagi hanya duabelas jurus, ada apanya sih yang hebat?
Akan tetapi, dia memandang penuh perhatian ketika Kakek itu bangkit. Kakek itu sungguh memiliki tubuh yang gemuk, perutnya gendut dan mukanya penuh dengan senyum ramah, mirip sekali dengan muka gurunya. Dan tiba-tiba saja, dia teringat, mukanya berubah pucat. Siauw-bin-hud! Kakek ini adalah Kakek Siauw-bin-bud, tokoh Siauw-lim-pai yang luar biasa saktinya itu. Gurunya sendiri, Thian-tok, tidak mampu menandingi Kakek ini! Kedua kakinya terasa dingin dan gemetar. Kakek ini adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, dan dia telah mengancam untuk membunuhnya! Ah, sudah terlanjur, pikirnya. Biarlah, kalau aku kalah nanti, biar aku mati di tangannya. Tidak akan kecewa tewas di tangan seorang sakti seperti Siauw-bin-hud yang sudah terkenal di seluruh dunia persilatan!
Dan diapun sudah mengamati ketika Kakek itu mulai bersilat. Dan Koan Jit terpesona! Kakek itu bersilat dengan gaya yang lain dari pada ilmu-ilmu silat lain. Demikian lemas, demikian indah, demikian bersih, dan gerakan itu seperti orang kegirangan saja. Namun dia melihat betapa setiap jalan dari depan tertutup oleh gerakan-gerakan itu, dan gerakan-gerakan itu memungkinkan orang yang bersilat melakukan serangan balasan dari arah manapun juga. Ilmu silat ini seperti sebuah benteng baja yang mempunyai banyak lubang-lubang untuk meluncurkan anak-anak panah! Sebuah ilmu silat yang amat luar biasa, akan tetapi gerakan-gerakannya sedemikian anehnya sehingga dia yang biasanya sekali melihat saja sudah dapat menangkap sebagian besar dari gerakan silat, sekali ini menjadi bingung dan sukar mengingat bagaimana caranya bergerak seperti itu!
Diam-diam dia yang memperhatikan maklum bahwa ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang sakti. Biarpun tidak membayangkan kekerasan, namun hawa pukulan itu meluncur dan ketika mengenai dinding guha, mengaung dan menimbulkan bunyi gema yang susul-menyusul! Mengerikan! Dan diapun yakin bahwa semua ilmunya tidak akan mampu menandingi ilmu yang bernama Ilmu Silat Kebahagiaan itu. Akhirnya Siauw-bin-hud, Kakek Hwesio itu, berhenti bersilat, berdiri tegak dan merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengucap "Omitohud" berkali-kali, seolah-olah menghormati ilmu yang baru saja dimainkannya itu. Setelah itu, baru dia membuka mata memandang kepada Koan Jit yang masih berdiri terpesona.
"Nah, orang muda... apakah engkau sudah melihatnya dan mengertinya?" Koan Jit merasa mukanya menjadi panas saking malu. Dia merasa bodoh sekali. Sedikitpun dia tidak dapat ingat lagi gerakan-gerakan tadi.
"Locianpwe," katanya dengan sikap menghormat setelah dia dapat menduga siapa yang berada di depannya!
"Aku telah melihat semua gerakan itu, namun tidak mengerti dan tidak mampu mengingatnya. Gerakan-gerakan itu terlalu indah dan terlalu ruwet bagiku. Mohon petunjuk Locianpwe." Kakek itu tertawa.
"Tidak aneh kalau begitu. Sebagai seorang Hwesio , ilmu silat itu tercipta ketika pinceng merenungi pelajaran-pelajaran agama tentang kebahagiaan, dimana terdapat duabelas pasal. Nah, untuk dapat memainkan ilmu ini, teorinya terletak dalam kalimat-kalimat pelajaran itu, maka pelajaran itu harus dipahami benar, bukan hanya dihafalkan, bahkan pelajaran teori itu harus diresapi sehingga dapat dijiwai dan mendarah-daging.
"Apa artinya pelajaran teori kalau tidak diresapi sehingga mendarah daging? Selain itu, juga latar belakang pendidikan dan lingkungan seseorang menentukan berhasil atau tidaknya dia mempelajari ilmu baruku ini. Nah, orang muda... coba engkau memainkan ilmu silat yang sudah kau kuasai agar pinceng dapat menentukan bagaimana caramu untuk menerima dan mewarisi ilmuku yang baru ini sebaiknya."
Koan Jit tadi merasa kagum dan dia ingin sekali memiliki Ilmu Silat Kebahagiaan itu. Maka mendengar ucapan Siauw-bin-hud, diapun lalu melangkah maju dan mulailah dia bersilat. Dia sudah menguasai ilmu-ilmu silat dari Thian-tok sebaik-baiknya. Tidak ada di antara kedua orang sutenya yang mampu menandinginya dalam ilmu silat perguruan mereka. Hanya Thian-tok sajalah yang kiranya dapat mengunggulinya dan itupun hanya sedikit selisihnya. Maka dia lalu memainkan jurus-jurus pilihan dan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Baru dia bersilat sebanyak belasan jurus, Siauw-bin-hud sudah menghentikannya.
"Sudah cukup, orang muda. Omitohud... kiranya engkau adalah murid Thian-tok? Tidak salah lagi, tentu engkau yang bernama Koan Jit."
"Tidak salah dugaan Locianpwe, dan akupun dapat menduga bahwa Locianpwe tentulah Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai."
"Ha-ha-ha-ha, susahnya menjadi orang yang dikenal! Sampai di dalam guha terpencil sekalipun, masih saja dikenal orang. Koan Jit, pinceng sudah melihat dasar-dasar ilmu silatmu, dan terus terang saja, kalau engkau hendak menguasai Ilmu Silat Kebahagiaan, engkau harus melatih teorinya sampai matang betul.
"Tanpa mengingat setiap kata dan kalimat-kalimat pelajaran itu, takkan mungkin engkau akan mampu memainkan ilmu silatku yang baru. Apakah engkau siap untuk mempelajarinya, ataukah engkau merasa tidak sanggup dan ingin segera membunuh pinceng?"
"Aku sudah siap mempelajarinya," kata Koan Jit dengan suara tegas.
"Kalau begitu, dengarkan dan pelajari satu demi satu pelajaran agama tentang kebahagiaan, baru kemudian sepasal demi sepasal, dicocokkan dengan ilmu silatnya sejurus demi sejurus. Hanya dengan cara demikian, engkau akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu itu sebaik-baiknya." Kakek itu lalu mengajarkan ilmu yang diambil dari kitab suci Dharmapada, yaitu kitab suci Agama Buddha, pasal limabelas yang mengajarkan tentang kebahagiaan. Setiap pasal lalu dia jelaskan hubungannya yang mendarah daging dengan jurus gerakan silat yang bersangkutan. Memang rumit sekali, karena itu, Koan Jit harus menghafalkan pasal-pasal itu sampai dapat menjiwai isinya. Pelajaran itu ada duabelas pasal, dan bunyinya seperti demikian.
* Kita hidup bahagia bila tak membenci seorangpun di tengah-tengah orang-orang yang membenci. Kita hidup bebas dari kebencian di antara orang-orang yang membenci.
* Kita hidup bahagia bila bebas dari penyakit di antara orang-orang yang sakit. Kita hidup bebas dari penyakit di antara orang-orang yang sakit.
* Kita hidup bahagia bila bebas dari keserakahan di antara orang-orang yang serakah. Kita hidup bebas dari keserakahan di antara orang-orang yang serakah.
* Kita hidup bahagia, bila tidak terikat oleh kemilikan. Kita akan hidup bahagia laksana dewa-dewa yang memancarkan cahaya.
* Kemenangan memabokkan si pembenci, yang kalah menderita kesedihan. Dia yang tak lagi memikirkan kemenangan dan kekalahan, senantiasa tenang dan bahagia.
* Tiada api melebihi nafsu, tiada penyakit melebihi kebencian, tiada penderitaan melebihi cengkeraman badani, tiada kebahagiaan melebihi Nirwana.
* Keserakahanlah penyakit yang paling berbahaya, mengejar keinginan penderitaan yang paling besar. Bagi yang mengerti akan kenyataan ini, Nirwana-lah kebahagiaan tertinggi.
* Kesehatanlah anugerah terbesar, puas akan apa adanya-lah kekayaan terbesar. Keyakinan adalah hubungan terbaik, dan Nirwanalah kebahagiaan tertinggi.
* Setelah menikmati kesucian dan ketenangan, terbebaslah dan belenggu takut dari dosa. Setelah demikian barulah dapat meneguk kebahagiaan hidup di dalam Dharma.
* Memandang Para Bijaksana adalah baik, bergaul dengan mereka membahagiakan. Yang tidak bergaul dengan si dungu akan senantiasa berbahagia.
* Yang bergaul dengan orang-orang dungu seperti bergaul dengan musuh, menyebabkan derita. Bergaul dengan orang bijaksana seperti sanak saudara menyebabkan kebahagiaan.
* Karena itu, seperti bulan bergerak mengikuti garis peredarannya, hendaknya orang mengikuti para bijaksana yang berpemandangan luas, terdidik, sabar dan taat kepada peraturan Para Bijaksana sehingga patut untuk diikutinya.
🖐
Demikianlah bunyi lengkap ujar-ujar dalam kitab Dharmapada tentang kebahagiaan. Memang hebat sekali Siauw-bin-hud yang menciptakan ilmu silat berdasarkan semua ujar-ujar itu. Koan Jit adalah orang yang selama ini bergelimang dalam kejahatan, tidak pernah peduli lagi akan kesadaran atau kebajikan. Bagaikan sebuah lampu yang sudah tebal dan kotor oleh debu, maka sinarnya tak mampu menyorot keluar, tidak mampu mendatangkan penerangan dan selalu berada dalam kegelapan.
Akan tetapi, latihan yang diberikan oleh Siauw-bin-hud, yang mengharuskan dia menghafal semua ujar-ujar itu sedemikian rupa sampai meresap dan dapat menjiwai, mendarah daging dalam kehidupannya, seolah-olah membersihkan debu dan lampu itu, dan diapun dapat melihat karena sinarnya menjadi terang. Perlahan-lahan namun pasti, terjadi perubahan hebat dalam diri dan batin Koan Jit. Makin dia memperdalam Ilmu Silat Kebahagiaan itu, semakin hebat pula terjadi perubahan itu. Selama seratus hari dia berlatih, dan Koan Jit seperti orang yang baru lahir kembali, bedanya dengan Koan Jit sebelumnya, seperti bumi dan langit! Matanya yang biasanya tajam seperti mata kucing, penuh kebencian dan kekejaman, kini berubah menjadi tajam penuh kewaspadaan dan kelembutan.
Sikapnya yang biasanya gelisah dan selalu ketakutan, kini berubah lembut dan ramah tersenyum. Bukan hanya lahirnya yang berubah karena pencerminan keadaan batinnya, bahkan ilmu silatnya pun mengalami perubahan hebat. Dulu, gerakan-gerakannya dalam ilmu silat penuh dengan gerak-gerak tipu yang penuh kecurangan dan kekejaman, penuh dengan ancaman maut. Kini, gerakan-gerakannya yang masih sama cepatnya itu menjadi gerakan yang aneh dan terutama sekali Ilmu Silat Kebahagiaan itu dapat diresapinya sehingga merupakan ilmu yang dapat mengatasi dan menundukkan lawan dengan cepat tanpa melakukan pembunuhan. Setelah seratus hari berlatih siang malam dengan sungguh-sungguh di bawah pimpinan Siauw-bin-hud, Kakek ini tertawa bergelak.
JILID 35
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud... berkah Sang Buddha yang berlimpahan telah membuat engkau berhasil Koan Jit. Melihat gerakan-gerakanmu dalam berlatih tadi, engkau telah menguasai seluruh duabelas jurus Ilmu Silat Kebahagiaan, dan semoga engkau akan dilimpahi damai dan bahagia.
"Nah, engkau sudah lulus sekarang dan tepat seperti yang pinceng janjikan, setelah pinceng mewariskan ilmu baru ini kepadamu, pinceng siap untuk kau bunuh. Terimalah pedang ini dan lakukanlah niatmu membunuh pinceng!" Kakek itu sambil tersenyum ramah lalu menyerahkan sebatang pedang terhunus kepada Koan Jit. Sejenak Koan Jit memandang nanar dan tertegun, seolah-olah tidak percaya akan apa yang didengarnya, dan seolah-olah dia sudah lupa dan kini terkejut karena diingatkan kembali bahwa dia pernah mempunyai keinginan membunuh Kakek ini. Hawa panas karena haru naik dari dadanya dan seperti menyangkut dan mencekik tenggorokannya. Dia menerima pedang itu dari tangan Siauw-bin-hud tanpa berkata apapun, kemudian diapun mengayun pedang itu! Bukan untuk membunuh Siauw-bin-hud, melainkan untuk membacok dan membuntungi kedua kakinya sendiri.
"Siancai...!" Siauw-bin-hud menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pikiran lumrah.
"Trakkk!" Pedang itu tertangkis dan terlepas dan pegangan Koan Jit.
"Omitohud, Koan Jit... apa yang kau lakukan itu?" Siauw-bin-hud berkata dengan suara membentak. Koan Jit menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw-bin-hud, dan dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil sambil membentur-benturkan dahinya ke atas tanah. Selama hidupnya, baru sekali inilah dia mengalami hal seperti itu. Jiwanya seperti meratap, perasaannya meluap-luap, keharuannya membuat dia menangis sesenggukan seperti seorang anak kecil. Dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, melainkan menggerung-gerung dan membentur-benturkan dahinya di atas tanah depan kaki Siauw-bin-hud, Kakek yang pernah mau dibunuhnya itu.
Siauw-bin-hud memandang dan tersenyum, hatinya merasa gembira dan bahagia bukan main, karena dia mengerti bahwa telah terjadi pergolakan dalam batin Koan Jit, bahwa telah terjadi penyesalan yang akan membuat orang itu bertaubat selama hidupnya, perubahan yang membuka mata batin Koan Jit sehingga dia dapat melihat betapa sesat dan jahatnya dia di waktu yang sudah-sudah. Dia membiarkan Koan Jit menangis, karena hanya tangislah yang merupakan obat terbaik dalam keadaan seperti itu. Tanpa tangis, manusia akan menderita makin banyak kesengsaraan dan penyakit lahir batin. Tangis dapat merupakan peluapan segala derita batin. Setelah gejolak batin itu agak reda, dengan suara halus Siauw-bin-hud berkata.
"Koan Jit, hampir saja engkau melakukan hal yang bahkan lebih sesat dan jahat dari pada segala perbuatanmu yang sudah-sudah. Engkau hendak menyiksa diri sendiri? Bahkan membunuh diri sendiri, tiada gunanya untuk menebus segala kesalahan yang telah dilakukan di waktu yang sudah.
"Yang penting bukan hanya penyesalan dan pernyataan taubat. Yang terpenting adalah membuka mata penuh kewaspadaan dan kesadaran, sehingga mulai saat ini, engkau akan selalu dalam keadaan sadar dan akan melakukan hal-hal yang baik."
"Saya mengerti, Locianpwe... dan maafkanlah perbuatan saya tadi. Saya terdorong oleh rasa menyesal kepada diri sendiri bagaimana saya pernah mempunyai niat untuk membunuh Locianpwe yang bijaksana dan budiman. Malu sekali kalau saya mengenang semua perbuatan saya yang lalu. Mulai sekarang, saya bersumpah akan mengakhiri sisa hidup saya untuk mengabdi kebenaran dan kebajikan." Kakek itu menarik napas panjang.
"Omitohud! Pinceng merasa berbahagia sekali bahwa penerangan telah mengusir kegelapan dan hatimu, Koan Jit. Akan tetapi, pinceng menyembunyikan diri karena tidak tahan melihat keadaan dunia yang menjadi keruh oleh ulah manusia. Dimana-mana, manusia telah mengumbar hawa nafsu, menggunakan kekerasan untuk saling bunuh.
"Dan semua perbuatan itu disembunyikan dalam dalih yang muluk-muluk. Ah, kinipun berkecamuk perjuangan menentang pemerintah penjajah.
"Memang sudah menjadi hak bangsa kita untuk memberontak. Akan tetapi, untuk inipun terpaksa harus dipergunakan kekerasan, bunuh-membunuh. Betapa ngerinya dan pinceng tidak akan melihat itu semua.
"Ingat, Koan Jit... engkau masih muda dan tentu saja engkau boleh mencampuri urusan perjuangan. Sebagai seorang warga negara, memang engkau berkewajiban untuk melindungi tanah air dan membela bangsamu. Akan tetapi semua itu harus kau lakukan dengan hati setia dan jujur, dan jangan sedikitpun juga bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi akan menodai dan mencemarkan semua perjuangan."
"Locianpwe, setelah menerima petunjuk Locianpwe selama ini, saya sudah dapat melihat dengan jelas, dan saya tidak mempunyai pamrih apapun, Locianpwe. Keinginan pribadi saya sudah mati, dan biarlah saya anggap demikian sehingga kematian itu akan saya tandai dengan pakaian berkabung untuk selamanya."
Siauw-bin-hud merasa gembira bukan main. Gembira karena tanpa disangka-sangkanya, dalam keadaan dalam pertapaan itu, Tuhan telah menuntun Koan Jit memasuki guha sehingga orang itu akhirnya merasa memperoleh kesadaran. Diapun lalu mempergunakan kesempatan itu untuk memberi petuah dan nasihat-nasihat yang amat berharga kepada Koan Jit, agar bekal batin orang itu semakin penuh untuk dia pergunakan menghadapi kehidupan yang sudah menjadi keruh dan kotor oleh ulah manusia pada umumnya itu. Manusia sudah sedemikian butanya, sehingga untuk memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri yang meluas menjadi ketenangan keluarga, kelompok, suku dan bangsanya, mereka rela untuk saling berbunuhan. Dengan dalih mencari perdamaian, mereka rela membunuh.
Perdamaian hendak dicapai manusia melalui perang! Ketenteraman hendak dicapai melalui huru-hara! Sungguh aneh, lucu akan tetapi menyedihkan, namun kalau kita mau membuka mata memandang, memang demikianlah keadaan dunia kita! Demikianlah jerit manusia yang dapat melihat semua itu, seperti yang sering dijeritkan oleh hati Siauw-bin-hud. Terjadi perubahan besar dalam hubungan antara pemerintah Ceng dan pasukan-pasukan kulit putih. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dimana-mana, yang bukan hanya memusuhi pemerintah Ceng akan tetapi juga merongrong pasukan kulit putih, membuat dua golongan ini segera melihat bahwa Persatuan antara mereka amat menguntungkan mereka bersama. Bahkan penumpasan terhadap para pemberontak itu, kalau dilakukan dengan cara masing-masing, dapat memancing timbulnya pertentangan di antara mereka sendiri.
Hal ini terjadi pula di dalam ruangan bawah tanah di bukit sebelah belakang kuil Siauw-lim-si. Karena bekerja sendiri-sendiri dalam menghadapi para pemberontak, maka mereka nyaris bertempur sendiri, saling bermusuhan. Mereka maklum bahwa kalau hal ini terjadi, yang untung hanyalah para pemberontak. Kedua pihak akan menjadi lemah sendiri. Pasukan pemerintah Ceng lebih menguasai keadaan dan mengenal daerah, sedangkan pasukan orang kulit putih yang tidak begitu mengenal daerah, lebih kuat dalam persenjataan karena menguasai banyak senjata api. Hal ini nampak oleh para pimpinan pasukan kedua pihak, dan mereka lalu mengadakan persekutuan atau Persatuan untuk bersama-sama menghadapi pemberontak-pemberontak itu dan menumpasnya. Dan semenjak mereka mengadakan kerja sama, maka operasi-operasi yang mereka lakukan banyak membuahkan hasil.
Sarang-sarang para pemberontak yang kecil-kecil, yang berkelompok tidak lebih dari puluhan orang, berhasil disergap dan banyak dilakukan pembunuhan dan penangkapan-penangkapan. Setelah adanya kerja sama itu, dalam waktu satu bulan saja, tempat tahanan pemerintah Ceng telah penuh dengan para tawanan yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pemberontakan, dan jumlah tahanan ini setiap hari meningkat. Di dalam penjara kota Hang-couw yang menjadi kota pelabuhan dimana tentara kulit putih berpusat di samping di Sang-hai, penuh dengan tahanan para pemberontak yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih! Mereka adalah orang-orang yang dianggap cukup penting, walaupun bukan pemimpin-pemimpin besar, karena para pemimpin besar itu belum ada yang dapat ditawan.
Menurut para komandan kedua pasukan yang bergabung itu, para pimpinan besar adalah pendekar-pendekar lihai, juga termasuk tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dan datuk-datuk seperti San-tok, Hai-tok, Tee-tok dan murid-murid mereka. Karena itu, ingin sekali mereka menangkap tokoh-tokoh besar ini, karena sekali tokoh-tokoh besar itu tertangkap, mereka yakin bahwa pemberontakanpun akan mudah dipadamkan. Maka, kedua pihak lalu mengatur siasat, mencari jalan agar dapat menangkap para pimpinan pemberontak. Malam itu amat gelap dan suasana di penjara besar kota Hang-couw sudah sunyi, karena agaknya para tahanan sudah tidur pulas walaupun keadaan mereka amat sengsara. Kamar-kamar yang penuh dengan tawanan, tidur begitu saja di atas lantai yang dingin, juga berbau busuk. Lebih dari seratus orang tawanan berada di satu ruangan besar yang terbagi menjadi belasan kamar.
Mereka ini semua adalah tawanan perang, anggauta-anggauta pemberontak yang tertangkap ketika diadakan pembersihan. Akan tetapi para penjaga masih berjaga dengan penuh kewaspadaan. Tidak kurang dari dua puluh orang berjaga di situ. Mereka maklum bahwa teman-teman para tawanan yang masih berkeliaran di luar tentu akan berusaha membebaskan mereka yang tertawan. Oleh karena itu, para penjaga itu siang malam secara bergiliran melakukan penjagaan yang kuat. Dan karena kini pasukan-pasukan pemerintah Mancu telah bergabung dengan pasukan-pasukan orang kulit putih, di antara para penjaga itu terdapat dua orang perajurit kulit putih yang membawa bedil dan pistol. Penjara itu dikurung tembok tinggi dan empat sudutnya terdapat tempat penjagaan yang selalu dijaga oleh masing-masing empat orang penjaga.
Isi penjara itu seluruhnya tidak kurang dari empatratus orang, akan tetapi tawanan para pemberontak disatukan di dalam ruangan yang dijaga ketat oleh dua puluh orang penjaga pilihan. Malam semakin larut dan dingin. Para penjaga sudah melakukan perondaan ketika tanda waktu tengah malam dipukul, dan keadaan di seluruh penjara itu nampak aman dan tenteram saja. Para tahanan agaknya sudah tidur semua. Terdengar dengkur di sana sini. Ada pula terdengar keluhan-keluhan berat, dan tangis lirih tertahan. Demikianlah keadaan ruangan penjara itu setiap malamnya. Tak seorangpun di antara enam belas orang penjaga yang bertugas jaga di empat penjuru penjara melihat betapa ada sesosok bayangan hitam berkelebat dengan kecepatan seperti seekor kucing saja, melompati pagar tembok yang kebetulan agak gelap karena cahaya lampu gantung terhalang mencapai bagian itu.
Karena gerakan bayangan itu amat cepat, memang tidak mudah menangkap gerakannya. Apalagi dia tadi hanya nampak bergerak melayang dan meloncati pagar tembok saja, yang hanya makan waktu dua-tiga detik. Kini dia menyelinap ke dalam gelap, akan tetapi sudah berada di sebelah dalam tembok penjara. Ketika bayangan itu muncul di bawah sebuah lampu gantung, biarpun hanya sebentar, namun sinar lampu yang menimpa mukanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang masih muda dan berwajah tampan. Akan tetapi, dia cepat menggunakan sehelai saputangan hitam untuk menutupi bagian bawah mukanya, sehingga yang nampak kini hanya sepasang matanya yang mencorong tajam karena kepalanya juga terbungkus kain hitam.
Pakaiannya juga serba hitam sehingga ketika kembali dia berkelebat ke bagian yang tidak begitu terang, tubuhnya lenyap ditelan warna hitam. Ketika itu, dua puluh orang penjaga yang bertugas juga di sebelah luar pintu besar ruangan tempat para tahanan pemberontak, masih asyik bermain catur dan kartu untuk melewatkan waktu malam. Mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa tak jauh dari situ, di balik tiang yang besar, ada sesosok tubuh berpakaian serba hitam menyelinap dan mengintai ke arah mereka. Bayangan itu menggunakan pandang matanya yang tajam untuk menyelidiki keadaan. Pintu ruangan itu hanya satu-satunya, pintu besar dari besi yang kuat dan nampak betapa daun pintu itu ditutup dan diperkuat dengan sebuah rantai baja yang besar dan digembok.
Di sebelah dalam ruangan ini terbagi menjadi belasan kamar, yang tidak berdaun pintu dan tubuh para tawanan malang melintang di dalam kamar-kamar itu, nampak dari luar karena pintu besar itu beruji. Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, bayangan itu menggerakkan tangan kanan mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, juga tangan kirinya merenggut sebuah benda bulat. Dia membuat perhitungan dan mengukur jarak dengan pandangan matanya, kemudian tangan kirinya melontarkan benda bulat itu ke arah para penjaga, dan sengaja melemparkan benda itu ke dekat meja penjaga yang sedang bermain kartu, dimana terdapat pula dua orang perajurit kulit putih yang membawa bedil dan pistol.
Terdengar ledakan keras dan asap mengepul tebal memenuhi ruangan itu. Para perajurit yang berjaga mengeluarkan teriakan-teriakan kaget, beberapa orang di antara mereka terguling dan menutupi muka mereka karena serangan asap tebal. Di antara kebutan asap tebal itu, bayangan hitam tadi berkelebat dan cepat dia menggunakan pedangnya membacoki rantai yang mengikat pintu besar. Hanya beberapa kali bacokan saja, membuat rantai itu putus dan diapun cepat membuka daun pintu dan melompat masuk. Para tahanan sudah terbangun karena terkejut. Mereka semua terbelalak melihat semua yang terjadi, dan hati mereka terguncang dengan penuh kegembiraan dan ketegangan. Tak salah lagi, mereka sedang ditolong orang yang pandai!
"Cepat, kalian lari keluar!" kata bayangan itu.
"Siapakah saudara?" tanya seorang di antara para tahanan. Tanpa menjawab, bayangan itu membuka penutup mukanya sehingga sejenak mukanya tertimpa sinar lampu gantung.
"Kau... kau ..." Beberapa orang pemimpin pemberontak berseru kaget dan heran bukan main.
"Sssttt!" Bayangan itu menutup kembali kain hitam di mukanya.
"Aku sengaja menyelundup ke dalam pasukan pemerintah. Keluarlah dan tunggu aku di luar kota sebelah selatan di luar hutan. Sudah kupersiapkan segalanya di sana." Kini para penjaga sudah datang menyerbu.
Akan tetapi, bayangan itu mengamuk dengan pedangnya, menerjang keluar diikuti para tahanan yang juga melakukan perlawanan. Karena para tahanan itu berjumlah seratus orang lebih, dan penolong mereka itu amat lihai, tentu saja para penjaga tidak kuat bertahan. Apalagi dua orang perajurit kulit putih yang mereka andalkan, yang membawa bedil dan pistol, telah tidak berdaya dan setengah pingsan karena merekalah yang paling dekat dengan bom asap yang tadi meledak dekat sekali dengan mereka. Jangankan mempergunakan senjata api dan ikut bertempur, untuk membuka mata saja mereka tidak sanggup. Karena ini, para penjaga lalu melarikan diri dan terdengarlah mereka memukul kentungan tanda bahaya. Karena markas pasukan gabungan pemerintah dan orang kulit putih berada tak jauh dari penjara, maka kini berbondong-bondong muncullah pasukan yang menyerbu ke penjara.
Akan tetapi, seratus lebih orang tahanan itu telah menyerbu keluar dan kini terjadilah pertempuran kecil di depan penjara dan nampak oleh para tawanan betapa penolong mereka mengamuk dengan hebatnya. Betapapun juga, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, akhirnya di antara para pelarian itu, ada pula yang tertangkap kembali. Hanya kurang lebih tiga puluh orang saja, yang berhasil lolos. Dan mereka ini, sesuai dengan pesan penolong mereka, lalu dengan berpencar keluar dari kota Hang-couw sebelah selatan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tiga puluh orang telah berkumpul di luar hutan yang masih gelap itu. Dan penolong merekapun muncul, masih berpakaian hitam-hitam akan tetapi tanpa mengenakan kain hitam penutup muka. Melihat orang ini, tiga puluh tiga orang itu lalu menyambut dengan gembira. Seorang pemimpin pemberontak berseru dengan kagum.
"Sungguh tidak kami sangka! Lee-Ciangkun selama ini dikenal sebagai seorang yang paling gigih menentang kami kau m pejuang, akan tetapi kenapa sekarang membalik dan menentang mereka, membantu para patriot?" Laki-laki muda yang tampan, itu adalah Lee Song Kim, dan dia tersenyum.
"Akupun seorang warga negara yang mencinta tanah air dan bangsa." Dia menarik napas panjang.
"Memang dahulu aku pernah terbujuk oleh pemerintah, akan tetapi setelah melihat betapa pemerintah bersekutu dengan orang-orang asing, dan melihat betapa orang-orang gagah bergerak memberontak terhadap kekuasaan asing, timbul semangatku untuk membantu perjuangan. Apalagi mengingat bahwa suhuku, yaitu Hai-tok Tang Kok Bu, menjadi seorang di antara pimpinan pejuang. Akan tetapi, aku tetap menjadi opsir pemerintah. Hal ini akan memudahkan aku untuk bergerak serta sembunyi dan berkedok lalu mengadakan kontak dengan para pejuang. Sebagai seorang opsir tinggi, aku dapat mengetahui semua rencana dan rahasia yang akan dilakukan oleh gabungan pasukan pemerintah dan orang kulit putih. Harap sampaikan pesanku kepada para pimpinan kalian bahwa mulai saat ini aku, Lee Song Kim, berpihak kepada mereka, akan tetapi diam-diam masih memegang jabatanku agar dapat mengetahui gerakan musuh."
Tentu saja para pemberontak atau yang menamakan diri mereka sendiri pejuang itu menjadi gembira. Apalagi ketika Lee Song Kim membawa mereka ke sebuah tempat persembunyian didalam hutan dimana telah disediakan lebih dari empat puluh ekor kuda untuk mereka! Benar-benar perbuatan Lee Song Kim sekali ini amat berjasa bagi perjuangan dan telah menjadi bukti yang cukup bahwa bekas penentang perjuangan itu kini benar-benar telah menjadi seorang di antara mereka.
"Lalu apa yang akan dilakukan oleh Lee-Ciangkun selanjutnya untuk membantu perjuangan?" tanya seorang di antara mereka. Song Kim tersenyum lagi, akan tetapi dia menggeleng kepala.
"Harap saudara-saudara jangan menyebut aku Lee-Ciangkun kalau kita sedang mengadakan pertemuan seperti ini. Bukankah kita sama-sama pejuang?"
"Baiklah, Lee-Taihiap! Harap beri petunjuk, apa yang harus kami lakukan selanjutnya dan bagaimana Taihiap akan dapat menghubungi kami, atau kami menghubungi Taihiap." Song Kim tersenyum, girang dan bangga bahwa dia kini disebut Taihiap (Pendekar Besar).
"Cu-wi (anda sekalian) tentu sudah maklum bahwa aku menjadi opsir tinggi yang kini ditempatkan di Nan-king. Karena itu, tidak amanlah kalau kita mengadakan pertemuan di dekat Nan-king. Sebaiknya, tempat inilah, di dalam hutan ini, yang menjadi tempat pertemuan antara kita.
"Kuharap kalian sampaikan kepada para pimpinan kalian, selain apa yang telah kulakukan, juga agar para pimpinan dapat menemui aku pada tanggal satu bulan depan di tempat ini, di waktu malam. Hari itu masih ada tiga minggu lagi, dan kukira dalam waktu itu, aku sudah akan memperoleh banyak keterangan yang penting tentang gerakan pasukan pemerintah.
"Andaikata ada keperluan mendesak untuk disampaikan kepadaku, hubungi saja tukang sayur bernama Lo Kian yang tinggal di kota Nan-king, di ujung barat dekat kuil. Dialah yang suka menyetorkan sayur mayur ke gedungku, dan dia dapat kalian percaya untuk menyampaikan apa saja kepadaku tanpa dicurigai orang lain." Semua orang bergembira karena mereka percaya bahwa perwira muda yang mereka tahu amat lihai itu biasanya ditakuti oleh para pejuang, kini benar-benar berpihak kepada mereka.
"Hidup Lee-Taihiap!" Mereka berseru setelah mereka hendak berangkat, dan tak lama kemudian dengan berpencaran. Song Kim juga cepat menyelinap pergi dan lenyap di antara batang-batang pohon di hutan itu. Tentu saja di dunia kang-ouw dan para pejuang dan patriot menjadi geger ketika mereka mendengar akan peristiwa yang terjadi di dalam penjara kota Hang-couw itu. Bermacam-macam tanggapan mereka terhadap peristiwa mengejutkan itu. Banyak pula di antara mereka yang menaruh curiga. Berita ini sampai pula ke telinga Hai-tok. Mendengar tanggapan para pimpinan pejuang bahwa mungkin muridnya hanya mengatur siasat saja, hati Hai-tok menjadi panas.
"Kita lihat saja tanggal satu bulan depan nanti. Kalian datanglah ke hutan itu. Aku sendiri akan membayangi, dan kalau benar dia berkhianat dan mengatur jebakan, aku sendiri yang akan membunuhnya dengan kedua tanganku ini!" Di dalam hatinya, Kakek yang bertubuh tinggi besar ini merasa kecewa dan berduka. Dia amat mencinta Song Kim dan dianggapnya Song Kim murid yang teramat baik.
Tentang kecabulan atau kejahatan kejahatan lain yang dilakukan muridnya, dia tidak perduli, karena baginya, hal itu dianggap sebagai petualangan saja dan sudah wajar dilakukan oleh muridnya. Akan tetapi ketika mendengar betapa muridnya itu menghambakan diri kepada pemerintah Ceng dan bahkan bersekongkol dengan orang-orang kulit putih, dia merasa malu dan marah bukan main. Diam-diam tadinya dia mengharapkan untuk dapat menjodohkan Kiki dengan muridnya itu. Akan tetapi Kiki malah pernah melapor kepadanya betapa Song Kim berusaha memperkosa Kiki. Kini, Hai-tok mendengar betapa muridnya melakukan perbuatan yang amat membesarkan hatinya, yaitu membebaskan para tawanan di Hang-couw. Kalau benar-benar muridnya itu telah berbalik pikiran dan menentang penjajah dan orang asing, dia masih mengharapkan untuk meraih murid itu agar kelak menjadi jodoh Kiki.
Maka, mendengar tanggapan yang mencurigai Song Kim, hatinya menjadi panas, juga khawatir karena siapa tahu muridnya itu benar-benar melakukan siasat untuk menghancurkan para pejuang. Pada hari yang dijanjikan, para pemimpin pejuang menyebar anak buah untuk menyelidiki keadaan hutan di sebelah selatan kota Hang-couw. Sejak sore hari, anak buah pejuang menyelinap dan melakukan penyelidikan. Namun, hutan itu sunyi saja, tidak nampak seorangpun perajurit pemerintah atau kulit putih yang bersembunyi atau pengepung tempat itu. Hati mereka menjadi lega. Tidak kurang dari tujuh orang pemimpin kelompok-kelompok pejuang telah berdatangan ke tempat itu dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka sehingga hutan itu kini seperti didatangi iblis-iblis yang berkelebatan cepat.
Tokoh-tokoh besar seperti Hai-tok, San-tok dan Tee-tok tidak nampak, juga murid-murid mereka. Mereka itu sedang bertugas di lain tempat. Hanya Hai-tok yang diam-diam membayangi dan mengamati hutan itu, siap untuk membekuk batang leher muridnya kalau benar Song kini melakukan siasat memasang perangkap untuk para pimpinan patriot. Setelah malam berkurang gelap karena bulan mulai muncul, bulan sabit yang ditemani bintang-bintang, muncul pulalah Lee Song Kim di tempat itu. Melihat betapa pemuda ini datang seorang diri, tujuh orang pimpinan kelompok pejuang itupun melompat keluar dari tempat sembunyi mereka dan Song Kim telah dikepung oleh mereka. Tentu saja tujuh orang ini mengenal baik perwira muda perkasa yang biasanya menjadi musuh besar mereka itu.
"Ah, cu-wi telah datang? Sungguh baik sekali, karena aku tidak mempunyai cukup waktu. Akan tetapi aku membawa berita yang amat mengejutkan dan juga amat penting bagi cu-wi (anda sekalian)." Seorang di antara tujuh pemimpin itu, yang memakai sebuah topi caping lebar dan berpakaian seperti petani, melangkah maju. Dia adalah seorang pemimpin pejuang yang terdiri dari keluarga petani. Dia seorang kang-ouw berjuluk Kang-jiu-eng (Pendekar Bertangan Baja), ilmu silatnya tinggi, murid Bu-tong-pai dan terkenal gagah perkasa. Pendekar yang usianya empat puluh tahun ini lalu menjura.
"Lee-Taihiap, kami semua telah mendengar akan perbuatan Taihiap membebaskan para tahanan di penjara Hang-couw. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih, dan kami merasa gembira bahwa Taihiap telah berbalik pikir dan membantu kami, berpihak kepada para pejuang dan menentang penjajah dan pasukan asing. Akan tetapi terus terang saja, di antara kamipun masih ada yang meragukan iktikad baik dari Taihiap, kami tidak tahu apakah Taihiap benar-benar akan membantu para pejuang." Song Kim mengangkat kedua tangan ke atas dan memotong.
"Cukuplah, saudaraku yang baik. Aku bertindak menurut naluriku, dan aku tidak perduli dipercaya ataukah tidak, karena akupun tidak mengharapkan imbalan. Biarlah aku berjuang dengan caraku sendiri.
"Sekarang, dengarkanlah berita penting yang kubawa, dan bersiap-siaplah agar kalian tidak sampai dilanda malapetaka. Pasukan gabungan antara pemerintah dan orang kulit putih telah membuat rencana besar.
"Mereka telah menemukan sarang para pejuang di empat tempat, dan mereka akan melakukan penyerbuan serentak di empat tempat itu, dengan mengerahkan kekuatan yang besar, masing-masing tempat akan diserbu oleh seribu orang tentara gabungan. Waktu penyerbuan adalah tanggal tujuh tengah malam, dan kalau hal ini sampai terjadi, empat sarang itu tentu akan hancur dan seluruh penghuninya akan dibasmi habis." Tentu saja keterangan ini penting bukan main. Bahkan Kang-jiu-eng sendiri memandang dengan mata terbelalak dan wajah berubah.
"Lee-Taihiap, empat tempat markas kami manakah yang telah diketahui dan akan diserbu?"
"Pertama adalah sarang yang berada di lereng bukit kembar di selatan Nanking, kemudian sarang kedua adalah yang berada di tepi muara Sungai Han-sui, yang ketiga adalah sarang yang berada di perkampungan Cou-san, dan keempat yang berada di kuil tua di hutan sebelah timur Nan-king." Terdengar seruan-seruan kaget, karena di antara tujuh orang pemimpin kelompok pejuang itu terdapat empat orang pimpinan dan tempat-tempat yang disebutkan itu. Bahkan Kang-jiu-eng sendiri adalah pemimpin dari kelompok yang bersembunyi di tepi muara Sungai Han-Sui! Song Kim tidak mempedulikan mereka kini sibuk bicara sendiri, bahkan anak buah pejuang kini sudah bermunculan, memenuhi tempat itu.
"Aku tidak mempunyai banyak waktu. Kepergianku ini tidak dapat terlalu lama. Kalau mereka kehilangan aku, tentu akan menimbulkan curiga. Berita yang penting telah kusampaikan.
"Terserah kalau cu-wi ragu-ragu kepadaku, tidak percaya dan tidak mau bersiap-siap. Akan tetapi kalau penyerbuan itu benar terjadi, jangan salahkan aku. Nah. sampai lain kali. Kalau cuwi merasa perlu menghubungi aku, pakai saja tukang sayur sebagai perantara. Selamat berpisah!" Lee Song Kim lalu berkelebat dan sekali meloncat, diapun lenyap dari depan semua orang yang merasa kagum dan jerih melihat kelihaian perwira muda yang kini berpihak kepada mereka itu. Song Kim yang berloncatan dengan cepatnya meninggalkan hutan itu, ketika tiba di luar hutan, tiba-tiba terkejut karena seorang Kakek tinggi besar tahu-tahu telah berada di depannya, menghadang sambil bertolak pinggang. Kakek ini bukan lain adalah Hai-tok, gurunya! Dengan mata mencorong marah, Hai-tok mengertak.
"Hemm... murid durhaka, sekarang engkau hendak berkata apalagi!" Melihat gurunya, Song Kim cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
"Suhu... teecu telah bersalah dan bersedia menebus kesalahan teecu."
"Engkau tidak hanya mengkhianati guru sendiri dan bangsa sendiri. Engkau telah menjadi anjing penjilat sepatu penjajah Mancu dan bahkan orang-orang kulit putih! Apa kau kira aku dapat membiarkan engkau hidup setelah melakukan perbuatan terkutuk itu!"
"Ampun suhu. Teecu memang telah terbujuk dan silau oleh kedudukan. Akan tetapi teecu telah insyaf dan sadar, dan kini teecu sedang berusaha menebus semua kesalahan teecu dengan membantu perjuangan." Diam-diam Hai-tok merasa girang dan juga bangga terhadap muridnya ini. Tentu saja dia tadi sudah mendengarkan semua yang dibicarakan Song Kim ketika bertemu dengan para pimpinan pejuang.
"Aku sudah tahu akan hal itu, kalau tidak, apa kau kira sekarang engkau masih dapat bicara? Nah, akan kulihat apakah laporanmu tadi benar. Kalau engkau berkhianat, masih belum terlambat bagiku mencarimu dan menghukummu dengan kedua tanganku sendiri!"
"Teecu bersedia menerima hukuman mati dari suhu kalau teecu berkhianat," kata Song Kim dengan suara tegas. Dan hati Kakek itu menjadi semakin girang. Tidak percuma dia menyayang murid ini dan mewariskan hampir semua ilmu kepandaiannya.
"Nah... sekali ini kuberi kebebasan padamu. Pergilah!"
"Suhu memang selalu baik kepada teecu. Terima kasih, suhu." Berkata demikian, Song Kim lalu meloncat dan lenyap dari depan suhunya yang mengikutinya dengan pandang mata penuh rasa bangga. Tentu saja para pimpinan pejuang segera bubaran dan cepat kembali ke tempat masing-masing. Terutama sekali empat orang yang mendengar bahwa sarang mereka akan diobrak-abrik oleh pasukan gabungan yang terdiri dari seribu orang. Bayangkan saja, seribu orang perajurit musuh, dan banyak di antara mereka yang memegang senjata api!
Tentu mereka akan hancur binasa dan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Tentu saja sebelum hari tanggal tujuh itu tiba, para pejuang telah meninggalkan sarang masing-masing, mengosongkan markas itu dan bersembunyi di tempat lain. Akan tetapi dengan hati penuh ketegangan, para pimpinan pejuang itu mengutus beberapa orang anak buah untuk melakukan pengintaian dari tempat aman, untuk melihat apakah benar pada tanggal itu akan terjadi penyergapan seperti yang diceritakan oleh Lee Song Kim kepada mereka. Hari tanggal tujuh pun tibalah, dan terlihat ketegangan memuncak di dalam hati para pejuang! Dan menjelang tengah malam, dengan hati ngeri mereka melihat bahwa apa yang diceritakan oleh Song Kim itu benar terjadi semua! Di setiap tempat dari empat markas mereka itu, datang seribu orang perajurit gabungan yang lengkap dengan senjata api menyerbu,
Dan ketika mereka mendapat kenyataan bahwa markas-markas itu telah kosong, mereka menjadi marah dan membakar segala yang terdapat di situ. Dapat dibayangkan oleh para pejuang apa yang akan menjadi nasib mereka, sekiranya mereka tidak tahu lebih dahulu dan berada dalam keadaan tidur pulas selagi penyergapan itu terjadi. Tentu mereka akan dibantai dan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk meloloskan diri! Kembali dunia kau m pejuang menjadi gempar! Dan kini, mereka semua memuji-muji Lee Song Kim. Tidak ada lagi yang meragukan kesetiaannya terhadap perjuangan. Bukankah pemuda itu telah menyelamatkan ribuan nyawa para pejuang? Dan kini para pimpinan pejuang, yang jumlahnya belasan orang, mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Si Pendekar Tangan Baja.
"Tenaga Lee-Taihiap amat kita perlukan," demikian antara lain Kang-jiu-eng berkata.
"Dengan adanya dia yang dipercaya oleh pemerintah penjajah dan pasukan asing, kita akan dapat mengetahui semua gerak-gerik mereka. Tiba saatnya bagi kita untuk menyatukan kekuatan dan mengadakan pukulan balasan yang tepat.
"Kalau kita sudah mengetahui rahasia kekuatan dan kedudukan mereka, tentu akan mudah bagi kita untuk menghantam mereka dengan hasil baik. Dan semua keterangan itu, kiranya hanya dapat kita peroleh dari Lee-Taihiap."
"Benar, kita harus cepat menghubung Lee-Taihiap," kata seorang di antara mereka.
"Dan kita sudah tahu bagaimana caranya untuk dapat menghubungi Lee-Taihiap. Nanti kalau sudah ada kontak dan ada penentuan harinya untuk mengadakan pertemuan dengan Lee-Taihiap, cuwi akan kuberi kabar lagi." Demikianlah, tukang sayur Lo Kian segera dihubungi dan benar saja, dari tukang sayur ini, Kang-jiu-eng dapat mengadakan pertemuan rahasia dengan Song Kim. Perwira muda itu menyambut baik undangan para pimpinan pejuang. Dan pada suatu malam, diadakanlah pertemuan antara Song Kim dan belasan orang pimpinan pejuang. Akan tetapi, dalam pertemuan ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan nampak kecewa karena dia tidak melihat adanya tokoh-tokoh besar pimpinan para pejuang.
"Aku ingin membicarakan urusan yang amat penting, menggambarkan keadaan pasukan pemerintah dan pasukan asing. Karena itu, rapat yang amat penting ini seharusnya dihadiri oleh seluruh pimpinan pejuang, terutama sekali para Locianpwe. Kenapa para Locianpwe tidak hadir di sini?
"Padahal, selain suhu Hai-tok yang dibantu puterinya, yaitu sumoi Tang Ki, masih terdapat tokoh-tokoh seperti Locianpwe San-tok, Locianpwe Tee-tok, bahkan Locianpwe Siauw-bin-hud bersama murid-murid mereka yang aktif dalam perjuangan. Kenapa mereka tidak muncul? Apakah mereka masih belum percaya kepadaku?"
"Bukan begitu, Taihiap. Akan tetapi selain para Locianpwe itu sukar sekali ditemui dan mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, juga para murid mereka melakukan perjuangan dengan menyendiri, mengandalkan kepandaian mereka yang tinggi. Karena itu, hanya kami saja yang hadir, para pimpinan dan pasukan-pasukan pejuang yang merupakan sebagian besar dari seluruh pejuang yang ada." Song Kim menggeleng kepala dengan kecewa.
"Sayang, tak mungkin aku dapat membuka semua rahasia tanpa hadirnya mereka. Sekali dibuka, rahasia dan kekuatan pihak pemerintah, kita harus melakukan penyergapan total dan serentak. Dan hal ini merupakan perang yang tidak kepalang tanggung.
"Kalau menang, kita berhasil menumbangkan penjajah dan mengusir pasukan asing. Akan tetapi salah perhitungan sedikit saja, akan membahayakan kedudukan kita sendiri. Oleh karena itu, perlu kehadiran para Locianpwe, baru aku mau mengadakan perundingan." Ucapan Song Kim itu dapat diterima oleh para pimpinan pejuang.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh Lee-Taihiap, dan kalau kita mau berusaha, tentu para Locianpwe itu dapat kita undang untuk menghadiri rapat yang amat penting ini. Bukankah dalam pertemuan yang lalu, Locianpwe Hai-tok Tang Kok Bu juga berkenan datang? Mengapa yang lain tidak dapat hadir kalau memang kita cari dan kita undang?"
"Nah, kalau begitu, biarlah diadakan pertemuan lain kali saja dan agar dapat mengundang para Locianpwe, kalau mungkin bersama murid-murid mereka. Tempatnyapun harus dirobah.
"Ada sebuah tempat yang amat baik untuk pertemuan besar itu, tempatnya sunyi dan sebaiknya diadakan pada pagi hari. Pagi-pagi sekali pada saat matahari mulai memancarkan sinarnya, pada saat ayam-ayam jantan mulai berkokok."
"Dimanakah tempat itu, Lee-Taihiap?"
"Di lembah Sungai Han-sui, di kaki Bukit Naga. Bukankah di sana terdapat sebuah padang rumput yang dikelilingi anak bukit? Tempat itu baik sekali kalau kita berkumpul di sana, tidak akan nampak oleh orang luar. Dan tempat itu sunyi sekali, tak pernah dikunjungi orang. Selain itu, juga luas sehingga kalau terjadi apa-apa, kita akan dapat bubar dan berpencar ke segala penjuru." Semua orang mengangguk-angguk
setuju. Memang tempat itu pernah mereka jadikan tempat untuk berlatih baris dan ilmu silat.
"Akan tetapi kapankah waktunya, Taihiap?"
"Sebaiknya, agar kita mempunyai waktu untuk mengundang para Locianpwe, nanti dua minggu kemudian." Mereka lalu berunding dan setelah waktu dan tempat ditentukan, mereka lalu bubaran dengan perasaan puas. Para pimpinan pejuang itu lalu bekerja keras untuk menghubungi tokoh-tokoh besar yang mereka kenal. Siauw-bin-hud tak mungkin dapat dihubungi karena tokoh ini tidak mau lagi mencari urusan dunia dan telah mengasingkan diri entah kemana. Juga pendekar yang dianggap wakilnya, yaitu Tan Ci Kong, sukar untuk dihubungi karena pendekar ini melakukan gerakan sendiri setelah berhasil mengelabuhi Song Kim dengan penyamarannya bersama Lian Hong dan Kui Eng.
Dia berpencar dan terpisah dari dua orang gadis itu dan melanjutkan bantuannya terhadap para patriot dengan cara bekerja sendiri. Bahkan para pendekar muda itu tidak berhasil dihubungi para pimpinan pejuang, akan tetapi mereka masih merasa beruntung karena berhasil menghubungi Hai-tok, Tee-tok, dan San-tok. Tiga orang Kakek itu telah menyatakan kesanggupan mereka untuk menghadiri rapat pertemuan dengan Lee Song Kim untuk mengatur dan merencanakan penyerbuan total yang besar-besaran. Dan malam yang telah direncanakan semenjak tengah malam, di tempat yang ditentukan itu bermunculan tokoh-tokoh yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Mereka itu bermunculan seperti setan-setan saja, dengan gerakan yang amat cepat sehingga secara tiba-tiba saja mereka nampak seorang demi seorang.
Mereka berkumpul di lapangan rumput yang luas itu, lapangan rumput yang kelilingi anak bukit dan tanggul air Sungai Han-sui. Tempat itu memang sunyi melengang dan merupakan tempat yang amat baik, karena kedatangan musuh sudah akan dapat dilihat dan jarak jauh. Hai-tok, Tee-tok dan San-tok bermunculan tanpa membawa murid mereka, karena pada waktu itu, kebetulan murid-murid mereka sedang tidak ada di tempat. Kalau ada murid-murid mereka, tentu mereka akan mewakilkan kepada murid-murid mereka. Akan tetapi karena tidak ada wakil, dan mengingat pentingnya pertemuan itu, mereka datang sendiri, dan setelah terdengar bunyi ayam jantan berkokok untuk pertama kalinya, seluruh pimpinan para pejuang telah berkumpul di tempat itu. Jumlah mereka ada limabelas orang, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
"Hai-tok, mana setan cilik yang menjadi muridmu itu? Kenapa dia belum juga muncul?" tiba-tiba terdengar suara Tee-tok bertanya, biarpun tubuhnya pendek kecil akan tetapi suaranya lantang terdengar oleh semua orang yang kini menoleh dan memandang kepada Hai-tok untuk mendengarkan jawabannya, karena karena merekapun ingin sekali mengetahui mengapa Lee Song Kim belum juga nampak muncul di tempat yang sudah dijanjikan itu.
"Mana aku tahu? Sudah lama dia tidak menjadi munidku, bahkan pernah hampir menjadi musuh besarku. Kalau dia sekarang menunjukkan jasa yang besar, barulah dia patut menjadi muridku."
"Ha-ha-ha-ha! Hai-tok memang selamanya licik! Kalau murid itu baik, cepat diakuinya sebagai murid, kalau sebaliknya, berbalik menjadi musuhnya. Jangan-jangan sekali ini dia tidak muncul dan kita berada dalam perangkap. Hai-tok, kalau terjadi demikian, maka sekali ini jelas kau kalah licik dibandingkan muridmu sendiri, ha-ha!" San-tok berkata lantang. Hai-tok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Racun Gunung itu dengan mata mendelik.
"Jagalah sedikit mulutmu, San-tok! Sebelum engkau melihat buktinya, jangan dulu menjatuhkan fitnah. Bukankah sudah dua kali Song Kim membuktikan bahwa dia setia dan membela kawan-kawan kita?"
Pada saat itu, terdengarlah suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan dan jauh, dan semua orang saling pandang karena belum juga nampak munculnya orang yang mereka tunggu-tunggu, yaitu Lee Song Kim. Tiba-tiba tiga orang Kakek sakti itu memutar tubuh memandang ke arah anak bukit yang menjadi tanggul sungai. Semua orang ikut memandang dan nampaklah sesosok tubuh manusia. Mula-mula nampak kecil saja akan tetapi dengan cepat menjadi besar. Cahaya matahari pagi sudah mengusir kegelapan malam dan dengan kecepatan luar biasa, tubuh manusia itu kini menuruni anak bukit. Semua orang tadinya menduga bahwa tentulah Lee Song Kim, orang yang mereka tunggu-tunggu itulah yang datang. Akan tetapi mereka kini memandang ragu karena nampaklah bahwa orang itu memiliki tubuh yang gemuk dengan perut gendut dan kepala kelihatan gundul dari jauh.
"Eh, mau apa iblis itu datang ke sini?" Hai-tok menggumam ketika dia mengenal bahwa orang yang datang dengan cepatnya ini adalah Thian-tok!
"Hemmm, biar kutantang dia mengadu ilmu di tempat yang baik ini," kata Tee-tok yang marah karena Thian-tok adalah seorang di antara Empat Racun Dunia yang sama sekali tidak mau tahu tentang perjuangan, bahkan kabarnya mengikuti murid-muridnya yang menghambakan dirinya kepada orang kulit putih hal yang amat dibencinya oleh para patriot.
"Ho-ho, diapun masih hutang beberapa gebukan dariku!" sambung San-tok yang juga tidak suka kepada Thian-tok. Akan tetapi orang yang dijadikan bahan percakapan tiga orang tokoh sakti itu, setelah tiba di depan mereka, memperlihatkan sikap dan wajah yang serius sekali, bahkan nampak agak gugup.
"Celaka... celaka!" katanya sambil memandang kepada mereka semua, lalu menghadapi Hai-tok, dia memaki.
"Hai-tok, muridmu itu boleh jadi cerdik dan pandai sekali, akan tetapi ini keterlaluan, menyeret para pimpinan pejuang ke dalam perangkap maut!"
"Apa maksudmu!" bentak Hai-tok, sedangkan yang lain juga terbelalak memandang Kakek, berperut gendut yang bertelanjang dada ini.
"Maut telah berada di depan mata, kalian masih belum tahu! Tempat ini telah dikepung ribuan orang perajurit dan kalian tidak mungkin dapat lolos lagi!" kata Thian-tok. Semua orang terkejut, akan tetapi tiga rekan Thian-tok itu masih tidak percaya. Thian-tok ini terkenal cerdik dan licik, siapa tahu dia inilah yang berbohong. Akan tetapi tiba-tiba terdengar tambur dan terompet. Semua orang terkejut dan memandang ke sekeliling, dan nampaklah orang-orang berpakaian seragam bermunculan di atas bukit-bukit yang mengelilingi tempat itu. Barisan anak panah, barisan senapan, bahkan di delapan penjuru muncul meriam yang menodongkan moncongnya ka arah mereka.
"Celaka, kita terjebak!" Lima orang pejuang yang menjadi panik akan tetapi juga marah karena mereka telah dikhianati dan terjebak, segera meloncat dan bermaksud untuk melawan dan menerobos keluar.
"Jangan...!" Thian-tok masih berseru kepada mereka, akan tetapi dalam keadaan panik dan marah seperti itu, lima orang itu sama sekali tidak mau perduli dan mereka sudah berlompatan naik ke bukit untuk menerjang pasukan yang mengepung tempat itu dan yang berjajar di puncak bukit-bukit kecil itu. Akan tetapi, sebelum lima orang itu sempat menggerakkan senjata tajam di tangan mereka, tiba-tiba terdengar bunyi letusan meledak-ledak dan ratusan butir peluru beterbangan menyambar.
Lima orang pemimpin pejuang itu roboh terjengkang, dan mayat-mayat mereka terguling-guling jatuh lagi ke bawah bukit. Tubuh mereka berlumuran darah dan luka-luka yang banyak sekali. Para pemimpin pejuang lainnya hanya memandang dengan pandang mata terbelalak, penuh kemarahan akan tetapi merekapun maklum bahwa memang tidak ada gunanya melawan musuh yang demikian banyaknya, apalagi mereka dikepung barisan anak panah dan senjata api. Sebelum mereka sempat menyerang, tentu tubuh mereka menjadi sasaran peluru dan anak panah. Pada saat itu, muncullah Letnan Peter Dull bersama seorang panglima pasukan pemerintah Mancu. Mereka muncul di bawah pengawalan pasukan kulit putih yang membawa bedil yang sudah dipasangi bayonet, juga di dekat mereka terdapat dua buah meriam besar.
"Pemberontak-pemberontak! Kalian sudah terkepung, dan kalau kalian mau menyerah tanpa perlawanan, kamipun tidak akan membunuh kalian, melainkan menangkap kalian dan membawa kalian ke Nan-king! Menyerahlah atau kami akan memerintahkan meriam-meriam dan senapan-senapan dan anak-anak panah menyerang kalian!"
"Kami tidak akan melawan dan menyerah!" terdengar Thian-tok berseru keras sambil memandang kepada tiga orang rekannya yang juga tidak dapat melihat jalan yang lain yang lebih baik kecuali menyerah untuk sementara waktu ini. Panglima Ceng itu lalu mengeluarkan aba-aba dan belasan orang perajurit Ceng yang membawa borgol lalu menuruni anak bukit. Mereka lalu memborgol kedua tangan para pimpinan pejuang itu di belakang punggung masing-masing. Borgol baja itu amat kuat, sengaja dibuat untuk para pemimpin pejuang yang terkenal lihai itu. Setelah semua tawanan diborgol kedua tangannya di belakang, sang panglima lalu memerintahkan mereka semua memasuki empat buah kereta yang sudah dipersiapkan pula di situ. Kereta-kereta besar yang terbuat dan pada baja, dengan jeruji-jeruji baja yang amat kuat, masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda.
Terpaksa para tokoh pejuang itu di bawah todongan senapan, berjalan dan beriringan memasuki kereta. Tinggal sebelas orang saja yang menyerah, karena yang lima orang telah tewas tadi dan mayat-mayat mereka kemudian diseret dan dilempar ke dalam kereta lain oleh para perajurit. Empat buah kereta itupun lalu bergerak, dikepung oleh para perajurit yang merasa lega dan gembira sekali karena orang-orang yang amat lihai itu menyerah tanpa perlawanan. Hai-tok, dengan mata merah, memandang ke sekeliling mencari-cari, akan tetapi dia tidak melihat bayangan Lee Song Kim. Diam-diam dia mengepal tinju. Awas kau , kalau aku berhasil lolos, tugasku yang pertama kali adalah mencarimu dan menghancurkan kepalamu, demikian bisik hatinya. Akan tetapi sikap San-tok lain lagi. Dia masih tersenyum-senyum dan mengejek Thian-tok.
"Eh, apa-apaan engkau ikut ditawan bersama kami? Bukankah engkau pernah menjilati sepatu orang bule? Ataukah engkau juga seperti iblis cilik itu, kini pura-pura saja menjadi tawanan bersama kami?"
"Orang gunung tolol!" Thian-tok juga terkekeh.
"Sejak semua usahaku sia-sia belaka, tak berhasil mendapatkan Giok-liong-kiam, tak berhasil pula mengangkat kedudukan muridku, juga tidak berhasil membunuh Koan Jit jahanam murtad, aku tahu bahwa aku telah berdosa terhadap tanah air dan bangsa.
"Nah, sekarang ada kesempatan bagiku untuk menebus dosa, tapi dasar aku sial, aku terlambat memberi tahu kalian. Aku gagal menolong kalian, bahkan aku sendiri terperosok ke dalam. Sudahlah, gembira juga dapat bersama kalian bertiga menghadapi bahaya maut, ha-ha-ha!" San-tok tertawa geli. Melihat ini, Thian-tok mengerutkan alisnya.
"Berani kau mentertawai aku?" bentaknya.
"Aku menertawakan diriku sendiri, mentertawakan diri kita berdua. Kita semua, termasuk Siauw-bin-hud dan seluruh orang kang-ouw, setengah mati memperebutkan Giok-liong-kiam. Dan harus diakui bahwa akhirnya akulah yang berhasil. Akan tetapi, kemudian apa jadinya? Setelah peti harta karun kutemukan, ternyata isinya kosong!
"Ehh? Engkau bersungguh-sungguh?" Sambil tertawa-tawa, San-tok menceritakan semua yang telah dialaminya di dalam guha itu, betapa setelah menemukan peti, ternyata isinya telah kosong. Semua tokoh ikut mendengarkan dan merasa terheran-heran. Dan merekapun mendengar pula akan kelicikan Lee Song Kim yang membiarkan para tokoh sakti menemukan harta karun, baru dia akan muncul bersama pasukannya untuk merampasnya. Akan tetapi ketika itu, pasukan pemerintah belum mengadakan persekutuan dengan pasukan asing, maka hampir saja terjadi bentrok sendiri di antara mereka untuk memperebutkan peti yang ternyata kosong.
"Aih, kalau begitu siapa gerangan yang telah mendahului kalian? Aku jelas tidak!" kata Thian-tok.
"Kita semua telah didahului oleh tokoh-tokoh ratusan tahun yang lalu, yang mempergunakan tiga perempat bagian dari harta itu untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Akan tetapi sisanya yang seperempat entah lenyap kemana," kata San-tok.
Para tokoh lain sibuk merenungi diri mereka yang kini menjadi tawanan, seperti tikus-tikus memasuki lubang jebakan dan mereka heran melihat sikap empat orang tokoh Empat Racun Dunia itu yang kelihatan tenang-tenang dan enak-enakan saja. Tentu saja para pembesar tinggi di Kota Raja girang bukan main mendengar bahwa berkat siasat cerdik yang dilakukan oleh Lee Song Kim, akhirnya semua pemimpin para pejuang dapat ditangkap tanpa perlawanan berarti! Lee Song Kim diterima oleh kaisar sendiri dan menerima pangkat panglima. Sambil menanti keputusan pengadilan di Kota Raja, untuk sementara para tawanan itu ditahan di kota Nan-king, di tempat rahasia yang amat kuat. Tahanan itu berada di bawah tanah, melalui lorong-lorong yang penuh rahasia dan dijaga dengan ketatnya oleh pasukan gabungan.
Jangankan orang-orang biasa, biar pasukan yang besar sekalipun takkan mudah untuk dapat membebaskan para tawanan itu. Dan dunia para pejuang menjadi semakin gempar. Para pimpinan mereka telah tertawan, menjadi korban siasat busuk dari pengkhianatan Lee Song Kim. Tentu saja hal ini membuat gerakan para pejuang seperti lumpuh seketika. Gangguan-gangguan keamanan kini hanya terjadi secara kecil-kecilan dan tidak ada artinya lagi. Para pejuang kehilangan semangat. Kemana perginya murid-murid dan Empat Racun Dunia? Apakah mereka tidak mendengar akan malapetaka yang menimpa guru-guru mereka? Tentu saja mereka mendengarnya karena berita tentang peristiwa itu segera tersebar dengan luas. Para pendekar muda itu terkejut bukan main dan mereka segera mengadakan pertemuan di sebuah tempat rahasia di Nan-king untuk membicarakan urusan itu.
Mereka semua telah berkumpul. Ci Kong, Siu Coan, Kui Eng, Lian Hong, dan Kiki, telah mengadakan pertemuan di dalam sebuah kuil tua yang rusak dan tidak terpakai lagi di lereng bukit luar kota Nan-king. Berhari-hari mereka berlima itu berusaha untuk membebaskan tawanan, namun usaha mereka selalu gagal. Dengan susah payah, akhirnya mereka dapat juga mengetahui dimana adanya tempat tahanan itu, akan tetapi untuk dapat memasuki tempat tahanan itu saja sudah amat sulit, apalagi untuk membebaskan mereka! Baru muncul saja, mereka telah berhadapan dengan moncong-moncong bedil dan pistol, dan disambut oleh ratusan orang perajurit. Sampai beberapa kali mereka mencoba dan berbagai jurusan, namun akhirnya selalu mereka harus melarikan diri kalau tidak ingin menjadi korban peluru bedil dan pistol.
Tempat tahanan itu, menurut penyelidikan mereka, berada di ruangan bawah tanah di belakang kebun dan rumah penjara di Nan-king. Dan di belakang itu adalah sebuah bukit, berarti bahwa tempat tahanan itu berada di bawah bukit. Jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui pintu penjara itu, karena pintu masuk terowongan itu berada di dalam halaman penjara sebelah belakang. Dan di tempat inilah berkumpul lebih dari seratus orang perajurit gabungan, setiap saat siap dengan senjata api dan pengeroyokan mereka. Semenjak sore, setelah kembali mempelajari keadaan di penjara itu, lima orang pendekar muda itu sudah melakukan pengintaian dan penyelidikan terhadap gerak-gerik para penjaga. Mereka memang mengambil keputusan untuk bagaimana juga membebaskan para pemimpin pejuang, terutama sekali Empat Racun Dunia yang memiliki pengaruh besar terhadap para pejuang.
Mereka bukan saja hendak menolong guru mereka masing-masing, akan tetapi, seperti juga Ci Kong yang gurunya tidak ditahan, mereka bertindak demi perjuangan. Setelah tengah malam lewat, mereka menganggap tiba saatnya untuk melakukan percobaan lagi. Yang keempat kalinya, karena sudah tiga kali mereka gagal, bahkan Siu Coan menderita luka sedikit di pangkal lengan kirinya, kena serempet peluru. Pada saat itu, mereka menganggap bahwa para pengawal dan penjaga itu tentu telah mulai mengantuk. Mereka telah memperhitungkan bahwa menurut penyelidikan mereka, baru dua jam lagi penjagaan akan diganti dan saat itulah mereka sedang lelah-lelahnya dan ngantuk-ngantuknya. Lima orang itu menyerbu dari lima jurusan, berloncatan dan atas tembok penjara yang tinggi. Tentu saja para penjaga menjadi terkejut dan cepat kentungan dipukul.
"Mereka kembali lagi, lima ekor setan cilik itu. Bunuh mereka!" teriak komandan jaga. Dan tiba-tiba saja mereka itu lari bersembunyi! Selagi lima pemuda perkasa itu terkejut melihat ini, karena biasanya mereka segera dikeroyok, tiba-tiba saja terdengar ledakan-ledakan dari kanan kiri dan depan, dan tahulah mereka bahwa para penjaga itu memang sudah siap siaga! Kini mereka tidak melakukan pengeroyokan lagi, melainkan membersihkan tempat itu dari para penjaga sehingga hanya mereka berlimalah yang tinggal menjadi sasaran tembakan-tembakan.
"Awas... mundur!" bentak Ci Kong dan mereka sudah bergulingan ke atas tanah sehingga semua tembakan itu tidak mengenai sasaran, kemudian terpaksa mereka berlompatan kembali ke atas tembok penjara dan meloncat ke luar lalu melarikan diri! Mereka berlima menanti datangnya fajar dengan gelisah. Tak dapat tidur di dalam kuil tua itu betapa pun lelah tubuh mereka. Kegagalan kali ini adalah kegagalan total. Tiga kali yang terdahulu, biarpun gagal, mereka berhasil mengacaukan keadaan, bahkan merobohkan banyak pengawal. Akan tetapi sekali ini, begitu muncul mereka terpaksa harus melarikan diri lagi! Sampai pagi mereka membicarakan urusan itu, mencari-cari akal bagaimana cara agar dapat menolong guru-guru mereka.
"Bagaimanapun juga, kita harus membebaskan mereka! Aku harus menyelamatkan suhu, dan kalau perlu aku akan mengerahkan para pejuang dan pembantuku, yaitu mereka yang bekerja di pelabuhan!" kata Kui Eng penuh semangat.
"Akupun harus menyelamatkan Ayah, biarpun untuk itu harus mempertaruhkan nyawa!" kata pula Tang Ki atau Kiki puteri Hai-tok Tang Kok Bu.
"Benar... aku harus membebaskan suhu pula," kata Lian Hong. Ong Siu Coan mengangguk-angguk.
"Memang mereka perlu diselamatkan. Aku tidak terlalu mementingkan suhu yang juga ikut tertangkap karena suhu selama ini tidak pernah mencampuri urusan perjuangan. Akan tetapi aku lebih mementingkan para pimpinan pejuang, karena tenaga dan pikiran mereka amat diperlukan." Ci Kong juga mengangguk-angguk.
🖐
"Memang mereka harus dibebaskan, akan tetapi bagaimana caranya? Sudah empat kali kita berusaha, selalu gagal."
"Kita harus mencoba lagi sekuat tenaga dan kalau perlu mencari bala bantuan!" Kui Eng berkata.
"Aku pun dapat mengumpulkan ribuan orang teman untuk melakukan penyerbuan ke penjara kalau mungkin," kata pula Siu Coan, dan dia tidak membual ketika mengeluarkan ucapan itu. Pemuda ini memang telah mengumpulkan bekas-bekas anggauta Thian-te-pang yang masih setia kepadanya, dan membentuk sebuah perkumpulan baru yang dia beri nama Pai Sang-ti Hwee (Perkumpulan Pemuja Tuhan), dimana dia memasukkan Agama Kristen menurut penafsirannya sendiri. Kalau dia sekali ini berkumpul dengan para murid Empat Racun Dunia adalah karena dia ingin bekerja sama dengan mereka, menarik perhatian dan simpati mereka agar kelak dia dapat memperoleh bantuan untuk gerakannya itu.
"Aih, berbahaya kalau begitu!" kata Lian Hong.
"Kalau terlalu banyak yang melakukan penyerbuan, selain penjagaan akan semakin diperketat, juga ada bahayanya para tawanan itu dibunuh sebelum penyerbuan berhasil membebaskan mereka."
"Akan tetapi, bagaimanapun juga, kita harus mengerahkan seluruh daya upaya kita untuk membebaskan mereka!" Kiki kembali berkata dengan tidak sabar melihat betapa teman-temannya bersikap terlalu hati-hati. Tiba-tiba saja terdengar suara dari luar kuil. Suara itu dibawa masuk oleh angin, terdengar sayup-sayup akan tetapi jelas sekali.
JILID 36
"Tindakan yang sembrono untuk membebaskan tawanan hanya akan mendatangkan kerugian bagi perjuangan."
Lima orang muda perkasa itu terkejut sekali. Tak mereka sangka akan ada orang yang datang ke tempat itu dan melihat betapa orang itu bicara tentang tawanan, dapat diduga bahwa orang itu tentu sejak tadi telah mendengarkan percakapan mereka. Bagaikan berlumba, mereka lalu meloncat keluar dan ketika mereka tiba di ruangan depan, mereka melihat seorang laki-laki berpakaian serba putih dan memakai topi caping lebar telah berdiri di tengah ruangan yang butut itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, pakaiannya terbuat dan kain kasar putih bersih dan terawat baik walaupun potongannya sederhana sekali. Sepatunya penuh debu tanda bahwa dia datang dari tempat jauh, dan topi capingnya itu menyembunyikan mukanya. Dia berdiri tegak seperti patung dengan muka ditundukkan.
"Siapa engkau?" Siu Coan bertanya. Muka orang itu tertutup topi caping, dan juga dia berdiri di bagian yang masih gelap oleh bayangan karena matahari belum memancarkan sinar sepenuhnya.
"Apa artinya kata-katamu tadi?" Ci Kong juga menegur karena dia tertarik oleh ucapan orang itu tadi.
"Aku hanya memperingatkan agar kalian tidak sampai terjebak musuh. Para pimpinan pejuang memang tertawan, akan tetapi mereka tentu akan dipergunakan sebagai umpan oleh musuh agar kalian datang untuk membebaskan mereka, dan pihak musuh akan berusaha untuk menangkap juga atau membunuh kalian. Karena itu, berhati-hatilah, jangan sampai kalian tertipu dan terjebak.
"Kalian adalah orang-orang muda yang diharapkan oleh para patriot dan oleh guru-guru kalian untuk mewakili mereka memimpin para pejuang. Kalau kalian hanya sibuk dengan usaha pembebasan tawanan, maka perjuangan akan terhenti dan bahkan menjadi kacau karena tidak ada pemimpinnya lagi."
"Siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami?" Siu Coan membentak lagi dan mendekati. Orang berpakaian putih itu lalu mengangkat mukanya.
"Aihhh...!!" Lima orang muda itu terkejut bukan main dan berlompatan ke belakang seperti hendak menghindarkan diri dari ular berbisa yang amat berbahaya. Tidak aneh kalau mereka terkejut setengah mati, karena orang berpakaian serba put"h yang memakai caping lebar itu bukan lain adalah Koan Jit.
"Kau...!!" Tiga orang gadis perkasa itupun berseru kaget.
"Dia tentu datang untuk memata-matai kita!" kata pula Kiki. Dan teman-temannya juga menduga demikian. Mereka semua mengenal siapa adanya Koan Jit yang pernah menjadi tokoh penjilat dan pembantu pasukan kulit putih, dan terkenal sebagai penentang para pejuang. Tempat persembunyian mereka telah diketahui orang ini dan hal itu amatlah berbahaya.
"Keparat ini harus dibasmi!" bentak Kui Eng yang membenci Koan Jit karena pernah ia hampir menjadi korban kejahatan dan kekejaman orang ini. Gadis ini sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan pukulan kilat ke arah muka Koan Jit. Akan tetapi, dengan gerakan yang ringan sekali, Koan Jit mengelak sambil mundur dan berkata.
"Aku datang bukan dengan niat buruk, harap maafkan aku!" Melihat betapa Kui Eng telah maju menyerang, Lian Hong dan Kiki juga tidak tinggal diam. Mereka menerjang ke depan dan mengeroyok Koan Jit, karena mereka tahu betapa lihainya orang ini.
Koan Jit cepat menggerakkan tubuhnya dan mengatur langkah, dan tiga orang gadis itu terkejut bukan main. Tubuh Koan Jit bagaikan sesosok bayangan saja yang tak mungkin dapat dirobohkan. Agaknya, kemanapun mereka menyerang, tubuh itu selalu mendahului tangan kaki mereka dan selalu serangan mereka tidak mengenai sasaran. Yang amat aneh, gerakan Koan Jit itu kadang-kadang luar biasa sekali, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang melakukan samadhi, bersembahyang dan sebagainya. Gerakan seorang pendeta yang melakukan ibadat! Dan berkali-kali mulut Koan Jit mengucapkan "Omitohud!" disambung dengan suara membujuk agar ketiga orang gadis itu suka bersabar dan bahwa dia tidak menghendaki kekerasan dan perkelahian! Sungguh seorang Koan Jit yang aneh sekali.
"Haiiiittt!" Kui Eng menyerang dengan cengkeraman, disusul oleh Lian Hong yang memukul ke arah dada, sedangkan Kiki tak mau kalah, sudah menghantam pula dengan jari telunjuk kanan ditekuk mengarah tengkuk.
Akan tetapi, Koan Jit membuat gerakan aneh untuk menghadapi tiga serangan yang amat berbahaya ini. Tiba-tiba dia memutar tubuh, meloncat ke atas dan turun dengan kaki kiri ditekuk berlutut, kaki kanan berjungkit di depan sehingga tubuhnya setengah berlutut dan kedua tangannya d"angkat ke depan dada seperti orang memberi hormat. Akan tetapi betapapun aneh gerakan ini, ternyata dia mampu menghindarkan serangan tiga orang gadis itu! Siu Coan mengeluarkan seruan. Tentu saja dia mengenal hampir seluruh iImu silat Koan Jit karena Koan Jit adalah toa-suhengnya. Akan tetapi apa yang dimainkan Koan Jit sekarang ini benar-benar membuat dia bengong, karena dia belum pernah melihat ilmu silat seperti itu!
Apalagi melihat wajah toa-suhengnya itu. Sungguh jauh sekali bedanya dengan dahulu. Dahulu, Koan Jit selalu berpakaian serba hitam, mukanya hitam gelap dan sepasang matanya kehijauan mencorong seperti mata kucing. Kini, wajah Koan Jit kehilangan warna gelapnya, menjadi cerah dan bibirnya selalu mengarah senyum penuh kesabaran, matanya mengeluarkan sinar lembut dan seperti orang yang penuh pengertian dan mengalah. Anehnya, ketika mainkan ilmu silat aneh yang hanya dipergunakan untuk menghindarkan diri dari serangan tiga orang gadis itu, Koan Jit tersenyum dan wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan. Hal ini tidaklah aneh, karena Koan Jit yang maklum bahwa dia dikeroyok oleh tiga orang gadis yang amat lihai, sudah mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dan Siauw-bin-hud, yaitu Ilmu Silat Kebahagiaan.
Dia menggerakkan tubuhnya sambil mengingat ujar-ujar dalam kitab Dharmapada, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk membalas dan sama sekali tidak marah. Dia menganggap tiga orang pengeroyoknya itu seperti tiga orang anak nakal yang tidak tahu apa yang mereka lakukan sehingga dia memandang penuh pengertian dan sama sekali tidak menjadi marah. Sementara itu, melihat betapa tiga orang gadis yang lihai itu sampai sebegitu jauh belum juga mampu merobohkan Koan Jit, Ci Kong lalu melompat ke depan dan membentak sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya, keras dan cepat sekali datangnya mengarah lambung Koan Jit. Pada saat itu, Koan Jit baru saja meloncat ke atas untuk menghindarkan tendangan Kaki Lian Hong, melihat datangnya pukulan Ci Kong yang amat berbahaya itu, dia lalu menggerakkan lengan kirinya menangkis.
"Dukkk...!" Tubuh Ci Kong terdorong mundur dan dia merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat. Kagetnya bukan kepalang karena dari pertemuan lengan itu saja dia tahu bahwa Koan Jit memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Siu Coan tadinya ragu-ragu, akan tetapi, melihat betapa empat orang itu tidak mampu mengalahkan Koan Jit yang selalu mengelak dan menangkis tanpa satu kalipun membalas, dia terpaksa meloncat maju dan ikut pula mengeroyok.
"Sute, kau juga?" seru Koan Jit dengan suara heran, akan tetapi diapun mengelak dan kini dia menghadapi pengeroyokan lima orang yang amat lihai! Akan tetapi, diam-diam Koan Jit harus mengakui kehebatan ilmu baru yang diterimanya dari Siauw-bin-hud. Betapapun lihainya, kalau saja dia tidak memiliki Ilmu Silat Kebahagiaan itu, baru menghadapi pengeroyokan tiga orang gadis itu saja dia tentu akan kalah, apalagi menghadapi pengeroyokan mereka berlima! Dan sebaliknya, lima orang pengeroyok itupun kagum bukan main. Sampai puluhan jurus lamanya, Koan Jit yang dikeroyok lima itu selalu mengelak dan andaikata ada pula beberapa kali pukulan menyerempet tubuhnya, maka pukulan itu meleset seperti mengenai tubuh seekor belut yang amat licin.
"Aihhh, kalian tidak percaya kepadaku...?" keluh Koan Jit, dan akhirnya tubuhnyapun mencelat dengan tiba-tiba jauh keluar dari ruangan depan kuil itu. Lima orang pengeroyoknya tertegun. Tak mereka sangka bahwa tubuh itu akan dapat keluar begitu saja dari kepungan mereka.
"Biarkan aku bicara dengan dia!" kata Siu Coan, dan tiba-tiba diapun meloncat dan melakukan pengejaran. Empat orang muda yang lain hanya memandang saja. Mereka tahu bahwa bagaimanapun juga, Koan Jit adalah murid Thian-tok dan toa-suheng dari Sui Coan, maka mereka berempat tidak ingin mencampuri urusan antara saudara seperguruan yang berlainan watak itu.
"Orang itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat luar biasa," kata Lian Hong penuh kagum.
"Sayang aku tidak sempat mempergunakan ilmuku yang baru. Ingin aku menguji keampuhan ilmuku dengan lawan seperti dia," kata Kiki. Gadis ini telah mewarisi sebuah ilmu yang hebat ciptaan Tat Mo Couwsu, yaitu Ilmu Hui-thian Yan-cu (Walet Terbang ke Langit), semacam ilmu silat yang mengandalkan gin-kang yang amat tinggi, akan tetapi karena kesibukannya, ia belum sempat melatih ilmu ini dengan sempurna.
"Dia berbahaya sekali," kata Kui Eng yang harus mengakui bahwa ilmu kepandaian penjahat itu nampaknya bahkan lebih hebat dan pada dahulu. Dahulu, pernah Kui Eng dan Lian Hong mengeroyoknya, dan pengeroyokan mereka berdua saja sudah dapat mengimbangi kelihaian Koan Jit. Akan tetapi sekarang, biar dikeroyak oleh lima orang, penjahat itu tidak dapat dirobohkan, bahkan sempat pula melarikan diri.
"Akan tetapi, aku merasa ada keanehan pada dirinya," kata Ci Kong sambil mengingat-ingat gerakan-gerakan aneh dan orang yang mereka keroyok tadi.
"Aku seperti mengenal langkah-langkah kaki seperti itu, dan sikapnya itu! Gerakan-gerakannya mengingatkan aku akan gerakan seorang pendeta suci yang beribadat, dan dia sama sekali tidak pernah membalas serangan kita. Aku yakin, ada perubahan aneh pada diri Koan Jit dan mudah-mudahan Siu Coan dapat mengejarnya dan dapat memberi penjelasan pada kita."
"Bagaimanapun juga, tempat ini sudah tidak aman bagi bagi kita, sudah diketahui orang. Kita harus mencari tempat yang lebih baik lagi," kata Lian Hong.
"Setelah tempat ini diketahui orang dan percakapan kita tadi didengarkan orang, maka sebaiknya kalau kita mempercepat gerakan kita untuk mencoba lagi menyelamatkan dan membebaskan, para tawanan!" kata Kiki sambil mengepal tinju. Ci Kong menarik napas panjang.
"Munculnya Koan Jit memang aneh dan membuat kacau rencana kita. Akan tetapi sebaiknya kita menanti kembalinya Ong Siu Coan untuk mendengar apa yang diketahuinya dari Koan Jit." Sementara itu, Siu Coan berlari secepatnya untuk melakukan pengejaran terhadap Koan Jit. Dia merasa terheran-heran disamping juga kagum sekali menyaksikan sepak terjang bekas toa-suhengnya itu. Jelas bahwa toa-suhengnya itu memiliki ilmu silat yang luar biasa anehnya, agaknya ilmu baru yang luar biasa, yang membuat suhengnya mampu menandingi pengeroyokan mereka berlima! Bukan main. Dia tahu bahwa seorang di antara Empat Racun Dunia sekalipun, tidak akan mungkin mampu menghadapi pengeroyokan mereka berlima.
Akan tetapi hal itu tidaklah terlalu aneh karena memang dia tahu bahwa Koan Jit selain lihai juga cerdik sekali, dan mungkin telah menemukan ilmu yang aneh tadi, yang membuat dia terheran-heran adalah melihat sikap orang itu, terjadi perubahan lahir batin yang amat hebat. Koan Jit memang telah berubah. Hal ini kita ketahui semenjak dia berjumpa dengan Siauw-bin-hud dan menerima Ilmu Silat Kebahagiaan yang langsung mempengaruhinya lahir batin. Lahirnya, memperoleh ilmu silat yang luar biasa sekali, dan batinnya juga mengalami perubahan karena dia kini menjadi insyaf dan sadar akan semua kesesatannya. Ketika Koan Jit melarikan diri, meninggalkan lima orang muda yang tidak mau menerimanya dan bahkan salah sangka dan menyerangnya, dia tentu saja tahu bahwa seorang di antara mereka, yaitu bekas sutenya, Ong Siu Coan, melakukan pengejaran seorang diri.
Dia sengaja lari menjauhi kuil itu menuju ke tepi sungai yang sunyi, dan setelah melihat tempat ini amat baik dan sunyi, dia lalu berdiri di tepi sungai menanti. Siu Coan sampai di tempat itu dan melihat Koan Jit berdiri termenung di tepi sungai, berdiri tegak dengan muka yang tertutup gaping itu menunduk, dia menjadi ragu-ragu dan jerih. Bagaimana kalau bekas suhengnya itu kumat dan menyerangnya? Tentu dia tidak akan mampu mempertahankan diri. Apalagi bukankah dia dan suhunya baru-baru ini telah mengobrak-abrik sarang Koan Jit dan anak buahnya, bahkan suhunya telah berhasil melarikan semua pusaka yang dibawa Koan Jit? Bagaimana kalau Koan Jit mendendam atas serangan itu? Biarpun dia membelakangi bekas sutenya, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerak-gerik Siu Coan.
"Sute, ke sinilah dan jangan takut atau ragu. Aku memang ingin sekali bicara penting denganmu." Mendengar ini, wajah Sui Coan menjadi merah. Suhengnya telah mengetahui kedatangannya, bahkan tahu pula bahwa dia ragu-ragu dan agak takut. Diapun lalu melangkah menghampiri dan Koan Jit membalikkan badan. Mereka saling berpandangan dan kembali perasaan aneh menyelinap di hati Sui Coan. Suhengnya ini benar-benar berubah seperti telah menjadi seorang manusia lain.
"Suheng, aku mengejarmu karena hendak bertanya, apa sebenarnya keperluanmu mengunjungi kami di kuil tua itu?"
"Aku datang untuk mencarimu dan hanya kebetulan saja mendengar apa yang kalian percakapkan, maka aku memberi nasihat dan peringatan. Berbahaya sekali usaha membebaskan tawanan karena penjagaan amat ketat. Salah-salah tawanan tidak dapat dibebaskan dan kalian malah tertawan atau terbunuh."
"Suheng, kau mencariku ada urusan apakah?" Siu Coan bertanya dan bersikap waspada karena inilah yang ditakuti. Jangan-jangan mencari karena menaruh dendam atas penyerangan anak buahnya yang dibantu suhunya itu. Koan Jit melihat sikap ini dan dia tersenyum lembut.
"Jangan khawatir, sute. Aku sudah melupakan masa laluku, dan apa yang kulakukan sekarang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan masa laluku. Aku mencarimu untuk meminta penjelasanmu tentang harta pusaka Giok-liong-kiam." Wajah Siu Coan berubah dan matanya memandang tajam.
"Apa maksudmu, suheng?"
"Sute... mungkin orang lain tidak ada yang menyangka, akan tetapi aku sudah mendengar akan dongeng tentang gagalnya Empat Racun Dunia menemukan harta karun karena peti itu sudah kosong dan isinya yang tinggal seperempat sudah lenyap dalam keributan ketika terjadi perebutan di dalam guha itu. Dan aku mendengar pula betapa engkau mendirikan Pai Sang-ti Hwe, menyebarkan banyak uang untuk menyebarkan agamamu yang baru.
"Aku tahu akan kecerdikanmu sute, dan dapat menghubungkan satu peristiwa dengan yang lainnya. Nah, aku hanya mengharapkan kejujuranmu dan penjelasanmu. Apa maksudmu dengan pengangkangan atas harta pusaka itu untuk dirimu sendiri?" Siu Coan memandang tajam.
"Apakah suheng bermaksud merampas harta pusaka itu?"
"Omitohud... dijauhkan Tuhan aku dari pikiran seperti itu. Sudah kukatakan bahwa aku telah meninggalkan masa laluku dan tidak akan kembali lagi ke jalan sesat. Aku hanya ingin tahu, karena kalau engkau berlaku curang terhadap para pejuang, terpaksa aku akan menentangmu."
"Memang tak perlu kusangkal, suheng. Akan tetapi engkau tentu sudah dapat menduga akan cita-citaku. Aku akan mengembangkan Pai Sang-ti Hwe, bukan hanya sebagai sebuah perkumpulan agama, melainkan untuk menjadi batu loncatan agar aku dapat mempunyai pasukan yang kuat untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Hanya itulah cita-citaku, karena itu, sebagian harta pusaka itu kuuangkan dan kupergunakan untuk memperbesar dan memperkuat perkumpulanku.
"Dan seperti yang kau lihat, akupun tidak tinggal diam melihat para pemimpin pejuang ditawan. Aku ingin mempersatukan semua pejuang agar menjadi suatu kesatuan yang amat kuat untuk menghadapi pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih." Siu Coan berhenti sebentar, lalu melihat betapa pandang mata suhengnya itu tidak berubah, dia berkata lagi.
"Suheng, kalau benar engkau kini membantu perjuangan, kuharap engkau merahasiakan ini dari orang lain. Kalau Empat Racun Dunia mengetahuinya, mungkin mereka akan berusaha merampasnya kembali dan cita-citaku yang tinggi akan mengalami kegagalan."
"Omitohud, semoga cita-citamu yang baik itu berhasil. Aku tidak akan membocorkan rahasiamu sute." Siu Coan menjadi girang, juga semakin terheran-heran. Dia mendekat dan menyentuh pundaknya.
"Koan-suheng, terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi aku sungguh merasa heran. Apakah yang telah terjadi pada dirimu, suheng? Bukan aku tidak merasa girang dengan perubahan ini, akan tetapi sungguh engkau telah mengalami perubahan yang luar biasa, seperti bumi dan langit kalau dibandingkan dengan keadaanmu dahulu. Apakah yang terjadi pada dirimu?" Koan Jit tersenyum dan Siu Coan melihat betapa keseraman sudah lenyap sama sekali dan wajah suhengnya itu. Matanya memandang lembut!
"Sute... segala sesuatu pasti ada akhirnya. Aku telah tersesat sejak kecil, dan sudah sepatutnya kalau semua masa lalu itu berakhir! Kuharap saja engkau kelak tidak akan mabok kemenangan kalau engkau berhasil sehingga engkau lupa diri, dan tidak akan menaruh dendam kalau engkau gagal.
"Nah, sekarang cobalah engkau membujuk orang-orang muda itu agar tidak terburu nafsu membebaskan para tawanan. Aku sendiri sudah menyelidiki tempat itu dengan seksama, dan kalau kalian percaya kepadaku, serahkan sajalah pembebasan para tawanan itu kepadaku." Setelah berkata demikian, Koan Jit mengangguk sebagai tanda hormat, lalu membalik dan sekali tubuhnya melayang, dia telah melompati anak sungai yang cukup lebar itu dan tiba di seberang, terus berlari cepat dan menghilang. Untuk beberapa lamanya Siu Coan hanya berdiri bengong, bukan hanya melihat kehebatan gin-kang orang itu, melainkan masih terheran-heran melihat sikapnya tadi. Akan tetapi dia teringat-akan teman-temannya dan segera kembali ke kuil.
"Apakah engkau dapat menyusulnya?" Ci Kong bertanya, sedangkan tiga orang gadis itupun memandang kepada Siu Coan dengan penuh perhatian. Karena Siu Coan juga murid Thian-tok seorang di antara Empat Racun Dunia dan kini bergabung dengan mereka untuk bersama-sama membebaskan tawanan, maka Ci Kong dan tiga orang gadis itu telah menerimanya sebagai seorang teman seperjuangan. Siu-Coan mengangguk, duduk di atas lantai dan menarik napas panjang.
"Dia telah menjadi yang aneh luar biasa, telah terjadi perubahan yang amat hebat atas dirinya. Aku berhasil bercakap-cakap sebentar dengan dia dan menurut pengakuannya, dia sama sekali tidak ingin memusuhi kita, hanya ingin memberi nasihat agar kita berhati-hati dan jangan sembarangan menyerbu penjara. Dia sendiri sudah menyelidiki tempat itu, dan katanya dialah yang akan membebaskan para tahanan."
"Siapa sudi percaya kepadanya? Dia orang jahat dan palsu, jangan-jangan dialah yang akan menjebak kita!" Kata Kui Eng yang tentu saja masih benci orang itu.
"Memang kita harus lebih berhati-hati terhadap orang seperti dia yang amat licik itu," kata pula Lian Hong.
"Benar... dia seperti Lee Song Kim, palsu, curang dan pengkhianat. Semua ini gara-gara Song Kim. Hemm... aku ingin sekali mengadu kepandaian dan nyawa kalau bertemu dengan jahanam busuk itu!" Kui Eng berkata sambil mengepal tinju.
"Siu Coan, apakah engkau dapat percaya kepada Koan Jit itu?" Ci Kong bertanya sambil menatap tajam wajah murid Thian-tok yang kini menjadi teman seperjuangan mereka. Siu Coan merasa ragu-ragu. Dia sendiripun terus terang saja takkan pernah dapat percaya kepada Koan Jit, sehingga dia selalu akan merasa ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau Koan Jit yang telah mengetahui akan rahasianya itu sekali waktu akan membocorkan rahasianya. Memang dialah orangnya yang dahulu menyamar sebagai perajurit kerajaan Ceng dan diam-diam menyelinap ke balik arca besar dan mengambil sisa isi peti harta karun itu, membungkusnya dengan kain dan membawanya pergi dengan diam-diam. Harta itu besar sekali, dan akan dipergunakannya untuk menghimpun pasukan yang kuat guna mewujudkan cita-citanya menggulingkan pemerintah Mancu.
"Sukar bagiku untuk percaya, akan tetapi kukira nasihatnya agar kita berhati-hati itu ada benarnya juga," akhirnya dia menjawab hati-hati.
"Jangan-jangan dia adalah mata-mata musuh," kembali Kui Eng berkata. Gadis ini sekarang kalau bicara berwibawa dan memang dara ini sudah biasa mengemukakan pendapatnya yang selalu diturut oleh para pejuang dan kelompok pekerja-pekerja pelabuhan yang telah mengangkatnya menjadi pemimpin dan penasihat.
"Karena itu, kurasa lebih baik kalau kita mempercepat gerakan kita, mendahului sebelum musuh membuat penjagaan yang semakin kuat lagi." Ci Kong mengangguk-angguk.
"Memang kurasa sebaiknya demikian. Nah, mari kita membuat rencana. Malam ini juga kita serbu lagi tempat itu. Akan tetapi kita harus mempergunakan siasat."
"Siasat apa yang akan kita pakai untuk menghadapi kekuatan para penjaga dan pengawal?" tanya Siu Coan tertarik, karena murid atau cucu murid Siauw-bin-hud itu memang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpemandangan luas.
"Kurasa sebaiknya kalau kita berpencar," kata Ci Kong sambil memandang kawan-kawannya bergantian.
"Kita berpencar dan memancing agar mereka meninggalkan tempat penjagaan mereka, atau setidaknya kekuatan mereka terpecah-pecah. Kalau sudah demikian, baru kita melihat kesempatan untuk menyelinap masuk. Tidak perlu semua, siapa yang melihat kesempatan baginya terbuka, dia harus cepat menyelinap masuk dan yang lain membantunya dengan terus mengacau dan mengalihkan perhatian para penjaga agar teman yang sudah masuk itu mendapat kesempatan untuk terus menuju ke tempat para tawanan dan membebaskan mereka.
"Sekali mereka bebas, tentu saja mereka dapat menyerbu keluar dan membantu kita. Akan tetapi, ini hanya pendapatku saja, kita bersama harus memperbincangkan dan bersama-sama mengatur dan merencanakan siasat yang akan kita pakai malam nanti." Lima orang muda itu lalu mengadakan perundingan. Mereka menggambarkan keadaan sudah mereka selidiki itu, Ci Kong membuatnya di atas lantai dan mereka lalu mempelajarinya dan mengatur siasat-siasat bersama. Pekerjaan ini hanya berhenti kalau mereka makan saja, dan akhirnya menjelang senja mereka telah menentukan siasat yang telah mereka atur bersama. Mereka membagi tugas masing-masing akan memasuki penjara itu dari lima jurusan.
Siu Coan dan Ci Kong bertugas membakari bagian-bagian penjara itu dari kanan kiri, dan selanjutnya mendatangkan kekacauan dengan menyerangi para penjaga dari jurusan yang berpindah-pindah. Selagi keadaan panik oleh kebakaran, Lian Hong dan Kiki menyerbu dari belakang dan depan, menyerang para penjaga. Dua orang pemuda dan dua orang gadis itu di waktu menyerbu harus berteriak-teriak seolah-olah memberi tanda kepada kawan-kawan mereka yang banyak dan berada di belakang. Hal ini untuk membuat keadaan para penjaga semakin panik. Dan yang ditugaskan untuk menyelinap ke dalam penjara adalah Kui Eng. Gadis ini memang mencalonkan dirinya, mengingat bahwa ia harus menolong gurunya, dan teman-temannya setuju, karena di antara mereka yang kesemuanya memiliki ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa, Kui Eng yang paling hebat.
Dengan gin-kangnya yang istimewa, akan lebih mudah menyelinap dengan gerakan cepat, juga kalau keadaan membahayakan, ia dapat pula melarikan diri dengan lebih cepat dari pada kawan-kawannya. Malam itu keadaan di sekitar penjara kota Hang-couw sunyi seperti biasa. Bulan bersembunyi di balik awan dan kegelapan ini membantu lima orang muda yang sudah sejak tadi bersiap-siap untuk melaksanakan tugas mereka menyerbu penjara. Ci Kong dan Siu Coan, secara berpencar, telah mengumpulkan minyak tanah dan kain-kain untuk alat pembakaran, juga mereka membekali diri dengan gendewa dan anak panah. Setelah lewat tengah malam dan keadaan amatlah sunyinya, tiba-tiba nampak api berkobar di sebelah timur dan barat penjara, kemudian nampak api meluncur ke atas, ke arah atap bangunan bangunan penjara. Tentu saja keadaan menjadi geger.
"Kebakaran! Kebakaran!"
"Cepat padamkan api!"
"Ada yang sengaja melakukan pembakaran!"
"Mereka mempergunakan panah berapi!"
Para penjaga menjadi panik, berlarian ke sana sini dan berusaha memadamkan api yang mulai berkobar di sana-sini. Selagi orang-orang di dalam penjara menjadi panik dan berusaha memadamkan api, terdengar teriakan-teriakan para penjaga karena munculnya orang dari depan dan belakang yang mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Yang mengamuk itu adalah Lian Hong yang muncul dari belakang. Gadis ini mempergunakan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang kipas yang menyambar ke sana sini. Setiap kali kipasnya menyambar, seorang di antara penjaga yang mengepung dan mengeroyoknya tentu roboh. Sambil mengamuk, Lian Hong berteriak-teriak memberi semangat kepada kawan-kawan yang seolah-olah berada di belakangnya.
"Hayo kawan-kawan, serbu...!" Dari depan, seorang gadis lain juga mengamuk. Dia ini adalah Kiki yang mengamuk seperti seekor naga betina marah, tangan kakinya merupakan empat buah senjata ampuh dan setiap ada pengeroyok berani terlalu dekat, tentu roboh oleh tangan atau kakinya. Seperti juga Lian Hong, ia berteriak-teriak ke arah belakang. Pengamukan dua orang gadis perkasa ini tentu saja membuat para penjaga menjadi semakin panik. Ada di antara mereka yang memegang senapan dan pistol, akan tetapi karena pasukan itu membuat para penjaga mengeroyok kalang-kabut, tentu saja yang memegang senjata api tidak berani mempergunakan senjata api mereka, takut kalau-kalau mengenai kawan sendiri.
Lian Hong yang mengamuk dengan kipasnya, setelah merobohkan belasan orang, melihat betapa para pengeroyoknya mundur dan bahkan melarikan diri, agaknya jerih menghadapi pengamukan Kiki atau ikut membantu memadamkan api. Melihat betapa ia ditinggal tinggal musuh, gadis ini melihat kesempatan amat baik! Kenapa ia tidak menyelinap masuk dan membantu Kui Eng, pikirnya. Iapun cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk meloncat ke dalam, dan melihat betapa pintu menuju ke belakang terbuka dan di situ tidak nampak penjaga yang agaknya sudah menjadi panik, iapun cepat menyelinap masuk! Kiki mengalami hal yang sama. Iapun merobohkan beberapa orang penjaga dan melihat betapa para penjaga lainnya menjadi gentar atau sibuk memadamkan api, dan ia ditinggal sendiri, iapun cepat menyelinap dan berhasil memasuki pintu belakang yang ditinggalkan penjaga.
Ci Kong menghabiskan bahan bakarnya, membakari apa saja yang dapat dibakarnya. Ketika para penjaga melihatnya dan mengeroyoknya, dia mengamuk, merobohkan dua orang dan berlari ke bagian lain untuk memancing perhatian mereka. Diapun dikepung dan dikeroyok banyak orang, namun Ci Kong tidak menjadi gentar. Bagaikan orang mencabuti rumput saja, dia menangkap-nangkapi para pengeroyoknya dan melemparkan mereka ke kanan kiri, matanya mencari-cari untuk melihat apakah Kui Eng sudah berhasil menyelinap ke dalam dan ke belakang. Akan tetapi saatnya amat baik, pikirnya. Sambil berlari-larian ke sana sini menarik perhatian dan mengacaukan para penjaga, Ci Kong melihat betapa pintu yang menuju ke belakang ke arah penjara bawah tanah, terbuka dan ditinggalkan penjaga.
Apakah Kui Eng sudah masuk, pikirnya. Ah, kesempatan baik terbuka dan diapun ingin sekali membantu Kui Eng. Terlalu berbahaya bagi gadis itu kalau masuk sendiri, pikirnya. Dan selagi para penjaga sibuk memadamkan api dan kacau balau karena agaknya mengira bahwa markas mereka diserbu banyak musuh, tidak sukar baginya untuk menyelinap masuk. Diapun lalu meloncat dengan cepat menghilang dari depan para pengeroyoknya, dan selagi mereka kebingungan harus mencari kemana, diapun sudah menyelinap ke dalam pintu yang menembus ke belakang. Alangkah heran dan kaget hati Ci Kong ketika dia masuk ke bagian belakang, dia tiba di sebuah ruangan dan di situ dia melihat Siu Coan, Kui Eng, Lian Hong, dan Kiki, sudah lebih dulu sampai. Empat orang itupun heran melihat munculnya Ci Kong, dan tahulah Ci Kong bahwa mereka semua memang memiliki pendapat dan maksud yang sama.
"Ah, kiranya kita berkumpul di sini. Baik sekali, karena kita dapat segera menyerbu ke dalam ruangan bawah tanah." Akan tetapi, empat orang remannya itu hanya memandang ke kanan kiri dengan muka berubah agak pucat. Ketika Ci Kong memandang, kiranya nampak moncong-moncong senapan, menodong mereka dan lubang-lubang di dinding kanan dan kiri!
"Celaka!" serunya, tahu bahwa mereka telah terjebak ke dalam sebuah ruangan yang ditodong oleh pasukan senapan yang bersembunyi di balik dinding kanan kiri!
"Mari kita cepat keluar!" Akan tetapi pada saat itu, pintu tembusan dari luar itu telah penuh dengan orang. Kiranya puluhan perajurit dengan rapi telah berjajar di depan pintu dan seorang pria berpakaian panglima tertawa bergelak, diiringi suara ketawa belasan orang temannya yang masuk bersamanya. Lima orang muda itu memandang dengan muka merah dan mata bersinar penuh kemarahan ketika mengenal bahwa yang masuk ini bukan lain adalah Lee Song Kim! Tahulah mereka bahwa mereka memang sengaja dijebak! Siasat mereka itu ternyata telah dihadapi dengan siasat yang lebih licik dan licin dari Lee Song Kim, sehingga mereka itu digiring menjadi satu di depan pintu terowongan yang menuju ke penjara.
"Ha-ha-ha, kalian seperti lima ekor harimau yang telah digiring masuk ke dalam kandang! Hanya ada dua pilihan, maju kalian mampus atau mundur dan masuk ke dalam kamar tahanan seperti para pemberontak lainnya!" kata Lee Song Kim dengan gembira dan suaranya mengandung kepuasan karena siasatnya memancing lima orang ini berhasil baik. Kiki memandang kepada pemuda itu dengan mata mendelik. Kebenciannya memuncak terhadap pemuda itu yang dulu pernah akan memperkosanya, kemudian mengkhianati para tokoh dan Ayahnya sendiri ketika Ayahnya mengadakan pesta ulang tahun, bahkan mengkhianati para pimpinan pejuang sehingga sebagian besar dari mereka, termasuk Empat Racun Dunia, telah menjadi tawanan dan sekarang menjebak mereka berlima pula!
"Lee Song Kim jahanam keparat busuk! Engkaulah manusia tak tahu malu, pengkhianat dan pengecut paling besar di dunia!" Song Kim tertawa.
"Ha-ha-ha, sumoiku Kiki yang manis. Engkau makin marah semakin cantik saja! Terima kasih engkau mengangkat aku menjadi penjahat paling besar di dunia, cocok untuk menjadi murid Hai-tok, bukan? Dan cocok untuk menjadi suamimu.
"Jangan khawatir, biarpun engkau ditawan, kelak engkau akan kujadikan isteriku, dan dua orang temanmu ini patut pula menjadi selir-selirku. Kalian bertiga memang jelita dan menggairahkan, ha-ha-ha!"
"Manusia hina!"
Kiki membentak dan iapun tidak peduli lagi akan todongan senapan, langsung menubruk ke depan dan menyerang Song Kim dengan ganasnya. Song Kim tertawa dan cepat menangkis, bahkan bermaksud menangkap pergelangan tangan bekas sumoinya. Dia mengira bahwa Kiki masih seperti dulu dalam hal ilmu silat seimbang dengan dia, bahkan dia masih lebih kuat dalam hal tenaga sin-kang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Kiki menyerangnya dengan pengerahan tenaga dan ilmu barunya, yaitu Hui-thian Yan-cu yang membuat tubuhnya seperti seekor burung saja, ringan cepat dan gesit. Maka, sebelum tangkisan tiba, Kiki sudah merubah gerakan tangannya dan tahu-tahu tangan itu sudah menampar ke arah leher Song Kim dengan cepat dan kuat bukan main. Song Kim terkejut, miringkan tubuhnya.
"Plakk...!" Tamparan itu tidak mengenai leher yang dapat mengakibatkan bahaya, melainkan meleset dan mengenai pundak, akan tetapi cukup keras membuat Song Kim terhuyung. Empat orang pembantunya maju menahan Kiki yang segera terdesak, karena empat orang itu selain lihai, memegang senjata golok yang diputar cepat membentuk empat gulungan sinar. Terpaksa Kiki mundur untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok.
"Tembak!" terdengar aba-aba seorang perwira kulit putih.
"Tahan dulu! Jangan tembak. Aku menghendaki mereka tertawan hidup-hidup!" teriak Song Kim dengan gemas, dan dia lalu mengerahkan para perajurit untuk menyerang mereka dengan senjata tajam, bukan dengan senjata api. Terjadilah pengeroyokan yang ketat. Lima orang muda itu dengan gigih membela diri, akan tetapi karena jumlah lawan banyak, juga para pembantu Song Kim ternyata cukup lihai dengan permainan golok mereka.
Kiranya para pembantu Song Kim ini adalah jagoan-jagoan dan Kota Raja yang disohorkan dengan sebutan Cap-sha Toa-to (Tigabelas Golok Besar). Karena tempat itu sempit dan para pengeroyok amat banyak, setelah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal, lima orang muda itu terpaksa mundur terus dan tiba di mulut terowongan yang menembus ke tempat penjara. Mereka tahu bahwa sekali mereka masuk ke dalam terowongan yang agaknya sempit itu, akan sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri. Terowongan itu lebarnya hanya satu meter lebih, dan tingginya dua meter dan agaknya agak gelap. Menurut penyelidikan yang mereka peroleh, terowongan itu menuju ruangan-ruangan tahanan yang berada di bawah bukit, di belakang rumah penjara besar di luar. Akan tetapi mereka tak berdaya.
Nekat menerobos kepungan, berarti mereka akan menghadapi bahaya barisan golok dan pasukan yang besar jumlahnya, dan andaikata mereka mampu membobol barisan ini, mereka masih akan melewati ruangan dimana terdapat pasukan senapan yang menodong dari kanan kin! Bahkan kinipun, di samping desakan Tigabelas Golok Besar, juga terdapat beberapa orang perajurit dan perwira kulit putih yang siap dengan pistol mereka, untuk berjaga-jaga kalau kalau lima orang yang terdesak itu dapat membobol kepungan. Sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri, dan agaknya satu-satunya jalan hanya mundur sampai akhirnya mereka tertawan dan menjadi satu dengan para pimpinan pejuang yang sudah menjadi tawanan.
"Biar aku mengadu nyawa dengan keparat itu!" Kiki hendak menerjang ke depan, akan tetapi Siu Coan menyambar lengan gadis itu.
"Apa kau sudah gila? Tidak perlu membunuh diri dan mati konyol selagi masih ada jalan untuk hidup!" kata Siu Coan. Sejenak mereka saling pandang, dan ada sinar mata aneh di dalam mata pandang Siu Coan yang membuat Kiki menundukkan muka dengan jantung berdebar.
"Mari kita mundur," kata Ci Kong yang melihat kebenaran pencegahan Siu Coan. Dalam keadaan seperti itu, maju berarti mati konyol dan mundur paling-paling tertawan. Tertawan belum berarti mati, dan dalam keadaan tertawan, masih ada harapan untuk dapat meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras berturut-turut tiga kali yang datangnya dari belakang mereka. Lantai terowongan itu sampai tergetar dan bukan hanya lima orang muda itu yang merasa terkejut, bahkan Lee Song Kim dan teman-temannya, juga para perajurit, terkejut bukan main.
"Apa yang terjadi di sana?" teriak Song Kim dengan bingung.
"Di sebelah dalam itu adalah ruangan penjara, bagaimana di sini bisa terdengar ledakan dahsyat tiga kali itu? Apa artinya ini?" Pada saat itu, dari dalam terowongan berkelebat bayangan putih yang ternyata bukan lain adalah Koan Jit! Melihat orang ini muncul dari dalam terowongan di belakang mereka, lima orang muda ini terkejut dan terheran-heran. Koan Jit muncul dengan pakaian robek dan di tangannya terdapat dua buah alat peledak bersumbu yang belum dinyalakan sumbunya. Sejenak Koan Jit memandangi mereka, terutama kepada sutenya.
"Ah... sudah kukatakan, aku yang akan membebaskan mereka dan kalian tidak percaya kepadaku, sekarang aku harus membebaskan kalian. Larilah, aku akan menahan mereka," katanya, dan diapun melangkah maju ke depan mulut terowongan.
Empat orang dan tigabelas Golok Besar menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan aneh, Koan Jit menghadapi empat batang golok itu, dan tiba-tiba saja kedua kakinya bergerak, dan empat orang itu roboh tak mampu berkutik lagi karena ujung kaki Koan Jit telah menendang bagian tubuh yang lemah. Seorang opsir yang berada di dekat mulut terowongan menusukkan pedangnya, akan tetapi Koan Jit menendang dan sungguh hebat gerakan ini, karena pedang itu tiba-tiba terlepas dari pegangan opsir itu dan menusuk dada si opsir kulit putih yang terbelalak karena lebih merasa terkejut dan terheran dari pada rasa sakit. Dia terhuyung dan bersandar pada dinding, tangan kanan mendekap dada yang tertusuk pedangnya sendiri sampai hampir tembus.
"Siapkan regu tembak!" Song Kim berteriak. Ketika melihat munculnya orang ini, Song Kim merasa terkejut bukan main. Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Koan Jit, maka diapun tidak mau mengambil resiko, apalagi melihat betapa empat orang di antara Tigabelas Golok Besar telah roboh dan opsir kulit putih itupun terluka parah. Seregu perajurit campuran sudah siap dengan senapan mereka, moncong senapan ditodongkan ke arah Koan Jit. Akan tetapi, Koan Jit berdiri tegak, lalu dengan tenang menyulut sumbu dua buah bom peledak itu. Dia menoleh lagi kepada lima orang muda yang masih berdiri bengong dan berdesakan di belakangnya.
"Kalian masih belum pergi? Larilah ke dalam dan bantu mereka membebaskan diri..."
Lima orang itu menjadi bengong dan ragu-ragu. Mereka adalah pendekar pendekar perkasa, pejuang-pejuang yang gigih dan pantang mundur. Kini, melihat Koan Jit berdiri seorang diri menghadapi lawan, bagaimana mungkin mereka dapat pergi meninggalkan Koan Jit menentang musuh dan menantang maut seorang diri begitu saja? Betapa pengecut sikap mereka kalau mereka membiarkan Koan Jit mati sedangkan mereka melarikan diri! Karena bimbang, lima orang muda itu memandang dengan mata terbelalak. Koan Jit berdiri tegak, dengan sikap tenang dan gagah, tangan kanan memegang sebuah peluru atau bom bersumbu, diangkat ke atas dan ditempelkan pada langit-langit terowongan, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah peluru lain yang sumbunya juga sudah bernyala.
"Tembaakkk!" Perintah Song Kim sambil mundur-mundur panik melihat peluru-peluru bersumbu itu, juga para perajurit menjadi panik dan ketakutan. Terdengarlah ledakan-ledakan ketika senapan-senapan itu memuntahkan peluru-pelurunya. Jelas nampak beberapa peluru itu menyengat tubuh Koan Jit yang tidak mampu mengelak lagi di tempat sempit itu, dan agaknya memang dia tidak mau mengelak lagi. Nampak bajunya penuh tanda lubang ketika peluru-peluru itu menembus kulit tubuhnya.
"Kalian cepat lariiii..." Tiba-tiba Koan Jit berseru, suaranya parau, dan pada saat itu dia melontarkan peluru bersumbu yang berada di tangan kirinya.
"Awaaassss!!" Siu Coan tiba-tiba menubruk empat orang temannya dan menyeret mereka untuk lari ke dalam terowongan lalu menjatuhkan diri bertiarap agak jauh dari mulut terowongan.
Baru saja tubuh mereka menyentuh lantai, terdengar suara ledakan keras sekali beruntun dua kali, bergemuruh suaranya memekakkan telinga sampai agak lama, sehingga mereka berlima itu tidak berani mengangkat muka. Kemudian sunyi! Tidak terdengar apa-apa lagi, kecuali rontoknya batu-batu kecil dan tanah di sekeliling mereka. Tidak ada suara manusia, tidak ada suara berisik. Lima orang itu bangun dan merangkak, terbatuk-batuk karena tempat itu penuh dengan asap dan debu, kemudian mereka bangkit dan setengah merangkul menghampiri mulut terowongan. Tidak ada mulut terowongan lagi, karena kini terowongan itu tertutup sama sekali. Kiranya terowongan itu, di bagian depan, telah runtuh sama sekali, menutupi mulut terowongan.
"Suheng..." terdengar Siu Coan memanggil, sambil meraba-raba di antara tumpukan tanah dan batu. Tentu saja tidak terdengar jawaban dan empat orang temannya kini juga mendekatinya. Mereka meraba-raba di tempat yang menjadi remang-remang gelap itu, dan akhirnya Siu Coan terdengar mengeluh.
"Suheng, ahhhh... Suheng!" Siu Coan terdengar menangis! Ci Kong dan tiga orang gadis itu menjadi terkejut dan heran, mereka mendekati, dan ketika mereka melihat pemuda gagah itu menangis sambil memegangi sebuah sepatu, mengertilah mereka.
Kiranya yang tertinggal dari Koan Jit hanyalah sebuah sepatu! Agaknya tubuhnya hancur lebur oleh ledakan tadi atau tertimbun. Terdengar Kiki juga menangis perlahan. Gadis ini hanya nampak di luarnya saja galak dan keras, namun sebenarnya hatinya lembut sekali sehingga ia merasa amat terharu melihat Siu Coan menangisi sebuah sepatu. Kematian Koan Jit memang amat mengesankan hati lima orang gagah itu. Kematian seorang patriot, seorang gagah perkasa yang rela mengurbankan nyawa demi menyelamatkan orang-orang lain. Biarpun Koan Jit pernah menjadi seorang tokoh sesat yang luar blasa kejamnya dan jahatnya, namun pada saat akhir-akhir hidupnya, dia adalah seorang gagah perkasa yang patut dikagumi.
"Cepat, mari kita membantu para tawanan," kata Ci Kong yang teringat akan hal yang lebih penting.
Mengingat akan ini, Siu Coan menyimpan sebelah sepatu itu di dalam saku bajunya dan merekapun melanjutkan perjalanan, setengah meraba-raba di dalam terowongan itu, terus menuju ke belakang. Tak lama kemudian, mereka melihat cahaya menerangi terowongan itu dari belakang, dan mereka mendengar pula suara orang. Ketika mereka tiba di bagian belakang, ternyata penjara. Mengertilah mereka bahwa tadi Koan Jit datang dari tempat itu, membongkar penjara bawah tanah dengan menggunakan bahan peledak yang amat kuat sehingga tempat itu terbongkar dan berlubang. Sungguh perbuatan yang amat berani dan cerdik! Ketika Empat Racun Dunia melihat murid-murid mereka, tentu saja mereka terheran-heran dan juga girang.
"Kiki, bagaimana kalian dapat muncul dari dalam sana? Tadi kami mendengar ledakan-ledakan yang keras!" kata Hai-tok kepada puterinya.
"Hai-tok, bicara bisa dilakukan nanti. Mari cepat keluar dan pergi, apa kau ingin tertawan kembali?" San-tok mencela rekannya dan mereka semuapun cepat-cepat melarikan diri dari tempat itu melalui lubang besar yang menembus lereng bukit. Ucapan San-tok ini memang benar. Tak lama kemudian, tempat itu telah didatangi ratusan orang perajurit, akan tetapi ketika mereka memasuki lubang besar memeriksa ruangan penjara bawah tahanan, semua tahanan telah lenyap. Sekali ini Lee Song Kim merasa kecewa dan marah bukan main.
Akan tetapi diapun harus mengakui kegagalannya, padahal semua telah diaturnya sedemikian rapinya bersama Peter Dull yang kini naik pangkat menjadi Kapten. Segala jerih payahnya yang berpura-pura membantu para pejuang, ternyata mengalami kegagalan setelah keberhasilan total berada di ambang pintu. Kalau saja dia berhasil menawan lima orang muda itu, maka berarti bahwa semua tenaga pimpinan para pemberontak yang paling tangguh telah berhasil ditawan, dan tentu pemberontakan-pemberontakan itu akan lebih mudah untuk dihancurkan. Akan tetapi kini kenyataannya malah sebaliknya. Semua tawanan telah berhasil meloloskan diri dan semua ini akibat campur tangan Koan Jit, orang yang tadinya pernah menjadi orang kepercayaan pasukan kulit putih. Kegagalan ini menimbulkan salah paham, saling mencurigai bahkan percekcokan antara Lee Song Kim dan Kapten Peter Dull.
"Lihat apa yang terjadi!" Lee Song Kim antara lain berkata marah kepada sekutunya itu.
"Semua gagal karena ulah si jahanam Koan Jit, orang yang pernah menjadi kepercayaanmu, kapten! Kalau dia tidak pernah menjadi kaki tanganmu, tentu dia tidak akan pandai bermain-main dengan alat peledak dan tidak dapat mengetahui rahasia lorong dalam tanah penjara Hang-couw!" Peter Dull memandang marah kepada panglima pasukan Ceng itu.
"Lee-Ciangkun, harap kau tahan sedikit kata-katamu! Memang benar Koan Jit pernah menjadi pembantuku. Akan tetapi ketika itu, diapun sudah banyak jasanya dalam menghadapi para pemberontak. Dan kalau diingat, bagaimanapun juga dia adalah bangsamu! Pengkhianat itu adalah bangsamu, jadi tanggung jawabmu lebih besar dari pada tanggung jawabku!" Percekcokan itu mengakibatkan kerenggangan hubungan dan kerja sama antara pasukan pemerintah Ceng dan pasukan orang kulit putih. Hal ini menguntungkan para pejuang, karena kalau dua kekuatan itu bersatu, memang berbahaya bagi para pejuang. Dan semenjak para pimpinan pejuang bebas dan penjara itu, kini mereka menjadi semakin bersemangat dan pemberontakan terjadi dimana-mana, memusingkan pemerintah penjajah Mancu,
Bahkan juga memusingkan orang-orang kulit putih yang selalu merasa terancam. Semenjak peristiwa kerja sama membebaskan para tawanan itu, Siu Coan seringkali menghubungi Kiki dan Ayahnya, sehingga di antara mereka terdapat hubungan yang akrab. Sering kali seorang diri, Siu Coan mengarungi lautan dan pergi mengunjungi Pulau Naga, tempat tinggal baru dari Hai-tok. Karena pemuda itu pandai membawa diri, dan royal sekali dengan hadiah-hadiah, maka dia dikenal baik oleh para bajak laut anak buah Hai-tok. Semenjak kerja sama di antara lima orang muda perkasa itu, Siu Coan sudah merasa amat tertarik kepada Kiki. Gadis itu lincah jenaka, nakal manja, akan tetapi memiliki watak lembut sehingga ketika Siu Coan menangisi kematian suhengnya, gadis itupun ikut pula menangis.
Biarpun Kiki sejak kecil hidup sebagai puteri Hai-tok yang kaya raya, namun ia selalu berpakaian ringkas sederhana, dan tidak jahat seperti Hai-tok walaupun kadang-kadang ia dapat bersikap keras hati. Akan tetapi bentuk tubuhnya padat menggiurkan dan wajahnya amat manis, terutama sekali tahi lalat di pipinya menjadi penambah kemanisan wajahnya. Siu Coan segera mengerti bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ini, benar-benar jatuh cinta, bukan sekedar tertarik oleh kecantikan seorang gadis. Setiap gerak-gerik gadis itu menyentuh perasaannya, membuat dia merasa terharu dan juga sayang. Di lain pihak, Kiki yang pernah merasa tertarik dan kagum kepada Ci Kong, kinipun mulai tertarik karena perhatian Siu Coan yang berlebihan terhadap dirinya. Setiap kali datang, Siu Coan tentu membawa oleh-oleh yang aneh-aneh.
Buah-buahan segar dan selaian, makanan aneh-aneh dari orang kulit putih, juga alat-alat kecantikan dan perhiasan yang serba mahal dan langka. Ia tahu akan kegagahan Siu Coan dan biarpun Siu Coan, seperti juga ia yang menjadi puteri seorang di antara Empat Racun Dunia, adalah murid Thian-tok yang terkenal paling jahat di antara Empat Racun Dunia. Namun dia mengenal Siu Coan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, seorang pejuang yang berani dan juga bukan seorang penjahat. Tubuh Siu Coan yang tinggi besar, dengan bentuk muka yang jantan dan gagah, kecerdikan dan kelihaiannya, cukup untuk menarik hati Kiki yang pada waktu itu masih bebas. Hai-tok Tang Kok Bu tentu saja dapat menduga akan isi hati Siu Coan, akan tetapi diapun rupa-rupanya tidak menaruh keberatan akan hubungan puterinya dan Siu Coan.
Hai-tok tadinya mengidamkan agar puterinya menjadi isteri Lee Song Kim, akan tetapi kemudian ternyata bahwa muridnya itu adalah seorang pengkhianat besar yang amat dibencinya. Sebaliknya, Siu Coan adalah murid Thian-tok yang telah membuktikan kegagahan dan juga jiwa patriotnya, dan di samping itu, Siu Coan pandai membawa diri, seringkali membawa oleh-oleh arak yang langka, makanan-makanan yang aneh-aneh sehingga hati orang tua inipun merasa tertarik dan suka. Kini bukan merupakan hal aneh lagi kalau Siu Coan datang berkunjung dan bersama Kiki dia berjalan-jalan di sepanjang pantai yang sunyi dan indah penuh dengan pasir putih di Pulau Naga. Semua anak buah Hai-tok tahu belaka bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang pandai dan gagah perkasa, menjadi sahabat baik nona mereka.
Pada suatu senja yang amat indah, Kiki dan Siu Coan duduk berdua saja di tepi pantai sebelah barat. Tempat itu sunyi dan senja itu seperti senja-senja biasanya di tempat itu, amatlah indahnya. Matahari tenggelam di barat, meninggalkan kebakaran di langit. Sukar melukiskan keindahan matahari tenggelam di senja hari. Sinar kemerahan yang amat indah membakar langit, dan awan-awan nampak seperti mahluk-mahluk ajaib yang hidup dengan bentuk yang menakjubkan dengan warna yang luar biasa pula. Puncak awan-awan itu seperti diselaput perak dan latar belakang biru keunguan di antara lautan merah. Bentuk-bentuk awan itu seperti mahluk-mahluk yang memenuhi semua khayal, seperti binatang purba, atau seperti raksasa dan iblis yang menyeramkan namun mempesona.
Ada pula sekelompok awan putih yang kalau dipandang dengan mata khayal menggambarkan keadaan sebuah kerajaan khayal, dengan bangunan-bangunan yang ajaib, keadaan sebuah alam lain. Dan kesemuanya itu demikian diam, demikian hening, penuh damai, tenteram dan dalam pada itu, demikian yang lebih hebat lagi, keadaan senja yang indah itu, tidak pernah sama setiap harinya. Tetap indah, tetap mempesona, dan tidak membosankan karena tidak pernah sama, tidak ada pengulangan. Berbahagialah orang yang dapat menikmati keindahan alam dimana saja, kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal ini mungkin dirasakan setiap manusia yang pikirannya tidak dibebani oleh segala macam keinginan sehingga ketika mata terbuka dan memandang dengan waspada, semua gambaran diterima dengan batin yang bersih dan kosong.
Batin yang selalu sibuk dan kacau oleh segala macam keinginan si aku, tak mungkin dapat menikmati apa yang ada. Dan menikmati apa yang ada ini merupakan kesenian hidup yang paling berharga. Pada waktu itu, Siu Coan mulai mempropagandakan agama barunya. Agama Kristen yang dipeluknya dan diterimanya itu hanya dipelajarinya setengah matang, bahkan dengan penafsiran-penafsiran yang sembarangan, bercampur aduk dengan tradisi dan ketahayulan lama. Siu Coan hanya mengambil bagian-bagian yang mengenakkan hatinya saja dalam Agama Kristen. Dia hanya mempropagandakan janji-janji muluk dan pahala-pahala yang ditawarkan, seperti pengampunan dosa dan sorga bagi mereka yang percaya.
Karena inilah, banyak pula orang yang tertarik dan mulai menjadi pengikutnya. Kita selalu condong untuk mencari enak saja, dalam segala perkara, dalam segala macam persoalan, bahkan di dalam keagamaan sekalipun! Pikiran kita sudah terbiasa sejak kecil, oleh pendidikan, oleh lingkungan, oleh masyarakat dan cara hidup masyarakat kita, untuk selalu mempergunakan perhitungan untung-rugi dalam segala macam hal. Dalam hubungan antara manusia, dalam agama sekalipun, bahkan dalam hubungan antara negara dan bangsa, kita selalu mendasarinya dengan perhitungan untung-rugi yang menguntungkan adalah sahabat kita, yang merugikan adalah musuh kita. Karena kebiasaan menghadapi segala sesuatu dengan untung-rugi inilah maka di dalam agama sekalipun, kita memasukinya dengan perhitungan.
Diampuni dosanya dan kelak mendapatkan sorga merupakan janji muluk yang diberikan oleh hampir semua agama, dan hal ini memang amat menarik hati orang. Siapakah yang tidak ingin diampuni dosanya, bebas dari siksa kelak dan memperoleh sorga yang digambarkan sebagai keadaan, yang amat enak? Apalagi kalau syarat memperolehnya hanyalah kepercayaan. Alangkah mudahnya. Hanya percaya, habis perkara, dan pahala-pahala itupun datanglah! Benarkah semudah itu untuk percaya? Kita tidak menyadari rupanya bahwa "Percaya di mulut" jauh sekali bedanya dengan "Percaya di hati." Dan kebanyakan dari kita condong untuk percaya di mulut saja. Setiap orang mengatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan! Benarkah itu? Benarkah kita percaya kepada Tuhan dari lubuk hati kita, ataukah pengakuan itu hanya sebatas bibir dan lidah saja?
Karena, kalau orang percaya kepada Tuhan, setiap saat dia akan merasa adanya Tuhan, dan karena itu, diapun tidak akan pernah menyeleweng semenitpun. Akan tetapi biasanya, kita hanya ingat dan percaya kepada Tuhan kalau kita membutuhkan pengampunan-Nya, membutuhkan pertolongan-Nya, dan kita sama sekali melupakannya kalau kita tidak membutuhkan itu. Karena itu, kata "Percaya" tidaklah semudah yang kita kira. Siu Coan membawa pula propaganda agamanya ke Pulau Naga. Demikian pandai dia bicara, sehingga orang seperti Hai-tok sendiripun mulai terpengaruh dan tertarik! Juga Kiki merasa tertarik sekali kalau Siu Coan bicara tentang agamanya. Akan tetapi pada senja hari yang indah itu, Siu Coan bicara tentang hal lain. Dia bicara tentang cita-citanya, juga tentang rencananya kepada Kiki!
"Percayalah, Kiki, akan tiba saatnya aku berhasil memenuhi cita-cita yang telah ku pupuk sejak dahulu, yaitu memiliki sebuah pasukan yang amat kuat, untuk menjadi bala tentara yang akan menyerbu dan menghancurkan kerajaan penjajah. Untuk itu, segala kemampuanku telah ku kerahkan, dan kini aku diam-diam telah menghimpun banyak sekali orang yang suatu saat akan dengan suka rela masuk menjadi anggauta.
🖐
"Akulah orangnya yang kelak akan mampu meruntuhkan kekuasaan penjajah, Kiki... dan untuk tugas yang amat besar ini, aku membutuhkan dorongan dan bantuan batin yang amat kubutuhkan, yaitu dirimu." Kiki tersenyum dan memandang dengan mata terbelalak, ia merasa heran sekali mendengar kalimat terakhir itu. Ketika ia tersenyum, wajahnya nampak amat manis oleh Siu Coan. Memang Kiki amat manis, apalagi tahi lalat kecil di pipinya itu membuat wajahnya selalu nampak manis dalam keadaan apapun.
"Ong-Toako, apakah maksudmu dengan diriku?"
"Untuk mencapai cita-cita besar itu, aku hanya didampingi seorang yang merupakan dorongan batin yang amat kuat bagiku, yaitu seorang wanita yang ku cinta dan ku harapkan untuk mendampingiku selamanya. Dan wanita itu adalah engkau, Ki-moi.
"Engkaulah gadis yang ku cinta, dan aku tahu bahwa engkaulah jodohku, engkaulah yang patut menjadi calon isteriku. Tentu saja kalau engkau bersedia menerima uluran tanganku." Wajah yang manis itu seketika menjadi merah sekali. Kiki bukan seorang gadis pemalu dan sejak kecil ia biasa hidup bebas dan tanpa terikat oleh banyak peraturan dan pantangan. Namun, sebagai seorang gadis, naluri wanitanya tentu saja bekerja seketika pada pria yang menyatakan cinta secara langsung begitu, dan iapun merasa salah tingkah dan canggung karena malu. Sejenak ia hanya menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, mulutnya setengah tersenyum dan pikirannya masih melayang jauh.
JILID 37
Pernah ia tertarik kepada Ci Kong, pemuda yang amat dikaguminya. Akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada Ci Kong. Namun ia mengerti bahwa pemuda yang menjadi murid Siauw-bin-hud itu agaknya takkan mau merendahkan diri untuk berpacaran dengannya, puteri Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Dan iapun dapan menduga bahwa ada apa-apa antara Ci Kong dan Lian Hong, melihat betapa erat dan akrabnya hubungan antara pemuda dan gadis itu. Dan kini, tahu-tahu Siu Coan menyatakan cintanya, dan hal ini membuatnya tertegun dan termangu walaupun ia tidak merasa heran atau kaget karena sudah lama ia dapat menduga bahwa pemuda jangkung ini tentu "Ada hati" kepadanya, melihat dari sikapnya selama ini.
"Bagaimana, Ki-moi... adakah harapan bagiku? Dapatkah engkau menerima cintaku, dan maukah engkau menyambut uluran tanganku untuk bersamaku mencapai dan menikmati cita-citaku?"
Suara Siu Coan yang mendesaknya ini mengejutkan Kiki yang sedang melamun dan menariknya kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan menatap wajah pemuda itu penuh perhatian, seolah hendak menjenguk isi hati Siu Coan. Seorang pemuda yang cukup baik, pikirnya, bahkan amat baik dan jarang ada pria seperti Siu Coan. Wajahnya cukup ganteng, tubuhnya tinggi tegap dan ilmu silatnya juga memiliki tingkat yang tinggi. Selain lihai ilmu silatnya, juga ia tahu bahwa pemuda ini berjiwa pahlawan yang gagah perkasa, pula amat cerdiknya, dan melihat betapa Siu Cuan dapat berlaku amat royal, agaknya pemuda ini memiliki banyak simpanan harta. Akan tetapi ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimana kalau kemudian cinta pemuda ini palsu? Ia menghendaki seorang pria yang mencintanya selama hidupnya, dan bagaimana ia dapat yakin akan cinta Siu Coan? Kemudian ia berkata dengan suara lirih namun tegas.
"Ong-Toako, terima kasih atas kejujuranmu, dan aku merasa girang dan bangga bahwa aku menjadi gadis pilihanmu. Akan tetapi, dalam urusan perjodohan, aku ingin kepastian bahwa kita memang saling berjodoh dan untuk itu membutuhkan waktu bagi kita berdua untuk menyelidiki. Selain itu masih ada satu hal yang amat mengganggu hatiku sebelum masalah ini dapat kubereskan, aku tidak akan bicara tentang cinta dan jodoh, Toako." Biarpun gadis itu belum menerima dengan sepenuhnya, namun jelas bahwa Kiki tidak menolak. Hal ini saja sudah menggirangkan hati Siu Coan.
"Ki-moi, apakah masalah itu? Katakan dan aku tentu akan membantumu mengatasinya." Gadis itu menarik nafas panjang.
"Bukan lain adalah si jahanam Lee Song Kim itu."
"Suhengmu itu?"
"Dulu suhengku, akan tetapi sekarang musuh besarku, musuh besar kita semua! Selama hidupku, baru satu kali aku dihina laki-laki, dan orang itu adalah Lee Song Kim! Kalau tidak ada Tan Ci Kong yang menolongku, entah apa yang terjadi ketika aku sudah tidak berdaya dalam tangan jahanam itu!" Kiki lalu menceritakan dengan singkat pengalamannya ketika ia tertawan oleh Lee Song Kim dan nyaris diperkosa di pantai, akan tetapi terbebas dari bencana itu oleh pertolongan Ci Kong.
"Hemm, jahanam itu memang jahat sekali..." kata Siu Coan setelah mendengar cerita Kiki.
"Bukan itu saja, dia bahkan hampir mencelakakan Ayahku dan gurumu, dan para pimpinan pejuang. Karena itu di dalam hatiku, aku sudah bersumpah bahwa aku harus membunuhnya. Sebelum jahanam itu tebunuh olehku, aku tidak akan berpikir tentang perjodohan!"
"Jangan khawatir, Ki-moi. Aku yang akan membantumu sampai jahanam itu mampus di tangan kita!" kata Siu Coan penuh semangat.
"KaIau begitu, mari kita berangkat sekarang juga untuk mencarinya!" kata Kiki dengan suara gembira dan penuh semangat.
"Kita minta perkenan dan Ayah dulu." Tanpa menanti jawaban pemuda itu, Kiki bangkit dan melangkah pergi ke arah rumah keluarganya di tengah pulau. Siu Coan mengikutinya, dan tak lama kemudian mereka berduapun sudah menghadap Hai-tok.
"Ayah, sekarang juga aku mau meninggalkan pulau, ke Kota Raja mencari dan membunuh jahanam Lee Song Kim dan Ong-Toako ini hendak membantuku sampai usahaku ini berhasil." Hai-tok bangkit dan tempat duduknya, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat dan diapun mengelus jenggotnya. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, lalu terdengar dia berkata seperti kepada diri sendiri.
"Aihhhh, sejak kecil dia ku gembleng, bahkan kemudian ku harapkan agar dia menjadi suamimu, menjadi mantuku. Siapa kira nasib menghendaki lain, kini engkau malah hendak pergi mencari dan membunuhnya, dibantu oleh Siu Coan."
"Tapi, Ayah, dia menjadi pengkhianat yang mengekor kepada penjajah, bahkan hampir juga mencelakai para pimpinan pejuang dengan pengkhianatannya."
"Hemm, itulah yang menjengkelkan hatiku. Engkau boleh pergi dan bunuhlah dia, dan engkau Ong Siu Coan, coba jawab, kenapa engkau hendak membantu anakku untuk mencari dan membunuh Song Kim?" Siu Coan adalah seorang yang amat cerdik. Biarpun diserang pertanyaan tiba-tiba itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan dia dapat berpikir panjang secara cerdik sekali.
"Locianpwe, maafkan saya. Sesungguhnya, tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk mencampuri urusan antara Locianpwe dan murid Locianpwe Lee Song Kim itu. Locianpwe seorang yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap dirinya.
"Akan tetapi, mendengar bahwa Ki-moi hendak pergi mencarinya, saya menawarkan diri untuk membantu, karena saya khawatir kalau-kalau Ki-moi akan gagal bahkan terancam bahaya. Saya akan melindungi dan membantunya sampai tugasnya berhasil baik."
"Hemm, mengapa engkau mau membantu dan melindungi Kiki?" Kembali Siu Coan memperlihatkan ketenangannya.
"Locianpwe, sesungguhnya saya telah jatuh cinta kepada puteri Locianpwe," katanya merendah. Tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu tertawa bergelak. Senang hatinya mendengar jawaban Siu Coan tadi. Jawaban pertama tadi berarti bahwa pemuda ini cukup menghormatinya dan tidak berani memusuhi Song Kim tanpa seijinnya. Dan jawaban kedua menunjukkan kejujuran yang disukainya.
"Ong Siu Coan, engkau tahu siapa Kiki, engkau tahu pula siapa aku. Ia adalah anakku yang tunggal. Engkau berani jatuh cinta kepadanya. Apa sih yang kau andalkan? Apa yang dapat kau persembahkan kepadanya dan kepadaku?" Siu Coan tahu bahwa Kakek ini memiliki banyak harta, maka memamerkan harta kepadanya tidak akan ada artinya, juga memamerkan kepandaian tidak ada gunanya karena Hai-tok adalah seorang yang sakti.
"Locianpwe, saya mempunyai cita-cita untuk membentuk perkumpulan besar yang akan memiliki balatentara yang kuat. Sekarangpun, saya sudah mulai memupuk perkumpulan Pai Sang Ti-hwe untuk menjadi sebuah perkumpulan yang amat kuat.
"Kalau saya sudah berhasil membangun balatentara yang kuat, saya akan menyerbu dan meruntuhkan kekuasaan penjajah, dan saya akan menjadi pemimpinnya. Dan itulah yang dapat saya persembahkan kepada Locianpwe dan Ki-moi, tentu saja kalau saya berhasil berkat bantuan Ki-moi, juga Locianpwe." Kakek itu kembali mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan yang terkandung dalam jawaban pemuda itu.
"Baiklah, Siu Coan. Engkau bentuklah balatentara besar itu, dan kalau sudah ada buktinya, engkau boleh menikah dengan Kiki, tentu saja kalau Kiki mau menerimamu. Bagaimana, Kiki... maukah engkau menerima Siu Coan sebagai suamimu kalau dia sudah berhasil menghimpun balatentara yang besar..." Kini Kiki menghadapi Ayahnya dengan tabah, tidak malu-malu lagi.
"Kalau kami berhasil membunuh Song Kim, kemudian kalau Ong-Toako sudah berhasil menghimpun balatentara besar seperti yang diceritakannya, saya akan menerima pinangannya dan menjadi isterinya, Ayah."
"Ha-ha... engkau sudah mendengar sendiri, Siu Coan. Nah, kalian berangkatlah sekarang juga, dan jangan kembali sebelum membawa kabar bahwa jahanam itu sudah mampus di tangan kalian!"
Bukan main girang rasa hati Siu Coan mendengar kata-kata Kakek itu. Kalau Kiki sudah setuju dan Ayahnya sudah menyetujui pula, jelaslah bahwa Kiki akan menjadi isterinya, hal yang selama ini menjadi buah mimpi dalam tidurnya. Mereka berdua lalu berangkat berperahu meninggalkan Pulau Naga. Seperti juga para pendekar muda lainnya, Ciu Kui Eng merasa gembira bukan main karena telah berhasil membebaskan para tawanan, dan ia sendiripun dapat terbebas dari ancaman bahaya maut di lorong bawah tanah itu berkat bantuan dan pengorbanan Koan Jit yang amat mengharukan hatinya itu. Dia juga melarikan diri keluar dari lorong bawah tanah melalui lubang yang dibuat oleh bahan peledak yang diledakkan oleh Koan Jit, dan karena khawatir akan pengejaran musuh, iapun seperti yang lain-lain melarikan dengan terpencar.
Setelah keluar dari kota, Kui Eng melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Kanton, dan di kota ini, ia menyelinap ke dalam ruangan rahasia yang menjadi tempat pertemuan anak buahnya, yaitu para kuli pelabuhan yang pernah mengangkatnya menjadi pimpinan para kuli yang menjadi pejuang-pejuang tanah air. Peranan yang dipegang oleh para kuli pelabuhan ini penting sekali. Mereka nampaknya saja bekerja untuk orang-orang kulit putih di pelabuhan, mengangkuti barang-barang yang naik turun kapal. Akan tetapi, diam-diam mereka dapat bertugas sebagai mata-mata pejuang, dan di samping ini, merekapun mempergunakan kesempatan untuk mencuri barang-barang orang kulit putih, terutama sekali senjata api dan peluru-pelurunya. bantuan para kuli ini terhadap perjuangan amat besar dan diakui oleh para pejuang.
Ketika Kui Eng pergi meninggalkan Kanton, ia menyerahkan pimpinan para kuli kepada seorang yang belum lama bekerja, namun sudah diakui oleh para temannya sebagai seorang pemuda yang cerdik dan lihai. Kui Eng mengenal pemuda ini sebagai seorang di antara anak buahnya, walaupun ia belum pernah melihat bagaimana lihainya pemuda ini. Nama pemuda itu adalah Thio Ki, seorang pemuda bertubuh tegap dan bersikap gagah, namun pendiam. Dari sepasang matanya yang amat tajam itu saja dapat diduga bahwa dia cerdik dan gagah perkasa, juga amat pemberani. Para kuli tentu saja sudah mendengar akan peristiwa di Kota Raja, tentang pengkhianatan murid pejuang yang telah menangkap para pimpinan pejuang, kemudian betapa para pimpinan pejuang itu dapat dibebaskan oleh para pendekar muda.
Maka, ketika Kui Eng datang, para kuli itu berkumpul dan menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Mereka agaknya sudah mendengar pula, bahwa Kui Eng adalah seorang di antara para pendekar muda yang telah membebaskan para tawanan penting itu, maka para kuli menyambut kedatangan Kui Eng dengan pesta dan juga dengan perasaan bangga. Ada sesuatu pada diri Thio Ki yang membuat Kui Eng menaruh perhatian kepada pemuda itu. Dalam menyambut kedatangannya, Thio Ki memperlihatkan sikap yang berbeda dengan kawan-kawan lain. Karena ia duduk semeja dengan Thio Ki dan beberapa orang yang dianggap sebagai orang-orang yang penting di antara kelompok pejuang yang menyamar sebagai kuli-kuli pelabuhan ini, Kui Eng melihat betapa Thio Ki memandang kepadanya dengan sepasang basah air mata!
Semua anak buah kelompok itu memang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kagum dan juga gembira dan bangga, akan tetapi tidak ada yang matanya menjadi basah oleh keharuan seperti yang ia lihat pada diri Thio Ki ini! Karena pemuda itu berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya dan mengusap air mata dengan punggung tangannya sebelum air mata itu tumpah keluar, maka tidak ada orang lain kecuali Kui Eng yang melihat hal ini. Diam-diam Kui Eng merasa heran sekali, apalagi ketika beberapa kali bertemu pandang dengan Thio Ki dan melihat pancar sinar mata penuh kasih sayang ditujukan kepadanya! Diam-diam Kui Eng terkejut. Usianya sudah sembilanbelas tahun, sudah cukup dewasa bagi seorang wanita untuk dapat mengenal pria melalui pandang matanya.
Ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria yang memancarkan sinar kagum atau suka, dan ia dapat membedakan antara pandang mata kagum dan tertarik dari pria, dan pandang mata yang aneh seperti yang ditujukan oleh Thio Ki kepadanya. Belum pernah ada pria memandang kepadanya seperti itu. Demikian mendalam dan menyentuh perasaannya, menimbulkan rasa haru. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para anggauta kelompok kuli itu sudah pergi bekerja ke pelabuhan. Akan tetapi Thio Ki tidak pergi dan mengatakan kepada teman-temannya bahwa hari itu dia mangkir karena terasa badannya kurang sehat. Dengan demikian, yang tinggal di tempat rahasia pertemuan mereka itu hanya Kui Eng dan Thio Ki berdua. Setelah mereka semua pergi dan meninggalkan Thio Ki, Kui Eng menghampiri pemuda itu dan bertanya.
"Thio-Toako, kenapa engkau tidak pergi bekerja seperti teman-teman yang lain?" Thio Ki memandang wajah gadis ini sejenak lalu menjawab, suaranya tegas walaupun lirih.
"Ciu-Lihiap, aku sengaja tidak pergi bekerja karena ingin bicara berdua saja denganmu." Sekali ini Kui Eng terkejut. Ia mendengar sendiri tadi ketika pemuda ini mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia tidak enak badan, akan tetapi sekarang kepadanya membuat pengakuan yang demikian jujur. Terlalu jujur sehingga terdengar berani dan lancang sekali. Akan tetapi ia tidak menjadi marah. Ia menyukai kejujuran, hanya tidak mengerti mengapa pemuda ini tadi berbohong kepada teman-temannya.
"Thio-Toako, ada urusan apakah maka engkau sengaja tidak bekerja, berbohong kepada teman-teman, hanya untuk bicara berdua dengan aku? Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Kui Eng sambil duduk di atas sebuah kursi dan menatap tajam wajah pemuda itu, alisnya berkerut dengan sikap menegur. Thio Ki berdiri di depan Kui Eng, sikapnya seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Maaf, Lihiap. Aku berbohong kepada teman-teman karena merasa malu untuk membuat pengakuan kepada mereka. Aku... aku hanya ingin bicara berdua dengan Lihiap, ingin mendengar tentang pengalaman-pengalaman Lihiap dengan lebih jelas ketika Lihiap bersama para pendekar lain membebaskan para Locianpwe yang tertawan." Kui Eng menahan ketawanya. Pemuda ini sungguh seperti anak kecil saja! Kiranya dia demikian tertarik dengan cerita tentang pengalamannya yang semalam ia ceritakan kepada teman-teman secara singkat. Agaknya pemuda ini ingin mendengar lebih banyak dan lebih jelas lagi.
"Ah, begitukah? Duduklah, Toako, dan kita bercakap-cakap," kata Kui Eng.
Dengan wajah lega dan girang, Thio Ki lalu menyeret kursi dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Kui Eng lalu mengulang ceritanya, akan tetapi sekali ini ia bercerita dengan lebih terperinci. Diceritakannya tentang pengkhianatan Lee Song Kim, dan tentang kegagahan Koan Jit yang menjadi penyelamat dari semua tahanan dan pembebas mereka. Diceritakannya pula jalannya pertempuran dan bahaya besar yang mengancam para pendekar ketika terjebak, tersudut dan dihujani peluru senapan. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar gembira dan tegang, Thio Ki mendengarkan semua cerita itu, mengagumi kegagahan Koan Jit dan ikut cemas ketika mendengarkan cerita tentang bahaya maut yang mengancam para pendekar, terutama diri Kui Eng sendiri. Setelah Kui Eng selesai bercerita, Thio Ki berulang kali menarik napas panjang, lalu memandang wajah Kui Eng sambil berkata.
"Sungguh berbahaya sekali apa yang baru saja Lihiap alami. Ah... kuharap saja lain kali, kalau Lihiap hendak melakukan pekerjaan yang demikian sulit dan berbahaya, Lihiap suka memberi tahu kepadaku dan aku akan ikut serta, akan membantu Lihiap sekuat tenaga." Sikap dan ucapan pemuda itu sedemikian seriusnya sehingga Kui Eng yang tadinya merasa geli itu menahan senyumnya. Pemuda ini bukan kakanak-kanakan, melainkan bicara dengan serius, dan teringatlah ia ketika ia datang kemarin, melihat betapa Thio Ki menahan tangisnya. Tergugah kembali keinginan tahunya dan sekaranglah saatnya ia dapat bertanya kepada pemuda ini, selagi mereka berdua saja.
"Thio-Toako, kemarin ketika aku pulang dan baru datang, aku melihat sikapmu seperti orang menangis. Kenapakah?" Bertanya demikian, Kui Eng menatap tajam wajah pemuda itu penuh selidik. Mata Kui Eng memang terkenal tajam sehingga ketika ia menatap dengan penuh perhatian. Thio Ki merasa seolah-olah sinar mata itu menembus dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi, dia balas memandang dan dengan suara yang tegas dan jujur diapun menjawab.
"Aku merasa begitu berbahagia melihat Lihiap pulang dalam keadaan selamat. Sungguh aku merasa khawatir sekali akan keselamatanmu, Lihiap.
"Kalau sampai terjadi sesuatu yang mengakibatkan Lihiap cedera berat atau tewas, ahh... aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dan bagaimana pula dengan kehidupanku ini. Karena itu, aku minta dengan sangat agar lain kali Lihiap suka mengajakku. Aku akan membantu dan membelamu dengan taruhan nyawaku, Lihiap." Kini Kui Eng terbelalak memandang pemuda itu, bahkan saking heran dan kagetnya mendengar ucapan penuh perasaan itu, iapun bangkit berdiri.
"Thio-Toako, apa maksudmu? Apa artinya semua pengakuanmu itu? Kenapa engkau demikian memperhatikan diriku?" Thio Ki memandang wajah gadis itu tanpa berkedip, dan agaknya memang dia sudah mengambil keputusan untuk bicara terus terang kepada pendekar ini tanpa sungkan atau takut lagi, siap menghadapi segala resiko pengakuannya.
"Ciu Kui Eng Lihiap, masih belum dapatkah engkau mengerti bahwa aku amat mencintaimu? Aku rela berkorban nyawa demi untuk membela dan melindungimu. Aku cinta padamu, Lihiap. Nah, aku sudah membuat pengakuan. Kalau Lihiap merasa tersinggung dan marah, silahkan menjatuhkan hukuman apapun kepadaku." Kui Eng memandang bengong, tidak tahu perasaan apa yang mencekam hatinya di saat itu. Ia sama sekali tidak marah, bahkan ada rasa kagum, ada rasa gembira, akan tetapi juga kecewa di dalam hatinya. Kagum melihat keberanian dan kejujuran pemuda ini menyatakan cintanya kepadanya, kagum karena Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan! Hanya seorang kuli pelabuhan dan pejuang biasa saja, bukan pendekar sakti, telah berani mengaku cinta. Hal ini membutuhkan keberanian besar dan ia menjadi kagum oleh keberanian dan kejujuran itu.
Dan iapan merasa gembira bahwa di dunia ini ada yang mencintainya sedemikian rupa sehingga siap dan rela berkorban nyawa untuk membela dan melindunginya. Akan tetapi iapun kecewa mengapa bukan pria idamannya yang membuat pengakuan cinta itu! Kalau saja yang mengaku cinta kepadanya itu Ci Kong, bukan Thio Ki, alangkah akan bahagia rasa hatinya. Sejenak mereka saling pandang, sinar mata Thio Ki mengandung penuh harapan, sebaliknya sinar mata Kui Eng mengandung penuh penyesalan. Ia merasa menyesal mengapa ia harus menolak cinta kasih seorang pemuda yang demikian mencintainya seperti Thio Ki, walaupun pemuda ini hanya seorang kuli pelabuhan! Kalau saja iapun hanya seorang wanita biasa, kalau saja di sana tidak ada Ci Kong. Ah, betapa akan bahagia rasa hatinya menerima cinta kasih seorang pemuda seperti Thio Ki ini.
"Lihiap, aku tidak akan minta maaf, karena aku tidak merasa bersalah dengan pengakuan cintaku terhadap dirimu. Oleh karena itu, kalau Lihiap merasa tersinggung dan hendak menghukumku, silahkan." Kui Eng menggeleng kepala.
"Jangan salah sangka, Toako. Aku tidak marah dan tidak merasa tersinggung, bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Kita adalah sahabat dan rekan seperjuangan, maka memang sebaiknya kalau bersikap jujur seperti yang telah kau perlihatkan.
"Aku hanya merasa menyesal karena terpaksa aku tidak dapat menyambut perasaan hatimu yang murni itu, karena aku... aku telah jatuh cinta kepada seorang pria lain.
"Nah, baru kepadamulah aku membuat pengakuan ini, untuk mengimbangi kejujuranmu. Aku... aku telah jatuh cinta kepada Tan Ci Kong, tidak tahu apakah perasaan hatiku ini mendapat sambutannya ataukah aku hanya bertepuk sebelah tangan."
Kui Eng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, tidak tega melihat wajah Thio Ki yang tentu akan merasa terpukul sekali mendengar penolakannya yang terus terang. Dan memang Thio Ki merasa terpukul, akan tetapi hal ini diterimanya dengan jantan. Hanya wajahnya saja yang berubah agak pucat dan pandang matanya agak sayu, karena jawaban itu memang merupakan pukulan batin yang cukup berat baginya. Namun, bibirnya tersenyum pahit dan diapun menarik napas panjang sampai tiga kali untuk menenangkan hatinya. Sampai lama mereka berdiam diri, Thio Ki seperti orang termenung, Kui Eng tetap menundukkan mukanya. Akhirnya Thio Ki merasa tenang kembali.
"Terima kasih, Lihiap. Keterus teranganmu sungguh banyak menolongku. Aku semakin kagum kepadamu. Engkau adalah seorang wanita yang sukar dicari keduanya di dunia ini, dan memang pilihan hatimu itu tepat sekali.
"Aku sudah mendengar siapa adanya pendekar muda Tan Ci Kong, murid Siauw-lim-pai yang namanya menggemparkan itu. Dan aku hanya dapat berdoa semoga Lihiap akan dapat hidup bahagia bersamanya.
"Maafkan segala yang telah kulakukan dan kuucapkan, dan anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa, sehingga kita tetap menjadi sahabat dan rekan. Nah, aku mohon pamit, akan menyusul kawan-kawan bekerja." Tanpa menanti jawaban, Thio Ki lalu meninggalkan gadis itu. Sepeninggal pemuda itu, Kui Eng duduk termenung. Hatinya merasa bimbang. Ia sudah membuat pengakuan kepada orang lain akan cintanya terhadap Ci Kong, padahal kepada Ci Kong sendiripun ia belum pernah bicara tentang cinta!
Dan iapun tidak tahu apakah Ci Kong akan membalas cintanya ataukah tidak! Bagaimana kalau Ci Kong tidak mencintanya? Nampaknya Ci Kong demikian akrab dengan Lian Hong, juga dengan Diana! Dan ia merasa kagum dan kasihan kepada Thio Ki, yang menerima pukulan batin secara demikian gagah. Kerelaan dan ketulusan hati pemuda ini sungguh berkesan di dalam sanubarinya. Sayang bahwa Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan biasa, seorang pekerja kasar dan pejuang biasa saja! Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki memasuki ruangan rahasia tempat para pejuang berkumpul dan berunding itu. Kui Eng mengangkat muka dan mengerutkan alisnya. Kenapa Thio Ki datang kembali? Sungguh bodoh kalau pemuda itu datang kembali, hanya akan memperburuk keadaan dan tidak mengenakkan perasaan saja!
Kenapa sikap yang amat bijaksana itu kini berubah menjadi suatu kecanggungan dan kebodohan? Timbul kemarahan dalam hati Kui Eng, dan ia sudah siap menegur kalau pemuda itu muncul di ambang pintu. Akan tetapi, ketika orang yang langkahnya terdengar tadi muncul di ambang pintu ruangan itu, semua kemarahan lenyap dari pikiran Kui Eng, terganti oleh rasa kaget dan heran. Ia sudah meloncat bangkit berdiri dan menatap laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kini berdiri di ambang pintu. Ia mendengar langkah-langkah kaki lain datang ke tempat itu dan segera ia bersikap waspada. Wajah laki-laki itu tidak asing baginya. Seorang laki- laki yang tinggi besar tubuhnya, perutnya gendut, mukanya licin dan sepasang matanya sipit sekali. Dan kini bermunculan belasan orang di belakang laki-laki itu, dan iapun terkejut karena belasan orang itu berpakaian seperti perwira-perwira bala tentara kerajaan!
"Hahaha, sudah kukira, tentu di sini tempat rahasia para pemberontak itu. Dan kiranya pemimpin perempuan yang disohorkan orang itu adalah engkau. Selamat bertemu kembali, nona Ciu Kui Eng!" Suara orang inipun amat dikenalnya, akan tetapi tetap saja Kui Eng tidak dapat mengingat lagi siapa adanya orang ini. Ia memandang dengan alis berkerut, lalu membentak.
"Siapakah engkau?"
"Ha-ha-ha, sudah lupa kiranya kepada sahabat lama! Agaknya setelah menjadi pemberontak, engkau hanya mengenal orang-orang jahat dan pemberontak-pemberontak hina saja, nona. Aku adalah komandan Ma, pernah menjadi sahabat keluargamu."
Ah kenapa ia sampai lupa? Tentu saja. Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan kota Kanton! Dan tanpa bertanya, iapun tahu bahwa ia berada dalam bahaya. Tentu Ma-Ciangkun ini datang bersama rekan-rekannya untuk melakukan penyerbuan dan pembersihan terhadap para pejuang. Untung bahwa semua anak buahnya telah pergi meninggalkan tempat itu, sehingga tidak ada bukti bahwa para kuli pelabuhan itu adalah pejuang-pejuang. Juga untung sekali bahwa Thio Ki baru saja pergi dari situ. Ia tidak takut atau khawatir menghadapi belasan orang perwira itu. Iapun merasa tidak perlu untuk berbantahan dengan Ma Cek Lung, maka dengan sikap acuh, ia lalu mengambil kursi yang tadi ia duduki, dengan kedua tangan ia mematah-matahkan kursi, mengambil sebatang kakinya yang panjang, lalu dengan senjata tongkat kaki kursi di tangan, iapun membentak.
"Kalian datang mencari mampus!"
Dan tongkat di tangannya itu sudah menyambar ke depan. Akan tetapi agaknya Ma Cek Lung sudah mengenal kelihaian orang, setidaknya dia sudah mendengar bahwa puteri bekas sahabatnya yang kini menjadi pemberontak ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka dia sudah meloncat ke belakang, dan belasan orang perwira itu sudah berlompatan masuk ke dalam ruangan yang luas itu, memegang golok besar dan mengepungnya! Melihat cara tigabelas orang ini, diam-diam Kui Eng terkejut. Kiranya tigabelas anak buah Mi Cek Lung ini bukan orang biasa, pikirnya... dan iapun teringat akan nama Chap-sha Toa-to-tin (Barisan Tigabelas Golok Besar) dari Kota Raja yang kabarnya amat berbahaya dengan permainan golok besar mereka! Agaknya Ma Cek Lung, dalam usahanya melakukan pembersihan, kini dibantu oleh jagoan-jagoan dari Kota Raja ini.
Dugaannya memang tidak keliru. Tigabelas orang berpakaian perwira yang mengepungnya itu adalah Chap-sha Toa-to-tin yang namanya terkenal sekali di Kota Raja. Kini tigabelas orang yang memiliki ilmu golok dari Bu-tong-pai itu telah mengepung, dan mereka bergerak mengitari Kui Eng dengan pasangan kuda-kuda yang berubah. Kui Eng yang terkepung di tengah-tengah, berdiri tegak dengan potongan kayu di tangan, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, kedua matanya saja melirik ke kanan kiri, kedua telinganya juga dikerahkan untuk mengikuti gerakan mereka yang berada di belakang tubuhnya yang tak dapat diikuti gerakannya dengan pandang mata. Ia sedang memperhitungkan bagaimana untuk meloloskan diri dari kepungan. Nampak jelas bahwa niatnya meloloskan diri sudah tercium musuh, karena barisan tigabelas orang itu, terutama memberi tekanan dan kekuatan ke arah pintu.
"Hemm, nona Ciu Kui Eng. Mengingat akan hubungan baik antara orang tuamu dan aku, mengingat bahwa dahulu aku telah mengenalmu ketika engkau masih kanak-kanak, kunasihatkan agar engkau menyerah saja. Percuma engkau Chap-sha Toa-to-tin, karena tubuhmu tentu akan tersayat-sayat menjadi empatbelas potong.
"Sayang sekali kalau begitu, bukan? Engkau masih muda dan cantik jelita. Menyerahlah... dan kalau engkau berjanji mau membantu pemerintah dan menunjukkan dimana adanya para pemberontak lainnya, aku dapat menolongmu agar engkau diampuni." Kui Eng memandang marah ke arah orang gendut itu. Ingin ia menggunakan tongkatnya membunuh orang itu, akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena pengepungan tigabelas orang itu amat ketat. Golok besar di tangan mereka berkilauan saking tajamnya dan tangan-tangan yang memegang golok itupun mantap dan kokoh kuat.
"Bwa saja ocehanmu sebagai bekal ke neraka!" bentaknya, dan tiba-tiba Kui Eng menyerang ke kanan, ke arah pengepung yang berada di sebelah kanannya. Tongkat pendek itu, bekas kaki kursi, berkelebat menjadi gulungan sinar yang amat cepat menerjang, dan dengan bertubi-tubi sudah menotok ke arah jalan darah seorang pengepung,
Lalu dilanjutkan dengan sambaran ke arah mata orang lain, dan tusukan ke arah lambung orang ketiga. Terdengar suara berkerontangan nyaring dan nampak sinar golok berkelebatan menyilaukan mata ketika banyak golok melakukan penangkisan secara serentak, sehingga tiga kali serangan bertubi dari Kui Eng itu semua dapat tertangkis! Kui Eng terkejut, kiranya bukan kosong saja nama besar Chap-sha Toa-to-tin. Setiap kali tongkatnya menyerang, tongkat bertemu dengan sedikitnya empat batang golok besar, dan tentu saja tenaga empat orang itu cukup untuk mengimbangi, bahkan menekan tenaganya sendiri! Tiba-tiba terdengar aba-aba, dan ada angin menyambar-nyambar dari arah belakangnya. Kui Eng cepat menggerakkan tubuhnya, memutar sambil menangkis dan aba-aba itupun dikeluarkan terus oleh seorang di antara para pengepungnya,
Diikuti oleh tigabelas orang itu yang bergerak secara teratur sekali, melakukan serangan kepadanya secara bertubi-tubi. Kui Eng menjadi semakin sibuk dan terpaksa mengerahkan tenaga dan memainkan Cui-beng Hek-pang, yaitu ilmu Tongkat Hitam Pengejar Nyawa. Namun, melihat betapa banyaknya orang yang mengeroyok dan mengepungnya, sekali ini ia tidak mampu memainkan ilmu tongkat di bagian yang menyerang, melainkan menggunakan tongkatnya sebagai perisai untuk melindungi seluruh tubuh dari sambaran golok yang tiada hentinya itu. Untung bahwa ia memiliki gin-kang atau ilmu meringankah tubuh yang istimewa. Kegesitan dan keringanan tubuhnya membantu banyak. Ia dapat berloncatan ke sana-sini bukan hanya sekedar mengelak, melainkan dengan perubahan kedudukan itu, ia mampu mengacaukan pengepungan.
Namun, ternyata bahwa Chap-sha Toa-to-tin benar hebat sekali. Mereka memiliki gerakan yang aneh dan rapi, merupakan benteng yang amat kuat sehingga sukar sekali dibobol. Biarpun kegesitan tubuh Kui Eng dan kelihaian permainan tongkat gadis itu membuat mereka sukar sekali untuk dapat merobohkan Kui Eng, namun agaknya akan amat sukar pula bagi gadis perkasa itu untuk meloloskan diri. Sementara itu, dari luar kepungan, Ma Cek Lung tertawa-tawa dan tetap membujuk agar gadis itu menyerah saja. Perwira gendut ini memang mengharapkan Kui Eng menyerah dan menakluk, karena dia melihat dua keuntungan baginya kalau gadis itu menyerah. Pertama, gadis itu manis bukan main dan dapat dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu mau menjadi kekasihnya sebagai jaminan keselamatannya,
Dan kedua, dia akan memperoleh tenaga bantuan yang amat kuat. Kalau gadis itu mau membantunya, tentu akan mudah baginya mengetahui tempat persembunyian para pemberontak dan dia akan memperoleh pahala besar kalau berhasil menangkapi mereka. Akan tetapi tentu saja Kui Eng tidak sudi menyerah. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi pengeroyokan barisan golok yang amat kuat, namun ia bertekad untuk melawan sampai akhir! Tongkatnya berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung, dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar golok yang datang seperti hujan. Bagaimanapun juga, ia berada di pihak yang terdesak dan terancam bahaya, tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk balas menyerang. Tigabelas orang bergolok melakukan penyerangan seperti gelombang dari laut yang datang dan pergi tanpa henti-hentinya.
"Ha-ha-ha, nona Ciu Kui Eng yang manis, lebih baik engkau menyerah sebelum kulitmu yang halus itu tersayat golok. Sayang, bukan? Katakanlah engkau menyerah dan aku akan memberi aba-aba agar pengeroyokmu mundur dan... ahhh..."
Tiba-tiba ada bayangan didahului sinar yang menyilaukan mata, dan tubuh komandan Ma Cek Lung yang sedang tertawa-tawa dan membujuk Kui Eng itupun terpelanting dengan mandi darah karena lehernya hampir putus dibabat sebatang pedang di tangan pria muda yang baru muncul. Pria ini kini terjun ke dalam ruangan dimana Kui Eng dikepung, dan pedangnya membuat gerakan amat kuat mengeluarkan suara mengaung dan membentuk sinar bergulung-gulung! Karena datangnya penyerang dari luar kepungan, ditujukan kepada para pengepung, tentu saja kepungan Tigabelas Golok Besar itu menjadi buyar dan kacau. Akan tetapi, agaknya barisan ini memang sudah matang dan siap menghadapi segala macam kemungkinan. Terdengar aba-aba dari pemimpin mereka, dan tiba-tiba saja barisan itu terbelah menjadi dua bagian, tujuh orang tetap mengepung dan mengeroyok Kui Eng, sedangkan yang enam mengepung pria itu.
"Aha, kiranya sisa orang-orang Kang-sing-pang yang datang menghantar nyawanya!" bentak pimpinan barisan itu kepada pendatang baru. Akan tetapi pria berpedang itu tidak menjawab, melainkan memutar pedangnya dan segera dia dikeroyok oleh enam orang yang mengepungnya. Terdengar suara berdenting-denting dan nampak bunga api berpijar ketika pedangnya berkali-kali bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Nampak oleh Kui Eng betapa para pemegang golok itu terkejut karena golok mereka terpental bertemu dengan pedang yang mengandung tenaga kuat.
Juga ia melihat betapa gerakan penolongnya itu cepat dan amat kuat, ilmu pedang yang amat lihai. Semakin kagumlah hatinya, karena orang ini bukan lain adalah Thio Ki! Kuli pelabuhan itu ternyata kini menjadi seorang ahli pedang yang hebat, sehingga biarpun dikeroyok oleh enam orang, segera dia mampu mendesak mereka! Kui Eng merasa terkejut, heran dan juga kagum, dan semua ini menambah besar semangatnya. Tongkat sederhana di tangannya berkelebatan dan terdengar teriakan kesakitan ketika ujung tongkatnya itu meremukkan tulang pundak kiri seorang pengeroyok! Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan lain dan seorang di antara mereka yang mengeroyok Thio Ki juga terhuyung ke belakang dengan paha terluka lebar oleh ujung pedang pemuda itu!
Kui Eng menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda ini lihai sekali, dan agaknya tidak mau kalah olehnya. Maka kegembiraannya bangkit, dan gadis ini setelah mengerling dan tersenyum ke arah Thio Ki, dan cepat menggerakkan tongkatnya. Di lain pihak, Thio Ki juga mempercepat gerakan pedangnya, dan kini keduanya seperti berlomba untuk bersicepat menjatuhkan lawan. Berturut-turut Kui Eng melukai dua orang, dan Thio Ki juga merobohkan dua orang. Melihat kehebatan pemuda yang baru datang ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik dan amat berbahaya bagi mereka. Chap-sha Toa-to-tin segera mengeluarkan seruan keras dan mereka cepat menyambar teman-teman yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu. Thio Ki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Kui Eng berseru.
"Toako, jangan kejar. Mari kita cepat lari! Mereka tentu akan mendatangkan pasukan lebih besar." Pemuda itu sadar dan kagum akan ketenangan Kui Eng yang dalam keadaan bagaimanapun memperlihatkan kecerdikan seorang pemimpin. Mereka lalu berloncatan pula meninggalkan tempat itu, dan tak lama kemudian mereka telah keluar dari kota dan berada di pantai laut yang sunyi. Keduanya melepas lelah dan duduk di atas pasir yang putih bersih, menghadap ke lautan yang tenang dan biru.
"Thio-Toako, engkau sungguh pandai menyembunyikan rahasia dirimu." Kui Eng berkata sambil memandang wajah pemuda itu yang kini nampak gagah. Thio Ki mengerutkan alisnya.
"Maaf, Lihiap..."
"Sudahlah, jangan membikin aku menjadi malu dengan sebutan Lihiap (pendekar wanita)."
"Akan tetapi, engkau memang seorang pendekar wanita..."
"Aihhh, Thio-Toako, melihat gerakan pedangmu tadi, aku tidak akan mampu menandingimu! Kalau engkau menyebut aku Lihiap, apakah aku harus menyebutmu Taihiap (pendekar besar)?"
"Lalu, aku harus menyebutmu apa?"
"Sebut saja namaku, dan karena engkau lebih tua, boleh menyebut moi-moi."
"Ah, mana aku berani?"
"Kenapa tidak, Toako? Aku menyebutmu Toako (kakak), apa salahnya engkau menyebut moi-moi (adik) kepadaku? Jangan engkau berpura-pura lagi. Engkau bukanlah kuli pelabuhan biasa, bukan pejuang biasa, dan tadi aku mendengar seorang di antara mereka menyebut nama Kang-sim-pang (Perkumpulan Hati Baja)." Thio Ki menarik napas panjang.
"Baiklah, Ciu-moi (adik Ciu) dan terima kasih atas kebaikanmu."
"Siapa yang patut berterima kasih? Engkau telah menolongku, Toako, bahkan mungkin engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku. Akulah yang sepatutnya berterima kasih kepadamu."
"Sudahlah, Ciu-moi, di antara kita yang menjadi rekan seperjuangan, mana perlu berterima kasih? Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu."
"Engkau benar, aku kagum sekali kepadamu, Toako. Selama ini engkau mampu menyembunyikan keadaan dirimu yang sebenarnya. Sebetulnya, siapakah engkau ini, dan apa hubunganmu dengan Kang-sim-pang?"
"Hubunganku dekat sekali dengan Kang-sim-pang, karena mendiang Ayah adalah ketua perkumpulan kami itu."
"Ahhh..."
"Engkau sudah tahu akan Kang-sim-pang, Ciu-moi?"
"Tentu saja! Sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah pula, dan yang dalam beberapa bulan ini diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah di daerah timur Propinsi Ce-kiang, bukan?"
"Benar, dan Chap-sha Toa-to-tin itulah di antara mereka yang menyerbu. Seorang di antara anak buah kami telah dapat terbujuk oleh penjajah dan mengkhianati kami. Dalam penyerbuan itu, banyak saudara kami tewas termasuk Ayah dan ibu. Aku mampu lolos dan menjadi orang buruan, lalu aku lari ke sini dan bergabung dalam kelompok kuli pelabuhan." Kui Eng mengangguk-angguk dan memandang kagum.
"Kiranya engkau adalah putera Pang-cu dari Kang-sim-pang, dan engkau menyamar sebagai kuli pelabuhan, setiap hari bekerja kasar dan berat di pelabuhan sampai berbulan-bulan. Sungguh engkau hebat dan tahan uji, Toako." Thio Ki menarik napas panjang.
"Karena engkau yang menjadi pimpinan, maka aku menjadi betah menyamar sebagai kuli pelabuhan. Ah, sudahlah tidak ada gunanya bicara soal itu.
"Sekarang yang penting setelah tempat kita diketahui musuh, sebaiknya aku cepat memberi kabar kepada kawan-kawan agar jangan sekali-kali datang ke tempat itu. Kalau sampai diketahui bahwa teman-teman kita yang menjadi kuli pelabuhan adalah anggauta perjuangan, tentu akan celaka kita semua."
Kui Eng mengangguk, diam-diam merasa semakin menyesal. Karena ia telah jatuh cinta kepada Ci Kong, ia harus menolak cinta seorang pemuda yang demikian hebat seperti Thio Ki! Bukan seorang kuli pelabuhan biasa, bukan seorang pejuang biasa, melainkan seorang pendekar berilmu tinggi, putera ketua Kang-sim-pang yang terkenal. Mereka lalu berpisah, dan Kui Eng menyerahkan kepada Thio Ki untuk mencari tempat pertemuan baru bagi kawan-kawan mereka, bahkan menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Thio Ki, karena ia akan pergi mencari Ci Kong! Akan tetapi kepada Thio Ki, untuk mencegah agar jangan sampai pemuda itu tersinggung, ia tidak menyebut-nyebut nama Ci Kong, melainkan mengatakan bahwa ia ingin mencari gurunya, yaitu Tee-tok. Berpisahlah kedua orang muda itu, meninggalkan kesan yang mendalam di hati Kui Eng.
"Sudah yakin benarkah engkau akan rencanamu ini, Diana? Bagaimana kalau sampai engkau gagal, dan terancam bahaya maut?" untuk terakhir kalinya, Kakek berpakaian pengemis itu berkata dengan sikap meragu. Semenjak mereka turun gunung menuju ke Kanton, Bu-beng San-kai atau San-tok, Kakek itu, berkali-kali membujuk Diana agar jangan melanjutkan niatnya, namun gadis itu tetap nekat.
"Aku sudah yakin benar, suhu." jawab Diana dengan suara tegas, seperti jawabannya pada setiap bujukan suhunya agar ia tidak melanjutkan rencananya itu.
"Dan andaikan ada bahaya mengancam, aku sekarang sudah dapat menjaga diri, bukan? Harap suhu tidak khawatir. Aku harus melakukan sesuatu untuk kawan-kawan tercinta, untuk perjuangan mereka yang mulia, dan untuk mencegah bangsaku menghalangi perjuangan itu, demi kebaikan bangsaku sendiri." Mereka kini telah tiba di luar kota Kanton. San-tok berkeras mengantar muridnya ke Kanton, karena bagaimanapun juga, hatinya tidak tega membiarkan murid yang dulu dibenci akan tetapi kini amat disayangnya itu pergi sendirian saja. Sebagai seorang gadis berkulit putih, tentu saja Diana akan menarik perhatian sepanjang jalan dan akan mengalami banyak sekali gangguan. Rakyat sudah mulai menaruh perasaan benci terhadap orang kulit putih dan tentu saja mereka tidak akan mau percaya kalau mendengar bahwa Diana adalah seorang gadis kulit putih yang berpihak kepada para pejuang.
Juga Diana, dengan kulitnya yang putih, rambutnya yang keemasan dan matanya yang biru, tidak mungkin menyamar, walaupun ia berpakaian seperti wanita biasa. Dan memang di sepanjang perjalanan menuju ke Kanton, disana menimbulkan banyak keheranan, dan banyak pula gangguan. Namun, dengan adanya San-tok, tak seorangpun berani mengganggunya sampai akhirnya pada sore hari itu, mereka tiba di luar tembok kota Kanton. Kepercayaan Diana kepada dirinya sendiri bukan tanpa alasan. Ia kini bukanlah Diana yang dulu. Ia bukan saja telah digembleng oleh San-tok dengan ilmu silat yang praktis, akan tetapi bahkan telah menerima pelajaran dan Hai-tok dan Tee-tok. Walaupun dari mereka itu hanya memperoleh beberapa jurus, namun merupakan jurus-jurus pilihan.
Diana kini bukanlah gadis yang lemah lagi. Rencananya timbul ketika ia mendengar tentang permusuhan yang semakin menjadi antara para pejuang dan pasukan kulit putih. Hal ini membuat ia prihatin sekali. Bangsanya datang sebagai pedagang, kenapa harus mencampuri urusan pribadi negara asing? Apa pula kalau rakyat asing di negeri itu memperjuangkan kebebasan mereka sendiri. Seharusnya orang kulit putih menjaga kebaikan hubungannya dengan rakyat, karena akhirnya dengan rakyatlah mereka akan berdagang. Maka ia lalu kemukakan pendapat dan rencananya kepada San-tok. Tentu saja Kakek ini merasa girang, hanya masih khawatir kalau-kalau murid yang disayangnya itu akan menderita celaka. Dia sendiri maklum bahwa tentu perjuangan akan lebih lancar dan berhasil kalau tidak ada orang kulit putih yang menjadi penghalang besar.
"Diana, sekali lagi kuperingatkan kepadamu bahwa rencanamu ini amat berbahaya bagi dirimu sendiri. Kalau engkau gagal, engkau mungkin akan dianggap pengkhianat oleh bangsamu, ditangkap dan dihukum sebagai seorang pengkhianat yang rendah. Ah, alangkah sedihnya hatiku kalau begitu, dan aku tidak akan berdaya untuk dapat menolongmu, muridku." Diana yang biasanya bersikap lugu dan tidak pernah mempergunakan peraturan-peraturan terhadap gurunya, sekali ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. Hatinya terharu sekali, karena baru sekarang ia merasa benar bahwa gurunya amat menyayanginya.
"Suhu, aku dapat membela diri, akan tetapi andaikata sampai aku gagal, dihukum atau dibunuh sekalipun, anggap saja bahwa aku gugur dalam membela perjuangan suhu dan kawan-kawan. Aku percaya bahwa pamanku Kapten Charles Elliot akan dapat mempertimbangkan semua pendapatku demi kebaikan bangsa kami sendiri." San-tok tersenyum, lalu menggunakan tangan kanannya menyentuh kepala yang rambutnya seperti benang emas itu.
"Baiklah, muridku. Aku percaya akan kesanggupanmu. Nah, sebelum gelap, engkau masuklah ke dalam kota. Aku hanya mengharapkan agar engkau dapat berhasil." Diana bangkit dan sejenak memegang tangan gurunya.
"Suhu, kalau sampai aku gagal, tolong sampaikan ucapan selamat tinggalku kepada Tan Ci Kong." Gurunya mengangguk, maklum akan isi hati muridnya.
"Hemm... kau mencinta Ci Kong?" Soal cinta merupakan hal yang tidak memalukan untuk dibicarakan bagi Diana. Ia menjawab lirih.
"Pernah aku mencinta seorang pria bangsaku, suhu, dan semenjak itu, semenjak kami dipisahkan, aku tidak pernah mencinta pria lain. Akan tetapi Ci Kong, ah... aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Aku suka padanya dan mungkin saja aku jatuh cinta padanya. Tapi dia... dia adalah satu-satunya pria yang dicinta oleh Lian Hong!
"Suhu harus menjodohkan Lian Hong dengan Ci Kong. Sudahlah, suhu, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan suhu yang telah dilimpahkan kepadaku. Selamat tinggal, suhu."
"Pergilah, muridku," kata San-tok. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya, dan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang kota Kanton. Sejak masuknya Diana ke dalam pintu gerbang, banyak menarik perhatian orang. Para penjaga sendiri memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena gadis yang mengenakan pakaian petani dusun itu adalah seorang gadis kulit putih yang berambut kuning emas dan bermata biru, mereka tidak berani menegur. Ketika Diana menuju ke gedung tempat tinggal pamannya, setibanya di sebuah tikungan, tiba-tiba ada yang memanggil namanya dengan teriakan nyaring, dan iapun cepat menoleh ke kiri.
"Diana! Benar engkaukah ini? Ah, seperti dalam mimpi saja rasanya!" Diana memandang pria yang berpakaian kapten itu, pria yang gagah dan tampan sekali, yang amat dikenalnya karena pria itu adalah Peter Dull. Diana sudah lama sekali tidak pernah bicara dalam bahasanya sendiri, maka biarpun ia masih dapat mendengar dengan jelas dan mengerti semua kata-kata Peter Dull, ia sendiri merasa kaku untuk menjawab. Dengan hati-hati dan kaku, iapun menjawab.
"Benar, aku adalah Diana Mitchell. Dan engkau adalah Tuan Peter Dull, bukan?" Peter membelalakkan matanya, mengamati Diana dan kepala sampai ke kaki, mulutnya mengarahkan senyum karena merasa lucu sekali. Diana dalam pakaian petani dusun, dengan sepatu kain butut, dan bicaranya itu! Seperti baru belajar bahasa Inggeris saja! Akhirnya, meledaklah ketawanya.
"Ha-ha-ha, sungguh ajaib! Lucu dan aneh sekali! Satu tahun lebih engkau menghilang dan kini muncul seperti ini. Lucu! Akan tetapi harus ku akui bahwa engkau menjadi semakin sehat, cantik dan segar saja, Diana!" Dengan kaku dan dingin, Diana mengangguk.
"Terima kasih dan selamat tinggal, Tuan Peter, aku harus segera menemui paman Charles Elliot."
"Diana, berhenti dulu!" Peter Dull berseru.
"Pamanmu tidak berada di Kanton lagi. Sudah lama dia pindah tugas ke Shang-hai." Diana menahan langkahnya.
"Apa? Bukankah selama itu dia menjadi kepala perwakilan English East Indian Company di sini? Mengapa pindah dan sejak kapan?" Peter tersenyum.
"Mari kita bicara di dalam benteng, Diana. Banyak hal penting terjadi yang perlu kau ketahui. Kalau perlu, aku akan mengantarmu ke Shang-hai dengan kapal. Mari, dan jangan sebut aku Tuan. Bukankah sejak dulu kita ini bersahabat? Dan aku kuharap engkau suka memaafkan segala peristiwa yang lalu, Diana." Diana memandang tajam. Benarkah Peter Duli ini telah berubah, menyesali perbuatannya yang dahulu? Ia mempunyai urusan penting, tidak seharusnya melibatkan diri dalam urusan dendam yang hanya akan menjadi penghalang rencananya. Ia harus berbaik dengan pamannya dan dengan semua pejabat pasukan bangsanya.
"Baiklah, Peter. Sudah kulupakan semua yang terjadi di masa lalu."
"Bgus! Selamat datang, Diana... dan mari kita masuk ke benteng," kata Peter mengulurkan tangan yang disambut oleh Diana. Mereka lalu melangkah menuju ke benteng di dekat pantai. Hari telah gelap ketika mereka memasuki perbentengan dan lampu-lampu telah dinyalakan. Para perajurit yang bertugas jaga, terbelalak heran ketika melihat komandan mereka masuk bersama seorang gadis kulit putih yang pakaiannya aneh. Apa lagi ketika mereka mengenal bahwa gadis itu adalah Diana Mitchell, gadis yang sempat menggemparkan seluruh perajurit di Kanton itu dengan petualangannya. Mata para perajurit memandang terbelalak sampai Peter dan Diana memasuki ruangan besar di dalam.
"Uiii... akhinya ia jatuh ke tangan Kapten Peter juga, ha-ha!" kata seorang perajurit tua yang brewok. Kini para perajurit yang baru, yang belum mengenal Diana, bertanya-tanya kepada para perajurit tua, dan ramailah keadaan di bagian luar itu karena mereka yang tahu akan persoalannya lalu bercerita kepada mereka yang tidak tahu. Seorang sersan muda yang agaknya juga belum mengenal Diana, bertanya kepada perajurit brewok.
"Siapa sih perempuan itu dan apa maksudmu ia jatuh ke tangan Kapten Peter." Perajurit brewok tertawa lagi.
"Aha, engkau belum tahu, Sersan. Sejak dulu, Kapten Peter tergila-gila kepada Diana Mitchell, gadis cantik itu, keponakan Kapten Charles Elliot. Kabarnya mereka cekcok dan gadis itu melarikan diri. Berbulan-bulan lamanya Kapten Peter mengerahkan pasukan untuk mencari dan membawanya kembali, namun tanpa hasil.
🖐
"Ia mulai dilupakan karena sudah menghilang selama satu tahun lebih, disangka sudah mati. Bahkan gadis itu dikabarkan bersekutu dengan para pemberontak! Akan tetapi siapa bahwa hari ini sang domba dengan jinaknya datang kembali sendiri ke kandang, siap untuk diterkam sang harimau yang sudah lama kelaparan, ha-ha-ha!" Sersan itu ikut tertawa, demikian pula para perajurit lainnya.
"Aih, ingin sekali aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan dan apa yang terjadi di dalam."
"Ha-ha, siapa berani melakukan itu? Kalau ketahuan, tentu akan dihukum cambuk oleh Kapten Peter sampai seluruh kulit di punggung cabik-cabik." Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap dan bergurau tentang kembalinya Diana, akan tetapi setelah hal itu tidak menarik lagi, keadaan kembali menjadi sunyi dan yang berada di depan hanyalah mereka yang bertugas jaga. Sementara itu, dengan sikap gembira dan ramah, Peter mengajak Diana duduk di ruangan dalam yang luas dan bersih, dan di situ tidak nampak adanya seorangpun perajurit.
"Silahkan duduk, Diana. Biar aku mengambilkan pakaian untukmu. kau dapat berganti pakaian di kamar ini."
"Terima kasih, Peter. Tidak usah, aku tidak perlu berganti pakaian. Pakaianku ini masih bersih."
"Tapi kau , ah... mana engkau pantas memakai pakaian seperti itu? Aku mempunyai gaun yang masih baru dan..."
"Terima kasih, tidak usah repot-repot. Sudah setahun lebih setiap hari aku memakai pakaian seperti ini dan sudah terbiasa dan enak dipakai. Aku datang untuk bicara, Peter."
"Okey, sesukamulah. Mau minum apa?" Dia menuju ke bar dimana tersedia bermacam minuman.
"Jangan minuman keras untukku, cukup air jeruk atau air buah lainnya kalau ada, atau air teh." Peter menahan senyumnya. Sungguh berubah sekali gadis ini akan tetapi harus diakuinya bahwa Diana semakin cantik, semakin matang dan tubuhnya kini menggairahkan. Dia menuangkan air jeruk ke dalam gelas, dan bir untuk dirinya sendiri, lalu menghampiri Diana, menyerahkan gelas terisi air jeruk. Diana menerima dan meminumnya sedikit, lalu meletakkan gelas itu di atas meja.
"Nah, sekarang ceritakanlah tentang pamanku."
"Pamanmu telah dipindahkan ke Shang-hai tiga bulan yang lalu. Di sana direncanakan untuk dibangun benteng yang lebih kuat dan pada di sini, dan karena hubungan dengan Kota Raja lebih dekat, maka pamanmu ditugaskan di sana.
"Jangan khawatir, besok akan ku atur agar engkau dapat berlayar ke Shang-hai, dan kalau perlu aku sendiri yang akan menemanimu ke sana. Akan tetapi, selama ini engkau kemana sajakah, Diana? Pamanmu dan seluruh keluarganya merasa cemas bukan main. Mengapa engkau tidak mau kembali ke sini dan apa saja yang telah kau alami selama ini?"
Diana merasa tidak puas mendengar berita yang demikian singkat tentang pamannya, dan iapun diam-diam bersikap waspada dan tidak percaya kepada Peter Dull ini. Maka, ketika tadi ia menerima segelas air jeruk, minuman itu hanya dicicipinya sedikit, dan ia yang kini memiliki perasaan yang peka, dapat merasakan kelainan pada minuman itu. Ia curiga bahwa minuman itu dicampuri obat, pembius atau obat tidur, maka ia tidak berani minum banyak sebelum yakin benar bahwa minuman itu bersih. Betapapun juga, ia merencanakan hubungan baik antara pasukan kulit putih dan para pejuang, maka ia tidak seharusnya memulai dengan sikap permusuhan dengan Peter yang merupakan orang penting pula dalam pasukan kulit putih.
"Engkau tahu bahwa aku suka menyelidiki benda-benda kuno dan tradisi-tradisi yang bersangkutan dengan sejarah. Di dusun-dusun dan gunung-gunung, aku menemukan banyak hal yang menarik, sehingga aku betah tinggal di sana."
"Hemmm..." Peter Dull tersenyum sinis penuh ejekan.
"Apakah bukan karena engkau tertarik kepada mereka, bersekutu dan bergaul dengan segala macam bandit, pencuri, perampok, bajak, pembunuh dan pengacau-pengacau hina itu. Aku banyak mendengar tentang petualanganmu, Diana." Kedua telinga Diana menjadi merah, akan tetapi ia menahan kesabarannya.
"Para penyelidikmu bodoh-bodoh dan keliru mengambil kesimpulan, Peter. Mereka itu, sahabat-sahabatku itu, sama sekali bukan penjahat. Mereka adalah pendekar-pendekar tulen, satria-satria sejati dan patriot-patriot yang perkasa!
"Justeru untuk menjelaskan semua itulah, maka aku pulang, Peter. Dan engkaupun perlu mendengar agar terbuka matamu dan sadar bahwa selama ini, sikap yang diambil oleh pasukan kita adalah keliru sama sekali." Peter Dull memandang dengan alis berkerut sinar mata penuh selidik.
"Apa maksudmu?"
"Mereka itu adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah Mancu, yang berjuang untuk membebaskan tanah air mereka dari cengkeraman penjajah Mancu. Bangsa kita datang ke negeri ini untuk berdagang, bukan?
"Nah, mengapa mencampuri urusan perjuangan, bahkan membantu pemerintah penjajah dan menentang perjuangan para pendekar yang hendak membebaskan bangsa dan tanah airnya dari cengkeraman penjajah? Sikap ini membuat rakyat menjadi benci dan timbul anti kulit putih, dan hal itu kurasa amat merugikan bangsa kita sendiri."
"Wah-wah, agaknya engkau kini menjadi pembela para pemberontak itu, Diana!"
"Pembela yang benar, Peter. Dan itu adalah tugas setiap orang manusia, bukan? Aku pulang ini untuk membuka mata kalian. Hentikan permusuhan terhadap para pejuang, bahkan kalau mungkin, bantulah perjuangan mereka. Kalau perjuangan mereka berhasil, tentu hubungan perdagangan antara kita dan rakyat akan menjadi semakin akrab dan menguntungkan."
"Jadi engkau pulang untuk membujuk pamanmu agar bersekongkol dengan pemberontak dan memusuhi pemerintah yang syah?"
"Engkau memandang persoalannya dari sudut yang lain, demi keuntungan pemerintah penjajah! Memang pemerintah yang syah, akan tetapi benarkah itu kalau orang Mancu memegang pemerintahan di negeri ini? Rakyat yang berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah bukanlah pemberontak jahat!"
"Ah, sudahlah, Diana. Bukan tugas kita untuk bicara tentang politik, ada jenderal-jenderal yang pekerjaannya mengurus hal-hal demikian. Mari, minumlah air jeruk itu, kemudian beristirahatlah. Oya, engkau tentu belum makan malam, bukan? Biar kusuruh sediakan makan malam untuk kita." Peter mengalihkan percakapan. Diana merasa penasaran, akan tetapi diam-diam otaknya bekerja. Ia harus yakin benar bagaimana sebenarnya sikap Peter terhadap dirinya. Ia harus yakin tentang minuman ini, tentang segalanya.
JILID 38
"Oya... kau tadi bilang ada gaun untuk pengganti pakaianku? Coba tolong ambilkan hendak kulihat, kalau cocok, boleh juga berganti pakaian." Berkata demikian, Diana mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas itu di bibirnya. Peter memandang dengan wajah berseri, bangkit berdiri.
"Baik, akan kuambilkan. Nah, begitu sebaiknya sikapmu, Diana. Minumlah, kalau kurang akan kuambilkan lagi."
Dan diapun melangkah ke arah kamar. Secepat kilat, Diana menuangkan seluruh isi gelasnya ke dalam pot bunga yang berdiri di sudut. Gerakannya cepat sekali dan tidak mengeluarkan suara sehingga Peter tidak mendengar sesuatu. Tak lama kemudian, Peter kembali lagi membawa sebuah gaun berwarna merah muda, juga sepasang sepatu. Dia memang menyimpan banyak pakaian wanita untuk persediaan, karena sering dia membawa wanita cantik ke dalam benteng untuk menghiburnya dan dia suka sekali memberi hadiah pakaian-pakaian indah kepada wanita yang dibawanya. Diana memperhatikan Peter dari sudut matanya dan ia melihat betapa wajah Peter berubah girang ketika pria itu memandang ke arah gelas minuman yang telah kosong.
"Sudah kau minum habis? Ah, engkau tentu haus sekali. Kuambilkan lagi, ya?"
"Tidak usah, Peter, sudah cukup. Enak dan segar sekali air jeruk itu."
"Sebentar lagi engkau tentu akan merasa lebih segar!"
"Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa... nah, inilah gaun itu. Bagus dan tentu cocok sekali wama merah muda ini untuk kulitmu yang putih mulus itu. Nah, bergantilah di dalam kamarku itu, Diana." Diana bangkit berdiri dan tiba-tiba ia terhuyung, tangan kirinya meraba dahi dan tangan kanannya memegangi ujung meja.
"Ohhh... kepalaku pening..." rintihnya.
"Hai, berhati-hatilah... engkau tentu lelah sekali. Nah, beristirahatlah di dalam kamar, Diana. Mari kupapah engkau..." Peter lalu menggandeng tangan Diana dan merangkul pundaknya. Karena rangkulan ini wajar saja, Dianapun tidak menolak dan masih melanjutkan sandiwaranya, pura-pura pening dan mengantuk, meniru lagak orang yang mengantuk dan lemas. Sengaja ia bersandar pada pundak Peter, memberatkan tubuhnya sehingga terasa oleh Peter bahwa ia benar-benar lemas dan mengantuk. Setelah mereka memasuki kamar, Peter memapahnya ke arah tempat tidur.
"Duduklah, Diana... dan mari kugantikan pakaianmu. Pakaianmu ini kurang longgar, tidak enak untuk dipakai tidur." Peter kini setelah melihat Diana duduk di atas pembaringan dengan tubuh lemas, mulai beraksi. Tangannya dengan penuh gairah hendak membuka kancing baju Diana. Gadis ini masih berpura-pura tidak sadar, akan tetapi ia menggunakan tangan menolak tangan Peter yang meraba-raba ke dada dan hendak membuka kancing bajunya itu.
"Peter, jangan..." katanya dengan suara lemah.
"Ah, jangan malu-malu, Diana. Bukankah engkau sudah biasa melakukan hal ini dengan anjing-anjing pemberontak itu? Malam ini akupun harus menikmatimu sebelum besok kau bertemu dengan pamanmu. Marilah!"
"Peter, ahhh... jangan..." Diana lalu bangkit berdiri, mendorong kedua tangan Peter yang kurang ajar, dan dengan masih terhuyung menjauh dari pembaringan, matanya yang mengantuk dicobanya untuk dilebar-lebarkan memandang wajah Peter. Ia harus yakin bahwa Peter benar-benar menaruhkan obat ke dalam minuman tadi sebelum ia turun tangan memberi hajaran.
"Hayolah, Diana. Sudah bertahun-tahun aku menaruh berahi padamu, akan tetapi engkau malah lari kepada anjing-anjing itu. Hayo, mari kita bersenang-senang, karena aku tidak suka kalau harus memaksamu. Mari, sebelum engkau pulas, karena tidak enak kalau engkau tidur seperti mayat." Diana sudah hampir yakin mendengar kata-kata itu, akan tetapi ia masih berpura-pura.
"Apa? Tidur seperti mayat?" Ketika Peter maju untuk menyambar lengannya, ia menangkis dengan pengerahan tenaga sambil mendorong. Peter tidak menyangka akan gerakan ini, maka pundaknya terdorong keras dan diapun terhuyung dan menabrak meja.
"Ahh, engkau melawan dengan kekerasan! Percuma, Diana. Sebentar lagi engkau akan jatuh lemas, dan aku akan mempermainkan engkau seperti juga engkau mempermainkan hatiku. Engkau akan menjadi milikku semalam ini, baru hatiku puas!" Diana masih terhuyung.
"Kau... kau menaruh apa dalam minumanku tadi...?"
"Ha-ha-ha, engkau cerdik juga, ya? Tiga butir pel obat tidur, cukup membuatmu tidur seperti mayat selama satu malam penuh, ha-ha-ha!" Peter menubruk dengan penuh nafsu, akan tetapi kini Diana yang sudah mendapatkan keterangan yang diharapkan, menyambutnya dengan tamparan keras.
"Plakkk!!" Demikian kerasnya tamparan itu sehingga tubuh Peter terpelanting dibarengi pekiknya kesakitan. Dia jatuh dan bangkit lagi sambil meraba pipinya yang membengkak, meludahkan darah karena duabuah giginya copot.
"Perempuan keparat! Berani engkau memukulku?" Saking marahnya, dia lupa bahwa amat aneh bagi seorang wanita yang sudah dipengaruhi obat tidur dapat menampar sekuat itu. Kini dia menubruk dengan kedua tangan siap mencabik-cabik pakaian Diana. Akan tetapi, dia menubruk tempat kosong.
"Plakkk...!" Tamparan yang lebih keras lagi jatuh ke pipinya, kini yang sebelah kiri. Kembali dia terpelanting roboh dan pipi kirinya membengkak lebih besar dan lebih menghitam. Kini agaknya Peter baru teringat bahwa tidak mungkin orang terbius dapat memukul seperti itu. Dia merangkak bangkit dan berdiri memandang dengan mata terbelalak. Dia melihat Diana berdiri sambil tersenyum simpul, senyum yang penuh ejekan, sama sekali tidak kelihatan mengantuk atau lemas lagi. Mengertilah dia bahwa dia yang dipermainkan.
"Kau... kau tidak minum air jeruk itu!" bentaknya. Diana tertawa dan hidungnya kembang-kempis, karena ia sungguh marah dan ingin mengejek orang itu.
"Peter, kau kira aku belum mengenal manusia macam apa adanya engkau? Sejak dulu engkau tidak berubah. Palsu, curang dan pengecut! Aku dapat menduga akan akal busukmu, dan sekarang aku ingin memberi hajaran keras kepada binatang bertubuh manusia macam kamu!" Diana sudah marah sekali sehingga ia tidak perduli akan tugasnya untuk menjalin hubungan baik antara bangsanya dan kau m pejuang. Ia tidak ingat lagi akan politik, karena ia menghadapi seorang manusia yang jahat dan patut dihajar. Mendengar ucapan itu, tentu saja Peter merasa malu dan hal ini membuat kemarahannya memuncak.
"Bgus! Kiranya kedatanganmu memang sudah kau rencanakan untuk membikin kacau! Engkau mata-mata pemberontak busuk, pengkhianat bangsa!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" Diana membentak marah. Akan tetapi Peter sudah menerjang ke depan untuk menangkap lengan gadis itu, karena dia masih belum sadar bahwa Diana kini bukan dara yang dulu lagi, bukan gadis lemah, maka dia merasa yakin akan dapat menangkap gadis itu dan membuatnya tidak berdaya. Betapapun juga, dia tentu lebih kuat, pikirinya. Namun, tangkapan kedua tangannya luput dan ketika dia mendesak dengan tubrukan seperti seekor beruang menubruk lawan, kembali Diana dapat mengelak dengan amat mudahnya. Bahkan demikian cepat gerakan Diana, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di samping kiri Peter dan ketika kakinya menendang, Peter tidak mampu menangkis atau mengelak lagi.
"Bukk!" Ujung kaki kiri Diana dengan cepat dan kuatnya mencium lambung Peter.
"Hekkhh!" Peter mengeluh dan meringis, karena perutnya mendadak terasa mulas sehingga dia melipat tubuhnya, membungkuk ke depan sambil menekan perut dengan kedua tangan. Diana mengangkat kaki kanannya dan lututnya mengarah dagu lawan yang menunduk rendah.
"Desss!"
"Ouhhh...!" Kembali Peter berteriak dan tubuhnya kini terbuka karena kepalanya seperti dilempar ke atas saking kuatnya hantaman lutut yang mengenai dagu tadi. Karena tubuhnya hampir terjengkang dan kedua tangannya terangkat, tubuhnya bagian depan terbuka lebar. Diana kini menggerakkan tangan kirinya, memukul dengan tangan terkepal ke arah ulu hatinya.
"Dukkk!"
"Ukkkhhh..."
Dan tubuh Peter terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Belum knocked out (terpukul pingsan), baru knocked down (terpukul jatuh). Akan tetapi nyeri pada lambung, dagu dan dadanya membuat dia terengah-engah dengan napas sesak. Sejenak dia bangkit duduk dan memandang ke arah Diana dengan kepala nanar, pandang mata berkunang karena dia melihat bintang-bintang bertaburan dan berjatuhan ke bawah lalu menari-nari di depan matanya. Setelah bintang-bintang itu lenyap, dia memandang wajah Diana dengan mata terbelalak. Baru sadarlah dia bahwa Diana telah menguasai ilmu silat. Bangkitlah kemarahannya kembali, marah saking malunya. Dia menggoyang-goyang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan dan bangkit berdiri, matanya memandang ke kanan dimana terdapat pedangnya yang tergantung di dinding.
"Perempuan setan! Engkau malah belajar silat dari para pemberontak itu, ya?" Dan Peter pun meloncat, lalu mencabut pedangnya.
Kalau ia menghendaki, Diana dapat saja menghalanginya atau merobohkannya kembali sebelum dia sempat bangkit berdiri, akan tetapi gadis itu tidak mau berbuat demikian. Dara perkasa ini tidak takut lawannya bersenjata pedang, asal jangan mempergunakan pistol. Dan ia tidak melihat pistol di pinggang Peter. Kalau ia melihatnya tentu sudah dirampasnya senjata api itu. Tidak nampak pula ada senjata api di kamar itu, maka hatinya pun tenang karena ia merasa yakin bahwa ia akan dapat menundukkan Peter, tanpa atau dengan pedang sekalipun. Dengan pedang di tangan, Peter kini menghampiri Diana, sikapnya bengis mengancam, di kedua ujung bibirnya masih ada darah dan muka yang biasanya tampan itu kini nampak buruk penuh kebengisan, menyeringai kejam, di sepasang matanya terbayang nafsu membunuh!
"Terkutuk! Kubunuh kau ...kubunuh kau ...!" Peter mengancam dengan suara terputus-putus karena napasnya terengah-engah saking marah dan nyerinya.
"Hemmm... sekarang nampaklah keaslianmu, Peter Dull! Memuakkan sekali!" Diana mengejek. Memang ia merasa muak. Kalau dibandingkan dengan sikap para pendekar seperti Ci Kong, sungguh jauh bedanya, seperti naga dengan cacing.
"Mampus kau !" Peter menerjang dengan pedangnya, membacok sekuat tenaga dengan pedangnya, lupa bahwa yang diserangnya dengan maksud membunuh itu adalah seorang wanita, keponakan dari Kapten Charles Elliot pula! Akan tetapi, tanpa banyak kesulitan, Diana mengelak dan pedang itu hanya mengenai angin belaka.
Peter bukan seorang lemah. Dia adalah seorang ahli tinju, juga ahli pedang. Begitu pedangnya luput dari sasaran, secepat kilat pergelangan tangannya membuat pedang membalik, kini menusuk ke arah dada. Kalau pedang itu sampai mengenai sasaran, tentu bagian lunak di antara payudara Diana akan tertembus dan pedang akan menembus jantung dan paru-paru! Akan tetapi, kembali dengan gerakan ringan sekali, Diana miringkan tubuhnya dan tusukan itupun luput. Peter menjadi semakin penasaran dan pedangnya kini menyambar-nyambar menusuk, membacok, membabat, menusuk lagi bertubi-tubi. Namun, semua serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh Diana yang mempergunakan gerak langkah Bintang Sakti seperti yang dipelajarinya dari San-tok. Karena serangannya selalu gagal, Peter menjadi semakin berang.
"Perempuan iblis... sekali ini mampus kau !" bentaknya, dan pedangnya menusuk ke arah perut Diana, tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman ke arah muka gadis itu! Serangan ini hebat sekali, dilakukan dengan tenaga sepenuhnya dan cepat bukan main. Diana sudah siap menyambut serangan itu. Tubuhnya miring sehingga pedang menusuk lewat di dekat lambung, tangan kirinya cepat maju mengetuk siku Peter dan tangan kanannya menangkap pergelangan tangan yang mencengkeram mukanya sambil mengelak.
"Plakk!" Siku itu tertekuk dan seketika Peter merasa tangan kirinya lumpuh, pedangnya terlepas. Pada saat itu, Diana melanjutkan tangan kirinya memukul ke arah pundak Peter dan tangan kanannya yang menangkap pergelangan tangan kiri itu menarik dengan sentakan kuat.
"Krekk!" Pukulan tangan miring itu berhasil mematahkan tulang pundak Peter, dan ketika Diana melepaskan tendangan yang mengenai perut Peter yang agak gendut, tubuh itu terjengkang dan terbanting keras! Diana berdiri saja bertolak pinggang, memandang sambil tersenyum simpul.
Hatinya merasa gembira sekali, bahwa ia telah dapat memberi hajaran kepada orang yang pernah menyakiti hatinya ini. Hajaran untuk membalas bagi dirinya sendiri, juga bagi banyak pejuang yang telah menjadi korban keganasan Peter dan kaki tangannya. Peter merintih-rintih. Pundak kanannya yang patah tulangnya terasa nyeri sekali kalau tubuhnya digerakkan. Dia memaksa diri bangkit duduk, dan tangan kirinya melepaskan kancing bajunya. Diana mengira bahwa Peter melepas kancing baju agar rasa nyeri di pundaknya berkurang karena bajunya menjadi longgar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dengan cepat, tangan kiri Peter merogoh ke dalam, dan kini keluar sambil mengacungkan sebuah pistol. Diana hendak meloncat ke depan dan menyerang, akan tetapi dengan sigapnya, Peter sudah menodongkan moncong pistol itu, lalu perlahan-lahan bangkit.
"Angkat tangan!" Melihat Diana meragu, Peter membentak lagi.
"Angkat tangan atau... akan kuhancurkan kepalamu dengan peluru pistolku. Angkat tangan!" Diana maklum bahwa sekali ini ia tidak berdaya. Kalau ia nekat menyerang, tentu ia tidak akan mungkin dapat mendahului cepatnya sambaran peluru dari jarak yang hanya empat meter itu. Ia tidak mau mati konyol, maka iapun mengangkat kedua tangannya atas sambil tersenyum mengejek.
"Lihat kegagahan Tuan Peter Dull, menodong seorang wanita dengan pistol walaupun dia mampu menggunakan kaki tangannya dan pedangnya."
"Tutup mulutmu... dan jangan kira aku tidak akan berani menembakkan pistolku ini untuk merobek-tobek tubuhmu!"
"Ingat, Tuan. Aku adalah keponakan Kapten Charless Elliot!" Diana mengejek, sedikitpun tidak nampak gentar.
"Huhh... keponakan yang sudah menyeleweng, sudah berubah menjadi pengkhianat. Ingat, engkau datang sebagai mata-mata pemberontak! Lihat saja pakaianmu, kalau kutembak mampus engkau sebagai mata-mata pemberontak, siapa yang akan menyalahkan aku!"
"Nah, Tuan Peter Dull yang gagah perkasa... kalau begitu, tembaklah aku. kau kira aku takut mati?" Diana menantang, akan tetapi ia tidak berani menyerang, karena ia maklum bahwa hal itu berarti mati konyol.
"Tidak begitu mudah, Diana. Engkau harus melayaniku, mau atau tidak. Hayo cepat kau buka pakaianmu itu. Cepat kataku!" Moncong pistol itu mengancam dan kini Peter Dull sudah berdiri dan melangkah maju. Diana mengukur jarak. Terlalu berbahaya untuk turun tangan, pikirnya. Sebaiknya mengacau perhatian Peter, dan mendekatinya sedapat mungkin. Ia tersenyum mengejek, akan tetapi jari-jari tangannya bergerak ke arah kancing bajunya, matanya tak pernah berkedip menatap wajah Peter.
Dengan sengaja, Diana melepas kancing bajunya satu-satu dengan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit membiarkan tubuhnya terbuka dan penutupnya seperti seorang penari telanjang sedang bergaya. Hal ini memang disengaja dan merupakan siasatnya. Memang ia berhasil, karena sepasang mata Peter semakin lama semakin melotot dan kemerahan melihat tubuh yang putih mulus itu sedikit demi sedikit nampak. Setelah Diana menanggalkan bajunya sehingga nampak seluruh tubuh bagian atas, berkali-kali Peter menelan ludah dan dia tidak sadar betapa tadi, ketika membuka bajunya, sedikit demi sedikit kaki Diana mendekat sehingga jarak antara mereka tinggal dua meter lagi. Mulai menggigil tubuh Peter dirangsang gairah berahi. Melihat betapa Diana menghentikan gerakannya melepaskan pakaian, dengan suara parau Peter berkata.
"Teruskan... teruskan, Diana, tanggalkan semua pakaianmu. Celana itu!" Napasnya terengah-engah. Diana tersenyum, membayangkan kemenangan terakhir. Kedua tangannya, dengan jari-jari yang panjang, dengan lembut menyentuh ikat pinggangnya lalu perlahan-lahan melepaskan ikat pinggang itu, ikat pinggang yang mengikat celana suteranya, kakinya bergeser sedikit demi sedikit, dan setelah jarak antara mereka tinggal satu meter lebih, tangan Diana bergerak, ujung ikat pinggang menyambar arah pergelangan tangan Peter yang memegang pistol.
"Prattt!!" Ujung ikat pinggang itu menyengat seperti unjung cambuk baja dan pistol itu terlepas dari tangan Peter, jatuh ke atas lantai dan disepak oleh kaki Diana sampai terlempar jauh.
"Dessss!" Saking marahnya, Diana menendang dengan pengerahan tenaga, dan tubuh Peter terlempar menabrak dinding.
"Brukkkk!" Seperti pecah rasa kepala Peter ketika kepalanya tertumbuk pada dinding, dan dunia seperti dilanda gempa yang hebat. Dia mengerang kesakitan dan memejamkan matanya. Akan tetapi ketika peningnya hilang dan dia membuka mata melihat Diana masih berdiri dan mulai mengenakan lagi pakaiannya, tiba-tiba dia meloncat berdiri, dan ketika tangan kirinya meraih ke balik bajunya, kembali tangan kirinya telah memegang sebuah pistol kecil!
"Darr...!" Diana terkejut bukan main. Pundaknya terasa panas karena pangkal lengannya di tembus peluru! Nyeri, pedih dan panas rasanya. Tak disangkanya bahwa Peter masih memiliki sebuah pistol lain yang kecil akan tetapi cukup berbahaya.
"Perempuan keparat!" Peter memaki, menggunakan punggung tangan kanannya yang lumpuh mengusap darah dan mulutnya, matanya liar seperti mata binatang buas.
"Peluru itu hanya peringatan saja. Peluru kedua akan menembus dadamu atau kepalamu. Pekerjaanmu belum selesai. Hayo lepaskan celanamu!"
Peter kini amat marah dan benci kepada Diana, mengambil keputusan untuk menghina wanita itu sepuas hatinya sebelum membunuhnya. Ya, dia akan membunuhnya, membalas dendam atas semua luka dan penghinaan yang dialaminya sekarang. Diana maklum bahwa Peter tidak akan mengampuninya. Ia dapat menduga bahwa akhirnya Peter akan membunuhnya dengan pistol itu. Ia merasa menyesal mengapa ia memandang rendah kepada Peter yang ternyata cerdik bukan main. Kalau ia tahu bahwa Peter masih mempunyai sebuah simpanan pistol lain, tentu akan dibunuhnya orang itu tadi. Kini, sukarlah mengharapkan kesempatan untuk dapat merobohkan Peter lagi, karena tentu dia sudah siap siaga dan waspada.
"Manusia hina, jangan mengira bahwa aku akan sudi menuruti kemauanmu. Kalau engkau hendak membunuhku... bunuh saja. Siapa sudi membuka pakaian untukmu?" Dan Diana pun kini bahkan mengenakan kembali bajunya dengan sikap yang santai dan tenang. Melihat sikap Diana, Peter juga maklum bahwa dia tidak mungkin memaksa Diana. Tak mungkin memperkosa wanita yang seperti harimau betina itu, dan tidak ada cara baginya untuk menangkap dan membelenggunya. Pula, tubuh dan hatinya sudah sakit sekali, melenyapkan semua nafsu berahinya yang tadi berkobar. Dia lalu mengacungkan pistolnya membidik ke arah kepala Diana.
"Diana Mitchel! bersiaplah untuk mampus!" Tangannya yang teguh itu memegang pistol dengan kuat, jari-jarinya mencengkeram erat dan jari telunjuknya siap menarik pelatuk. Diana maklum bahwa tidak ada harapan untuk meloloskan diri, maka iapun berdiri tegak sambil memandang kepada Peter dengan sinar mata tajam menusuk, bibirnya masih tersenyum mengejek, siap menghadapi kematian dengan tabah dan gagah seperti yang ia lihat pada diri semua pendekar yang dikaguminya.
"Darrr!" Tubuh itu melonjak dan terpelanting jatuh, menggelepar sebentar lalu terdiam. Diana menoleh, dan seperti dalam mimpi melihat munculnya seorang sersan muda dari ambang pintu, memegang sebuah pistol yang masih mengepulkan asap. Sejenak mereka berpandangan. Lalu Diana berlari maju menghampiri sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Johnny? Johnny... kau kau kah ini...?"
"Diana...!" Mereka saling tubruk, saling rangkul, berciuman, dan Diana terisak-isak menangis. Hampir ia tidak percaya. Baru saja ia lolos dan maut, dan penolongnya, orang yang mendahului Peter dan menembaknya adalah Johnny, kekasihnya yang terpaksa ditinggalkannya karena orang tuanya tidak menyetujui perjodohan antara ia dan pemuda itu.
"Diana, aku masuk tentara untuk menyusulmu dan aku... tidak tahan melihat tingkahnya terhadap dirimu... kau pergilah, Diana. Cepat pergilah... biar aku yang bertanggung jawab atas kematiannya!" Tanpa melepaskan rangkulannya, Diana berkata di antara isaknya.
"Tidak! Aku tidak ingin melihat engkau berkorban. Engkau tentu akan dihukum, mungkin selama hidup, mungkin hukuman mati. Tidak, mari kita pergi berdua." Diana cepat melepaskan rangkulannya dan mengambil pistol yang terlepas dari tangan Peter yang kini menggeletak tak bernyawa itu.
"Kita bersenjata, mari kita pergi, Johnny..."
"Kau ingin melihat aku mengkhianati bangsa kita sendiri, Diana? Mana mungkin?"
"Tidak... kita lari untuk menyelamatkan diri, bukan untuk berkhianat. Kelak kuceritakan semua tentang perjalananku, Johnny, dan engkau akan mengetahui segalanya tentang perjuangan rakyat di sini..." Akan tetapi Johnny kelihatan masih ragu-ragu dan berat untuk melarikan diri. Dia tentu akan dituduh pengkhianat dan pemberontak.
"Tenanglah, Diana. Mari kita hadapi semua ini berdua, kita ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, betapa Peter telah menghinamu dan betapa dengan terpaksa aku harus menembaknya untuk menyelamatkan dirimu yang sudah berada di ambang maut itu."
"Tapi, kau tentu akan dihukum..." Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat yang turun dan atas atap, dan di situ berdirilah seorang Kakek.
"Suhu...!" Diana berseru kaget dan masih menangis.
"Diana, inikah kekasihmu yang pemah kau ceritakan kepadaku itu?"
"Benar, suhu. Dialah Johnny, kekasihku... dan dia pula yang tadi menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kini kita berada dalam kesukaran, suhu. Kita tentu akan ditangkap dan dihukum!"
"Diana, siapakah orang tua ini?" tanya Johnny, bingung dan terkejut melihat betapa ada orang muncul begitu saja, melayang dari atas seperti setan. Kakek itu sudah tua sekali, tentu lebih dan tujuh puluh tuhun usianya, bertubuh kurus dan pakaiannya, biarpun bersih, penuh tambalan seperti pakaian pengemis, memegang sebuah kipas yang digoyang-goyangkan mengenai tubuhnya sambil tersenyum-senyum.
"Jhonny, Kakek ini seorang sakti, guruku yang berjuluk San-tok." Diana memperkenalkan.
"Dengar kalian baik-baik. Akulah yang akan mengakui pembunuhan terhadap komandan ini, dan kalian pura-pura lari ketakutan dari ruangan ini. Sudah, Diana... jangan membantah, ini perintahku. Larilah atau aku akan bersungguh-sungguh menghajar kalian!" Dengan cepat Diana menterjemahkan kata-kata Kakek itu kepada kekasihnya yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi Kakek itu kini sudah maju dan melakukan tendangan dua kali dengan kakinya. Diana dapat mengelak, tetapi Johnny terkena tendangan dan tubuhnya jatuh terguling-guling! Dia semakin terkejut, akan tetapi Diana sudah menyambar lengannya dan ditariknya pemuda itu untuk melarikan diri.
"Mari kita lari...!" katanya, maklum akan keanehan watak gurunya yang mungkin akan benar-benar mengamuk dan menghajar mereka berdua. Mereka berlari keluar dan dalam ruangan itu, hampir bertabrakan dengan para penjaga yang sudah berlarian datang karena mereka tadi mendengar tembakan-tembakan. Melihat betapa Sersan Johnny dan Diana bergandengan tangan dan berlarian seperti orang ketakutan, mereka terheran-heran.
"Apa yang terjadi?" tanya mereka.
"Kapten terbunuh!" kata Johny masih gugup dan bingung karena perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka itu. Para penjaga terkejut bukan main, dan mereka berlari-larian memasuki ruangan itu dengan senjata api di tangan. Dan mereka melihat seorang Kakek aneh berdiri di dalam ruangan, memegang pistol dan tiba-tiba Kakek itu menembak ke sana-sini dengan pistol itu. Mereka terkejut dan cepat berlindung dan siap untuk balas menembak. Akan tetapi, Kakek itu menembak terus membabi buta sampai semua peluru habis dari dalam pistol itu, lalu terdengar dia tertawa-tawa.
Ketika para penjaga menyerbu ke dalam dengan pistol di tangan, ternyata ruangan itu sudah sunyi. Peter Dull masih menggeletak tak bernyawa lagi, dan Kakek yang tadi mengamuk dengan pistol itu sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Hanya atap dan genteng di atas ruangan itu terbuka lebar, sehingga semua orang dapat menduga bahwa Kakek aneh itu tentu melarikan diri melalui atap. Tentu saja peristiwa itu menggemparkan. Dan Diana bersama Johnny yang tentu saja dihujani pertanyaan itu, hanya mengatakan bahwa selagi mereka bercakap-cakap dengan Peter Dull, tiba-tiba muncul Kakek itu yang diserang oleh Peter dengan pistol. Akan tetapi Kakek itu mampu merampas pistol dan menembak Peter, bahkan mereka berdua tentu akan tewas kalau tidak keburu melarikan diri.
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Diana ketika mendapat kenyataan bahwa pamannya, Kapten Charles Elliot, masih berada di Kanton, dan ia hanya dibohongi saja oleh Peter yang memiliki niat buruk terhadap dininya. Ia lalu pergi menghadap pamannya bersama Jhonny, dan mereka disambut dengan gembira. Keluarga Elliot tadinya mengira bahwa Diana telah meninggal dunia, maka kemunculannya tentu saja amat menggirangkan hati mereka. Diana menceritakan semua pengalamannya tentang perlakuan Peter yang tidak patut, dan pengalamannya hidup di antara para pendekar memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Ia mengulang kembali pendapatnya seperti yang pernah ia nyatakan kepada Peter tentang kekeliruan sikap balatentara kulit putih terhadap para pejuang.
"Para pejuang itu adalah pendekar-pendekar gagah perkasa, paman," demikian antara lain Diana berkata kepada pamannya.
"Mereka memperjuangkan kemerdekaan dan memusuhi pemerintah penjajah Bangsa Mancu. Mereka tidak memusuhi kita, hanya tentu saja mereka menentang cara perdagangan kita yang memasukkan candu sehingga merusak kesehatan lahir batin rakyat.
"Kenapa kita harus membantu pemerintah penjajah sehingga menimbulkan kebencian di hati rakyat terhadap kita? Kalau kita ingin berdagang sehingga kelak mendatangkan hasil baik, kurasa jalan satu-satunya adalah bersahabat dengan rakyat, karena aku yakin, pada suatu waktu, pemerintah penjajah akan terguling." Kapten Charles Elliot mendengarkan semua cerita Diana dengan penuh kegum. Keponakannya ini seorang gadis kulit putih, dapat hidup sampai hampir dua tahun di antara para pemberontak itu, tanpa terganggu, sungguh merupakan peristiwa yang ajaib. Dan dia kagum terhadap keponakannya. Diapun dapat menerima semua pendapat yang dikemukakan gadis itu.
"Bagaimanapun juga, Diana... urusan politik tidak ditentukan oleh kita. Tugasku hanya melaksanakan perintah atasan saja, politik dan sikap kita terhadap negara ini sudah ditentukan oleh pemerintah kita di Inggeris, setidaknya oleh perwakilan pemerintah kita di India. Bagaimana aku berani merobah politik itu."
"Akan tetapi, paman memiliki kekuasaan disini, setidaknya paman dapat menjelaskan akan kekeliruan sikap itu kepada atasan paman." Kapten tua itu menggeleng kepala.
"Tugas bawahan hanyalah mentaati dan melaksanakan perintah atasan, bukannya membantah atau memberi saran, Diana. Politik adalah permainan orang-orang besar, bukan permainan militer seperti aku ini." Diana merasa penasaran sekali.
"Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang akan membujuk para pembesar yang berwenang di sana?" Beberapa hari kemudian, Diana bersama Johnny, setelah mendapat perkenan dari Kapten Charles Elliot, berangkat menuju ke Inggeris, dan Diana berjuang untuk sahabat-sahabatnya yang ditinggalkan, demi kepentingan perjuangan mereka. Bukan tidak ada manfaatnya tindakan Diana ini, karena sedikit banyak semua pendapatnya mempengaruhi para pejabat yang berwenang, membuat mereka mengerti akan keadaan para pejuang dan dapat menentukan sikap demi keuntungan masa depan dan bangsa mereka yang melakukan perdagangan di timur laut.
Orang tua Diana juga tidak berkeberatan lagi akan pilihan hati Diana, maka Johnny pun diterima sebagai tunangan dan calon suami Diana. Kegagalan Lee Song Kim membuat kedudukan pemuda ini mulai goyah. Biarpun kebebasan para tawanan itu tidak dapat disalahkan kepada Lee Song Kim, namun para pembesar Mancu mulai merasa curiga terhadap pemuda ini, dan menyalahkan dia mengapa para tawanan itu tidak cepat dibunuh saja sebelum berhasil melarikan diri. Song Kim tidak dapat banyak membantah, karena untuk dapat menangkap para pimpinan pemberontak itu sekali lagi merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin sama sekali. Siasatnya yang lalu telah berhasil baik, membuat dia dipercaya oleh kau m pejuang sehingga dia dapat memancing para pimpinan itu untuk berkumpul lalu dikepung dan ditangkap.
Akan tetapi, siapa kira, setelah mereka itu tertawan, mereka dapat lolos walaupun penjagaan amat kuatnya! Tak disangkanya bahwa Koan Jit, orang yang pernah menjadi kaki tangan orang kulit putih itulah yang akhirnya membebaskan para tawanan dengan mengorbankan dirinya. Melihat keadaan dirinya yang mulai kehilangan kepercayaan di pihak para pembesar Kota Raja, Song Kim mencari akal untuk memulihkan kedudukannya. Diam-diam dia mulai bersekutu dengan dua orang tokoh penting dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Permainan Song Kim sekali ini amat berbahaya, akan tetapi dia berhati-hati sekali. Dengan cerdik dia mendekati dua orang tokoh perkumpulan yang menjadi musuh besar kerajaan, dengan maksud bahwa kalau sampai kedudukannya tak dapat dipertahankan lagi, dengan mudah dia mencari pengaruh di kalangan dua perkumpulan besar itu.
Song Kim memang memiliki ambisi besar untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Dan pada suatu hari, dia mengajukan pinangan atas diri Ceng-hiang kepada Pangeran Ceng Tiu Ong! Perbuatan yang teramat berani! Biarpun ia telah menjadi seorang panglima muda, akan tetapi dia seorang militer biasa saja, tidak berdarah bangsawan, bukan keturunan Mancu, dan dia berani mengajukan pinangan atas diri puteri seorang pangeran. Song Kim bukan hanya tergila-gila kepada kecantikan Ceng Hiang, akan tetapi juga dia melihat keuntungan besar kalau saja dia dapat menjadi suami puteri itu. Sebagai mantu seorang pangeran, yang juga memiliki kedudukan tinggi sebagai pengurus perpustakaan istana, tentu saja derajatnya akan naik dan akan lebih mudah baginya untuk memperoleh kedudukan yang lebih penting dan tinggi. Akan tetapi mudah saja diduga.
Pinangan itu ditolak, bahkan Pangeran Ceng Tiu Ong yang sudah mendengar akan ulah Lee Song Kim dari puterinya, menolak dengan keras dan dengan jawaban yang ketus terhadap utusan Song Kim. Hal ini membuat Song marah dan merasa sakit hati. Dan pada suatu hari, gegerlah di kalangan pembesar Kota Raja, karena Pangeran Ceng Tiu Ong ditangkap oleh pasukan keamanan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak! Tentu saja hal ini terjadi karena ulah Lee Song Kim yang melaporkan bahwa pangeran itu mempunyai hubungan dengan Hai-tok, seorang di antara pimpinan para pemberontak, bahkan puteri dan Hai-tok yang bernama Tang Ki pernah bersembunyi di dalam gedung keluarga Ceng. Di dalam pemeriksaan, Pangeran Ceng Tiu Ong tidak menyangkal bahwa dia memang mengenal Kiki puteri Hai-tok, akan tetapi membantah keras bahwa dia bersekongkol dengan pemberontak.
"Kapal kami dibajak oleh puteri Hai-tok itu, dan saya tentu telah tewas dilempar ke laut kalau tidak diselamatkan oleh Kiki. Kemudian, gadis itu mengembalikan kitab-kitab kuno. Apakah saya harus menangkapnya setelah ia menyelamatkan saya dan mengembalikan kitab-kitab penting? Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa saya lalu bersekongkol dengan pemberontak. Itu adalah fitnah belaka." antara lain dia membantah. Namun, pengakuannya bahwa dia mengenal baik puteri Hai-tok, bahkan gadis pemberontak itu pernah menjadi tamunya, tentu saja membuat hakim menjadi curiga dan menahan pangeran ini di dalam penjara.
Tentu saja Ceng Hiang menjadi khawatir dan berduka sekali. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Memang menjadi kenyataan bahwa keluarganya bersikap baik terhadap Kiki, dan menjadi kenyataan pula bahwa Kiki adalah seorang gadis bahkan tokoh pemberontak. Ayahnya memang tidak memusuhi pemberontak-pemberontak, karena Ayahnya, seperti ia sendiri, tahu bahwa mereka itu sebenarnya adalah pejuang-pejuang, para patriot dan pendekar yang gagah perkasa. Beberapa hari setelah Pangeran Ceng Tiu Ong ditangkap, pada suatu malam yang sunyi, Ceng Hiang mendengar gerakan orang di luar kamarnya. Ia cepat memadamkan lampu dan berkelebat melalui jendela, terus melayang ke atas genteng rumahnya. Ia melihat dua sosok bayangan orang bergerak cepat. Ketika dua bayangan orang itu tiba di bawah lampu yang tergantung di sudut, Ceng Hiang girang sekali.
"Tan-Taihiap...!" Ceng Hiang segera mengenal wajah Ci Kong, dan walaupun ia tidak mengenal siapa adanya wanita cantik dan gagah yang datang bersama Ci Kong. Ia percaya bahwa tentu wanita cantik itu sahabat Ci Kong dan merupakan seorang pendekar pula. Gadis yang datang bersama Ci Kong itu memang seorang pendekar wanita, karena ia adalah Siauw Lian Hong.
Berita tentang ditangkapnya Pangeran Ceng Tiu Ong tentu saja tersiar luas dan terdengar pula oleh Ci Kong. Pendekar itu maklum siapa adanya Pangeran Ceng Tiu Ong, seorang pangeran yang memiliki pendapat yang gagah dan adil, bahkan puterinya masih murid dari keturunan keluarga Pulau Es, merupakan ahli waris ilmu keluarga Pulau Es. Hal ini saja sudah menarik hatinya dan timbul keinginannya untuk menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia sudah diperkenalkan oleh Kiki kepada Ceng Hiang, gadis yang pernah membuatnya termenung dan terkenang selama beberapa hari, karena dia terpesona oleh kecantikan dan kegagahan gadis bangsawan itu. Dan kini Ayahnya telah ditangkap, kabarnya dituduh bersekongkol dengan para pejuang. Tentu saja hatinya menjadi tertarik
sekali dan timbullah keinginan hatinya untuk mengunjungi ramah gedung keluarga itu.
Karena dia memandang perlu kalau membawa teman yang boleh diandalkan, maka setelah menceritakan Ceng Hiang dan orang tuanya kepada Lian Hong, dia lalu mengajak gadis ini untuk berkunjung pada malam hari itu. Lian Hong sendiri sudah tertarik ketika mendengar bahwa puteri Pangeran Ceng itu adalah murid keluarga Pulau Es yang pernah didengarnya seperti dalam dongeng itu, dan berita bahwa pangeran itu ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan para pejuang juga sudah menimbulkan perasaan suka setia kawan di dalam hatinya. Lian Hong memandang kagum ketika melihat bahwa gadis bangsawan yang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga Pulau Es itu ternyata demikian lihainya, sehingga sudah mengetahui akan kedatangan mereka, bahkan telah mengenal Ci Kong dari atas genteng.
"Ceng-Siocia (nona Ceng), kami sengaja datang berkunjung padamu," Ci Kong berkata. Bayangan langsing di atas genteng itu lalu melayang turun dan untuk ke dua kalinya Lian Hong memandang kagum, bukan hanya melihat keringanan tubuh itu, melainkan kini ia dapat melihat wajah yang luar biasa cantiknya. Kulit muka itu demikian halusnya, putih kemerahan dan lembut seperti wajah Kwan Im Pouwsat saja, dan gerak-geriknya demikian halus, pandang matanya demikian jernih dan berwibawa walaupun pada saat itu ada bayangan duka di matanya yang indah.
"Ceng-Siocia, kami mendengar..."
"Silahkan masuk, Tan-Taihiap... dan kita bicara di dalam," Ceng Hiang memotong dengan sikap tenang namun suaranya berpengaruh. Ci Kong mengangguk dan bersama Lian Hong, dia mengikuti gadis bangsawan itu memasuki ruangan belakang, dan dari situ terus menembus ke ruangan tengah dimana terdapat sebuah meja dan beberapa kursi mengelilinginya. Mereka mengambil tempat duduk di ruangan itu.
"Ceng-Siocia, perkenalkan, ini adalah nona Siauw Lian Hong, seorang di antara tokoh muda pejuang. Hong-moi, ini adalah nona Ceng Hiang seperti yang sudah kuceritakan kepadamu." Dua orang gadis itu bangkit dan saling memberi hormat. Ceng Hiang memandang kagum kepada Lian Hong.
"Semuda ini sudah menjadi seorang pendekar dan pejuang yang gagah perkasa. Sungguh aku merasa iri hati kepadamu, adik Lian Hong. Aku tidak mungkin dapat sebebas engkau dalam menentukan langkah hidup, terkekang oleh keadaan."
"Engkau terlalu memuji, Ceng-Siocia. Sebaliknya, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang gadis bangsawan yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya."
"Adik Lian Hong, harap engkau jangan bersikap sungkan, dan sebut saja Enci kepadaku. Dan engkau juga, Tan-Taihiap, jangan menyebut Siocia. Sebut saja adik, bukankah kita ini adalah orang-orang dengan kegemaran yang sama? Aku akan menyebutmu Toako."
"Baiklah, Ceng-moi," kata Ci Kong dengan hati girang bukan main, juga merasa bangga karena gadis bangsawan tinggi itu mau memandangnya sebagai orang dengan derajat yang sama.
"Dan harap sekarang suka kau ceritakan tentang peristiwa yang menimpa keluargamu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?"
"Ayah ditangkap karena fitnah orang, dituduh bersekutu dengan Hai-tok dan puterinya. Seperti engkau tahu, Tan-Toako, Kiki pernah menjadi tamuku dan ia memang sahabat baikku. Akan tetapi hubungan antara ia dan kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perjuangan menentang pemerintah. Tentu saja Ayah tidak menyangkal bahwa kami mengenal Kiki, akan tetapi menolak tuduhan bahwa kami kami bersekongkol untuk memberontak."
"Ketika Kiki datang sebagai tamu keluargamu, apakah ada orang luar yang mengetahuinya?" Ci Kong bertanya sambil berpikir keras.
"Tidak ada, dan Kiki tidak tinggal lama di sini. Tak seorangpun tahu bahwa ia adalah puteri Hai-tok yang pernah membajak kapal Ayah."
"Ah, tak salah lagi. Tentu ini perbuatan Lee Song Kim!" Ci Kong berseru.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Dialah yang mengetahui akan persahabatanmu dengan Kiki!"
"Lee Song Kim lagi? Jahanam itu sungguh menjemukan!" Lian Hong juga berseru marah. Ceng Hiang mengangguk.
"Dugaanmu memang tepat, Toako. Akupun sudah menduga demikian dan melakukan penyelidikan. Memang benar dialah yang melapor kepada panglima pasukan keamanan setelah pinangannya terhadap diriku ditolak Ayah dengan keras. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan?
"Dia adalah seorang panglima, dan Ayah sendiri telah mengaku bahwa kami mengenal Kiki walaupun tidak ada hubungan persekongkolan apa-apa. Hal itu saja cukup untuk mendatangkan kecurigaan dalam hati panglima itu sehingga Ayah ditahan."
"Apakah tidak ada usaha sama sekali darimu untuk menolong Ayahmu?" tanya Lian Hong.
"Sudah, dan jalan satu-satunya bagiku hanyalah minta bantuan seorang yang dekat dengan istana, minta pengampunan dari kaisar mengingat akan jasa-jasa Ayahku. Mudah-mudahan saja usahanya itu berhasil, dan kalau kaisar sendiri yang mengampuni Ayah, maka tentu dia akan dibebaskan, karena tidak ada bukti bahwa Ayah berkhianat atau memberontak."
"Apakah berita yang terakhir kita dengar tentang hubungan Song Kim dengan tosu-tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu tidak ada gunanya untuk menolong Ayah Enci Ceng Hiang?" tiba-tiba Lian Hong bertanya. Ci Kong menepuk meja.
"Benar! Cara yang baik sekali untuk mencairkan fitnah adalah membuktikan bahwa si pelempar fitnah itu sendirilah yang kotor! Song Kim menuduh Pangeran Ceng bersekongkol dengan pemberontak, kalau kemudian terbukti oleh yang berwajib bahwa dia sendiri yang bersekongkol dengan pemberontak, maka dengan sendirinya fitnahnya menjadi lemah. Kita harus dapat mengatur agar komandan pasukan keamanan sendiri yang melihat bukti persekongkolannya dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai." Tentu saja Ceng Hiang menjadi girang.
"Benarkah itu?" Mereka bertiga lalu mengatur siasat. Ci Kong dan Lian Hong akan melakukan penyelidikan dan membayangi gerak-gerik Song Kim dan dua orang tosu dan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Kemudian mereka akan cepat mengabarkan kepada Ceng Hiang, dan gadis bangsawan inilah yang akan menyampaikan berita itu kepada panglima pasukan keamanan agar Song Kim dapat tertangkap basah selagi mengadakan pertemuan dengan para pimpinan pemberontak yang sejak puluhan tahun menjadi musuh besar pemerintah itu.
"Akan tetapi, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai mempunyai pergerakan yang sejalan dengan perjuangan kita, yaitu menentang pemerintah penjajah," kata Lian Hong sambil memandang Ci Kong dengan pandang mata tajam.
"Kalau kini kita menentang mereka, bukankah hal itu berarti suatu pengkhianatan dari kita terhadap rekan-rekan seperjuangan?"
🖐
"Aih! Aku tidak ingin kalian menjadi pengkhianat demi menyelamatkan Ayahku!" kata Geng Hiang sambil memandang cemas.
"Jangan khawatir Ceng-moi. Tidak ada pengkhianatan di sini." Ci Kong berkata cepat ketika melihat Ceng Hiang berkhawatir, lalu dia memandang Lian Hong.
"Sejak dahulu, tidak ada hubungan antara kita dengan Pek-lian-pai maupun Pat-kwa-pai. Bahkan kau m pendekar selalu menentang mereka karena mereka itu mengelabuhi rakyat dan melakukan bermacam kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan. Memang benar mereka itu memusuhi pemerintah, akan tetapi permusuhan itu timbul bukan karena semangat kepatriotan mereka, melainkan karena pemerintah memusuhi mereka sebagai akibat dan kejahatan kejahatan yang mereka lakukan.
"Tidak, Hong-moi, kita sama sekali bukanlah rekan-rekan Pek-lian-pai maupun Pat-kwa-pai! Pula, apa yang akan kita lakukan sama sekali bukan ditujukan untuk menentang atau merugikan perkumpulan-perkumpulan itu dalam permusuhan mereka dengan pemerintah, melainkan untuk menjebak dan menjatuhkan Lee Song Kim! Bukan kita tujukan untuk memusuhi mereka!" Lian Hong memandang heran. Ci Kong demikian penuh semangat untuk menyelamatkan Ayah Ceng Hiang, dan tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak enak di dalam hatinya. Cara Ci Kong membela, cara pemuda itu memandang Ceng Hiang, sungguh belum pernah ia melihat Ci Kong memandang wajah seorang gadis seperti itu!
"Terserah, aku hanya mengingatkan," katanya sambil menarik napas panjang dan hatinya merasa semakin tidak enak ketika tiba-tiba Ceng Hiang merangkulnya.
"Adik Lian Hong, maukah engkau membantuku? Lihat, aku sendiri puteri seorang pangeran, akan tetapi aku tidak pernah memusuhi para pejuang, bahkan Ayahku juga bersimpati kepada mereka. Kini Ayahku terkena musibah, kepada siapa lagi kalau bukan kepada para pendekar seperti kalian aku memalingkan muka mengharapkan uluran tangan dan bantuan."
Lian Hong memandang wajah yang cantik sekali itu, dan melihat betapa kedua mata Ceng Hiang membasah. Iapun merasa kasihan dan mengangguk, sejenak melupakan perasaan tidak enak yang timbul karena cemburu tadi. Setelah bercakap-cakap mengatur rencana siasat mereka, Lian Hong dan Ci Kong lalu berpamit. Mereka meninggalkan tempat itu setelah kembali Lian Hong melihat sinar mata aneh memancar dan kedua mata Ci Kong. Mereka pergi seperti ketika mereka datang, yaitu dengan diam-diam, melalui jalan gelap sehingga tidak ada seorangpun melihat kunjungan mereka kecuali Ceng Hiang. Ketika para pengawal melaporkan akan kedatangan nona Ceng Hiang yang meminta dengan sangat agar dia suka menerimanya untuk membicarakan urusan penting,
Ciong-goanswe (Jenderal Ciong) yang bernama Ciong Ti itu mengerutkan alisnya. Dialah panglima pasukan keamanan di Kota Raja, dan dia pula yang menangkap Pangeran Ceng Tiu Ong atas laporan Lee Song Kim bahwa pangeran itu bersekongkol dengan pemberontak. Ciong-goanswe adalah seorang panglima yang berwatak keras, jujur dan berdisiplin. Dia mengenal baik Pangeran Ceng, akan tetapi biarpun dia mengenal pangeran itu sebagai seorang pejabat tinggi yang baik dan jujur, pula setia, terpaksa dia turun tangan melakukan penangkapan atas pelaporan Lee Song Kim, karena pada waktu itu, bersekongkol dengan pcmberontak merupakan dosa terbesar. Dia percaya pula bahwa pangeran itu tidak bermaksud memberontak dan hanya kebetulan mengenal seorang gadis pemberontak,
Akan tetapi hal ini saja cukup untuk memaksa dia melakukan penahanan, karena kalau tidak, tentu dia akan dituduh menerima sogokan atau "Ada apa-apa." Penangkapan atas diri Pangeran Ceng Tiu Ong ini yang mencuat, banyak pembesar tinggi yang jujur dan setia merasa tidak senang dan penasaran, memang merupakan peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi terpaksa dia menahan pangeran itu demi patuhnya terhadap peraturan dan hukum. Ciong Ti berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan memiliki sepasang mata yang lebar dan tajam, juga berwibawa. Dia mengenal pula siapa adanya Ceng Hiang, puteri tunggal Pangeran Ceng Tiu Ong. Dia tahu bahwa gadis itu adalah pewaris ilmu silat keluarga Pulau Es, seorang gadis yang amat cantik, akan tetapi juga amat lihai ilmu silatnya.
Karena itu, mendengar bahwa pada siang hari itu Ceng Hiang datang dan minta bicara dengannya, dia mengerutkan alisnya dan merasa tidak tenang. Apakah maunya gadis ini datang kepadanya? Sudah pasti mengenai penahanan Ayahnya, pikirnya. Apakah hendak mempergunakan kekerasan? Pikiran inilah yang membuat Ciong-goanswe diam-diam mempersiapkan pasukan pengawalnya berjaga-jaga di sekeliling ruangan dimana dia akan menerima puteri Pangeran Ceng. Setelah itu, barulah dia mengutus pengawalnya untuk menjemput gadis itu yang menanti di ruangan tunggu. Ceng Hiang bukan seorang gadis bodoh. Biarpun ruang tunggu yang luas itu nampak sunyi dan di situ hanya duduk Jenderal Ciong seorang diri, ia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu tentu telah siap siaga puluhan orang perajurit pengawal pilihan yang akan menyerbu bagaikan sekawanan lebah atas isyarat sang jenderal.
"Nona Ceng, silahkan duduk!" Kata Ciong Ti dengan sikap ramah namun tegas. Dia kagum melihat sikap nona yang amat cantik itu. Sedikitpun tidak nampak berduka atau khawatir, melainkan melangkah dengan tegap dan dengan sikap tenang.
"Terima kasih, Ciangkun (komandan)," jawab Ceng Hiang, dan setelah memberi hormat, iapun duduk berhadapan dengan jenderal itu, terhalang meja besar.
"Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kunjungan nona ini?"
"Saya datang untuk bicara dengan Ciangkun mengenai penangkapan yang dilakukan kepada Ayahku." Ciong Ti yang sudah menduga akan jawaban ini, menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya.
"Ahh, penangkapan Ayahmu adalah urusan negara, bukan urusan pribadiku, nona. Oleh karena itu, untuk membicarakannya harus di kantor, bukan disini tempatnya. Pula, yang menangani masalah penangkapan orang-orang yang dianggap memberontak adalah kejaksaan, bukan aku."
"Akan tetapi, penangkapan itu dilakukan atas perintahmu, Ciong-Ciangkun. Ada hal-hal penting yang perlu kau ketahui untuk menunjukkan betapa engkau telah memperoleh sebuah laporan yang sifatnya melempar fitnah dan..."
"Sudah, cukuplah, nona Ceng," kata panglima itu sambil bangkit berdiri.
"Aku tidak mau bicara tentang pekerjaan di sini, harap nona pulang saja agar jangan sampai orang menyangka yang bukan-bukan." Akan tetapi Ceng Hiang tidak bangkit berdiri, masih duduk dengan sikap tenang. Semua ini sudah ia perhitungkan, karena iapun sudah mengenal watak panglima ini. Ia tersenyum.
"Ciong-Ciangkun, aku datang bukan untuk melakukan penyuapan, juga bukan untuk membujuk maupun mengancam menggunakan kekerasan. Aku datang untuk bicara, dan bukan hanya demi kepentingan Ayahku, melainkan juga demi kepentingan dan kedudukan Ciangkun sendiri." Panglima itu memandang tajam, sepasang matanya yang lebar itu semakin melotot dan alisnya berkerut.
"Nona Ceng, apa maksudmu?"
"Kalau engkau tidak mau bicara dengan aku, terpaksa aku akan melapor kepada Sribaginda Kaisar sendiri, dan nanti atau besok tentu Ciangkun akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat."
"Ehhh! Apa yang kau katakan ini, nona? Hati-hatilah menjaga ucapanmu! Engkau melempar fitnah keji dan untuk itu, engkau dapat kusuruh tangkap!" Perwira itu mengancam marah.
"Engkau harus dapat menjelaskan maksud kata-katamu itu!"
"Tentu saja akan kujelaskan, dan untuk penjelasannya membutuhkan kata-kata, bukan? Duduklah, Ciangkun, dan dengarkan aku bicara. Kalau bicaraku tidak benar, masih belum terlambat bagi Ciangkun untuk mengusirku atau bahkan menangkapku sekalipun." Panglima itu berpikir sejenak. Memang tidak ada ruginya mendengarkan, karena gadis ini tadi sudah berjanji tidak akan menyuap, membujuk atau mengancam. Dan diapun mulai tertarik dan merasa penasaran sekali mendengar bahwa dia mungkin dapat ditangkap sebagai seorang pengkhianat. Gila!
"Baiklah, akan tetapi harap bicara yang benar dan jangan melempar fitnah!"
"Aku tidak biasa melempar fitnah, Ciangkun, seperti yang dilakukan oleh si pelapor tentang diri Ayah itu. Ayah tidak pernah mengenal Tang Ki. Akulah yang mengenalnya, dan perkenalan kamipun bukan perkenalan politik.
"Kami mengenal Tang Ki hanya karena ia seorang gadis yang pernah menyelamatkan nyawa Ayah dari laut, dan karena Tang Ki mengembalikan kitab-kitab yang penting. Itu saja!
"Ciangkun mendengarkan fitnah yang dilempar oleh Lee Song Kim, dan sama sekali tidak ada buktinya bahwa keluarga kami bersekutu dengan pemberontak. Sebaliknya, yang menjadi pemberontak adalah Lee Song Kim, dan kalau Ciangkun mendengarkan semua laporannya yang mengadu domba, kalau Ciangkun membelanya, berarti Ciangkun membela pemberontak, dan tentu Ciangkun akan ditangkap sebagai pengkhianat kalau aku melapor kepada Sribaginda Kaisar." Panglima itu terkejut sekali, juga penasaran.
"Nona Ceng, nona masih muda, harap jangan bicara sembarangan saja. Yang kau kemukakan tadi adalah fitnah keji. Apa buktinya bahwa Lee-Ciangkun adalah seorang pemberontak?" Ceng Hiang tersenyum.
"Kalau boleh aku bertanya, apa buktinya pula bahwa Ayahku adalah seorang pemberontak, Ciangkun? Aku bukan tukang fitnah, dan aku tentu saja dapat membuktikan kebenaran omonganku tadi. Ciangkun tahu mengapa Lee Song Kim melempar fitnah kepada Ayahku?
"Ada dua hal yang mendorongnya melakukan hal yang curang dan keji itu. Pertama, untuk membalas dendam karena lamarannya terhadap diriku ditolak Ayah, dan kedua, karena dia hendak mengadu domba antara para pejabat yang jujur dan setia seperti Ciangkun dan Ayah." Panglima itu menggerakkan tangan dengan tidak sabar.
"Ceritakan mana buktinya bahwa Lee-Ciangkun adalah pemberontak."
"Ciangkun, kalau aku hanya bercerita, itu bukan bukti namanya. Aku akan mengajak Ciangkun menyaksikan sendiri!
"Malam nanti, kuajak Ciangkun untuk menyaksikan betapa Lee Song Kim mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh pemberontak yang akan membuat Ciangkun terkejut sekali. Dan kuharap saja, setelah melihat bahwa pelapor dan pemfitnah Ayah adalah seorang pemberontak, Ciangkun akan berusaha untuk pembebasan Ayah yang tidak berdosa." Panglima itu mengerutkan alisnya.
"Tapi... tapi..."
"Ciangkun meragukan kejujuranku dan khawatir kalau aku akan mencelakakan Ciangkun? Ingat, Ciangkun, Ayahku masih berada di dalam tahanan dan bebas tidaknya Ayah tergantung dan perbuatanku. Mana aku berani mengkhianati Ciangkun dan membiarkan Ayahku celaka?" Panglima itu mengangguk-angguk.
"Dan jangan Ciangkun membawa pengawal, dan banyaknya orang tentu akan diketahui oleh Lee Song Kim, dan kalau dia bercuriga, tentu tidak akan dilangsungkan pertemuan rahasia itu. Akulah yang akan melindungi dan menjaga keselamatan Ciangkun dengan taruhan nyawaku." Kembali Ciong-goanswe mengangguk-angguk.
"Baiklah, akan tetapi kalau semua keteranganmu ini bohong, keadaan Ayahmu akan menjadi lebih buruk lagi, bahkan engkau sendiri akan kusuruh tangkap."
"Baik, aku bersedia menebus dengan nyawaku kalau aku berbohong, Ciangkun. Sampai malam nanti sekitar jam tujuh, aku akan datang menjemput Ciangkun. Jangan kaget kalau nanti malam aku datang dengan rahasia, tidak terang-terangan seperti sekarang ini."
Gadis itu lalu meninggalkan gedung tempat tinggal Ciong-goanswe yang masih duduk termenung setelah gadis itu pergi. Dia tidak dapat dibilang bersahabat baik dengan Lee Song Kim, bahkan diam-diam ada rasa curiga di dalam hatinya ketika para tawanan itu, para pimpinan penting dan pemberontakan, dapat lolos. Tadinya dia sudah mengusulkan agar hasil baik dan siasat yang dilakukan Lee Song Kim itu dimanfaatkan, yaitu para tawanan itu dijatuhi hukuman berat atau dihukum mati agar membikin takut para pemberontak. Akan tetapi Lee Song Kim minta agar pengadilannya ditangguhkan, karena menurut dia, tawanan itu tentu akan memancing datangnya para pimpinan lainnya sehingga merupakan perangkap yang amat baik.
Memang benar para pemberontak berdatangan, akan tetapi mereka tidak datang ditangkap, bahkan mereka membebaskan para tawanan penting itu! Ketika dia menerima pelaporan dari Lee Song Kim, hatinya sudah dipenuhi keraguan, namun sebagai komandan pasukan keamanan, dia harus bertindak. Dan kini muncul puteri pangeran itu yang membawa berita yang sama sekali tak pernah diduganya! Kunjungan Ceng Hiang siang itu kepada Panglima Ciong Ti merupakan siasat yang sudah diaturnya bersama Ci Kong dan Lian Hong. Dua orang pendekar muda ini dengan penuh ketekunan melakukan penyelidikan dan membayangi Lee Song Kim, sehingga akhirnya mereka mendengar bahwa malam nanti Song Kim akan mengadakan pertemuan dengan tokoh tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang juga mereka bayangi dengan teliti.
Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang pendekar muda ini dapat melakukan penyelidikan tanpa diketahui oleh mereka yang dibayangi. Setelah yakin bahwa malam itu Song Kim akan mengadakan pertemuan di sebuah kuil Agama To yang hanya dipakai sebagai kedok saja oleh para tosu Pek-lian-pai, Ci Kong dan Lian Hong cepat memberi kabar kepada Ceng Hiang yang segera mendatangi Jenderal Ciong Ti. Malam hari itu, sesosok bayangan yang memakai mantel lebar, jalan mengendap-endap menuju ke kuil yang berdiri di luar Kota Raja sebelah utara. Sukar dikenal mukanya, karena orang itu selalu berjalan di tempat-tempat gelap dan menutupi mukanya dengan sebuah topi lebar. Yang nampak hanyalah bahwa dia seorang laki-laki memakai mantel hitam yang lebar.
Orang tidak tahu apakah dia itu tua ataukah masih muda, dan bagaimana macam mukanya. Dia tidak segera memasuki kuil, melainkan lewat di depan kuil, kemudian kembali lagi dan lewat lagi. Setelah dia merasa yakin benar bahwa di sekitar kuil sunyi saja tidak nampak seorangpun, baru dia menengok ke kanan kiri, lalu menyelinap masuk ke dalam kuil itu dengan amat cepatnya. Sebelum dia, ada dua orang tosu tua memasuki kuil dan karena sebagai tosu-tosu merupakan hal yang wajar saja memasuki kuil itu, mereka berdua itu tidak bersikap sebagai orang yang bermantel hitam. Namun semua peristiwa ini nampak jelas oleh Ciong-goanswe yang sejak sore tadi telah bersembunyi di tempat aman, agak jauh dari kuil, bersama Ceng Hiang yang menjemputnya. Ketika dua orang tosu itu lewat, Ceng Hiang berbisik.
JILID 39
"Kenalkah Ciangkun kepada dua orang tosu itu?" Yang ditanya memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi menggeleng kepala.
"Yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut itu adalah Ban Hwa Seng-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal sekali. Sedangkan yang tinggi kurus berjenggot panjang itu adalah Ciok Im Cu, tokoh Pek-lian-pai. Mereka berdua itu lihai sekali, dan merupakan dua orang tokoh pemberontak yang mempunyai banyak anak buah dan amat berpengaruh di dalam dua perkumpulan itu."
"Akan tetapi, kenapa tidak ada gambar Teratai Putih dan Pat-kwa pada baju mereka."
"Tentu mereka bersikap hati-hati dan tidak mau menonjolkan diri. Akan tetapi, aku berani bertaruh bahwa di balik jubah mereka itu tentu tersembunyi tanda-tanda kedudukan mereka."
"Akan tetapi, mana Lee-Ciangkun? Apakah sudah berada di dalam?"
"Ssttt, nanti dulu, dia tentu akan datang," kata Ceng Hiang sambil memandang ke kiri. Ceng Hiang melihat betapa daun-daun di sebatang pohon besar di tepi jalan bergoyang-goyang. Itulah isyarat dari Lian Hong agar jangan mengeluarkan suara berisik. Adapun Ci Kong, tentu kini sedang membayangi Lee Song Kim, yang menurut rencana persekutuan itu yang sudah dapat diketahui Lian Hong dan Ci Kong, tentu malam itu akan datang ke kuil. Munculnya dua orang tosu tadi saja sudah membuktikan kebenaran hasil penyelidikan mereka. Kemudian muncullah orang bermantel hitam dan bertopi lebar itu. Kembali ada tanda dari Lian Hong, dan Ceng Hiang segera berbisik.
"Itulah dia orang yang kau tunggu-tunggu, Ciong-goanswe." Jenderal Ciong terkejut dan memandang penuh perhatian. Akan tetapi malam sudah gelap dan orang itu hanya lewat saja di depan kuil. Mula-mula dia merasa curiga dan tidak percaya karena sukar mengenal Lee Song Kim dalam pakaian hitam dan topi lebar itu, apalagi bayangan itu tidak memasuki kuil dan terus saja. Akan tetapi tak lama kemudian, bayangan itu datang kembali, lewat lagi beberapa kali di depan kuil, kemudian menyelinap masuk. Jantung jenderal itu berdebar penuh ketegangan.
"Mari ikut denganku, Ciangkun." Ceng Hiang mengajak dan menarik tangan jenderal itu untuk bangkit berdiri.
"Akan tetapi, Lee-Ciangkun memiliki kepandaian tinggi, dan dua orang tosu itupun tentu lihai sekali. Bagaimana kalau engkau kalah? Biar aku memanggil dulu se puluh orang pengawalku," kata sang jenderal. Dia sendiri bukan orang lemah, namun dia adalah ahli perang, bukan ahli silat yang terlalu pandai sehingga kalau dibandingkan dengan Lee Song Kim, dia tentu kalah jauh.
"Jangan khawatir, seperti sudah direncanakan, se puluh orang pengawal Ciangkun itu tentu akan dibawa oleh sahabatku untuk melakukan pengepungan. Dan aku sendiri bersama dua orang sahabatku cukup untuk menghadapi mereka bertiga."
"Tapi, siapakah dua orang sahabatmu itu?"
"Seperti sudah kuberitahukan kepadamu, Ciangkun. Mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak mau terlibat dalam urusan ini, melainkan hanya membantuku menghadapi Lee Song Kim dan dua orang tosu lihai itu. Mereka tidak ingin dikenal oleh orang lain kecuali aku sendiri. Marilah!"
Dengan berindap-indap, mereka berdua menuju ke kuil. Nampak berkelebat sesosok bayangan mendahului mereka, dan Ceng Hiang tahu bahwa itu adalah Lian Hong, sedangkan Ci Kong, sesuai dengan rencana, tentu akan menggiring se puluh orang pengawal untuk melakukan pengepungan. Lian Hong bekerja dengan cepat. Seperti telah diselidikinya, ia tahu bahwa yang menjadi penghuni kuil itu hanyalah dua orang tosu lemah, maka dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, ia telah berhasil menotok dua orang tosu yang, berjaga di bagian luar sehingga mereka roboh pingsan tanpa sempat berteriak lagi. Amanlah kini jalan masuk bagi Ceng Hiang dan Ciong Ti.
Lian Hong menyambut mereka di tempat gelap dan memberi tanda dengan telunjuk menuding ke arah belakang. Ceng Hiang maklum bahwa pertemuan antara Lee Song Kim dan dua orang tosu itu diadakan di ruangan belakang, maka sambil menggandeng tangan Jenderal Ciong, ia mengajak pembesar itu memasuki ruangan tengah menuju ke belakang. Dengan hati-hati, Ceng Hiang membawa Jenderal Ciong bersembunyi di balik jendela dan mengintai ke dalam. Mereka bertiga duduk menghadapi dari kiri. Di bawah sinar lampu yang terang, Ciong Ti mengenal baik wajah pria bermantel hitam dan bertopi lebar tadi. Kini topinya telah dibuka dan memang dialah Lee Song Kim. Dan kini dua orang tosu itupun sudah membuka jubah mereka, dan nampaklah gambar pat-kwa di dada seorang tosu, sedangkan gambar teratai putih nampak jelas di dada tosu yang kurus.
"Ji-wi totiang (dua orang pendeta berdua), harap jangan ragu-ragu lagi terhadap diriku. Tentu ji-wi sudah mendengar betapa para pimpinan pejuang telah dapat dibebaskan.
"Aku menjadi panglima hanya untuk mengelabuhi pemerintah Mancu saja! Akan tetapi sayang, teman-teman seperjuangan yang liar itu rupanya tidak percaya kepadaku, padahal, jebakan yang kuatur untuk menangkap para pimpinan itupun hanya siasat untuk mengelabuhi para pejabat tinggi.
"Apa sukarnya bagiku untuk membebaskan mereka? Sayang, para pejuang itu berani namun tolol, maka aku memilih untuk bekerja sama dengan ji-wi totiang saja, karena aku sudah mendengar akan kehebatan gerak perjuangan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai."
"Kami tidak ragu-ragu dan bukan tidak percaya kepadamu, Lee-Ciangkun. Akan tetapi apa artinya segala janji dan kepercayaan tanpa adanya bukti-bukti yang meyakinkan? Apa keuntungan kami kalau kami berhubungan dan bekerja sama denganmu?" kata Ciok Im Cu, tosu Pek-lian-pai itu dengan sikap tenang.
"Tepat sekali! Di jaman ini memang banyak terjadi kecurangan-kecurangan, oleh karena itu, kami harus dapat memilih kawan yang tepat. Tanpa bukti, terus terang saja pinto masih belum percaya benar, Ciangkun!" kata Ban Hwa Seng-jin dengan suaranya yang berat.
"Ha-ha-ha, sikap ji-wi totiang ini sudah kuduga sebelumnya. Nah, lihatlah ini, ji-wi totiang. Dalam catatan ini sudah tercatat semua rahasia kekuatan pasukan keamanan yang berjaga di Kota Raja.
"Bagian-bagian mana yang kuat, bagian mana yang lemah, dan tempat-tempat penting. Gudang-gudang senjata bahkan jadwal penjagaan yang dilakukan setiap siang dan malam hari, sehingga dengan mudah ji-wi akan dapat menentukan waktu penyerbuan yang amat tepat." Mendengar ini, Ciong Ti tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia memukul daun jendela dengan tangan kanannya.
"Brakkkkk...!" Daun jendela itupun jebol.
"Lee Song Kim pengkhianat hina! Menyerahlah untuk kutangkap!" Bukan main kagetnya Song Kim mendengar bentakan yang amat dikenalnya itu. Dia lalu cepat mengantungi lagi buku catatan, kemudian meloncat ke luar melalui pintu. Juga dua orang tosu itu sudah berloncatan keluar. Akan tetapi setibanya di luar kamar, mereka melihat bahwa mereka telah dikepung oleh se puluh orang perajurit pengawal, sedangkan Ciong-goanswe berdiri bersama Ceng Hiang yang cantik, akan tetapi yang pada saat itu memandang seperti seekor harimau betina sedang marah. Melihat bahwa perbuatannya telah dilihat oleh Ciong-goanswe sendiri, maklumlah Song Kim bahwa tidak akan ada pengampunan baginya dari pihak pemerintah, maka diapun membentak keras.
"Mampuslah...!" dan pedangnya yang sudah dilolos itu menusuk ke arah dada Ciong Ti ketika dia menerjang ke depan.
"Tranggg!!" Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Ceng Hiang menangkis tusukan itu dan menyelamatkan Ciong-goanswe yang cepat mundur di belakang tubuh para pengawalnya.
"Lee Song Kim manusia hina, engkaulah yang akan mampus kalau tidak menyerah!" bentak Ceng Hiang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Lee Song Kim marah bukan main, akan tetapi diam-diam diapun merasa jerih. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu pedang gadis bangsawan itu. Akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah se puluh orang perajurit pengawal yang menemani gadis perkasa itu, dan dia bersama dua orang tosu yang lihai, hatinya menjadi besar.
"Ji-wi totiang, kita harus dapat membunuh mereka semua ini!" bentaknya, dan diapun memutar pedangnya menyerang Ceng Hiang dengan harapan dua orang tosu itu akan membantunya untuk bersama-sama membunuh semua orang ini agar rahasia persekutuannya dengan para tosu pemberontak tidak sampai bocor. Baik Ciok Im Cu maupun Ban Hwa Seng-jin juga maklum, bahwa kalau mereka tidak dapat membunuh bersama panglima muda yang berkhianat itu, rencana mereka yang amat baik akan gagal sama sekali, maka merekapun cepat menerjang ke depan untuk membantu Song Kim. Ciok Im Cu mempergunakan kedua tangannya mencengkeram sambil mengeluarkan gerengan nyaring dan membentak.
"Nona, berlututlah engkau!" Ceng Hiang sedang menangkis pedang Song Kim. Ia menggunakan gerakan memutar sehingga pedang lawan terbawa berputaran dan hampir terlepas dan tangan Song Kim yang terkejut sekali. Akan tetapi pada saat itu, serangan Ciok Im Cu datang. Ceng Hiang terkejut bukan main ketika bentakan tosu itu membuat kedua kakinya seperti mendadak kehilangan tenaga, lemas dan seperti memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut!
Maklumlah ia bahwa Kakek berjenggot panjang itu mempergunakan ilmu sihir, maka iapun mengerahkan tenaga batinnya dan sambil mengeluarkan lengking panjang, ia melompat ke belakang. Selain terhindar dari cengkeraman, ia terhindar pula dari pengaruh sihir yang dilontarkan oleh Ciok Im Cu dalam bentakannya tadi. Ban Hwa Seng-jin, tokoh Pat-kwa-pai, telah mengeluarkan dua ekor ular dari saku bajunya. Dua ekor ular yang kini dipegang di kedua tangannya dengan ekor membelit pergelangan tangannya itu, adalah dua ekor ular berbisa yang amat berbahaya. Sekali saja terkena gigitannya, dalam waktu beberapa detik saja, orang yang digigitnya akan mati kejang. Dan keistimewaan tokoh Pat-kwa-pai ini, selain ilmu silatnya yang tinggi, adalah juga sebagai pawang ular.
Dengan kedua ular di tangannya, dia menyerang lawan dan kalau pukulannya luput, patukan ular-ularnya lebih berbahaya lagi dari pada kedua pukulannya. Kini sambil menggeram, Kakek gendut tinggi besar itu menyerang dengan tubrukan, kedua tangannya menyerang dari atas dan bawah. Tentu saja dua ekor ularnya juga siap sambil mendesis-desis, mengeluarkan bau amis. Melihat serangan ular berbisa ini, Ceng Hiang memutar pedangnya dan sinar pedangnya yang bergulung-gulung itu dengan rapat melindungi seluruh tubuhnya. Tentu saja Ban Hwa Seng-jin tidak berani mengambil resiko terbabat lengannya atau ular-ularnya dengan menerjang galungan sinar pedang itu. Dia lalu menahan serangannya dan mengirim tendangan ke arah kaki Ceng Hiang tanpa takut terbabat pedang, karena Kakek ini memiliki kekebalan luar biasa pada kakinya.
Kalau pedang itu terkena tendangannya, bahkan ada bahayanya akan terlepas dari pegangan pemiliknya. Namun, Ceng Hiang juga cerdik dan tahu betapa dahsyatnva tendangan itu, maka iapun melangkah mundur. Dan iapun kini dikeroyok tiga. Biarpun Ciong-goanswe menganjurkan se puluh orang pengawalnya untuk membantu puteri itu, tetap saja mereka tidak dapat maju karena gerakan empat orang yang sedang berkelahi itu luar biasa cepatnya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus terjun ke dalam arena perkelahian. Setelah menemukan kitab Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang), Ceng Hiang kini walaupun dikeroyok tiga, selalu dapat menghindarkan diri dari setiap serangan dengan langkah-langkah aneh yang didapatkan dari kitab peninggalan Tat Mo Couwsu itu. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan tiga orang yang amat lihai itu,
Tentu saja ia berada dalam bahaya dan tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya terus menghindarkan diri, mengandaikan langkah-langkah dan ilmu pedangnya. Pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat, dan tahu-tahu Ci Kong telah menyerang Ciok Im Cu, sedangkan Lian Hong menyerang Ban Hwa Sengjin. Tadi, dua orang pendekar ini sejenak mengagumi kehebatan langkah-langkah ajaib yang dimainkan Ceng Hiang, kemudian Ci Kong yang khawatir akan keselamatan gadis bangsawan yang membuatnya tergila-gila itu, menerjang masuk dan diikuti cepat oleh Lian Hong. Ciok Im Cu menyambut munculnya Ci Kong dengan pukulan ampuh tangan kirinya yang terkepal diikuti dorongan tangan kanan yang terbuka dan telapak tangan kanan itu, mengepul uap, dibarengi bentakan.
"Robohlah, orang muda!" Namun, Ci Kong adalah gemblengan Kakek tua renta Siauw-bin-hud, tentu saja selain memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat dan tenaga sin-kang yang dahsyat, juga memiliki tenaga batin yang mampu menolak pengaruh sihir yang dilontarkan Ciok Im Cu tadi. Dia mengerahkan sin-kang dan menyambut serangan kedua tangan lawan itu dengan dorongan yang kokoh kuat seperti batu karang.
"Desss!" Akibat pertemuan tenaga itu, tubuh Ciok Im Cu terdorong mundur dua langkah.
Tentu saja Kakek Pek-lian-pai ini terkejut dan marah sekali. Dia menggerakkan tangan kiri ke dalam saku jubahnya, dan seuntai tasbeh putih telah berada di tangan kiri itu. Terdengar suara berkelitikan ketika tasbeh itu dia gerakkan, suara geseran antara biji-biji tasbeh, akan tetapi dasar seorang Kakek sihir, suara inipun mengandung pengaruh sihir yang ampuh. Suara berkelitikan itu memasuki telinga lawan dengan suara yang nyaring dan mendatangkan rasa nyeri, bukan hanya di dalam telinga, bahkan sampai menembus ke dalam jantung. Namun, Ci Kong dapat menolaknya dengan kekuatan batinnya sehingga suara itu tidak mengganggunya. Ketika tasbeh itu berubah menjadi gulungan sinar putih menyambar ke arah kepalanya, diapun cepat mengelak sambil melepaskan tendangan dari samping mengarah lambung lawan.
Tosu tinggi kurus itu mampu mengelak, dan ketika tubuhnya ditarik ke belakang dengan kepala dicondongkan ke depan, tiba-tiba dia menggerakkan kepalanya dan jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, seperti ujung kebutan saja menyerang ke arah mata Ci Kong. Pemuda ini terkejut juga. Tak disangkanya bahwa tosu ini sedemikian lihainya, bahkan mampu menggunakan jenggot panjang itu sebagai senjata yang cukup berbahaya. Dia menarik muka ke belakang menghindar dan merekapun segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Sementara itu, Lian Hong sudah menerjang Ban Hwa Seng-jin dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas yang kedua gagangnya berujung ranting.
Sepasang gagang itu dengan kecepatan kilat menyambar ke arah leher si tosu gendut yang tadi sedang mengeroyok Ceng Hiang, sehingga Ban Hwa Seng-jin terkejut bukan main dan cepat dia melangkah mundur untuk menghindarkan diri. Ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis lain yang juga cantik manis, dia cepat mempergunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada Lian Hong. Ular yang melibat pergelangan tangan kirinya juga mengeluarkan suara mendesis dan menyemburkan uap beracun ke arah gadis itu. Lian Hong tidak menjadi gugup menghadapi serangan ini, digerakkannya kipasnya, kipas terbuka dan menyambar ke depan, didahului oleh angin kebutan kipasnya yang membuat uap yang disemburkan ular itu membalut ke arah muka Ban Hwa Seng-jin sendiri.
Dan secepat kilat kipas itu tertutup kembali dan kedua gagang yang sudah bersatu itu kini menusuk ke arah leher setelah berhasil menghalau tangan yang hendak mencengkeram tadi dengan totokan. Kembali Ban Hwa Seng-jin terpaksa harus mengelak karena gerakan kipas itu sedemikian cepatnya sehingga tidak keburu untuk menghindarkan dengan tangkisan pula. Dia semakin kaget dan maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main, maka sambil mengeluarkan suara menggereng, diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, dibantu oleh kedua ekor ularnya, melakukan serangan bertubi-tubi. Namun semua serangan itu dapat dihindarkan oleh Lian Hong yang juga membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Dua orang inipun segera terlibat dalam perkelahian yang mati-matian.
Sementara itu, melihat munculnya Ci Kong dan Lian Hong, tentu saja Lee Song Kim terkejut bukan main. Hatinya merasa gentar sekali, karena dia maklum siapa adanya dua orang pendekar itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah olehnya, apalagi Ci Kong. Celaka, pikirnya, dengan munculnya dua orang pendekar itu, biar dia dibantu oleh dua orang tosu, akhirnya dia dan teman-temannya akan kalah juga. Dan kalau dia tertangkap oleh Jenderal Ciong Ti, tentu dia akan dihukum sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak. Maka tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu meloncat ke belakang pada saat Ceng Hiang masih belum menyerangnya, karena tadi gadis ini didesak oleh pengeroyokan tiga orang lawan. Melihat Song Kim, orang yang menyebabkan ditangkapnya Ayahnya itu meloncat dan lari, Ceng Hiang terkejut.
"Keparat, mau lari kemana kau ?" bentaknya.
"Kejar dan tangkap dia!!" Ciong-goanswe juga berteriak, dan se puluh orang pengawalnya sudah berloncatan dan lari mengejar. Mereka inilah yang mengganggu pengejaran Ceng Hiang. Karena se puluh orang itu mengejar lebih dahulu, kecepatan Ceng Hiang menjadi terhalang oleh mereka yang mengejar kalang kabut itu, dan ketika dia akhirnya keluar dan dalam kuil, Song Kim sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Ceng Hiang mencoba untuk mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil sehingga gadis ini merasa marah, penasaran dan menyesal sekali. Ia segera kembali ke dalam kuil, dan ternyata perkelahian telah berhenti. Dua orang tosu itu telah roboh terluka dan ditangkap. Ketika mendengar bahwa Song Kim dapat lolos, Jenderal Ciong Ti juga merasa kecewa dan penasaran, demikian pula Ci Kong dan Lian Hong. Akan tetapi dengan adanya dua orang tosu itu sebagai saksi akan pengkhianatan dan pemberontakan Lee Song Kim, Jenderal dong Ti berani mengeluarkan dan membebaskan Pangeran Cong Tiu Ong, karena memang pelapornya ternyata malah menjadi pengkhianat dan pelaporan itu hanya berdasarkan dendam dan usaha mengadu domba.
Pangeran Ceng Tiu Ong dibebaskan disertai pernyataan maaf dari Ciong Ti Goanswe. Lian Hong dan Ci Kong ikut pula menjemput Pangeran Ceng Tiu Ong yang dibebaskan dari di dalam gedung pangeran itu. Keluarga Ceng mengadakan perayaan untuk bergembira menyambut pembebasan pangeran itu. Yang hadir hanya anggauta keluarga, yang ikut bergembira hanya anggauta keluarga dan para pelayan, akan tetapi dua orang tamu itu, Ci Kong dan Lian Hong, dianggap sebagai tamu agung bahkan anggauta keluarga sendiri, dan mereka berdua ikut pula dalam pesta keluarga ini. Dalam kesempatan ini, Ceng Hiang menceritakan kepada Ayahnya dan keluarganya tentang jasa dua orang tamu itu yang berhasil membebaskan Ayahnya.
"Kalau tidak ada mereka, Ayah, sukarlah membebaskan Ayah. Mereka ini. Tan Ci Kong Toako, dan adik Siauw Lian Hong, adalah dua orang pendekar perkasa!" Pangeran Ceng Tiu Ong mengangguk-angguk dan mengucapkan terima kasih kepada dua pendekar muda itu.
"Aku sudah mendengar dari jenderal Ciong ketika dia membebaskan aku," katanya.
"Memang ada usaha dari Yu Kiang yang menghubungi menteri, dan menteri sudah mendesak Jenderal Ciong yang masih terhitung saudara misan Menteri. Akan tetapi, menurut Jenderal Cong, dia tidak atau belum berani mengambil keputusan untuk membebaskan aku.
"Baru setelah terbukti akan pengkhianatan dan pemberontakan Lee Song Kim, jenderal itu berani dan bertanggung jawab untuk membebaskan aku. Oya, mana Yu Kiang? Kenapa dia tidak diundang datang?" Kedua pipi Ceng Hiang agak kemerahan ketika ditanya tentang orang yang bernama Yu Kiang itu oleh Ayahnya.
"Dia berpamit untuk pergi menemui Menteri dan menghaturkan terima kasihnya, Ayah. Beberapa hari lagi tentu dia akan datang." Ci Kong dan Lian Hong tidak mencampuri percakapan mereka. Sebetulnya, Lian Hong sudah ingin pergi meninggalkan gedung pangeran itu, namun Ci Kong membujuknya untuk menerima undangan Ceng Hiang, selain untuk menyambut pulangnya Ayahnya dari tahanan, juga untuk tinggal selama beberapa hari di dalam rumah gedungnya.
"Kalau kalian tidak ingin memenuhi permintaanku kali ini, kapan lagi aku akan dapat berkumpul? Berjumpapun akan sukar agaknya dengan kalian. Karena itu, dalam kesempatan ini biarkanlah aku bergaul dengan kalian, untuk menyatakan rasa syukur dan terima kasih kami."
Demikian antara lain Ceng Hiang membujuk. Biarpun demikian, andaikata tidak ada Ci Kong yang segera menerima undangan itu, tentu Lian Hong akan memaksa diri pergi atau paling lama tinggal semalam saja di rumah gedung yang megah itu. Betapapun juga, Lian Hong tidak merasa menyesal telah menerima undangan Ceng Hiang, karena ia merasa menjadi tamu terhormat, tinggal di kamar yang mewah bersama sahabat barunya itu, setiap hari menikmati hidangan yang serba lezat dan mahal. Keluarga Ceng, walaupun keluarga bangsawan, ternyata tidak tinggi hati dan semua ramah kepadanya, terutama sekali Ceng Hiang dan Pangeran Ceng Tiu Ong. Dan yang lebih dari semua itu, ia tinggal di dalam gedung itu bersama Ci Kong! Andaikata tidak ada Ci Kong di situ, ia masih sangsi apakah ia akan betah tinggal lama-lama di tempat yang indah mewah itu.
"Ceng Lihiap..." Ceng Hiang sedang melamun di atas bangku di dalam tamannya itu. Ia melamun tentang Ci Kong. Semenjak bertemu dengan pemuda itu, apalagi pertemuan terakhir ini ketika pemuda itu bersama Lian Hong membantunya dan berhasil membebaskan Ayahnya, bayangan pemuda itu selalu mengganggunya.
Pandang mata Ci Kong kepadanya, bicaranya, sikapnya, jelas sekali membayangkan gairah cinta! Ia tidak salah duga. Ia melihat jelas betapa Ci Kong jatuh cinta padanya. Dan ia sendiri? Ah, ia tertarik sekali kepada Ci Kong. Gadis mana yang takkan kagum kepada pemuda itu? Selain memiliki wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah, sikap yang ramah dan sopan, juga pemuda itu adalah seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Seorang pendekar, murid terpandai dari Siauw-lim-pai yang mengagumkan. Betapa akan mudahnya mengaku cinta kepada pemuda seperti itu! Selamanya ia sendiri belum pernah jatuh cinta, akan tetapi sudah banyak melihat pandang mata laki-laki penuh gairah cinta ditujukan kepadanya. Namun, baru sekaranglah pandang mata laki-laki seperti itu membuat ia termenung. Ci Kong cinta padanya, dan ia?
"Ceng Lihiap..." Ceng Hiang sadar dan lamunannya. Tadipun ia sudah mendengar suara itu, akan tetapi suara itu memasuki lamunannya dan seolah-olah menjadi bagian dan lamunannya. Kini ia tersadar dan menengok. Dua pasang mata bertemu pandang. Matahari sudah turun ke barat, namun cahayanya yang redup masih menerangi taman itu.
"Aih, Tan-Toako...!" serunya sambil bangkit berdiri, namun jantungnya berdebar tegang. la sedang melamun tentang pemuda ini, dan tahu-tahu pemuda ini muncul di dalam taman itu, sendirian saja! Dan pandang matanya itu, begitu penuh dengan pancaran cinta kasih sehingga diam-diam ia merasa terharu dan tegang. Namun Ceng Hiang menekan perasaannya dan tersenyum ramah.
"Aih, Tan-Toako, engkau mengejutkan hatiku saja. Kenapa masih menyebut Lihiap padaku? Bukankah kita ini sudah menjadi sahahat baik, seperti kakak dengan adik saja?
"Maaf, aku merasa janggal kalau harus menyebut adik. Kurasa sepantasnya aku menyebut Lihiap atau Siocia. Engkau engkau terlalu tinggi untukku."
"Ah, jangan berkata demikian, Toako. Aku tidak merasa lebih tinggi atau engkau lebih rendah. Bagaimana aku bisa memandang rendah kepadamu, engkau yang sudah menolong keluarga kami dari malapetaka? Engkau sudah menyelamatkan kami, mungkin nyawa Ayah..." Dengan suara gemetar Ci Kong berkata.
"Demi engkau, aku rela berkorban nyawa sekalipun." Sudah lama Ci Kong menanti-nanti kesempatan untuk mengucapkan kalimat ini. Dan kini kesempatan itu tiba, maka dia mengucapkannya dengan suara menggetar, dan Ceng Hiang mendengarkan dengan hati terharu. Ia tidak merasa terkejut maupun heran, karena ia sudah dapat menduga akan isi hati pemuda ini. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda ini sekarang akan berterus terang tentang perasaannya.
"Aihh, sudahlah, Toako. Aku sudah tahu akan kemuliaan hatimu. Engkau seorang pendekar budiman yang akan merelakan nyawa demi membela kebenaran dan keadilan, dan mengulurkan tangan untuk menolong siapa saja. Nah, sekarang katakan. Hanya kebetulan saja engkau memasuki taman ini untuk menikmati bunga, ataukah ada keperluan lain dengan aku?"
"Maaf kalau aku mengganggumu. Terus terang saja, aku sudah menunggu-nunggu kesempatan ini, untuk dapat bicara berdua saja denganmu." Ceng Hiang masih berpura-pura tidak tahu.
"Aih, engkau aneh, Tan-Toako. Bicara berdua saja denganku? Wah, ada rahasia apakah ini? Mari duduk, dan bicaralah." Ceng Hiang sebetulnya merasa tegang hatinya dan kedua kakinya agak menggigil, maka iapun menjatuhkan diri duduk kembali di atas bangku. Ci Kong tidak duduk, melainkan berdiri di depannya. Jantung di dalam dada pemuda ini berdebar keras, wajahnya menjadi agak pucat akan tetapi dia memaksa diri, mengisi hatinya dengan keberanian yang dianggapnya nekat, dan diapun berkata, suaranya lirih dan agak gemetar.
"Maaf, Ceng-Lihiap... terus terang saja, sejak pertemuan kita yang pertama kali dahulu itu, lalu disambung pertemuan berikutnya, aku seperti tergila-gila kepadamu. Wajahmu yang cantik, suaramu, gerak-gerikmu, semua terbayang di depan mata setiap saat, sukar bagiku untuk melupakannya. Ahh, bisa gila aku kalau perasaan ini terus kutahan-tahan, karena itu... melihat kesempatan ini, biarlah aku berterus terang saja. Aku... aku cinta padamu, Lihiap..."
Suasana menjadi hening sekali setelah Ci Kong berhenti bicara. Pemuda itu masih berdiri di depan gadis itu, menunduk dan memandang wajah itu dengan sinar mata penuh harap, namun juga penuh kegelisahan, karena baginya agaknya tidak mungkin puteri pangeran itu dapat cinta kepada semang miskin seperti dia. Sementara itu, sejenak Ceng Hiang memandang wajah pemuda itu. Pernyataan cinta yang terang-terangan itu sebenarnya tidak mengejutkan hatinya, namun setelah diucapkan oleh Ci Kong, dara ini menjadi lemas dan bingung juga. Ia lalu menundukkan mukanya, bahkan menutupi muka itu dengan kedua tangannya untuk menenangkan hatinya. Gerakan ini diterima salah oleh Ci Kong.
"Ceng-Lihiap... kalau kata-kataku menyinggungmu, maafkan aku... memang tidak pantas bagi seorang rendah seperti aku berani menyatakan cinta kepada seorang Siocia sepertimu..."
"Tidak! Jangan kau berkata begitu, Toako!" Ceng Hiang bangkit berdiri dan karena Ci Kong berdiri di depannya, ketika ia bangkit berdiri, mereka berdiri berdekatan sekali. Sejenak keduanya seperti terpesona oleh keadaan ini, demikian berdekatan sehingga mereka dapat mencium bau badan masing-masing. Seperti didorong oleh sesuatu, Ci Kong mengulur kedua lengannya dan tahu-tahu Ceng Hiang telah berada di dalam rangkulannya! Akan tetapi hanya sebentar saja Ceng Hiang membiarkan dirinya hanyut oleh perasaannya, terbuai oleh alunan perasaan. Ia segera dengan lembut melepaskan rangkulan Ci Kong dan menjauh sampai tiga langkah, kemudian ia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu.
"Tan-Toako, selama ini engkau kuanggap sebagai seorang sahabat yang teramat baik, dan aku suka kepadamu, kagum kepadamu sebagai seorang pendekar yang budiman dan berilmu tinggi. Akan tetapi tentang cinta? Ah, aku tidak tahu, Toako. Pernyataanmu begitu tiba-tiba sehingga membingungkan hati."
"Maafkan aku, seperti kukatakan tadi, aku dapat menjadi gila kalau terus menerus menahan perasaan tanpa kunyatakan. Sekarang hatiku sudah lega, Lihiap. Kalau engkau menerima cintaku dan membalasnya, aku akan menjadi seorang manusia yang paling berbahagia di dunia ini.
"Andaikata sebaliknya, andaikan engkau tidak menerimanya dan tidak ada perasaan cinta kepadaku, akupun tidak akan sakit hati, tidak akan menyalahkanmu, karena hal itu adalah wajar saja. Nah, aku mohon diri dan maafkan sebesarnya, Lihiap.
"Aku hanya akan menanti, menanti keputusanmu seperti ladang yang kekeringan menanti turunnya hujan. Malam ini telah terlaksana apa yang kurasakan selama ini, hatiku terasa lega, dadaku terasa lapang, aku minta diri untuk berada di luar gedung semalam ini. Selamat sore, Lihiap." Ci Kong lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari taman itu, dadanya memang serasa lapang setelah dia menyatakan cintanya, seolah-olah beban yang terangkat dan dalam dadanya. Dia tidak tahu betapa Ceng Hiang tetap duduk melamun di dalam tamannya setelahnya pergi. Ceng Hiang duduk seperti tadi sebelum Ci Kong datang, akan tetapi kini wajahnya nampak agak muram. Terjadi perang di dalam batinnya. Harus diakuinya bahwa tadi hampir saja ia tenggelam.
Ia sudah hanyut dan betapa indahnya menempuh kehidupan ini selanjutnya berdua dengan seorang pria seperti Ci Kong! Betapa mudahnya melepaskan segala penghalang dan menjatuhkan diri dalam pelukan Ci Kong, membiarkan diri dan hati mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sudah hampir dua tahun ia telah dijodohkan, walaupun belum diterimanya secara resmi, dengan putera seorang pembesar tinggi, seorang pemuda bangsawan yang sebenarnya harus diakui cukup baik. Yu Kiang, demikian nama pria itu, adalah seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun. Seorang pemuda yang terpelajar tinggi, pandai dalam urusan kenegaraan, halus budi pekertinya, berbudi dan adil seperti Ayahnya. Seorang pemuda pilihan. Ia belum pernah menyatakan persetujuannya, namun iapun belum pernah menolak kehendak Ayahnya dalam pilihan calon mantu bagi Ayahnya ini.
Dan sikap Yu Kiang amat baik, tak pernah terlalu mendesak, menanti dengan penuh kesabaran dalam cintanya. Hubungan Yu Kiang dengan keluarga Ceng amat akrabnya, dan dia sering kali datang berkunjung. Namun sikapnya terhadap Ceng Hiang selalu sopan, seperti seorang sahabat lama yang baik. Dan harus diakuinya bahwa Ceng Hiang banyak mendapat penambahan pengetahuan dari Yu Kiang. Hanya dalam hal ilmu silat sajalah Ceng Hiang menang, dan pemuda itu yang hanya menganggap ilmu silat sebagai olah raga belaka. Namun dalam hal lain, dalam pengetahuan umum, Ceng Hiang boleh menjadi muridnya! Dan kini muncul Ci Kong. Biarpun Ayahnya juga amat kagum kepada Ci Kong, namun ia merasa yakin bahwa Ayahnya pasti takkan setuju kalau ia memutuskan hubungan dengan Yu Kiang lalu menerima cinta Ci Kong, menerima pemuda itu untuk menjadi calon suaminya.
Tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di belakangnya. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Ceng Hiang dapat melompat ke depan sambil memutar tubuh untuk melihat siapa yang muncul secara mencurigakan di belakangnya itu. Dan ternyata yang muncul adalah Lian Hong. Akan tetapi hampir tidak mengenal lagi gadis itu. Muka gadis itu pucat, rambutnya kusut, bekas-bekas air mata nampak jelas di kedua pipinya, matanya agak merah dan membengkak. Dan yang lebih mengejutkan hati Ceng Hiang adalah sebuah kipas yang berada di tangan gadis itu. Kipas itu bagi wanita lain mungkin merupakan kipas penghias diri atau pengusir kegerahan, namun bagi Lian Hong merupakan senjata istimewa dan bukan main ampuhnya. Lian Hong bekas menangis dan kini memegang senjata menghadapinya!
"Adik Lian Hong...!" tegurnya, masih dicekam kekagetan dan keheranan.
"Dari manakah engkau dan apa yang telah terjadi?"
"Ceng Hiang, buang saja semua sikap manismu itu!" Tiba-tiba Lian Hong membentak, wajahnya yang nampak pucat, kini berobah merah dan ia menggerakkan kipasnya.
"Dan cabut pedangmu itu. Aku tidak biasa menyerang lawan yang tidak bersiap!"
"Lian Hong...! Gilakah engkau...?" Ceng Hiang kembali menegur, kini alisnya berkerut dan matanya menatap tajam, khawatir karena jangan-jangan Lian Hong terserang penyakit gila.
"Cukup! Pergunakan pedangmu atau aku akan membunuhmu begini saja!" Dan kini Lian Hong mengirim serangan dengan kipasnya yang menotok ke arah pundak Ceng Hiang. Melihat betapa serangan itu bersungguh-sungguh dan bukan main berbahaya, Ceng Hiang melempar tubuh ke belakang membuat pok-sai (salto) sampai susun tiga kali dan barulah ia terhindar dari ancaman maut. Wajahnya menjadi agak pucat karena serangan tadi benar-benar amat berbahaya.
"Lian Hong, sadarlah! Aku Ceng Hiang, Encimu, sahabatmu, dan engkau adalah sahabat baik dan tamu agung kami!" Ia mengingatkan karena masih menyangka bahwa Lian Hong tiba-tiba menjadi miring otaknya.
"Engkau Ceng Hiang, puteri seorang pangeran yang cantik jelita, akan tetapi menggunakan kecantikannya untuk memikat laki-laki!" Tiba-tiba Lian Hong menyerang lagi, kini lebih hebat lagi. Angin bertiup ke arah muka Ceng Hiang, dan kalau gadis ini berkedip, mungkin saja serangan susulan akan mencabut nyawanya. Namun Ceng Hiang kini menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan Lian
Hong, dan tahulah ia apa yang menyebabkan Lian Hong menjadi seperti gila ini! Gadis ini cemburu! Ah, mengapa ia begitu bodoh? Gadis ini mencinta Ci Kong, dan agaknya tadi melihat dan sudah duga ia mengira bahwa ia bercintaan dengan Ci Kong, berpacaran di dalam taman itu! Cepat ia meloncat sambil mencabut pedangnya dan menggunakan pedang menangkis beberapa kali karena gagang kipas itu menyerang bertubi-tubi.
"Trang-trang-cringgg!" Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu berulang kali, namun Ceng Hiang berhasil menghalau semua tusukan yang merupakan serangkaian serangan itu.
"Heiii, nanti dulu, Lian Hong!" Ceng Hiang berseru, penuh penasaran.
"Engkau salah sangka!" Akan tetapi, Lian Hong sedang marah sekali. Kemarahan membuat semua pertimbangan menjadi miring, bahkan berantakan sama sekali.
"Aku melihat dengan mataku sendiri. Tak perlu kau menyangkal. Ataukah, engkau hanya seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya?" Lian Hong menyerang lagi dan kembali ia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan jurus yang paling ampuh. Lian Hong adalah murid terkasih dan Bu-beng San-kai atau yang berjuluk San-tok yang sakti. Gadis ini telah menerima ilmu-ilmu yang paling hebat dari San-tok, dan selain ilmu silat kipas yang amat tangguh,
Juga ia telah memiliki gin-kang luar biasa yang membuat ia bergerak seperti terbang dan memiliki pula tenaga sin-kang yang amat kuat. Kini dalam keadaan marah dan mata gelap, apalagi ia memegang senjata utamanya yaitu kipas, tentu saja serangannya berbahaya bukan main. Ceng Hiang adalah seorang gadis yang berhati lembut. Akan tetapi, iapun telah terdidik untuk menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa walaupun keadaan ini hanya menjadi dasar wataknya saja, sedangkan kehidupannya tetap sebagai seorang puteri bangsawan. Ia amat sayang kepada Lian Hong dan maklum bahwa gadis ini marah-marah seperti orang gila karena cemburu. Akan tetapi, mendengar dirinya dianggap seorang pengecut, mukanya berubah merah. Pantang bagi seorang gagah untuk disangka pengecut.
Melihat keganasan serangan Lian Hong, ia berloncatan mengelak sambil memainkan Pek-seng Sin-pouw. Dengan langkah langkah ajaibnya ini, ia menghindarkan diri dan semua serangan, akan tetapi Lian Hong tak boleh disamakan dengan lawan lain. Gadis ini amat lihai dan cerdik sehingga tak mungkin bagi Ceng Hiang kalau hanya menghadapi amukan Lian Hong itu dengan pengelakan melalui langkah-langkah Pek-seng Sin-pouw saja. Ia terdesak hebat dan beberapa kali nyaris terkena tusukan gagang kipas, maka terpaksa Ceng Hiang lalu menggunakan pedangnya lagi. Terdengar bunyi berdesing dan nampak sinar berkilat ketika ia memainkan pedangnya, akan tetapi begitu menangkis kipas yang menimbulkan suara berdenting nyaring dan keduanya terdorong mundur oleh kekuatan masing-masing, Ceng Hiang masih membujuk lagi.
"Adik Lian Hong, marilah kita bicarakan masalah ini sebelum senjata kita mengambil korban di antara kita!" Akan tetapi Lian Hong sudah terlalu marah.
"Kalau bukan engkau, tentu aku yang menggeletak tak bernyawa malam ini!" bentaknya, dan iapun menyerang lagi, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bicara lagi.
Mereka kini berkelahi dengan seru, walaupun pihak Lian Hong lebih banyak menyerang, sedangkan Ceng Hiang lebih banyak mengelak dan menangkis, dan kalau kadang-kadang ia balas menyerang, itu hanya untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan oleh Lian Hong dalam keadaan marah itu. Suara senjata mereka yang sering saling bertemu itu mengeluarkan suara nyaring berdentingan. Cemburu adalah suatu dorongan perasaan yang amat berbahaya, baik bagi orang lain, terutama sekali bagi diri sendiri. Cemburu menggelapkan pikiran, melenyapkan kesadaran, menimbulkan dendam, sakit hati dan kebencian. Cemburu dapat membuat seorang manusia berubah kejam penuh dengan kebencian. Cinta asmara antara pria dan wanita tak mungkin sepihak, harus datang dari kedua pihak. Dan kalau orang yang kita cinta itu kemudian menoleh kepada orang lain,
Hal itu berarti bahwa ia tidak cinta sesungguhnya kepada kita! Padahal, didalam cinta tercakup kesetiaan, dalam arti kata tidak mau menyakiti hati orang yang kita cinta, kemesraan, dan selalu ada dorongan untuk menyenangkan dan membahagiakan hati orang yang kita cinta. Dan kalau sudah terdapat kenyataan bahwa orang yang kita cinta itu menoleh kepada orang lain, berarti tidak cinta kepada kita, apa gunanya timbul cemburu yang mendatangkan kebencian? Kalau kita benar-benar mencinta, kita tidak mengharapkan apa-apa lagi! Cinta kasih yang murni tidak mendatangkan cemburu, tidak memperbesar si aku, tidak mengejar kesenangan belaka, tidak ingin memiliki atau dimiliki dengan arti kata mengikat, tidak ingin mengekang orang yang kita cinta. Cinta kasih adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan berubah menjadi kesenangan kalau sudah mengikat.
Dan kesenangan ini hanya merupakan wajah lain saja dari kesusahan. Suka duka tak terpisahkan. Lian Hong dimabok cemburu. Tadi, tanpa disengajanya, ia melihat adegan di dalam taman antara Ceng Hiang dan Ci Kong. Sayang bahwa ia tidak melihat atau mendengar seluruhnya dari pertemuan antara kedua orang muda itu. Bahkan ia datang tepat pada saat Ci Kong merangkul Ceng Hiang! Melihat betapa pemuda yang selama ini dicintanya setengah mati itu kini merangkul Ceng Hiang, hatinya seperti dibakar rasanya. Hampir ia terhuyung roboh, akan tetapi dengan air mata bercucuran, Lian Hong menahan perasaannya dan segera pergi meninggalkan taman itu untuk dapat menangis di tempat sunyi dan tidak ketahuan oleh orang lain. Di tempat sunyi inilah, sambil menangis, ia membayangkan kehancuran hidupnya, kemusnahan harapannya,
Seolah-olah ia melihat istana yang dibangunnya di dalam lamunan dan mimpi, dimana ia hidup berbahagia bersama Ci Kong untuk selamanya, tiba-tiba dihancurkan dan yang menghancurkan itu adalah Ceng Hiang! Timbul kemarahan dan kebenciannya terhadap Ceng Hiang, sehingga ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa saja dengan Ceng Hiang! Melihat betapa Lian Hong menyerangnya semakin ganas dan nekat seolah-olah gadis itu sudah mengambil keputusan untuk membunuh atau dibunuh dalam perkelahian itu, Ceng Hiang menjadi penasaran juga. Berkali-kali ia minta kepada Lian Hong untuk bicara, namun gadis itu sama sekali tidak pernah menghiraukannya! Akhirnya Ceng Hiang kehilangan kesabarannya. Ia telah sejak tadi mengalah, sudah lebih dan lima puluh jurus Lian Hong menyerangnya dan ia tidak pernah membalas dengan serangan maut.
"Baiklah!" ia membentak.
"Engkau telah kehilangan kejernihan pikiranmu, Lian Hong! Engkau buta oleh cemburu dan hendak membunuhku. Aku berhak membela diri karena tidak bersalah!" Kini Ceng Hiang memutar pedangnya dengan cepat dan membalas dengan serangan yang gencar.
Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, seperti seekor naga bermain di angkasa. Lian Hong tidak menjadi gentar dan iapun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmunya. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat lagi antara dua orang gadis perkasa itu. Kedua orang gadis itu memang memiliki bakat yang seimbang, dan merekapun menerima gemblengan dalam waktu yang sama lamanya. Hanya bedanya, kalau Lian Hong menerima pelajaran ilmu-ilmu bela diri dari seorang datuk sesat, seorang di antara Empat Racun Dunia, sebaliknya Ceng Hiang mewarisi ilmu-ilmu yang murni dari keluarga Pulau Es. Bagi orang-orang yang baru setengah matang mempelajari ilmu silat, tentu saja ilmu silat dari kau m sesat lebih unggul, karena di dalamnya terkandung gerakan-gerakan keji dan penuh tipu muslihat,
Pukulan-pukulan yang curang, bahkan penggunaan alat-alat rahasia atau kadang-kadang alat beracun. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan mendalam seperti halnya Lian Hong dan Ceng Hiang, akhirnya pemilik ilmu silat yang murnilah yang unggul. Demikianlah, akhirnya kini Ceng Hiang dapat mendesak Lian Hong dengan pedangnya. Apalagi semenjak gadis bangsawan ini mewarisi kitab Ilmu Pek-seng Sin-pouw dan kumpulan kitab kuno ciptaan Tat Mo Couwsu, kelihaiannya meningkat, dan setelah mendesak lawan sampai belasan jurus, akhirnya pedangnya berhasil merobek kipas di tangan Lian Hong menjadi dua dan sekaligus melukai lengan kiri gadis itu. Lian Hong mengeluh, kipasnya yang sudah pecah menjadi dua terlepas dan ia memandang lengannya yang berdarah. Hal ini bukan membuat ia menjadi jerih, bahkan ia semakin marah.
"Bagus, bunuhlah aku kalau kau mampu!" bentaknya, dan ia sudah siap untuk menyerang lagi dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi, Ceng Hiang sudah merasa menyesal bukan main karena melukai lengan Lian Hong. Gadis perkasa itu adalah seorang di antara para penolongnya, yang telah membantunya membebaskan Ayahnya, dan kini ia malah melukai penolongnya itu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan sambil berdiri lunglai, ia berkata.
"Adik Lian Hong, aku menyesal sekali telah melukaimu. Kalau memang engkau akan merasa lega jika membunuhku, nah, silahkan. Biarlah aku balas budimu yang telah menolong Ayahku dengan nyawaku. Nah, kau pukullah dan bunuhlah aku. Aku tidak akan melawan lagi." Lian Hong yang tadi marah sekali, dan sudah siap untuk menyerang dengan kedua tangan kosong, seketika memandang lemas. Biarpun sejak kecil ia berguru kepada seorang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak pernah mewarisi watak jahat gurunya. Sebaliknya, dalam dirinya berkobar api dan semangat kepahlawanan, dan ia menjadi seorang gadis gagah perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan. Kini melihat lawannya berdiri lunglai dan tidak mau melawan, dengan sendirinya iapun menjadi lemas. Mana mungkin ia menyerang dan membunuh orang yang tidak mau melawannya?
"Kau... kau mempergunakan kecantikan dan kepandaian dan kekayaanmu untuk memikat hati Ci Kong...!" Lian Hong berkata, terengah-engah karena perkelahian tadi telah menguras tenaganya, apalagi kini hatinya penuh ketegangan. Ceng Hiang mengerutkan alisnya.
"Adikku yang baik, engkau boleh jadi melihat pertemuan kami tadi di sini, akan tetapi engkau salah sangka. Aku tidak memikatnya, aku tidak merampasnya darimu.
"Kalau tadi Ci Kong merangkulku, itu hanya karena dorongan perasaan hatinya. Akan tetapi aku segera melepaskan diri. Salahkah aku kalau dia jatuh cinta kepadaku, adikku? Akan tetapi, aku tidak merampasnya." Lian Hong memandang wajah itu, mukanya berubah pucat.
"Akan tetapi... kau ... kau juga mencintanya, bukan?" Ceng Hiang tersenyum sedih. Ia tahu bahwa kalau ia mengaku cinta, berarti ia akan menghancurkan hati Liang Hong, dan ia sendiripun belum yakin, apakah ia mencinta Ci Kong ataukah hanya suka dan kagum saja. Ia lalu menggeleng kepala dan suaranya mengandung kesungguhan hatinya ketika ia berkata.
"Ci Kong juga menanyakan hal itu, dan jawabanku kepadanya adalah bahwa aku memang suka dan kagum kepadanya, sebagai seorang sahabat. Akan tetapi cinta? Ahhh, terlalu pagi untuk bicara tentang cinta. Tidak, adik Lian Hong, aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya!
"Aku yakin engkau cukup gagah dan bijaksana untuk dapat melihat kenyataan dan tidak sembarangan menyalahkan aku. Bukan salahku kalau ada orang-orang mencintaku, bukan? Akan tetapi, kalau engkau memang sudah buta oleh cemburu dan hendak membunuhku, silahkan, aku takkan melawan." Tiba-tiba Lian Hong menangis dan menubruk Ceng Hiang. Ia telah sadar kembali dan ia merasa menyesal bukan main. Ia menangis sesenggukan di pundak Ceng Hiang yang merangkulnya, dan kedua mata gadis bangsawan inipun menjadi basah oleh air mata keharuan.
"Enci Hiang, maafkan aku... oohhh... maafkan aku. Ah, kenapa tadi engkau tidak membunuhku saja!" Lian Hong menangis tersedu-sedu. Baru sekali ini gadis yang keras hati ini menangis, perasaan hatinya seperti tersayat-sayat.
"Sudahlah, adikku, aku mengerti perasaanmu...! Sungguh heran, kenapa Tan-Toako berani bersikap seperti itu? Benarkah di samping kegagahan dan segala sifatnya yang amat kukagumi itu, terdapat sifat mata keranjang sehingga dia setelah menjadi kekasihmu, masih berani mengaku cinta kepadaku?"
"Tidak... tidak... jangan salah sangka, Enci. Dia... dia bukan kekasihku... maksudku, kami belum pernah saling mengaku cinta."
"Ahhh?" Ceng Hiang terbelalak.
"Jadi maksudmu... engkau hanya mencintanya secara diam-diam?" Lian Hong mengangguk.
"Dan kalian belum pernah bicara tentang cinta kalian?" Ceng Hiang bertanya.
"Belum pernah, walaupun tadinya aku mengira diapun cinta kepadaku. Tapi ternyata dia cinta kepadamu, Enci. Aku bersalah kepadamu, aku telah memakimu, menyerangmu kau maafkan aku, Enci... semua ini karena aku... aku menjadi seperti gila karena cintaku kepadanya. Maafkan aku..." Ceng Hiang mencium pipi yang basah itu.
"Tidak mengapa, adikku. Mari kubalut dan kuobati lukamu. Akulah yang minta maaf telah merusak kipasnu dan melukai lenganmu..." Lian Hong menarik dirinya dan memandang dengan mata merah dan basah.
"Tidak, Enci. Semua ini salahku, dan engkau tidak bersalah andai kata engkau tadi membunuhku. Sekarang selamat tinggal, Enci... biarkan aku sendiri dalam kehampaan hidupku...!" Lian Hong lalu meloncat dan menghilang ke dalam kegelapan.
"Adik Lian Hong!" Ceng Hiang memanggil, akan tetapi bayangan gadis itu telah lenyap dan Ceng Hiang tidak mengejar, tahu bahwa tidak ada artinya mengejar, bahkan ia hanya akan membuat Lian Hong semakin berduka saja. Ia berdiri bengong sambil menarik napas berulang-ulang.
Tak disangkanya bahwa malam ini akan terjadi dua hal yang demikian hebat tergores di dalam kalbunya. Ci Kong menyatakan cintanya, dan Lian Hong hampir gila karena cemburu dan hampir saja membunuhnya! Ia lalu merenungkan dan menyelidiki hatinya sendiri. Cintakah ia kepada Ci Kong? Bagaimana dengan Yu Kiang pilihan, Ayahnya? Kalau ia memilih Yu Kiang yang tidak dicintanya, walaupun ia suka pula kepada pemuda bangsawan itu, berarti ia berkorban dan memaksa diri tidak menerima uluran tangan Ci Kong yang begitu menggairahkan hatinya. Sebaliknya, kalau ia menerima Ci Kong, berarti ia membuat Lian Hong patah hati dan merana, juga tentu membuat Yu Kiang berduka, selain itu membuat Ayah dan keluarganya kecewa. Jalan mana akan ditempuhnya? Yang mana akan dipilihnya?
"Aihhh... aku tidak tahu... aku tidak tahu..." keluhnya, dan iapun memungut kipas Lian Hong yang telah robek menjadi dua itu, dan perlahan-lahan meninggalkan taman dan memasuki kamarnya dengan wajah muram dan pandang mata sayu. Jalan setapak di lereng bukit itu sepi bukan main, akan tetapi lebih sepi lagi rasanya di dalam hati Lee Song Kim yang sedang berjalan di atasnya. Wajah pemuda ini pucat, rambutnya yang panjang hitam dan lebat itu nampak kusut.
Demikian pula pakaiannya, dan wajah yang biasanya nampak tampan berseri itu kini muram. Dan matanya yang kemerahan dan pakaian serta sepatunya yang penuh debu, mudah diduga bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan jarang tidur. Dia nampak lelah, lelah lahir batin, dan memang keadaan Song Kim pada saat itu seperti keadaan orang yang putus asa. Bagaimana dia tidak akan putus asa dan gelisah? Cita-citanya yang setinggi langit itu kini buyar sama sekali. Dia kehilangan kedudukan, kehilangan kemuliaan, kehilangan segalanya, setelah dia mengorbankan golongannya, gurunya pula, setelah dia merendahkan diri bersekongkol dengan para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kesemuanya itu gagal sama sekali, bahkan kini dia menjadi seorang buruan. Diburu oleh pemerintah, juga diburu dan dimusuhi oleh para pejuang, baik dari golongan pendekar maupun dan golongan sesat.
Dia merasa diasingkan di dunia ini, tidak mempunyai sahabat, dikelilingi oleh musuh belaka. Perasaan kesepian ini seringkali melanda batin kita, tak perduli bagaimana keadaan kita, tak peduli kita berada di tengah banyak orang atau keluarga, tak perduli kita berada dalam keadaan yang kaya raya atau berkecukupan, maupun dalam kedudukan tinggi dan kemuliaan. Perasaan sepi menggerogoti batin, apalagi kalau kita merasa tidak dicinta seorangpun. Perasaan kesepian dan sendirian inilah yang mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada sesuatu atau seseorang sebagai sumber-sumber kesenangan. Kita mengikatkan diri sebagai anggauta suatu kelompok, golongan, persahabatan, atau kita mengikatkan diri dengan suatu aliran, dengan benda-benda, dengan sumber-sumber kesenangan yang lain.
Dan kita takut dan merasa ngeri kalau harus meninggalkan semua itu, karena kita membayangkan betapa hidup ini akan terasa kosong dan sepi! Ngeri akan perasaan sepi dan bersendirian inilah agaknya yang membuat orang takut akan kematian. Bukankah kalau sudah mati, kita kehilangan segala-galanya dan berada dalam keadaan kesepian dan menghadapi segala sesuatu sendirian saja? Karena inilah maka kita berusaha mencari pegangan, mencari kepercayaan sebagai sesuatu yang akan menemani kita, akan menjadi bekal dalam menghadapi kematian atau kesepian dan kesendirian itu. Ngeri timbul dan rasa takut yang selalu menghantui batin kita. Kita haus akan cinta kasih, haus akan cinta orang lain terhadap kita, perhatian dan keramahan orang-orang lain terhadap diri kita, dan hal ini menunjukkan bahwa kita sendiri kering, tidak memiliki cinta kasih!
Orang yang tidak memiliki cinta kasih, bagaikan sebuah cawan yang kering dan kosong, selalu haus akan isi. Sebaliknya, batin yang penuh dengan cinta kasih bagaikan cawan yang penuh air, terus diisi oleh air yang mengalir masuk, sehingga bukan saja air itu dapat membasahi dan memenuhi cawan itu sendiri, melainkan juga dapat meluap dan membasahi dan mengisi cawan lain. Orang yang batinnya penuh dengan sinar cinta kasih, tidak mengharapkan cinta kasih orang lain terhadap dirinya lagi, bagaikan sebuah ruangan tidak lagi membutuhkan cahaya karena dirinya telah menjadi cahaya yang dapat menerangi ruangan-ruangan lain. Hidup harus berani bersendirian, bukan dalam arti kata kesepian dan merasa ditinggalkan seorang diri, melainkan bersendirian, berdikari, bebas tidak bersandar atau bergantung kepada gagasan, benda, atau orang lain.
Hanya dalam keadaan bebas tidak terikat inilah, pikiran tidak merajalela, mengendap dan si-aku pun tidak menonjolkan diri, sehingga kini dapat waspada setiap saat. Hanya dalan keadaan bebas inilah, cinta kasih dapat memenuhi relung-relung batin kita dengan sinarnya. Hanya dalam keadaan bebas dari segala ikatan inilah, Sinar Illahi dapat menyentuh batin kita, dan kita menjadi waspada akan apa yang dinamakan kekuasaan, kemurahan dan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih! Segala macam perbuatan dalam bentuk apapun merupakan pencerminan keadaan batin. Kalau batin kita bebas sehingga penuh dengan sinar cinta kasih, maka perbuatan yang akan dilakukan oleh badan kita, dengan sendirinya berdasarkan cinta kasih. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih tidak mengenal kebencian, iri hati, dendam, permusuhan, dengki.
Si aku yang menjadi sumber dan segala macam perasaan dan nafsu itu telah tiada. Lee Song Kim adalah seorang pemuda yang penuh dengan ambisi, penuh dengan apa yang dinamakan secara halus "Cita-cita", yang sesungguhnya bukan lain dari pada keinginan mendapatkan sesuatu yang dianggap lebih baik dari pada apa yang kita miliki sekarang. Dan cita-cita ini mulur terus, tiada batasnya, membuat kita selalu tidak puas dengan apa yang ada, dan membuat kita kadang-kadang (seringkali) membuta dalam menggunakan segala cara untuk mengejarnya. Cita-cita yang tercapai melahirkan cita-cita lain yang lebih hebat. Cita-cita yang gagal mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, seperti halnya Lee Song Kim. Semenjak dia melarikan diri ketika diserbu oleh Jenderal Ciong yang dibantu oleh pasukan pengawal, Ceng Hiang, Ci Kong dan Lian Hong, dia terus lari sampai berpekan-pekan lamanya.
Jarang dia berhenti, kecuali kalau tidak kuat lagi karena mengantuk atau lapar. Dia masih merasa untung bahwa dia mampu meloloskan diri dari kepungan orang-orang yang lihai itu. Dia kini berada di lereng bukit-bukit yang menjadi anak Pegunungan Tai-hang-san, di sebelah selatan Kota Raja. Hari masih pagi sekali ketika Song Kim berjalan seorang diri di tempat yang amat sunyi itu. Dia tidak mempunyai tujuan tertentu. Yang penting baginya sekarang ini adalah menyelamatkan diri dan pengejaran musuh-musuhnya. Selagi dia berjalan seenaknya keluar dari dalam hutan dimana dia melewatkan malam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh berkelebatannya bayangan dua orang, dan ketika dia mengangkat muka, yang muncul di depannya secara tiba-tiba itu adalah Ong Siu Coan dan Tang Ki atau Kiki.
🖐
Tentu saja dia terkejut bukan main, menengok ke kanan kiri. Tidak ada jalan baginya untuk menghindarkan pertemuan itu. Mereka berdua telah berada di depannya dan andaikata dia melarikan diri kembali ke dalam hutan, tentu mereka akan melakukan pengejaran. Mereka berdua itu akan sukar dapat ditinggalkan, karena dia mengenal kelihaian sumoinya sendiri, juga tahu bahwa pemuda jangkung murid Thian-tok itupun lihai bukan main. Selain itu, kedua kakinya sudah terlalu lelah untuk melarikan diri dari dua orang ini, maka diapun menjadi nekat dan menghadapi mereka dengan sinar mata tajam dan seluruh tubuhnya siap siaga. Dalam keadaan tersebut seperti itu, menghadapi dua orang lawan yang amat lihai, Song Kim masih belum kehilangan kecerdikannya. Dia segera memasang senyum ramah dan menghadapi Kiki dengan wajah cerah dan ramah.
JILID 40
"Aih, kiranya sumoi. Dan manakah, sumoi... dan bagaimana dengan keadaan suhu? Kuharap beliau berada dalam keadaan baik dan sehat saja." Kiki dan Siu Coan sampai melongo sejenak melihat sikap dan mendengar sapa yang ramah itu. Akan tetapi Kiki segera membentak dengan ketus dan marah.
"Lee Song Kim! Tak perlu engkau menanam madu di bibirmu, mencoba untuk membujuk rayu aku! Engkau tahu bahwa aku mencarimu, dan setelah kini kita saling bertemu, aku akan membunuhmu! Bersiaplah untuk menebus dosa-dosamu dan menerima kematian di tanganku!" Kiki sudah mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya di antara buntalan pakaiannya. Gadis ini biasanya tidak mempergunakan pedang, karena memang ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi, dalam menghadapi bekas suhengnya, ia sudah mempersiapkan diri dan membawa sebatang pedang yang baik dari kumpulan senjata pusaka milik Ayahnya.
"Aih, sumoi, kenapa engkau bersikap begini? Aku adalah suhengmu, bukan? Suhengmu satu-satunya! Bukankah kita sudah menjadi saudara seperguruan dan teman bermain semenjak kita kecil?"
"Cukup! Tutup mulutmu dan cabut pedangmu!" Kiki membentak, semakin marah karena ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha untuk merayunya. Heran ia, mengapa pemuda bejat itu masih berani mencoba untuk membujuknya suatu hal yang takkan mungkin berhasil.
"Sumoi, melihat muka suhu, yang seperti telah menjadi Ayahku sendiri, tidak maukah engkau melupakan segala hal yang telah berlalu? Mungkin aku pernah melakukan kesalahan-kesalahan, akan tetapi aku akan bertobat, dan aku mengharapkan maafmu..."
"Lee Song Kim!" kini Ong Siu Coan ikut berkata, suaranya keren.
"Di antara semua dosamu, bagaimana orang dapat mengampuni pengkhianatanmu terhadap para pimpinan pejuang tempo hari?" Menghadapi Siu Coan, Song Kim membusungkan dada dan marah.
"Ong Siu Coan! Engkau adalah murid Thian-tok dan aku adalah murid Hai-tok, sama-sama murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Tidak perlu engkau bersikap sombong dan mengatakan aku berdosa dan pengkhianat.
"Engkau sendiri pernah menjadi pengkhianat, pernah menjadi anjing pasukan bule! Kalau sumoi tidak mencampuri, aku mau berkelahi melawanmu sampai seribu jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"
"Lee Song Kim, jahanam busuk!" Teriak Kiki yang marah mendengar tantangan Song Kim terhadap Siu Coan.
"Dosa yang pernah kau lakukan terhadap diriku sudah tak dapat diampuni, akan tetapi dosamu terhadap para pimpinan pejuang lebih besar lagi. Kami berdua mewakili para pimpinan pejuang, hari ini datang untuk menghukum dan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau bersiap sekarang, juga aku akan membunuhmu, baik engkau melakukan perlawanan maupun tidak. Heiiiittt...!" Kiki sudah menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada Song Kim. Cepat sekali serangan itu dan didukung tenaga yang kuat.
"Ehhh!" Song Kim meloncat ke kiri untuk menghindarkan tusukan, akan tetapi Kiki sudah mendesak lagi dengan bacokan ke arah leher. Kembali Song Kim mengelak dengan melangkah mundur cepat-cepat, dan terpaksa dia mencabut pedangnya, karena kembali pedang di tangan bekas sumoinya itu sudah menyambar lagi.
"Trangggg!" Dua batang pedang bertemu dan demikian keras pertemuan itu sehingga bunga api berpijar, dan keduanya mundur dua langkah untuk memeriksa pedang masing-masing. Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Kim untuk membujuk.
"Sumoi, benarkah hatimu demikian tega untuk membunuh aku, suhengmu sendiri?"
"Cerewet!" bentak Kiki yang merasa tidak suka diingatkan bahwa orang ini adalah bekas suhengnya. Pedangnya menyambar ganas, sehingga terpaksa Song Kim harus mencurahkan perhatiannya untuk menangkis dan balas menyerang, karena kalau tidak, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Sikapnya terhadap Kiki yang ramah itu tetap saja hanya merupakan siasat.
Kalau mungkin dia akan membunuh Kiki agar kemudian dapat menghadapi Siu Coan. Maka, kini diapun membalas serangan Kiki dengan babatan pedangnya. Mereka terlibat dalam perkelahian yang seru dan Song Kim terkejut sekali. Biarpun kepandaian dan tingkat ilmu silat mereka berimbang, namun dalam hal permainan pedang, Song Kim lebih pandai. Hal ini diketahuinya benar. Akan tetapi sekarang, melihat betapa sumoinya itu dapat bergerak dengan kecepatan kilat, ketika pedangnya membabat, tiba-tiba tubuh sumoinya lenyap dan tahu-tahu telah menyerangnya dari kanan! Hal ini amat mengejutkan hatinya. Belum pernah dia melihat sumoinya memiliki gin-kang sedemikian hebatnya, sehingga seolah-olah pandai terbang saja. Namun, dia sengaja memutar pedang dengan cepat untuk melindungi tubuhnya.
Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kiki sudah mendapat kitab ilmu meringankan tubuh Hui-thian Yan-cu (Walet Tebang ke Langit) ciptaan Tat Mo Cowsu. Akan tetapi, tiba-tiba Siu Coan sudah terjun lagi ke dalam arena perkelahian itu, dan biarpun Siu Coan tidak memegang senjata, namun serangan-serangannya yang menggunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sungguh amat berbahaya bagi Song Kim! Dikeroyok dua, pemuda ini menjadi repot bukan main. Baru melawan sumoinya yang kini mendadak memiliki gerakan yang demikian cepatnya saja dia tadi sudah merasa kewalahan dan mulai terkejut karena belum tentu dia akan keluar sebagai pemenang melawan sumoinya. Dan sekarang ditambah lagi dengan majunya Siu Coan yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan dia maupun Kiki. Tentu saja dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak dan menangkis saja.
"Suhu! Suhu Hai-tok Tang Kok Bu!" Tiba-tiba Song Kim berteriak nyaring.
"Apakah suhu akan membiarkan saja sumoi Tang Ki membunuh suheng sendiri? Suhu, aku sudah seperti anak suhu sendiri, haruskah aku mati di tangan adikku sendiri?" Kiki menjadi marah sekali mendengar ocehan ini.
"Jahanam busuk, keparat hina tak tahu malu!" bentaknya.
"Ayah tidak mempunyai anak macam engkau, dan aku tidak sudi mempunyai suheng seperti engkau!" Dan iapun mendesak lagi dengan pedangnya. Melihat pedang itu membacok ke arah kepalanya dari atas dengan kecepatan kilat dan juga mengandung kekuatan sin-kang yang hebat, tidak ada jalan lain bagi Song Kim yang baru saja mengelak dan sebuah tendangan yang dilakukan oleh Siu Coan kecuali menangkis dengan pedangnya dari bawah ke atas.
"Tranggg!" Kedua pedang itu bertemu dan melekat. Kiki telah mempergunakan sin-kang untuk menempel pedang lawan, dan kesempatan ini dipergunakan Siu Coan untuk menggerakkan tangan mengetuk ke arah siku lengan kanan Song Kim.
"Duk! Ahhhh..." Song Kim terpaksa melepaskan pedangnya. Lengan kanannya seperti lumpuh dan dia cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, ujung kaki Kiki sudah menendang pinggangnya dan diapun terjungkal roboh. Maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya, Song Kim sudah meloncat lagi dan mengirim pukulan maut ke arah Siu Coan yang dielakkan oleh pemuda ini. Kiki yang merasa rendah kalau harus menghadapi lawan yang sudah kehilangan senjata itu dengan pedangnya, sudah menyimpan pedangnya dan kini menerjang dengan kedua kaki dan tangannya.
Juga Siu Coan menyerangnya dan terjadilah perkelahian tanpa senjata. Akan tetapi dalam hal ini, Song Kim semakin terdesak dan dalam waktu beberapa belas jurus saja, tubuhnya sudah menjadi sasaran pukulan dan tendangan bertubi-tubi dari kedua orang pengeroyoknya. Dia mencoba untuk melawan, namun karena memang kalah cepat dan kalah kuat, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan kedua orang itu, sehingga tubuhnya babak belur dan dari hidung dan mulutnya sudah keluar darah. Song Kim melawan terus, namun semakin lama tubuhnya menjadi semakin lemah dan pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu, tiba-tiba muncul seorang tinggi besar yang begitu muncul menerjang maju dan menendang ke arah Siu Coan. Siu Coan terkejut bukan main dan cepat melompat ke samping untuk menghindar.
"Locianpwe, mengapa Locianpwe menyerangku? Bukankah Locianpwe sudah memberi ijin kepadaku untuk membantu Ki-moi membunuh pengkhianat ini?" kata Siu Coan yang terkejut sekali melihat bahwa penyerangnya itu adalah Hai-tok Tang Kok Bu, Ayah Kiki.
"Ayah!" Kiki juga berseru keras.
"Kenapa Ayah membela jahanam busuk ini..." Akan tetapi Hai-tok yang nampak marah itu terus menyerang Siu Coan.
"Bagaimanapun juga, dia ini adalah muridku yang pernah kuanggap sebagai anak sendiri. Ong Siu Coan, engkau masih orang lain dan engkau berani memukulinya, aku harus membalas perlakuan tidak patut itu!" Tentu saja Siu Coan repot harus mengelak kesana-sini, karena dia tidak berani menangkis, dan akhirnya sebuah tamparan mengenai pundaknya.
"Plaakkk...! Hebat bukan main tamparan itu, dan kalau saja Siu Coan tidak melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang membuat pundaknya kuat dan kebal, tentu pundak itu akan hancur. Biarpun tidak demikian, tubuhnya terpelanting dan bergulingan sampai jauh dan dia meloncat bangun dengan kepala pening.
"Ayah, jangan!" Kiki berseru keras melihat betapa Siu Coan terpelanting oleh tamparan Ayahnya.
"Sumoi, apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang hendak melawan Ayahnya sendiri membela orang lain?" Tiba-tiba Song Kim berseru dan seruannya ini menahan gerakan Kiki yang menjadi bingung. Dan Hai-tok sudah menerjang lagi ke depan, agaknya hendak membunuh Siu Coan! Watak dan Empat Racun Dunia memang aneh dan pantas mereka menjadi datuk-daruk kau m sesat. Tadinya Hai-tok memang sudah setuju kalau puterinya berjodoh dengan Siu Coan, dan mengijinkan pemuda itu membantu Kiki mencari dan membunuh Song Kim. Akan tetapi, setelah dua orang itu pergi, dia membayangkan Song Kim semenjak masih kecil telah menjadi muridnya,
Bahkan karena dia tidak mempunyai anak laki-laki, dia sudah menganggap Song Kim sebagai pengganti anaknya. Maka, timbul perasaan menyesal dan diapun lalu meninggalkan pulau untuk membayangi perjalanan Kiki dan Siu Coan. Maka, ketika tadi dia mendengar teriakan Song Kim yang menyebut-nyebut namanya, tentu saja hatinya tergerak, dan ketika melihat Song Kim yang disayanginya itu dijadikan bulan-bulanan pukulan dan tendangan Kiki dan Siu Coan, dia tidak mampu menahan diri lagi dan keluar membela munidnya itu. Dan kemarahannya dia tumpahkan kepada Siu Coan yang hendak dibunuhnya! Kini dia menendang dengan dahsyatnya. Tendangan itu amat kuat, mendatangkan angin keras, dan biarpun Siu Coan sudah siap siaga, menangkis dengan tangan, tetap saja tubuhnya terlempar dan terpelanting keras.
"Brukkk...!"
Dan baru saja dia meloncat bangun, Kakek itu sudah berada di depannya dan lengannya yang panjang dan besar itu menyambar dengan pukulan maut ke arah kepala Siu Coan. Pemuda ini terkejut, akan tetapi sebagai murid seorang sakti, dia masih berhasil membuang diri ke belakang dan bergulingan seperti seekor trenggiling, menjauhi lawan. Hai-tok mengejar, mencoba untuk menggunakan kakinya menginjak kepala pemuda yang tadinya ingin diambil mantu itu, dan kalau kepala itu kena injak sekali saja, tentu akan remuk! Sambil bergulingan, Siu Coan mengelak setiap kali kaki gajah itu datang menginjak, dan dia sukar memperoleh kesempatan untuk meloncat bangun. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pada saat kaki kiri Hai-tok melakukan injakan mautnya, sebuah kaki lain yang juga besar menyambut dari depan, sehingga dua batang kaki yang kuat itu saling beradu tulang kering.
"Desss...!!" Akibatnya, dua tubuh yang besar itu sama-sama terdorong ke belakang sampai lima langkah. Tentu saja Siu Coan memperoleh kesempatan untuk meloncat bangun, dan bukan main girang dan lega hatinya ketika melihat bahwa yang menolongnya itu adalah gurunya sendiri, Thian-tok. Sementara itu, dua orang Kakek itu kini berdiri saling pandang dengan dua pasang mata mencorong saling tantang.
"Ho-ho-ho! Hai-tok, sungguh tidak pantas perbuatanmu, menyerang dan mengancam nyawa muridku, seolah-olah aku sebagai gurunya sudah tidak ada saja!" kata Thian-tok sambil menyeringai.
"Memang aku hendak membunuh Ong Siu Coan, kau mau apa? Dia sudah memukuli muridku, maka aku hendak memukulinya sampai mampus!"
"Ha-ha-ha, kenapa Hai-tok menjadi seorang pengecut besar sekarang? Urusan anak-anak kenapa dicampuri orang tua? Kalau memang engkau mencari tanding, inilah aku lawanmu, tua sama tua! Siu Coan, minggirlah dan jangan mencampuri. Biar aku yang akan menghadapi tua bangka ini!" kata Thian-tok sambil menyeringai.
Kakek ini semakin gendut saja, jubahnya terbuka sehingga nampak dadanya yang berbulu sampai ke pusar, perutnya yang gendut dengan pusar yang menonjol. Tangan kirinya memegang sebuah mangkok butut, tangan kanannya memegang sebuah ciu-ouw (guci arak) butut pula. Mendengar tantangan Thian-tok, Hai-tok menjadi marah bukan main. Dia dan Thian-tok selama ini memang tidak pernah bersahabat. Keduanya adalah dua orang tokoh di antara Empat Racun Dunia, datuk-datuk kau m sesat yang tak pernah saling bersahabat. Kalau akhir-akhir ini mereka memiliki hubungan baik, hanyalah karena keduanya merasa berkewajiban untuk menentang pemerintah penjajah dan orang-orang asing kulit putih. Kini, begitu ada urusan mengenai murid masing-masing, tentu saja mereka saling membela murid dan siap untuk saling gempur.
"Song Kim dan Kiki! Kalian minggir dan jangan mencampuri. Biar kuhajar tua bangka gendut ini!" bentaknya kepada anak dan muridnya. Dua orang Kakek itu lalu melangkah maju saling menghampiri. Thian-tok masih memegang guci arak dan mangkoknya, dua alat minum arak akan tetapi juga dapat menjadi senjatanya yang ampuh. Adapun Hai-tok juga sudah memegang tongkatnya yang indah, tongkat yang terhias emas permata. Mereka kini berhenti dan jarak di antara mereka tinggal dua meter lagi. Sejenak mereka berdiri tegak, saling pandang seperti hendak mengalahkan lawan atau mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata mereka yang mulai mencorong, sambil diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sin-kang mereka, menyalurkan tenaga itu ke arah seluruh tubuh, terutama pada kedua tangan mereka.
"Hai-tok, kau majulah kalau tubuhmu sudah gatal-gatal ingin merasakan hajaranku, ha-ha-ha!" Thian-tok berseru sambil mengamang-amangkan guci arak dan mangkoknya ke atas kepala.
"Thian-tok iblis tua bangka gendut, aku sudah sejak tadi bersiap. Engkau yang datang menantangku, majulah untuk menerima gebukan tongkatku!" tantang Hai-tok.
"Heh-heh-heh, engkau mencari penyakit!" Kata Thian-tok, dan diapun melangkah maju, bergerak aneh dan tiba-tiba guci arak itu menyambar ke arah pelipis kiri lawan sedangkan mangkok bututnya bergerak menyambar ke arah pusar. Nampaknya kedua senjata itu tidak berbahaya, namun Hai-tok yang lebih tahu bahwa biarpun kelihatannya tidak meyakinkan, namun sepasang senjata itu telah mengangkat nama Thian-tok ke puncak ketenarannya. Dia maklum betapa lihainya lawan ini, yang dalam banyak hal memiliki tingkat yang sama dengan dia, maka diapun tidak berani bersikap sembrono.
Kakinya melangkah mundur dan untuk menghindarkan serangan berganda lawan itu, dia memutar tongkatnya, bukan hanya untuk melindungi tubuh, melainkan sekaligus untuk balas menyerang! Akan tetapi, dengan dua buah senjatanya yang istimewa, Thian-tok juga dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat itu. Serang menyerang terjadi dan berkali-kali terdengar suara keras ketika tongkat bertemu dengan guci atau mangkok. Hai-tok yang maklum akan kelihaian lawan, segera mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan melalui tongkatnya, yaitu ilmu Tongkat Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas). Tongkatnya berputar seperti kitiran bahkan semakin cepat lagi sehingga tidak nampak bentuknya, yang kelihatan hanyalah sinar keemasan yang menyilaukan mata saja dibarengi suara mendengung-dengung. Thian-tok juga tidak berani memandang rendah.
Dia mengerahkan tenaganya dan memainkan limu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang sudah mencapai puncak kesempurnaannya, dan mengimbangi kekuatan lawan dengan Kim-ciong-ko, yaitu ilmu kebal yang menbuat tubuhnya dapat menahan senjata tajam. Lawannya, Hai-tok, terkenal dengan tenaga saktinya yang disebut Thai-lek Kim-kong-jiu, yang membuat tangan Kakek ini dapat menghancurkan batu karang, maka Thian-tok selalu melindungi tubuhnya dengan ilmu kebalnya. Mereka saling serang dan saling desak dengan senjata masing-masing, dan ratusan kali senjata mereka saling bertemu, menimbulkan suara nyaring dan bunga api berpijar. Seberapa kali mereka menarik senjata dan mengamankan senjata masing-masing, takut kalau-kalau senjata yang disayang itu menjadi rusak. Akhirnya, setelah mereka bertanding selama ratusan jurus, Thian-tok melompat ke belakang.
"Nanti dulu, Hai-tok!"
"Thian-tok, kau mundur. Apakah mengaku kalah?" tanya Hai-tok sambil menggunakan lengan baju menghapus keringatnya di leher.
"Ha-ha-ha-ha, belum lecet kulitku, belum retak tulangku, bahkan belum keluar keringatku, siapa yang kalah! Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak. Hai-tok mengerutkan alis. Memang benar, lawannya belum berkeringat di leher dan dahinya. Dia lupa bahwa hal ini adalah karena lawannya memakai baju yang terbuka sehingga dada, leher dan perutnya telanjang, dan tentu saja tidak mudah berkeringat seperti dia yang berbaju rapat dan tebal.
"Hemm, manusia sombong! Kalau tidak kalah, kenapa mundur dan menghentikan perkelahian?" bentak Hai-tok sambil melintangkan tongkatnya.
"Aku hanya takut kalau-kalau senjata-senjataku ini rusak. Aku hendak menyimpan senjata-senjataku ini dan menantangmu untuk berkelahi dengan kedua tangan kosong.
"Kita dilahirkan hanya dengan kaki tangan, maka marilah kita lanjutkan dengan menggunakan kaki tangan saja untuk melihat siapa yang sesungguhnya lebih unggul. Atau, engkau takut bertangan kosong dan hendak menghadapi kedua tanganku dengan tongkat itu? Ha-ha-ha, begitupun aku berani!"
"Huh, gendut sombong jangan berlagak. Siapa takut padamu? Lihat, aku juga menyimpan tongkatku, dan mari kita bertanding dengan tangan kosong sampai selaksa jurus!" Hai-tok menyerahkan tongkatnya kepada Song Kim yang menerimanya dengan membungkuk hormat. Girang hati pemuda ini karena dia maklum bahwa dalam hal inipun dia lebih dipercaya oleh gurunya dari pada Kiki, sehingga tongkat pusaka itu dititipkan kepadanya! Selamatlah dia karena gurunya tentu akan membelanya mati-matian. Dia tadi sudah memungut pedangnya dan kini, di samping pedangnya, tongkat pusaka itu berada di tangannya.
Andaikata suhunya sampai kalah, dia dapat mempergunakan tongkat itu untuk mengamuk, diapun sudah pernah mempelajari Kim-kong-pang. Kini dua orang Kakek itu, dengan tangan kosong, sudah saling menghampiri. Tubuh mereka yang sama besarnya itu, termasuk kelas berat, bergerak maju perlahan-lahan seperti dua ekor gajah yang hendak berkelahi. Tiga orang muda yang sejak tadi menjadi penonton, Kiki, Siu Coan, dan Song Kim, tidak berani bergerak untuk membantu, karena mereka sudah dilarang untuk mencampuri perkelahian tingkat tinggi itu. Tentu saja, karena tidak boleh membantu, hati mereka menjadi penuh dengan ketegangan. Terutama sekali hati Kiki. Gadis ini merasa bingung dan diam-diam ia marah kepada Ayahnya. Ayahnya sudah menyatakan persetujuannya kepada Siu Coan untuk membantunya membunuh Song Kim.
Bagaimana sekarang Ayahnya itu berbalik membela Song Kim? Dan kini muncul guru Siu Coan yang membela Siu Coan sehingga berkelahi mati-matian dengan Ayahnya. Tentu saja sukar baginya untuk berpihak lagi! Kalau ia berpihak kepada Ayahnya, seperti kecondongan hatinya, berarti ia berpihak kepada Song Kim! Dan ini tidak boleh terjadi! Sebaliknya kalau ia berpihak kepada Siu Coan, berarti ia menghadapi Ayahnya sendiri sebagai musuh dan inipun tidak boleh terjadi! Sementara itu, dua orang Kakek itu sudah saling serang. Setelah tidak mempergunakan senjata, perkelahian itu menjadi semakin sengit, semakin seru dan ramai sekali. Terdengar suara "Bak-bik-buk" ketika dua pasang lengan itu saling bertemu dan bertumbukan. Dua tenaga sakti saling bertemu dan getarannya sampai terasa oleh tiga orang muda itu.
Namun, kedua orang Kakek itu memang memiliki kekebalan sehingga biarpun kadang-kadang ada pukulan yang sempat mampir ke tubuh, pukulan itu dapat mereka tahan dan mereka masih juga bertahan, belum ada yang roboh. Keduanya mengerahkan tenaga dan juga mengerahkan kecepatan mereka, dan memang kedudukan mereka seimbang sehingga perkelahian itu berlarut-larut tanpa ada yang mendesak atau terdesak. Saling gebuk, saling tendang, dan kalau dua tenaga raksasa itu bertemu dengan dahsyatnya, paling-paling keduanya hanya terdorong mundur, terhuyung-huyung, kemudian melangkah maju lagi sambil mendengus-dengus penuh kemarahan dan penasaran. Bukan main lamanya perkelahian itu. Setelah matahari condong ke barat, keduanya mulai kehabisan tenaga. Hampir sehari penuh mereka berkelahi! Dan mereka adalah Kakek-kakek yang usianya tujuh puluh tahun lebih.
Bahkan Thian-tok sendiri yang bajunya terbuka sekarang mandi keringat, demikian pula Hai-tok. Keduanya sudah bermandi peluh sendiri, dan dari kepala mereka keluar uap putih membumbung ke atas, tanda bahwa tubuh mereka panas sekali. Mereka kini agak terhuyung, kehabisan tenaga dan napas. Dengan napas mereka semakin berat, sementara pukulan-pukulan mereka semakin kendur. Bahkan kini mereka tidak berani lagi menendang karena salah-salah dapat terjengkang sendiri kalau menendang dengan sisa tenaga yang tinggal sedikit. Kiki merasa kasihan kepada Ayahnya. Ia tidak berpihak, akan tetapi tentu saja sebagai anak, ia khawatir kalau-kalau Ayahnya akan roboh bukan karena kalah, melainkan karena kehabisan tenaga dan napas, walapun keadaan Thian-tok tidak jauh bedanya. Ia lalu berkata nyaring.
"Kenapa ji-wi seperti anak-anak kecil saja? Lihat, matahari pun bosan melihat ji-wi dan bersembunyi. Kenapa tidak berhenti dulu dan dilanjutkan kalau hari sudah terang kembali?" Teriakannya percuma saja, karena dua orang Kakek itu dengan keras kepala dan keras hati masih saling gebuk walaupun gebukan mereka kini sudah hampir tak mengandung tenaga lagi, seperti saling tepuk saja.
"Locianpwe Thian-tok dan Ayah. Kalau kalian mau berhenti malam ini, aku akan memasakkan daging kijang yang enak untuk kalian, dan memasakkan air teh yang hangat dan harum." Ucapan ini menolong. Tiba-tiba saja dua orang Kakek itu mendengar betapa perut mereka berkeruyuk. Leher mereka kering haus, dan mendengar penawaran Kiki itu, mulut mereka menjadi basah oleh air liur mereka. Entah siapa yang lebih dulu memulai, tiba-tiba saja tubuh mereka merenggang dan saling menjauhi, dan keduanya menghadapi Kiki.
"Heh...heh... aku mendengar masakan daging kijang tadi? Mana?" kata Thian-tok.
"Teh hangat? Aih, aku haus sekali Kiki!" kata Hai-tok. Kiki memandang kepada dua orang Kakek itu bergantian.
"Kalau kalian mau berjanji malam ini tidak akan berkelahi, aku tentu akan menyediakan makanan dan minuman seperti yang kukatakan tadi, bahkan lebih banyak lagi." Dua orang Kakek itu saling pandang dan agaknya mereka bimbang. Mau mengalah, merasa malu, diteruskan, sudah terlalu lelah.
"Bagaimana Thian-tok?" tanya Hai-tok. Thian-tok mengangguk cepat.
"Memang tidak enak bertanding dalam gelap. Besok bisa kita lanjutkan."
"Nah, sekarang kalian beristirahatlah, aku akan mempersiapkan makanan dan minuman," kata Kiki dengan girang. Karena tidak berani bermain curang, tiga orang muda itu lalu diam-diam turun tangan dan bekerja. Tanpa diperintah, bukan untuk bermuka-muka melainkan karena melihat keperluannya, Song Kim lalu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun, sedangkan Siu Coan pergi untuk mencari kijang atau kelinci. Kiki sendiri sibuk mengumpulkan alat-alat dan bumbu masak. Thian-tok mengeluarkan guci araknya dan menuangkan arak ke dalam mangkuk. Melihat itu, Hai-tok menelan ludah. Agaknya Thian-tok tahu akan hal ini, maka diapun setelah minum arak dari mangkuk, melemparkan gucinya kepada Hai-tok.
"Nah, kau minumlah dulu dari guciku, Hai-tok, sebelum anakmu selesai membuat air teh!"
Hai-tok menerima guci itu dan tanpa malu-malu lagi membuka tutupnya dan minum arak beberapa teguk, lalu melemparkan kembali guci itu, kepada pemiliknya. Kini dua orang Kakek itu, di bawah penerangan sinar api unggun yang kemerahan, mulai memeriksa tubuh masing-masing. Ada perasaan memar pada beberapa bagian tubuh yang terkena pukulan, dan mereka kini memeriksa kedua lengan mereka yang bengkak-bengkak dan matang biru. Masing-masing mengeluarkan obat dan menggosok kedua lengan dan kaki dengan obat gosok. Memang aneh sekali watak dua orang Kakek yang menjadi datuk sesat di antara Empat Racun Dunia ini. Tidak ada kejahatan yang pantang mereka lakukan, namun karena kedudukan mereka yang tinggi, mereka itu merupakan orang-orang yang tidak mau melakukan hal-hal yang akan merendahkan nama mereka.
Seperti keadaan mereka sekarang itu. Kini Thian-tok hanya tinggal sendirian saja. Muridnya Siu Coan, pergi berburu binatang. Dalam keadaan kehabisan tenaga seperti itu, kalau Hai-tok mau berlaku curang, tentu mudah baginya menyuruh Song Kim turun tangan membunuh Kakek itu. Akan tetapi tidak, Hai-tok sama sekali tidak sudi melakukan kecurangan ini, bahkan andai kata muridnya itu berani berbuat curang, tentu dia sendiri yang akan menentangnya. Padahal tadi, dalam perkelahian, mereka itu dengan sungguh-sungguh berusaha mencari kemenangan dan berusaha saling merobohkan atau bahkan saling membunuh! Padahal, kalau tidak menghadapi sesama datuk sesat, andaikata menghadapi lawan dari lain golongan, dua orang datuk ini tidak segan-segan untuk melakukan segala macam tipu muslihat dan kecurangan!
Kiranya di antara mereka terdapat semacam kode etik atau persetujuan tanpa kata yang dipegang teguh di antara golongan mereka sendiri! Tentu saja ini hanya dilakukan oleh mereka yang sudah menjadi datuk atau yang kedudukannya sudah tinggi, sehingga mereka perlu menjaga nama dan kehormatan mereka sebagai datuk. Tak seorangpun akan percaya kalau diberitahu bahwa di antara dua orang Kakek itu terjadi perkelahian mati-matian kalau dia melihat betapa malam itu mereka berdua duduk bersama menghadapi api unggun sambil menikmati hidangan masakan yang dibuat oleh Kiki! Kijang muda gemuk yang didapatkan Siu Coan, akhirnya habis semua dagingnya oleh mereka berlima! Setelah makan minum dengan kenyang, dua orang Kakek itu menguap dan nampak betapa mereka mengantuk sekali, hampir tidak lagi dapat membuka kedua mata.
"Heh-heh-heh, enak sekali masakan anakmu, Hai-tok! Heh-heh-heh!" kata Thian-tok sambil mengelus-elus perutnya yang gendut. Hai-tok tersenyum.
"Dan senang sekali dapat berlatih silat denganmu. Aihh, sudah puluhan tahun aku tidak dapat berlatih seenak tadi. Engkau ini tua-tua masih hebat, aku kagum sekali. Akan tetapi tunggu saja sampai besok. Besok aku akan memaksa engkau bertekuk lutut di depan kakiku!"
"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa.
"Engkaulah yang tua-tua keladi, makin lama makin menjadi. Akan tetapi besok engkau tentu akan roboh dan tak dapat bangkit kembali!" Keduanya masih ingin saling mengejek, akan tetapi karena kantuk yang hampir tak tertahankan, keduanya menguap berkali-kali dan merebahkan diri dekat api unggun yang hangat.
"Kalian tak boleh menyerang siapapun, tak boleh berkelahi. Urusan ini harus kami berdua yang menyelesaikan melalui perkelahian terakhir besok!" kata Hai-tok kepada murid dan puterinya.
"Siu Coan, jangan kau campuri urusanku ini. Tunggu sampai besok dan jangan kau melayani siapapun. Tahu?" Thian-tok juga memesan muridnya. Tiga orang muda itu hanya saling pandang. Kehebatan perkelahian antara guru-guru mereka itu membuat urusan di antara mereka, pertentangan di antara mereka nampak kecil tak berarti. Sebelum tiga orang muda itu menjawab, dua orang Kakek luar biasa itu sudah mendengkur dengan keras.
Bahkan dalam dengkur itu, mereka seperti berlumba untuk saling mengalahkan. Demikian keras dengkur mereka sehingga banyak binatang hutan yang tidak berani mendekati tempat itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, begitu matahari menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, dua orang Kakek itu sudah terbangun, mengulet dan tiba-tiba saja mereka teringat akan urusan mereka dan keduanya meloncat berdiri. Mereka kembali mengulet dan merasa segar setelah malam tadi makan dan tidur sampai kenyang. Akan tetapi harus mereka akui bahwa kedua lengan mereka masih terasa nyeri-nyeri dan seluruh tubuh mereka terasa linu dan pegal, tulang-tulang mereka seolah-olah tidak benar letaknya! Melihat betapa dua orang Kakek itu nampaknya sudah siap lagi, Kiki yang tetap merasa khawatir itu berkata.
"Ayah, apakah kalian tidak mau sarapan dulu?"
"Ha-ha-ha, Hai-tok sungguh dimanja anaknya. Anak baik, kalau Ayahmu terlalu kenyang makan, tentu belum seratus jurus dia sudah roboh di depan kakiku, terlalu banyak makan, ha-ha-ha..."
"Tidak perlu sarapan, Kiki. Hei, Thian-tok, lihat di angkasa sudah ada tanda-tanda bahwa hari ini adalah hari kematian Thian-tok. Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih banyak berlagak?"
"Engkaulah yang akan mampus, ha-ha-ha. Mari kita lanjutkan perkelahian kemarin, Setan Lautan Pemakan Ikan."
"Iblis gendut, nanti kutendang pecah perutmu!"
Hai-tok juga memaki dan keduanya segera menghampiri lapangan rumput dimana kemarin mereka berkelahi. Dan di lain saat, sudah terdengar suara "Bk-bik-buk" ketika mereka sudah saling hantam dan saling tendang dengan penuh semangat. Tenaga mereka masih utuh sekarang, walaupun badan masih terasa lelah. Semalam mereka sudah mengatur siasat mencari akal bagaimana harus mengalahkan lawan, maka sekarang mereka mengerahkan tenaga dan menggunakan segala macam akal untuk mencapai kemenangan. Seperti juga kemarin, Hai-tok memainkan ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu. Ketika Thian-tok yang juga sudah mengatur akal semalam untuk mencari jalan untuk mengalahkan lawan menyerangnya dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar-cakar naga,
Tiba-tiba Hai-tok menangkis dan tubuhnya terpelanting, lalu rebah miring. Tentu saja Thian-tok merasa girang, sekali dan secepat kilat dia membungkuk untuk mengirim serangan selanjutnya kepada lawan yang sudah roboh. Akan tetapi tiba-tiba tubuh yang miring itu bergerak seperti seekor ikan di dalam air, lalu membalik dan kakinya menendang ke arah lutut dan pusar Thian-tok! Kiranya Hai-tok tadi hanya pura-pura saja jatuh, lalu menggunakan gerakan yang diambil dari gerakan ilmu di dalam air yang dikuasainya "berenang" dan melakukan tendangan tiba-tiba amat kuat. Thian-tok hanya mampu menyelamatkan lututnya, akan tetapi tendangan kedua yang mengarah ke pusarnya itu terpaksa diterimanya sambil mengerahkan sin-kang.
"Desss...!" Thian-tok tidak terluka karena terlindungi hawa sin-kang, namun saking kerasnya tendangan, tubuhnya yang gendut itu terpental dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan duduk.
"Ngeeek!" Karena terbanting pantatnya, Kakek itu merasa nyeri juga dan menyeringai lebar untuk menutupi rasa nyerinya. Dia sudah bangkit lagi ketika Hai-tok datang melakukan serangan dengan tubuh agak membungkuk seperti seekor kerbau menanduk, akan tetapi yang menjadi tanduknya adalah dua buah tangannya.
Melihat serangan yang aneh ini, Thian-tok tertawa akan tetapi juga siap dengan siasat yang diaturnya semalam. Dia membiarkan lawan menyerang sampai dekat, dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan. Dan genggaman tangan kirinya keluarlah tanah dan debu yang tadi dicengkeramnya dengan diam-diam ketika dia terjatuh. Kini tanah berdebu yang dilempar dengan tenaga besar itu menyambar ke arah muka dan leher Hai-tok. Tentu saja Hai-tok terkejut bukan main. Terpaksa memejamkan mata untuk melindungi mata kemasukan dengan kedua tangannya cepat menubruk dengan cengkeraman ke depan. Namun dia menubruk tempat kosong, dan sadar bahwa lawan menggunakan siasat, dia cepat membalik dan mengayun kedua tangan melindungi tubuh. Akan tetapi kurang cepat. Thian-tok tadi setelah menyambitkan debu, sudah meloncat dan dan atas dia menghantam ke arah tengkuk lawan.
"Plakkk!" Pukulan itu tertangkis, akan tetapi karena agak terlambat, pukulan itu masih menyeleweng dan mengenai pundak kiri Hai-tok.
"Desss!" Hai-tok sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, akan tetapi kerasnya pukulan membuat dia terpelanting roboh! Kakek itu memang lihai sekali, begitu roboh, kedua kakinya melakukan tendangan-tendangan berantai ke atas dan dengan kedua tangan menekan tanah sehingga Thian-tok tidak berani mendekat, dan Hai-tok mampu bangkit kembali dengan loncatan. Mereka kini berdiri saling berhadapan lagi, dengan napas agak terengah dan kedua mata melotot.
Karena masing-masing sudah merasakan hantaman lawan, mereka mulai marah dan muka mereka menjadi kemerahan, sepasang mata mereka memancarkan sinar beringas! Dua orang Kakek tua renta itu sudah saling berhadapan bagaikan dua ekor singa yang siap untuk saling terkam! Tiga orang muda itu menonton seperti kemarin serasa tegang, karena mereka dapat menduga bahwa hari ini, tentu dua orang Kakek itu sudah mengambil keputusan untuk menang. Perkelahian hari ini tentu mati-matian dan menentukan, apalagi karena tenaga mereka tentu tidak akan sekuat kemarin lagi. Mungkin belum sampai siang, seorang di antara mereka akan roboh dan bisa juga tewas. Hal ini membuat mereka
merasa serba salah. Membantu, berarti mereka melanggar larangan suhu mereka. Tidak membantu, hati merasa tidak tega melihat betapa suhu masing-masing sudah nampak loyo dan repot.
Memang, kedua orang Kakek yang usianya sudah amat tinggi itu telah memeras tenaga di luar batas kemampuan tubuh mereka yang tua, sehingga kini mereka sudah mulai nampak kehabisan tenaga dan napas walaupun mereka baru berkelahi tiga-empat jam dan matahari belum naik terlalu tinggi. Kini, dua orang Kakek itu tidak dapat mengerahkan sin-kang, tidak mampu bergerak cepat. Gerakan mereka lambat sekali, namun setiap gerakan masih mengandung sin-kang yang kuat. Pukulan-pukulan dilakukan lambat, namun penuh tenaga, demikian pula tangkisan. Setiap pertemuan kedua lengan, baru nampak betapa hebatnya mereka mempergunakan tenaga sin-kang. Sekitar mereka seolah-olah ikut tergetar apabila lengan mereka saling bertemu. Selagi tiga orang muda itu kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka takukan, tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring.
"Omitohud, kalian seperti anak-anak nakal saja! Harap hentikan pertandingan itu, pinceng mau bicara!" Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang bertubuh gendut seperti tubuh Thian-tok, dan tiga orang muda itu tentu saja mengenal Kakek ini yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud!
Akan tetapi, dua orang Kakek yang sedang berkelahi itu tidak menghentikan perkelahian mereka. Bukan mereka tidak mau mendengarkan dan menuruti permintaan Siauw-bin-hud, melainkan mereka tidak mungkin lagi dapat menghentikan perkelahian itu. Gerakan-gerakan mereka yang lambat itu susul-menyusul dan apabila seorang di antara mereka mendahului lawan menghentikan serangan, besar bahayanya dia akan terkena pukulan yang akan mendatangkan akibat yang parah. Melihat ini, Siauw-bin-hud diam-diam terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang Kakek sesat ini berkelahi benar-benar, bahkan sudah berada di ambang maut karena keduanya sudah berada dalam keadaan mengadu nyawa. Cepat dia mengeluarkan seruan halus.
"Omitohud!" Dan tubuhnya menerjang ke depan di tengah-tengah antara kedua orang Kakek itu. Siauw-bin-hud mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri, yang kanan menolak tangan Thian-tok, yang kiri menolak tangan Hai-tok.
"Desss...!"
Hebat bukan main pertemuan tenaga antara dua orang Kakek yang sedang berkelahi itu dengan tenaga Siauw-bin-hud yang menahan mereka. Dua orang Kakek itu merasa betapa tenaga serangan mereka amblas ke dalam kelunakan yang membuat mereka merasa seperti terjatuh dari tempat tinggi sekali. Mereka melawan karena terkejut, akan tetapi perlawanan mereka itu mengakibatkan mereka terlempar ke belakang sampai dua meter, sedangkan Siauw-bin-hud berdiri dengan tubuh agak bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat. Kakek Siauw-lim-pai ini baru saja terhimpit antara dua tenaga raksasa! Dari sini saja dapat diketahui betapa hebatnya kepandaian Siauw-bin-hud, dan dua orang Kakek itupun harus mengakuinya. Mereka bangkit berdiri dengan agak susah. Thian-tok dibantu oleh Siu Coan dan Hai-tok dibantu oleh Song Kim yang cepat-cepat menghampiri gurunya.
"Siauw-bin-hud, kenapa engkau mencampuri urusan kami? Aku sudah hampir dapat membunuhi Setan Gendut itu tadi!" kata Hai-tok setelah dia dapat mengatur pernapasannya dan dia nampak penasaran.
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, Setan Lautan itulah yang tadi sudah hampir mampus. Eh, hwesio yang jahil, apakah engkau hendak pamer kepandaian maka engkau berani melerai kami?"
"Omitohud, sungguh heran sekali, malah kalian yang menegur pinceng!" Siauw-bin-hud tertawa.
"Apakah itu tidak terbalik namanya? Sepatutnya, pinceng yang harus menegur kalian! Sepatutnya kalian, seperti pinceng, berprihatin melihat keadaan negara kita."
"Lihat, perjuangan rakyat menurun semangatnya, pemerintah penjajah Mancu menjadi semakin lemah tak tahu malu, menjuali bagian-bagian tanah kepada orang kulit putih, dan lihat... orang orang asing kulit putih itu kini menjadi semakin kuat, merajalela dan kekuasaan mereka semakin meluas.
"Dalam keadaan seperti ini, kalian bukannya bersatu untuk menyusun kekuatan menentang dan membela tanah air dan bangsa, malah kalian seperti anak-anak kecil saja yang memperebutkan kembang gula, saling pukul sampai loyo! Apakah kalian tidak malu? Omitohud, kalau kalian orang-orang tua tidak memberi contoh yang baik, apalagi yang dapat diharapkan dari yang muda-muda?"
"Ah, engkau tidak tahu apa yang tenjadi di antara kami!" Hai-tok membentak, masih penasaran.
"Murid Thian-tok memukuli muridku, siapa yang tidak akan marah?"
"Maaf, locianpwe..." kata Siu Coan membela diri.
"Saya telah mendapat ijin locianpwe Tang Kok Bu untuk membantu puterinya, Ki-moi, mencari dan membunuh pengkhianat Lee Song Kim. Bahkan saya sudah diterima untuk menjadi calon suami Ki-moi. Akan tetapi ketika kami menghajar Lee Song Kim, muncul Tang-locianpwe menyerang saya."
"Nah, nah... apa itu tidak gila namanya? Melihat Siu Coan diserang oleh tua bangka ini, aku merasa ditantang!" Thian-tok menyambung.
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud tertawa lebar.
"Heh-heh-heh, kiranya hanya urusan jodoh. Hai-tok, bagaimana pendapatmu tentang jodoh puterimu?"
"Aku belum pernah meresmikan perjodohan antara anakku dan Ong Siu Coan. Akan tetapi sekarang aku ingin menjodohkan anakku dengan Lee Song Kim!" kata Hai-tok.
"Ayah! Aku tidak sudi!!" Kiki berteriak memandang ayahnya dengan mata terbelalak penuh penasaran dan kemarahan.
"Engkau harus mau!" kata ayahnya.
"Tidak, lebih baik aku mati saja dari pada menikah dengan dia!"
"Hemm, hendak membantah dan melawan orang tua? Kalau begitu matilah!" Hai-tok menjadi marah dan mengambil tongkatnya, akan tetapi Siauw-bin-hud sudah di depannya sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, urusan perjodohan adalah urusan yang menggembirakan, kenapa harus mengakibatkan seorang ayah hendak membunuh puterinya? Hai-tok, sebenarnya yang ingin menikah itu engkau ataukah puterimu? Yang hendak memilih suami itu engkau ataukah puterimu?" Mendengar pertanyaan ini, Thian-tok tertawa bergelak, dan muka Hai-tok berubah merah sekali. Dia tahu bahwa pendeta tua itu tidak ingin mengejeknya, namun pertanyaan itu merupakan tikaman bagi hatinya karena dia memang seorang yang suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan!
"Gila! Tentu saja anakku!" bentaknya ketus.
"Nah, kalau anakmu yang mau berjodoh, kenapa tidak membiarkan ia memilihnya sendiri? ia yang akan menikah, ia pula yang berhak menentukan calon suaminya, bukan?" Siauw-bin-hud berkata ramah dan sambil tersenyum. Hai-tok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Tidak, tidak akan baik jadinya kalau anak memilih sendiri. Harus orang tua yang memilihkan. Pandangan anak masih sempit dan hijau, hanya melihat ketampanan wajah seorang pemuda saja.
"Sebaliknya, pandangan orang tua lebih luas dan jauh jangKau annya, memperhitungkan masa depan anaknya. Tidak, Siauw-bin-hud, sekali ini engkau keliru. Pemilihan jodoh seorang anak perempuan harus di tentukan oleh orang tuanya."
"Heh-heh-heh, ini pandanganmu sebagai orang tua, bukan? Tentu saja begitu! Orang tua memilihkan calon jodoh anak perempuannya sesuai dengan pandangannya, sesuai dengan pandangannya terhadap calon mantu itu. Dan pinceng percaya bahwa orang tua yang memilihkan jodoh anaknya akan memperhitungkannya masak-masak untuk masa depan anaknya.
"Akan tetapi benarkah demikian? Bukankah si orang tua hanya memperhitungkan masa depan dirinya sendiri? Si orang tua hanya mencari kesenangan hatinya sendiri tanpa memperhitungkan perasaan anaknya? Dia boleh senang kepada calon mantu yang dipilihnya, akan tetapi bagaimana dengan anaknya?
"Orang tua menganggap bahwa apa yang disukai tentu akan disukai pula oleh anaknya, benarkah pendapat ini? Ingat, Hai-tok, alam pikiran orang tua dan anaknya belum tentu sama, selera di antara mereka mungkin sekali berbeda." Sejenak Hai-tok termenung, lalu membantah.
"Akan tetapi Siauw-bin-hud, pandangan seorang gadis muda masih terlalu dangkal dan hijau untuk dapat melakukan pemilihan yang tepat. Ia akan mudah terpikat dan terbujuk omongan manis, sikap yang manis, dan wajah yang gagah tampan. Apakah orang tuanya tidak akan ikut menyesal kelak kalau sampai ternyata kemudian pilihannya itu keliru?"
"Mungkin saja bisa keliru. Akan tetapi kekeliruan karena pilihan sendiri menjadi tanggung jawabnya sendiri, dan si anak yang akan mengalami segala akibatnya, bukan? Orang tua hanya menonton saja.
🖐
"Kalau seorang anak keliru memilih, kelak ia akan menyesali nasib dan diri sendiri yang salah pilih, tidak menyalahkan orang tua. Sebaliknya, kalau orang tua yang salah pilih, dia akan menjadi bulan-bulan penyesalan anaknya!" Hai-tok mengerutkan alisnya dan memandangi kepada Hwesio tua itu.
"Siauw-bin-hud... engkau memang pandai bicara. Habis, apa yang harus dilakukan orang tua? Menurut saja kepada kehendak anak perempuannya, walaupun dia tahu bahwa pilihan anaknya itu keliru?"
"Ho-ho-ho, jangan menjebak omongan, Hai-tok. Apa yang harus dilakukan orang tua? Bukan orang yang baik namanya kalau membiarkan saja, acuh saja akan segala tindakan anak-anaknya.
"Orang tua harus memberi kebebasan kepada anaknya, akan tetapi bukan berarti lalu acuh dan tidak perduli. Orang tua mengamati saja dari belakang, dan kalau melihat kenyataan bahwa tindakan anaknya keliru, orang tua berkewajiban untuk mengingatkannya, menasihatinya.
"Akan tetapi bukan berarti lalu orang tua memaksa anaknya untuk mentaati segala kehendaknya, menerima segala pilihan yang dilakukan orang tua untuk anaknya. Apalagi dalam hal memilih jodoh."
"Mungkin ada benarnya ucapanmu itu, Siauw-bin-hud. Akan tetapi kenyataannya, kuanggap Lee Song Kim ini seorang murid dan calon mantu yang baik sekali."
"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak.
"Baik apanya? Karena ulahnya, kita berdua hampir mati konyol, Hai-tok! Dan para pimpinan pejuang hampir mati konyol semua! Dan Kau masih memujinya sebagai murid dan calon mantu yang baik? Heh-heh-heh!"
"Thian-tok, engkau lah yang mendurhakai golongan kita! Coba ingat baik baik, apa jadinya dengan murid-muridmu sendiri? Apa jadinya dengan murid Tee-tok dan San-tok? Huh, mereka semua menjadi orang-orang yang meninggalkan golongan kita, condong untuk menjadi pendekar dan menentang golongan kita!
"Huh, lupakah engkau siapa dirimu, siapa kita, siapa Empat Racun Dunia yang namanya pernah menggemparkan jagad? Hanya muridku seorang inilah yang masih aseli! Dia melakukan apa saja yang hebat, yang tidak kalah oleh tindakan kita!
"Segala kecurangan dan tipu muslihat itu menunjukkan bahwa dia cerdik dan patut menjadi murid Hai-tok! Dia melakukan semua itu karena ada tujuan yang besar, bukan sekedar main gagah-gagahan! Aku suka padanya dan dia patut menjadi muridku, bahkan patut menjadi mantuku atau puteraku sekalipun!" Dibantah seperti itu, Thian-tok tak mampu bantah lagi. Memang, tadinya diapun merasa bangga akan tinglah laku Koan Jit, muridnya yang pertama, yang dalam hal kejahatan tidak kalah oleh Empat Racun Dunia sendiri! Akan tetapi muridnya itu akhirnya tewas sebagai seorang pendekar! Dan Siu Coan inipun tidak begitu menonjol dalam hal kejahatan seperti suhengnya. Apalagi Gan Seng Bu yang mati muda karena tergila-gila kepada seorang wanita kulit putih!
"Ha-ha-ha, sesukamulah Hai-tok, itu urusan pribadimu, aku tidak mau turut campur. Asal engkau tidak mengganggu muridku, akupun tidak perduli," akhirnya Thian-tok berkata dengan sikap acuh.
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud juga tertawa kini.
"Bukankah amat mudahnya melenyapkan permusuhan dan lebih enak hidup damai antara manusia! Hai-tok, urusan jodoh adalah urusan anak, hal itu sudah Kau akui kebenarannya. Nah, urusan perjodohan anakmu juga serahkan saja kepadanya sendiri. Biarkan ia yang memilih calon suaminya."
"Aku memilih Ong Siu Coan!" Tiba-tiba Kiki berseru. Sebetulnya, hati Kiki hanya satu kali saja pernah tertarik kepada pria, yaitu kepada Tan Ci Kong. Akan tetapi karena dara inipun tahu bahwa Ci Kong dicinta banyak gadis lain, dan melihat betapa Siu Coan yang mendekatinya, iapun menentukan pilihannya kepada Siu Coan, seorang pemuda yang dianggapnya memiliki cita-cita besar sekali. Hai-tok cemberut. Untuk menentang anaknya, dia merasa malu kepada Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Maka sambil bersungut-sungut dia menyumpah.
"Anak tolol! Kalau engkau tidak mau berjodoh dengan Song Kim pilihanku, biarlah engkau tak usah kembali ke Pulau Naga dan jangan anggap aku sebagai ayahmu lagi!" Kiki adalah seorang anak yang sejak kecil dimanja dan memang wataknya keras dan bandel sekali. Mendengar ucapan ayahnya itu, ia memandang ayahnya dan berkata.
"Kata ayah sendiri bahwa anak harus mentaati perintah orang tua. Nah, sekarangpun aku akan mentaati perintah ayah, aku tidak akan pulang ke Pulau Naga."
"Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak sampai perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Bagus, bagus! Ini namanya Hai-tok rugi kehilangan anak perempuan, akan tetapi aku untung mendapatkan seorang mantu perempuan, ha-ha-ha!" Siauw-bin-hud melihat betapa sepasang mata Hai-tok mencorong marah, maka diapun cepat berkata sambil tertawa.
"Siapa bilang Hai-tok rugi? Dia boleh jadi kehilangan anak perempuan, akan tetapi dia mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai penggantinya." Mendengar ini, wajah Hai-tok berseri dan diapun tertawa.
"Ha-ha-ha... orang bilang bahwa anak perempuan itu hanya mendatangkan kesialan belaka, sebaliknya anak laki-laki mendatangkan bahagia. Thian-tok memperoleh seorang anak perempuan, dan aku mendapatkan seorang anak laki-laki, biarlah semua kesialan akan menimpa Thian-tok dan semua kebahagiaan menjadi bagianku. Mulai detik ini, Song Kim kuangkat menjadi puteraku." Song Kim yang amat cerdik itu, begitu mendengar ucapan Suhunya seperti itu, tanpa membuang waktu lagi dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hai-tok, memberi hormat dan berkata.
"Ayah...!" Dan Hai-tok menerima penghormatan itu sambil tersenyum girang. Dengan berkerut, Kiki melangkah maju.
"Song Kim, di antara kita masih ada perhitungan yang belum kita bereskan! Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa tanpa ada campur tangan orang lain! Aku tantang Kau , dan kalau engkau tidak berani menerima tantanganku, berarti engkau hanya seorang laki-laki pengecut dan hina, rendah dan tak tahu malu!" Song Kim memang cerdik. Tadi dia sudah melihat gerakan-gerakan Kiki, dan dia maklum bahwa sumoinya itu telah memperoleh ilmu lain yang membuat sumoinya dapat bergerak amat cepatnya. Mungkin sekarang dia tidak akan mampu mengalahkan sumoinya, maka setelah selesai memberi penghormatan ke ayah angkatnya, diapun bangkit berdiri tanpa menjauhi ayahnya dan berkata dengan halus.
"Sumoi, apakah sebabnya engkau menantangku? Perhitungan apakah yang ada di antara kita?"
"Keparat! Engkau masih pura-pura tidak tahu dan berani bertanya lagi? Lupakah engkau akan apa yang Kau lakukan terhadap diriku ketika aku berangkat meninggalkan Pulau Layar? Engkau menyerangku di dalam perahu dan dengan curang merobohkan aku. Kemudian engkau ... engkau berusaha untuk memperkosaku!" Song Kim tertawa, meniru suara ketawa guru atau ayah angkatnya yang jarang tertawa itu.
"Hemm, sumoi... hal itu hanya membuktikan bahwa aku jauh lebih cerdik dan pada engkau , sehingga engkau dapat kutundukkan di dalam perahu. Akan tetapi, tidak ada alasannya sama sekali bagimu untuk membalas dendam kepadaku, karena bukankah engkau belum ternodai."
"Jahanam! Kalau sudah ternoda, lebih baik aku mati!" teriak Kiki marah. Hai-tok berkata, nada suaranya tegas kepada Kiki.
"Kiki, kalau engkau sudah ternoda oleh Song Kim, engkau harus menjadi isterinya. Kalau belum ternoda, sudahlah... tidak ada urusan lagi antara engkau dan dia." Melihat betapa ayahnya selalu membela Song Kim, Kiki menjadi marah sekali, akan tetapi ia menghadapi ayahnya, walaupun ia tidak diakui lagi, tetap saja ia tidak berani melawan ayahnya yang juga menjadi gurunya. Mukanya menjadi merah dan ia tidak tahu apakah ia harus marah-marah ataukah menangis. Melihat ini, Siu Coan cepat maju dan berkata dengan suara lantang.
"Sungguh penasaran sekali kalau dosa-dosa yang dilakukan Lee Song Kim dibiarkan begitu saja! Semua urusan pribadi boleh kita lupakan. Akan tetapi kita tidak sepantasnya melupakan bahwa dia telah menjadi pengkhianat dan telah menangkap para pimpinan pejuang! Dia telah menjadi musuh para pejuang, maka kita semua akan menjadi pengkhianat pula kalau membiarkan saja dia berkeliaran!"
"Dia tidak selamanya menjadi pengkhianat!" Hai-tok cepat membela.
"Orang yang cerdik selalu bertindak menurut angin yang menguntungkan. Sekarang tidak mungkin lagi bagi dia untuk bekerja sama dengan pemerintah Mancu atau orang kulit putih, berarti dia sekarang menjadi sekutu pejuang." Siauw-bin-hud tertawa lagi. Dia tidak menghendaki terjadi perpecahan antara mereka yang diharapkan akan dapat membantu gerakan para pejuang.
"Omitohud... di dunia ini, manakah ada yang baik selamanya? Baik dan buruk sudah menjadi pakaian manusia, menguasai diri manusia seperti siang dan malam. Perbuatan-perbuatan yang lalu, yang dianggap jahat dan buruk penuh dosa, dapat saja ditebus dengan perbuatan baik.
"Ingatlah kepada Koan Jit. Kurang bagaimana dia? Akan tetapi pada saat terakhir, dia menjadi seorang patriot, seorang pahlawan yang dikagumi semua orang. Kalau Lee Song Kim dapat berbuat seperti Koan Jit, bukankah orang akan melupakan semua perbuatannya yang lalu dan mengaguminya pula."
Mendengar ini, Siu Coan tidak dapat membantah lagi. Harus diakui kebenaran ucapan kakek gundul itu. Suhengnya, Koan Jit, memang merupakan pengkhianat yang jauh lebih besar dibandingkan Song Kim, akan tetapi setelah pada saat kehidupannya yang terakhir, Koan Jit melakukan perbuatan gagah berani, berkorban nyawa demi perjuangan. Orang mengaguminya dan melupakan semua dosanya yang lalu. Thian-tok juga tidak berani membuka mulut, hanya menyeringai saja karena diapun merasa akan kebenaran omongan Siauw-bin-hud. Dia sebagai guru Koan Jit, tentu saja tidak dapat mencela Song Kim sebagai seorang pengkhianat seperti yang dilakukan oleh Siu Coan.
"Ha-ha-ha, memang tua bangka Siauw-bin-hud memiliki pandangan yang amat luas. Kita semua harus menerima pendapatnya itu, dan sudahlah... aku tidak mau memperpanjang urusan lagi. Siu Coan dan Kiki, sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan dan buang saja pikiran kalian untuk membunuh Song Kim! Kini dia telah menjadi putera Hai-tok. Kita menjadi anggauta keluarga besar pejuang."
"Suhu, teecu hendak melanjutkan niat teecu untuk membentuk pasukan besar," kata Siu Coan.
"Dan aku akan membantunya!" kata pula Kiki.
"Ha-ha-ha, berangkatlah, muridku, jangan kecewakan harapan gurumu. Engkau harus menjadi pejuang nomor satu di dunia ini, ha-ha-ha!" kata Thian-tok. Mereka lalu bubaran. Siu Coan bersama Kiki, Song Kim pergi mengikuti Hai-tok, dan yang tinggal di situ kini hanyalah Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Dua orang kakek yang sebaya, dengan bentuk tubuh dan muka yang mirip sekali seperti dua orang kembar namun dalam keadaan yang amat berbeda, karena yang seorang adalah pendeta Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai seorang pertapa yang hidup bersih, sebaliknya Thian-tok adalah seorang di antara Empat Racun Dunia yang paling jahat! Keduanya sama sakti, juga sama-sama suka tertawa gembira. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang sambil menyeringai lebar.
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau sekali ini engkau tidak muncul, entah akan bagaimana jadinya dengan Hai-tok dan aku. Mungkin kami berdua sudah mampus sekarang. Engkau ternyata dapat memperpanjang usiaku entah beberapa tahun lagi!" kata Thian-tok.
"Bagaimana engkau begini kebetulan dapat muncul di sini?" Siauw-bin-hud tertawa.
"Aha... masih belum tahukah engkau , Thian-tok? Thian sendirilah yang membawa pinceng sampai di sini dan melerai kalian yang sedang berkelahi."
"Haiii, jangan bohong engkau , Hwesio tua! Bagaimana Thian dapat membawamu ke sini? Apakah engkau digendongnya? Ha-ha-ha!" Biarpun wajahnya masih penuh senyum berseri, Siauw-bin-hud menjawab.
"Thian-tok, coba rasakan, apakah jantungmu masih berdenyut?" Thian-tok terkejut, dan sambil mengerutkan alisnya dia memperhatikan. Dan memang jantungnya masih berdenyut! Untung sekali. Dia tadi sudah terkejut setengah mati mendengar ucapan Siauw-bin-hud itu.
"Coba Kau hentikan sebentar saja. Dapatkah?"
"Ha-ha-ha, apakah engkau telah menjadi gila, Siauw-bin-hud? Bagaimana mungkin menghentikan denyut jantung? Kalau berhenti berdenyut, berarti aku sudah mampus!"
JILID 41
"Nah, engkau mengakui juga, bukan? Kalau Tuhan menghendaki, sekarang juga denyut jantung kita terhenti dan kita mati. Namun Tuhan menghendaki bahwa engkau masih hidup, kita masih hidup.
"Mengertikah engkau sekarang bahwa kedatanganku ini juga dikehendaki oleh Tuhan? Segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan, karena kita hidup inipun atas kehendak Tuhan."
"Ha-ha-ha, engkau memang pandai membujuk, Siauw-bin-hud. Aku tidak pernah memikirkan tentang Tuhan, melainkan melihat kenyataan. Engkau dapat datang ke sini, sebetulnya hendak kemanakah?" Dia berhenti sebentar dan memandang tajam menghentikan tawanya.
"Bukankah selama ini engkau hanya bertapa saja? Mengapa sekarang keluyuran sampai di sini. mau apakah engkau ?"
"Omitohud..." Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Kehendak Tuhan pun terjadilah! Pinceng mendengar akan keadaan yang makin memburuk di negeri kita. dua kekuasaan besar yaitu pemerintah Mancu dan orang-orang kulit putih bagaikan dua ekor anjing kelaparan yang hendak memperebutkan tanah air kita.
"Tanah air kita mungkin akan tercabik-cabik oleh dua kekuasaan itu, dan yang menyedihkan, gerakan para pejuang kini menjadi semakin lemah. Karena itulah pinceng keluar dan ingin menganjurkan para pejuang untuk bergerak lagi lebih bersemangat. Kalau bukan kita sendiri yang bergerak, sampai kapankah bangsa dan tanah air kita terbebas dan cengkeraman penjajah?" Thian-tok tertawa.
"Jangan engkau khawatir, Siauw-bin-hud. Tidak lama lagi akan muncul sebuah angkatan perang yang amat kuat, dengan balatentara yang besar, dipimpin oleh seorang gagah yang kelak akan mengusir penjajah dan bangsa asing lainnya dari tanah air."
"Omitohud, alangkah baiknya kalau ramalanmu itu benar. Siapakah orangnya yang akan mampu melakukan itu?"
"Bukan lain adalah muridku tadi... Ong Siu Coan!"
"Omitohud... pinceng melihat dia sebagai seorang muda yang penuh cita-cita. Mudah-mudahan harapanmu terkabul, Thian-tok. Nah, sekarang pinceng hendak melanjutkan perjalanan dan engkau pun usahakanlah agar dapat menghubungi para patriot di seluruh tanah air untuk membantu perjuangan." Dua orang kakek ini saling berpisah meninggalkan tempat itu yang kini berubah sunyi sekali. Sunyi bukan berarti kesepian, melainkan sunyi yang hening. Keheningan mendatangkan kedamaian. Keheningan menonjolkan kekuasaan alam, dan keheningan baru mungkin muncul kalau batin tidak dibebani oleh bermacam keinginan. Kalau airnya keruh, takkan nampak apa-apa kecuali yang berada di permukaan saja. Akan tetapi kalau airnya jernih, akan nampaklah segala rahasia dan keindahan sampai ke dasarnya.
Thian-te-pang merupakan sebuah perkumpulan orang gagah yang kini menjadi semakin besar semenjak mereka ikut terjun dalam perjuangan karena banyak orang muda perkasa yang tertarik dan masuk menjadi anggauta dan murid Thian-te-pang. Pusatnya berada di lereng bukit Kijang Putih di Propinsi Hunan, di sebelah utara kota Kanton. Seperti kita ketahui, perkumpulan ini pernah dikuasai oleh Ong Siu Coan. Ketika ketua Thian-te-pang yang bernama Ma Ki Sun melihat betapa kekuasaan Ong Siu Coan makin besar, dia lalu minta bantuan para tokoh kang-ouw yang perkasa untuk merebut kembali kedudukannya. Dan melihat betapa di situ hadir banyak tokoh besar di dunia persilatan, dengan cerdik Siu Coan lalu mengundurkan diri sehingga tidak terjadi bentrok antara dia dan Ma Ki Sun.
Pada hari itu, tempat yang menjadi pusat Thian-te-pang nampak ramai, penuh dengan para anggauta Thian-te-pang. Ada dua ratus orang lebih anggauta Thian-te-pang kini, merupakan orang-orang muda yang rata-rata gagah perkasa dan bertubuh kuat. Pada pagi hari itu, Ma Ki Sun memang memanggil seluruh anggauta untuk berkumpul di situ. Di sebuah lapangan rumput yang amat luas di lereng bukit Kijang Putih, mereka sudah berkumpul. Di tengah lapangan rumput itu terdapat sebuah tiang bambu yang tinggi dan di ujungnya berkibar bendera Thian-te-pang yang bergambar tanda Im dan Yang, yaitu bulatan dimana terdapat bagian yang hitam dan putih saling melingkar. Itulah tanda perkumpulan ini, dan tanda inipun terdapat di baju semua orang anggauta, terlukis di dada baju mereka.
Setelah dua ratus lebih orang itu berkumpul, keadaan menjadi bising karena mereka semua saling bercakap, seperti dalam pasar saja. Dan memang mereka membicarakan panggilan berkumpul ini, karena mereka semua tahu belaka bahwa sang ketua memanggil untuk memecahkan masalah yang timbul di antara mereka. Ada sebagian yang dengan penuh semangat ingin melanjutkan perjuangan, akan tetapi sebagian pula yang terbanyak, merasa malas dan tidak bersemangat tetapi setelah kini perjuangan pada umumnya mengendur. Banyak sudah korban jatuh di antara para pejuang, namun sampai sekian lamanya, tetap saja pemerintah Mancu bertahan, bahkan kini orang-orang kulit putih makin memperlebar sayap mereka dan bekerja sama dengan pemerintah.
Karena perbedaan paham, tentu saja terjadi pertentangan di antara mereka sendiri, dan kini Ma Ki Sun, yang menjadi pang-cu (ketua) mereka, memanggil semua anggauta untuk berkumpul pada pagi hari itu. Baru setelah ketua Thian-te-pang muncul, kegaduhan itu berhenti dan suasananya menjadi sunyi karena semua orang memperhatikan sang ketua yang memasuki lapangan rumput itu. Ma Ki Sun kini sudah berusia enam puluh enam tahun, tubuhnya kini menjadi agak gemuk, tidak sekurus dahulu. Mata kirinya yang buta membuat dia kelihatan lebih berwibawa, dengan pakaiannya yang juga memakai tanda gambar lambang perkumpulannya. Wajahnya nampak sekali membayangkan wataknya yang angkuh dan keras, dan memang Ma Ki Sun ini seorang yang keras hati, dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Bermata Satu).
"Para anggauta dan murid sekalian, dengarkan apa yang akan kukatakan kepada kalian!" Terdengar suara lantang sang ketua setelah dia meloncat naik ke atas panggung yang memang dipasang di bawah tiang bendera. Karena dia berada di atas panggung yang cukup tinggi, semua orang anggauta dapat melihat ketua mereka dengan jelas.
"Kalian semua tahu sudah..." sambung ketua itu yang dapat dikatakan bicara di depan para muridnya atau anak buahnya.
"Perjuangan telah mengendur dan kedudukan kita sebagai pejuang semakin lama semakin lemah, sehingga kalau kita maju, sama saja dengan membunuh diri. Perjuangan adalah gerakan rakyat seluruhnya.
"Kalau yang lain mengendur dan mundur, tentu saja tidak mungkin bagi kita untuk maju sendiri dan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Balatentara Ceng terlampau kuat, apalagi kini mereka diperkuat dengan senjata api, dan mereka bersahabat dengan orang-orang kulit putih.
"Kita lawan mereka!!" tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari para anggauta yang bersemangat. Banyak di antara mereka yang telah kehilangan keluarga atau kehilangan sahabat karib yang gugur dalam peluangan, maka bagi mereka kini lebih condong kepada persoalan pribadi yang mendendam dan pada persoalan perjuangan.
"Ya... bunuh semua orang kulit putih!" teriak seseorang yang diikuti oleh banyak orang yaitu mereka yang merasa dendam kepada orang kulit putih karena keluarga mereka menjadi korban senjata api pasukan kulit putih. Keadaan menjadi lebih gaduh dan pada tadi, karena ada pula orang-orang yang berteriak mendukung sang ketua. Kegaduhan itu tentu akan makin menjadi dan bukan tidak mungkin mereka akan berkelahi satu sama lain kalau saja sang ketua tidak cepat mengangkat kedua tangan ke atas sambil mengerahkan khi-kang dan membentak nyaring.
"Semua diam...! Kuminta semua tenang...!" Bagaikan dikomando saja, semua orang berdiam diri dan kegaduhan lenyap seketika, membuat suasana menjadi lengang dan aneh rasanya. Setelah melihat keadaan menjadi tenang, Ma Ki Sun mengeluarkan suaranya lagi, kini terdengar ketus dan marah.
"Kalian bersikap seolah-olah segerombolan serigala liar yang tidak ada pemimpinnya lagi! Lihatlah aku! Bukankah aku ketua kalian, guru kalian? Akulah yang berhak mengambil keputusan dan menentukan langkah perkumpulan kita. Nah, sekarang dengarkan dan taati saja dan jangan membuat ribut!" Setelah melihat semua orang tidak ada yang berani mengeluarkan suara, Ma Ki Sun melanjutkan kata-katanya.
"Seperti kukatakan tadi, para pejuang kini mengendur semangat mereka. Bukan kita yang mengendur, namun mereka. Dan kita harus bersikap cerdik, tidak bunuh diri mati konyol! Bukan berarti kita berhenti dan menentang perjuangan, melainkan berhenti dulu dan tidak melakukan hal-hal yang akan mencelakakan diri sendiri.
"Kita mulai sekarang tidak boleh memusuhi pemerintah atau orang kulit putih, kita melihat keadaan saja. Kalau kelak perjuangan menjadi lagi, barulah kita akan bergerak kembali!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring melengking.
"Ma Ki Sun telah menjadi seorang pengecut! Tidak pantas dia menjadi ketua Thian-te-pang yang gagah perkasa..."
Semua orang terkejut, apalagi setelah melihat berkelebatnya dua bayangan orang, dan ketika semua orang memandang ke arah melesatnya dua bayangan itu, tahu-tahu di atas panggung telah berdiri dua orang muda, seorang laki-laki dan seorang perempuan, berhadapan dengan Ma Ki Sun! Semua orang terkejut, apalagi ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Ong Siu Coan yang telah mereka kenal dengan baik! Dan gadis itu amat cantik manis dan gagah sekali sikapnya. Sebelum Ma Ki Sun yang terkejut bukan main melihat munculnya Ong Siu Coan itu sempat menegurnya, Siu Coan sudah memandang ke arah bendera yang berkibar di puncak tiang dan berkata, suaranya tetap nyaring seperti tadi sehingga terdengar oleh semua anggauta yang berdiri mengurung di bawah panggung.
"Aiihh, sungguh sayang sekali bendera Thian-te-pang yang demikian agung itu hari ini harus tercemar oleh sikap ketuanya yang pengecut. Sebaliknya, bendera itu ku selamatkan saja dari tangan seorang pengecut. Ki-moi, tolong Kau ambikan bendera itu!"
"Baik, Toako!" kata Kiki. Dan gadis itu dengan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah mencelat ke atas, membuat salto dan setiap kali berjungkir balik, tubuhnya melayang semakin tinggi, tangannya menyentuh tiang dan membuat salto lagi sampai akhirnya ia tiba di puncak tiang.
Tangannya kini meraih gagang bendera dan sekali cabut, bendera itu telah berada di tangannya. Lalu dengan gerakan indah, dengan salto tiga kali, tubuhnya meluncur turun membawa bendera yang berkibar, dan dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas papan panggung pula. Menyaksikan pertunjukan demonstrasi gin-kang yang demikian hebatnya, banyak anggauta Thian-te-pang tak dapat menahan kekaguman mereka dan mereka bertepuk tangan memuji, bahkan ketua Ma Ki Sun sendiri memandang bengong. Harus diakuinya bahwa gadis itu memiliki gin-kang yang amat luar biasa, dan belum pernah dia melihat orang mampu melakukan hal seperti itu. Akan tetapi melihat kemunculan bekas saingannya itu, mendengar kata-kata Siu Coan, kemudian melihat bendera pusaka perkumpulannya dirampas orang, tentu saja Ma-pangcu menjadi marah bukan main.
"Ong Siu Coan! Apa maksudmu dengan kedatanganmu kali ini, dan dengan kata-katamu yang lancang bahkan berani merampas bendera kami. Engkau sudah menghina Thian-te-pang?" Siu Coan tertawa, sengaja tertawa keras agar terdengar oleh semua anggauta.
"Ha-ha-ha! Ma Ki Sun! Aku tadi hanya kebetulan saja lewat bersama tunanganku, dan aku tidak akan mencampuri seandainya tidak mendengar kata-katamu tadi. Engkau sendiri menyelewengkan para anggauta Thiau-tepang yang gagah perkasa dan patriotik!
"Engkau hendak menyeret mereka dan pejuang-pejuang gagah perkasa menjadi pengecut-pengecut dan pengkhianat-pengkhianat yang hina. Tentu saja aku tidak rela! Kalau engkau tidak lagi mampu memimpin saudara-saudara yang gagah ini, biarlah aku yang memimpinnya mulai detik ini!"
"Ong Siu Coan! Engkau lah yang pengkhianat besar! Siapa tidak tahu bahwa engkau pernah menjadi kaki tangan orang kulit putih?" bentak Ma Ki Sun, khawatir sekali karena sikap pemuda ini dapat menarik simpati para muridnya, seperti dahulu.
"Ha-ha-ha... kata-katamu itu menunjukkan bahwa engkau memang tolol! Pengetahuanmu dangkal sekali dan orang macam engkau ini akan memimpin Thian-te-pang? Phuhh! Akan dibawa kemana perkumpulan besar ini?
"Aku memang menyelundup ke dalam kalangan orang kulit putih, bukan untuk berkhianat seperti engkau , melainkan untuk mempelajari keadaan mereka! Nah, buktinya sekarang aku berada di luar dan menentang mereka, bukan?"
"Ong Siu Coan, jangan engkau mencampuri urusan Thian-te-pang. Engkau bukan orang kami, pergilah sebelum aku menyuruh semua anak buahku untuk menangkap atau membunuh kalian berdua, dan kembalikan bendera kami!" Kembali Siu Coan tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah engkau tidak melihat bahwa sebagian besar dari para saudara Thian-te-pang setuju dengan aku dan mereka berpihak kepadaku? Andaikata ada sebagian yang berjiwa pengecut sepertimu dan memihak padamu, apa yang akan dapat mereka lakukan? Lihat, tempat ini sudah terkepung!" Siu Coan mengeluarkan suara melengking dan nampaklah puluhan orang yang memakai pakaian seragam indah biru putih, dan mereka itu semua menodongkan anak panah dan gendewa yang sudah dipentang, bahkan di antara mereka ada pula yang menodongkan senapan atau pistol! Sikap puluhan orang itu gagah sekali, pakaian mereka yang seragampun indah! Mereka adalah anak buah Siu Coan yang memang telah dipersiapkan lebih dahulu. Tentu saja Ma Ki Sun terkejut sekali, dan para anggauta Thian-te-pang juga terkejut dan gentar.
"Ha-ha-ha, Ma Ki Sun. Sebelum orang-orang yang berpihak denganmu bergerak, dada mereka akan ditembusi anak panah atau peluru panas! Saudara-saudara anggauta Thian-te-pang semua yang tercinta. Lihatlah baik-baik... bukankah saudara-saudaramu yang kini menjadi pembantuku memiliki perlengkapan yang lebih baik? Kalian akan menjadi seperti mereka kalau mau memilih aku menjadi ketua!"
"Hidup pendekar Ong Siu Coan!"
"Hidup Ong-pangcu...!" Teriakan-teriakan ini yang menyebut Siu Coan sebagai ketua Ong membuat Ma Ki Sun marah bukan main.
"Bangsat Ong Siu Coan! Engkau baru bisa menjadi ketua setelah aku roboh tak bernyawa!"
"Ah, begitukah? Kalau begitu, mari kuantar engkau ke neraka!" kata Ong Siu Coan sambil tersenyum mengejek. Pada saat itu, nampak seorang laki-laki melompat naik ke atas panggung.
"Suhu, biar teecu yang menghadapi penjahat ini!" bentaknya, dan orang itu bukan lain adalah Lui Siok Ek, murid kepala Thian-te-pang, murid yang paling pandai dari Ma Ki Sun. Lui Siok Ek usianya sudah hampir enam puluh tahun, tubuhnya agak pendek namun matanya mencorong penuh semangat. Siu Coan memandang rendah.
"Ha-ha, kalian berdua majulah, biar kubereskan sekaligus!" Akan tetapi, Ma Ki Sun yang biarpun maklum bahwa ilmu silat Siu Coan amat lihai, tidak mau merendahkan diri.
"Kami bukan golongan pengecut yang suka melakukan pengeroyokan!" Dia berkata dengan suara lantang agar didengar oleh para muridnya.
"Toako, biar aku yang menghajar tikus ini!" kata Kiki sambil menyerahkan bendera yang tadi diambilnya dari puncak tiang.
Sambil tertawa, Siu Coan menerima bendera itu, lalu berdiri di pinggir panggung melihat Kiki yang menghadapi lawannya. Seperti juga Suhunya, Lui Siok Ek sudah mengenal Siu Coan dan sudah tahu akan kelihaian Siu Coan. Bahkan mendiang Coa Bhok yang lihai, wakil ketua Thian-te-pang, sute dari Ma Ki Sun, roboh oleh Siu Coan. Akan tetapi Lui Siok Ek yang setia kepada gurunya, tidak perduli akan bahaya dan dia sudah maju mewakili Suhunya. Kini, melihat bahwa yang menghadapinya bukan Siu Coan, melainkan gadis cantik itu, hatinya merasa agak lega. Biarpun gadis itu tadi memperlihatkan ilmu gin-kang yang luar biasa, dia tidak merasa gentar seperti kalau harus melawan Siu Coan, dan dia sudah sudah mencabut pedangnya.
"Singgg...!" Nampak sinar berkilau ketika pedang itu dicabutnya dan diputar-putarnya di atas kepala membentuk gulungan sinar pedang. Kiki menghadapi Lui Siok Ek sambil tersenyum mengejek. Ia tidak mengeluarkan pedangnya, melainkan menghadapi lawan itu dengan tangan kosong, karena begitu melihat gerakan pedang lawan, walaupun ia tahu bahwa lawannya cukup tangguh, namun ia merasa kuat untuk menandinginya.
"Majulah!" katanya sambil tersenyum.
"Apa perlunya Kau memutar-mutar pedang itu? Di sini tidak ada anak kecil untuk ditakut-takuti!" Diejek seperti itu, tentu saja Lui Siok Ek menjadi marah. Dia adalah jagoan nomor satu di antara semua murid dan anggauta Thian-te-pang, dan kini gadis yang masih ingusan ini mengatakan bahwa pedangnya hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil. Akan tetapi dia adalah seorang gagah, tentu saja merasa malu kalau harus menyerang seorang gadis muda sekali itu dengan pedang sedangkan lawannya bertangan kosong.
"Bocah sombong, jangan banyak tingkah. Keluarkan senjatamu dan tandingi aku!" Kiki memperlebar senyumnya. Tahi lalat di pipinya membuat senyumnya nampak manis sekali, akan tetapi ucapannya menyengat perasaan lawan.
"Aku tidak biasa mempergunakan senjata terhadap lawan yang tidak ternama. Majulah dan pergunakan pedangmu, kedua tanganku sudah cukup untuk menghadapi pisau dapurmu itu." Muka Lui Siok Ek menjadi semakin merah, matanya melotot. Tidak saja dia diejek sebagai lawan yang tidak ternama, akan tetapi sekarang pedangnya malah dikatakan pisau dapur! Padahal, dengan pedangnya ini, entah sudah berapa puluh lawan roboh olehnya.
"Perempuan lancang mulut! Aku adalah Lui Siok Ek, murid nomor satu di Thian-te-pang, dan kalau engkau tidak pandai menggunakan senjata, biarlah kuIawan engkau dengan tangan kosong pula!" Dia lalu menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya dan memasang kuda-kuda dengan sikap gagah di depan Kiki. Mula-mula kedua kakinya terpentang lebar, tangan kiri membentuk cakar ke atas kepala, tangan kanan ditekuk di depan pusar, kemudian perlahan-lahan namun dengan sikap tegap dan dua kakinya membuat gerakan melingkar dan kedua lengannya juga membuat silang-silang di depan dada, kemudian kembali kepada posisi semula, akan tetapi kini lebih dekat di depan Kiki. Gadis ini melihat semua itu sambil tersenyum geli.
"Hanya murid?" Kiki tertawa sambil menutup mulutnya dengan lagak mengejek sekali.
"Sayang, muridku tidak kubawa, kalau ada dia, tentu akan kusuruh dia melawanmu."
"Cerewet! Bersiaplah dan mari kita bertanding, bukan hanya berkicau!" bentak Lui Siok Ek marah.
"Kau kira sejak tadi aku mengapa? Aku sudah siap sebelum engkau menjual lagak. Nah, seranglah!" kata Kiki, akan tetapi tubuhnya tidak membuat gerakan apa-apa, tidak memasang kuda-kuda seperti umumnya orang hendak berkelahi atau bersilat. Kiki berdiri begitu saja seenaknya, bahkan tangan kirinya bertolak pinggang dan sikapnya acuh,
Seolah-olah ia tidak sedang menghadapi seorang lawan yang siap menyerangnya, melainkan sedang bercakap-cakap dengan seorang sahabat yang akrab. Di antara para anggauta Thian-te-pang yang tentu saja merasa kagum kepada nona yang cantik manis dan menarik perhatian dengan demonstrasinya mengambil bendera tadi, diam-diam merasa khawatir sekali. Mereka ini mengenal Lui Siok Ek, murid kepala yang mewakili ketua Thian-te-pang mengajarkan ilmu silat kepada mereka, mengenal betapa lihainya orang pendek itu, dan betapa kadang-kadang kalau marah Lui Siok Ek amat galak dan dapat bertindak keras dan kejam, mereka tahu bahwa saat itu Lui Siok Ek amat marah! Dugaan mereka memang benar. Mendengar ejekan dan melihat sikap yang memandang rendah kepadanya, dia tidak mampu lagi menahan kesabarannya.
"Perempuan sombong, lihat seranganku!" Berkata demikian, Lui Siok Ek menggerakkan tubuhnya,
Tangan kiri menyambar dari atas, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala gadis itu seperti cakar garuda, sedangkan tangan kanannya membarengi serangan pertama mengirim totokan ke arah lambung Kiki! Serangan itu hebat sekali, sekaligus kedua tangan menyerang dan keduanya sama bahayanya, dapat mendatangkan maut. Melihat serangan yang hebat ini, banyak orang merasa ngeri. Namun, Kiki masih tetap tersenyum dan masih berdiri seenaknya, seolah-olah tidak mengenal datangnya bahaya maut. Akan tetapi, setelah kedua tangan lawan tiba dekat, tangan kirinya yang tadi bertolak pinggang, tiba-tiba mencuat ke atas dan jari tangannya yang kecil mungil menyambut datangnya cengkeraman itu dengan totokan ke arah pergelangan tangan, sedangkan tangan kanannya dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah meluncur ke depan.
Kedua jari telunjuk dan tengah sudah menusuk ke arah mata lawan, sedangkan totokan tangan lawan dielakkannya dengan menggoyang pinggulnya sehingga lambung yang ditotok berpindah tempat! Gerakannya cepat bukan main sehingga Lui Siok Ek mengeluarkan seruan kaget sekali. Bukan hanya lengan kirinya terancam totokan, akan tetapi juga sepasang matanya bisa menjadi buta kalau terkena tusukan dua jari tangan itu! Terpaksa dia lalu menarik kembali tangan kirinya dan melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari bahaya, akan tetapi dia harus berjungkir balik sampai dua kali untuk menghindarkan serangan susulan lawan. Ketika dia sudah berdiri lagi dalam jarak yang agak jauh, ternyata gadis itu sama sekali tidak mengejarnya, dan masih berdiri seperti tadi, seenaknya dengan tangan kiri bertolak pinggang dan mulut tersenyum.
"Heii...! Engkau ini hendak bertanding ataukah mau main sirkus!" Kiki mengejek.
"Baru segebrakan saja sudah mau melarikan diri!" Lui Siok Ek tidak menjawab, melainkan mengeluarkan suara menggereng marah dan tubuhnya sudah menerjang ke depan,
Langsung mengirim pukulan-pukulan keras bertubi-tubi, seolah-olah lupa bahwa yang diserangnya secara hebat itu hanyalah seorang gadis muda. Akan tetapi Kiki memperlihatkan kelihaiannya. Gin-kangnya sudah menjadi hebat bukan main semenjak ia mewarisi Ilmu Hui-thian Yan-cu dari kitab peninggalan Tat Mo Couwsu, dan kini dengan enak saja ia berlompatan ke sana sini, menggeser kaki dan tidak pernah menangkis, melainkan hanya mengelak namun tidak ada sebuahpun pukulan yang dapat mengenai sasaran, bahkan menyentuh ujung pakaiannyapun tidak. Papan panggung itu sampai mengeluarkan bunyi berkeretakan ketika Lui Siok Ek terus mendesak dengan serangan-serangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Makin lama, semakin hebat pula serangannya karena ia semakin penasaran melihat betapa semua serangannya mengenai tempat kosong belaka. Mereka berputar-putar di panggung itu, Kiki masih tersenyum-senyum sambil melangkah mundur, meloncat ke samping, kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya hingga lawan menjadi bingung, dan ketika lawan membalikkan tubuh, ternyata ia sudah berada di depannya. Semua mengikuti pertandingan ini dengan hati tegang dan kagum, kadang-kadang ada saja murid Thian-te-pang yang tidak dapat menahan ketawanya melihat betapa Lui Siok Ek kebingungan karena kehilangan lawan yang tiba-tiba saja lenyap dari depannya dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya! Setelah puas mempermainkan lawan, tiba-tiba terdengar suara gadis itu membentak nyaring.
"Berlututlah Kau !" Semua orang terbelalak karena melihat benar-benar Lui Siok Ek menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu! Sihirkah ini? Akan tetapi bagi Lui Siok Ek, sama sekali bukan sihir, karena ujung sepatu Kiki mencium lututnya dan tentu saja kakinya menjadi lemas seketika dan tertekuk lututnya di depan gadis itu.
Lututnya tidak terluka, hanya lumpuh untuk beberapa detik saja. Hal ini membuat Siok Ek semakin marah. Dicabutnya pedang dari sarung, dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan serangan maut dengan pedangnya, kini tidak perduli lagi bahwa gadis itu sama sekali tidak memegang senjata. Semua menahan napas, ngeri membayangkan betapa tubuh gadis itu akan koyak-koyak dan darah akan muncrat dari tubuh yang menggairahkan itu. Akan tetapi, biarpun kini Lui Siok Ek mempergunakan pedang untuk menyerang bertubi-tubi dengan cepat, ujung pedangnya tak pernah mampu menyentuh kulit badan Kiki. Gadis ini mampu bergerak lebih cepat lagi, mengelak ke sana sini bagaikan sehelai bulu yang bergerak menghindar seperti tertiup oleh angin gerakan pedang, sehingga tubuh itu sudah mengelak sebelum tusukan atau bacokan tiba!
Dan karena pedang itu gerakannya cepat, sedangkan gerakan Kiki lebih cepat lagi, maka tubuh gadis itu lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar pedang. Sungguh merupakan pemandangan yang mentakjubkan dan terdengar seruan-seruan kaget dan kagum. Sekarang Kiki tidak mau membuang waktu dengan main-main lagi. Juga harus diakuinya bahwa permainan pedang lawan cukup berbahaya, maka iapun mengeluarkan kepandaiannya. Ketika terdengar ia mengeluarkan bentakan nyaring, tahu-tahu jari tangannya telah berhasil menotok pundak kanan lawan. Seketika Iumpuh lengan kanan Siok Ek dan pedang yang dipegangnya sudah berpindah tangan. Sebelum dia dapat mengelak, kaki Kiki sudah menendangnya dengan keras.
"Dukkk...!" Tubuh Siok Ek terlempar sampai hampir terpelanting ke bawah panggung. Dia tidak terluka, dan kemarahan membuat mukanya berubah pucat. Dia telah dikalahkan oleh seorang gadis muda di depan gurunya dan semua anggauta Thian-te-pang. Rasa malu membuat kemarahannya memuncak dan menggelapkan pikirannya. Sambil berteriak seperti gila, dia bangkit dan lari menerjang Kiki dengan gerakan buas, tidak terkendali kesadarannya lagi, melainkan penuh dengan dorongan kemarahan yang membuatnya mata gelap.
"Aughhhhhh!" Dia menerjang dan teriakan yang keluar dari mulutnya seperti gerengan seekor binatang buas. Melihat ini, Kiki meloncat dengan elakan manis.
"Lui Siok Ek, engkau sudah kalah, kenapa nekat?" bentak Kiki. Kiki sekarang tidak main-main dan suaranya penuh wibawa ketika ia membentak dari sudut lain panggung itu. Akan tetapi, ketika tubrukannya luput, Siok Ek menjadi semakin beringas. Teriakan Kiki tidak dijawabnya, dan ia lari untuk menyerang lagi. Melihat ini, Kiki menggerakkan tangannya dan pedang rampasannya itu meluncur dengan cepat sekali menyambut tubuh Siok Ek yang sedang lari menerjang dengan buasnya.
"Capp! Arrgghhhh...!" Pedang itu menancap dan menembus dari dada ke punggung. Mata Siok Ek terbelalak dan tubuhnya terhuyung-huyung lalu terjungkal keluar dan panggung, tewas di bawah panggung. Mayatnya segera dibawa keluar oleh para anggauta Thian-te-pang.
"Keparat Ong Sui Coan!"
Kini Ma Ki Sun menjadi marah sekali. Marah dan berduka, karena murid yang paling diandalkan itu tewas. Begitu membentak, dia menyerang Siu Coan, tangan kiri berusaha merampas bendera, tangan kanan mencengkeram ke arah leher. Siu Coan cepat mengelak. Berkali-kali dia harus mengelak karena lawannya menyerang secara bertubi-tubi. Dia lalu meloncat ke dekat Kiki dan menyerahkan bendera itu kepada gadis yang kini memegang bendera dan berdiri di sudut. Setelah menyerahkan bendera itu kepada Kiki, Siu Coan menghadapi lawannya, dan begitu dia diserang dengan pukulan tangan kanan ke arah perutnya, dia menangkis dan balas menyerang, dan kini serang menyerang terjadi dengan amat serunya.
Perkelahian sekali ini berbeda dengan tadi. Tingkat kepandaian Lui Siok Coan jauh sekali berada di bawah tingkat kepandaian Kiki, sehingga perkelahian tadi terjadi berat sebelah dan Kiki dapat memperoleh kemenangan dengan mudah sekali. Akan tetapi, Ma Ki Sun tidak boleh disamakan dengan murid kepala tadi. Tingkat kepandaiannya lebih dari dua kali lipat tingkat Siok Ek. Kakek ini pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan It-gan Lam-eng. Hampir dua tahun yang lalu, Ma Ki Sun pernah dikalahkan oleh Siu Coan ketika pemuda ini berhasil membunuh Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pang. Dan semenjak kekalahannya itu, Ma Ki Sun menjadi pendiam dan dia memperdalam ilmu silatnya.
Kini, dia telah memperoleh banyak kemajuan, dan walaupun dia belum dapat mengimbangi kehebatan Siu Coan, setidaknya dia sudah merupakan lawan yang cukup tangguh bagi pemuda itu. Tadinya Siu Coan tidak termaksud merampas Thian-te-pang dengan kekerasan, tidak harus membunuh para pemimpinnya, cukup dengan menaklukkannya saja. Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan Kiki yang telah membunuh Siok Ek, karena orang itu terlalu mendesak. Sekarang setelah Siok Ek terbunuh, mau tidak mau dia harus membunuh pula Ma Ki Sun. Hal ini untuk melenyapkan orang yang menaruh dendam. Dia tahu bahwa Thian-te-pang yang berkuasa hanyalah dua orang itu, dan kalau mereka terbunuh, tentu yang lain akan menakluk. Apalagi dia tadi melihat bahwa banyak di antara para anggauta yang berpihak kepadanya.
Maka ketika Ma Ki Sun menyerangnya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, diapun menyambut dengan serangan yang tak kalah lihainya. dua orang itu berkelahi dengan sungguh-sungguh, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, Ma Ki Sun mulai terdesak hebat oleh Siu Coan. Bagaimanapun juga, Ma Ki Sun sudah berusia enam puluh tahun lebih sedangkan Siu Coan adalah seorang pemuda yang sedang kuat-kuatnya. Ketua Thian-te-pang itu kalah dalam segala-galanya, kalah lihai ilmu silatnya, kalah kuat tenaganya dan juga kalah panjang napasnya. Setelah lewat lima puluh jurus, ketua itu terdesak dan hanya mampu menangkis dan mengelak saja. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siu Coan yang terus mendesaknya, dan pada suatu kesempatan yang baik, Siu Coan berhasil memasukkan tangannya yang terbuka dan miring menghantam dada lawan.
"Bukkk!" Tubuh itu terjengkang. Ma Ki Sun tewas seketika karena pukulan tangan yang ampuh tadi telah merusak isi dada termasuk jantungnya. Pukulan itu menggetarkan isi dada, juga mengandung hawa panas yang sukar ditahan. Para anggauta yang berpihak kepada Ma Ki Sun kelihatan marah dan beringas, akan tetapi Siu Coan cepat mengangkat bendera yang diambilnya dari tangan Kiki tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil berseru keras.
"Semua anggauta Thian-te-pang, pandanglah bendera kita ini!" Siu Coan mengibar-ngibarkan bendera itu.
"Ma-pangcu telah tewas dalam perkelahian yang adil, dan kini akulah yang akan memimpin kalian, membawa Thian-te-pang kembali ke jalan gagah perkasa seperti yang kita semua kehendaki. Aku akan membentuk pasukan besar dan kalian akan memperoleh kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian. Thian-te-pang akan menjadi perkumpulan terbesar dunia, dan kita akan menumbangkan kekuasaan penjajah dan mengusir orang-orang kulit putih dari tanah air." Mereka yang berpihak kepada Siu Coan, bersorak-sorak, sedangkan mereka yang masih ragu-ragu, saling pandang. Mereka ini maklum bahwa kalau mereka memberontak, akhirnya mereka semuanya akan terbasmi. Anak buah Siu Coan telah mengepung mereka dengan anak panah dan senjata api!
"Saudara-saudara yang merasa tidak cocok dan tidak mau bekerja sama dengan kami, tidak dipaksa dan dipersilahkan meninggalkan Thian-te-pang. Kami tidak akan mengganggu asalkan kalian juga tidak
mengganggu Thian-te-pang. Akan tetapi ingat, kalian akan ketinggalan kalau tidak mau bekerja sama dengan kami, karena Thian-te-pang kelak akan menjadi perkumpulan para pejuang terbesar di tanah air." Akhirnya, hanya belasan orang saja yang meninggalkan Thian-te-pang, dan para anggauta yang lain menerima Siu Coan sebagai ketua mereka yang baru!
Dengan cerdiknya, Siu Coan lalu membagi-bagikan harta peninggalan Ma Ki Sun yang tidak berkeluarga itu kepada para anggauta Thian-te-pang. Dia sendiri tidak membutuhkan harta yang baginya tidak berapa artinya itu, dibandingkan dengan harta karun yang diperolehnya di tempat rahasia, harta karun yang menjadi rahasia Giok-liong-kiam. Demikianlah, bersama Kiki yang selalu mendampinginya, Siu Coan mulai menyusun kekuatan. Banyak perkumpulan yang didatangi dan ditaklukkan, baik secara halus maupun kasar, untuk bergabung dengannya dan memperkuat pasukan yang sedang disusunnya. Untuk ini, tentu saja dia mengeluarkan banyak biaya, akan tetapi hal itu dapat dicukupkan dengan adanya harta karun Giok-liong-kiam.
Kita tinggalkan dulu Ong Siu Coan yang berambisi besar dan kini sedang memperlebar sayapnya, dan mari kita ikuti perjalanan Lian Hong. Lian Hong yang patah hati, Lian Hong yang merana karena cintanya gagal! Kenapa begitu banyak manusia di dunia ini yang merasa patah hati, yang berduka karena cinta? Mengapa cinta kasih kita ini hanya mendatangkan kebahagiaan sebentar, lalu berubah menjadi kekecewaan dan kedukaan? Mengapa? Pertanyaan ini amat penting untuk diselidiki, dan yang dapat melakukan penyelidikan secara tepat hanyalah mereka yang terlanda derita patah hati atau karena cinta gagal ini. Kenapa cinta harus gagal? Kata "Gagal" ini saja sudah menunjukkan habisnya suatu "Keinginan", dan karena keinginan itu tidak tercapai maka dinamakan gagal.
Akan tetapi, haruskah cinta berdampingan dengan suatu keinginan? Biasanya, kalau orang jatuh cinta, maka dia ingin agar orang yang dicintanya itu membalas cintanya, kemudian menjadi miliknya! Kalau sudah begini, tentu saja timbul kemungkinan lain, yaitu kegagalan! Dan segala macam bentuk pengejaran untuk memenuhi apa yang diinginkan, selalu membuahkan kebosanan dan kekecewaan kalau gagal. Siapakah yang memiliki keinginan itu? Aku! Bagaimana terciptanya aku? Karena kesenangan, pengalaman yang menyenangkan bersarang di dalam ingatan, akan muncullah keinginan untuk mengulang kesenangan itu kembali. Aku adalah keinginan untuk senang, aku adalah takut untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.
Aku dan keinginan tidak pernah terpisah, karena kalau tidak ada keinginan, tidak ada rasa takut, akupun tidak pernah ada. Kita sendiri yang membuat cinta kasih menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi suatu alat untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa banyak terjadi kedukaan dalam cinta. Padahal, cinta yang mendatangkan duka itu bukan lagi cinta namanya, melainkan kesenangan. Kita kehilangan sumber kesenangan itu, maka kecewalah kita, dukalah kita. Kuburan itu sunyi sekali. Malam itu terang bulan. Dunia nampak indah bukan main bermandikan cahaya bulan purnama. Segala sesuatu nampak keemasan dan kehijauan. Tiada awan menghalang bulan. Keindahan yang penuh rahasia, keindahan yang membuat setiap orang kalau keluar rumah menjadi termenung.
Namun Lian Hong tidak melihat keindahan itu. Ia sedang tenggelam ke dalam kedukaan, tenggelam ke dalam lautan air mata. Ia sedang menangis di depan kuburan orang tuanya! Duka adalah hasil permainan pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu. Seperti rasa takut yang menjadi permainan pikiran mengingat dan membayangkan hal yang belum datang, duka juga merupakan permainan pikiran belaka. Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah kembali keadaan yang lalu, menimbulkan iba diri dan pikiran membayangkan betapa sengsaranya diri. Pikiran seperti mengubah diri menjadi tangan jari-jari kejam meremas hati, maka keluarlah tangis dan keluh kesah. Demikian pula dengan keadaan Lian Hong yang kini berlutut di depan makam ayah ibunya sambil menangis.
Gadis ini sejak kecil digembleng oleh orang sakti dan memiliki batin yang kuat, gagah dan biasanya pantang untuk menangis. Biarpun ia seorang wanita, namun berkat gemblengan San-tok yang sakti dan aneh, ia telah menjadi seorang gadis yang menganggap bahwa tangis hanya merupakan tanda kelemahan saja. Akan tetapi sekali ini, ia menangis sesenggukan di depan makam ayahnya. Pikirannya melayang-layang membayangkan keadaan dirinya yang penuh sengsara. Sejak kecil ditinggalkan mati ayah ibunya, dan sekarang ia kehilangan Ci Kong, satu-satunya orang di dunia ini yang dicintanya setengah mati! Ci Kong ternyata mencinta gadis lain! Ia merasa kehilangan, ia merasa kesepian! Beginilah cinta kita pada umumnya. Aku yang penting, bukan si dia! Aku kehilangan, aku kesepian, tentu saja aku kecewa, aku berduka.
Ini berarti bahwa aku hanya menyayang diriku sendiri! Sudah sejak siang tadi Lian Hong merenungi keadaan dirinya di depan kuburan ayah ibunya, kadang-kadang menangis, kadang-kadang hanya duduk diam seperti patung. Diraihnya kini buntalannya yang hanya berisi beberapa potong pakaian, dan ketika dibukanya, nampak sebatang pedang yang amat indah di dalamnya. Dikeluarkannya pedang itu. Giok-liong-kiam! Pedang Naga Kemala yang pernah menggegerkan seluruh tokoh persilatan yang hendak memperebutkannya. Sebuah pedang pusaka yang dijadikan rebutan karena menyembunyikan pusaka harta karun yang tak terhitung besarnya. Akan tetapi kini harta karun itu telah lenyap, peti yang ditemukan atas petunjuk yang ada pada pedang itu telah kosong, isinya telah diambil orang lain. Yang ada tinggal pedang itu.
Ia berhak memiliki pedang pusaka itu. Dan kini Lian Hong memegang pedang itu dengan kedua tangannya. Sebatang pedang indah yang sudah seringkali dikaguminya. Ia seringkali kalau memandangi dan mengagumi pedang itu, membayangkan betapa ia akan memberikan pedang itu kepada suaminya, kepada Ci Kong kalau sudah menjadi suaminya! Akan tetapi sekarang harapannya musnah, yang ada tinggal pedang itu yang berkilauan di depannya, seperti mentertawakannya, seperti mengejeknya. Tiba-tiba timbul suatu dorongan hasrat gila. Lian Hong memegang gagang pedang dengan tangan kanannya. Pedang ini terbuat dan batu kemala yang mahal dan indah, tak pernah dipakai untuk bertanding karena ia khawatir pedang itu akan rusak. Namun, kalau dipakai membunuh diri tentu bisa!
"Ihhh! Pengecut!" Lian Hong memaki diri sendiri, dan cepat-cepat ia memasukkan pedang pusaka itu kembali ke dalam sarung pedang dan memegangi benda itu dengan kedua tangannya. Bayangan yang sejak tadi mengintainya dari jauh dari balik sebatang pohon besar itu, tiba-tiba muncul dan terdengar suaranya menegur.
"Hong Hong... apakah engkau sudah menjadi gila?" Lian Hong terkejut dan cepat mengangkat muka. Dilihatnya seorang kakek kurus dengan baju tambal-tambalan, matanya sipit tersenyum-senyum lebar sambil mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas butut, telah berdiri di dekat makam ayah ibunya.
"Suhu!" Lian Hong berseru dan kembali kedukaannya datang menerpanya, sehingga ia menubruk kaki gurunya sambil menangis lagi.
"Eh, eh... apakah engkau benar sudah gila? Sejak tadi menangis, termenung, bahkan mau membunuh diri!" Kakek itu memandang kepada muridnya dengan terheran-heran. Dia mengenal muridnya sebagai seorang gadis yang keras hati, tabah dan pantang menangis, dan sekarang apa yang dilihatnya? Seorang gadis yang cengeng dan lemah sekali!
"Suhu... ah, Suhu... bunuh saja aku... aku tidak kuat rasanya menanggung derita batin ini!" Lian Hong menangis sambil merangkul kedua kaki gurunya.
"Bangkitlah, duduklah yang benar!" Tiba-tiba kakek itu membentak dan diapun duduk di atas rumput di depan makam, berhadapan dengan muridnya. Sinar bulan purnama menyinari wajah muridnya yang pucat kehijauan, dan semakin kagetlah hati kakek itu. Akan tetapi sekali ini dia tidak tersenyum melainkan mengerutkan alis dan suaranyapun terdengar bengis.
"Apa yang kulihat dan dengar ini? Benarkah engkau ini Lian Hong muridku? Ataukah hanya seorang gadis lemah yang cengeng?
"Hong Hong, aku gurumu, juga pengganti orang tuamu yang sudah di kubur di sini. Kalau ada sesuatu, rundingkanlah dengan aku, bukan ditangisi seperti perempuan cengeng di depan kuburan orang tuamu.
"Apa Kau kira orang tuamu yang sudah dikubur ini akan dapat menolongmu kalau engkau menghadapi kesulitan? Hayo ceritakan, apa yang membuat engkau menjadi seperti orang gila ini?" Mendengar suara gurunya, Lian Hong terkejut dan hal ini menolongnya.
Gurunya selalu bicara sambil tertawa dan seperti orang yang tidak pernah bersikap serius, akan tetapi sekali ini Suhunya demikian ketus dan bengis. Hal ini mengejutkannya dan seperti menyeretnya turun kembali ke dalam dunia kenyataan, bukan dunia yang penuh bayangan yang membuatnya iba diri dan berduka tadi. Teringatlah ia betapa ia menangis secara keterlaluan sejak sore tadi dan iapun melihat kenyataan betapa cengengnya ia, betapa biasanya ia akan memandang rendah sikap cengeng seperti itu. Iapun sadar dan mengambil keputusan untuk berterus terang kepada gurunya yang memang benar menjadi pengganti orang tuanya karena ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini. Maka iapun duduk berhadapan dengan Suhunya, menahan isak terakhir dan menghapus titik air terakhir di sudut matanya dengan lengan bajunya yang sudah basah.
"Suhu, aku telah jatuh cinta..."
"Ha-ha-ha-ha!" Meledaklah suara ketawa kakek itu. Mendengar suara dan pengakuan muridnya, mengertilah San-tok bahwa muridnya sudah sembuh dan hatinya merasa lega, juga dia merasa geli mendengar pengakuan itu sehingga suara ketawanya memotong keterangan muridnya.
"Jatuh cinta saja sampai membuat engkau menangis dan berduka. Bukankah sepatutnya engkau tertawa gembira?" Lalu dia menambahkan cepat.
"Siapakah pria yang beruntung memperoleh cintamu itu?"
"Dia Tan Ci Kong..."
"Ha-ha-ha!" Kembali meledak suara ketawa kakek itu.
"Cocok, cocok... memang akupun ingin sekali engkau berjodoh dengan murid Siauw-bin-hud itu. Dia memang seorang pemuda yang gagah dan patut menjadi suamimu. Akan tetapi... eh, kenapa tadi engkau menangis dan ingin mati, padahal engkau jatuh cinta kepada Ci Kong?"
"Dia... dia mencinta gadis lain, Suhu..." Sedih sekali rasa hati Lian Hong, akan tetapi sekarang ia telah sadar dan kuat sehingga tidak lagi menangisi walaupun mulutnya cemberut menandakan kekesalan hatinya. Kali ini San-tok yang meloncat ke atas, berdiri sambil melototkan matanya yang sipit dan membanting-banting kaki.
"Apa Kau bilang? Dia berani menolak cintamu? Keparat!"
"Dia tidak menolak, Suhu."
"Lebih gila lagi! Dia cinta padamu, akan tetapi berani mencinta lain perempuan?"
"Tidak, Suhu, tidak begitu..."
"Dia mencintamu, bukan?"
"Aku tidak tahu..."
"Ehhh? Engkau cinta padanya, dan engkau belum tahu apakah dia cinta padamu ataukah tidak? Sungguh aneh dan gila. Coba kuulangi... engkau mencinta Ci Kong akan tetapi engkau tidak tahu apakah dia cinta padamu atau tidak, kemudian engkau mengetahui bahwa dia mencinta gadis lain dan hatimu lalu menjadi sengsara dan engkau menangis di sini. Begitukah?" Lian Hong menganggukkan kepalanya. Setelah kini gurunya membicarakan urusan itu dengan suara datar saja tanpa perasaan, nampak olehnya betapa sikapnya memang mendekati gila. Mengapa urusan begitu saja membuat ia tadi menangis seperti anak kecil, bahkan ingin membunuh diri? Tiba-tiba kakek itu berkata dengan suara lantang.
"Kenapa engkau begini bodoh? Pergi dan bunuh perempuan yang dicintanya itu!" Lian Hong tidak kaget mendengar ini. Ia sendiri pernah mendatangi Ceng Hiang dan ingin membunuhnya! Memang tidak ada lain jalan, tentu demikianlah sikap gurunya. Ia menggeleng kepalanya.
"Wanita itu tidak bersalah, Suhu... dan iapun belum tentu mencinta Ci Kong, dan pula, aku tidak sanggup mengalahkannya." San-tok membelalakkan matanya mendengar bahwa wanita yang dicinta Ci Kong itu sedemikian lihainya sehingga Lian Hong tidak mampu mengalahkannya!
"Wah, kalau begini katakan dimana ia, aku yang akan membunuhnya!" Namun Lian Hong menggeleng kepala.
"Tidak guru, aku tidak ingin demikian. Apa artinya membunuhnya kalau Ci Kong tetap saja tidak cinta padaku?"
"Apakah Ci Kong sudah pasti tidak cinta padamu?"
"Aku tidak tahu, Suhu."
"Engkau tidak pernah bicara tentang cinta dengan dia?"
"Tidak pernah. Tadinya aku menyangka dia cinta padaku, melihat dari pandang matanya, bicaranya dan sikapnya. Akan tetapi kemudian, aku melihat sendiri betapa dia jatuh cinta kepada gadis lain."
🖐
"Wah, ini seperti main teka-teki saja. Tidak baik membiarkan diri dalam keraguan. Hayo bangkit berdiri dan ikut aku!"
"Ke... kemana, Suhu?" tanya Lian Hong tergagap, akan tetapi ia mengumpulkan pedang dan buntalan pakaiannya. Lian Hong lalu bangkit berdiri dan tanpa disadarinya, ada isak terlepas dari dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang membuat dadanya menjadi lega. Rasanya plong seperti ada ganjalan yang diambil dari dalam dadanya. Diam-diam kakek itu merasa iba kepada muridnya. Wajah yang cantik itu memang kelihatan agak kurus, mukanya pucat sehingga mata yang biasanya sudah lebar itu menjadi semakin lebar. Dia tahu bahwa muridnya memang menderita hebat selama beberapa hari ini, dan kalau tidak cepat ditolong, mungkin saja akan jatuh sakit.
"Kita mencari Siauw-bin-hud dan muridnya!"
"Tapi..." Lian Hong meragu dan terkejut, karena mengira bahwa gurunya akan membuat gara-gara. Kalau gurunya menyerang Siauw-bin-hud, mana mungkin gurunya akan menang? Pula, ia merasa malu kalau harus memaksa Ci Kong menerima dirinya. Tidak, ia tidak akan mengemis cinta!
"Tidak ada tapi! Tidak baik membiarkan diri tenggelam dalam keraguan. Sebaiknya kalau kita berterus terang saja. Aku akan meminang Ci Kong untukmu. Tinggal diterima atau tidak, akan tetapi ada ketentuan, tidak seperti keadaan hatimu sekarang ini, penuh keraguan tidak menentu. Hayo!"
Kakek itu membalikkan tubuh dan melangkah lebar. Lian Hong masih ragu-ragu, akan tetapi kedua kakinya melangkah dan iapun mengikuti gurunya. Biarlah, pikirnya. Ia akan menurut saja kepada gurunya. Mungkin ini lebih baik dari pada merana seorang diri. Memang sebaiknya ada ketentuan. Dan hatinyapun mulai terhibur. Dengan melakukan perjalanan cepat, San-tok dan Lian Hong tiba di kaki pegunungan dimana terdapat kuil Siauw-lim-si di puncaknya itu, dan berhenti mengaso karena telah beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan yang cukup jauh. Melihat Suhunya yang biasanya ramah dan suka tertawa itu, tiba-tiba kehihatan termenung, Lian Hong menjadi heran.
"Suhu, ada apakah? Suhu kelihatan seperti orang melamun." Heran sekali. Kakek itu menarik napas panjang, hal yang jarang sekali dia lakukan. Alisnya berkerut dan dia menjawab, suaranya berat.
"Aku memang sedang melamun dan hatiku sedih karena aku teringat kepada Diana yang pernah ikut bersamaku naik ke bukit ini, Hong Hong." Karena ia sendiri terlalu terbenam ke dalam masalahnya sendiri, baru sekarang Lian Hong teringat kepada Diana.
"Ah, dimana ia sekarang, Suhu? Apakah Suhu meninggalkannya seorang diri saja di puncak Naga Putih?" Kakek itu menggeleng kepala.
"Tidak, Hong Hong. Diana telah mengajak aku turun gunung, dan gadis itu memang tidak mengecewakan sekali menjadi muridku. Ia telah bertekad untuk membujuk para pimpinan pasukan orang kulit putih untuk tidak memusuhi para pejuang!"
"Ahhh..." Lian Hong terkejut sekali.
"Dan ia hampir saja menjadi korban dalam usahanya itu. Ia terjebak dan hampir celaka, tidak berdaya karena ditodong. Untunglah, dalam keadaan terjepit itu muncul seorang bintang penolong yang tak disangka-sangka."
"Suhu, apakah yang telah terjadi dengan Diana? Dimana ia sekarang?" Lian Hong bertanya penuh kekhawatiran.
San-tok lalu menceritakan pengalamannya bersama Diana. Betapa dia mengantar Diana sampai ke Kanton, dan gadis yang gagah perkasa itu berusaha untuk menjelaskan kepada para pimpinan pasukan kulit putih bahwa para pejuang bukanlah bandit-bandit seperti yang mereka sangka, melainkan orang-orang gagah yang memperjuangkan hak mereka membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Betapa kemudian Diana terjebak oleh seorang komandan kulit putih dan hampir saja celaka kalau tidak muncul seorang perajurit yang ternyata adalah kekasih Diana yang pernah berpisah karena dipisahkan orang tua. Betapa kemudian, kekasih Diana itu menembak mati si komandan yang kurang ajar, dan betapa dua orang muda itu terancam bahaya karena telah membunuh komandan.
"Di situ aku lalu turun tangan. Kuakui bahwa akulah pembunuh komandan itu, dan aku lalu mengamuk dan melarikan diri. Dengan demikian, Diana dan kekasihnya akan terbebas dari tuduhan membunuh komandan," kata kakek itu, dan nampaknya puas bahwa dia telah dapat menolong murid yang disayangnya itu.
"Lalu sekarang dimanakah Diana, Suhu?" Kembali kakek itu menarik napas panjang.
"Kalau aku tidak terlalu sayang padanya, tentu akan kutahan ia agar jangan meninggalkan negeri ini. Akan tetapi, aku tidak tega. Ia telah bertemu kembali dengan kekasihnya. Ah, tahukah engkau , Hong Hong, bahwa gadis itupun pernah jatuh cinta kepada Ci Kong?" Lian Hong mengangguk. Sudah diduganya akan hal itu dan kenyataan itu bahkan makin menyedihkan hatinya. Ci Kong terlalu baik sehingga banyak gadis yang jatuh cinta kepadanya.
"Akan tetapi, dimana ia sekarang?"
"Ia telah pergi jauh sekali ke negeri barat, ke negerinya sendiri. Aku sempat melihatnya naik ke kapal. Akan tetapi hanya ia saja yang tahu bahwa aku mengantar kepergiannya. Aku menjadi orang buruan mereka.
"Ia berangkat bersama kekasihnya, menempuh hjdup baru, ataukah kembali kepada hidup lama? Setidaknya, ia ke sana untuk terus berjuang dengan caranya sendiri, yaitu membujuk pamerintah bangsanya agar lebih menghargai para pejuang." Dara itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa agak kecewa dan juga merasa rindu kepada Diana yang disayangnya. Sama sekali tak disangkanya bahwa Diana telah pergi, dan agaknya tidak ada kemungkinan untuk dapat bertemu kembali dengan gadis itu! Mereka langsung menuju ke sebuah guha di belakang kuil Siauw-lim-pai, sebuah guha besar di puncak bukit itu dimana Siauw-bin-hud biasanya tinggal atau bertapa. Ketika mereka tiba di sana, San-tok melihat bahwa Siauw-bin-hud sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Tee-tok! Melihat munculnya San-tok, Siauw-bin-hud tertawa.
"Heh-heh-heh, sungguh beruntung sekali engkau , San-tok. Pinceng baru saja kembali kemarin dan sudah harus menerima tamu-tamu agung. Engkau lebih beruntung dari pada Tee-tok yang harus menanti kembaliku sampai satu minggu di sini." Kakek itu memandang kepada Lian Hong dan mengangguk-angguk.
"Muridmu itu semakin cantik dan gagah saja, San-tok. Mari, silahkan duduk."
"Ha-ha, engkau melihat muridku semakin cantik dan gagah, Siauw-bin-hud? Bagus, kalau begitu, engkau tentu setuju kalau aku ingin menjodohkan muridku dengan muridmu, Tan Ci Kong! Aku datang untuk membicarakan urusan perjodohan itu denganmu, Hwesio tua!" Tiba-tiba Tee-tok yang sejak tadi diam saja, meloncat berdiri.
"Iblis Gunung tak tahu malu! Selalu engkau menjadi penghalang! Kedatanganku jauh lebih dulu darimu. Sudah seminggu aku di sini dan baru saja aku sempat bertemu dengan Hwesio tua ini yang sejak kedatangannya kemarin mengeram saja di kuil. Dan akupun tadi sedang membicarakan urusan perjodohan antara Ci Kong dengan muridku, Kui-Eng." San-tok terbelalak, lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sampai lupa aku bahwa ada manusia lain di sini. Tee-tok, apa salahnya kita berdua sama-sama melamar? Keputusannya tergantung kepada Siauw-bin-hud, bukan? Kalau dia setuju kepada muridku jodoh muridnya, engkau mau apa?"
"Keparat! Engkau memandang rendah kepadaku ya? Kalau lamaranku sudah ditolak, baru engkau boleh mengajukan lamaran. Sungguh tak tahu malu, dan kalau engkau tidak cepat pergi bersama muridmu itu, aku akan terpaksa menghajarmu!" Tee-tok membentak marah. Biarpun kakek ini pendek kecil kepalanya botak hampir gundul dan pakaiannya seperti tosu, akan tetapi dia jauh lebih galak dan pada San-tok. Kini, kakek yang katai ini kelihatan marah sekali dan membusungkan dada menantang, kelihatan lucu.
"Heh-heh, engkau hendak menghajarku? Tee-tok, sejak dahulu sampai kapanpun aku tidak pernah takut kepada setan cilik macam kamu. Majulah!" Tiba-tiba Siauw-bin-hud sudah bangkit dan berada di antara mereka, sedangkan Lian Hong hanya diam saja, wajahnya berubah kemerahan. Iapun sudah menduga bahwa Kui Eng juga jatuh cinta kepada Ci Kong! Begitu banyaknya gadis yang gagah perkasa dan baik-baik jatuh cinta kepada pemuda itu, seperti dipakai berebut sehingga ia menjadi bingung sendiri. dua orang kakek itu tadinya sudah siap untuk saling gebuk, akan tetapi ketika melihat Siauw-bin-hud berdiri di antara mereka, keduanya menahan diri. Siauw-bin-hud terkekeh geli.
"Omitohud...! Empat Racun Dunia agaknya sudah berubah menjadi kanak-kanak lagi yang suka berkelahi. Kalau beberapa bulan yang lalu, Thian-tok berkelahi melawan Hai-tok karena urusan perjodohan murid, kini Tee-tok dan San-tok agaknya tidak mau kalah, siap untuk saling gebuk karena urusan jodoh murid masing-masing.
"Seperti pernah kutanyakan kepada mereka, sekarang aku juga ingin bertanya kepada kalian berdua, kakek-kakek tua bangka yang sudah terlalu banyak makan garam dunia. Sebenarnya, yang ingin menentukan jodoh dan menikah itu, kalian sendiri ataukah murid-murid kalian?" dua orang kakek itu melongo dan saling pandang, kemudian Tee-tok berkata dengan bersungut-sungut.
"Pertanyaan gila! Tentu saja muridku, masa aku setua ini memikirkan kawin?"
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud mengoceh tidak karuan. Tentu saja muridku yang hendak kulamarkan muridmu. Aku sendiri, untuk apa kawin? Memikirkan kawin saja, bulu tengkukku sudah meremang semua saking ngerinya, ha-ha-ha!" kata San-tok.
"Omitohud... setidaknya kalian dua orang kakek masih memiliki kejujuran untuk mengaku. Nah, kalau yang hendak memilih jodoh itu murid kalian. Kenapa kalian berdua yang ribut-ribut? Biarkan murid-murid kita yang menentukan pilihan hati masing-masing, dan kita ini orang-orang tua hanya mendengarkan dan merestui saja.
"Tidakkah begitu sebaiknya. Kalau Ci Kong dengan murid San-tok saling mencinta, biarlah mereka berjodoh, sebaliknya kalau Ci Kong saling mencinta dengan murid Tee-tok, biarlah mereka itu berjodoh."
"Muridku mencinta Ci Kong!" kata San-tok cepat.
"Muridku juga!" kata pula Tee-tok. Lian Hong mendengarkan sambil menundukkan mukanya, bagaimanapun juga, hatinya terasa malu mendengar percakapan kakek-kakek itu tentang perjodohannya.
"Kalau begitu, serahkan pemilihannya kepada Ci Kong sendiri! Siapa di antara kedua nona murid kalian yang dicintanya. Kalau Ci Kong tidak mencinta, bagaimana mungkin dapat dipaksa untuk menikah?
"Eh, anak baik. Mengapa engkau tidak langsung saja bertanya kepada Ci Kong dan mengajaknya menikah kalau kalian saling mencinta? Jangan suruh kakek-kakek sinting ini mengurus perjodohanmu, akhirnya bahkan akan membikin kacau saja," kata Siauw-bin-hud kepada Lian Hong sambil tersenyum.
JILID 42
"Tee-tok dan San-tok, dengarlah. Cinta tak mungkin dapat dipaksakan, dan menurut pendapat pinceng yang bodoh, perjodohan tak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik kalau kedua pihak yang bersangkutan tidak saling mencinta. Kalau hanya dari sepihak, berarti yang lain terpaksa dan perjodohan yang dipaksakan hanya dapat terjadi pada binatang saja, bukan pada manusia." dua orang kakek itu saling pandang dan mengangguk-angguk. San-tok lalu menoleh dan berkata kepada muridnya.
"Hong Hong, omongan Hwesio ini ceng-li (masuk di akal), maka sebaiknya kalau engkau terus terang saja bertanya kepada Ci Kong. Eh, Hwesio, dimana sih adanya muridmu yang diperebutkan para gadis itu?"
"Dia tidak berada di sini, entah dimana. Pinceng baru saja pulang dari menemui berbagai golongan untuk membujuk agar mereka membangkitkan kembali semangat mereka untuk berjuang. Dan kebetulan sekali pinceng bertemu kalian di sini.
"Pinceng melihat bahwa perjuangan menentang penjajah ini akan menemui banyak kesulitan, apalagi setelah kini orang-orang kulit putih makin berpengaruh di daratan. Kalau segenap lapisan masyarakat, seluruh rakyat dan segala golongan, segala suku, segala agama dapat bersatu padu menentang penjajah, pinceng kira barulah kemerdekaan tanah air dan bangsa akan benar-benar terlaksana. Dan sudah menjadi kewajiban kita yang tua-tua ini untuk membangkitkan gairah dan semangat yang muda-muda untuk bangkit. Nah, pinceng sudah terlalu banyak bicara, maafkan kalau pinceng sekarang ingin beristirahat." Setelah berkata demikian, kakek itu begitu saja membalikkan tubuh dan memasuki guha untuk duduk bersila dan bersamadhi.
"Bagaimana pendapatmu, Tee-tok?" San-tok bertanya kepada rekannya. Tee-tok mengangguk-angguk.
"Memang Hwesio tua bangka itu benar. Kita terlalu meributkan urusan pribadi, urusan kanak-kanak. Biarkan saja murid kita mengurus persoalan jodoh masing-masing tanpa kita mencampurinya. Aku akan memberitahu muridku sekarang juga." Setelah berkata demikian, Tee-tok lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Hanya Lian Hong dan San-tok saja yang masih berada di luar guha.
"Nah, muridku, engkau sudah melihat dan mendengar sendiri semua percakapan tadi. Memang sebaiknya kalau engkau mencari Ci Kong dan membicarakan urusanmu itu secara pribadi dan terus terang."
"Suhu, tadinya akupun tidak ada niat sama sekali untuk datang ke sini, hanya mengikuti kehendakmu saja," kata Lian Hong, bersungut-sungut.
"Kalau memang Ci Kong tidak cinta kepadaku, akupun tidak sudi untuk mengemis kepadanya, Suhu. Biarlah aku akan merawat kuburan kedua orang tuaku yang kulihat tidak terpelihara. Setelah selesai merawat kuburan, baru aku akan bergabung lagi dengan para teman pejuang." San-tok menarik napas panjang.
"Terserah kepadamu, Hong Hong. Hanya pesanku, jangan tenggelam ke dalam kedukaan. Aku sudah semakin tua, hatiku akan berduka kalau melihat engkau sengsara, muridku. Aku akan kembali saja ke puncak Naga Putih dan menghabiskan sisa usiaku di sana, sambil menanti berita darimu."
"Baik, Suhu. Kalau terjadi sesuatu yang penting, tentu aku akan menyusul Suhu ke sana." Guru dan murid inipun saling berpisah. Lian Hong kembali lagi ke dusun Tung-kang di Kanton, sedangkan San-tok atau Bu Beng San-kai kembali ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san.
"Tan-Toako, maafkanlah aku. Demi kebahagiaan kita masing-masing, terpaksa aku harus berterus terang, dan kuharap saja keterus teranganku ini tidak begitu menyakitkan hatimu." Demikian Ceng Hiang mengeluarkan kata-kata dengan halus, pandang matanya penuh kegelisahan ketika memandang wajah pemuda itu. Pagi itu ia menemui Ci Kong dan mengajak pemuda itu bercakap-cakap di dalam taman. Ci Kong juga menatap wajah yang cantik jelita itu dan alisnya berkerut, akan tetapi dia tetap saja bersikap tenang.
"Ceng-Lihiap, sepagi ini engkau memanggil aku untuk mengajak bercakap-cakap dan ucapan pertama darimu adalah minta maaf. Sesungguhnya, apakah yang hendak Kau katakan? Memang aku lebih menyukai kejujuran dan keterus terangan dari pada mendendam sesuatu dalam hati. Katakanlah, aku sudah siap untuk mendengar hal yang betapa burukpun."
"Toako, mengenai pernyataanmu malam tadi, sudah kupikirkan masak-masak, karena hal itu menyangkut kehidupanku mendatang. Aku meneliti diri sendiri, dan sekarang dengan hati terurai, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa yang ada dalam hatiku terhadapmu hanyalah rasa suka dan kagum saja, Toako.
"Aku... maafkan, aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu, karena aku telah bertunangan dengan Yu-koko, yaitu orang yang berusaha menolong ayah melalui pembesar di kota raja. Nah, aku sudah berterus terang... dan sekali lagi maafkan aku, Toako." Gadis itu memandang wajah pemuda itu yang menjadi pucat sehingga ia menjadi tidak tega, lalu menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa kata-katanya walaupun sudah diatur sebaik-baiknya agar terdengar lembut dan tidak menyinggung, tetap saja mendatangkan kenyerian yang membuat wajah pemuda itu menjadi pucat seketika.
Keadaan menjadi hening setelah ia mengeluarkan kata-kata itu. Ceng Hiang tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menunggu dan rasanya lama bukan main ia menanti jawaban Ci Kong yang tak kunjung tiba, seolah-olah pemuda itu mendadak kehilangan kemampuannya untuk bicara. Dan memang demikianlah, pernyataan Ceng Hiang yang terus terang itu merupakan pukulan batin yang cukup hebat bagi Ci Kong, membuatnya tertegun dan lidahnya seolah-olah menjadi kaku. Dia hanya menatap wajah yang menunduk itu dengan hati terasa pedih. Akan tetapi, pemuda gemblengan ini akhirnya dapat menekan perasaannya dan suaranya terdengar agak menggetar dan lirih dia bertanya.
"Engkau cinta padanya?" Ceng Hiang terkejut. Pertanyaan tiba-tiba ini tidak diperhitungkannya sebelumnya dan ia tertegun, tak mampu menjawab. Akan tetapi ia seorang gadis yang cerdik dan jujur, maka ia dapat mengatasi rasa kagetnya, dan dengan menentang pandang Ci Kong yang penuh selidik itu ketika ia menjawab halus.
"Aku tidak tahu, Toako, akan tetapi sudah pasti aku akan belajar mencintanya, atau setidaknya aku akan berusaha untuk membahagiakan orang yang menjadi suamiku kelak. Engkau tahu, aku adalah seorang gadis yang masih terikat oleh tradisi kebangsawanan. Tak mungkin bagi seorang gadis dari golonganku untuk menentukan jodohnya sendiri.
"Ayahku memilihkan untukku, dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaan, dan aku tidak kecewa atas pilihan ayah. Yu-koko adalah seorang pemuda bangsawan yang amat baik. Kurasa tidak akan sukar bagiku untuk mencintanya kelak setelah dia menjadi suamiku." Ci Kong mengangguk-angguk. Dia tadi menatap wajah gadis itu penuh selidik dan dia tahu bahwa gadis itu tidak menyembunyikan sesuatu, bicara dengan sejujurnya. Dia dapat menghargai sikap gadis itu dan membuat dia menjadi semakin kagum, akan tetapi juga membuat hatinya terasa semakin pedih. Dia lalu menarik napas panjang.
"Aku mengerti, Lihiap. Aku yakin bahwa pilihan orang tuamu tentu tepat sekali. Seorang bangsawan seperti engkau ini memang sudah sepatutnya kalau berjodoh dengan seorang pemuda bangsawan yang kaya raya dan berkedudukan tinggi pula.
"Sedangkan aku, ah... biarlah aku menyadari keadaanku sendiri, Lihiap. Maafkan atas kelancanganku semalam. Setelah aku sadar, aku merasa malu karena sungguh-sungguh aku seorang pemuda yang tidak tahu diri. Nah, aku mohon diri, Lihiap. Aku akan pergi sekarang juga."
"Toako! Apakah engkau tidak berpamit kepada ayah dulu?" Ceng Hiang terkejut melihat pemuda itu akan pergi begitu mendadak, dan di dalam hatinya timbul perasaan iba yang mendalam.
"Tidak perlu, Lihiap. Tolong agar engkau nanti menyampaikan ucapan maaf dariku, juga terima kasihku kepada beliau. Selamat tinggal!"
"Nanti dulu, Toako!" Ci Kong yang sudah bergerak hendak memutar tubuh itu, berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang wajah gadis itu. Dia melihat ada titik air mata turun dan kedua mata Ceng Hiang, dan hatinya merasa terharu sekali. Gadis ini amat baik, terlalu baik. Dialah yang sial dan bukan jodoh gadis ini.
"Tan-Toako, aku tidak ingin melihat engkau pergi membawa dendam dan sakit hati kepadaku." Ci Kong memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Dendam dan sakit hati? Aihhh, mengapa engkau menduga begitu, Lihiap? Tidak, selamanya aku tidak akan mendendam kepadamu. Aku mengerti keadaanmu, dan cinta seseorang tak mungkin dapat dipaksakan. Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tak tahu diri..."
"Tan-Toako, tunggu dulu, aku mau bicara..."
"Lihiap, ada urusan apalagi yang dapat dibicarakan antara kita?" Mendengar suara yang mengandung kepahitan itu, Ceng Hiang menghapus dua titik air matanya, dan berkatalah ia dengan halus, namun nadanya mengingatkan.
"Tan-Toako, sesungguhnya, pernyataan cintamu kepadaku itu salah alamat." Sepasang mata Ci Kong terbelalak dan alisnya berkerut. Apa maksud gadis ini, pikirnya heran. Benarkah bahwa Ceng Hiang sengaja hendak menghinanya setelah menolak cintanya? Dia menatap tajam penuh selidik, namun pandang mata gadis itu sedikitpun tidak nampak bahwa ia melakukan suatu kesalahan yang disembunyikan.
"Ceng-Lihiap, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya agak gemetar.
"Maksudku, engkau menyatakan cinta kepada gadis yang keliru. Semestinya bukan aku yang harus Kau nyatakan cinta, akan tetapi kepada seorang gadis lain yang selalu mengharapkan pernyataan cintamu." Lega rasa hati Ci Kong. Gadis ini tidak bermaksud mengejek atau menghinanya, dan timbul heran dan keinginan tahunya.
"Siapakah gadis yang Kau maksudkan?" Ceng Hiang tersenyum dan ia merasa heran sendiri. Setelah membicarakan orang lain, setelah ia sendiri tidak tersangkut, ia dapat tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya, maka tahulah ia dengan yakin bahwa ia memang hanya kagum dan suka kepada pemuda ini, dan tidak jatuh cinta, ia sama sekali tidak akan merasa cemburu atau iri kalau melihat Ci Kong dapat berjodoh dengan Lian Hong, bahkan sebaliknya, ia akan merasa gembira sekali.
"Tan-Toako, benarkah engkau tidak tahu? Engkau yang begini gagah perkasa dan bijaksana, benarkah engkau begini bodoh sehingga tidak melihat adanya seorang gadis yang amat baik, yang sudah bertahun-tahun menantimu dengan segenap jiwa raganya yang setiap saat mengharapkan pernyataan cintamu? Tidak dapatkah engkau menduga siapa gadis itu?" Ci Kong mengelengkan kepalanya, dan diam-diam dia terkejut sekali. Beberapa buah wajah terbayang di depan matanya. Lian Hong? Kui Eng? Kiki? Diana? Akan tetapi dia tidak pernah menduga bahwa ada gadis yang jatuh cinta kepadanya seperti apa yang dikatakan oleh Ceng Hiang.
"Sungguh, aku tidak tahu, Lihiap. Siapakah gadis itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Siauw Lian Hong?" Ci Kong membelalakkan kedua matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik, akan tetapi wajah itu menunjukkan bahwa Ceng Hiang bicara sebenarnya. Pemuda itu lalu mengerutkan alisnya.
"Lihiap, harap jangan main-main. Di antara para gadis yang menjadi sahabatku, Lian Hong adalah seorang yang paling pendiam dan tidak pernah bicara tentang perasaannya."
"Justeru karena ia pendiam maka ia menderita hebat, Toako. Ia mencintamu sejak pertama kali bertemu denganmu, dan ia memendam cintanya itu di dalam hatinya, setiap saat merindukanmu.
"Setiap saat menanti pernyataan cintamu kepadanya, karena ia merasa yakin bahwa engkau juga mencintanya. Nah, bukankah pernyataan cintamu yang Kau nyatakan kepadaku itu salah alamat... dan seharusnya engkau menyatakan cintamu kepada Lian Hong?"
Ci Kong termenung dan mengingat-ingat. Harus diakuinya bahwa dia amat menyayang Lian Hong, bahkan pernah terpikir olehnya apakah dia jatuh cinta kepada gadis murid San-tok yang gagah perkasa itu. Akan tetapi sikap Lian Hong yang pendiam, yang agak angkuh malah, membuat dia mundur teratur dan mengira bahwa gadis itu hanya berteman dengannya, tidak menaruh hati cinta kepadanya. Lalu dia teringat akan pengalamannya ketika bekerja sama dengan Lian Hong. Bahkan terbayang olehnya betapa Lian Hong yang menyamar sebagai pria ketika dia menyamar sebagai pelayan dan mereka mengawal Kui Eng yang menyamar sebagai seorang gadis hartawan, selalu menggodanya kalau dia nampak cemburu melihat Kui Eng dirayu oleh Lee Song Kim
"Tapi bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Lihiap? Apakah ia menceritakan hal itu kepadamu?"
"Lian Hong adalah seorang gadis yang keras hati dan selalu menyimpan perasaannya, Toako. Akan tetapi sangat aneh sekali, ia telah melihat pertemuan kita-kita semalam dan ia telah salah sangka, mengira bahwa kita saling mencinta dan ia..."
"Ia bagaimana, Lihiap?" Ci Kong bertanya dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran, juga kasihan mendengar betapa Lian Hong yang katanya mencintanya mati-matian itu melihat pertemuannya dengan Ceng Hiang. Melihat perhatian yang makin meningkat dari Ci Kong terhadap Lian Hong, hati Ceng Hiang menjadi gembira dan bersemangat.
"Ia hampir membunuh diri, Toako."
"Ahhh!!" Bukan main kagetnya hati Ci Kong mendengar ini. Dia terbelalak memandang kepada Ceng Hiang.
"Me... mengapa ia melakukan itu dan... dan kemudian bagaimana, Lihiap, dan dimana ia sekarang?"
"Tan-Toako, katakan saja terus terang kepadaku. Bukankah engkau mencinta adik Lian Hong?" Berkata demikian, Ceng Hiang menatap tajam pemuda itu, seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. Ci Kong juga memandang kepadanya, dan sejenak dua pasang mata bertemu pandang, kemudian Ci Kong menunduk dan suaranya lirih ketika dia membuat pengakuannya.
"Aku aku tidak yakin benar, Lihiap. Aku amat sayang kepadanya, aku suka dan kagum kepadanya. Aku menganggap ia sebagai seorang sahabat baik, sebagai seorang teman seperjuangan, bahkan sebagai saudara.
"Mungkin aku cinta kepadanya, akan tetapi kami tidak pernah bicara tentang itu, dan aku semenjak bertemu denganmu, Lihiap, aku hanya memperhatikanmu. Ah, mungkin aku cinta padanya... aku tidak tahu."
"Engkau cinta padanya, Toako. Lihat betapa engkau gelisah memikirkan keadaannya. Engkau cinta padanya seperti juga ia cinta padamu."
"Ceng-Lihiap, katakanlah, dimana ia sekarang?" Nona itu menggeleng kepalanya.
"Ia pergi, hanya pamit kepadaku semalam, tanpa memberi tahu kemana akan pergi, dengan hati patah dan semangat hancur, seperti patahnya ini..." Ceng Hiang mengeluarkan sebuah kipas yang sudah robek menjadi dua bagian itu dan menyerahkannya kepada Ci Kong. Pemuda itu terkejut dan merampas kipas itu dari tangan Ceng Hiang, lalu mencengkeram kipas itu, wajahnya pucat.
"Ini senjatanya! Ah, dimana ia, Lihiap? Dimana Hong-moi?"
"Ia pergi meninggalkan kipas ini setelah menceritakan semua perasaan hatinya kepadaku. Pergilah, pergilah sekarang, Toako... dan cari Lian Hong. Kasihan anak baik itu, ia mungkin akan menderita selama hidupnya, dan hanya engkau seorang yang akan mampu membahagiakan hidupnya."
"Aku akan pergi, aku akan mencarinya. Ah, Lian Hong..." kembali Ci Kong hendak pergi, akan tetapi ditahannya kakinya dan dia menoleh.
"Katakan, Lihiap... apakah sikapmu terhadap diriku ini karena engkau mendengar bahwa Lian Hong mencintaku? Apakah engkau sengaja mengalah, tidak menerima cintaku agar aku dapat hidup bersama Lian Hong?" Ceng Hiang kembali terkejut, tak menyangka akan ditanya seperti itu. Akan tetapi, pada saat dara ini kebingungan harus menjawab bagaimana, terdengar suara gaduh dan muncullah Pangeran Ceng Tiu Ong bersama seorang pemuda yang tampan dan berpakaian indah, bersikap halus dan gagah.
"Hiang-ji, mari ke sini. Tunanganmu telah berhasil membujuk kaisar, bukan hanya mengampuni aku, bahkan permintaanku untuk mengundurkan diri dari jabatan ini dikabulkan! Ah, aku akan dapat beristirahat dan hidup tenang di dusun, dan semua ini berkat bantuan Yu Kiang!" Pangeran tua itu nampak girang sekali. Munculnya ayahnya dan tunangannya, melepaskan Ceng Hiang dari keadaan terjepit oleh pertanyaan Ci Kong tadi, dan iapun sudah tahu akan jawabannya, jawaban tanpa kata. Iapun memperlihatkan wajah cerah, tersenyum manis dan menghampiri dua orang itu, langsung mendekati Yu Kiang.
"Benarkah itu, koko? Ah, sungguh engkau baik hati sekali, dan aku berterima kasih sekali kepadamu, Yu-koko." Ketika menyebut "Yu-koko", Ceng Hiang sengaja mengeluarkan kata-kata yang mesra dan suara yang manis, sehingga sekali pandang saja tahulah Ci Kong bahwa gadis bangsawan itu mencinta tunangannya. Dan ini berarti tidak mencinta dirinya. Tahulah dia bahwa dia telah bersikap tolol. Apa artinya dia dibandingkan dengan pemuda yang bernama Yu Kiang ini? Seorang pemuda yang tampan, juga sikapnya halus dan amat gagah, pakaiannya indah, pembawaannya agung, tentu saja kaya raya. Sedangkan dia? Seorang perantau, tak berumah tinggal, tidak punya apa-apa, dan orang macam dia berani menyatakan cinta kepada seorang gadis bangsawan seperti Ceng Hiang!
"Oya, Yu-koko, inilah Toako Tan Ci Kong, pendekar yang telah membantuku menolong ayah itu." Yu Kiang segera menghampiri Ci Kong dan memberi hormat dengan pandang mata kagum.
"Ah, kiranya ini Tan-taihiap yang gagah perkasa itu?"
"Marilah, kita semua duduk dan mengobrol di dalam. Mari, Tan-taihiap," kata Pangeran Ceng dengan ramah.
"Maafkan saya, Pangeran. Baru saja saya berpamit kepada Ceng-Lihiap, karena saya mempunyai uusan penting sekali yang harus saya laksanakan sehingga sekarang juga saya mohon diri. Maaf bahwa saya telah mengganggu keluarga Ceng yang terhormat dan banyak terimakasih atas segala keramahan dan kebaikan budi yang dilimpahkan selama saya berada di sini." Ci Kong memberi hormat, dan tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bicara, diapun sudah meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.
"Ayah, adik Lian Hong juga sudah pergi, bahkan malam tadi ia pergi. Ia mempunyai urusan yang amat penting maka ia pergi lebih dulu. Ia minta agar memaafkannya," kata Ceng Hiang. Pangeran tua itu menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
"Orang-orang muda yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi dengan watak yang amat aneh. Aihh, ngeri aku membayangkan seandainya engkau menjadi seorang gadis kang-ouw dan berwatak aneh seperti mereka, Hiang-ji." Katanya kemudian, "Mari kita bicara di dalam."
Dengan hati yang tidak karuan rasanya, Ci Kong meninggalkan kota raja. Dia harus mencari Lian Hong! Harus dapat cepat menemukannya sebelum terjadi apa-apa dengan Lian Hong. Gadis itu hendak membunuh diri karena cintanya terhadapnya? Sudah bertahun-tahun mencintanya dan setiap saat mengharapkan pernyataan cintanya? Dan Lian Hong selalu diam saja, tak pernah bicara apapun tentang cinta, bahkan tidak memperlihatkan cemburu terhadap para gadis lain yang juga mencintanya! Terbayanglah semua kebaikan Lian Hong terhadap dirinya, dan hatinya diliputi penuh keharuan. Kini, dia sudah melupakan bayangan Ceng Hiang. Yang nampak hanyalah bayangan Lian Hong seorang.
"Hong-moi... ah, Hong-moi!" Berkali-kali Ci Kong mengeluh, merasa menyesal mengapa dia membuat hati gadis itu hancur, walaupun hal itu tidak disengajanya. Agaknya Lian Hong melihat ketika dia merangkul Ceng Hiang di dalam taman itu, padahal rangkulan itu hanya sebentar, hanya terdorong oleh perasaan hatinya, bukan rangkulan sebagai tanda dua orang sedang berpacaran.
Ceng Hiang tidak cinta kepadanya, melainkan mencinta Yu Kiang, tunangannya, hal yang wajar dan sudah sepatutnya demikian. Lian Hong lah yang cinta padanya, dan diapun mencinta Lian Hong. Baru sekarang hal itu terasa benar olehnya. Kemana dia harus mencari Lian Hong? Ke tempat tinggal gurunya, San-tok di Puncak Naga Putih Pegunungan Wu-yi-san? Akan tetapi, kemana kiranya seorang gadis akan pergi kalau ia menderita duka yang mendalam? Tentu ke rumah orang tuanya, akan tetapi gadis itu sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Dan teringatlah dia dalam perjumpaannya yang terakhir kalinya dengan Lian Hong, di rumah keluarga Ceng sebelum gadis itu pergi, bahwa Lian Hong berniat untuk membersihkan dan memperbaharui makam kedua orang tuanya.
Di Tung-kang, dusun kelahiran mereka, tentunya. Benar! Dia sendiri kalau sedang menderita duka, condong untuk pergi mengunjungi kuburan orang tuanya dan kembali ke dusun tempat kelahirannya. Maka Ci Kong lalu mengambil keputusan untuk pergi ke selatan, ke dusun Tung-kang di luar kota Kanton. Dia melakukan perjalanan secepatnya, dan di sepanjang perjalanan dia melakukan penyelidikan. Betapa girang rasa hatinya ketika dia akhirnya menemukan jejak Lian Hong dari seorang pelayan restoran yang mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu, gadis seperti yang digambarkan oleh Ci Kong memang lewat di kota itu dan makan di restoran itu. Tidak salah lagi, pikir Ci Kong girang, tentu Lian Hong sedang melakukan perjalanan menuju ke Tung-kang. Lian Hong tidak lagi menangis.
Biarpun ia merasa betapa hidupnya kini amat sepi dan semangatnya lemah, gairahnya menipis, ia tidak mau menangis lagi. Sudah beberapa hari lamanya ia berada di kuburan orang tuanya, menbersihkan kuburan itu, dan setiap hari menyuguhkan masakan sembahyang kepada ayah ibunya. Malam itu adalah malam kelima ia berada di situ. Setiap malam Lian Hong tidur di depan kuburan ayah ibunya, di atas rumput tebal. Ia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk merebahkan tubuhnya, selebihnya ia pergunakan untuk merawat kuburan, menanami bermacam bunga dan bersamadhi. Hari masih belum gelap benar, karena malam baru saja mulai remang-remang, pergantian antara senja dan malam, pada saat matahari sudah hampir menarik seluruh cahayanya dan permukaan bumi. Burung-burung sudah mulai terbang pulang ke sarang masing-masing.
Para petani juga memanggul cangkul pulang ke dusun, lampu-lampu mulai dipasang di rumah-rumah penduduk dusun Tung-kang. Di tanah kuburan itu amat sunyi, dan jangkerik mulai terdengar mengerik, di sana-sini terdengar bunyi katak yang bersembunyi di antara tanaman yang tumbuh di rawa-rawa di luar tanah kuburan. Lian Hong sudah mempersiapkan kayu dan daun kening, ditumpuknya tak jauh dari tempat ia duduk bersamadhi. Nanti kalau sudah gelap. Ia akan membuat api unggun pengusir gelap dan nyamuk. Lian Hong tidak tahu bahwa sejak tadi Ci Kong mengamatinya dari jauh dengan hati penuh keharuan. Pemuda itu merasa seperti tercekik kerongkongannya oleh keharuan yang naik dari dadanya melihat gadis itu, dan kini dia merasa lebih yakin lagi bahwa sesungguhnya sejak dahulu dia mencinta Lian Hong!
Tadi, melihat Lian Hong mengumpulkan kayu dan daun kering seorang diri, melihat gadis itu dengan rambutnya yang kusut, pakaiannya yang agak kotor, mukanya yang tidak terawat, tubuhnya yang kurus dengan muka pucat seperti orang sakit, matanya yang begitu muram, hatinya merasa iba dan hampir saja dia berteriak memanggil. Di samping rasa iba dan terharu, Ci Kong juga merasa girang sekali bahwa dugaannya tepat, dan dia dapat menemukan Lian Hong di tanah kuburan itu. Dia tidak berani muncul dengan tiba-tiba. Sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan juga ragu, maka dia hanya mengamati saja dari jauh sampai Lian Hong selesai mengumpulkan bahan bakar dan gadis itu kini duduk bersila dan bersamadhi.
Dengan berindap-indap, menyelinap di balik pohon-pohon dan semak-semak, Ci Kong mendekat, akan tetapi belum berani keluar, karena dia tidak ingin mengganggu Lian Hong yang sedang melakukan siu-lian. Lian Hong sadar dari samadhinya, menengok ke kanan kiri, karena ia merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai dan memandangnya. Ketika teringat bahwa ia berada di tanah kuburan, ia bergidik. Aneh pikirnya, mengapa ia tadi merasa seperti ditonton banyak orang? Jelas bahwa di tempat seperti ini tidak ada orang, kalaupun ada hanyalah orang-orang mati yang sudah dikubur. Setan? Ia tidak pernah takut setan. Ia lalu membuat api unggun karena tangannya sudah mendengar suara nyamuk di sekitar telinganya. Suara itu pula yang tadi menggugahnya dari samadhi.
Hawa yang mulai dingin menjadi hangat dan nyamuk-nyamukpun melarikan diri, takut terhadap api yang panas juga sinar api unggun mendatangkan cahaya yang mengusir kegelapan di tempat itu, akan tetapi mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Pohon-pohon berubah menjadi bayangan hitam seperti raksasa atau binatang-binatang aneh yang bergerak-gerak, dibuat bergerak oleh api yang bergoyang. Rasa lapar menyadarkan Lian Hong bahwa sejak pagi tadi ia belum makan. Diambilnya beberapa potong roti dan buntalan pakaiannya, berikut daging kering yang sudah menjadi dendeng manis. Direndamnya beberapa potong daging ke dalam air, lalu ditusuknya dengan kayu, dan dipanggangnya daging-daging kering yang sudah dibasahi itu ke dalam api unggun. Tercium bau sedap bumbu pada daging itu yang tersentuh dan terbakar api.
Bau sedap ini sempat melanggar hidung Ci Kong yang bersembunyi tak jauh dari situ, dan tiba-tiba saja perut pemuda ini berkeruyuk hebat. Diapun belum makan sejak pagi tadi, dan kini mencium bau sedap dendeng bakar, otomatis perutnya menanggapi dengan keruyukan nyaring. Ci Kong merasa kaget dan malu sendiri mendengar suara perutnya, lupa bahwa yang dapat mendengar suara itu sebetulnya hanya dia sendiri. Dia khawatir kalau-kalau Lian Hong mendengarnya pula. Karena khawatir dan kaget, dia membuat gerakan dan kaki kanannya menginjak daun kering, mengeluarkan bunyi berisik. Sedikit suara ini cukup membangkitkan perhatian Lian Hong, dan gadis ini cepat menaruh panggang dagingnya ke atas daun dan ia cepat meloncat berdiri, memandang ke arah semak-semak dan mana tadi terdengar suara daun diinjak orang.
"Siapa di situ? Keluarlah atau aku aku menyerangmu!" bentaknya, siap untuk menerjang dan meloncat ke arah belakang semak-semak. Kini nampaklah olehnya bayangan orang di belakang semak-semak itu. Untung bahwa Lian Hong bukan seorang gadis yang percaya akan tahyul, akan segala macam dongeng tentang setan. Kalau ia percaya tahyul, tentu ia akan merasa ngeri dan ketakutan, mengira di kuburan itu muncul setan yang hendak mengganggunya.
"Hong-moi, maafkan aku!" Terdengar bayangan itu berkata, dan muncullah Ci Kong dari balik semak-semak. Pemuda ini berdiri dengan muka tunduk dan sikap bodoh, karena dia merasa malu sekali kepada Lian Hong.
"Engkau ... benarkah engkau ini..." Lian Hong berseru, matanya terbelalak dan wajahnya menunjukkan keriangan luar biasa. Memang hatinya girang bukan main melihat munculnya pemuda yang selama ini dirindukannya, yang selama ini menjadi sebab derita batinnya, pemuda yang siang malam dikenangnya dengan sepenuh cinta hatinya. Seperti ada yang mendorong dari belakang, iapun melangkah maju sampai berhadapan dekat dengan Ci Kong. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan peristiwa di taman keluarga Ceng, dan iapun seperti disengat laba-aba, menarik kembali kakinya dan mundur-mudur seperti orang ketakutan, mukanya berubah pucat lagi.
"Kau ... Kau kenapa Kau ke sini?" tanyanya gagap dan jari telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ci Kong. Ci Kong menelan ludah sendiri, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia mengerti akan sikap Lian Hong yang seperti orang kebingungan, dan dia merasa betapa dia telah berbuat dosa terhadap gadis ini, tanpa sedikitpun dapat menghargai cinta kasih orang.
"Hong-moi..."
"Kenapa? Kenapa Kau datang ke sini?" kembali Lian Hong berkata, suaranya mengambang di antara pertanyaan dan teguran.
"Kenapa, Hong-moi? Tentu saja untuk mencarimu, untuk bicara denganmu. Kenapa engkau kaget melihat kedatanganku, Hong-moi?"
"Tidak, jangan dekat!" Lian Hong berseru ketika melihat Ci Kong melangkah menghampirinya, dan ia mundur lagi tiga langkah, lalu menutupi muka dengan kedua tangan sambil memejamkan kedua matanya, karena tiba-tiba saja kepalanya terasa pening sekali.
"Jangan mendekati aku, pergilah ke sana... seharusnya engkau pergi kepada enci Hiang, engkau engkau
cinta padanya..."
"Tidak, Hong-moi... aku hanya cinta padamu seorang. Engkau lah yang kucinta, Hong-moi, bukan lain orang."
"Engkau bohong!" Tiba-tiba lenyap seluruh kelemahan Lian Hong. Dara ini sudah menurunkan kedua tangannya dan kini ia menatap wajah Ci Kong yang diterangi sinar api unggun dengan mata tajam terbelalak penuh kemarahan.
"Engkau hendak mengingkari? Aku melihat dan mendengar sendiri! Engkau mencinta enci Hiang, dan kini berani engkau mengkhianatinya dan mengaku cinta padaku?" Melihat kemarahan Lian Hong yang sudah mengepal kedua tangannya itu, Ci Kong menundukkan mukanya.
"Benar... aku tidak perlu menyangkal dan engkau boleh membunuhku untuk semua itu, Hong-moi. Akan tetapi ia telah mencinta orang lain dan telah bertunangan, dan dialah yang menyadarkan aku, dan baru aku melihat bahwa sesungguhnya... sejak dahulu, jauh sebelum aku bertemu dengan Ceng-Lihiap, aku telah cinta padamu.
"Akan tetapi, kita saling diam saja... engkau kuanggap sebagai rekan seperjuangan, sebagai saudara, dan aku terpesona oleh kecantikan Ceng-Lihiap. Akan tetapi, setelah ia menceritakan semua, baru terbuka mataku. Betapa bodohnya aku, Hong-moi. Sesungguhnya... engkau lah seorang yang sejak dahulu sudah kucinta..."
"Ahhhh... ohhhhh..." Seketika tubuh Lian Hong menjadi lemas dan kembali ia menutupi muka yang dibayangi tangis, kedua mata dipejamkan karena kembali kepalanya terasa pening.
"Aku... ahhhh... engkau ..." Dan Lian Hong pun terguling karena tubuhnya seperti tenggelam ke dalam lautan yang gelap pekat. Ia siuman dalam rangkulan Ci Kong yang duduk di atas tanah.
"Tidak!" Lian Hong meronta lemah.
"Jangan dekati aku, jangan sentuh aku! Kau ... Kau tidak cinta padaku!" Dan iapun menangis.
"Hong-moi, pukullah aku, bunuhlah aku... akan tetapi maafkan aku. Tanpa kusengaja, aku telah melukai hatimu, menghancurkan harapanmu. Sungguh mati, ini hanya kesalahpahaman belaka. Sejak dulu aku cinta padamu, Hong-moi... akan tetapi karena kita bergaul akrab seperti saudara, perasaan itu tidak kusadari lagi. Sesungguhnya aku hanya kagum dan terpesona akan kecantikan Ceng-Lihiap, akan tetapi cintaku hanya padamu, Hong-moi..." Ci Kong merangkulnya, mengelus rambut yang kusut itu, menghapus air mata yang membasahi kedua pipi itu dengan penuh kemesraan dan kehangatan kasih sayangnya. Merasakan ini semua, Lian Hong tersedu-sedu dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Toako... betapa kejamnya engkau padaku..." ia sesenggukan. Ci Kong merasa menyesal sekali. Diangkatnya kepala itu sehingga muka mereka saling berdekatan, didekapnya dan ditempelkannya pipinya ke atas pipi Lian Hong, dan dibisikkannya kata-kata lembut penuh penyesalan.
"Hong-moi, aku menyesal sekali, maafkanlah aku... sungguh, kalau sekarang engkau membunuhku, akupun tidak akan merasa penasaran. Kau maafkanlah aku... maukah engkau memaafkan aku?" Suara itu demikian penuh penyesalan dan minta dikasihani. Sikap dan suara Ci Kong itu merupakan obat yang amat manjur bagi rasa nyeri di hati Lian Hong. Ia tersedu sampai terengah-engah, bukan karena luka, melainkan karena lega dan bahagia.
"Koko, aku... ah, seperti gila aku mencintamu, sejak dahulu..."
"Hong-moi...!" Ci Kong menutup mulut yang terengah-engah itu dengan bibirnya, dan sampai lama mereka berdekapan seperti itu, seolah-olah mereka hendak melebur badan dan batin mereka menjadi satu. Segala kerinduan, segala perasaan mesra dan sayang, mereka curahkan dalam dekapan itu. Dan lenyaplah segala duka, lenyap segala rasa kesepian, lenyap pula segala rasa khawatir. Batin terasa bebas, seperti terlepas dari segala ikatan, tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Saat-saat seperti itu, dimana dua hati bertemu, dimana keduanya tenggelam ke dalam keheningan bebas, dimana semua ikatan terpatahkan, merupakan saat yang paling bahagia bagi manusia.
Hanya patut disayangkan, perasaan bebas dan segala ikatan seperti ini tidak bertahan lama, segera pikiran dipenuhi lagi oleh segala macam beban sehingga muncul pula segala macam rasa kecewa, takut yang mendatangkan duka. Sang aku mulai berkuasa lagi atas pikiran, ingin memperoleh segalanya yang menyenangkan. Perasaan bahagia karena bebas itu oleh aku di dalam pikiran, dirubah menjadi suatu bentuk kesenangan yang hendak dipertahankan dan diulang. Justeru inilah yang menimbulkan segala macam konflik dalam batin. Ingin memiliki segala sesuatu yang dianggap menyenangkan. Bahagia hendak disamakan dengan kesenangan. Keruyuk dari dua perut mereka agaknya menjadi penyebab kesadaran mereka. Keduanya tersenyum geli dan hampir berbareng mereka berkata.
"Engkau lapar?"
"Engkau lapar, koko?" Keduanya tertawa. Melihat betapa wajah manis yang masih basah air mata itu kini tertawa, Ci Kong memagutnya dan menciumi wajah Lian Hong sampai gadis itu gelagapan, dan dengan sikap manja ia mengelak melepaskan diri dari rangkulan.
"Ihh... Kau membikin aku menjadi semakin kelaparan saja!" katanya.
"Aku mempunyai roti dan dendeng bakar, koko... mari kita makan." Keduanya lalu makan, dan sungguh mentakjubkan. Roti dan dendeng yang biasanya merupakan makanan yang membosankan bagi Lian Hong, kini terasa luar biasa nikmatnya! Juga Ci Kong makan dengan nikmat sekali, padahal yang dimakan hanyalah roti yang sudah agak keras dan dendeng bakar, didorong air teh yang sudah dingin pula.
Perut lapar dan keadaan hati berbahagia memang dekat sekali hubungannya dengan selera. Kalau perut lapar, hati senang, makanan yang paling sederhana sekalipun akan terasa amat lezatnya. Sungguh kasihan sekali mereka yang mengejar-ngejar makanan mahal dan dianggap enak, tetap tidak dapat menikmatinya, karena hal itu jelas menunjukkan bahwa kalau bukan tubuh mereka yang tidak sehat, tentu hati mereka yang tidak bahagia! Habislah semua roti dan dendeng, dan tak lama kemudian, mereka berdua sudah berlutut dan bersembahyang di depan makam mendiang Siauw Teng dan Gin Hwa, ayah dan ibu Lian Hong. Tanpa berjanji dan bersepakat, keduanya sudah bersembahyang dan terdengar Ci kong berkata, cukup keras sehingga terdengar oleh Lian Hong yang berlutut di sampingnya.
"Paman Siauw Teng berdua bibi, saya Tan Ci Kong, putera sahabat paman yaitu ayah Tan Seng, mohon perkenan paman berdua untuk meminang adik Siauw Lian Hong untuk menjadi isteri saya. Saya bersumpah di depan makam paman berdua, untuk mencintanya dan menjaganya sampai selama hidup kami." Biarpun hatinya berdebar saking bahagianya, tak urung dua titik air mata membasahi kedua mata Lian Hong karena terharu mendengar ucapan yang keluar dan mulut Ci Kong itu.
"Ayah dan ibu, aku mohon doa restu ayah dan ibu. Aku telah memilih Tan Ci Kong ini untuk menjadi jodohku... harap ayah dan ibu dapat menyetujuinya." Setelah mereka selesai sembahyang secara sederhana sekali, Lian Hong mengeluarkan pedang Giok-liong-kiam dari buntalannya dan menyerahkannya kepada Ci Kong.
"Koko aku sudah berjanji di dalam hatiku untuk memberikan Giok-liong-kiam ini kepada calon suamiku. Terimalah, koko... tanda ikatan jodoh antara kita." Ci Kong terharu sekali, menerima pedang pusaka itu dan menciumnya, kemudian berkata dengan suara sedih.
"Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, aku tidak memiliki apapun untuk kuberikan kepadamu..." Lian Hong tersenyum.
"Engkau sudah memberikan cintamu, itu berarti engkau telah memberikan segala-galanya. Koko, marilah kita bersembahyang di depan makam kedua orang tuamu, mohon doa restu. Keduanya lalu malam-malam itu juga meninggalkan kuburan dan menuju ke sebuah tanah kuburan lain tak jauh dari situ, dimana terdapat makam Tan Seng bersama isterinya.
Perlu diketahui bahwa Tan Seng yang telah menduda, setelah tewas dan dikubur secara sembarangan, oleh Ci Kong tulang-tulangnya telah dipindahkan dan dikubur di dekat kuburan ibunya. Malam itu juga, mereka bersembahyang di depan makam ayah dan ibu Ci Kong. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda yang saling mencinta ini sudah bergandeng tangan meninggalkan dusun Tung-kang untuk pergi menemui guru mereka, karena mereka yang sudah yatim piatu itu tidak mempunyai siapa-siapa lagi untuk dimintai doa restu. Kini mereka melakukan perjalanan sebagai dua orang calon suami isteri, penuh kebahagiaan dan seolah-olah mereka hendak menempuh suatu kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan kehidupan mereka yang lalu.
Kini mereka saling memiliki dan mereka merasa seolah-olah kehidupan mereka menjadi lebih berarti, merasa saling dibutuhkan! Memang tidak ada kegembiraan yang lebih besar dari pada kegembiraan karena dapat menggembirakan orang lain! dua orang itu tidak tahu betapa sepeninggal mereka, seorang gadis nampak meninggalkan pula dusun Tung-kang, dan dengan cepat gadis itu menuju ke kota Kanton. Gadis ini bukan lain adalah Kui Eng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Eng meninggalkan kelompok pejuang yang dipimpinnya untuk pergi mencari Ci Kong, untuk mencari keputusan tentang cintanya. Di tengah penjalanan, ia bertemu dengan gurunya, dan Tee-tok segera menceritakan kepada muridnya tentang urusan perjodohan yang dibicarakan dengan Siauw-bin-hud.
"Si keparat San-tok juga datang ke sana untuk membicarakan perjodohan antara Ci Kong dengan munidnya. Kami hampir saja berkelahi dan tentu akan ribut kalau tidak dilerai Siauw-bin-hud." Mendengar ini, Kui Eng terkejut dan mengerutkan alisnya.
"Murid yang mana, Suhu?" Kui Eng menyangka Diana, karena pernah ia melihat sikap Diana ketika mereka menghadapi Ci Kong yang terluka parah dan terancam maut. Ia sudah menduga bahwa gadis bule itu tentu mencinta Ci Kong, atau setidaknya tertarik.
"Siapalagi kalau bukan Lian Hong?"
"Lian Hong? ?" Nama ini benar-benar membuat Kui Eng terkejut dan heran. Tentu saja ia mengenal Lian Hong dengan baik, bahkan di antara mereka terdapat ikatan persahabatan yang amat erat.
Bukan itu saja, juga ia seakan-akan merasa berhutang budi kepada Lian Hong. Orang tuanya tewas gara-gara ayahnya, akan tetapi Lian Hong sama sekali tidak menaruh hati dendam kepadanya. Bahkan ketika ia diculik oleh Koan Jit dan terancam bahaya maut yang akan mencemarkan dirinya bahkan menewaskannya, muncul Lian Hong yang membela dan menolongnya secara mati-matian. Dan iapun mengenal Lian Hong gadis pendiam itu yang belum pernah memperlihatkan sikapnya mencinta Ci Kong. Bukankah Lian Hong pernah menggodanya sebagai pacar Ci Kong ketika mereka bersama Ci Kong menyamar dan melakukan penyelidikan sebagai pejuang-pejuang ke kota raja? Maka, mendengar bahwa kini guru Lian Hong hendak menjodohkan gadis itu dengan Ci Kong, ia terkejut dan terheran-heran.
"Ya, Lian Hong. Seperti juga engkau , gadis itu mencinta Ci Kong. Kami berebutan dan akhirnya Siauw-bin-hud mengatakan bahwa yang memutuskan haruslah Ci Kong sendiri. Biarlah Ci Kong yang menentukan pilihannya, engkau ataukah Lian Hong. Karena itu, aku pulang dan sebaiknya kalau engkau pergi mencari Ci Kong dan minta ketegasannya agar dia melakukan pilihannya." Mendengar keterangan gurunya, wajah Kui Eng berubah merah.
Tak disangkanya kalau Lian Hong mencinta Ci Kong, ataukah itu hanya pengakuan dari San-tok saja? Ia cukup mengenal watak Empat Racun Dunia yang aneh-aneh. Ia tahu bahwa Kiki mencinta Ci Kong, bahkan pernah ia berkelahi dengan Kiki karena cemburu. Juga Diana memperlihatkan sikap tertarik kepada Ci Kong. Akan tetapi Lian Hong? Ia harus menemui Lian Hong dan menanyakan hal ini terus terang kepadanya! Bagaimana, kalau Lian Hong benar-benar mencinta Ci Kong? Ia akan mengalah! Tentu saja kalau Ci Kong juga mencinta Lian Hong, dan iapun meragukan hal ini, karena selama dalam pergaulan mereka, ia tidak pernah melihat sikap Ci Kong mencinta gadis murid San-tok itu. Karena Kui Eng ingin mencari ke tempat yang paling dekat dengan Kanton, yaitu di dusun Tung-kang tempat kelahiran Lian Hong,
Maka pergilah ia ke dusun itu dan langsung saja ia pada malam itu mengunjungi tanah kuburan dimana kedua orang tua Lian Hong dimakamkan. Dan apa yang dilihatnya? Ci Kong dan Lian Hong sedang memadu asmara! Sedang berenang di dalam lautan kemesraan, dan tanpa kata-katapun, ia melihat sendiri betapa kedua orang itu saling mencinta! Kui Eng tidak mengganggu mereka, bahkan setelah yakin benar bahwa kedua orang itu saling mencinta, melihat mereka bersembahyang mohon doa restu di depan makam, diam-diam ia lalu meninggalkan mereka dan menghilang di dalam kegelapan malam. dua titik air mata saja membasmi matanya. Ia tidak menangis, dua titik air mata itu mewakili bermacam perasaan yang saat itu bercampur aduk di di dalam batin.
Ia merasa iri terhadap Lian Hong, dalam kebahagiaannya, dicinta oleh Ci Kong. Namun ada rasa gembira juga melihat kebahagiaan Lian Hong gadis yang disayangnya dan dikaguminya itu. Ia merasa lega pula, karena tanpa harus bicara, hal yang tentu akan lebih menyakitkan lagi, ia kini sudah mendapatkan keputusan. Ci Kong tidak mencintainya, melainkan mencinta Lian Hong. Hal ini membuat ia lega karena ia merasa sudah terbebas dari keraguan dan harapan hampa. Maka, dapat dibayangkan rasa girang dan heran yang membayang di wajah Thio Ki, putera ketua Kang-sim-pang itu ketika pada pagi hari itu, Kui Eng menemuinya dan secara terang-terangan dan dengan suara yang jelas, bahkan disaksikan oleh belasan orang teman yang belum berangkat bekerja di pelabuhan berkata kepadanya.
"Thio-Toako, maukah engkau mengambil aku sebagai isterimu?" Tentu saja Thio Ki terbelalak dan hampir bersorak girang. Teman-teman yang berada di situpun terbelalak. Mereka tahu bahwa gadis cantik yang menjadi pemimpin mereka itu adalah seorang gadis pejuang yang gagah perkasa, berhati keras dan jujur, akan tetapi sungguh tak mereka sangka bahwa pemimpin mereka itu akan membicarakan tentang perjodohannya.
"Tapi, Eng-moi apakah... apakah engkau cinta padaku?" Karena semua teman sejak tadi sudah menonton mereka, Thio Ki terang-terangan mengajukan pertanyaan itu kepada Kui Eng. Dia masih merasa penasaran sekali. Kui Eng tersenyum dan memandang mesra, lalu memegang kedua tangan pemuda itu.
"Tentu saja aku cinta padamu, bodoh. Kalau tidak, masa aku mau menjadi isterimu?" Teman-teman mereka tertawa, bersorak dan bertepuk tangan, dan Thio Ki tersipu malu, akan tetapi juga girang bukan main, dan diapun menurut saja ketika Kui Eng menarik tangannya diajak keluar untuk segera mencari dan menghadap gurunya.
Perasaan sayang kadang-kadang membuat orang menjadi kurang waspada, bahkan dapat membuat orang menjadi lengah. Rasa suka dan tidak suka membuat semua pertimbangan akal menjadi miring dan tidak dapat berfungsi dengan baik lagi. Kalau kita merasa suka kepada seseorang, timbul rasa sayang dan apapun yang dilakukan orang yang kita suka itu, bagi kita selalu nampak menyenangkan, apalagi kalau yang dilakukannya itu memang tidak merugikan kita secara langsung. Hal ini bukan hanya teori maupun dongeng belaka. Orang tua yang terlalu menyayang anaknya, condong untuk memanjakan anak itu dan walaupun si anak itu nampaknya nakal dan menjengkelkan hati orang-orang lain,
Bagi orang tuanya, kenakalannya itu bukan nampak nakal seperti pandangan orang lain, melainkan mungkin saja dianggapnya lucu dan menggelikan, menyenangkan! Sebaliknya kalau kita tidak menyukai seseorang, timbul kecondongan untuk membenci orang itu, dan kalau sudah begini, apapun yang dilakukan orang itu akan nampak tidak menyenangkan bagi kita. Bukan kelakar belaka kalau dikatakan bahwa hati yang sedang suka, melihat wajah cemberut orang yang disukainya nampak lebih manis. Sebaliknya, melihat wajah orang yang dibencinya, walaupun sedang tersenyum semanis-manisnya, nampak buruk dan tidak menyenangkan! Demikian pula dengan Hai-tok Tang Kok Bu. Datuk sesat yang kaya raya ini terlalu sayang kepada Lee Song Kim, muridnya yang paling disayangnya.
🖐
Rasa sayang bukan hanya timbul karena Lee Song Kim merupakan seorang murid utama yang paling cerdik, pandai menyenangkan hati gurunya, juga bukan hanya karena Lee Song Kim merupakan seorang pemuda yang berwajah tampan. Bukan hanya karena Song Kim seorang murid terpandai dan kekasih tersayang, melainkan juga karena Hai-tok Tang Kok Bu memang haus akan putera, haus akan anak laki-laki. Anaknya hanyalah Kiki seorang, anak perempuan, dan sejak mudanya dia amat menginginkan seorang anak laki-laki. Dia menganggap Song Kim sebagai murid terpandai, dan juga sebagai puteranya sendiri. Tidaklah mengherankan apabila Hai-tok mencurahkan kasih sayangnya kepada Song Kim. Lebih-lebih lagi setelah Kiki meninggalkannya untuk menikah dengan pria yang dicintanya, yaitu Ong Siu Coan.
Kini seluruh rasa kasih sayangnya dilimpahkan kepada Song Kim. Hal ini tentu saja amat menggembirakan pemuda yang penuh ambisi itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik. Rasa sayang yang berlebihan dan Hai-tok itu membuat dia manja dan ingin memperoleh segala-galanya. Dia menguras habis ilmu kepandaian Hai-tok, juga menganggap dirinya sebagai putera Hai-tok dan ahli waris dari kakek kaya raya itu, menjadi Tuan muda dari Pulau Naga. Semua anak buah di pulau itupun tunduk kepadanya, karena mereka semua maklum bahwa pemuda itu memang memiliki kekuasaan besar sekali dan semua perbuatannya dan kehendaknya dibenarkan saja oleh Hai-tok. Setelah semua ilmu yang dimiliki Hai-tok habis dipelajarinya, Song Kim merengek dan memanaskan gurunya Suhu.
"Benarkah tidak ada lagi ilmu yang dapat Suhu ajarkan kepadaku?" Pada suatu malam Song Kim bertanya kepada Hai-tok.
"Song Kim, sudah berapa kali Kau tanyakan hal itu kepadaku? Sudah berulang kali kuberitahukan bahwa semua ilmu yang kumiliki sudah kuajarkan kepadamu. Masa engkau tidak percaya kepadaku?
"Satu-satunya hal yang masih kurang padamu hanyalah pengalaman saja, dalam hal ini tentu engkau masih kalah olehku. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, tidak ada ilmu yang masih kurahasiakan."
"Kalau begitu, aku kelak dapat menjadi pengganti Suhu dan melanjutkan sepak terjang Suhu, dan membuat nama besar sebagai murid dan ahli waris Suhu."
"Tentu saja, muridku yang baik..."
"Akan tetapi, Suhu. Hatiku masih belum puas. Melihat Suhu tempo hari bertanding melawan Thian-tok, ternyata Suhu belum dapat mengalahkannya."
"Ha-ha, akan tetapi diapun tidak mampu mengalahkan aku. Tingkat kekuatan dan kepandaian kami memang seimbang."
"Hal itulah yang mencemaskan hatiku, Suhu. Dengan demikian, berarti pula bahwa tingkat ilmu silat yang kumiliki belum berapa tinggi, dan baru seimbang dengan tingkat murid-murid Thian-tok, San-tok, maupun Tee-tok.
"Kalau begitu, mana mungkin aku dapat menjagoi dunia kang-ouw? Belum lagi mengingat bahwa tingkat kepandaian Siauw-bin-hud masih lebih tinggi dari pada tingkat Suhu, berarti bahwa aku takkan mampu menandingi ilmu kepandaian muridnya seperti Tan Ci Kong dan lain-lainnya." Mendengar ini, Hai-tok menarik napas panjang.
"Hal yang Kau kemukakan itu memang tak dapat kusangkal, Song Kim. Akan tetapi, ilmu kepandaian memang tidak ada batasnya di dunia ini. Betapapun tingginya Gunung Thai-san, masih ada lagi awan yang lebih tinggi, dan di atas awan masih ada jutaan bintang yang lebih tinggi lagi."
"Aku tahu, Suhu, dan akupun belum gila untuk menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Akan tetapi setidaknya aku harus lebih kuat dari pada musuh-musuh dan sainganku, dan aku harus dapat mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi. Dan hal ini, kiranya hanya dapat terjadi kalau Suhu mau menolongku."
"Hemm, menolongmu bagaimana? Sudah kukatakan bahwa semua ilmuku sudah kuajarkan kepadamu."
"Suhu, maukah Suhu menolongku?" Song Kim merajuk. Hai-tok tertawa.
"Ha-ha-ha, Song Kim. Engkau tahu bahwa aku akan mau melakukan apa saja untuk menolongmu. Bukankah aku telah menyelamatkan engkau dan melindungimu ketika engkau terancam bahaya? Bukankah aku lebih memberatkan engkau dari pada anak kandungku sendiri?"
"Kalau begitu, Suhu... usahakanlah agar ilmu kepandaianku dapat meningkat. Kalau saja Suhu suka meminjam kitab-kitab ilmu yang dalam dari aliran persilatan yang besar di dunia persilatan, tentu aku akan dapat mempelajari kitab-kitab itu untuk memperdalam pengetahuanku." Peribahasa yang mengatakan bahwa "cinta itu buta" sesungguhnya keliru. Cinta kasih yang murni tidak membuat orang menjadi buta, sebaliknya malah, membuat orang menjadi waspada dan bijaksana. Yang membuat orang menjadi buta, buta batinnya, adalah nafsu, bukan cinta kasih! Nafsu, segala macam nafsu yang menguasai batin manusia, membuat batin itu menjadi keruh dan kotor, lenyap semua pertimbangan, dan bahkan kekeruhan batin itu membuat kita menjadi seperti buta.
"Baiklah, Song Kim, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Aku akan membantumu untuk meminjam kitab-kitab yang mengandung ilmu silat tinggi dari beberapa perkumpulan yang kutahu memilikinya," katanya kepada pemuda itu. Tentu saja Song Kim menjadi girang sekali, dan diapun berusaha keras untuk menyenangkan hati gurunya. Janji Hai-tok dipenuhinya. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, mulailah dia mencuri atau merampok kitab-kitab dari perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, Lam-hai-pai, dan lain-lain. Semua kitab-kitab itu diserahkannya kepada Song Kim, bahkan dia membantu muridnya itu untuk membaca kitab-kitab kuno.
Akan tetapi, nafsu membuat orang tak pernah merasa cukup. Makin dituruti nafsu itu, ia menjadi semakin lahap. Song Kim tidak puas dengan kitab-kitab yang telah dipelajarinya, dan dia selalu merengek agar gurunya mencarikan kitab lain. Mulailah Hai-tok melakukan pencurian-pencurian di perkumpulan-perkumpulan yang lebih besar lagi. Bahkan dia berani pula mencuri kitab dari perpustakaan di kuil para tosu Kun-lun-pai, dan mencuri beberapa buah kitab ilmu simpanan dari kuil para Hwesio di Go-bi-pai. Tentu saja dengan adanya kitab-kitab itu, ilmu kepandaian Song Kim meningkat dengan cepat. Dia memang amat cerdik sehingga dengan mudah dia mempelajari ilmu-ilmu silat dan kitab-kitab itu, sehingga dalam waktu singkat, dia dapat menguasai semua, hanya tinggal mematangkannya dalam latihan saja.
Hai-tok kini seperti menjadi bujangnya saja. Kitab dari perkumpulan manapun yang dikehendakinya, tentu akan diusahakan oleh Hai-tok untuk memperolehnya. Dan makin lama Song Kim makin tidak takut kepada Suhunya, apalagi setelah dia mempelajari banyak ilmu silat tinggi, sehingga tingkatnya mulai melampaui tingkat gurunya! Dan dia mulai mengancam akan meninggalkan gurunya kalau Hai-tok menolak pemintaannya. Kakek itu sendiri mulai terikat semakin erat, mulai tergantung semakin tinggi, tidak mungkin lagi dapat terpisah dan Song Kim. Karena itu, apapun permintaan muridnya selalu dipenuhinya. Akan tetapi, Hai-tok terkejut sekali ketika pada suatu malam, muridnya minta kepadanya agar mencarikan kitab-kitab pelajaran silat yang dirahasiakan oleh para tokoh Siauw-Iim-pai!
"Song Kim, muridku yang baik, bagaimana engkau dapat meminta hal yang tak mungkin terlaksana? Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai. Ah, engkau tidak tahu.
"Siauw-lim-pai tak boleh disamakan dengan Kun-lun-pai, Go-bi-pai atau perkumpulan silat lainnya! Perkumpulan itu bukan hanya perkumpulan silat biasa, melainkan menjadi pusat para pendeta Buddha, pusat penyebaran agama, dan di sana berkumpul tokoh-tokoh yang sakti! Ingat saja Siauw-bin-hud, dan masih banyak yang lain."
"Aku bukan minta agar Suhu menghadapi mereka secara berterang. Aku tahu bahwa Suhu tentu tidak akan menang melawan mereka. Akan tetapi kalau diusahakan agar Suhu dapat memasuki kamar perpustakaan mereka, memilih kitab-kitab yang hebat, tanpa melawan mereka, apa susahnya?
"Bukankah dengan cara itu pula Suhu telah berhasil mencuri beberapa buah kitab rahasia yang amat penting dari Kun-lun-pai dan Go-bi-pai? Juga dari Bu-tong-pai, Suhu bisa mendapatkan kitab tanpa harus berkelahi dengan mereka. Suhu, tolonglah aku, aku ingin sekali mempelajari ilmu yang tinggi dari Siauw-lim-pai."
"Akan tetapi, Song Kim, bukankah selama beberapa bulan ini, tiada hentinya aku mendapatkan kitab-kitab yang amat langka di dunia ini untuknu? Kitab-kitab dari Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Bu-tonng-pai, Kong-thong-pai, dan belasan perkumpulan lain yang paling terkenal. Masih tidak cukupkan itu?
"Engkau sendiripun belum sempat mempelajari semua kitab itu? Untuk apa ditambah lagi? Untuk apa terlalu banyak ilmu itu yang akan memakan waktu lama untuk Kau latih?"
"Suhu, aku ingin menaklukkan semua jagoan dari manapun perguruannya. Dan untuk itu, aku harus mengenal rahasia-rahasia ilmu silat mereka, dan menguasai ilmu-ilmu mereka yang paling tinggi.
"Hampir semua sudah berada di tanganku kecuali ilmu yang tertinggi dari Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak menguasainya, bagaimana kalau kelak aku berhadapan jagoan Siauw-lim-pai sebagai lawan? Aku akan mengumpulkan dulu kitab sebanyaknya, baru perlahan dilatih."
"Akan tetapi mencuri kitab dari Siauw-lim-si, sukarnya sama dengan naik ke langit, muridku! Siauw-lim-si terjaga ketat dan memiliki banyak alat-alat rahasia. Belum pernah ada tokoh yang dapat memasukinya." Song Kim tertawa.
"Aih, Suhu terlalu merendahkan diri, terlalu mengangkat lawan! Siapa tidak mengenal nama besar Suhu? Aku mendengar bahwa seorang lulusan Siauw-lim-pai diharuskan keluar melalui alat-alat rahasia itu, dan banyak di antara mereka, yang masih muda-muda, berhasil. Masa Suhu kalah dengan murid-murid Siauw-lim-pai itu?
"Sudahlah, kalau Suhu tidak mau, katakan saja. Suhu sudah tidak sayang lagi padaku, biarlah aku yang akan pergi mengambil sendiri kitab-kitab itu, akan tetapi aku tidak akan kembali lagi kepada Suhu!"
"Aihhh, jangan begitu, Song Kim. Siapa bilang aku tidak mau? Aku tadi hanya mengatakan betapa sukarnya mencuri kitab dan Siauw-lim-pai, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak ingin mencobanya."
"Ah, Suhu memang hebat" Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hai-tok yang duduk bersila itu.
"Bagiku, Suhu merupakan guru dan juga pengganti ayah, satu-satunya orang yang kucinta dan sayang pula kepadaku. Terima kasih, Suhu..."
Pada hari itu, berangkatlah Hai-tok menuju ke kuil besar Siauw-im-pai yang menjadi pusat dan perkumpulan Siauw-lim-si. Beberapa pekan kemudian, terjadilah geger di kuil Siauw-lim-si. Di malam yang gelap dan sunyi itu, tiba-tiba terdengar bunyi kelenengan nyaring, bunyi tanda rahasia yang dipasang di bagian kuil, dan bunyi kelenengan itu menandakan bahwa tempat itu didatangi orang asing atau orang luar yang tidak tahu rahasianya. Maka, para Hwesio segera memukul tambur bertalu-talu sebagai tanda bahaya, dan para pimpinan Siauw-lim-pai yang kebetulan malam itu berkumpul di situ, terkejut dan cepat berkumpul untuk melihat siapa yang telah memasuki kuil tanpa ijin.
JILID 43
Hai-tok yang telah berhasil melalui beberapa jebakan dan alat rahasia, sudah merasa girang sekali ketika dia tiba di bagian paling dalam dan Siauw-lim-si. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil berkelebat dan menyelinap ke dalam tanpa dilihat oleh para munid Siauw-lim-pai yang bertugas jaga. Bahkan dia dapat melumpuhkan beberapa macam alat rahasia yang menghadang di sepanjang lorong masuk. Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan dalam dan sedang mencari-cari dimana letaknya kamar perpustakaan, tanpa disangkanya, kakinya menginjak bagian lantai yang dipasangi alat rahasia sehingga terdengarlah kelenengan berbunyi nyaring. Hai-tok terkejut, akan tetapi dia bersikap tenang, siap untuk menghadapi segala bahaya.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi terang benderang, muncullah puluhan orang Hwesio dengan obor di tangan, ada pula yang membawa lentera-lentera besar. Sebentar saja Hai-tok telah terkepung. Kakek ini masih bersikap tenang, siap untuk menghadapi segala akibat dari perbuatannya itu. Akan tetapi, para Hwesio muda itu hanya mengepung dalam bentuk barisan yang rapi, sama sekali tidak bergerak untuk menyerang, hanya mengepung dan tidak memberi jalan ke luar, mata mereka memandang tajam kepada Hai-tok yang masih berdiri di tengah ruangan. Tiba-tiba barisan yang berada di sebelah dalam terkuak dan muncullah lima orang kakek yang membuat Hai-tok diam-diam terkejut sekali. Dia mengenal dua orang di antara mereka. Yang seorang bertubuh tinggi kurus adalah Thian He Hwesio, sedangkan orang kedua adalah Thian Kong Hwesio.
Keduanya adalah pimpinan Siauw-lim-pai. Thian He Hwesio sebagai ketua dan Thian Kong Hwesio sebagai pelatih. Tentu saja Hai-tok tidak gentar menghadapi dua orang pimpinan Siauw-lim-si yang sudah dikenalnya dan diketahui sampai dimana tingkat kepandaiannya itu. Akan tetapi dia memperhatikan tiga orang kakek yang lain. Mereka memiliki pembawaan yang aneh dan mengkhawatirkan hatinya. Mata mereka itu mencorong seperti mata naga, walaupun ada kelembutan pada pandang mata mereka. Yang seorang adalah pendeta berkepala gundul seperti Hwesio-Hwesio lain, akan tetapi kulit mukanya hitam dan raut wajahnya berbeda dengan orang Han. Hai-tok yang berpengalaman dapat menduga bahwa tentu Hwesio yang satu ini datang dan barat, kalau tidak dan Bhutan, tentu dan Nepal atau India.
Orang ke dua adalah seorang Hwesio tinggi besar berperut gendut, mulutnya yang lebar itu selalu tersenyum, dan melihat jubahnya yang kuning bergaris merah, dan hiasan kepala yang menutupi kepala gundulnya, dapat diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet. Orang ketiga juga seorang Hwesio tua, kepalanya gundul kelimis, akan tetapi mukanya penuh dengan kumis dan jenggot putih, jubahnya kuning agak kotor, namun Hwesio yang bertubuh kecil ini bersikap penuh wibawa, tangannya memegang sebatang tongkat pendeta yang kedua ujungnya dihias dengan emas! Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio tentu saja mengenal Hai-tok dan diam-diam mereka terkejut. Mau apakah datuk sesat ini muncul pada waktu tengah malam di ruangan dalam kuil itu?
"Kiranya Tang-tocu yang muncul di sini," kata Thian He Hwesio sambil menjura.
"Sungguh mengejutkan hati kami semua. Entah ada urusan apakah tocu datang malam-malam begini dengan cara yang tidak wajar?" Muka Hai-tok sudah berubah merah karena kikuk dan malu. Akan tetapi, dia tidak gentar menghadapi pengepungan para Hwesio, apalagi di situ tidak terdapat orang yang ditakuti, Siauw-bin-hud. Maka karena sudah tertangkap basah, diapun menjadi nekat. Tak perlu lagi dia mencari alasan dan berbohong, karena hal itu hanya akan menambah rasa malunya saja.
"Hwesio yang baik, aku datang hanya untuk meminjam beberapa buah kitab milik Siauw-lim-pai." Semua Hwesio terkejut mendengar ini, dan Thian Kong Hwesio yang wataknya lebih keras dari pada suhengnya segera berseru.
"Omitohud... kitab-kitab kami tidak boleh dipinjam oleh orang luar!" Hai-tok Tang Kok Bu tersenyum mengejek.
"Hemm... apakah percuma saja aku menjadi kenalan dan sahabat Siauw-bin-hud? Masa meminjam kitab saja tidak diperbolehkan?" Thian He Hwesio cepat menjura.
"Tocu, kitab apakah yang ingin tocu baca? Kalau tocu ingin membaca kitab agama dan kitab pelajaran untuk menjadi manusia benar, kiranya pinceng akan dapat meminjamkannya kepada tocu." Hai-tok tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah engkau anggap aku ini anak kecil? Untuk apa segala macam kitab yang tidak ada gunanya itu? Membohongi orang-orang bodoh saja! Aku ingin memilih sendiri beberapa buah kitab dari kamar perpustakaan kalian, dan aku hanya akan meminjamnya selama setahun saja, tentu kelak akan kukembalikan."
"Omitohud, permintaan yang tidak masuk akal, tocu. Akan tetapi kitab apakah yang ingin tocu pinjam itu?"
"Aku hanya mempunyai satu macam keahlian, yaitu ilmu silat. Kitab apalagi kalau bukan kitab ilmu silat yang menarik hatiku? Aku akan memilih dua atau tiga buah saja, ingin melihat sampai dimana kehebatan ilmu silat simpanan dari Siauw-lim-pai, dan setelah membacanya setahun, aku akan mengembalikannya."
"Tidak mungkin!" Thian Kong Hwesio membentak. Thian He Hwesio masih bersikap lunak.
"Tak perlu pinceng menjelaskan panjang lebar, namun tentu tocu sudah maklum bahwa kami tidak mungkin dapat meminjamkan kitab pelajaran silat kepada orang luar. Bahkan murid-munid Siauw-lim-pai sendiri, tanpa ijin khusus, dilarang membaca kitab-kitab rahasia itu. Tentu tocu sudah maklum bahwa hal itu tidak mungkin, maka tocu datang malam-malam begini untuk mencuri."
"Ha-ha-ha, kalau benar demikian, kalian mau apa? Kalau tidak boleh meminjam, biarlah kuambil sendiri saja!" kata Hai-tok dengan sikap angkuh.
"Omitohud! Orang ini benar-benar hendak mengacau. Kami bertiga sebagai tamu, tak boleh tinggal diam saja."
Tiba-tiba kakek Hwesio kecil kurus yang memegang tongkat berseru sambil melangkah maju, diikuti oleh dua orang pendeta lainnya, yaitu pendeta dari India dan dari Tibet. Mereka mengepung dengan kedudukan segitiga, dengan Hwesio bertongkat di depan Hai-tok. Pada saat itu, Thian He Hwesio yang tidak keburu mencegah, membisikkan kepada tamunya bahwa pengacau itu adalah datuk sesat yang dijuluki Hai-tok. Nampak pendeta pendeta kecil kurus itu terkejut, juga dua orang kawannya terkejut.
"Omitohud, kiranya seorang di antara Empat Racun yang tersohor itu!" kata pula pendeta kecil kurus bertongkat.
"Kabarnya Empat Racun telah mencuci kotoran dan batinnya dengan membantu perjuangan rakyat menentang kelaliman, akan tetapi ternyata sekarang Hai-tok masih saja melanjutkan kesesatannya dengan perbuatan rendah, mengacau di Siauw-lim-si dan hendak merampok kitab. Sungguh patut disesalkan!" Melihat tiga orang tamunya yang merupakan tamu agung yang dihormati, yaitu para wakil golongan Agama Buddha dari Nepal, Tibet dan Yun-nan, kini maju hendak menandingi Hai-tok, dua orang pimpinan Siauw-lim-si itu merasa tidak enak hati. Thian He Hwesio segera maju.
"Sam-wi Suhu harap tidak turun tangan sendiri, ini adalah urusan dalam Siauw-lim-pai, biarlah para murid yang menanggulanginya." Tanpa menanti jawaban, Thian He Hwesio memberi tanda kepada Thian Kong Hwesio, dan pelatih para murid Siauw-lim-pai ini segera memberi aba-aba kepada para murid.
"Ngo-heng-tin silahkan maju!" bentaknya.
Dari para pengepung itu, berloncatan keluar lima orang murid Siauw-lim-pai yang berkepala gundul, mereka itu masing-masing memegang sebatang toya kuningan yang berat, senjata khas golongan Hwesio yang merupakan senjata terkuat dari Siauw-lim-pai. Setelah berloncatan, mereka berlima segera membentuk posisi segi lima dan itulah yang dinamakan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur). Dikurung oleh lima orang itu, Hai-tok nampak masih tenang saja. Dia maklum akan kelihaian Ngo-heng-tin dan tahu pula bahwa dengan berani maju berlima, tentu mereka ini merupakan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah cukup tinggi tingkatnya. Dia menggerakkan tangan ke belakang dan sudah mencabut tongkatnya, sebatang tongkat yang terbuat dari pada emas berhiaskan permata!
Sebuan tongkat yang indah dan mahal sekali, namun merupakan senjata utama Hai-tok yang luar biasa ampuhnya pula. Barisan Ngo-heng-tin itu kini bergerak perlahan mengitari lawan, gerakan mereka ketika bergeser ke depan itu amat gagah dan tegap, kaki mereka hanya bergeser ke depan sehingga terdengar suara "sstt-sstt-sstt" yang berirama. Keadaan menjadi menegangkan, dan kepungan itu kini agak mundur sehingga terdapat ruangan yang cukup luas untuk perkelahian keroyokan. Juga kedua orang pimpinan Siauw-lim-pai dan tiga orang tamu agungnya mengundurkan diri. Beberapa orang murid segera menyediakan lima buah bangku untuk mereka duduk menonton. Pimpinan barisan Ngo-heng-tin itu adalah seorang yang bertubuh tinggi kurus.
Dia memimpin barisan bukan dengan aba-aba, melainkan dengan gerakan. Dialah yang lebih dahulu bergerak, menjadi kepala binatang sedangkan yang lain menjadi tubuh dan ekornya, yang akan bergerak secara otomatis melanjutkan atau menyambung gerakan pertama dari pemimpin barisan itu. Setiap gerakan atau serangan dari pemimpin, memiliki perkembangan tertentu dan mereka berlima sudah berlatih selama belasan tahun, sehingga kalau mereka maju sebagai Ngo-heng-tin, mereka itu seolah-olah menjadi kesatuan yang bergerak secara otomatis. Tiba-tiba kepala barisan itu sudah menggerakkan toyanya, menyerang ke arah kepala Hai-tok, dan begitu dia bergerak menyerang, empat orang yang lain juga bergerak dengan serangan susulan! Hebatnya, di dalam serangan mereka berlima ini terdapat unsur yang saling melindungi!
"Trang-trang-trang-trang-trang!"
Lima kali beruntun terdengar suara nyaring ketika nampak gulungan sinar emas, dan ternyata serangan lima batang toya itu telah dapat tertangkis semua oleh tongkat di tangan Hai-tok. Bukan itu saja, bahkan kini Hai-tok membalas dengan serangan-serangan yang amat cepat dan kuat secara bertubi-tubi kepada lima orang lawannya! Lima orang itu terkejut ketika toya mereka tertangkis tadi, karena hampir toya mereka terlepas dari pegangan dan tangan mereka seperti hampir patah-patah tulangnya. Apalagi kini lawan telah menyerang dengan amat ganasnya. Untung dalam barisan mereka terdapat kerja sama yang amat baik sehingga mereka dapat saling melindungi dengan cara menangkis dan menghambat serangan Hai-tok kepada seorang kawan dengan cara menyerangnya dari samping atau belakang.
Terjadilah pertandingan yang menarik dan mengagumkan. Lima orang Ngo-heng-tin itu bagaikan lima ekor burung garuda yang menyambar-nyambar, mengepung seekor ular yang melingkar di tengah yang mematuk-matuk dengan kepalanya. Akan tetapi, karena memang kalah jauh tingkatnya, setiap kali tongkat kakek yang menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia itu menyentuh toya, pemegangnya meringis kesakitan dan telapak tangan mereka terasa panas sekali. Karena ini, gerakan mereka, walaupun masih otomatis, nampak kacau. Dan Hai-tok makin lama semakin ganas. Tiba-tiba terdengar Hai-tok mengeluarkan teriakan melengking, dan tongkatnya, lenyap berubah menjadi sinar emas yang menyilaukan mata. Itulah Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas) yang dimainkan dengan hebat sekali. Harus diketahui bahwa kakek ini memiliki tenaga Thai-lek Kim-kong-jiu,
Tenaga sin-kang yang dahsyat, maka begitu dia memutar tongkatnya agak ke bawah, lima orang pengeroyoknya terlempar dan terpelanting ke kanan kiri. Mereka tadi sudah berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak atau menangkis. Yang menangkis kena dibabat berikut toya yang menangkisnya, sedangkan yang mengelak tetap roboh oleh angin pukulan tongkat yang dahsyat. Para murid Siauw-lim-pai cepat menolong lima orang itu dan mengotong mereka keluar dan ruangan itu. Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio, dengan muka merah karena marah, hendak melangkah maju, akan tetapi didahului oleh tiga orang tamu agung yang dipimpin oleh kakek Hwesio kecil kurus yang memegang tongkat pendeta. Melihat majunya tiga orang ini, Hai-tok bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa mereka ini bukan orang sembarangan.
"Siapakah kalian dan mengapa mencampuri urusan antara aku dan Siauw-lim-pai?" bentak Hai-tok sambil melintangkan tongkat emasnya di depan dada. Kakek kecil kurus itu tertawa.
"He-heh, kami hanyalah pendeta-pendeta yang biasa saja, tidak terkenal seperti Hai-tok. Kami maju bukan karena Siauw-lim-pai, melainkan karena melihat betapa ilmu dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan."
"Kapan saja dan dimana saja, terhadap siapa saja, engkau melakukan kejahatanmu, Hai-tok. Kalau kami melihatnya, tentu kami akan berusaha menghentikanmu."
"Kalau begitu" mampuslah!" Hai-tok cepat menyerang pada saat kakek kecil kurus itu berhenti bicara. Biarpun lebih dahulu dia bersuara, namun serangannya datang secara mendadak, cepat dan juga mengandung tenaga sin-kang yang dasyat, sehingga tongkat emasnya berubah menjadi sinar gemilang dan mengeluarkan suara bersiutan nyaring. Kakek ini memang licik. Melihat tiga orang itu maju, dia hendak cepat-cepat merobohkan seorang di antara mereka, dan menurut dugaannya, pembicara itulah yang merupakan lawan paling tangguh.
"Trakkk!" Tongkatnya bertemu dengan tongkat Hwesio yang dipegang oleh pendeta kurus kecil itu, dan keduanya terdorong mundur walaupun Hwesio itu terdorong dua langkah lebih jauh dibandingkan Hai-tok, tanda dia masih kalah kuat oleh Racun Lautan.
Akan tetapi dua orang Hwesio lainnya, yaitu pendeta dari Nepal dan dan Tibet, telah bergerak maju mengepungnya. Pendeta dari Nepal itu menggunakan kedua ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar menutupi tangannya, sedangkan pendeta Lhama dari Tibet telah mengeluarkan seuntai tasbeh dengan biji-biji tasbeh berwarna putih seperti batu akik. Dan ketika mereka berdua bergerak, diam-diam Hai-tok terkejut. Kiranya tingkat kekuatan dua orang Hwesio asing itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kekuatan Hwesio kecil kurus! Maklum bahwa dirinya dikepung tiga orang lawan yang tangguh, Hai-tok mengeluarkan suara mengereng keras dan diapun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Kim-kong-pang!
Kalau melawan mereka bertiga itu seorang demi seorang, agaknya Hai-tok masih lebih unggul walaupun selisih tingkat kepandaiannya hanya sedikit lebih tinggi dari pada mereka. Akan tetapi mereka bertiga itu maju bersama, dan hal ini membuat Hai-tok kewalahan. Apalagi ilmu silat dan gerakan dua orang Nepal dan Tibet itu amat aneh dan tidak dikenalnya sama sekali. dua ujung lengan baju dari pendeta Nepal itu lihai bukan main, kadang-kadang menjadi lemas dan ulet, dapat melakukan serangan menyabet dan mencengkeram atau mengait, kadang-kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menusuk atau menotok jalan darah! Juga untaian tasbeh di tangan pendeta Lhama itu lihai bukan main. Selain batu-batu yang menjadi biji tasbeh itu kuat dan mampu menangkis tongkat emas tanpa rusak,
Dan untaian ini diikat dengan tali yang amat kuat dan tidak dapat putus, juga kalau digerakkan untuk menyerang, tasbeh itu mengeluarkan bunyi berkeritikan yang amat nyaring dan menusuk telinga menembus ke dalam dan menggetarkan jantung! Hai-tok mengamuk dan memutar tongkatnya mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan Kim-kong-pang. Melihat betapa tiga orang tamu agung itu hanya mampu mendesak, namun Hai-tok masih terlalu kuat untuk dapat dikalahkan, diam-diam Thian Kong Hwesio memberi isyarat kepada belasan orang muridnya. dua belas orang murid lalu bergerak maju. Mereka membawa alat semacam jala terbuat dari pada baja. Empat orang memegang sehelai jala pada empat ujungnya sehingga mereka semua kini membawa tiga helai jala dan memasuki medan perkelahian.
Jala-jala itu mulai digerakkan menerkam ke arah tubuh Hai-tok. Kakek ini terkejut, mengelak dan hendak menyerang empat orang pemegang jala, akan tetapi dari belakang, jala lain menubruknya. Ketika dia mengelak, tiga orang pendeta yang mengepungnya telah menyerangnya lagi. Dikeroyok tiga orang kakek pendeta itu saja sudah merupakan hal yang berat bagi Hai-tok, apalagi kini ditambah oleh tiga helai jala yang amat berbahaya itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan mengamuk semakin hebat. Betapapun kuatnya, Hai-tok yang usianya sudah tujuh puluh itu, mulai kelelahan. Napasnya mulai memburu dan badannya penuh dengan keringat. dua kali sudah tubuhnya terkena pukulan tongkat Hwesio kecil kurus, dan biarpun pukulan-pukulan itu dapat diterima oleh tubuhnya yang dilindugi kekebalan, namun isi dadanya tergetar juga.
"Brukkkk!"
Sehelai jala dari samping menubruknya pada saat dia menangkis tongkat dan tasbeh lawan. Cepat dia menggulingkan tubuh ke lantai, akan tetapi jala itu mengejarnya dan menubruk sepasang kakinya. Dengan marah Hai-tok memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring, dan ternyata tongkatnya tidak mampu membikin putus tali-tali jala. Dengan marah dia lalu membabat dan empat orang pemegang jala berteriak kesakitan, terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena kaki mereka patah tulang. Akan tetapi, kaitan-kaitan kecil dari baja yang berada di sebelah dalam jala itu telah mengait kulit daging kaki Hai-tok. Kakek ini meronta dan melepaskan kaitan-kaitan dari kakinya.
Akan tetapi pada saat itu, sebuah totokan dengan ujung lengan baju mengenai pundak kanannya, membuat lengan kanannya lumpuh seketika. Dengan marah, dia menggunakan tongkatnya di tangan kiri untuk menyerang pendeta Nepal yang terpaksa harus melompat jauh ke belakang. Jala itu sudah terlepas dari kakinya, akan tetapi lengan kanannya masih lumpuh, maka ketika tongkatnya itu bertemu dengan tongkat Hwesio kecil kurus, dia tidak mampu mempertahankan lagi dan tongkat emasnya terlepas dari tangan kirinya! Hai-tok mengeluarkan suara melengking ganas, dan kini dia mengamuk dengan tangan kosong memainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu dengan pengerahan tenaga Thai-lek Kim-kong-jiu. Ketika sehelai jala menubruknya, dia memapaki dengan pukulan tangan kirinya.
"Braakkkk!"
Jala itu membalik dan menyelimuti empat orang pemegangnya seperti sehelai selimut tertiup angin keras dan empat orang pemegangnya menjerit-jerit kesakitan karena kaitan-kaitan baja kecil menancap di tubuh mereka! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara berkeritik nyaring dari tasbeh, dan pendeta Lhama sudah menyambar ke arah kepala Hai-tok. Kakek ini miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menangkap tasbeh. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Hwesio kecil kurus sudah mendorong dengan amat kuatnya ke arah lambung kanannya. Hai-tok berusaha menggerakkan lengan kanan, akan tetapi ternyata lengan itu masih belum dapat digerakkan.
"Dukkk!!"
Tusukan ujung tongkat ke arah lambung kanan itu keras sekali, dan tubuh Hai-tok terpelanting dan terbanting roboh. Pendeta Lhama dan pendeta Nepal dengan berbareng menubruk, tubuh pendeta Lhama itu menghantam kepala dan ujung lengan baju menotok ke arah dada. Hai-tok berusaha menggulingkan tubuhnya, namun terlambat karena dia sudah berada dalam keadaan hampir tidak sadar oleh tusukan tongkat tadi. Terdengar suara keras ketika tasbeh mengenai kepalanya. Dan pada saat itu, totokan ujung lengan baju juga mengenai jalan darah tepat di dadanya. Entah yang mana lebih dulu merenggut nyawa Hai-tok pada saat itu. Tubuhnya tak bergerak lagi dan tewaslah datuk sesat yang memiliki kepandaian tinggi itu.
"Omitohud!" Tiga orang kakek itu merangkap tangan di depan dada sambil menundukkan muka, kelihatan betapa mereka prihatin sekali dan peristiwa itu sungguh tidak menyamankan hati mereka.
Sudah puluhan tahun mereka tidak mencampuri dunia ramai, apalagi menyerang orang. Akan tetapi sekarang ini terpaksa mereka mengeroyok, bahkan membunuh orang, karena kalau mereka tidak turun tangan, tentu datuk sesat itu akan membunuh lebih banyak orang lagi. Juga Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio tidak merasa senang. Dengan bijaksana, Thian He Hwesio lalu menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk mengubur jenazah Hai-tok di lereng gunung, sebelah belakang kuil. Juga memasang bong-pai bertuliskan nama Hai-tok, yaitu Tang Kok Bu. Tiga orang pendeta yang menjadi tamu agung itu juga segera berpamit dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Lee Song Kim segera dapat menyelidiki keadaan gurunya, dan tahu bahwa gurunya gagal mencarikan kitab di Siauw-lim-si,
Bahkan gurunya tewas oleh pengeroyokkan para pendeta yang berilmu tinggi. Dia merasa menyesal kehilangan guru dan pembantu yang amat baik itu, akan tetapi dia memendam rasa penasaran itu di dalam hati saja, hanya mencatat nama-nama tiga orang pendeta yang menjadi tamu agung dan yang menggagalkan bahkan menewaskan Hai-tok. Kemudian, pemuda ini mengumpulkan semua harta kekayaan gurunya, membubarkan semua anak buah gurunya, dan sambil membawa harta pusaka dan terutama sekali kitab-kitab dari pelbagai perguruan silat yang dikumpulkan Suhunya untuknya, pergi meninggalkan Pulau Naga. Dia tidak ingin bentrok dengan musuh sebelum dia menguasai semua ilmu itu, sambil menyembunyikan diri di tempat yang jauh dan dunia ramai.
Lee Song Kim dengan tekun sekali mempelajari kitab-kitab itu, dan karena dia memang memiliki kemauan keras dan bakat yang baik, dia mulai dapat menguasai ilmu-ilmu yang tinggi itu. Para tokoh perguruan tinggi yang merasa kehilangan kitab-kitab wasiat, ketika mendengar betapa Hai-tok tewas di kuil Siauw-lim-si dalam usahanya mencuri kitab, kini dapat menduga bahwa tentu Hai-tok pula yang telah mencuri kitab-kitab mereka. Oleh karena itu, berbondong-bondong para tokoh persilatan itu mendatangi Pulau Naga untuk mencari dan mendapalkan kembali kitab-kitab mereka. Akan tetapi, pulau itu telah kosong dan mereka tidak tahu dimana adanya kitab-kitab mereka. Akhirnya mereka tahu bahwa kitab-kitab mereka itu tentu telah lenyap bersama dengan matinya Hai-tok.
Tak seorangpun tahu bahwa kitab-kitab itu kini berada di tangan seorang pemuda yang amat lihai, yang kini menyembunyikan diri dan meggembleng diri dengan kitab-kitab yang rahasia, mempelajari ilmu-ilmu silat pilihan dari partai-partai besar, ilmu-ilmu silat yang bahkan tidak dikuasai oleh sembarangan tokoh partai-partai itu sendiri! Seorang pemuda yang kelak akan menjadi ancaman bagi ketenteraman dunia persilatan, yang akan menggegerkan dunia persilatan, karena selain menguasai bermacam ilmu silat tinggi berbagai aliran, juga amat cerdik dan licik! Kita tinggalkan dulu Lee Song Kim yang menggembleng diri dalam persembunyiannya itu, dan melihat keadaan para tokoh lain dalam cerita ini. Setelah memperoleh persetujuan dari guru-guru mereka, Tan Ci Kong melangsungkan pernikahannya dengan Siauw Lian Hong.
Pernikahan ini sederhana, namun cukup meriah karena dihadiri oleh banyak tokoh persilatan dan para pejuang. Yang menggirangkan hati mereka adalah ketika tiga pasang orang muda yang juga baru saja menikah, hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Tiga pasang orang muda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan yang telah menikah dengan Tang Ki tanpa sepengetahuan Hai-tok yang tidak menyetujuinya, pasangan bangsawan Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga Thio Ki dan Ciu Kui Eng. Tentu saja pertemuan antara mereka menimbulkan percakapan yang ramah dan akrab, juga amat menggembirakan. Hanya Hai-tok yang tidak hadir di antara para datuk, karena Hai-tok telah tewas. Bahkan kematiannya di kuil Siauw-lim-si menjadi bahan percakapan para tamu dalam pesta itu.
Di antara para pejuang muda itu, yang paling menonjol kemampuannya adalah Ong Siu Coan. Dengan bantuan Ki Ki dan dengan harta kekayaan dari pusaka Giok-liong-kiam yang terjatuh ke dalam tangannya tanpa diketahui siapapun juga, Siu Coan mulai membangun balatentara yang besar. Dimulai dari para sisa anak buah Thian-te-pang, dia membentuk perkumpulan yang besar dan dinamakan Pai Sang-ti Hwe, balatentara yang makin lama menjadi semakin kuat dan yang kelak akan terkenal sekali dengan nama balatentara Tai Peng (Perdamaian Besar). Ong Siu Coan kemudian mengangkat diri sendiri menjadi guru besar merangkap pemimpin atau raja, mempersatukan pasukannya dengan cara mengajarkan suatu agama baru. Pada dasarnya agama yang disiarkannya adalah Agama Kristen,
Akan tetapi karena pengertiannya dalam hal agama ini hanya setengah-setengah saja, dengan penafsiran-penafsiran yang ngawur, maka agama itu sudah menyeleweng jauh dari aselinya, bahkan bercampur baur dengan pelajaran Agama Tao yang mengandung banyak mistik, dan bercampur pula dengan pelajaran filsafat Khong Cu. Betapapun juga, seperti dapat diikuti dalam sambungan cerita ini, pemberontakan Tai Peng yang dipimpin oleh Ong Siu Coan dan isterinya Ki Ki itu, sempat menggegerkan seluruh Tiongkok, hampir berhasil menggulingkan pemerintah Mancu. Hal ini tidaklah mengherankan, karena demikian pandainya Ong Siu Coan memimpin balatentaranya sehingga menarik perhatian para orang gagah yang dengan sukarela pada permulaan pemberontakan itu mendukung dan membantunya.
Sampai di sini berakhirlah sudah cerita Pedang Naga Kemala, Giok Liong Kiam ini, dan cerita ini akan disambung dengan cerita Pemberontakan Tai-peng. Di dalam cerita baru ini, para pembaca akan bersua kembali dengan pasangan-pasangan pendekar muda yang menjadi tokoh-tokoh dalam cerita ini, dan Lee Song Kim akan muncul sebagai tokoh lawan yang amat sakti. Juga pedang pusaka Giok-liong-kiam tetap akan menjadi bahan perebutan dalam suasana yang baru, dengan kepentingan-kepentingan baru pula. Semoga cerita ini bermanfaat bagi para pembaca, dan sampai jumpa dalam cerita berikutnya.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar